124 BAB III METODE PENELITIAN Bab ini menjelaskan bagaimana

advertisement
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini menjelaskan bagaimana proses penelitian ini dilaksanakan sehingga
mendapatkan hasil seperti yang dikehendaki. Hal-hal yang akan dijelaskan dalam bab
ini meliputi (a) sasaran dan lokasi penelitian, (b) Ranah penelitian, (c) jenis dan bentuk
penelitian, (d) jenis data dan sumber data, (e) teknik sampling, (f) kriteria informan, (g)
metode pengumpulan data, (h) parameter dan konteks kritik, (i) materi kritik dan
konteksnya, (j) validitas data penelitian, (k) metode analisis data, (l) prosedur analisis
data.
3.1. Sasaran dan Lokasi Penelitian
Masyarakat yang menjadi sasaran penelitian dalam disertasi ini adalah
masyarakat Jawa Timur dengan subkultur budaya Arek yang berpusat di Surabaya.
Masyarakat budaya Arek di Surabaya pada umumnya memiliki ciri (a) berbahasa ibu
bahasa Jawa dialek Surabaya (bahasa suroboyoan) dan (b) dalam interaksi yang bersifat
lokal-kedaerahan cenderung menilai segala macam perilakunya (termasuk perilaku
verbal) berdasarkan nilai-nilai/ norma budaya Arek. Sebagaimana dijelaskan di atas,
masyarakat budaya Arek cukup menarik diteliti karena memiliki karakteristik yang
khas, yang agak berbeda dengan kelompok masyarakat Jawa lainnya, khususnya Jawa
Mataraman. Masyarakat budaya Arek dikenal lebih terbuka, egaliter, mau menerima
perbedaan dan masukan, memiliki solidaritas yang tinggi, serta menerapkan prinsip
yoopo enake (bagaimana enaknya). Menarik diamati apakah karakteristik masyarakat
budaya Arek yang khas ini akan memperlihatkan warna yang khas pula berkenaan
dengan perilaku kritik mereka.
3.2 Ranah Penelitian
Dalam masyarakat budaya Arek, kritik bisa terjadi dalam berbagai ranah
kehidupan. Kritik bisa terjadi dalam ranah pendidikan, mulai dari pendidikan dasar
sampai dengan perguruan tinggi. Kritik bisa terjadi di antara guru dan murid, mahasiswa
dan dosen, atau di antara guru-guru dan dosen-dosen sendiri. Kritik bisa juga terjadi di
dalam ranah perkantoran. Kritik bisa dilakukan oleh atasan kepada bawahan, bawahan
kepada atasan, atau di antara pegawai atau karyawan itu sendiri. Kritik juga bisa terjadi
di dalam ranah kemasyarakatan, di antara para warga di sebuah kampung, atau antara
124
125
ketua RT dan warga, dan sebaliknya. Kritik mungkin juga bisa terjadi di dalam ranahranah yang lain seperti ranah politik, militer, perdagangan, keagamaan, dan masih
banyak ranah-ranah yang lain.
Mengingat terbatasnya waktu yang tersedia, kajian dalam penelitian ini tidak
mungkin bisa menjangkau seluk-beluk kritik pada seluruh ranah kehidupan dalam
masyarakat budaya Arek tersebut. Oleh karena itu, kajian dalam penelitian ini hanya
difokuskan pada tindak tutur mengkritik yang terjadi dalam ranah perkantoran dan
ranah kemasyarakatan. Yang dimaksud ranah perkantoran adalah ranah yang mencakup
interaksi kemunikasi di antara para pegawai atau karyawan di lingkungan perkantoran.
Materi yang menjadi bahan kritik adalah hal-hal yang berkenaan dengan urusan
perkantoran. Sementara itu, yang dimaksud ranah kemasyarakatan adalah ranah yang
meliputi interaksi komunikasi sehari-hari yang bersifat informal dan nonkedinasan yang
terjadi di antara warga di lingkugan Rukun Tetangga atau RT di wilayah masyarakat
budaya Arek. Materi yang menjadi bahan kritik adalah hal-hal yang berkenaan dengan
urusan atau masalah-masalah kemasyarakatan yang terjadi di lingkungan warga RT.
Dua ranah tersebut dipilih sebagai ranah penelitian karena sangat menarik untuk
dilihat bagaimana pengaruh parameter ( P), ( D), dan ( Pu) dalam kedua ranah
tersebut terhadap pemilihan strategi-strategi kritik, formula semantik, dan lain-lain.
Sebagaimana dipahami, dalam ranah perkantoran, peranan coercive power cenderung
sangat kuat, sementara dalam ranah kemasyarakatan, peranan coercive power cenderung
tidak begitu kuat. Oleh karena itu, menarik untuk diamati, apakah jenis power yang
berbeda itu berpengaruh terhadap pemilihan strategi-strategi kritik (strategi MKH dan
MKV) yang pada akhirnya berpengaruh juga pada intensitas aktivitas kontrol sosial
dalam kedua ranah tersebut.
3.3 Jenis dan Bentuk Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif karena
bertujuan menggambarkan atau memerikan secara rinci dan mendalam tentang kritik
dalam fungsinya sebagai sarana kontrol sosial dalam masyarakat budaya Arek di
Surabaya dewasa ini. Metode penelitian kualitatif ini digunakan karena yang ditekankan
dalam penelitian ini adalah deskripsi proses tentang mengapa dan bagaimana tindak
tutur mengkritik itu diekspresikan, yang mengarah pada pemahaman tentang makna.
Penelitian ini dapat dikatakan juga sebagai penelitian yang berjenis etnografi karena
126
yang dikaji adalah kritik dalam konteks masyarakat budaya tertentu, yakni budaya Arek
di Surabaya.
Semua penelitian kualitatif pada dasarnya berbentuk studi kasus. Hal ini
disebabkan penelitian kualitatif selalu bersifat kontekstual dan tidak pernah ada upaya
atau pemikiran untuk melakukan generalisasi (Sutopo, 2006: 136). Berdasarkan
kerangka berpikir itu, maka bentuk penelitian ini pun termasuk studi kasus. Selanjutnya,
penelitian yang berbentuk studi kasus ini dapat dilakukan secara terpancang, dapat pula
dilakukan secara tidak terpancang. Penelitian ini termasuk kategori studi kasus yang
bersifat terpancang karena penelitian ini sudah memiliki arah dan fokus tertentu yang
jelas yang dijadikan sebagai sasaran dalam penelitian. Berikutnya, studi kasus dapat
juga dibedakan menjadi studi kasus tunggal dan studi kasus ganda. Penelitian ini
termasuk studi kasus tunggal karena masyarakat Jawa yang menjadi sasaran penelitian
ini secara sosio-kultural memiliki karakteristik yang relatif homogen, yakni masyarakat
budaya Arek.
3.4 Jenis Data dan Sumber Data
Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang dikemukakan di
atas, data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa
jenis, yaitu data yang mencerminkan pandangan (persepsi) masyarakat budaya Arek
terhadap kritik, data tentang strategi yang digunakan untuk melakukan kritik
(MKH/MKV), dan persebarannya atau distribusinya dalam berbagai konteks situasi.
Ketiga jenis data ini diperlukan untuk menjawab masalah penelitian yang pertama.
Selanjutnya, untuk menjawab masalah penelitian yang kedua, data yang dibutuhkan
adalah data yang berupa konteks yang merefleksikan kapan kritik itu (dengan strategi
MKV) sebaiknya dikemukakan secara pribadi (-Pu) dan kapan kritik itu boleh atau
bahkan seyogyanya dikemukakan secara terbuka (+Pu). Berikutnya, untuk menjawab
masalah penelitian yang ketiga, data yang dibutuhkan adalah data yang berupa tuturan
kritik yang merefleksikan penggunaan strategi kritik langsung (KL) dan tidak langsung
(KTL) beserta konteks pemakaiannya. Sementara itu, untuk menjawab masalah
penelitian yang keempat, data yang dibutuhkan adalah data yang berupa tuturan kritik
yang merefleksikan berbagai macam formula semantik, aneka pemarkah lingualnya, dan
konteks pemakaiannya. Terakhir, untuk menjawab pertanyaan yang kelima, data yang
dibutuhkan adalah data yang berupa tuturan kritik yang memperlihatkan berbagai
127
bentuk lingual yang berfungsi sebagai modifier dan alat-alat kesantunan kritik lainnya
yang mempengaruhi kesantunan kritik. Semua jenis data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini berasal dan diperoleh dari satu sumber, yaitu informan. Oleh karena itu,
informan dalam penelitian ini mempunyai peranan yang sangat penting.
3.5 Sampling
Sampling berkaitan dengan pemilihan dan pembatasan jumlah serta jenis dari
sumber data yang akan digunakan dalam penelitian. Sampel dalam penelitian kualitatif
tidak dimaksudkan untuk mewakili populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif,
tetapi dimaksudkan untuk mewakili informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.
Informasi yang lengkap dan mendalam tidak harus digali dari informan yang jumlahnya
banyak. Informan yang jumlahnya terbatas pun sangat dimungkinkan dapat memberikan
informasi yang lengkap dan mendalam. Oleh karena itu, yang dipentingkan dalam
penelitian kualitatif adalah kelengkapan dan kedalaman informasinya, bukan jumlah
informannya (Sutopo, 2006).
Karena yang dipentingkan adalah kedalaman dan kelengkapan informasi, maka
tidak semua anggota masyarakat budaya Arek berpeluang menjadi informan. Anggota
masyarakat budaya Arek yang berpeluang menjadi informan hanyalah anggota
masyarakat yang memenuhi kriteria atau persyaratan tertentu (kriteria informan lihat
seksi 3.6). Informan yang memenuhi syarat diharapkan dapat memberikan informasi
yang lengkap dengan tingkat kedalaman yang betul-betul dibutuhkan oleh peneliti.
Dalam kaitan ini, informan yang memenuhi syarat bisa jadi cukup banyak jumlahnya
dan tersebar di berbagai tempat di wilayah budaya Arek, akan tetapi tidak mungkin
semuanya dijadikan informan. Oleh karena itu, informan yang memenuhi syarat itu
dipilih lagi secara terbatas dan pemilihan itu dilakukan secara purposif (purposive
sampling).
3.6 Kriteria Informan
Sebagaimana dikemukakan di atas, informan dalam penelitian ini tidak dipilih
secara acak, tetapi diseleksi secara purposif berdasarkan kriteria tertentu. Karena
penelitian ini dilaksanakan dalam dua ranah, yaitu perkantoran dan kemasyarakatan,
maka persyaratan informan pun disesuaikan dengan kedua ranah tersebut. Dalam ranah
perkantoran, informan ditentukan dengan syarat (a) anggota masyarakat budaya Arek,
128
(b) memiliki wawasan yang cukup memadai tentang nilai-nilai dan norma budaya Arek,
(c) tidak pernah bertempat tinggal di luar wilayah budaya Arek selama dua tahun
berturut-turut, (d) pegawai kantor tertentu di wilayah budaya Arek (e) bersedia menjadi
informan dan (f) memiliki waktu yang cukup untuk membantu peneliti dalam proses
pengumpulan data. Dalam ranah kemasyarakatan, informan sesungguhnya ditentukan
dengan syarat yang sama dengan informan dalam ranah perkantoran. Hanya saja
terdapat satu perbedaan, yaitu bahwa informan dalam ranah kemasyarakatan tidak harus
pegawai kantor tertentu, tetapi harus aktif dalam kegiatan kemasyarakatan atau
organisasi kemasyarakatan, khususnya di lingkungan RT tempat informan tinggal.
Seorang informan bisa menjadi informan dalam ranah kemasyarakatan sekaligus ranah
perkantoran apabila dia ternyata seorang pegawai kantor tertentu dan sekaligus aktif
dalam kegiatan kemasyarakatan di lingkungan RT tempat dia tinggal. Dengan kriteria
informan seperti di atas, diharapkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat
digali secara tepat dan mendalam.
3.7 Metode Pengumpulan Data
Dalam studi linguistik pragmatik, metode pengumpulan data pada umumnya
dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu (1) observasi dan (2) elisitasi. Metode observasi
lebih berkenaan dengan pendekatan etnografis dan pendekatan natural yang sering
melibatkan catatan lapangan dan perekaman. Pendekatan ini berasal dari antropologi
dan berfokus pada perilaku komunikasi anggota masyarakat yang dilihat secara natural.
Kelebihan dari metode observasi di antaranya adalah data bersifat spontan, otentik, dan
memiliki tingkat kealamiahan yang tinggi.
Metode elisitasi dapat dibedakan menjadi dua subkategori, (a) interview dan (b)
Discourse Completion Tasks (DCT, Tugas Melengkapi Wacana). Interview biasanya
dilakukan kepada sejumlah informan yang ditentukan dengan persyaratan tertentu
sesuai dengan kepentingan penelitian. Interview bisa dilakukan secara individual, tetapi
bisa juga dilakukan secara berkelompok dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD).
DCT merupakan cara lain untuk mengelisitasi data. Pada format awal, DCT dirumuskan
dalam bentuk dialog pendek yang disertai dengan slot kosong. Slot kosong inilah yang
harus diisi oleh informan dengan tindak tutur tertentu dan oleh peneliti kemudian
dijadikan sebagai data penelitian. Blum-Kulka, et.al: (1989: 14) memberikan contoh
129
DCT format awal ini sebagai berikut, yang dimaksudkan untuk mengelisitasi data
request.
Jack missed a class the day before, and would like to borrow Judith‟s notes.
Jack :________________________________________________________
_____________________________________________________________
Judith: Sure, but let me have them back before class next week.
Format awal DCT itu kemudian dimodifikasi oleh Rintell dan Mitchell (1989).
Dalam versi modifikasi itu, DCT tidak lagi berisi dialog pendek, tetapi berisi deskripsi
tentang situasi tertentu. Dalam hal ini informan diminta membayangkan berperan
sebagai penutur dengan kedudukan tertentu, status sosial tertentu, atau power tertentu
(role play) dan memiliki social distance tertentu dalam kaitannya dengan petutur sesuai
dengan yang digambarkan dalam deskripsi situasi dalam DCT. Informan betul-betul
diminta menghayati peran yang dimainkannya, seolah-olah itu adalah kejadian nyata
dan kemudian informan diminta melakukan tindak tutur tertentu sesuai dengan peran
yang dimainkan. Tindak tutur inilah yang kemudian oleh peneliti dijadikan sebagai data
penelitian. Rintell dan Mitchell, 1989: 251) memberikan contoh DCT hasil modifikasi
itu sebagai berikut.
Jack, a student, was sick and missed one of the classes of the course he is
enrolled in. He would like to borrow another student‟s note. The other studen‟s
name is Judith. Imagine you are Jack! What do you say to get Judith to lend you
her notes for the class you missed?
_______________________________________________________________
Yang penting ditekankan dalam membuat deskripsi situasi adalah semua
variabel sosial yang menjadi pertimbangan penting dalam kajian harus tergambar
dengan jelas. Jika gambaran itu tidak jelas, maka hal itu bisa menyulitkan informan
dalam mengambil peran. Akibatnya adalah tindak tutur yang dibuat oleh informan tidak
tepat dan bisa menjadi data yang tidak valid dalam penelitian.
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah
metode elisitasi (DCT). Hal ini sesuai dengan pandangan Senft (1995: 578) bahwa
dalam penelitian yang ingin menginvestigasi realisasi pola tindak tutur, metode elisitasi
dengan menggunakan DCT sangat cocok digunakan. Karena penelitian dalam disertasi
ini juga mengenai realisasi tindak tutur (kritik), maka metode elisitasi (DCT) ini pun
dipandang cocok dan tepat. Dengan metode DCT ini diharapkan data yang dibutuhkan
dalam penelitian ini bisa diperoleh secara relatif lebih cepat. Di samping itu, melalui
130
DCT ini, tidak hanya data yang berupa tuturan (dengan berbagai tipenya) yang bisa
ditangkap , tetapi data yang berupa konteks dan norma sosiobudaya yang mengatur
penggunaan tuturan-tuturan tersebut juga bisa ditangkap dengan baik. Hal ini berbeda
dengan penggunaan metode
observasi
yang meskipun derajat
atau tingkat
kealamiahannya lebih tinggi, namun tidak mudah bagi peneliti untuk menemukan data
yang diinginkan. Apalagi, data itu menyangkut norma/nilai atau konteks yang
melibatkan berbagai variabel sosiologis seperti power dan social distance. Berdasarkan
alasan inilah metode observasi dalam penelitian ini tidak digunakan. Metode DCT yang
digunakan dalam penelitian ini pernah juga digunakan oleh Blum-Kulka (1989) ketika
melakukan penelitian mengenai Requests and Apologies secara lintas kultural dalam
beberapa negara.
DCT dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk deskripsi situasi, bukan
dialog, sesuai dengan yang dimodifikasi oleh Rintell dan Mitchell (1989). Deskripsi
situasi itu berupa kasus tertentu yang menggambarkan adanya pelanggaran norma atau
nilai tertentu (karena kritik sebagai sarana kontrol sosial selalu berkenaan dengan
pelanggaran norma tertentu). Deskripsi situasi itu kemudian diakhiri dengan pertanyaan
tertentu sesuai dengan kepentingan dan tujuan penelitian. Variabel penting yang
dipertimbangkan dalam membuat deskripsi situasi adalah
Distance (S-H), dan
Power (S-H),
Social
Public. Sebagaimana dijelaskan di bawah, interaksi di antara
ketiga variabel ini akan membentuk sejumlah konteks situasi (lihat seksi 3.8 di bawah).
Hal ini berarti bahwa deskripsi situasi yang dirumuskan dalam DCT harus
menggambarkan semua jenis konteks. Jika terdapat enam konteks yang ditentukan,
maka DCT yang dibuat juga harus menggambarkan enam jenis konteks. Berikut
diberikan contoh DCT yang berisi deskripsi situasi (berupa kasus pelanggaran norma
tertentu) yang menggambarkan konteks (+P+D) dalam ranah perkantoran.
Pak Hartono adalah kepala kantor Anda. Dia sering tidak berkenan dan marah
kepada pegawai yang tidak disiplin. Masalahnya adalah Pak Hartono tidak
konsekuen karena dia sendiri selaku pimpinan juga tidak disiplin dan tidak
memberikan contoh disiplin yang baik kepada bawahan.
Pertanyaan:
Sebagai pegawai dan bawahan Pak Hartono, apa yang akan Anda lakukan
terhadap Pak Hartono, atasan Anda yang tidak konsekuen tersebut? (Ingat
hubungan Anda dengan Pak Hartono tidak akrab).
131
(a) Melakukan kritik kepada Pak Hartono dalam rapat kantor atau pertemuan
kantor lainnya (+Pu), yang berbunyi ________________________________
_____________________________________________________________
(b) Melakukan kritik kepada Pak Hartono secara pribadi, menghindari pihak
Ketiga (-Pu), yang berbunyi ______________________________________
______________________________________________________________
(c) Diam saja dan tidak melakukan kritik. Karena ________________________
_____________________________________________________________
Dalam DCT di atas digambarkan bahwa seseorang yang menjadi sasaran kritik
adalah Pak Hartono dan seseorang yang menjadi pelaku kritik adalah pegawai atau
bawahan Pak Hartono di kantor. Dalam hal ini Pak Hartono selaku pimpinan kantor
jelas memiliki power yang lebih tinggi daripada pegawainya. Konteks ini disimbolkan
dengan (+P). Dalam DCT tersebut juga digambarkan bahwa hubungan antara Pak
Hartono dan pegawai tersebut berjarak atau tidak akrab dan hal ini diberi simbol (+D).
Dengan demikian, DCT di atas menggambarkan konteks (+P+D). Sebagaimana
disinggung di atas, semua variabel sosial yang menjadi pertimbangan penting dalam
kajian harus tergambar dalam DCT dengan jelas. Jika gambaran itu tidak jelas, maka hal
itu bisa menyulitkan informan dalam mengambil peran. Akibatnya adalah tindak tutur
yang dibuat oleh informan tidak tepat dan bisa menjadi data yang tidak valid dalam
penelitian.
3.8 Parameter dan Konteks Kritik
Perlu dikemukakan bahwa bentuk tuturan dan makna tuturan pada umumnya
ditentukan oleh konteks tuturan. Dengan kata lain, konteks tuturan menentukan bentuk
tuturan dan makna tuturan. Dalam peristiwa komunikasi, konteks tuturan biasanya
terbentuk lebih dahulu sebelum tuturan itu diwujudkan. Berdasarkan konteks yang ada
itu, penutur kemudian membuat tuturan dengan bentuk dan makna yang sesuai dengan
konteks yang tersedia. Fakta ini mengandaikan bahwa dalam praktik berkomunikasi
penutur tidak mungkin membuat tuturan terlebih dahulu (dengan bentuk dan makna
tertentu) baru kemudian mencari-cari konteks yang sesuai.
Berdasarkan kenyataan di atas, maka konteks kritik dalam penelitian ini harus
disediakan dan disiapkan terlebih dahulu sebelum proses pengumpulan data di lapangan
berlangsung. Konteks kritik yang telah disediakan ini sangat diperlukan oleh informan
sebagai pedoman untuk membangkitkan berbagai macam strategi kritik sesuai dengan
konteks yang ada, memilih formula semantik yang sesuai, dan juga menggunakan
132
modifier yang sesuai dengan konteks yang tersedia tadi. Tanpa konteks ini sulit
dibayangkan bagaimana informan menyediakan data sesuai dengan konteks yang
diinginkan peneliti dan tujuan penelitian. Di samping itu, konteks kritik ini juga sangat
berguna bagi peneliti, yaitu sebagai panduan untuk menyusun Discourse Completion
Task (DTC) dan sebagai pedoman untuk melakukan wawancara kepada informan.
Tanpa berpedoman pada konteks tertentu, sulit dibayangkan bagaimana peneliti
membuat DCT dan melakukan wawancara kepada informan.
Sebagai pedoman bagi peneliti dan informan, konteks kritik tentu harus
konsisten dan memiliki parameter-parameter yang jelas. Dalam disertasi ini parameter
yang digunakan untuk menentukan konteks kritik adalah (1) Relative Power (P), (2)
Social Distance (D), dan (3) Public (Pu). Parameter Relative Power dan Social Distance
diambil dari Brown dan Levinson (1987). Brown dan Gilman (1969) menyebutnya
sebagai Power (P) dan Solidarity ( S). Sementara itu, parameter public diambilkan dari
Gunarwan (1998). Ketiga parameter tersebut (untuk menentukan konteks tuturan)
pernah juga digunakan oleh Gunarwan dalam mengkaji “Ideology and the Speech Act of
Prohibiting among the Batak and among the Javanese” (1998).
Power atau kekuasaan merupakan parameter yang mengacu pada the degree to
which speaker can impose wants on hearer (Brown dan Levinson (1987). Atau,
menurut Scollon dan Scollon (2001) power mengacu pada the vertical disparity between
the participants in a hierarchical structure. Power ini dapat dibedakan menjadi
beberapa tipe (Thomas, 1995: 126-127), yaitu (1) legitimate power (kekuasaan sah), (2)
coercive power (kekuasaan paksa), (3) reward power (kekuasaan penghargaan), (4)
expert
power
(kekuasaan
kepakaran),
dan
(5)
referent
power
(kekuasaan
rujukan/kekuasaan panutan).
Legitimate power merupakan kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang sebagai
hasil dari posisinya dalam sutau organisasi atau lembaga. Kekuasaan jenis ini memberi
otoritas atau wewenang kepada seseorang untuk memberi perintah yang harus didengar
dan dipatuhi oleh bawahan. Yang termasuk jenis kekuasaan ini misalnya seorang
pimpinan kantor kepada bawahannya, seorang kepala sekolah kepada guru-gurunya,
orang tua kepada anak-anaknya, dan lain-lain. Coercive power merupakan jenis
kekuasaan yang memberikan kewenangan untuk melalukan hukuman (punishment) dan
pengendalian. Tujuannya adalah untuk mengubah perilaku yang menyimpang atau tidak
133
semestinya. Punishment itu bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari yang paling
ringan sampai yang paling berat. Reward power merupakan jenis kekuasaan yang
memberikan kewenangan untuk memberikan hadiah atau penghargaan. Bentuk
penghargaan ini pun bisa bermacam-macam, misalnya piagam, uang, kenaikan jabatan,
dan lain-lain. Expert power merupakan jenis kekuasaan yang didasarkan pada
kepakaran atau kemampuan seseorang dalam suatu bidang tertentu sehingga
menyebabkan orang lain patuh karena percaya bahwa orang tersebut mempunyai
pengalaman, pengetahuan, dan kemahiran konseptual dan teknikal. Dosen, misalnya,
diharapkan mempunyai expert power bagi mahasiswanya. Sementara itu, referent power
adalah jenis kekuasaan yang timbul karena karisma, karakteristik individu, atau
kepribadian yang menarik dan keteladanan. Kiai dan ustad, misalnya, diharapkan
memiliki referent power bagi santri-santrinya. Guru juga diharapkan mempunyai
referent power bagi murid-muridnya. Setiap pemimpin seharusnya juga memiliki
referent power bagi orang-orang yang dipimpinnya.
Social Distance merupakan parameter yang mengacu pada the degree of
familiarity and solidarity between speaker and hearer. Menurut Thomas (1995: 129)
social distance dan power kadang-kadang agak sulit dibedakan. Hal ini disebabkan
penutur yang power-nya lebih tinggi (superordinate) cenderung menunjukkan social
distance kepada petutur yang subordinate. Akan tetapi, tampaknya social distance tidak
hanya terjadi pada hubungan yang bersifat superordinate dan subordinate. Pada
hubungan-hubungan yang bersifat sejajar dan ekual pun bisa saja social distance itu
terjadi. Hal itu bergantung pada sejauh mana frekuensi interaksi penutur dan petutur.
Jika frekuensi interaksinya tinggi, barangkali social distance itu tidak begitu tampak
(akrab). Sebaliknya, jika frekuensi interaksinya sangat rendah, barangkali social
distance itu sangat kelihatan (berjarak/tidak akrab).
Parameter Public (Pu) merupakan parameter yang mengacu pada kehadiran atau
keberadaan pihak ketiga, apakah kritik itu diungkapkan secara terbuka di hadapan
banyak orang atau di tempat umum ataukah diungkapkan secara pribadi dengan
menghindari pihak ketiga. Yang dimaksud pihak ketiga di sini bisa satu orang, dua
orang, atau banyak orang, baik dikenal maupun tidak dikenal. Parameter ini tampaknya
juga cukup penting dalam konteks masyarakat budaya Arek. Parameter ini diprediksi
134
bisa memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam proses pemilihan strategistrategi kritik.
Perlu dikemukakan bahwa dalam praktik berkomunikasi, tiap-tiap parameter
sebagaimana dijelaskan di atas tidak berdiri sendiri-sendiri dalam mempengaruhi
penggunaan strategi-strategi kritik. Mengapa strategi kritik tidak langsung (strategi KL)
digunakan, misalnya, tidak hanya dipengaruhi oleh siapa penuturnya dan power-nya
bagaimana, atau hanya dipengaruhi social distance saja atau pubilc-nonpublic saja,
tetapi dipengaruhi oleh interaksi dari ketiga parameter tersebut. Jadi, ketiga parameter
tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lain membentuk sebuah konteks kritik
yang menentukan penggunaan strategi-strategi kritik (strategi MKH, strategi MKV,
strategi kritik langsung (KL), strategi kritik tidak langsung (KTL)). Oleh karena itu,
konteks kritik dalam disertasi ini ditentukan berdasarkan interaksi dari ketiga parameter
tersebut dan interaksi itu ditentukan berdasarkan fitur alternasi ± pada tiap-tiap
parameter (±P, ±D, dan ±Pu) sehingga diperoleh sejumlah konteks kritik sebagaimana
terlihat di bawah ini.
1. +P+D+Pu
7. –P –D+Pu
2. +P+D –Pu
8. –P+D –Pu
3.+P –D –Pu
9. =P+D+Pu
4. +P –D+Pu
10. =P –D+Pu
5. –P –D –Pu
11. =P+D –Pu
6. –P+D+Pu
12. =P –D –Pu
Perlu dikemukakan bahwa parameter-parameter di atas mengacu pada
karakteristik petutur atau penerima kritik (PnK). Parameter +P, misalnya, berarti PnK
(petutur) memiliki power lebih tinggi daripada pelaku kritik (PK). Sebaliknya,
parameter –P berarti PnK memiliki power yang lebih rendah daripada PK. Parameter =P
berarti PnK dan PK memiliki power sederajat atau sejajar. Sementara itu, parameter +D
berarti hubungan PnK dan PK berjarak, memiliki hubungan yang tidak akrab atau
bahkan tidak kenal (stranger). Parameter –D berarti PnK dan PK memiliki hubungan
yang dekat atau akrab. Sementara itu, +Pu berarti kritik dikemukakan di tempat publik
(dalam rapat atau pertemuan), sedangkan –Pu berarti kritik dikemukakan secara pribadi.
Jadi, konteks (+P+D+Pu), misalnya, berarti kritik dikemukakan kepada PnK yang
power-nya lebih tinggi, dalam hubungan yang tidak akrab, dan kritik dikemukakan di
135
hadapan publik. Konteks (-P-D-Pu) berarti kritik dikemukakan kepada PnK yang
power-nya lebih rendah, dalam hubungan yang akrab, dan kritik dikemukakan secara
pribadi, dan seterusnya. Berbagai konteks situasi sebagaimana yang disebutkan di atas
digunakan sebagai pedoman untuk merumuskan Discourse Completion Task dan
wawancara kepada informan dalam rangka proses pengumpulan data di lapangan.
3.9 Materi Kritik dan Konteksnya
Sebagaimana dikemukakan di atas, konteks kritik dalam penelitian ini
ditentukan berdasarkan interaksi dari tiga variabel sosiologis, yaitu relative power (±P),
social distance (±D), dan public (±Pu). Di atas juga telah ditegaskan bahwa konteks
kritik ini sangat penting ditentukan terlebih dahulu karena mempunyai fungsi yang
sangat penting, baik bagi informan maupun peneliti. Bagi informan, konteks kritik
berfungsi sebagai pedoman untuk membangkitkan berbagai macam strategi kritik. Bagi
peneliti, konteks kritik berfungsi sebagai pedoman untuk merumuskan DCT dan
wawancara agar tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Sebagai pedoman, konteks
kritik tentu harus jelas dan konsisten. Kejelasan dan konsistensi ini akan memberikan
kemudahan bagi peneliti untuk melakukan analisis data.
Sesungguhnya, tidak hanya konteks kritik yang harus konsisten. Materi (jenis
pelanggaran norma) yang menjadi bahan kritik pada tiap-tiap konteks juga harus
konsisten. Materi kritik dalam tiap-tiap konteks harus memiliki rank of imposition yang
relatif hampir sama atau memiliki bobot yang relatif hampir sama. Materi kritik yang
berbeda-beda dalam konteks yang sama, apalagi memiliki rank of imposition yang
berbeda-beda pula tentu akan menyulitkan peneliti di dalam menganalisis data.
Mengapa demikian, karena perbedaan materi kritik dan rank of imposition sangat
mempengaruhi perbedaan pemilihan strategi kritik, penggunaan formula semantik , dan
lain-lain meskipun dalam konteks yang sama. Oleh karena itu, materi kritik ini juga
harus konsisten dan tidak boleh plin-plan. Dengan materi kritik yang konsisten dan
terjadi pada konteks yang konsisten diharapkan pola-pola pemilihan strategi kesantunan
kritik, pemilihan formula semantik, dan penggunaan modifier pada tiap-tiap konteks
tersebut dapat dirumuskan dengan baik. Karena penelitian ini dilaksanakan dalam dua
ranah, yaitu perkantoran dan kemasyarakatan, maka materi kritik dalam penelitian ini
pun disesuaikan dengan kedua ranah tersebut. Tabel 1 berikut menjelaskan materi kritik
(berupa kasus pelanggaran norma/nilai) beserta konteksnya dalam ranah perkantoran,
136
sedangkan tabel 2 menjelaskan materi kritik beserta konteksnya dalam ranah
kemasyarakatan.
Tabel 1
Materi Kritik Berserta Konteksnya
yang Dirumuskan dalam DCT dalam Ranah Perkantoran
N0
1
2
Jenis
Konteks
Jenis Materi/Jenis Pelanggaran Norma
(+P+D)
Pak Hartono, kepala kantor Anda, sering marah-marah kepada
pegawai yang tidak disiplin, padahal dia sendiri tidak disiplin dan
tidak memberikan contoh disiplin yang baik kepada bawahan.
(+P-D)
Pak Gunawan, kepala kantor Anda, dikenal tidak tegas dan tidak peduli
terhadap tindakan tidak disiplin yang dilakukan oleh bawahannya,
Akibatnya, pekerjaan kantor amburadul dan tidak beres.
3
(-P+D)
4
(-P-D)
5
(=P+D)
6
(=P-D)
Agus Handoyo, anak buah Anda di kantor, sering seenaknya
meninggalkan tugas kantor untuk mengurusi bisnis sampingannya
di luar kantor.
Bu Fatonah, anak buah Anda di kantor, tidak disiplin, sering
meninggalkan kantor tanpa izin, menghabiskan waktunya di kantor
untuk main game. Akibatnya, pekerjaannya terbengkalai.
Pak Wahab, kolega Anda di kantor, ditunjuk oleh pimpinan kantor
untuk bekerja sama dengan Anda dalam menangani suatu
pekerjaan. Masalahnya adalah Pak Wahab tidak disiplin.
Pekerjaannya sering tidak beres dan tidak teliti sehingga yang
ditegur pimpinan bukan hanya Pak Wahab, tetapi juga Anda selaku
tim.
Pak Virdi, kolega dan teman baik Anda di kantor, sering merokok
secara sembarangan dan tidak pada tempatnya. Perbuatan Pak
Virdi tersebut sering mengganggu orang lain termasuk Anda.
Tabel 2
Materi Kritik Berserta Konteksnya
yang Dirumuskan dalam DCT dalam Ranah Kemasyarakatan
N0
Jenis
Konteks
1
(+P+D)
2
(+P-D)
3
(-P+D)
4
(-P-D)
Jenis Materi/Jenis Pelanggaran Norma
Pak Sukri, Ketua RT Anda, tidak transparan dalam mengelola keuangan
dan sering menarik iuran kepada warga dengan tujuan yang tidak jelas
Pak Santoso, Ketua RT Anda, memberi contoh yang kurang pantas
kepada warga. Dia sering membawa pulang perempuan simpanannya
sampai larut malam ketika istrinya sedang tidak ada di rumah.
Anda adalah seorang ketua RT. Warga Anda yang bernama Pak Tomo
dikenal seenaknya, kerja bakti tidak pernah datang, iuran RT juga tidak
pernah bayar. Tetapi dalam setiap rapat RT, dia selalu banyak bicara dan
banyak usul seolah-olah menunjukkan komitmennya sebagai warga yang
baik.
Anda adalah ketua RT. Warga Anda yang bernama Pak Sugeng
memelihara beberapa anjing yang cukup besar dan galak dan dibiarkan
berkeliaran. Banyak warga yang ketakutan dan terganggu dengan anjing-
137
5
6
(=P+D)
(=P-D)
anjing Pak Sugeng, termasuk Anda selaku ketua RT.
Pak Marwoko, tetangga Anda satu RT, mempunyai usaha pemotongan
ayam di rumahnya. Sayangnya, limbahnya dibuang sembarangan
sehingga mengganggu lingkungan dan menimbulkan bau yang tidak
sedap.
Pak Handono, kawan dekat Anda, mempunyai kebiasaan buruk, yaitu
suka berhutang dan setelah itu pura-pura lupa. Uang kas RT dipinjam
dan tidak dikembalikan. Para tetangga juga banyak yang menjadi korban,
bahkan Anda sendiri, kawan dekatnya, juga menjadi korban.
Materi-materi kritik sebagaimana dikemukakan dalam tabel di atas dijabarkan di
dalam DCT dan kemudian disodorkan kepada informan untuk diisi untuk mendapatkan
gambaran tentang penggunaan berbagai macam strategi kritik, formula semantik kritik,
penggunaan modifier, dan alat-alat kesantunan kritik yang lain. Berikut ini ditampilkan
contoh materi kritik/pelanggaran norma yang sudah dijabarkan dalam DCT dalam
konteks (=P+D) yang siap diisi oleh informan dalam ranah kemasyarakatan.
Pak Marwoko mempunyai usaha pemotongan ayam di rumahnya. Sayangnya,
limbahnya dibuang sembarangan sehingga mengganggu lingkungan dan
menimbulkan bau yang tidak sedap. Para tetangga sangat terganggu, tetapi yang
paling terganggu adalah Anda karena rumah Anda paling dekat dengan tempat
pembuangan limbah ayam tersebut.
Pertanyaan:
Apa yang Anda lakukan terhadap Pak Marwoko? (Ingat, hubungan Anda dengan
Pak Marwoko tidak akrab)
(a) Melakukan kritik/teguran kepada Pak Marwoko dalam pertemuan RT (+Pu),
yang berbunyi _________________________________________________
(=P+D+Pu)
(b) Melakukan kritik kepada Pak Marwoko secara pribadi/empat mata (-Pu), yang
berbunyi _________________________________________________
(=P+D-Pu)
(c) Diam saja/tidak melakukan kritik, karena sungkan/pekewuh atau khawatir Pak
Marwoko merasa tersinggung. (=P+D)
Yang penting dicatat adalah bahwa jika dalam DCT di atas informan memilih
jawaban (a) hal ini berarti bahwa informan lebih memilih mengekspresikan kritiknya
kepada Pak Marwoko secara terbuka (+Pu), yakni kritik dikemukakan di hadapan
publik di dalam rapat RT atau pertemuan RT. Sebaliknya, jika informan memilih
jawaban (b) hal ini berarti bahwa informan lebih memilih melakukan eksekusi kritik
secara pribadi (-Pu), tidak di hadapan banyak orang. Selanjutnya, jika informan memilih
138
jawaban (c), hal ini berarti bahwa informan lebih memilih diam dan kritik hanya
dikemukakan dalam hati, tidak dikemukakan secara verbal.
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pemilihan (a), (b), dan (c) dalam DCT
di atas tidak mungkin dilakukan secara acak, tetapi sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai
sosiobudaya yang berlaku. Pilihan (c), misalnya, memberikan makna bahwa informan
dalam konteks (+P+D) merasa lebih cocok atau lebih nyaman menggunakan strategi
MKH, yakni kritik hanya dikemukakan dalam hati. Strategi ini dipilih mungkin karena
pekewuh, sungkan, atau menghindari konflik. Pilihan ini tentu saja membawa
konsekuensi bahwa penyimpangan perilaku yang terjadi akan tetap terus berlangsung
tanpa kontrol. Oleh karena itu, pilihan (c) bisa menggambarkan lemahnya sebuah
kontrol sosial. Sebaliknya, pilihan (a) memberikan pemahaman bahwa dalam konteks
(+P+D) informan merasa lebih cocok menggunakan strategi MKV (kritik betul-betul
dilaksanakan dan dieksekusi secara verbal). Pilihan (b) juga memberikan pemahaman
bahwa dalam konteks (+P+D) informan merasa lebih cocok menggunakan strategi
MKV, tetapi kritik dikemukakan secara pribadi (-Pu), tidak terbuka (+Pu). Dengan
demikian, pilihan (a) dan (b) menunjukkan bahwa kontrol sosial betul-betul
dilaksanakan untuk mencegah penyimpangan perilaku yang terjadi. Pilihan (a) dan (b)
menunjukkan kuatnya sebuah kontrol sosial. Selanjutnya, pilihan (a) dan (b) akan
memberikan informasi kepada peneliti tentang substrategi kritik seperti apa yang
digunakan oleh informan, apakah strategi KL atau KTL, formula semantik seperti apa
yang digunakan (penilaian negatif, saran, ironi, kelakar, dan lain-lain), dan bagaimana
penggunaan modifiernya (internal, eksternal), dan penggunaan alat-alat kesantunan
yang lainnya. Informasi-informasi ini sangat bermanfaat untuk analisis data.
3.10 Validitas Data Penelitian
Sebagaimana dikemukakan di atas, metode pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode elisitasi (DCT). Subroto (2008: 512) mengemukakan
bahwa data yang diperoleh dengan cara elisitasi harus divalidasi, sedangkan yang
diperoleh melalui observasi (natural) tidak perlu divalidasi. Tujuan validasi ini tentu
agar data yang diperoleh betul-betul valid. Moleong (2010: 327) dan Sugiyono (2010:
122) menjelaskan bahwa terdapat beberapa teknik yang bisa dilakukan agar data yang
diperoleh betul-betul memiliki validitas yang tinggi. Teknik tersebut adalah (a)
triangulasi (triangulation), (b) perpanjangan pengamatan, (c) peningkatan ketekunan,
139
(d) kecukupan referensial, (e) analisis kasus negatif, dan (f) pengecekan anggota
(member check ).
Dalam penelitian ini, pengembangan validitas data dilakukan dengan
menggunakan teknik triangulasi. Dalam penelitian kualitatif teknik triangulasi ini
merupakan teknik yang paling umum digunakan untuk meningkatkan validitas data
(Sutopo, 2006; 92). Dalam literatur disebutkan bahwa terdapat berbagai jenis
triangulasi, yaitu triangulasi sumber, trianguasi metode, triangulasi teori, dan triangulasi
peneliti (Mahsun, 2005: 213; Sutopo, 2006: 92; Moleong, 2010: 330). Triangulasi
sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang sama melalui beberapa sumber yang
berbeda. Triangulasi metode dilakukan dengan cara mengecek data yang sama kepada
sumber yang sama, tetapi dengan metode yang berbeda. Triangulasi teori dilakukan
dengan cara menggunakan perspektif lebih dari satu teori (sebagai landasan teori) dalam
membahas permasalahan yang dikaji. Triangulasi peneliti dilakukan dengan cara
memanfaatkan atau melibatkan beberapa peneliti untuk pengecekan kembali validitas
data yang ada.
Dalam penelitian ini, teknik triangulasi yang digunakan adalah triangulasi
metode. Dalam pelaksanaannya, triangulasi metode ini dilakukan dengan cara
mengecek data yang telah diperoleh melalui metode DCT dengan menggunakan metode
interview. Semula interview direncankan secara berkelompok dalam bentuk FGD,
antara 5-10 informan. Akan tetapi, karena sulitnya mengumpulkan informan dalam
waktu yang bersamaan, interview dalam bentuk FGD ini tidak bisa dilaksanakan.
Akhirnya, interview hanya dilakukan secara individual, orang per orang. Informan yang
di-interview adalah informan pengisi DCT. Adapun bahan untuk interview adalah
jawaban-jawaban informan yang telah diperoleh melalui metode DCT. Pertanyaanpertanyaan yang diajukan kepada informan dalam interview juga sama dengan
pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan dalam DCT. Dengan demikian, interview
tersebut berfungsi menegaskan kembali bahwa jawaban-jawaban yang telah
dikemukakan dalam DCT adalah jawaban-jawaban yang memang sudah sesuai dengan
fakta di lapangan. Di samping itu, tidak tertutup kemungkinan adanya informasi
tambahan yang diperoleh melalui interview tersebut. Karena peneliti juga berasal dari
wilayah budaya Arek, tinggal di lingkungan masyarakat budaya Arek, dan memiliki
pemahaman yang cukup memadai mengenai bahasa dan norma budaya arek, maka
140
setiap data yang oleh peneliti dipandang meragukan keabsahannya (misalnya menurut
peneliti tidak sesuai dengan fakta di lapangan) akan ditanyakan terus-menerus kepada
informan sehingga kadang-kadang terjadi semacam diskusi antara informan dan
peneliti. Dengan demikian, diharapkan data yang diperoleh betul-betul valid dan bisa
dipertanggungjawabkan.
Sementara itu, triangulasi sumber dalam penelitian ini tidak digunakan karena
penelitian ini hanya menggunakan satu sumber, yaitu informan. Triangulasi teori dalam
penelitian ini juga tidak digunakan karena tidak terlalu berkaitan dengan pengembangan
validitas data. Selanjutnya, triangulasi peneliti juga tidak digunakan dalam penelitian ini
karena penelitian ini tidak bersifat kelompok yang terdiri atas sejumlah peneliti.
3.11. Metode Analisis Data
Sebagaimana dijelaskan, penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Dalam
penelitian kualitatif proses analisis data dilakukan secara induktif. Data yang berhasil
dikumpulkan di lapangan tidak dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran hipotesis,
tetapi digunakan sebagai bahan atau dasar pemahaman di dalam menyusun simpulan
atau teori (Sutopo, 1996: 106; Moleong, 2010: 10). Analisis induktif sangat
menekankan pentingnya apa yang sebenarnya terjadi dan ditemukan di lapangan yang
pada dasarnya bersifat khusus berdasarkan karakteristik konteksnya dalam kondisi
alamiahnya. Analisis induktif bersifat interaktif dan siklus, serta proses analisis sudah
dimulai sejak pengumpulan data di lapangan (Sutopo, 2006: 106).
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah
atau tahap-tahap sebagaimana yang dikemukakan Spradley (1997). Menurut Spradly,
dalam penelitian kualitatif ada empat tahap analisis data, yaitu (a) analisis domain, (b)
analisis taksonomi, (c) analisis komponensial, dan (d) penemuan nilai budaya. Setiap
tahap analisis ini selalu diselingi dengan pengumpulan data sehingga antara analisis data
dan pengumpulan data bersifat terpadu dan prosesnya terjadi di lapangan sesuai dengan
tahapnya.
Tahap analisis pertama yang harus dilakukan adalah analisis domain. Analisis
domain ini dilakukan dengan menggunakan acuan hubungan semantik (semantic
relationship) untuk menentukan cover term dan included term. Cover term dan included
term dihubungkan oleh hubungan semantik yang berupa strict inclusion (hubungan
inclusi) . Jadi, X adalah bagian dari Y. Analisis berikutnya yang harus dilakukan adalah
141
analisis taksonomi. Analisis taksonomi ini digunakan untuk melihat berbagai macam
kategori kritik beserta sub-subkategorinya. Selanjutnya, analisis komponensial
digunakan untuk melihat keterkaiatan antarkategori atau antarvariabel yang telah
diperoleh dari hasil analisis taksonomi an analisis domain untuk kemudian digunakan
sebagai dasar pemahaman untuk melihat bagaimana budaya kritik dalam konteks
masyarakat budaya Arek.
3.12 Prosedur Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan prosedur analisis sebagai
berikut. Pertama, dilakukan analisis domain dengan menggunakan acuan hubungan
semantik yang berupa strict inclusion (hubungan inclusi) untuk menentukan cover term
(domain) dan included term (sub-domain). Cover term dalam penelitian ini adalah
segenap masyarakat budaya Arek di Surabaya, Jawa Timur. Cover term atau domain ini
terdiri atas dua included term atau sub-domain, yaitu domain perkantoran dan domain
kemasyarakatan. Selanjutnya, domain perkantoran dan kemasyarakatan ini masingmasing dapat dikelompokkan lagi menjadi beberapa sub-domain berdasarkan
konteksnya, yaitu ( +P+D+Pu), (+P+D-Pu), (+P-D-Pu), (+P-D+Pu), (-P-D-Pu), (P+D+Pu), (-P-D+Pu), (-P+D-Pu), (=P+D+Pu), (=P-D+Pu), (=P+D-Pu), (=P-D-Pu).
Berbagai macam domain berdasarkan konteksnya ini merefleksikan bahwa analisis data
dalam penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan konteks sehingga bisa
disebut juga sebagai analisis yang bersifat kontekstual.
Prosedur berikutnya adalah mengaplikasikan analisis taksonomi. Dalam analisis
taksonomi ini, peneliti melakukan klasifikasi atau kategorisasi terhadap berbagai data
yang telah ditemukan. Kategorisasi data ini dibuat berdasarkan domainnya, yaitu
domain perkantoran dan domain kemasyarakatan. Data dalam kedua domain tersebut
kemudian diklasifikasikan lagi berdasarkan konteksnya sesuai dengan parameter yang
telah ditentukan, yaitu (±P), (±D), dan (±Pu). Kemudian, data pada masing-masing
konteks tersebut diklasifikasikan lagi berdasarkan (a) keintian unsurnya, (b) strateginya,
(c) formula semantiknya, (d) modifier-nya dan alat-alat kesantunan kritik lainnya.
Klasifikasi berdasarkan keintian unsurnya akan menghasilkan kategori head act dan
modifier. Klasifikasi berdasarkan strateginya akan menghasilkan kategori seperti
strategi MKV, strategi MKH, strategi KL dan KTL. Klasifikasi berdasarkan formula
semantiknya akan menghasilkan berbgai kategori seperti kritik dengan formula
142
semantik saran, kritik dengan formula semantik pertanyaan, larangan, pertanyaan, ironi,
dan lain-lain. Selanjutnya, klasifikasi berdasarkan modifier-nya akan mnghasilkan
kategori seperti modifier internal dan modifier eksternal.
Selanjutnya, dilakukan analisis komponensial. Dalam analisis komponensial ini,
dicari keterkaitan atau hubungan antara kategori yang satu dengan kategori yang
lainnya, misalnya hubungan antara konteks dengan penggunaan strategi MKV/MKH,
dengan parameter (±Pu), dengan strategi KL/KTL, dengan formula semantik, dan
dengan modifier dan alat-alat kesantunan kritik lainnya. Sebagai contoh, data
mengindikasikan bahwa dalam konteks (+P-D), strategi yang paling lazim digunakan
adalah strategi MKV (bukan MKH). Hal ini menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara
koteks (+P-D) dengan penggunaan strategi MKV. Selanjutnya, strategi MKV dalam
konteks (+P-D) tersebut pada umumnya cenderung diekspresikan secara pribadi (-Pu),
bukan terbuka (+Pu). Hal ini menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara konteks (+PD) dengan parameter (-Pu) sehingga membentuk konteks yang lebih spesifik, yakni
(+P-D-Pu). Selanjutnya, dalam konteks (+P-D-Pu) ini, strategi kritik yang paling
banyak digunakan ternyata adalah strategi KTL (bukan KL). Hal ini juga menunjukkan
adanya keterkaian antara konteks (+P-D-Pu) dengan strategi KTL. Berikutnya, Formula
semantik yang sering digunakan untuk mengekspresikan strategi KTL dalam konteks
(+P-D-Pu) tersebut adalah formula semantik yang berupa saran atau permohonan.
Sementara itu, modifier yang digunakan bisa modifier internal maupun eksternal.
Demikianlah, keterkaitan antar-bagian-bagian ini dapat dilihat berdasarkan analisis
komponensial ini. Jika keterkaitan antar-bagian-bagian ini dapat dirumuskan dengan
baik dan menyeluruh, maka cultural value (budaya kritik dalam masyarakat budaya
Arek) dengan sendirinya juga dapat dijelaskan.
Download