BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dunia

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Dunia pendidikan Indonesia dewasa ini dihadapkan pada beberapa
permasalahan serius, salah satu permasalahan tersebut adalah maraknya perilaku
bullying yang terjadi di lingkungan sekolah. Sekolah yang seharusnya menjadi
tempat yang aman dan nyaman bagi siswa untuk mendapatkan pendidikan dan
pengetahuan, justru menjadi tempat yang menakutkan.
Banyaknya perilaku bullying dalam bentuk fisik, verbal, relasional
maupun teknologi yang dilakukan oleh siswa, guru, serta komponen lainnya yang
berada di sekolah membawa dampak serius terhadap korban. Salah satu dampak
tersebut adalah dampak psikologis, seperti trauma yang berkepanjangan pada
siswa yang mendapatkan perlakuan tersebut hingga kasus bunuh diri yang
dilakukan siswa sekolah.
Hasil survey yang dilakukan oleh Latitude News menyebutkan bahwa
Indonesia termasuk dalam daftar negara dengan perilaku bullying tertinggi setelah
Jepang
(RI Masuk Kategori Tertinggi Kasus Bullying, 2012). Hasil tersebut
senada dengan data yang dikeluarkan oleh komisi perlindungan anak (KPAI)
tahun 2012, yang menyebutkan bahwa 87,6 % siswa mengaku pernah mengalami
kekerasan di lingkungan sekolah dalam berbagai bentuk. Kekerasan tersebut
dilakukan oleh guru, teman satu kelas, maupun teman lain kelas
2012).
(Badriyah,
2
Fakta lain yang juga menunjukan tingginya tingkat kekerasan yang terjadi
di sekolah didapatkan dalam sebuah riset yang dilakukan oleh LSM Plan
International dan International Center for Research on Women (ICRW) pada awal
maret 2015 yang menyebutkan bahwa terdapat 84% anak di Indonesia mengalami
kekerasan di sekolah (Qodar, 2015).
Tingginya intensitas perilaku bullying yang terjadi di lingkungan sekolah
ternyata tidak hanya ada pada sekolah yang berada di kota besar. Di daerah kecil
pun, juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Beberapa penelitian yang
dilakukan di kabupaten yang terletak di Karesidenan Madiun menunjukkan
indikasi bahwa perilaku bullying terjadi di beberapa sekolah yang ada daerah
tersebut (Mahmudi, 2012).
Rahendra (dalam Mahmudi, 2012) menyatakan bahwa 60 % siswa SMP
Negeri “X” di Maospati Karesidenan Madiun terindikasi merupakan pelaku dan
korban bullying. Dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa di setiap kelas yang ada
di sekolah tersebut terdapat geng pengelompokan teman. Penelitian yang lain
dilakukan juga oleh Novianti (2013) pada siswa SMP Negeri “X” di
Pilangkenceng Karesidenan Madiun berkenaan dengan pelanggaran-pelanggaran
siswa yang terjadi disana, dalam penelitian ini diungkapkan bahwa bullying dalam
bentuk pemalakan merupakan kasus yang seringkali dijumpai di sekolah tersebut.
Secara umum perilaku bullying merupakan perilaku agresif yang
setidaknya melibatkan tiga unsur, yaitu: pertama, perilaku yang dilakukan secara
sengaja untuk menyakiti seseorang dengan target yang spesifik. Kedua, perilaku
3
agresif tersebut terjadi berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama. Ketiga,
adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban (Olweus, 2003).
Coloroso (2007) mengemukakan terdapat empat bentuk perilaku bullying
yaitu fisik, verbal, relasional, dan elektronik. Dari keempat bentuk tersebut,
perilaku bullying secara fisik merupakan bentuk yang paling mudah diidentifikasi
dibandingkan bentuk lain. Perilaku bullying secara verbal merupakan bentuk
paling umum dilakukan seperti ejekan, dan cemoohan. Perilaku bullying secara
relasional dan elektronik merupakan bentuk perilaku bullying yang paling sulit
dideteksi tapi memiliki dampak yang sangat serius karena mampu melemahkan
harga diri siswa secara perlahan.
Bullying merupakan perilaku bermasalah yang dapat mengganggu
lingkungannya. Bagi pelaku, tindakan agresif yang ditunjukkan dalam perilaku
bullying merupakan bentuk aktualisasi dan manifestasi individu yang dipengaruhi
oleh faktor internal dari dalam dirinya serta faktor eksternal dari lingkungan
sekitar.
Beberapa teori yang dapat menjelaskan tentang perilaku bullying
diantaranya adalah teori belajar sosial Bandura yang menyatakan bahwa terdapat
tiga faktor utama yang saling berinteraksi dalam memengaruhi proses
pembelajaran siswa. Tiga faktor tersebut adalah perilaku, person/kognitif, dan
lingkungan (Bandura, 2001).
Penilaian siswa dalam menilai apakah sebuah perilaku agresi serta
intimidasi itu merupakan hal yang wajar atau tidak, dapat diperoleh dari proses
pengamatan terhadap perilaku agresif yang diperlihatkan orang lain (orang tua,
4
guru, saudara, maupun teman sebaya). Proses penilaian tersebut yang kemudian
terinternalisasi dalam kognitif siswa yang kemudian akan mempengaruhi perilaku
siswa dalam konteks sosialnya.
Teori berikutnya yang juga dapat menjelaskan fenomena bullying adalah
teori ekologi sosial Bronfenbrenner. Teori ini memandang bahwa bullying
merupakan sebuah fenomena sosial yang harus dipahami dalam konteks sosial
yang lebih besar (Espelage & Swearer, 2013). Siswa berada di pusat sistem sosial
dari beberapa bagian yang saling terkait yaitu microsystem, mesosystem,
exosystem, dan macrosystem.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, peneliti hanya menfokuskan
kepada dua sub sistem yang terdekat dengan siswa yaitu microsytem dan
mesosystem. Kedua sub sistem tersebut diyakini memiliki pengaruh terkuat dan
berhubungan langsung dengan perilaku anak (Boemmel & Briscoe, 2001).
Microsystem mengacu kepada lingkungan terdekat siswa dimana individu
menghabiskan lebih banyak waktu seperti keluarga, tetangga, maupun sekolah,
sedangkan mesosystem mengacu kepada hubungan yang terjadi antara dua atau
lebih microsystem yang berkembang.
Faktor pertama yang diindikasi dapat memengaruhi munculnya perilaku
bullying siswa di sekolah yang termasuk dalam microsystem adalah sekolah.
Sekolah yang merupakan tempat bertemunya siswa yang memiliki usia yang sama
akan memungkinkan terjadinya interaksi antara individu satu dengan individu
yang lain. Kondisi iklim sekolah serta peran aktif guru dalam melakukan
5
pengawasan terhadap siswa memiliki pengaruh terhadap kecenderungan siswa
melakukan bullying (Jacobs, 2006).
Perilaku semua orang yang terdapat dalam komponen sekolah serta
kebijakan yang dikeluarkan oleh sekolah merupakan faktor utama yang
mendorong
persepsi
siswa
terhadap
iklim
sekolah
nya.
Siswa
akan
mempersepsikan iklim sekolah secara positif jika seluruh komponen yang ada
dapat berfungsi secara harmonis. Sebaliknya siswa akan mempersepsikan iklim
sekolah secara negatif jika terdapat ketimpangan antara komponen-komponen
yang ada di sekolah.
Harel-Fisch dkk (2011) menyatakan bahwa sekolah yang dipersepsikan
memiliki iklim sekolah yang negatif, memiliki kemungkinan yang lebih besar
terhadap munculnya kecenderungan perilaku bullying dibandingkan dengan
sekolah yang dipersepsikan memiliki iklim sekolah yang positif. Hal yang serupa
juga disampaikan oleh Kasen, Berenson, Cohen, dan Johnson (2004) yang
menyatakan bahwa persepsi sekolah yang negatif akan memprediksi kemungkinan
lebih tinggi keterlibatan perilaku bullying di sekolah dibandingkan dengan
persepsi sekolah yang positif.
Pearce (2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa perilaku serta situasi
yang dapat mendorong munculnya persepsi negatif siswa terhadap iklim sekolah.
yaitu: perilaku moral staf atau karyawan yang rendah; pergantian (turnover) guru
yang tinggi; standar perilaku yang tidak jelas, metode disiplin yang tidak
konsisten; sistem administrasi atau pengelolaan yang kurang baik; pengawasan
yang tidak adekuat; dan kurangnya kesadaran dari siswa secara individu.
6
Hal lain yang berkaitan dengan iklim sekolah dan perilaku bullying yang
tidak kalah pentingnya adalah letak geografis sekolah. Bosworth, Espelage, dan
Simon (1999) menyatakan bahwa pada sekolah yang ada di daerah pinggiran kota
memiliki potensi lebih besar terhadap kecenderungan perilaku bullying
dibandingkan dengan sekolah yang berada di kota. Studi yang serupa dilakukan
oleh Seals dan Young (2003) yang menemukan bahwa 24 persen siswa yang
terletak di lima daerah kecil yang berada di Mississipi merupakan pelaku dan
korban bullying.
Faktor kedua yang juga termasuk dalam sub sistem mikro yang diindikasi
juga dapat memengaruhi perilaku bullying siswa di sekolah yaitu keluarga
(Pearce, 2002). Keluarga merupakan predisposisi seorang anak melakukan
bullying. Sikap dan emosi yang negatif dari orangtua dan bentuk pola asuh yang
kurang memberikan kehangatan serta kurangnya keterlibatan langsung orangtua
dalam hal pengasuhan dapat menyebabkan seorang anak berperilaku agresif.
Keluarga yang menggunakan perilaku-perilaku agresif sebagai cara untuk
mendisiplinkan anak, akan membuat anak belajar dan meniru perilaku tersebut.
Dalam diri anak akan terbentuk sebuah pemaknaan bahwa perilaku agresif adalah
perilaku yang wajar dan bisa diterima dalam sosialisasi dan interaksinya dengan
orang lain (O`Connell, 2003).
Pola asuh yang diterapkan dalam sebuah keluarga akan memberikan warna
pada perkembangan anak selanjutnya. Secara lebih rinci berkenaan dengan pola
asuh orangtua, Baumrind (2005) mengklasifikasikan bentuk perlakuan orangtua
kepada anak menjadi empat kelompok yaitu pola asuh authoritative, pola asuh
7
authoritarian, pola asuh permissive, dan pola asuh uninvolved. Meskipun
demikian, penerapan bentuk pola asuh yang digunakan orang tua dalam
kehidupan sehari-hari mayoritas merupakan kombinasi dari semua pola asuh yang
ada (Baumrind, dalam Santrock 1998). Hanya terdapat satu jenis pola asuh yang
terlihat lebih dominan dibandingkan pola asuh yang lain dan sifatnya hampir
stabil sepanjang waktu.
Pengkategorian bentuk pola asuh menurut Baumrind didasarkan kepada
tingkat responsiveness atau pemberian bantuan dan dukungan kepada anak, serta
tingkat demandingness atau tuntutan orang tua kepada anak. Perilaku bullying
seringkali muncul pada anak yang diasuh dengan bentuk pengasuhan yang
memiliki tingkat demandingness tinggi serta tingkat responsiveness yang rendah.
Kondisi ini dapat ditemui pada bentuk pola pengasuhan authoritarian / otoriter.
Orangtua dengan bentuk pengasuhan otoriter cenderung untuk bersikap
kaku dan menetapkan disiplin yang ketat terhadap anak. Orangtua selalu menuntut
kepatuhan anak sehingga anak tidak memiliki kebebasan untuk berbuat sesuai
keinginan dan kemampuan sendiri. Apabila anak tidak sesuai dengan keiinginan
orangtua, tidak jarang mereka akan mendapatkan hukuman fisik atau celaan dari
orangtua. Kondisi pengasuhan seperti ini akan berpotensi memunculkan perilakuperilaku bermasalah pada anak.
Beberapa
penelitian
menunjukkan
hasil
yang
signifikan
bahwa
keotoriteran pola asuh yang diterapkan orang tua akan cenderung memunculkan
perilaku-perilaku agresif. Penelitian tersebut diantaranya adalah penelitian yang
dilakukan oleh Palmer dan Hollin (2001) yang mengemukakan bahwa anak
8
dengan pola pengasuhan otoriter cenderung memiliki hubungan positif signifikan
dengan perilaku kenakalan remaja dibandingkan dengan pola pengasuhan yang
lain. Baldry dan Farrington (2000) juga menemukan hal yang sama dimana pola
asuh orangtua yang otoriter dan ketidakcocokan antara anak dengan orangtua
memiliki korelasi positif dengan perilaku bullying pada anak.
Dari dua faktor mikro yang memengaruhi perilaku bullying siswa di
sekolah seperti yang sudah dipaparkan diatas kemudian akan saling berhubungan
dalam sub sistem berikutnya yaitu mesosystem. Pengalaman yang didapatkan oleh
siswa dari penerapan pola asuh orang tua serta penilaian siswa terhadap iklim
sekolah akan melatarbelakangi munculnya perilaku siswa. Siswa yang memiliki
persepsi yang positif terhadap penerapan pola asuh orang tua serta iklim sekolah,
akan cenderung berperilaku adaptif. Sebaliknya siswa yang memiliki persepsi
yang negatif terhadap penerapan pola asuh orang tua serta iklim sekolah, akan
cenderung berperilaku maladaptif.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa iklim sekolah
dan keotoriteran pola asuh orangtua menjadi hal yang penting dalam menentukan
munculnya perilaku bullying di sekolah. Persepsi siswa terhadap iklim sekolah
dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seorang siswa dalam proses interaksi di
sekolah. Kondisi yang sama berlaku juga pada bentuk keotoriteran pola
pengasuhan orangtua terhadap anak, persepsi anak terhadap keotoriteran pola
pengasuhan dari orangtua akan berpengaruh terhadap proses pembentukan
karakter serta perilaku siswa di rumah maupun di lingkungan sekolah.
9
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan penelitian di atas, maka rumusan
permasalahan yang diajukan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah apakah
iklim sekolah dan keotoriteran pola asuh orangtua dapat berperan terhadap
munculnya perilaku bullying di sekolah menengah pertama.
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik,
sejauh mana peran antara iklim sekolah, keotoriteran pola asuh orangtua terhadap
munculnya perilaku bullying yang terjadi di sekolah menengah pertama. Secara
khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk menguji secara empirik peran iklim sekolah terhadap munculnya
perilaku bullying yang terjadi di sekolah menengah pertama
2.
Untuk menguji secara empirik peran keotoriteran pola asuh orangtua terhadap
muculnya perilaku bullying yang terjadi di sekolah menengah pertama
3.
Untuk menguji secara empirik peran simultan antara iklim sekolah dan
keotoriteran pola asuh orangtua terhadap munculnya perilaku bullying di
sekolah menengah pertama
D. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis penelitian ini adalah untuk menambah khasanah ilmu
psikologi khususnya psikologi pendidikan yang berkaitan dengan perilaku
bullying di sekolah, pola asuh orangtua, serta iklim sekolah.
10
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan
masukan bagi orangtua maupun pendidik dalam upaya meminimalkan munculnya
perilaku bullying di sekolah.
E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian dengan menggunakan dua variabel yaitu iklim sekolah dan
keotoriteran pola asuh orang tua secara bersama-sama dalam mempengaruhi
munculnya perilaku bullying di sekolah menengah pertama, sepengetahuan
peneliti belum pernah ada. Penelitian tentang perilaku bullying yang pernah
dilakukan adalah sebagai berikut :
a.
Magfirah dan Rachmawati (2009) meneliti hubungan antara iklim sekolah
dengan kecenderungan perilaku bullying. Hasil penelitian yang diperoleh
menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara
iklim sekolah dengan kecenderungan perilaku bullying. Perbedaan dengan
penelitian peneliti, dalam penelitian ini peneliti tidak hanya menggunakan
satu variabel saja dalam menentukan faktor-faktor yang menjadi prediktor
dalam mempengaruhi munculnya perilaku bullying di sekolah melainkan
menggunakan dua faktor yaitu iklim sekolah dan keotoriteran pola asuh orang
tua.
b.
Megan, Cornell, Gregory, dan Fan (2010) meneliti hubungan persepsi siswa
terhadap iklim sekolah untuk mendukung serta mendorong kemauan siswa
mencari bantuan pada perilaku bullying dan ancaman kekerasan. Hasil
penelitian yang diperoleh menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
11
persepsi siswa terhadap iklim sekolah dan kemauan siswa untuk mencari
bantuan baik pada tingkat individu siswa maupun tingkat organisasional
sekolah guna menekan munculnya perilaku bullying. Perbedaan dengan
penelitian peneliti, Penelitian ini menitikberatkan pada sisi korban bullying,
sejauh mana persepsi siswa korban bullying terhadap iklim sekolah dapat
mendorong mereka untuk meminta bantuan kepada pihak sekolah.
c.
Wahyuni (2010) meneliti tentang Hubungan antara Persepsi terhadap Pola
Asuh Otoriter Orangtua dan Kemampuan Berempati dengan Kecenderungan
Berperilaku Bullying Pada Remaja. Hasil penelitian yang diperoleh
menyimpulkan bahwa persepsi remaja terhadap pola asuh otoriter memiliki
hubungan dengan kecenderungan perilaku bullying. Orangtua yang otoriter
dalam mendidik remaja akan meningkatkan kecenderungan seorang remaja
melakukan bullying. Selain itu, kemampuan berempati remaja memiliki
hubungan negatif dengan kecenderungan berperilaku bullying. Perbedaan
dengan penelitian peneliti, Penelitian ini menggunakan variabel independent
kemampuan
berempati
sebagai
variabel
kedua
yang
memprediksi
kecenderungan perilaku bullying, disamping variabel pola asuh orangtua
otoriter. Sedangkan pada penelitian peneliti, untuk memprediksi munculnya
perilaku bullying, maka peneliti melibatkan variabel persepsi siswa terhadap
iklim sekolahnya serta persepsi siswa terhadap keotoriteran pola asuh orang
tua yang memungkinkan peneliti untuk melihat sejauh mana peran kedua
faktor tersebut secara simultan.
12
d.
Annisa (2012) meneliti tentang Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Perilaku
Bullying Remaja. Hasil penelitian yang diperoleh menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh ibu dengan perilaku
bullying remaja. Hal ini berarti bahwa perilaku bullying pada remaja
dipengaruhi oleh pola asuh ibunya. Perbedaan dengan penelitian peneliti,
dalam penelitian ini peneliti ingin mendapatkan gambaran yang spesifik
terhadap keotoriteran pola asuh orangtua baik yang diterapkan ibu maupun
ayah. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh gambaran persepsi yang utuh
seorang anak terhadap pola pengasuhan kedua orangtuanya.
e.
Putik (2014) meneliti Hubungan Pola Asuh Otoriter dan Intensitas Bermain
Game Online dengan Perilaku Bullying pada Remaja di Sekolah. Hasil
penelitian yang diperoleh menyimpulkan bahwa secara simultan ataupun
parsial, pola asuh otoriter dan intensitas bermain game online secara
signifikan memiliki hubungan dengan perilaku bullying siswa di sekolah.
Perbedaan dengan penelitian peneliti, dalam penelitian ini peneliti
menggunakan satu variabel yang berbeda, yaitu iklim sekolah sebagai
variabel bebas. Hal ini dimaksudkan agar perilaku bullying yang terjadi di
sekolah tidak hanya dilihat dari luar lingkungan sekolah melainkan juga
didapat dari gambaran persepsi siswa saat di dalam sekolah itu sendiri.
Berdasarkan beberapa penelitian di atas, peneliti berkesimpulan bahwa
penelitian yang akan dilakukan peneliti berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya. Perbedaan penelitian ini yang pertama adalah terletak pada tempat
dan subjek yang terlibat dalam penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti.
13
Belum ditemukan penelitian tentang peran iklim sekolah dan keotoriteran pola
asuh orang tua terhadap peilaku bullying yang di lakukan di SMP “X” Maospati
yang berada di Karesidenan Madiun. Perbedaan yang kedua terletak pada
pemilihan variabel yang berbeda dengan penelitian sebelumnya untuk mengetahui
faktor-faktor yang memengaruhi munculnya perilaku bullying di sekolah, dalam
penelitian ini peneliti menggunakan variabel iklim sekolah dan keotoriteran pola
asuh orang tua.
Download