> MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2004 TENTANG TATA CARA AFORESTASI DAN REFORESTASI DALAM KERANGKA MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) telah disahkan berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1994; b. bahwa kegiatan aforestasi dan reforestasi mempunyai kontribusi terhadap penyerapan karbon dioksida untuk menurunkan efek rumah kaca melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB); c. bahwa aforestasi dan reforestasi sebagaimana dimaksud di atas adalah merupakan salah satu tanggung jawab Departemen Kehutanan; d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi Dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; 4. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. MEMUTUSKAN: Menetapkan:PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG TATA CARA AFORESTASI DAN REFORESTASI DALAM KERANGKA MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH. Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Aforestasi adalah penghutanan pada lahan yang selama 50 tahun atau lebih bukan merupakan hutan. 2. Reforestasi adalah penghutanan pada lahan yang sejak tanggal 31 Desember 1989 bukan merupakan hutan. 3. Hutan dalam kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) ialah lahan yang luasnya minimal 0,25 ha dan ditumbuhi oleh pohon dengan persentasi penutupan tajuk minimal 30% yang pada akhir pertumbuhan mencapai ketinggian minimal 5 meter. 4. Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) adalah mekanisme Protokol Kyoto yang diimplementasikan atas dasar sukarela antara negara-negara maju di dalam Annex I Konvensi Perubahan Iklim untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan negara-negara berkembang atau non-Annex I untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. 5. Protokol Kyoto adalah sebuah instrumen hukum (legal instrument) untuk mengatur target kuantitatif penurunan emisi dan target waktu penurunan emisi bagi negara maju. 6. Pengembang proyek Aforestasi atau Reforestasi dalam kerangka MPB selanjutnya disebut Pengembang adalah gabungan antara investor dari negara maju (Negara dalam Annex I Konvensi Perubahan Iklim) dan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau Badan Usaha Milik Swasta, atau koperasi, atau perorangan. 7. Komisi Nasional MPB adalah lembaga pada tingkat nasional yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mewakili kepentingan nasional dalam pelaksanaan MPB. 8. Badan Pelaksana (Executive Board) MPB adalah lembaga dibawah Konferensi Para Pihak (Conference of Parties/COP)/Pertemuan Para Pihak (the Meeting of Parties/MOP) yang bertugas mengendalikan pelaksanaan proyek-proyek MPB. 9. Lembaga Operasional (Operational Entity) adalah lembaga independen yang ditetapkan oleh Badan Pelaksana MPB yang melaksanakan pengujian Dokumen Rancangan Proyek (DRP), verifikasi dan sertifikasi pengurangan emisi gas rumah kaca sesuai dengan standar yang tertuang dalam Keputusan Konferensi Para Pihak/Pertemuan Para Pihak. Pasal 2 Aforestasi atau Reforestasi dalam kerangka MPB dapat dilakukan di kawasan hutan, atau hutan adat, atau tanah negara, atau tanah milik. Pasal 3 Aforestasi atau Reforestasi dalam kerangka MPB di kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat berupa: a. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman atau; b. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan perdagangan karbon. Pasal 4 (1) Persyaratan Aforestasi atau Reforestasi dalam kerangka MPB untuk izin usaha pemanfaatan hutan tanaman adalah: a. Memiliki izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman; b. Memiliki keterangan lahan untuk MPB dari Bupati/Walikota; c. Memiliki usulan proyek. (2) Ketentuan tentang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri. Pasal 5 (1) Persyaratan Aforestasi atau Reforestasi dalam kerangka MPB untuk izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan perdagangan karbon adalah: a. Memiliki izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan perdagangan karbon; b. Memiliki keterangan lahan untuk MPB dari Bupati/Walikota; c. Memiliki usulan proyek. (2) Ketentuan tentang izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan perdagangan karbon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri. Pasal 6 (1) Persyaratan Aforestasi atau Reforestasi dalam kerangka MPB untuk hutan adat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 adalah: a. Memiliki hak pengelolaan hutan adat; b. Memiliki keterangan lahan untuk MPB dari Bupati/Walikota; c. Memiliki usulan proyek. (2) Ketentuan tentang pengelolaan hutan adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri. Pasal 7 (1) Persyaratan Aforestasi atau Reforestasi dalam kerangka MPB untuk tanah negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 adalah: a. Memiliki hak guna usaha; b. Memiliki keterangan lahan untuk MPB dari Bupati/Walikota; c. Memiliki usulan proyek. (2) Ketentuan tentang pengelolaan tanah negara diatur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 8 Persyaratan Aforestasi atau Reforestasi dalam kerangka MPB untuk tanah milik sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 adalah: a. Memiliki sertifikat Hak Milik atas tanah atau keterangan Pemilikan Tanah dari kelurahan setempat yang masih berlaku; b. Memiliki keterangan lahan untuk MPB dari Camat setempat; c. Memiliki usulan proyek. Pasal 9 Pedoman pemberian keterangan lahan untuk MPB dari Bupati/Walikota atau Camat, tercantum pada Lampiran 1 (satu) Peraturan ini. Pasal 10 Pedoman penyusunan usulan proyek Aforestasi atau Reforestasi dalam kerangka MPB tercantum pada Lampiran 2 (dua) Peraturan ini. Pasal 11 (1) Pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman, atau izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan perdagangan karbon, atau pemegang hak pengelolaan hutan adat, atau pemegang hak guna usaha, atau pemilik sertifikat hak milik atas tanah atau keterangan pemilikan tanah, dapat menjadi Pengembang dengan mengajukan usulan proyek kepada Menteri Kehutanan. (2) Menteri Kehutanan dalam melakukan fasilitasi pelaksanaan proyek dapat membentuk kelompok kerja. (3) Kelompok Kerja seperti tersebut dalam ayat (2) memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri Kehutanan. (4) Berdasarkan saran dan pertimbangan Kelompok Kerja seperti tersebut dalam ayat (3), Menteri Kehutanan memberikan arahan atas usulan proyek, dan memberikan keterangan kepada Komisi Nasional MPB bahwa usulan proyek tersebut mempunyai kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan di bidang kehutanan. Pasal 12 (1) Dalam hal usulan proyek memenuhi persyaratan pembangunan berkelanjutan di bidang kehutanan, Pengembang menyusun Dokumen Rancangan Proyek (DRP) dan disampaikan kepada Komisi Nasional MPB dengan tembusan disampaikan kepada Menteri Kehutanan. (2) Komisi Nasional MPB melakukan penilaian terhadap DRP dan memberikan keterangan bahwa usulan proyek tersebut berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan. Pasal 13 Pedoman Penyusunan DRP dalam kerangka MPB sebagaimana dimaksud pada pasal 12 ayat (1), tercantum pada Lampiran 3 (tiga) Peraturan ini. Pasal 14 (1) Dalam hal Pengembang memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), maka pengembang dapat meminta Lembaga Operasional untuk melaksanakan pengujian. (2) Lembaga Operasional menyampaikan hasil pengujian kepada Badan Pelaksana MPB. (3) Berdasarkan hasil pengujian seperti tersebut pada ayat (2), Badan Pelaksana MPB memberikan keputusan atas usulan proyek. Pasal 15 Dalam hal Badan Pelaksana MPB sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (3) menyetujui usulan proyek, Pengembang dapat melaksanakan kegiatan proyek. Pasal 16 (1) Pengembang melaksanakan kegiatan monitoring dan melaporkan kepada Lembaga Operasional yang dipilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) atau memilih Lembaga Operasional lainnya. (2) Berdasarkan laporan monitoring sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatas, Lembaga Operasional melaksanakan verifikasi. (3) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatas memenuhi persyaratan, Lembaga Operasional mengusulkan kepada Badan Pelaksana MPB untuk menerbitkan Sertifikat Penyerapan gas rumah kaca (Certificate of Emission Reduction/CER) bagi Pengembang. Pasal 17 Lembaga Operasional dalam melaksanakan pengujian, verifikasi dan proses sertifikasi pengurangan emisi gas rumah kaca harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Pasal 18 Pengembang wajib melaporkan perkembangan kegiatan proyek secara periodik kepada Menteri Kehutanan. Pasal 19 Peraturan ini mulai berlaku sejak ditetapkan. Ditetapkan di : J A K A R T A Pada tanggal : 5 Oktober 2004 MENTERI KEHUTANAN, ttd. MUHAMMAD PRAKOSA SALINAN Peraturan ini disampaikan Kepada Yth. : 1. Para Menteri Kabinet Gotong Royong RI 2. Para Pejabat Eselon I Lingkup Departemen Kehutanan 3. Para Gubernur di Seluruh Indonesia 4. Para Bupati/Walikota di Seluruh Indonesia