5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Cair Secara sederhana limbah

advertisement
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Limbah Cair
Secara sederhana limbah cair dapat didefinisikan sebagai air buangan yang berasal
dari aktivitas manusia dan mengandung berbagai polutan yang berbahaya baik
secara langsung maupun dalam jangka panjang. Berdasarkan sumbernya, limbah
cair dapat dibedakan atas limbah rumah tangga dan limbah industri, sedangkan
polutan yang terdapat dalam limbah dapat dibedakan atas polutan organik dan
polutan anorganik dan umumnya terdapat dalam bentuk terlarut atau tersuspensi.
Polutan yang terdapat dalam limbah cair merupakan ancaman yang cukup serius
terhadap kelestarian lingkungan, karena di samping adanya polutan yang beracun
terhadap biota perairan, polutan juga mempunyai dampak terhadap sifat fisika,
kimia, dan biologis lingkungan perairan. Dengan kata lain, perubahan sifat-sifat
air akibat adanya polutan dapat mengakibatkan menurunnya kualitas air sehingga
berdampak negatif terhadap kelestarian ekosistem perairan dalam berbagai aspek.
6
B. Karakteristik Limbah Cair
Limbah cair dapat didefinisikan sebagai sampah berwujud cair yang dihasilkan
dari proses industri atau kegiatan lain yang dilakukan oleh manusia. Limbah cair
dapat dibedakan menjadi beberapa golongan berdasarkan asal limbahnya yaitu,
limbah rumah tangga, limbah pertanian, dan limbah industri (Daryanto, 1995).
Apabila limbah cair dibuang langsung ke perairan tanpa diolah terlebih dahulu,
maka akan menimbulkan berbagai dampak pada biota perairan, sifat kimia dan
sifat fisika air.
Sifat fisika yang bekaitan dengan pencemaran air adalah suhu, warna, bau, rasa
dan kekeruhan. Suhu air limbah umumnya lebih tinggi dibandingkan suhu air
normal, karena kadar oksigen terlarut dalam limbah lebih rendah dari pada kadar
oksigen terlarut pada air normal. Timbulnya warna pada air disebabkan oleh
adanya bahan organik terlarut dan tersuspensi termasuk diantaranya yang bersifat
koloid. Dengan demikian, diketahui bahwa intensitas warna berbanding lurus
dengan konsentrasi polutan dalam limbah, yang artinya intensitas warna dapat
memperlihatkan kualitas suatu limbah. Bau dan rasa pada air limbah timbul
karena adanya penguraian bahan-bahan organik terlarut secara mikrobiologis.
Kekeruhan adalah ciri lain dari limbah cair yang disebabkan oleh partikel
tersuspensi dalam limbah yang menimbulkan dampak negatif paling nyata yaitu
turunnya daya serap air akan cahaya matahari, sehingga proses kehidupan biota
perairan terganggu.
7
Selain sifat fisika, polutan dalam limbah juga akan mempengaruhi sifat kimia air
yaitu adanya perubahan derajad keasaman (pH) serta tingginya nilai Biological
Oxygen Demand (BOD) dan nilai Chemical Oxygen Demand (COD) limbah.
Derajad keasaman air merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
aktivitas kehidupan dalam perairan (Sutrisno, 2001). Terjadinya perubahan pH
pada air tercemar adalah akibat dari penguraian berbagai polutan organik yang
terdapat dalam limbah, sehingga akan mempengaruhi nilai COD dan BOD. pH,
COD dan BOD ketiganya merupakan parameter kualitas limbah karena dapat
menyatakan kadar oksigen yang dibutuhkan dalam menguraikan polutan organik
dalam limbah.
Di dalam air terdapat berbagai jenis mikroorganisme seperti candawan, alga,
bakteri, protozoa, dan virus (Fardiaz, 1992), yang memanfaatkan bahan organik
yang ada dalam limbah sebagai media untuk pertumbuhannya. Hal tersebut
mengakibatkan air limbah tidak layak digunakan dan dikonsumsi.
C. Parameter Kualitas Limbah Cair
Perubahan sifat-sifat pada limbah cair (sifat biologis, fisika dan kimia), sangat
berpengaruh terhadap kualitas dari suatu limbah. Dalam prakteknya, kualitas
limbah cair diukur berdasarkan parameter-parameter yang telah ditentukan di
berbagai negara termasuk negara Indonesia. Parameter-parameter yang akan
dipelajari pada penelitian ini adalah pH (derajad keasaman), kekeruhan, COD dan
BOD yang mengacu pada standar baku mutu limbah cair dalam Surat Keputusan
Gubernur Provinsi Lampung Nomor G/624/B.VII/Hk.1999 mengenai baku mutu
8
limbah cair industri termasuk industri rumah makan (restoran) yang tertera pada
Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Standar Baku Mutu Limbah Cair Industri Rumah Makan (Restoran) di
Provinsi Lampung Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi
Lampung Nomor G/624/B.VII/Hk.1999
No
1.
2.
3.
4.
Parameter Uji
Kekeruhan (NTU)
COD (mg/L)
BOD (mg/L)
pH
Nilai baku mutu limbah
100
135
75
6,0-9,0
Keterangan:
Mg
= miligram
ml
= milliliter
L
= Liter
NTU = Nepnelometrik Turbidity Unit
1. Chemical oxygen demand (COD)
Chemical oxygen demand (COD) merupakan jumlah oksigen (mg/L) yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik yang ada dalam sejumlah sampel.
Oksidator yang paling umum digunakan adalah K2Cr2O7 (Alaerts, 1984). Nilai
COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara
alamiah dapat dioksidasi melalui proses kimiawi. Maka, semakin tinggi COD
maka semakin tinggi kadar oksigen terlarut untuk oksidasi dan oksigen yang
tersedia untuk biota perairan semakin rendah.
Metode pengukuran COD dilakukan dengan menggunakan peralatan khusus
reflux, penggunaan asam pekat, pemanasan, dan titrasi (Apha, 1989). Peralatan
9
reflux (seperti pada Gambar 2.1) diperlukan untuk menghindari berkurangnya air
sampel karena pemanasan.
Gambar 2.1 Peralatan khusus refluks untuk pengukuran COD
Pada prinsipnya pengukuran COD adalah penambahan sejumlah tertentu kalium
bikromat (K2Cr2O7) sebagai oksidator pada sampel (dengan volume diketahui)
yang telah ditambahkan asam pekat dan katalis perak sulfat (Ag2SO4), kemudian
dipanaskan selama beberapa waktu. Selanjutnya, kelebihan kalium bikromat
diatasi dengan cara titrasi. Dengan demikian kalium bikromat yang terpakai
untuk oksidasi bahan organik dalam sampel dapat dihitung dan nilai COD dapat
ditentukan, seperti ditunjukkan pada persamaan reaksi berikut ini.
10
ΔE
CaHbOc +
Cr2O72- +
+
nCO2 + OH + 2Cr3+ ……………. (1)
H
Ag2SO4
(kuning)
(hijau)
Reaksi oksidasi dinyatakan berakhir, ditandai dengan adanya perubahan warna
campuran dari kuning menjadi hijau, yang menunjukkan reduksi Cr2O72- menjadi
2Cr3+ (Alaerts, 1984).
2. Biological oxygen demand (BOD)
Biological Oxygen Demand (BOD) adalah suatu karakteristik yang
menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme
(biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam
kondisi aerobik (Metcalf, 1991). Ditegaskan lagi oleh Boyd (1990), bahwa bahan
organik yang terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap
terdekomposisi (readily decomposable organic matter). Mays (1996)
mengartikan BOD sebagai suatu ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh
populasi mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap
masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dari pengertian ini dapat dikatakan
bahwa walaupun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya
dapat juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah terurai
(biodegradable organics) yang ada di perairan.
11
Prinsip pengukuran BOD pada dasarnya cukup sederhana, yaitu mengukur
kandungan oksigen terlarut awal (DOi) dari sampel segera setelah pengambilan
contoh, kemudian mengukur kandungan oksigen terlarut pada sampel yang telah
diinkubasi selama 5 hari pada kondisi gelap dan suhu tetap (20 oC) yang sering
disebut dengan DO5. Selisih DOi dan DO5 (DOi - DO5) merupakan nilai BOD
yang dinyatakan dalam miligram oksigen per liter (mg/L). Pengukuran oksigen
dapat dilakukan secara analitik dengan cara titrasi (metode Winkler, iodometri)
atau dengan menggunakan alat yang disebut DO meter yang dilengkapi dengan
probe khusus. Jadi pada prinsipnya dalam kondisi gelap, agar tidak terjadi proses
fotosintesis yang menghasilkan oksigen, dan dalam suhu yang tetap selama lima
hari, diharapkan hanya terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganime, sehingga
yang terjadi hanyalah penggunaan oksigen, dan oksigen tersisa adalah sebagai
DO5. Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah mengupayakan agar masih
ada oksigen tersisa pada pengamatan hari kelima sehingga DO5 tidak nol. Bila
DO5 nol maka nilai BOD tidak dapat ditentukan.
3. Total suspended solid (TSS)
Total suspended solid (TSS) merupakan penyebab utama kekeruhan air yang
disebabkan oleh partikel-partikel tersuspensi di dalam air yang dapat mengganggu
penyerapan cahaya matahari ke dalam air. Partikel-partikel ini dapat berupa
senyawa organik atau anorganik (Sari, 1998). Kekeruhan akan menghambat
penembusan sinar matahari yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dan
fitoplankton untuk melakukan fotosintesis (Arnelli dkk., 1999). Oleh karena itu,
semakin tinggi TSS maka akan semakin rendah kualitas air. TSS meliputi seluruh
12
padatan yang terdapat dalam air, baik senyawa organik maupun anorganik.
Penentuan TSS dapat dilakukan menggunnakan parameter kekeruhan.
D. Pengolahan Limbah Cair
Berbagai proses pengolahan limbah telah banyak dikembangkan untuk
memisahkan suatu kontaminan dari air limbah sampai batas yang dikehendaki.
Karena limbah yang akan dibuang ke suatu lingkungan hendaknya harus
memenuhi standar baku mutu air limbah.
Menyadari banyaknya dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh limbah cair,
berbagai metode pengolahan limbah cair telah dikembangkan dan secara garis
besar dapat dikelompokkan menjadi metode biologis, metode fisika dan metode
kimia. Setiap metode mempunyai keunggulan dan kelemahan, karena unjuk kerja
dari setiap metode sangat dipengaruhi oleh karakteristik limbah cair yang akan
diolah.
1. Pengolahan Limbah Cair secara Biologis
Pengolahan limbah secara biologis, biasanya dilakukan dengan menggunakan
mikroorganisme yang dapat menguraikan senyawa organik yang ada dalam
limbah cair. Menurut Mahida (1989), proses biologis mampu membusukkan zatzat organik dan secara efektif menstabilkannya sehingga setelah proses tersebut,
zat-zat organik tidak mampu menyerap oksigen di dalam limbah secara cepat dan
kandungan oksigennya semakin menipis. Tetapi metode pengolahan limbah
secara biologis ini mempunyai kelemahan yaitu prosesnya berlangsung relatif
13
lambat karena sangat bergantung pada populasi dari mikroorganisme yang ada
dalam limbah yang berperan dalam penguraian senyawa-senyawa organik. Selain
itu, metode ini hanya efektif untuk limbah yang mempunyai COD antara 5002000mg/L, sedangkan untuk limbah dengan COD lebih kecil, metode pengolahan
yang paling efektif adalah secara koagulasi (Oliveria, et al., 2001).
2. Pengolahan Limbah Cair secara Fisika
Pengolahan limbah secara fisika dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara
filtrasi dan sedimentasi (pengendapan). Kedua metode ini adalah proses yang
paling umum dilakukan untuk memisahkan padatan terendapkan dari limbah
industri atau limbah rumah tangga. Menurut Kagaya et al. (1999), pengolahan
limbah secara sedimentasi merupakan proses pengendapan senyawa organik
dalam limbah tanpa adanya perlakuan bantuan. Namun pengolahan sedimentasi
tidak efisien untuk digunakan, sebab prosesnya berlangsung lambat, apalagi jika
limbah berada dalam jumlah yang cukup besar meskipun biayanya relatif murah.
Pengolahan secara filtrasi merupakan pengolahan limbah dengan menggunakan
membran untuk menghilangkan warna yang ditimbulkan oleh kandungan
senyawa-senyawa organik (Grose et al., 1998) serta menghilangkan sebagian
mikroorganisme yang bersifat patogen (Carrol et al., 2000). Jika dibandingkan
dengan pengolahan sedimentasi, filtrasi memerlukan biaya yang relatif mahal.
Selain itu juga efektivitas dari membran cepat menurun karena pori-porinya
kemungkinan akan tertutup oleh partikulat-partikulat organik.
14
3. Pengolahan Limbah Cair secara Kimia
Pengolahan limbah secara kimia merupakan metode yang paling banyak
dimanfaatkan terutama karena prosesnya yang cepat dan efektifitasnya dapat
dipertahankan. Pada umumnya metode pengolahan limbah cair secara kimia yang
digunakan dalam pengolahan limbah cair adalah netralisasi, koagulasi, oksidasi,
reduksi, adsorpsi, serta pertukaran ion. Dua metode utama yang sering diterapkan
dalam pengolahan limbah secara kimia adalah metode adsorpsi (Heijman et al.,
1999) dan juga metode koagulasi (Chow et al., 1999). Selain itu, pengolahan
limbah cair secara oksidasi juga merupakan metode yang umum diterapkan.
Dibandingkan dengan metode pengolahan limbah secara fisika dan biologis,
metode secara kimia sering digunakan karena prosesnya berlangsung cepat serta
bahan-bahan yang digunakan itu mudah didapatkan.
4. Koagulasi
Koagulasi merupakan proses pengendapan partikel yang tersuspensi dalam air
limbah dengan menetralkan muatan partikel oleh koagulan yang muatannya
berlawanan (Viesmann dan Hammer, 1998). Koagulan yang digunakan untuk
proses koagulasi biasanya bermuatan positif, karena ion-ion yang terdapat dalam
air limbah umumnya bermuatan negatif. Penetralan muatan tersebut
mengakibatkan gaya tolak menolak antar partikel polutan hilang. Dengan
hilangnya gaya tolak menolak antar partikel polutan, gaya kohesi akan bekerja
menghasilkan partikel-partikel berukuran lebih besar dan dikenal sebagai flok.
Dalam aplikasinya, metode koagulasi yang dapat digunakan ada dua macam,
15
yakni koagulasi konvensional dan koagulasi secara elektrokimia yang disebut
elektrokoagulasi.
a. Koagulasi Konvensional
Metode koagulasi konvensional sudah umum digunakan dan sudah cukup dikenal
luas. Dalam metode konvensional, koagulasi dilakukan menggunakan garam
sebagai koagulan. Koagulan yang umum digunakan adalah alumunium sulfat .dan
ferri klorida (FeCl3) (Ritter et al.,1999). Namun, dari ketiga koagulan tersebut
yang paling sering digunakan dan dikenal luas adalah Al2(SO4)3, karena harganya
murah, tidak berbahaya, dan penggunaannya mudah yakni dengan hanya
menebarkannya dalam limbah.
Pada dasarnya, reaksi yang terjadi pada koagulasi konvensional adalah
destabilisasi partikel pada limbah untuk membentuk flok. Metode koagulasi
konvensional dapat berlangsung melalui empat mekanisme yaitu, netralisasi
muatan, penjebakan, adsorpsi, dan interaksi kimia (Holt et al.,2002). Netralisasi
muatan berlangsung jika kation dari koagulan berinteraksi dengan partikulat yang
bermuatan negatif menghasilkan produk yang bermuatan netral dan tak larut.
Pada saat alumunium hidroksida yang tidak larut terbentuk, senyawa-senyawa
organik yang ada dalam limbah dapat dihilangkan melalui mekanisme penjebakan
dan adsorpsi.
Mekanisme kedua yaitu penjebakan (penjeratan). Mekanisme ini terjadi karena
partikel-partikel dalam limbah memiliki kerapatan muatan yang kecil sehingga
16
dengan adanya dosis koagulan yang rendah menyebabkan terjadinya destabilisasi.
Dalam mekanisme penjebakan ini, partikel koloid akan berfungsi sebagai inti
untuk pembentukan endapan selama proses agregasi flok.
Mekanisme ketiga yaitu adsorpsi. Metode ini dapat menghilangkan partikelpartikel dengan kerapatan muatan yang lebih besar. Proses adsorpsi ini dapat
berlangsung dengan menggunakan koagulan yang dosisnya lebih besar sehingga
dapat memacu pengendapan Al(OH)3 dengan cepat.
Mekanisme keempat yaitu interaksi kimia antara limbah dengan ion logam
alumunium terlarut. Pada mekanisme ini terjadi pembentukan kompleks, sehingga
pengendapan limbah dapat terjadi tanpa netralisasi muatan. Pada proses ini, akan
menghasilkan endapan apabila kelarutan kompleks dan partikel terlampaui.
Keempat mekanisme yang telah dipaparkan di atas merupakan gambaran
keseluruhan proses yang terjadi pada koagulasi konvensional yang
menggambarkan bahwa proses tersebut tidak sederhana, tetapi melibatkan
berbagai reaksi. Menurut Van Loon dan Duffy (2000), reaksi-reaksi yang terjadi
pada koagulasi konvensional dengan Al2(SO4)3 sebagai koagulan adalah sebagai
berikut:
Al2(SO4)3 (aq) + 12H2O
2Al(H2O)63+ (aq) + 3SO42-
Al(H2O)63+ (aq) + H2O
Al(H2O)5(OH)2+ (aq) + H3O+ (aq)
Al(H2O)5(OH)2+ (aq) + H2O
Al(H2O)4(OH)2+ (aq) + H3O+ (aq)
Al(H2O)4(OH)2+ (aq) + H2O
Al(H2O)3(OH)3 (aq) + H3O+ (aq)
Al(H2O)3(OH)3 (aq) + H2O
Al(H2O)2(OH)4- (aq) + H3O+ (aq)
17
Faktor-faktor yang mempengaruhi koagulasi konvensional antara lain adalah pH,
temperatur, waktu, jenis serta dosis koagulan yang digunakan. Dari berbagai
faktor tersebut, yang paling berperan dalam menentukan kondisi optimum proses
koagulasi adalah pH dan waktu (Chow et al.,1999) serta dosis dari koagulan
(Gregor et al.,1997). Dosis koagulan sangat bergantung pada jenis limbah dan
konsentrasi polutan dalam limbah. Semakin tinggi kosentrasi senyawa organik
dalam limbah, maka dosis koagulan yang digunakan dalam proses koagulasi juga
semakin besar (Vickers et al.,1995).
Faktor penting lainnya yang berpengaruh pada proses koagulasi adalah derajad
keasaman (pH). Menurut Vicker (1995), pH optimal untuk menurunkan
kekeruhan secara efektif adalah antara 5,5-7. Penelitian oleh Vann Loon dan Duff
(2000) serta Holt (2002), tentang pengaruh pH terhadap kelarutan berbagai jenis
alumunium telah dilakukan.
Dalam prakteknya, metode koagulasi konvensional memiliki beberapa kelemahan
antara lain yaitu prosesnya yang relatif lambat karena memerlukan pengadukan
dan penentuan dosis koagulan yang kurang tepat karena dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain jenis dan konsentrasi polutan yang ada dalam limbah.
Hal tersebut dapat menyebabkan kekurangan dosis koagulan sehingga pada
prosesnya, koagulasi tidak berlangsung secara optimal dan kelebihan dosis
koagulan dapat mengakibatkan konsentrasi logam meningkat.
18
b. Metode Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi (koagulasi elektrokimia) merupakan teknologi yang sudah ada
sejak lama (bukan teknologi terbaru). Pengolahan limbah cair dengan
menggunakan elektrokoagulasi telah dilakukan sejak abad ke-20 dengan
keberhasilan proses yang terbatas. Perangkat elektrokoagulator yang digunakan
terbuat dari kaca transparan sehingga berlangsungnya proses elektrokoagulasi
dapat diamati secara visual. Sebuah elektrokoagulator dilengkapi dengan 6 buah
elektroda (Fe) dan sebuah bejana (bak) untuk wadah sampel yang dihubungkan
dengan pompa sirkulasi air dan dilengkapi pula dengan power supply yang
berfungsi sebagai potensial seperti disajikan pada Gambar 2.2.
Voltage
suplier
V
Bejana
Sampel
Perangkat
Elektrokimia
Pompa Sirkulasi
Air
Gambar 2.2 Perangkat Elektrokoagulasi
Prinsip dasar dari metode elektrokoagulasi adalah berdasarkan atas proses
elektrolisis dengan menggunakan elektroda sebagai koagulan, dimana merupakan
19
reaksi yang kompleks dengan melibatkan berbagai mekanisme untuk
menghilangkan polutan dalam air (Song et al., 2000). Dalam proses elektrolisis,
logam pada anoda akan mengalami reaksi oksidasi menghasilkan partikel
bermuatan positif (kation), kemudian partikel tersebut akan mengalami interaksi
dengan partikel yang tidak bermuatan dan membentuk endapan.
Elektroda yang umum digunakan dalam proses elektrokoagulasi adalah logam Al
(Holt et al., 2002), Fe (Jiang et al., 2002), dan Pt/I (Buso et al., 1997). Diantara
logam-logam tersebut, yang paling sering digunakan adalah logam Al, karena
logam Al lebih efektif dalam proses elektrokoagulasi dan mudah didapat.
Menurut penelitian yang dilakukan Holt et al. (2002), mekanisme yang terjadi
dalam proses elektrokoagulasi disajikan dalam Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Reaksi yang terjadi dalam reaktor elektrokoagulasi
20
Gambar 2.3 menunjukkan berbagai macam rekasi yang terjadi di dalam reaktor
elektrokoagulasi yang melibatkan proses elektrolisis, koagulasi, dan hidrodinamis.
Pada proses elektrolisis, terjadi reaksi oksidasi pada anoda menghasilkan Al3+
dan gas oksigen, sedangkan pada katoda terjadi reaksi reduksi menghasilkan gas
hidrogen. Proses selanjutnya yaitu proses koagulasi yang terjadi karena kation
Al3+ berinteraksi dengan partikel organik dalam limbah yang bermuatan negatif
yang akan menghasilkan endapan. Proses selanjutnya yaitu hidrodinamis. Pada
proses hidrodinamis, endapan yang terbentuk akan bergerak karena adanya gas
hidrogen dan oksigen yang dihasilkan dari elektrolisis air. Reaksi yang terjadi
dalam proses elektrolisis dengan menggunakan elektroda Al dituliskan dalam
persamaan reaksi berikut ini:
Anoda
: Al + 3H2O
2H2O
Katoda
Al(OH)3 + 3H+ + 3e- ……. (2)
O2 + 4H+ + 4 e- ………….. (3)
: 2H2O + 3e-
H2 + 2OH-……………….. (4)
Al3+ + 3e-
Al ……………………….. (5)
Proses elektrokoagulassi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pH, waktu,
kuat arus (Chen et al., 2000), potensial dan jenis elektroda (Tsai et al., 1997) serta
jarak antar elektroda (Mameri et al., 1998).
Jenis elektroda merupakan faktor penting dalam pengolahan limbah cair secara
elektrokimia. Elektroda memiliki kemampuan mengoksidasi senyawa organik
(Bejankiwar et al., 2002). Berdasarkan penelitian Sheng et al., (1998) serta Sheng
dan Chi (1994) diketahui bahwa elektroda besi mampu mengoksidasi senyawa
21
organik pada pengolahan limbah industri tekstil dan industri penggaraman yang
diikuti dengan menurunnya nilai BOD dan CO
Aplikasi metode elektrokoagulasi sudah banyak diterapkan, meskipun belum
sebanyak metode koagulasi secara konvensional. Dalam penelitian yang telah
dilakukan, diketahui bahwa metode elektrokoagulasi lebih efektif dan lebih cepat
dibandingkan dengan koagulasi konvensional. Hasil penelitian Holt et al. (2002)
menunjukkan bahwa metode elektrokoagulasi mampu menurunkan kadar
kekeruhan sebesar 90%. Selain itu, Jiang et al. (2002), dengan menggunakan
elektroda Al dalam penelitiannya diketahui dapat menurunkan intensitas warna
hingga 76% dan penurunan COD sebesar 51%.
Dibandingkan dengan metode koagulasi secara konvensional, metode
elektrokoagulasi mempunyai beberapa keunggulan yaitu prosesnya berlangsung
lebih cepat, peralatan yang digunakan sederhana dan dapat dibuat dalam unit kecil
sehingga sesuai untuk industri rumah tangga seperti rumah makan (restoran).
Selain itu, dalam metode elektrokoagulasi tidak memerlukan pengadukan serta
tidak meenghasilkan limbah sekunder yang biasanya dihasilkan dalam metode
koagulasi konvensional. Proses koagulasi lebih efektif untuk partikel yang
berukuran kecil (partikel mikro) karena partikel tersebut mempunyai rapatan
muatan yang tinggi (Holt et al., 2002)
22
5. Pemantauan Proses Pengolahan Limbah Cair
Pada prinsipnya, pengolahan limbah bertujuan untuk menurunkan konsentrasi
senyawa organik dalam limbah. Tetapi karena konsentrasi polutan dalam limbah
tidak dapat diketahui, dalam prakteknya pegolahan limbah dipantau dengan
perubahan sifat-sifat limbah yang mempunyai hubungan dengan jumlah polutan
dalam limbah. Sifat-sifat limbah yang umum digunakan adalah kekeruhan, DOC
(dissolved organic carbon) dan TOC (total organic carbon). Dalam prakteknya
penentuan ketiga parameter tersebut seringkali tidak praktis karena membutuhkan
waktu yang relatif lama dan biaya yang cukup mahal. Oleh karena hal tersebut,
pemantauan dapat dilakukan dengan mengamati perubahan nilai kekeruhan,
warna, BOD, COD, dan absorbansi karakteristik pada UV-Vis (Jiang et al., 2002).
Parameter-parameter tersebut dianggap berkorelasi baik dengan konsentrasi
polutan dalam limbah. Namun, parameter-parameter tersebut sering menjadi
kendala, seperti pada pengukuran COD dan BOD membutuhkan waktu yang
relatif lama antara 2-4 jam untuk COD dan 4-5 hari untuk BOD, juga memerlukan
biaya yang relatif mahal. Parameter kekeruhan meskipun sederhana dan murah,
namun pengukuran kekeruhan meliputi komponen organik dan anorganik,
sedangkan yang menjadi target hanya komponen organik saja.
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka pemantauan yang
dilakukan penelitian ini adalah dengan melihat perubahan nilai absorbansi pada
daerah UV-Vis menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Pemantauan UV-Vis
dilakukan terhadap sampel sebelum dan sesudah mengalami perlakuan
elektrokoagulasi. Pemantauan dilakukan dengan melihat perubahan nilai
23
absorbansi pada panjang gelombang 254, 272, dan 285 nm, karena absorbansi
pada ketiga panjang gelombang tersebut telah diketahui mempunyai korelasi yang
baik dengan konsentrasi senyawa organik dalam limbah (Kittis et al., 2002).
Perubahan perbandingan nilai absorbansi pada panjang gelombang 250 nm
terhadap absorbansi pada panjang gelombang 365 nm (E2/E3) dan perbandingan
absorbansi pada panjang gelombang 436 nm terhadap absorbansi pada panjang
gelombang 665 nm (E4/E6) juga digunakan, karena kedua perbandingan tersebut
mempunyai hubungan dengan bobot molekul senyawa organik dalam limbah
(Thomsen et al., 2002).
Prinsip dasar sperktrofotometri UV-Vis adalah interaksi antara radiasi
elektromagnetik yang dipancarkan oleh sumber energi dengan materi, dimana
hasil interaksi radiasi UV-Vis terhadap materi mengakibatkan materi tersebut
akan mengalami transisi elektronik (Fessenden dan Fessenden, 1999). Transisi
elektronik yang terjadi ada yang diserap oleh materi dan ada pula yang diteruskan.
Spektrofotometer UV-Vis didasarkan pada hukum Lambert-Beer. Lambert-Beer
menyelidiki mengenai hubungan antara adsorpsi radiasi dan panjang gelombang
melalui medium yang menyerap cahaya. Jika suatu sinar radiasi monokromatik
melewati suatu medium dengan ketebalan tertentu, diketahui bahwa tiap lapisan
menyerap bagian yang sama dari radiasi yang dipancarkan. Dari hukum Lambert
dan hukum Beer, dapat dilihat adanya hubungan antara absorbansi dengan
konsentrasi, atau disebut sebagai hukum Lambert-Beer dimana secara matematis
dapat ditulis dalam persamaan berikut ini:
24
A = ε. b. c …………………………………………………………. (2)
Dengan : A= Absorbansi
ε = Serapan molar/ekstingsi
b = Panjang jalan lewat medium penyerap
c = Konsentrasi senyawa (solute yang menyerap)
Berdasarkan hal yang telah dipaparkan di atas, maka spektrofotometer UV-Vis
digunakan untuk memantau perubahan kosentrasi senyawa-senyawa organik
dalam limbah cair sebab menunjukkan adanya hubungan absorbansi dengan
konsentrasi.
Download