Templat tesis dan disertasi

advertisement
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gnathostomaspp. merupakan nematoda usus pada karnivora yang dapat
menyebabkan gnathostomiasis pada manusia. Manusia merupakan inang paratenik
dan dapat terinfeksi karena memakan inang antara yang mengandung kista larva
tahap 3 (L3) dari Gnathostoma sp., dan tidak dimasak dengan
baik(Saksirisampant et al.2001).Jenis-jenis hewan yang berpotensi sebagai inang
antara tersebut antara lain ikan air tawar, katak, unggas dan ular(Saksirisampant et
al.2001).Spesies dominan penyebab gnathostomiasis pada manusia adalah
Gnathostoma spinigerum, dengan inang antaranya antara lain belut rawa
(Monopterus alba). Hal ini terbukti dari hasil identifikasi bahwa hampir semua
Gnathostoma yang ditemukan pada Gnathostomiasis pada manusia umumnya
adalah G. Spinigerum. Parasit inimemiliki penyebaran di wilayah beriklim tropis
basah, khususnya Asia Tenggara seperti Thailand dan Vietnam yang memiliki
tingkat prevalensi gnathostomiasis pada manusia tertinggi, karena kebiasaan
mereka dalam mengkonsumsi ikan secara mentah.
Parasit ini telah menyebabkan kerugian ekonomis yang cukup besar pada
usaha ekspor ikan belut Indonesia ke Cina. Kantor berita Xin Hua melaporkan
bahwa pada tanggal 17 Mei 2011 Jawatan Pemeriksaan dan Karantina Barang
Ekspor dan Impor Shanghai Tiongkok mengumumkan keberadaan Gnathostoma
dalam belut yang diimpor dari Indonesia dan Filipina. Hasil analisis
laboratoriummenunjukkan semua Gnathostoma yang ditemukan adalah patogenik
terhadap manusia. Bandar Shanghai kini mengusulkan untukmenghentikan impor
belut dari Indonesia.Ditemukannya Gnathostomasp. pada belut Indonesia tidak
hanya membuat kerugian ekonomis, tetapi juga menimbulkan potensi adanya
penyakit gnathostomiasispada manusia di Indonesia.
Kerugian ekonomis dan potensi timbulnya gnathostomiasis dapat ditekan
melalui program pengendalian parasit baik pada inang antara maupun inang
definitif. Oleh karenanya, keberhasilan program pengendalian harus ditunjang
oleh metode diagnosis yang akurat. Metode diagnosis yang dilakukan sampai saat
ini terhadap inang definitif, inang antara terutama belut dan ikan air tawar lainnya,
dan manusia sebagai inang paratenik umumnya menggunakan cara
konvensional.Diagnosis konvensional dilakukan dengan menemukan telur cacing
pada feses inang definitif, dan penemuan kista L3 Gnathostomasp.pada jaringan
tubuh, seperti organ dalam, daging, dan lain-lain dari inang antara khususnya ikan
dan inang paratenik. Proses pembedahan diperlukan untuk menemukan bentukan
kista berisi L3 maupun L3 yang bermigrasi dari cacing ini. Metode ini
mempunyai sensitifitas yang rendah karena sulit untuk menemukan bentukan dari
cacing ini. Diagnosis klinis gnathostomiasis pada manusia jarang dilakukan, dan
keakuratan diagnosis ini sangat rendah, karena gambaran gnathostomiasis sangat
sulit dibedakan dengan parasitosis lainnya seperti Angiostrongyliasis,
trichinellosis dan larva migran kutaneus yang disebabkan oleh parasit
lain(Chaicumpa 2010).
Pengembangan metode diagnosis gnathostomiasis berbasis immunologi dan
molekuler dengan akurasi, sensitifitas dan spesifitas tinggi diperlukan baik untuk
2
diagnosa dini maupun konfirmatori. Pengujian berbasis antigen untuk diagnosis
gnathostomiasis pada inang definitif, inang antara maupun manusia menggunakan
antibodi spesifik terhadap parasit ini sebagai reagen penangkap antigen belum
banyak dikembangkan di dunia dan bahkan belum dilakukan di Indonesia. Hal ini
disebabkan kurangnya konsentrasi protein antigen G. spinigerum pada inang,
karena umumnya jumlah spesimen L3 G. spinigerum yang masuk ke dalam tubuh
inang sangat sedikit. Beberapa pengujian imunologis berdasarkan deteksi antibodi
telah dikembangkan di Thailand untuk diagnosis diferensial gnathostomiasis pada
manusia dengan penyakit parasitik lainnya. Deteksi antibodi ini merupakan
diagnosis gnathostomiasis presumtif yang sensitif, tetapi kebanyakan pengujian
memberikan hasil spesifitas yang rendah terhadap komponen antigenik umum
yang dimiliki oleh Gnathostoma spp. dengan parasit lain, atau sering mengalami
reaksi silang dengan antigen yang dimiliki oleh parasitik lain. Untuk itu, protein
antigen spesifik dari Gnathostoma perlu dicari. Antigen dalam bentuk murni atau
protein rekombinan parasit dari antigenisitas yang sama dengan bagian antigen
alami dapat meningkatkan spesifisitas diagnosis gnathostomiasis berbasiskan
pengujian antibodi.
Sumber antigen untuk imunodiagnostik nematoda yang paling banyak
digunakan adalah ekstrak jaringan cacing (somatik). Produk Ekskretori-Sekretrori
(ES) mulai banyak digunakan semenjak dua dekade terakhir (Saksirisampant et al.
2001). Protein antigen ES mempunyai sifat yang lebih dapat dikenali oleh sistem
tanggap kebal daripada antigen somatik dan antigen permukaan (Chaicumpa
2010).
Perumusan Masalah
Karakterisasi protein antigen produk ES L3 G. spinigerum yang spesifik,
yang berasal dari produk Ekskretori-Sekretori (ES) larva diperlukan untuk
pengembangan metode diagnosis G. spinigerum. Kandidat protein antigen ES
yang ditemukan diharapkan dapat dikembangkan sebagai metode diagnosis yang
lebih cepat dan akurat pada inang antara dan manusia.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi protein antigen spesifik
produk ekskretori sekretori Larva 3 Gnathostoma spinigerum (ES-L3-Gs) melalui
reaksi antara antigen ES-L3-Gs dengan antibodi poliklonal IgG kelinci anti ESL3-Gsmenggunakann teknik immunoblotting.
Manfaat Penelitian
Hasil karakterisasi protein antigen produk ES L3 G. spinigerum untuk
jangka pendek diharapkan dapat digunakan sebagai protein antigen produk ES L3
G. spinigerum spesifik untuk mendeteksi keberadaan dari antibodi anti G.
spinigerum. Manfaat jangka panjang dari hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi dasar pencarian komponen sekuens peptida protein G. spinigerum yang
3
spesifik. Lebih jauh lagi hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan
metode
immunodiagnostik
maupun
molekuler
untuk
mendiagnosis
gnathostomiasis pada inang definitif, inang antara, khususnya ikan, dan manusia
sebagai inang paratenik.
Download