BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Persaingan ekonomi global yang dicirikan dengan perubahan cepat, dinamika tinggi, permintaan tinggi atas inovasi, dan (karenanya) memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi telah menuntut organisasi-organisasi modern untuk menjadi lebih terdesentralisasi (tidak terpusat). Hal ini ditujukan guna menghasilkan inovasi secara cepat, mencapai fleksibilitas, dan melakukan perubahan-perubahan yang berkelanjutan. Karenanya, organisasi-organisasi membutuhkan para karyawan yang tidak hanya memiliki keinginan, tetapi juga mampu melakukan pekerjaan diluar job descriptions yang diberikan organisasi kepadanya secara proaktif dengan mengambil inisiatif. Perilaku proaktif dan inisiatif semacam itu merupakan sebuah konsep bernilai tinggi daripada sekedar ―tren/mode‖ manajemen, dapat menjadi penentu penting keberhasilan organisasional, dan dapat meningkatkan efektifitas organisasional. Sudah waktunya bagi organisasi-organisasi untuk memusatkan perhatian mereka pada cara-cara untuk mengenali dan memperbaiki kebijakankebijakan dan sistem-sistem yang justru berpotensi menekan inisiatif individual semacam ini. Perilaku proaktif merupakan sebuah bentuk spesifik atas perilaku termotivasi pada kerja, dimana para karyawan ―mengambil inisiatif dalam memperbaiki keadaan1 keadaan saat ini atau menciptakan keadaan-keadaan baru; dan meliputi tantangan terhadap status quo daripada secara pasif menyesuaikan diri pada kondisi-kondisi saat ini‖. (Bateman & Crant, 1993; Crant, 2000). Para karyawan yang proaktif akan menunjukkan perilaku yang bersifat self-directed, antisipatif, dan fokus pada masa depan dengan tujuan untuk membawa perubahan—baik bagi situasi yang dihadapinya, dirinya sendiri, orang lain, kelompok, maupun organisasi (Belschak & Den Hartog, 2009 dalam Bindl & Parker, 2009; Grant & Ashford, 2008; Griffin, Neal, & Parker, 2007; Parker & Collins, in press.; Parker, Williams, & Turner, 2006). Selain itu, seseorang yang memiliki kepribadian proaktif tidak terdesak oleh tekanantekanan situasional; mereka akan memecahkan berbagai masalah; dan merasa memiliki tanggung jawab untuk mencari kesempatan, menunjukkan inisiatif, mengambil tindakan, serta gigih hingga terjadi perubahan dalam lingkungannya (Crant, 2000). Namun, perubahan yang dibawa oleh perilaku proaktif haruslah bersifat konstruktif dan konsisten terhadap misi organisasi (Morrison & Phelps, 1999; Frese, Kring, Soose, & Zempel, 1996). Salah satu hal yang dapat mendorong para karyawan untuk menunjukkan perilaku semacam itu adalah proses kognitif-motivasional yang terjadi dalam diri individu karyawan. Dengan kata lain, seorang karyawan akan bercermin dan menilai kemampuan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum menunjukkan perilaku proaktif, mengingat keterlibatannya dalam perilaku semacam itu menyiratkan hadirnya ide-ide baru yang tidak selalu disukai oleh orang lain. Seorang karyawan perlu memiliki 2 ekspektasi atas kendali pada tindakan yang diambilnya dan merasa bahwa ia termotivasi oleh kendali tersebut. Mereka yang memiliki orientasi kendali tinggi akan memiliki rasa tanggung jawab yang lebih kuat; tidak mudah menyerah saat masalahmasalah muncul; mencari lebih banyak kesempatan untuk bertindak; memiliki ekspektasi atas keberhasilan yang lebih tinggi dan (karenanya) memiliki orientasi pada jangka panjang dalam baik penentuan maupun perencanaan tujuan; serta aktif mencari informasi terkait pengetahuan atas timing (dimana dan kapan) untuk menunjukkan inisiatif (Frese & Fay, 2001). Karenanya, karyawan tersebut harus memiliki tingkat kepercayaan yang cukup pada kemampuannya untuk dapat menunjukkan perilaku proaktif (Bindl et al., 2009). Orientasi kendali tersebut mengacu pada konsep self-efficacy, atau harapan bahwa seseorang mampu untuk melakukan sebuah tindakan tertentu secara efektif (Bandura, 1997 dalam Frese et al., 2001; Bandura, 1986 dalam Bindl et al., 2009). Disamping proses kognitif-motivasional atas self-efficacy, proses-proses terkait pengaruh positif (positive affect-related processes) juga dapat membentuk perilaku proaktif (Bindl et al., 2009). Affect positif akan (1) membuat individu memilih untuk mengalokasikan upaya mereka pada tujuan jangka panjang yang menantang—bahkan seringkali, yang beresiko; (2) mendorong individu untuk menunjukkan perilaku yang lebih bertanggungjawab dan konsisten dengan fokus jangka panjangnya; dan (3) mendorong perjuangan individu untuk mencapai tujuantujuan tersebut. Proses-proses ini terhimpun sepanjang waktu hingga pada akhirnya 3 ‗membangun‘ („build‟) aspek-aspek atas para individu yang lebih bertahan, seperti self-efficacy (Parker, 2007 dalam Bindl et al., 2009). Konsep yang dekat, meskipun tidak identik, dengan affect positif terkait kerja adalah work engagement (Bindl et al., 2009). Work engagement merupakan kondisi pikiran terkait kerja yang positif; memuaskan (fulfilling); dan dicirikan oleh vigor, dedication, serta absorption. Para karyawan yang memiliki tingkat vigor tinggi akan merasa bertenaga dalam bekerja, memiliki keuletan mental yang tinggi, menginvestasikan upaya kedalam pekerjaannya, tidak cepat lelah, dan persisten bahkan dihadapan kesulitan. Para karyawan yang memiliki tingkat dedication tinggi dalam pekerjaannya akan memiliki rasa berarti (sense of significance), antusias, bangga, terinspirasi, dan tertantang oleh pekerjaannya. Terakhir, para karyawan yang absorbed akan larut kedalam pekerjaannya hingga waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit untuk melepaskan dari pekerjaannya. Work engagement mengacu pada sebuah kondisi afektif-kognitif yang persisten dan tidak terfokus pada objek, kejadian, individual, atau perilaku tertentu. Mengingat absorption mirip dengan konsep ‗mengalir (flow)‘—kondisi dimana para karyawan sangat terfokus, memiliki kendali penuh, berpikiran jernih, memiliki sinergi antara pikiran dan tubuh yang baik, mudah berkonsentrasi, lupa waktu, dan mengalami kenikmatan intrinsik (Csikszentmihalyi, 1990 dalam Schaufeli, Salanova, González-Romá, & Bakker, 2002)—yang mengacu pada pengalaman-pengalaman 4 jangka waktu yang relatif pendek dan memuncak, maka absorption akan cenderung lebih pantas untuk dipertimbangkan sebagai konsekuensi work engagement daripada sebagai salah satu komponennya. Self-efficacy mampu mendorong para karyawan untuk menunjukkan work engagement dan juga (pada akhirnya) perilaku proaktif karena self-efficacy mendorong seseorang untuk melakukan rangkaian tindakan efektif untuk mengubah lingkungan. Dalam hal ini, self-efficacy bertindak sebagai sebuah mekanisme motivasi diri (self-motivating mechanism) dimana seseorang yang memandang tinggi kompetensinya akan menciptakan tujuan bagi dirinya sendiri dan terdorong untuk mengeluarkan upaya serta persistensi dalam mengatasi rintangan-rintangan (Bandura, 2001). Dalam sudut pandang lain dimana self-efficacy dipertimbangkan sebagai sumber daya pribadi (personal resources); seseorang yang memiliki tingkat sumber daya pribadi yang tinggi akan (1) semakin menghormati dirinya sendiri, (2) memiliki ekspektasi atas goal self-concordance yang tinggi, (3) semakin terdorong secara intrinsik untuk mengejar tujuannya, dan (4) memicu kinerja dan kepuasan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, para karyawan yang merasa penting, kuat, dan antusias terhadap pekerjaan mereka akan menunjukkan kinerja yang baik (Salanova, Lorente, Chambel, & Martínez, 2011). Sumber daya pribadi sendiri merupakan aspek keuletan diri yang mengacu pada penilaian atas keberhasilan para individu untuk mengendalikan dan memberikan dampak pada lingkungan mereka (Hobfoll, Johnson, 5 Ennis, & Jackson, 2003 dalam Del Líbano, Llorens, Salanova, & Schaufeli, 2012: 690; Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2007: 123-124). Penelitian ini memiliki fokus pada hubungan antara ketiga bangun (variabel) self-efficacy, work engagement, dan perilaku proaktif. Sesuai dengan pertimbangan, konseptualisasi, dan teori yang menjadi landasan hubungan ketiga variabel diatas, maka—secara spesifik—penelitian ini akan fokus pada proses yang mendorong penunjukan perilaku proaktif para karyawan lewat tingkat self-efficacy dan work engagement yang mereka miliki. Penelitian yang menyelidiki hubungan ―proses‖ antara variabel-variabel yang diteliti didalamnya akan melibatkan sebuah variabel intervensi (intervening variable) atau mediator/variabel mediasi. Dalam konteks ini, work engagement akan menjadi mediator yang (diharapkan) akan menjelaskan proses dalam hubungan antara self-efficacy dan perilaku proaktif. Penelitian ini akan menunjuk para karyawan PT X sebagai subjek penelitian. Sebagai perusahaan terbesar yang bergerak dalam industri perbankan di Indonesia (dalam konteks aset-aset, pinjaman-pinjaman, dan deposito), PT X memiliki pedoman standar sumber daya manusia yang menyertakan apa yang mereka sebut dengan „Employee Engagement‟, yang kandungannya mirip dengan konsep work engagement yang akan diselidiki dan diuji dalam penelitian ini. Sebagai contoh, PT X menjelaskan employee engagement mereka sebagai ‗kekuatan motivasi untuk meningkatkan performa‘. Selain itu, PT X juga menyatakan pegawainya dapat 6 dikatakan engaged apabila (contoh) berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dengan melakukan upaya lebih (“go the extra mile”). Dengan mengesampingkan fakta bahwa apakah PT X memiliki kesadaran atas konsep work engagement yang sama dengan yang diselidiki dalam penelitian ini dan mencoba menerapkannya dalam struktur organisasinya, penelitian ini akan menguji (1) bila tingkat self-efficacy yang dimiliki para karyawan mendorong penunjukan perilaku proaktif; dan (2) bila tingkat work engagement yang mereka miliki memainkan peran mediasi antara hubungan self-efficacy dan perilaku proaktif. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah tingkat self-efficacy yang dimiliki para karyawan mendorong penunjukan perilaku proaktif? 2. Apakah tingkat work engagement yang dimiliki para karyawan memainkan peran mediasi antara tingkat self-efficacy yang mereka miliki dan kemungkinan penunjukan perilaku proaktif? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, maka penelitian ini ditujukan untuk: 7 1. Menganalisis pengaruh self-efficacy pada perilaku proaktif para karyawan, dan 2. Menganalisis peran mediasi work engagement pada hubungan antara selfefficacy dan perilaku proaktif para karyawan. 1.4 Kontribusi Penelitian Hasil-hasil penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan sumbangan bagi para sarjana sumber daya manusia (human resource) maupun para sarjana psikologi organisasional lainnya dalam memperluas wawasan pada hubunganhubungan antara self-efficacy, work engagement, dan perilaku proaktif. Penelitian ini juga diharapkan untuk mampu memberikan gambaran umum atas hubunganhubungan sumber daya pribadi, motivasi, dan perilaku. Bagi subjek penelitian, hasil-hasil penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan evaluasi-evaluasi kepantasan kebijakan-kebijakan sumber daya manusia yang saat ini diterapkan dalam organisasi dan (bahkan) diharapkan dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan atas kebijakan-kebijakan sumber daya manusia yang mungkin dapat diterapkan organisasi pada masa yang akan datang. 8