BAB V SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1

advertisement
BAB V
SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa :
•
Orientasi dominansi sosial dan persepsi kelangkaan lawan jenis mampu
memprediksikan sikap terhadap risiko pada tenaga kerja wanita. Berdasarkan
hasil SPSS yang menunjukkan nilai signifikan <0,05, maka Ho ditolak,
artinya orientasi dominansi sosial dan persepsi kelangkaan lawan jenis secara
bersama mampu memprediksikan sikap terhadap risiko pada tenaga kerja
wanita.
•
Orientasi dominansi sosial mampu memprediksikan sikap terhadap risiko
pada tenaga kerja wanita, dengan nilai signifikan 0,000. Orientasi dominansi
sosial memiliki arah korelasi prediktif (β = 0,618) yang positif dalam
memprediksikan sikap terhafap risiko pada tenaga kerja wanita, ini berarti
apabila orientasi dominansi tinggi maka sikap terhadap risiko pada tenaga
kerja wanita juga akan tinggi.
•
Persepsi kelangkaan lawan jenis mampu memprediksikan sikap terhadap
risiko pada tenaga kerja wanita, dengan nilai signifikan 0,004. Persepsi
kelangkaan lawan jenis memiliki arah korelasi prediktif (β = -0,159) yang
negatif, berarti semakin sedikit atau langka jumlah laki-laki maka sikap
terhadap risiko pada tenaga kerja wanita akan semakin tinggi.
1
5.2
Diskusi
Penelitian mengenai korelasi prediksi ini telah membuktikan bahwa orientasi
dominansi
sosial
dan persepsi
kelangkaan lawan jenis
ternyata
mampu
memprediksikan sikap terhadap risiko pada Tenaga Kerja Wanita (TKW). Hipotesis
alternatif (Ha) pertama menyatakan bahwa orientasi dominansi sosial mampu
memprediksikan sikap terhadap risiko pada tenaga kerja wanita, diterima.
Hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh Jamieson, Koslov, Nock, dan
Mendes (2012), menyatakan bahwa diskriminasi atau penolakan ras yang sama
terhadap ras yang berbeda dapat mengakibatkan meningkatkan perilaku yang
berisiko. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku diskriminasi tidak hanya
meningkatkan keinginan untuk mengambil risiko tetapi juga langsung mengarah
pada perilaku berisiko.
Penelitian ini menunjukan bahwa terhadap hubungan antara orientasi
dominansi sosial dan perilaku berisiko secara luas. Orientasi dominansi sosial
memiliki arah yang positif dengan sikap terhadap risiko. Apabila orientasi dominansi
sosial seseorang tinggi maka perilaku berisiko nya pun akan ikut tinggi. Dengan
menggunakan skala DOSPERT, perilaku berisiko pada tenaga kerja wanita dilihat
secara umum yang meliputi 5 bidang.
Penelitian yang dilakukan oleh Pratto dkk (1994) mengenai kebijakan di
Amerika setelah invasi Irak atas Kuwait tahun 1990 menunjukkan bahwa banyak
orang rela untuk mengorbankan dirinya untuk berjuang dalam perang. Individu
dengan orientasi dominansi tinggi terkait dengan sikap mendukung aksi militer
melawan Irak, dan kerelaan dalam mengorbankan diri untuk perang.
2
Salah satu ciri utama orang dengan SDO tinggi adalah mempertahankan
ketidaksetaraan (inequality) antar kelompok sosial, atau pemeliharaan hierarki sosial
yang ada (Pratto, Sidanius, Stallworth, & Malle, 1994). Hierarki sosial ini memiliki
bermacam-macam basis, bisa berupa usia (misalnya: orang yang lebih tua memiliki
status yang lebih tinggi daripada orang yang lebih muda), jenis kelamin (misalnya:
laki-laki memiliki status yang lebih tinggi daripada perempuan), maupun kelompok
sosial apapun (arbitrari; misalnya: agama X memiliki status yang lebih tinggi
daripada agama Y, suku X memiliki lebih tinggi daripada suku Y).
Dalam penelitian ini, kelompok sosial yang dimaksud adalah kelompok
perempuan yang menjadi TKW lebih tinggi statusnya, lebih superior, daripada
outgroup-nya, yakni kelompok perempuan yang tidak menjadi TKW. Artinya, SDO
menggunakan basis berupa profesi atau peran (role). Dalam SDO, ketika peran yang
dijalani seseorang menjadi lebih berdaya (powerful), maka semakin besar
peluangnya untuk menjadi kelompok hegemonik. Duckitt dan Sibley berteori bahwa
keyakinan SDO diaktivasikan oleh kompetisi. Dalam penelitian ini, kompetisi yang
dimaksud adalah kompetisi di antara para perempuan yang berada di antara situasi
kelangkaan lawan jenis. Duckitt (2010) menggunakan perspektif psikologi
evolusioner, bahwa bagi orang-orang yang kompetitif ini, dunia sosial itu "bengis"
dan memincu pertarungan untuk bertahan hidup memperebutkan sumber daya,
sebagaimana diungkap oleh Charles Darwin. "Sumber daya" yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah laki-laki berkualitas yang akan menjadi pasangan hidup TKW.
Prinsip dari perspektif psikologi evolusioner adalah "Yang kuat adalah yang menang
(dalam pertarungan)", bahkan "dengan segala cara". Sarana untuk menguatkan status
dan posisi diri, dalam penelitian ini, bagi perempuan adalah dengan menjadi TKW.
3
Dalam penelitian ini, menjadi TKW diasumsikan sebagai sebuah perilaku
yang memiliki struktur pengalaman yang serupa dengan perilaku berisiko. Risiko
menjadi TKW antara lain adalah culture shock, rawan mengalami penipuan dan
kekerasan, minimnya perlindungan (KampungTKI, 2013). Tetapi pengambilan risiko
merupakan salah satu cara untuk menjadi dominan atau superior. Frederick Wilcox
(dalam ThinkExist.com, 2013) menyatakan bahwa "Progress always involves risk;
you can't steal second base and keep your foot on first base". Ada dua penjelas yang
dapat menghubungkan risk attitude dengan dominance atau superiority. Salah satu
variabel psikologis yang bisa menghubungkan kedua hal ini adalah maskulinitas.
Apakah dengan begitu, "maskulinitas" berperan dalam diri TKW, hal ini memerlukan
penelitian lebih lanjut. Penjelasan yang lain dapat menggunakan "social resistance
framework" yang dikembangkan Factor, Kawachi, dan Williams (2011). Menurut
mereka (halaman 1293, 1296), kelompok marjinal (yang terpinggirkan) secara sosial
melakukan perilaku berisiko untuk memberikan sinyal kepada kelompok dominan
bahwa kekuatan atau kekuasaan mereka bukan tanpa batas ("signaling to the
dominant group that their power is not without limits", "to create a boundary or
imaginary line which signals to the dominant group that their control over the
individual ends from this point on"). Kelompok yang ingin menjadi TKW pada
umumnya berasal dari keluarga miskin yang marjinal atau tidak diperhatikan dalam
masyarakat. Dengan menggunakan teori Factor dan kawan-kawan, dapat diuraikan
bahwa kelompok perempuan TKW ini ingin memberikan signal dengan cara
melakukan perilaku berisiko (menjadi TKW) bahwa mereka juga dapat mencapai
dominansi bahkan lebih dari yang kelompok perempuan mayoritas (dominan).
Dominansi ini dapat dihubungkan dengan sikap terhadap risiko (risk attitude), bahwa
positive risk attitude sebagai sarana menunjukkan dominansi akan menimbulkan
4
kesan positif (positive impression) bahwa mereka layak mendapatkan pasangan yang
lebih baik, atau hal-hal rewarding lainnya yang lebih baik.
Dalam kaitan ini, harus dibedakan antara dominansi sosial (social
dominance) dengan pembenaran sistem (system justification). Sebagaimana
dikatakan
sebelumnya,
"social
dominance"
melegitimasikan
pemeliharaan
ketidaksetaraan antar kelompok, di mana hal ini serupa dengan pembenaran sistem
bahwa kelompok berstatus rendah melihat posisi mereka dalam sistem sosial dapat
dibenarkan. Namun Brandt (2013, halaman 767) mengatakan: "A recent metaanalysis on status differences in social dominance orientation found that low-status
social groups were not on average supportive of the unequal social conditions that
they are subjected to." Artinya, orang dengan SDO rendah mungkin memiliki
keinginan untuk bergerak naik status ke status yang lebih tinggi, menolak "status
quo", tidak mau tetap terus berada di posisi bawah. Akan tetapi, bila mereka suatu
saat berada di hierarki atas, mereka dapat melegitimasikan posisinya yang sudah
berada di atas (Brandt, 2013; Brandt & Reyna, 2012).
Hubungan antara rasio jenis kelamin dengan perilaku berisiko sebenarnya
sudah diteliti, hanya saja lebih banyak yang berada pada bidang perilaku seksual
berisiko. Sebagai contoh, Gantz (2009, halaman 57) melalui kajiannya terhadap
sejumlah
penelitian
empiris
menemukan
bahwa:
“An imbalanced sex ratio within a specific geographic area affects the mate
availability within that area, potentially leading to more risky sexual behavior by the
scarcer gender and greater acceptance of risky behavior by the more available
gender."
5
Penemuan lebih baru di wilayah Asia (China) juga mendukung temuan
Gantz. Penelitian yang dilakukan oleh South dan Trent (2010) di China menemukan
bahwa ketidakseimbangan jumlah jenis kelamin meningkatkan perilaku hubungan
seks dini, frekuensi sering, dan berganti-ganti pasangan , serta infeksi penyakit
menular seksual.
Selanjutnya, Gibson (2011) secara spesifik menemukan bahwa laki-laki yang
wilayah demografinya memiliki kelangkaan jumlah perempuan lebih mungkin
menjadi penyerang dengan konsekuensi bunuh diri (suicide attackers). Suicide attack
merupakan perilaku berisiko yang sangat ekstrim.
Hubungan antara rasio atau perbandingan jenis kelamin dengan perilaku
berisiko juga diteliti dalam bidang perilaku finansial (saving, borrowing, dan
spending) oleh Griskevicius et al. (2012). Menurut hasil penelitian Griskevicius,
terlalu banyak laki-laki menyebabkan kompetisi antar laki-laki yang membuat lakilaki menghabiskan lebih banyak uang selama pacaran dengan lawan jenis. Hal ini
sejalan dengan teori psikologi evolusioner yang menyatakan bahwa: "as sex ratio
becomes male-biased and women become scarce, ... men should want immediate
rewards" (Griskevicius et al., 2012).
Hanya saja studi-studi para peneliti di atas bersifat epidemiologis-objektif
(kecuali studi yang bersifat manipulasi eksperimental terhadap persepsi operational
sex ratio). Hasil penelitian ini berbeda dari penelitian Gant, karena penelitian ini
mengambil data subjektif, yaitu persepsi seseorang tentang perbandingan jenis
kelamin di lingkungannya, apakah lebih banyak laki-laki ataukah perempuan. Selain
itu, penelitian ini dilakukan pada perempuan, bukan laki-laki. Selama ini perempuan
kurang terwakili dalam riset-riset yang menghubungan sex ratio dengan perilaku
6
berisiko; mungkin karena perilaku berisiko juga seringkali dihubungkan dengan basis
biologis
laki-laki,
yaitu
hormon
testosteron.
Di samping itu, penelitian ini menghubungkan persepsi rasio jenis kelamin
dengan perilaku berisiko secara luas, tidak hanya yang berhubungan dengan perilaku
seksual dan perilaku finansial. Dengan menggunakan alat ukur DOSPERT, perilaku
berisiko secara umum dari berbagai bidang ikut diukur.
Hasil penelitian psikologis perseptual ini mendukung studi-studi sebelumnya.
Penjelasan yang ditawarkan Griskevicius et al. (2012) dapat pula dipakai untuk
menjelaskan
hasil
penelitian
saat
ini.
Bahwa
:
"An abundance of rivals should lead men to value immediate rewards because there
is an important trade-off between acquiring immediate resources and waiting in
hopes of acquiring more or better quality resources in the future."
Perilaku menunda pemuasan (delayed gratification behavior) tidak selalu
adaptif (Griskevicius et al., 2012). Perumpamaan yang diajukan adalah: seseorang
menemukan pohon buah. Buahnya masih beberapa hari lagi baru akan matang.
Orang ini dapat memilih untuk memetik buah yang ada sekarang, atau memilih untuk
pulang dan kembali beberapa hari lagi saat buah telah matang. Namun perspektif
evolusioner memperlihatkan bahwa penundaan juga memiliki kelemahan. Apabila
orang tersebut membatalkan untuk memetik buah itu sesegera mungkin, tidak ada
jaminan bahwa masih ada buah itu atau buah lainnya yang tetap ada di masa
mendatang. Tidak ada jaminan pula bahwa ia akan berada di sekeliling pohon buah
itu, sekalipun buah yang matang itu ada di pohon buah itu. Lebih lanjut, kompetisi
yang semakin meningkat di antara sesama orang untuk sumber daya buah yang
terbatas, menurunkan kemungkinan bahwa ada buah apapun yang tetap ada di pohon
itu di masa mendatang.
7
Perumpamaan di atas walaupun tidak persis sama dengan kondisi TKW
memberikan insight berupa penjelasan mengapa sex ratio menyebabkan perempuan
memprioritaskan immediate rewards (hasil yang segera), yang berarti ingin segera
memperoleh pasangan (laki-laki) yang berkualitas. Salah satu cara yang paling
mungkin di kalangan perempuan kelas sosial ekonomi rendah untuk mencari jalan
pintas meningkatkan impresi atas dirinya di mata laki-laki adalah melakukan
perilaku berisiko.
Keinginan menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri merupakan heuristik
yang cukup populer di kalangan perempuan Indonesia untuk memperoleh uang
banyak dalam waktu singkat, sehingga bisa menggunakan kosmetik, fashion, dan
perabot yang mampu menunjukkan peningkatan status dirinya di mata sosial atau
masyarakat.
Namun demikian, dalam penelitian ini yang diukur adalah sikap terhadap
perilaku pengambilan risiko secara umum. Semakin perempuan mempersepsikan
bahwa ada kelangkaan jumlah laki-laki di lingkungannya, perilaku perempuan
tersebut makin berisiko. Logika mendasar atas penjelasan terhadap hasil penelitian
ini adalah bahwa perilaku berisiko mampu meningkatkan citra diri secara segera
(immediate); dan berdasarkan hasil-hasil riset yang disampaikan di atas, peningkatan
citra diri berhubungan positif dengan kemungkinan memperoleh lawan jenis yang
berkualitas sebagai pasangan. Hubungan antara perilaku berisiko dan citra diri
pernah ditemukan oleh Fuller et al. (2007). Meskipun dalam konteks organisasi,
penelitian mereka memiliki arti penting. Mereka menemukan melalui penelitian
empiris bahwa dalam situasi kompetisi antar pekerja, karyawan yang ingin
meningkatkan citra yang positif akan kompetensinya akan melakukan "voice
behavior"
atau
mengemukakan
gagasan-gagasan inisiatif
8
yang sebenarnya
menantang status quo (kondisi yang tenang) dalam perusahaan tersebut. Perilaku ini
memiliki keuntungan berupa kesan positif yang mungkin ditimbulkan, di samping
keuntungan berupa inovasi bagi organisasi yang bersangkutan. Namun demikian,
"voice behavior" ini juga mengandung risiko, khususnya jika perilaku itu
dipersepsikan sebagai komplain, keluhan, atau kritik pribadi. Voice behavior
menantang atau mengganggu harmoni yang sudah ada dalam organisasi serta dapat
mengecewakan hubungan antarpribadi dan dengan demikian bisa juga menciptakan
impresi negatif.
Teori yang dihasilkan oleh Fuller et al. (2007) menunjukkan bahwa secara
fungsional "voice behavior" bertujuan untuk manajemen impresi, khususnya saat
terdapat interaksi antara self-monitoring yang tinggi dengan performa yang rendah.
Implikasi atas temuan Fuller dapat diterapkan pada hasil penelitian ini. TKW pada
umumnya adalah perempuan yang "tidak kompeten" (Febriani, 2011), atau dalam
teori Fuller diistilahkan "rendah performanya". Penelitian ini memiliki asumsi yang
juga didukung oleh data empiris bahwa rendahnya performa ini membawa para
perempuan TKW untuk bersikap positif terhadap perilaku yang berisiko (positive
risk attitude).
Hasil regresi menunjukkan bahwa orientasi dominansi sosial dan persepsi
kelangkaan lawan jenis mampu memprediksikan sikap terhadap risiko pada tenaga
kerja wanita, dengan begitu hipotesis alternatif (Ha) ketiga diterima. Orientasi
dominansi sosial memiliki arah yang positif dalam memprediksikan sikap terhadap
risiko pada tenaga kerja wanita. Yaitu semakin tinggi orientasi dominansi seseorang
maka akan semakin tinggi pula sikap terhadap risiko. Sementara persepsi kelangkaan
lawan jenis mampu memprediksikan sikap terhadap risiko pada tenaga kerja wanita
9
dalam arah yang negatif. Artinya, apabila seseorang mempersepsikan salah satu jenis
kelamin langka (sedikit jumlahnya) maka sikap terhadap risiko akan semakin besar.
Dalam penelitian ini, terdapat beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan.
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan tenaga kerja wanita sebagai
subjek penelitian, dimana sebagai subjek penelitian sebagian besar berpendidikan
tidak tinggi. Karena kondisi subjek tersebut, terdapat kesulitan dalam mengisi
kueioner yang diberikan. Banyak diantara mereka yang tidak mengerti maksud dari
beberapa item pernyataan, oleh karena itu peneliti harus membacakan serta
menjelaskan satu persatu maksud dari setiap item dan apa yang hendak ditanyakan
dari masing-masing item.
5.3 Saran
5.3.1 Saran Teoritis
1. Data kontrol diperketat untuk menghindari adanya hal-hal lain diluar
penelitian yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.
2. Sebagai tambahan untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya disertakan
ratio jenis kelamin yang ada di setiap daerah di Indonesia. Khususnya
daerah yang dijadikan tempat penelitian, tujuannya untuk lebih
memperkuat hasil yang diperoleh.
3. Saran bagi penelitian selanjutnya agar membedakan tenaga kerja wanita
yang sudah pernah bekerja di luar negeri dengan yang baru pertama kali
bekerja di luar negeri..
4. Pada penelitian selanjutnya sebaiknya melakukan back-translation.
Dalam adaptasi alat ukur, dikenal adanya forward translation dan back
translation. Forward translation, seperti yang dilakukan oleh penelitian
10
ini, menerjemahkan alat ukur dari bahasa asing ke bahasa Indonesia
dengan expert judgment dosen pembimbing. Sementara back-translation
yaitu menerjemahkan kembali hasil terjemahan bahasa Indonesia
tersebut ke bahasa asing awal oleh penerjemah independen; guna
mengetahui kecocokan hasil terjemahan. Apabila ditemukan kesesuaian
antara forward dan back translation, maka hasil adaptasi lebih
meningkat kualitasnya. Dalam penelitian ini tidak melakukan backtranslation sehingga terdapat beberapa item yang kurang dimengerti
oleh subjek penelitian.
6.3.2 Saran Praktis
1. Diharapkan
bagi
para
tenaga
kerja
wanita
untuk
lebih
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian yang akan didapatkan
dengan menjadi tenaga kerja. Mempertimbangkan berbagai risiko yang
mungkin akan dihadapi ketika bekerja di luar negeri.
2. Bagi para wanita, tidak ada salahnya untuk mengekpresikan diri
maupun berkeinginan untuk meningkatkan kelas sosial, selama hal
tersebut dilakukan dengan cara-cara yang benar.
3. Bagi para wanita, kelangkaan jenis kelamin laki-laki sebaiknya tidak
menjadikan wanita berkompetisi secara tidak sehat untuk bisa
mendapatkan laki-laki yang diinginkan, melainkan lebih kreatif dalam
menarik perhatian laki-laki.
4. Bagi para wanita, emansipasi wanita modern sehingga membuat wanita
bisa berkarir atau bekerja sesuai dengan apa yang diinginkan sebaiknya
tidak disalahgunakan. Carilah pekerjaan yang benar dan tidak hanya
mementingkan keuntungan.
11
5. Bagi BNP2TKI, sebaiknya para calon Tenaga Kerja Wanita tidak hanya
dibekali dengan keterampilan teknis (hard skill) seperti memasak,
bahasa asing, dan lain-lain tetapi juga dibekali dengan soft skill seperti
kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain, kemampuan bahasa
asing, kemampuan dalam cara berkomunikasi, serta diajarkan mengenai
kebudayaan di negara mereka akan ditempatkan. Selain itu lebih baik
persyaratan bagi para calon TKW lebih diperketat sehingga tidak ada
calon TKW yang tidak memenuhi persyaratan atau kriteria. Hal ini
untuk lebih meminimalisir kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan yang mungkin menimpa para TKW di luar negeri.
12
Download