MAKALAH SAJIAN KASUS KEJANG DEMAM KOMPLEKS Oleh: Calvin Kurnia Mulyadi 0906639726 Narasumber: dr.Deddy Ria Saputra, SpA SMF Kesehatan Anak RS Fatmawati Jakarta Modul Ilmu Kesehatan Anak dan Remaja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, April 2014 LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Calvin Kurnia Mulyadi NPM : 0906639726 adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Makalah yang saya buat dengan judul “Kejang Demam Kompleks” adalah benar merupakan karya saya dan bebas dari unsur plagiarisme sebagaimana yang ditentukan oleh Universitas Indonesia. Apabila di kemudian hari saya terbukti melanggar peraturan mengenai plagiarisme, saya bersedia diberikan sanksi sesuai yang diatur oleh Universitas Indonesia. Jakarta, 15 April 2014 (Calvin Kurnia Mulyadi) 2 BAB I ILUSTRASI KASUS I. Identitas Inisial : An.AF Usia : 2 tahun 2 bulan Jenis kelamin : Perempuan Alamat : Paseban, Jakarta Pusat Tempat, tgl lahir : Jakarta, 7 Februari 2012 Suku : Betawi Agama : Islam Nama Ayah : Tn.SR Nama Ibu : Ny.I (pengasuh) NRM : 392-82-xx Waktu masuk : 10 April 2014 (IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo) pkl. 14.00 Waktu pemeriksaan: 11 April 2014 pkl 15.00 Bangsal Rawat Inap Anak II. Anamnesis Dilakukan kepada ibu pasien pada waktu pemeriksaan (alloanamnesis) 1. Keluhan utama Kejang 4 jam sebelum masuk rumah sakit 2. Riwayat penyakit sekarang Dua hari sebelum masuk rumah sakit (RS) pasien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi disertai dengan batuk dan pilek. Demam terjadi mendadak, berlangsung terus-menerus, namun suhu tubuh saat demam di rumah tidak diukur karena dirasakan tidak terlalu tinggi oleh ibu pasien. Batuk disertai dengan dahak berwarna putih kental yang berjumlah sedikit, namun terkesan sulit dikeluarkan oleh pasien. Riwayat kebiruan dan sesak nafas disangkal. Sejak mengalami demam, ibu pasien mengatakan bahwa asupan makanan pasien menjadi berkurang karena rewel, disertai dengan muntah tiap kali makan, banyaknya ½ gelas aqua (± 50-100 cc), yang berisi makanan, tidak ada darah atau warna kehijauan. Tidak ada riwayat muncul bintik kemerahan, 3 mimisan, gusi berdarah, ataupun BAB warna hitam. Riwayat nyeri menelan, BAB cair, menangis waktu buang air kecil (BAK), maupun nyeri telinga atau keluar cairan dari telinga disangkal. Pasien sudah dibawa ke dokter umum dan mendapatkan obat antibiotik, obat batuk sirup dan obat penurun panas, namun tidak ada perbaikan, baik batuk maupun demamnya. Empat jam sebelum masuk RS, pasien mengalami kejang satu kali di rumah yang berlangsung kurang lebih 2 menit, disertai dengan mata melotot ke depan, serta kedua lengan dan tungkai menekuk dan lurus-kaku (‘kelojotan’) secara serentak berulang kali. Kejang disertai demam dengan suhu tubuh terukur di ketiak mencapai 38,5°C sekitar 2 jam sebelum pasien mengalami kejang tersebut. Kejang kemudian berhenti sendiri tanpa diberikan obat yang dimasukkan melalui dubur, lalu pasien dengan segera sadar kembali. Riwayat kelumpuhan anggota gerak atau kondisi yang cenderung mengantuk setelah kejang tersebut disangkal. Tidak ada gerakan yang menuju ke satu sisi tubuh sebelum ataupun saat kejang. Satu jam sebelum masuk RS, pasien kembali mengalami kejang dengan durasi dan pola gerakan yang sama dengan kejang pertama. Suhu tubuh saat kejang terukur di ketiak 37,8°C dan kejang kemudian berhenti sendiri yang diikuti dengan kesadaran pulih sepenuhnya. Pasien kemudian dibawa ke Instalasi Gawat Darurat RSUPN Cipto Mangunkusumo ( IGD RSCM). Selama perjalanan ke IGD, tidak ada kejang lagi dan demam sudah mulai turun, namun batuk dan pilek masih tetap ada. 3. Riwayat Penyakit Dahulu Pada waktu berusia 1 tahun 7 bulan, pasien pernah dirawat di RSCM karena keluhan serupa (demam yang diikuti kejang) selama kurang lebih 2-3 hari. Pola dan durasi kejang yang terjadi pada saat itu serupa dengan kejang yang membawa pasien berobat saat ini. Riwayat kejang tanpa demam, asma (mengi) dan alergi obat-obatan disangkal. 4 4. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat kejang disertai demam ataupun tanpa demam pada ayah, ibu, dan saudara kandung pasien disangkal. Riwayat demam atau batuk pilek, asma (mengi), alergi obat, hipertensi, dan diabetes mellitus disangkal. 5. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran Pasien merupakan anak ketiga dari ibu dengan P3A0. Selama kehamilan, ibu rutin menjalani kontrol kehamilan di bidan desa dan pernah menjalani pemeriksaan ultrasonografi di dokter spesialis kandungan. Tidak ada riwayat demam, mengonsumsi makanan kurang matang, ruam kemerahan, keputihan, mengonsumsi obat-obatan atau jamu-jamuan selama kehamilan. Pasien lahir spontan cukup bulan (38 minggu) dibantu oleh dokter di RS dengan berat badan lahir 3100 gram dan panjang badan lahir 48 cm. Segera setelah lahir pasien langsung menangis dan tidak ada tanda kebiruan, pucat, kuning, atau kejang. 6. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Pasien mampu tengkurap di usia 5 bulan, duduk tegak sendiri tanpa bantuan di usia 9 bulan, serta berdiri tanpa berpegangan dan berjalan di usia 12 bulan. Saat ini pasien sudah dapat berbicara satu kalimat yang mengandung arti, yaitu ‘Ibu minta minum’. 7. Riwayat Imunisasi Pasien mendapatkan imunisasi dasar sebagai berikut: - Hepatitis B saat lahir, usia 1 bulan, dan 6 bulan - BCG pada usia 1 bulan - DPT pada usia 2, 3, dan 4 bulan - Polio pada usia 1, 2, 3, dan 4 bulan - Campak pada usia 9 bulan. Kesan: imunisasi dasar lengkap. Pasien belum pernah menjalani imunisasi lagi di atas usia 9 bulan. 5 8. Riwayat Nutrisi dan Makanan Pasien mendapatkan air susu ibu (ASI) dan susu formula sejak lahir hingga usia 2 bulan. Usia 2 hingga 6 bulan pasien hanya mendapatkan susu formula saja tanpa pengganti ASI lainnya. Sejak usia 6 bulan pasien sudah mulai diperkenalkan bubur susu dan buah seperti pepaya dan pisang. Sejak usia 10 bulan hingga saat ini pasien sudah mengonsumsi makanan keluarga. Setiap hari pasien mengonsumsi 3 porsi makanan berupa nasi atau bubur dengan lauk berupa sayur (3 kali perhari), daging (3 potong perhari), telur (1-2 butir perhari), tahu, tempe, dan susu. Selama sakit, pasien mengalami penurunan nafsu makan karena rewel sehingga tidak mau minum susu dan sulit untuk menghabiskan tiap porsi makanan (kurang dari ½ porsi tiap kali makan). 9. Riwayat Lingkungan dan Sosial Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Ayah bekerja sebagai pedagang dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Pasien tinggal berlima bersama ayah, ibu, dan dua orang saudara kandungnya. Menurut orang tua, lokasi lingkungan rumah tidak terlalu padat. Pembiayaan kesehatan menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). III. Pemeriksaan Fisis Dilakukan pada tanggal 11 April 2014 pukul 15.30 WIB 1. Status Generalis Keadaan umum : tampak sakit sedang, rewel dan gelisah Kesadaran : compos mentis Tanda-tanda vital (anak dalam keadaan tenang) Tekanan darah : 90/70 mmHg (diukur di lengan kiri) Nadi : 110 kali permenit, teraba kuat, reguler, isi cukup, dan sama di keempat ekstremitas Nafas : 58 kali permenit, kedalaman cukup, sifat abdominotorakal, tampak nafas cuping hidung dan retraksi suprasternal dan epigastrium, saturasi perifer O2 dengan 98% dengan oksigen via nasal kanul 1 liter per menit Suhu : 36,8°C (diukur di aksila) 6 Berat badan : Saat sakit : 11,8 kg (diukur pada tanggal 10 April 2014 di IGD) Sebelum sakit : 12,5 kg Tinggi badan : 83 cm Lingkar kepala : 47,5 cm Lingkar lengan atas : 15 cm Keadaan gizi : kesan gizi normal BB/U : 11,8/11,9 (~100%) TB/U : 83/86,4 (96%) BB/TB : 11,8/10,9 (108%) Height-age : 20 bulan 2. Status Lokalis - Kepala : normosefal (0 s.d. -2 SD), ubun-ubun besar telah menutup, tidak ada deformitas - Rambut : warna hitam, persebaran merata, tidak mudah dicabut - Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, kelopak mata tidak cekung - Telinga : liang telinga lapang, tidak ada serumen probe, tidak ada sekret, membran timpani intak di kedua telinga, tidak ada nyeri tekan tragus ataupun processus mastoideus - Hidung : terpasang nasal kanul, tidak ada sekret, konka tidak hipertrofi - Mulut : bibir tidak sianotik, mukosa lembab, tidak ada ulserasi mukosa, tampak erupsi gigi, tidak ada karies, papil lidah eutrofi, arkus faring simetris, uvula terletak di tengah, dinding posterior faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, tidak tampak detritus. - Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening colli, supraklavikula, ataupun infraklavikula - Toraks o Paru : Inspeksi : simetris saat statis maupun dinamis, tampak retraksi suprasternal Palpasi : fremitus taktil sisi kanan sama dengan kiri Perkusi : sonor di seluruh lapang paru 7 Auskultasi : vesikuler di kedua lapang paru, terdengar ronki basah kasar di daerah basal paru sisi kanan, tidak ada wheezing o Jantung : Inspeksi : iktus kordis terlihat pada sela iga V linea midklavikularis sinistra Palpasi : iktus kordis teraba pada sela iga V linea midklavikularis sinistra; tidak teraba thrill, lifting, heaving, maupun tapping Perkusi : batas jantung kiri di sela iga V linea midklavikularis sinistra; batas jantung kanan di sela iga V linea sternalis dekstra; pinggang jantung di sela iga II linea parasternalis sinistra Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, tidak ada murmur maupun gallop - Abdomen o Inspeksi : datar, tidak ada venektasi o Auskultasi : terdengar bising usus normal o Palpasi : lemas, tidak ada nyeri tekan, lobus kanan hepar teraba 1 cm di bawah arkus kostae kanan, lobus kiri teraba 1 cm di bawah processus xifoideus, lien tidak teraba o Perkusi : timpani di seluruh regio abdomen, shifting dullness tidak ada - Genitalia : tidak ada duh pada muara orifisium uretra eksternal dan introitus vagina, tidak ada edema pada labium mayus dan minus - Ekstremitas : akral hangat, tidak ada edema pretibialis tungkai, CRT < 2 detik - Neurologis : o Kekuatan motorik ekstremitas atas: 5555/5555 o Kekuatan motorik ekstremitas bawah: 5555/5555 o Refleks fisiologis patella +2/+2, Triseps +2/+2 o Refleks patologis Babinski tidak ada o Tidak ada kaku kuduk 8 Achilles +2/+2, Biseps +2/+2, IV.Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium - Darah perifer lengkap (diperiksa pada tanggal 10 April 2014 di IGD RSCM) Hemoglobin 12,2 g/dl (rentang normal: 11,5-13,5 g/dl) Hematokrit 38% (rentang normal: 34-40%) Hitung leukosit 7.750/ul (rentang normal: 5.000-14.500/ul) Trombosit 302.000/ul (rentang normal: 150.000-440.000/ul) Eritrosit 4,51 juta/ul (rentang normal: 3,95-5,26 juta/ul) MCV 84 fL (rentang normal: 75-87 fL) MCH 27,1 pg (rentang normal: 24-30 pg) MCHC 32,3% (rentang normal: 31-37%) RDW 12,77% (rentang normal: 11,5-14,5%) Hitung jenis 1/0/53/38/8 Kesan: normal 2. Pencitraan - Ekspertis foto toraks AP (dilakukan pada tanggal 10 April 2014) Cor terkesan tidak membesar, hilus kanan tampak menebal Mediastinum superior melebar (thymus) Tampak infiltrat di suprahiler dan parakardial kanan Hemidiafragma dan sinus kostofrenikus normal Tulang-tulang dalam keadaan baik Kesan : bronkopneumonia dan suspek limfadenopati hilar kanan V. Resume Pasien anak perempuan berusia 2 tahun datang ke IGD dengan keluhan kejang 4 jam sebelum masuk RS. Kejang terjadi sebanyak dua kali dengan pola yang sama, di mana kedua lengan dan tungkai ‘kelojotan’ serentak, durasi ± 2 menit, berhenti sendiri, diikuti pemulihan kesadaran dan tidak ada kelumpuhan. Dua hari sebelum masuk RS, pasien demam terus menerus disertai batuk pilek dan dahak putih kental. Terdapat riwayat perawatan di RS pada usia 1 tahun 7 bulan karena kejang disertai demam. Pada pemeriksaan fisis, ditemukan nafas cepat (58x/menit) dengan nafas cuping hidung, retraksi suprasternal dan epigastrium pada pemberian oksigen via nasal kanul 1 liter per menit dan ronki basah kasar di 9 area basal paru sisi kanan. Pemeriksaan fisis lainnya tidak ditemukan kelainan yang bermakna. Pada pemeriksaan penunjang, laboratorium darah perifer lengkap terkesan normal dan foto thorax AP terkesan bronkopneumonia dan suspek limfadenopati hilar kanan. VI.Diagnosis - Diagnosis kerja : Kejang demam kompleks, Bronkopneumonia - Diagnosis banding: - VII. Rencana Penatalaksanaan 1. Rencana diagnostik Pemeriksaan analisis gas darah (AGD) 2. Rencana terapeutik o IVFD KaEN 1B rumatan 15 tetes permenit makro drip (~1100 ml/24 jam) o Oksigen via nasal kanul dinaikkan menjadi 1 liter per menit o Paracetamol sirup (120 mg/5 ml) 4 x cth I bila demam o Nebulisasi salbutamol 1 ampul + NaCl 0,9% per 6 jam o Ambroksol sirup (15 mg/5 ml) 3 x cth ½ o Ampicilin 4 x 300 mg intravena o Kloramfenikol 4 x 300 mg intravena VIII. Prognosis - Ad vitam : Bonam - Ad fungsionam : Bonam - Ad sanactionam : Dubia ad bonam 10 BAB II Tinjauan Pustaka I. Kejang Demam 1. Definisi Secara umum, kejang merupakan manifestasi klinis akibat pelepasan muatan listrik (dikenal dengan bangkitan) oleh neuron di otak yang dapat disertai dengan gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, ataupun otonom.1 Kejang demam (febrile seizure) didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (pengukuran suhu secara rektal) di atas 38°C yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. 2 Dengan demikian, berbagai etiologi yang berasal dari abnormalitas sistem saraf pusat (SSP) ataupun kelainan metabolik perlu disingkirkan terlebih dahulu.3 Insidens kejang demam berkisar antara 2-4% pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 5 tahun. Manakala kejang didahului demam terjadi pada anak berusia kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun, perlu dipertimbangkan diagnosis banding lain,seperti infeksi SSP atau epileps yang terprovokasi oleh demam, sebelum memikirkan kejang demam sebagai etiologi utama kejang tersebut. Seorang anak yang sebelumnya pernah mengalami kejang tanpa demam ataupun riwayat epilepsi lalu mengalami kejang yang disertai dengan demam tidak dapat didiagnosis sebagai kejang demam.2 2. Klasifikasi Kejang Demam Kejang demam dapat dibedakan menjadi: - Kejang demam sederhana Kriteria kejang demam sederhana apabila kejang yang didahului oleh demam terjadi dengan karakteristik sebagai berikut: berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), tanpa gerakan fokal, dan tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana menduduki proporsi sebesar 80% dari seluruh kasus kejang demam. 11 - Kejang demam kompleks Dikatakan sebagai kejang demam kompleks bilamana kriteria kejang demam sederhana tidak terpenuhi, yaitu kejang berlangsung lebih dari 15 menit, terdapat gerakan fokal (parsial di satu sisi), atau berulang dalam waktu 24 jam dengan/tanpa pemulihan kesadaran di antara episode kejang.2 3. Patofisiologi Mekanisme terjadinya kejang demam berbeda dengan kejang yang timbul akibat epilepsi atau kejang tidak terprovokasi lainnya. Sampai saat ini mekanisme terjadinya kejang demam belum sepenuhnya dipahami. Diduga terdapat peranan genetik yang menyebabkan riwayat kejang demam bersifat familial, khususnya pewarisan secara autosomal dominan. Dari sebagian besar kasus, tampak bahwa kelainan tersebut bersifat poligenik yang masih dalam penelusuran lebih lanjut. Beberapa subtipe gen FEB pada kromosom 2, 5, 6, 8, 18, dan 19 berperan dalam terjadinya kejang demam dan hanya gen FEB 2 yang diketahui memiliki fungsi pengaturan kanal natrium SCN1A. 3 Model pada hewan tikus menyebutkan bahwa demam yang terjadi diikuti dengan hiperventilasi kompensatorik yang menyebabkan alkalosis respiratorik dan berujung pada peningkatan pH di SSP sehingga diduga menjadi pencetus kejang dan perubahan gambaran elektroensefalogram (EEG).4 Predisposisi genetik ini berinteraksi dengan dua faktor lain yang diduga menjadi etiologi kejang demam, yaitu imaturitas otak dan sistem termoregulator dan demam (terjadi peningkatan kebutuhan oksigen). 5 Tabel 2.1 berikut ini menyajikan beberapa mekanisme terjadinya kejang demam. 12 Tabel 2.1 Beberapa Mekanisme Terjadinya Kejang Demam6 4. Diagnosis a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Alloanamnesis difokuskan untuk mencari: - Jumlah episode kejang, karakteristik kejang, penurunan kesadaran, durasi kejang, suhu sebelum/saat kejang, interval antarkejang, keadaan pasca kejang seperti pemulihan kesadaran, ada tidaknya paresis (kelumpuhan) - Demam, yaitu etiologi (di luar dari infeksi SSP) dan gejala klinis yang timbul - Upaya untuk menyingkirkan penyebab kejang yang lain seperti gangguan elektrolit/metabolik akibat diare atau muntah, sesak yang dapat menyebabkan hipoksemia, asupan yang menyebabkan hipoglikemia. Untuk pemeriksaan fisis, dapat dinilai beberapa komponen, antara lain: 13 - Ada tidaknya penurunan kesadaran - Suhu tubuh - Tanda rangsang meningeal, seperti kaku kuduk, Brudzinski I dan II, Kernig, dan Lasegue - Pemeriksaan nervus kranialis dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial - Tanda-tanda infeksi di luar SSP, seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), otitis media akut (OMA), atau infeksi saluran kemih (ISK) - Pemeriksaan neurologis, berupa tonus otot, kekuatan motorik, penilaian refleks fisiologis dan ada tidaknya refleks patologis.5 b. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi demam dan kejang yang mencakup darah perifer lengkap, elektrolit, urinalisis, hingga kultur darah, urin, atau feses.1 Pungsi lumbal (lumbal puncture atau LP) untuk memeriksa cairan serebrospinal ditujukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab meningitis yang mana pada bayi seringkali sulit disingkirkan karena manifestasi klinis tidak jelas. Pada bayi berusia kurang dari 12 bulan dengan serangan kejang pertama, pemeriksaan LP sangat dianjurkan. Pemeriksaan ini dapat diulang dalam 48-72 jam setelah pemeriksaan LP pertama.1,5 Menurut pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), pemeriksaan EEG tidak direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada kasus kejang demam,2 kecuali pada kejang demam yang tidak khas seperti pada anak berusia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.1 Sementara itu, pencitraan berupa computed tomography scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) dilakukan bilamana terdapat indikasi, antara lain: - Kelainan neurologi fokal menetap atau lesi struktural - Terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, seperti ubunubun besar menonjol, penurunan kesadaran, muntah menyemprot, paresis nervus VI, dan edema papil (perlu dilakukan funduskopi).5 14 Diagnosis banding kejang dengan serangan menyerupai kejang dapat dibedakan menurut karakteristik seperti yang diperlihatkan pada tabel 2.2 berikut ini. Tabel 2.2 Perbedaan Kejang dan Serangan Menyerupai Kejang1 Onset Tiba-tiba Serangan Menyerupai Kejang Gradual Durasi Detik-menit Beberapa menit Sering terganggu Jarang terganggu Sianosis Sering Jarang Gerakan ekstremitas Sinkron Tidak sinkron Stereotipik serangan Selalu Jarang Lidah tergigit atau luka lain Sering Sangat jarang Gerakan abnormal bola mata Selalu Jarang Gerakan tetap ada Gerakan menghilang Dapat diprovokasi Jarang Hampir selalu Tahanan terhadap gerakan pasif Disorientasi pascakejang Jarang Selalu Hampir selalu Tidak pernah EEG iktal abnormal Selalu Hampir tidak pernah EEG pascaiktal abnormal Selalu Jarang Karakteristik Kesadaran Fleksi pasif ekstremitas Kejang 5. Penatalaksanaan Penatalaksanaan kejang demam mengikuti algoritma tatalaksana kejang, seperti yang ditampilkan pada gambar 2.1. Penatalaksanaan dibagi menjadi nonmedikamentosa dan medikamentosa. a. Nonmedikamentosa Pada umumnya, kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang ke rumah sakit, kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam kondisi masih kejang, perlu dilakukan stabilisasi terhadap jalan napas, usaha napas, dan sirkulasi sebagaimana resusitasi emergensi pada umumnya. 15 Airway : bebaskan jalan napas, posisi, dan persiapkan alat penghisap lendir (suction) Breathing : berikan oksigen 100% Circulation : periksa denyut nadi dan tekanan darah Dextrose : periksa kadar gula darah Establish vascular access : pemasangan jalur infus Berkaitan dengan penatalaksanaan komprehensif, orang tua dari pasien dengan kejang demam dapat diberikan edukasi dan komunikasi antara lain: - Meyakinkan bahwa pada umumnya kejang demam memiliki prognosis baik - Memberitahukan cara penanangan kejang - Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali - Pemberian obat untuk mencegah berulangnya kejang memiliki efek samping - Bilamana terjadi kejang kembali, maka: Orang tua harus tetap tenang dan tetap bersama pasien selama kejang Mengendorkan pakaian yang ketat, terutama di sekitar leher Bila tidak sadar, anak dapat diposisikan terlentang dengan kepala miring ke satu sisi. Muntahan atau lendir di mulut atau hidung dibersihkan. Sebaiknya tidak memasukkan sesuatu ke dalam mulut anak ketika sedang kejang walaupun ada kemungkinan lidah tergigit Ukur suhu, observasi, dan catat lama dan pola gerakan kejang Jika kejang berlangsung selama 5 menit atau lebih, harap di bawa berobat ke dokter atau rumah sakit.2 b. Medikamentosa - Antipiretik Dapat diberikan paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali perhari dan tidak lebih dari 5 kali perhari atau 16 ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali sebanyak 3-4 kali perhari (tidak untuk anak < 6 bulan). - Antikonvulsif Diazepam oral dengan dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam atau per rektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kgBB setiap 8 jam jika suhu tubuh melebihi 38,5°C. Apabila pasien datang saat kejang, diberikan diazepam intravena. Untuk kejang di rumah, orang tua/pengasuh dapat memberikan diazepam rektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kgBB atau secara mudah, diazepam 5 mg per rektal untuk anak dengan berat badan < 10 kg, sedangkan > 10 kg diberikan 10 mg. Pemberian diazepam rektal dapat diulang sekali lagi jika kejang belum berhenti dengan cara dan dosis yang sama dan interval waktu 5 menit. Jika setelah dua kali pemberian diazepam rektal anak masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit untuk pemberian intravena.2,5 Diazepam intravena diberikan dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB secara perlahan-lahan (kecepatan 1-2 mg/menit) dalam waktu 3-5 menit (dosis maksimal 20 mg) jika pasien datang dengan kejang. Jika kejang belum berhenti, diberikan fenitoin intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Jika kejang berhenti, dosis selanjutnya diberikan 12 jam kemudian dengan dosis 4-8 mg/kgBB/hari. Jika dengan fenitoin kejang belum juga berhenti, pasien diindikasikan untuk rawat ruang intensif.2 - Pengobatan rumatan Indikasi pengobatan rumatan jika terdapat salah satu ciri berikut: Kejang lama (> 15 menit) Kelainan neurologis yang nyata sebelum ataupun sesudah kejang, seperti paresis Todd, hemiparesis, retardasi mental, hidrosefalus, atau palsi serebral. Kelainan neurologis yang tidak nyata, seperti perkembangan terlambat setelah kejadian kejang tidak menjadi indikasi pengobatan rumatan.2 Kejang fokal. Pengobatan jangka panjang diberikan manakala terdapat: 17 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam waktu 24 jam Kejang demam yang terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan Kejang demam yang terjadi 4 kali atau lebih per tahun. Pilihan obat yang dapat diberikan untuk jangka panjang antara lain fenobarbital dengan dosis 3-4 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 1-2 dosis atau asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 2-3 dosis. Pengobatan jangka panjang diberikan selama 1 tahun bebas kejang dan dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.2,5 Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan Kejang Akut dan Status Konvulsif1 Pasien diindikasikan menjalani rawat inap di rumah sakit bila terdapat riwayat kejang demam kompleks, hiperpireksia (suhu > 41°C), usia saat onset di bawah dari 6 bulan, mengalami episode kejang demam yang pertama kali, serta terdapat kelainan neurologis. 18 6. Prognosis Belum pernah ada kematian yang dilaporkan akibat kejang demam. 2 Kejang demam berisiko untuk berulang bila terdapat faktor sebagai berikut: - Riwayat kejang demam dalam keluarga - Usia onset kejang kurang dari 12 bulan - Temperatur yang rendah saat terjadinya kejang - Cepatnya onset kejang setelah demam. Bila seluruh faktor tersebut ada, terdapat kemungkinan sebesar 80% kejang demam akan berulang, sedangkan bila tidak ada salah satupun dari faktor tersebut, kemungkinan hanya sebesar 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang paling besar pada tahun pertama kehidupan. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari antara lain: - Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum episode kejang demam yang pertama - Pasien mengalami kejang demam kompleks - Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung pasien. Diketahui bahwa masing-masing faktor risiko tersebut dapat meningkatkan kemungkinan menderita epilepsi sebesar 4-6%, dan apabila terdapat kombinasi dari faktor-faktor tersebut, kemungkinan akan meningkat menjadi 10-49%.2 II. Pneumonia 1. Definisi Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang melibatkan alveolus dan jaringan interstitial paru. Menurut World Health Organization (WHO), pneumonia didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, serta perjalanan penyakitnya. Sampai saat ini, pneumonia masih menjadi penyebab utama kematian anak bawah lima tahun (balita). Beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan tingginya angka mortalitas akibat pneumonia, khususnya di negara berkembang, antara lain pneumonia pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapatkan imunisasi, tidak mendapatkan ASI adekuat, defisiensi vitamin A, kolonisasi bakteri di daerah nasofaring, dan pajanan terhadap polusi udara.7 19 2. Etiologi dan Patogenesis Patogen yang menjadi etiologi pneumonia pada anak sangat bervariasi bergantung pada usia pasien. Pada neonatus dan bayi kecil, sering ditemukan patogen penyebab, yaitu Streptococcus group B, E.coli, Pseudomonas sp., dan Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus. Pada anak yang lebih besar dan remaja, tidak jarang ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae sebagai penyebab. Penyebab viral untuk anak berusia 4 bulan-5 tahun antara lain Adenovirus, Influenza virus, Parainfluenza virus tipe 1, 2, dan 3, serta Respiratory syncytial virus.7,8 Pada sediaan histopatologis, pneumonia, khususnya bakterial, akan memperlihatkan tiga stadium perjalanan penyakit, yaitu fase hepatisisasi merah, hepatisisasi kelabu, dan berakhir dengan fase resolusi. Pada fase hepatisisasi merah, dapat ditemukan konsolidasi yang terjadi akibat sebukan sel polimorfonuklear, eritrosit, deposit fibrin, cairan dan mikrorganisme di alveoli. Selanjutnya, deposisi fibrin makin bertambah dan terjadi proses fagositosis yang cepat yang dikenal dengan fase hepatitisasi kelabu. Setelah itu, jumlah makrofag meningkat di alveoli dan sel mengalami degenerasi diikuti dengan penipisan deposit fibrin dan debris selular, yang kemudian dikenal dengan fase resolusi.7 Gambar 2.2 berikut ini menyajikan gambaran dari proses tersebut secara mikroskopis. 20 Gambar 2.2 Sediaan Makroskopis dan Mikroskopis Bronkopneumonia9 3. Manifestasi Klinis Gejala klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada derajat keparahan infeksi dan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gejala sistemik infeksi pada umumnya, seperti demam, sakit kepala, malaise, hingga keluhan gastrointestinal (mual, muntah, atau diare), dan gejala terkait 21 respiratori, seperti batuk, sesak, retraksi dada, takipnea, nafas cuping hidung, merintih, hingga sianosis. Pada neonatus dan bayi kecil, gambaran klinis pneumonia seringkali tidak khas mencakup apnea, sianosis, merintih, nafas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak mau minum, takikardia, retraksi subkostal, dan demam, bahkan tidak jarang terjadi hipotermia. Pada balita dan anak lebih besar, gejala dan tanda yang ditemukan dapat berupa kecenderungan untuk berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk, ronki (bila ada infiltrat alveolar), retraksi dan takipnea (tanda klinis yang bermakna), dan kadang dapat ditemukan nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan bawah yang menyebabkan iritasi diafragma.7 4. Diagnosis Perlu diketahui bahwa prediktor terkuat ada tidaknya pneumonia adalah ditemukannya gejala demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori berikut: takipnea, batuk, nafas cuping hidung, retraksi, ronki, dan suara nafas melemah.7 a. Anamnesis Diarahkan untuk mencari gejala berupa: batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi produktif dengan dahak purulen bahkan berdarah, sesak, demam, kesulitan makan/minum, tampak lemah, serta perlu ditanyakan apakah sakit kali ini merupakan serangan pertama atau berulang. b. Pemeriksaan Fisis Pada pemeriksaan fisis, dapat dinilai keadaan umum (kesadaran dan kemampuan makan/minum), frekuensi nafas, frekuensi nadi, gejala distres pernafasan seperti takipnea, retraksi subkostal, batuk, krepitasi, dan suara nafas melemah pada auskultasi paru. Perlu juga dilakukan pengukuran suhu badan dan menilai ada tidaknya sianosis. Akibat tingginya angka mortalitas akibat pneumonia, WHO kemudian menetapkkan pedoman diagnosis untuk memperluas cakupan diagnosis pneumonia hingga dapat memperoleh tatalaksana dini yang tepat. a. Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun 22 Dikatakan pneumonia berat bila terdapat sesak nafas (retraksi berat) dan hal tersebut menjadi indikasi rawat inap di RS, sedangkan pneumonia ringan bila tidak ada sesak, namun ditemukan nafas cepat (> 50 kali permenit untuk usia 2 bulan sampai 1 tahun dan > 40 kali permenit untuk usia lebih dari 1 tahun). Pasien dengan pneumonia ringan tidak perlu rawat inap RS dan hanya membutuhkan terapi antibiotik oral. Pasien dikatakan mengalami pneumonia sangat berat jika sudah tidak dapat minum/makan, mengalami kejang, letargis, dan malnutrisi.7,10 b. Bayi kurang dari 2 bulan Diklasifikasikan sebagai pneumonia berat jika terdapat nafas cepat (> 60 kali permenit) atau tampak sesak (retraksi berat), sedangkan pneumonia sangat berat bilamana bayi tidak mau menetek, mengalami kejang, letargis, demam atau hipotermia, bradipnea, atau pernapasan ireguler. 10 Pemeriksaan penunjang laboratorium untuk pneumonia bakterial dapat memperlihatkan leukositosis yang berkisar antar 15.000-40.000/ul dengan predominasi sel polimorfonuklear. Apabila terjadi leukopenia (leukosit < 5.000.ul), prognosis menjadi buruk. Secara radiologis, dapat dilakukan pemeriksaan foto toraks posisi antero-posterior (AP), sedangkan tambahan foto posisi lateral hanya diperlukan bila terdapat distres pernafasan. Secara umum, dapat ditemukan gambaran berupa: - Infiltrat interstitial, yang ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi. - Infiltrat alveolar, yang sering disebut dengan konsolidasi paru dengan atau tanpa gambaran air bronchogram. - Bronkopneumonia, ditandai degnan gambaran difus bercak infiltrat pada kedua lapang paru dan dapat disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.7 5. Tatalaksana Pada dasarnya, pneumonia ringan hanya memerlukan terapi antibiotik per oral dan dapat dilakukan terapi rawat jalan. Secara teoritis, antibiotik yang menjadi pilihan adalah Amoksisilin atau Kotrimoksasol. Dosis Amoksisilin 23 yang diberikan 25 mg/kgBB, sedangkan Kotrimoksasol 4 mg/kgBB trimpetoprim-20mg/kgBB suulfametoksasol. Pasien diindikasikan untuk rawat inap di RS apabila: a. Pada bayi ditemukan saturasi O2 < 92%, sianosis dan tanda pneumonia berat atau sangat berat b. Pada anak ditemukan saturasi O2 < 92%, sianosis, tanda pneumonia ringan-sangat berat, tanda dehidrasi, anak tidak mau makan/minum, terdapat penyakit penyerta lain, terjadi komplikasi seperti efusi pleura, atau keluarga tidak dapat merawat di rumah. Secara umum, pasien harus mendapatkan terapi oksigen untuk mempertahankan saturasi O2 >92%, misalnya dengan kanula hidung. Pemberian cairan intravena dilakukan bila asupan oral berkurang karena anak tidak mau minum. Selain itu, diberikan pula antipiretik, nebulisasi untuk memperbaiki klirens mukosilier, dan observasi ketat tanda vital dan saturasi O2. Sejauh terdapat gambaran distres pernafasan, pasien sebaiknya mendapatkan asupan makanan enteral dengan selang nasogastrik ataupun melalui intravena. Pada rawat inap, dapat diberikan antibiotik intravena dengan pilihan ampisilin, kloramfenikol, koamoksiklav, seftriakson, sefuroksim, dan sefotaksim. Menurut rekomendasi dari IDAI, pada usia neonatus hingga 2 bulan, dapat diberikan ampisilin dan gentamisin, sedangkan untuk usia lebih dari 2 bulan, dipertimbangkan lini pertama Ampisilin selama 3 hari. Jika tidak terdapat perbaikan, dapat ditambahkan Kloramfenikol. Lini kedua yang menjadi pilihan adalah Seftriakson.10 24 BAB III PEMBAHASAN I. Penegakan Diagnosis Melalui tinjauan pustaka yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat ditinjau beberapa aspek diagnostik pada kasus yang diilustrasikan. Keluhan utama yang membawa pasien berobat ke dokter adalah kejang yang terjadi sebanyak dua kali dengan interval kurang lebih 3 jam yang terjadi dalam waktu 24 jam. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, diagnosis kejang ditegakkan semata-mata berdasarkan anamnesis (alloanamnesis), terkecuali kejang sedang terjadi di hadapan pemeriksa. Gejala yang dialami pasien dipertimbangkan sebagai kejang karena onsetnya yang tiba-tiba, lama serangan berkisar antara hitungan detik hingga menit, terjadi penurunan kesadaran, gerakan yang bersifat sinkron dan terdapat stereotipikal dari serangan (pola gerak yang sama pada kedua episode kejang), terdapat gerakan abnormal dari bola mata (dikatakan ibu pasien sebagai mata melotot ke depan), dan serangan yang tidak diprovokasi sebelumnya. Karakteristik-karakteristik tersebut dapat membantu menyingkirkan serangan yang menyerupai kejang. Beberapa diagnosis banding yang perlu dipikirkan pada pasien dengan keluhan kejang disertai demam antara lain kejang demam, infeksi SSP, dan epilepsi dengan infeksi ekstrakranial. Kejang yang terjadi dipikirkan sebagai kejang demam karena terdapat riwayat demam yang dialami sejak 2 hari sebelum masuk RS (1 hari sebelum kejang terjadi). Tidak semata-mata hanya dengan riwayat demam saja, pasien juga menyangkal adanya riwayat kejang tanpa demam sebelumnya. Melalui anamnesis, diketahui bahwa bentuk kejang tergolong sebagai kejang umum klonik tanpa disertai dengan gejala fokal (parsial). Dengan demikian, diagnosis banding kejang akibat epilepsi dapat disingkirkan. Pada pasien juga tidak ditemukan tanda defisit neurologis ataupun riwayat penurunan kesadaran selama peiode demam, tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, ataupun tanda rangsang meningeal sehingga diagnosis banding infeksi SSP dapat disingkirkan. Kejang yang terjadi berlangsung singkat (< 15 menit), namun berulang dua kali dalam waktu 24 jam sehingga dapat digolongkan menjadi kejang demam kompleks. 25 Demam yang menjadi etiologi kejang pada pasien disebabkan oleh infeksi paru (pneumonia) yang ditandai oleh riwayat batuk dan didukung oleh temuan frekuensi nafas yang meningkat (58 kali permenit) disertai nafas cuping hidung, retraksi suprasternal, dan ronki basah kasar pada basal paru kanan. Diagnosis banding demam akibat infeksi dengue dapat disingkirkan karena tidak ditemukan riwayat munculnya tanda-tanda perdarahan, tidak ada hepatomegali, serta pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan leukopenia, hemokonsentrasi, maupun trombositopenia. Hasil foto toraks AP memberikan kesan gambaran bronkopneumonia dan limfadenopati hilar kanan yang dapat bersifat reaktif terhadap proses infeksi ataupun akibat tuberkulosis paru. Pemeriksaan fisis lokalis pada tiap organ lain, seperti telinga, tidak menunjukkan fokus infeksi lain yang dapat berkontribusi pada proses kejang demam ini. Meskipun dicurigai adanya proses infeksi paru yang aktif, hasil pemeriksaan laboratorium darah perifer lengkap tidak memberikan kesan leukositosis seperti infeksi bakterial pada umumnya. Menurut teori, pada pneumonia, khususnya bakterial, akan didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 hingga 40.000/ul. Namun, hitung leukosit yang normal pada pasien ini dapat terjadi karena respon imun yang inadekuat pada anak tersebut, dapat pula karena pneumonia telah memasuki fase resolusi (perbaikan), atau akibat manifestasi klinis atipikal. Berdasarkan pemeriksaan, tidak ada tanda-tanda malnutrisi, penyakit kronis seperti keganasan maupun infeksi tuberkulosis dan human immunodeficiency virus (HIV), sehingga Pada pasien ini direncanakan pemeriksaan analisis gas darah untuk menilai derajat keparahan serta menentukan penatalaksanaan dari distres pernafasan, seperti ada tidaknya hipoksemia atau asidosis yang perlu dikoreksi. Sementara itu, karena pasien berada dalam terapi oksigen, dianjurkan untuk secara rutin memeriksa saturasi oksigen (target >92%) dengan pulse oxymetry setiap 4 jam dan tanda-tanda distres pernafasan. Pemeriksaan kultur dan pewarnaan gram sputum tidak direncanakan pada kasus ini mengingat sulitnya untuk mendapatkan spesimen, khususnya pada usia anak. Penatalaksanaan selanjutnya dapat dilakukan secara empiris menurut pola kuman di RS terkait untuk community acquired pneumonia (CAP), yaitu dengan Ampisilin dan Kloramfenikol. 26 Tidak ada indikasi untuk melakukan pungsi lumbal pada kasus kejang demam kompleks, kecuali pasien menunjukkan tanda-tanda penurunan kesadaran atau defisit neurologis yang mengarahkan kecurigaan pada diagnosis banding infeksi SSP. Risiko terjadinya meningitis bakterialis disebutkan berkisar antara 0,60,7%. Pemeriksaan penunjang lainnya, seperti EEG dan pencitraan CT-scan ataupun MRI tidak diindikasikan pada kasus kejang demam. II. Penatalaksanaan Saat tiba di IGD RSCM, pasien sudah tidak dalam kondisi kejang tapi masih tetap demam dan terdapat tanda distres pernafasan yang disebabkan oleh pneumonia. Pasien dalam kasus ini masih menunjukkan gejala-gejala sesak meskipun pasien telah mendapatkan terapi oksigen melalui nasal kanul dengan kecepatan aliran 1 liter permenit. Hal tersebut menunjukkan suplai yang inadekuat dan memerlukan penambahan suplai namun tetap dipertahankan aliran rendah, yaitu kurang dari 2 liter permenit. Meskipun pasien telah mengalami kejang demam berulang dan saat ini tergolong ke dalam kejang demam kompleks, pasien dipertimbangkan untuk tidak diberikan pengobatan rumat mengingat besarnya efek samping obat dan perlunya pemantauan ketat akan pengobatan yang telah dimulai. Pengobatan rumat diperuntukkan bilamana kejang berlangsung lama, terdapat defisit neurologis nyata atau gejala fokal. Seandainya pasien diberikan pengobatan rumat dengan fenobarbital atau asam valproat tiap hari untuk menurunkan risiko berulangnya kejang di kemudian hari, perlu diperhatikan secara ketat efek samping berupa hipotensi, depresi pernafasan, dan gangguan fungsi hati. Berulangnya kejang demam terutama diantisipasi dengan pemberian antipiretik bilamana suhu tubuh lebih dari 38,5°C. Pada pasien diberikan cairan intravena (parenteral) rumatan oleh karena asupan cairan peroral yang belum adekuat akibat kondisi sesak. Pemberian cairan dosis rumatan dilakukan menurut perhitungan berat badan anak (11,8 kg), sehingga diperoleh kebutuhan cairan per 24 jam adalah 1090 ml (~ 1100 ml) dengan jenis cairan KaEN 1B yang setara dengan Dekstosa 10% dan NaCl 0,9% 3:1 ditambahkan KCl 10 mEq/500 ml cairan, sesuai dengan panduan pelayanan medis RSCM.11 Pemilihan jenis cairan ini karena terdapat kandungan 27 glukosa yang cukup tinggi (dekstrosa 37,5 g/L dengan jumlah kalori sebesar 150 kkal/L) dan tidak mengandung ion Kalium sehingga aman diberikan sebagai rumatan. Tidak diperlukan adanya tambahan volume cairan karena tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi pada pasien. Penggunaan antibiotik sudah dinilai rasional dan sesuai dengan anjuran terapi pedoman medis untuk anak berusia > 2 bulan, yaitu Ampisilin dan Kloramfenikol. Dosis Ampisilin yang digunakan adalah 100 mg/kgBB/hari yang terbagi menjadi 4 dosis, sedangkan dosis Kloramfenikol yang digunakan adalah sebesar 75 mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3-4 kali perhari, sesuai dengan panduan pelayanan medis.11 Antibiotik diberikan 48 sampai 72 jam sampai demam turun, kemudian dilanjutkan dengan pemberian peroral selama 7-10 hari atau dengan patokan 4-5 hari bebas demam. Selain dari antibiotik, diperlukan pula obat-obatan simptomatis untuk meredakan gejala dan memberi kenyamanan pada pasien. Pada ilustrasi kasus, dikatakan bahwa pasien mengalami batuk dengan dahak yang sulit dikeluarkan, terapi inhalasi dengan inhalasi agonis beta-2 adrenergik (Salbutamol) yang dikombinasikan dengan NaCl direkomendasikan oleh pedoman pelayanan medis untuk membantu klirens mukosilier. Ambroksol diberikan sebagai agen mukolitik ekspektoran melalui pemecahan benang mukoprotein dan mukopolisakarida dengan dosis pemberian 1,5 mg/kgBB/kali sebanyak 3 kali perhari. Kebutuhan kalori pada pasien ini untuk anak berusia 1-3 tahun berdasarkan height age dan Recommended Dietary Allowances (RDA) adalah sebesar 100 kkal perhari. Dengan demikian, selama anak masih dapat makan (tidak ada muntah), dapat diberikan makanan biasa dengan jumlah kalori 1090 (~1100) kkal perhari yang dibagi menjadi 3 porsi makan besar dan 2 selingan. Untuk edukasi, orang tua pasien dapat diajarkan mengenai tatalaksana sederhana kejang demam di rumah manakala anak mengalami kejang demam berulang di kemudian hari, yaitu dengan pemberian diazepam per rektal. Selain itu, perlu diedukasikan juga mengenai antisipasi demam yang lebih agresif untuk mencegah kejang demam berulang, meningkatkan higiene dan mencegah penularan penyakit pada anak, misalnya dengan menghindari kontak, hingga memberikan anjuran imunisasi, seperti vaksin HiB dan Pneumococcal. 28 III. Prognosis Pada umumnya, prognosis ad vitam dan ad fungsionam adalah baik mengingat dengan tatalaksana adekuat secara medikamentosa dan nonmedikamentosa, kejang demam tidak dilaporkan berhubungan dengan mortalitas maupun penurunan fungsi neurologis, termasuk tumbuh-kembang anak. Namun, berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya, pasien memiliki kecenderungan untuk mengalami kejang demam berulang sehingga prognosis ad sanactionam dapat dianggap dubia ad bonam walaupun pada pasien tidak ditemukan riwayat kejang demam dalam keluarga, usia > 12 bulan, dan temperatur yang cenderung tinggi saat kejang. Interval antara demam dan onset kejang pada pasien sulit untuk digali karena orang tua tidak bisa ingat dengan tepat. Berkaitan dengan bronkopneumonia, pasien dapat dipulangkan bilamana gejala dan tanda pneumonia telah menghilang, asupan per oral adekuat, dan keluarga dapat melakukan perawatan di rumah. Mengingat perlunya pemberian obat parenteral, pada pasien sebaiknya dilakukan perawatan selama 2-3 hari sebelum beralih ke rawat jalan. 29 Daftar Pustaka 1. Setyabudhy, Mangunatmaja I. Kejang. In: Pudjiadi A, Latief A, Budiwardhana N, editors. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2013. 2. Pusponegoro H, Widodo D, Ismael S, editors. Konsensus kejang demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006. 3. Mikati M. Febrile seizures. In: Kliegman R, Stanton B, Schor N, St.Geme III J, Behrman R, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p. 2017–8. 4. Hirtz D, Nelson K. Febrile seizures. In: David R, Bodensteiner J, Mandelbaum D, Olson B, editors. Clinical Pediatric Neurology. 3rd ed. New York: Demos Medical Publishing; 2009. 5. Pudjiadi A, Hegar B, Hadryastuti S, Idris N, Gandaputra E, Harmoniati E, editors. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia: Kejang demam. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009. 6. Dube CM, Brewster AL, Baram TZ. Febrile seizures: Mechanisms and relationship to epilepsy. Brain Dev. 2009 May;31(5):366–71. 7. Said M. Pneumonia. In: Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto D, editors. Buku Ajar Respirologi Anak. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2013. p. 350–65. 8. Mani C, Murray D. Acute pneumonia and its complications. In: Long S, Pickering L, Prober C, editors. Pediatric Infectious Diseases. 3rd ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 9. Husain A. The lung. In: Kumar V, Abbas A, Fausto N, Aster J, editors. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 8th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2010. 10. Pudjiadi A, Hegar B, Hadryastuti S, Idris N, Gandaputra E, Harmoniati E, editors. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia: Pneumonia. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009. 11. Sastroasmoro S, editor. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Anak: Pneumonia. 1st ed. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Cipto Mangunkusumo; 30