Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pemasaran
Berbicara mengenai kegiatan pemasaran, maka kita berbicara pula
mengenai kompleksnya kegiatan bisnis dewasa ini. Pemasaran merupakan suatu
keseluruhan aktivitas menciptakan, mempromosikan dan menyalurkan produk
baik barang maupun jasa kepada konsumen melalui unit-unit bisnis tertentu.
Pemasaran dianggap sangat penting karena dalam pelaksanaannya, perusahaan
berupaya menyampaikan informasi seputar produk dan atau perusahaan kepada
konsumen sesuai dengan apa yang direncanakan oleh perusahaan itu sendiri.
Sukses atau tidaknya kegiatan bisnis suatu perusahaan juga dipengaruhi
oleh baik buruknya kegiatan pemasaran dilaksanakan. Pemasaran akan terus
berkembang sesuai dengan makin kompleksnya permasalahan bisnis yang ada.
Kunci dari pencapaian tujuan pemasaran perusahaan adalah sebaik apa perusahaan
dapat memahami kebutuhan dan keinginan dari konsumen yang ada di pasar.
2.1.1
Pengertian Pemasaran
Pemasaran merupakan salah satu kegiatan pokok yang dilakukan oleh
perusahaan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan,
pengembangan perusahaan dan termasuk didalamnya pencapaian tujuan
perusahaan baik tujuan profit maupun tujuan non-profitnya.
Pengertian pemasaran menurut Kotler dan Amstrong (2006:5) adalah:
“Marketing is the process by which companies create value for
customers and build strong customer relationship in order to capture
value from customer in return”.
Sedangkan menurut Asosiasi Pemasaran Amerika yang dikutip oleh
Kotler (2009:6) mengemukakan bahwa:
“Pemasaran adalah suatu fungsi organisasi dan seperangkat proses
untuk menciptakan, mengkomunikasikan dan menyerahkan nilai
kepada pelanggan dan mengelola hubungan pelanggan dengan cara
yang menguntungkan organisasi dan para pemilik sahamnya”.
16
17
Dari dua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemasaran
merupakan kegiatan atau aktifitas yang mencakup perencanaan, pembuatan
produk, promosi hingga bagaimana produk tersebut didistribusikan melalui proses
pertukaran dengan tujuan untuk dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan
konsumen.
2.1.2
Pengertian Manajemen Pemasaran
Manajemen pemasaran merupakan suatu ilmu yang mempelajari mengenai
bagaimana kegiatan pemasaran ini dilaksanakan dengan benar. Dengan ilmu dari
manajemen pemasaran ini, perusahaan dapat melakukan efisiensi biaya dan tujuan
pemasaran itu sendiri dapat terlaksana secara lebih efektif.
Pengertian manajemen pemasaran menurut Shultz dalam Prof. Dr.
Buchari Alma (2005:130), yaitu:
“Manajemen pemasaran adalah merencanakan, pengarahan dan
pengaasan seluruh kegiatan pemasaran perusahaan ataupun bagian
dari perusahaan”.
Sedangkan menurut Kotler (2009:6), yaitu:
“Marketing as art and science of choosing target market and getting,
keeping and growing customers through creating, delivering and
communicating superior customer value”.
Dari kedua definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen
pemasaran mutlak dipelajari agar pelaksanaan kegiatan pemasaran dapat
terlaksana secara baik. Sedangkan tujuan dari manajemen pemasaran adalah untuk
memperngaruhi tingkat, jangkauan waktu dan komposisi permintaan sehingga
dapat membantu perusahaan dalam mencapai tujuan pemasarannya.
2.2
Perilaku Konsumen
Permasalahan pemaran yang makin kompleks salah satunya didasarkan
pada perilaku konsumen yang terus berkembang. Konsumen kini lebih cerdas dan
menginginkan kesetaraan dengan perusahaan. Konsumen kini dapat menentukan
18
arah kegiatan bisnis suatu perusahaan melalui otoritasnya dalam berprilaku dan
menciptakan pasar.
Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Cornelisz, Steifie (2009:90),
dalam usaha memasarkan produknya, badan usaha harus memperhatikan jenis
kebutuhan konsumen. Perusahaan harus menyadari bahwa kebutuhan konsumen
beraneka ragam, sehingga terdapat perbedaan perilaku antara individu satu dengan
yang lain untuk memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, badan usaha harus
memahami, mempelajari dan menganalisis perilaku konsumen yang dituju
sehingga diperoleh pandangan yang lebih mendalam tentang konsumen dan dapat
menilai kembali kebutuhan serta menanggapi dengan cepat kebutuhan tersebut.
Perusahaan dalam hal ini mutlak untuk mempelajari mengenai bagaimana
konsumen berperilaku dan menanggapi eksistensi perusahaan di pasar melalui
kehadiran produknya, atau lebih jauh lagi bagaimana perusahaan memasarkan
produknya ke konsumen.
2.2.1 Pengertian Perilaku Konsumen
Pengertian perilaku konsumen menurut Leon G. Schiffman dan Leslie
Lazar Kanuk (2007:6) adalah:
“Perilaku konsumen adalah citra individu mengambil keputusan untuk
memanfaatkan sumberdaya mereka yang tersedia (waktu, uang, usaha)
guna membeli barang-barang yang berhubungan dengan konsumsi”.
Perilaku konsumen menurut Kotler (2009:201) adalah:
“Perilaku konsumen adalah memperlajari cara individu, kelompok dan
organisasi memilih, membeli, memakai serta memanfaatkan barang,
jasa, gagasan atau pengalaman dalam rangka memuaskan kebutuhan
hasrat mereka”.
Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen mampu
menggambarkan bagaimana konsumen baik secara individu maupun berkelompok
membuat keputusan-keputusan dalam rangka mendapatkan, mengkonsumsi
produk, termasuk didalamnya proses keputusan yang mendahului dan mengikuti
tindakan ini.
19
Secara teoritis, setiap kali seseorang membeli produk, ia berharap bahwa
produk yang dibelinya akan memberikan utilitas atau kegunaan maksimal.
Artinya, setiap konsumen memiliki dasar rasional dan membuat pilihan rasional
dalam proses pembelian suatu produk. Jika ternyata manfaat atau kegunaan dari
produk berada di bawah ekspektasi konsumen, maka konsumen bisa saja
meninggalkan produk tersebut dan menggantinya dengan produk sejenis dari merk
yang berbeda. Maka dalam hal ini dapat dikatakan bahwa konsumen tidak loyal.
2.2.2
Loyalitas
Kegiatan pembelian barang dan atau jasa merupakan kegiatan yang lumrah
terjadi sehari-hari dalam kegiatan bemasyarakat. Pihak-pihak yang melakukan
pembelian ini kemudian dinamakan konsumen. Dalam upaya mendapatkan
keuntungan, suatu perusahaan berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginan konsumen dengan terlebih dahulu meneliti keputusan pembelian
konsumen secara rinci untuk mengetahui apa yang konsumen ingin beli, dimana
konsumen ingin melakukan pembelian, bagaimana dan berapa banyak konsumen
ingin melakukan pembelian serta mengapa mereka melakukan kegiatan
pembelian.
Hal ini terjadi secara terus menerus sehingga pembelian terhadap suatu
produk mungkin dilakukan lebih dari satu kali. Konsumen dapat membeli produk
yang sama namun dari merek yang berbeda dengan berbagai macam alasan.
Namun demikian, meskipun banyak penelitian dilakukan untuk mempelajari
bagaimana konsumen berperilaku, perusahaan seringkali mengalami hambatan
dalam mempelajari uniknya individu konsumen yang melakukan pembelian atau
menolak melakukan pembelian terhadap produknya.
Mahmud, Khaled (2012:26) mengutarakan bahwa loyalitas merupakan
keputusan konsumen yang ditentukan oleh perlakuan perusahaan yang
diekspresikan melalui perilaku, misalnya melalui kegiatan pembelian ulang pada
merk yang sama. Dalam disiplin pemasaran, loyalitas menggambarkan komitmen
yang kuat bagi konsumen untuk melakukan pembelian ulang.
20
Perilaku setelah pembelian suatu produk akan ditentukan oleh kepuasan
atau ketidakpuasan konsumen. Pelanggan yang merasa puas dengan produk yang
dikonsumsi nya memiliki kecenderungan untuk menjadi loyal dan sebaliknya,
konsumen yang merasa tidak puas dengan kegiatan konsumsi produknya akan
mencari produk lain yang mampu memuaskan keinginan dan kebutuhannya,
dengan kata lain terjadilah customer switching behavior atau brand switching.
Setiap perusahaan pasti menginginkan loyalitas tercipta. Karena dengan
demikian, perusahaan dapat memastikan bahwa produknya dapat dengan mudah
diterima di pasaran akibat konsumen yang telah ada dan siap melakukan
pembelian.
Menurut Tjiptono (2000:110), didefinisikan:
“Loyalitas adalah situasi dimana konsumen bersikap positif terhadap
produk atau produsen dan disertai pola pembelian ulang yang
konsisten”.
Sedangkan menurut Kartajaya (2003:126), loyalitas adalah:
“Manifestasi dari kebutuhan fundamental manusia untuk memiliki,
men-support, mendapatkan rasa aman dan membangun keterikatan
serta menciptakan emotional attachment”.
Dari dua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa loyalitas merupakan
bentuk dari perilaku konsumen yang positif dimana konsumen merasa bahwa
kegiatan konsumsinya dari suatu produk memberikan manfaat yang sama atau
bahkan diatas ekspektasinya. Kepuasan ini berakibat pada hubungan emosional
antara konsumen dengan produk dan atau produsennya. Dengan demikian, akan
ada perilaku-perilaku positif lainnya seperti konsumen yang melakukan pembelian
ulang atau bahkan merekomendasikan produk yang digunakannya kepada orang
lain.
Namun demikian, jika yang terjadi adalah hal yang sebaliknya, dimana
kegiatan konsumsi terhadap suatu produk menciptakan ketidakpuasan maka
konsumen akan dengan mudah mengganti produknya ke produk sejenis dari
merek yang berbeda (brand switching).
21
Junaidi dan Dharmmesta dalam Cornelisz (2009: 93) menyatakan
bahwa terdapat tiga kriteria untuk menguji loyalitas, yaitu:
1. Struktur keyakinan (kognitif)
Informasi merk yang dipegang oleh konsumen (keyakinan konsumen)
harus menunjuk pada merek yang dianggap superior dalam persaingan.
2. Struktur sikap (afektif)
Tingkat kesuksesan konsumen harus lebih tinggi dibandingkan merek
saingan sehingga terdapat preferensi afektif yang jelas.
3. Struktur niat (konatif)
Konsumen harus mempunyai niat untuk membeli merek tertentu bukan
merek lain ketika keputusan pembelian dilakukan.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka dapat teridentifikasi dan tergambar
dengan jelas terhadap suatu produk. Tiga kriteria tersebut harus mendukung atau
bersifat positif untuk mampu meyakinkan bahwa konsumen loyal terhadap produk
perusahaan.
Loyalitas konsumen dapat didemonstrasikan melalui berbagai cara,
misalnya dengan tetap melakukan pembelian pada merek yang sama. Kotler
(2009:240) membedakan empat level status loyalitas pelanggan terhadap suatu
merek dari yang tertinggi hingga yang terendah sebagai berikut:
1. Hard-core loyals
: konsumen yang hanya membeli satu jenis merek.
2. Split loyals
: konsumen yang loyal kepada dua atau tiga merek.
3. Shifting loyals
:konsumen pindah loyalitas dari satu merek ke
merek lain.
4. Switchers
: konsumen yang tidak menunjukan loyalitas pada
merek manapun dan seringkali berpindah-pindah merek.
Pada kondisi pasar yang sangat kompetitif, mempertahankan konsumen
merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan semua perusahaan yang
menginginkan kemenangan di pasar baik secara profit maupun popularitas.
Loyalitas konsumen terhadap suatu merek baik produk barang maupun jasa
memang seringkali menjadi salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan.
Akan tetapi, seiring dengan bertambahnya perusahaan yang bermunculan dan
22
bergabung dalam suatu industri bisnis tertentu maka tidak terelakan lagi bahwa
tingkat persaingan pun akan semakin meningkat.
Beragam variasi produk barang ataupun jasa yang ditawarkan oleh produsen
ditambah dengan berbagai macam bentuk promosi yang disertakan dalam
memasarkan produknya setidaknya akan membuat konsumen melakukan evaluasi
dan melakukan perbandingan terhadap produk yang ditawarkan di pasaran. Bila
dari hasil evaluasi dan perbandingan yang dilakukan oleh konsumen didapatkan
bahwa manfaat lebih rendah dibandingkan dengan ekspektasi konsumen, maka
besar kemungkinan untuk konsumen melakukan tindakan perpindahan merek
(brand switching) kepada perusahaan lain. Hal inilah yang kemudian secara
perlahan mendapatkan perhatian dari para pelaku bisnis yang berpendapat bahwa
perilaku konsumen yang mudah berpindah merek (switching behavior) akan
memberikan dampak pada kinerja perusahaan dalam jangka panjang.
2.3
Brand Switching
Menurut Hollis dalam Abisatya (2008:25), “A trusted brand is treasured
asset, prized by its owners and envied by competitors” dimana merek adalah
sebuah asset yang sangat penting bagi perusahaan yang harus dijaga
kredibilitasnya di mata konsumen sehingga akan memberikan perbedaan
dibandingkan merek lainnya. Perbedaan yang ditunjukan oleh merek-merek yang
ada dalam pasar merupakan dasar terjadinya fenomena brand switching
(perpindahan merek).
Konsumen sebagai pihak yang kemudian menikmati manfaat dari
konsumsi suatu produk baik barang maupun jasa akan terus mencari produk yang
mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya secara sempurna, atau setidaknya
mampu memenuhi ekspektasinya terhadap produk bersangkutan. Proses pencarian
inilah yang kemudian membuat konsumen akan dengan mudah mencoba produk
dari merek-merek yang berbeda, sehingga fenomena brand switching tidak dapat
terelakan lagi.
Dengan rentannya konsumen untuk berpindah merek, perusahaan sebagai
pelaku bisnis kemudian memiliki tugas besar untuk mampu mempertahankan
23
konsumen melalui penyediaan produk yang memuaskan, baik dari segi kualitas,
harga, pelayanan penjualan dan lain sebagainya. Perusahaan perlu pula untuk
memahami konsumen secara lebih lanjut dalam artian perusahaan dituntut untuk
peka terhadap perubahan gaya konsumsi konsumen terhadap produk yang
dijualnya di pasaran.
Mengacu pada Kotler (2009:240), yang membedakan empat level status
loyalitas pelanggan terhadap suatu merek, didapatkan kesimpulan bahwa semua
pemasar akan selalu mencoba untuk menghindari level loyalitas konsumen yang
paling rendah, yaitu switcher. Hal ini disebabkan adanya berbagai macam
rangsangan dari pesaing untuk membuat konsumen melakukan kegiatan konsumsi
produk pesaing, dimana makin meningkatkan kemungkinan konsumen untuk
berpaling kepada merek pesaing dan meninggalkan merek yang lama, pembelian
merek lain dari merek yang sering digunakan oleh konsumen disebut dengan
brand switching. Perpindahan merek (brand switching) merupakan fenomena
yang seringkali terjadi pada berbagai jenis pasar.
Dalam dunia bisnis, konsumen tidak hanya dapat berperilaku positif atau
menguntungkan untuk pihak produsen, namun juga dapat berperilaku negatif.
Perilaku negatif ini dapat ditunjukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah
konsumen yang beralih menggunakan produk dari perusahaan pesaing. Hal ini
lumrah terjadi di pasar, terutama pada pasar yang sangat kompetitif karena pada
pasar ini, konsumen dihadapkan pada banyak sekali pilihan untuk kegiatan
konsumsinya akan produk.
2.3.1 Pengertian Brand Switching
Menurut Hawkins and Mothersbaugh (2010:637), Brand Switching adalah:
“Hasil
dari
ketidakpuasan
konsumen
akan
suatu
produk
yang
mengakibatkan konsumen melakukan penghentian pembelian produk pada
suatu merk dan menggantinya dengan produk dari merk lain”.
24
Dalam jurnal berjudul Determinants Analysis of Customer Switching Behavior
in Private Banking Sector of Pakistan, Bolton and Bronkhurst dalam Ghouri
(2010:98), didefinisikan bahwa:
“Customer Switching Behavior adalah suatu keputusan pelanggan untuk
menghentikan kegiatan pembelian atau kegiatan bisnis (sebagian atau
keseluruhan) pada suatu perusahaan”.
Sedangkan menurut jurnal yang dijadikan referensi utama dalam penelitian ini
yang berjudul Studi Tentang Perilaku Perpindahan Merk, Rifah (2010:121)
mendefinisikan perpindahan merk sebagai berikut:
“Adalah suatu keadaan dimana konsumen berpaling dari suatu perusahaan
dan melirik atau berpindah ke merek perusahaan lain”.
Reichheld & Sasser dalam Siddiqui (2011:364) mengatakan bahwa:
“Customer switching, customer exit atau customer defection merupakan
suatu perilaku yang dapat didefinisikan sebagai tingkatan atau keadaan
dimana konsumen telah mengganti produknya di masa lalu”.
Semua definisi diatas menggambarkan bahwa brand switching atau perilaku
perpindahan merek oleh konsumen merupakan perilaku negatif dalam kegiatan
bisnis, dimana konsumen memutuskan untuk menghentikan pembelian atau
penggunaan produk suatu merk dan mulai menggantinya dengan menggunakan
produk dari perusahaan atau merk lain.
Perpindahan merek oleh konsumen ini terjadi ketika konsumen memahami
betul mengenai perbedaan signifikan antar merek yang berkompetisi di pasar
tertentu. Konsumen dalam hal ini mengetahui banyak hal mengenai kategori
produk yang ada. Para pemasar dengan demikian perlu untuk melakukan
diferensiasi keistimewaan mereknya untuk menjelaskan merek tersebut.
Sebagai tindakan negatif yang tidak diharapkan terjadi, fenomena brand
switching harus mendapatkan perhatian serius dari pemasar agar perusahaan dapat
mempertahankan konsumen yang telah ada dan kemudian mampu menjangkau
konsumen baru yang akan memberikan dampak positif baik secara profitabilitas
maupun kemapanan dan popularitas perusahaan.
25
2.3.2 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Brand Switching
Perilaku perpindahan merk oleh konsumen ini merupakan permasalahan
yang serius yang harus mendapatkan perhatian dari pelaku bisnis. Terjadinya
perpindahan konsumen merupakan ancaman bagi bisnis dan menandakan bahwa
produk dari perusahaan lain mampu memberikan daya tarik yang lebih
dibandingkan produk dari perusahaan sendiri.
Perkembangan perubahan perilaku konsumen seperti ini menggambarkan
pada kita bahwa dengan semakin berkembangnya zaman, maka permasalahanpermasalahan pemasaran akan semakin kompleks pula. Para pelaku bisnis harus
mengetahui dengan betul faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya
perilaku perpindahan merk ini agar perusahaan dapat memaksimalkan profit
melalui pelanggan yang suportif.
Beberapa studi menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perilaku perpindahan merek ini dalam prespektif yang berbeda. Namun demikian,
kesemuanya memiliki arah yang sama dalam menjelaskan mengapa seorang atau
sekelompok konsumen dapat melakukan pergantian merek pada produk yang
dikonsumsinya.
Menurut Shukla dalam Mutyalestari (2009:38) mengungkapkan bahwa
hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan dalam terjadinya brand switching adalah
sebagai berikut:
1. Perceived quality (kualitas yang ditunjukan)
Dalam menciptakan sebuah produk dengan merek tertentu, pemasar
diharuskan menunjukan kualitas dari merek. Kualitas dari merek yang
dimaksud disini tidak hanya sebatas pada pengepakan ataupun tingkat
kecacatan produk yang rendah, namun harga yang bersaing dan pelayanan
yang diberikan menjadi standar bahwa merek tersebut berkualitas. Jika
yang terjadi adalah kebalikannya, maka konsumen akan mencari merek
lain yang lebih berkualitas.
2. Attractiveness of the product (daya tarik produk)
Setiap produk memiliki daya tarik masing-masing dimana ciri khas atas
diferensiasi merek merupakan hal yang paling diunggulkan dalam
26
meningkatkan daya tarik. Kreatifitas penawaran dipercaya sebagai alat
ukur yang tepat dalam meningkatkan daya tarik produk.
3. Variety of features (variasi fitur)
Adalah berbagai macam elemen-elemen yang ditawarkan oleh sebuah
produk. Semakin menarik fitur yang dimiliki oleh produk pesaing, maka
semakin besar kemungkinan konsumen akan beralih menggunakan produk
merek pesaing.
4. Commitment (komitmen pelanggan)
Adalah tingkat loyalitas konsumen ditengah berbagai macam rangsangan
dari para pesaing sebelum melakukan perpindahan. Semakin rendah
tingkat komitmen atau loyalitas pelanggan, maka semakin besar pula
terjadinya perpindahan merek (brand switching).
Del Hawkins dan David Mothersbaugh dalam bukunya yang berjudul
Consumer Behaviour: Building Marketing Strategy Eleventh Edition (2010: 634)
mengemukakan bahwa perilaku berpindahnya konsumen dapat disebabkan oleh
beberapa faktor berikut ini:
1. Core Service Failure
Merupakan penyebab kepindahan konsumen karena kesalahan ataupun
masalah teknis pada produk yang ditawarkan kepada konsumen. Hal ini
dapat terjadi bila konsumen menderita kerugian karena terjadi kekeliruan
karyawan misalnya pencatatan yang keliru oleh karyawan, diagnosa yang
keliru dari dokter sebuah rumah sakit. Kejadian ini tentu akan membuat
kecewa konsumen yang dapat saja berdampak munculnya keinginan untuk
pindah ke perusahaan lain.
2. Service Encounter Failures
Merupakan
berpindahnya
konsumen
disebabkan
oleh
kegagalan
pelayanan. Penyebabnya karena sikap karyawan yang antara lain kurang
perhatian, tidak sopan, tidak tanggap, dan kurang menguasai lingkup
pekerjaannya. Apabila konsumen dilayani oleh karyawan yang tidak dapat
memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi, maka konsumen
akan terus mencari jawaban atas permasalahannya hingga ke penyedia jasa
27
lain. Bila penyedia jasa lain dapat memberikan solusi tersebut, maka besar
kemungkinan konsumen akan memindahkan kepercayaannya kepada
penyedia jasa tersebut.
3. Pricing
Menyebabkan konsumen beralih pada perusahaan lain karena harga yang
dirasakan tidak dapat memberikan manfaat yang sesuai harapannya.
4. Inconvenience
Merupakan penyebab berpindahnya konsumen karena lokasi perusahaan
yang tidak mudah dijangkau, kenyamanan ruang atau penggunaan produk,
dan waktu menunggu untuk dilayani. Lokasi penyedia jasa yang strategis
diharapkan semakin mempermudah konsumen untuk menerima layanan
dari penyedia jasa, bila konsumen mengalami kesulitan, maka akan
cenderung penyedia jasa yang mudah untuk dijangkaunya. Sedangkan
untuk produk, produk harus nyaman digunakan dalam artian mampu
memenuhi kebutuhan dasar penggunaan produk.
5. Responses to Service Failures
Merupakan
terjadinya
perpindahan
konsumen
karena
kegagalan
perusahaan dalam menangani keluhan konsumen.
6. Attraction by Competitors
Merupakan perpindahan konsumen karena kemenarikan perusahaan yang
lain dibandingkan dengan perusahaan sebelumnya yang menyebabkan
ketidakpuasannya. Kemenarikan ini dapat terjadi karena biaya yang
dirasakan lebih murah, fitur pesaing lebih mumpuni ataupun pelayanan
yang lebih baik.
7. Ethical Problems
Merupakan masalah yang berhubungan dengan moral, ketidakamanan,
ketidaksehatan ataupun masalah perilaku yang berhubungan norma-norma
sosial. Termasuk dalam kategori ini adalah perilaku yang tidak jujur yaitu
memberikan
janji-janji
berupa
pemberian
hadiah,
perilaku
yang
mengintimidasi misalnya pada nasabah nakal yang terlambat melakukan
pembayaran sehingga pihak bank melakukan intimidasi agar nasabah
28
bersedia melakukan pembayaran. Rasa tidak aman juga dapat dirasakan
konsumen karena identitas yang seharusnya menjadi rahasia disampaikan
kepada pihak lain tanpa pesetujuannya.
8. Involuntary Switching
Yakni berpindahnya konsumen pada produk perusahaan lain karena
ketidaksengajaan. Misalnya ada produk perusahaan lain yang lebih mudah
dijangkau karena dealer nya pindah atau konsumen sekedar ingin cobacoba.
Berdasarkan beberapa literatur yang ada, disebutkan bahwa model yang
dikemukakan oleh Del Hawkins dan David Mothersbaugh lebih cocok untuk
digunakan dalam menganalisis terjadinya brand switching pada perusahaan jasa
atau produk jasa. Tentunya, jasa dan barang merupakan dua hal yang berbeda dan
memerlukan perlakuan yang berbeda pula. Kemudian ada pula model lainnya atau
faktor penyebab terjadinya brand switching yang dikemukakan oleh pihak
lainnya.
Perilaku perpindahan merk pada konsumen ini terjadi akibat beberapa
faktor utama. Menurut jurnal berjudul Studi Tentang Perilaku Perpindahan Merk,
Rifah (2010:121) mengatakan bahwa Customer Switching Behavior atau Brand
Switching disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu ketidakpuasan konsumen
(customer unsatisfaction), keinginan mencari variasi (variety seeking) dan
pencarian informasi melalui media (media search). Berikut ini akan dijelaskan
lebih lanjut bagaimana ketiga faktor ini mampu menyebabkan terjadinya
perpindahan merk atau brand switching :
1. Customer Unsatisfaction (Ketidakpuasan Konsumen)
Alasan utama yang sering dialami oleh konsumen ketika mereka
melakukan perpindahan merk adalah disebabkan konsumen mengalami
ketidakpuasan (unsatisfaction) pada saat setelah produk dibeli (pasca
beli).
29
2. Variety Seeking (Keinginan Mencari Variasi)
Kebutuhan mencari variasi (variety seeking) adalah perilaku konsumen
yang berusaha mencari keberagaman merk diluar kebiasaan mereka.
3. Media Search (Pencarian Informasi Melalui Media)
Dalam era globalisasi seperti saat ini, pertukaran informasi dapat terjadi
dengan sangat mudah. Media komunikasi yang makin canggih menjadi
salah satu penyebabnya. Ketika suatu produk diinformasikan melalui
media tertentu, konsumen dan atau calon konsumen kemudian didorong
untuk memiliki keinginan untuk melakukan pembelian. Bagi konsumen
yang telah memiliki suatu produk dan melihat iklan produk sejenis yang
dijanjikan lebih baik, maka kecenderungan adanya proses perpindahan
merk dapat terjadi.
Berdasarkan beberapa teori mengenai faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya brand switching di atas, penulis kemudian akan memilih teori terakhir
yang diambil dari Studi Tentang Perilaku Perpindahan Merk, Rifah (2010:121)
karena dianggap paling sesuai dengan penelitian ini. Penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh beberapa ahli diatas dilakukan di luar negeri dan terjadi pada
perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa sehingga jika penulis menggunakan
teori yang dikemukakan oleh Shukla dan Dell Hawkins dikhawatirkan tidak akan
ada dukungan teoritis yang jelas.
Studi yang dilakukan oleh Rifah dilakukan di Indonesia dengan objek
penelitian perusahaan-perusahaan operator selullar Indonesia. Selain itu,
penelitian juga dilakukan paling akhir jika dilakukan pembandingan dengan dua
teori lainnya. Penelitian yang tidak terpaut waktu terlalu jauh ini setidaknya dapat
memberikan gambaran yang lebih faktual sehingga diharapkan mampu
mensukseskan penelitian ini.
Selanjutnya, kajian teoritis lebih lanjut akan dilakukan dengan
menggunakan teori dari Rifah ini dalam menerangkan analisis faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya fenomena brand switching.
30
2.3.2.1 Ketidakpuasan Konsumen (Customer Unsatisfaction)
McQuitty dalam Habib, Salleh dan Abdullah (2011: 138) mengatakan
bahwa sejak awal, kepasan konsumen telah menjadi aspek penting dalam
berjalannya aktifitas bisnis. Kepuasan konsumen dapat dijadikan pula sebagai
indikator bahwa perusahaan mampu menyediakan produk baik barang maupun
jasa yang memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen sesuai dengan
ekspektasinya, bahkan lebih.
Menurut Kotler (2009:135)¸dewasa ini konsumen lebih terdidik dan lebih
berpengetahuan.
Mereka
mempunyai
sarana
(misalnya
internet)
untuk
memverifikasi klaim perusahaan dan mencari alternatif yang lebih unggul.
Dengan kata lain, konsumen kini lebih sering melakukan pembandingan kinerja.
Jika kinerja produk lebih rendah daripada ekspektasi konsumen maka
konsumen akan mengalami ketidakpuasan dan begitu pula sebaliknya. Konsumen
akan membentuk harapan mereka berdasarkan pesan yang diterima dari produsen.
Jika produsen melebih-lebihkan manfaat produk dan kenyataan yang terjadi
tidaklah demikian atau harapan konsumen terlalu tinggi terhadap produk tersebut
dan harapan itu tidak tercapai, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan konsumen.
Ketidakpuasan konsumen dapat terjadi karena kualitas produk yang tidak
sesuai dengan harapan konsumen, harga yang tidak sebanding dengan kualitas
produknya atau kurangnya pelayanan yang diberikan.
Menurut Kotler (2009:138), secara umum:
“Kepuasan (satisfaction) adalah perasaan senang atau kecewa yang
timbul karena membandingkan kinerja yang dipresepsikan produk (atau
hasil) terhadap ekspektasi mereka. Jika kinerja gagal memenuhi
ekspektasi, pelanggan akan tidak puas. Jika kinerja sesuai dengan
ekspektasi, pelanggan akan puas. Jika kinerja melebihi ekspektasi,
pelanggan akan sangat puas atau senang”.
Dalam teori yang dikemukakan diatas, terdapat pengertian mendalam
mengenai kepuasan. Kepuasan merupakan hal positif sedangkan ketidakpuasan
adalah hal yang negatif yang merupakan hasil dari penilaian pelanggan atas
kinerja produk.
Konsumen seringkali membentuk presepsi yang lebih
31
menyenangkan tentang sebuah produk dengan merek yang sudah mereka anggap
positif.
Menurut Rifah (2010:122), ketidakpuasan tersebut bisa terjadi karena halhal berikut ini:
1. Kualitas Produk, terjadi karena kualitas produk yang tidak sesuai
dengan yang diharapkan atau dijanjikan. Dengan kata lain, produk
kurang berkualitas.
2. Harga, terjadi karena harga yang tidak sebanding dengan produk
yang dijanjikan.
3. Pelayanan, terjadi ketika pelayanan dari perusahaan tidak
memuaskan atau mengecewakan.
4. Janji-janji yang Tidak Ditepati, misalnya berkaitan dengan garansi.
Semua itu bisa terjadi dan dialami konsumen dan dapat membuat
konsumen mengalami ketidakpuasan dan beralih ke merk perusahaan lain.
Kotler (2009:143), mendefinisikan kualitas produk sebagai berikut:
“Quality is the totality of features and characteristics of a product or
service that bear on its ability to satisfy stated or implied needs.”
Maksud dari pengertian diatas adalah kualitas produk merupakan
keseluruhan ciri serta sifat barang dan jasa yang berpengaruh pada kemampuan
dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan yang dinyatakan maupun tersirat.
Semakin baik kemampuan yang dimiliki oleh suatu produk, maka semakin puas
pula seseorarang terhadap produk yang ia pakai. Namun jika yang terjadi adalah
hal yang berlainan, maka konsumen akan tidak puas dan berusaha mencari produk
dari merek lain yang dianggap lebih berkualitas sehingga mampu memenuhi
ekspektasinya dengan lebih baik. Jika sudah demikian, brand switching tidak
dapat terelakan lagi untuk terjadi.
Kualitas produk pesaing yang lebih baik adalah ancaman bagi pemasar.
Dengan kualitas produk dibawah para pesaing, sulit rasanya bagi perusahaan
untuk mampu menjaga konsumennya tetap setia menggunakan produk. Dalam hal
ini, peningkatan kualitas mutlak dilaksanakan agar kecenderungan terjadinya
32
brand switching dapat dihindari. Selain itu, pemberian informasi seputar produk
juga harus disesuaikan dengan kualitas asli dari produk yang diinformasikan.
Informasi berlebihan yang tidak sesuai dengan kualitas produk bahkan
dapat menjadi boomerang bagi perusahaan. Informasi positif yang berlebihan
kemudian akan meningkatkan ekspektasi dari pelanggan, dan ketika pelanggan
melakukan konsumsi terhadap produk yang ternyata kualitasnya berada di bawah
ekspektasi awal mereka, maka pelanggan akan tidak puas dan beralih
menggunakan produk dari merek pesaing.
Namun demikian, menurut Abisatya (2009) dengan berubahnya pola pikir
konsumen terhadap suatu merk akibat berbagai macam tuntutan yang diinginkan
konsumen sebagai dampak dari pengembangan sebuah merk, maka dapat
disimpulkan bahwa konsumen tidaklah begitu mempermasalahkan kualitas
produk sebuah merk melainkan mempermasalahkan kualitas dari merk itu sendiri.
Dalam jurnal yang sama, Abisatya (2009) mengatakan bahwa jika merk
tersebut merupakan merk yang banyak digunakan orang, secara tidak langsung
merk tersebut berkualitas sehingga konsumen tidak akan ragu lagi untuk membeli
walau seperti apapun kualitas produk yang diberikan, begitupun sebaliknya,
dikarenakan kunci dari loyalitas konsumen yang terus dipertanyakan oleh
konsumen sejak dulu hingga kini adalah perbedaan yang mampu ditunjukan
sebuah merk terhadap merk lain.
Selain itu, ketidakpuasan pelanggan juga dapat disebabkan oleh faktor
harga. Menurut Kotler (2009:68), harga didefinisikan sebagai:
“Price is the amount of money charged for a product or service. More
broadly, price is the sum of all the value that consumers exchange for
the benefits of having or using the product or service”.
Maksud dari pengertian diatas adalah harga merupakan sejumlah uang
yang dibebankan untuk sebuah produk baik barang maupun jasa. Secara lebih luas
lagi, harga adalah keseluruhan nilai yang ditukarkan konsumen untuk
mendapatkan keuntungan dari kepemilikan terhadap sebuah produk barang atau
jasa.
33
Ketidakpuasan muncul ketika harga yang dibebankan oleh produsen tidak
sesuai dengan manfaat yang didapat oleh konsumen melalui konsumsi produk
yang bersangkutan. Secara historis, harga telah menjadi faktor utama yang
mempengaruhi pilihan konsumen dalam pembelian suatu produk meskipun dalam
beberapa dekade terakhir, faktor-faktor non-harga mulai menjadi faktor yang
dipertimbangkan.
Pelayanan yang diberikan oleh perusahaan terkait dengan penggunaan
produk juga dapat pula menjadi kunci puas atau tidak puasnya seseorang terhadap
suatu merek atau brand. Kotler (2009:83) mendefinisikan pelayanan sebagai
berikut:
“Setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak
kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak
mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksinya dapat dikaitkan
dengan pada sautu produk fisik sehingga pelayanan merupakan
perilaku produsen dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan
konsumen demi tercapainya kepuasan pada konsumen sendiri”.
Kualitas pelayanan yang baik adalah pelayanan yang dimulai dari
kebutuhan konsumen dan berakhir pula pada presepsi pelanggan. Hal ini dapat
diartikan bahwa kualitas yang baik bukanlah berdasarkan presepsi penyedia jasa
atau perusahaan, melainkan berdasarkan presepsi pelanggan. Jika perusahaan
mampu memberikan pelayanan yang sesuai dengan yang diinginkan oleh
konsumen, maka kepuasan akan dicapai. Namun jika hal sebaliknya yang terjadi,
konsumen akan menjadi tidak puas dan meninggalkan merek atau perusahaan
bersangkutan dan mulai mencari perusahaan atau merek lain yang lebih mampu
memberikan pelayanan yang lebih baik. Jika demikian, brand switching akan
terjadi karena konsumsi suatu produk terhadap suatu merek telah digantikan oleh
merek lainnya.
Hal lainnya yang dapat menyebabkan konsumen merasa tidak puas dan
mencari kepuasannya pada merek lain adalah ketika janji-janji yang diberikan
oleh perusahaan ternyata tidak dapat ditepati sebagaimana mestinya. Menurut
Rifah (2010: 122), ketidakpuasan terjadi ketika pemberian janji-janji pemasar
34
yang tidak ditepati misalnya berkaitan dengan garansi pada produk-produk yang
memerlukan keterlibatan tinggi, adanya penggantian peralatan gratis ketika
produk yang dibeli mengalami kerusakan maupun kegiatan lainnya.
Beberapa perusahaan berpikir bahwa untuk dapat memperhatikan
kepuasan pelanggan, perusahaan harus mencatat seberapa banyak ketidakpuasan
konsumen
terjadi.
Menurut
Kotler
(2009:143),
dari
pelanggan
yang
menyampaikan keluhan (ketidakpuasan), antara 54% sampai dengan 70% akan
membeli kembali dari perusahaan jika keluhan mereka diselesaikan. Angka
tersebut bahkan dapat naik hingga 95% jika perusahaan berhasil menyelesaikan
keluhan secara cepat.
Pelanggan yang menyampaikan keluhan pada suatu perusahaan dan
keluhan mereka diselesaikan dengan memuaskan akan menceritakan perlakuan
baik yang mereka terima tersebut rata-rata kepada 5 orang. Namun demikian,
pelanggan yang tidak puas rata-rata menggerutu kepada 11 orang. Kotler (2009:
143). Jika masing-masing orang tersebut masih memberitahu orang lain lagi,
jumlah orang yang mendapatkan berita buruk akan berlipat ganda.
Penelitian yang dilakukan oleh Kotler tersebut memberikan gambaran
bahwa ketidakpuasan pelanggan harus dihindari oleh perusahaan untuk
memperkecil kemungkinan terjadinya brand switching. Namun demikian,
sesempurna apapun rancangan dan implementasi sebuah program pemasaran,
kesalahan selalu akan terjadi. Hal terbaik yang dapat dilakukan oleh perusahaan
atau pemasar adalah mempermudah pelanggan menyampaikan keluhannya ketika
dia atau mereka merasa tidak puas. Formulir saran, nomor bebas pulsa, situs Web
dan alamat email memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah yang cepat.
Kepuasan konsumen merupakan hal penting yang harus mampu dicapai
oleh perusahaan yang melakukan kegiatan bisnis dalam industri apapun. Ketika
kepuasan ini tidak tercapai, dan ketidakpuasan konsumenlah yang dirasakan,
maka konsumen akan mencari kepuasan dari produsen atau merek berbeda (brand
switching).
35
Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan oleh ketidakpuasan konsumen
atau customer unsatisfaction maka penting bagi pemasar untuk dapat menangani
pengalaman negatif ini secara tepat. Menurut Kotler (2009: 143), ada beberapa
prosedur yang dapat dilakukan oleh pemasar untuk membantu menangani
konsumen yang tidak puas agar tidak beralih pada penyedia produk lain atau
pesaing sehingga kemungkinan terjadinya brand switching akan semakin kecil,
yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Membuka hotline gratis 7 hari, 24 jam (lewat telepon, faks atau email)
untuk menerima dan menindaklanjuti keluhan pelanggan.
2. Menghubungi pelanggan yang menyampaikan keluhan secepat mungkin.
Semakin lambat respons perusahaan, semakin besarlah ketidakpuasan
yang akan menimbulkan berita negatif.
3. Menerima
tanggung
jawab
atas
kekecewaan
pelanggan;
jangan
menyalahkan pelanggan.
4. Mempekerjakan orang layanan pelanggan yang memiliki empati.
5. Menyelesaikan keluhan dengan cepat dan mengusahakan kepuasan
pelanggan.
Sebagian
pelanggan
yang
menyampaikan
keluhan
sesungguhnya tidak meminta kompensasi yang besar sebagai tanda bahwa
perusahaan peduli.
Maka dari itu, ketidakpuasan konsumen memang sulit dihindari. Untuk dapat
memperkecil kemungkinan terjadinya hal ini, perusahaan ada baiknya
menjalankan prosedur-prosedur tersebut agar konsumen tidak beralih pada
perusahaan lain.
Customer Unsatisfaction akan menyebabkan terjadinya Brand Switching
apabila perusahaan tidak mampu menangani keluhan konsumen sebagai bentuk
ketidakpuasannya dengan tepat. Namun, apabila perusahaan dapat menyelesaikan
keluhan pelanggan secara memuaskan (bagi pelanggan), maka Brand Swithing
oleh konsumen dapat diperkecil kemungkinannya.
36
2.3.2.2 Keinginan Mencari Variasi (Variety Seeking)
Selain ketidakpuasan konsumen, perilaku brand switching dapat pula
terjadi karena konsumen semata-mata berkeinginan untuk mencari variasi. Dalam
melakukan kegiatan konsumsi terhadap suatu produk, baik barang maupun jasa,
konsumen seringkali menginginkan sesuatu yang baru yang jauh berbeda dengan
apa yang biasa ia konsumsi. Variety seeking ini sering terjadi karena keterlibatan
beberapa produk rendah. Perilaku variety seeking menurut Kahn, Kalwani dan
Morizon yang dikutip oleh Rifah (2010:122) adalah :
“Kecenderungan
individu-individu
mencari
keberagaman
dalam
memilih produk baik berupa barang maupun jasa pada suatu waktu
yang timbul karena beberapa alasan yang berbeda. Perilaku ini sering
terjadi pada beberapa produk dimana tingkat keterlibatan produk itu
rendah, apabila dalam proses pembelian produk konsumen yang tidak
melibatkan
banyak
faktor
dan
informasi
yang
harus
ikut
dipertimbangkan.”.
Keinginan atau kebutuhan mencari variasi merupakan bentuk keinginan
konsumen untuk mencoba hal-hal yang baru yang jarang atau tidak pernah
dikonsumsi. Menurut Schiffman dan Kanuk dalam Cornelisz (2009: 93), bahwa
keinginan mencari variasi merupakan hal yang wajar bagi konsumen karena
adanya faktor stimulus dari luar yang merangsang seseorang untuk cenderung
mencoba produk-produk yang dinilai baru. Keinginan mencari variasi ini terus
terjadi selagi di pasar banyak ditemukan produk sejenis yang seimbang dengan
produk yang ditawarkan perusahaan.
Melalui keinginan mencari variasi ini, maka konsumen akan cenderung
selalu membanding-bandingkan kinerja sebuah produk dengan produk sejenis
lainnya. Dan melalui keinginan mencari variasi ini, kemungkinan besar akan
memicu terjadi perpindahan pembelian dari sebuah produk ke produk lainnya.
Junaidi dan Dharmmesta dalam Cornelisz (2009: 93) menambahkan bahwa
keinginan mencari variasi ini muncul karna didukung oleh berbagai faktor, antara
lain:
37
1. Persaingan yang ketat antar produk sejenis, sehingga setiap produk
mempropagandakan untuk menjadi yang terbaik. Kondisi ini tentunya
memungkinkan
untuk
mempengaruhi
konsumen
cenderung
untuk
mencoba hal baru.
2. Kualitas produk mengalami penurunan. Penurunan kinerja sebuah produk
mendorong konsumen untuk mencari dan mencoba produk-produk yang
dimungkinkan mampu memberikan sebuah kepuasan.
3. Karakteristik alamiah konsumen. Karakteristik alamiah konsumen adalah
berbeda. Satu kelompok konsumen dimungkinkan mempunyai perilaku
untuk selalu mencari dan mencoba-coba hal baru, meskipun produk yang
telah dikonsumsinya juga mampu memberikan sebuah kepuasan.
Dalam teori yang disebutkan oleh Kahn, Kalwani dan Morizon,
kecenderungan konsumen untuk melakukan pencarian variasi (variety seeking)
sering terjadi pada produk yang memerlukan keterlibatan rendah. Hal ini terjadi
karena dalam produk dengan keterlibatan yang rendah, konsumen tidak
diharuskan melakukan pengorbanan yang tinggi baik secara finansial maupun hal
lainnya untuk dapat melakukan konsumsi. Secara finansial, berarti konsumen
tidak perlu mengeluarkan dana yang sangat tinggi untuk melakukan konsumsi.
Sehingga, jika ternyata konsumsi terhadap produk dari merek yang baru tidak
menyenangkan,
maka
pengorbanannya.
hal
Namun
tersebut
ketika
tidak
ternyata
berpengaruh
kegiatan
besar
pencarian
terhadap
variasinya
membuahkan hasil yang baik, dimana produk merek barunya lebih baik
dibandingkan
dengan
merek
terdahulu,
maka
konsumen
akan
beralih
menggunakan produk dari merek yang baru (brand switching).
Namun demikian, pada kenyataannya kecenderungan untuk mencari
variasi juga tidak hanya terjadi pada produk dengan kategori keterlibatan yang
rendah. Dalam jurnal yang sama oleh Sambandam dalam Rifah (2010:122),
mengemukakan bahwa:
38
“Perilaku perpindahan merk tidak hanya timbul akibat dari perilaku
pencarian
variasi
yang
cenderung
terjadi
pada
produk
yang
memerlukan keterlibatan rendah, tetapi juga terjadi pada produk yang
memerlukan keterlibatan yang tinggi seperti pada pembelian produk
otomotif dan elektronik. Dua macam produk ini termasuk kategori
keterlibatan tinggi dalam proses pembeliannya, yang melibatkan faktor
resiko yang harus dipertimbangkan”.
Dengan demikian, pada dasarnya keinginan mencari variasi ini dapat
terjadi pada produk konsumsi apapun baik yang memiliki keterlibatan rendah
maupun bagi produk yang memiliki keterlibatan tinggi. Pencarian variasi (variety
seeking) ini dilakukan konsumen karena berbagai tujuan. Seperti dikutip dalam
Rifah (2010: 122), tujuan konsumen mencari variasi atau keberagaman produk
adalah untuk mencapai suatu sikap terhadap merk yang menyenangkan. Tujuan
lain dari perilaku konsumen dalam mencari variasi ini dapat berupa:
1. Hanya Sekedar Mencoba Sesuatu yang Baru, dalam hal ini
konsumen mencari variasi dengan tujuan untuk coba-coba tanpa
mengetahui dengan jelas informasi seputar produk dari merk yang
kemudian akan digunakan. Konsumen hanya ingin mencari variasi
karena produk yang dipilih berbeda dengan produk yang digunakan
sebelumnya.
2. Mencari Kebaruan Dari Sebuah Produk, dalam hal ini konsumen
mencari variasi karena benar-benar ingin mengkonsumsi sesuatu
yang baru yang belum didapatkannya dari konsumsi produk
terdahulu. Dengan kata lain, konsumen telah memiliki informasi
jelas mengenai kebaruan dari produk yang akan dipilihnya tersebut.
Hal yang baru merupakan sesuatu yang menggiurkan bagi konsumen.
Seperti disebutkan diatas, konsumen dapat melakukan pencarian variasi (variety
seeking) karena dalam upayanya mencapai suatu sikap yang menyenangkan
terhadap merek, hanya sekedar mencoba sesuatu yang baru dan mencari kebaruan
dari sebuah produk.
39
2.3.2.3 Pencarian Informasi Melalui Media (Media Search)
Media masa kini memiliki peranan penting dalam banyak hal termasuk
dunia bisnis dan pemasaran. Melalui media masa, pemasar berusaha
menyampaikan informasi seputar nilai-nilai dari suatu produk kepada konsumen
agar konsumen terdorong untuk melakukan kegiatan pembelian.
Menurut
Hawkins
and
Mothersbaugh
(2010:517),
kemampuan
konsumen dalam melakukan pencarian informasi seputar produk telah meningkat
secara pesat sejak kemunculan internet. Internet memberikan kemudahan akses
terhadap informasi seputar produk yang ingin dikonsumsi. Internet juga menjadi
media yang ideal bagi pemasar untuk menyediakan informasi kepada konsumen.
Namun demikian, pencarian informasi seputar produk oleh konsumen tidak hanya
dilakukan melalui internet, melainkan juga melalui media massa lainnya.
Karena informasi kini banyak disampaikan melalui media masa, konsumen
pun semakin berinisiatif untuk melakukan kegiatan pencarian terhadap informasi
ini melalui media atau media search. Beberapa literatur menyebutkan bahwa
kegiatan pencarian informasi melalui media ini dapat menyebabkan seseorang
atau konsumen melakukan brand switching.
Menurut Srinivasan dan Ratchford dalam Rifah (2010:123), search
merupakan:
“Suatu usaha (effort) yang ditujukan pada perolehan informasi dari
lingkungan eksternal”.
Dan menurut Beatty and Smith dalam Rifah (2010:123), external search
effort adalah:
“Derajat perhatian, presepsi dan usaha langsung (directed) terhadap
perolehan data lingkungan atau informasi yang berhubungan pada
pembelian spesifik dibawah pertimbangan.”
Pencarian informasi melalui media ini dilakukan guna mendapatkan
informasi mengenai barang atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan dan
keinginannya. Pencarian media dapat berakibat semakin banyak informasi yang
diperoleh oleh konsumen. Dengan semakin banyaknya informasi maka konsumen
40
bisa memperoleh gambaran terhadap suatu produk yang dikonsumsinya dan juga
gambaran dari produk merek lain yang tidak sedang ia gunakan.
Dalam menentukan pilihan terhadap produk, konsumen seringkali
melakukan perbandingan. Perbandingan dapat dilakukan antara produk baru yang
belum dimiliki ataupun melakukan perbandingan antara produk yang telah
digunakan dengan produk lain yang sejenis. Hawkins and Mothersbaugh
(2010:517), mengatakan bahwa dalam melakukan evaluasi, konsumen akan
melalui proses dimana konsumen diharuskan untuk mengumpulkan informasi
mengenai produk yang dibandingkan.
Apabila produk yang selama ini dikonsumsi ternyata kurang baik jika
dibandingkan dengan produk dari merek lain atau produk pesaing maka bisa jadi
konsumen akan beralih pada merek pesaing. Menurut Sutrisna dalam Rifah
(2010: 125), faktor-faktor yang menentukan pencarian informasi pada konsumen
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Keterlibatan konsumen yang tinggi, ketika konsumen merasa sangat
terlibat dalam pembelian suatu produk, mereka akan sangat intens dalam
mencari informasi dari berbagai sumber. Informasi itu kemudian
membanding-bandingkan dengan proses evaluasi informasi. Tingkat
keterlibatan yang tinggi terhadap pembelian produk ini karena konsumen
merasa bahwa citra dirinya bisa direpresentasikan oleh produk itu. Jadi,
produk-produk yang bisa merepresentasikan citra diri konsumen akan
dibeli secara hati-hati dan memerlukan evaluasi merek yang hati-hati pula.
2. Mempunyai tingkat resiko yang tinggi, ketika konsumen merasa bahwa
resiko pembeli pada suatu barang akan muncul, maka konsumen akan
lebih selektif dalam memilih merek. Selain itu, konsumen akan melakukan
pencarian informasi yang banyak dan evaluasi yang hati-hati.
3. Pengetahuan atas produk yang rendah, misalnya ketika konsumen akan
melakukan pembelian produk komputer terbaru pada umumnya konsumen
kurang atau tidak mengetahui spesifikasi dan kemampuan komputer itu.
Dalam ketidaktahuan itu konsumen akan berusaha mencari informasi
41
sebanyak-banyaknya baik melalui brosur iklan atau teknisi komputer yang
telah dikenal.
4. Tidak ada tekanan waktu, konsumen yang tidak diburu waktu dalam
pembelian produk akan mempunyai waktu luang yang banyak untuk
melakukan pencarian informasi. Kondisi yang seperti itu sangat mungkin
untuk kategori produk high involvement.
5. Produk dengan harga tinggi, semakin tinggi harga suatu produk,
probabilitas pencarian informasi yang ekstensif semakin tinggi. Jika harga
produk tinggi, manfaat ekonomi atas pencarian informasi juga akan tinggi.
Pencarian informasi yang banyak akan mampu mengurangi resiko
kerugian uang akibat pembelian produk yang salah.
6. Terdapat perbedaan produk, akan terjadi pencarian informasi yang lebih
banyak jika merek-merek produk secara substansial berbeda. Untuk
mendapatkan beberapa merek dari suatu produk misalnya skin care, alatalat elektronik seperti televisi yang mana desain dan kualitasnya berbedabeda, maka pencarian informasi akan lebih banyak dilakukan.
Konsumen
dapat
menggunakan
beberapa
sumber
informasi
dari
lingkungannya. Menurut Assael dalam Rifah (2010:123), mengkategorikan
sumber informasi kedalam 2 dimensi, yaitu sumber informasi personal dan
impersonal. Berikut ini adalah penjabaran masing-masing dimensi dari media
search :
1. Sumber Infomasi Personal
a. Sumber Informasi Personal yang Dapat Dikendalikan

Petugas Penjualan

Pemasaran Jarak Jauh

Pameran Dagang
b. Sumber Informasi Personal yang Tidak Dapat Dikendalikan

Word of Mouth Marketing
2. Sumber Informasi Impersonal
a. Sumber Informasi Impersonal yang Dapat Dikendalikan

Iklan
42

Tata Letak Toko

Promosi Penjualan

Pengemasan
b. Sumber Informasi Impersonal yang Tidak Dapat Dikendalikan

Berita dan Editorial

Sumber netral seperti Majalah
Dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka konsumen yang
merasa tidak puas dengan produk merek terdahulu akan mencari berbagai media
untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya guna mendapatkan produk
yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya.
Download