MAKALAH SAJIAN KASUS KEJANG DEMAM KOMPLEKS Oleh

advertisement
MAKALAH SAJIAN KASUS
KEJANG DEMAM KOMPLEKS
Oleh:
Calvin Kurnia Mulyadi
0906639726
Narasumber:
dr.Deddy Ria Saputra, SpA
SMF Kesehatan Anak RS Fatmawati
Jakarta
Modul Ilmu Kesehatan Anak dan Remaja
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta, April 2014
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Calvin Kurnia Mulyadi
NPM
: 0906639726
adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Makalah yang saya
buat dengan judul “Kejang Demam Kompleks” adalah benar merupakan karya saya
dan bebas dari unsur plagiarisme sebagaimana yang ditentukan oleh Universitas
Indonesia.
Apabila di kemudian hari saya terbukti melanggar peraturan mengenai plagiarisme,
saya bersedia diberikan sanksi sesuai yang diatur oleh Universitas Indonesia.
Jakarta, 15 April 2014
(Calvin Kurnia Mulyadi)
2
BAB I
ILUSTRASI KASUS
I. Identitas
Inisial
: An.AF
Usia
: 2 tahun 2 bulan
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Paseban, Jakarta Pusat
Tempat, tgl lahir : Jakarta, 7 Februari 2012
Suku
: Betawi
Agama
: Islam
Nama Ayah
: Tn.SR
Nama Ibu
: Ny.I (pengasuh)
NRM
: 392-82-xx
Waktu masuk
: 10 April 2014 (IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo) pkl. 14.00
Waktu pemeriksaan: 11 April 2014 pkl 15.00 Bangsal Rawat Inap Anak
II. Anamnesis
Dilakukan kepada ibu pasien pada waktu pemeriksaan (alloanamnesis)
1. Keluhan utama
Kejang 4 jam sebelum masuk rumah sakit
2. Riwayat penyakit sekarang
Dua hari sebelum masuk rumah sakit (RS) pasien mengalami demam yang
tidak terlalu tinggi disertai dengan batuk dan pilek. Demam terjadi mendadak,
berlangsung terus-menerus, namun suhu tubuh saat demam di rumah tidak
diukur karena dirasakan tidak terlalu tinggi oleh ibu pasien. Batuk disertai
dengan dahak berwarna putih kental yang berjumlah sedikit, namun terkesan
sulit dikeluarkan oleh pasien. Riwayat kebiruan dan sesak nafas disangkal.
Sejak mengalami demam, ibu pasien mengatakan bahwa asupan makanan
pasien menjadi berkurang karena rewel, disertai dengan muntah tiap kali
makan, banyaknya ½ gelas aqua (± 50-100 cc), yang berisi makanan, tidak
ada darah atau warna kehijauan. Tidak ada riwayat muncul bintik kemerahan,
3
mimisan, gusi berdarah, ataupun BAB warna hitam. Riwayat nyeri menelan,
BAB cair, menangis waktu buang air kecil (BAK), maupun nyeri telinga atau
keluar cairan dari telinga disangkal. Pasien sudah dibawa ke dokter umum dan
mendapatkan obat antibiotik, obat batuk sirup dan obat penurun panas, namun
tidak ada perbaikan, baik batuk maupun demamnya.
Empat jam sebelum masuk RS, pasien mengalami kejang satu kali di rumah
yang berlangsung kurang lebih 2 menit, disertai dengan mata melotot ke
depan, serta kedua lengan dan tungkai menekuk dan lurus-kaku (‘kelojotan’)
secara serentak berulang kali. Kejang disertai demam dengan suhu tubuh
terukur di ketiak mencapai 38,5°C sekitar 2 jam sebelum pasien mengalami
kejang tersebut. Kejang kemudian berhenti sendiri tanpa diberikan obat yang
dimasukkan melalui dubur, lalu pasien dengan segera sadar kembali. Riwayat
kelumpuhan anggota gerak atau kondisi yang cenderung mengantuk setelah
kejang tersebut disangkal. Tidak ada gerakan yang menuju ke satu sisi tubuh
sebelum ataupun saat kejang.
Satu jam sebelum masuk RS, pasien kembali mengalami kejang dengan
durasi dan pola gerakan yang sama dengan kejang pertama. Suhu tubuh saat
kejang terukur di ketiak 37,8°C dan kejang kemudian berhenti sendiri yang
diikuti dengan kesadaran pulih sepenuhnya. Pasien kemudian dibawa ke
Instalasi Gawat Darurat RSUPN Cipto Mangunkusumo ( IGD RSCM). Selama
perjalanan ke IGD, tidak ada kejang lagi dan demam sudah mulai turun,
namun batuk dan pilek masih tetap ada.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada waktu berusia 1 tahun 7 bulan, pasien pernah dirawat di RSCM karena
keluhan serupa (demam yang diikuti kejang) selama kurang lebih 2-3 hari.
Pola dan durasi kejang yang terjadi pada saat itu serupa dengan kejang yang
membawa pasien berobat saat ini. Riwayat kejang tanpa demam, asma
(mengi) dan alergi obat-obatan disangkal.
4
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat kejang disertai demam ataupun tanpa demam pada ayah, ibu, dan
saudara kandung pasien disangkal. Riwayat demam atau batuk pilek, asma
(mengi), alergi obat, hipertensi, dan diabetes mellitus disangkal.
5. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Pasien merupakan anak ketiga dari ibu dengan P3A0. Selama kehamilan, ibu
rutin menjalani kontrol kehamilan di bidan desa dan pernah menjalani
pemeriksaan ultrasonografi di dokter spesialis kandungan. Tidak ada riwayat
demam, mengonsumsi makanan kurang matang, ruam kemerahan, keputihan,
mengonsumsi obat-obatan atau jamu-jamuan selama kehamilan.
Pasien lahir spontan cukup bulan (38 minggu) dibantu oleh dokter di RS
dengan berat badan lahir 3100 gram dan panjang badan lahir 48 cm. Segera
setelah lahir pasien langsung menangis dan tidak ada tanda kebiruan, pucat,
kuning, atau kejang.
6. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Pasien mampu tengkurap di usia 5 bulan, duduk tegak sendiri tanpa bantuan
di usia 9 bulan, serta berdiri tanpa berpegangan dan berjalan di usia 12 bulan.
Saat ini pasien sudah dapat berbicara satu kalimat yang mengandung arti,
yaitu ‘Ibu minta minum’.
7. Riwayat Imunisasi
Pasien mendapatkan imunisasi dasar sebagai berikut:
-
Hepatitis B saat lahir, usia 1 bulan, dan 6 bulan
-
BCG pada usia 1 bulan
-
DPT pada usia 2, 3, dan 4 bulan
-
Polio pada usia 1, 2, 3, dan 4 bulan
-
Campak pada usia 9 bulan.
Kesan: imunisasi dasar lengkap.
Pasien belum pernah menjalani imunisasi lagi di atas usia 9 bulan.
5
8. Riwayat Nutrisi dan Makanan
Pasien mendapatkan air susu ibu (ASI) dan susu formula sejak lahir hingga
usia 2 bulan. Usia 2 hingga 6 bulan pasien hanya mendapatkan susu formula
saja tanpa pengganti ASI lainnya. Sejak usia 6 bulan pasien sudah mulai
diperkenalkan bubur susu dan buah seperti pepaya dan pisang. Sejak usia 10
bulan hingga saat ini pasien sudah mengonsumsi makanan keluarga. Setiap
hari pasien mengonsumsi 3 porsi makanan berupa nasi atau bubur dengan
lauk berupa sayur (3 kali perhari), daging (3 potong perhari), telur (1-2 butir
perhari), tahu, tempe, dan susu. Selama sakit, pasien mengalami penurunan
nafsu makan karena rewel sehingga tidak mau minum susu dan sulit untuk
menghabiskan tiap porsi makanan (kurang dari ½ porsi tiap kali makan).
9. Riwayat Lingkungan dan Sosial
Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Ayah bekerja sebagai
pedagang dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Pasien tinggal berlima bersama
ayah, ibu, dan dua orang saudara kandungnya. Menurut orang tua, lokasi
lingkungan rumah tidak terlalu padat. Pembiayaan kesehatan menggunakan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
III. Pemeriksaan Fisis
Dilakukan pada tanggal 11 April 2014 pukul 15.30 WIB
1. Status Generalis
Keadaan umum
: tampak sakit sedang, rewel dan gelisah
Kesadaran
: compos mentis
Tanda-tanda vital (anak dalam keadaan tenang)
Tekanan darah : 90/70 mmHg (diukur di lengan kiri)
Nadi
: 110 kali permenit, teraba kuat, reguler, isi cukup, dan
sama di keempat ekstremitas
Nafas
:
58
kali
permenit,
kedalaman
cukup,
sifat
abdominotorakal, tampak nafas cuping hidung dan
retraksi suprasternal dan epigastrium, saturasi perifer O2
dengan 98% dengan oksigen via nasal kanul 1 liter per
menit
Suhu
: 36,8°C (diukur di aksila)
6
Berat badan
:
Saat sakit
: 11,8 kg (diukur pada tanggal 10 April 2014 di IGD)
Sebelum sakit : 12,5 kg
Tinggi badan
: 83 cm
Lingkar kepala
: 47,5 cm
Lingkar lengan atas : 15 cm
Keadaan gizi
: kesan gizi normal
BB/U
: 11,8/11,9 (~100%)
TB/U
: 83/86,4 (96%)
BB/TB
: 11,8/10,9 (108%)
Height-age
: 20 bulan
2. Status Lokalis
-
Kepala
: normosefal (0 s.d. -2 SD), ubun-ubun besar telah
menutup, tidak ada deformitas
-
Rambut
: warna hitam, persebaran merata, tidak mudah dicabut
-
Mata
: konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, kelopak
mata tidak cekung
-
Telinga
: liang telinga lapang, tidak ada serumen probe, tidak ada
sekret, membran timpani intak di kedua telinga, tidak ada nyeri tekan
tragus ataupun processus mastoideus
-
Hidung
: terpasang nasal kanul, tidak ada sekret, konka tidak
hipertrofi
-
Mulut
: bibir tidak sianotik, mukosa lembab, tidak ada ulserasi
mukosa, tampak erupsi gigi, tidak ada karies, papil lidah eutrofi, arkus
faring simetris, uvula terletak di tengah, dinding posterior faring tidak
hiperemis, tonsil T1-T1, tidak tampak detritus.
-
Leher
: tidak ada pembesaran kelenjar getah bening colli,
supraklavikula, ataupun infraklavikula
-
Toraks
o Paru

:
Inspeksi
: simetris saat statis maupun dinamis, tampak
retraksi suprasternal

Palpasi
: fremitus taktil sisi kanan sama dengan kiri

Perkusi
: sonor di seluruh lapang paru
7

Auskultasi
: vesikuler di kedua lapang paru, terdengar ronki
basah kasar di daerah basal paru sisi kanan, tidak ada wheezing
o Jantung
:
 Inspeksi
: iktus kordis terlihat pada sela iga V linea
midklavikularis sinistra
 Palpasi
: iktus kordis teraba pada sela iga V linea
midklavikularis sinistra; tidak teraba thrill, lifting, heaving,
maupun tapping
 Perkusi
:
batas
jantung
kiri
di
sela
iga
V
linea
midklavikularis sinistra; batas jantung kanan di sela iga V linea
sternalis dekstra; pinggang jantung di sela iga II linea
parasternalis sinistra
 Auskultasi
: bunyi jantung I dan II normal, tidak ada murmur
maupun gallop
-
Abdomen
o Inspeksi
: datar, tidak ada venektasi
o Auskultasi : terdengar bising usus normal
o Palpasi
: lemas, tidak ada nyeri tekan, lobus kanan hepar teraba
1 cm di bawah arkus kostae kanan, lobus kiri teraba 1 cm di bawah
processus xifoideus, lien tidak teraba
o Perkusi
: timpani di seluruh regio abdomen, shifting dullness tidak
ada
-
Genitalia
: tidak ada duh pada muara orifisium uretra eksternal dan
introitus vagina, tidak ada edema pada labium mayus dan minus
-
Ekstremitas
: akral hangat, tidak ada edema pretibialis tungkai, CRT <
2 detik
-
Neurologis
:
o Kekuatan motorik ekstremitas atas: 5555/5555
o Kekuatan motorik ekstremitas bawah: 5555/5555
o Refleks fisiologis patella +2/+2,
Triseps +2/+2
o Refleks patologis Babinski tidak ada
o Tidak ada kaku kuduk
8
Achilles +2/+2, Biseps +2/+2,
IV.Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
-
Darah perifer lengkap (diperiksa pada tanggal 10 April 2014 di IGD RSCM)
Hemoglobin
12,2 g/dl
(rentang normal: 11,5-13,5 g/dl)
Hematokrit
38%
(rentang normal: 34-40%)
Hitung leukosit
7.750/ul
(rentang normal: 5.000-14.500/ul)
Trombosit
302.000/ul
(rentang normal: 150.000-440.000/ul)
Eritrosit
4,51 juta/ul
(rentang normal: 3,95-5,26 juta/ul)
MCV
84 fL
(rentang normal: 75-87 fL)
MCH
27,1 pg
(rentang normal: 24-30 pg)
MCHC
32,3%
(rentang normal: 31-37%)
RDW
12,77%
(rentang normal: 11,5-14,5%)
Hitung jenis
1/0/53/38/8
Kesan: normal
2. Pencitraan
-
Ekspertis foto toraks AP (dilakukan pada tanggal 10 April 2014)
Cor terkesan tidak membesar, hilus kanan tampak menebal
Mediastinum superior melebar (thymus)
Tampak infiltrat di suprahiler dan parakardial kanan
Hemidiafragma dan sinus kostofrenikus normal
Tulang-tulang dalam keadaan baik
Kesan
: bronkopneumonia dan suspek limfadenopati hilar kanan
V. Resume
Pasien anak perempuan berusia 2 tahun datang ke IGD dengan keluhan kejang 4
jam sebelum masuk RS. Kejang terjadi sebanyak dua kali dengan pola yang
sama, di mana kedua lengan dan tungkai ‘kelojotan’ serentak, durasi ± 2 menit,
berhenti sendiri, diikuti pemulihan kesadaran dan tidak ada kelumpuhan. Dua hari
sebelum masuk RS, pasien demam terus menerus disertai batuk pilek dan dahak
putih kental. Terdapat riwayat perawatan di RS pada usia 1 tahun 7 bulan karena
kejang disertai demam. Pada pemeriksaan fisis, ditemukan nafas cepat
(58x/menit) dengan nafas cuping hidung, retraksi suprasternal dan epigastrium
pada pemberian oksigen via nasal kanul 1 liter per menit dan ronki basah kasar di
9
area basal paru sisi kanan. Pemeriksaan fisis lainnya tidak ditemukan kelainan
yang bermakna. Pada pemeriksaan penunjang, laboratorium darah perifer
lengkap terkesan normal dan foto thorax AP terkesan bronkopneumonia dan
suspek limfadenopati hilar kanan.
VI.Diagnosis
-
Diagnosis kerja : Kejang demam kompleks, Bronkopneumonia
-
Diagnosis banding: -
VII. Rencana Penatalaksanaan
1. Rencana diagnostik
Pemeriksaan analisis gas darah (AGD)
2. Rencana terapeutik
o IVFD KaEN 1B rumatan 15 tetes permenit makro drip (~1100 ml/24
jam)
o Oksigen via nasal kanul dinaikkan menjadi 1 liter per menit
o Paracetamol sirup (120 mg/5 ml) 4 x cth I bila demam
o Nebulisasi salbutamol 1 ampul + NaCl 0,9% per 6 jam
o Ambroksol sirup (15 mg/5 ml) 3 x cth ½
o Ampicilin 4 x 300 mg intravena
o Kloramfenikol 4 x 300 mg intravena
VIII. Prognosis
-
Ad vitam
: Bonam
-
Ad fungsionam
: Bonam
-
Ad sanactionam : Dubia ad bonam
10
BAB II
Tinjauan Pustaka
I.
Kejang Demam
1. Definisi
Secara umum, kejang merupakan manifestasi klinis akibat pelepasan muatan
listrik (dikenal dengan bangkitan) oleh neuron di otak yang dapat disertai
dengan gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik,
ataupun otonom.1 Kejang demam (febrile seizure) didefinisikan sebagai
bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (pengukuran suhu
secara rektal) di atas 38°C yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. 2
Dengan demikian, berbagai etiologi yang berasal dari abnormalitas sistem
saraf pusat (SSP) ataupun kelainan metabolik perlu disingkirkan terlebih
dahulu.3
Insidens kejang demam berkisar antara 2-4% pada anak berusia 6
bulan sampai dengan 5 tahun. Manakala kejang didahului demam terjadi
pada anak berusia kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun, perlu
dipertimbangkan diagnosis banding lain,seperti infeksi SSP atau epileps
yang terprovokasi oleh demam, sebelum memikirkan kejang demam sebagai
etiologi utama kejang tersebut. Seorang anak yang sebelumnya pernah
mengalami kejang tanpa demam ataupun riwayat epilepsi lalu mengalami
kejang yang disertai dengan demam tidak dapat didiagnosis sebagai kejang
demam.2
2. Klasifikasi Kejang Demam
Kejang demam dapat dibedakan menjadi:
-
Kejang demam sederhana
Kriteria kejang demam sederhana apabila kejang yang didahului oleh
demam terjadi dengan karakteristik sebagai berikut: berlangsung singkat
(kurang dari 15 menit), tanpa gerakan fokal, dan tidak berulang dalam
waktu 24 jam. Kejang demam sederhana menduduki proporsi sebesar
80% dari seluruh kasus kejang demam.
11
-
Kejang demam kompleks
Dikatakan sebagai kejang demam kompleks bilamana kriteria kejang
demam sederhana tidak terpenuhi, yaitu kejang berlangsung lebih dari
15 menit, terdapat gerakan fokal (parsial di satu sisi), atau berulang
dalam waktu 24 jam dengan/tanpa pemulihan kesadaran di antara
episode kejang.2
3. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya kejang demam berbeda dengan kejang yang timbul
akibat epilepsi atau kejang tidak terprovokasi lainnya. Sampai saat ini
mekanisme terjadinya kejang demam belum sepenuhnya dipahami. Diduga
terdapat peranan genetik yang menyebabkan riwayat kejang demam bersifat
familial, khususnya pewarisan secara autosomal dominan. Dari sebagian
besar kasus, tampak bahwa kelainan tersebut bersifat poligenik yang masih
dalam penelusuran lebih lanjut. Beberapa subtipe gen FEB pada kromosom
2, 5, 6, 8, 18, dan 19 berperan dalam terjadinya kejang demam dan hanya
gen FEB 2 yang diketahui memiliki fungsi pengaturan kanal natrium SCN1A. 3
Model pada hewan tikus menyebutkan
bahwa demam yang terjadi
diikuti dengan hiperventilasi kompensatorik yang menyebabkan alkalosis
respiratorik dan berujung pada peningkatan pH di SSP sehingga diduga
menjadi pencetus kejang dan perubahan gambaran elektroensefalogram
(EEG).4 Predisposisi genetik ini berinteraksi dengan dua faktor lain yang
diduga menjadi etiologi kejang demam, yaitu imaturitas otak dan sistem
termoregulator dan demam (terjadi peningkatan kebutuhan oksigen). 5 Tabel
2.1 berikut ini menyajikan beberapa mekanisme terjadinya kejang demam.
12
Tabel 2.1 Beberapa Mekanisme Terjadinya Kejang Demam6
4. Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Alloanamnesis difokuskan untuk mencari:
-
Jumlah episode kejang, karakteristik kejang, penurunan kesadaran,
durasi kejang, suhu sebelum/saat kejang, interval antarkejang,
keadaan pasca kejang seperti pemulihan kesadaran, ada tidaknya
paresis (kelumpuhan)
-
Demam, yaitu etiologi (di luar dari infeksi SSP) dan gejala klinis yang
timbul
-
Upaya untuk menyingkirkan penyebab kejang yang lain seperti
gangguan elektrolit/metabolik akibat diare atau muntah, sesak yang
dapat
menyebabkan
hipoksemia,
asupan
yang
menyebabkan
hipoglikemia.
Untuk pemeriksaan fisis, dapat dinilai beberapa komponen, antara lain:
13
-
Ada tidaknya penurunan kesadaran
-
Suhu tubuh
-
Tanda rangsang meningeal, seperti kaku kuduk, Brudzinski I dan II,
Kernig, dan Lasegue
-
Pemeriksaan nervus kranialis dan tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial
-
Tanda-tanda infeksi di luar SSP, seperti infeksi saluran pernafasan
akut (ISPA), otitis media akut (OMA), atau infeksi saluran kemih (ISK)
-
Pemeriksaan neurologis, berupa tonus otot, kekuatan motorik,
penilaian refleks fisiologis dan ada tidaknya refleks patologis.5
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi demam dan
kejang yang mencakup darah perifer lengkap, elektrolit, urinalisis, hingga
kultur darah, urin, atau feses.1
Pungsi lumbal (lumbal puncture atau LP) untuk memeriksa cairan
serebrospinal ditujukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab
meningitis yang mana pada bayi seringkali sulit disingkirkan karena
manifestasi klinis tidak jelas. Pada bayi berusia kurang dari 12 bulan
dengan serangan kejang pertama, pemeriksaan LP sangat dianjurkan.
Pemeriksaan ini dapat diulang dalam 48-72 jam setelah pemeriksaan LP
pertama.1,5
Menurut pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI), pemeriksaan EEG tidak direkomendasikan karena tidak dapat
memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan
kejadian epilepsi pada kasus kejang demam,2 kecuali pada kejang
demam yang tidak khas seperti pada anak berusia lebih dari 6 tahun atau
kejang demam fokal.1 Sementara itu, pencitraan berupa computed
tomography scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI)
dilakukan bilamana terdapat indikasi, antara lain:
-
Kelainan neurologi fokal menetap atau lesi struktural
-
Terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, seperti ubunubun besar menonjol, penurunan kesadaran, muntah menyemprot,
paresis nervus VI, dan edema papil (perlu dilakukan funduskopi).5
14
Diagnosis banding kejang dengan serangan menyerupai kejang dapat
dibedakan menurut karakteristik seperti yang diperlihatkan pada tabel 2.2
berikut ini.
Tabel 2.2 Perbedaan Kejang dan Serangan Menyerupai Kejang1
Onset
Tiba-tiba
Serangan
Menyerupai Kejang
Gradual
Durasi
Detik-menit
Beberapa menit
Sering terganggu
Jarang terganggu
Sianosis
Sering
Jarang
Gerakan ekstremitas
Sinkron
Tidak sinkron
Stereotipik serangan
Selalu
Jarang
Lidah tergigit atau luka lain
Sering
Sangat jarang
Gerakan abnormal bola mata
Selalu
Jarang
Gerakan tetap ada
Gerakan menghilang
Dapat diprovokasi
Jarang
Hampir selalu
Tahanan terhadap gerakan
pasif
Disorientasi pascakejang
Jarang
Selalu
Hampir selalu
Tidak pernah
EEG iktal abnormal
Selalu
Hampir tidak pernah
EEG pascaiktal abnormal
Selalu
Jarang
Karakteristik
Kesadaran
Fleksi pasif ekstremitas
Kejang
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kejang demam mengikuti algoritma tatalaksana kejang,
seperti yang ditampilkan pada gambar 2.1. Penatalaksanaan dibagi menjadi
nonmedikamentosa dan medikamentosa.
a. Nonmedikamentosa
Pada umumnya, kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu
pasien datang ke rumah sakit, kejang sudah berhenti. Apabila datang
dalam kondisi masih kejang, perlu dilakukan stabilisasi terhadap jalan
napas, usaha napas, dan sirkulasi sebagaimana resusitasi emergensi
pada umumnya.
15
Airway
:
bebaskan
jalan
napas,
posisi,
dan
persiapkan alat penghisap lendir (suction)
Breathing
: berikan oksigen 100%
Circulation
: periksa denyut nadi dan tekanan darah
Dextrose
: periksa kadar gula darah
Establish vascular access
: pemasangan jalur infus
Berkaitan dengan penatalaksanaan komprehensif, orang tua dari pasien
dengan kejang demam dapat diberikan edukasi dan komunikasi antara
lain:
-
Meyakinkan bahwa pada umumnya kejang demam memiliki prognosis
baik
-
Memberitahukan cara penanangan kejang
-
Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
-
Pemberian obat untuk mencegah berulangnya kejang memiliki efek
samping
-
Bilamana terjadi kejang kembali, maka:

Orang tua harus tetap tenang dan tetap bersama pasien selama
kejang

Mengendorkan pakaian yang ketat, terutama di sekitar leher

Bila tidak sadar, anak dapat diposisikan terlentang dengan kepala
miring ke satu sisi. Muntahan atau lendir di mulut atau hidung
dibersihkan. Sebaiknya tidak memasukkan sesuatu ke dalam
mulut anak ketika sedang kejang walaupun ada kemungkinan
lidah tergigit

Ukur suhu, observasi, dan catat lama dan pola gerakan kejang

Jika kejang berlangsung selama 5 menit atau lebih, harap di bawa
berobat ke dokter atau rumah sakit.2
b. Medikamentosa
-
Antipiretik
Dapat diberikan paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali
sebanyak 4 kali perhari dan tidak lebih dari 5 kali perhari atau
16
ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali sebanyak 3-4 kali perhari (tidak untuk
anak < 6 bulan).
-
Antikonvulsif
Diazepam oral dengan dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam atau per rektal
dengan dosis 0,5-0,75 mg/kgBB setiap 8 jam jika suhu tubuh melebihi
38,5°C. Apabila pasien datang saat kejang, diberikan diazepam
intravena. Untuk kejang di rumah, orang tua/pengasuh dapat
memberikan diazepam rektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kgBB atau
secara mudah, diazepam 5 mg per rektal untuk anak dengan berat
badan < 10 kg, sedangkan > 10 kg diberikan 10 mg. Pemberian
diazepam rektal dapat diulang sekali lagi jika kejang belum berhenti
dengan cara dan dosis yang sama dan interval waktu 5 menit. Jika
setelah dua kali pemberian diazepam rektal anak masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit untuk pemberian intravena.2,5
Diazepam intravena diberikan dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB
secara perlahan-lahan (kecepatan 1-2 mg/menit) dalam waktu 3-5
menit (dosis maksimal 20 mg) jika pasien datang dengan kejang. Jika
kejang belum berhenti, diberikan fenitoin intravena dengan dosis awal
10-20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang
dari 50 mg/menit. Jika kejang berhenti, dosis selanjutnya diberikan 12
jam kemudian dengan dosis 4-8 mg/kgBB/hari. Jika dengan fenitoin
kejang belum juga berhenti, pasien diindikasikan untuk rawat ruang
intensif.2
-
Pengobatan rumatan
Indikasi pengobatan rumatan jika terdapat salah satu ciri berikut:

Kejang lama (> 15 menit)

Kelainan neurologis yang nyata sebelum ataupun sesudah
kejang, seperti paresis Todd, hemiparesis, retardasi mental,
hidrosefalus, atau palsi serebral. Kelainan neurologis yang tidak
nyata, seperti perkembangan terlambat setelah kejadian kejang
tidak menjadi indikasi pengobatan rumatan.2

Kejang fokal.
Pengobatan jangka panjang diberikan manakala terdapat:
17

Kejang berulang dua kali atau lebih dalam waktu 24 jam

Kejang demam yang terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan

Kejang demam yang terjadi 4 kali atau lebih per tahun.
Pilihan obat yang dapat diberikan untuk jangka panjang antara lain
fenobarbital dengan dosis 3-4 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 1-2 dosis
atau asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi menjadi
2-3 dosis. Pengobatan jangka panjang diberikan selama 1 tahun
bebas kejang dan dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.2,5
Gambar 2.1 Algoritma Penatalaksanaan Kejang Akut dan Status
Konvulsif1
Pasien diindikasikan menjalani rawat inap di rumah sakit bila terdapat
riwayat kejang demam kompleks, hiperpireksia (suhu > 41°C), usia saat
onset di bawah dari 6 bulan, mengalami episode kejang demam yang
pertama kali, serta terdapat kelainan neurologis.
18
6. Prognosis
Belum pernah ada kematian yang dilaporkan akibat kejang demam. 2 Kejang
demam berisiko untuk berulang bila terdapat faktor sebagai berikut:
-
Riwayat kejang demam dalam keluarga
-
Usia onset kejang kurang dari 12 bulan
-
Temperatur yang rendah saat terjadinya kejang
-
Cepatnya onset kejang setelah demam.
Bila seluruh faktor tersebut ada, terdapat kemungkinan sebesar 80% kejang
demam akan berulang, sedangkan bila tidak ada salah satupun dari faktor
tersebut, kemungkinan hanya sebesar 10-15%. Kemungkinan berulangnya
kejang paling besar pada tahun pertama kehidupan. Adapun faktor risiko
terjadinya epilepsi di kemudian hari antara lain:
-
Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum
episode kejang demam yang pertama
-
Pasien mengalami kejang demam kompleks
-
Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung pasien.
Diketahui bahwa masing-masing faktor risiko tersebut dapat meningkatkan
kemungkinan menderita epilepsi sebesar 4-6%, dan apabila terdapat
kombinasi dari faktor-faktor tersebut, kemungkinan akan meningkat menjadi
10-49%.2
II. Pneumonia
1. Definisi
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang melibatkan alveolus dan
jaringan interstitial paru. Menurut World Health Organization (WHO),
pneumonia didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, serta
perjalanan penyakitnya. Sampai saat ini, pneumonia masih menjadi
penyebab utama kematian anak bawah lima tahun (balita). Beberapa faktor
risiko yang berkaitan dengan tingginya angka mortalitas akibat pneumonia,
khususnya di negara berkembang, antara lain pneumonia pada masa bayi,
berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapatkan imunisasi, tidak
mendapatkan ASI adekuat, defisiensi vitamin A, kolonisasi bakteri di daerah
nasofaring, dan pajanan terhadap polusi udara.7
19
2. Etiologi dan Patogenesis
Patogen yang menjadi etiologi pneumonia pada anak sangat bervariasi
bergantung pada usia pasien. Pada neonatus dan bayi kecil, sering
ditemukan patogen penyebab, yaitu Streptococcus group B, E.coli,
Pseudomonas sp., dan Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak
balita, penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus
influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus. Pada anak yang lebih besar
dan remaja, tidak jarang ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae sebagai
penyebab. Penyebab viral untuk anak berusia 4 bulan-5 tahun antara lain
Adenovirus, Influenza virus, Parainfluenza virus tipe 1, 2, dan 3, serta
Respiratory syncytial virus.7,8
Pada sediaan histopatologis, pneumonia, khususnya bakterial, akan
memperlihatkan tiga stadium perjalanan penyakit, yaitu fase hepatisisasi
merah, hepatisisasi kelabu, dan berakhir dengan fase resolusi. Pada fase
hepatisisasi merah, dapat ditemukan konsolidasi yang terjadi akibat sebukan
sel polimorfonuklear, eritrosit, deposit fibrin, cairan dan mikrorganisme di
alveoli. Selanjutnya, deposisi fibrin makin bertambah dan terjadi proses
fagositosis yang cepat yang dikenal dengan fase hepatitisasi kelabu. Setelah
itu, jumlah makrofag meningkat di alveoli dan sel mengalami degenerasi
diikuti dengan penipisan deposit fibrin dan debris selular, yang kemudian
dikenal dengan fase resolusi.7 Gambar 2.2 berikut ini menyajikan gambaran
dari proses tersebut secara mikroskopis.
20
Gambar 2.2 Sediaan Makroskopis dan Mikroskopis Bronkopneumonia9
3. Manifestasi Klinis
Gejala klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada derajat
keparahan infeksi dan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gejala sistemik
infeksi pada umumnya, seperti demam, sakit kepala, malaise, hingga
keluhan gastrointestinal (mual, muntah, atau diare), dan gejala terkait
21
respiratori, seperti batuk, sesak, retraksi dada, takipnea, nafas cuping
hidung, merintih, hingga sianosis.
Pada neonatus dan bayi kecil, gambaran klinis pneumonia seringkali
tidak khas mencakup apnea, sianosis, merintih, nafas cuping hidung,
takipnea, letargi, muntah, tidak mau minum, takikardia, retraksi subkostal,
dan demam, bahkan tidak jarang terjadi hipotermia. Pada balita dan anak
lebih besar, gejala dan tanda yang ditemukan dapat berupa kecenderungan
untuk berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk, ronki (bila ada
infiltrat alveolar), retraksi dan takipnea (tanda klinis yang bermakna), dan
kadang dapat ditemukan nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus
kanan bawah yang menyebabkan iritasi diafragma.7
4. Diagnosis
Perlu diketahui bahwa prediktor terkuat ada tidaknya pneumonia adalah
ditemukannya gejala demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori
berikut: takipnea, batuk, nafas cuping hidung, retraksi, ronki, dan suara nafas
melemah.7
a. Anamnesis
Diarahkan untuk mencari gejala berupa: batuk yang awalnya kering,
kemudian menjadi produktif dengan dahak purulen bahkan berdarah,
sesak, demam, kesulitan makan/minum, tampak lemah, serta perlu
ditanyakan apakah sakit kali ini merupakan serangan pertama atau
berulang.
b. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis, dapat dinilai keadaan umum (kesadaran dan
kemampuan makan/minum), frekuensi nafas, frekuensi nadi, gejala
distres pernafasan seperti takipnea, retraksi subkostal, batuk, krepitasi,
dan suara nafas melemah pada auskultasi paru. Perlu juga dilakukan
pengukuran suhu badan dan menilai ada tidaknya sianosis.
Akibat tingginya angka mortalitas akibat pneumonia, WHO kemudian
menetapkkan pedoman diagnosis untuk memperluas cakupan diagnosis
pneumonia hingga dapat memperoleh tatalaksana dini yang tepat.
a. Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
22
Dikatakan pneumonia berat bila terdapat sesak nafas (retraksi berat) dan
hal tersebut menjadi indikasi rawat inap di RS, sedangkan pneumonia
ringan bila tidak ada sesak, namun ditemukan nafas cepat (> 50 kali
permenit untuk usia 2 bulan sampai 1 tahun dan > 40 kali permenit untuk
usia lebih dari 1 tahun). Pasien dengan pneumonia ringan tidak perlu
rawat inap RS dan hanya membutuhkan terapi antibiotik oral. Pasien
dikatakan mengalami pneumonia sangat berat jika sudah tidak dapat
minum/makan, mengalami kejang, letargis, dan malnutrisi.7,10
b. Bayi kurang dari 2 bulan
Diklasifikasikan sebagai pneumonia berat jika terdapat nafas cepat (> 60
kali permenit) atau tampak sesak (retraksi berat), sedangkan pneumonia
sangat berat bilamana bayi tidak mau menetek, mengalami kejang,
letargis, demam atau hipotermia, bradipnea, atau pernapasan ireguler. 10
Pemeriksaan penunjang laboratorium untuk pneumonia bakterial dapat
memperlihatkan leukositosis yang berkisar antar 15.000-40.000/ul dengan
predominasi sel polimorfonuklear. Apabila terjadi leukopenia (leukosit <
5.000.ul), prognosis menjadi buruk.
Secara radiologis, dapat dilakukan pemeriksaan foto toraks posisi
antero-posterior (AP), sedangkan tambahan foto posisi lateral hanya
diperlukan bila terdapat distres pernafasan. Secara umum, dapat ditemukan
gambaran berupa:
-
Infiltrat
interstitial,
yang
ditandai
dengan
peningkatan
corakan
bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.
-
Infiltrat alveolar, yang sering disebut dengan konsolidasi paru dengan
atau tanpa gambaran air bronchogram.
-
Bronkopneumonia, ditandai degnan gambaran difus bercak infiltrat pada
kedua lapang paru dan dapat disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial.7
5. Tatalaksana
Pada dasarnya, pneumonia ringan hanya memerlukan terapi antibiotik per
oral dan dapat dilakukan terapi rawat jalan. Secara teoritis, antibiotik yang
menjadi pilihan adalah Amoksisilin atau Kotrimoksasol. Dosis Amoksisilin
23
yang diberikan 25 mg/kgBB, sedangkan Kotrimoksasol 4 mg/kgBB
trimpetoprim-20mg/kgBB suulfametoksasol. Pasien diindikasikan untuk rawat
inap di RS apabila:
a. Pada bayi ditemukan saturasi O2 < 92%, sianosis dan tanda pneumonia
berat atau sangat berat
b. Pada anak ditemukan saturasi O2 < 92%, sianosis, tanda pneumonia
ringan-sangat berat, tanda dehidrasi, anak tidak mau makan/minum,
terdapat penyakit penyerta lain, terjadi komplikasi seperti efusi pleura,
atau keluarga tidak dapat merawat di rumah.
Secara
umum,
pasien
harus
mendapatkan
terapi
oksigen
untuk
mempertahankan saturasi O2 >92%, misalnya dengan kanula hidung.
Pemberian cairan intravena dilakukan bila asupan oral berkurang karena
anak tidak mau minum. Selain itu, diberikan pula antipiretik, nebulisasi untuk
memperbaiki klirens mukosilier, dan observasi ketat tanda vital dan saturasi
O2. Sejauh terdapat gambaran distres pernafasan, pasien sebaiknya
mendapatkan asupan makanan enteral dengan selang nasogastrik ataupun
melalui intravena.
Pada rawat inap, dapat diberikan antibiotik intravena dengan pilihan
ampisilin,
kloramfenikol,
koamoksiklav,
seftriakson,
sefuroksim,
dan
sefotaksim. Menurut rekomendasi dari IDAI, pada usia neonatus hingga 2
bulan, dapat diberikan ampisilin dan gentamisin, sedangkan untuk usia lebih
dari 2 bulan, dipertimbangkan lini pertama Ampisilin selama 3 hari. Jika tidak
terdapat perbaikan, dapat ditambahkan Kloramfenikol. Lini kedua yang
menjadi pilihan adalah Seftriakson.10
24
BAB III
PEMBAHASAN
I.
Penegakan Diagnosis
Melalui tinjauan pustaka yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat ditinjau
beberapa aspek diagnostik pada kasus yang diilustrasikan. Keluhan utama yang
membawa pasien berobat ke dokter adalah kejang yang terjadi sebanyak dua
kali dengan interval kurang lebih 3 jam yang terjadi dalam waktu 24 jam. Seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya, diagnosis kejang ditegakkan semata-mata
berdasarkan anamnesis (alloanamnesis), terkecuali kejang sedang terjadi di
hadapan pemeriksa. Gejala yang dialami pasien dipertimbangkan sebagai
kejang karena onsetnya yang tiba-tiba, lama serangan berkisar antara hitungan
detik hingga menit, terjadi penurunan kesadaran, gerakan yang bersifat sinkron
dan terdapat stereotipikal dari serangan (pola gerak yang sama pada kedua
episode kejang), terdapat gerakan abnormal dari bola mata (dikatakan ibu
pasien sebagai mata melotot ke depan), dan serangan yang tidak diprovokasi
sebelumnya. Karakteristik-karakteristik tersebut dapat membantu menyingkirkan
serangan yang menyerupai kejang.
Beberapa diagnosis banding yang perlu dipikirkan pada pasien dengan
keluhan kejang disertai demam antara lain kejang demam, infeksi SSP, dan
epilepsi dengan infeksi ekstrakranial. Kejang yang terjadi dipikirkan sebagai
kejang demam karena terdapat riwayat demam yang dialami sejak 2 hari
sebelum masuk RS (1 hari sebelum kejang terjadi). Tidak semata-mata hanya
dengan riwayat demam saja, pasien juga menyangkal adanya riwayat kejang
tanpa demam sebelumnya. Melalui anamnesis, diketahui bahwa bentuk kejang
tergolong sebagai kejang umum klonik tanpa disertai dengan gejala fokal
(parsial). Dengan demikian, diagnosis banding kejang akibat epilepsi dapat
disingkirkan. Pada pasien juga tidak ditemukan tanda defisit neurologis ataupun
riwayat penurunan kesadaran selama peiode demam, tidak ada tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial, ataupun tanda rangsang meningeal sehingga
diagnosis banding infeksi SSP dapat disingkirkan. Kejang yang terjadi
berlangsung singkat (< 15 menit), namun berulang dua kali dalam waktu 24 jam
sehingga dapat digolongkan menjadi kejang demam kompleks.
25
Demam yang menjadi etiologi kejang pada pasien disebabkan oleh infeksi
paru (pneumonia) yang ditandai oleh riwayat batuk dan didukung oleh temuan
frekuensi nafas yang meningkat (58 kali permenit) disertai nafas cuping hidung,
retraksi suprasternal, dan ronki basah kasar pada basal paru kanan. Diagnosis
banding demam akibat infeksi dengue dapat disingkirkan karena tidak ditemukan
riwayat munculnya tanda-tanda perdarahan, tidak ada hepatomegali, serta pada
pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan leukopenia, hemokonsentrasi,
maupun trombositopenia. Hasil foto toraks AP memberikan kesan gambaran
bronkopneumonia dan limfadenopati hilar kanan yang dapat bersifat reaktif
terhadap proses infeksi ataupun akibat tuberkulosis paru. Pemeriksaan fisis
lokalis pada tiap organ lain, seperti telinga, tidak menunjukkan fokus infeksi lain
yang dapat berkontribusi pada proses kejang demam ini.
Meskipun dicurigai adanya proses infeksi paru yang aktif, hasil pemeriksaan
laboratorium darah perifer lengkap tidak memberikan kesan leukositosis seperti
infeksi bakterial pada umumnya. Menurut teori, pada pneumonia, khususnya
bakterial, akan didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 hingga
40.000/ul. Namun, hitung leukosit yang normal pada pasien ini dapat terjadi
karena respon imun yang inadekuat pada anak tersebut, dapat pula karena
pneumonia telah memasuki fase resolusi (perbaikan), atau akibat manifestasi
klinis atipikal. Berdasarkan pemeriksaan, tidak ada tanda-tanda malnutrisi,
penyakit kronis seperti keganasan maupun infeksi tuberkulosis dan human
immunodeficiency virus (HIV), sehingga
Pada pasien ini direncanakan pemeriksaan analisis gas darah untuk menilai
derajat keparahan serta menentukan penatalaksanaan dari distres pernafasan,
seperti ada tidaknya hipoksemia atau asidosis yang perlu dikoreksi. Sementara
itu, karena pasien berada dalam terapi oksigen, dianjurkan untuk secara rutin
memeriksa saturasi oksigen (target >92%) dengan pulse oxymetry setiap 4 jam
dan tanda-tanda distres pernafasan.
Pemeriksaan kultur dan pewarnaan gram sputum tidak direncanakan pada
kasus ini mengingat sulitnya untuk mendapatkan spesimen, khususnya pada
usia anak. Penatalaksanaan selanjutnya dapat dilakukan secara empiris
menurut pola kuman di RS terkait untuk community acquired pneumonia (CAP),
yaitu dengan Ampisilin dan Kloramfenikol.
26
Tidak ada indikasi untuk melakukan pungsi lumbal pada kasus kejang demam
kompleks, kecuali pasien menunjukkan tanda-tanda penurunan kesadaran atau
defisit neurologis yang mengarahkan kecurigaan pada diagnosis banding infeksi
SSP. Risiko terjadinya meningitis bakterialis disebutkan berkisar antara 0,60,7%. Pemeriksaan penunjang lainnya, seperti EEG dan pencitraan CT-scan
ataupun MRI tidak diindikasikan pada kasus kejang demam.
II. Penatalaksanaan
Saat tiba di IGD RSCM, pasien sudah tidak dalam kondisi kejang tapi masih
tetap demam dan terdapat tanda distres pernafasan yang disebabkan oleh
pneumonia.
Pasien dalam kasus ini masih menunjukkan gejala-gejala sesak meskipun
pasien telah mendapatkan terapi oksigen melalui nasal kanul dengan kecepatan
aliran 1 liter permenit. Hal tersebut menunjukkan suplai yang inadekuat dan
memerlukan penambahan suplai namun tetap dipertahankan aliran rendah, yaitu
kurang dari 2 liter permenit.
Meskipun pasien telah mengalami kejang demam berulang dan saat ini
tergolong ke dalam kejang demam kompleks, pasien dipertimbangkan untuk
tidak diberikan pengobatan rumat mengingat besarnya efek samping obat dan
perlunya pemantauan ketat akan pengobatan yang telah dimulai. Pengobatan
rumat diperuntukkan bilamana kejang berlangsung lama, terdapat defisit
neurologis nyata atau gejala fokal. Seandainya pasien diberikan pengobatan
rumat dengan fenobarbital atau asam valproat tiap hari untuk menurunkan risiko
berulangnya kejang di kemudian hari, perlu diperhatikan secara ketat efek
samping berupa hipotensi, depresi pernafasan, dan gangguan fungsi hati.
Berulangnya kejang demam terutama diantisipasi dengan pemberian antipiretik
bilamana suhu tubuh lebih dari 38,5°C.
Pada pasien diberikan cairan intravena (parenteral) rumatan oleh karena
asupan cairan peroral yang belum adekuat akibat kondisi sesak. Pemberian
cairan dosis rumatan dilakukan menurut perhitungan berat badan anak (11,8
kg), sehingga diperoleh kebutuhan cairan per 24 jam adalah 1090 ml (~ 1100 ml)
dengan jenis cairan KaEN 1B yang setara dengan Dekstosa 10% dan NaCl
0,9% 3:1 ditambahkan KCl 10 mEq/500 ml cairan, sesuai dengan panduan
pelayanan medis RSCM.11 Pemilihan jenis cairan ini karena terdapat kandungan
27
glukosa yang cukup tinggi (dekstrosa 37,5 g/L dengan jumlah kalori sebesar 150
kkal/L) dan tidak mengandung ion Kalium sehingga aman diberikan sebagai
rumatan. Tidak diperlukan adanya tambahan volume cairan karena tidak
terdapat tanda-tanda dehidrasi pada pasien.
Penggunaan antibiotik sudah dinilai rasional dan sesuai dengan anjuran
terapi pedoman medis untuk anak berusia > 2 bulan, yaitu Ampisilin dan
Kloramfenikol. Dosis Ampisilin yang digunakan adalah 100 mg/kgBB/hari yang
terbagi menjadi 4 dosis, sedangkan dosis Kloramfenikol yang digunakan adalah
sebesar 75 mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3-4 kali perhari, sesuai dengan
panduan pelayanan medis.11 Antibiotik diberikan 48 sampai 72 jam sampai
demam turun, kemudian dilanjutkan dengan pemberian peroral selama 7-10 hari
atau dengan patokan 4-5 hari bebas demam.
Selain dari antibiotik, diperlukan pula obat-obatan simptomatis untuk
meredakan gejala dan memberi kenyamanan pada pasien. Pada ilustrasi kasus,
dikatakan bahwa pasien mengalami batuk dengan dahak yang sulit dikeluarkan,
terapi inhalasi dengan inhalasi agonis beta-2 adrenergik (Salbutamol) yang
dikombinasikan dengan NaCl direkomendasikan oleh pedoman pelayanan
medis untuk membantu klirens mukosilier. Ambroksol diberikan sebagai agen
mukolitik
ekspektoran
melalui
pemecahan
benang
mukoprotein
dan
mukopolisakarida dengan dosis pemberian 1,5 mg/kgBB/kali sebanyak 3 kali
perhari.
Kebutuhan kalori pada pasien ini untuk anak berusia 1-3 tahun berdasarkan
height age dan Recommended Dietary Allowances (RDA) adalah sebesar 100
kkal perhari. Dengan demikian, selama anak masih dapat makan (tidak ada
muntah), dapat diberikan makanan biasa dengan jumlah kalori 1090 (~1100)
kkal perhari yang dibagi menjadi 3 porsi makan besar dan 2 selingan.
Untuk edukasi, orang tua pasien dapat diajarkan mengenai tatalaksana
sederhana kejang demam di rumah manakala anak mengalami kejang demam
berulang di kemudian hari, yaitu dengan pemberian diazepam per rektal. Selain
itu, perlu diedukasikan juga mengenai antisipasi demam yang lebih agresif untuk
mencegah kejang demam berulang, meningkatkan higiene dan mencegah
penularan penyakit pada anak, misalnya dengan menghindari kontak, hingga
memberikan anjuran imunisasi, seperti vaksin HiB dan Pneumococcal.
28
III. Prognosis
Pada umumnya, prognosis ad vitam dan ad fungsionam adalah baik mengingat
dengan tatalaksana adekuat secara medikamentosa dan nonmedikamentosa,
kejang demam tidak dilaporkan berhubungan dengan mortalitas maupun
penurunan fungsi neurologis, termasuk tumbuh-kembang anak. Namun,
berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya, pasien memiliki kecenderungan
untuk mengalami kejang demam berulang sehingga prognosis ad sanactionam
dapat dianggap dubia ad bonam walaupun pada pasien tidak ditemukan riwayat
kejang demam dalam keluarga, usia > 12 bulan, dan temperatur yang cenderung
tinggi saat kejang. Interval antara demam dan onset kejang pada pasien sulit
untuk digali karena orang tua tidak bisa ingat dengan tepat.
Berkaitan dengan bronkopneumonia, pasien dapat dipulangkan bilamana
gejala dan tanda pneumonia telah menghilang, asupan per oral adekuat, dan
keluarga dapat melakukan perawatan di rumah. Mengingat perlunya pemberian
obat parenteral, pada pasien sebaiknya dilakukan perawatan selama 2-3 hari
sebelum beralih ke rawat jalan.
29
Daftar Pustaka
1. Setyabudhy, Mangunatmaja I. Kejang. In: Pudjiadi A, Latief A, Budiwardhana N,
editors. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2013.
2. Pusponegoro H, Widodo D, Ismael S, editors. Konsensus kejang demam. Unit
Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006.
3. Mikati M. Febrile seizures. In: Kliegman R, Stanton B, Schor N, St.Geme III J,
Behrman R, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2011. p. 2017–8.
4. Hirtz D, Nelson K. Febrile seizures. In: David R, Bodensteiner J, Mandelbaum D,
Olson B, editors. Clinical Pediatric Neurology. 3rd ed. New York: Demos Medical
Publishing; 2009.
5. Pudjiadi A, Hegar B, Hadryastuti S, Idris N, Gandaputra E, Harmoniati E, editors.
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia: Kejang demam. 1st
ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009.
6. Dube CM, Brewster AL, Baram TZ. Febrile seizures: Mechanisms and
relationship to epilepsy. Brain Dev. 2009 May;31(5):366–71.
7. Said M. Pneumonia. In: Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto D, editors. Buku Ajar
Respirologi Anak. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2013. p. 350–65.
8. Mani C, Murray D. Acute pneumonia and its complications. In: Long S, Pickering
L, Prober C, editors. Pediatric Infectious Diseases. 3rd ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders;
9. Husain A. The lung. In: Kumar V, Abbas A, Fausto N, Aster J, editors. Robbins
and Cotran Pathologic Basis of Disease. 8th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2010.
10. Pudjiadi A, Hegar B, Hadryastuti S, Idris N, Gandaputra E, Harmoniati E, editors.
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia: Pneumonia. 1st ed.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009.
11. Sastroasmoro S, editor. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit
Anak: Pneumonia. 1st ed. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN
Cipto Mangunkusumo;
30
Download