BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Histologi Mata

advertisement
55
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Histologi Mata
Gambar 2.1. Anatomi Mata
Sumber: Oftalmologi Umum, Riordan, 2014
Bola mata orang dewasa normal hampir bulat, dengan diameter
anteroposterior sekitar 24,2 mm (Riordan, 2014). Bola mata di bagian depan
(kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk
dengan dua kelengkungan yang berbeda (Ilyas, 2010).
Dimensi bola mata dewasa:
Diameter anteroposterior : 24 mm
Diameter horizontal
: 23,5 mm
Diameter vertikal
: 23 mm
Universitas Sumatera Utara
6
Keliling
: 75 mm
Volume
: 6,5 mm
Berat
: 7 mg
(Khurana, 2007)
Bola mata dibungkus oleh tiga lapisan jaringan, yaitu:
1.
Sklera
Sklera merupakan lapisan terluar dari bola mata. Sklera terdiri dari jaringan
yang padat. Sklera terbagi menjadi dua bagian, yaitu: Sklera anterior dan sklera
posterior. Sklera posterior berbatasan dengan khoroid sedangkan sklera anterior
akan termodifikasi menjadi kornea (Eroschenko, 2010).
2.
Lapisan Vaskular (Uvea)
Lapisan ini terdiri dari tiga lapisan, yaitu:

Khoroid (Choroidea)

Badan Siliar (Corpus Ciliare)

Iris
Di khoroid terdapat banyak pembuluh darah yang akan memberikan nutrisi ke
retina dan struktur bola mata (Junquiera, 2011).
3.
Retina
Lapisan yang paling dalam di bawah khoroid adalah retina, yang terdiri dari
lapisan berpigmen di sebelah luar dan lapisan jaringan saraf di sebelah dalam. Yang
terakhir, mengandung sel batang (rods) dan sel kerucut (cones), fotoreseptor yang
mengubah energi cahaya menjadi impuls saraf. Seperti dinding hitam sebuah studio
foto, pigmen di khoroid dan retina menyerap sinar setelah sinar mengenai retina
untuk mecegah pantulan atau pembuyaran sinar di dalam mata (Sherwood, 2012).
Universitas Sumatera Utara
7
2.2. Media Refraksi
Gambar 2.2. Refraksi pada mata
Sumber: Fisiologi Manusia, Sherwood, 2012
Refraksi cahaya adalah auatu fenomena dari perubahan jalan cahaya ketika
melewati dari suatu medium ke medium yang lain. Penyebab yang mendasari
adanya pembiasan adalah perubahan kecepatan cahaya yang melewati dari suatu
medium ke medium yang lain (Khurana, 2007).
Sinar berjalan lebih cepat melalui udara daripada melalui media transparan lain
misalnya air dan kaca. Ketika masuk ke suatu medium dengan densitas tinggi,
berkas cahaya melambat (yang sebaliknya juga berlaku). Arah berkas berubah jika
cahaya tersebut mengenai permukaan medium baru dalam sudut yang tidak tegak
lurus. Berbeloknya berkas sinar dikenal sebagai refraksi (pembiasan) (Sherwood,
2012).
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, aqueous humor (cairan mata), lensa, vitreous humor (badan
kaca), dan panjangnya bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh
media penglihatan dan panjang bola mata sangat seimbang sehingga bayangan
benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea
(Marieb dan Hoehn, 2007).
Dua struktur yang paling penting dalam kemampuan refraktif mata adalah
kornea dan lensa. Permukaan kornea yang melengkung, struktur pertama yang
dilewati oleh sinar sewaktu sinar tersebut masuk mata, berperan paling besar dalam
kemampuan refraktif total mata karena perbedaan dalam densitas pada pertemuan
Universitas Sumatera Utara
8
udara-kornea jauh lebih besar daripada perbedaan dalam densitas antara lensa dan
cairan di sekitarnya. Pada astigmatisme, kelengkungan kornea tidak rata sehingga
berkas sinar mengalami refraksi yang tidak sama. Kemampuan refraktif kornea
seseorang tidak berubah karena kelengkungan kornea tidak berubah. Sebaliknya,
kemampuan refraktif lensa dapat diubah-ubah dengan mengubah kelengkungan
sesuai kebutuhan untuk melihat dekat atau jauh (Sherwood, 2012).
2.2.1. Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya.
Kornea merupakan lapisan jaringan yang menutupi bola mata sebelah depan dan
terdiri atas 5 lapisan, yaitu:
1.
Epitel
2. Membran Bowman
3.
Stroma
4. Membran Descement
5.
Endotel
(Eroschenko, 2010).
2.2.2. Aquous Humor (Cairan Mata)
Rongga anterior antara kornea dan lensa mengandung cairan jernih encer yang
disebut aquous humor. Aquous humor membawa nutrien untuk kornea dan lensa,
yaitu dua struktur yang tidak memiliki aliran darah karena adanya pembuluh darah
akan mengganggu lewatnya cahaya ke fotoreseptor (Tsai, 2012).
Aquous humor dihasilkan dengan kecepatan sekitar 5 ml/hari oleh suatu
jaringan kapiler di dalam badan siliar (suatu turunan khusus lapisan khoroid
anterior). Cairan ini mengalir ke suatu kanalis di tepi kornea dan akhirnya masuk
ke darah (Junquiera, 2011).
Jika aquous humor tidak dikeluarkan secepat pembentukkannya (sebagai
contoh, akibat sumbatan di saluran drainasenya), maka kelebihan cairan ini akan
menumpuk di rongga anterior, menimbulkan peningkatan tekanan di dalam mata.
Keadaan ini dikenal sebagai glaukoma. Kelebihan aquous humor akan mendorong
Universitas Sumatera Utara
9
lensa ke belakang (ke arah vitreous humor), yang selanjutnya akan menekan lapisan
saraf di retina. Penekanan ini menyebabkan kerusakan retina dan nervus optikus
yang dapat menyebabkan kebutaan jika keadaan ini tidak diatasi (Sherwood, 2012).
2.2.3. Lensa
Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk lensa di dalam
bola mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola mata terletak di belakang iris
dan terdiri dari zat tembus cahaya (transparan) berbentuk seperti cakram yang dapat
menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi (Eroschenko, 2010).
Secara fisiologis lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu:
• Kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi untuk
menjadi cembung
• Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan,
• Terletak ditempatnya, yaitu berada antara posterior chamber dan vitreous humor
dan berada di sumbu mata
(Tsai, 2011)
Keadaan patologik lensa ini dapat berupa:
• Tidak kenyal pada orang dewasa yang mengakibatkan presbiopia,
• Keruh atau apa yang disebut katarak,
• Tidak berada di tempat atau subluksasi dan dislokasi
(Tsai, 2011)
2.2.4. Vitreous Humor (Badan Kaca)
Badan vitreous menempati daerah mata di balakang lensa. Rongga ini terletak
antara lensa dan retina. Struktur ini merupakan gel transparan yang terdiri atas air
(lebih kurang 99%), sedikit kolagen, dan molekul asam hialuronat yang sangat
terhidrasi. Badan vitreous mengandung sangat sedikit sel yang menyintesis kolagen
dan asam hialuronat. Peranannya mengisi ruang untuk meneruskan sinar dari lensa
ke retina. Kebeningan badan kaca disebabkan tidak terdapatnya pembuluh darah
dan sel. Pada pemeriksaan tidak terdapatnya kekeruhan badan vitreous akan
memudahkan melihat bagian retina pada pemeriksaan oftalmoskopi. Vitreous
Universitas Sumatera Utara
10
humor penting untuk mempertahankan bentuk bola mata agar berbentuk bulat
(Junqueira, 2011)
2.2.5. Panjang Bola Mata
Panjang bola mata menentukan keseimbangan dalam pembiasan. Panjang bola
mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh
karena kornea (mendatar atau cembung) atau adanya perubahan panjang (lebih
panjang atau lebih pendek) bola mata, maka sinar normal tidak dapat terfokus pada
mekula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia yang dapat berupa miopia,
hipermetropia, atau astigmatisma (Ilyas, 2010).
2.3. Fisiologi Penglihatan
Fisiologi penglihatan merupakan fenomena yang kompleks yang masih sedikit
dimengerti. Mekanisme penglihatan terdiri dari:

Inisiasi Penglihatan (Fototransduksi), sebuah fungsi dari fotoreseptor (sel
batang dan sel kerucut)

Pengolahan dan transmisi sensasi penglihatan

Persepsi penglihatan, yang merupakan fungsi dari korteks penglihatan dan
berhubungan dengan area-area korteks serebri (Khurana, 2007)
Mata mengubah energi dari spektrum yang dapat terlihat menjadi potensial aksi
di saraf optikus. Panjang gelombang cahaya yang dapat terlihat berkisar dari sekitar
397-723 mm. Bayangan suatu benda di lingkungan difokuskan di retina. Berkas
cahaya yang mencapai retina akan mencetuskan potensial di dalam sel kerucut dan
dan sel batang. Kemudian, impuls yang timbul di retina dihantarkan ke korteks
serebri (tempat impuls tersebut menimbulkan sensasi penglihatan) (Ganong, 2008).
2.4. Daya Akomodasi
Pada keadaan normal cahaya yang datang dari jarak tidak terhingga akan
terfokus pada retina, demikian pula bila benda jauh didekatkan. Hal ini diakibatkan
adanya daya akomodasi mata yang bila benda didekatkan maka bayangan benda
dapat difokuskan pada retina atau makula lutea. Mata akan berakomodasi untuk
Universitas Sumatera Utara
11
melihat jelas benda pada jarak yang berbeda-beda sehingga bayangan benda akan
tetap terfokus pada retina. Daya akomodasi adalah kemampuan lensa untuk
mencembung yang terjadi akibat kontraksi otot siliar. Akibat daya akomodasi,
pembiasan lensa menjadi bertambah kuat (Sherwood, 2011).
Mata akan berakomodasi bila bayangan benda difokuskan di belakang retina.
Bila sinar jauh tidak difokuskan pada retina seperti pada mata dengan kelainan
refraksi hipermetropia, maka mata tersebut akan berakomodasi terus-menerus
walaupun letak bendanya jauh, dan pada keadaan ini diperlukan fungsi akomodasi
yang baik (Ganong, 2008).
Anak-anak dapat berakomodasi dengan kuat sekali sehingga memberikan
kesukaran pada pemeriksaan kelainan refraksi. Daya akomodasi kuat pada anakanak dapat mencapai + 12-18 D. Akibatnya, pada anak-anak yang sedang dilakukan
pemeriksaan kelainan refraksinya untuk melihat jauh mungkin terjadi koreksi
miopia yang lebih tinggi akibat akomodasi sehingga mata tersebut memerlukan
lensa negatif yang berlebihan (koreksi lebih). Untuk pemeriksaan kelainan refraksi
anak sebaiknya diberikan sikloplegik yang melumpuhkan otot akomodasi sehingga
pemeriksaan kelainan refraksinya murni, dilakukan pada mata yang beristirahat.
Biasanya untuk ini diberikan sikloplegik atau sulfat atrofin tetes mata selama tiga
hari. Sulfat atrofin bersifat parasimpatolitik, yang bekerja selain untuk
melumpuhkan otot siliar juga melumpuhkan otot sfingter pupil (Hollwich, 2005).
Pada keadaan bertambahnya usia, maka akan berkurang pula daya akomodasi
akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga lensa sukar sukar mencembung.
Keadaan berkurangnya daya akomodasi pada usia lanjut disebut presbiopia (Ilyas,
2010).
Universitas Sumatera Utara
12
2.5. Emetropia
Gambar 2.3. Emetropia
Sumber: Oftalmologi, Olver dan Cassidy, 2011
Agar dapat melihat, mata harus menngkap pola pencahayaan di lingkungan
sebagai “gambar atau bayangan optis” di suatu lapisan sel peka sinar, yaitu retina
(seperti kamera nondigital menangkap bayangan pada film). Seperti film yang dapat
diproses menjadi salinan visual dari bayangan asli, citra tersandi di retina yang
disalurkan melalui serangkaian tahap pemrosesan visual yang semakin rumit hingga
akhirnya secara sadar dipersepsikan sebagai kemiripan visual dari bayangan asli
(Sherwood, 2012).
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata. Pada
orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya sumbu
bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media
penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut
sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya
pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh
(Hollwich, 2005).
Jadi, sinar yang berasal dari objek yang jauh (praktisnya semua sinar yang
datang dari jarak lebih dari 6 m atau 20 kaki) akan difokuskan oleh mata ke fovea
tanpa akomodasi. Titik asal sinar yang difokuskan di retina disebut titik jauh
(Hollwich, 2005). Pada mata emetropia terdapat keseimbangan antara kekuatan
pembiasan sinar dengan panjangnya bola mata. Keseimbangan dalam pembiasan
sebagian besar ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan kornea dan
Universitas Sumatera Utara
13
panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat
dibandingkan media penglihatan mata lainnya. Lensa memegang peranan terutama
pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat (Ilyas, 2010).
Kelainan lain pada pembiasan mata normal adalah gangguan perubahan
kecembungan lensa yang dapat berkurang akibat berkurangnya elastisitas lensa
sehingga terjadi gangguan akomodasi. Gangguan akomodasi dapat terlihat pada
usia lanjut sehingga terlihat keadaan yang disebut presbiopia (Riordan, 2014).
Pada sebagian besar bayi baru lahir, bola matanya terlalu pendek sehingga mata
bayi dan anak-anak adalah hipermetropia. Bersama-sama dengan pertumbuhan
anak, panjang sumbu mata bertambah sehingga pada umur kira- kira 6 tahun mata
menjadi emetropia. Sebaliknya, mata bayi yang dilahirkan emetropia biasanya
menjadi miopia setelah mencapai usia sekolah (Hollwich, 2005).
Anak-anak dapat berakomodasi dengan kuat sekali sehingga memberikan
kesukaran pada pemeriksaan kelainan refraksi. Daya akomodasi kuat pada anakanak dapat mencapai + 12-18 D. Akibatnya, pada anak-anak yang sedang dilakukan
pemeriksaan kelainan refraksinya untuk melihat jauh mungkin terjadi koreksi
miopia yang lebih tinggi akibat akomodasi sehingga mata tersebut memerlukan
lensa negatif yang berlebihan (koreksi lebih). Untuk pemeriksaan kelainan refraksi
anak sebaiknya diberikan sikloplegik yang melumpuhkan otot akomodasi sehingga
pemeriksaan kelainan refraksinya murni, dilakukan pada mata yang beristirahat.
Biasanya untuk ini diberikan sikloplegik atau sulfat atrofin tetes mata selama tiga
hari. Sulfat atrofin bersifat parasimpatolitik, yang bekerja selain untuk
melumpuhkan otot siliar juga melumpuhkan otot sfingter pupil (Ilyas, 2010).
2.6. Ametropia
Pada ametropia atau kelainan refraksi tidak terdapat keseimbangan antara
kekuatan pembiasan media penglihatan dengan panjangnya bola mata. Ametropia
dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk kelainan, yaitu:
1.
Miopia
2.
Hipermetropia
3.
Astigmatisme
Universitas Sumatera Utara
14
Kelainan pembiasan atau kelainan refraksi ini dapat dikoreksi dengan memakai
kacamata atau lensa kontak. Bedah refraktif pun dapat dilakukan untuk kelainan
refraksi dengan syarat -syarat tertentu (Ilyas, 2010).
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Pungtum Proksimum
merupakan titik terdekat dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas.
Pungtum Remotum adalah titik terjauh dimana seseorang masih dapat melihat
dengan jelas, titik ini merupakan titik dalam ruang yang berhubungan dengan retina
atau foveola bila mata istirahat. Pungtum Proksimum atau Pungtum Remotum pada
penderita kelainan refraksi akan berbeda dari mata yang normal (Khurana, 2007).
2.6.1. Miopia
Gambar 2.4. Miopia
Sumber: Oftalmologi, Olver dan Cassidy, 2011
Bila bayangan benda yang terletak jauh difokuskan di depan retina oleh mata
saat tidak berakomodasi, maka mata tersebut mengalami miopia atau nearsighted
(Riordan-Eva, 2014). Oleh karena itu, diperlukan lensa koreksi negatif atau cekung
atau konkaf untuk penderita miopia agar sinar yang datang setelah melalui
pembiasan lensa cekung dapat tergeser ke belakang sehingga dapat difokuskan pada
bintik kuning. Dikenal beberapa bentuk miopia, yaitu (Olver dan Cassidy, 2011).
a.
Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi
pada katarak intumessen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga
pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau miopia indeks, miopia
Universitas Sumatera Utara
15
yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu
kuat.
b.
Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata, dengn
kelengkungan kornea dan lensa yang normal.
Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam:
a.
Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri.
b. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri.
c.
Miopia berat, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri.
Menurut perjalanan miopia dikenal bentuk:
a.
Miopia stasioner, miopi yang menetap setelah dewasa
b.
Miopia progesif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata
c.
Miopia maligna atau miopia degeneratif, miopia yang berjalan progesif, yang
dapat mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia
pernisiosa. Miopia degeneratif biasanya bila miopia lebih dari 6 dioptri disertai
kelainan pada fundus okuli dan pada panjangnya bola mata sampai terbentuk
stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai dengan
atrofi korioretina. Atrofi retina berjalan kemudian setelah terjadinya atrofi
skelera dan kadang-kadang terjadi ruptur membran Brunch yang dapat
menimbulkan rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi subretina
(Hollwich, 2005)
Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat jarak
penglihatannya sedangkan melihat jauh kabur atau keadaan ini disebut rabun jauh
(Olver dan Cassidy, 2011).
Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan kacamata sferis
negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal (Gambar 2.4).
Sebagai contoh bila pasien dikoreksi dengan -3,0 memberikan tajam penglihatan
6/6, dan demikian juga bila diberi -3,25, maka sebaiknya diberikan lensa koreksi 3,0 agar memberikan istirahat mata dengan baik sesudah koreksi (Ilyas, 2010).
Universitas Sumatera Utara
16
2.6.2. Hipermetropia
Gambar 2.5. Hipermetropia
Sumber: Oftalmologi, Olver dan Cassidy, 2011
Hiperopia (Hipermetropia, farsightedness) adalah keadaan mata tak
berakomodasi yang memfokuskan bayangan di belakang retina. Hal ini dapat
disebabkan oleh berkurangnya panjang sumbu (hiperopia aksial), seperti yang
terjadi pada kelainan kongenital tertentu, atau menurunnya indeks refraksi
(hipermetropia refraktif), seperti pada afakia (Khurana, 2007)
Hipermetropia merupakan konsep yang lebih sulit dijelaskn daripada miopia.
Istilah ”farsighted” berperan dalam menimbulkan kesulitan tersebut, selain juga
seringnya terdapat kesalahpahaman di kalangan awam bahwa presbiopia adalah
farsightedness dan bahwa seseorang yang melihat jauh dengan baik artinya
farsighted. Jika hiperopianya tidak terlalu berat, orang yang berusia muda dapat
memperoleh bayangan objek jauh yang tajam dengan melakukan akomodasi,
seperti yang dilakukan mata normal sewaktu membaca. Orang hiperopia yang
berusia muda juga dapat membentuk bayangan tajam dari objek dekat dengan
melakukan akomodasi lebih banyak atau setidaknya jauh lebih banyak daripada
orang tanpa hiperopia. Usaha tambahan ini dapat menyebabkan kelelahan mata
yang lebih parah pada pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan ketelitian
penglihatan. Derajat hiperopia yang mungkin diidap seseorang tanpa menimbulkan
gejala, seperti kebanyakan kondisi klinis yang bervariasi. Namun, derajat tersebut
berkurang seiring usia karena meningkatnya presbiopia (penurunan kemampuan
berakomodasi). Hiperopia tiga dioptri mungkin dapat ditoleransi oleh seorang
Universitas Sumatera Utara
17
remaja, tetapi pada usia yang lebih lanjut mungkin memerlukan kacamata walaupun
hiperopianya tidak meningkat. Apabila hiperopianya terlalu tinggi, mata mungkin
tidak mampu mengoreksi bayangan dengan akomodasi. Hiperopia yang tidak dapat
dikoreksi oleh akomodasi disebut hiperopia manifes. Hal ini merupakan salah satu
penyebab ambliopia deprivasi pada anak-anak dan dapat bilateral. Terdapat korelasi
refleks antara akomodasi dan konvergensi kedua mata. Dengan demikian, hiperopia
sering menjadi penyebab esotropia (crossed eyes) dan ambliopia monokular
(Hollwich, 2005).
Sebagian besar bayi saat lahir mengalami hiperopia ringan. Hiperopia tersebut
secara perlahan berkurang, dengan sedikit akselerasi saat remaja, untuk mencapai
emetropia. Kelengkungan kornea jauh lebih curam (r = radius = 6,59 mm) saat lahir
dan mendatar sampai mendekati kelengkungan dewasa (7,71 mm) pada usia sekitar
1 tahun. Lensa jauh lebih sferis pada saat lahir dan mencapai bentuk dewasa pada
usia sekitar 6 tahun. Panjang sumbu pada neonatus itu pendek (17,3 mm),
memanjang dengan cepat dalam 2 sampai 3 tahun pertama (mencapai 24,1 mm),
kemudian tak terlalu cepat (0,4 mm per tahun) sampai usia 6 tahun, lalu dengan
lambat (total sekitar 1 mm) sampai stabil pada usia sekitar 10-15 tahun. Prsbiopia
mulai muncul pada dekade kelima (Riordan, 2014).
Seseorang yang menderita presbiopia ditambah dengan adanya hiperopia
mungkin dapat memperoleh bayangan yang jelas di retina dengan melakukan
akomodasi. Derajat hiperopia yang diatasi oleh akomodasi disebut sebagai
hiperopia laten. Pemeriksaan refraksi dengan sikloplegik sangat penting dilakukan
pada pasien berusia muda yang mengalami kelelahan mata saat membaca dan
penting pada esotropia karena koreksi atas hiperopia dapat menyembuhkan
esotropia (Ilyas, 2010).
Perlu diingat bahwa orang yang “ farsighted “ derajat sedang dapat melihat
objek dekat atau jauh dengan baik sewaktu muda. Namun, seiring dengan
datangnya presbiopia, pasien hiperopia mula-mula akan menemui kesulitan dengan
pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan penglihatan dekat dan terjadi pada usia yang
lebih muda dibandingkan dengan nonhiperopia. Akhirnya, orang yang hiperopia
Universitas Sumatera Utara
18
mengalami kekaburan penglihatan untuk objek dekat dan jauh dan memerlukan
kacamata untuk penglihatan dekat dan jauh (Ilyas, 2010).
Hipermetropia dapat disebabkan:
a.
Hipermetropia sumbu atau hipermetropia aksial merupakan kelainan refraksi
akibat bola mata pendek, atau sumbu anteroposterior yang pendek.
b.
Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang
sehingga bayangan difokuskan di belakang retina.
c.
Hipermetropia refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada sistem
optik mata (Yani, 2008).
Hiperopia yang masih bisa diatasi dengan akomodasi disebut hiperopia laten.
Hiperopia manifes adalah hiperopia yang tidak dapat diatasi lagi dengan
akomodasi. Seiring bertambahnya usia, hiperopia manifes juga bertambah dalam
kaitannya dengan hiperopia laten (Hollwich, 2005).
Hiperopia dikoreksi dengan lensa plus atau lensa cembung. Yang diresepkan
adalah lensa terkuat yang masih memberikan tajam penglihatan yang terbaik. Pada
penderita usia muda, pemeriksaan hiperopia dilakukan setelah mata ditetesi atropin
1% beberapa kali dan selama beberapa hari (Yani, 2008).
2.6.3. Astigmatisme
Astigmatisme adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar dengan garis
pandang oleh mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak pada satu titik, tetapi lebih dari
satu titik (Yani, 2008).
Menurut Ilyas (2010), bentuk astigmatisme terdiri dari:

Astigmatisme reguler
Astigmatisme yang memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah atau
berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu meridian ke meridian
berikutnya. Bayangan yang terjadi pada astigmatisme reguler dengan bentuk
yang teratur dapat berbentuk garis, lonjong, atau lingkaran,

Astigmatisme ireguler
Astigmatisme ireguler dapat terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian
yang sama berbeda sehingga bayangan menjadi ireguler. Astigmatisme ireguler
Universitas Sumatera Utara
19
terjadi akibat infeksi kornea, trauma, dan distrofi atau akibat kelainan
pembiasan pada meridian lensa yang berbeda.
Berdasarkan letak titik vertical dan horizontal pada retina, astigmatisme dibagi
sebagai berikut:
1.
Astigmatisme Miopia Simpleks
2.
Astigmatisme Miopia Kompositus
3.
Astigmatisme Hiperopia Simpleks
4.
Astigmatisme Hiperopia Kompositus
5.
Astigmatisme Mixtus
(Ilyas, 2010)
Pada astigmatisme reguler, terdapat dua meridian utama, dengan orientasi dan
kekuatan konstan di sepanjang lubang pupil sehingga terbentuk dua garis fokus.
Selanjutnya, astigmatisme didefinisikan berdasarkan posisi garis-garis fokus ini
terhadap retina (Gambar 2.6) (Riordan, 2014).
Gambar 2.6. Jenis-jenis astigmatisme reguler seperti yang ditentukan oleh posisi
kedua garis fokus terhadap retina
Sumber: Oftalmologi Umum, Riordan, 2014
Universitas Sumatera Utara
20
Apabila meridian-meridian utamanya saling tegak lurus dan sumbu-sumbunya
terletak di dalam 20 derajat horizontal dan vertikal, astigmatismenya dibagi lagi
menjadi astigmatism with the rule, dengan daya bias yang lebih besar terletak di
meridian vertikal; dan astigmatism against the rule, dengan daya bias yang lebih
besar terletak di meridian horizontal. Astigmatism with the rule lebih sering
ditemukan pada pasien berusia muda dan astigmatism against the rule lebih sering
pada orang tua (Gambar 2.7) (Riordan, 2014).
Gambar 2.7. Jenis astigmatisme seperti yang ditentukan oleh orientasi meridianmeridian utama dan orientasi sumbu silinder pengoreksi
Sumber: Oftalmologi Umum, Riordan, 2014
Astigmatisme oblik adalah astigmatisme reguler yang meridian-meridian
utamanya tidak terletak dalam 20 derajat horizontal dan vertikal. Pada astigmatisme
ireguler, daya atau orientasi meridian-meridian utamanya berubah di sepanjang
lubang pupil (Riordan, 2014).
Gejala klinis astigmatisme:
1.
Pengelihatan kabur atau terjadi distorsi
2.
Pengelihatan mendua atau berbayang - bayang
3.
Nyeri kepala
4.
Nyeri pada mata
(Yani, 2008)
Universitas Sumatera Utara
Download