BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Kewargaan Organisasi
1. Definisi Perilaku Kewargaan Organisasi
Perilaku Kewargaan Organisasi (PKO) merupakan bentuk kerjasama untuk
menolong orang lain yang dapat mendukung perusahaan dalam konteks sosial dan
psikologis. Perilaku Kewargaan Organisasi menunjukan perilaku karyawan yang secara
sukarela menolong teman kerja, memiliki ketahanan diri yang tinggi dan mampu
menyesuaikan diri meskipun lingkungan kerja tidak bersahabat, serta selalu menjaga nama
baik dan citra perusahaan kepada lingkungan luar sehingga perilaku karyawan tersebut
dapat menguntungkan perusahaan meskipun tidak secara langsung perilaku positif tersebut
terlihat. Perilaku Kewargaan Organisasi merupakan perilaku spesifik berupa perilaku
menolong atau perilaku secara sukarela membantu rekan kerja di tempat kerja yang tidak
termasuk ke dalam kategori deskripsi pekerjaan (Organ, Podsakoff, dan MacKenzie, 2006).
Perilaku Kewargaan Organisasi merupakan kontribusi individu yang melebihi
tuntutan peran di tempat kerja dan sering disebut sebagai nilai tambah karyawan termasuk
ke dalam salah satu bentuk perilaku prososial, yaitu perilaku sosial yang positif. Perilaku
Kewargaan Organisasi merupakan perilaku di tempat kerja yang sesuai dengan penilaian
pribadi yang melebihi persyaratan kerja dasar seseorang (Titisari, 2014). Menurut
Budihardjo (2014), Perilaku Kewargaan Organisasi merupakan perilaku sukarela yang
termasuk dalam extra-role behavior yang tidak termasuk dalam uraian jabatan, perilaku
spontan, perilaku mudah menolong, serta perilaku yang tidak mudah terlihat tetapi dapat
dinilai melalui evaluasi kerja.
Menurut Zellars, Tepper, dan Duffy (2002), Perilaku Kewargaan Organisasi
merupakan perilaku sukarela diluar deskripsi pekerjaan yang menjadikan karyawan
memiliki persepsi positif terhadap tempat kerja atau lingkungan kerja. Menurut Todd dan
Kent (2006), Perilaku Kewargaan Organisasi merupakan perilaku yang menunjukan itensi
karyawan untuk menolong rekan kerja di tempat kerja. Bateman dan Organ (1983)
mengungkapkan bahwa Perilaku Kewargaan Organisasi merupakan perilaku yang
menjadikan karyawan melakukan hal-hal yang baik dan mampu secara sukarela
memberikan pertolongan kepada rekan kerja. Selain itu, Perilaku Kewargaan Organisasi
adalah perilaku extra-role pada karyawan yang bersifat spontan yang terdiri dari perilaku
menolong dan perilaku yang diupayakan untuk mencapai tujuan organisasi meskipun
karyawan sedang menjalankan perilaku in-role yang menjadi kewajiban atau tugas formal
karyawan pada suatu organisasi (Mohammad, Habib, dan Alias, 2011). Oleh sebab itu,
Perilaku Kewargaan Organisasi membawa peningkatan terhadap efektifitas organisasi
(Organ, Podsakoff, dan MacKenzie, 2006).
Perilaku Kewargaan Organisasi merupakan perilaku sukarela pada individu dalam
suatu keanggotaan didalam organisasi dimana perilaku tersebut diharapkan dapat
mempromosikan keberhasilan organisasi secara keseluruhan. Perilaku Kewargaan
Organisasi adalah perilaku yang dimiliki oleh karyawan dimana perilaku tersebut diluar
persyaratan yang diberlakukan oleh perusahaan, instansi, atau organisasi (Organ, 1997).
Menurut Organ, Podsakoff, dan MacKenzie (2006) Perilaku Kewargaan Organisasi
merupakan perilaku diluar kewajiban, peraturan, dan tugas-tugas perusahaan yang disebut
juga sebagai extra-role behavior, dimana extra-role behavior tersebut diberikan secara
sukarela oleh karyawan karena dapat memberikan kontribusi positif dan dapat memberikan
pengaruh positif terhadap efektivitas organisasi.
Konovsky dan Pugh (1994) mendefinisikan Perilaku Kewargaan Organisasi sebagai
perilaku sukarela pada karyawan dimana perilaku tersebut dapat meningkatkan
produktivitas organisasi karena karyawan menunjukan perilaku diluar deskripsi pekerjaan
yang positif seperti menolong rekan kerja, bertahan pada berbagai keadaan di tempat kerja,
dan menjaga citra organisasi sehingga Perilaku Kewargaan Organisasi adalah perilaku
yang
menguntungkan
organisasi.
Williams,
Pitre,
dan
Zainuba
mengungkapkan Perilaku Kewargaan Organisasi sebagai perilaku yang
(2002)
juga
menghasilkan
persepsi karyawan terhadap lingkungan kerjanya dimana persepsi tersebut merupakan
persepsi positif sehingga karyawan memunculkan perilaku extra-role yang dapat
menuntungkan organisasi. Tsai dan Su (2011) menjelaskan Perilaku Kewargaan Organisasi
sebagai perilaku sukarela pada karyawan yang dapat meningkatkan performa dan kualitas
organisasi, baik untuk organisasi itu sendiri maupun karyawan meskipun perilaku sukarela
tersebut bukan merupakan perilaku yang tercantum dalam deskripsi pekerjaan. Perilaku
Kewargaan Organisasi tersebut merupakan perilaku diluar kewajiban yang tidak termasuk
pada perilaku yang didasari oleh pemberian reward atau imbalan (Organ, Podsakoff, dan
MacKenzie, 2006).
Berdasarkan beberapa definisi yang sudah disebutkan di atas, maka peneliti
menyimpulkan definisi Perilaku Kewargaan Organisasi sebagai perilaku sukarela individu
diluar deskripsi pekerjaan dan kewajiban pekerjaan yang dapat memberikan kontribusi
positif untuk perusahaan atau organisasi.
2. Dimensi Perilaku Kewargaan Organisasi
Menurut Organ, Podsakoff, dan MacKenzie (2006) ada lima dimensi Perilaku
Kewargaan Organisasi, yaitu:
a. Altruism
Dimensi ini menunjukan perilaku membantu individu lain atau rekan kerja. Dimensi ini
menunjukan suatu perilaku membantu orang lain secara sukarela dan bukan merupakan
tugas atau kewajibannya. Dimensi ini menunjukan perilaku membantu karyawan yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi karyawan lain, misalnya membantu
pada saat teman sakit atau membantu menggunakan peralatan tertentu. Perilaku karyawan
dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang
dihadapi, baik mengenai tugas dalam organisasi maupun masalah pribadi orang lain.
b. Conscientiousness
Merupakan perilaku individu yang menunjukan upaya sukarela dalam meningkatkan
cara untuk menjalankan tugasnya secara kreatif agar kinerja organisasi meningkat. Perilaku
tersebut melibatkan tindakan kreatif dan inovatif secara sukarela untuk meningkatkan
kemampuannya dalam menjalankan tugas demi peningkatan kinerja organisasi. Individu
melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan organisasi melebihi dari yang
disyaratkan, misalnya berinisiatif meningkatkan kompetensinya dan secara sukarela
mengambil tanggung jawab. Perilaku yang ditunjukan dengan berusaha melebihi yang
diharapkan perusahaan, dimana dimensi ini menjangkau jauh di atas dan jauh ke depan dari
panggilan tugas.
c. Sportmanship
Merupakan suatu kerelaan atau toleransi untuk bertahan dan bekerja pada suatu
organisasi atau perusahaan, tanpa mengeluh meskipun keadaan di perusahaan tersebut
kurang menyenangkan. Perilaku ini menunjukan daya toleransi yang tinggi terhadap
lingkungan yang tidak menyenangkan. Individu yang mempunyai tingkatan yang tinggi
dalam sportsmanship akan meningkatkan iklim yang positif diantara karyawan, karyawan
akan lebih sopan, dan bekerja sama dengan yang lain sehingga akan menciptakan
lingkungan kerja yang lebih menyenangkan.
d. Courtesy
Merupakan perilaku yang menunjukan rasa hormat, menghargai, dan selalu menjaga
sopan santun, baik kepada rekan kerja maupun lingkungan kerja. Dimensi ini menunjukan
individu yang berusaha menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari
masalah-masalah interpersonal, dengan kata lain individu dengan dimensi ini adalah
individu yang menghargai dan memperhatikan orang lain.
e. Civic Virtue
Keterlibatan individu dalam suatu aktivitas organisasi dan peduli terhadap
kelangsungan hidup organisasi. Secara sukarela individu tersebut berpartisipasi,
bertanggung jawab, dan terlibat dalam mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh
organisasi demi kelangsungan hidup organisasi. Individu atau karyawan juga aktif
mengemukakan gagasan-gagasannya serta melalui pengamatannya pada lingkungan bisnis,
baik dalam hal ancaman maupun peluang. Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab
pada kehidupan organisasi, seperti mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil
inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur organisasi dapat
diperbaiki, dan melindungi sumber-sumber yang dimiliki oleh organisasi.
3. Faktor-faktor Pembentuk Perilaku Kewargaan Organisasi
Faktor-faktor yang membentuk Perilaku Kewargaan Organisasi (Titisari, 2014),
yaitu:
a. Kepuasan Kerja
Karyawan yang puas memiliki kemungkinan lebih besar untuk berbicara secara positif
terhadap pekerjaan mereka melampaui perkiraan normal. Kepuasan kerja itu sendiri
merupakan sikap umum individu terhadap pekerjaannya sehingga kepuasan kerja lebih
mencerminkan sikap daripada perilaku individu dengan keyakinan bahwa karyawan yang
puas lebih produktif dibandingkan karyawan yang tidak puas. Kesimpulannya, kepuasan
kerja adalah ungkapan perasaan atau sikap seseorang terhadap pekerjaannya, terhadap
kesempatan promosi, hubungan dengan rekan kerja, pengawasan dan perasaan puas
terhadap pekerjaan itu sendiri.
b. Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi menjadikan karyawan memiliki orientasi aktif dan positif
terhadap organisasi sehingga menurut banyak penelitian, komitmen organisasi mampu
untuk membentuk Perilaku Kewargaan Organisasi. Menurut Budihardjo (2014) karyawan
yang memiliki visi misi terhadap organisasi atau perusahaan akan merasa senang dan
memiliki komitmen yang tinggi sehingga akan tercipta keselarasan antara nilai-nilai
pribadi dan perusahaan. Keselarasan tersebut akan menyebabkan karyawan memiliki
komitmen yang tinggi dan diasumsikan dapat mendorong Perilaku Kewargaan Organisasi.
c. Kepribadian
Perbedaan individu merupakan prediktor yang dapat memainkan peran penting pada
diri karyawan sehingga karyawan dapat menunjukan Perilaku Kewargaan Organisasi.
Atkinson dkk (dalam Titisari, 2014) mengatakan bahwa kepribadian adalah pola perilaku
dan cara berpikir yang khas yang dapat menentukan penyesuaian diri seseorang terhadap
lingkungannya.
d. Moral Karyawan
Moral memuat ajaran atau ketentuan baik dan buruk suatu tindakan yang dilakukan
dengan sengaja. Moral karyawan adalah keserasian dan keselarasan perbuatan individu,
termasuk menjaga hubungan dengan individu atau karyawan lain sehingga sasaran dari
moral adalah keserasian atau keselarasan perbuatan-perbuatan manusia dengan aturanaturan mengenai perbuatan manusia itu sendiri (Salam dalam Titisari, 2014).
e. Motivasi
Motivasi didefinisikan sebagai suatu kecenderungan untuk beraktivitas, mulai dari
dorongan dalam diri dan diakhiri dengan penyesuaian diri. Motivasi merupakan kondisi
yang menggerakan diri karyawan yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi. Motivasi
berarti suatu kondisi yang mendorong atau menjadikanb sebab seseorang melakukan
kegiatan secara sadar, termasuk dorongan dari dalam diri karyawan untuk membantu
sesama rekan kerja.
Menurut Organ, Podsakoff, dan Mackenzie (2006), faktor-faktor yang dapat
membentuk Perilaku Kewargaan Organisasi yaitu:
a. Kepuasan Kerja
Karyawan yang memiliki kepuasan kerja cenderung untuk berperilaku lebih positif
dibandingkan dengan yang tidak merasa puas terhadap pekerjaannya, semakin puas
karyawan tersebut terhadap seluruh aspek dalam pekerjaannya maka akan semakin
produktif karyawan tersebut dalam bekerja. Perilaku psositif tersebut ditunjang oleh rasa
senang dan perhatian dengan lingkungan kerja. Lingkungan kerja tersebut meliputi tempat
kerja, atasan, dan sesama rekan kerja. Karena itu, kepuasan kerja dianggap dapat
memunculkan Perilaku Kewargaan Organisasi karena dapat memunculkan perilaku positif
terhadap rekan kerja. Robbins dan Judge (2008) mengungkapkan bahwa karyawan yang
puas akan lebih patuh terhadap panggilan tugas dan akan berbicara secara positif tentang
organisasi.
b. Kepribadian
Perbedaan individu merupakan prediktor yang dapat memainkan peran penting dalam
diri karyawan. Karyawan yang dapat memperlihatkan bagaimana kepribadian mereka akan
lebih memungkinkan untuk menampilkan Perilaku Kewargaan Organisasi. Dasar
kepribadian untuk Perilaku Kewargaan Organisasi adalah dapat merefleksikan cirri
karyawan yang kooperatif, suka menolong, perhatian, dan bersungguh-sungguh.
Kepribadian merepresentasikan konsep karyawan secara keseluruhan karena kepribadian
mencangkup persepsi, pengetahuan, dan motivasi lainnya.
B. Efikasi Diri
1. Definisi Efikasi Diri
Efikasi Diri adalah keyakinan akan kemampuan yang ada pada individu yang berguna
untuk mengorganisir dan melaksanakan tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai hasil.
Efikasi Diri juga diartikan sebagai kunci dan pendorong individu untuk mencapai targetnya
dan mampu menghadapi hambatan atau kendala dalam pencapaian tersebut. Efikasi Diri
adalah keyakinan terhadap kemampuan individu untuk mengatur dan melaksanakan tugas
yang bertujuan menghasilkan suatu pencapaian. Selain itu, Efikasi Diri adalah usaha
individu yang tumbuh dari keyakinan diri dimana individu berusaha untuk menghadapi
tugas-tugas, bahkan tugas-tugas yang tergolong sulit dan menantang (Bandura, 1997).
Efikasi Diri juga dapat diartikan sebagai keyakinan dalam diri individu terhadap
kemampuannya sendiri untuk melakukan suatu perilaku tertentu, mencapai tujuan tertentu
dan mengerjakan tugas-tugas tertentu. Seorang yang memiliki Efikasi Diri yang tinggi
maka orang tersebut memiliki keyakinan untuk mengerjakan tugas-tugasnya dengan
berhasil, sedangkan individu yang memiliki Efikasi Diri yang rendah maka akan merasa
cemas dalam mengerjakan tugas-tugasnya dan cenderung gagal (Supriyatin, 2013).
Maharani (2007) menjelaskan Efikasi Diri sebagai keyakinan dan kepercayaan yang ada
dalam diri individu akan kemampuan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu sehingga
dapat membentuk perilaku yang sesuai dengan harapan yang diinginkan. Efikasi Diri juga
memiliki arti sebagai keyakinan diri individu yang dapat memunculkan atau mendorong
individu tersebut untuk berpikir kreatif, sehingga individu dapat menemukan berbagai
alternatif dalam memecahkan masalah dan mencapai hasil yang diinginkan (Kasiati, Djalali,
dan Sofiah, 2012). Efikasi Diri merupakan usaha individu untuk meraih prestasi dan
pencapaian yang bersumber dari keyakinan diri yang dimilikinya (Kirana dan Moordiningsih,
2010).
Efikasi Diri diartikan pula keyakinan dalam diri individu bahwa individu tersebut
memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan untuk membentuk suatu perilaku yang
tepat pada situasi khusus agar membuahkan hasil yang nyata sesuai dengan keinginan
individu (Engelica, 2008). Widjaja (2010) menjelaskan Efikasi Diri adalah keyakinan dan
kepercayaan yang ada dalam diri individu akan kemampuan yang dimiliki untuk
melakukan sesuatu sehingga dapat membentuk perilaku yang sesuai dengan harapan yang
diinginkan. Efikasi Diri adalah keyakinan dan kepercayaan yang ada dalam diri individu
akan kemampuan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu sehingga dapat membentuk suatu
perilaku tertentu yang sesuai dengan harapan yang diinginkan (Supatra, 2009). Efikasi Diri
diterangkan juga sebagai keyakinan tentang kemampuan dalam melakukan tugas yang
diberikan atau melakukan suatu tindakan yang diperlukan dalam mencapai hasil tertentu
(Puspita, 2007).
Berdasarkan beberapa definisi yang sudah disebutkan di atas, maka peneliti
menyimpulkan definisi Efikasi Diri yang digunakan dalam penelitian ini adalah keyakinan
tentang kemampuan individu terhadap kemampuannya untuk melakukan tugas yang
bertujuan menghasilkan suatu pencapaian.
2. Dimensi Efikasi Diri
Menurut Bandura (1997) terdapat tiga dimensi Efikasi Diri, yaitu:
a. Level (Tingkat Kesulitan)
Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kesulitan yang dikerjakan oleh individu. Setiap
individu memiliki tingkat kesulitan yang berbeda. Apabila tugas disusun secara bertingkat
mulai dari tugas yang sederhana sampai dengan tugas yang memiliki tingkat kesulitan yang
tinggi. Efikasi Diri individu akan mampu mengerjakan tugas sesuai dengan batas
kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku disetiap tingkatannya.
Individu akan mencoba tugas yang dirasa mampu dilakukannya dan menghindari tugas
yang berada di luar batas kemampuannya.
b. Generality (Luas Bidang Perilaku)
Dimensi ini berkaitan dengan luas bidang perilaku dimana individu merasa yakin
terhadap kemampuannya. Individu mampu mengerjakan tugas yang berbeda dengan
adanya kemiripan tugas yang pernah dilakukan sebelumnya. Kemiripan tersebut dapat
diekspresikan dengan mencakup perilaku, kognitif, atau afektif. Mampu atau tidaknya
individu mengerjakan tugas pada bidang tertentu mengungkapkan gambaran secara umum
tentang Efikasi Diri individu tersebut. Semakin banyak individu mengerjakan tugas dan
memiliki pemahaman yang luas, akan semakin meningkatkan keyakinan diri pada individu
tersebut.
c. Strength (Kemantapan Keyakinan)
Individu memiliki keyakinan yang kuat, ulet serta tekun dalam mencapai usahanya
meskipun mengalami kesulitan dan hambatan. Individu ini tidak akan mudah menyerah
dan tetap bertahan pada usahanya dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Individu
tidak akan mudah tenggelam dalam kesulitan tugas. Semakin kuat Efikasi Diri maka akan
semakin besar ketekunan dan kemungkinan bahwa kegiatan yang dipilih akan berhasil
untuk dilakukan. Individu yang memiliki keyakinan diri yang lemah akan mudah menyerah
menghadapi tugas dan tantangan.
3. Sumber Efikasi Diri
Bandura (1997) mengemukakan bahwa ada empat sumber pembentukan Efikasi
Diri pada individu, yaitu :
a. Enactive Mastery Experiences
Sumber ini merupakan sumber yang paling berpengaruh terhadap pembentukan Efikasi
Diri pada diri individu karena memberikan bukti secara nyata terhadap keberhasilan
individu mencapai kesuksesan berdasarkan pengalaman individu tersebut. Kesuksesan
akan membangun kepercayaan yang kuat akan keberhasilan dalam pribadi individu,
sedangkan kegagalan dapat merusak kepercayaan tersebut terutama jika kegagalan tersebut
terjadi sebelum individu merasakan keberhasilan pada dirinya. Keberhasilan akan
meningkatkan harapan dalam diri individu dan kegagalan akan menurunkan harapan
tersebut. Semakin sering individu mengalami keberhasilan dalam mengerjakan tugas dan
menghadapi tantangan maka individu akan semakin meningkatkan keyakinan pada dirinya.
b. Vicarious Experience
Selain melalui keyakinan yang berasal dari diri sendiri, individu dapat memunculkan
Efikasi Diri melalui modeling terhadap orang lain. Individu melakukan modeling kepada
orang-orang yang berhasil mencapai keberhasilan sehingga individu memiliki dorongan
untuk memunculkan efikasi didalam dirinya. Modeling tersebut akan lebih berhasil ketika
individu mencontoh orang lain yang memiliki kemampuan yang setara dan berhasil
mencapai target untuk dijadikan modeling karena pencapaian orang lain yang mirip dengan
diri sendiri dapat menjadi penilaian untuk diri sendiri untuk mencapai kesuksesan. Dengan
kata lain, melakukan pengamatan kepada orang lain yang memiliki kemampuan setara dan
mampu mencapai keberhasilan dapat menimbulkan keyakinan akan keberhasilan atau
kesuksesan untuk diri sendiri karena orang lain tersebut berhasil untuk melakukan kegiatan
yang sebanding atau setara dengan kegiatan yang dilakukan oleh diri sendiri.
c. Verbal Persuasion
Efikasi Diri dapat muncul dalam diri individu melalui kata-kata positif yang ditujukan
untuk diri sendiri. Terkadang individu akan merasakan keraguan dan kesulitan dalam
dirinya. Hal tersebut justru dapat menghasilkan kata-kata yang dapat mempersuasi diri
sendiri sebagai sumber pembentukan Efikasi Diri, karena dengan persuasi kata dapat
menjadi dorongan bagi diri sendiri untuk bangkit dan menuju penilaian diri yang lebih
positif. Individu yang dapat dipersuasi secara lisan akan cenderung memiliki kemampuan
untuk menguasai tugas-tugas yang diberikan dan memiliki upaya yang lebih besar terhadap
tugas tersebut dibandingkan dengan individu yang menghindari diri dari keraguan.
Persuasi dan pemberian kata-kata positif dapat mengantarkan individu untuk berusaha dan
bekerja keras dalam mencapai keberhasilan serta dapat sebagai pengembangan
keterampilan untuk keberhasilan pribadi individu.
d. Physiological and Affective States
Individu dapat menilai kemampuan dari keadaan fisik dan afektif, dengan artian bahwa
segala keadaan fisik terutama keadaan emosi individu dapat mempengaruhi performa
dalam melakukan suatu kegiatan atau tindakan. Contoh keadaan emosi tersebut adalah
mengalami ketkutan, kecemasan, serta stres yang kuat sehingga dapat menghasilkan
ekspektasi terhadap Efikasi Diri yang rendah. Begitu juga dengan sebaliknya, jika individu
memiliki emosi yang mengarah pada perasaan gembira dan optimis maka dapat
menghasilkan ekspektasi terhadap Efikasi Diri yang tinggi. Begitu juga dengan keadaan
fisik yang sehat dapat menghasilkan Efikasi Diri yang tinggi serta mampu menghadapi
hambatan atau tantangan dalam menyelesaikan tugas-tugas.
4. Proses Terjadinya Efikasi Diri
Efikasi Diri dibagi menjadi empat proses (Bandura, 1997) yaitu:
a. Proses Kognitif
Keyakinan terhadap Efikasi Diri dapat mempengaruhi pola pikir dimana pola pikir
tesebut dapat meningkatkan maupun melemahkan kinerja. Individu yang memiliki rasa
yang tinggi terhadap keberhasilan dapat mengambil perspektif waktu masa depan untuk
mengatur dan membentuk hidupnya. Semakin tinggi penerimaan akan Efikasi Diri maka
akan semakin tinggi tujuan yang ditetapkan dan semakin tegas komitmen yang dibuat oleh
individu (Bandura dan Wood, Locke dan Latham dalam Bandura, 1997). Fungsi utama dari
proses kognitif adalah memungkinkan individu untuk memprediksi hasil dari beberapa
tindakan yang berbeda dan dapat berperan sebagai pengendali terhadap segala sesuatu
yang mempengaruhi individu, terutam pengaruh dari orang lain. Selain itu, Efikasi Diri
terhadap fungsi kognitif melalui proses yang sama seperti proses pengolahan informasi.
Semakin kuat keyakinan individu terhadap kemampuan dan kapasitas memori maka akan
semakin kuat juga usaha individu untuk meningkatkan kemampuan memori.
b. Proses Motivasi
Individu yang memiliki Efikasi Diri yang tinggi akan memiliki dorongan untuk
meningkatkan usaha untuk mencapai hasil, menghadapi tantangan, serta membentuk diri
yang positif. Kemampuan menghadapi tantangan akan membentuk ketangguhan individu
sehingga memungkinkan individu untuk menjauhkan diri dari rasa mudah menyerah dan
putus asa ketika individu dihadapkan dengan serangkaian tugas.
c. Proses Afektif
Dengan proses afektif, individu dapat mengendalikan berbagai emosi dan dampaknya
terhadap kehidupan, seperti stres, tekanan, kecemasan, kebahagian, kekuatan, dan
ketangguhan. Karena itu, Efikasi Diri dapat menjadikan individu dapat menghadapi
berbagai macam situasi yang menekan atau mengancam. Dengan Efikasi Diri tersebut,
individu tidak akan merasa terganggu dan mampu menghadapinya.
d. Proses Selektif atau Pemilihan
Pemilihan dalam diri individu dipengaruhi oleh keyakinan akan kemampuan pribadi.
Karenanya, keyakinan akan keberhasilan pribadi dapat menjadi kunci pembentukan
kehidupan individu dan dapat mempengaruhi jenis kegiatan atau aktivitas yang akan
dipilih oleh individu untuk dijalaninya. Individu akan memilih aktivitas yang juga sesuai
dengan keadaan lingkungannya serta aktivitas yang memang bisa berjalan dengan baik di
lingkungannya tersebut. Individu dengan Efikasi Diri yang tinggi akan memilih kegiatan
atau aktivitas yang menantang (Kavanagh dan Mayer dalam Bandura, 1997). Individu
dengan Efikasi Diri yang tinggi tidak hanya bersedia memilih aktivitas yang sulit tetapi
juga mampu menampilkan daya tahan yang tinggi dalam menghadapi kesulitan tersebut.
C. Kecerdasan Emosional
1. Definisi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan Emosional adalah pengendalian diri, semangat, ketekunan, serta
kemampuan individu untuk memotivasi diri sendiri. Kecerdasan Emosional juga
merupakan kemampuan individu mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi,
menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya. Emosi itu sendiri menurut Goleman
merupakan suatu kondisi mental yang melibatkan aspek biologis, psikologis, maupun
kecenderungan untuk bertindak. Keterkaitan antara emosi dengan perilaku individu
menuntut kemampuan individu untuk dapat mengelola emosi dengan baik, sehingga
kemampuan mengelola emosi akan memunculkan emosi positif dalam dirinya yang
menjadikan individu tersebut menjadi lebih peka dan mampu memahami individu lain
serta lingkungannya (Goleman, 2001).
Kecerdasan Emosional juga dijelaskan sebagai kesanggupan untuk mengendalikan
dorongan emosi, untuk membaca perasaan terdalam orang lain, dan untuk memelihara
hubungan dengan sebaik-baiknya, baik dengan orang lain maupun dengan lingkungan
sekitar. Kecerdasan emosi itu sendiri memiliki arti tersendiri yaitu kemampuan emosi,
dimana kemampuan tersebut meliputi kemampuan untuk mengendalikan diri, memiliki
daya tahan ketika menghadapi masalah, mampu mengendalikan impuls, mampu
memotivasi diri, mampu mengatur suasana hati dan tidak mudah terpengaruh oleh keadaan
lingkungan yang kurang menyenangkan, kemampuan berempati, serta kemampuan
membina hubungan yang baik dengan orang lain (Goleman, 2001).
Menurut Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 2001), Kecerdasan Emosional dapat
dikaitkan sebagai keterampilan berupa kemampuan untuk menilai emosi diri sendiri dan
orang lain serta keterampilan merencanakan untuk meraih tujuan kehidupan. Selain itu,
Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 2001) menyatakan kecerdasan emosional sebagai
kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain dan
menggunakan informasi untuk membimbing pikiran serta tindakan. Menurut Setyowati dan
Sawitri (2010) Kecerdasan Emosional merupakan kemampuan mengontrol emosi yang
menghasilkan emosi yang stabil pada diri individu.
Menurut Ibrahim (2013) Kecerdasan Emosional merupakan kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dalam mengendalikan berbagai perasaan atau emosi yang terjadi
pada individu. Seligman (dalam Goleman, 2001) mengungkapkan bahwa individu yang
cerdas emosinya akan bersikap optimis, dimana segala sesuatunya dapat diatasi dengan
baik meskipun ada hambatan yang menghalangi. Artha dan Supriyadi (2013)
mengungkapkan bahwa Kecerdasan Emosional merupakan pandangan emosi pada individu
sehingga dapat mempengaruhi bagaimana individu bertindak. Saptoto (2001) menyatakan
Kecerdasan Emosional sebagai kemampuan untuk mengetahui keadaan dan perasaan orang
lain sehingga individu mampu berbagi rasa dan mampu menerima sudut pandang orang
lain. Selain itu, Kecerdasan Emosional adalah kemampuan individu untuk mengatur
kehidupan emosinya dengan inteligensi untuk menjaga keselarasan emosi dan
pengungkapan emosi tersebut melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri,
motivasi diri, empati, serta keterampilan sosial (Goleman, 2001).
Eman dan Soesatyo (2013) mengungkapkan bahwa Kecerdasan Emosional
merupakan pengendalian emosi pada diri individu dan kemampuan untuk memahami
emosi orang lain sehingga individu dapat menciptakan ikatan emosional dengan individu
lainnya. Fidiana dan Setyawardani (2009) menyatakan Kecerdasan Emosional sebagai
kemampuan untuk mengendalikan emosi terhadap berbagai macam tekanan yang ada di
lingkungan, dimana salah satu tekanan tersebut adalah toleransi terhadap tingkat stres.
Menurut Hidayati, Purwanto, dan Yuwono (2008) Kecerdasan Emosional adalah
kemampuan mengendalikan emosi sehingga individu memiliki kestabilan emosi, dimana
kestabilan tersebut menjadikan individu memiliki penyesuaian diri yang baik, mampu
menghadapi kesukaran dengan cara objektif serta menikmati kehidupan yang stabil,
tenang, merasa senang, tertarik untuk bekerja, dan mampu menerima kritik. Selain itu,
Robbins dan Judge (2008) juga menyatakan bahwa Kecerdasan Emosional menunjukan
campuran keterampilan non kognitif, kapabilitas, dan kompetensi yang mempengaruhi
kemampuan orang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.
Berdasarkan beberapa definisi yang sudah disebutkan di atas, maka peneliti
menyimpulkan definisi Kecerdasan Emosional yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kemampuan individu untuk mengendalikan atau mengelola emosi diri dan memahami
emosi individu lain dengan tujuan untuk menciptakan kehidupan yang baik.
2. Dimensi Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman (2001), Kecerdasan Emosional dibagi menjadi lima dimensi, yaitu:
a. Mengenali Emosi Sendiri
Kesadaran diri untuk mengenali perasaan disaat perasaan tersebut muncul atau terjadi.
Mengenali emosi sendiri merupakan dasar Kecerdasan Emosional. Kemampuan memantau
perasaan merupakan hal yang penting untuk pemahaman diri. Individu yang memiliki
keyakinan yang lebih terhadap perasaannya adalah individu yang andal untuk
kehidupannya karena mempunyai kepekaan yang lebih tinggi akan perasaan mereka yang
sesungguhnya atas berbagai pengambilan keputusan dalam hidupnya.
b. Mengelola Emosi
Mampu untuk menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan baik
merupakan bagian dari pengelolaan emosi. Mengelola emosi sangat bergantung pada
kesadaran diri. Mengelola emosi terkait dengan kemampuan individu untuk menghibur diri
sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, dan tekanan dalam diri. Individu yang
memiliki kemampuan untuk mengelola emosi dengan baik dapat bangkit kembali dengan
cepat setelah mengalami hal-hal yang mungkin menimbulkan stres atau tekanan pada
dirinya, sedangkan individu yang kurang mampu untuk mengelola emosi dengan baik
cenderung melawan perasaan tertekan atau masalah tanpa disertai inisiatif untuk bangkit.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Individu yang memiliki keterampilan untuk memotivasi diri sendiri cenderung jauh
lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang dirinya kerjakan. Kemampuan untuk
mengatur emosi merupakan sarana penting untuk memotivasi dan menguasai diri sendiri.
Salah satu kunci dari keberhasilan diberbagai bidang adalah mampu menahan diri terhadap
kepuasan dan mengendalikan dorongan hati.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Hal ini terkait dengan empati. Individu yang memiliki rasa empati akan lebih mampu
menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi sehingga empati dijadikan sebagai dasar
keterampilan sosial. Empati sendiri memiliki definisi sederhana berupa kepekaan individu
terhadap perasaan dan keadaan individu lain atau orang-orang disekitarnya.
e. Membina Hubungan
Kemampuan membina hubungan dengan baik merupakan salah satu keterampilan
mengelola emosi orang lain. Keterampilan dalam membina hubungan dapat dikaitkan
dengan kunci keberhasilan untuk menunjang popularitas terkait dengan lingkungan sosial,
menjalankan kepemimpinan, dan keberhasilan antar-pribadi atau antar-individu. Individu
yang mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain akan sukses pada bidang
apapun yang mengandalkan pergaulan atau hubungan dengan orang lain.
D. Pramugari Pramugara
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), Pramugari Pramugara adalah
karyawan perusahaan pengangkutan umum (udara) yang bertugas melayani penumpang.
Menurut Oxford Advance Learner’s Dictionary (2005), flight attendant atau dalam Bahasa
Indonesia adalah Pramugari Pramugara merupakan orang yang bekerja untuk melayani,
membantu, dan menjaga penumpang yang berada didalam pesawat. Pramugari Pramugara
yang juga dikenal dengan nama lainnya yaitu awak kabin (cabin crew atau flight crew)
memiliki pengertian yaitu orang yang bekerja didalam pesawat selama penerbangan, baik
untuk melayani, membantu, menjaga penumpang maupun orang yang menangani berbagai
hal yang ada didalam kabin pesawat. Pramugari Pramugara yang tergabung kedalam
personel penerbangan, menurut Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 12 (dalam Undang-Undang Penerbangan 2009, 2010) adalah
personel yang berlisensi dan bersertifikat yang diberi tugas dan tanggung jawab di bidang
penerbangan.
Berdasarkan Flight Attendant Service Guide Book (2011), Pramugari Pramugara
Maskapai X harus memiliki beberapa standar karakteristik dan sikap sebagai berikut: (1)
Unik dan Profesional, (2) Ramah dan memiliki orientasi personal, (3) Efektif dan efisien,
(3) Kewaspadaan pada setiap situasi, dan (4) Memiliki reputasi yang baik. Definisi
Pramugari Pramugara berdasarkan Aircrew Safety Manual (2011), Pramugari Pramugara
adalah karyawan yang terdaftar dalam berbagai tugas di pesawat selama penerbangan
berlangsung, terdiri dari Pramugari Pramugara yang masih berada dalam masa latihan
maupun sudah resmi bekerja sebagai pegawai.
Berdasarkan definisi yang telah disebutkan diatas, peneliti menyimpulkan definisi
Pramugari Pramugara, yaitu individu yang bekerja didalam pesawat yang bertugas untuk
membantu, melayani, dan menjaga keamanan penumpang pesawat.
E. Dinamika Antar Variabel
Maskapai X adalah maskapai penerbangan milik negara yang menyediakan jasa
layanan full-service. Maskapai X memiliki posisi atau kualitas bagus dan istimewa dengan
memiliki pertumbuhan long-run opportunities, yaitu Maskapai X memiliki pangsa pasar
yang relatif tinggi dalam pertumbuhan pasar industri transportasi udara yang juga relatif
tinggi (Kuntjoroadi dan Safitri, 2009). Sebagai perusahaan yang bergerak pada bidang
pelayanan jasa, Maskapai X memiliki karyawan yang menjadi andalan dalam memberikan
pelayanan jasa untuk penumpang. Karyawan, pekerja, atau orang yang bekerja untuk
memberikan pelayanan jasa tersebut adalah Pramugari Pramugara. Secara umum, tugas
Pramugari Pramugara yaitu untuk memberikan pelayanan, membantu, dan menjaga
penumpang selama berada didalam pesawat (Oxford Dictionary, 2005). Secara khusus,
tugas Pramugari Pramugara yaitu menjaga keselamatan penumpang pengguna maskapai
penerbangan. Pramugari Pramugara memiliki tugas, tanggung jawab, dan resiko akan
keselamatan yang besar terhadap pekerjaannya. Karena itu, Pramugari Pramugara dalam
perannya diharapkan dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab yang besar secara
sukarela, sebab memiliki perilaku diluar kewajiban perusahaan menjadi penting bagi
Pramugari Pramugara. Tidak hanya penting untuk Pramugari Pramugara itu sendiri, tetapi
juga menjadi penting untuk perusahaan terkait yaitu Maskapai X. Pramugari Pramugara
dapat secara sukarela menolong teman kerja, memiliki ketahanan diri yang tinggi dan
mampu menyesuaikan diri meskipun lingkungan kerja tidak bersahabat, selalu menjaga
nama baik dan citra Maskapai X kepada lingkungan luar serta memiliki kesadaran yang
tinggi terhadap segala resiko yang dihadapi sehingga perilaku Pramugari Pramugara
tersebut dapat menguntungkan Maskapai X.
Perilaku sukarela tersebut merupakan perilaku diluar kewajiban dan deskripsi
pekerjaan yang diberikan kepada organisasi atau perusahaan, yangmana perilaku sukarela
tersebut dapat membawa keuntungan dan kontribusi positif bagi perusahaan. Perilaku
sukarela tersebut adalah Perilaku Kewargaan Organisasi (Organ, Podsakoff, dan
MacKenzie, 2006). Perilaku Kewargaan Organisasi menunjukkan perilaku karyawan yang
secara sukarela menolong teman kerja, memiliki ketahanan diri yang tinggi dan mampu
menyesuaikan diri meskipun lingkungan kerja tidak bersahabat, serta selalu menjaga nama
baik dan citra perusahaan kepada lingkungan luar. Oleh sebab itu, meskipun Perilaku
Kewargaan Organisasi diluar deskripsi pekerjaan tetapi perilaku tersebut juga penting
untuk dimiliki oleh Pramugari Pramugara yang dapat membawa kontribusi positif bagi
Maskapai X. Perilaku Kewargaan Organisasi tersebut dapat muncul ketika Pramugari
Pramugara yakin akan kemampuannya untuk mengatur serta melaksanakan tindakan yang
diperlukan untuk menghasilkan pencapaian atau yang disebut sebagai Efikasi Diri dan
kemampuan mengendalikan emosi dalam menghadapi berbagai situasi kerja atau yang
disebut sebagai Kecerdasan Emosional.
Efikasi Diri merupakan keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk
mengatur dan melaksanakan tugas yang bertujuan menghasilkan suatu pencapaian
(Bandura, 1997). Efikasi Diri dapat menjadi dasar dan kontribusi untuk Pramugari
Pramugara dalam memunculkan Perilaku Kewargaan Organisasi sehingga tanggung jawab,
resiko, membantu rekan kerja, dan melakukan pekerjaan dapat secara sukarela dilakukan
oleh Pramugari Pramugara. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2013)
menunjukan bahwa Efikasi Diri memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan
Perilaku Kewargaan Organisasi. Penelitian tersebut memaparkan bahwa keyakinan dan
kepercayaan individu terhadap kemampuannya akan membawa keberhasilan dalam
pekerjaan atau yang dilakukan oleh individu. Selain itu, keyakinan individu terhadap
kemampuannya dapat menjadikan individu menghadapi tugas yang dapat dikategorikan
sebagai tugas yang sulit.
Kecerdasan Emosional merupakan kemampuan untuk mengendalikan diri,
memiliki daya tahan ketika menghadapi suatu masalah, memotivasi diri, mampu mengatur
suasana hati, mengelola emosi, dan kemampuan untuk membina hubungan yang baik
dengan orang lain (Goleman, 2001). Oleh karena itu, Kecerdasan Emosional sebagai dasar
untuk mengerjakan tugas-tugas diluar kewajiban yang dapat dikategorikan sebagai tugas
extra-role yang berat dan dilakukan oleh Pramugari Pramugara dimana perilaku tersebut
merupakan bagian dari Perilaku Kewargaan Organisasi. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sumiyarsih, Mujiasih, dan Ariati (2012) menunjukan bahwa Kecerdasan Emosional
memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan Perilaku Kewargaan Organisasi.
Penelitian tersebut memaparkan bahwa karyawan yang memiliki Kecerdasan Emosional
baik, mempunyai kemampuan untuk memotivasi diri untuk mengerjakan tugas dengan baik
karena dapat lebih kooperatif dalam bekerja dan empati untuk cenderung membantu rekan
kerja dengan sukarela karena karyawan tersebut akan merasakan emosi yang positif dan
menyenangkan (aktif, bersemangat, dan percaya diri) untuk membantu rekan kerja.
Berdasarkan dari uraian diatas, maka dengan Efikasi Diri dan Kecerdasan Emosional
yang tinggi akan membuat Perilaku Kewargaan Organisasi menjadi tinggi, sedangkan
Efikasi Diri dan Kecerdasan Emosional yang rendah akan membuat Perilaku Kewargaan
Organisasi juga rendah dan dapat diduga bahwa Efikasi Diri dan Kecerdasan Emosional
memiliki hubungan positif dengan Perilaku Kewargaan Organisasi.
Efikasi Diri
a. Level
b. Generality
c. Strength
Perilaku Kewargaan
Organisasi
a. Altruism
b. Conscientiousness
c. Sportmanship
d. Courtesy
e. Civic Virtue
Kecerdasan Emosional
a. Mengenali emosi diri
b. Mengelola emosi
c. Memotivasi diri
sendiri
d. Mengenali emosi
orang lain
e. Membina hubungan
Gambar.1. Diagram hubungan Efikasi Diri dan Kecerdasan Emosional dengan Perilaku
Kewargaan Organisasi
Keterangan Gambar :
: Variabel Penelitian
: Arah Hubungan
F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian teoritik diatas, maka dapat ditarik suatu hipotesis penelitian dan
dapat dirumuskan sebagai berikut :
H0
: Tidak ada hubungan antara Efikasi Diri dan Kecerdasan Emosional dengan
Perilaku Kewargaan Organisasi pada Pramugari Pramugara Maskapai X.
Ha
: Ada hubungan antara Efikasi Diri dan Kecerdasan Emosional dengan Perilaku
Kewargaan Organisasi pada Pramugari Pramugara Maskapai X.
Download