BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan kanker terbanyak pada wanita di dunia. Di Amerika Serikat, kanker payudara merupakan 27% dari seluruh kanker pada wanita. Data dari Surveillance Epidemiology and End Results (SEER) menunjukkan bahwa pada tahun 2007 diperkirakan 178. 480 wanita didiagnosis kanker payudara dan lebih dari 40. 000 wanita meninggal karena kanker ini. Di Negara berkembang, termasuk Indonesia, kanker payudara menduduki ranking kedua setelah kanker leher rahim (Tjindarbumi dan Mangunkusumo, 2002). Di Rumah Sakit DR. Sardjito Yogyakarta, sejak tahun 1992-1999 kanker payudara menduduki ranking pertama (Aryandono et al., 1999). Kanker payudara jarang terjadi pada umur di bawah 25 tahun, kecuali pada kasus familial. Di Yogyakarta, 45,2% kanker payudara didapatkan pada usia < 50 tahun (Widodo et al., 2014). Berdasarkan tipe histologisnya, karsinoma payudara terbanyak ( 80%) adalah karsinoma duktal invasif yang berasal dari sel-sel epitel kelenjar dari Terminal Duct Lobular Unit (TDLU). Diagnosis karsinoma payudara ditegakkan dengan triple diagnosis yang terdiri dari pemeriksaan klinis, radiologis yaitu mamografi dan Ultrasound dan patologi Anatomi. Faktor prognosis karsinoma payudara dibagi menjadi faktor prognosis epidemiologis, anatomis dan seluler serta molekuler genetis. Faktor-faktor prognosis tersebut di antaranya adalah 1 2 stadium, derajat histologis, status hormonal, status Her-2 (Human Epidermal Growth Factor Receptor-2) dan tingkat proliferasi sel (Rosen et al., 2009). Stadium, meliputi stadium klinis dan patologis, merupakan faktor prognosis klinis penting karsinoma payudara. Stadium klinis ditentukan berdasarkan klasifikasi TNM (cTNM) yang meliputi ukuran tumor primer (T), status limfonodi (N) dan metastasis jauh (M). Stadium patologis ditentukan setelah pemeriksaan patologi, meliputi ukuran tumor primer (T), status limfonodi setelah pemeriksaan patologi (N) dan metastasis jauh (M). Sistem TNM ini telah diterima oleh UICC (The International Union Against Cancer) dan AJCC (The American Joint Committee on Cancer), dan ditentukan menjadi stadium I, II, III dan IV (Clark et al., 2000; Tavassoli et al., 2003). Ukuran tumor merupakan prediktor penting outcome penderita kanker payudara. Kanker berukuran kurang dari 1 cm mempunyai kecenderungan metastasis sebesar 10-20% (Schnitt et al., 2000). Penelitian lain menunjukkan bahwa kanker payudara dengan ukuran lebih dari 2cm mempunyai prognosis lebih buruk daripada kanker ukuran kurang dari 2cm (Donegan, 1997, Cotran et al., 2005). Di Yogyakarta, ukuran tumor telah diteliti berkorelasi dengan status limfonodi (Aryandono et al., 2000). Status limfonodi merupakan faktor prognosis penting, ditunjukkan dengan jumlah limfonodi yang mengandung tumor dan invasi sel tumor pada ekstra kapsular limfonodi. Status limfonodi dapat digunakan untuk meramalkan angka bebas kekambuhan dan ketahanan hidup penderita. Pada karsinoma payudara dengan status limfonodi negatif angka kekambuhan dalam jangka waktu 10 tahun 3 sebesar 20-30%, sedangkan pada karsinoma dengan status limfonodi positif angka kekambuhan mencapai 70% ( Donegan, 1997). Di Yogyakarta, 64,9% karsinoma payudara yang diteliti telah metastasis ke limfonodi dan 38% metastasis pada lebih dari tiga limfonodi (Aryandono et al., 2000). Sistem penentuan derajat histologis (grade) karsinoma payudara yang sering dipergunakan adalah klasifikasi dari Scarf-Bloom-Richardson (SBR) yang kemudian dimodifikasi oleh Ellston dan Ellis. Derajat histologis dari klasifikasi tersebut terdiri dari: susunan kelenjar, pleomorfisme inti sel dan jumlah mitosis, yang masing-masing di skor 1-3. Berdasarkan skor tersebut derajat histologis karsinoma payudara dinilai menjadi derajat 1 (derajat histologis baik), derajat 2 (derajat histologis sedang) dan derajat 3 (derajat histologis buruk). Semakin tinggi stadium dan derajat histologis semakin buruk prognosis karsinoma payudara (Tavassoli dan Devilee, 2003; Rosai, 2004, Rosen, 2009). Penelitian di Yogyakarta mendapatkan 25% karsinoma payudara adalah stadium IIB, 70% dengan derajat histologis buruk (Aryandono et al., 2000). Karsinoma payudara merupakan penyakit yang bersifat heterogen dan kompleks baik secara klinis, morfologis maupun molekularnya. Sifat heterogen tersebut tidak dapat diterangkan hanya berdasarkan parameter klinikopatologis yang sudah ada misalnya ukuran, derajat histologis, status limfonodi, usia atau status hormonal, status Her-2 yang secara rutin digunakan pada diagnosis dan terapi karsinoma payudara, sehingga penelitian selanjutnya berkembang pada biologi molekular karsinoma payudara. Berbagai sub-tipe molekular yang ditentukan berdasarkan profil ekspresi gen, merefleksikan perilaku biologis tumor 4 dan secara prognosis sangat berbeda. Sub-tipe intrinsik karsinoma payudara ada dua yaitu tumor Estrogen Receptor (ER) positif (sub-tipe luminal ) dan tumor ER negatif (sub-tipe non luminal). Klasifikasi berdasarkan sub-tipe molekular dapat ditentukan dengan pemeriksaan imunohistokimiawi (IHC) pada jaringan yang difiksasi formalin (Kao et al., 2009; Onitilo et al., 2010; Goldhirsch et al., 2011; Salhia et al., 2011; Blows et al., 2010). Karsinoma payudara sebagian besar (sekitar 60%) adalah sub-tipe luminal yaitu berasal dari sel epitel luminal yang melapisi kelenjar payudara. Berdasarkan status hormon, status Her-2 dan indeks proliferasi (Ki-67), karsinoma sub-tipe luminal dibagi menjadi sub-tipe luminal A dan luminal B. Karsinoma sub-tipe luminal A, dengan karakteristik ER+, PR+/-, Her-2-, Ki-67 rendah, cenderung memiliki prognosis yang terbaik dengan ketahanan hidup tinggi dan kekambuhan rendah. Karsinoma sub-tipe luminal B, dengan karakteristik ER+, PR+/-, Her-2+, Ki-67 tinggi, cenderung terjadi pada usia lebih muda, derajat histologis buruk dan ukuran tumor besar, sehingga prognosisnya lebih buruk dibandingkan karsinoma sub-tipe luminal A. Ketahanan hidup penderita karsinoma tipe luminal B cukup tinggi namun lebih rendah dari pada penderita karsinoma tipe luminal A (Kao et al., 2009; Onitilo et al., 2008). Karsinoma payudara sub-tipe non luminal dikelompokan menjadi sub-tipe triple negative/ basal-like dan sub-tipe Her-2+. Karsinoma sub-tipe triple negative/ basal-like , dengan karakteristik ER -, PR-, Her-2-, adalah karsinoma yang berasal dari sel basal kelenjar payudara. Sebagian besar kasinoma payudara triple negative adalah tipe basal-like dan sebagian karsinoma basal-like adalah 5 triple negative. Karsinoma payudara sub-tipe non luminal cenderung terjadi pada usia muda, bersifat lebih agresif dan prognosisnya lebih buruk dibandingkan karsinoma sub-tipe luminal. Karsinoma payudara Her-2+, dengan karaktersitik ER-, PR-, Her-2+, cenderung metastasis ke limfonodi , kambuh lebih awal, terdiagnosis pada usia yang lebih muda dibandingkan karsinoma sub-tipe yang lain. Karsinoma tipe ini dapat diterapi dengan terapi anti Her-2 yaitu Trastuzumab atau Herceptin (Sorlie et al., 2003; Chanrion et al., 2007; Onitilo et al., 2008; Blows et al., 2010; Campbell et al., 2010). Sub-tipe karsinoma payudara yang lebih jarang, sekitar 6% dari seluruh kanker payudara, adalah normal breast-like. Ukuran tumor ini kecil, cenderung prognosis baik, lebih banyak didapatkan pada pasca menopause dibandingkan pre menopause. Diperkirakan tumor ini memiliki sub-tipe tersendiri dan seringkali tidak dapat dikelompokan ke dalam sub-tipe yang sudah ada (Carey et al., 2006). Penentuan sub-tipe molekular pada karsinoma payudara berperan penting dalam menentukan prognosis dan terapi. Pilihan ajuvan terapi sistemik kanker payudara ditentukan berdasarkan umur penderita, status limfonodi, status hormonal dan Her-2. Marker prediktif yang berhubungan dengan terapi adalah status ER dan Her-2. Karsinoma payudara dengan over-ekspresi atau amplifikasi Her-2 diterapi dengan kombinasi Traztuzumab, suatu monoklonal antibodi dengan target Her-2, dan khemoterapi ajuvan. Penderita dengan status hormonal positif diterapi dengan terapi endokrin Tamoxifen atau Aromatase Inhibitor. Pemberian ajuvan terapi sistemik telah diteliti dapat menurunkan mortalitas penderita. 6 Penderita kanker payudara dengan status hormonal positif yang mendapat terapi Tamoxifen, risiko kambuh atau mati menurun 30 % (Cheang et al., 2009). The 12th St Gallen International Breast Cancer Conference (2011) Expert Panel mengadopsi klasifikasi baru untuk tujuan terapi karsinoma payudara berdasarkan sub-tipe molekular. Secara umum, karsinoma payudara sub-tipe luminal A hanya membutuhkan terapi endokrin, yang juga merupakan bagian terapi untuk karsinoma sub-tipe luminal B. Khemoterapi diindikasikan pada karsinoma sub-tipe luminal B, Her-2+ dan triple negative, dengan tambahan Trastuzumab pada karsinoma Her-2+ (Goldhirsch et al., 2011). Dengan demikian pemeriksaan ER, PR, Her-2 dan proliferasi merupakan pemeriksaan penting yang harus dilakukan dan interpertasi hasil pemeriksaan serta standar hasil positif atau negatif harus dibakukan agar pengelompokan klasifikasi lebih tepat. Estrogen Reseptor (ER) berperan pada regulasi dan diferensiasi sel epitel payudara normal serta tumorigenesis payudara. Kompleks Estrogen dan ER akan berinteraksi dengan elemen estrogen pada inti sel, selanjutnya mengaktivasi gengen target untuk melakukan sintesis protein yang berperan penting pada proliferasi sel. Estrogen juga berperan pada ketidakstabilan genetik, melalui pacuan kerusakan DNA (Deoxyribonucleic acid) akibat radikal bebas dan mutasi (Lippman dan Dickson, 1989). Ekspresi ER pada sel epitel normal sedikit, namun dapat mengontrol proses perkembangan selama pubertas dan kehamilan. Pada penderita kanker payudara, level ER meningkat 30% pada wanita pre menopause dan 60% pada wanita pasca menopause (Huang et al., 2000). Penelitian Pujol et al., 1998 mendapatkan 7 kejadian karsinoma payudara ER positif lebih tinggi pada wanita pasca menopause daripada wanita pre menopause. Penelitian di Yogyakarta mendapatkan bahwa frekuensi penderita karsinoma payudara status ER, PR positif berumur di bawah 40 tahun tidak berbeda dengan penderita umur di atas 60 tahun (Aryandono et al., 2006). Karsinoma payudara dengan ER positif sebagian besar adalah sub-tipe luminal. Karsinoma payudara ER negatif umumnya berasal dari sel non luminal yang mengekspresikan vimentin, p-64 dan smooth muscle actin/ SMA (Rosen, 2009; Kumar 2010). Hormon progesteron juga diketahui berperan pada proses fisiologis payudara seperti laktasi dan kehamilan. Peran progesteron dimediasi oleh reseptornya yaitu Progesteron Receptor (PR) yang berfungsi sebagai faktor transkripsi yang meregulasi ekspresi gen. Regulasi reseptor inti ini dikontrol oleh ada atau tidaknya ligand PR, yang mengatur perannya untuk memacu atau menghambat aktivitas transkripsi. Adanya mutasi atau aberasi ekspresi PR akan mempengaruhi fungsi normal progesteron, sehingga dapat memacu terjadinya proses neoplasma (Gao dan Nawaz, 2004). Pada karsinoma payudara, PR diperkirakan merupakan marker yang lebih baik daripada ER, karena PR merupakan produk dari aktivasi estrogen. Suatu studi epidemiologi menunjukkan bahwa risiko terjadinya kanker payudara pada wanita pasca menopause yang menggunakan estrogen dan progesteron lebih tinggi daripada jika hanya menggunakan estrogen saja (de Vivo et al., 2004). Penelitian Pujol et al., 1998 mendapatkan ekspresi PR lebih rendah pada wanita pasca menopause daripada wanita pre menopause, namun penelitian lain mendapatkan 8 ekspresi PR lebih tinggi pada wanita pasca menopause daripada wanita pre menopause ( Aryandono et al., 2000). Menurut ASCO/CAP (American Society of Clinical Oncology/College of American Pathologists) ada 3 faktor yang harus diperhatikan dalam interpertasi ER, PR. Pertama adalah persentase/ proporsi sel tumor yang tercat positif. Kedua, intensitas warna yang dikelompokan menjadi lemah, sedang, kuat. Ketiga, interpertasi hasil. ER/ PR positif jika ≥ 1% sel tumor tercat positif, ER/ PR negatif jika < 1% sel tumor tercat positif (Hammond et al., 2010). Penelitian Cheang et al., (2006) mendapatkan bahwa karsinoma payudara dengan ER positif > 1% memiliki ketahanan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan karsinoma ER negatif. Menurut penelitian Dunnwald et al., ( 2007), risiko mortalitas penderita karsinoma payudara ER- PR-, ER+PR-, ER-PR+ lebih tinggi dibandingkan dengan penderita ER+ PR+. Frekuensi karsinoma payudara ER+ PR+ sebesar 60% - 63%, karsinoma ER+ PR- sebesar 13-15%%, karsinoma ER- PR+ sebesar 3,5%-4,7%, dan karsinoma ER- PR- sebesar 20-30% (Colditz et al., 2004; Dunnwald et al., 2007). Penderita karsinoma payudara usia tua cenderung bersifat ER+, PR+, sedangkan usia 30-39 tahun cenderung ER-, PR-. Dibandingkan penderita karsinoma payudara ER+ PR+, tingkat kematian penderita karsinoma payudara ER+ PRlebih tinggi sebesar 1,2-1,5%, penderita karsinoma payudara ER- PR+ lebih tinggi sebesar 1,5-2,1% , dan penderita karsinoma payudara ER- PR- lebih tiggi sebesar 2,1-2,6 % (Dunnwald et al., 2007). Prognosis penderita karsinoma payudara ER+ PR+ relatif baik karena responnya yang baik terhadap terapi anti 9 hormonal (Taxieiria et al., 1995; Putti et al., 2005; Rosen, 2009), sedangkan karsinoma payudara dengan ER+ PR-, ER- PR+, ER- PR- prognosisnya lebih buruk karena kurang berespon terhadap terapi anti hormonal, memiliki angka kekambuhan tinggi, serta tingginya kemampuan invasi ke dalam vaskular (Marson et al., 2001; Rochefort et al., 2003, Dunnwald et al., 2007). Status Human epidermal growth factor receptor-2 (Her-2) pada karsinoma payudara berperan penting sebagai nilai prognosis dan prediktif. Her-2 adalah proto onkogen yang menyandi glikoprotein tirosin kinase seberat 185-kDa. Proto onkogen Her-2 terletak pada kromoson 17q dan menyandi suatu reseptor faktor pertumbuhan tirosin kinase trans-membran. Istilah protein Her-2 adalah singkatan dari Human Epidermal growth Factor Receptor, karena substansinya homolog dengan Epidermal growth factor receptor (EGFR) (de Potter, 1994). Pada binatang coba, amplifikasi gen Her-2 telah terbukti berhubungan dengan perkembangan karsinoma payudara. Protein Her-2 merupakan komponen dari empat famili yang erat hubungannya dengan faktor pertumbuhan yaitu EGFR atau Her-1 (erb-B1), Her-2 (erb-B2), Her-3 (erb-B3) dan Her-4 (erb-B4) (Lupu et al., 1995). Abnormalitas gen Her-2 dan proteinnya pada kanker payudara merupakan prediktor resistensi terapi dengan Tamoxifen dan relatif sensitif dengan regimen khemoterapi (Ross dan Fletcher, 1999). Amplifikasi gen Her-2 atau overekspresi protein Her-2 pada kanker payudara sebesar 20-30%. Status Her-2 pada karsinoma payudara dapat ditentukan dengan berbagai teknik seperti gene-based assays seperti Southern dan Slot blotting, metode Polymerase Chain Reaction 10 (PCR) dan yang terbaru adalah hibridisasi in situ dengan teknik fluorescence maupun non flourescence. Metode pengukuran protein Her-2 secara kuantitatif dan kualitatif dapat dilakukan dengan teknik imunohistokimia pada jaringan segar maupun jaringan yang sudah difiksasi, Western blotting dan ELISA (Enzymelinked immunosorbent assay). Metode imunohistokimia merupakan metode yang paling sering digunakan untuk menentukan ekspresi protein Her-2 pada jaringan kanker payudara yang sudah difiksasi formalin. Pemeriksaan tersebut cukup murah, mudah dievaluasi serta memiliki implikasi prognostik dan terapi (Ross dan Fletcher , 1999; Jacobs et al., 2000; Ontilo et al., 2008). Ki-67 adalah suatu protein non histone yang hanya terekspresi pada sel dalam fase proliferasi (G1, S, G2, M). Suatu penelitian membuktikan bahwa down regulation dengan antisense nucleotides dapat mencegah proliferasi sel (Brown dan Gatter, 2002). Ekspresi Ki-67 ditentukan berdasarkan prosentase sel tumor yang intinya tercat positif dengan antibodi anti Ki-67. Nilai cut-off proliferasi sel bervariasi yaitu 10% (Marinho et al., 2008), 13% (Cheang et al., 2009; Fasching et al., 2011) dan 20% (Joensuu et al., 2003), namun penelitian Kim et al., (2012) membuktikan area terluas dari kurva ROC adalah nilai 14% sehingga nilai cut-off yang direkomendasikan untuk indeks proliferasi sel adalah 14%. Karsinoma payudara dengan ekspresi Ki-67 lebih dari 20-50% berisiko tinggi untuk kambuh (Bottini et al., 2001; Erdem et al., 2005). Proliferasi sel berhubungan dengan skor aktivitas mitosis yang berhubungan erat dengan komponen derajat keganasan histologis tumor dan dapat sebagai marker prognosis. Beberapa peneliti menyatakan bahwa indeks proliferasi 11 merupakan faktor prognosis yang baik dan bisa digunakan sebagai metode seleksi untuk pemberian khemoterapi (Dalquen et al., 1997). Penilaian kuantitas ki-67 berkorelasi dengan beberapa parameter prognosis yaitu ukuran tumor, derajat histologis, status ER/ PR, p-53, dan c-erbB-2 (Erdem et al., 2005). Positivitas Ki-67 bervariasi pada karsinoma payudara sebesar 1-45%, dan ada kecenderungan penurunan indeks Ki-67 dengan semakin bertambahnya umur atau pasca menopause. Ki-67 akan meningkat secara progresif dengan berkurangnya diferensiasi sel (Meyer, 1998). Angka kekambuhan dan ketahanan hidup merupakan dasar untuk menentukan prognosis. Faktor-faktor yang berhubungan dengan frekuensi kekambuhan yang tinggi berkorelasi dengan menurunnya ketahanan hidup. Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kekambuhan lokal adalah diagnosis pada umur 40 tahun atau lebih muda, status pre menopause, tumor lebih dari satu fokus, serta komponen intraduktal yang ekstensif. Kekambuhan sistemik berhubungan dengan jumlah metastasis limfonodi, derajat histologis tinggi dan adanya kekambuhan lokal ( Rosen, 2009). Ketahanan hidup setelah kekambuhan dipengaruhi oleh karakteristik tumor primer dan kekambuhan tumor. Rentang nilai median ketahanan hidup setelah kekambuhan adalah 11-37 bulan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan ketahanan hidup pasca kekambuhan yang pendek adalah interval bebas tumor yang pendek, metastasis viseral, tumor ER negatif, ukuran tumor primer besar, adanya metastasis limfonodi pada saat diagnosis ditegakan, serta menopause pada saat awal pengobatan (Vogel et al., 1992). status pre 12 Penyebaran karsinoma payudara dapat melalui berbagai cara yaitu penyebaran secara langsung ke jaringan di sekitarnya, penyebaran ke dalam rongga-rongga tubuh, invasi ke dalam pembuluh darah dan penyebaran melalui vasa limfatika. Invasi sel kanker melalui vasa limfatika kemudian ke jaringan limfonodi merupakan jalur metastasis yang paling sering pada karsinoma payudara. Sel tumor intra limfatika dapat juga secara langsung masuk ke dalam sistem pembuluh darah melalui komunikasi veno-limfatika atau sebaliknya. Tujuh puluh lima persen karsinoma payudara dan 95% karsinoma dengan ukuran besar metastasis ke limfonodi (Pepper, 2001; Harrel et al., 2006; Sundar dan Ganesan, 2007). Proses molekular yang mendasari mekanisme invasi limfatika dan metastasis limfonodi pada karsinoma payudara sampai saat ini masih belum jelas. Belum diketahui apakah vasa limfatika yang ada sudah cukup berperan dalam proses metastasis atau proses tersebut masih membutuhkan limfangiogenesis (pembentukan vasa limfatik baru) atau hanya dilatasi vasa limfatika yang sudah ada. Masih belum diketahui pula bagaimana signifikansi antara limfatika intra dan peritumoral, karena diperkirakan bahwa vasa limfatika intratumor tidak ada. Vasa limfatika pada stroma peri tumor yang dianggap berperan penting pada proses metastasis (El-Ghohary et al., 2008). Limfangiogenesis adalah pembentukan saluran limfe baru secara de novo dari sel progenitor endotel dari sumsum tulang/ limfangioblas. Limfangiogenesis diperlukan untuk metastasis sel karsinoma melalui pembuluh limfe dan selanjutnya ke limfonodi. Metastasis limfogen cenderung terjadi pada karsinoma 13 stadium lanjut dan derajat histologis buruk, karena pada karsinoma tersebut proliferasi sel berat sehingga terjadi hipoksia. Keadaan hipoksia akan memacu hypoxia inducible factor-1 (HIF-1α), suatu regulator homeostasis oksigen di dalam sel, yang bersifat stabil karena berdimerisasi dengan HIF-1β. Selanjutnya kompleks tersebut berikatan dengan hypoxia element response (HER) dan mengaktifkan gen VEGF (Vasculo Endothelial Growth Factor), termasuk gen VEGF-C yang berperan penting untuk memproduksi protein VEGF-C (Okada et al., 2005; El-Ghohary et al., 2008). VEGF-C berikatan dengan reseptornya, VEGFR-3, akan memacu proliferasi, maturasi dan diferensiasi sel endotel limfatika, sehingga terbentuk vasa limfatika baru atau dikenal sebagai kepadatan limfovaskular. Kepadatan limfovaskular yang tinggi memacu sel tumor untuk invasi ke pembuluh limfe baru dan selanjutnya metastasis ke limfonodi. Pembuluh limfe yang baru cenderung mempunyai dinding yang lebih tipis dan sedikit sel perisit sehingga memudahkan sel karsinoma untuk metastasis. Proses tersebut juga dipengaruhi oleh sitokin yang dihasilkan oleh sel tumor, misalnya CXCR 12 dan CCL21, yang memudahkan sel kanker invasi ke pembuluh limfe (Cabioglu et al., 2005). Sampai saat ini masih belum jelas apakah pada metastasis, limfangiogenesis merupakan proses aktif atau sel tumor secara pasif masuk bersamaan dengan cairan intersisiil dan protein ke dalam pembuluh limfe yang sudah ada (Yavuz et al., 2005; Sundar dan Ganesan, 2007; El-Ghohary et al., 2008). Pada limfangiogenesis VEGF-C yang diproduksi oleh sel kelenjar normal, makrofag, sel stroma dan sel kanker. Pada berbagai kanker, VEGF-C terekspresi kuat pada 14 sel tumor sebesar 30%- 83,7% (Yonemura et al., 1994; Nakamura et al., 2003; Ogawa et al., 2004; Schoppmann et al., 2006; Zhang et al., 2008). Pada karsinoma payudara, ekspresi VEGF-C meningkat pada invasi kanker ke pembuluh limfe sebelum metastasis ke limfonodi, dan ekspresinya menurun setelah kanker metastasis ke limfonodi (Teramoto et al., 2008). Peran VEGF-C pada limfangiogenesis melalui ikatannya dengan reseptor VEGFR-3 pada permukaan sel endotel dan selanjutnya akan memacu migrasi dan proliferasi sel endotel pembuluh limfe (Yonemura et al., 1999; Nathanson et al., 2000). Pada lesi kulit melanositik jinak, ekspresi VEGFR-3 terbatas pada sel endotel pembuluh limfe. Pada melanoma yang berpotensi metastasis, ekspresi VEGFR-3 meningkat jelas pada pembuluh darah baru intratumoral (Clarijs et al., 2002). Pada jaringan payudara normal dan fibroadenoma, ekspresi VEGFR-3 sel endotel limfe lemah sedangkan pada karsinoma payudara ekspresi VEGFR-3 prominen. Penelitian pada cell line endotel pembuluh limfe membuktikan bahwa bloking VEGFR-3 dapat menghambat migrasi sel-sel tersebut (Timoshenko et al, 2007). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ekspresi VEGFR-3 tidak hanya terbatas pada sel endotel limfe namun juga terekspresi pada sitoplasma sel tumor dan sel mioepitel kelenjar (Saaristo et al., 2000; Jayasinghe et al., 2009, Botting et al., 2010). Adanya ekspresi VEGFR-3 pada sel tumor dan sel endotel limfe menunjukkan adanya sinyal parakrin antar sel yang berperan pada permiabilitas pembuluh limfe dan proses metastasis (Valtova et al., 1999). Hubungan antara pada karsinoma VEGF-C dengan beberapa parameter klinikopatologis payudara masih kontroversi, namun terbukti bahwa 15 limfangiogenesis pada karsinoma payudara lebih banyak daripada jaringan payudara normal. VEGF-C dilaporkan merupakan marker prognosis metastasis ke limfonodi dan ketahanan hidup pada kanker payudara (Kinoshita et al., 2001; Nakamura et al., 2003), namun penelitian lain tidak mendapatkan hubungan bermakna antara ekspresi VEGF-C dengan metastasis limfonodi, stadium, derajat histologis, status ER, ekspresi Her-2 dan metastasis jauh (Yavuz et al., 2005; Cunnick et al., 2008). Penelitian pada 122 lesi payudara yang terdiri dari: karsinoma stadium awal dan lanjut, normal, tidak mendapatkan lesi inflamasi serta jaringan payudara adanya korelasi bermakna antara ekspresi ER dengan level VEGF-C plasma maupun ekspresi VEGF-C pada sel tumor (Yang et al., 2002; Hoar et al., 2003). Pada karsinoma kolorektal, ovarium dan head and neck, ekspresi VEGF-C merupakan faktor prognosis baik (Beasly et al., 2002; Furudoi et al., 2002, Yokoyama et al., 2003), sedangkan pada kanker payudara ekspresi VEGF-C merupakan marker prognosis buruk (Kinoshita et al., 2001; Nakamura et al., 2003). Penelitian tentang ekspresi VEGFR-3 pada karsinoma payudara belum banyak dilakukan. Penelitian Filho et al., (2005) mendapatkan bahwa ekspresi VEGFR-3 sel karsinoma payudara tidak berkorelasi dengan ukuran tumor, status limfonodi dan status ER. Pada karsinoma servik uteri dan prostat, ekspresi VEGFR-3 berhubungan dengan metastasis limfonodi, derajat histologis buruk dan prognosis buruk (Li et al., 2004; Botting et al., 2010). Limfangiogenesis diketahui dari kepadatan limfovaskular atau LymphoVascular density (LVD) yang dapat dideteksi dengan marker spesifik D2-40, yaitu 16 suatu antibodi monoklonal IgG2a terhadap membran onkofetal AgM2A. Antibodi D2-40 mendeteksi epitope pada 40 kDa O-linked sialoglyco-protein yang terekspresi pada sel endotel pembuluh limfe tetapi tidak terekspresi pada sel endotel pembuluh darah, serta dapat dipakai untuk menentukan limfangiogenesis terutama pada jaringan yang sudah difiksasi formalin. Dengan demikian D2-40 merupakan marker limfatik baru yang dapat membedakan antara mikrovaskular dan limfovaskular (Zhang et al., 2008). Pada tumor solid seperti kanker payudara, limfovaskular intra tumor masih kontroversi. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa tumor solid tidak mengandung vasa limfatika intra tumor sehingga metastasis hanya melalui vasa limfatika peri tumor, namun penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa tumor solid juga mengandung vasa limfatika intra tumor yang nampaknya juga berperan pada invasi dan metastasis sel kanker. Kepadatan limfovaskular biasanya dihitung pada area hot spot, yaitu area di sekitar sarang-sarang tumor yang paling banyak mengandung pembuluh limfe (El-Ghohary et al., 2008). Peran kepadatan limfovaskular sebagai prediktor metastasis limfonodi dan hubungannya dengan beberapa parameter klinikopatologis karsinoma payudara masih kontroversi. Penelitian Schoppmann et al., (2004) mendapatkan kepadatan limfovaskular intra tumor sangat jarang, sedangkan kepadatan limfovaskular peri tumor tidak berkorelasi dengan status ER, ukuran tumor, tipe histologis serta risiko terjadinya metastasis limfonodi. Hasil penelitian Xie et al., (2008) mendapatkan bahwa limfatika peri tumor berkorelasi dengan metastasis limfonodi dan ekspresi VEGF-C. Menurut El-Gohary et al., (2008) kepadatan 17 limfovaskular peri dan intra tumor berkorelasi dengan derajat pleomorfisme inti, derajat histologis dan invasi angiolimfatik., namun tidak berkorelasi dengan status ER dan PR. Meningkatnya kepadatan limfovaskular telah diteliti berhubungan dengan meningkatnya kejadian invasi tumor limfovaskular. Nilai prognosis invasi limfovaskular (Lymphovascular invasion/ LIV) ditentukan dari adanya emboli sel kanker dalam pembuluh limfe. Hubungan antara invasi limfovaskular dengan beberapa parameter klinikopatologis masih kontroversi. Penelitian pada karsinoma payudara mendapatkan bahwa invasi limfovaskular berkorelasi dengan umur, ukuran tumor, status menopause dan status limfonodi (Tezuka et al., (2007). Penelitian lain mendapatkan invasi tumor limfovaskular juga berkorelasi positif dengan derajat histologis tinggi, ekspresi Ki-67 tinggi dan adanya makrometastasis, namun invasi limfovaskular berkorelasi terbalik dengan status ER dan PR. Status Her-2 tidak berkorelasi dengan invasi tumor dan status limfonodi (Marinho et al., 2008). Beberapa penelitian lain tidak mendapatkan adanya korelasi antara invasi limfovaskular dengan status ER, PR, Her-2, tipe histologis, derajat pleomorfisme inti dan kekambuhan tumor (Schoppmann et al., 2004; Tezuka et al., 2007). Hubungan antara limfangiogenesis dan invasi tumor limfovaskular dengan ketahanan hidup dan kekambuhan penderita karsinoma payudara masih belum jelas. Penelitian Kinoshita et al., (2001) menunjukkan bahwa limfangiogenesis berkorelasi negatif dengan ketahanan hidup, sedangkan menurut Nakamura et al., (2003) limfangiogenesis merupakan faktor prognosis ketahanan hidup yang 18 panjang pada penderita karsinoma payudara. Penelitian Mohammed et al., (2007) dan Zhang et al., (2008) juga mendapatkan makin tinggi limfangiogenesis makin rendah disease free survival dan overall survival. Penelitian tentang limfangiogenesis dan kepadatan limfovaskular pada berbagai sub-tipe molekular karsinoma payudara telah dilakukan oleh Raica et al., (2011), namun belum ada penelitian yang menghubungkan dengan ketahanan hidup dan kekambuhan penderita. Saat ini telah banyak dilakukan penelitian tentang terapi anti limfangiogenesis untuk menghambat pertumbuhan, invasi dan metastasis kanker. Beberapa terapi anti kanker dengan target antiangiogenik secara langsung sasarannya adalah VEGF pathway, karena tahap tersebut merupakan tahap penting pada patogenesis limfangiogenesis dan pengaruhnya pada faktor pertumbuhan sel endotel pembuluh darah. Target lain adalah pada ligand dan reseptornya (domain tirosin kinase ekstra maupun intraselular) pada level protein maupun mRNA. Hambatan regulasi VEGF pada aksis VEGF-C/ VEGFR-3 pada binatang percobaan dapat menghambat limfangiogenesis dan metastasis limfonodi. Bloking VEGFR-3 dengan inhibitor tertentu pada tikus, dapat menghambat pembentukan vasa limfatik baru. Strategi anti angiogenesis lain adalah dengan memblok antibodi atau molekul yang berkompetisi dengan VEGF-C/ VEGFR-3, terapi gen untuk menghambat limfangiogenesis, inhibitor molekul tirosin kinase, dan inhibitor faktor-faktor limfangiogenesis lainnya (Pepper, 2001; Sundar dan Ganesan, 2007). Dengan demikian peran limfangiogenesis dan invasi limfovaskular pada kanker payudara penting untuk 19 diteliti, agar terapi, prognosis dapat ditentukan lebih pasti dan dapat sebagai dasar dikembangkannya marker limfangiogenesis dan invasi limfovaskular sebagai faktor prognosis pertumbuhan, invasi dan metastasis. B. Permasalahan Penelitian Berdasarkan latar belakang, disusun permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah faktor klinikopatologis (usia, derajat histologis, ukuran, metastasis limfonodi, stadium), limfangiogenesis (ekspresi VEGF-C, ekspresi VEGFR-3, kepadatan limfovaskular) dan invasi tumor limfovaskular berhubungan dengan ketahanan hidup dan kekambuhan penderita karsinoma payudara ? 2. Apakah faktor klinikopatologis (usia, derajat histologis, ukuran, metastasis limfonodi, stadium), limfangiogenesis (ekspresi VEGF-C, ekspresi VEGFR-3, kepadatan limfovaskular) dan invasi tumor limfovaskular berhubungan dengan ketahanan hidup dan kekambuhan penderita karsinoma payudara sub-tipe luminal dan non luminal? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui hubungan antara faktor klinikopatologis ( usia, derajat histologis, ukuran, metastasis limfonodi, stadium) , limfangiogenesis (ekspresi VEGF-C, ekspresi VEGFR-3, kepadatan limfovaskular) dan invasi tumor limfovaskular dengan ketahanan hidup dan kekambuhan penderita karsinoma payudara. 20 2. Mengetahui hubungan antara faktor klinikopatologis (usia, derajat histologis, ukuran, metastasis limfonodi, stadium) , limfangiogenesis (ekspresi VEGF-C, ekspresi VEGFR-3, kepadatan limfovaskular) dan invasi tumor limfovaskular dengan ketahanan hidup dan kekambuhan penderita karsinoma payudara sub-tipe luminal dan non luminal. D. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini berguna untuk menentukan nilai prognosis yang paling bermakna terhadap limfangiogenesis dan invasi tumor limfovaskular pada penderita karsinoma payudara sub-tipe luminal dan non luminal. 2. Penentuan nilai prognosis ini berguna untuk menetapkan terapi yang lebih tepat berdasarkan keberadaan limfangiogenesis dan invasi tumor limfovaskular pada penderita karsinoma payudara sub-tipe luminal dan non luminal. 3. Penelitian ini diharapkan menjadi dasar penelitian lebih lanjut tentang terapi anti limfangiogenesis, sehingga invasi dan metastasis limfogen karsinoma payudara dapat dihambat. E. Keaslian Penelitian Nilai prognosis limfangiogensis, invasi tumor limfovaskular digabung dengan stadium dan derajat histologis pada karsinoma payudara berguna dalam penentuan pengelolaan dan prognosis pada karsinoma payudara dengan status hormonal tertentu. Penentuan nilai limfangiogenesis, invasi tumor limfovaskular, stadium dan prognosis derajat 21 histologis terhadap ketahanan hidup dan kekambuhan pada penderita karsinoma payudara dengan berbagai sub-tipe molekular sampai saat ini masih kontroversi. Penelitian Marinho et al. (2008); menghubungkan invasi tumor limfovaskular Gurleyik et al. (2007) dengan faktor prognosis morfologi (dengan pengecatan Hematoksilin Eosin) dan molekular (meliputi status ER/PR, E-cadherin, Ki-67 dan ekspresi Her2-neu). El-Ghohary et al. (2008) meneliti signifikansi nilai prognosis kepadatan limfovaskular intra dan peri tumor pada karsinoma payudara dihubungkan dengan stadium, derajat histologis, status ER/PR dan Her2neu serta ketahanan hidup. Nakamura et al. (2003) meneliti signifikansi faktor klinikopatologis VEGF-C sel tumor pada karsinoma payudara yang dievaluasi sampai 230 bulan. Penelitian ini menghubungkan antara ekspresi VEGF-C sel tumor dengan metastasis limfonodi dan ketahanan hidup penderita. Penelitian Filho et al. (2005) meneliti hubungan antara ekspresi VEGFR-3 dengan beberapa parameter klinikopatologis pada 77 penderita karsinoma payudara. Schoppmann et al. (2004) meneliti nilai prognostik limfangiogenesis dan invsasi tumor limfovaskular dengan parameter klinikopatologis dan prognosis penderita karsinoma payudara. Penelitian karsinoma payudara berdasarkan sub-tipe molekular sudah dilakukan oleh beberapa peneliti yaitu: Rouzier et al., (2005) menghubungkan dengan respon terapi pre operatif, Campbell et al., (2011) menghubungkan dengan jumlah makrofag intra dan peri tumor, Onitilo et 2 al., (2008) dan Blows et al., (2010) menghubungkan dengan beberapa faktor klinikopatologis dan ketahanan hidup serta kekambuhan. Penelitian tentang limfangiogenesis pada karsinoma payudara dengan berbagai sub-tipe molekular telah dilakukan oleh Raica et al., (2011). Penelitian lainnya menunjukkan bahwa VEGF-C, VEGFR-3 berperan pd limfangiogenesis, namun perannya sebagai prediktor metastasis limfonodi masih kontroversi (Bando et al. 2006; Mylona et al.2007; Gisterek et al. 2007). Sampai saat ini penelitian gabungan antara faktor klinikopatologis, limfangiogenesis dan invasi tumor dihubungkan dengan ketahanan hidup dan kekambuhan penderita sub-tipe luminal dan non luminal belum ada. Pada penelitian ini diteliti nilai prognosis klinikopatologis, dengan limfangiogenesis dan invasi tumor limfovaskular terhadap ketahanan hidup dan kekambuhan penderita karsinoma payudara sub-tipe luminal dan non luminal. Nilai prognosis tersebut diharapkan dapat menentukan penderita karsinoma payudara kelompok risiko tinggi (sub-tipe non luminal) dan kelompok risiko rendah (sub-tipe luminal).