Panik Ditulis oleh Henry Sujaya Lie Jumat, 17 April 2009 17:15 Panik. Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan orang-orang di Singapura saat ini. Mungkin inilah tingkat kepanikan tertinggi yang pernah ada sejak negara ini lahir. Waktu dulu banyak huru-hara teror di sana sini, bahkan waktu rencana pemboman sebuah stasiun kereta terbongkar, kebanyakan rakyat santai-santai saja, kalau tidak dibilang tidak peduli. Tidak banyak yang peduli soal perang Irak di sini waktu perang pecah, masing-masing sibuk dan kuatir soal kerjaan dan bayar cicilan. Gambaran masyarakat modern yang pragmatis. Dan kini masyarakat modern ini dihantui oleh satu kata, SARS. Sejak beredar SMS hoax tentang 'kacang hijau', yang isinya menganjurkan agar makan kacang hijau untuk mencegah SARS, dalam waktu sekejap stok kacang hijau di supermarket pun ludes! Orang pun jadi serba takut. Kemarin saya tidak masuk kerja karena sakit flu dan sedikit batuk-batuk. Kelelahan, lha wong tidur jam tiga pagi melulu. Dalam sekejap berita sakitnya saya menyebar di kantor. Banyak yang peduli. Atau tepatnya ketakutan. Yang kemarin makan bareng saya jadi was-was. Yang lain buru-buru ngecek, "Demam, nggak?". Jadilah saya pergi ke dokter, supaya yang lain pada tenang. Malamnya seorang kolega mengirim SMS, "Aku flu, nih. Mudah-mudahan nggak demam. Mati aku !" Ketika saya masuk kantor lagi, orang-orang memandang dengan penuh curiga :). Ya, orang panik karena takut mati. Orang gelisah kalau sesuatu yang tidak dapat mereka kendalikan dalam genggaman tangannya mulai mengancam nyawanya. Takut dan panik dapat menghalau akal sehat. **** Sekelompok nelayan sedang berlayar di danau Galilea. Mereka jelas bukan nelayan kemarin sore, tapi orang-orang yang sudah kenyang makan asam garam. Orang-orang yang hafal perilaku dan kebiasaan angin dan cuaca di daerah tersebut. Orang-orang yang mungkin lebih dari separuh hidupnya dihabiskan untuk mengendalikan perahu dalam air. Orang-orang yang sudah dengan hati-hati merencanakan perjalanan mereka. Namun, alas! Sekonyong-konyong taufan turun dan menghajar mereka. Force Majeure. Sekuat tenaga mereka menggunakan semua tenaga dan keahlian mereka untuk menyelamatkan diri. Ombak berayun mengocok perut, badai menghempas perahu malang, terengah-engah mereka berusaha mengendalikan diri. Namun sia-sia, apapun yang mereka lakukan, air membanjiri masuk ke dalam perahu dengan cepat. Untuk berpikir pun tidak sempat lagi, yang bisa tercium adalah bau angin danau laksana bau kematian. Saat kematian di depan mata. Apa yang terbayang? Pekerjaan yang belum selesai? Hutang yang belum dibayar? Orang-orang yang kita kasihi? Atau benar-benar tak sempat terbayang apa-apa..hanya takut dan ngeri? Sekonyong-konyong teringatlah, mereka bahwa masih ada satu orang lagi di dalam perahu. Dan Dia, Tuhan Yesus, sedang tidur nyenyak tanpa suara. Nyenyak, tak terganggu di tengah huru-hara ambang kematian. Pulas lelap. Maka berteriaklah mereka, membangunkanNya, "Guru, Guru, kita binasa!" 1/3 Panik Ditulis oleh Henry Sujaya Lie Jumat, 17 April 2009 17:15 Di tengah panik, mungkin kita ingat bahwa Tuhan itu ada. Namun lebih mudah bagi kita untuk melihat kenyataan "Kok Tuhan tidur di tengah-tengah krisisku? Kok diam saja?" daripada melihat kenyataan bahwa Tuhan yang tidur itu ada di tengah-tengah kita, dan "tidur"-Nya Dia itu menjamin damai dan keselamatan kita. Lebih mudah bagi kita untuk membuatkan kesimpulan bagi Tuhan, "Tuhan, Tuhan.. gua udah mau mati sekarang...Kenapa???Gimana, sih ?" daripada menyadari kenyataan bahwa Tuhan yang kita seru-serui sedang ada bersama-sama dalam perahu yang mulai tenggelam itu. Dan bahwa Dia berkuasa atas segala sesuatu. Tiada yang mustahil bagiNya. Dan Tuhan pun menghardik mereka, "Di manakah kepercayaanmu?" setelah Dia menenangkan angin ribut itu. Kenapa? Salahkah penglihatan para nelayan itu, yang menyadari bahaya kematian di tengan taufan? Atau karena iman seharusnya membawa mereka melihat sesuatu yang lain, yang tidak dilihat oleh mata? Mendengar sesuatu yang tidak terdengar oleh telinga kita? Mencium sesuatu yang tak tercium oleh telinga kita? Ini kisah tentang seorang seniman yang hendak bunuh diri. Dilingkarkannya tali ke lehernya, dan ya..! Dia meloncat. Berkelojotan sesaat, lalu terdengar bunyi, "Buuuukkk". Tali yang dipakainya putus. Terjatuh, terlentang di atas tanah, tiba-tiba dia melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang baru. Dia melihat betapa indahnya dunia ini. Dia melihat langit biru begitu indah, mendengar burung-burung berkicau dengan merdu. Paradigma atau cara pandangnya berubah seketika, dia memulai lagi hidupnya dan melahirkan karya-karya masterpiece-nya. **** Ada saat di mana kita mengalami masa panik. Ada momen yang memperlihatkan kepada mata kita seolah tidak ada jalan keluar selain kesukaran dan kematian. Saya tidak tahu momen apa yang mendesak Anda pada kepanikan yang paling menakutkan. Panik menghadapi kematian? Panik karena hutang tidak dibayar, usaha ditipu? Panik menghadapi masa depan yang tidak jelas? Panik karena tidak jelas besok makan apa? Panik melihat dunia penuh perang, penuh krisis ekonomi, penuh kerusuhan? Pernah mendengar atau masih ingat lagu jaman sekolah minggu? Alam raya menyanyikan kemuliaanNya cakrawala memashyurkan karya tanganNya Burung-burung berkicauan menyambut sang surya bunga bermekaran alam riang ria memuji namaNya Semesta bernyanyi, karena kasihNya Tak berubah sampai selamanya, pujilah Tuhan namaNya... Mungkin setelah kita dewasa, rasanya konyol kalau menyanyikan 'burung-burung dan bunga memuji namaNya' -kan mereka bukan makhluk religius yang memiliki kesadaran akan Allah. Dan bagaimana melihat cakrawala menyanyikan kemuliaanNya sementara angin taufan 2/3 Panik Ditulis oleh Henry Sujaya Lie Jumat, 17 April 2009 17:15 menghajar perahu kita? Namun nyanyian itu benar secara teologis karena bukan untuk dipahami secara literal. Kalau kita bisa melihat kekuasaan dan pemeliharaan Allah di tengah alam semesta ini. Kalau kita melihat kemuliaan kehadiran Allah di dalam setiap nafas hidup kita. Kalau kita melihat bahwa Allah masih memegang kendali di tengah segala kekacauan dan kepanikan. Maka kita akan melihat, bahwa sungguh cakrawala yang dicemari teror dan ketakutan, tunduk di bawah kuasa kemuliaan Allah dan menyanyikan serta memashyurkan kemuliaanNya. Bahwa sukacita Roh Kudus menyingkapkan mata kita bahwa bunga-bunga dan burung-burung - di tengah kepanikan kita - sedang menyanyikan himne agung bagi sang Pencipta. Semesta bernyanyi, karena kasihNya Tak berubah sampai selamanya, pujilah Tuhan namaNya... ..... Kiranya Dia menyingkapkan mata iman kita untuk melihatnya. Tolonglah kami, Tuhan **** Singapura, 8 April 2003 3/3