BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan merupakan proses yang terjadi secara terus menerus dan berkesinambungan dalam kehidupan manusia. Perkembangan adalah perubahanperubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaan atau kematangannya yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah). Perkembangan terjadi secara teratur mengikuti pola atau arah tertentu. Setiap tahap perkembangan merupakan hasil perkembangan dari tahap sebelumnya, yang merupakan prasyarat bagi perkembangan selanjutnya (Yusuf, 2001). Memasuki tahap perkembangan yang baru, individu akan mengalami berbagai perubahan (Hurlock, 2004). Perubahan yang terjadi biasanya dipengaruhi oleh pengalaman dan proses belajar sepanjang hidupnya. Perjalanan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa ditandai oleh periode transisional panjang yang dikenal dengan masa remaja (Papalia, 2008). Menurut Hurlock (2004) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Sementara Hall (dalam Santrock, 2003) membatasi usia remaja pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, dapat dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam peralihan masa remaja menuju masa dewasa awal. Sebagian remaja ada yang mengalami perubahan peran secara drastis. Ia harus menjalankan peran dewasa lebih awal dibandingkan dengan teman-teman sebayanya, dalam keadaan ini dapat dikatakan sebagai masa remaja yang diperpendek. Sebaliknya, untuk masa remaja yang diperpanjang yaitu bila individu setelah melewati usia remaja masih bergantung dan berada dibawah otoritas orangtua. Keadaan seperti ini dapat membuat perkembangan remaja menuju proses kedewasaan menjadi terhambat. Pada masa remaja itu sendiri terjadi perubahan yang besar pada fisik, emosional, kognitif dan sosial (Hurlock, 2004). Rangkaian perubahan fisik yang dialami remaja nampak jelas pada perubahan biologis dan fisiologis yang berlangsung pada masa pubertas atau pada masa awal remaja. Seperti pertumbuhan yang pesat pada anggota tubuh untuk mencapai proporsi seperti orang dewasa, dimana perubahan yang terjadi pada masa remaja terjadi pada tinggi dan berat badan, serta organ seksual. Masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan hormon. Remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil, tidak terkendali dan tampak irasional. Selain itu individu juga mengalami perubahan kognitif. Perubahan dalam kemampuan berpikir ini diungkapkan oleg Piaget sebagai tahap terakhir yang disebut formal operation dalam perkembangan kognitifnya. Pada tahapan ini, remaja tidak lagi terikat pada realitas fisik yang konkrit dari apa yang ada, melainkan remaja mulai mampu berhadapan dengan aspek-aspek yang hipotesis dan abstrak dari realitas. Sedangkan perubahan sosial yang terjadi pada masa remaja berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam membentuk hubungan yang baru dan juga menyesuaikan diri dengan orang dewasa lainnya diluar lingkungan keluarga dan sekolah (Hurlock, 2004). Masa remaja secara umum dimulai dengan pubertas, yaitu proses yang mengarah kepada kematangan seksual dan kemampuan untuk bereproduksi. Perubahan biologis pubertas yang merupakan tanda akhir masa kanak-kanak, berakibat pada peningkatan pertumbuhan berat dan tinggi badan, perubahan dalam proporsi dan bentuk tubuh, serta pencapaian kematangan organ seksual (Papalia, 2008). Perubahan fisik dalam masa remaja lebih pesat daripada masa kanakkanak, dan perubahan yang pesat ini menimbulkan respon tersendiri bagi remaja berupa tingkah laku yang sangat memperhatikan bentuk tubuhnya (Hurlock, 2004). Menurut Levine & Smolak (dalam Rey, 2002), permasalahan akibat perubahan fisik banyak dirasakan pada masa remaja awal ketika mereka mengalami pubertas. Sedangkan pada masa remaja tengah dan akhir permasalahan fisik yang terjadi berhubungan dengan ketidakpuasan/ keprihatinan mereka terhadap keadaan fisik yang dimilikinya, yang biasanya tidak sesuai dengan fisik ideal yang diinginkannya. Mereka juga sering membandingkan fisiknya dengan fisik orang lain ataupun idola-idola mereka. Permasalahan fisik ini sering mengakibatkan mereka menjadi kurang percaya diri. Salah satu dampak psikologis dari perubahan tubuh di masa puber yaitu, remaja cenderung merasa cemas dengan tubuh mereka dan membentuk citra diri mengenai bagaimana keadaan tubuh mereka. Hal ini dikenal dengan body image, yaitu gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang ia pikirkan dan rasakan terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, dan bagaimana kirakira penilaian orang lain terhadap dirinya. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan, belum tentu benar-benar merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih merupakan hasil penilaian diri yang bersifat subyektif (Honigman & Castle dalam de Villiers, 2006). Dapat disimpulkan bahwa body image adalah persepsi subyektif seseorang akan penampilannya sendiri. Semua orang tentu ingin memiliki penampilan fisik yang menarik, termasuk para remaja baik wanita maupun pria. Bagi remaja yang bentuk tubuhnya tidak ideal, sering menolak kenyataan perubahan fisiknya sehingga mereka merasa minder dan kurang percaya diri untuk bergaul dengan teman sebayanya. Sedangkan bagi remaja yang menerima perubahan fisik yang terjadi pada dirinya, menganggap hal tersebut merupakan suatu hal yang wajar karena memang akan dialami oleh semua orang yang melalui pubertas (Hurlock, 2004). Kecantikan dan kesempurnaan fisik seringkali menjadi ukuran ideal bagi seseorang sehingga banyak yang berusaha mengejar kecantikan dan kesempurnaan dengan bantuan kosmetik, gymnastic, fashion yang up to date, ke salon untuk menata rambut, sampai dengan melakukan koreksi pada beberapa bagian wajah dan tubuh dengan bantuan operasi plastik. Usaha-usaha untuk mencapai bentuk tubuh yang ideal terus dilakukan oleh remaja yang mengalami ketidakpuasan akan body image mereka. Terdapat perbedaan gender dalam persepsi remaja mengenai tubuh mereka. Proses pembentukan body image yang baru pada masa remaja ke dalam diri (self) adalah bagian dari tugas perkembangan yang sangat penting, dan biasanya remaja wanita mengalami penyesuaian yang lebih sulit daripada remaja pria (Dacey & Kenny, 2001). Menurut Gunn & Pikoff (dalam Santrock, 2007), selama masa puberitas secara umum remaja wanita tidak begitu senang dengan tubuh mereka dan memiliki body image yang lebih negatif dibandingkan dengan remaja laki-laki. Ketidakpuasan remaja wanita pada tubuh mereka mungkin lebih disebabkan karena kadar lemak tubuh mereka yang meningkat, sehingga menyebabkan peningkatan berat tubuh mereka dan hal ini membuat mereka terlihat lebih gemuk. Sebaliknya remaja laki-laki menjadi lebih puas saat mereka melalui masa puber, mungkin dikarenakan massa otot mereka meningkat, sehingga menyebabkan tubuh mereka menjadi lebih berotot (Gross dalam Santrock, 2007). Hal ini didukung oleh pernyataan dari Levine & Smolak (dalam Rey, 2002) bahwa 40-70% remaja wanita merasakan ketidakpuasan pada dua atau lebih dari bagian tubuhnya, khususnya pada bagian pinggul, bokong, perut dan paha. Peran masyarakat dan media, juga membawa pengaruh yang besar dalam mendorong seseorang untuk begitu peduli pada penampilan dan image tubuhnya. Menurut Thompson (2001) ada tiga unsur atau komponen yang membentuk body image, yaitu persepsi, perkembangan, dan sosiokultural. Komponen persepsi berhubungan dengan ketepatan individu dalam mempersepsi atau memperkirakan ukuran tubuhnya. Komponen perkembangan menjelaskan tentang pentingnya pengalaman dimasa kecil dan remaja terhadap hal-hal yang berkaitan dengan body image nya. Komponen sosiokultural, menjelaskan bahwa keindahan tubuh dan standar tentang tubuh ditentukan oleh masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat menentukan apa yang dikatakan indah, ideal, dan apa yang tidak. Diantara ketiga komponen tersebut, sosiokultural memiliki pengaruh lebih besar terhadap body image pada remaja. Thompson (2001) juga menjelaskan pentingnya faktor media, khususnya media massa dalam membentuk nilai-nilai yang dianut masyarakat. Melalui media massa, gambaran mengenai tubuh yang ideal terbentuk di masyarakat. Artikel, sinetron, dan tayangan iklan yang dimunculkan pada media cetak, televisi, maupun internet seringkali menampilkan model-model dengan kriteria tubuh ideal, yaitu memiliki bentuk tubuh yang langsing, tinggi, dan kulit yang putih. Hal ini mendorong remaja wanita untuk mencoba tampak seperti model yang mereka saksikan di media, dan cenderung mengembangkan kepedulian yang berlebihan terhadap berat badan mereka (Papalia, 2008). Seiring dengan semakin banyaknya iklan yang menampilkan model-model yang memiliki tubuh yang ideal, secara tidak sadar keinginan seseorang untuk memiliki tubuh yang ideal akan semakin tinggi. Pernyataan ini juga didukung oleh Mostert (dalam de Villiers, 2006), yang meyakini bahwa masyarakat pada saat ini lebih menekankan pada penampilan fisik, dan media memainkan peran yang besar dalam menunjukkan pada masyarakat bagaimana image ideal yang disebut cantik. Kehadiran media tersebut, tidak dipungkiri semakin mendorong pribadi-pribadi untuk meletakkan standar ideal pada dirinya, seperti yang dikehendaki oleh masyarakat. Daya tarik fisik berperan penting dalam hubungan sosial. Para remaja menyadari bahwa mereka yang menarik biasanya diperlakukan dengan lebih baik daripada mereka yang kurang menarik (Hurlock, 2004). Menurut Corss & Cross (dalam Hurlock, 2004), kecantikan dan daya tarik fisik merupakan hal yang penting bagi remaja. Dukungan sosial, popularitas, pemilihan calon pasangan hidup dan karir di pengaruhi oleh daya tarik fisik seseorang. Remaja wanita beranggapan bahwa dengan memiliki tubuh yang ideal dan menarik, mereka akan lebih mudah untuk terlibat dalam hubungan yang romantis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Erickson (dalam Dacey & Kenny, 2001) yang menyatakan bahwa wanita dalam menilai penampilan fisik lebih mengarah kepada upaya untuk menarik perhatian lawan jenis, sedangkan pria lebih memfokuskan pada kemampuan bersaing dan kekuatan. Masa remaja merupakan masa meningkatnya ketertarikan terhadap lawan jenis. Perasaan tertarik ini bisa meningkat pada perasaan yang lebih tinggi yaitu cinta romantis sehingga membuat mereka terlibat dalam hubungan romantis, yang biasa dikenal dengan sebutan pacaran atau berkencan. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Santrock (2007) yang mengatakan bahwa cinta romantis menandai kehidupan percintaan para remaja. Bagi sebagian remaja, bisa memiliki pacar merupakan prestasi tersendiri karena remaja merasa bisa diterima dan disukai orang lain. Individu yang memiliki body image positif akan menerima lebih banyak ajakan berkencan dibanding yang memiliki body image negatif, karena mereka yang merasa bahwa diri mereka cantik dan keliatan menarik dimata orang lain akan lebih memungkinkan untuk terlibat dalam hubungan yang romantis (de Villiers, 2006). Pernyataan ini juga didukung oleh pendapat yang dikemukakan oleh Thompson (2001) bahwa untuk memulai suatu hubungan yang romantis, seseorang harus terlebih dahulu merasa nyaman dengan tubuhnya, jika tidak maka akan sulit bagi individu tersebut untuk memulai suatu hubungan yang romantis. Dengan demikian, remaja yang memiliki body image positif biasanya cenderung memiliki self-esteem yang tinggi, sedangkan remaja yang memiliki body image negatif cenderung memiliki self-esteem yang rendah, sehingga mereka akan merasa kesulitan dalam memulai hubungan yang romantis dengan lawan jenis dibandingkan remaja yang memiliki body image positif. Remaja yang memiliki body image negatif, cenderung merasa ditolak dan tidak diinginkan. Perasaan ditolak ini bisa membawa remaja lari ke hal-hal negatif. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Moore dan Franko (dalam Cash & Pruzinsky,2002) bahwa body image adalah komponen yang penting dalam hidup manusia karena apabila terdapat gangguan pada body image dapat mengakibatkan banyak hal, seperti perasaan minder dan tidak percaya diri, gangguan pola makan (eating disorder), diet yang tidak sehat, anxiety, bahkan depresi. Masalah body image ini akan semakin berkembang dan dapat mempengaruhi kehidupan dari banyak remaja wanita. Jika masalah seperti ini tidak dapat diatasi pada masa remaja, maka permasalahan ini akan terbawa sampai memasuki usia dewasa (Thompson & Smolak dalam de Viller, 2006). Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh body image terhadap romantic relationship satisfaction pada remaja wanita. B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah adanya pengaruh body image terhadap romantic relationship satisfaction pada remaja wanita. C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh body image terhadap romantic relationship satisfaction pada remaja wanita. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur pengetahuan dalam bidang psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan mengenai pengaruh body image terhadap romantic relationship satisfaction pada remaja wanita. Selain itu, dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi bagi peneliti selanjutnya dan sebagai acuan dalam pengembangan penelitian di masa mendatang, khususnya pengaruh body image dengan romantic relationship satisfaction pada remaja wanita. 2. Manfaat Praktis Menambah wawasan bagi masyarakat umum terutama bagi remaja wanita mengenai pengaruh body image dalam romantic relationship satisfaction, serta dapat membantu remaja untuk mengembangkan body image yang positif, sehingga dapat mencapai kepuasan dalam menjalin hubungan yang romantis (romantic relationship satisfaction). E. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian dan sistematika penelitian. BAB II Landasan Teori Bab ini akan menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Bab ini berisi definisi romantic relationship, elemen-elemen romantic relationship, romantic relationship satisfaction, romantic relationship pada remaja wanita, definisi body image, komponen body image, faktor-faktor yang mempengaruhi body image, body image pada remaja wanita, definisi remaja, ciri-ciri umum remaja, tugas perkembangan remaja, pengaruh body image terhadap romantic relationship satisfaction pada remaja wanita, dan hipotesa. BAB III Metode Penelitian Bab ini berisi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, validitas dan reliabilitas alat ukur, serta metode analisis data. BAB IV Analisa Data dan Pembahasan Bab ini berisi gambaran subjek penelitian, hasil penelitian utama dan hasil penelitian tambahan. BAB V Kesimpulan dan Saran Bab ini memuat tentang kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dan saran penelitian yang meliputi saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.