BAB III METODE PENELITIAN Bab ini menjelaskan bagaimana proses penelitian ini dilaksanakan sehingga mendapatkan hasil seperti yang dikehendaki. Hal-hal yang akan dijelaskan dalam bab ini meliputi (a) sasaran dan lokasi penelitian, (b) Ranah penelitian, (c) jenis dan bentuk penelitian, (d) jenis data dan sumber data, (e) teknik sampling, (f) kriteria informan, (g) metode pengumpulan data, (h) parameter dan konteks kritik, (i) materi kritik dan konteksnya, (j) validitas data penelitian, (k) metode analisis data, (l) prosedur analisis data. 3.1. Sasaran dan Lokasi Penelitian Masyarakat yang menjadi sasaran penelitian dalam disertasi ini adalah masyarakat Jawa Timur dengan subkultur budaya Arek yang berpusat di Surabaya. Masyarakat budaya Arek di Surabaya pada umumnya memiliki ciri (a) berbahasa ibu bahasa Jawa dialek Surabaya (bahasa suroboyoan) dan (b) dalam interaksi yang bersifat lokal-kedaerahan cenderung menilai segala macam perilakunya (termasuk perilaku verbal) berdasarkan nilai-nilai/ norma budaya Arek. Sebagaimana dijelaskan di atas, masyarakat budaya Arek cukup menarik diteliti karena memiliki karakteristik yang khas, yang agak berbeda dengan kelompok masyarakat Jawa lainnya, khususnya Jawa Mataraman. Masyarakat budaya Arek dikenal lebih terbuka, egaliter, mau menerima perbedaan dan masukan, memiliki solidaritas yang tinggi, serta menerapkan prinsip yoopo enake (bagaimana enaknya). Menarik diamati apakah karakteristik masyarakat budaya Arek yang khas ini akan memperlihatkan warna yang khas pula berkenaan dengan perilaku kritik mereka. 3.2 Ranah Penelitian Dalam masyarakat budaya Arek, kritik bisa terjadi dalam berbagai ranah kehidupan. Kritik bisa terjadi dalam ranah pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi. Kritik bisa terjadi di antara guru dan murid, mahasiswa dan dosen, atau di antara guru-guru dan dosen-dosen sendiri. Kritik bisa juga terjadi di dalam ranah perkantoran. Kritik bisa dilakukan oleh atasan kepada bawahan, bawahan kepada atasan, atau di antara pegawai atau karyawan itu sendiri. Kritik juga bisa terjadi di dalam ranah kemasyarakatan, di antara para warga di sebuah kampung, atau antara 124 125 ketua RT dan warga, dan sebaliknya. Kritik mungkin juga bisa terjadi di dalam ranahranah yang lain seperti ranah politik, militer, perdagangan, keagamaan, dan masih banyak ranah-ranah yang lain. Mengingat terbatasnya waktu yang tersedia, kajian dalam penelitian ini tidak mungkin bisa menjangkau seluk-beluk kritik pada seluruh ranah kehidupan dalam masyarakat budaya Arek tersebut. Oleh karena itu, kajian dalam penelitian ini hanya difokuskan pada tindak tutur mengkritik yang terjadi dalam ranah perkantoran dan ranah kemasyarakatan. Yang dimaksud ranah perkantoran adalah ranah yang mencakup interaksi kemunikasi di antara para pegawai atau karyawan di lingkungan perkantoran. Materi yang menjadi bahan kritik adalah hal-hal yang berkenaan dengan urusan perkantoran. Sementara itu, yang dimaksud ranah kemasyarakatan adalah ranah yang meliputi interaksi komunikasi sehari-hari yang bersifat informal dan nonkedinasan yang terjadi di antara warga di lingkugan Rukun Tetangga atau RT di wilayah masyarakat budaya Arek. Materi yang menjadi bahan kritik adalah hal-hal yang berkenaan dengan urusan atau masalah-masalah kemasyarakatan yang terjadi di lingkungan warga RT. Dua ranah tersebut dipilih sebagai ranah penelitian karena sangat menarik untuk dilihat bagaimana pengaruh parameter ( P), ( D), dan ( Pu) dalam kedua ranah tersebut terhadap pemilihan strategi-strategi kritik, formula semantik, dan lain-lain. Sebagaimana dipahami, dalam ranah perkantoran, peranan coercive power cenderung sangat kuat, sementara dalam ranah kemasyarakatan, peranan coercive power cenderung tidak begitu kuat. Oleh karena itu, menarik untuk diamati, apakah jenis power yang berbeda itu berpengaruh terhadap pemilihan strategi-strategi kritik (strategi MKH dan MKV) yang pada akhirnya berpengaruh juga pada intensitas aktivitas kontrol sosial dalam kedua ranah tersebut. 3.3 Jenis dan Bentuk Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif karena bertujuan menggambarkan atau memerikan secara rinci dan mendalam tentang kritik dalam fungsinya sebagai sarana kontrol sosial dalam masyarakat budaya Arek di Surabaya dewasa ini. Metode penelitian kualitatif ini digunakan karena yang ditekankan dalam penelitian ini adalah deskripsi proses tentang mengapa dan bagaimana tindak tutur mengkritik itu diekspresikan, yang mengarah pada pemahaman tentang makna. Penelitian ini dapat dikatakan juga sebagai penelitian yang berjenis etnografi karena 126 yang dikaji adalah kritik dalam konteks masyarakat budaya tertentu, yakni budaya Arek di Surabaya. Semua penelitian kualitatif pada dasarnya berbentuk studi kasus. Hal ini disebabkan penelitian kualitatif selalu bersifat kontekstual dan tidak pernah ada upaya atau pemikiran untuk melakukan generalisasi (Sutopo, 2006: 136). Berdasarkan kerangka berpikir itu, maka bentuk penelitian ini pun termasuk studi kasus. Selanjutnya, penelitian yang berbentuk studi kasus ini dapat dilakukan secara terpancang, dapat pula dilakukan secara tidak terpancang. Penelitian ini termasuk kategori studi kasus yang bersifat terpancang karena penelitian ini sudah memiliki arah dan fokus tertentu yang jelas yang dijadikan sebagai sasaran dalam penelitian. Berikutnya, studi kasus dapat juga dibedakan menjadi studi kasus tunggal dan studi kasus ganda. Penelitian ini termasuk studi kasus tunggal karena masyarakat Jawa yang menjadi sasaran penelitian ini secara sosio-kultural memiliki karakteristik yang relatif homogen, yakni masyarakat budaya Arek. 3.4 Jenis Data dan Sumber Data Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang dikemukakan di atas, data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu data yang mencerminkan pandangan (persepsi) masyarakat budaya Arek terhadap kritik, data tentang strategi yang digunakan untuk melakukan kritik (MKH/MKV), dan persebarannya atau distribusinya dalam berbagai konteks situasi. Ketiga jenis data ini diperlukan untuk menjawab masalah penelitian yang pertama. Selanjutnya, untuk menjawab masalah penelitian yang kedua, data yang dibutuhkan adalah data yang berupa konteks yang merefleksikan kapan kritik itu (dengan strategi MKV) sebaiknya dikemukakan secara pribadi (-Pu) dan kapan kritik itu boleh atau bahkan seyogyanya dikemukakan secara terbuka (+Pu). Berikutnya, untuk menjawab masalah penelitian yang ketiga, data yang dibutuhkan adalah data yang berupa tuturan kritik yang merefleksikan penggunaan strategi kritik langsung (KL) dan tidak langsung (KTL) beserta konteks pemakaiannya. Sementara itu, untuk menjawab masalah penelitian yang keempat, data yang dibutuhkan adalah data yang berupa tuturan kritik yang merefleksikan berbagai macam formula semantik, aneka pemarkah lingualnya, dan konteks pemakaiannya. Terakhir, untuk menjawab pertanyaan yang kelima, data yang dibutuhkan adalah data yang berupa tuturan kritik yang memperlihatkan berbagai 127 bentuk lingual yang berfungsi sebagai modifier dan alat-alat kesantunan kritik lainnya yang mempengaruhi kesantunan kritik. Semua jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini berasal dan diperoleh dari satu sumber, yaitu informan. Oleh karena itu, informan dalam penelitian ini mempunyai peranan yang sangat penting. 3.5 Sampling Sampling berkaitan dengan pemilihan dan pembatasan jumlah serta jenis dari sumber data yang akan digunakan dalam penelitian. Sampel dalam penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk mewakili populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif, tetapi dimaksudkan untuk mewakili informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Informasi yang lengkap dan mendalam tidak harus digali dari informan yang jumlahnya banyak. Informan yang jumlahnya terbatas pun sangat dimungkinkan dapat memberikan informasi yang lengkap dan mendalam. Oleh karena itu, yang dipentingkan dalam penelitian kualitatif adalah kelengkapan dan kedalaman informasinya, bukan jumlah informannya (Sutopo, 2006). Karena yang dipentingkan adalah kedalaman dan kelengkapan informasi, maka tidak semua anggota masyarakat budaya Arek berpeluang menjadi informan. Anggota masyarakat budaya Arek yang berpeluang menjadi informan hanyalah anggota masyarakat yang memenuhi kriteria atau persyaratan tertentu (kriteria informan lihat seksi 3.6). Informan yang memenuhi syarat diharapkan dapat memberikan informasi yang lengkap dengan tingkat kedalaman yang betul-betul dibutuhkan oleh peneliti. Dalam kaitan ini, informan yang memenuhi syarat bisa jadi cukup banyak jumlahnya dan tersebar di berbagai tempat di wilayah budaya Arek, akan tetapi tidak mungkin semuanya dijadikan informan. Oleh karena itu, informan yang memenuhi syarat itu dipilih lagi secara terbatas dan pemilihan itu dilakukan secara purposif (purposive sampling). 3.6 Kriteria Informan Sebagaimana dikemukakan di atas, informan dalam penelitian ini tidak dipilih secara acak, tetapi diseleksi secara purposif berdasarkan kriteria tertentu. Karena penelitian ini dilaksanakan dalam dua ranah, yaitu perkantoran dan kemasyarakatan, maka persyaratan informan pun disesuaikan dengan kedua ranah tersebut. Dalam ranah perkantoran, informan ditentukan dengan syarat (a) anggota masyarakat budaya Arek, 128 (b) memiliki wawasan yang cukup memadai tentang nilai-nilai dan norma budaya Arek, (c) tidak pernah bertempat tinggal di luar wilayah budaya Arek selama dua tahun berturut-turut, (d) pegawai kantor tertentu di wilayah budaya Arek (e) bersedia menjadi informan dan (f) memiliki waktu yang cukup untuk membantu peneliti dalam proses pengumpulan data. Dalam ranah kemasyarakatan, informan sesungguhnya ditentukan dengan syarat yang sama dengan informan dalam ranah perkantoran. Hanya saja terdapat satu perbedaan, yaitu bahwa informan dalam ranah kemasyarakatan tidak harus pegawai kantor tertentu, tetapi harus aktif dalam kegiatan kemasyarakatan atau organisasi kemasyarakatan, khususnya di lingkungan RT tempat informan tinggal. Seorang informan bisa menjadi informan dalam ranah kemasyarakatan sekaligus ranah perkantoran apabila dia ternyata seorang pegawai kantor tertentu dan sekaligus aktif dalam kegiatan kemasyarakatan di lingkungan RT tempat dia tinggal. Dengan kriteria informan seperti di atas, diharapkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat digali secara tepat dan mendalam. 3.7 Metode Pengumpulan Data Dalam studi linguistik pragmatik, metode pengumpulan data pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu (1) observasi dan (2) elisitasi. Metode observasi lebih berkenaan dengan pendekatan etnografis dan pendekatan natural yang sering melibatkan catatan lapangan dan perekaman. Pendekatan ini berasal dari antropologi dan berfokus pada perilaku komunikasi anggota masyarakat yang dilihat secara natural. Kelebihan dari metode observasi di antaranya adalah data bersifat spontan, otentik, dan memiliki tingkat kealamiahan yang tinggi. Metode elisitasi dapat dibedakan menjadi dua subkategori, (a) interview dan (b) Discourse Completion Tasks (DCT, Tugas Melengkapi Wacana). Interview biasanya dilakukan kepada sejumlah informan yang ditentukan dengan persyaratan tertentu sesuai dengan kepentingan penelitian. Interview bisa dilakukan secara individual, tetapi bisa juga dilakukan secara berkelompok dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD). DCT merupakan cara lain untuk mengelisitasi data. Pada format awal, DCT dirumuskan dalam bentuk dialog pendek yang disertai dengan slot kosong. Slot kosong inilah yang harus diisi oleh informan dengan tindak tutur tertentu dan oleh peneliti kemudian dijadikan sebagai data penelitian. Blum-Kulka, et.al: (1989: 14) memberikan contoh 129 DCT format awal ini sebagai berikut, yang dimaksudkan untuk mengelisitasi data request. Jack missed a class the day before, and would like to borrow Judith‟s notes. Jack :________________________________________________________ _____________________________________________________________ Judith: Sure, but let me have them back before class next week. Format awal DCT itu kemudian dimodifikasi oleh Rintell dan Mitchell (1989). Dalam versi modifikasi itu, DCT tidak lagi berisi dialog pendek, tetapi berisi deskripsi tentang situasi tertentu. Dalam hal ini informan diminta membayangkan berperan sebagai penutur dengan kedudukan tertentu, status sosial tertentu, atau power tertentu (role play) dan memiliki social distance tertentu dalam kaitannya dengan petutur sesuai dengan yang digambarkan dalam deskripsi situasi dalam DCT. Informan betul-betul diminta menghayati peran yang dimainkannya, seolah-olah itu adalah kejadian nyata dan kemudian informan diminta melakukan tindak tutur tertentu sesuai dengan peran yang dimainkan. Tindak tutur inilah yang kemudian oleh peneliti dijadikan sebagai data penelitian. Rintell dan Mitchell, 1989: 251) memberikan contoh DCT hasil modifikasi itu sebagai berikut. Jack, a student, was sick and missed one of the classes of the course he is enrolled in. He would like to borrow another student‟s note. The other studen‟s name is Judith. Imagine you are Jack! What do you say to get Judith to lend you her notes for the class you missed? _______________________________________________________________ Yang penting ditekankan dalam membuat deskripsi situasi adalah semua variabel sosial yang menjadi pertimbangan penting dalam kajian harus tergambar dengan jelas. Jika gambaran itu tidak jelas, maka hal itu bisa menyulitkan informan dalam mengambil peran. Akibatnya adalah tindak tutur yang dibuat oleh informan tidak tepat dan bisa menjadi data yang tidak valid dalam penelitian. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode elisitasi (DCT). Hal ini sesuai dengan pandangan Senft (1995: 578) bahwa dalam penelitian yang ingin menginvestigasi realisasi pola tindak tutur, metode elisitasi dengan menggunakan DCT sangat cocok digunakan. Karena penelitian dalam disertasi ini juga mengenai realisasi tindak tutur (kritik), maka metode elisitasi (DCT) ini pun dipandang cocok dan tepat. Dengan metode DCT ini diharapkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini bisa diperoleh secara relatif lebih cepat. Di samping itu, melalui 130 DCT ini, tidak hanya data yang berupa tuturan (dengan berbagai tipenya) yang bisa ditangkap , tetapi data yang berupa konteks dan norma sosiobudaya yang mengatur penggunaan tuturan-tuturan tersebut juga bisa ditangkap dengan baik. Hal ini berbeda dengan penggunaan metode observasi yang meskipun derajat atau tingkat kealamiahannya lebih tinggi, namun tidak mudah bagi peneliti untuk menemukan data yang diinginkan. Apalagi, data itu menyangkut norma/nilai atau konteks yang melibatkan berbagai variabel sosiologis seperti power dan social distance. Berdasarkan alasan inilah metode observasi dalam penelitian ini tidak digunakan. Metode DCT yang digunakan dalam penelitian ini pernah juga digunakan oleh Blum-Kulka (1989) ketika melakukan penelitian mengenai Requests and Apologies secara lintas kultural dalam beberapa negara. DCT dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk deskripsi situasi, bukan dialog, sesuai dengan yang dimodifikasi oleh Rintell dan Mitchell (1989). Deskripsi situasi itu berupa kasus tertentu yang menggambarkan adanya pelanggaran norma atau nilai tertentu (karena kritik sebagai sarana kontrol sosial selalu berkenaan dengan pelanggaran norma tertentu). Deskripsi situasi itu kemudian diakhiri dengan pertanyaan tertentu sesuai dengan kepentingan dan tujuan penelitian. Variabel penting yang dipertimbangkan dalam membuat deskripsi situasi adalah Distance (S-H), dan Power (S-H), Social Public. Sebagaimana dijelaskan di bawah, interaksi di antara ketiga variabel ini akan membentuk sejumlah konteks situasi (lihat seksi 3.8 di bawah). Hal ini berarti bahwa deskripsi situasi yang dirumuskan dalam DCT harus menggambarkan semua jenis konteks. Jika terdapat enam konteks yang ditentukan, maka DCT yang dibuat juga harus menggambarkan enam jenis konteks. Berikut diberikan contoh DCT yang berisi deskripsi situasi (berupa kasus pelanggaran norma tertentu) yang menggambarkan konteks (+P+D) dalam ranah perkantoran. Pak Hartono adalah kepala kantor Anda. Dia sering tidak berkenan dan marah kepada pegawai yang tidak disiplin. Masalahnya adalah Pak Hartono tidak konsekuen karena dia sendiri selaku pimpinan juga tidak disiplin dan tidak memberikan contoh disiplin yang baik kepada bawahan. Pertanyaan: Sebagai pegawai dan bawahan Pak Hartono, apa yang akan Anda lakukan terhadap Pak Hartono, atasan Anda yang tidak konsekuen tersebut? (Ingat hubungan Anda dengan Pak Hartono tidak akrab). 131 (a) Melakukan kritik kepada Pak Hartono dalam rapat kantor atau pertemuan kantor lainnya (+Pu), yang berbunyi ________________________________ _____________________________________________________________ (b) Melakukan kritik kepada Pak Hartono secara pribadi, menghindari pihak Ketiga (-Pu), yang berbunyi ______________________________________ ______________________________________________________________ (c) Diam saja dan tidak melakukan kritik. Karena ________________________ _____________________________________________________________ Dalam DCT di atas digambarkan bahwa seseorang yang menjadi sasaran kritik adalah Pak Hartono dan seseorang yang menjadi pelaku kritik adalah pegawai atau bawahan Pak Hartono di kantor. Dalam hal ini Pak Hartono selaku pimpinan kantor jelas memiliki power yang lebih tinggi daripada pegawainya. Konteks ini disimbolkan dengan (+P). Dalam DCT tersebut juga digambarkan bahwa hubungan antara Pak Hartono dan pegawai tersebut berjarak atau tidak akrab dan hal ini diberi simbol (+D). Dengan demikian, DCT di atas menggambarkan konteks (+P+D). Sebagaimana disinggung di atas, semua variabel sosial yang menjadi pertimbangan penting dalam kajian harus tergambar dalam DCT dengan jelas. Jika gambaran itu tidak jelas, maka hal itu bisa menyulitkan informan dalam mengambil peran. Akibatnya adalah tindak tutur yang dibuat oleh informan tidak tepat dan bisa menjadi data yang tidak valid dalam penelitian. 3.8 Parameter dan Konteks Kritik Perlu dikemukakan bahwa bentuk tuturan dan makna tuturan pada umumnya ditentukan oleh konteks tuturan. Dengan kata lain, konteks tuturan menentukan bentuk tuturan dan makna tuturan. Dalam peristiwa komunikasi, konteks tuturan biasanya terbentuk lebih dahulu sebelum tuturan itu diwujudkan. Berdasarkan konteks yang ada itu, penutur kemudian membuat tuturan dengan bentuk dan makna yang sesuai dengan konteks yang tersedia. Fakta ini mengandaikan bahwa dalam praktik berkomunikasi penutur tidak mungkin membuat tuturan terlebih dahulu (dengan bentuk dan makna tertentu) baru kemudian mencari-cari konteks yang sesuai. Berdasarkan kenyataan di atas, maka konteks kritik dalam penelitian ini harus disediakan dan disiapkan terlebih dahulu sebelum proses pengumpulan data di lapangan berlangsung. Konteks kritik yang telah disediakan ini sangat diperlukan oleh informan sebagai pedoman untuk membangkitkan berbagai macam strategi kritik sesuai dengan konteks yang ada, memilih formula semantik yang sesuai, dan juga menggunakan 132 modifier yang sesuai dengan konteks yang tersedia tadi. Tanpa konteks ini sulit dibayangkan bagaimana informan menyediakan data sesuai dengan konteks yang diinginkan peneliti dan tujuan penelitian. Di samping itu, konteks kritik ini juga sangat berguna bagi peneliti, yaitu sebagai panduan untuk menyusun Discourse Completion Task (DTC) dan sebagai pedoman untuk melakukan wawancara kepada informan. Tanpa berpedoman pada konteks tertentu, sulit dibayangkan bagaimana peneliti membuat DCT dan melakukan wawancara kepada informan. Sebagai pedoman bagi peneliti dan informan, konteks kritik tentu harus konsisten dan memiliki parameter-parameter yang jelas. Dalam disertasi ini parameter yang digunakan untuk menentukan konteks kritik adalah (1) Relative Power (P), (2) Social Distance (D), dan (3) Public (Pu). Parameter Relative Power dan Social Distance diambil dari Brown dan Levinson (1987). Brown dan Gilman (1969) menyebutnya sebagai Power (P) dan Solidarity ( S). Sementara itu, parameter public diambilkan dari Gunarwan (1998). Ketiga parameter tersebut (untuk menentukan konteks tuturan) pernah juga digunakan oleh Gunarwan dalam mengkaji “Ideology and the Speech Act of Prohibiting among the Batak and among the Javanese” (1998). Power atau kekuasaan merupakan parameter yang mengacu pada the degree to which speaker can impose wants on hearer (Brown dan Levinson (1987). Atau, menurut Scollon dan Scollon (2001) power mengacu pada the vertical disparity between the participants in a hierarchical structure. Power ini dapat dibedakan menjadi beberapa tipe (Thomas, 1995: 126-127), yaitu (1) legitimate power (kekuasaan sah), (2) coercive power (kekuasaan paksa), (3) reward power (kekuasaan penghargaan), (4) expert power (kekuasaan kepakaran), dan (5) referent power (kekuasaan rujukan/kekuasaan panutan). Legitimate power merupakan kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang sebagai hasil dari posisinya dalam sutau organisasi atau lembaga. Kekuasaan jenis ini memberi otoritas atau wewenang kepada seseorang untuk memberi perintah yang harus didengar dan dipatuhi oleh bawahan. Yang termasuk jenis kekuasaan ini misalnya seorang pimpinan kantor kepada bawahannya, seorang kepala sekolah kepada guru-gurunya, orang tua kepada anak-anaknya, dan lain-lain. Coercive power merupakan jenis kekuasaan yang memberikan kewenangan untuk melalukan hukuman (punishment) dan pengendalian. Tujuannya adalah untuk mengubah perilaku yang menyimpang atau tidak 133 semestinya. Punishment itu bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Reward power merupakan jenis kekuasaan yang memberikan kewenangan untuk memberikan hadiah atau penghargaan. Bentuk penghargaan ini pun bisa bermacam-macam, misalnya piagam, uang, kenaikan jabatan, dan lain-lain. Expert power merupakan jenis kekuasaan yang didasarkan pada kepakaran atau kemampuan seseorang dalam suatu bidang tertentu sehingga menyebabkan orang lain patuh karena percaya bahwa orang tersebut mempunyai pengalaman, pengetahuan, dan kemahiran konseptual dan teknikal. Dosen, misalnya, diharapkan mempunyai expert power bagi mahasiswanya. Sementara itu, referent power adalah jenis kekuasaan yang timbul karena karisma, karakteristik individu, atau kepribadian yang menarik dan keteladanan. Kiai dan ustad, misalnya, diharapkan memiliki referent power bagi santri-santrinya. Guru juga diharapkan mempunyai referent power bagi murid-muridnya. Setiap pemimpin seharusnya juga memiliki referent power bagi orang-orang yang dipimpinnya. Social Distance merupakan parameter yang mengacu pada the degree of familiarity and solidarity between speaker and hearer. Menurut Thomas (1995: 129) social distance dan power kadang-kadang agak sulit dibedakan. Hal ini disebabkan penutur yang power-nya lebih tinggi (superordinate) cenderung menunjukkan social distance kepada petutur yang subordinate. Akan tetapi, tampaknya social distance tidak hanya terjadi pada hubungan yang bersifat superordinate dan subordinate. Pada hubungan-hubungan yang bersifat sejajar dan ekual pun bisa saja social distance itu terjadi. Hal itu bergantung pada sejauh mana frekuensi interaksi penutur dan petutur. Jika frekuensi interaksinya tinggi, barangkali social distance itu tidak begitu tampak (akrab). Sebaliknya, jika frekuensi interaksinya sangat rendah, barangkali social distance itu sangat kelihatan (berjarak/tidak akrab). Parameter Public (Pu) merupakan parameter yang mengacu pada kehadiran atau keberadaan pihak ketiga, apakah kritik itu diungkapkan secara terbuka di hadapan banyak orang atau di tempat umum ataukah diungkapkan secara pribadi dengan menghindari pihak ketiga. Yang dimaksud pihak ketiga di sini bisa satu orang, dua orang, atau banyak orang, baik dikenal maupun tidak dikenal. Parameter ini tampaknya juga cukup penting dalam konteks masyarakat budaya Arek. Parameter ini diprediksi 134 bisa memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam proses pemilihan strategistrategi kritik. Perlu dikemukakan bahwa dalam praktik berkomunikasi, tiap-tiap parameter sebagaimana dijelaskan di atas tidak berdiri sendiri-sendiri dalam mempengaruhi penggunaan strategi-strategi kritik. Mengapa strategi kritik tidak langsung (strategi KL) digunakan, misalnya, tidak hanya dipengaruhi oleh siapa penuturnya dan power-nya bagaimana, atau hanya dipengaruhi social distance saja atau pubilc-nonpublic saja, tetapi dipengaruhi oleh interaksi dari ketiga parameter tersebut. Jadi, ketiga parameter tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lain membentuk sebuah konteks kritik yang menentukan penggunaan strategi-strategi kritik (strategi MKH, strategi MKV, strategi kritik langsung (KL), strategi kritik tidak langsung (KTL)). Oleh karena itu, konteks kritik dalam disertasi ini ditentukan berdasarkan interaksi dari ketiga parameter tersebut dan interaksi itu ditentukan berdasarkan fitur alternasi ± pada tiap-tiap parameter (±P, ±D, dan ±Pu) sehingga diperoleh sejumlah konteks kritik sebagaimana terlihat di bawah ini. 1. +P+D+Pu 7. –P –D+Pu 2. +P+D –Pu 8. –P+D –Pu 3.+P –D –Pu 9. =P+D+Pu 4. +P –D+Pu 10. =P –D+Pu 5. –P –D –Pu 11. =P+D –Pu 6. –P+D+Pu 12. =P –D –Pu Perlu dikemukakan bahwa parameter-parameter di atas mengacu pada karakteristik petutur atau penerima kritik (PnK). Parameter +P, misalnya, berarti PnK (petutur) memiliki power lebih tinggi daripada pelaku kritik (PK). Sebaliknya, parameter –P berarti PnK memiliki power yang lebih rendah daripada PK. Parameter =P berarti PnK dan PK memiliki power sederajat atau sejajar. Sementara itu, parameter +D berarti hubungan PnK dan PK berjarak, memiliki hubungan yang tidak akrab atau bahkan tidak kenal (stranger). Parameter –D berarti PnK dan PK memiliki hubungan yang dekat atau akrab. Sementara itu, +Pu berarti kritik dikemukakan di tempat publik (dalam rapat atau pertemuan), sedangkan –Pu berarti kritik dikemukakan secara pribadi. Jadi, konteks (+P+D+Pu), misalnya, berarti kritik dikemukakan kepada PnK yang power-nya lebih tinggi, dalam hubungan yang tidak akrab, dan kritik dikemukakan di 135 hadapan publik. Konteks (-P-D-Pu) berarti kritik dikemukakan kepada PnK yang power-nya lebih rendah, dalam hubungan yang akrab, dan kritik dikemukakan secara pribadi, dan seterusnya. Berbagai konteks situasi sebagaimana yang disebutkan di atas digunakan sebagai pedoman untuk merumuskan Discourse Completion Task dan wawancara kepada informan dalam rangka proses pengumpulan data di lapangan. 3.9 Materi Kritik dan Konteksnya Sebagaimana dikemukakan di atas, konteks kritik dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan interaksi dari tiga variabel sosiologis, yaitu relative power (±P), social distance (±D), dan public (±Pu). Di atas juga telah ditegaskan bahwa konteks kritik ini sangat penting ditentukan terlebih dahulu karena mempunyai fungsi yang sangat penting, baik bagi informan maupun peneliti. Bagi informan, konteks kritik berfungsi sebagai pedoman untuk membangkitkan berbagai macam strategi kritik. Bagi peneliti, konteks kritik berfungsi sebagai pedoman untuk merumuskan DCT dan wawancara agar tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Sebagai pedoman, konteks kritik tentu harus jelas dan konsisten. Kejelasan dan konsistensi ini akan memberikan kemudahan bagi peneliti untuk melakukan analisis data. Sesungguhnya, tidak hanya konteks kritik yang harus konsisten. Materi (jenis pelanggaran norma) yang menjadi bahan kritik pada tiap-tiap konteks juga harus konsisten. Materi kritik dalam tiap-tiap konteks harus memiliki rank of imposition yang relatif hampir sama atau memiliki bobot yang relatif hampir sama. Materi kritik yang berbeda-beda dalam konteks yang sama, apalagi memiliki rank of imposition yang berbeda-beda pula tentu akan menyulitkan peneliti di dalam menganalisis data. Mengapa demikian, karena perbedaan materi kritik dan rank of imposition sangat mempengaruhi perbedaan pemilihan strategi kritik, penggunaan formula semantik , dan lain-lain meskipun dalam konteks yang sama. Oleh karena itu, materi kritik ini juga harus konsisten dan tidak boleh plin-plan. Dengan materi kritik yang konsisten dan terjadi pada konteks yang konsisten diharapkan pola-pola pemilihan strategi kesantunan kritik, pemilihan formula semantik, dan penggunaan modifier pada tiap-tiap konteks tersebut dapat dirumuskan dengan baik. Karena penelitian ini dilaksanakan dalam dua ranah, yaitu perkantoran dan kemasyarakatan, maka materi kritik dalam penelitian ini pun disesuaikan dengan kedua ranah tersebut. Tabel 1 berikut menjelaskan materi kritik (berupa kasus pelanggaran norma/nilai) beserta konteksnya dalam ranah perkantoran, 136 sedangkan tabel 2 menjelaskan materi kritik beserta konteksnya dalam ranah kemasyarakatan. Tabel 1 Materi Kritik Berserta Konteksnya yang Dirumuskan dalam DCT dalam Ranah Perkantoran N0 1 2 Jenis Konteks Jenis Materi/Jenis Pelanggaran Norma (+P+D) Pak Hartono, kepala kantor Anda, sering marah-marah kepada pegawai yang tidak disiplin, padahal dia sendiri tidak disiplin dan tidak memberikan contoh disiplin yang baik kepada bawahan. (+P-D) Pak Gunawan, kepala kantor Anda, dikenal tidak tegas dan tidak peduli terhadap tindakan tidak disiplin yang dilakukan oleh bawahannya, Akibatnya, pekerjaan kantor amburadul dan tidak beres. 3 (-P+D) 4 (-P-D) 5 (=P+D) 6 (=P-D) Agus Handoyo, anak buah Anda di kantor, sering seenaknya meninggalkan tugas kantor untuk mengurusi bisnis sampingannya di luar kantor. Bu Fatonah, anak buah Anda di kantor, tidak disiplin, sering meninggalkan kantor tanpa izin, menghabiskan waktunya di kantor untuk main game. Akibatnya, pekerjaannya terbengkalai. Pak Wahab, kolega Anda di kantor, ditunjuk oleh pimpinan kantor untuk bekerja sama dengan Anda dalam menangani suatu pekerjaan. Masalahnya adalah Pak Wahab tidak disiplin. Pekerjaannya sering tidak beres dan tidak teliti sehingga yang ditegur pimpinan bukan hanya Pak Wahab, tetapi juga Anda selaku tim. Pak Virdi, kolega dan teman baik Anda di kantor, sering merokok secara sembarangan dan tidak pada tempatnya. Perbuatan Pak Virdi tersebut sering mengganggu orang lain termasuk Anda. Tabel 2 Materi Kritik Berserta Konteksnya yang Dirumuskan dalam DCT dalam Ranah Kemasyarakatan N0 Jenis Konteks 1 (+P+D) 2 (+P-D) 3 (-P+D) 4 (-P-D) Jenis Materi/Jenis Pelanggaran Norma Pak Sukri, Ketua RT Anda, tidak transparan dalam mengelola keuangan dan sering menarik iuran kepada warga dengan tujuan yang tidak jelas Pak Santoso, Ketua RT Anda, memberi contoh yang kurang pantas kepada warga. Dia sering membawa pulang perempuan simpanannya sampai larut malam ketika istrinya sedang tidak ada di rumah. Anda adalah seorang ketua RT. Warga Anda yang bernama Pak Tomo dikenal seenaknya, kerja bakti tidak pernah datang, iuran RT juga tidak pernah bayar. Tetapi dalam setiap rapat RT, dia selalu banyak bicara dan banyak usul seolah-olah menunjukkan komitmennya sebagai warga yang baik. Anda adalah ketua RT. Warga Anda yang bernama Pak Sugeng memelihara beberapa anjing yang cukup besar dan galak dan dibiarkan berkeliaran. Banyak warga yang ketakutan dan terganggu dengan anjing- 137 5 6 (=P+D) (=P-D) anjing Pak Sugeng, termasuk Anda selaku ketua RT. Pak Marwoko, tetangga Anda satu RT, mempunyai usaha pemotongan ayam di rumahnya. Sayangnya, limbahnya dibuang sembarangan sehingga mengganggu lingkungan dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Pak Handono, kawan dekat Anda, mempunyai kebiasaan buruk, yaitu suka berhutang dan setelah itu pura-pura lupa. Uang kas RT dipinjam dan tidak dikembalikan. Para tetangga juga banyak yang menjadi korban, bahkan Anda sendiri, kawan dekatnya, juga menjadi korban. Materi-materi kritik sebagaimana dikemukakan dalam tabel di atas dijabarkan di dalam DCT dan kemudian disodorkan kepada informan untuk diisi untuk mendapatkan gambaran tentang penggunaan berbagai macam strategi kritik, formula semantik kritik, penggunaan modifier, dan alat-alat kesantunan kritik yang lain. Berikut ini ditampilkan contoh materi kritik/pelanggaran norma yang sudah dijabarkan dalam DCT dalam konteks (=P+D) yang siap diisi oleh informan dalam ranah kemasyarakatan. Pak Marwoko mempunyai usaha pemotongan ayam di rumahnya. Sayangnya, limbahnya dibuang sembarangan sehingga mengganggu lingkungan dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Para tetangga sangat terganggu, tetapi yang paling terganggu adalah Anda karena rumah Anda paling dekat dengan tempat pembuangan limbah ayam tersebut. Pertanyaan: Apa yang Anda lakukan terhadap Pak Marwoko? (Ingat, hubungan Anda dengan Pak Marwoko tidak akrab) (a) Melakukan kritik/teguran kepada Pak Marwoko dalam pertemuan RT (+Pu), yang berbunyi _________________________________________________ (=P+D+Pu) (b) Melakukan kritik kepada Pak Marwoko secara pribadi/empat mata (-Pu), yang berbunyi _________________________________________________ (=P+D-Pu) (c) Diam saja/tidak melakukan kritik, karena sungkan/pekewuh atau khawatir Pak Marwoko merasa tersinggung. (=P+D) Yang penting dicatat adalah bahwa jika dalam DCT di atas informan memilih jawaban (a) hal ini berarti bahwa informan lebih memilih mengekspresikan kritiknya kepada Pak Marwoko secara terbuka (+Pu), yakni kritik dikemukakan di hadapan publik di dalam rapat RT atau pertemuan RT. Sebaliknya, jika informan memilih jawaban (b) hal ini berarti bahwa informan lebih memilih melakukan eksekusi kritik secara pribadi (-Pu), tidak di hadapan banyak orang. Selanjutnya, jika informan memilih 138 jawaban (c), hal ini berarti bahwa informan lebih memilih diam dan kritik hanya dikemukakan dalam hati, tidak dikemukakan secara verbal. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pemilihan (a), (b), dan (c) dalam DCT di atas tidak mungkin dilakukan secara acak, tetapi sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sosiobudaya yang berlaku. Pilihan (c), misalnya, memberikan makna bahwa informan dalam konteks (+P+D) merasa lebih cocok atau lebih nyaman menggunakan strategi MKH, yakni kritik hanya dikemukakan dalam hati. Strategi ini dipilih mungkin karena pekewuh, sungkan, atau menghindari konflik. Pilihan ini tentu saja membawa konsekuensi bahwa penyimpangan perilaku yang terjadi akan tetap terus berlangsung tanpa kontrol. Oleh karena itu, pilihan (c) bisa menggambarkan lemahnya sebuah kontrol sosial. Sebaliknya, pilihan (a) memberikan pemahaman bahwa dalam konteks (+P+D) informan merasa lebih cocok menggunakan strategi MKV (kritik betul-betul dilaksanakan dan dieksekusi secara verbal). Pilihan (b) juga memberikan pemahaman bahwa dalam konteks (+P+D) informan merasa lebih cocok menggunakan strategi MKV, tetapi kritik dikemukakan secara pribadi (-Pu), tidak terbuka (+Pu). Dengan demikian, pilihan (a) dan (b) menunjukkan bahwa kontrol sosial betul-betul dilaksanakan untuk mencegah penyimpangan perilaku yang terjadi. Pilihan (a) dan (b) menunjukkan kuatnya sebuah kontrol sosial. Selanjutnya, pilihan (a) dan (b) akan memberikan informasi kepada peneliti tentang substrategi kritik seperti apa yang digunakan oleh informan, apakah strategi KL atau KTL, formula semantik seperti apa yang digunakan (penilaian negatif, saran, ironi, kelakar, dan lain-lain), dan bagaimana penggunaan modifiernya (internal, eksternal), dan penggunaan alat-alat kesantunan yang lainnya. Informasi-informasi ini sangat bermanfaat untuk analisis data. 3.10 Validitas Data Penelitian Sebagaimana dikemukakan di atas, metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode elisitasi (DCT). Subroto (2008: 512) mengemukakan bahwa data yang diperoleh dengan cara elisitasi harus divalidasi, sedangkan yang diperoleh melalui observasi (natural) tidak perlu divalidasi. Tujuan validasi ini tentu agar data yang diperoleh betul-betul valid. Moleong (2010: 327) dan Sugiyono (2010: 122) menjelaskan bahwa terdapat beberapa teknik yang bisa dilakukan agar data yang diperoleh betul-betul memiliki validitas yang tinggi. Teknik tersebut adalah (a) triangulasi (triangulation), (b) perpanjangan pengamatan, (c) peningkatan ketekunan, 139 (d) kecukupan referensial, (e) analisis kasus negatif, dan (f) pengecekan anggota (member check ). Dalam penelitian ini, pengembangan validitas data dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi. Dalam penelitian kualitatif teknik triangulasi ini merupakan teknik yang paling umum digunakan untuk meningkatkan validitas data (Sutopo, 2006; 92). Dalam literatur disebutkan bahwa terdapat berbagai jenis triangulasi, yaitu triangulasi sumber, trianguasi metode, triangulasi teori, dan triangulasi peneliti (Mahsun, 2005: 213; Sutopo, 2006: 92; Moleong, 2010: 330). Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang sama melalui beberapa sumber yang berbeda. Triangulasi metode dilakukan dengan cara mengecek data yang sama kepada sumber yang sama, tetapi dengan metode yang berbeda. Triangulasi teori dilakukan dengan cara menggunakan perspektif lebih dari satu teori (sebagai landasan teori) dalam membahas permasalahan yang dikaji. Triangulasi peneliti dilakukan dengan cara memanfaatkan atau melibatkan beberapa peneliti untuk pengecekan kembali validitas data yang ada. Dalam penelitian ini, teknik triangulasi yang digunakan adalah triangulasi metode. Dalam pelaksanaannya, triangulasi metode ini dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui metode DCT dengan menggunakan metode interview. Semula interview direncankan secara berkelompok dalam bentuk FGD, antara 5-10 informan. Akan tetapi, karena sulitnya mengumpulkan informan dalam waktu yang bersamaan, interview dalam bentuk FGD ini tidak bisa dilaksanakan. Akhirnya, interview hanya dilakukan secara individual, orang per orang. Informan yang di-interview adalah informan pengisi DCT. Adapun bahan untuk interview adalah jawaban-jawaban informan yang telah diperoleh melalui metode DCT. Pertanyaanpertanyaan yang diajukan kepada informan dalam interview juga sama dengan pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan dalam DCT. Dengan demikian, interview tersebut berfungsi menegaskan kembali bahwa jawaban-jawaban yang telah dikemukakan dalam DCT adalah jawaban-jawaban yang memang sudah sesuai dengan fakta di lapangan. Di samping itu, tidak tertutup kemungkinan adanya informasi tambahan yang diperoleh melalui interview tersebut. Karena peneliti juga berasal dari wilayah budaya Arek, tinggal di lingkungan masyarakat budaya Arek, dan memiliki pemahaman yang cukup memadai mengenai bahasa dan norma budaya arek, maka 140 setiap data yang oleh peneliti dipandang meragukan keabsahannya (misalnya menurut peneliti tidak sesuai dengan fakta di lapangan) akan ditanyakan terus-menerus kepada informan sehingga kadang-kadang terjadi semacam diskusi antara informan dan peneliti. Dengan demikian, diharapkan data yang diperoleh betul-betul valid dan bisa dipertanggungjawabkan. Sementara itu, triangulasi sumber dalam penelitian ini tidak digunakan karena penelitian ini hanya menggunakan satu sumber, yaitu informan. Triangulasi teori dalam penelitian ini juga tidak digunakan karena tidak terlalu berkaitan dengan pengembangan validitas data. Selanjutnya, triangulasi peneliti juga tidak digunakan dalam penelitian ini karena penelitian ini tidak bersifat kelompok yang terdiri atas sejumlah peneliti. 3.11. Metode Analisis Data Sebagaimana dijelaskan, penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif proses analisis data dilakukan secara induktif. Data yang berhasil dikumpulkan di lapangan tidak dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran hipotesis, tetapi digunakan sebagai bahan atau dasar pemahaman di dalam menyusun simpulan atau teori (Sutopo, 1996: 106; Moleong, 2010: 10). Analisis induktif sangat menekankan pentingnya apa yang sebenarnya terjadi dan ditemukan di lapangan yang pada dasarnya bersifat khusus berdasarkan karakteristik konteksnya dalam kondisi alamiahnya. Analisis induktif bersifat interaktif dan siklus, serta proses analisis sudah dimulai sejak pengumpulan data di lapangan (Sutopo, 2006: 106). Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah atau tahap-tahap sebagaimana yang dikemukakan Spradley (1997). Menurut Spradly, dalam penelitian kualitatif ada empat tahap analisis data, yaitu (a) analisis domain, (b) analisis taksonomi, (c) analisis komponensial, dan (d) penemuan nilai budaya. Setiap tahap analisis ini selalu diselingi dengan pengumpulan data sehingga antara analisis data dan pengumpulan data bersifat terpadu dan prosesnya terjadi di lapangan sesuai dengan tahapnya. Tahap analisis pertama yang harus dilakukan adalah analisis domain. Analisis domain ini dilakukan dengan menggunakan acuan hubungan semantik (semantic relationship) untuk menentukan cover term dan included term. Cover term dan included term dihubungkan oleh hubungan semantik yang berupa strict inclusion (hubungan inclusi) . Jadi, X adalah bagian dari Y. Analisis berikutnya yang harus dilakukan adalah 141 analisis taksonomi. Analisis taksonomi ini digunakan untuk melihat berbagai macam kategori kritik beserta sub-subkategorinya. Selanjutnya, analisis komponensial digunakan untuk melihat keterkaiatan antarkategori atau antarvariabel yang telah diperoleh dari hasil analisis taksonomi an analisis domain untuk kemudian digunakan sebagai dasar pemahaman untuk melihat bagaimana budaya kritik dalam konteks masyarakat budaya Arek. 3.12 Prosedur Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan prosedur analisis sebagai berikut. Pertama, dilakukan analisis domain dengan menggunakan acuan hubungan semantik yang berupa strict inclusion (hubungan inclusi) untuk menentukan cover term (domain) dan included term (sub-domain). Cover term dalam penelitian ini adalah segenap masyarakat budaya Arek di Surabaya, Jawa Timur. Cover term atau domain ini terdiri atas dua included term atau sub-domain, yaitu domain perkantoran dan domain kemasyarakatan. Selanjutnya, domain perkantoran dan kemasyarakatan ini masingmasing dapat dikelompokkan lagi menjadi beberapa sub-domain berdasarkan konteksnya, yaitu ( +P+D+Pu), (+P+D-Pu), (+P-D-Pu), (+P-D+Pu), (-P-D-Pu), (P+D+Pu), (-P-D+Pu), (-P+D-Pu), (=P+D+Pu), (=P-D+Pu), (=P+D-Pu), (=P-D-Pu). Berbagai macam domain berdasarkan konteksnya ini merefleksikan bahwa analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan konteks sehingga bisa disebut juga sebagai analisis yang bersifat kontekstual. Prosedur berikutnya adalah mengaplikasikan analisis taksonomi. Dalam analisis taksonomi ini, peneliti melakukan klasifikasi atau kategorisasi terhadap berbagai data yang telah ditemukan. Kategorisasi data ini dibuat berdasarkan domainnya, yaitu domain perkantoran dan domain kemasyarakatan. Data dalam kedua domain tersebut kemudian diklasifikasikan lagi berdasarkan konteksnya sesuai dengan parameter yang telah ditentukan, yaitu (±P), (±D), dan (±Pu). Kemudian, data pada masing-masing konteks tersebut diklasifikasikan lagi berdasarkan (a) keintian unsurnya, (b) strateginya, (c) formula semantiknya, (d) modifier-nya dan alat-alat kesantunan kritik lainnya. Klasifikasi berdasarkan keintian unsurnya akan menghasilkan kategori head act dan modifier. Klasifikasi berdasarkan strateginya akan menghasilkan kategori seperti strategi MKV, strategi MKH, strategi KL dan KTL. Klasifikasi berdasarkan formula semantiknya akan menghasilkan berbgai kategori seperti kritik dengan formula 142 semantik saran, kritik dengan formula semantik pertanyaan, larangan, pertanyaan, ironi, dan lain-lain. Selanjutnya, klasifikasi berdasarkan modifier-nya akan mnghasilkan kategori seperti modifier internal dan modifier eksternal. Selanjutnya, dilakukan analisis komponensial. Dalam analisis komponensial ini, dicari keterkaitan atau hubungan antara kategori yang satu dengan kategori yang lainnya, misalnya hubungan antara konteks dengan penggunaan strategi MKV/MKH, dengan parameter (±Pu), dengan strategi KL/KTL, dengan formula semantik, dan dengan modifier dan alat-alat kesantunan kritik lainnya. Sebagai contoh, data mengindikasikan bahwa dalam konteks (+P-D), strategi yang paling lazim digunakan adalah strategi MKV (bukan MKH). Hal ini menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara koteks (+P-D) dengan penggunaan strategi MKV. Selanjutnya, strategi MKV dalam konteks (+P-D) tersebut pada umumnya cenderung diekspresikan secara pribadi (-Pu), bukan terbuka (+Pu). Hal ini menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara konteks (+PD) dengan parameter (-Pu) sehingga membentuk konteks yang lebih spesifik, yakni (+P-D-Pu). Selanjutnya, dalam konteks (+P-D-Pu) ini, strategi kritik yang paling banyak digunakan ternyata adalah strategi KTL (bukan KL). Hal ini juga menunjukkan adanya keterkaian antara konteks (+P-D-Pu) dengan strategi KTL. Berikutnya, Formula semantik yang sering digunakan untuk mengekspresikan strategi KTL dalam konteks (+P-D-Pu) tersebut adalah formula semantik yang berupa saran atau permohonan. Sementara itu, modifier yang digunakan bisa modifier internal maupun eksternal. Demikianlah, keterkaitan antar-bagian-bagian ini dapat dilihat berdasarkan analisis komponensial ini. Jika keterkaitan antar-bagian-bagian ini dapat dirumuskan dengan baik dan menyeluruh, maka cultural value (budaya kritik dalam masyarakat budaya Arek) dengan sendirinya juga dapat dijelaskan.