Mewujudkan APBN yang Inklusif

advertisement
Mewujudkan APBN yang Inklusif
Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan*
Dalam acara Regional Meeting and Stakedolder Consultation on the Post-2015 Development
Agenda yang diselenggarakan di Nusa Dua Bali beberapa waktu yang lalu, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) meyakinkan pentingnya Indonesia dan negara-negara lain
menjalankan agenda pembangunan inklusif agar dunia berhasil mengurangi kemiskinan dan
ketidakadilan global secara persistent. Fenomena kemiskinan dan ketidakadilan global tersebut
ditunjukkan dengan adanya 20% populasi dunia yang mampu menikmati lebih dari 70%
pendapatan dunia, atau dengan kata lain sebanyak 80% populasi dunia hanya mampu
menikmati kurang dari 30% pendapatan dunia.
Pembangunan inklusif menjadi penting dalam memerangi hal tersebut karena pembangunan
inklusif didefinisikan sebagai pembangunan yang berkualitas, memperhitungkan pertumbuhan
(pro-growth), penyerapan tenaga kerja (pro-job), mengurangi kemiskinan (pro-poor) dan
memperhatikan lingkungan (pro-environment). Konsep inklusifitas tersebut sekaligus menjadi
anti-tesis dari paradigma pembangunan eksklusif yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi
semata dengan menafikan aspek pemerataan dan kesinambungan.
Dalam kesempatan lain, Organisasi Buruh Internasional (ILO) untuk Indonesia baru saja
meluncurkan Laporan Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2010. Dalam laporan
tersebut disebutkan kendati dampak negatif krisis keuangan global dirasakan hampir di seluruh
negara, Indonesia ternyata berhasil mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang positif.
Target pertumbuhan ekonomi 6% setiap tahunnya, pun diyakini akan mampu dicapai.
Permasalahannya, pertumbuhan tersebut ternyata tidak mampu menjawab berbagai tantangan
di pasar tenaga kerja yang ada.
Meski perluasan ekonomi dan kerja telah terjadi, kondisi lapangan kerja informal dengan
produktivitas dan pendapatan yang rendah serta kegiatan kerja yang tidak aman, belum
mengalami perubahan. Kesempatan kerja bagi kaum muda (usia 15-24 tahun) pun masih belum
berkembang sejak awal 1990-an. Artinya, pasar tenaga kerja Indonesia tidak pernah
sepenuhnya pulih dari dampak krisis keuangan Asia tahun 1997/98. Direktur ILO di Indonesia
juga berpendapat bahwa Indonesia telah kehilangan daya saing dalam industri padat karya
sementara pertumbuhan ekonomi dan ketenagakerjaan telah digeser oleh sektor jasa yang
membutuhkan keterampilan yang relatif tinggi. Kesenjangan upah antara lulusan universitas
dengan lulusan pendidikan menengah atau dasar semakin melebar, mencerminkan adanya
ketimpangan antara kebutuhan dan ketersediaan keterampilan ini.
Pertumbuhan yang Inklusif
Kedua peristiwa tersebut tentu menarik untuk dikaji lebih mendalam khususnya ketika Presiden
SBY baru saja menyampaikan Pidato Kenegaraan serta Nota Keuangan Rancangan APBN
(RAPBN) 2015. Sebagai sebuah dokumen politik penganggaran pemerintah, APBN memiliki
peran yang sangat fundamental. Secara teori APBN memiliki fungsi pertumbuhan, distribusi dan
alokasi. Terkait fungsi pertumbuhan inilah konsepsi inklusifitas APBN menjadi catatan.
Banyak pihak menilai bahwa APBN belum mampu menjalankan peran pertumbuhan inklusif
akibat tingginya beban alokasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Hingga tahun 2008 saja,
alokasi subsidi BBM ini sudah mencapai Rp139,1 triliun atau hampir 51% dari total belanja
subsidi secara keseluruhan. Dalam APBN-P 2013, besaran subsidi BBM mencapai Rp199,9
triliun serta Rp246,5 triliun di APBN-P 2014. RAPBN 2015 sendiri mengalokasikan subsidi BBM
sebesar Rp291,1 triliun.
Oleh penulis sendiri, secara personal kurang sependapat dengan argumentasi tersebut.
Persoalan subsidi BBM memang menjadi masalah pelik. Hingga kini pemerintah belum juga
memiliki solusi implementatif. Namun bukan berarti APBN kemudian belum mampu menciptakan
pertumbuhan yang inklusif. Isu pertumbuhan inklusif ini sesungguhnya sudah menjadi agenda
utama Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2015. Arah kebijakan fiskal 2015 pun disusun
dalam semangat penguatan kebijakan fiskal untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan dan berkeadilan.
Dalam kurun 3 tahun terakhir anggaran belanja birokrasi yang bersifat rutin juga terus turun
secara signifikan. Jika tahun 2011 alokasi belanja pegawai mencapai Rp182,9 triliun, sedikit
mengalami kenaikan menjadi Rp212,2 triliun di tahun 2012, dalam APBN-P 2014 alokasinya
sudah berkurang menjadi Rp153,6 triliun dan RAPBN 2015; Rp162,5 triliun. Sekiranya semangat
ini yang harus terus dipelihara, demi percepatan agenda reformasi birokrasi. Moratorium
pegawai juga perlu dipertahankan dengan tetap mengedepankan aspek efisiensi dan efektivitas
anggaran, dikaitkan dengan output yang dihasilkan.
Penurunan alokasi belanja pegawai ini, memberi dampak positif bagi peningkatan alokasi
belanja modal dan investasi. Dalam tahun 2011, alokasinya mencapai Rp141,0 triliun, meningkat
menjadi Rp168,9 triliun di tahun 2012, dan meningkat lagi menjadi Rp185,8 triliun dalam APBNP 2014. Alokasi belanja modal yang meningkat jelas menjadi barometer utama dari mekanisme
pertumbuhan yang inklusif. Sayangnya dalam RAPBN 2015, alokasi belanja modal sedikit
mengalami penyesuaian menjadi Rp156,4 triliun. Hal ini tak lepas dari strategi penyusunan
RAPBN 2015 yang bersifat baseline budget demi fleksibilitas pemerintahan yang baru dalam
menjalankan seluruh agenda dan platform politik yang sudah digariskan.
Meskipun belum memenuhi standar internasional, dari besaran belanja modal pemerintah,
anggaran infrastruktur terus mengalami peningkatan. Jika tahun 2009 besarannya mencapai
Rp76,3 triliun (1,4% PDB), tahun 2010; Rp86 triliun (1,3% PDB), tahun 2011; Rp114,2 triliun
(1,5% PDB), tahun 2012 Rp145,5 triliun (2,6% PDB) dan tahun 2013 mencapai Rp184,3 triliun
(2% PDB), sementara tahun 2014, pemerintah berhasil meningkatkan alokasi menjadi Rp206,6
triliun.
Begitupula alokasi anggaran kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan ketahanan pangan. Dari
tahun 2010-2015, pemerintah berhasil memenuhi kewajiban rasio anggaran pendidikan 20%
APBN. Tahun 2010, alokasi pendidikan dianggarkan Rp235,2 triliun, meningkat menjadi Rp266,9
triliun di tahun 2011, Rp310,8 triliun di tahun 2012, Rp345,3 triliun di tahun 2013, Rp375,4 triliun
di tahun 2014 serta Rp404,0 triliun dalam RAPBN 2015. Sementara anggaran kemiskinan, jika
tahun 2010 masih berkisar Rp55,8 triliun, di tahun 2013 meningkat menjadi Rp109,2 triliun,
kemudian Rp132,5 triliun di APBN 2014 serta Rp135,1 triliun di RAPBN 2015. Anggaran
kesehatan di tahun 2010 dialokasikan Rp33,0 triliun, meningkat menjadi Rp52,7 triliun di tahun
2013, Rp67,9 triliun dalam APBN 2014 dan Rp68,1 triliun pada RAPBN 2015.
Untuk mendukung tujuan ketahanan pangan, pemerintah juga mengalokasikan anggaran
ketahanan pangan, yang jumlahnya relatif terus meningkat. Tahun 2010, dari alokasi sebesar
Rp50,3 triliun meningkat menjadi Rp64,6 triliun di tahun 2013, Rp72,4 triliun di APBN 2014 dan
85,0 triliun di RAPBN 2015. Dalam kurun 5 tahun terakhir, alokasi subsidi pertanian juga terus
mengalami peningkatan. Tahun 2011, pemerintah mengalokasikan subsidi pertanian sebesar
Rp34,2 triliun, meningkat menjadi Rp35,0 triliun di tahun 2012, meningkat lagi menjadi Rp52,7
triliun di APBN-P 2014 dan Rp69,9 triliun di RAPBN 2015.
Berbagai analisis di atas sebetulnya mampu menjelaskan bagaimana strategi pemerintah dalam
menjalankan fungsi pertumbuhan khususnya dalam mendukung isu pertumbuhan yang inklusif.
Banyak indikator sudah berada dalam koridor yang diharapkan, meskipun penyempurnaan dan
perbaikan memang layak untuk terus dijalankan, khususnya jika dikaitkan dengan kesesuaian
antara program, anggaran, output dan outcome yang dihasilkan.
Rencana pemerintahan yang baru untuk membuka diskusi mengenai penyesuaian harga
sebagai salah satu opsi rasionalisasi beban subsidi energi dalam APBN, tentu wajib mendapat
apresiasi. Namun pembahasannya harus dilakukan secara komprehensif dan utuh dengan
memperhatikan seluruh opsi dan kemungkinan distorsi yang akan terjadi. Terlalu banyak
kebijakan pemerintah terkait subsidi BBM yang akhirnya justru tidak implementatif, tidak
operasional serta menimbulkan persoalan baru. Jika persoalan subsidi BBM ini mampu
dipecahkan, kedepannya APBN mampu menjalankan peran dalam memacu pertumbuhan
inklusif yang adil, merata dan berkelanjutan di Indonesia secara optimal.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana
penulis bekerja.
Download