analisis tataniaga beras di desa kenduren

advertisement
ANALISIS TATANIAGA BERAS DI DESA KENDUREN,
KECAMATAN WEDUNG, KABUPATEN DEMAK
SKRIPSI
PANDU ADITAMA
H34070095
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
RINGKASAN
PANDU ADITAMA Analisis Tataniaga Beras di Desa Kenuren, Kecamatan
Wedung, Kabupaten Demak.
Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan
SUPREHATIN).
Bidang pertanian merupakan aset besar dan menjadi sektor yang dapat
diandalkan dalam pembangunan khususnya untuk menunjang ketahanan pangan.
Kebutuhan terhadap pangan merupakan kebutuhan yang mutlak harus dipenuhi
karena hal ini berkaitan dengan hajat hidup manusia. Salah satu produk pertanian
yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat adalah beras.
Beras masih menjadi bahan pangan utama yang di konsumsi masyarakat
Indonesia saat ini. Hal ini dikarenakan beras masih dipandang sebagai produk
pangan yang mudah didapat, ketersediaannya melimpah, dan bergizi. Selain
pandangan tentang beras tersebut, beberapa lapisan masyarakat menganggap
bahwa dengan mengonsumsi beras memiliki value lebih dibandingkan bahan
pangan lainnya. Pandangan-pandangan itulah yang menyebabkan masyarakat
Indonesia tidak dapat lepas dari ketergantungan terhadap beras, sehingga
kebutuhan beras nasional terus mengalami peningkatan.
Kabupaten Demak merupakan salah satu sentra produksi beras di Provinsi
Jawa Tengah. Kontribusi Kabupaten Demak dalam menjaga ketahanan pangan
nasional terbukti dengan diberikannya beberapa penghargaan oleh Presiden
Republik Indonesia dalam kurun waktu dua tahun terakhir yaitu tahun 2009 dan
2010 yaitu Penghargaan Peningkatan Produksi Padi dan Penghargaan Ketahanan
Pangan. Namun di tengah prestasi tersebut, masih terdapat permasalahan pada
tataniaga beras di kabupaten ini. Salah satu permasalahan yang muncul adalah
rendahnya harga GKP (gabah kering panen) pada tingkat petani. Diduga
permasalahan ini diakibatkan oleh ketergantungan petani terhadap tengkulak
dalam memasarkan hasil panennya pada saat panen raya. Selain itu, adanya gap
harga yang tinggi di tingkat petani dan konsumen juga menjadikan suatu masalah
pada saluran tataniaga dimana petani dapat dikatakan belum tersejahterakan. Naik
turunnya harga beras pada tingkat konsumen tidak banyak mempengaruhi harga di
tingkat petani. Petani harus mengikuti mekanisme pasar dimana hal ini lebih
banyak merugikan petani. Peran BULOG seharusnya dapat menyelamatkan petani
jika BULOG mampu menyerap beras langsung dari petani di saat terjadi panen
raya. Namun fakta yang terjadi di lapang adalah BULOG membeli sebagian besar
beras yang beredar di pasar dari lembaga grosir dan Rice Milling Unit (RMU)
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk 1) mengidentifikasi saluran,
lembaga, fungsi, serta menganalisis struktur dan perilaku pasar tataniaga beras di
Kabupaten Demak, Jawa Tengah dan 2) menganalisis efisiensi tataniaga beras
pada setiap saluran tataniaga di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, dengan
pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan, dan biaya.
Penelitian ini menggunakan motode snowball dimana informasi yang diperoleh
tidak terputus dari satu lembaga ke lembaga tataniaga yang lain. Wawancara
dilakukan kepada 30 responden petani, 5 responden tengkulak, 3 responden RMU,
2 responden grosir, 5 responden ritel, dan 30 responden konsumen individu.
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan tabulasi untuk menjelaskan
karakteristik petani, saluran tataniaga beras, lembaga dan fungsi tataniaga beras,
serta struktur dan perilaku pasar beras. Analisis biaya tataniaga, margin tataniaga,
farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya digunakan untuk melihat efisiensi
harga dan operasional tataniaga beras di lokasi penelitian.
Hasil yang didapatkan dari penelitian di lapangan menunjukkan bahwa
secara umum, ada enam saluran tataniaga beras di Kabupaten Demak. Lembagalembaga yang terlibat dalam alur pemasaran tersebut yaitu petani, tengkulak,
RMU, grosir, dan ritel. Tengkulak masih menjadi pihak yang dominan yang
menerima penjualan gabah hasil panen petani. Sebagian besar tengkulak membeli
hasil panen dengan sistem tebas. Sistem tebas ini banyak dipilih sebagian besar
petani karena petani membutuhkan uang cepat dan kemudahan fasilitas untuk
panen. Berdasarkan fungsi BULOG sebagai lembaga yang memberikan jaminan
harga dan pasar bagi produsen atau petani, BULOG dinilai belum berfungsi. Hal
ini ditunjukkan dengan aktivitas BULOG yang hanya menyerap beras dari grosir
dan RMU. Seharusnya BULOG mampu menyerap gabah hasil panen petani yang
harganya cenderung rendah ketika panen raya.
Berdasarkan pendekatan analisis marjin tataniaga, farmer’s share, dan
rasio keuntungan terhadap biaya, saluran tataniaga 1B adalah saluran yang lebih
efisien dibandingkan saluran yang lain sehingga saluran ini layak untuk dipilih
petani dan layak untuk terus dikembangkan. Saluran tersebut memiliki total
marjin yang terkecil yaitu sebesar Rp 1.464,00. Berdasarkan analisis farmer’s
share, saluran 1B memiliki nilai terbesar yaitu sebesar 71 persen. Sedangkan
melalui analisis rasio keuntungan dan biaya, saluran yang paling efisien adalah
saluran 3A dengan rata-rata rasio sebesar 3,64. Namun dari keenam saluran
tersebut, saluran IB merupakan saluran yang memiliki volume perdagangan
terbesar yaitu 2.581,9 ton atau 21,22 persen dari total pangsa pasar perdagangan
beras yang berarti paling memberikan prospek kepada petani dan seluruh lembaga
untuk memasarkan produknya.
ANALISIS TATANIAGA BERAS DI DESA KENDUREN,
KECAMATAN WEDUNG, KABUPATEN DEMAK
PANDU ADITAMA
H34070095
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi
: Analisis Tataniaga Beras di Desa Kenduren, Kecamatan
Wedung, Kabupaten Demak
Nama
: Pandu Aditama
NIM
: H34070095
Menyetujui,
Pembimbing
Suprehatin, SP, MAB
NIP. 19800107 200501 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
NIP 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis
Tataniaga Beras di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak”
adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2011
Pandu Aditama
H34070095
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Karanganyar pada tanggal 9 Agustus 1988. Penulis
adalah anak ke tiga dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda (Alm.) Joko
Wiyono Priyohatmojo dan Ibunda Endang Ekawatie Harnaningsih. Penulis
menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Bejen 3 pada tahun 2001 dan
pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SLTP Negeri 1
Karanganyar. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMA Negeri 1 Karanganyar
diselesaikan pada tahun 2007. Semua lembaga pendidikan tersebut berada di
Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Kemudian penulis melanjutkan
pendidikan tinggi pada Program Mayor Agribisnis di Departemen Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Untuk melengkapi
pemahaman tentang keilmuan komunikasi, penulis juga mengikuti Program Minor
Komunikasi pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif mengikuti beberapa
organisasi di dalam kampus, seperti Ketua Lorong Lima Asrama C2 Tingkat
Persiapan Bersama tahun 2007-2008, Ketua Organisasi Mahasiswa Daerah Solo
dan sekitarnya pada tahun 2009-2010, Ketua Unit Kegiatan Mahasiwa Center of
Entrepreneurship Development for Youth (UKM CENTURY) pada tahun 20092010, dan Ketua Departemen Money Hunting Department, Himpunan Mahasiswa
Peminat Agribisnis (MHD HIPMA) pada tahun 2010-2011. Selama punyusunan
skripsi, penulis juga aktif berkontribusi di Gugus Bisnis dan Kewirausahaan (GBIKE) FEM IPB sebagai Asisten Peneliti di tahun 2011.
Prestasi yang pernah diraih penulis antara lain Juara 1 Bola Basket dalam
Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) tahun 2011, Finalis Lomba Business Plan
Wirausaha Muda Mandiri (WMM) tahun 2010 dengan judul “Pengembangan
Budidaya Ikan Nila Merah Melalui Sistem Agribisnis”, dan Finalis Fakultas
Ekonomi dan Manajemen Ambassador (FEM Ambassador) tahun 2010. Saat ini
penulis juga sedang mengelola sebuah bisnis kuliner dengan nama usaha “Petjel
Madioen Mbak Ika” dan berstatus sebagai owner.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Sistem
Tataniaga Beras di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak”.
Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai
uswatun hasanah dan pemimpin terbaik bagi umat manusia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis saluran
tataniaga beras yang ada di Desa Kenduren; mengidentifikasi dan menganalisis
lembaga-lembaga yang terlibat beserta fungsinya dalam tataniaga beras di Desa
Kenduren; mengidentifikasi dan menganalisis struktur dan perilaku pasar beras di
Desa Kenduren; dan menganalisis keragaan pasar beras yang ada di wilayah Desa
Kenduren dengan pendekatan biaya tataniaga, marjin tataniaga, farmer’s share,
serta rasio keuntungan dan biaya. Skripsi ini diharapkan dapat berguna dan
memberikan manfaat kepada semua pihak baik mahasiswa, akademisi, pelaku
usahatani padi dan lembaga tataniaga beras, dan pemerintah selaku pembuat
kebijakan.
Bogor, November 2011
Pandu Aditama
viii
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi tidak terlepas dari bantuan,
motivasi, doa, dan kerjasama dari berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur
kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1.
Ayahanda (Alm.) Joko Wiyono Priyohatmojo dan Ibunda Endang Ekawatie
Harnaningsih, orang tua tercinta sekaligus motivator hidup yang telah
mencurahkan segalanya hingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan di
IPB dengan baik. Semoga Ananda dapat menjadi manusia yang bermanfaat
seperti yang diharapkan.
2.
Suprehatin, SP, MAB, selaku dosen pembimbing skripsi atas waktu,
bimbingan, masukan, dan perhatian kepada penulis sehingga mampu
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
3.
Dr. Ratna Winandi, MM, selaku dosen penguji utama pada ujian sidang
penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran
demi perbaikan skripsi ini.
4.
Yanti Nuraeni M, SP, MAgribuss, selaku dosen penguji komisi pendidikan
Departemen Agribisnis pada sidang penulis yang telah meluangkan waktu
untuk memberikan kritik dan saran kepada penulis untuk perbaikan skripsi
5.
Ir. Narni Farmayanti, M.Sc, yang senantiasa mengarahkan dan membantu
penulis dalam menjalani masa-masa perkuliahan sebagai Wali Akademik di
Departemen Agribisnis FEM IPB.
6.
Seluruh dosen dan staf kependidikan Departemen Agribisnis FEM IPB
7.
Yeka Hendra Fatika, SP dan Arif Karyadi Uswandi, SP yang telah
memberikan banyak kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan ilmu dan
pengalaman berharga selama bergabung di G-BIKE (Gugus Bisnis dan
Kewirausahaan)
8.
Kakanda Tunjungsih Priyaningrum, SE, MM, dan Kakanda Pilar Krisnadi,
S.sos serta seluruh keluarga besar yang telah membantu penulis secara moral
dan meterial selama menuntut ilmu di IPB.
9.
Keluarga Bapak Lurah H. Farid di Grobogan, yang telah berkenan
memberikan tempat untuk tinggal selama penulis menjalani penelitian.
ix
Terima kasih atas kehangatan yang diberikan. Keluarga Bapak Nurhadi di
Ciampea Udik, yang menjadikan Gladikarya menjadi penuh makna. Semoga
tali silaturahim terus terjaga.
10. Dini Amrilla Utomo, SE atas waktu dan kesetiaannya mendampingi penulis
dalam menjalani suka duka di Bogor.
11. Jendral (Septian Chandra Pamungkas, A.Md; Thomas Hendratno, A.Md;
Faizal Rachman, S.Pi; dan Kurniawan Wahyu N, Ahli Pratama atas
kebersamaan dalam mencari “Sebuah Arti Hidup”. Pondok Slenge’an
(Rendra Eka Ardhya, Parubahan Harahap, Aulia Bahadori M., Baskoro
Sukoco, Alfarizi, dan Dimas F.K.) yang selama ini menjadi pelipur lara bagi
penulis. G-BIKEmania (Riska Pujiati, SE; Hata Madia Kusumah; Yahya
Hendriana, SE; Sigit Sutrinso; Anten Rahmith, SE; Octiasari, SE; dan Ana
Zufrida) yang telah bersama-sama berpetualang ke tempat-tempat luar biasa.
Okky Pandu Dewanata, SE; Hasanudin, SE; M. Rizqiadi; Randy Hazemi;
Dede Juliandar; dan Ginda Pramana P. atas semua canda tawa yang akan
selalu terkenang oleh penulis serta POKRAW Babakan Lio yang menjadi
tempat mencurahkan keluh kesah kami.
12. Nugroho Bagus Utomo, SE dan Nia Ertin Pratika, SE ”PMMI” atas semangat
dan ide-ide briliannya yang mampu menyemangati penulis selama di Bogor.
Petjel Madioen Mbak Ika yang menjadi harapan bagi penulis dan Teh Yeni
”PMMI” yang telah bekerja keras dengan tulus.
13. Keluarga Besar UKM CENTURY dan HIPMA IPB yang telah memberikan
kesempatan bagi penulis untuk bekerja sama dengan orang-orang hebat.
Keluarga Besar Agribisnis FEM IPB khususnya angkatan 44, teman-teman
seperjuangan yang telah berjuang bersama demi kehidupan yang lebih baik.
Teman-teman Lorong Lima Asrama Putra C2 dan TPB B25/26 yang telah
memberikan banyak kenangan indah dari sebuah kebersamaan.
14. Semua pihak yang telah bersedia membantu penulis semasa penulis
menyelesaikan pendidikan di IPB yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Bogor, November 2011
Pandu Aditama
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xvi
I
PENDAHULUAN ..........................................................................
1.1. Latar Belakang ...................................................................
1.2. Perumusan Masalah ...........................................................
1.3. Tujuan Penelitian ...............................................................
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................
1.5. Ruang Lingkup Penelitian .................................................
1
1
5
9
9
10
II
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................
2.1. Gambaran Umum Beras .....................................................
2.2. Penelitian Terdahulu ..........................................................
2.2.1 Studi Empirik Saluran Tataniaga Beras .....................
2.2.2. Studi Empirik Lembaga dan Fungsi Tataniaga ........
2.2.3. Studi Empirik Struktur dan Perilaku Pasar Beras ....
2.2.4. Studi Empirik Biaya dan Marjin Tataniaga Beras ....
2.2.5. Studi Empirik Farmer’s Share ................................
2.2.6. Rasio Keuntungan dan Biaya ...................................
11
11
12
12
13
14
16
17
17
III
KERANGKA PEMIKIRAN .......................................................
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis .............................................
3.1.1 Konsep Tataniaga ......................................................
3.1.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga ..............................
3.1.3. Konsep Efisiensi Tataniaga .....................................
3.1.3.1. Konsep Margin Tataniaga ...........................
3.1.3.2. Konsep Farmer’s Share pada Tataniaga ......
3.1.3.3. Konsep Rasio Keuntungan dan Biaya ...........
3.1.4. Konsep Struktur Pasar .............................................
3.1.5. Konsep Perilaku Pasar .............................................
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ......................................
19
19
19
19
23
24
26
27
27
28
29
IV
METODE PENELITIAN ............................................................
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ..............................................
4.2. Jenis dan Sumber Data .......................................................
4.3. Metode Pengumpulan Data ................................................
4.4. Metode Pengolahan Data ...................................................
4.4.1. Analisis Saluran Tataniaga ......................................
4.4.2. Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga .................
4.4.3. Analisis Struktur Pasar .............................................
4.4.4. Analisis Perilaku Pasar ..........................................
4.4.5. Analisis Efisiensi Tataniaga .....................................
4.4.5.1 Analisis Margin Tataniaga ...........................
32
32
32
33
33
34
34
34
35
35
35
4.4.5.2 Analisis Farmer’s Share ..............................
4.4.5.3 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya .........
Definisi Operasional Penelitian ........................................
36
37
37
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .......................
5.1. Wilayah dan Topografi ......................................................
5.2. Deskripsi Karakteristik Petani Responden ........................
5.2.1. Kategori Umur Petani ...............................................
5.2.2. Kategori Pendidikan Formal Petani Responden ......
5.2.3. Kategori Pengalaman Usahatani Petani Responden ..
5.2.4. Kategori Luas Lahan yang Diusahakan
Petani Responden .....................................................
5.2.5. Kategori Status Penguasaan Petani Responden .......
5.2.6. Kategori Sifat Usahatani Petani Responden ............
5.3. Deskripsi Karakteristik Pedagang Responden .....................
5.3.1. Responden Tengkulak ...............................................
5.3.2. Responden Rice Milling Unit (RMU) ........................
5.3.3. Responden Grosir ....................................................
5.3.4. Responden Ritel .......................................................
39
39
42
42
42
43
4.5.
V
VI
ANALISIS TATANIAGA BERAS ..............................................
6.1. Analisis Saluran Tataniaga Beras Kabupaten Demak ......
6.1.1. Analisis Saluran Tataniaga dengan Konsumen
Individu sebagai Konsumen Akhir ...........................
6.1.2. Analisis Saluran Tataniaga dengan Subdivre BULOG
sebagai Konsumen Akhir .........................................
6.2. Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga Beras
Kabupaten Demak ...............................................................
6.3. Analisis Struktur Pasar Tataniaga Beras
Kabupaten Demak ...............................................................
6.4. Perilaku Pasar Tataniaga Beras di Kabupaten Demak ........
6.4.1. Praktik Pembelian dan Penjualan ............................
6.4.2. Sistem Penentuan Harga dalam Transaksi ...............
6.4.3. Sistem Pembayaran yang Digunakan
dalam Transaksi .......................................................
6.4.4. Kerjasama antar Lembaga Tataniaga Beras .............
6.5. Analisis Biaya dan Margin Tataniaga ................................
6.5.1. Analisis Biaya dan Marjin Tataniaga Saluran A .....
6.5.2. Analisis Biaya dan Marjin Tataniaga Saluran B ......
6.6. Analisis Farmer’s Share ....................................................
6.7. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya ...............................
6.7.1. Analisis Keuntungan Saluran A ...............................
6.7.2. Analisis Keuntungan Tataniaga Saluran B ..............
VII KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................
7.1. Kesimpulan ........................................................................
7.2. Saran ..................................................................................
43
43
44
44
44
45
45
46
47
47
48
50
53
58
61
62
64
64
65
66
66
67
68
69
70
71
73
73
74
xii
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
75
LAMPIRAN ..........................................................................................
77
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram .........................
1
2. Data Konsumsi Pangan per Kapita Indonesia Tahun 2010 .........
1
3. Jumlah Penduduk, Produksi, Konsumsi, dan Impor Beras
Indonesia Tahun 2000-2010 ........................................................
2
4. Luas Panen, Produktivitas, Produksi Padi Sawah
Kabupaten Demak Tahun 2005-2009 .........................................
4
5. Rata-rata Harga GKP, GKG, dan Beras di Wilayah Sentra
Produksi Padi Pulau Jawa Tahun 2011 .......................................
7
6. Karakteristik dan Struktur Pasar .................................................
28
7. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Padi Kabupaten
Demak Tahun 2005-2009 ............................................................
39
8. Luas Wilayah, Luas Sawah, dan Total Produksi Padi
Kabupaten Demak per Kecamatan Tahun 2009 ..........................
40
9. Farmer’s Share pada Setiap Saluran Tataniaga A di
Desa Kenduren Tahun 2011 ........................................................
69
10. Farmer’s Share pada Setiap Saluran Tataniaga B di
Desa Kenduren Tahun 2011 ........................................................
69
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Pola Panen Padi di Indonesia Tahun 2008-2010 ........................
3
2. Kurva Margin Tataniaga .............................................................
25
3. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional ....................................
31
4. Saluran Tataniaga Beras A Desa Kenduren Tahun 2011 ............
48
5. Saluran Tataniaga Beras B Desa Kenduren Tahun 2011 ............
50
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi per Provinsi
di Indonesia Tahun 2010 .............................................................
78
2. Kategori Karakteristik Responden Petani Kecamatan
Wedung 2010 ..............................................................................
79
3. Data Responden Petani Kecamatan Wedung 2010 ...................
80
4. Data Responden Pedagang Desa Kenduren 2010 ......................
82
5. Lembaga dan Fungsi Tataniaga Beras di Kabupaten Demak
Jawa Tengah Tahun 2011 ............................................................
83
6. Biaya-biaya Tataniaga pada Setiap Lembaga Tataniaga ............
84
7. Analisis Marjin Tataniaga pada Setiap Lembaga Tataniaga .......
85
8. Tabel Rasio Keuntungan dan Biaya Tataniaga Beras .................
86
xvi
I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kekayaan sumber daya alam dalam bidang pertanian merupakan
keunggulan yang dimiliki Indonesia dan perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan
rakyat. Pertanian merupakan aset besar dan menjadi sektor yang dapat diandalkan
dalam pembangunan untuk menunjang ketahanan pangan. Kebutuhan terhadap
pemenuhan pangan merupakan kebutuhan yang mutlak harus dipenuhi karena hal
ini berkaitan dengan hajat hidup manusia. Salah satu produk pertanian yang
menjadi kebutuhan pokok masyarakat adalah beras.
Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram
Nutrisi
Karbohidrat
Protein
Lemak
Kalori
Vitamin B1
Serat
Air
Satuan
Gram
Gram
Gram
Gram
Mg
-
Beras
78,9
6,8
6,8
360,0
-
Gandum
74,1
11,8
1,2
0,4
12
Sorgum
73,0
11,0
73,0
332,0
0,4
-
Jagung
72,4
10,0
10,0
361,0
2,3
2,3
13,5
Sumber: Badan Pusat Statistik 2010(a)
Keterangan: - tidak terdapat data
Beras masih menjadi bahan pangan utama yang dikonsumsi sebagian besar
masyarakat Indonesia hingga saat ini. Hal ini dikarenakan beras dipandang
sebagai produk pangan yang mudah didapat, ketersediaannya melimpah, dan
bergizi. Beras dikatakan bergizi karena kandungan karbohidrat dalam beras
merupakan yang tertinggi di atas bahan pangan lainnya (Tabel 1).
Tabel 2. Data Konsumsi Pangan per Kapita Indonesia Tahun 2010
Komoditas Pangan
Beras
Gandum
Jagung
Kedelai
Konsumsi per Kapita (kg/orang/tahun)
139
17
70
40
Sumber: Badan Pusat Statistik 2010(a)
Konsumsi beras di Indonesia berada pada peringkat pertama pada
konsumsi komoditas pangan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 dimana konsumsi
beras per kapita Indonesia lebih tinggi dibandingkan bahan pangan lainnya. Hal
ini membuktikan betapa pentingnya ketersediaan beras bagi masyarakat.
Jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat menjadikan
ketersediaan beras sebagai suatu hal yang perlu mendapat perhatian khusus.
Dalam hal ini, petani lokal masih menjadi tulang punggung dalam penyediaan
beras secara nasional. Meskipun demikian, pertumbuhan produksi beras nasional
belum mampu memenuhi pertumbuhan konsumsi setiap tahunnya yang cenderung
meningkat dan lebih besar dari produksi sehingga pemerintah harus melakukan
impor untuk menjaga ketersediaan beras (Tabel 3).
Tabel 3. Jumlah Penduduk, Produksi, Konsumsi, dan Impor Beras Indonesia
Tahun 2000-2010
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Jumlah Penduduk
(jiwa)
206.264.595
237.556.363
Produksi
(juta ton)
32,96
32,96
33,41
35,02
34,83
34,96
35,30
37,00
38,31
36,37
38,00
Konsumsi
(juta ton)
35,88
36,38
36,50
36,00
35,85
35,74
35,90
36,35
37,10
38,00
38,55
Impor
(juta ton)
1,50
3,50
2,75
0,65
0,50
0,54
2,00
0,35
0,25
1,15
0,95
Sumber : USDA (2011)1
Keterangan: - tidak terdapat data
Rata-rata dana pengadaan dalam negeri dalam 4 – 5 bulan periode
pengadaan mencapai 5 -7 triliun per tahun yang mengalir langsung ke petani
pedesaan, dan bahkan selama satu tahun bisa mencapai lebih dari 11 triliun. Dan
tersebut semakin meningkat seiring dengan besarnya serapan pengadaan dalam
negeri sehingga memberikan multiplier effects yang mendorong pembangunan
pedesaan dengan peningkatan pendapatan dan perluasan lapangan kerja.
Tidak semua daerah di Indonesia mampu memenuhi jumlah kebutuhan
beras penduduk karena berbagai keterbatasan, terutama aspek kesesuaian iklim
dan lahan. Hal ini berimplikasi pada adanya daerah yang mengalami defisit dan
1
[USDA] www.indexmundi.com [ Diakses 30 April 2011]
2
ada daerah yang menjadi daerah surplus produksi beras. Daerah yang mengalami
defisit tersebut membutuhkan pasokan beras dari daerah dengan surplus beras.
Kondisi ini menciptakan kegiatan tataniaga beras dari satu daerah ke daerah lain.
Dalam industri beras di Indonesia, aspek tataniaga memiliki peran yang
penting. Beras merupakan komoditi yang dipengaruhi faktor musim dalam
penyediaannya. Adanya lag dalam penyediaan beras disebabkan oleh produksi
padi yang sangat tergantung pada musim tanam dan hal ini secara tidak langsung
telah terpola dengan sendirinya.
Gambar 1.
Pola Panen Padi di Indonesia Tahun 2008-2010
Sumber: Data Strategis Indonesia BPS (2010)
Gambar 1 menggambarkan pola musim padi dimana terjadi panen raya
pada selang waktu Januari – Mei. Pada selang waktu tersebut terjadi pasokan
beras yang melimpah. Sedangkan pada musim paceklik yang terjadi pada selang
waktu September-Desember, pasokan beras akan berkurang. Tidak lancarnya
aspek tataniaga dapat menghambat pasokan beras ke daerah dengan produksi padi
yang defisit. BULOG memiliki peran penting dalam keadaan suatu daerah yang
sedang dalam defisit ketersediaan beras. Berdasarkan prinsip ekonomi, kurangnya
stok suatu barang pada sebuah pasar sedangkan permintaan tetap atau bertambah
maka akan menaikkan harga barang tersebut. Tidak semua kalangan masyarakat
mampu membeli beras ketika harga tinggi, sehingga peran BULOG adalah dengan
3
menyalurkan Raskin (Beras untuk Rumah Tangga Miskin) untuk memperkuat
ketahanan pangan rumah tangga terutama rumah tangga miskin2.
Terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang menjadi wilayah surplus
produksi beras. Provinsi-provinsi sebagai wilayah penghasil beras dengan
produksi yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi
Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Lampung, Banten,
Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Pulau Jawa merupakan wilayah
yang memiliki produksi beras tertinggi di Indonesia. Jawa Barat, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur adalah tiga provinsi penghasil beras terbesar di Indonesia dengan
jumlah berturut-turut 11.322.681 ton, 9.600.415 ton, dan 11.259.085 ton (Badan
Pusat Statistik 2010) (Lampiran 1).
Tabel 4. Luas Panen, Produktivitas, Produksi Padi Sawah Kabupaten Demak
Tahun 2005-2009
Tahun
Total Luas Panen
(Ha)
Produksi
(Ton)
Produktivitas
(Kw/Ha)
2005
2006
2007
2008
2009
284.390
276.230
288.934
287.481
299.614
520.109
500.649
517.463
563.737
571.330
58,53
60,90
56,54
54,24
55,82
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Demak (2010)(b)
Kabupaten Demak adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah
yang memiliki peran penting dalam rangka menjaga ketahanan pangan nasional.
Hal ini terbukti dengan diberikannya dua penghargaan nasional oleh Presiden
Republik Indonesia yaitu Penghargaan Peningkatan Produksi Padi dan
Penghargaan Ketahanan Pangan pada tahun 2010. Untuk penghargaan
peningkatan produksi padi, Kabupaten Demak telah memperolehnya dua tahun
berturut-turut3. Penghargaan pada tahun 2009 diberikan karena produksi padi
Demak tahun 2007 sebesar 517.463 ton, meningkat pada 2008 menjadi 563.737
ton atau naik 5,03 persen. Kemudian penghargaan berikutnya diperoleh karena
produksi padi Demak di tahun 2008 sebesar 563.737 ton, meningkat pada tahun
2009 mencapai jumlah 571.330 ton. Prestasi dalam peningkatan produksi padi
2
3
http://www.bulog.co.id [diakses 22 Desember 2011]
http://www.demakkab.go.id/pemerintahan [diakses 8 Maret 2011]
4
yang dicapai Kabupaten Demak tersebut merupakan keberhasilan yang searah
dengan gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yang diusung
pemerintah.
1.2.
Perumusan Masalah
Secara umum, tataniaga beras belum dapat terlepas dari kendala-kendala dalam
proses menyalurkan beras dari petani hingga konsumen. Masalah utama yang
sering kali terjadi adalah rendahnya harga gabah yang diterima petani, terutama
pada saat panen raya dan tingginya harga beras yang terjadi di tingkat konsumen
akhir. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa pasar beras tidak simetris dan
kurang terintegrasi. Artinya, jika harga beras di tingkat konsumen naik, kenaikan
tersebut tidak tersampaikan ke tingkat petani. Namun jika harga beras di kota
turun, penurunan tersebut akan segera menyebabkan turunnya harga gabah di
tingkat petani sehingga petani selalu berada pada posisi yang tidak diuntungkan
oleh mekanisme pasar.
Dalam kebijakan perberasan, peran BULOG sebagai penyeimbang harga
di pasar seharusnya dapat melindungi harga pada tingkat petani. Inpres tersebut
dengan jelas menugaskan BULOG untuk menjaga harga di tingkat produsen
melalui pengadaan dalam negeri. Pengadaan tersebut dilakukan dengan menyerap
surplus yang dipasarkan petani selama periode panen berdasarkan HPP. Selain
untuk melindungi petani, pengadaan dalam negeri juga berperan sebagai jaminan
pasar atas produksi petani. Jumlah pengadaan dalam negeri setiap tahunnya
berkisar antara 1,5 – 2 juta ton setara beras, sekitar 5 – 7 persen dari total produksi
per tahun atau sekitar 20 – 25 persen dari surplus yang dipasarkan petani selama
bulan Maret – Mei. Pengadaan gabah BULOG mengikuti pola produksi tersebut
dimana karakteristik produksi gabah tidak sama antar waktu dan antar tempat.
Jumlah pengadaan BULOG sebagian besar (70 persen) dilakukan di daerah
produsen (Jawa dan Sulawesi Selatan) dan sebagian besar (60 persen) dilakukan
selama panen raya (Januari – Mei).
Produksi beras yang terus meningkat merupakan sebuah prestasi bagi
bangsa Indonesia. Namun dengan meningkatnya produksi dalam negeri, akan
menimbulkan sebuah kendala bagi harga di tingkat produsen. Permintaan gabah
5
dan beras yang bersifat inelastis, keterbatasan gudang swasta, relatif lemahnya
industri penggilingan padi, dan iklim yang basah terutama saat panen raya,
menjadi faktor yang juga berpengaruh terhadap harga di tingkat produsen. Jika hal
ini tidak ditangani dengan baik maka stabilitas gabah atau beras dalam negeri di
masa yang akan datang akan tergantung. Jaminan harga di tingkat produsen
memiliki posisi yang sangat penting dalam menjaga keberlanjutan produksi
karena sangat berkaitan langsung dengan kesejahteraan petani. Jaminan harga ini
diberikan pemerintah melalui kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang
dicantumkan pada Instruksi Presiden (Inpres) No. 7/2009 tentang Kebijakan
Perberasan dimana telah ditetapkan bahwa HPP gabah dan beras untuk GKP di
petani sebesar Rp 2.640,- per kilogram, GKG di penggilingan sebesar Rp 3.300,per kilogram, dan beras di gudang BULOG sebesar Rp 5.060,- per kilogram.
Berdasarkan laporan penelitian Kementrian Pertanian dengan judul Kajian
Stok Beras Nasional Tahun 2011, jika dibandingkan dengan harga gabah yang
berasal dari kabupaten-kabupaten sentra produksi yang lain di Pulau Jawa, harga
gabah di Kabupaten Demak merupakan yang terendah. Kabupaten-kabupaten
tersebut antara lain Kabupaten Cianjur dan Karawang untuk Provinsi Jawa Barat
serta Kabupaten Tuban dan Lamongan untuk Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan
Tabel 5, rata-rata harga gabah tertinggi adalah di Kabupaten Karawang dengan
harga gabah kering panen (GKP) mencapai Rp 4.000,00 per kilogram dan gabah
kering giling (GKG) sebesar Rp 4.200,00 per kilogram. Tingginya harga gabah di
Kabupaten Karawang disebabkan oleh dua faktor, yang pertama karena rendemen
GKP ke beras di Kabupaten Karawang yang tinggi yaitu mencapai 65-70 persen.
Rendemen gabah di Kabupaten Demak sebesar 50-60 persen masih rendah jika
dibandingkan dengan Kabupaten Karawang. Faktor yang ke dua adalah
banyaknya Rice Milling Unit (RMU) yang tersebar di setiap desa. Hal ini
menyebabkan tingginya persaingan antar pelaku usaha dan menyebabkan
tingginya permintaan akan gabah.
6
Tabel 5. Rata-rata Harga GKP, GKG, dan Beras di Wilayah Sentra Produksi
Padi Pulau Jawa Tahun 2011.
Harga Beras di Wilayah Sentra Produksi Padi (Rp)
Jawa
Jawa Barat
Jawa Timur
Tengah
Cianjur
Karawang
Tuban
Lamongan Demak
Tingkat
Lembaga
Produk
Petani
GKP
3.100
4.000
2.500
2.600
2.000
GKG
3.300
4.200
2.800
2.700
2.020
Beras
6.600
6.700
6.500
6.700
6.700
Konsumen
Individu
Sumber: Kementrian Pertanian
Jika dibandingkan dengan HPP, harga jual di pasar GKG dan GKP di
Kabupaten Demak lebih rendah dari harga dasar pemerintah kecuali harga beras.
Sedangkan harga GKP, GKG, dan beras di kabupaten yang lain secara
keseluruhan setara bahkan lebih besar dari HPP. Hal ini mengindikasikan bahwa
telah terjadi suatu masalah di Kabupaten Demak dimana harga GKP dan GKG
jauh lebih rendah namun harga beras jauh di atas HPP.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan BPS Distribusi Jawa Tengah,
gabah didominasi kelompok kualitas rendah yaitu 52,09 persen, disusul GKP
39,07 persen dan GKG sebanyak 8,84 persen4. Dari hasil survei tersebut terlihat
harga gabah tertinggi di tingkat petani mencapai Rp 3.630,00 per kilogram berasal
dari kelompok kualitas GKP di Kabupaten Semarang, sedangkan harga terendah
sebesar Rp 2.000,00 per kilogram berasal dari Kabupaten Demak. Pada tingkat
RMU, harga gabah tertinggi mencapai Rp 3.700,00 per kilogram yang juga
berasal dari kualitas GKP di Kabupaten Semarang, sedangkan harga terendah
sebesar Rp 2.020,00 per kilogram juga berada di Kabupaten Demak.
Selain masalah harga, ketersediaan beras di Kabupaten Demak juga dinilai
menjadi kendala ketika aliran produk dari petani hingga konsumen akhir tidak
berjalan lancar. Sering kali penggilingan kekurangan stok karena gabah di daerah
panen justru dipasarkan ke luar daerah oleh tengkulak melalui pedagang-pedagang
besar. Selain itu, penggilingan yang tidak memiliki akses permodalan yang baik,
tidak mampu menjalankan usahanya secara kontinyu sehingga banyak gabah yang
4
http://www.gresnews.com [diakses 8 Maret 2011]
7
tidak tersalurkan ke daerah setempat. Kendala lain yang muncul adalah semakin
banyaknya RMU keliling yang menyediakan jasa giling bagi petani-petani yang
memiliki gabah. RMU keliling tersebut secara legalitas tidak mempunyai izin
operasi, namun pemerintah daerah tidak dapat melakukan kontrol atas keberadaan
RMU keliling tersebut yang semakin bertambah banyak jumlahnya.
Pada tingkat konsumen, terjadi kenaikan harga beras sepanjang bulan
Januari hingga Februari 2011. Harga beras golongan beras medium mencapai
harga Rp 6.700,00 per kilogram, sedangkan beras super sudah mencapai harga Rp
7.100,00 per kilogram dari harga normal Rp 5.200,00 per kilogram5. Kondisi
tersebut membuat masyarakat merasa sulit karena meskipun memiliki uang namun
warga tetap mengalami kesulitan dalam membeli beras dikarenakan stok beras
yang berada di petani maupun RMU sudah kosong. Konsumen yang ingin
membeli beras dengan harga murah kalah bersaing dengan pedagang beras lokal
yang juga kesulitan untuk membeli beras dalam jumlah besar. Bahkan raskin yang
banyak dicari oleh warga kelas bawah juga sulit ditemukan. Raskin dijual sesuai
harga pemerintah yaitu Rp 1.600,00 per kilogram. Penjualan raskin tersebut
tentunya tidak dapat menurunkan harga beras di pasaran karena stoknya yang
terbatas.
Fakta yang telah diuraikan tersebut mengindikasikan adanya permasalahan
yang muncul pada lembaga-lembaga yang ada pada saluran tataniaga beras di
Kabupaten Demak. Permasalahan tersebut terjadi dalam hal harga dimana terjadi
gap yang besar pada tingkat harga petani dan konsumen akhir. Selain masalah
pada harga, ketersediaan beras bagi konsumen juga terdapat kendala dimana
terjadi hambatan dalam penyaluran beras sehingga konsumen merasakan kesulitan
dalam membeli beras. Besarnya gap harga mengindikasikan adanya rantai
tataniaga yang panjang pada komoditi tersebut. Banyaknya lembaga yang terdapat
dalam sebuah tataniaga beras yang panjang menggambarkan bagaimana perilaku
dan karakteristik pasar pada komoditi tersebut serta proses pembentukan harga
yang terjadi. Sebagai salah satu sentra produksi beras, tingginya harga beras di
tingkat konsumen dan kurangnya stok beras di tingkat produsen merupakan
5
http://www.travel.kompas.com [diakses 8 Maret 2011]
8
kontradiksi yang layak untuk diketahui pada keadaan yang sebenarnya di lapang.
Permasalahan tersebut mendorong peneliti untuk mengkaji lebih jauh tentang
fungsi
masing-masing lembaga dalam setiap saluran tataniaga,
proses
pembentukan harga dalam rantai tataniaga, bagian harga yang diterima petani,
tingkat harga dari satu tingkat pasar ke tingkat pasar lainnya, serta kegiatan
penambahan nilai dan marjin yang diperoleh berbagai pelaku pasar dalam
tataniaga beras di Kabupaten Demak.
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah
sebagai berikut:
1)
Bagaimana saluran, lembaga, fungsi, struktur, dan perilaku pasar tataniaga
beras di Desa Kenduren?
2)
Bagaimana efisiensi tataniaga beras pada setiap saluran tataniaga di Desa
Kenduren melalui pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio
keuntungan dan biaya?
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1)
Mengidentifikasi saluran, lembaga, fungsi, serta menganalisis struktur dan
perilaku pasar tataniaga beras di Desa Kenduren.
2)
Menganalisis efisiensi tataniaga beras pada setiap saluran tataniaga di Desa
Kenduren dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio
keuntungan, dan biaya.
1.4.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-
pihak yang berkepentingan, yaitu:
1)
Bagi Penulis
Sebagai
sarana
dalam
meningkatkan
kemampuan
penulis
untuk
mengidentifikasi dan memecahkankan masalah yang ada serta wujud
pengaplikasian ilmu yang telah didapatkan selama kuliah melalui kegiatan
turun lapang.
9
2)
Bagi Lembaga-Lembaga Terkait
Penelitian ini dapat memberikan evaluasi dan rekomendasi mengenai sistem
tataniaga beras. Selain itu, lembaga yang terkait dapat menjadikan penelitian
ini sebagai sumber informasi terbaru terkait tataniaga beras yang ada di
Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah.
3)
Bagi Kalangan Akademisi
Sebagai salah satu sumber informasi dan referensi mengenai kajian
tataniaga beras yang dapat digunakan untuk literatur penelitian-penelitian
selanjutnya.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mencakup kajian tataniaga beras pada tingkat kabupaten.
Pengambilan data dilakukan dari tingkat petani, tengkulak, RMU, Subdrive
BULOG, grosir, ritel, dan konsumen individu. Batasan responden petani adalah
petani yang berada di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, dimana desa tersebut
memiliki produksi padi terbesar di Demak pada tahun 2011 sehingga diharapkan
mampu merepresentasikan kegiatan tataniaga beras yang terjadi di Desa
Kenduren.
Periode pengamatan yang digunakan adalah pada musim tanam padi tahun
2011. Cakupan penelitian ini adalah saluran tataniaga beras kelas medium yang
dipasarkan di tingkat kabupaten karena beras kualitas medium merupakan beras
yang sebagian besar di produksi oleh petani dan dikonsumsi masyarakat
Kabupaten Demak.
10
II
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Beras
Beras adalah produk dari proses pengolahan gabah yang merupakan hasil
utama tanaman padi. Untuk menjadi beras, gabah perlu diolah sedemikian rupa
melewati beberapa tahapan. Setelah proses panen, tanaman padi harus
dirontokkan terlebih dahulu malainya sehingga didapatkan GKP. GKP kemudian
dijemur hingga kering dan menjadi GKG. Proses berikutnya adalah melakukan
penggilingan GKG sehingga caryopsis terlepas dari pericarpus dan lapisan
aleuron-nya. Bagian caryopsis itulah yang disebut sebagai beras (Siregar 1987).
Menurut Sawit dan Lakollo (2007), beras tidak hanya merupakan
komoditas ekonomi, melainkan juga sebagai komoditas sosial politik. Hal ini
karena beras dibutuhkan oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia sehingga
berperan penting terhadap kondisi ekonomi makro, inflasi, risiko ketahanan
pangan, pengangguran, dan kemiskinan. Beras juga merupakan komoditas yang
unik, karena telah menjadi bahan pangan utama bagi negara-negara berkembang.
Menurut Dawe (1997) dan Tsuji (1998), dalam Ammang dan Sawit (2001)
karakteristik beras adalah:
1) Produksi dan konsumsi beras 90 persen dilakukan di Asia. Hal ini berbeda
dengan gandum dan jagung yang diproduksi oleh banyak negara di dunia.
2) Harga beras sangat tidak stabil dibandingkan komoditas pangan lainnya,
misalnya gandum. Selama tahun 1954 sampai 1994 harga beras mencapai
harga tertinggi 600 dolar AS per ton dan terendah 200 dolar AS/ton.
3) Sebesar 80 persen perdagangan beras dikuasai oleh enam negara yaitu;
Thailand, Amerika Serikat, Vietnam, Pakistan, China, dan India. Oleh karena
itu pasar beras internasional tidak sempurna, harga beras akan ditentukan oleh
kekuatan oligopoli tersebut.
4) Pada tahun 1998 misalnya, Indonesia mengimpor sekitar 31persen dari total
beras yang diperdagangkan di dunia.
5) Banyak negara Asia, memperlakukan beras sebagai wage goods dan political
goods. Pemerintahan di banyak negara Asia akan terganggu stabilitasnya
apabila harga beras tidak stabil/tinggi.
6) Sejak lama masyarakat Indonesia menempatkan padi dan beras sebagai
lambang
kesejahteraan.
Misalnya
masyarakat
Pulau
Jawa
yang
menggambarkan padi sebagai jelmaan dari Dewi Sri yang merupakan
perlambang kesejahteraan.
2.2.
Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai topik tataniaga yang membahas komoditi beras bukan
menjadi sebuah topik yang baru. Oleh karena itu, penyusunan skripsi ini mengacu
pada hasil penelitian-penelitian sebelumnya sebagai sumber informasi dan
referensi. Hasil penelitian terdahulu yang digunakan sebagai sumber referensi
yaitu jurnal, laporan penelitian, dan skripsi.
2.2.1. Studi Empirik Saluran Tataniaga Beras
Saluran tataniaga beras yang telah dikaji dalam penelitian terdahulu
umumnya memiliki saluran yang panjang. Panjangnya saluran tersebut disebabkan
karena banyaknya lembaga-lembaga perantara dari petani hingga konsumen akhir.
Penelitian terdahulu pada umumnya menggunakan metode tabulasi dan deskriptif
dalam mengidentifikasi lembaga dan fungsi tataniaga dalam sebuah saluran.
Untuk mengetahui pola saluran tataniaga, digunakan metode snowball dengan
petani sebagai titik awal penelitian.
Titik akhir beberapa saluran tataniaga beras berada di pasar kecamatan
atau kabupaten. Namun pada umumnya para pedagang beras dan penggilingan
beroperasi pada cakupan pasar yang lebih luas dan melintasi batas kabupaten
bahkan antar provinsi dan antar pulau. Saluran tataniaga tersebut tidak hanya
menunjukan aliran produk tetapi juga memperlihatkan bagaimana aliran modal
yang berlangsung (Supriatna 2002 dan Ellis et al. 1992). Aliran perdagangan
tersebut terjadi dikarenakan lokasi sentra produksi tidak sama dengan lokasi pusat
konsumsinya (Wiboonpongse et al. 2001).
Penelitian Nafis (2010) membahas mengenai sistem tataniaga beras
organik tersertifikasi yang terdiri dari lima saluran tataniaga. Pada salah satu
saluran teridentifikasi bahwa terdapat kebocoran pada saluran tersebut. Kebocoran
yang dimaksud di sini adalah karena adanya peran tunggal tengkulak pada saluran
12
tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa peran tengkulak dapat menyebabkan
tidak efisiennya saluran tersebut karena berpengaruh pada nilai yang diterima
petani yang cenderung bernilai kecil.
Pada penelitian Aniro (2009), penelusuran yang dilakukan terhadap
saluran pemasaran juga telah mengidentifikasikan bahwa untuk padi pandan
wangi terdapat dua saluran yaitu (1) petani  pedagang di Pasar Tani
Departemen Pertanian  konsumen dan (2) petani  Gapoktan Citra Sawargi 
CV Quasindo  retail  konsumen. Pemasaran beras varietas unggul baru
terdiri dari tiga saluran yaitu (1) petani  pedagang pengumpul  konsumen; (2)
petani  pedagang pengumpul  pedagang besar (grosir)  konsumen; dan (3)
petani  pedagang pengumpul  pedagang pengecer  konsumen.
2.2.2. Studi Empirik Lembaga dan Fungsi pada Tataniaga Beras
Lembaga pada saluran tataniaga menunjukkan pelaku pasar yang
beroperasi dalam kegiatan jual beli. Untuk mengetahui siapa saja pelaku pasar
yang terlibat dapat ditinjau dari beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait
komoditas padi. Saluran tataniaga yang panjang biasanya dicirikan dengan
benyaknya lembaga tataniaga. Dalam kegiatan jual beli tersebut setiap lembaga
melakukan fungsinya. Menurut Kohls dan Uhls (1990), fungsi tataniaga
dikelompokkan kedalam tiga fungsi utama yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik,
dan fungsi pelancar.
Melalui penelitian Gandhi (2008) dapat diketahui bahwa lembaga-lembaga
yang terlibat dalam perdagangan beras pandan wangi dari petani hingga
konsumen akhir adalah terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang besar daerah,
pedagang besar luar daerah, pasar swalayan, pedagang pengecer daerah, dan
pedagang pengecer luar daerah. Penelitian Aniro (2009) menunjukkan bahwa
terdapat tujuh lembaga tataniaga dalam sistem tataniaga beras pandan wangi yaitu
petani, tengkulak, Gapoktan Sawargi, RMU beras, pabrik beras, distributor, dan
retail. Menurut fungsinya, petani hanya melakukan fungsi pertukaran saja yaitu
dengan menjual gabah kepada pembeli. Sedangkan tengkulak, Gapoktan Sawargi,
RMU beras, dan pabrik beras selain melakukan fungsi pertukaran dan fungsi fisik
(pengeringan, penggilingan/pengolahan, dan transportasi), juga melakukan fungsi
13
pelancar yaitu permodalan, penanggungan risiko, dan informasi. Untuk distributor
dan retail juga melakukan ketiga fungsi tersebut kecuali fungsi pengeringan dan
penggilingan.
Kategorisasi ditemukan pada penelitian Ellis et al. (1992) yang membagi
lembaga tataniaga berdasarkan fungsinya menjadi pedagang gabah-gabah,
pedagang gabah-beras, penggilingan, dan pedagang beras-beras. Namun
kategorisasi tersebut perlu memperhatikan fleksibilitas pada masing-masing
lembaga tataniaga yang memiliki kemampuan melewati batasan kategori dimana
lembaga tataniaga mungkin dapat melakukan fungsi penjualan beras dan gabah
dalam waktu bersamaan. Suatu lembaga tataniaga juga mungkin berganti fungsi
dari satu musim ke musim lainnya. Proses pengkategorian lembaga tataniaga juga
menggunakan pendekatan fungsi yang dijalankan dan atau skala usaha. Lembaga
tataniaga yang umumnya terlibat dapat dikategorikan menjadi petani, pedagang
pengumpul, kelompok tani, pengumpul luar daerah, pedagang grosir, pedagang
ritel
(Zalukhu
2009,
Murdani
2008,
dan
Mardianto
et
al.
2005),
komisioner/broker, dan eksportir (Wiboonpongse et al. 2001).
2.2.3. Studi Empirik Struktur dan Perilaku Pasar Beras
Efisiensi pasar pada sebuah saluran tataniaga dapat dilihat dari kondisi
struktur dan perilaku pasar. Dalam melihat efisiensi kondisi sebuah pasar
dilakukan melalui identifikasi komponen biaya tataniaga, marjin tataniaga, rasio
keuntungan dan biaya, serta farmer’s share yang diperoleh petani.
Secara umum struktur pasar beras merupakan suatu pasar yang termasuk
dalam pasar persaingan tidak sempurna yang cenderung pada pasar oligopoli. Hal
ini diindikasikan dengan rendahnya hambatan keluar masuk pasar, konsentrasi
petani yang lebih banyak dari pedagang beras, tidak adanya diferensiasi dalam
kualitas produk, dan informasi pasar yang mudah diperoleh semua lembaga
tataniaga (Ministry of Agriculture and Rural Development of Vietnam 1999,
Rusastra et al. 2001, dan Bank Indonesia 2009).
Perilaku pasar beras merupakan sikap lembaga tataniaga dalam mengambil
keputusan. Perilaku pasar beras di tingkat petani merupakan turunan akumulatif
dari perilaku pasar di atasnya. Perilaku pasar beras dianalisis dengan melihat
14
bagaimana mekanisme pembentukan harga di setiap lembaga. Untuk mengetahui
bagaimana mekanisme pembentukan harga maka analisis dilakukan melalui
pendekatan lokasi penjualan, pembeli dominan, cara pembayaran, dan ikatan
dengan pembelinya (Rusastra et al. 2001).
Lokasi penjualan di tingkat petani umumnya dilakukan di sawah atau
bukan di sawah. Sekitar 80 persen petani di Indonesia menjual hasil panennya di
sawah. Petani yang menjual hasil panennya di sawah pada umumnya menjual
dengan sistem tebasan. Hal ini tidak menunjukan lemahnya data tawar petani
tetapi karena petani melihat adanya kelebihan dari sistem tebasan dan
menguntungkan pada kedua belah pihak (Rusastra et al. 2001). Namun pernyataan
ini perlu dikaji kembali karena sistem tebas di sisi lain dapat merugikan petani.
Petani secara umum adalah petani kecil yang memiliki akses permodalan lemah
sehingga terkadang sistem panen tebas merupakan jalan pintas untuk segera
mendapatkan uang.
Pembeli hasil panen yang dominan di tingkat petani adalah pedagang
pengumpul meskipun pada dasarnya petani telah memiliki banyak pilihan dalam
menjual hasil panennya (Rusastra et al. 2001 dan Sutawi 2009). Hasil penelitian
yang berbeda ditemukan di daerah Karawang dimana petani lebih dominan
menjual langsung hasil panennya kepada pedagang/penggilingan (Sidik dan
Purnomo 1991, dalam Mardianto 2005).
Sistem pembayaran yang biasanya ditemui dalam praktik tataniaga beras
yaitu sistem pembayaran tunai dan sistem tunda bayar. Rusastra et al. (2001)
menyatakan bahwa 73,3 persen petani menerima pembayaran secara tunai.
Sedangkan sisanya sebanyak 26,7 persen menerima pembayaran sekitar satu
hingga dua minggu setelah penjualan hasil panen. Mekanisme tunda bayar ini
terkait dengan adanya ikatan antara petani dan pedagang berupa ikatan langganan,
ikatan kekeluargaan, dan ikatan modal.
Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, ada beberapa hal yang
dapat disimpulkan dalam konsep struktur dan perilaku pasar pada lembaga yang
terlibat dalam tataniaga beras. Secara umum petani menghadapi pasar persaingan
tidak sempurna dan cenderung bersifat oligopoli. Petani yang menjual hasil
panennya melalui sistem tebas karena ada pengaruh dari peran tengkulak atau
15
pedagang pengumpul yang dominan. Hal ini dapat dikaitkan dengan keinginan
petani dalam mendapatkan uang dalam waktu yang cepat dan ikatan dengan
tengkulak tersebut. Sistem pembayaran yang berlaku pada umumnya adalah tunai
dan tunda bayar.
2.2.4. Studi Empirik Biaya dan Marjin Tataniaga Beras
Biaya tataniaga merupakan komponen yang tidak dapat dihindarkan dalam
proses penyampaian produk dari petani hingga ke konsumen. Besarnya biaya yang
ditanggung oleh lembaga tataniaga berbeda-beda. Hal ini berkaitan dengan fungsifungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga tersebut. Biaya tataniaga
tersebut termasuk biaya transportasi, biaya buruh angkut, biaya pengeringan,
biaya pengemasan, biaya overhead, biaya penggilingan, dan biaya bunga (Ellis
etial. 1992, Wiboonpongse et al. 2001, dan Sutawi 2009). Pada umumnya biaya
pengolahan dan transportasi merupakan komponen biaya yang memiliki proporsi
terbesar terhadap biaya total (Sutawi 2009).
Marjin tataniaga merupakan selisih antara harga jual dengan harga beli
yang dikeluarkan. Marjin tataniaga dihitung dengan data harga pembelian dan
penjualan terakhir responden. Hidayat (2010) melakukan analisis pendapatan
usahatani dan tataniaga padi organik di Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah
Sareal, Kota Bogor. Saluran tataniaga padi organik yang dapat dikatakan paling
efisien adalah saluran tataniaga III karena memiliki total margin tataniaga yang
terkecil. Hal ini sesuai dengan Dahl dan Hammond (1977) yang menyatakan
bahwa marjin tataniaga menggambarkan perbedaan harga di tingkat konsumen
dengan harga di tingkat produsen. Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsifungsi tataniaga yang berbeda sehingga menyebabkan perbedaan harga jual dari
lembaga satu dengan yang lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir. Semakin
banyak lembaga tataniaga yang terlibat, semakin besar perbedaan harga antar
produsen dengan harga di tingkat konsumen sehingga tingkat marjin yang kecil
mengindikasikan bahwa tidak terdapat gap harga yang ekstrim yang membuat
sebuah saluran tidak efisien.
Penggilingan merupakan lembaga tataniaga yang mendapatkan marjin
terbesar dalam tataniaga beras di Indonesia. Hal ini terkait fungsi pengolahan
16
gabah menjadi beras yang dilakukan oleh penggilingan (Ellis et al. 1992). Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian tataniaga beras yang dilakukan Wiboonpongse et al.
(2001) di Thailand.
2.2.5. Studi Empirik Farmer’s Share
Dalam penelitian Nafis (2010) saluran tataniaga padi organik tersertifikasi
di Kabupaten Tasikmalaya dapat dikatakan paling efisien adalah saluran tataniaga
IV karena memiliki total marjin tataniaga terkecil dan nilai farmer’share terbesar
yaitu 95 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa biasanya saluran dengan jumlah
lembaga terkecil akan memiki nilai farmer’s share besar. Namun saluran ini
bukanlah saluran tataniaga yang potensial untuk dikembangkan untuk saat ini
karena hanya ada satu lembaga tataniaga yang ada pada saluran ini yaitu
Gapoktan Simpatik. Oleh karena itu peneliti tidak dapat secara langsung
menentukan sebuah saluran yang efisien hanya berdasarkan pada farmer’s share
saja, akan tetapi perlu melihat aspek lain seperti persebaran rasio keuntungan dan
biaya, dan analisis marjin.
2.2.6. Rasio Keuntungan dan Biaya
Nafis (2010) menganalisis bahwa meskipun total marjin tataniaga dan
farmer’s share terkecil, namun rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga pada
saluran I lebih merata di setiap lembaga tataniaga. Selain itu saluran I merupakan
saluran dengan volume beras organik terbesar yaitu 70 persen dari beras yang
dihasilkan oleh Gapoktan Simpatik. Sehingga saluran I merupakan saluran yang
perlu dikembangkan.
Pada penelitian Hidayat (2010) juga menunjukkan bahwa meskipun rasio
keuntungan terhadap biaya tataniaga pada saluran III bukan merupakan rasio
terbesar tetapi penyebaran rasio pada setiap lembaga tataniaga lebih merata
dibandingkan dengan saluran tataniaga lainnya. Disamping itu, saluran tataniaga
III paling banyak digunakan oleh petani sehingga volume penditribusian padi
organik paling banyak dilakukan melalui saluran III.
Dilihat dari rasio keuntungan terhadap biaya pedagang pengumpul
merupakan lembaga yang memiliki rasio terbesar. Meskipun marjin tataniaga
17
kecil tapi rasio keuntungan dan biaya yang diperoleh setiap lembaga relatif besar,
di atas suku bunga di pasar modal. Rasio keuntungan dan biaya pedagang
pengumpul yaitu 10,9 persen, penggilingan 10,9 persen, pedagang grosir 51,2
persen, dan pedagang ritel 98,4 persen. Sehingga tataniaga beras dinilai cukup
efisien, dikarenakan farmer’s share yang diterima petani cukup tinggi antara 80
persen hingga 85 persen (Rusastra et al. 2001). Besarnya rasio keuntungan dan
biaya yang merata pada setiap lembaga menunjukkan tingkat efisiensi sebuah
saluran. Karena semakin meratanya rasio keuntungan dan biaya berarti
mengindikasikan bagian keuntungan yang merata bagi setiap lembaga.
18
III
3.1.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini didasari oleh teori-teori
mengenai konsep sistem tataniaga; konsep fungsi tataniaga; konsep saluran dan
lembaga tataniaga; konsep struktur, perilaku, dan keragaan tataniaga; konsep
efisiensi tataniaga; konsep biaya dan marjin tataniaga; konsep farmer’s share; dan
konsep rasio keuntungan dan biaya.
3.1.1. Konsep Tataniaga
Kotler (2006) mendefinisikan bahwa pemasaran sebagai proses sosial
dimana individu-individu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka
inginkan melalui penciptaan, penawaran, dan pertukaran produk-produk yang
bernilai. Pengertian tataniaga juga diturunkan dari definisi tataniaga di atas yang
diterapkan pada sistem tataniaga produk-produk pertanian.
Definisi tataniaga menurut Limbong dan Sitorus (1987) adalah segala
kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik
dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari produsen
ke tangan konsumen, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang
manghasilkan perubahan bentuk dari barang yang dimaksud untuk lebih
memudahkan penyalurannya dan memberikan kepuasan lainnya kepada
konsumennya. Dikaji dari segi ekonomi, tataniaga merupakan kegiatan yang
produktif karena memberikan kegunaan benda, waktu, tempat, dan hak milik.
3.1.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga
Menurut Limbong dan Sitorus (1987), lembaga tataniaga merupakan
badan-badan atau lembaga yang berusaha dalam bidang tataniaga, menggerakkan
barang dari produsen ke konsumen melalui penjualan. Lembaga tataniaga pada
dasarnya harus berfungsi dalam memberikan pelayanan kepada pembeli maupun
komoditas itu sendiri. Produsen mempunyai peran utama dalam menghasilkan
barang-barang dan sering melakukan kegiatan tataniaga. Sementara itu pedagang
19
menyalurkan komoditas dalam waktu, bentuk, dan tempat yang diinginkan
konsumen.
Adanya jarak antara produsen dan konsumen menyebabkan penyaluran
produk dari produsen ke konsumen sering melibatkan beberapa lembaga
perantara, dimulai dari produsen itu sendiri, lalu lembaga-lembaga perantara
sampai ke konsumen akhir. Di dalam proses penyaluran selalu mengikutsertakan
keterlibatan berbagai pihak. Keterlibatan tersebut dapat dalam bentuk perorangan
maupun kelembagaan, perserikatan, atau perseroan (Limbong & Sitorus 1987).
Lembaga-lembaga tersebut akan melakukan fungsi-fungsi tataniaga seperti
fungsi pertukaran, fisik, maupun fasilitas. Lembaga ini melakukan pengangkutan
barang dari tingkat produsen ke konsumen, juga fungsi sebagai sumber informasi
mengenai barang atau jasa. Limbong dan Sitorus (1987) menjelaskan bahwa
fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh lembaga perantara di dalam sistem
tataniaga. Saluran tataniaga atau saluran distribusi adalah saluran yang digunakan
produsen dan lembaga tataniaga lainnya untuk menyalurkan produknya dari
produsen sampai konsumen. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan
untuk memilih pola saluran tataniaga (Limbong & Sitorus 1987), yaitu:
1)
Pertimbangan pasar yang meluputi konsumen sasaran akhir yang mencakup
potensi pembeli, geografi pasar, kebiasaan pembeli, dan volume pesanan.
2)
Pertimbangan barang yang meliputi nilai barang per unit, besar, dan berat
barang, tingkat kerusakan, sifat teknis barang, apakah barang tersebut untuk
memenuhi pesanan atau pasar.
3)
Pertimbangan internal yang meliputi besarnya modal dan sumber
permodalan, pengalaman manajemen, pengawasan, penyaluran, dan
pelayanan.
4)
Pertimbangan terhadap lembaga dalam rantai tataniaga yang meliputi segi
kemampuan lembaga perantara dan kesesuaian lembaga perantara dengan
kebijaksanaan perusahaan.
Lembaga pemasaran atau lembaga tataniaga merupakan lembaga perantara
yang melakukan aktivitas bisnis dalam suatu sistem pemasaran. Menurut Khols
dan Uhls (1990), lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pemasaran
digolongkan menjadi lima kelompok diantaranya:
20
1)
Merchant Middlemen adalah perantara atau pihak-pihak yang mempunyai hak
atas suatu produk yang mereka tangani. Mereka menjual dan membeli produk
tersebut untuk memperoleh keuntungan.
2)
Agent Middlemen adalah perwakilan dari suatu lembaga atau institusi.
Mereka hanya sebagai perwakilan dan tidak mengambil alih apapun dan tidak
memiliki hak atas produk yang mereka tangani.
3)
Speculative Middlemen adalah pihak-pihak atau perantara yang mengambil
keuntungan dari suatu produk akibat perubahan harga.
4)
Processors and Manufactures adalah lembaga yang bertugas untuk mengubah
produk yang dihasilkan menjadi barang jadi.
5)
Fasilitative organizations adalah lembaga yang berfungsi sebagai penyedia
sarana bagi lembaga lain.
Khols dan Uhls (1990), menjelaskan bahwa lembaga tataniaga adalah
badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana
barang bergerak dari produsen sampai ke konsumen akhir. Lembaga tataniaga ini
bisa termasuk golongan produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa.
Limbong dan Sitorus (1987), menjelaskan lembaga pemasaran yang
merupakan suatu badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan
tataniaga atau pemasaran yang menurut fungsinya dapat dibedakan atas:
1)
Lembaga fisik tataniaga yaitu lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi
fisik, misalnya badan pengakut/transportasi.
2)
Lembaga perantara tataniaga ialah suatu lembaga yang khusus mengadakan
funsi pertukaran.
3)
Lembaga fasilitas tataniaga ialah lembaga-lembaga yang melaksankan fungsifungsi fasilitas seperti Bank Desa, Kredit, dan KUD.
Lembaga-lembaga pemasaran menurut penguasaan terhadap barang dan
jasa terdiri dari:
1)
Lembaga yang tidak memiliki tetapi menguasai barang, misalnya: agen,
perantara, dan broker.
2)
Lembaga pemasaran yang memiliki dan menguasai barang. Contohnya
pedagang pengumpul, pedagang pengecer, grosir, eksportir, dan importir.
21
Umumnya lembaga pemasaran komoditi pertanian terdiri dari petani,
pedagang pengumpul di tingkat lokal, pedagang antar daerah, pedagang besar,
pengecer, dan agen-agen penunjang. Agen penunjang seperti perusahaan
pengankutan, perusahaan penyimpanan, pengolahan biro-biro periklanan, lembaga
keuangan dan lain sebagainya. Lembaga ini penting dalam proses penyampaian
komoditi pertanian yang bersifat musiman, volume produk besar dengan nilai
yang kecil (bulky), dan tidak tahan disimpan lama. Sehingga pelaku pemasaran
harus memasok barang dengan jumlah yang cukup untuk mencapai jumlah yang
dibutuhkan konsumen dan teredia secara kontiniu. Semakin efisien sistem
tataniaga hasil pertanian, semakin sederhana pula jumlah rantai pemasarannya.
Produsen adalah golongan yang menghasilkan produk, di samping sebagai
pelaku penjualan yang merupakan salah satu dari fungsi pemasaran. Salah satu
dari bagian dari fungsi pemasaran adalah pedagang perantara yang merupakan
badan-badan yang berusaha dalam bidang pemasaran, mengatur fasilitas yang
menggerakkan barang dari produsen sampai ke konsumen. Mereka yang memberi
jasa dan fasilitas yang memperlancar fungsi pemasaran yang dilakukan produsen
atau pedagang perantara adalah pihak bank, usaha pengangkutan dan sebagainya
yang dikategorikan dalam lembaga pemberi jasa.
Dengan mengetahui saluran pemasaran suatu komoditas maka dapat
diketahui jalur mana yang lebih efisien dari semua kemungkinan jalur-jalur dapat
ditempuh, serta dapat mempermudah mencari besarnya marjin yang diterima
setiap lembaga yang terlibat.
Menurut Kohls dan Uhls (1990), fungsi tataniaga dikelompokkan menjadi
tiga fungsi utama yaitu:
1.
Fungsi Pertukaran, meliputi :
a)
Fungsi Pembelian
Sebagian besar adalah pencarian sumber persediaan bahan baku,
perakitan produk serta segala aktifitas yang berhubungan dengan
pembelian.
b)
Fungsi Penjualan Produk
Segala sesuatu yang berhubungan dengan penjualan termasuk
pengiklanan dan penciptaan tehadap permintaan produk.
22
2.
Fungsi Fisik, meliputi :
a)
Fungsi Penyimpanan
Fokus utama pada membuat kondisi barang tetap baik sampai waktu
yang diinginkan.
b)
Fungsi Pengangkutan
Fokus utama pada menjadikan barang berada pada tempat yang tepat.
c)
Fungsi Pengolahan Produk
Segala sesuatu yang berhubungan pada aktifitas manufaktur yang
merubah bahan mentah menjadi produk yang diinginkan.
d)
Fungsi Fasilitas
Berperan dalam memudahkan terjadinya fungsi pertukaran dan fungsi
fisik.
e)
Fungsi Standardisasi
Keseragaman ukuran dalam penentuan dan perawatan produk. Ukuran
termasuk dalam kuantitas maupun kualitas.
3.
Fungsi Pelancar, meliputi :
a)
Fungsi Permodalan
Melibatkan penggunaan uang untuk melakukan berbagai aspek dalam
tataniaga.
b)
Fungsi Penanggungan Risiko
Penerimaan kemungkinan kerugian dalam pemasaran produk.
c)
Fungsi informasi pasar.
Pekerjaan dalam mengkumpulkan, menginterpretasikan, dan memilah
variasi data penting dalam pelaksanaan proses pemasaran.
3.1.3. Konsep Efisiensi Tataniaga
Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui dua cara, yaitu efisiensi harga dan
efisiensi operasional. Menurut Dahl dan Hammond (1977), efisiensi operasional
menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar
tataniaga, yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan dan pengolahan,
distribusi dan aktivitas fisik, serta fasilitas. Pendekatan efisiensi harga adalah
melalui analisis tingkat keterpaduan pasar, sedangkan pendekatan efisiensi
23
operasional melalui marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio biaya dan
keuntungan tataniaga.
Efisiensi sistem tataniaga merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai
dalam suatu sistem pemasaran. Efisiensi pemasaran/tataniaga dapat tercapai jika
sistem tersebut dapat memberikan kupuasan pihak-pihak yang terlibat yaitu
produsen, konsumen akhir dan lembaga-lembaga pemasaran. Sistem tataniaga
yang efisien akan tercipta apabila seluruh lembaga tataniaga yang terlibat dalam
kegiatan memperoleh kepuasan dengan aktivitas tataniaga tersebut (Limbong &
Sitorus 1987). Penurunan biaya input dari pelaksanaan pekerjaan tertentu tanpa
mengurangi kepuasan konsumen akan output barang dan jasa, menunjukkan
efisiensi. Setiap fungsi kegiatan tataniaga memerlukan biaya yang selanjutnya
diperhitungkan ke dalam harga produk. Lembaga tataniaga menaikkan harga
persatuan kepada konsumen atau menekan harga pada tingkat produsen. Sehingga
efisiensi tataniaga perlu dilakukan melalui penurunan biaya tataniaga.
3.1.3.1.
Konsep Margin Tataniaga
Menurut Limbong dan Sitorus (1987), marjin tataniaga dapat didefenisikan
sebagai perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima
oleh produsen. Marjin tataniaga dapat juga diartikan sebagai nilai dari jasa-jasa
pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen hingga ke tingkat
konsumen akhir.
Marjin tataniga merupakan perbedaan harga atau selisih harga yang
dibayarkan konsumen akhir dengan harga yang diterima petani produsen. Dapat
dikatakan juga sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga mulai
dari tingakt produsen hingga tingkat konsumen akhir yang dilakukan oleh
lembaga-lemabga tataniaga. Margin tataniaga sebagai bagian dari harga konsumen
yang tersebar pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat (Kohls and Uhls
1990).
Kohls and Uhls (1990), menyatakan bahwa marjin tataniaga sering
dipergunakan sebagai perbedaan antara harga di berbagai tingkat lembaga
pemasaran di dalam sistem pemasaran. Pengertian marjin pemasaran ini sering
dipergunakan untuk
menjelaskan fenomena
yang menjembatani
adanya
24
kesenjangan (gap) antara pasar di tingkat petani dengan pasar di tingkat pengecer.
Dua alternatif dari marjin pemasaran, yaitu:
1.
Perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima
produsen
2.
Merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasarn sebagai akibat adanya
permintaan dan penawaran jasa-jasa tersebut.
Secara teoritis hal tersebut dapat digambarkan pada Gambar 2.
Perpotongan antara kuva permintaan tingkat petani (Df) dengan kurva penawaran
tingkat petani (Sf) membentuk suatu titik yang merupakan harga pada tingkat
petani, yaitu harga pada tingkat Pf. Hal ini berarti bahwa harga tersebut (Pf)
merupakan harga riil yang diterima oleh petani untuk pembayaran hasil panen
usahataninya. Perpotongan antara kurva permintaan tingkat pengecer (Dr) dengan
kurva penawaran tingkat pengecer (Sr) membentuk suatu titik yang merupakan
harga pada tingkat pengecer, yaitu harga pada tingkat Pr. Sehingga, harga yang
terbentuk (Pr) merupakan harga riil yang harus dibayarkan oleh konsumen akhir
untuk memperoleh produk tersebut.
Sr
Sf
Pr
Pf
Dr
Df
Q
Gambar 2. Kurva Margin Tataniaga
Sumber: Kohls dan Uhls (1990)
25
Keterangan :
Q
= jumlah barang
(Pr – Pf)
Pr
= harga tingkat eceran
(Pr – Pf)Q
Pf
= harga tingkat petani
Sr
= kurva penawaran tingkat pasar eceran
Sf
= kurva penawaran tingkat petani
Dr
= kurva permintaan tingkat pasar eceran
Df
= kurva permintaan tingkat petani
= margin tataniaga
= nilai margin tataniaga
Selisih antara tingkat harga yang diterima oleh petani (Pf) dengan harga
yang harus dibayarkan konsumen akhir (Pr) adalah margin tataniaga. Margin
tataniaga yang terbentuk ini adalah cakupan total dari keuntungan yang diterima
oleh seluruh lembaga tataniaga dan biaya pemasaran yang harus dikeluarkan
dalam melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga. Biaya pemasaran yang terbentuk
merupakan sebuah biaya yang dikeluarkan dalam usaha-usaha untuk memberikan
nilai tambah pada produk yang diperdagangkan, maupun biaya transportasi yang
harus dikeluarkan untuk memberikan kegunaan tempat kepada produk yang
diperdagangkan.
3.1.3.2. Konsep Farmer’s Share pada Tataniaga
Bagian yang diterima petani (farmer’s share) merupakan perbandingan
harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar konsumen. Bagian yang
diterima lembaga pemasaran ini dinyatakan dalam persentase (Limbong & Sitorus
1987). Farmer’s share didapatkan dari hasil bagi antara harga di tingkat petani
dan adalah harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Besarnya farmer’s share
biasanya dipengaruhi oleh: (1) tingkat pemprosesan, (2) biaya transportasi, (3)
keawetan, dan (4) jumlah produk.
Farmer’s share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur
kinerja suatu sistem tataniaga, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak
menunjukkan bahwa pemasaran berjalan dengan efisien. Hal ini berkaitan dengan
besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (value added) yang
dilakukan lembaga perantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan
konsumen. Faktor yang penting diperhatikan adalah bukan besar kecilnya share,
26
melainkan total penerimaan yang didapat oleh produsen dari hasil penjualan
produknya.
Farmer’s Share merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk
menentukan efisiensi tataniaga yang dilihat dari sisi pendapatan petani. Kohls dan
Uhls (1990) mendefinisikan farmer’s share sebagai persentase harga yang
diterima oleh petani sebagai bagian dari kegiatan usahatani yang dilakukannya
dalam menghasilkan suatu komoditas. Nilai farmer’s share ditentukan oleh
besarnya rasio harga yang diterima produsen dan harga yang dibayarkan
konsumen.
Saluran tataniaga yang tidak efisien secara kuantitatif akan relatif
memberikan marjin dan biaya tataniaga yang lebih besar. Biaya tataniaga ini
biasanya dibebankan kepada petani melalui harga beli sehingga harga yang
diterima petani lebih rendah. Biaya tataniaga yang tinggi menyebabkan besarnya
perbedaan harga di tingkat petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen
sehingga akan menurunkan nilai farmer’s share. Sebaliknya pada saluran
tataniaga yang efektif dan efisien, marjin tataniaga dan biaya tataniaga menjadi
lebih rendah sehingga perbedaan harga petani dengan konsumen lebih kecil dan
nilai farmer’s share akan meningkat.
3.1.3.3.
Konsep Rasio Keuntungan dan Biaya
Tingkat efisiensi suatu sistem pemasaran dapat dilihat dari penyebaran
rasio keuntungan dan biaya. Persebaran rasio keuntungan dan biaya yang merata
dan rendahnya marjin pemasaran terhadap biaya pemasaran menunjukkan bahwa
secara teknis sistem pemasaran tersebut semakin efisien.
3.1.4. Konsep Struktur Pasar
Dalam melakukan analisis tataniaga maka analisis sturktur pasar menjadi
salah satu elemen yang paling penting untuk diamati. Ada tiga hal yang perlu
diketahui agar produsen dan konsumen dapat melakukan sistem tataniaga yang
efisien, yaitu: (1) konsentrasi pasar dan jumlah produsen, (2) sistem keluar masuk
barang yang terjadi di pasar, dan (3) diferensiasi produk (Limbong & Sitorus
1987).
27
Menurut Dahl dan Hammond (1977), struktur pasar menggambarkan fisik
dari industri atau pasar. Terdapat empat faktor penentu dari karakteristik struktur
pasar, yaitu (1) jumlah atau ukuran perusahaan atau usahatani di dalam pasar, (2)
kondisi atau keadaan produk yang diperjualbelikan, (3) pengetahuan informasi
pasar, dan (4) hambatan keluar masuk pasar bagi pelaku tataniaga, misalnya
biaya, harga, dan kondisi pasar antara partisipan.
Pasar tidak bersaing sempurna dapat dilihat dari dua sisi yaitu produsen
dan konsumen. Dilihat dari sisi produsen terdiri atas pasar persaingan
monopolistik, monopoli, duopoli, dan oligopoli, sedangkan dari sisi pembeli
(konsumen) terdiri atas pasar persaingan monopolistik, monopsoni, dan
oligopsoni (Dahl & Hammond 1977). Karakteristik masing-masing struktur pasar
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik dan Struktur Pasar
Karakteristik
No Jumlah Jumlah
Pembeli Penjual
Sifat
Produk
Struktur Pasar
Pengetahuan
Informasi
Pasar
Hambatan
Keluar
Masuk
Pasar
1
Banyak
Banyak Homogen
Sedikit
Rendah
2
Banyak
Banyak Diferensiasi
Sedikit
Tinggi
3
Sedikit
Sedikit Homogen
Banyak
Tinggi
4
Sedikit
Sedikit Diferensiasi
Banyak
Tinggi
5
Satu
Satu
Unik
Sumber: Dahl dan Hammond (1977)
Banyak
Tinggi
Sisi Pembeli
Sisi
Penjual
Persaingan
Persaingan
murni
murni
Persaingan
Persaingan
monopolistik monopolistik
Oligopsoni
Oligopoli
murni
murni
Oligopsoni
Oligopoli
diferensiasi
diferensiasi
Monopsoni
Monopoli
3.1.5. Konsep Perilaku Pasar
Dahl dan Hammond (1977) menyatakan bahwa perilaku pasar sebagai
suatu pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan
dengan struktur pasar dimana lembaga-lembaga tersebut melakukan kegiatan
penjualan dan pembelian serta menentukan bentuk-bentuk keputusan yang harus
diambil dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Perilaku pasar adalah strategi
produksi dan konsumsi dari lembaga tataniaga dalam struktur pasar tertentu yang
28
meliputi kegiatan pembelian, penjualan, penentuan harga serta kerjasama antar
lembaga tataniaga. Para pelaku tataniaga perlu mengetahui perilaku pasar
sehingga
mampu
merencanakan
kegiatan
tataniaga
secara
efisien
dan
terkoordinasi. Selanjutnya akan tercipta kinerja keuangan yang memadai di sektor
pertanian dan berbagai sektor komersial lainnya.
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional
Kabupaten Demak sebagai salah satu daerah yang menjadi sentra produksi
beras di Provinsi Jawa Tengah memiliki peran penting dalam rangka menjaga
stabilitas persediaan beras nasional. Penghargaan Nasional tentang ketahanan
pangan yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia atas keberhasilan
Kabupaten Demak dalam meningkatkan produksi padi pada tahun 2007-2009
merupakan salah satu bukti bahwa Kabupaten Demak masih menjadi daerah yang
perlu mendapatkan perhatian khusus terkait komoditi pangan, khususnya beras.
Namun pada bulan Februari 2011, terjadi sebuah kekhawatiran pada
masyarakat Demak yang disebabkan oleh tingginya harga beras. Masyarakat
berada dalam keadaan yang kurang diuntungkan karena kondisi ini, terutama
masyarakat golongan bawah. Kondisi tersebut membuat warga kesulitan membeli
beras dikarenakan stok beras di petani maupun RMU padi sudah sangat menipis.
Bahkan raskin yang banyak dicari masyarakat miskin juga sulit didapatkan karena
stoknya sangat terbatas. BULOG sebagai lembaga yang menjaga stabilitas harga
beras di pasar, seharusnya mampu berperan dalam keadaan tersebut. Namun jika
dilihat pada keadaan di lapang, maka BULOG seakan belum menjalankan
fungsinya untuk memperkuat ketahanan pangan terutama pada rumah tangga
miskin.
Permasalahan berikutnya adalah rendahnya harga GKP di Kabupaten
Demak sepanjang bulan Februari 2011 yang lalu. Penurunan terjadi baik di tingkat
petani maupun RMU yaitu pada kisaran 17-20 persen. Survei harga produsen
gabah yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah ini mencatat
bahwa harga GKP terendah terdapat di Kabupaten Demak pada harga Rp 2.000,00
per kilogram dan Rp 2.020,00 per kilogram untuk harga GKG.
29
Sebagai kabupaten yang memiliki produksi padi yang tinggi, terdapat
banyak pihak-pihak yang berkepentingan pada perdagangan komoditi tersebut.
Pihak-pihak tersebut yang disebut sebagai lembaga-lembaga tataniaga yang
memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Hal yang perlu dikaji kemudian
adalah apa yang menjadi penyebab adanya kesenjagan harga yang jauh antara
petani dan konsumen; terbatasnya stok beras; dan permasalahan pemasaran
lainnya karena salah satu indikator tercapainya kondisi ketahanan pangan ialah
terciptanya aksesibilitas masyarakat terhadap beras yang mencakup aspek
ketersediaan, aspek distribusi dan harga yang terjangkau.
Untuk mengetahui permasalahan tersebut maka perlu dilakukan analisis
tataniaga pada perdagangan beras yang ada. Analisis yang dilakukan terdiri
identifikasi tentang lembaga dan saluran tataniaga beras, marjin tataniaga,
farmer’s share, dan struktur pasar pada setiap rantai tataniaga. Dengan penelitian
ini diharapkan akan diketahui seperti apa tataniaga beras di Desa Kenduren.
30


Beras menjadi bahan pangan utama penduduk Indonesia
Pertumbuhan penduduk meningkatkan permintaan akan beras

Permintaan yang tinggi menimbulkan peluang untuk peningkatan
ekonomi petani dan pihak yang terlibat dalam industri beras.

Peningkatan produksi padi dari tahun 2007-2009 di Kabupaten Demak.

Kabupaten Demak sebagai salah satu daerah penyangga ketahanan
pangan nasional.
 Adanya gap harga yang besar di tingkat produsen dan konsumen beras di
Kabupaten Demak
 Permasalahan dalam ketersediaan beras di Kabupaten Demak
 Fungsi BULOG yang belum optimal
 Demak
ANALISIS TATANIAGA BERAS DI DESA KENDUREN
Analisis Kualitatif


Analisis saluran tataniaga
Analisis lembaga dan fungsi

tataniaga yang dilakukan
Analisis struktur pasar

Analisis perilaku pasar
Analisis Kuantitatif

Analisis efisiensi tataniaga
ï‚· Analisis marjin tataniaga
ï‚· Analisis farmer’s share
tataniaga
ï‚· Analisis rasio keuntungan
dan biaya
Gambaran tataniaga komoditi beras di Desa Kenduren
Rekomendasi solusi kepada petani dan lembaga yang terlibat dalam sistem
tataniaga beras di Desa Kenduren
Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional
31
IV
4.1.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung,
Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan tempat dilakukan secara
sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa Kecamatan Wedung
merupakan kecamatan dengan produksi padi terbesar di Kabupaten Demak pada
tahun 2009. Tujuan dipilihnya Desa Kenduren adalah diharapkan akan ditemukan
dinamika aktivitas tataniaga beras yang mampu merepresentasikan keadaan secara
umum di Kabupaten Demak. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan
Maret hingga April tahun 2011.
4.2.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data hasil wawancara dan observasi. Sedangkan
data sekunder bersumber dari studi literatur buku-buku yang relevan dan hasil
penelitian, artikel yang terkait dengan topik penelitian, data dan informasi dari
Badan
Pusat
Statistik
Indonesia,
Kementerian
Pertanian,
Kementerian
Perdagangan, United State Departement of Agriculture (USDA), Dinas Pertanian
dan Tanaman Pangan, Badan Penyuluh Pertanian, Perpustakaan IPB, dan lainlain.
Pengambilan responden dalam penelitian ini dilakukan pada tiga tahap.
Tahap pertama terdiri atas petani sebanyak 30 responden. Sedangkan, responden
untuk analisis pemasaran ditentukan dengan metode snowball sampling dengan
mengikuti alur tataniaga mulai dari petani padi sampai ke tingkat konsumen. Dari
tingkat produsen atau petani akan diketahui kemana aliran produk dan lembagalembaga apa saja yang terlibat dalam pemasaran produk sampai ke konsumen.
Metode ini digunakan berdasarkan kepada informasi dari responden sebelumnya
sehingga responden yang terpilih di saluran pemasaran akan disesuaikan dengan
pola pemasaran yang terjadi di lokasi penelitian.
Responden pemasaran terdiri atas pedagang pengumpul sebanyak lima
responden, penggilingan sebanyak tiga responden, satu Subdivre BULOG, dua
responden sebagai distributor dan lima retail. Tingkat ketiga terdiri atas konsumen
individu sebanyak 30 orang yang berada wilayah kota. Pemilihan responden
petani dilakukan dengan metode snowball sampling dan jumlah sebanyak 30
sampel berdasarkan kaidah uji statistika yang mensyaratkan jumlah sampel
minimum agar data menyebar normal.
4.3.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan selama bulan Maret hingga April tahun 2011.
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode observasi
langsung, wawancara, kuesioner, internet, penggunaan literatur dari jurnal,
skripsi, buku, dan lain sebagainya.
Penentuan responden petani padi dilakukan secara purposive sampling
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Sedangkan pengumpulan informasi
tataniaga beras menggunakan teknik snowball sampling dari petani padi hingga
konsumen akhir dengan tujuan tidak akan ada saluran tataniaga yang terputus.
Observasi merupakan pengamatan langsung di lapangan untuk mengamati,
memahami, dan menganalisis kondisi petani, tengkulak, RMU, subdrive BULOG,
grosir, ritel, dan konsumen individu. Wawancara yang dilakukan berdasarkan
pertanyaan-pertanyaan yang ada di kuesioner. Browsing data sekunder dilakukan
pada situs-situs di internet yang berkaitan dengan isu-isu terkini terkait penelitian,
jurnal, artikel, dan tulisan ilmiah yang dapat mendukung penelitian.
4.4.
Metode Pengolahan Data
Metode pengolahan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan
analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif bertujuan
untuk menganalisis saluran tataniaga, sturktur pasar, dan perilaku pasar.
Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk analisis margin tataniaga,
farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya.
33
4.4.1. Analisis Saluran Tataniaga
Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung
dan terlibat dalam proses penyampaian produk dari produsen kepada konsumen
akhir. Analisis saluran tataniaga beras di Kabupaten Demak ini dapat dilakukan
dengan mengamati lembaga-lembaga tataniaga yang membentuk saluran tataniaga
tersebut. Pengamatan dan analisis dilakukan mulai dari petani produsen sampai ke
konsumen akhir. Perbedaan saluran tataniaga yang dilalui oleh jenis barang akan
berpengaruh pada pembagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing
lembaga tataniaga yang terlibat didalamnya. Semakin panjang rantai saluran
tataniaga, maka saluran tersebut semakin tidak efisien karena marjin tataniaga
yang tercipta antara produsen dan konsumen akan semakin besar (Limbong &
Sitorus 1987).
4.4.2. Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga
Menurut Limbong dan Sitorus (1987), analisis ini dilakukan untuk
mengetahui lembaga-lembaga tataniaga yang melakukan fungsi-fungsi tataniaga,
baik fungsi pertukaran, fungsi fisik, maupun fungsi fasilitas. Lembaga-lembaga
ini melakukan pengangkutan barang dari tingkat produsen sampai tingkat
konsumen, juga berfungsi sebagai sumber informasi pasar. Analisis fungsi-fungsi
tataniaga diperlukan antara lain untuk mengetahui fungsi-fungsi atau kegiatan
yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat serta mengetahui
kebutuhan biaya dan fasilitas yang dibutuhkan. Lebih lanjut, dari analisis lembaga
dan fungsi tataniaga ini akan dapat dihitung besarnya marjin tataniaga.
4.4.3. Analisis Struktur Pasar
Menurut Dahl dan Hammond (1977), analisis ini diperlukan untuk
mengetahui struktur pasar yang cenderung mendekati persaingan sempurna atau
persaingan tidak sempurna. Struktur pasar dapat diketahui dengan melihat jumlah
pembeli dan penjual, heterogenitas produk yang dipasarkan, kondisi atau keadaan
produk, mudah tidaknya keluar masuk pasar, serta informasi perubahan harga
pasar. Semakin banyak jumlah penjual dan pembeli dan semakin kecilnya jumlah
yang diperjualbelikan oleh setiap lembaga tataniaga, maka struktur pasar tersebut
34
semakin mendekati kesempurnaan dalam persaingan. Adanya kesepakatan dalam
sesama pelaku tataniaga menunjukkan struktur pasar yang cenderung tidak
bersaing sempurna.
4.4.4. Analisis Perilaku Pasar
Perilaku pasar didefinisikan bagaimana pelaku pasar dari petani hingga
konsumen akhir dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan penjualan dan
pembelian pada pasar. Tingkah laku pasar dapat diamati dengan melihat praktik
penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh pelaku pasar, sistem penentuan, dan
pembayaran harga, serta bagaimana kerjasama yang dilakukan diantara lembaga
tataniaga (Dahl & Hammond 1977).
4.4.5. Analisis Efisiensi Tataniaga
Dalam kajian analisis efisiensi tataniaga beras di Kabupaten Demak ini
digunakan tiga pendekatan yaitu analisis marjin tataniaga, analisis farmer’s share,
dan analisis rasio keuntungan dan biaya. Namun dalam penentuan saluran yang
paling efisien terkadang ketiga pendekatan tersebut tidak menunjukkan hasil yang
sama. Oleh karena itu dalam menganalisis diperlukan pandangan lain yang dapat
mendukung hasil akhir.
4.4.5.1. Analisis Marjin Tataniaga
Tingkat efisiensi operasional suatu tataniaga dapat dilihat dari penyebaran
marjin tataniaga, farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya. Melalui marjin
tataniaga dapat diketahui besarnya biaya dan keuntungan dalam tataniaga tersebut.
Bersamaan dengan penelusuran saluran tataniaga diharapkan dapat diperoleh
informasi tentang marjin tataniaga pada tiap lembaga tataniaga. Perhitungan
marjin tataniaga diperoleh dari selisih harga di satu titik rantai tataniaga dengan
harga di titik lainnya.
Selain itu, besarnya nilai marjin tataniaga juga dapat
diperoleh dari penjumlahan biaya dan keuntungan pada masing-masing lembaga
tataniaga. Menurut Limbong dan Sitorus (1987), secara matematik akan diperoleh
perhitungan sebagai berikut:
35
Mi = Pi – Pi-1 ..................................................(1)
Mi = Bi + πI ..................................................(2)
Dengan demikian,
Pi – Pi-1 = Bi + πI
Maka besarnya marjin tataniaga dengan menggunakan (1) dan (2) adalah sebagai
berikut:
mi = Σ Mi ……………………………………(3)
Dengan demikian keuntungan lembaga tataniaga pada tingkat ke-i adalah :
πi = Pi – Pi-1 + Bi
Keterangan:
Mi
Pi
Pi-1
Bi
πI
mi
= Marjin pada lembaga tataniaga ke-i
= Harga penjualan pada lembaga tataniaga ke-i
= Harga penjualan pada lembaga tataniaga ke-i atau harga pembelian pada
lembaga tataniaga ke-i
= Biaya tataniaga pada lembaga tataniaga ke-i
= Keuntungan yang diperoleh pada lembaga tataniaga ke-i
= Total marjin tataniaga
Dalam pasar persaingan sempurna, perjalanan suatu produk selalu
melibatkan banyak lembaga tataniaga. Marjin tataniaga total yang terjadi
merupakan penjumlahan marjin tataniaga dari setiap lembaga tataniaga.
4.4.5.2. Analisis Farmer’s Share
Indikator lain untuk menentukan efisiensi operasional tataniaga suatu
komoditas adalah melalui perhitungan farmer’s share. Farmer’s share
berhubungan negatif dengan marjin tataniaga. Farmer’s share dipengaruhi oleh
tingkat pengolahan, keawetan produk, ukuran produk, jumlah produk, dan biaya
produksi. Nilai farmer’s share ditentukan oleh besarnya rasio harga yang diterima
produsen (Pf) dan harga yang dibayarkan oleh konsumen (Pr).
Secara matematik dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut
(Dahl & Hammond 1977):
Keterangan : Fs = Farmer’s share
Pf = Harga di tingkat petani
Pr = Harga di tingkat konsumen
36
4.4.5.3. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya
Tingkat efisiensi suatu sistem tataniaga juga dapat dilihat dari rasio
keuntungan terhadap biaya tataniaga. Dengan semakin meratanya rasio
keuntungan terhadap biaya tataniaga, maka secara teknis (operasional) sistem
tataniaga tersebut semakin efisien. Untuk mengetahui penyebaran rasio
keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga tataniaga dapat dirumuskan
sebagai berikut (Dahl & Hammond 1977):
Keterangan : πi = keuntungan lembaga tataniaga
Ci = biaya tataniaga
4.5.
Definisi Operasional Penelitian
Definisi operasional ini ditujukan unutk membatasi ruang lingkup
penelitian yang akan dilakukan. Selain itu, definisi oprasional ini digunakan untuk
menjelaskan setiap variabel yang akan dianalisis dalam penelitian.
a)
Tataniaga adalah semua kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan
perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan
barang-barang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke tangan
konsumen;
b) Padi adalah tumbuhan padi termasuk dalam golongan tumbuhan Graminae
yang memiliki ciri khusus berupa batang yang tersusun dari beberapa ruas
yang dapat menghasilkan gabah yang menjadi bahan dasar untuk
menghasilkan beras;
c)
Beras adalah produk hasil pengolahan gabah yang merupakan hasil utama
tanaman padi;
d) Hasil produksi adalah hasil produksi fisik berupa gabah kering panen (GKP)
dalam satuan kg/ha/musim atau kg/ha/tahun;
e)
Harga jual petani dalam analisis pemasaran adalah harga malai gabah kering
panen (GKP) yang telah dikonversikan untuk menghasilkan satu kilogram
beras dalam satuan Rp/kg;
37
f)
Harga beli pedagang pengumpul adalah harga gabah kering panen (GKP)
yang telah dikonversikan untuk menghasilkan satu kilogram beras dalam
satuan Rp/kg.
38
V
5.1.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Wilayah dan Topografi
Kabupaten Demak berada di bagian utara Propinsi Jawa Tengah yang
terletak antara 6º43'26" - 7º09'43" LS dan 110º48'47" BT dan terletak sekitar 25
kilometer di sebelah timur Kota Semarang. Kabupaten Demak memiliki luas
897,43 km2. Secara administratif Kabupaten Demak terbagi menjadi 14
kecamatan dan 247 desa. Kabupaten Demak mempunyai batas wilayah secara
administratif sebagai berikut:
1)
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Jepara,
2)
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kudus,
3)
sebelah tenggara berbatasan dengan Kabupaten Grobogan,
4)
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Semarang, dan
5)
sebelah barat dengan Laut Jawa dan Kota Semarang.
Kabupaten Demak merupakan daerah dengan produksi padi terbesar di
Propinsi Jawa Tengah, dengan produksi padi pada tahun 2009 sebesar 571,330 ton
dengan produktivitas sebesar 5,85 ton per hektar. Produksi, luas panen, dan
produktifitas padi Kabupaten Demak per Kecamatan dapat dilihat pada Tabel
berikut.
Tabel 7. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Padi Kabupaten Demak
Tahun 2005-2009
Produksi
(ton)
Luas Panen
(ha)
Produktifitas
(ton/ha)
2005
2006
2007
2008
2009
520,109
500,649
517,463
563,737
571,330
93,184
92,304
91,516
92,575
97,610
5,58
5,42
5,65
6,09
5,85
Sumber : Badan Pusat Statistik Demak 2010(b)
Tabel 7 menunjukkan produksi padi di Kabupaten Demak selama tahun
2005 sampai tahun 2009 mengalami kenaikan sebesar 9,84 persen dari 520,109
ton pada tahun 2005 menjadi 571,330 ton pada tahun 2009. Luas panen padi di
Kabupaten Demak mengalami kenaikan sebesar 4,7 persen dari tahun 2005
sebesar 93,184 ha menjadi 97,610 ha pada tahun 2009. Produktifitas mengalami
kenaikan sebesar 4,8 persen selama kurun waktu lima tahun terakhir dari 5,5
ton/ha pada tahun 2005 menjadi 5.8 ton/ha pada tahun 2009. Sedangkan data luas
wilayah, luas sawah, dan produksi padi, menurut kecamatan di Kabupaten Demak
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8.
Luas Wilayah, Luas Sawah, dan Total Produksi Padi Kabupaten
Demak per Kecamatan Tahun 2009
Kecamatan
Mranggen
Karangaen
Guntur
Sayung
Karangtengah
Bonang
Demak
Wonosalam
Dempet
Gajah
Karanganyar
Mijen
Wedung
Kebonagung
Jumlah
Luas Wilayah (km2)
7.222
6.695
5.753
7.869
5.155
8.324
6.113
5.788
6.161
4.783
6.776
5.029
9.876
4.199
89.743
Luas Sawah (ha)
854
786
3.218
3.379
3.572
5.349
4.057
3.773
4.562
3.438
4.945
3.634
5.457
3.315
50.360
Produksi (ton)
9.673
20.011
37.609
29.387
36.109
56.452
51.594
38.925
51.591
47.391
56.698
34.310
63.269
38.530
571.330
Sumber : Badan Pusat Statistik Demak 2010(b)
Kecamatan Wedung merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Demak. Sebelah utara wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Jepara, sebelah
timur berbatasan dengan Kecamatan Mijen, sebelah selatan berbatasan dengan
Kecamatan Bonang, serta sebelah barat berbatasan dengan Laut Jawa.
Secara administratif luas wilayah Kecamatan Wedung adalah 98,76 km 2
yang terdiri atas 20 desa dan seluruhnya telah termasuk dalam klasifikasi desa
swasembada. Sebagai daerah agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari
pertanian, wilayah Kecamatan Wedung terdiri atas lahan sawah yang mencapai
luas 5.580 ha dan selebihnya adalah lahan kering. Menurut penggunaannya,
sebagian besar lahan sawah yang digunakan berpengairan tadah hujan dengan luas
3.883,99 ha dan setengah teknis 70 ha. Sedang untuk lahan kering, 138,40 ha
digunakan untuk tegal/kebun, 454,30 ha digunakan untuk bangunan dan halaman,
selebihnya digunakan untuk lainnya (jalan, sungai, dll).
40
Jumlah penduduk Kecamatan Wedung berdasarkan hasil Registrasi
Penduduk 2009 adalah sebanyak 80.109 orang yang terdiri atas 38.924 laki-laki
dan 41.185 perempuan. Jumlah penduduk ini berkurang sebanyak 718 orang atau
sekitar 0,88 persen dari tahun sebelumnya. Secara berurutan, penduduk terbanyak
berada di Desa Wedung dengan jumlah penduduk 9.952 orang. Sedang jumlah
penduduk terkecil terdapat di Desa Kendalasem sebanyak 1.541 orang. Menurut
kelompok umur, sebagian besar penduduk Kecamatan Wedung termasuk dalam
usia produktif (15-64 tahun) sebanyak 49.219 orang (61,44 persen), dan
selebihnya 27.647 orang (34,51) berusia di bawah 15 tahun dan 3.243 orang (4,05
persen) berusia 65 tahun keatas.
Dilihat dari mata pencaharian penduduk Kecamatan Wedung di atas 10
tahun 2009, buruh tani merupakan mata pencaharian utama dengan jumlah
terbanyak yaitu 11.974 orang. Urutan ke dua dan tiga adalah petani sendiri dengan
jumlah 9.947 orang dan 5.871 orang sebagai nelayan. Kemudian disusul secara
berurutan yaitu pedagang dengan jumlah 2.564 jiwa, buruh bangunan sebanyak
695 orang, buruh industri sebanyak 558 orang, pegawai negeri / ABRI sebanyak
370 orang, pensiunan 84 orang, dan 20.004 lainnya.
Dari sisi sosial, data tahun 2009 menunjukkan penduduk usia 10 tahun ke
atas menurut pendidikan yang ditamatkan. Data tersebut meliputi 9.955 orang
tidak/belum sekolah, 6.651 belum tamat SD, 9.098 tidak tamat SD, 25.948 SD,
6.404 SLTP, 3.981 SLTA, dan 744 akademi/PT. Terdapat 49 Sekolah Dasar
(SD)/sederajat, 15 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)/sederajat, dan 9
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)/sederajat. Sedang jumlah guru berturutturut adalah 544 orang untuk SD, 318 untuk SLTP, dan 183 untuk SLTA. Sarana
kesehatan yang terdapat di Kecamatan Wedung terdiri dari 2 Puskesmas, 5
Puskesmas pembantu, 2 poliklinik desa, dan 2 rumah bersalin serta tenaga medis
yaitu 3 dokter, 14 paramedis, 12 bidan, dan 26 dukun bayi.
Sektor pertanian masih memberikan kontribusi terbesar bagi Produk
Domestik Regional Bruto dalam kurun waktu 2008-2009 yaitu sebesar 48,65
persen pada tahun 2008 dan 48,82 persen pada tahun 2009. Sektor perdagangan
memberikan kontribusi berturut-turut sebesar 21,39 persen dan 21,45 persen.
Sektor yang lainnya adalah jasa-jasa sebesar 8,37 persen pada kurun waktu
41
tersebut, pengangkutan dan komunikasi sebesar 6,55 persen dan 6,35 persen,
bangunan sebesar 5,54 persen dan 5,59 persen, industri pengolahan sebesar 3,87
persen dan 3,74 persen, lembaga keuangan dan persewaan sebesar 2,86 persen dan
2,89 persen, pertambangan dan penggalian sebesar 1,53 persen dan 1,57 persen,
dan listrik, gas, dan air bersih sebesar 1,24 persen dan 1,23 persen.
5.2.
Deskripsi Karakteristik Petani Responden
Dalam penelitian ini, petani yang diambil menjadi sampel berjumlah 30
orang. Semua petani merupakan penduduk Desa Kenduren yang merupakan desa
dengan produksi padi terbesar di Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak.
Responden petani dikategorikan dalam beberapa variabel karakteristik
petani. Karakteristik yang ada pada responden petani meliputi kelompok umur,
status usahatani, lama usahatani, pendidikan terakhir, dan luas lahan yang
dikuasai. Karakteristik tersebut disertakan karena diperlukan untuk mengetahui
korelasi antar karakteristik dan dianggap perlu untuk dikaji (Lampiran 2).
5.2.1. Kategori Umur Petani Responden
Rata-rata usia petani responden dikategorikan dalam empat kelompok
besar yaitu 15-29 tahun, 30-44 tahun, 45-59 tahun, dan >60 tahun. Jumlah
responden petani pada rentang usia 45-59 tahun memiliki jumlah terbesar yaitu 13
orang atau 43,33 persen dan enam orang berusia di atas 60 tahun dengan
persentase 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani di lokasi
penelitian berusia lanjut. Tidak adanya regenerasi dikarenakan rendahnya minat
dan motivasi pemuda di lokasi penelitian untuk bekerja sebagai petani.
5.2.2. Kategori Pendidikan Formal Petani Responden
Persebaran tingkat pendidikan responden terbesar adalah pada tingkat SD
dimana terdapat 22 orang petani responden atau sebesar 73,33 persen dari total
responden. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani tidak memiliki
pendidikan yang tinggi dan rata-rata hanya berpendidikan terakhir di tingkat
sekolah dasar. Tingkat pendidikan yang masih rendah diakibatkan dari banyaknya
42
jumlah petani di lokasi penelitian yang sudah berusia lanjut dimana sebagian besar
dari mereka tidak berlatar belakang pendidikan tinggi.
5.2.3. Kategori Pengalaman Usahatani Petani Responden
Kategori lama usahatani ≤10 tahun memiliki sebaran terbesar yaitu 11
orang petani atau dengan persentase sebesar 36,67 persen. Rendahnya pengalaman
menyebabkan sulitnya petani untuk mendapatkan akses menjual hasil panen
sehingga hanya tergantung pada tengkulak.
5.2.4. Kategori Luas Lahan yang Diusahakan Petani Responden
Sebaran responden terbesar terdapat pada kategori 1-1,99 ha yaitu
sebanyak 17 orang responden petani dengan persentase 56,67 persen. Sebaran
responden pada rentang tersebut menunjukkan bahwa petani cukup memiliki
peran besar dalam penggunaan lahan pertanian. Hal ini didukung dari luasnya
lahan pertanian di lokasi penelitian dan posisi pekerjaan petani yang masih
menjadi prioritas.
5.2.5. Kategori Status Penguasaan Lahan Petani Responden
Dengan mengetahui status penguasaan lahan, maka dapat diketahui pula
berapa volume perdagangan beras dari petani ke lembaga di atasnya. Ketiga status
yaitu hak milik, sewa, dan sakap hampir memiliki sebaran responden yang sama
besar yaitu masing-masing 11, 11, dan 10 orang. Pada status hak milik dan sewa
memiki persentase yang sama besar yaitu 34,375 persen. Sedangkan pada status
sakap terdapat persentase 31,250 persen. Tidak ada petani yang memiliki status
gadai pada lahannya. Jumlah 32 orang yang ada pada sebaran dikarenakan ada dua
responden petani yang memiliki dua status pada dua persil lahan sawahnya.
Sebaran responden
yang hampir merata
ini
dikarenakan keberagaman
karakteristik petani dalam kepemilikan modal. Hal ini berarti bahwa kekuatan
permodalan menentukan bagaimana status penguasaan lahan oleh petani. Petani
yang memiliki modal kecil biasanya lebih memilih untuk menggunakan sistem
bagi hasil atau sakap.
43
5.2.6. Kategori Sifat Usahatani Petani Responden
Terdapat 29 responden petani menjadikan usahatani sebagai mata
pencaharian utama dengan persentase sebesar 96,67 persen. Hal ini membuktikan
bahwa sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian adalah petani. Luasnya
lahan pertanian dan aspek histori bahwa bertani merupakan mata pencaharian
yang diturunkan dari generasi ke generasi menjadikan usahatani padi sebagai
pekerjaan utama masyarakat.
5.3.
Deskripsi Karakteristik Pedagang Responden
Responden pedagang yang ada dalam penelitian ini meliputi tengkulak,
RMU, Subdivre BULOG, grosir, dan ritel. Masing-masing pedagang memiliki
besar sebaran yang berbeda. Pada responden pedagang diketahui karakteristik
yang terdiri dari lama usaha dan volume perdagangan. Dua variabel ini dapat
menunjukkan bagaimana aktivitas tataniaga yang terjadi pada masing-masing
pedagang. Berikut telah disajikan data mengenai sebaran responden berdasarkan
lama usaha dan volume perdagangan.
5.3.1. Responden Tengkulak
Responden tengkulak terdiri dari lima orang. Kelima tengkulak memiliki
pengalaman yang sama dan pada rentang waktu yang terlama yaitu di atas 20
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa 100 persen tengkulak yang ada di lokasi
penelitian memiliki pengalaman usaha yang sudah cukup lama sehingga volume
perdagangan yang dilakukan dapat mencapai kuantitas yang cukup besar.
Responden tengkulak menunjukkan dua orang responden atau 40 persen
dari jumlah responden berada pada rentang 301-400 ton. Volume ini tergolong
besar pada kategori volume perdagangan. Volume perdagangan berkorelasi positif
dengan pengalaman usaha pedagang. Semakin lama pengalaman usaha akan
berpengaruh pada akses perdagangan dan pengalaman dalam melakukan jual beli
gabah.
44
5.3.2. Responden Rice Milling Unit (RMU)
Responden RMU berjumlah tiga orang. Pada kategori lama usaha kurang
dari lima tahun, 5-10 tahun, dan 11-15 tahun masing-masing satu orang dengan
persentase 33,33 persen. Hal ini menunjukkan bahwa RMU di lokasi penelitian
memiliki sebaran yang merata dan rata-rata belum memiliki pengalaman usaha
yang lama.
Berdasakan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa selain terdapat
RMU yang telah lama berdiri, juga terdapat RMU yang belum lama didirikan.
Namun aktivitas dari masing-masing RMU berbeda. Aktif tidaknya RMU dalam
beroperasi ditentukan oleh kekuatan permodalan dan akses pada ketersediaan
produk. Pada RMU yang memiliki kemampuan akses terhadap produk, mereka
tetap dapat beroperasi meskipun gabah langka akibat panen raya karena RMU
tersebut dapat mencari gabah ke lain daerah untuk tetap menjaga keberlanjutan
usahanya.
Untuk responden RMU, terdapat dua orang responden dengan persentase
66,67 persen memiliki volume perdagangan di bawah 100 ton dan angka ini
merupakan rentang yang terkecil. Kecilnya volume perdagangan RMU
berhubungan dengan pengalaman usaha RMU dan akses terhadap produk yang
diperjualbelikan.
5.3.3. Responden Grosir
Untuk responden grosir, terdapat dua responden grosir yang masingmasing memiliki sebaran dengan persentase 50 persen. Sebaran tersebut terdapat
pada rentang 5-10 tahun dan 16-20 tahun. Grosir di lokasi penelitian tidak terdapat
dalam jumlah banyak. Hal ini dikarenakan grosir melakukan perdagangan dalam
volume yang besar dan membutuhkan perputaran modal yang besar setiap
harinya. Responden terletak pada rentang 10-50 ton dan >50 ton per hari.
Besarnya volume perdagangan dipengaruhi oleh pengalaman usaha. Hal ini
berhubungan dengan pasar yang dimiliki grosir.
45
5.3.4. Responden Ritel
Sebaran responden terbesar berada pada rentang 5-10 tahun yaitu sebesar
60 persen. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ritel belum memiliki
pengalaman usaha yang lama. Hal ini berpengaruh pada besarnya volume
perdagangan.
Besarnya volume perdagangan pada ritel setiap harinya tidak besar. Ritel
di lokasi penelitian merupakan toko yang menjual produknya tidak hanya beras.
Di lokasi penelitian banyak bermunculan pedagang ritel baru. Sehingga hal ini
dapat mempengaruhi juga volume penjualan karena terdapat banyak pesaing
sejenis. Tiga orang responden berada pada rentang terkecil. Hal ini membuktikan
bahwa volume perdagangan berkorelasi posotif dengan lama usaha.
46
VI
ANALISIS TATANIAGA BERAS
Tataniaga beras yang ada di Indonesia melibatkan beberapa lembaga
tataniaga yang saling berhubungan. Berdasarkan hasil pengamatan, lembagalembaga tataniaga yang ditemui di lokasi penelitian pada umumnya terdiri atas
petani, tengkulak, RMU, pedagang grosir, pedagang ritel, dan Subdivre BULOG.
Keberadaan lembaga-lembaga tataniaga tersebut beragam antar satu lokasi dengan
lokasi penelitian lainnya. Hal ini mengakibatkan setiap lokasi penelitian memiliki
saluran tataniaga, struktur, dan perilaku pasar yang berbeda-beda.
6.1.
Analisis Saluran Tataniaga Beras Desa Kenduren
Tataniaga beras di Desa Kenduren berawal dari gabah hasil panen petani
yang kemudian ditebas oleh tengkulak daerah setempat dan menjualnya ke RMU.
Dari RMU-RMU tersebut, beras kemudian dipasarkan melalui beberapa lembaga
hingga konsumen akhir.
Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa 100 persen dari 30
responden petani menjual padi hasil panennya ke tengkulak atau pedagang
pengumpul. Hal ini sesuai dengan Rusastra et al. (2001) dan Sutawi (2009) yang
menyatakan bahwa pedagang pengumpul merupakan pembeli dominan dari hasil
panen padi milik petani. Alasan utama mengapa petani menjual seluruh padinya
kepada tengkulak adalah karena kebutuhan akan uang tunai dengan segera. Hal
inilah yang menyebabkan harga gabah pada tingkat petani rendah dikarenakan
posisi tawar mereka yang rendah dibandingkan dengan tengkulak. Setelah itu,
gabah dijual kepada RMU setempat. Beras hasil giling dijual kepada grosir dan
ritel. Grosir banyak menjual berasnya ke pedagang besar baik di dalam kota
maupun luar kota. Biasanya banyak pembeli dari luar daerah yang mendatangi
grosir Demak. Ritel menjual beras kepada konsumen akhir yang ada di daerah
setempat.
Secara umum saluran tataniaga di Desa Kenduren identik dengan saluran
tataniaga dalam penelitian Aniro (2009) yang dilakukan di Kabupaten Cianjur
yaitu terdiri dari petani, tengkulak, Gapoktan Sawargi, RMU beras, pabrik beras,
distributor, dan retail. Perbedaan yang ada adalah dalam penelitian ini tidak
ditemukan peran Gapoktan atau Poktan yang memberikan fasilitas bagi petani.
Dari sisi kelembagaan, tidak ada kelompok yang aktif dan mengoordinir petani
dalam memasarkan hasil panennya.
6.1.1. Analisis Saluran Tataniaga dengan Konsumen Individu sebagai
Konsumen Akhir
Petani
100%
Tengkulak
100%
RMU
5,81%
Konsumen
Individu
65,12%
3,80%
Grosir
10,90%
18,99%
Ritel
Keterangan:
100%
=Aliran gabah
=Aliran beras
Gambar 4. Saluran Tataniaga Beras A Desa Kenduren Tahun 2011
Terdapat empat saluran tataniaga pada analisis saluran tataniaga dengan
konsumen individu sebagai konsumen akhir. Analisis keempat saluran tersebut
adalah sebagai berikut:
1)
Saluran 1A: Petani  Tengkulak  RMU  Grosir  Ritel 
Konsumen Individu
Saluran 1A menunjukkan penjualan gabah dalam bentuk GKP yang
berasal dari petani kepada tengkulak. Petani menyalurkan 100 persen (227,7 ton)
GKP kepada tengkulak. Tengkulak menjual 100 persen (1.565 ton) GKP yang
diserap dari petani kepada RMU. Dari RMU, beras kemudian disalurkan sebesar
65,12 persen (179,2 ton) ke grosir yang menjadi pelanggan. Pada tingkat grosir,
18,99 persen (150 ton) beras dijual kepada ritel yang terdapat di pasar kabupaten
48
dan kecamatan. Ritel menjual seluruh beras atau 100 persen (16,70 ton) kepada
konsumen individu. Dari penelusuran tersebut, secara keseluruhan volume
perdagangan yang dapat diketahui memiliki pangsa pasar sebesar 17,58 persen
dari total perdangan beras. Total kuantitas beras yang diperdagangkan pada
saluran 1A adalah sebesar 2.138,6 ton.
2)
Saluran 2A: Petani  Tengkulak  RMU  Grosir  Konsumen
Individu
Pada saluran 2A, petani masih memilih untuk menjual padi dalam bentuk
GKP kepada tengkulak. Petani menjual 100 persen GKP (227,7 ton) kepada
tengkulak. Tengkulak kemudian menjual gabah dalam bentuk GKP kepada RMU
sebesar 100 persen (1.565 ton). RMU menjual beras kepada grosir sebesar 65,12
persen (179,2 ton). Dari grosir, 3,80 persen (30 ton), beras disalurkan kepada
konsumen individu. Berdasarkan penelusuran pada saluran 2A, secara
keseluruhan pangsa pasar perdagangan beras pada saluran ini adalah sebesar 16,24
persen dengan total kuantitas beras yang diperdagangkan sebesar 2.001,9 ton dari
total perdagangan beras.
3)
Saluran 3A: Petani  Tengkulak  RMU  Ritel  Konsumen
Individu
Pada saluran 3A, aliran perdagangan menunjukkan gabah dalam bentuk
GKP yang berasal dari petani dijual kepada tengkulak. Petani menjual 100 persen
beras (227,7 ton) kepada tengkulak. GKP dari tengkulak kemudian dijual kepada
RMU sebesar 100 persen (1.565 ton). Di saluran ini, RMU menjual beras
langsung kepada ritel sebesar 10,90 persen (30 ton). Dari RMU, ritel kemudian
menjual beras sebesar 100 persen (16,70 ton) kepada konsumen individu. Secara
keseluruhan, pada saluran 3A meraih pangsa pasar sebesar 15,17 persen dari total
perdagangan yang ada. Total kuantitas beras yang diperdagangkan pada saluran
3A adalah sebesar 1.839,4 ton.
49
4)
Saluran 4A: Petani  tengkulak  RMU  Konsumen Individu
Pada saluran 4A, GKP dari petani dijual kepada tengkulak dari daerah
setempat. GKP dari tengkulak kemudian dijual keapada RMU dan RMU langsung
menjual beras kepada konsumen individu. Beberapa warga yang tempat
tinggalnya berdekatan dengan RMU lebih memilih membeli beras langsung
kapada RMU tersebut karena harga beras di RMU lebih murah dari beras yang
sudah sampai di pasar setempat.
Petani menjual 100 persen (227,7 ton) GKP kepada tengkulak. Dari
tengkulak, 100 persen (1.565 ton) gabah disalurkan kepada RMU. Beras dari
RMU langsung disalurkan kepada konsumen individu sebesar 5,81 persen (16
ton). Secara keseluruhan, pangsa pasar beras yang mengalir melalui saluran 4A
sebesar 14,78 persen dari total perdagangan. Total kuantitas beras yang
diperdagangkan pada saluran 4A adalah sebesar 1.808,7 ton.
6.1.2. Analisis Saluran Tataniaga dengan Subdivre BULOG sebagai
Konsumen Akhir
Petani
100%
Tengkulak
100%
RMU
Subdivre
BULOG
18,17%
65,12%
77,21%
Grosir
Keterangan:
=Aliran gabah
=Aliran beras
Gambar 5. Saluran Tataniaga Beras B Desa Kenduren Tahun 2011
1) Saluran 1B: Petani  Tengkulak  RMU  Grosir  Subdivre
BULOG
Pada saluran 1B, gabah dari petani disalurkan kepada tengkulak, dari
tengkulak kepada RMU, RMU kepada grosir, dan grosir kepada Subdivre
BULOG. Petani menjual 100 persen beras (227,7 ton) kepada tengkulak. Dari
50
tengkulak, 100 persen (1.565 ton) gabah disalurkan kepada RMU. RMU
menyalurkan beras kepada grosir sebesar 65,12 persen (179,2 ton) dari total
produksi beras. Beras dari grosir disalurkan kepada BULOG selaku Mitra Kerja
sebesar 77,21 persen (610 ton) dari total beras yang diperdagangkan. Secara
keseluruhan, dapat diketahui bahwa pada saluran I telah mengalir perdagangan
beras sebesar 21,22 persen dengan kuantitas perdagangan sebesar 2.581,9 ton.
Berdasarkan aliran perdagangan tersebut, saluran 1B memiliki volume
perdagangan yang terbesar. Kontribusi perdagangan yang besar berasal dari beras
yang dijual oleh RMU kepada grosir dan grosir kepada Subdivre BULOG
Semarang. Total kuantitas beras yang diperdagangkan pada saluran 1B adalah
sebesar 2.581,9 ton. Oleh karena itu, saluran ini layak untuk terus dikembangkan
karena memberikan prospek pasar yang baik dalam menyerap produk yang
diperjualbelikan lembaga tataniaga.
Jika dilihat dari pangsa pasar dari total perdagangan grosir, grosir menjual
sebagian besar beras kepada Subdivre BULOG. Hubungan kerjasama grosir dan
Subdivre BULOG disebut dengan Mitra Kerja. BULOG membeli beras dari grosir
dengan harga Rp 5.100,00 per kilogram. Harga tersebut berada di atas HPP yang
ditetapkan yaitu Rp 5.060,00 per kilogram di luar kualitas pasar. HPP tersebut
merupakan kebijakan internal Subdivre BULOG Semarang dalam rangka
memberikan subsidi agar Mitra Kerja bersedia menjual beras mereka ke BULOG.
Hal ini merupakan usaha BULOG dalam menjaga jumlah stok beras pemerintah
untuk konsumsi nasional. Pemberian subsidi tersebut dilakukan karena HPP
BULOG selalu berada di bawah harga pasar yaitu berkisar pada harga Rp
5.500,00 per kilogram. Hubungan grosir dengan BULOG telah berjalan selama
tiga tahun dan menimbulkan ikatan kerja yang baik. Hal ini terbukti dengan grosir
terus memberikan suplai berasnya kepada BULOG meskipun HPP selalu di
bawah harga pasar.
Jika dicermati lebih jauh, fungsi BULOG sebagai lembaga yang
memberikan jaminan harga dan pasar kepada produsen dan dalam hal ini petani,
belum terlaksana. Padahal apa yang tertuang dalam Instruksi Presiden mengenai
Kebijakan perberasan, Inpres tersebut dengan jelas menugaskan BULOG untuk
menjaga harga di tingkat produsen melalui pengadaan dalam negeri dengan
51
menyerap surplus yang dipasarkan petani selama periode panen berdasarkan HPP.
Disamping untuk melindungi petani, pengadaan dalam negeri juga berperan
sebagai jaminan pasar atas produksi petani. Namun dengan melihat kinerja
BULOG di Desa Kenduren, fungsi tersebut belum dilaksanakan karena BULOG
tidak menyentuh produksi petani, sedangkan kondisi petani dalam sebuah
tataniaga beras tidak memiliki posisi tawar kuat. Di sisi lain, BULOG
memberikan persyaratan yang wajib dipenuhi bagi pihak yang ingin bergabung
menjadi Mitra Kerja, persyaratan umum tersebut antara lain memiliki modal
usaha, memiliki penggilingan, mampu memenuhi persyaratan teknis beras yang
diminta, dan lain sebagainya. Petani tentu saja kesulitan jika harus memenuhi
persyaratan tersebut. Sehingga langkah realistis yang dapat ditempuh adalah
dengan mengoordinir petani melalui sebuah organisasi yang legal. Organisasi
yang dimaksud dapat berupa kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan
koperasi. Dengan mengoordinir gabah produksi petani melalui organisasi, segala
persyaratan yang di wajibkan BULOG diharapkan dapat dipenuhi. Permasalahan
yang saat ini muncul di lokasi penelitian adalah peran kelompok tani yang tidak
aktif dan tidak mampu memerikan nilai lebih bagi anggotanya. Tindakan pertama
yang harus dilakukan saat ini adalah dengan menghidupkan kembali fungsi
kelompok tani agar dapat memberikan manfaat kepada para anggota khususnya
dalam hal penjualan gabah hasil panen.
2)
Saluran 2B: Petani  Tengkulak  RMU  Subdivre BULOG
Pada saluran 2B, GKP dari petani dijual kepada tengkulak, dari tengkulak
keapada RMU, dan RMU kepada Subdivre BULOG. Petani menjual 100 persen
(227,7 ton) hasil panennya berupa GKP kepada tengkulak setempat. Dari pihak
tengkulak, 100 persen (1.565 ton) GKP kemudian disalurkan kepada RMU. GKP
yang berasal dari RMU sebesar 18,17 persen (50 ton) dijual kepada Subdivre
BULOG Semarang yang menjadi Mitra Kerja RMU tersebut. Berdasarkan
penelusuran pada saluran 2B, secara keseluruhan pangsa pasar beras yang
mengalir sebanyak 15,14 persen. Total kuantitas beras yang diperdagangkan pada
saluran 2B adalah sebesar 1842,7 ton.
52
Seperti pada pembahasan saluran 1B, RMU pada saluran 2B merupakan
Mitra Kerja dari BULOG. Namun perdagangan beras dari RMU pada saluran 2B
tidak memiliki persentase pangsa pasar sebesar beras dari grosir kepada BULOG.
Hal ini dikarekan tidak banyak RMU yang aktif di lokasi penelitian. RMU yang
kontinyu berproduksi hanyalah RMU yang memiliki akses permodalan yang baik.
Selain itu, lumpuhnya kegiatan RMU tersebut juga dipengaruhi oleh semakin
banyaknya RMU keliling. RMU keliling yang telah banyak beroperasi di lokasi
penelitian cukup menjadi ancaman bagi RMU setempat.
6.2.
Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga Beras Desa Kenduren
Dalam menyalurkan beras dari petani hingga konsumen, tataniaga di
Kabupaten Demak melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Adapun lembaga
tataniaga beras di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak yaitu
petani, tengkulak, RMU, pedagang grosir, dan pedagang ritel. Lembaga-lembaga
tataniaga tersebut menjalankan fungsi-fungsi tataniaga untuk memperlancar
proses penyampaian beras kepada konsumen. Setiap lembaga mempunyai fungsi
yang berbeda dengan lembaga lainnya.
Secara umum fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga tataniaga beras di
Desa Kenduren terdiri atas fungsi pertukaran (fungsi pembelian dan penjualan),
fungsi fisik (fungsi penyimpanan, fungsi pengolahan, fungsi pengangkutan), dan
fungsi fasilitas (fungsi sortasi, fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko,
fungsi informasi pasar). Adapun lembaga dan fungsi tataniaga yang dilakukan
dalam proses tataniaga beras di Desa Kenduren dapat dilihat pada Lampiran 3.
Secara umum, petani hanya melakukan pertukaran saja yaitu dengan menjual
beras kepada tengkulak. Tengkulak melakukan fungsi pertukaran (penjualan dan
pembelian), fungsi fisik (angkut), dan fungsi fasilitas (penanggungan risiko dan
informasi pasar). RMU melakukan fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian),
fungsi fisik (penyimpanan, pengolahan, pengangkutan), dan fungsi fasilitas
(sortasi, penanggungan risiko, informasi pasar).
Grosir melakukan fungsi
pertukaran (penjualan dan pembelian), fungsi fisik (penyimpanan, pengangkutan),
dan fungsi fasilitas (sortasi, penanggungan risiko, informasi pasar). Ritel
melakukan fungsi pertukaran Hal ini sejalan dengan penelitian Aniro (2009)
53
dimana petani hanya melakukan fungsi pertukaran saja yaitu dengan menjual
gabah kepada pembeli. Sedangkan tengkulak, Gapoktan Sawargi, RMU beras, dan
pabrik beras selain melakukan fungsi pertukaran dan fungsi fisik (pengeringan,
penggilingan/pengolahan, dan transportasi), juga melakukan fungsi pelancar yaitu
permodalan, penanggungan risiko, dan informasi. Untuk distributor dan retail juga
melakukan ketiga fungsi tersebut kecuali fungsi pengeringan dan penggilingan.
1)
Fungsi Tataniaga di Tingkat Petani
Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh petani yaitu fungsi penjualan.
Fungsi tersebut dilakukan oleh petani dalam saluran A dan B. Seluruh petani
menjual padinya kepada tengkulak.
Petani tidak melakukan fisik seperti penyimpanan gabah yang ditujukan
untuk dijual. Hanya sebagian kecil petani yang menyimpan padi untuk persediaan
konsumsi dan kebutuhan sosial. Petani juga tidak melakukan funsgsi pengolahan
karena semua padi ditebas sehingga fungsi pengangkutan juga tidak dilakukan
karena tengkulak yang melakukan pengangkutan.
Adapun fungsi fasilitas yang dilakukan petani yaitu fungsi penanggungan
risiko dan fungsi informasi pasar. Risiko yang dihadapi oleh petani yaitu risiko
penangguhan pembayaran oleh RMU, risiko penyusutan terhadap hasil panen,
menurunnya harga jual beras di pasar, kualitas gabah yang rendah, dan adanya
serangan hama/penyakit yang dapat menurunkan hasil panen. Sedangkan untuk
fungsi insformasi pasar berupa informasi harga dan kualitas gabah yang
diinginkan oleh konsumen dapat diketahui dari RMU yang berhubungan langsung
dengan pedagang grosir di pasar. Namun informasi harga dan kualitas gabah tidak
transparan, sehingga perubahan yang terjadi di pasar sering tidak tersampaikan
dengan baik kepada petani. Fungsi fasilitas ini ditemukan pada petani di saluran A
dan B.
2)
Fungsi Tataniaga di Tingkat Tengkulak
Tengkulak pada fungsi pertukaran jual dan beli dari saluran A dan B.
Tengkulak membeli gabah seluruhnya dari petani dan menjual ke RMU. Semua
tengkulak menggunakan sistem tebas untuk membeli gabah hasil panen petani.
54
Pada fungsi fisik, tengkulak hanya melakukan fungsi pengangkutan.
Fungsi ini dilakukan pada saat membeli gabah ke sawah petani dan menjual ke
RMU. Tidak ada tengkulak yang menyimpan maupun menggiling gabah.
Pada fungsi fasilitas, tengkulak tidak melakukan sortasi. Tengkulak yang
menebas sawah pada saat panen hanya menggunakan perkiraan mereka. Hal inilah
yang membuat tengkulak juga menanggung risiko kerugian jika perkiraan mereka
salah atau tidak sesuai kenyataan.
3)
Fungsi Tataniaga di Tingkat RMU
Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh penggilinggan berupa fungsi
pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian dilakukan dengan membeli
gabah yang telah ditebas tengkulak. Fungsi penjualan dilakukan dengan menjual
beras kepada grosir, ritel, Subdivre BULOG, dan konsumen individu. Kerja sama
dengan BULOG berupa ikatan kerja yang disebut Mitra Kerja.
Fungsi fisik yang dilakukan RMU berupa fungsi penyimpanan, fungsi
pengolahan, dan fungsi pengangkutan. Fungsi penyimpanan dilakukan oleh RMU
terhadap GKG yang disiapkan sebagai stok dan beras hasil olahan yang menunggu
untuk dipasarkan. Fungsi penyimpanan dilakukan oleh RMU yang ada pada
saluran A dan B.
Fungsi pengangkutan yaitu berupa pembelian gabah ke tengkulak yang
berada di daerah yang sedang panen. Setelah digiling, beras disalurkan ke
pedagang grosir dan ritel.
Fungsi fasilitas yang dilakukan RMU berupa fungsi sortasi, penanggungan
risiko, dan informasi pasar. Fungsi fasilitas dapat ditemui pada RMU yang ada di
saluran A dan B. Fungsi sortasi yaitu kegiatan pemilahan yang dilakukan terhadap
gabah yang dibeli dari petani. Konsekuensi adanya kegiatan sortasi ini adalah
perbedaan harga GKP untuk masing-masing kategori penyortiran. RMU
menyortir GKP dari petani berdasarkan kadar air, biji mati, kadar hampa, dan
umur panen. RMU juga melakukan sortasi terhadap beras yang dihasilkan. RMU
menyortir beras berdasarkan derajat sosoh, derajat keputihan beras, kadar patahan,
kadar menir, dan biji mati. Penyortiran GKP dilakukan pada saluran A dan B
sedangkan penyortiran dilakukan pada seluruh saluran kecuali saluran A1. Fungsi
55
penanggungan risiko yang dihadapi oleh RMU berupa risiko penyusutan,
kerusakan gabah dan beras selama proses pengangkutan, kerusakan gabah dan
beras selama proses pengolahan, dan risiko turunnya harga jual beras di pasar
karena kualitas beras yang tidak sesuai dengan keinginan konsumen dan
melonjaknya produksi beras di pasar akibat panen raya. Fungsi penanggungan
risiko dilakukan RMU pada saluran A dan B. Fungsi informasi pasar berupa
informasi yang dapat diperoleh RMU dari pedagang grosir di pasar mengenai
perkembangan harga beras dan kualitas yang diinginkan oleh konsumen. Fungsi
informasi pasar ada di RMU yang ditemui di saluran A dan B.
4)
Fungsi Tataniaga di Tingkat Grosir
Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang grosir yaitu fungsi
pembelian dan fungsi penjualan. Pada saluran A1, A2, dan A3, pedagang grosir
melakukan pembelian beras dari RMU. Fungsi penjualan dilakukan dengan
menyalurkan beras kepada pedagang ritel, konsumen individu, dan BULOG.
Fungsi fisik yang dilakukan pedagang grosir menyangkut fungsi
pengangkutan dan penyimpanan. Fungsi pengangkutan dilakukan pada saat proses
penjualan beras kepada pedagang ritel dan konsumen. Namun pada saat proses
pembelian pedagang grosir tidak melakukan fungsi pengangkutan dikarenakan
beras diantarkan langsung oleh RMU. Fungsi penyimpanan yaitu kegiatan
penyimpanan beras oleh pedagang grosir di gudang atau tempat usahanya.
Biasanya pedagang grosir menyimpan beras sebagai cadangan stok atau hanya
sekedar singgah sebelum dijual kembali. Pedagang grosir tidak melakukan fungsi
pengolahan lebih lanjut terhadap beras yang dibeli dari RMU.
Fungsi fasilitas yang dilakukan pedagang grosir berupa fungsi sortasi,
penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi fasilitas dilakukan oleh
pedagang grosir dapat ditemui pada saluran. Fungsi sortasi dilakukan pedagang
grosir dengan melakukan pemilahan terhadap kualitas beras yang dibeli dari
RMU. Hal ini berpengaruh terhadap harga beras pada masing-masing kategori
kualitas. Fungsi penanggungan risiko pedagang grosir yaitu risiko penurunan
kualitas beras yang disimpan dan risiko penurunan harga pasar. Namun fungsi
penanggungan risiko oleh pedagang grosir dibebankan kepada RMU dengan
56
menekan harga beli beras. Fungsi informasi pasar berupa informasi yang dapat
diperoleh RMU dari pedagang grosir di pasar mengenai perkembangan harga
beras dan kualitas yang diinginkan oleh konsumen.
5)
Fungsi Tataniaga di Tingkat Ritel
Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang ritel yaitu fungsi
pembelian dan penjualan. Pada saluran A, pedagang ritel melakukan pembelian
beras dari pedagang grosir dan RMU. Fungsi penjualan dilakukan dengan
menyalurkan beras langsung kepada konsumen individu.
Fungsi fisik yang dilakukan pedagang ritel menyangkut fungsi
pengangkutan dan penyimpanan. Proses pengangkutan dilakukan pada saat
pembelian beras dari grosir. Namun pedagang ritel tidak melakukan fungsi
pengangkutan ketika membeli beras dari RMU dikarenakan beras diantarkan
langsung oleh RMU yaitu saluran A4. Fungsi penyimpanan menyangkut kegiatan
penyimpanan beras oleh pedagang ritel di tempat usahanya. Fungsi penyimpanan
dilakukan oleh pedagang ritel di setiap saluran tataniaga. Biasanya pedagang ritel
menyimpan beras hanya sekedar singgah sebelum dijual kembali kepada
konsumen. Pedagang ritel tidak melakukan fungsi pengolahan lebih lanjut
terhadap beras yang dibeli dari pedagang grosir atau RMU.
Fungsi fasilitas yang dilakukan pedagang ritel berupa fungsi sortasi,
penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi fasilitas dilakukan oleh
pedagang ritel di saluran A1 dan A4. Fungsi sortasi dilakukan pedagang ritel
dengan melakukan pemilahan terhadap beras yang dibeli dari RMU berdasarkan
harga. Fungsi penanggungan risiko pedagang ritel yaitu risiko penurunan kualitas
beras yang disimpan dan risiko penurunan harga pasar. Fungsi informasi pasar
berupa informasi yang dapat diperoleh RMU dari pedagang ritel di pasar
mengenai perkembangan harga beras dan kualitas yang diinginkan oleh
konsumen.
6.3.
Analisis Struktur Pasar Tataniaga Beras di Desa Kenduren
Struktur pasar dapat diketahui dengan melihat antara jumlah penjual dan
pembeli, heterogenitas produk yang dipasarkan, kondisi atau keadaan produk,
kemudahan keluar dan masuk pasar, serta informasi mengenai perubahan harga
57
pasar. Struktur pasar dapat menjelaskan pengambilan keputusan oleh suatu
lembaga tataniaga. Secara umum kondisi struktur pasar yang terjadi pada sistem
tataniaga beras di Desa Kenduren adalah persaingan tidak sempurna karena hanya
terdapat satu lembaga tataniaga (tengkulak) yang membeli gabah hasil panen
petani serta terdapat banyak penjual di setiap saluran dan tingkat lembaga
tataniaga lainnya.
1)
Struktur Pasar di Tingkat Petani
Struktur pasar yang dihadapi oleh petani di Desa Kenduren, Kecamatan
Wedung, Kabupaten Demak, Jawa Barat merupakan pasar persaingan tidak
sempurna yaitu pasar oligopsoni murni karena hanya terdapat beberapa lembaga
tataniaga yang menjadi pembeli gabah hasil panen sedangkan terdapat banyak
petani padi yang ingin menjual hasil panennya. Diilihat dari aspek heterogenitas
produk yang diperdagangkan, gabah hasil panen petani bersifat homogen karena
petani hanya menjual dalam GKP kepada tengkulak.
Kondisi hambatan masuk pasar dari sisi petani cukup rendah. Hal ini
dikarenakan dalam memasarkan hasil panennya petani tidak terikat dengan RMU
tertentu. Petani bebas menjual hasil panennya kepada RMU mana saja yang paling
menguntungkan baginya. Selain itu, karena lahan pertanian yang masih luas
membuat pertanian padi masih diandalkan menjadi mata pencaharian utama.
Sedangkan hambatan keluar masuk pasar dari sisi petani tinggi. Kesulitan pertama
adalah masalah teknis budidaya padi dimana petani sangat sulit untuk mengubah
peruntukan sawah untuk padi menjadi lahan untuk komoditas lainnya. Selain itu,
petani juga harus selalu menjual hasil panennya pada tengkulak untuk memenuhi
biaya tanam musim berikutnya.
Di tingkat petani, informasi perubahan harga biasanya diperoleh dari
tengkulak yang membeli hasil panennya. Informasi tersebut akan dengan mudah
menyebar di sesama petani. Sehingga harga di tingkat petani cenderung seragam
dan tidak ada perbedaan yang signifikan.
58
2)
Struktur Pasar di Tingkat Tengkulak
Di tingkat tengkulak atau penebas pada sistem tataniaga beras, struktur
pasar yang dihadapi bersifat pasar persaingan tidak sempurna. Jika dikaitkan
antara tengkulak dengan petani maka struktur pasar di tingkat tengkulak
cenderung bersifat oligopsoni dimana hanya terdapat beberapa pembeli gabah
hasil panen padi dan begitu banyak petani.
Apabila dikaitkan antara tengkulak dengan RMU maka struktur di tingkat
tengkulak cenderung bersifat oligopoli diferensiasi. Hal ini ditunjukan dengan
keberadaan jumlah penjual yaitu tengkulak lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah pembeli yaitu RMU. Sedangkan, produk yang dipertukarkan bersifat
berbeda yaitu GKP dan GKG.
3)
Struktur Pasar di Tingkat RMU
Struktur pasar yang dihadapi oleh RMU cenderung bersifat pasar
persaingan tidak sempurna. Apabila dikaitkan antara RMU dengan petani maka
struktur pasar di tingkat RMU cenderung bersifat oligopsoni dimana hanya
terdapat beberapa pembeli gabah hasil panen padi. Struktur pasar ini digambarkan
oleh beberapa pembeli gabah yaitu RMU dan banyak penjual gabah yaitu para
petani padi. Kondisi ini juga ditunjang dengan produk gabah yang dipertukarkan
bersifat homogen dan hambatan keluar masuk dari sisi RMU sebagai pembeli
cukup rendah karena RMU bebas menentukan untuk membeli atau tidak hasil
panen petani.
Apabila dikaitkan antara RMU dengan pedagang grosir dan pedagang ritel
di pasar maka struktur pasar di tingkat pedagang pengumpul cenderung bersifat
oligopoli. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan jumlah penjual yaitu RMU
lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pembeli yaitu pedagang grosir dan
pedagang ritel. Hambatan keluar masuk RMU cukup tinggi. Hal ini dikarenakan
RMU dan grosir sudah ada kepercayaan yang tinggi untuk memasarkan beras dari
RMU. Produk yang dipertukarkan bersifat homogen yaitu beras yang telah disortir
berdasarkan kualitasnya. Namun, RMU menghadapi struktur pasar yang
monopsoni ketika dihadapkan dengan Subdivre BULOG Semarang. Hal ini
dikarenakan Subdivre BULOG Semarang
merupakan satu-satunya lembaga
59
tataniaga yang bertujuan untuk menjaga kebutuhan cadangan beras pemerintah.
Hambatan keluar masuk RMU tinggi karena RMU telah terikat kontrak dengan
Subdivre BULOG Semarang untuk memasok gabah dengan jumlah tertentu ketika
menjadi Mitra Kerja.
RMU merupakan lembaga tataniaga yang dapat mempengaruhi harga
pasar bersama dengan pedagang grosir. RMU memperoleh informasi harga
melalui pihak grosir dan Subdivre BULOG Semarang. Informasi ini mudah
diakses sehingga umumnya harga yang ditetapkan RMU terhadap petani dan
tengkulak maupun grosir luar daerah seragam. Namun RMU tidak dapat
mempengaruhi tingkat harga di Subdivre BULOG Semarang. Hal ini dikarenakan
harga pembelian Subdivre BULOG Semarang bersifat tetap dan merupakan
kebijakan dari pemerintah.
4)
Struktur Pasar di Tingkat Grosir
Pedagang grosir menghadapi strukur pasar yang cenderung oligopoli
ketika berhadapan dengan RMU dimana pedagang grosir berlaku sebagai pembeli
dan RMU berlaku sebagai penjual. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah RMU
yang menjual beras kepada pedagang grosir. Pedagang grosir ini memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi harga beras karena pedagang grosir mampu
memprediksi harga beras berdasarkan jumlah pasokan setiap periode dengan
banyaknya permintaan dari pedagang ritel dan konsumen.
Pedagang grosir menghadapi strukur oligopoli ketika berhadapan dengan
pedagang ritel dan konsumen dimana pedagang grosir berlaku sebagai penjual dan
pedagang ritel dan konsumen berlaku sebagai pembeli. Hal ini ditunjukkan oleh
beberapa pedagang grosir yang menjual beras kepada banyak pedagang ritel dan
konsumen. Disamping itu, produk yang dipertukarkan pun bersifat homogen yaitu
berupa beras. Hambatan keluar masuk pasar bagi pedagang grosir tidak terlalu
sulit. Hal ini dikarenakan dengan modal yang kuat dan kemampuan mengakses
pasar seseorang dapat menjadi pedagang grosir.
Grosir merupakan lembaga tataniaga yang dapat mempengaruhi harga
pasar bersama dengan RMU. Grosir memperoleh informasi harga dengan
memperhatikan harga dasar di Subdivre BULOG Semarang dan kondisi
60
permintaan dan penawaran beras di pasar. Informasi ini cukup sulit diperoleh
karena membutuhkan perhitungan yang cermat. Namun grosir tidak dapat
mempengaruhi tingkat harga di Subdivre BULOG Semarang. Hal ini dikarenakan
harga pembelian Subdivre BULOG Semarang bersifat tetap dan merupakan
kebijakan pemerintah.
5)
Struktur Pasar di Tingkat Ritel
Struktur pasar yang terjadi di tingkat pedagang ritel adalah cenderung
bersaing sempurna baik saat menghadapi pedagang grosir maupun konsumen. Hal
ini dikarenakan jumlah pedagang ritel yang berlaku sebagai penjual dan jumlah
konsumen yang berlaku sebagai pembeli cukup banyak. Begitu pula pedagang
grosir yang berperan sebagi penjual dan pedagang ritel sebagai pembeli cukup
banyak jumlahnya. Selain itu, produk yang dipertukarkan cenderung bersifat
homogen, dan pedagang ritel tidak dapat mempengaruhi harga.
Informasi pasar mengenai harga yang terjadi di tingkat pedagang ritel
diperoleh dari pedagang grosir dan pedagang ritel lainnya. Sehingga arus
informasi dapat dengan mudah diperoleh pedagang ritel. Hambatan keluar masuk
pasar cenderung rendah karena tidak adanya peraturan atau ikatan khusus untuk
menjadi pedagang ritel.
6.4.
Perilaku Pasar Tataniaga Beras di Desa Kenduren
Perilaku pasar merupakan sebagai suatu pola atau tingkah laku dari
lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana
lembaga-lembaga tersebut melakukan aktivitas penjualan dan pembelian serta
penentuan keputusan-keputusan dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Selain
itu, perilaku pasar juga diartikan sebagai strategi produksi dan konsumsi dari
lembaga tataniaga dalam struktur pasar tertentu yang meliputi praktik pembelian
dan penjualan, sistem penentuan harga, sistem pembayaran dalam transaksi, serta
kerjasama antar lembaga tataniaga. Secara umum praktik pembelian dan
penjualan di Kabupaten Demak dipengaruhi oleh ikatan antar lembaga yaitu
ikatan pelanggan, ikatan kekeluargaan, dan ikatan modal.
61
6.4.1. Praktik Pembelian dan Penjualan
1)
Praktik Pembelian dan Penjualan di Tingkat Petani
Petani menjual gabah hasil panen mereka kepada tengkulak. Semua petani
yang menjual hasil panennya pada tengkulak menggunakan sistem tebas. Sistem
ini jika dipahami sebenarnya akan merugikan petani. Hal ini karena tengkulak
melakukan sistem tebas hanya dengan menggunakan perkiraan. Tidak ada
perhitungan dengan pasti berapa berat padi yang ditebas. Sehingga jika perkiraan
tengkulak lebih rendah dari berat sebenarnya, maka sistem ini telah merugikan
petani. Namun tidak hanya merugikan petani saja. Terkadang tungkulak juga
dapat mengalami kerugian jika perkiraan mereka yang salah dimana berat hasil
sesungguhnya ternyata di bawah perkiraan.
Hingga saat ini kebanyakan petani masih menggantungkan dirinya pada
tengkulak untuk menjual hasil panennya. Penyebabnya masih berkutat pada
masalah modal dimana petani ingin segera menjual padinya untuk mendapatkan
uang tunai.
2)
Praktik Pembelian dan Penjualan di Tingkat Tengkulak
Tengkulak masih menempati posisi tawar yang labih tinggi di atas petani.
Artinya, petani masih tergantung pada tengkulak untuk menjual hasil panennya.
Seperti yang telah diuraikan pada bagian praktik pembelian dan penjualan petani,
tengkulak membeli padi hasil panen menggunakan sistem tebas. Tengkulak
mendatangi sawah petani yang siap panen dan melakukan panen menggunakan
fasilitas dari tengkulak. Kegiatan penjualan tengkulak dilakukan pada RMU.
3)
Praktik Pembelian dan Penjualan di Tingkat RMU
Praktik pembelian beras yang dilakukan RMU dilakukan dengan
tengkulak-tengkulak dan beberapa petani yang langsung menjual gabah panennya.
Beberapa RMU memiliki mesin giling yang sudah terintegrasi dimana mesin ini
dapat menjalankan beberapa tahap dalam RMU seperti pemecahan kulit hingga
shinning (pemolesan) dalam satu kali proses giling. Sehingga produktivitas RMU
yang memiliki mesin ini jauh lebih tinggi dibandingkan RMU dengan mesin yang
tidak terintegrasi.
62
Praktik penjualan beras yang dilakukan RMU adalah menjual beras kepada
grosir, ritel, BULOG, dan konsumen akhir. RMU yang menjadi Mitra Kerja
BULOG adalah RMU yang memiliki kapasitas produksi yang besar dan produksi
yang kontinyu. Kondisi RMU yang ada di lapang tidak semua baik. Dapat
ditemukan beberapa RMU yang berhenti beroperasi karena kesulitan modal untuk
membeli gabah.
4)
Praktik Pembelian dan Penjualan di Tingkat Grosir
Grosir melakukan pembelian beras melaui RMU. Beberapa grosir
memiliki mesin shinning (pemutih) dimana mesin tersebut digunakan untuk
memutihkan beras yang dibeli dari RMU karena grosir juga menerima beras dari
RMU dengan berkualitas rendah. Selain untuk memperbaiki kualitas beras, mesin
tersebut juga ditujukan untuk menghasilkan beras kulaitas super dengan harga
yang tinggi.
Praktik penjualan beras yang dilakukan grosir adalah melalui ritel dan
Subdivre BULOG. Grosir yang menyalurkan berasnya kepada Subdivre BULOG
adalah grosir yang memiliki kapasitas gudang yang besar dimana perputaran
perdangan beras setiap harinya sangat besar. Penjualan dari grosir kepada
Subdivre BULOG Semarang dilakukan melalui suatu kontrak kerjasama
pengadaan cadangan beras pemerintah yang disebut Mitra Kerja. Sehingga
kuantitas, kualitas, dan harga GKG yang disalurkan sudah ditetapkan sebelumnya
oleh Subdivre BULOG Semarang. Beras yang dibeli Subdivre BULOG adalah
beras yang ditujukan sebagai stok pemerintah yang disebut Cadangan Beras
Pemerintah (CBP).
5)
Praktik Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Ritel
Praktik pembelian pada tingkat pedagang pengecer atau retail dilakukan
dengan grosir dan RMU. Penjualan yang dilakukan pedagang pengecer dilakukan
dengan konsumen akhir. Ritel-ritel yang menjual beras merupakan pedagang
kelontong yang tidak mengkhususkan beras sebagai produk utama.
63
6.4.2. Sistem Penentuan Harga dalam Transaksi
Sistem penentuan harga dalam sistem tataniaga beras di Desa Kenduren
sebagian besar dilakukan dengan cara tawar menawar. Namun, dalam sistem
tataniaga beras yang melibatkan Subdivre BULOG keputusan penetapan harga
oleh pemerintah. Prosedur ini dilakukan dengan melakukan kontrak pengadaan
yang dibuat setiap satu tahun sekali. Di tingkat petani harga gabah hasil panen
ditentukan oleh lembaga yang lebih tinggi (tengkulak, RMU, dan grosir), karena
tengkulak, RMU, dan grosir lebih menguasai informasi pasar beras dibandingkan
para petani.
Penentuan harga antara RMU dan grosir dalam praktiknya melalui
perhitungan dari masing-masing biaya pertahapan pengolahan gabah hingga beras
dikemas, biaya pengiriman, ditambahkan besarnya insentif bagi RMU. Namun
pada akhirnya harga yang terbentuk merupakan hasil dari tawar-menawar antara
RMU dengan grosir dengan mempertimbangkan harga pasar. Sistem penetapan
harga di tingkat grosir dilakukan dengan penetapan harga tetap per kilogram untuk
beras. Pedagang grosir memiliki kemampuan untuk menentukan harga bagi
pembelinya (ritel dan konsumen individu) yang diperoleh dari harga beli ditambah
dengan biaya pemasaran dan keuntungan. Sistem penetapan harga di tingkat ritel
dilakukan dengan penetapan harga tetap per kilogram untuk beras oleh pedagang
ritel yang diperoleh dari harga beli ditambah dengan biaya pemasaran dan
keuntungan.
6.4.3. Sistem Pembayaran yang Digunakan dalam Transaksi
Sistem pembayaran yang digunakan oleh lembaga tataniaga beras di
Kabupaten Demak antara lain sebagai berikut :
1) Sistem Pembayaran Tunai
Sistem pembayaran tunai dilakukan pada sebagian besar transaksi oleh
lembaga tataniaga. Sistem pembayaran ini akan lebih sering digunakan ketika
musim paceklik karena jumlah pasokan yang sedikit sehingga semua lembaga
bersaing untuk mendapatkannya. Lembaga tataniaga yang menggunakan sistem
pembayaran ini antara lain: petani kepada tengkulak, konsumen individu kepada
64
pedagang ritel, grosir, dan RMU; pedagang ritel kepada grosir dan RMU; dan
Subdivre BULOG kepada grosir dan RMU.
2) Sistem Tunda Bayar
Sistem pembayaran tunda bayar dilakukan oleh beberapa lembaga
tataniaga yang terlibat di Desa Kenduren. Sistem pembayaran ini disepakati antara
kedua lembaga tataniaga. Mekanisme pembayarannya yaitu pembeli akan
membayar setelah tiga hingga tujuh hari setelah bagah/beras diterima. Sistem
pembayaran ini biasanya dilakukan pada saat musim panen raya yaitu ketika
pasokan beras melimpah sehingga posisi penjual menjadi lebih lemah
dibandingkan pembeli. Lembaga tataniaga yang menggunakan sistem pembayaran
ini antara lain grosir kepada RMU; dan sebagian tengkulak kepada petani.
6.4.4. Kerjasama antar Lembaga Tataniaga Beras
Meski telah dibentuk kelompok tani maupun gapoktan, bentuk kerjasama
yang dilakukan oleh petani padi belum terkordinasi dengan baik. Hal ini terbukti
dengan tidak adanya kordinasi ketika petani menjual hasil panennya. Petani
menjualnya secara sendiri-sendiri kepada tengkulak. Sehingga besaran harga akan
sangat dipengaruhi oleh tengkulak dan petani cenderung hanya sebagai penerima
harga (price-taker). Selain itu, petani juga tidak memiliki kerjasama tertentu
dengan lembaga-lembaga tataniaga lainnya.
Kerjasama yang terjadi diantara sesama RMU biasanya terjadi ketika akan
menentukan harga beli hasil panen petani. Para RMU biasanya akan saling
menghubungi dan menentukan harga tertinggi untuk pembelian gabah. Hal ini
mungkin dilakukan karena jumlah RMU yang lebih sedikit dibandingkan jumlah
petani (pasar oligopsoni). Kemudian RMU dan grosir juga memiliki kerjasama
dengan Subdivre BULOG sebagai Mitra Kerja.
6.5.
Analisis Biaya dan Marjin Tataniaga
Ukuran dan jenis biaya tataniaga yang dikeluarkan setiap lembaga
tataniaga berbeda-beda. Pada tingkat petani, tidak terdapat biaya tataniaga karena
65
petani menjual padi menggunakan sistem tebas. Sedangkan biaya yang dimiliki
petani adalah biaya produksi usahatani padi dimana biaya ini digunakan untuk
mengetahui keuntungan yang petani dapatkan. Biaya yang dikeluarkan oleh
tengkulak antara lain meliputi biaya transportasi, kemasan, survei, dan
penyusutan. Pada tingkat RMU biaya tataniaga lebih besar dan banyak jenisnya
meliputi, biaya transportasi, pengeringan, RMU, kemsan, survei, dan penyusutan.
Biaya tataniaga pada grosir antara lain biaya transportasi, tenaga kerja, dan
kemasan. Selanjutnya, biaya transportasi dan pengemasan merupakan jenis biaya
tataniaga pada ritel.
Marjin tataniaga pada setiap saluran sistem tataniaga beras dapat dilihat
pada Lampiran 5. Analisis marjin tataniaga beras di Kabupaten Demak digunakan
untuk mengukur tingkat efisiensi sistem tataniaga beras. Marjin tataniaga beras
memiliki arti sebagai selisih harga antara harga yang diterima petani padi dengan
harga yang dibayarkan oleh konsumen beras. Perhitungan marjin tataniaga
menggunakan komponen biaya tataniaga dan keuntungan.
6.5.1. Analisis Biaya dan Marjin Tataniaga pada Saluran A
1)
Analisis Marjin Tataniaga Saluran 1A
Total marjin tataniaga pada saluran 1A pada saluran tataniaga A adalah
sebesar Rp 2.364,00 per kilogram. Total marjin tataniaga tersebut berasal dari
tengkulak sebesar Rp 1.091,00, RMU sebesar Rp 773,00 per kilogram, grosir
sebesar Rp 300,00 per kilogram, dan ritel sebesar Rp 200,00 per kilogram.
Keuntungan total sebesar Rp 3.442,00 berada pada saluran tataniaga 1A.
Total keuntungan tersebut berasal dari petani sebesar Rp 1.691,00 per kilogram,
tengkulak Rp 923,00 per kilogram, RMU Rp 443,00 per kilogram, grosir Rp
200,00, dan ritel Rp 185,00 per kilogram.
2)
Analisis Marjin Tataniaga 2A
Total marjin tataniaga pada saluran 2A sebesar Rp 2.164,00. Adapun
kontribusi marjin tataniaga yang diperoleh tengkulak pada saluran 2A sebesar
66
sebesar Rp 1.091,00, RMU sebesar Rp 773,00 per kilogram, dan grosir sebesar Rp
300,00 per kilogram. Besarnya keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp
1.691,00 per kilogram, tengkulak Rp 906,00 per kilogram, RMU Rp 435,00 per
kilogram, dan grosir Rp 200,00. Sehingga pada saluran 2A terdapat total
keuntungan Rp 3.232,00.
3)
Analisis Marjin Tataniaga Saluran 3A
Total marjin tataniaga pada saluran 3A sebesar Rp 2.354,00. Adapun
kontribusi marjin tataniaga yang diperoleh tengkulak pada saluran 3A sebesar Rp
1.091,00, RMU sebesar Rp 973,00 per kilogram, dan ritel sebesar Rp 290,00
kilogram. Besarnya keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp 1.691,00 per
kilogram, tengkulak Rp 923,00 per kilogram, RMU Rp 643,00 per kilogram, dan
ritel Rp 285,00. Sehingga pada saluran 3A terdapat total keuntungan Rp 3.542,00.
4)
Analisis Marjin Tataniaga Saluran 4A
Total marjin tataniaga pada saluran 4A sebesar Rp 2.064. Adapun
kontribusi marjin tataniaga yang diperoleh tengkulak pada saluran 4 adalah
sebesar Rp 1.091,00 per kilogram dan RMU sebesar Rp 973,00 per kilogram.
Saluran 4A memiliki besar margin terkecil diantara yang lain, sehingga dapat
disimpulkan bahwa saluran 4A merupakan saluran yang paling efisien.
Besarnya keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp 1.691,00 per
kilogram, tengkulak Rp 933,00 per kilogram dan RMU Rp 643,00 per kilogram.
Sehingga pada saluran 4A terdapat total keuntungan Rp 3.267,00.
6.5.2. Analisis Biaya dan Marjin Tataniaga pada Saluran B
1)
Analisis Marjin Tataniaga Saluran 1B
Total marjin tataniaga pada saluran 1B sebesar Rp 1.464,00. Adapun
kontribusi marjin tataniaga yang diperoleh tengkulak pada saluran 1B sebesar
sebesar Rp 1.091,00, RMU sebesar Rp 273,00 per kilogram, grosir sebesar Rp
100,00 per kilogram. Besarnya keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp
1.691,00 per kilogram, tengkulak Rp 931,00 per kilogram, RMU Rp 83,00 per
67
kilogram, dan grosir Rp 100,00. Sehingga pada saluran 1B terdapat total
keuntungan Rp 2.805,00.
2)
Analisis Marjin Tataniaga Saluran 2B
Total marjin tataniaga pada saluran 2B sebesar Rp 1.464. Adapun
kontribusi marjin tataniaga yang diperoleh tengkulak pada saluran 2B sebesar
sebesar Rp 1.091,00 per kilogram dan RMU sebesar Rp 373,00 per kilogram.
Besarnya keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp 1.691,00 per kilogram,
tengkulak Rp 923,00 per kilogram dan RMU Rp 35,00 per kilogram. Sehingga
pada saluran 2 terdapat total keuntungan Rp 2.649,00.
Marjin tataniaga pada saluran 2 sama besar seperti pada saluran 1.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa saluran 1B dan 2B merupakan saluran yang
paling efisien secara keseluruhan.
Analisis Farmer’s Share
6.6.
Analisis farmer’s share merupakan perbandingan antara harga yang
diterima oleh petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir. Analisis
farmer’s share digunakan sebagai salah satu indikator untuk menentukan efisiensi
operasional sistem tataniaga suatu produk atau komoditas. Biasanya analisis
farmer’s share dinyatakan dalam bentuk presentase. Analisis farmer’s share
berkebalikan dengan marjin tataniaga dalam besarnya nilai. Semakin tinggi marjin
tataniaga suatu produk atau komoditi berarti bagian yang diterima petani semakin
rendah.
68
Tabel 9. Farmer’s Share pada Setiap Saluran Tataniaga A di Desa Kenduren
Tahun 2011
Saluran
Pemasaran
Harga beras di tingkat petani
(Rp/Kg)*
Harga di Tingkat
Konsumen (Rp/kg)
Farmer’s
share (%)
1
3.636
6.000
61
2
3.636
6.000
61
3
3.636
5.700
64
4
3.636
5.700
64
* Harga jual beras didapat dari harga gabah dibagi rendemen (55%).
Tabel 10. Farmer’s Share pada Setiap Saluran Tataniaga B di Desa Kenduren
Tahun 2011
Saluran
Pemasaran
Harga beras di tingkat petani
(Rp/Kg)*
Harga di Tingkat
Konsumen (Rp/kg)
Farmer’s
share (%)
1
3.636
5.100
71
2
3.636
5.100
71
* Harga jual beras didapat dari harga gabah dibagi rendemen (55%).
Berdasarkan Tabel 9 dan Tabel 10, dapat diketahui bahwa saluran B
memiliki farmer’s share terbesar sebesar 71 persen. Saluran B merupakan saluran
dengan total margin terendah. Hal ini sesuai dengan teori bahwa semakin kecil
margin, akan membuat nilai farmer’s share semakin besar. Secara keseluruhan
dapat disimpulkan bahwa saluran B memberikan manfaat terbesar bagi petani.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa saluran B adalah saluran yang paling efisien.
BULOG secara tidak langsung memberikan nilai lebih bagi petani. Dalam hal ini
BULOG bertindak sebagai lembaga yang menjadi penyeimbang harga di pasar.
6.7.
Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya
Biaya tataniaga memiliki pengertian sebagai biaya yang dikeluarkan oleh
lembaga tataniaga dalam sistem tataniaga beras yang menyalurkan gabah hasil
panen petani padi organik hingga menjadi beras organik yang sampai kepada
konsumen akhir. Sedangkan keuntungan tataniaga merupakan selisih harga jual
dengan biaya yang dikeluarkan selama proses tataniaga beras berlangsung.
Perbandingan atau rasio antara besarnya keuntungan dengan biaya tataniaga dapat
menunjukan efesiensi operasional tataniaga dari suatu komoditas. Saluran
69
tataniaga dapat dinyatakan efisien apabila penyebaran nilai rasio keuntungan
terhadap biaya di setiap lembaga tataniaga merata. Hal ini berarti setiap biaya
yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan yang
tidak jauh berbeda antara masing-masing lembaga tataniaga yang ada pada saluran
tataniaga tersebut. Adapun rasio keuntungan dan biaya tataniaga beras di Desa
Kenduren dapat dilihat pada Lampiran 6. Pembahasan analisis rasio keuntungan
terhadap biaya adalah sebagai berikut.
6.7.1. Analisis Keuntungan Terhadap Biaya Saluran A
1)
Analisis Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 1
Saluran 1A memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 2,86 yang
berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan
memberikan keuntungan sebesar Rp 2,86. Rasio keuntungan dan biaya pada ritel
yaitu sebesar 12,33. Nilai rasio keuntungan dengan biaya yang terdapat pada
setiap lembaga dimana tengkulak memiliki nilai 5,49; RMU sebesar 1,34; dan
grosir sebesar 2,00.
2) Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 2
Saluran 2A memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 2,47 yang
berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan
memberikan keuntungan sebesar Rp 2,47. Pada saluran 2A, rasio keuntungan
terbesar dimiliki oleh tengkulak yaitu sebesar 5,49. Rasio pada RMU sebesar 1,29
dan grosir sebesar 2,00.
3)
Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 3
Saluran 3A memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 3,64 yang
berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan
memberikan keuntungan sebesar Rp 3,64. Nilai rasio ini adalah yang terbesar
dibandingkan saluran yang lain. Tengkulak menghasilkan nilai rasio sebesar 5,49,
RMU sebesar 1,95, dan ritel sebesar 28,50. Ritel menghasilkan nilai yang paling
besar karena pada saluran 3A ritel membeli beras dari RMU dimana harga beras
lebih murah dan biaya tataniaga ritel yang kecil.
70
Meskipun total rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran 3A
merupakan yang terbesar, namun jika dilihat dari persebaran nilai rasio tiap
lembaga terdapat selisih yang jauh antara ritel dengan tengkulak dan RMU. Meski
demikian dapat disimpulkan bahwa saluran pemasaran beras di Kabupaten Demak
yang paling efisien adalah saluran 3A secara keseluruhan.
4)
Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 4
Saluran 4A memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 3,23 yang
berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan
memberikan keuntungan sebesar Rp 3,23. Tengkulak menghasilkan nilai rasio
sebesar 5,90 dan RMU sebesar 1,95. Jika dilihat dari persebaran nilai rasio,
saluran 4A dapat dikatakan cukup efisien. Nilai rasio yang dimiliki tengkulak dan
RMU cukup merata jika dibandingkan dengan saluran 4A dimana terdapat ritel
yang nilai rasionya terlampau jauh jika dibandingkan tengkulak dan RMU.
6.7.1. Analisis Keuntungan Terhadap Biaya Saluran B
1)
Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 1
Saluran 1B memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 2,90 yang
berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan
memberikan keuntungan sebesar Rp 2,90. Pada lembaga grosir, biaya
tataniaganya tidak dapat diketahui karena beras dijual kepada Subdivre BULOG
dimana seluruh kegiatan pada proses penjualan ditanggung Subdivre BULOG
seperti transportasi dan kemasan. Jika dipandang dari ketiga pendekatan dalam
menentukan saluran pemasaran yang efisien, diketahui bahwa saluran pemasaran
1 lebih efisien dibandingkan dengan saluran 2B.
2)
Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 2
Saluran 2B memiliki total rasio keuntungan dan biaya sebesar 1,89 yang
berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan
memberikan keuntungan sebesar Rp 1,89. Tengkulak menghasilkan nilai rasio
sebesar 5,49 dan RMU sebesar 0,10. Pada lembaga grosir, nilai rasio keuntungan
terhadap biaya tidak dapat dihitung dikarenakan grosir di sini menyaluran
71
berasnya kepada Subdivre BULOG. Nilai rasio tidak diketahui karena pada grosir
tidak mengeluarkan biaya-biaya pemasaran karena kegiatan ketika pembelian
beras sepenuhnya ditanggung Subdivre BULOG seperti biaya transportasi dan
kemasan.
72
VII
7.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini, dapat diambil
beberapa kesimpulan, yaitu:
1)
Saluran tataniaga beras di Desa Kenduren terdiri dari beberapa lembaga
tataniaga yaitu petani, tengkulak, RMU, grosir, dan ritel. Berdasarkan
analisis yang dilakukan, terdapat enam saluran tataniaga di Kabupaten
Demak. Tengkulak menjadi lembaga yang memiliki market share terbesar
dalam setiap saluran tataniaga. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan
petani pada tengkulak dalam memasarkan hasil panen mereka. Penelitian
membuktikan bahwa 100 persen petani responden menjual padi mereka
kepada tengkulak melalui sistem tebas. Lembaga-lembaga tataniaga tersebut
melakukan beberapa fungsi yaitu fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas.
Struktur pasar tataniaga beras yang ada di Desa Kenduren adalah pasar
persaingan tidak sempurna. Hal ini terjadi karena jumlah penjual dan
pembeli tidak seimbang. Perilaku pasar yang dilakukan adalah jual beli padi
dan beras. Jual beli padi dilakukan petani dengan tengkulak melalui sistem
tebas dan penentuan harga melalui tawar-menawar. Sedangkan pedagang
yang melakukan jual beli beras ada yang membayar dengan sistem tunai
maupun tunda bayar. Sebagai lembaga yang memberikan jaminan harga dan
pasar bagi produsen atau petani, BULOG dinilai belum berfungsi. Hal ini
ditunjukkan dengan aktivitas BULOG yang hanya menyerap beras dari
grosir dan RMU.
2)
Melalui pendekatan analisis marjin tataniaga, farmer’s share, rasio
keuntungan dan biaya, terdapat saluran tataniaga yang paling efisien. Dari
keenam saluran yang ada, saluran 1B merupakan saluran yang paling efisien
dilihat melalui pendekatan analisis tersebut. Saluran tersebut memiliki total
marjin terkecil yaitu sebesar Rp 1.464,00. Berdasarkan analisis farmer’s
share, saluran 1B memiliki nilai terbesar yaitu sebesar 71 persen.
Sedangkan melalui analisis rasio keuntungan dan biaya, saluran yang paling
efisien adalah saluran 3A dengan rata-rata rasio sebesar 3,64. Namun dari
keenam saluran tersebut, saluran 1B merupakan saluran yang memiliki
volume perdagangan terbesar yaitu 2.581,9 ton atau 21,22 persen dari total
pangsa pasar perdagangan beras yang berarti paling memberikan prospek
kepada petani dan seluruh lembaga untuk memasarkan produknya.
Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa saluran IB
merupakan saluran yang paling efisien dan layak untuk terus dikembangkan
di Desa Kenduren.
7.2.
Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan, ada beberapa saran yang dapat
dilaksanakan antara lain:
1)
Memberikan insentif kepada petani adalah cara yang dapat ditempuh
pemerintah agar menjual produknya dalam bentuk gabah kering giling atau
beras. Hal ini perlu dilakukan agar petani tidak selalu mendapatkan harga
gabah kering panen yang rendah saat menjual kepada tengkulak, sehingga
petani juga mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik karena selama ini
tengkulak selalu memberikan harga yang jauh lebih rendah dari standar
harga gabah kering panen.
2)
BULOG seharusnya lebih peduli terhadap kondisi petani yang selalu
dirugikan oleh mekanisme pasar. Perlu dilakukan perencanaan kedepan agar
BULOG mampu menyerap gabah petani dan menjamin harga di tingkat
petani agar petani mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik.
3)
Dari sisi kelembagaan, peran kelompok tani belum dapat dirasakan petani
sehingga diharapkan kelompok tani di daerah setempat dapat dikembangkan
labih baik. Kelompok tani dapat memberikan manfaat kepada petani jika
dikelola dengan baik.
4)
Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan lebih mendalami tentang usahatani
padi di Kabupaten Demak karena masih banyak permasalahan yang muncul
di subsistem hulu tingkat petani terutama dalam proses produksi padi itu
sendiri.
74
DAFTAR PUSTAKA
Ammang B dan Sawit MH. 2001. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional:
Pelajaran dari Orde Baru dan Orde Reformasi. Bogor: IPB Press
Aniro N. 2009. Analisis Sistem Tataniaga Beras Pandan Wangi di Kecamatan
Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat [skripsi].
Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Bank Indonesia [BI]. 2009. Kajian Ekonomi Regional NTT: Survei Pembentukan
Harga Beras di Kupang, Triwulan I. Kupang
[BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun. Jumlah Penduduk Indonesia Sesuai
Sensus Penduduk Nasional (1971-2005). Jakarta: Badan Pusat Statistik.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010(a). Data Strategis Indonesia. Jakarta: Badan
Pusat Statistik
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010(b). Kabupaten Demak dalam Angka. Demak:
Badan Pusat Statistik
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010(c). Kecamatan Wedung dalam Angka. Demak:
Badan Pusat Statistik
Dahl DC dan Hammond I. 1977. Market and Price Analysis the Agricultural
Industries. New York: Mc Grow-Hill Company.
Ellis F. 1992. Rice Marketing in Indonesia: Methodology, Results and
Implications of a Reasearch Study. Marketing Series, 4. Catham. Natural
Resources Institute
Gandhi P. 2008. Analisis Usahatani dan Tataniaga Varietas Unggul (Studi Kasus
Padi Pandan Wangi di Kecamatan Warung Kondang, Kabupaten Cianjur)
[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hidayat B. 2010. Analisis Pendapatan Usahatani Dan Tataniaga Padi Organik Di
Kelurahan Sukaresmi Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor [skripsi].
Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Kohls RL dan Uhls JN. 1990. Marketing of Agricultural Products Ninth Edition.
New York: McMillan Publishing Company.
Kotler P dan KL Keller. 2006. Marketing Management twelefth-e Edition. New
Jersey: Pearson Education Inc.
Limbong WH dan Sitorus P. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian.Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Mardianto S. 2005. Dinamika Pola Pemasaran Gabah dan Beras di Indonesia.
Bogor. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Ministry of Agriculture and Rural Development of Vietnam. 1999. The
Organization of the Liberalized Rice Market in Vietnam. Hanoi
Murdani D. 2008. Analisis Usahatani dan Pemasaran Beras Varietas Pandan
Wangi dan Varietas Unggul Baru (Kasus Kecamatan Warungkondang,
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Nafis F. 2010. Analisis Usahatani Padi Organik Dan Sistem Tataniaga Beras
Organik Di Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor:
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Rusastra IW. 2001. Struktur Pasar dan Pemasaran Gabah-Beras dan Komoditas
Kompetitor Utama. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian.
Sawit MH dan Hariyadi H. 2010. Arsitektur Kebijakan Beras di Era Baru. Bogor:
PT Penerbit IPB Press
Sawit MH dan Lakollo. 2007. Rice Import Surge in Indonesia. Jakarta. ICASEPS
& AAI.
Siregar H. 1987. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Jakarta: Sastra Hudaya
Supriatna A. 2002. Analisis Sitem Pemasaran Gabah dan Beras (Studi Kasus
Petani Padi di Sumatera Utara). Bogor. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Sutawi. 2009. Tinjauan Distribusi Pangan [tesis]. Malang: Program Magister
Agribisnis, Universitas Muhammadiyah Malang.
[USDA] United State Departement of Agriculture. 2011. World’s Rice Consumer.
New York. Amerika Serikat
Wiboonpongse A. 2001. Rice Marketing System in Thailand. Chiang Mai:
Multiple Cropping Centre. Chiang Mai University
Zalukhu J. 2009. Analisis Usahatani dan Tataniaga Padi Varietas Unggul Nasional
(Kasus Varietas Bondoyudo pada Gapoktan Tani Bersatu, Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor
76
LAMPIRAN
Lampiran 1. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi per Provinsi di
Indonesia Tahun 2010
Provinsi
Indonesia
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
Luas Panen (Ha)
13.244.184
352.520
754.659
460.497
156.088
153.897
769.478
133.629
590.609
8.175
396
2.015
2.037.763
1.801.397
147.058
1.963.983
406.411
152.190
374.284
172.821
428.461
247.064
471.166
149.797
119.626
202.312
885.823
107.751
45.937
75.923
20.233
16.071
9.464
26.686
Produktivitas
(Ku/Ha)
50,14
44,89
47,47
48,02
36,83
40,86
42,53
38,68
47,54
27,22
31,46
55,40
57,60
56,13
56,02
59,29
50,39
57,11
47,41
30,86
31,37
26,26
39,10
39,26
48,77
46,04
49,38
42,19
55,20
47,80
41,08
34,47
36,19
38,45
Produksi (Ton)
66.411.469
1.582468
3.582.432
2.211.248
574.864
628.828
3.272.451
516.869
2.807.791
22.249
1.246
11.164
11 737 683
10.110.830
823 .87
11.643.773
2.048.047
869.161
1.774.499
533.268
1.343.888
648.872
1.842.089
588.112
583.458
931.379
4.374.432
454.644
253.563
362.900
83.109
55.401
34.254
102.610
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah)
78
Lampiran 2. Kategori Karakteristik Responden Petani Desa Kenduren 2011
Kategori
Kategori Kelompok Umur (tahun)
10-29
30-44
45-59
≥ 60
Total
Kategori Pendidikan Formal
SD
SMP/MTS
SMA/MA/SMK
D3/S1
Total
Kategori Lama Usahatani (tahun)
<10
11-20
21-30
≥31
Total
Kategori Luas Lahan yang Dikuasai (ha)
<0,49
0,5-0,99
1-1,99
2-4,99
≥5
Total
Kategori Status Penguasaan Lahan (ha)
Hak Milik
Sewa
Sakap
Gadai
Total
Kategori Status Usahatani
Utama
Sampingan
Total
N
%
0
11
13
6
30
0
36,67
43,33
20,00
100,00
22
3
3
2
30
73,33
10,00
10,00
6,67
100,00
11
8
9
2
30
36,67
26,67
30,00
6,67
100,00
0
0
17
12
1
30
0
0
56,67
40,00
3,33
100,00
11
11
10
0
32
34,375
34,375
31,250
0
100,00
29
1
30
96,67
3,33
100,00
79
Lampiran 3. Data Responden Petani Desa Kenduren Kecamatan Wedung 2011
No.
Nama
1.
Muadhim
2.
Imron
Abdillah, S.Pd
3.
Khamdan
Daunan
4.
Usman
5.
Jazuli
6.
Jupri
7.
Khoirul Amri
8.
Akin
9.
Turmudi
10.
Ahmad Rusdi
11.
Sa'ruf
12.
Iklil
13.
Nukhin
14.
Mashadi
15.
Sholich
16.
Anis M
17.
Muzairi
Alamat
Desa Kenduren,
RT 2 RW 2,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 4 RW 5,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 3 RW 1,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 3 RW 3,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 2 RW 1,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 2 RW 1,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 3 RW 1,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 3 RW 1,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 6 RW 7,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 2 RW 1,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 2 RW 3,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 3 RW 1,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 3 RW 3,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 7 RW 2,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 5 RW 1,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 5 RW 3,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 1 RW 1,
Wedung, Demak
Total
Panen
MT MT
I
II
Pendidikan
Status
Usaha
Lama
Usaha
(Tahun)
Luas
Lahan
yang
Dikuasai
SD
Sakap
12
1.00
5
5
Perguruan
Tinggi
Sewa
10
1.50
8
7
SD
Sakap
7
1.00
5
5
SD
Sakap
20
3.00
15
13
SMA
Sewa
7
3.00
15
14
SD
Sewa
12
3.00
15
13
SMP
Hak
Milik
8
1.00
5
5
SD
Hak
Milik
20
1.00
5
4.5
SD
Sewa
16
1.00
4
4
SD
Sewa
30
2.00
6
6
SD
Hak
Milik &
Sewa
2
2.00
10
6
SD
Sakap
30
1.00
5
4
SD
Hak
Milik
27
1.00
5
5
SD
Hak
Milik
45
3.00
15
13
Perguruan
Tinggi
Sewa
10
1.00
5
5
SMP
Hak
Milik
22
4.50
22
21
SD
Hak
Milik
25
1.00
5
4
80
18.
Afnan
19.
H. Muhtadi
20.
Salim
21.
Ahmad Anas
22.
Nadlirin
23.
Abdul Khafit
24.
Ahmad Toyib
25.
Shidiq Muin
26.
Masrukhan
27.
H. Mustaqim
28.
Musbikin
29.
Jumairi
30.
Soleh
Desa Kenduren,
RT 3 RW 3,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 1 RW 3,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 2 RW 3,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 3 RW 1,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 6 RW 4,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 3 RW 1,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 4 RW 1,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 4 RW 1,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 3 RW 3,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 3 RW 1,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 5 RW 4,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 1 RW 1,
Wedung, Demak
Desa Kenduren,
RT 2 RW 1,
Wedung, Demak
SD
Sewa
5
1.00
4
4
SD
Sakap
50
1.00
5
5
SD
Sakap
30
2.00
10
10
SD
Sewa
7
3.00
15
15
SD
Sewa
11
1.75
8
8
SD
Sakap
15
1.00
5
5
SD
Hak
Milik
4
1.00
6
5.5
SMA
Hak
Milik
29
2.00
12
10
SD
Sakap
11
2.00
11
10
SMA
Sakap
25
5.00
27
25
SMP
Sewa
6
2.80
16
15
SD
Hak
Milik
30
1.00
5
4.5
SD
Hak
Milik
10
1.00
5
3
81
Lampiran 4. Data Responden Pedagang Desa Kenduren, Kecamatan Wedung
2011
No.
Nama
Alamat
Total
Gabah/Beras
yang Dijual
bulan
terakhir (Ton)
Lama
Usaha
(Tahun)
Total
Gabah/Beras
yang Dibeli
bulan terakhir
(Ton)
2
240
240
5
350
320
25
400
400
20
500
450
10
75
75
3
30
30
10
40
40
15
360
350
20
3000
3000
6
600
560
9
0,1
0,1
10
9
9
25
6
5
10
0,4
0,4
20
0,5
0,5
Tengkulak
1.
Muhayun
2.
Fahirin
3.
Akih
4.
H. Safari
5.
Miati
Ds Kenduren Rt 07/
Rw 02, Kec. Wedung,
Demak
Ds Kenduren Rt 05/
Rw 02, Kec. Wedung,
Demak
Ds Kenduren Rt 06/
Rw 02, Kec. Wedung,
Demak
Ds Kenduren Rt 07/
Rw 02, Kec. Wedung,
Demak
Ds Kenduren Rt 07/
Rw 02, Kec. Wedung,
Demak
RMU
1.
Cokro Kembang
2.
Rmk H. Safari
3.
Kamal I Bungo
Dusun
Angin-Angin
Buko
Kecamatan
Wedung Kab. Demak
Desa Keduren Kec.
Wedung
Desa
Bungo
Kec.
Wedung
Grosir
1.
Pahala Abadi
2.
Ud. Mustika
Jl. Raya Demak-Kudus
Km
5,
Kabupaten
Demak
Desa Mrawaki, Kec.
Wonosalam
Ritel
1.
Toko Baru
2.
Toko Maya
3.
Toko Maju
4.
Sumber Hari Putro
5.
Toko Mesem
Jl. Raya Angin-Angin
Buko
Kecamatan
Wedung
Desa Wedung Kec.
Wedung
Jl. Raya Angin-Angin
Desa Buko Kecamatan
Wedung
Jl. Raya Angin-Angin
Desa Buko Kecamatan
Wedung
Jl. Raya Angin-Angin
Desa Buko Kecamatan
Wedung
82
Lampiran 5. Lembaga dan Fungsi Tataniaga Beras Desa Kenduren Tahun 2011
Fungsi-fungsi tataniaga
Fungsi
Saluran dan
lembaga
Fungsi fisik
pertukaran
Fungsi fasilitas
Tataniaga
Beli
Jual
Simpan
Olah
Angkut
Sortasi
Biaya
Risiko
Info
pasar
Saluran 1A
Petani
V
Tengkulak
V
V
RMU
V
V
V
Grosir
V
V
V
Ritel
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
Saluran 2A
Petani
V
Tengkulak
V
V
V
RMU
V
V
V
Grosir
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
Saluran 3A
Petani
V
Tengkulak
V
V
V
RMU
V
V
V
Grosir
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
Saluran 4A
Petani
V
Tengkulak
V
V
-
-
V
RMU
V
V
V
V
V
Ritel
V
V
Saluran 1B
Petani
V
Tengkulak
V
V
RMU
V
V
V
V
V
V
V
Saluran 2B
Petani
V
Tengkulak
V
V
RMU
V
V
V
V
V
V
V
83
Lampiran 6. Biaya-biaya Tataniaga pada Setiap Lembaga Tataniaga Beras di
Desa Kenduren Tahun 2011
Konsumen Akhir Konsumen Individu
Uraian
Saluran 1
Rp/kg
Konsumen Akhir BULOG
Saluran 2
Saluran 4
Saluran 5
Saluran 3
Saluran 6
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Tengkulak
Transportasi
100
115
100
90
90
100
Pengeringan
0
0
0
0
0
0
Penyimpanan
0
0
0
0
0
0
Fumigasi
0
0
0
0
0
0
Kemasan
48
50
48
48
50
48
Penyusutan
20
20
20
20
20
20
168
185
168
158
160
168
Transportasi
90
100
90
90
0
100
Pengeringan
60
50
60
60
50
50
Penyimpanan
0
0
0
0
0
0
Penggilingan
80
90
80
80
90
90
Fumigasi
0
0
0
0
0
0
Kemasan
50
48
50
50
0
48
Penyusutan
50
50
50
50
50
50
330
338
330
330
190
338
Transportasi
10
15
Tenaga kerja
40
50
Fumigasi
0
0
Kemasan
50
45
0
0
100
100
Total
RMU
Total
Grosir
Survei
Total
Ritel
Transportasi
10
5
Penyimpanan
0
0
Fumigasi
0
0
Kemasan
5
5
Survei
0
0
Total
15
10
84
Lampiran 7. Analisis Marjin Tataniaga pada Setiap Lembaga Tataniaga Beras di
Desa Kenduren Tahun 2011
Konsumen Akhir Konsumen Individu
Saluran 1
Saluran 2
Konsumen Akhir BULOG
Saluran 3
Saluran 4
Saluran 1
Saluran 2
Uraian
Rp/kg
%
Rp/kg
%
Rp/kg
%
Rp/kg
%
Rp/kg
%
Rp/kg
%
Petani
Biaya
produksi
1945
32,42
1945
32,42
1945
32,42
1945
32,42
1945
32,42
1945
32,42
Keuntungan
1691
28,18
1691
28,18
1691
28,18
1691
28,18
1691
28,18
1691
28,18
Harga jual*
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
168
2,80
185
2,80
168
2,80
158
2,80
160
2,80
168
2,80
923
15,38
906
15,38
923
15,38
933
15,38
931
15,38
923
15,38
1091
4727
18,18
78,79
1091
4727
18,18
78,79
1091
4727
18,18
78,79
1091
4727
18,18
78,79
1091
4727
18,18
78,79
1091
4727
18,18
78,79
Harga beli
Biaya
tataniaga
4727
78,79
4727
78,79
4727
78,79
4727
78,79
4727
78,79
4727
78,79
330
4,89
338
4,89
330
4,89
330
4,89
190
4,89
338
4,89
Keuntungan
Marjin
tataniaga
443
7,99
435
7,99
643
11,32
643
11,32
83
6,32
35
7,99
773
12,88
773
12,88
973
16,21
973
16,21
273
11,21
373
12,88
Harga jual
5500
91,67
5500
91,67
5700
95,00
5700
95,00
5000
90,00
5100
91,67
5500
91,67
5500
91,67
5000
90,00
100
200
2,13
2,87
100
200
2,13
6,20
0,00
100
0,00
1,67
300
5800
5,00
96,67
300
6000
8,33
100,00
100
5100
1,67
91,67
100,00
7,70
6000
462
100,00
7,70
6000
462
100,00
7,70
54,88
2805
51,55
2649
51,55
34,39
1464
31,06
1464
31,06
Tengkulak
Harga beli
Biaya
tataniaga
Keuntungan
Marjin
tataniaga
Harga jual
RMU
Grosir
Harga beli
Biaya
tataniaga
Keuntungan
Marjin
tataniaga
Harga jual
Ritel
Harga beli
5800
96,67
5700
95,00
Biaya
tataniaga
15
0,25
10
0,25
Keuntungan
185
3,08
285
4,75
Marjin
tataniaga
200
3,33
290
5,00
Harga jual
6000
100,00
6000
100,00
6000
100,00
6000
Total biaya
605
10,08
590
9,83
477
7,95
462
Total
keuntungan
3442
57,50
3232
57,75
3542
59,63
3267
Total
marjin
2364
39,39
2164
39,39
2354
39,39
2064
Keterangan: % = Persentase terhadap harga jual lembaga tataniaga terakhir
*= Harga beras didapat melalui hasil bagi harga jual beras dan rendemen (55%)
85
Lampiran 8. Tabel Rasio Keuntungan dan Biaya Tataniaga Beras Desa Kenduren
Tahun 2011
Lembaga
Pemasaran
Tengkulak
Biaya (c) (Rp/Kg)
Keuntungan (π)
(Rp/kg)
Rasio π/c
RMU
Biaya (c) (Rp/Kg)
Keuntungan (π)
(Rp/kg)
Rasio π/c
Grosir
Biaya (c) (Rp/Kg)
Keuntungan (π)
(Rp/kg)
Konsumen
BULOG
Konsumen Individu
Saluran
1
Saluran
2
Saluran
3
Saluran
4
Saluran
1
Saluran
2
168,00
185,00
168,00
158,00
160,00
168,00
923,00
906,00
923,00
933,00
931,00
923,00
5,49
4,90
5,49
5,90
5,81
5,49
330,00
338,00
330,00
330,00
190,00
338,00
443,00
1,34
435,00
1,29
643,00
1,95
643,00
1,95
83,00
0,44
35,00
0,10
100,00
100,00
0,00
200,00
200,00
0,00
Rasio π/c
2,00
2,00
0,00
Ritel
Biaya (c) (Rp/Kg)
15,00
10,00
Keuntungan (π)
(Rp/kg)
185,00
285,00
Rasio π/c
12,33
28,50
Total
Biaya (c) (Rp/Kg) 613,00 623,00 508,00 488,00 350,00
Keuntungan (π)
(Rp/kg)
1751,00 1541,00 1851,00 1576,00 1014,00
Rasio π/c
2,86
2,47
3,64
3,23
2,90
506,00
958,00
1,89
86
Download