BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Autis adalah gangguan perkembangan komunikasi (termasuk bahasa, perilaku yang terbatas dan berulang-ulang. keterbatasan kesukaan, aktivitas, imajinasi, dan respon abnormal terhadap rangsangan sensorik). Gejala autis biasanya muncul sebelum anak berusia tiga tahun antara lain dengan tidak adanya kontak mata, dan tidak responsif terhadap lingkungan (Linscheid et al., 2003) Angka kejadian autis di Indonesia pada tahun 2003 telah mencapai 152 per 10.000 anak (0,15 - 0,2%), meningkat tajam dibanding sepuluh tahun yang lalu yang hanya 2-4 per 10.000 anak (Prasetyono,2008). Sementara di Yogyakarta belum ada data yang akurat oleh karena belum ada pusat registrasi resmi untuk kejadian autis. Penyebab utama timbulnya autis memang belum diketahui, namun ada banyak teori yang diduga menyebabkan timbulnya kejadian autis. Salah satu teori yang banyak dikenal sebagai penyebab autis adalah teori opioid. Teori ini mengemukakan bahwa autis timbul dari beban yang berlebihan pada susunan saraf pusat oleh opioid pada saat usia dini. Opioid kemungkinan besar adalah eksogen dan merupakan perombakan yang tidak lengkap dari gluten dan kasein makanan (Sahley dan Panksepp cit Kasran, 2003). Penerapan diet bebas gluten dan kasein dianggap dapat meringankan kondisi anak autis. Diet bebas gluten dan kasein adalah pembatasan konsumsi makanan yang mengandung gluten dan kasein. Gluten adalah protein (prolamin) 1 yang terdapat pada beberapa jenis gandum-ganduman terutama wheats, rye, oat, dan barley. Sementara kasein adalah fosfo- protein yang terdapat pada susu dan produk olahannya. Terapi diet bebas gluten dan kasein memang sudah banyak diterapkan pada anak autis, namun sampai saat ini efek dari diet tersebut terhadap perubahan perilaku anak autis masih kontroversial. Beberapa penelitian menunjukkan ada perubahan pada perilaku anak autis, namun ada pula yang tidak. Ibu pada umumnya adalah orang yang berpartisipasi aktif dalam penanganan anak autis jika memiliki pengetahuan tentang penatalaksanaan terapi autis. Pengetahuan ibu tentang autis inilah yang menentukan keputusan orang tua untuk bersikap dan selanjutnya turut berpartisipasi dalam penanganan anak autis di rumah. Semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu tentang autis, ibu cenderung akan memberikan terapi yang dapat memperbaiki perilaku anak autis salah satunya yaitu dengan pemberian diet bebas gluten dan kasein. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mashabi dan Tajudin (2009) tentang pengetahuan gizi ibu dengan pola makan anak autis menunjukkan bahwa tinggi rendahnya tingkat pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi pola makan anak autis termasuk konsumsi gluten dan kasein. Diet bebas gluten dan kasein telah dikaitkan dengan risiko kesehatan, salah satu perhatian adalah peningkatan risiko gizi kurang. Berdasarkan penelitian Martiani, et al (2012), prevalensi anak autis dengan status gizi kurang di SLBN Semarang cukup tinggi yaitu 47,4% status gizi kurang, 31,6% status gizi normal dan 21,1% status gizi lebih. Sedangkan menurut Al-Farsi, et al., (2011) kejadian malnutrisi pada anak autis usia pra-sekolah di Oman adalah 9,2 per 100 2 anak. Dari 128 responden yang mengikuti penelitian tersebut tidak ada satu pun yang mengalami overweight ataupun obesitas. Menurut Al-Farsi et al., (2011), anak autis memiliki risiko kekurangan gizi yang diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain terapi diet ketat, gangguan perilaku makan, asupan makan yang terbatas, pengetahuan gizi orang tua, dan pengaruh obat-obatan. Selain itu, hasil penelitian dari Arnold et al., (2003) mengemukakan bahwa terdapat peningkatan risiko defisiensi asam amino pada anak dengan diet gluten dan kasein dibandingkan dengan anak autis tanpa diet dan kelompok kontrol (anak dengan gangguan perkembangan tanpa gejala autis). Dengan adanya pemberian diet bebas gluten dan kasein, anak autis akan terbatas dalam mengkonsumsi makanannya sehari-hari sehingga makanan yang dikonsumsi tidak bervariasi dan zat gizi makro maupun mikro yang seharusnya tersedia juga berkurang sehingga akan berdampak pada status gizi anak. Menurut UNICEF (1990), salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak autis adalah pengetahuan ibu. Ibu merupakan pelaku utama dalam keluarga pada proses pengambilan keputusan, terutama yang berhubungan dengan konsumsi pangan. Pengetahuan ibu tentang autis dan pemahaman yang benar dalam menjalankan terapi untuk anak autis akan sangat membantu dalam menjalankan peran ibu sehari-hari dalam merawat dan mempertahankan status gizi anak autis. Berdasarkan latar belakang diatas,maka penulis ingin mengetahui lebih lanjut mengenai hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian diet bebas gluten dan kasein dan status gizi pada anak autis. Diharapkan penelitian ini mampu bermanfaat bagi pengetahuan di bidang kesehatan, serta 3 diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menambah pengetahuan keluarga maupun orang tua dari anak autis sehingga dalam mengambil keputusan dalam pemberian terapi dapat didasarkan pada pengetahuan dan tidak menimbulkan dampak yang negatif bagi anak autis. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian diet bebas gluten dan kasein dan status gizi pada anak autis? C. Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Tujuan umum : Mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian diet bebas gluten kasein dan status gizi pada anak autis 2. Tujuan khusus: a. Mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian diet bebas gluten dan kasein pada anak. b. Mengetahui hubungan pemberian diet bebas gluten dan kasein dengan status gizi pada anak autis. c. Mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi pada anak autis. d. Mengetahui gambaran status gizi pada anak autis di SLBN Pembina, Samara Bunda, Marsudi Putra 1 dan Marsudi Putra 2. 4 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Ilmu Gizi dan Kesehatan Menambah ilmu dan wawasan tentang pengaruh pengetahuan ibu dengan pemberian diet bebas gluten kasein dan status gizi anak autis. 2. Bagi Peneliti Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman tentang penatalaksanaan bagi anak autis serta sebagai referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya. 3. Bagi Masyarakat Meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang pengaruh pengetahuan ibu dengan diet bebas gluten dan kasein dan status gizi pada anak autis bagi masyarakat pada umumnya dan bagi orang tua anak autis pada khususnya. E. Keaslian Penelitian 1. Pengetahuan dan Sikap Orang Tua Hubungannya dengan Pola Konsumsi dan Status Gizi Anak Autis oleh Martiani, et al (2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan sikap orang tua dengan pola konsumsi dan status gizi anak autis di SLB Negeri Semarang. Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan orang tua dengan status gizi dan pola konsumsi gluten kasein dan tidak ada hubungan antara sikap orang tua dengan status gizi anak autis. Namun, ada hubungan antara sikap orang tua dengan pola konsumsi gluten dan kasein pada anak autis. Persamaan : Melihat hubungan antara pengetahuan dengan pola konsumsi gluten dan kasein serta status gizi anak autis. Selain itu, metode penelitian yang digunakan sama yaitu cross sectional. 5 Perbedaan : Pada penelitian Martiani, et al (2012) dilakukan di Semarang. Sedangkan pada penelitian ini dilakukan di Yogyakarta. Selain itu, salah satu tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara pemberian diet bebas gluten dan kasein dengan status gizi pada anak autis. 2. Hubungan Perilaku Makan dan Asupan Gizi dengan Status Gizi Anak Autis di SLB Autisme Dian Amanah, SLB Samara Bunda, SLB Dharma Rena Ring Putra II dan SLB Negri III Yogyakarta oleh Atikah (2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku makan dan asupan gizi dengan status gizi anak autis. Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku makan tidak berhubungan dengan status gizi anak autis, sedangkan asupan energi dan asupan protein berhubungan dengan status gizi anak autis. Selain itu perilaku makan tidak berhubungan dengan asupan energi dan protein anak autis. Persamaan : Melihat status gizi anak autis. Selain itu, metode penelitian yang digunakan sama yaitu cross sectional. Perbedaan : Pada penelitian Atikah (2011), tujuan penelitian adalah untuk menilai status gizi anak autis dihubungkan dengan perilaku makan dan asupan gizi. Sedangkan pada penelitian ini, tujuan penelitian adalah menilai status gizi dihubungkan dengan pemberian diet bebas gluten dan kasein. 3. Plasma amino acids profiles in children with autism: Potential risk of nutritional deficiencies oleh Arnold, et al., (2003). Penelitian ini melihat tingkat kekurangan asam amino pada kelompok anak autis yang diberi diet, kelompok anak autis tanpa diet, dan kelompok kontrol yaitu anak dengan keterlambatan perkembangan tetapi tanpa gejala autis. 6 Hasil penelitian menunjukkan kekurangan asam amino akan lebih berisiko pada anak autis dibandingkan dengan kontrol. Kekurangan asam amino akan lebih berisiko pada kelompok anak autis dengan diet dibandingkan dengan kelompok anak yang tidak diberi diet. Persamaan : Melihat pengaruh pemberian diet bebas gluten dan kasein pada anak autis terhadap risiko malnutrisi. Perbedaan : Pada penelitian Arnold, et al., (2003), menggunakan desain penelitian cohort. Pengaruh diet dilihat dari kadar asam amino pada masingmasing kelompok. Sedangkan pada penelitian ini, menggunakan desain penelitian cross sectional. Pengaruh diet dilihat dari status gizi yang diukur menggunakan indeks antropometri IMT/U. 7