tinjauan pustaka

advertisement
3
TINJAUAN PUSTAKA
Domba
Domba merupakan salah satu sumber protein yang semakin digemari oleh
penduduk Indonesia. Fenomena ini semakin terlihat dengan bertambahnya
warung-warung sate di pinggiran jalan, terutama jalan yang menuju puncak Bogor
dan beberapa tempat wisata di sekitar Bogor. Permintaan domba juga semakin
meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, terutama
pada saat Idul Adha (Harianto 2010).
Ovarium
Ovarium adalah organ reprodusi betina yang terletak di ruang abdomen
seekor hewan. Pada domba bentuk ovarium seperti kacang almond. Ovarium
dapat bekerja sebagai organ eksokrin (menghasilkan sel telur) dan endokrin
(menghasilkan hormon) (Thomas & Joanna 2002). Ovarium dibagi menjadi dua
bagian, yaitu kortek dan medula. Sebagian besar ovarium didominasi oleh kortek.
Kortek dilapisi oleh simple squamous dan epitelium kuboid. Di bagian yang lebih
dalam terdapat jaringan yang tidak beraturan yang disebut tunika albuginea.
Tunika albuginea berhubungan dengan stroma ovarium yang terdiri dari jaringan
ikat longgar yang mengandung folikel dan korpus luteum. Sedangkan daerah
medula terdiri atas pembuluh darah, pembuluh limfe, saraf, jaringan ikat dan otot
polos (Schatten & Gheorghe 2007).
Pada saat fetus, ovarium menghasilkan oogonia melalui pembelahan
mitosis. Sekitar 1 (satu) juta oosit berkembang setelah fetus dilahirkan namun
hanya beberapa ratus oosit yang akan diovulasikan. Umumnya oosit akan
berkurang karena mengalami degenerasi dan atresia (Schatten & Gheorghe 2007).
Oogenesis dan Folikulogenesis
Oogenesis merupakan proses pembentukan gamet betina atau oosit. Proses
ini bersamaan dengan proses pembentukan folikel yang dikenal dengan
folikulogenesis. Folikel primodial yang telah terbentuk sewaktu di dalam
kandungan maupun setelah lahir akan terus berkembang dan mengalami
pematangan, ovulasi ataupun degenerasi (Hafez 2000).
4
Pada saat hewan lahir, ovarium memiliki sejumlah folikel primodial yang
akan berkembang pada saat pubertas. Folikel ini mengandung oosit dengan inti
berada pada tahap profase dari pembelahan meiosis pertama (oosit primer).
Setelah pubertas, folikel primodial berkembang menjadi folikel primer.
Pembentukan folikel dibagi menjadi empat fase: primodial, primer, sekunder dan
tertier (Schatten & Gheorghe 2007). Follicle stimulating hormone (FSH)
dilepaskan dari pituitari anterior untuk menstimuli perkembangan folikel primer
menjadi sekunder, tertier dan akhirnya mencapai bentuk folikel de Graaf (Colville
2002). Folikel primer terbentuk, dimulai dari sel epitel yang mengelilingi oosit
berubah bentuk dari pipih menjadi kuboid (Schatten & Gheorghe 2007). Awalnya,
sel folikel berhubungan erat dengan oosit, kemudian terbentuk zona pelusida yang
berasal dari suatu lapisan zat aseluler dan terdiri dari mukopolisakarida
diendapkan pada permukaan oosit (Thomas & Joanna 2002).
Sel folikel mulai berproliferasi dengan membentuk suatu lapisan seluler
yang tebal yang mengelilingi oosit. Selanjutnaya dibawah pengaruh gonadotropin
dari hipofise anterior, sel-sel folikel terus berkembang menjadi beberapa lapis
seluler hingga membentuk ruang-ruang yang disebut antrum folikel, ini dikenal
sebagai folikel sekunder (Gordon 2003). Folikel yang matang dikenal sebagai
folikel tertier, yang dikelilingi oleh dua lapisan jaringan ikat yaitu teka interna dan
teka externa. Teka interna adalah lapis bagian dalam yang menghasilkan estrogen
dan kaya dengan pembuluh darah sedangkan teka eksterna adalah lapis luar yang
beransur-ansur akan bersatu dengan stroma ovarium. Antrum folikel akan terus
bertambah besar seiring dengan perkembangan folikel tertier sampai menjelang
ovulasi. Pada saat ini folikel terteir disebut folikel de Graaf (Thomas & Joanna
2002).
Oosit
In vitro maturation (IVM) adalah suatu proses yang perlu dilalui oleh oosit
agar oosit mengalami perubahan struktur dan biokimiawi menjadi fase metaphase
II melalui pembelahan miosis secara in vitro (Anthony et al. 2011). Umumnya
oosit yang dikoleksi dari ovarium adalah oosit primer, oleh karena itu diperlukan
suatu proses kultur yang dikenal dengan nama IVM (Gordon 2003). Kualitas oosit
dan keberhasilan oosit berkembang menjadi fase metaphase II secara in vitro
5
dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah kondisi donor, transportasi
ovarium, seleksi folikel dan IVM (Wang et al. 2011). Kualitas oosit yang
digunakan untuk proses maturasi in vitro akan sangat mempengaruhi keberhasilan
IVF selanjutnya. Jika salah satu dari faktor-faktor tersebut tidak ditangani dengan
baik dapat menyebabkan abnormalitas pada hasil IVF dan pembentukan embrio.
Transportasi ovarium merupakan tahap awal dari porses produksi embrio secara in
vitro yang menjadi faktor penting karena dapat mempengaruhi kualitas oosit.
Penanganan pada ovarium terdiri dari tiga faktor, yaitu faktor suhu, faktor waktu
dan medium penyimpanan (Gordon 2003). Ketiga faktor ini penting karena
penyimpanan ovarium tanpa suplai darah dapat menurunkan kualitas oosit.
Transportasi ovarium
Transportasi
ovarium
menuju
laboratorium
dalam
keadaan
tidak
mendapatkan suplai darah menyebabkan berkurangnya suplai oksigen dan energi.
Keadaan ini disebut iskemia dan kondisi re-oxygenation (Wang et al. 2011).
Metabolisme jaringan yang tidak mendapat suplai oksigen akan berubah kondisi
aerobic menjadi anaerobic dengan hasil metabolismenya adalah asam laktat yang
terakumulasi diantara sel (Petrucci et al. 2010). Selain itu, adenosine triphosphate
(ATP) yang dipecahkan tanpa disintesa akan menghasilkan sisa metabolik yaitu
fosfor inorganik. Fosfor yang berinteraksi dengan air akan menjadi asam fosfor,
dimana apabila terjadi akumulasi asam fosfor dan asam laktat akan menyebabkan
terjadinya penurunan pH (Petrucci et al. 2010). Penurunan pH yang disebabkan
oleh akumulasi ion H+. Ion H+ yang terakumulasi pada ovarium akan merembes
keluar masuk ke dalam cairan folikular dan menginduksi terjadinya asidosis pada
lingkungan sekitar oosit (Wongsrikaeo et al. 2005). Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi kualitas oosit selama tranposrtasi ovarium dari rumah potong
hewan sampai oosit dikoleksi koleksi, diantaranya adalah lama periode dan suhu
selama transportasi (Gordon 2003).
Faktor Suhu
Metabolisme sel menurun pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh
(Ozen et al. 2006). Pada penyimpanan suhu dingin dapat mempertahankan pH
dari cairan folikuler oosit dan dapat mengurangi fragmentasi DNA, namun dapat
6
mengganggu viabilitas oosit, maturasi, fertilisasi dan perkembangan embrio
setelah IVF. Pada suhu yang tinggi dan periode yang lama dapat meningkatkan
fragmentasi DNA yang diinduksi oleh cairan folikular (Wongsrikaeo et al. 2005).
Banyak penelitian sudah dilakukan pada berbagai spesies yang mengkaji faktor
suhu penyimpanan selama transportasi ovarium dengan hasil yang bervariasi.
Padersen et al. (2004) melaporkan bahwa, ovarium kuda yang disimpan pada suhu
35-37 ˚C dalam waktu kurang dari dua jam masih mempunyai oosit dengan
kualitas yang bagus. Pada babi, Wongsrikaeo et al. (2005) melaporkan bahwa,
ovarium babi dapat disimpan pada suhu diantara 25 ˚C hingga 35 ˚C dalam waktu
enam jam.
Oosit kuda yang dikoleksi segera setelah disembelih mempunyai perbedaan
maturasi yang signifikan dengan oosit yang disimpan pada suhu ruang dan suhu
4 ˚C selama 24 jam (Pedersen et al. 2004). Oosit kuda terpapar pada suhu 35-37
˚C selama 2 jam mempunyai tingkat apoptosis yang tinggi pada sel granulosa
dibanding dengan oosit kuda yang terpapar suhu 20 ˚C dan 30 ˚C selama 2 jam
(Pedersen et al. 2004).
Faktor Waktu
Persentase degenerasi oosit meningkat seiring dengan bertambahnya
waktu (Wongsrikaeo. et al. 2005). Pada oosit yang dikoleksi segera setelah
disembelih mempunyai kumulus yang expand dan Metaphase II yang lebih baik
daripada oosit yang dikolesi selama 15-18 jam pada suhu kamar dan 4 ˚C (Love et
al. 2003). Ovarium babi yang disimpan selama 0-3 jam pada suhu 35 ˚C
menunjukkan kompetensi perkembangan oosit yang lebih baik dibanding
penyimpanan selama 6, 9 dan 12 jam pada suhu 35 ˚C (Wongsrikaeo et al. 2005).
Pada oosit sapi yang terpapar pada suhu rendah selama 48 jam dapat
menyebabkan degenerasi yang tidak diketahui faktor re-programnya (Matsushita
et al. 2004). Sedangkan pada oosit kucing dengan penyimpanan ovarium pada
suhu 4 ˚C, diatas 24 jam dan kurang dari 48 jam masih mampu untuk pematangan
secara in vitro (Mihat et al. 2009). Berbeda pada kuda faktor waktu amat
berpengaruh untuk mempertahankan morphologi dari kumulus oophorus, ovarium
kuda perlu disimpan pada suhu di antara 35-37 ˚C dan sebaiknya kurang dari 2
jam sebelum diproses selanjutnya (Padersen et al. 2004).
7
Koleksi oosit
Oosit dapat dikoleksi dengan dua cara yaitu dengan laparoskopi maupun
mengambil ovarium yang berasal dari rumah potong hewan. Laparoskopi
merupakan metode pengambilan ovarium dengan menggunakan endoskopi,
namun metode ini memerlukan biaya yang sangat mahal, tidak efisien dan
berisiko untuk terjadi infertile pada hewan tersebut (Schatten & Gheorghe 2007).
Cara yang kedua adalah dengan memperoleh oosit dari ovarium yang berasal dari
rumah potong hewan yang masih potensial untuk dimanfaatkan (Herdis 2000).
Ovarium yang diambil dari rumah potong hewan juga merupakan langkah yang
ekonomi untuk produksi embrio secara in vitro (Naowshari 2005).
Koleksi oosit dari ovarium yang berasal dari rumah potong hewan atau
dari hewan yang sudah mati dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu dengan
cara dissecting pada folikel, aspirasi dan menyayat. Metode aspirasi menggunakan
syringe, biasanya digunakan pada ovarium sapi, kerbau dan kuda karena ukuran
ovarium dan folikelnya lebih besar sehingga mudah diaspirasi. Koleksi oosit
dengan metode ini dapat dilakukan 3 kali lebih cepat daripada dissecting, namun
tingkat kerusakan pada folikel juga tinggi. Metode dissecting sering digunakan
pada koleksi oosit domba (Gordon 2003). Sedangkan metode penyayatan
dilakukan dengan meletakkan ovarium di dalam cawan petri yang berisi cairan
saline, lalu dengan menggunakan pisau bedah permukaan ovarium diiris-iris
untuk melepaskan oosit dari folikel (Wang et al. 2007). Metode ini dapat
mengkoleksi lebih banyak oosit daripada menggunakan metode aspirasi. Metode
ini banyak digunakan pada domba dan kambing, namun metode ini membutuhkan
waktu 3 kali lebih lama daripada metode aspirasi pada satu ovarium (Gordon
2003).
Pengelompokan Oosit
Wood dan Wildt (1997) dan Gordon (2003) mengelompokkan oosit menjadi
4 kelompok yaitu, A, B, C dan D. Kelompok A adalah oosit yang mempunyai
kumulus yang kompak serta multilayer dan mempunyai sitoplasma yang
homogen. Kelompok B adalah oosit yang mempunyai kumulus yang kompak,
sitoplasma yang homogen, namun jumlah kumulus oophorus kurang dari lima
lapis. Kelompok C adalah oosit dengan kumulus oophorus kurang kompak, zona
8
pelusida masih terlihat jelas, namun sitoplasma yang semakin pudar. Kelopok D
adalah oosit dengan kumulus sudah mulai hilang dan tidak beraturan, zona
pelusida tidak kelihatan atau kelihatan sebagian dan sitoplasma semakin pudar.
Karja (2008) mengelompokkan oosit babi menjadi tiga kategori.
Kategori
pertama, oosit mempunyai lebih dari lima lapis sel cumulus yang kompak,
sitoplasma yang homogen. Kategori kedua, oosit dikelilingi dengan kumulus yang
kurang kompak dan ketegori ketiga memperlihatkan sitoplasma yang tidak
beraturan.
Pengelompokkan oosit tersebut bertujuan untuk memisahkan oosit yang
berkualitas bagus dengan oosit yang berkualitas jelek. Menurut Wood dan Wildt
(1997) melaporkan pentingnya untuk megelompokkan oosit kucing dalam proses
in vitro untuk mencapai keberhasilan dalam proses maturasi, fertilisasi selanjutnya
perkembangan embrio. Selanjutnya Karja (2008) melaporkan bahwa oosit babi
dengan kualitas bagus (kategori satu dan kategori dua) yang mempunyai kumulus
yang kompak dan sitoplasma yang homogen dapat mendukung maturasi nuklear
lebih baik berbanding kategori 3. Kategori 3 dengan oosit yang kurang kompak
menunjukkan hasil maturasi yang jelek dengan oosit yang mengalami atresia dan
dan gagal untuk maturasi.
Download