THE ROLE OF IMMUNOMODULATOR IN THE TREATMENT OF SEXUALLY TRANSMITTED INFECTIONS Tony S Djajakusumah Medical Faculty of Padjadjaran University / Dr.Hasan Sadikin Hospital Medical Faculty of Bandung Islamic University Bandung Abstract In the last decade there has been a great increase in the prevalence of viral Sexually Transmitted Infections (STI) world wide, this led to the increase of efforts to find new drugs and vaccines against the virus. The most important viral STIs are HIV/AIDS infection, genital herpes, cytomegalovirus infection, human papilloma virus infection (HPV), and viral hepatitises, especially hepatitis B virus and hepatitis A virus infections. Initial infection of these diseases can be asymptomatic or only show very mild symptoms. Infections can be treated but virologically generally incurable, therefore the infections are lifelong and some diseases can cause death. As long as there is increasing number of mutations of viruses that occur due to the extended antiviral medication, it will continue to occur the possibility of resistance to one or more antiviral drugs. These facts necessitate the continuity of studies to develop new anti-viral drugs which are more effective and with milder toxic effects, including research on the immunomodulatory drugs. From the studies which have been done, treatment with immunomodulator showed promising results, but to date from various STI treatment guidelines only imquimod is recommended as an alternative treatment for HPV infection. Key words : viral STI, resistance, studies, new antiviral, effect of imunomodulator. PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 144 PERANAN IMUNOMODULATOR DALAM PENGOBATAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL Tony S. Djajakusumah Fakultas Kedokteran UNPAD/ RS Dr.Hasan Sadikin Fakultas Kedokteran UNISBA Bandung Abstrak Dalam dekade tarakhir ini telah terjadi peningkatan prevalensi Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh virus diseluruh dunia, hal ini menyebabkan meningkatnya upaya untuk menemukan berbagai obat baru dan vaksin terhadap virus penyebab. IMS terpenting yang disebabkan oleh virus adalah infeksi HIV/AIDS, herpes genital, infeksi cytomegalovirus, infeksi human papilloma virus (HPV), dan hepatitis virus khususnya yang disebabkan oleh hepatitis B virus dan hepatitis A virus. Infeksi awal dari penyakit-penyakit ini dapat bersifat asimptomatik atau gejalanya sangat ringan. Infeksi dapat diobati namun secara virologis pada umumnya tidak dapat disembuhkan, sehingga infeksi bersifat seumur hidup dan beberapa penyakit dapat menimbulkan kematian. Sepanjang makin banyaknya mutasi berbagai virus yang terjadi oleh karena pengobatan antiviral yang lama, maka akan terus terjadi kemungkinan adanya resistensi virus terhadap satu atau lebih obat antiviral. Sehubungan hal-hal tersebut diatas, maka perlu terus dilakukan berbagai penelitian untuk mengembangkan berbagai obat anti viral baru yang lebih efektif dengan efek toksik yang lebih ringan, termasuk penelitian mengenai efek imunomodulator. Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, nampak harapan keberhasilan pengobatan imunomodulator cukup baik, namun sejauh ini dari berbagai Guidelines pengobatan IMS hanya pengobatan imikuimod pada infeksi HPV yang tercantum sebagai salah satu alternatif pengobatan yang diekomendasikan. Kata kunci : IMS virus, resistensi, penelitian, antiviral baru, efek imunomodulator. PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 145 PENDAHULUAN Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup menonjol pada sebagian besar wilayah di dunia. Insidens kasus IMS diyakini tinggi pada banyak negara serta kegagalan dalam mendiagnosis dan memberikan pengobatan pada stadium dini dapat menimbulkan komplikasi serius dan berbagai gejala sisa lainnya seperti infertilitas, akibat buruk pada bayi, kehamilan ektopik, kanker di derah anogenital, kematian dini, serta infeksi baik pada neonatus maupun pada bayi.1 Penyebaran infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) serta perubahan perilaku sejak tahun 80-an, telah menimbulkan perubahan yang signifikan pada pola epidemiologi IMS, seperti di negara maju, telah terjadi peningkatan yang signifikan dari IMS yang disebabkan oleh virus dan penurunan relatif dari IMS tradisional. 2 Pada penelitian pola IMS dalam kurun waktu 10 tahun (1997-2006) di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung, perubahan pola IMS telah terjadi pula, yaitu pada tahun 1998 sampai 2002 gonore merupakan IMS dengan presentase tertinggi, sedangkan pada tahun 2006 kondiloma akuminata telah menjadi IMS dengan presentase tertinggi. 3 Meningkatnya IMS yang disebabkan oleh virus dapat disebabkan oleh meningkatnya pelaporan oleh pasien sendiri, pemakaian antibiotika yang tidak rasional, keberhasilan penatalaksanaan IMS berdasarkan pendekatan sindrom dan peningkatan pelayanan di tempat pelayanan kesehatan dasar. Untuk IMS yang disebabkan oleh virus yang dikenal sebagai IMS inkurabel, perlu kita perhatikan kembali pentingnya perilaku seksual dan perilaku memeriksakan diri dari masyarakat, oleh karena penanggulangannya terutama sangat tergantung dari upaya pencegahan dan konseling dan bukan diagnosis dan pengobatan dini, seperti pada IMS kurabel. 2 IMS terpenting yang disebabkan oleh virus adalah infeksi HIV/AIDS, herpes genital, infeksi Cytomegalovirus (CMV), infeksi Human papilloma virus (HPV), dan hepatitis virus khususnya yang disebabkan oleh Hepatitis B Virus (HBV) dan Hepatitis A Virus (HAV), sedangkan peranan transmisi seksual pada infeksi Hepatitis C virus (HCV), Hepatitis D virus (HDV) dan Hepatitis E virus (HEV) masih belum dapat dipastikan, sehingga masih perlu penelitin lebih lanjut.4 Infeksi awal dari penyakit-penyakit ini dapat bersifat asimptomatik atau gejalanya sangat ringan, infeksi dapat diobati namun secara virologis tidak dapat PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 146 disembuhkan, sehingga infeksi bersifat seumur hidup dan beberapa penyakit dapat menimbulkan kematian.1 Sepanjang makin banyaknya mutasi berbagai virus yang terjadi oleh karena pengobatan antiviral yang lama, maka akan terus terjadi kemungkinan adanya resistensi terhadap satu atau lebih obat antiviral. 5 Sehubungan hal-hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan berbagai penelitian untuk mengembangkan berbagai obat anti viral baru yang lebih efektif dengan efek toksik yang lebih ringan. 5 Telah banyak dilakukan penelitian-penelitian untuk mengetahui efek imunomodulator pada pengobatan IMS yang disebabkan oleh virus. Meskipun harapan keberhasilan pengobatan dengan imunomodulator cukup baik, namun sejauh ini dari berbagai Guidelines pengobatan IMS, 1,6,7 hanya pengobatan imikuimod pada infeksi HPV yang tercantum sebagai salah satu alternatif pengobatan IMS. 6,7 Dalam tulisan ini akan dibahas berbagai aspek mengenai imunomodulator, pemakaian imunomodulator pada pengobatan IMS yang disebabkan oleh virus serta mekanisme kerjanya. IMUNOMODULATOR Imunomodulator yang dikenal pula sebagai biological respons modifier, imunoaugmentor8 adalah berbagai macam bahan baik rekombinan, sintetik 9 yang merupakan obat-obatan yang mengembalikan ketidak maupun alamiah seimbangan sistim imun10 merupakan suatu meningkatkan atau yang dipakai pada imunoterapi. Imunoterapi pendekatan mensupresi pengobatan respon imun dengan cara Berdasarkan merestorasi, hal terebut imunoterapi diklasifikasikan menjadi activation immunotherapy dan suppression immunotherapy. 9 Dewasa ini belum ditemukan bahan yang sekaligus memperbaiki fungsi komponen sistim imun yang satu dan menekan fungsi komponen yang lain. 10 Banyak obat-obatan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang dikenal sebagai obat tradisional, ternyata secara klinis tidak hanya mempunyai efek langsung yang bersifat anti infeksi, namun ternyata dapat pula meningkatkan mekanisme pertahanan alamih maupun adaptif. 11 Pada saat ini telah banyak imunomodulator yang telah mempunyai lisensi untuk dipakai sebagai pengobatan pada manusia, seperti granulocyte stimulating factor (G- PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 147 CSF), interferon, imikwimod dan fraksi membran sel dari bakteri. Sebagian lagi masih dalam proses penelitian yang ekstensif baik penelitian yang bersifat klinik maupun preklinik, seperti berbagai jenis kemokin, cytosine phosphate-guanosine (CpG) sintetik, oligodeoxynucleotides dan glucan. Pemberian rejimen imunomodulator merupakan pendekatan terapi yang atraktif, oleh karena efek sampingnya yang sering lebih ringan dibandingkan dengan efek samping obatobatan yang telah ada, disamping itu lebih jarang menimbulkan resistensi pada pengobatan penyakit infeksi. 9 Obat golongan imunomodulator bekerja menurut 3 cara, yaitu melalui imunorestorasi, imunostimulasi imunosupresi imunostimulasi disebut disebut dan imunosupresi. imunopotensiasi juga down atau up regulation.10 Imunorestorasi regulation, Obat yang dan sedangkan merupakan imunopotensiasi merupakan obat yang dapat diberikan pada pasien dengan IMS. Imunostimulasi adalah cara memperbaiki fungsi sistim imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistim tersebut. Bahan yang termasuk imunostimulator itu dapat dibagi sebagai berikut : 1. Biologik, seperti hormon timus, limfokin, interferon, antibodi monoklonal, transfer factor/ekstrak leukosit, sel LAK, bahan biologik asal bakteri dan asal jamur. 2. Sintetik seperti levamisol, isoprinosin, muramil dipeptid (MDP), biological respons modifier (BRM), hidroksiklorokuin, arginin, antioksidan dan bahanbahan lain seperti bahan yang masih dalam percobaan klinik antara lain azimekson, siamekson, bestati, tuftsin, maleic anhydride dan divynil ether copolymer dan 6-phenyl-pyrimidinole. Imunorestorasi adalah suatu cara mengembalikan fungsi sistim imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistim imun, seperti imunoglobulin dalam bentuk immune serum globulin (ISG), hyperimmune serum globulin (ISG), plasma, transplantasi sumsum tulang, jaringan hati, timus, plasmaferesis, dan leukoferesis. Vaksinasi merupakan imunoterapi dengan menggunakan bahan-bahan dari mikroorganisme respon imun terhadap agen infesius. 10 yang akan mengaktifkan aksin tidak akan dibahas dalam makalah ini. PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 148 PEMAKAIAN IMUNOMODULATOR PADA IMS Telah banyak penelitian yang dilaksanakan untuk mengetahui efektivitas dari berbagai obat yang bersifat imunomodulator pada pengobatan IMS yang disebabkan oleh virus. Berikut akan disampaikan beberapa obat yang telah dipakai dan juga beberapa obat yang masih dalam penelitian. Interferon Interferon (IFN) adalah suatu kelompok glikoprotein yang aktif secara biologis12 diproduksi oleh sebagian besar sel eukariotik sebagai respon terhadap induksi berbagai virus maupun agens bukan virus. Semua IFN mempunyai aktivitas antivirus dan memodulasi fungsi sel-sel lain. IFN tidak menginaktivasi virus secara langsung, namun membuat sel menjadi resisten terhadap virus. IFN menunjukkan adanya sensitivitas spesies. Tergantung dari sel yang membentuknya dan modus induksinya, sel-sel tubuh manusia membentuk 3 jenis IFN yang mempunyai sifat antigenik yang berbeda, yaitu IFN α yang diproduksi leukosit, INF β yang diproduksi oleh fibroblast dan INF γ yang diproduksi oleh sel limfosit yang diaktifkan. 10,13 Mekanisme kerja : Semua INF mempunyai imunoregulator. 10,12,13 kemampuan Kemampuan antivirus, antivirus anti terjadi proloferatif oleh karena dan IFN menginduksi 2’-5’ A synthetase, ribonuclease L dan protein kinase P. Kemampuan antiproliferatif terjadi oleh karena IFN 2’-5’ A synthetase, menghambat berbagai growth factor, meningkatkan ekspresi gen dari p53 tumor suppressor, menimbulkan down regulation dari onkogen c-myc, c-fos dan c-ras tertentu. Kemampuan imunoregulator terjadi oleh karena IFN menginduksi antigen MHC klas I dan II, meningkatkan jumlah sel NK dan menghambat produksi sitokin Th-2 seperti IL-4, Il-5 dan IL-6. 13 Penggunaan klinis : Oleh karena IFN mempunyai kemampuan antivirus, anti proliferatif dan imunoregulator, maka IFN di bidang IMS, dapat diberikan pada pengobatan kondiloma akuminata dan sarkoma Kaposi terkait AIDS. 13 IFM diberikan sebagai PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 149 suntikan intralesi, sebagai preparat topikal berupa krim dan dapat pula diberikan sebagai injeksi intra muskuler (IM) atau sub kutan (SK). 14 Kondiloma akuminata : Telah dilakukan tiga penilitian yang melibatkan 487 lesi yang diberikan 0.1 ml IFN α-2b intralesi yang mengandung 1 juta UI untuk setiap lesi dengan durasi seminggu sekali selama 3 minggu berturut-turut dengan kontrol melibatkan 539 lesi yang diberikan suntikan plasebo intralesi dengan cara yang sama. Tujuh belas minggu setelah penyuntikan 52% dari lesi pada kelompok IFN menunjukkan hilangnya lesi secara lengkap, sedangkan pada kelompok plasebo hilangnya lesi hanya terjadi pada 24% saja. Pada pengamatan lanjutan dari kelompok IFN yang berlangsung antara 9-33 bulan, ternyata pada 81% lesi tidak menunjukkan adanya rekurensi. 13 INF α-n3 dapat pula diberikan dengan dosis 250.000 UI intralesi dua kali seminggu sampai delapan minggu, dengan jumlah maksimal per sesi 2.5 juta UI. 15 IFN secara topikal tidak memberikan efek yang baik, sehingga tidak direkomendasikan untuk dipakai sebagai sediaan topikal. 14 Pada penelitian pemberian IFN γ secara IM dan SK, tingkat menghilangnya lesi berkisar antara 30-50%.16 Data-data yang ada menunjukkan bahwa pengobatan kondiloma akuminata dengan IFN tidak menunjukkan bahwa IFN lebih superior dari modalitas terapi lain yang ada. 17 IFN direkomendasikan hanya pada lesi yang jumlahnya sedikit dengan ukuran lesi yang tidak besar.18 Berdasarkan harganya yang mahal, 13,18 terapi yang harus dilaksanakan berkali-kali, rasa nyeri pada waktu penyuntikan, maka IFN direkomendasikan hanya pada pasien yang telah gagal dengan modalitas terapi yang lebih sederhana dan murah. 13 IFN menunjukkan hasil yang baik sebagai terapi ajuvan pada kondiloma akuminata yang rekalsitran termasuk papilomatosis repirasi yang rekuren. 12 Efek samping : Terjadinya efek samping perlu pula dipertimbangkan, oleh karena pada pemberian INF meskipun secara intra lesi, 14 sistemik 14 dapat terjadi efek samping seperti perasaan lelah (96%), neutropenia/leukopenia (92%), demam (81%), mialgia (75%), anoreksia (69%), mual/muntah (66%}, sakit kepala (62%),19 efek samping tersebut dikenal pula sebagai influenza like symptoms PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 150 yang merupakan efek samping yang paling sering terjadi. dapat pula terjadi peningkatan fungsi hepar (63%), 19 10,12 Disamping itu diare, trombositopeni dan aritmia10. Efek samping dipengaruhi oleh besarnya dosis IFN yang diberikan. 10,12 dan biasanya dosisnya. 19 menghilang bila pemberian obat dihentikan atau diturunkan Sebelum dilaksanakan pemberian IFN, perlu dilakukan pemeriksaan adanya autoantibodi, oleh karena IFN dapat meningkatkan terjadinya fenomena autoimun. 12 Imikwimod Imikwimod merupakan imunomodulator topikal untuk pengobatan kondiloma akuminata yang dapat diaplikasikan oleh pasien sendiri, 20 Imikwimod baru disetujui FDA pemakaiannya di Amerika Serikat pada tahun 1997, 21 sedangkan di Indonesia sampai saat ini imikwimod belum dipasarkan. Mekanisme kerja : Imikwimod mengaktivasi sel sistim imun melalui TLR7 yang umumnya terlibat dalam pengenalan patogen dipermukaan sel. 22 Sel yang diaktivasi oleh imikwimod melalui TLR7 mensekresi sitokin terutama IFN-α, IL-6 dan TNF-α. 23 Terdapat pula bukti bahwa bila imikwimod diaplikasikan pada kulit akan mengaktivasi sel Langerhans, yang kemudian akan bermigrasi ke kelenjar limf untuk mengaktivasi sistim imun adaptif. Sel-sel lain yang diaktifkan oleh imikwimod adalah sel-NK, makrofag dan limfosit B. 24 Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa imikwimod mempunyai efek antiproliferatif yang samasekali tidak tergantung dari aktivasi sistim imun. 25 Penggunaan klinis : Imkwimod merupakan imunomodulator yang diberikan secara topikal pada pengobatan kondiloma akuminata. Imikwimod diberikan dalam bentuk krim 5%. Krim diaplikasikan pada lesi, kemudian digosok sampai menghilang. Aplikasi dilakukan pada malam hari, seminggu tiga kali dan dicuci setelah 6-10 jam. Pengobatan dapat dilakukan sampai 16 minggu. Perlu diperhatikan bahwa imikwimod dapat mengurangi kekuatan kondom dan pemberian pada wanita hamil merupakan kontra indikasi, sedangkan pemberian pada lesi di daerah perianal, rektum, vagina dan serviks tidak dianjurkan. 26 PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 151 Efek samping : Aplikasi imikwimod topikal dapat menimbulkan inflamasi non spesifik. Hal ini dapat terjadi bila ada erosi kulit oleh karena garukan atau erosi pada lesi di lipatan. Dapat terjadi eritem, edema, indurasi, bula, erosi, ulserasi, krusta sangunoilenta, perasaan nyeri, panas atau perasaan tidak nyaman. Efek samping lainnya adalah sakit kepala, nyeri pinggang, nyeri otot, perasaan lelah, keluhan seperti flu, pembesaran kelenjar limf dan diare. 15,27 Imunogloblin Immuniglobulin (Ig) diproduksi oleh sel plasma yang telah matang yang berasal dari sel B yang teraktivasi. Untuk mengekstraksi Ig intravena (IgIV) diperlukan sekitar 10.000 sampai 20.000 donor, sehingga diperlukan tindakan pengamanan khusus untuk menjamin keamanan produknya. 28 IgIV dapat diberikan untuk mempertahankan kadar antibodi yang adekwat untuk mencegah infeksi. 10 Mekanisme kerja : IgIV mempunyai kemampuan imunoregulasi melalui molekul IgG yang menempel pada reseptor Fc. IgIV mencegah kerusakan yang diperantarai oleh komplemen, selain itu IgIV menimbulkan perubahan level sitokin dan antagonis sitokin, menurunkan autoantibodi yang beredar dalam darah dan mengeliminasi patogen.28 Ig IM mempunyai peranan pada profilaksis pasca pajanan (PPP). 26 Penggunaan klinis : Ig mempunyai kemampuan untuk secara cepat mencegah terjadinya hepatitis A, sehingga Ig mempunyai peranan penting dalam pencegahan infeksi HAV bagi mereka yang telah terpapar HAV. mg/kg/BB IM, 24 24 Bila Ig diberikan dengan dosis 0.02 dalam 2 minggu pasca paparan, maka 80-90% dari pasien akan terhindar dari infeksi. 29 IgIV dapat diberikan pada infeksi HIV pada anak dengan dosis 100-400 mg/kgBB setiap 3-4 minggu. 10 Efek samping : Efek samping penggunaan IgIV jarang terjadi dan umumnya bersifat self limited. Gejala efek samping yang paling sering terjadi dalam satu jam pertama setelah infus dimulai adalah sakit kepala, flushing, menggigil, mialgi, wheezing, takikardia, nyeri bokong, nause dan hipotensi, namun reaksi anafilaksis jarang PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 152 terjadi. 28 Selain itu dapat pula terjadi efek samping lain seperti edema paru-paru, gagal ginjal akut, trombosis vena dan meningitis aseptik. 10 Interleukin Interleukin (IL) merupakan suatu sitokin yang merupakan protein yang disekresikan oleh makrofag dan sel NK pada respon imun alamiah, sedangkan pada respon imun adaptif terutama oleh limfosit T. Interleukin bereaksi terhadap leukosit dan merupakan mediator pada reaksi sistim imun dan inflamasi. 10 Kegunaan klinis : Beberapa jenis IL telah dapat disintesis dengan rekayasa genetik dan di bidang IMS dapat diberikan pada penderita AIDS. 10 Transfer factor Transfer factor (TF) atau ekstrak leukosit seperti dialysed leucocyte extraxt mempunyai fungsi sebagai imunostimulator. 10 Kegunaan klinis : Transfer factor di bidang IMS dapat diberikan pada kandidiasis mukokutan kronik dan koksidiodomikosis, kedua penyakit tersebut sering merupakan infeksi oportunistik pada AIDS. 10 Inosipleks Inosiplex yang lebih dikenal dengan nama isoprinosin (ISO) merupakan bahan sintetis yang mempunyai efek antivirus dan imunomodulator. 10 Mekanisme kerja : Isoprinosin berefek merestorasi cell mediated immunity yang terganggu serta meningkatkan respons sistim imun humoral. Isoprinosin diduga pula membantu produksi IL-2 yang berperan pada diferensiasi limfosit, makrofag dan peningkatan fungsi sel NK. Sebagai imunostimulator ISO dapat meningkatkan sitotoksisitas sel NK serta aktivitas sel T dan monosit. 10 PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 153 Kegunaan klinik : Isoprinosin dapat mengurangi intensitas gejala penyakit serta memperpendek durasi infeksi, berkurangnya kejadian komplikasi dan frekwensi serta beratnya episode rekurensi yang berkurang. 30 Dosis yang biasa diberikan adalah 50 mg/kgBB/hari dan dapat dinaikkan sampai 1-4 gram/hari.10 Efek samping : Dalam beberapa penelitian pemakaian ISO selama dua tahun terus-menerus tidak menimbulkan efek samping. Efek samping yang kadang-kadang dapat timbul adalah peningkatan asam urat plasma. 10 Retinoid Retinoid merupakan bahan yang bersifat alamiah maupun sintetik yang struktur kimiawinya berkaitan dengan vitamin A. Retinoid terdiri dari all-trans-retinoic acid (tretinoin), 13-cis retinoic acid (isotertinoin) dan retinoid aromatik (etretinat, asitresin). 12 Mekanisme kerja : Retinoid terikat pada reseptor tertentu dan menimbulkan berbagai efek, termasuk perubahan pada proliferasi epidermal dan efek imunomodulator yang mempunyai persamaan dengan IFN. 31 Penggunaan klinis : Retinoid menunjukkan keberhasilan pada pengobatan dan pencegahan kanker invasif maupun prakanker seviks dan vulva yang berkaitan dengan infeksi HPV.32 Talidomid Talidomid diperkenalkan di Eropa pada 1950 sebagai obat tidur yang aman, namun ternyata obat tersebut telah menimbulkan efek teratogenik (fokomelia) dan kelainan organ dalam, disamping itu talidomid dapat pula menimbulkan kerusakan saraf perifer yang bersifat ireversibel. 28 Talidomid telah ditarik dari peredaran, namun ternyata pada tahun 1965 talidomid terbukti memberikan efek yang dramatis pada pengobaan eritema nodosum leprosum (ENL), 33 sehingga pada tahun 1997 FDA menyetujui talidomid sebagai obat untuk ENL. Talidomid PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 154 mempunyai efek imunomodulator dan antiinflamasi, sehingga dapat diberikan pada kasus2 IMS tertentu. Mekanisme kerja : Talidomid menmpunyai efek menghambat TNF-α dan bila diberikan pada orang normal akan sedikit menurunkan sel T-helper dan sedikit meningkatkan sel Tsupppresor. 34 Talidomid secara potensial mensupresi produksi IL-12, yang berperanan sangat penting dalam terjadinya respon imun seluler. 35 Imunitas humoral ternyata dipengaruhi pula oleh talidomid, yaitu meningkatkan produksi IL-4 dan IL-5 yang disertai dengan penekanan terhadap produksi IFN-γ. 36 Penggunaan klinis : Talidomid dapat diberikan pada kasus-kasus dermatosis oleh karena AIDS, seperti stomatitis dan sarkoma Kaposi. 37,38 Efek samping : Efek samping yang terpenting adalah tertogenitas yang mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Kerentanan terjadinya cacad terjadi pada umur kandungan 21 sampai 36 hari, pada saat tersebut 100 mg talidomid menimbulkan 100% kecacatan pada janin yang dikandung. 39 Immunostimulatory sequence (ISS) ISS yang mengandung ologonukleotid yang diberikan secara topikal dapat merupakan terapi alternatif atau terapi suplemen pada terapi standar dengan asiklovir pada penderita herpes genital. Selain itu hasil penelitian menunjukkan bahwa ISS menurunkan pelepasan virus, sehingga mengurangi risiko transmisi.40 Mekanisme kerja : ISS merupakan imunomodulator yang dapat menstimulasi respon imun seluler maupun humoral. 41 ISS dilaporkan pula dapat menginduksi proliferasi sel B dan produksi Ig, aktivasi sel NK dan sekresi IFN-α, γ dan β, IL-6, IL-12 dan IL18.41,42,43 Dilaporkan pula bahwa mekanisme kerja ISS berkaitan dengan TLR-9.42. PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 155 Penggunaan klinis : Aplikasi ISS sebelum kelahiran bayi diharapkan akan mengurangi transmisi neonatal. 40 Dewasa ini ISS diberikan sebagai adjuvan yang diberikan agar terjadi respon imun yang lebih baik setelah vaksinasi. 44 Prunella vulgaris Prunella vulgaris (PV) merupakan obat herbal Cina yang paling terkemuka dan mempunyai efek antiviral dan imunomodulator. Prunella vulgaris akhir-akhir ini telah banyak menarik perhatian para peneliti. 5 Prunella vulgaris mengandung bahan aktif yang mempunyai efek antivirus terhadap HIV-1, HSV-1 dan HSV-2. 5 Tabel 1. Efek imunomodulator dari bahan aktif pada Prunella vulgaris 5 Efek imunomodulator Bahan aktif Menghambat produksi nitric oxide Menghambat pelepasan histamine dan TNFα Menghambat ekspresi IL-2 Menghambat aktivitas 5-lipoksigenase Ursolic acid, 2 α ursolic acid Ekstrak akua Ekstrak etanol, asam rosmarin Fraksi organik yang mengandung 25.7% dan 32% asam rosmarin dan asam kafein Menghambat Src family protein kinase, IL-2 INFγ Menurunkan level IgG IgG1 dan IgG2b Stimulasi superoksid dan nitric oxide Asam rosmarin Ekstrak etanol Fraksi polisakarida PV2 Stimulasi level protein iNOS, mRNA TNFα Fraksi polisaharida PV2IV Mekanisme kerja : Bahan aktif yang terkandung dalam PV, mempunyai efek imunomodulator seperti tertera dalam Tabel 1, sedangkan pada Tabel 2 disajikan efek antiviral dari PV. PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 156 Tabel 2. Efek antiviral dari bahan aktif pada Prunella vulgaris5 Efek antiviral Bahan aktif Menghambat replikasi HIV Prunellin Mencegah penempelan virus pada reseptor CD4 Bahan aktif dengan BM 10 kDa Supresi replikasi HIV-1 Ekstrak air panas Menghambat pembentukan plak oleh HSV-1 Ekstrak air panas Menghambat aktivitas reverse transcriptase HIV-1 Ekstrak akua Supresi HSV serta HSV-1 dan HSV-2 resisten terhadap asiklovir dengan cara competative inhibitor Polisakarida dengan BM 3.500Da Menghambat aktivitas integrase HIV-1 Tanin atau polifenol Supresi HIV-1 entry dengan mematahkan pembentukan untai six helix gp41 Tanin atau polifenol Supresi antigen HSV-1 dan 2 serta galur resisten kedua virus Fraksi polisakarida Penggunaan klinis : Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan PV mempunyai potensi yang potensial dalam pengobatan infeksi virus maupun penyakit-penyakit lain yang didasari kelainan imunologis. Glycyrrhizic acid Glycyrrhizic acid adalah suatu glikosida yang merupakan bahan aktif dari tanaman glycyrrhiza glabra yang telah digunakan sebagai tanaman obat sejak beberapa abad sebelum Masehi. 45 Mekanisme kerja : Glycyrrhizic acid menghambat aktifitas fosfolipase A dan pelepasan prostaglandin E2 pada jaringan yang meningkatkan pergerakan leukosit ke daerah inflamasi dan menstimulasi fagositosis. Glycyrrhizic acid menghentikan replikasi virus karena menghambat aktifitas phosphorylating P kinase virus, sehingga virion terlepas dari kapsid dan penetrasi virus kedalam sel tidak terjadi. Terjadi induksi pembentukan INF yang mengaktifasi makrofag, potensiasi fagositosis dan efek bakterisidal. INF menunjukkan pula efek anti virus dan antiproliferatif. 46 PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 157 Penggunaan klinis : Glycyrrhizic acid dapat digunakan pada pengobatan herpes simpleks, herpes zoster, herpes progenitalis dan kondiloma akuminata. 45 Efektifitas pengobatan : Penelitian multisenter pengobatan herpes genital dan kondiloma akuminata menunjukkan efektifitas 100% pada kasus-kasus dini, sedangkan pada kasus rekuren menunjukkan efektifitas 90%.47,48 Murabutid Murabutide (MUR) adalah imunomodulator sintetik yang termasuk muramil dipeptida (MDP) yang dapat meregulasi fungsi antigen precenting cells (APC) dan secara selektif mengaktivasi limfosit CD4, sehingga secara dramatis mampu mensupresi replikasi HIV. 49 Mekanisme kerja : Murabutid meningkatkan resistensi individu terhadap infeksi virus, meningkatkan potensi antiviral dan anti tumor dari sitokin terapeutik. In vitro MUR meningkatkan maturasi dan fungsi sel dendritik. Terhadap HIV, MUR menghambat replikasi virus pada makrofag dan sel dendritik yang terinfeksi. 49 Efek samping : Dari berbagai penelitian terbukti bahwa MUR bersifat aman, apirogen, tidak menginduksi reaksi inflamasi dengan toleransi pemakai yang baik. 49 Kegunaan klinik : Untuk pemakaian secara luas masih diperlukan penelitian dengan pemberian MUR dalam jangka waktu atau siklus yang lebih lama. 49 Imunoterapi intralesi Imunoterapi intralesi dapat meningkatkan pengenalan virus oleh sistim imun tubuh, sehingga sistim imun mampu menimbulkan hilangnya lesi, bahkan lesi yang jauh dari lesi yang diberikan terapi intralesi serta membantu untuk mencegah infeksi klinis dikemudian hari melalui induksi imunitas jangka panjang terhadap HPV.50 Berbagai agens dipakai untuk tujuan imunoterapi intralesi, PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 158 seperti berbagai antigen misalnya antigen mumps, Trichophytin, Candida, tuberkulin seperti dikutip dari Gamil H dkk. 51 vaksin MMR (mumps,measles dan rubella) yang terbukti effektif pada pengobatan berbagai jenis veruka, 51 termasuk kondiloma akuminata. 52 Mekanisme kerja : Mekanisme kerja imunoterapi intralesi sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, namun diduga melalui induksi respon inflamasi non spesifik, terhadap sel terinfeksi HPV. 53 Pelepasan sitokin oleh sistim imun, menimbulkan aktivitas antiviral, antitumor dan imunoregulasi lokal.54 Telah dilaporkan pula bahwa penyuntikan antigen intralesi menimbulkan proliferasi sel-sel mononuklear perifer terhadap antigen HPV. Hal ini akan merangsang sitokin CD4 Th1, termasuk INFγ dan IL-2 yang selanjutnya akan mengaktivasi set T sitotoksik dan sel NK dan mengeradikasi sel terinfeksi HPV.55 Kegunaan klinis : Imunoterapi intralesi merupakan salah satu alternatif pengobatan infeksi HPV baik veruka vulgaris maupun kondiloma akuminata dengan berbagai keuntungan antara lain keberhasilan pengobatan yang cukup tinggi (87%), hilangnya lesi di tempat yang jauh dari lesi yang diberikan terapi, mudah dilaksanakan, tidak mahal dan rendahnya kejadian rekurensi. 51 Metoda pengobatan ini akan sangat baik diberikan pada kasus-kasus yang rekalsitran, jumlah lesi yang banyak disertai lesi-lesi ditempat yang berjauhan, namun demikian masih perlu penelitian mengenai antigen yang paling baik digunakan, dosis yang tepat, jumlah suntikan yang diberikan dan interval waktu antara suntikan. 51 Gamil H dkk telah melakukan penelitian dengan menggunakan vaksin MMW yang disuntikan secara intralesi. Suntikan dilakukan dengan interval 3 minggu, sampai semua lesi menghilang. Bila lesi multipel, maka suntikan dilakukan pada lesi yang terbesar. Jumlah suntikan maksimal adalah tiga kali.51 Efek samping : Ada beberapa efek samping yang dapat terjadi antara lain rasa nyeri pada waktu penyuntikan, gejala-gejala seperti flu yang timbul 12 jam setelah penyuntikan dan menghilang dalam 24 jam. Tidak nampak adanya pembengkakan, eritem dan pruritus pada tempat penyuntikan. 51 PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 159 KESIMPULAN Pemberian rejimen imunomodulator pada IMS yang disebabkan oleh virus merupakan pendekatan terapi yang atraktif, oleh karena efek sampingnya yang sering lebih ringan dibandingkan dengan efek samping obat-obatan yang telah ada, disamping itu lebih jarang menimbulkan resistensi pada pengobatan penyakit infeksi. Dengan kemajuan dalam bidang imunologi, diharapkan peranan imunomodulator serta imunoterapi pada umumnya dalam pengobatan IMS akan menjadi lebih besar. Penelitian telah banyak dilakukan dan imunomodulator pada saat ini mempunyai prospek yang cukup baik baik secara tunggal maupun sebagai terapi adjuvan dalam pengobatan IMS. Beberapa imunomodulator yang telah dipakai dalam pengobatan IMS antara lain adalah imikwimod, interferon, inosipleks, Ig, interleukin dan talidomid. KEPUSTAKAAN 1. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan lingkunagn. Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarata, 2004.h.1. 2. Dhawan J, Khandpur S. Emerging trends in viral sexually transmitted infections in India. Indian J Venereol Leprol 2009;75(6):561-65 3. Faizal S, Moeliono D, Djajakusumah TS. Perubahan pola IMS di Poliklinik IMS Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS Dr. Hasan Sadikin Bandung, dalam periode 10 tahun (1998-2007). Dipresentasikan pada KONAS PERDOSKI ke-12, Palembang. 4. Adimora AA, Hamilton H, Holmes KK, Sparling PF. Sexually Transmitted Infection. Edisi ke-2. McGraw Hill, New York 1994.h.180-199 5. Cheng C, Xu H. Antiviral and immunomodulator properties of Prunella vulgaris. Asian J Trad Med 2008:1-5 6. Centers for Disease Control and Prevention. Sexually transmitted treatment guidelines 2006. MWWR Recomm Rep 2006;55 (RR-7):30-80. 7. Public Health Agency of Canada. Canadian guidelines on Sexually Transmitted Infections : Genital Human papilloma virus HPV) infections. Canada 2008.h.1-10. 8. Masihi KN1. Anti-infective activity of immunomodulators. http://resources. metapress.com/pdf. Diunduh 5 Juli 2010 Tersedia dalam 9. 9. Masihi KN2. Fighting infection using immunomodulatory agents. Expert Opinion on Biological Therapy. 2001;1(4):641-645. 10. Karnen KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Edisi-8. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2009.h.399-556. 11. Kayser O, Masihi KN, Kiderlen FK. Review : Natural products and synthetic compounds as immunomodulators. Expret Rev Anti-infect Ther 2003;1(2):319-335. PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 160 12. Gross G. Treatment of papilloma virus infection. Dalam : Mindel A ed. Genital warts : Human papilloma virus infection. Edward Arnold. London. 1995.h.199-229. 13. Berman B, Flores F. Interferons. Dalam : Wolverton SE, ed. Comprehensive dermatologic drug therapy. WB Saunders Company. Philadelphia 2001.h.339-52 14. IARC. Human Papillomaviruses. Lyon. WHO 2007.h. 158 15. Ghadishah D. Condyloma acuminate. American Academy of Emergency Medicine 2007.h.1-13 16. Kirby PK, Kiviat N, Beckman A, dkk. Tolerance and efficacy of recombinant human interferon γ in the treatment of refractory genital warts. Am J Med 1988;85:183-8. 17. Kraus S, Stone K. Management of genital infection caused by human papilloma virus. Ref Infect Dis 1990;12:620S-32S 18. Beutner KR, Ferenczy A. Therapeutic approaches to genital warts. Am J Med 1997;102 (5A):28-37. 19. Greenway H, Koutsky M, Papadopaulos D, dkk. Recent advances in the use of interferon in dermatology. A presentation summary of the roundtable discussion for dermatologist. Annenberg center for Health Sciences.h.14. 20. van Seters M, van Beurden M, ten Kate FJ, dkk. Treatment of vulval intraepithelial neoplasia with topical imquimod. New Eng J Med 2008;358(14):146573. 21. Baumbach JI, Sheth PB. Topical and intralesional antiviral agents. Dalam: Wolverton S. Comprehensive dermatologic drug therapy. WB Saunders. 2001.h.524-36. 22. Stirling D, Sherman M, Strauss S. Thalidomide. A surprising recovery. J Am Pharm Assoc N 337;1997:306-13. 23. Sauder DN. Imiquimod: mode of action.Brit J Derm 2003;149(suppi.66):5-8 24. Miller RL. Imiquimod applied topically : a novel immune response modifier and a new class of drug. Int J Pharmacol 1999;21(1):1-14. 25. Zagon IS, Donahue RN, Rogosnizky M, dkk. Imiquimod upregulates the opioid growth factor receptor to inhibit cell proliferation independent of immune function. Exp Biol Med 2008;233(8):968-79. 26. Moller DR, Wysocka M, Greenlee BM, dkk. Inhibition of IL-12 production by thalidomide. J Immunol 1997;159:5157-61. 27. Aldara Website. What is the possible side effect of Aldara Cream? 28. Knable AL. Miscellaneous systemic drugs. Dalam : Wolverton SE. Comprehensive dermatologic drug therapy. WB Saunders. Philadelphia 2001.h.445-70. 29. Winokur PL, Stapleton JT. Immunoglobulin profilaxis for hepatitis A. 30. Anonim. Life extension drugs: Isoprinosine. Tersedia dalam http://wwww.lifeextension-drugs.com/isoprinosine.html. Diunduh tanggal 4 Juli 2010, 31. Weiner SA, Meyskens FDI, Sarwit E, dkk. Response of papillomavirus-associated disesases retinoid (vitamin A derivatives) 1985. Dalam. Howley PM, Broker TR, editor. Papillomavirus, molecular and clinical aspects. New York, Alan R Riss 1985.h.249-55 32. Lipman SM, KesslerJF, Meyskens FL. Retinoids as preventive and therapeutic anticancer agents (Part II). Cancer Treatm Rep 1987;71:493-515. 33. Stirling D, Sherman M, Strauss S. Thalidomide – A surprising recovery. J Am Phar Assoc 1997;NS 37:306-313. PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 161 34. Gad SM, Shannon EJ, Krotoski WA, dkk. Thalidomide induces imbalances in T-lymphocyte sub populations in the circulating blood of healthy males. Lepr Rev 1985;56:35-39. 35. Moller DR, Wysocka M, Greenlee BM, dkk. Inhibition of IL-12 production by thalidomide. J Immunol 1997;159:5157-61. 36. Mc Hugh SM, Rifkin IR, Deighton J, dkk. The immunosuppressive drug thalidomide induces T-cell helper type 2 (Th2) and concomitantly inhibit Th1 cytokin production in mitogen- and antigen-stimulated human peripheral blood mononuclear cell cultures. Clin Exp Immunol 1995;99:160-167, 37. Alexander LN, Wilcox CM. A prospective trial of thalidomide for the treatment oh HIV-associated idiopathic esophageal ulcers. AIDS Res Hum Retrovir 1997;13:301304. 38. Soler RA, Howard M, Brink NS, dkk. Regression of AIDS-related Kaposi Sarcoma during therapy with thalidomide. CID 1996; 23:501-503. 39. Tseng S, Pak G, Washenik K, dkk. Rediscovering thalidomide : a review of its mechanism of action, side effects and potential uses. J Am Acad Dermatol 1996;39:969-79 40. Pyles B, Higgins D, Chalk C, dkk. Use of immunostimulatory sequence containing oligonucleotides as topical therapy for genital herpes simplex virus type 2 infection. J Virol;2002:11387-396 41. Krieg AM, Yi AK, Matsea S, dkk. CpG motifs in bacterial DNA triggerdirect B-cell activation. Nature 1995;374:546-49 42. Krieg AM. CpG motifs in bacterial DNA and their immune effects. Annu Rev Immunol 2002; 20:769-80. 43. Krug AS, Rotenfusser A, Herrung V, dkk. Identification of CpG oligonucleotide sequences with high induction of IFN alpha/beta in plasmacytoid dendritic cells. Eur J Immunol 2001;31:2154-63. 44. Gallichan W, Weefsteecroft RN, Guarsci T, dkk. Intranasal immunization with CpG oligodeoxynucleo-tide as an adjuvant dramatically increases DNA and protection against herpes simplex virus-2 in the genital tract. J Immunol 2001;166:3451-57 45. Hana Z, Alena N, Eva S, dkk. Preparation containing glyzirrhizic acid employed in dermatologic practice. Conclusion omInternational Multicentre Study. Derm Klin 205;7(3):1-5 46. Badam L. In vitro studies of the effect of glycyrrhizin from Indian glycyrrhia glabra on s ome RNA and DNA viruses. Indian J Pharmacol 1994;26:194-199 47. Hidalgo H.Open controlled prospective multicetre study on the effectiveness, clinical safety and local tolerance of repeated administration of activated glycyrrhizic acid in local sprayings over a period of 5 days to patients suffering from genital herpes. Ospital General de Mexico, 1996. 48. 48. Martin-Crevillente O. Report on the result of the test with the product Epigen. Evaluate the effectiveness and the tolerance of the antiviral preparation Epigen in women with papilloma virus infection. Gynaecologic Center “Saludy muyer, Madrid, 1998. 49. Amiel C, Tribonniere XDL, Vidal V, dkk. Clinical tolerane and immunologic effects after single or repeated administrations of the synthetic immunomodulator murabutide in HIV-1 infected persons. J AIDS 2002;30:294-305. 50. Kus S, Ergun T, Gun D, dkk. Itralesional tuberculin for treatment of refractory warts. J Eur Acad Dermatol Venereol 2005;19:515-6. PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 162 51. Gamil H, Elgharib I, Noval A, dkk. Intralesional immunotherapy of plantar warts: Report of a new antigen combination. J Am Acad Dermatol 2010;63:40-3. 52. King M, Johnson SM, Horn TD. Intralesional immunotherapy for genital warts. Arch Deamatol 2005;141:1606-7. 53. Johnson SM, Roberson PK, Horn TD. Intralesional injection of mumps or candida skin tests antigen: a A novel immunotherapy for warts. Arch Dermatol 2001;137:4515. 54. Aksakal AA, Ozden MD, Atahan C, dkk. Succesful treatment of verruca plantaris with a single sublesional injection of INF α-2a. Clin Exp. Deramatol 2009;34:16-9 55. Horn TD, Johnson SM, Helm RM, dkk. Intralesional immunotherapy of warts with mumps, Candida and trichphyton skin test antigen : a single blinded randomized, and controlled trial. Arch Dermatol 2005;141:589-94 PKB “New Perspective of Sexually Transmitted Infection Problems” Surabaya 7-8 Agustus 2010 163