ANALISIS PELAKSANAAN AKAD MURABAHAH DI

advertisement
ANALISIS PELAKSANAAN AKAD MURABAHAH
DI LEMBAGA MIKRO KEUANGAN SYARIAH (BMT)
Fahadil Amin Al-Hasan
Mahasiswa Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN SGD Bandung
E-Mail: [email protected]
Abstrak
Murabahah merupakan salah satu transaksi yang terdapat dalam sistem ekonomi Islam.
Murabahah diartikan sebagai seseorang yang menjual suatu barang dengan menegaskan
harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai
laba. Akad tersebut merupakan akad konsumtif, artinya transaksi yang hanya di dilakukan untuk perjanjian sesaat, seperti perjanjian membeli kendaraan, alat elektronik, dan
lain sebagainya. Namun demikian, seiring dengan berjalanya waktu terdapat banyak lembaga ekonomi syariah yang menggunakan akad tersebut untuk keperluan transaksi berjangka panjang. Hal ini merupakan sesuatu yang baru dan belum dikenal dalam transaksi
murabahah pada kitab fiqih klasik. Selain hal tersebut, terdapat beberapa hal baru
berkenaan dengan transaksi murabahah. Makalah ini akan membahas mengenai beberapa
pelaksanaan/implementasi murabahah di lembaga keuangan syariah. Metode penulisan
makalah ini menggunakan teknik book survey (library research) mengenai literatur-literatur yang berhubungan dengan pelaksanaan murabahah.
KeyWords: Murabahah, Lembaga Mikro Syariah, BMT
A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang maha sempurna,1 oleh karenanya tidak ada satu aspek
pun dalam persoalan manusia yang luput dari kajian dan perhatian Islam. Allah swt
telah merumuskan dan menyempurnakan segala bentuk aturannya untuk dijadikan
sebagai panduan bagi segenap umat Islam.2 Begitupun dalam urusan muamalah,
walaupun Islam tidak mempunyai peraturan secara rinci tentang sistem Ekonomi
Islam, namun Islam mempunyai fondasi, aturan dasar atau pengarahan yang pokok
dan beberapa cabang penting dalam Ekonomi Islam, yang segogyanya menjadi acuan
dasar bagi umat islam dalam menjalankan kegiatan muamalahnya.
Seperti halnya dalam menyikapi kredit yang marak terjadi di perbankan
kovensional, maka sebenarnya Islam telah jauh-jauh hari memiliki sistem yang
berkenaan dengan itu, ini merupakan hasil interpretasi yang dilakukanan oleh para
ulama terdahulu. Mereka telah membahas tentang jenis-jenis transaksi yang dapat
diaplikasikan pada perbankan syariah dan lembaga keuangan islam lainnya. Diantara
1
2
326
Al-Quran dan Terjemah, Bandung: Diponegoro, Surat al-Maidah: 03
Muhammad Ali Al-Shabuni, Sofwah al-Tafaasir, Beirut: Dar al-Quran al-Karim, 1980, jilid I, hlm.
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 58
jenis transaksi tersebut adalah bai al-Murabahah.3 Jenis transaksi ini merupakan
transaksi yang simpel dan mudah untuk dilaksanakan. Maka tidak aneh jikalau
pembiayaan al-Murabahah ini merupakan salah satu produk yang paling “populer” dan
diminati oleh para nasabah perbankan syariah dan Institusi Islam lainnya. Sebagai
contohnya, dari total Rp. 112,844 milyar pembiayaan yang dilakukan oleh bank
syariah dan unit usaha syariah, porsi pembiayaan Murabahah mencapai 64,54 persen
dari total dana yang di keluarkan, di bandingkan dengan akad mudharabah yang
hanya mencapai 10,48 persen.4
Namun demikian, jikalau kita sedikit memperhatikan pada tatanan praktek dan
implementasi yang ada, tidak sedikit dalam pelaksanan konsep Murabahah sesuai
dengan apa yang dirumuskan oleh para fakar dan praktisi muamalah, lebih jauhnya
ada yang bertentangan dengan pokok ajaran islam, yaitu al-Quran dan as-Sunnah.
Oleh karena itu, beberapa tahun kebelakang ada istilah yang muncul yaitu
mensyariahkan bank syariah.5 Argumentasi yang berkembang ketika itu adalah karena
minimnya sumber daya manusia serta belum adanya regulasi yang bener-benar
memumpuni sebagai landasan acuan perbankan Syariah di Indonesia. Oleh karena itu,
pada tahun 2008 lahirlah Undang-Undang No. 21 tahun 2008 yang mengatur secara
spesifik tentang perbankan syariah.6 Dan ini mungkin dapat kita maklumi.
Sebuah pertanyaan besar mengenai perkembangan lembaga keuangan syariah
yaitu apakah ada ketidaksesuaian antaran konsep dan aplikasi pasca lahirnya
beberapa peraturan mengenai pelaksanaan ekonomi Islam di Indonesia dan
berkembangnya SDM di bidang muamalah?
Selanjutnya, makalah sederhana ini akan membahas tentang analisis
pelaksanaan murabahah yang diterapkan di beberapa lembaga mikro syariah di
Indonesia yang kemudian penulis hubungkan dengan beberapa teori para ahli di
bidang muamalah yang tersebar di berbagai buku dan kajian.
B. Konsep Murabahah
Di tinjau dari segi ma‟nanya, murabahah adalah bentuk masdar dari kata ‫رابح‬
yang bentuk asalnya adalah ‫ َربَح‬yang ditambah dengan huruf alif untuk menunjukan
Isytirak/Musyarakah yang mengandung arti memberikan sebuah kelebihan.7 Artinya
memberi keuntungan atau laba diantara yang beraqad atau orang yang melakukan
persekutuan.8
Secara terminologi, terdapat pengertian beragam, seperti yang disampaikan
Wahbah Zuhaily, yang dimaksud dengan murabahah adalah si penjual
memberitahukan kepada si pembeli berapa harganya dan berapa keuntungan yang
diperoeh si penjual, baik secara umum maupu secara terperinci.9 Sementara menurut
3
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm. 101
Statistik Perbankan Syariah Mei 2013 Bank Indonesia.
5
Cecep Maskanul Hakim, Ekonomi Islam (catatan kritis terhadap dinamika perbankan syariah di
Indonesia), Jakarta: Suhuf, 2011, hlm. 53
6
Ibid, hlm. 53
7
Kamus al-Munjid fi Lughoti wal A‟lam, Libanon: Dar al-Masyriq, 2008, hlm.233 dan Kamus AlMunawwir, 1984, hlm. 463
8
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan, Bandung: Pustaka Setia, 2011, hlm, 263
9
Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu, Damasakus: Tp, 1984, vol IV, hlm. 703
4
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 59
Syaid Sabiq, Murabahah adalah penjualan barang seharga pembelian disertai dengan
keuntungan yang diberikan oleh pembeli.10Sedangkan menurut Ibnu Rusyd,
murabahah adalah jual-beli di mana penjual menjelaskan kepada pembeli harga
pokok barang yang dibelinya dan meminta suatu margin keuntungan kepada
pembeli.11Adapun pengertian Murabahah menurut DSN-MUI sebagai benang merah
dari berbagai pengertian dari yang disampaikan ulama adalah “Menjual suatu barang
dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang
lebih sebagai laba”.12 Sedangkan definisi operasional murabahah yang dipergunakan oleh
UU No. 21 Tahun 2008 adalah, “Akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga
belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harganya lebih sebagai harga yang
disepakati”.13
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa murabahah adalah salah satu
akad jual beli (pembiayaan) dengan tambahan nilai yang diberikan oleh pembeli
kepada penjual (LKS) sebagai laba untuk penjual sesuai dengan kesepakatan.
Murabahan merupakan salah satu jual beli al Amanah, dikarenakan jual beli ini
terjadi berdasarkan kepercayaan kepada penjual yang menjelaskan tentang harga beli
terhadap barang tersebut. Jual beli lainnya yang termasuk pada kategori ini adalah
jual beli Tawliyah (tanpa mengambil keuntungan) dan jual beli Muawwadah ( di bawah
harga/diskon).14
Dikarenakan Murabahah merupakan salah satu jenis dari Jual beli, maka
landasan hukum dan rukunnya sama dengan jual beli pada umumnya. Diantara dalil
yang menjadi landasannya adalah,
...        ....
Artinya: “... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. ....”15
....             ....
Artinya: “....janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.....”16
Landasan lainnya yang berasal dari as-Sunnah ialah,
17
ٍ ‫عن تَرا‬
‫ض‬
ْ ‫و انٌم ــا‬
ْ ‫البيـ ـ َـع‬
Artinya:” Jual-Beli harus dipastikan harus saling meridhoi”
‫ البيع إلى أجل والمقارضة وخلط البر بالشعير للبيت ال للبيع‬:‫ثالث فيهن البركة‬
10
Atang Abdul Hakim, Fiqih Perbankan Islam, Bandung: Refika Aditama, 2011, hlm, 226
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd al-Qurtubi, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat
al-Muqtashid, Beirut : Dar al-Fikr, t.t, juz II, hlm, 161.
12
Fawa DSN MUI. No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah
13
Penjelasan UU No. 21 tahun 2008, Pasal 19 ayat (1) huruf d.
14
Cecep Maskanul Hakim, Ekonomi Islam., Hlm. 73
15
Al-Quran Terjemah, Surat Al-Baqarah: 275
16
Al-Quran Terjemah, Surat An-Nisa: 26
17
HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah, dapat dilihat pada buku Rahmat Syafei, Figh Muamalah, Bandung:
Pustaka Setia, 2001, hlm. 75
11
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 60
Artinya: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan : jual-beli secara tangguh, muqaradhan
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk
dijual”18
Dasar ini digunakan oleh DSN-MUI dalam pelaksanaan murabahah
dikarenakan pada transaksi ini digunakan jual beli secara tangguh.
Berdasarkan pendapat para ulama, rukun jual beli harus terpenuhi beberapa
unsur, diantaranya ialah: dua orang yang melakukan transaksi („aaqidain), sesuatu
yang di transaksikan (ma‟qud „alaih), dan Shighoh Akad.19 Sedangkan rukun
murabahah di dalam perbankan sebagai berikut, yaitu:
1. Penjual (al-bai‟) dianalogkan sebagai bank;
2. Pembeli (al-musytari) dianalogkan sebagai nasabah;
3. Barang yang akan diperjual belikan (al-mabi‟), yaitu jenis barang pembiayaan;
4. Harga (al-saman) dianalogkan sebagai pricing atau plafond pembiayaan;
5. Ijab dan qabul dianalogkan sebagai akad atau perjanjian, yaitu pernyataan
persetujuan yang dituangkan dalam akad perjanjian.20
Sedangkan syarat-syarat murabahah, para ulama telah bersepakat bahwa harus
memenuhi sebagai berikut:
1. Informasi mengenai harga awal/pokok. Penjual dan pembeli menyepakati harga
beli barang yang akan ditransaksikan. Harga tersebut harus meggunakan unit
hitung yang jelas (misalnya mata uang). Apabila terdapat diskon pada pembelian
pertamaoleh penjual, maka diskon tersebut milik pembeli akhir.21
2. Informasi keuntungan harus jelas dan menggunakan unit hitung yang jelas.
3. Tidak boleh mengandung riba.22
4. Akad membelian pertama harus sah.23
C. Analisis Pelaksanaan Murabahah di Lembaga Mikro Syariah
Ada beberapa pelaksanaan murabahah yang dilakukan oleh lembaga mikro
syariah yang kami soroti, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pada mekanisme pelaksanaan murabahah mereka melakukan perjanjian murabahah
dengan nasabah, dan pada saat yang sama pihak bank mewakilkan kepada nasabah
untuk membelikan barang yang akan dibelinya. Dana lalu dikredit ke rekening
nasabah dan nasabah menandatangani tanda terima uang. Dengan argumentasi
18
HR. Ibn Majah, lihat Muhammad bin Ismail al-Kahlani ash-Shan‟ani, Subul as-Salam : Syarh
Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam, Beirut : Dar al-Fikr, t.t, juz III, hlm, 76.
19
Abdullah bin Muhammad At-Thayyar, dkk, Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4
Mazhab, Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009, hlm.03
20
Arrison Hendry, Perbankan Syari‟ah : Perspektif Praktisi, Jakarta : Mu‟amalat Institute, 1999,
hlm, 43.
21
Fatwa DSN mengenai diskon no.16/DSN-MUI/IX/2000
22
Secara bahasa adalah berkembang secara mutlak, yang dapat membahayakan terhadap
masyarakat sosial karena kemadharatannya sangat banyak. Lihat Muhammad Ali As-Shobuni,
Rawaai‟ul Bayan Tafsiiri Aayatil Ahkam (terjemahan). Semarang: CV Adhi Gravika, 1993, Juz II, hlm, 135-159
23
Cecep M H, Ekonomi Islam, hlm. 74
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 61
pola ini tetap dilakukan karena terkendala dengan sistem yang ada, serta untuk
mempermudah pelaksanaan pembiayaan Murabahah pada institusi tersebut.
2. Akad pembiayaan murabahah di tujukan secara berkelanjutan (roll over/evergreen),
yaitu untuk modal kerja, yang pada hakikatnya, murabahah adalah kontrak jangka
pendek (one short deal).24
3. Dalam penetapan harga pembiayaan, pihak BMT sudah terlebih dahulu
menyediakan gambaran pembiayaan yang harus dibayar oleh pihak calon nasabah
yang nantinya langsung digunakan sebagai rukujan pembayaran nasabah. Dengan
kata lain, harga dan jumlah yang harus dibayar nasabah sudah ditentukan oleh
pihak BMT sebelum perundingan harga dilakukan, sedangkan seharusnya harga
itu dibuat berdasarkan kesepakatan bersama, bukan dibuat dahulu oleh pihak
BMT walaupun itu nantinya disepakati oleh nasabah, ini memungkinkan adanya
indikasi Ikroh (paksaan) yang dibuat oleh pihak BMT.
1) Pelaksanaan Murabahah bil Wakalah
Mengenai persoalan yang pertama, bahwa pihak BMT yang hanya memberikan
uang kepada nasabah untuk dibelikan sendiri baranganya atau pihak BMT menunjuk
nasabah sebagai agennya untuk membeli barang yang diperlukannya atas nama BMT
yang bersangkutan dan menyelesaikan pembayaran harga barang dari biaya BMT
tersebut. Mekanisme ini jelas menyalahi hakikat murabahah itu sendiri, yang pada
hakikatnya murabahah adalah proses jual beli yang syarat dan rukun nya di tentukan
oleh aturan syara‟. Apabila pola ini tetap dilakukan, maka kesan yang kita dapat dari
proses ini penjual menjual barang yang belum ia miliki padahal ini jelas menyalahi
aturan syara‟. Sebagaimana dalam hadits dikatakan,
‫آلبيـ ــع االٌ فيمــا تُملك‬
25
Artinya:”Tidaklah sah jual beli, kecuali uyang dapat dimiliki.”
Menurut al-Baghawi, yang dikutip oleh asy-Syaukani, bahwa larangan di dalam
hadis tersebut adalah larangan menjual barang yang belum dimiliki atau tidak
menjadi milik. Adapun menjual sesuatu yang ada di dalam tanggungan itu boleh
secara akad salam dengan syarat-syarat tertentu. Jika seseorang menjual sesuatu yang
ada dalam tanggungannya dan ditentukan secara konkret di tempat yang telah
diperjanjikan, maka hal itu boleh, meskipun barang tersebut belum ada pada waktu
akad.26 Menurut Ibn Taimiyah larangan tersebut bukan dari segi ada/ tidaknya obyek
akad, tetapi disebabkan oleh adanya unsur garar, yaitu jual-beli sesuatu yang tidak
dapat diserahkan. 27
24
Syafii Antonio, Bank Syariah., hlm. 106
HR. Abu Dawud, lihat Musthafa Diibul Bigha, Ikhtisar Hukum-hukum Islam Praktis, Semarang:
CV As-Syifa, 1994, hlm.470,. Hadits ini dinilai Shahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami‟, nomor Hadits
7083., HR. al-Khamsah dan dianggap shahih oleh at-Tirmizi, Ibn Huzaimah dan al-Hakim, lihat ashShan‟ani, Subul as-Salam, hlm. 16.
26
Yusuf al-Qardawi, Bai‟ al-Murabahah li al-Amir bi asy-Syira‟ Kama Tajriyat al-Masharif al-Islamiyyah,
tp: Mathba‟ah Wahbah, 1987, hlm, 57. Ini pun bisa dilihat di dalam kitab Nailul Author, karya Imam AsSyaukany, terj. KH Adib Bisry, Semarang: CV. As-Syifa, 1994, jilid V, hlm. 484
27
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh. Hlm. 429.
25
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 62
Dzahir larangan ini menunjukan kepada kita haram menjual apa yang belum
menjadi milik, dan belum masuk ke dalam kesanggupan penjual. Dalam pada itu,
dikecualikan penjualan menggunakan akad salam. Menurut Ibnul Qoyyim, penjualan
salam itu berdiri sendiri tidak dikhususkan dari larangan ini, karena salam itu adalah
akad terhadap sesuatu yang di dalamnya terdapat tanggung jawab penjual yang telah
disifatkan, hanya saja belum saja belum menjadi benda.28
Apabila tetap itu terlaksana karena alasan sistem dan pelaksanaan yang rumit,
maka itu adalah resiko atau konsekuensi bagi BMT sebagai penyedia pembiayaan
murabahah tersebut. Adapun mengenai sistem yang ada pada institusi tersebut, maka
itu dapat di sesuaikan dan saya yakin itu dapat dilakukan apabila pihak BMT serius
ingin menerapkan konsep murabahah tersebut agar sesuai dengan syariat. Dan ini
pula yang disinggung dalam al-Quran al-Baqarah ayat ke 85, yang menyatakan bahwa
kita tidak boleh bermain-main dalam menjalankan aturan Allah, kita harus konsisten
dengan aturan yang ada.
Adapula alasan yang disampaikan apabila konsep dengan dua akad ini
dilaksanakan, memungkinkan terjadi ketidaksesuian dengan yang diinginkan pihak
nasabah atas barang yang dinginkannya. Mengenai alasan yang satu ini, sebenarnya
ini adalah alasan yang kurang kuat karena itu dapat ditangani melalui majalah katalog
yang itu dapat meminimalisir adanya ketidaksusuian dengan keinginan para nasabah,
mulaidari warna, bentuk, dan lain sebagainya.
Dan praktik seperti ini pun sebenarnya tidak dapat diterima oleh standar
internasional.29 Bahkan DPS Dallah al-Barakah tidak memperbolehkan hal tersebut
dilaksanakan, sebagai tindakan preventif agar tidak mendekati pada riba yang
diharamkan.30
Begitupula seorang pakar muamalaha, yaitu Umar Chapra, dengan tegas
mengatakan bahwa murabahah merupakan transaksi yang sah menurut ketentuan
syariat apabila resiko transaksi tersebut menjadi tanggung jawab pemodal sampai
penguasaan atas barang telah dialihakan kepada nasabah.
Lanjut beliau, agar perjanjian tersebut sah secara hukum, maka pihak bank
harus menandatangani 2 perjanjian terpisah. Yang satu perjanjian dengan pemasok
barang, dan yang satu lagi dengan nasabah.31 Artinya tidak sah apabila pihak bank
hanya menandatangani 1 perjanjian saja dan menyerahkan pembeliannya kepada
nasabah.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
murabahah menggunakan metode bil wakalah yang dilaksanakan oleh BMT itu
sebenarnya menyalahi aturan yang telah ditetapkan oleh para ulama sebagai salah
satu pondasi atau pilar pelaksana ajaran islam.
Seperti hal lainnya, dalam akad ini pun dimungkinkan adanya istisnaiyyah atau
pengecualian. Artinya ada transaksi yang dimungkinkan diperbolehkan akad
28
Muhammad hasby As-Syidiqi, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, Semarang: PT Petraya Mitrajaya,
2001, jilid 7, hlm, 25
29
Lihat aturan juristik yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing of Islamic
Financial Institution)
30
Cecep Maskanul Hakim, Ekonomi Islam, Hlm. 78
31
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia,
Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2007, hlm. 65
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 63
murabahah bil wakalah itu tetap dilaksanakan karena faktor madhorot, yang apabila akad
tersebut tidak dilaksanakan akan menyebabkan salah satu fungsi BMT tidak dapat
dilaksanakan. Misalnya pada transaksi perbaikan atau rehabilitasi rumah, yang ini
jelas akan menyulitkan pihak BMT jika pelaksanaan murabahah tetap dilaksanakan
berdasarkan prinsip awal yang tidak membolehkan adanya perwakilan. Salah satu
alasan yang kuat untuk dilaksanakan murabahah bil wakalah ini adalah karena objek
transaksi itu sangat banyak, misalnya membutuhkan pasir, semen, paku, cat, kayu,
dan lain sebagainya, yang ini akan menyebabkan kesulitan bagi pihak BMT.
Adapun kaidah yang berhubungan dengan kaidah adalah,
‫الضرورات تبيح المحظورات‬
32
Artinya: “kemadharotan membolehkanmelakukan pekerjaan yang dilarang”
(Wallahu A‟lam)
Ada berbagai penafsiran mengenai madharot, seperti yang disampaikan oleh
Imam suyuthy, beliau menjelaskan bahwa madharat itu suatu keadaan dimana jika
seseorang tersebut tidak melakukan perbuatan dengan segera akan menyebabkan
dirinya terbawa ke jurang kehancuran atau kematian.33
Dalam literatur klasik, keadaan memaksa/emergency ini sering dicontohkan
dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak ada lagi makanan lain kecualin
daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan darurat demikian Allah
menghalalkannya sebagaimana dalam surat al-Baqarah :173.
Mengenai ketentuan yang terkandung dalam ayat di atas, para ulama
perumuskan suatu kaidah,
‫الضرورات تقدر بقدرىا‬
Artinya: “Darurat itu harus dibatasi sesuai dengan kadarnya”.
Dengan demikian, darurot itu ada masa berlakunya serta batasan ukuran dan
kadarnya. Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam, dispensasi untuk
memakan daging babi menjadi hilang. Begitu juga seandainya untuk mempertahankan
hidup cukup dengan tiga suap, maka tidak boleh melampaui batas hingga tujuh atau
sepuluh suap, apalagi jika dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangga.34
Apabila kita kaitkan dan hubungkan kasus madarat yang terjadi pada daging
babi dengan aplikasi murabahah pada perbankan, maka bagi mereka yang
berargumen bahwa melaksanakan murabahah bil wakalah dengan alasan madarat
karena lebih rumit, maka argumentasi itu tertolak dan tidak masuk akal. Sebab,
masih terdapat LKS (Lembaga Keuangan Syariah) lainnya yang melaksanakan
pembiayaan murabahah sebagaimana mestinya dan mereka pun tetap diuntungkan.
Sehingga tidak ada dispensasi bagi mereka yang menjalankan murabahah bil wakalah.
Berbeda halnya dengan pelaksanaan murabahah di institusi perbankan,
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama indonesia dikarenakan adanya pajak
berganda, yang apabila terus dilaksanakan akan menyebabkan kebangkrutan bagi
bank syariah itu sendiri. Solusi utama agar murabahah dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya ialah dengan dihapuskannya pajak berganda yang dikenakan
kepada perbankan syariah oleh regulator (pemerintah dan DPR).
32
Imam Suyuti, al-Ashbah wa An-Nadzoir, tp: Dar al-Kutub al-islami, tt, hlm, 60
Ibid, 60-68
34
Syafii Antonio, Bank Syariah., hlm. 55
33
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 64
Kesimpulannya, akad atau transaksi murabahah seharusnya dilaksanakan
dengan dua akad. Pertama akad dari suplayer kepada pihak BMT dan yang kedua
adalah akad dari pihak BMT ke nasabah, sesuai dengan apa yang durumuskan oleh
para ulama. Dalam transaksi murabahah tidak diperkenankan dijalankan berdasarkan
ba‟i al-Murabahah bil wakalah atau melalui perwakilan kepada nasabah, karena ini lebih
dekat dengan jual beli terhadap benda yang belum ada, dan itu tidak diperbolehkan
dalam islam. Pelaksanaan ba‟i al-Murabahah bil wakalah dimungkinkan diperbolehkan
jika dalam keadaan tertentu sebagaimana telah dijelaskan di atas.
2) Pelaksanaan Murabahah dalam Kontrak Jangka Panjang
Untuk kasus kedua, yaitu menggunakan transaksi murabahah terhadap objek
yang berkelanjutan (roll over/evergreen), seperti untuk modal kerja. Karena pada
dasarnya Murabahah itu adalah kontrak jarak pendek, untuk kasus pembiayaan jangka
panjang/Kontinue alangkah lebih sesuai menggunakan akad Mudharabah bukan
Murabahah.35 Jadi, murabahah tidak tepat diterapkan untuk skema modal kerja. Tetapi
mudharabah lebih sesuai untuk skema tersebut. Hal ini mengingat prinsip mudharabah
memiliki fleksibilitas yang sangat tinggi.
Mudharobah diartikan oleh para ulama dengan redaksi yang berbeda, misalnya
saja menurut ulama Hanafiyah yang mengartikan murabahah sebagai „aqdu al-syirkati fi
al-Ribhi bimaalin min ahadi al-jaanibaini wa amalun minal akhoro, artinya “akad kerja sama
atas harta orang lain yang diberikan kepada pemilik modal.36 Sedangakan menurut
ulama lain yang ditemukan di dalam kitab Bidayah al-Mujtahid adalah akad penyerahan
modal dari pemilik kepada pengusaha untuk diperdagangkan dan keuntungan dibagi
dua sesuai kepsepakatan.37
Terdapat beragam atau jenis pembiayaan, dan oleh karenanya, ia dapat
dikelompokan sesuai dengan aspek-aspek tertentu. Dari sisi tujuan, ia terbagi
menjadi dua kelompok; pembiayaan modal kerja, dan pembiayaan investasi. Yang
dimaksud dengan pembiayaan modal kerja adalah pembiayaan untuk mendapatkan
modal dalam rangka pengembangan usaha. Sedangkan pembiayaan investasi ialah
investasi atau penggandaan barang konsumtif.38
Dan dari kedua jenis pembiayaan tersebut yang mekanismenya relevan dengan
akad murabahah adalah pembiayaan yang kedua atau pembiayaan
investasi/penggandaan barang atau pembiayaan konsumtif lainnya. Adapun
pembiayaan yang pertama atau modal kerja lebih baik menggunakan akad
mudharabah.39
3) Penetapan Harga dalam Pembiayaan Murabahah di BMT
Dalam pelaksanaan murabahah di BMT, harga dan jumlah yang harus dibayar
oleh nasabah sudah ditentukan oleh pihak BMT sebelum perundingan harga
35
Ibid, hlm. 106
Atang Abdul hakim, Fikh Perbankan, hlm. 213
37
Ibnu Rusyd, Bidayah Mujtahid., jilid 2, hlm. 236
38
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: Akademi Manajemen YKPN,
2005), hlm. 16-22
39
Ibid, hlm, 22-25
36
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 65
dilakukan, sedangkan seharusnya harga itu dibuat berdasarkan kesepakatan bersama,
bukan dibuat dahulu oleh pihak BMT walaupun itu nantinya disepakati oleh
nasabah, ini memungkinkan adanya indikasi Ikroh (paksaan) yang dibuat oleh pihak
BMT.
Pelaksanaan penetapan harga ini pun tidak sesuai dengan pengertian
murabahah dalam undang-undang yang di akhiri dengan klausal “pembeli membayarnya
dengan harganya lebih sebagai harga yang disepakati”. Kata”disepakati” penurut penulis
menunjukan sesuatu yang harus dibuat secara bersamaan antara pihak penjual (BMT)
dengan pihak pembeli (nasabah), ataupun dapat dipahami walaupun tidak dibuat
secara bersamaan, namun memungkinkan untuk terjadinya koreksi sesuai dengan
kesepakatan. Sedangkan dalam pelaksanaan yang ada pihak BMT hanya menawari
harga pembiayaan dengan tanpa koreksi, jika nasabah menginginkan, maka
pembiayaan tetap dilanjutkan, sedangkan jika tidak berkenan maka otomatis pihak
nasabah tidak mengambil pembiayaan tersebut. Namun demikian, nasabah akan
tetap mengambil pembiayaan karena didesak kebutuhan, dan apabila ia tidak
mengambil membiayaan tersebut maka kebutuhannya tidak akan dipenuhi. Oleh
karena itu, jika pelaksanaan penetapan harga tidak dilakukan berdasar negosiasi awal
terlebih dahulu, maka terdapat indikasi ikroh dalam pelaksanaan murabahah tesebut.
Sedangkan di dalam islam akad atau transaksi dilaksanakan dengan paksaan, maka
ini menyalahi aturan yang ditetapkan dalam al-Quran, yang menyatakan bahwa
Setiap transaksi dilakukan dengan sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.
(Untuk lebih jelasnya silahkan anda lihat Q.S. An-Nisa' 4: 29).40
Bukti atau contoh riil dalam penetapan harga yang dilakukan oleh BMT adalah
pihak BMT sudah merumuskan harga pembiayaan dan jumlah harga yang harus
dibayarkan perbulan. Misalnya pembiayaan dengan harga 1.000.000,- dengan
keuntungan bagi pihak BMT 200.000,- sehingga nasabah harus mengembalikan
pembayaran 100.000,- per bulan sebagai uang pengembalian kepada BMT yang di
dalamnya sudah termasuk keuntungan dan harga pokok. Jadi, margin/keuntungan
yang di dapat oleh BMT ialah 20% dari total pembiayaan equivalen dengan 1.6 % per
bulan. Harga atau jumlah ini sudah langsung tersedia dan bukan hasil kesepakat
bersama antara pihak BMT dan nasabah, sehingga ada indikasi paksaan di dalam
penetapan harga tersebut.
Namun demikian, setelah diteliti di berbagai kitab fiqih klasik dan modern
pelaksanaan penetapan harga seperti itu diperbolehkan, dengan syarat modalnya
harus diketahui lebih awal dan keuntungannya benar-benar diseoakati bersama.
Ketentuan murobah seperti itu sesuai denga apa yang disampaikan oleh Imam alSyayrazi di dalam Al-Muhadzab yang menjelaskan, murabahah adalah (penjual)
menjelaskan modal dan kadar labanya dengan mengatakan, misalnya, “Harganya
seratus dan aku menjual kepada kamu dengan modalnya, dengan laba satu dirham
untuk setiap sepuluh dirham.”41 Begitupun pendapat Ibn Qudamah di dalam AsySyarh al-Kabîr yang menjelaskan bahwa murabahah adalah menjual dengan laba yang
disepakati, lalu dikatakan, misalnya, “Modalku di dalamnya seratus. Aku menjual
kepada kamu dengan laba sepuluh.” Ini adalah boleh, tidak ada perbedaan pendapat
40
41
Tim Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve, 2008), Jilid III, hlm. 246
Imam Al-Syirazi, al- Muhadzab, (tp: Dar al-Fikr, t.th), jilid I, hlm. 288
42
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 66
tentang keabsahannya. Berbeda halnya dengan pendapat atau pengertian murabaha
yang disampaikan oleh Sayyid Sabiq, yaitu penjualan barang seharga pembelian
disertai dengan keuntungan yang diberikan oleh pembeli.43 Yang ini menunjukan
bahwa yang menentukan keuntungan bagi penjual adalah murni oleh pembeli. Kesan
seperti ini menunjukan pada pengertian atau mekanisme murabahah yang
sebenarnya, sesuai dengan apa yang dilakukan oleh rasullullah yang memberikan
keleluasaan memberikan keuntungan untuk penjual kepada pembeli semata.
Penetapan harga seperti ini merupakan perluasan dari bentuk akad, yang
esensinya tetap sama yaitu mencapai kesepakatan. Sebagaimana dalam suatu kaidah
disebutkan bahwa hukum itu berubah sesuai dengan perubahan keadaaan :
‫ال ينكر تغير األحكام بتغير األزمان‬
Artinya : “Tidak dapat dipungkiri bahwa berubahnya hukum karena perubahan waktu.”44
Nabi Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam juga pernah menyampaikan bahwa
dalam hal mu‟amalah maka berikanlah kemudahan dan jangan mempersulit :
ٍِ
ِ َ‫َع ْن أَن‬
{‫ِّروا َو الَ تُـنَـ ِّف ُرو {رواه البخارى‬
َ َ‫صلَّى اهلل َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق‬
َ ‫ َع ِن النَّبِ ِّي‬: ‫س بْ ِن َمالك‬
ُ ‫ يَ ِّس ُروا َو الَ تُـ َع ِّس ُروا َوبَش‬: ‫ال‬
Artinya : “Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda; mudahkanlah
mereka jangan dipersulit, berilah kabar gembira jangan kau membuat jadi mereka lari.”45
Teori di atas menunjukkan bahwa hukum Islam pada dasarnya membolehkan
segala praktek bisnis yang dapat memberikan manfaat. Dengan tiga prinsip dasarnya
adalah ;
a. Kaidah Fiqhiyyah.
‫االصل فى األشياء اإلباحة حتى يدل دليل على تحر يمها‬
Artinya : “Dasar pada setiap sesuatu pekerjaan adalah boleh sampai ada dalil yang yang
mengaharamkannya.”
b. Kaidah Fiqhiyyah
Artinya : “Kebiasaan adalah bagian dari hukum.“
46
‫العادة محكمة‬
c. Hadits Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam.
ِ
ِ
{ ‫َح َّل َح َر ًاما } رواه الترمذى‬
َ ‫ال ُْم ْسل ُمو َن َعلَى ُش ُروط ِه ْم إِالَّ َش ْرطًا َح َّرَم َحالَ الً أ َْو أ‬
Artinya : “Kaum muslimin bertransaksi sesuai dengan syarat-syaratnya selama tidak
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”47
42
Ibn Qudamah, al-Mughni, (tp: Dar al-Kitab al-„Arabi, t.th), Jilid IV, hlm,102
Lihat pengertian murabahah pada pembahasan sebelumnya
44
Asjmuni A Rahman, Qawa‟idul Fiqhiyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 90
45
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari Kitab al-‟Ilm, No. Hadits 67
46
Asjmuni A Rahman, Qowa‟idul Fiqhiyyah, hlm. 88
47
Imam al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi Kitab al-Ahkam, No. Hadits 1272
43
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 67
Dari paparan di atas ada beberapa hal yang dapat kita ketaui bahwa penetapan
harga yang dilakukan oleh BMT yang telah menentukan rincian harga sebelum akad
dilaksanakan itu telah memenuhi ketentuan syariat berdasarkan pendapat ulama
dengan sudah terjadi perluasan dalam bentuk akad. Begitupun jika kita kaitkan
pelaksanaan tersebut dengan apa yang telah di jabarkan oleh Imam Hanafi dalam
pembahsannya mengenai sighoh akad, yang di dalamnya banyak pilihan atau
keringanan pada tatanan pelaksanaannya.48 (wallahu a‟lam)
Di akhir pembahasan, begitu banyak persoalan dalam pelaksanaan murabahah
ini yang perlu kita kaji ulang kembali agar substansi dari sistem tersebut sesuai
dengan tuntutan syariat, sehingga hukum islam/syariat islam benar-benar terpelihara
dari hal yang dapat merusaknya, salah satunya ialah adanya pencampuran antara hal
baik dan hal yang kotor.
D. Kesimpulan
Sebagaimana dibahas di atas, masih terdapat ketidaksesuaian antara konsep
dengan apa yang terjadi di lapangan mengenai pelaksanaan murabahah. Diantara
indikasi ketidaksesuaan itu adalah mengenai konsep murabahah bil wakalah (agen
kepada nasabah) yang jika tetap dipertahankan lebih mendekati pada jual beli yang
diharamkan, yaitu jual beli ma‟dum atau jual beli barang yang tidak ada pada
seseorang (penjual). Walaupun demikian, masih terdapat dispensasi mengenai
pembiayaan murabahah bil wakalah, yaitu jika pihak BMT berada dalam kemadharatan
apabila tidak menggunakan pelaksanaan murabahah dengan agen. Akan tetapi, kita
harus bijak untuk memaknai apa yang disebut keadaan madharat itu, pihak BMT tidak
boleh langsung mengaitkannya dengan alasan madharat dikarenakan ada kriteria
masing-masing mengenai madharat.
Indikasi selanjutnya dalam pelaksanan murabahah di BMT adalah pelaksanaan
pembiayaan murabahah pada objek yang berkelanjutan (roll over/evergreen), seperti
untuk modal kerja. Sedangkan jika kita teliti dengan seksama, pembiayaan
murabahah adalah kontrak jarak pendek (one short deal), untuk kasus pembiayaan
jangka panjang/Kontinue alangkah lebih sesuai menggunakan akad Mudharabah bukan
Murabahah.
Mengenai penetapan harga yang dilakukan oleh BMT, setelah dilakukan
penelusuran di bebarapa kitab yang membahas tentang jual beli, maka dapat
disimpulkan bahwa hal yang demikian itu boleh berdasarkan ketentuan syara‟.
Walaupun dalam pelaksanaannya sudah terdapat dinamisasi dari proses pelaksanaan
jual beli itu sendiri.
Dengan demikian, walaupun SDM dalam bidang muamalah sudah banyak,
namun masih terdapat indikasi adanya ketidaksesuaian antara konsep muamalah dan
khususnya dengan aplikasinya pada tatanan praktis di lapangan yang harus
senantiasa kita kaji dan bahas kembali agas senantiasa sesuai dengan sumber aslinya,
yaitu al-Quran dan as-Sunah. Besar harapan dalam menjalankan sistem ekonomi islam
kita tidak termasuk orang-orang yang disebutkan oleh Allah SWT yang terdapat
48
Lihat pembahsan mengenai akad di dalam kitab Fiqh „ala Madahibil „arba‟ah, karya Abdurrahman
al-Jaziry, terj. H. Zuhri, Semarang: CV. Asyifa‟, jilid III, hlm, 318-331
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 68
pada surat al-Baqarah ayat 85. Yaitu orang yang menjalankan sistem Islam secara
parsial tidak laksanakannya secara komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Al-Shabuni, Muhammad ,1980Sofwah al-Tafaasir, Beirut: Dar al-Quran al-Karim
------- ------- ,1993, Rawaai‟ul Bayan Tafsiiri Aayatil Ahkam (terjemahan). Semarang: CV
Adhi Gravika
al-Jaziry, Abdurrahman, 1994, kitab Fiqh „ala Madahibil „arba‟ah, karya, terj. H. Zuhri,
Semarang: CV. Asyifa‟,
al-Qardawi, Yusuf, 1987Bai‟ al-Murabahah li al-Amir bi asy-Syira‟ Kama Tajriyat al-Masharif
al-Islamiyyah, tp: Mathba‟ah Wahbah
Al-Quran dan Terjemah, Bandung: Diponegoro
Antonio, Muhammad Syafii 2011, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani
Ash-Shan‟ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani, tt, Subul as-Salam : Syarh Bulugh alMaram min Adillat al-Ahkam, Beirut : Dar al-Fikr
As-Syaukany, Imam, 1994, kitab Nailul Author, terj. KH Adib Bisry, Semarang: CV. AsSyifa
As-Syidiqi, Muhammad hasby, 2001, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, Semarang: PT
Petraya Mitrajaya
At-Thayyar, Abdullah bin Muhammad, dkk, 2009, Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam
Pandangan 4 Mazhab, Yogyakarta: Maktabah al-Hanif
Bigha, Musthafa Diibul,1994, Ikhtisar Hukum-hukum Islam Praktis, Semarang: CV As-Syifa
Fatwa DSN mengenai diskon no.16/DSN-MUI/IX/2000
Fawa DSN MUI. No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah
Hakim, Atang Abdul, 2011, Fiqih Perbankan Islam, Bandung: Refika Aditama
Hakim, Cecep Maskanul, 2011, Ekonomi Islam (catatan kritis terhadap dinamika perbankan
syariah di Indonesia), Jakarta: Suhuf
Hariri, Wawan Muhwan, 2011, Hukum Perikatan, Bandung: Pustaka Setia
Hendry, Arrison,1999, Perbankan Syari‟ah : Perspektif Praktisi, Jakarta : Mu‟amalat
Institute
Ibn Rusyd al-Qurtubi, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, t.t, Bidayat al-Mujtahid
wa Nihayat al-Muqtashid, Beirut : Dar al-Fikr
Ibnu Qudamah, Asy Syaikh Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah Bin Ahmad
Bin Muhammad ,tt, al-Mughni, tp: Dar al-Kitab al-„Arabi
Ibrahim bin Ali al-Fairuzz abadi al-Syirazi, tt, al- Muhadzab, tp: Dar al-Fikr
Kamus al-Munjid fi Lughoti wal A‟lam, 2008, Libanon: Dar al-Masyriq
Muhammad, 2005,
Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, Yogyakarta: Akademi
Manajemen YKPN
Rahman, Asjmuni A, 1976, Qawa‟idul Fiqhiyyah, Jakarta: Bulan Bintang
Sjahdeini, Sutan Remy, 2007, Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 69
Syafei, Rahmat, 2001 Figh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia
Tim Redaksi, 2008, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve
Undang-Undang No. 21 tahun 2008
Zuhaily, Wahbah, 1984, al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu, Damasakus: Tp
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 70
Download