TEOLOGI ANTIKORUPSI Oleh Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA. Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ Jihad sosial melawan korupsi di negeri ini tampaknya belum akan berakhir, karena budaya korupsi sudah sedemikian menggurita, mengakar dan menjalar ke hampir seluruh sendi kehidupan bangsa. Ibarat kanker, penyakit korupsi ini sudah mencapai stadium empat, sudah sangat kronis. Karena itu, wabah kronis korupsi ini perlu disembuhkan dengan terapi mental-spiritual yang mendasar hingga akar-akarnya. Penyakit korupsi itu sesungguhnya penyakit iman atau penyakit akidah (patalogi teologis) yang sangat berbahaya, karena ketika melakukan korupsi, pelakunya hilangnya keimanannya kepada Allah Swt. Bukan hanya menurun imannya, tetapi defisit, bahkan sirna dari dalam hatinya. Sekiranya di dalam hati Mukmin itu ada iman yang kuat, niscaya ia terus merasa “dimonitor”, diawasi, dan dievaluasi oleh Allah yang Mahahadir dalam setiap detak nafasnya. Jika Allah diyakini selalu hadir dan melihat isi hati (niat korupsi), pikiran (rencana dan strategi melakukan korupsi, misalnya secara berjamaah), dan perbuatan korupsinya, niscaya yang bersangkutan akan takut kepada Allah, takut bagaimana kelak mempertanggungjawabkannya di akhirat, dan takut akan azabnya yang superpedih. Oleh karena itu, Rasulullah SAW pernah menegaskan dalam sebuah haditsnya bahwa “Tidaklah seseorang berzina dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang melakukan pencurian (korupsi) dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang meminum minuman keras ketika meminumnya dalam keadaan beriman, dan tidaklah seseorang merampas sebuah barang rampasan di mana orang-orang melihatnya, ketika melakukannya dalam keadaan beriman." (HR. Bukhari dan Muslim). Dengan kata lain, korupsi itu dilakukan, antara lain, karena pelakunya mengalami zero akidah tauhid, keimanannya nihil, teologinya gagal berfungsi membentengi diri dan nafsu serakahnya untuk berkorupsi. Jika “kanker korupsi” dinilai sebagai penyakit teologis, maka obat yang diperlukan bagi bangsa ini adalah teologi antikorupsi, sebuah akidah tauhid yang benarbenar mengakar dan mendarah daging dalam diri Mukmin bahwa Allah itu Mahahadir, mengawasi, dan merekam seluruh jejak kehidupan kita, mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur. Teologi antikorupsi pada intinya adalah sebuah keyakinan dalam diri Mukmin yang ikhlas, murni, genuine, dan otentik karena mengharap ridha-Nya. Mukmin yang berteologi antikorupsi selalu menyadari di manapun berada dan kapanpun tidak ada ruang dan waktu yang tersisa dan terlewatkan dari “radar teologis” Allah SWT. Kedasaran teologis akan kemahahadiran dan kecanggihan radar Allah dalam menangkap sinyal-sinyal korupsi manusia sangat penting ditumbuhkan sedemikian rupa, sehingga Mukmin yang berteologi antikorupsi merasa malu jika perbuatan jahat dan antikemanusiaannya itu (korupsi) ditangkap radar superdetektif Allah. Dalam aktualisasinya, tampaknya kita perlu belajar teologi antikorupsi dari kisah Abdullah ibn Umar bin al-Khattab saat menguji iman penggembala kecil di padang pasir. "Nak, bolehkah aku beli seekor domba darimu? Pinta Abdullah. "Tidak tuan, ini bukan dombaku," jawab anak itu. Abdullah terus merayu: "Majikanmu pasti tidak tahu. Kalau pun majikanmu tahu bahwa domba berkurang satu, engkau kan bisa mengatakan kepadanya, bahwa domba yang satu itu dimakan srigala atau terpeleset dari bebatuan lalu mati." Abdullah tercengang dan tersentak hatinya ketika sang anak itu menyatakan: "Jika sang majikan tidak mengetahuinya, Faaina Allah?" (Lalu di manakah Allah?)". Dengan menitikkan air mata Abdullah menyatakan kepada anak kecil itu: "Jawabanmu: Faaina Allah itu tidak hanya memerdekakanmu dari perbudakan di dunia, tetapi juga memerdekakanmu dari siksa api neraka kelak. Abdullah kemudian memerdekakan anak itu dari status budak pengembala domba, sehingga menjadi manusia merdeka lahir dan batin. Kisah tersebut menginspirasi kita semua bahwa teologi antikorupsi adalah teologi yang memerdekakan diri kita dari segala bentuk perbudakan, terutama hawa nafsu, serakah, tama’, loba, mental ingin cepat kaya tetapi malas bekerja keras dan halal. Teologi antikorupsi idealnya meniscayakan kemerdekaan manusia dalam bertauhid, dalam arti hanya Allah semata yang disembah, dimintai petunjuk dan pertolongan, ditakuti, dan menjadi orientasi dalam hidup ini. Merdeka dalam bertauhid membuat orang tidak mudah diperbudak oleh ideologi, kepentingan politik, kepentingan partai, maupun kekuatan dan kekuasaan duniawi yang menipu dan menyesatkan. Jadi, teologi antikorupsi sejatinya merupakan sistem bertauhid yang membuat orang merasa takut berdosa jika menyalahgunakan amanah jabatan; berusaha menjadi yang terbaik dalam melaksanakan tugas karena Allah Maha Mengawasi kinerjanya. Mukmin yang berteologi antikorupsi memang harus merdeka dalam bertauhid agar kita tidak dijajah lagi oleh hawa nafsu, syahwat politik, syahwat jabatan, dan syahwat korupsi. Tauhid yang murni adalah tauhid yang memerdekakan diri kita dari segala bentuk penjajahan duniawi. Jadi, teologi antikorupsi yang dilandasi tauhid yang murni mesti menyinari, mencerahkan, dan menutrisi hati yang bertauhid itu, sehingga berniat atau berpikir untuk korupsi saja enggan, apalagi sampai melakukannya, meskipun peluang untuk itu terbuka lebar lantaran menggenggam jabatan dan kekuasaan. Teologi antikorupsi juga dapat ditanamkan pada diri kita semua dengan meneladani sifat-sifat Allah. “Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah” (HR Muslim). Jika sifat-sifat Allah yang tercermin dalam al-Asma’ul Husna itu diteladani, niscaya manusia akan mampu mengontrol nafsu korupsi menuju integritas pribadi yang luhur. Karena itu, korupsise mestinya tidak perlu terjadi jika manusia telah meneladani sifat Allah: al-Wahhab (Maha Memberi, bukan berkorupsi atau mengambil yang haknya), dan Ar-Rahman Ar-Rahim (Maha Pengasih Maha Penyayang). Kita semua merindukan para pemimpin yang dapat menjadi teladan terbaik dalam merasakan kehadiran Allah dalam mengurus negara, bangsa, dan melayani masyarakat. Jika negara ini benar-benar diurus dengan kecerdasan teologis, spiritual dan moral, dan kesadaran akan pentingnya “menghadirkan Allah”, maka teologi antikorupsi itu akan menghiasi moralitas mereka, dan pada gilirannya mereka akan selalu merasa takut berbuat salah, enggan korupsi, anti penyelewengan, dan berperilaku yang tidak bermoral. Teologi antikorupsi sejatinya merupakan teologi pembebasan diri dari watak korup dan serakah melalui proses penyadaran “ruang keinsafan batin” untuk mau menerima “sinyal-sinyal spiritual”, pencerahan ruhani dari Tuhan, sehingga mentalitas dan karakternya bisa berubah menjadi dermawan, suka berbagi rezeki, dan berfilantropi, bukan mentalitas serakah, korup, dan menghalalkan segala cara demi tujuan. Sumber: Artikel ini pernah dimuat dalam OPINI REPUBLIKA, 8 Mei 2013