1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ternak sapi merupakan salah satu komoditas ternak yang memiliki
potensi cukup besar sebagai ternak penghasil daging dan menjadi prioritas dalam
pembangunan peternakan di Indonesia. Menurut (Rohaneni dkk., 2003) disamping
berperan sebagai penghasil daging, sapi potong juga berperan sebagai sumber
pendapatan, sarana investasi, tabungan, fungsi sosial, sumber pupuk, sumber
tenaga kerja dalam pengolahan tanah dan pemanfaatan limbah pertanian.
Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani
semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk dan meningkatnya daya
beli masyarakat (Anonim, 2006). Tingginya permintaan daging sapi tidak
berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan peternak. Rendahnya daya saing
daging sapi lokal dapat dilihat dari mutu dan standar daging sapi lokal yang belum
memenuhi standar pasar modern dan industri, disamping itu harga daging sapi
impor lebih kompetitif dibandingkan harga daging sapi lokal. Untuk mengurangi
kesenjangan ini, diperlukan berbagai upaya yang mampu meningkatkan
produktivitas, khususnya pada peternakan sapi potong rakyat.
Berkaitan dengan hal tersebut dalam rangka peningkatan daya saing
peternakan sapi dalam negeri dan peningkatan ketahanan pangan dan swasembada
pangan nasional, pemerintah telah mencanangkan program swasembada daging
1
2
sapi pada tahun 2014. Diperkirakan pada tahun 2014 indonesia sudah mampu
untuk mencukupi kebutuhan daging sapi dalam negeri dari sapi lokal walaupun
ada impor diperkirakan hanya sebesar 10 % saja dari kebutuhan daging dalam
negeri (Anonim, 2009).
Salah satu langkah operasional dari program tersebut adalah melaksanakan
kegiatan " Insentif dan Penyelamatan Sapi Betina Produktif ". Dasar Hukum
Larangan Pemotongan Sapi Betina Produktif adalah Undang-Undang No. 18
Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 18 ayat (2) bahwa
ternak ruminansia betina produktif. Berdasarkan data Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, secara nasional setiap
tahun diperkirakan terjadi pemotongan sapi/kerbau betina produktif sebanyak
200.000, (dua ratus ribu ekor) dari kebutuhan pemotongan sebanyak 2.300.000,
(dua juta tiga ratus ribu ekor).
Pentingnya pelarangan pemotongan sapi betina produktif dilatarbelakangi
oleh kondisi saat ini, yaitu terlalu banyak sapi betina dipotong oleh jagal di RPH
bahkan sering dijumpai sapi yang dipotong dalam keadaan bunting. Di
Yogyakarta, fenomena pemotongan sapi betina produktif termasuk tinggi, data
yang diperoleh sekitar 80% sapi yang dipotong adalah betina.
Sapi betina produktif adalah sapi yang telah melahirkan kurang dari 5 kali
atau berumur di bawah 8 tahun atau sapi betina yang berdasarkan pemeriksaan
reproduksi dinyatakan memiliki organ reproduksi normal serta dapat berfungsi
optimal sebagai sapi induk dan bebas penyakit hewan menular. Sapi tersebut
tergolong calon indukan yang baik untuk menjaga kelestarian sapi lokal. Aktivitas
3
reproduksi sapi betina dapat ditunjukkan dengan sekresi hormon tiroid, yaitu
analisis hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Hormon tiroid mengontrol
pertumbuhan, diferensiasi dan metabolisme semua sel somatik jaringan.
Sekresi tiroksin dan triiodotironin oleh kelenjar tiroid merupakan salah
satu syarat untuk kelangsungan reproduksi secara normal. Hormon tiroid
mempengaruhi reproduksi dan fertilitas, dimana hormon ini tidak hanya dapat
mempertahankan hubungan gonado-hypophyseal tetapi dapat secara langsung
mempengaruhi “pool nitrogen” metabolik dan energi yang tersedia untuk
mengatur pemenuhan kebutuhan yang diperlukan oleh jaringan-jaringan sistem
reproduksi dan pertumbuhan embrio (Toelihere, 1979).
Level abnormal hormon tiroid akan menyebabkan infertilitas atau
berkurangnya fungsi reproduksi. Hypothiroidismus menyebabkan kekerdilan
dengan penundaan masa pubertas dan kegagalan perkembangan gonad serta
sistem
saluran
reproduksi.
Pada
babi
hypothyroidismus
menyebabkan
perpanjangan masa kebuntingan dan penurunan jumlah anak (Toelihere, 1979).
Menurut Roberton dan Falconer., (1961) bahwa pada domba aktivitas tiroid
berbeda-beda sesuai dengan siklus birahi dan musim kawin. Kadar hormon tiroid
dalam sirkulasi darah menunjukkan peningkatan aktivitas tiroid pada 48 jam
sebelum estrus. Pada domba jantan terjadi infertilitas pada musim panas mungkin
disebabkan oleh rendahnya aktivitas tiroid yang berhubungan dengan perubahan
suhu.
Dahulu hormon tiroid dianggap memiliki peran penting terutama dalam
termoregulasi, homeostasis energi dan metabolisme protein, serta relevansi klinis
4
yang disebabkan oleh malfungsi tiroid. Baru-baru ini, beberapa studi telah
mengkonfirmasi keterlibatan hormon tiroid dalam respon metabolisme hewan
untuk kandungan gizi, lingkungan dan atau penyakit tertentu serta dalam
pengaturan fungsi ovarium pada ruminansia, terutama pada keadaan postpartum
sapi perah. Menurut Airin dkk., (2011), hormon tiroid mempunyai peranan
penting dalam pengaturan steroidogenesis dalam folikel ovarium. Selain itu,
hormon tiroid juga dapat digunakan untuk pemilihan indukan yang baik atau
penentu garis genetik di masa depan (Huszenicza et al., 2002).
Pada beberapa spesies mamalia termasuk ternak kecil peran hormon tiroid
dalam mengendalikan aktifitas reproduksi dapat diketahui (Nicholls et al., 1988a;
Moenter et al., 1991). Pernyataan tersebut maka dilakukan penelitian untuk
mengetahui rasio hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) pada serum dan
cairan folikel sapi potong.
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui rasio T4/T3 pada
serum darah dan cairan folikel ovarium pada sapi potong berfolikel besar.
C. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini diharapkan rasio tiroksin dan triiodotironin
(T4/T3) dapat menjadi salah satu parameter untuk mengetahui aktivitas
reproduksi pada sapi potong, sehingga dapat mencegah pemotongan sapi betina
produktif.
Download