Dies Natalis UNAIR ke-60: Mantapkan Posisi Internasional Melalui Keunggulan Riset REKTORAT – WARTA UNAIR Perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam mencetak insan yang unggul dan cerdas secara intelektual serta emosional demi kelanjutan pembangunan. Guna mewujudkan peran strategis itu, UNAIR menetapkan empat tema strategis membangun branding universitas melalui kemitraan global, pusat pengembangan ilmu kesehatan tingkat nasional melalui pendekatan bio-eco-socio-cultural berstandar nasional dan internasional. Pernyataan itu disampaikan oleh Rektor UNAIR, Prof. Dr. H. Fasich, Apt., dalam sidang universitas yang memperingati Dies Natalis UNAIR ke-60. Prestasi internasional yang diraih UNAIR di antaranya Indeks Sitasi no. 1 di Asia versi QS World University Ranking, dan mendapatkan kepercayaan dari pemerintah dan dunia internasional untuk mendirikan pusat unggulan IPTEK Lembaga Penyakit Tropik. Sampai dengan Oktober 2014, jumlah mahasiswa asing yang belajar di UNAIR mencapai 145 mahasiswa, sedangkan mahasiswa UNAIR yang berangkat ke luar negeri dalam rangka pertukaran pelajar adalah 82 orang. Sebanyak 126 staf pengajar UNAIR melanjutkan studi di luar negeri, sedangkan hanya 16 staf pengajar dari berbagai perguruan tinggi di luar negeri yang datang ke UNAIR. “Hal ini juga disebabkan belum adanya kebijakan nasional yang mendukung staf luar negeri untuk melaksanakan pembelajaran di Indonesia terutama dari aspek pendanaan dan keimigrasian,” tutur Fasich. Dalam sidang tersebut, orasi ilmiah juga dibacakan oleh Andi Hamim Zaidan, M.Si., PhD, yang berjudul Penguasaan Nanoteknologi sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing dan Kemandirian Bangsa. Selan Zaidan, orasi ilmiah berjudul Rekonstruksi Alam dan Kehidupan berdasarkan Rangka Manusia dibacakan oleh Dra. Toetik Koesbardiati, PhD. Rekonstruksi alam dan kehidupan berdasarkan rangka manusia Indonesia termasuk negara yang memberikan sumbangsih terhadap perkembangan kajian antropologi. Penemuan rangka manusia masa lalu terdapat di dua puluh wilayah di Indonesia yang meliputi Aceh, Tulungagung, Flores, hingga Sentani. Sejak 40.000 tahun yang lalu, wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia dihuni oleh ras Australomelanesoid. Namun, ras Mongoloid datang secara bergelombang bergerak ke arah timur sehingga mendesak ras Australomelanesoid yang bertahan hingga saat ini. Pergerakan ini terbukti dari adanya modifikasi gigi geligi. Modifikasi gigi geligi ini berhubungan dengan fungsi estetik, afiliasi suatu etnis, tanda perkabungan, dan status sosial. “Orang tersenyum, berbicara atau marah sekalipun akan menampakkan gigi geliginya. Oleh karena itu gigi dan mulut adalah sasaran menarik untuk dimodifikasi. Pola modifikasi gigi yang dipraktekkan di Indonesia adalah pencabutan, peruncingan, penghalusan/pengasahan. Masing-masing pola mempunyai varian-variannya sendiri,” tutur Toetik. Pola pencabutan banyak dipraktikkan oleh masyarakat di wilayah Liang Bua, Lewoleba, dan Melolo. Liang Bua merupakan salah satu wilayah penemuan manusia Hobit di Flores pada tahun 2003. Pola peruncingan hingga kini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Mentawai. Pola yang paling lama bertahan dan masih dilakukan oleh beberapa masyarakat adalah pola pengasahan atau penghalusan. “Masyarakat Bali yang memeluk agama Hindu juga mempraktikkan hal ini,” tutur Toetik yang juga tergabung dalam tim DVI Mabes Polri saat melakukan pemeriksaan forensik kecelakaan Sukhoi tahun 2012 lalu. Dari rekonstruksi tersebut, bisa juga diteliti mengenai penyakit. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi lepra nomor tiga di dunia. Menurut publikasi ilmiah hingga saat ini, belum ada manusia prasejarah yang menderita lepra selain yang berasal dari Lewoleba (Flores), dan Plawangan (Jawa). Antropologi ragawi yang ditekuninya dapat diterapkan di bidang antropologi forensik yang dapat bermanfaat bagi masyarakat yang beraktivitas, khususnya di Indonesia. Sebab, bencana alam dan kecelakaan sering terjadi di Indonesia, sehingga dapat membantu identifikasi korban. Selain, identifikasi korban kecelakaan Sukhoi, Toetik juga pernah melakukan identifikasi korban imigran gelap yang tenggelam di Trenggalek. Namun, Toetik mengungkapkan peminat antropologi ragawi yang cukup sedikit di Indonesia, terutama di UNAIR. “Sekalipun Indonesia memiliki lahan yang luar biasa, namun hanya sedikit orang yang meminatinya dan menggelutinya. Universitas Airlangga adalah salah satu Universitas dari dua universitas di Indonesia yang mengembangkan bidang ini dan menjadi rujukan bagi peneliti-peneliti lain di dalam maupun di luar negeri, yang memungkinkan bidang Antropologi Ragawi menyumbangkan research excellent berkelas dunia,” tutur Toetik. Pengembangan Nanoteknologi untuk Masa Depan Nanoteknologi, teknologi yang memungkinkan rekayasa pada skala nano (1 sampai 100 nanometer), saat ini menjadi salah satu riset garda depan (frontier research). Hampir semua negara besar berlomba dalam penguasaan nanoteknologi karena implikasinya yang luas hampir di segala bidang. “Dengan nanoteknologi kita bisa membangun sesuatu dengan ukuran luar biasa kecil. Kemampuan inilah yang akan membentuk teknologi-teknologi inovatif masa depan,” jelas Zaidan. Nanopartikel berukuran sangat kecil (satu per 80 ribu ukuran rambut) memiliki banyak keunggulan, di antaranya tidak membutuhkan ruang yang besar, ringan, peka dan memiliki efek yang spesifik terhadap cahaya, serta bisa direkayasa sesuai kebutuhan. Selain itu, karena jarak antar partikelnya juga sangat kecil, transmisi data pada material menjadi sangat cepat. Efek interaksi nanopartikel dengan cahaya sangat spesifik, bergantung pada ukuran partikel dan panjang gelombang yang digunakan. Hal ini menyebabkan nanopartikel memiliki warna yang berbeda-beda. Pemanfaatannya di bidang kesehatan dapat meningkatkan kualitas perawatan kesehatan, seperti membunuh sel kanker dengan metode diagnosis dan terapi yang lebih efektif dan murah. Dengan rekayasa atom pada skala nano, memungkinkan ditemukannya material yang sangat kuat namun ringan. Di bidang transportasi, nanoteknologi dapat dimanfaatkan untuk menciptakan moda transportasi baru yang lebih aman, hemat energi dan ramah lingkungan. Di bidang pertahanan, nanoteknologi dapat meningkatkan kualitas alutsista. Di bidang pangan dan pertanian, nanoteknologi dapat meningkatan kualitas dan kuantitas produk pertanian dan peternakan. “Saat ini saya bersama tim FST mengembangkan nanoteknologi untuk aplikasi terapi fotodinamik kanker. Kami sedang meneliti potensi klorofil untuk dijadikan nanopartikel sehingga jika hal ini bisa dilakukan akan didapatkan nanopartikel yang murah,” jelas Zaidan. Zaidan mengakui sementara ini ilmuwan nanoteknologi UNAIR masih mengembangkan nanoteknologi secara sporadis. “FST bergerak sendiri, Farmasi bergerak sendiri. Harapannya semua bisa berkolaborasi, didukung universitas dan diberikan grand design pengembangan nanoteknologi di UNAIR,” harap Zaidan.