studi kasus komunitas usaha bordir keluarga di Kecamatan Gebog

advertisement
BAB ENAM
GUS-JI-GANG SEBAGAI KEUTAMAAN
HABITUS DI KABUPATEN KUDUS
Pendahuluan
Keutamaan merupakan acuan sikap manusia terhadap hukum
moral yang didasarkan atas keputusan bebasnya, maka menjadi
semangat dan sikap batinnya. Karenanya, keutamaan merupakan
sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki dan yang tidak dipaksa, maka
tidak dapat dibuat begitu saja, misalnya seseorang hendak
menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat. Menurut Magnis
Suseno1, keutamaan pertama-tama adalah sebagai istilah deskriptif
tentang sikap mental. Namun karena dalam melakukan pekerjaan atau
profesi, dagang misalnya (keutamaan pedagang) diharapkan bahkan
dituntut adanya sikap tertentu dan karena menilai sikap-sikap tertentu
sebagai tidak memadai. Keutamaan mendapat arti normatif, yaitu
sebagai sikap kehendak yang dituntut agar dikembangkan. Menuntut
suatu keutamaan, mengandung kritik atau memuat tuduhan bahwa
nilai-nilai moral yang berlaku dalam kehidupan atau sebagai budaya,
mengandung kehendak yang kurang baik. Karenanya, pihak yang
menuntut keutamaan ini tahu bagaimana orang lain harus bersikap
supaya menjadi manusia baik.
Proses ditemukannya identitas keutamaan Gus-ji-gang bagi
masyarakat Kudus dalam melakukan aktivitas berdagang, di satu pihak
tidak dibawa sejak lahir tetapi diperoleh melalui proses yang kompleks
dalam dunia kehidupannya atau pada budaya Jawa di Kudus sesuai
pada masanya. Kompleksitas memperoleh keutamaan, menurut
K.Bertens2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan
tidak bisa diperoleh dengan hanya membaca buku-buku, instruksi, atau
203
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
mengikuti kursus saja. Namun, menurut Sonny Keraf3, metode reflektif
kritis merupakan bagian penting untuk menentukan berbagai pilihan
keutamaan sebagai cara bersikap dan bertindak benar atau baik secara
moral tentang tiga hal. Pertama, sesuai atau tidaknya keberlakuan
norma dan nilai moral yang diberikan oleh adat-istiadat (etika dan
moralitas) dalam situasi konkret pada masa kehidupannya. Kedua,
masalah tersebut terhadap situasi khusus yang dihadapi dengan
keunikan dan kompleksitasnya. Ketiga, terhadap paham yang dianut
oleh manusia atau kelompok masyarakat tentang apa saja: tentang
manusia, Tuhan, alam, masyarakat dengan sistem sosial-politiknya atau
sistem ekonomi, kerja, dan sebagainya.
Dari proses sampai tindakan Gus-ji-gang yang mengalir dalam
jiwa masyarakat Kudus, habitus pada pengusaha bordir menurut
Bourdieu (1977) menggambarkan sebagai habitus dalam 3 hal, yaitu (1)
matrix of perception atau matrix persepsi; (2) appreciations atau
apresiasi; dan (3) action atau tindakan. Pada ranah persepsi, habitus
merupakan dasar seseorang dalam berpikir dan mempersepsikan
sesuatu, misalnya banyaknya bordir baik produksi Tasikmalaya dan
daerah lain, serta bordir dari Tiongkok dan Korea. Persepsi terhadap
hal ini sangat tergantung pengetahuan terkait dengan nilai dan praktik
yang dimiliki dan terbangun lama dan terkait erat dengan latar
belakang aktor (pengusaha bordir) secara historis. Dari ranah persepsi
mengalir pada ranah apresiasi maka habitus menjadi tempat berpikir,
bertindak dan menentukan bagaimana mengapresiasi sesuatu dengan
mengembangkan kekuatan-kekuatan produk bordir. Pada ranah
tindakan, habitus merupakan basis bagi individu untuk melakukan aksi
yaitu mengembangkan bordir Icik yang memiliki nilai jual tinggi.
Tiga hal tersebut akan saling terintegrasi yang merupakan
cerminan dari habitus seseorang. Secara prinsip persepsi, apresiasi, dan
tindakan memiliki kecenderungan yang berbeda-beda pada setiap
pengusaha bordir dalam menyelesaikan persepsi untuk kemajuan usaha
bordir karena tergantung pada latar belakang masing-masing individu.
204
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
Penjelasan tersebut mengimplikasikan maksud untuk
memahami Gus-ji-gang dan habitus Bourdieu (1977) sebagai
keutamaan dagang Jawa di Kudus yang dapat dianalisis dengan teori
kritis4 terhadap nilai-nilai moral budaya Jawa tentang tiga hal.
Pertama, kebaikan tingkah laku sama dengan kebagusan moral
mengacu pada kata “gus” dikembangkan pemahamannya melalui
internalisasi sebagai proses pembelajaran (learning) seperti dimaksud
pada kata “ji” dalam satu kesatuan pengalaman keagamaan yang
menentukan ciri khas keutamaan moral. Ciri khasnya diobyektifikan
melalui cara bersikap baik dalam pergaulan melalui prinsip hormat dan
rukun5 kepada sesamanya baik bagi pandangan dunia atau sebagai
pendapat umum. Proses internalisasi dengan nilai moral hormat dan
rukun ini searah maksudnya pada habitus Bourdieu sebagai kekuatan
social capital. Kedua, obyektifikasi keutamaan moral pada hormat dan
rukun tersebut sebagai acuan cara bersikap kekeluargaan atau
bergotong-royong baik di pemikiran atau tindakan (teknis
pelaksanaan)6 dalam realitas sosial 7 Jawa yang modern atau sesuai di
masanya. Ketiga, acuan teknis obyektifikasi keutamaan moral yang
kedua itu dipahami sebagai keutamaan social capital dagang Jawa di
Kudus. Analisis tiga hal itu dimaksudkan untuk memahami bahwa,
antara keutamaan moral sebagai proses internalisasi dengan dunia
kehidupan sebagai proses ekternalisasi atau realitas sosial Jawa
(khususnya di Kudus) sebagai sumber social capital merupakan satu
kesatuan yang saling mempengaruhi terhadap perubahan cara bersikap
dan bertindak secara terus-menerus (dinamis) baik pada tataran
pemikiran pedagang atau cara pelaksanaannya yang sesuai (modern)
dan berlaku di masanya. Social capital, dapat dibangun secara spontan
setiap saat oleh pelaku-pelaku siapa pun (termasuk komunitas
pengusaha bordir di Kudus) yang menjalankan kehidupan sehari-hari.
Merujuk pada pemikiran para ahli, seperti Arrow (dalam
Dasgupta ed, 2000) dan Krishna serta Rose (dalam Dasgupta, 2000)
maupun Robison (2002) dalam Lawang (2005) menjelaskan bahwa
social capital memang tidak dapat dipegang atau dilihat (intangible),
tetapi pada dasarnya dapat dimetaforakan sebagai benda, sehingga
205
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
dapat diperbanyak, ditambah dan dilihat sebagai stock barang. Namun
ada pandangan yang berbeda dari Anderson (2002) yang menyatakan
bahwa, social capital itu adalah “proses yang menciptakan suatu
kondisi untuk pertukaran informasi dan sumber secara efektif”.
Pandangan ini menunjukkan pada fungsi memperlancar (lubricant)
dan fungsi mempererat (glue) ikatan-ikatan sosial dalam sistem
produksi dan perdagangan.
Nilai-nilai Moral Budaya Jawa dalam Kehidupan Komunitas
Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir
Sonny Keraf (2002) menjelaskan, harfiahnya etika maupun
moralitas sama-sama berarti adat-kebiasaan hidup yang baik,
diwariskan dan atau dilestarikan melalui agama atau kebudayaan serta
dianggap sebagai sumber prinsip nilai moral atau norma moral yang
baku dan dianut oleh masyarakat sebagai tradisinya8.
Hal itu seperti dalam penjelasan Peursen dan Geertz tentang
hakikat kebudayaan. Menurut Peursen (1976), hakikat kebudayaan
sama dengan hakikat manusia. Kebudayaan pada dasarnya merupakan
endapan dari berbagai kegiatan serta karya manusia9. Geertz (1965)
menjelaskan, kebudayaan adalah, susunan dinamisnya ide-ide dan
aktivitas-aktivitas yang saling berhubungan dan mempengaruhi satu
sama lain secara terus-menerus10, karenanya, sebelum menganalis tiga
hal tersebut diperlukan pemahaman karakteristik budaya Jawa dalam
kontruksi teoritis para ahli sebagai kekuatan modal hubungan sosial
pedagang di Kudus. Gunawan S. (2003) menjelaskan bahwa, para ahli
kebudayaan, baik yang dari luar atau yang ada dalam negeri11, pada
prinsipnya mereka memiliki kesamaan dalam memandang inti nilainilai moral budaya Jawa “yang diidealkan” atau budaya Jawa yang
dipikirkan. De Jong (dalam Endraswara, 2006) mengemukakan unsur
sentral kebudayaan Jawa (termasuk Kudus) adalah sikap rilla (rela),
nrima (menerima), dan sabar. Hal ini akan mendasari segala gerak dan
langkah orang Jawa dalam segala pesoalan. Rela yang disebut juga iklas
yaitu kesediaan menyerahkan segala milik, kemampuan dan hasil karya
206
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
kepada Tuhan. Nrima berarti merasa puas dengan nasib dan kewajiban
yang telah ada, tidak memberontak, tapi mengucapkan matur nuwun
(terima kasih). Sabar menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan nafsu
yang bergolak.
Kesamaan pandangan mereka dapat ditarik sebagai central
concept (inti konsep) budaya Jawa yang terakulturasi dengan agama
Islam yang terinternalisasi pada kehidupan masyarakat pada umumnya
(pendapat umum) dalam paparan berikut: Pertama, budaya Jawa
mendasarkan diri kepada kehidupan sosial harmonis. Biasanya
disebutkan bahwa budaya Jawa adalah anti-konflik karena di dalamnya
mempunyai tujuan ideal bahwa dunia ini harus ditata secara harmonis
baik antara jagad cilik (jiwa, pikiran, hati nurani manusia) maupun
jagad gede (komunitas, masyarakat). Berbagai cara untuk menjaga atau
menuju kehidupan harmonis ini, terutama dengan sikap toleransinya.
Budaya Jawa adalah budaya yang paling memberi tempat bagi
perbedaan sebagai kekayaan yang harus dipupuk bersama. Kedua,
budaya dalam konteks modern yang struktural fungsional, dengan
asumsi bahwa setiap orang atau lembaga memiliki tempat masingmasing dan ia harus berperilaku atau bekerja sesuai dengan tempat
keberadaannya tersebut. Pemahaman tentang “tempat” bukanlah
pemahaman mati atau mutlak, tetapi sebagai yang kondisional dan
relatif. Ketiga, budaya Jawa menghargai hal-hal atau nilai-nilai yang
bersifat transendental. Sifat transenden itu dilatarbelakangi oleh
keyakinan bahwa hidup selalu bergantung pada Tuhan Yang Maha
Kuasa12.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka nilai-nilai moral Gus-jigang yang terdiri dari saling keterkaitan antara kebagusan tingkah laku
(ahklak mulia) dan dengan proses pembelajaran (internalisasi) serta
dengan pengalaman keagamaan, mesti dianalisis terkait dengan
karakteristik budaya Jawa. Memahami obyektivikasi nilai-nilai moral
Gus-ji-gang yang ditunjukkan dengan cara bersikap baik dalam
pergaulan melalui prinsip hormat dan rukun kepada sesama dengan
mengacu pada pandangan dunia Jawa atau sebagai pendapat umum
menurut konstruksi teoritis para ahli. Prinsip hormat dan rukun telah
207
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
diteliti oleh
Geerts (1981) maupun oleh Suseno (1984) yang
menyimpulkan bahwa, setiap anggota masyarakat menyadari kaidah
tersebut sebagai prinsip hidupnya. Setiap perbuatan senantiasa
mengacu kepada kaidah tersebut. Setiap anggota masyarakat yang
menyadari akan kejawaanya senantiasa menjaga situasi rukun dan
berusaha untuk menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya.
Nilai-nilai moral pada sisi lain juga memahami Gus-ji-gang dan
habitus Bourdieu sebagai dasar pembentukan dan penguatan social
capital dagang industri kecil dalam kesatuan central concept budaya
Jawa yaitu harmonis, struktural fungsional dan transendental yang
uraiannya masing-masing antara lain sebagai berikut:
Harmonis
Karakteristik inti pandangan harmonis adalah, menciptakan
dan menjaga kesesuaian atau keselarasan hubungan antara manusia,
masyarakat dan dengan alam. Ketiganya merupakan satu sistem yang
disebut “pandangan dunia Jawa”. Tolok ukur arti pandangan dunia bagi
orang Jawa adalah nilai pragmatisnya agar tercapai keadaan psikis
tertentu yaitu ketenangan, ketentraman, dan keseimbangan batin.
Karenanya, maksud pandangan dunia ini tidak hanya terbatas bagi
agama-agama formal dan mitos, tetapi juga seperti yang dimaksud
dalam istilah kejawen13. Kejawen merupakan suatu konsep hidup yang
melingkupi lahir batin material spiritual yang merupakan kepercayaan
tentang pandangan hidup yang diwariskan para leluhur yang dianut
oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa.
Pandangan hidup orang Jawa atau filsafat Jawa terbentuk dari
gabungan alam pikir Jawa tradisional, kepercayaan Hindu atau filsafat
India, dan ajaran tasawuf atau mistik Islam (Abdul Aziz, 2011).
Niels Mulder menjelaskan, kejawen sebagai cap deskriptif bagi
unsur-unsur kebudayaan Jawa atau sebagai yang khas Jawa.14 Kejawen
pada dasarnya merupakan “suatu sikap khas” terhadap kehidupan
sebagai sikap mental untuk mengatasi perbedaan agama.15 Sikap mental
kejawen antara lain condong kepada sinkretisme16 dan toleransi
keduanya merupakan dasar sikap baik yang dapat menciptakan sikap
208
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
hormat terhadap berbagai ungkapan religius (agama formal) dalam
mewujudkan kesatuan hidup Jawa17. Para pengkaji dari luar negeri dan
orang-orang Jawa yang terdidik semakin bersepaham mengenai
sebutan sinkretisme dan meresapnya sikap toleransi bagi masyarakat
Jawa ini18.
Mencermati pengertian sinkretisme dan toleransi bagi kejawen
tersebut menunjukkan adanya cara bersikap hormat dan rukun kepada
sesamanya dengan nilai-nilai moralnya seperti, merasa sesuai dengan
orang lain maka, bersedia saling kerja sama, dan bersabar dalam
perbedaan keyakinan atau pengalaman keagamaan. Nilai-nilai moral
kejawen itu sebagai habitus Bourdieu yang mendasari pembentukkan
social capital dalam kesatuan tiga central concept budaya Jawa yang
utama yaitu harmonis. Obyektivikasi nilai-nilai moral itu juga implisit
dalam pemahaman habitus Bourdieu. Menurutnya, habitus merupakan
kekuatan social capital yang ditentukan oleh berbagai akumulasi nilai
dan beragam tipe dari aspek sosial, budaya, kelembagaan dan aset yang
tidak terlihat yang mempengaruhi perilaku kerja sama19. Fukuyama
juga lebih menjelaskan bahwa, norma dan nilai bagiannya social capital
kekuatan habitus yang di dalamnya terdapat hubungan saling percaya
sebagai nilai moralnya perilaku jujur dan dapat menciptakan
kehidupan yang harmonis dan dinamis20. Nilai-nilai moral kejawen itu,
di satu sisi sebagai acuan teoritis habitus Bourdieu, namun pada sisi
lainnya memerlukan obyektivikasi dengan identifikasi21 terhadap para
ahli atau tokoh Jawa yang pernah mempraktikkan nilai-nilai moral itu
sebagai acuan contoh teknis pelaksanaan dan merasakan baik bagi
dunia kehidupan atau realitas sosial Jawa yang sesuai di masanya.
Mencermati identifikasi itu, maka dalam Gus-ji-gang
mengimplikasikan suatu kekuatan moral22 yang diobyektivisikan dalam
dunia kehidupan Jawa dengan keutamaan moral yang sesuai pada
masanya. Keutamaan moralnya adalah sepi ing pamrih23 adapun
kekuatan moralnya yaitu bersikap integrasi24 dan tujuan utamanya
terungkap pada kalimat aja mitunani wong liya (jangan merugikan
orang lain). Menurut Magnis Suseno, aja mitunani wong liya
merupakan norma moral terpenting atau prinsip dasarnya etika sosial
209
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Jawa25. Mencermati makna sikap integrasi itu maka maksud utamanya
yaitu, agar pihak-pihak yang terlibat di dalamnya merasa terjalin dalam
satu pola kekeluargaan Jawa yang saling kasih (tresno) sehingga
tercipta suasana yang harmonis. Maksud makna itu searah dengan
Niels Mulder26 yang menjelaskan, tujuan sikap integrasi dengan
kekuatan moral aja mitunani wong liya adalah, manusia hendaknya
selalu bersikap baik satu sama lain, saling membuat bahagia, dan tidak
saling mengganggu. Nilai-nilai moral tata krama Jawa yang
ditunjukkan dalam sikap hormat dan rukun justru sebagai usaha untuk
menghasilkan suasana yang harmonis itu.
Mencermati berbagai penjelasan identifikasi tersebut maka
dalam Gus-ji-gang juga dapat mengimplikasikan dua kebaikan nilai
moral. Pertama, kebagusan tingkah laku sebagai tata krama Jawa
diimplementasikan melalui caranya bersikap hormat dan rukun
terhadap sesama. Kebaikan nilai moralnya terkandung di keutamaan
moral sepi ing pamrih dengan kekuatan moralnya aja mitunani wong
liyan yang melahirkan sikap toleransi dalam masyarakat modern yang
disebut pluralisme modern27. Sebutan terakhir itu merupakan kritik
atau sebagai pembaharu pluralisme tradisional28. Kedua, mengimplikasi
kebaikan tindakan moral29 yang berprinsip sikap baik30 terhadap apa
saja dan siapa saja.
Acuan teknis obyektivikasi maksud sikap tersebut dalam tata
krama Jawa melalui bersikap hormat31dan rukun yang sesuai dengan
alam modern. Suseno (2005) menjelaskan, sikap baik atau hormat
terhadap apa saja dan siapa saja merupakan moral berharga bagi
perkembangan masyarakat yang mendorong ke arah kejujuran dan
sikap bakti nyata terhadap masyarakat. Dalam sikap itu terkandung
ajaran atau anjuran agar bersikap menahan diri, toleransi, tidak
memaksakan kehendak, serta menerima dengan simpati hukum dan
irama perkembangan dari apa yang ada. Sikap hormat ini juga
merupakan prasyarat sikap-sikap khas yang manusiawi seperti
mengagumi, memahami nilai-nilai estetis, serta peduli (bersimpati).
Berbagai sikap itulah yang telah mendasari semangat umat manusia
mencapai prestasi-prestasi tertinggi dalam bidang ilmu pengetahuan,
210
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
seni, dan kemanusiaan32. Berdasarkan pada penjelasan itu maka
bersikap hormat terhadap apa saja dan siapa saja dapat dijadikan
sebagai acuan pertama untuk menganalisis Gus-ji-gang dan habitus
Bourdieu sebagai keutamaan social capital bagi komunitas industri
kecil di Kudus yang akan dibahas pada sub-bab berikutnya.
Suseno (2001) menjelaskan, apa yang terkandung dalam prinsip
hormat tersebut juga berlaku bagi prinsip kerukunan33. Prinsip
kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam
keadaan yang harmonis. Keadaan semacam itu disebut rukun. Rukun
menurut Niels Mulder (1978) berarti “berada dalam keadaan yang
selaras, tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan”,
bersatu dalam maksud untuk saling membantu34”. Keadaan rukun ada
dimana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka
bekerja sama, saling menerima dalam suasana tenang dan sepakat.
Rukun yaitu keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan
dalam semua hubungan sosial, pada keluarga, dalam rukun tetangga, di
desa, dan dalam setiap pengelompokkan tetap. Suasana seluruh
masyarakat seharusnya bernapaskan semangat kerukunan. Penjelasan
tersebut memberikan arah acuan teknis obyektivikasi sikap rukun
sebagai identifikasi kebagusan tingkah laku pada Gus-ji-gang bisa
ditentukan oleh sesuai (cocok) atau tidaknya cara masing-masing
individu memfungsikan nilai-nilai moral Jawa, di satu sisi sebagai tata
krama dalam satu kesatuan struktur realitas sosialnya dan sesuai pada
masanya pada sisi lain. Masalah tersebut terkait dengan konsep inti
budaya Jawa yang kedua yaitu struktur fungsional yang uraian
bahasannya antara lain sebagai berikut.
Struktur Fungsional
Struktur fungsional merupakan salah satu paham atau
perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu
sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu
sama lain dan bagian yang satu tidak dapat berfungsi tanpa ada
hubungan dengan bagian lain. Namun, struktural fungsional di sini
adalah struktural sosial35 nilai-nilai moral Jawa. Maksudnya, “struktur”
211
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
di sini adalah, bangunan ide para pujangga tentang nilai-nilai moral,
dan cara memfungsikan atau pemberdayaannya sebagai konsep
hubungan antar individu dalam dunia atau realitas sosial Jawa.
Konsepnya merupakan pedoman ajaran moral (norma moral) bagi
tingkah lakunya (perilakunya), baik secara individu atau kelompok.
Penjelasan itu secara implisit searah dengan maksud Fachry Ali bahwa,
ajaran moral pada budaya Jawa yang difungsikan sebagai ideologi,
khususnya sebagai corak hidup kalangan bangsawan (priyayi), juga
memberi arah cara bersikap bagi seluruh rakyat Jawa36.
Cara memfungsikan atau pemberdayaan pada ajaran moral
tersebut yang melahirkan berbagai sikap moral atau tindakan moral
masing-masing individu atau kelompok bisa sesuai atau tidak, baik
terhadap prinsip hormat dan rukun maupun sebagai sikap
kekeluargaan dengan nilai-nilai manusiawi yang transendental bagi
berbagai pihak yang hidup bersama. Jadi “struktur” di sini merupakan
kerangka bangunan ide para ahli/ulama tentang nilai-nilai moral, dan
cara memfungsikan atau teknis pemberdayaannya bagi konsep
hubungan individual dalam dunia atau realita sosial masyarakat Jawa.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa (termasuk di Kabupaten Kudus)
mengharapkan agar hidupnya sesuai dengan irama kodrat alam dan
cita-cita masyarakat. Hidup seperti itu akan menciptakan kehidupan
yang aman, sejahtera, adil makmur, lahir dan batin. Orang Jawa
berkeyakinan bahwa hidup seperti tersebut dapat dicapai jika orang
dalam setiap berhubungan dan bertingkah laku perbuatan, tata tertib
dan kebiasaan hidup sehari-hari berpedoman dan bersumber pada
kaidah-kaidah moral yang berlaku di masyarakat.
Bagi orang Jawa nilai-nilai tersebut adalah: (a) kerukunan
untuk menghindari konflik terbuka, dalam setiap situasi, hendaknya
setiap anggota masyarakat bersikap dan berbuat sedemikian rupa
sehingga ia tidak menimbulkan pertentangan atau konflik. Kemudian,
Suseno (1984) dan Geertz (1983) menekankan bahwa, rukun adalah
usaha mencegah segala kelakuan yang dapat menimbulkan konflik
terbuka. Dengan rukun orang menciptakan keadaan masyarakat yang
tenang dan selaras serta terhindar dari perselisihan. Orang saling
212
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
membantu sejauh kemampuannya, baik dalam kepentingan perorangan
maupun kepentingan umum. Hal tersebut dapat dilihat dalam kerja
sama, tukar-menukar pikiran, dalam keluarga, lingkungan Rukun
Tetangga maupun masyarakat luas (termasuk dalam berbisnis). (b)
prinsip hormat, artinya dalam setiap situasi, dimana pun orang berada,
hendaknya setiap anggota masyarakat dalam cara berbicara dan
membawakan diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang
lain, sesuai dengan derajat dan kedudukan (status)nya.
Orang Jawa harus menghormati mereka yang lebih tinggi dan
sebaliknya tidak meremehkan mereka yang lebih rendah. Sikap hormat
tersebut tertanam sejak kecil dalam keluarga dengan perasaan wedi,
isin dan sungkan (Geertz, 1983). Anak dididik untuk takut dan
menghormati orang lain dan untuk malu akan apa yang tidak pantas
bagi orang lain. Perasaan malu dapat muncul dalam setiap situasi sosial
(Suseno, 1984). Mengerti kapan dan bagaimana wedi, isin dan sungkan
harus dilakukan, berarti telah menjadi orang Jawa (Geerts, 1983).
Selanjutnya Geertz (1981) dan Seseno (1984) menyimpulkan
penelitiannya bahwa setiap anggota masyarakat manyadari kaidah
kerukunan dan hormat sebagai prinsip hidupnya. Setiap perbuatan
selalu mengacu kepada kaidah tersebut menjadi sumber etika dan
terlihat dalam tatanan dan tingkah laku hidupnya.
Jadi sifat rukun dan hormat berlaku agar masyarakat mencapai
keselarasan dan bukan orang perorangan, tetapi masyarakat sebagai
keseluruhan. Dalam masyarakat Jawa orang harus sabar, kerja sama,
patuh dan rela berkorban. Manusia dan lingkungan alam ini
merupakan suatu keutuhan yang mengandung unsur-unsur dan relasi
yang teratur. Terpeliharanya relasi itu berarti tercipta keadaan yang
selaras, serasi dan seimbang, yang sering disebut sebagai keadaan tata
titi tentrem kerta raharja.
Identifikasi ungkapan tersebut mengimplikasikan pola
keutamaan “ji” dalam Gus-ji-gang, di samping bersikap kritis, maka
juga hendaknya bersikap kreatif terhadapnya. Bersikap kreatif,
menurut Magnis Suseno, bergairah untuk memikirkan, mencari, dan
213
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
menemukan, serta menciptakan yang baru (modern)37. Agar tercipta
yang baru (modern) artinya, yang sesuai dengan nilai-nilai moral
budaya Jawa: struktural fungsional, maka keutamaan “ji” sebagai
identifikasi proses pembelajaran (to learning), selain bersikap kritis dan
kreatif,
diperlukan
pengembangan
kedalamannya.
Maksud
pengembangan kedalamannya yaitu, dalam bersikap kritis dan kreatif
dimaksudkan sebagai kegiatan bermakna38 spiritual39 pada makna
internalnya40. Acuan identifikasi kegiatan bermakna spiritual sebagai
makna internalnya yang sesuai bagi nilai-nilai moral budaya Jawa:
struktural fungsional adalah, bersikap momong atau ngemong41 dan
mawas diri atau tahu diri sama dengan bersikap eling42 sebagai satu
tatanan caranya bersikap hormat dan rukun (tata krama Jawa) demi
kekeluargaan dan hubungan kemasyarakatan.
Transendental
Kata transendental mempunyai pengertian menonjolkan halhal yang bersifat kerohanian, atau di luar apa yang diberikan oleh
pengalaman manusia. Istilah transendental, menurut Garaudy (1986)
memiliki 3 (tiga) pengertian dengan perspektifnya. Pertama, mengakui
ketergantungan manusia kepada penciptanya. Sikap merasa cukup
dengan diri sendiri yang memandang manusia sebagai pusat dan
ukuran segala sesuatu, bertentangan dengan makna transendental.
Transendental mengatasi naluri-naluri manusia seperti keserakahan
dan nafsu berkuasa. Kedua, mengakui adanya kontinuitas dan ukuran
bersama antara Tuhan dan manusia. Artinya, transendensi
merelatifkan segala kekuasaan, kekayaan, dan pengetahuan. Ketiga,
mengakui keunggulan nilai-nilai mutlak yang melampaui akal
manusia.
Menurut Leahy (1994), kehidupan manusia mengarah ke dalam
yang transendental berarti sebagai yang mampu mengungkapkan
seluruh realita objektif yang sedang dikerjakan dan mengungkapkan
secara total sampai pada makna-makna hidup yang paling final.
Transendental secara implisit maksudnya dalam penelitian ini searah
dengan obyektivikasi pemikiran atau konkritisasi masyarakat asli Jawa,
214
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
khususnya masyarakat Kabupaten Kudus. Dalam budaya Jawa
pandangan hidup lazim disebut ilmu kejawen atau yang dalam
kesusastraan Jawa dikenal pula sebagai Ngelmu Kesempurnaan.
Wejangan tentang Ngelmu Kesempurnaan Jawa ini termasuk ilmu
kebatinan atau dalam filsafat Islam disebut tasawuf atau sufisme. Orang
Jawa sendiri menyebutkan suluk atau mistik. Sebenarnya kejawen
bukan aliran agama, tetapi adaptasi kepercayaan, karena di sana
terdapat ajaran yang berdasarkan kepercayaan terhadap Tuhan dari
puncak-puncak teologi Islam, Hindu dan Budha. Berbagai makna yang
berkaitan dengan kata “transendental” adalah, sesuatu yang secara
kualitas teratas, atau di luar apa yang diberikan oleh pengalaman
manusia. Kehidupan yang mengarah ke dalam transendental berarti,
sebagai yang mampu mengungkap seluruh realitas obyektif yang
sedang dikerjakan dan mengungkapkan secara total sampai pada
makna-makna hidup yang paling final43
sebagai “pengalaman
keagamaan”.
Maksudnya “pengalaman keagamaan” yaitu, adanya kesadaran
akan dunia gaib, rohaniah atau spiritual, sebagai pandangan dunia dan
pembuktian fakta-fakta kerohaniannya tersebut dalam dunia
jasmaniah44. Pengertian tersebut searah dengan maksud William James
menjelaskan, “pengalaman keagamaan” merupakan acuan untuk
menguraikan fenomena realitas gaib, sebagaimana pandangan dunia
atau spiritual yang dengannya manusia mengadakan hubungan dengan
sesamanya45. Kemudian Joachim Wach (1984) mensyaratkan empat
kriteria agar dapat diakui sebagai pengalaman transendental: (1)
pengalaman tersebut merupakan tanggapan terhadap apa yang dihayati
sebagai realitas mutlak; (2) dilakukan oleh pribadi yang utuh dan
memiliki kapasitas untuk memberi tanggapan; (3) ada kedalaman
penghayatan, dan (4) adanya unsur imperatif agar pengalaman tersebut
tampil dalam wujud perbuatan konkret46. Oleh karena itu masyarakat
Kudus di dalam melaksanakan kegiatan ekonomi seperti berdagang/
industri harus selalu tetap mengingat pada Allah SWT dan selalu
membangun hubungan dengan–Nya dengan menjalankan sholat, zikir
dan puasa. Hal itu dilakukan karena tumbuh kesadaran yang kuat bagi
215
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
masyarakat Kudus bahwa tidak logis jika dalam mencari rejeki justru
melupakan yang memiliki rejeki tersebut. Masyarakat Kudus
berkeyakinan semakin dekat dengan yang memiliki rejeki, semakin
banyak rejeki yang mereka akan terima. Maka tidak mengherankan
bila masyarakat Kudus dalam mencari rejeki dihubungkan dengan
tawakal (transendesi), karena pada dasarnya tawakal adalah proses
membangun transendensi kepada Allah.
Kebudayaan asli Jawa yang bersifat transendental lebih
cenderung pada paham animisme dan dinamisme, perubahan besar
pada kebudayaan Jawa terjadi setelah masuknya agama Hindu-Budha
yang berasal dari India berabad-abad lamanya mempengaruhi tanah
Jawa, seperti sistem kepercayaan, kesenian, kesusasteraan, astronomi,
dan pengetahuan umum. Para wali dan ulama mendominasi
pembentukan karakter religiusitas orang Jawa, sehingga muncul
pemahaman ajaran agama Islam dengan pemahaman kejawen. Sunan
Kudus, salah satu walisanga yang memiliki pendekatan sangat toleran
dan sebagai waliyyul ilmy yang melahirkan stok tanda paradikmatik
varian masyarakat santri di Kabupaten Kudus dan tanda Sunan Kudus
sebagai wali saudagar yang melahirkan tanda paradigmatik varian
masyarakat santri yang pedagang/saudagar. Maka dengan perpektif ini,
gejala budaya paradigmatik yang bisa diserap dari pola hubungan tanda
tersebut melahirkan varian Islam di kabupaten Kudus sebagai ”santri
Saudagar”.
Gus-ji-gang sebagai bentukan dari hubungan yang lebih
menekankan nilai-nilai akulturasi agama Islam dengan budaya Jawa
sebagai nilai-nilai kebersamaan dan kepercayaan baik dalam suatu
komunitas atau antar komunitas. Nilai-nilai tersebut merupakan suatu
modal dalam membentuk masyarakat kuat dan berkepribadian, dimana
saat ini sangat penting karena ketika suatu komunitas atau masyarakat
mendapat suatu masalah maka akan cepat diatasi tanpa harus ada yang
dirugikan. Bourdieu, dalam tulisannya melihat bahwa posisi agen atau
aktor dalam arena sosial ditentukan oleh jumlah dan bobot modal
relatif mereka. Dalam arena sosial agen bertaruh tidak hanya
ditentukan oleh “chip hitam” yang mempresentasikan modal ekonomi,
216
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
namun juga dengan ”chip biru” yaitu modal budaya dan juga dengan
“chip merah” yaitu social capital (Alheit,1996).
Kehidupan Sehari-hari Komunitas Pengusaha Industri Kecil
Bisnis Keluarga Bordir
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Kabupaten Kudus,
khususnya Desa Padurenan Kecamatan Gebog, rumah tempat tinggal
merupakan pusat kegiatan ekonomi (bisnis), disamping untuk tempat
tinggal keluarga. Rumah tempat tinggal bagi pengusaha bordir
bukanlah sekedar tempat berlindung atau beristirahat dari kepenatan
kerja sehari-hari, dan tempat komunikasi antar keluarga dan kerabat,
tetapi tempat bekerja dan tempat berproduksi. Oleh karena itu, rumah
bagi pengusaha bordir selalu dipenuhi barang-barang hasil produksi
atau produksi orang lain dan selalu ramai dengan para pekerja yang
datang dan pergi dari desa-desa di sekitar Kelurahan Padurenan
maupun keluarga inti (suami/isteri, anak,cucu) dari keluarga
pengusaha.
Keluarga menurut Fukuyama (2000), sebagai sumber penting
bagi social capital. Inilah merupakan alasan mendasar tentang mengapa
sebenarnya seluruh kegiatan bisnis dimulai dari keluarga. Mengutip
Putnam (dalam Fukuyama, 2000) menyebutkan bahwa, social capital
menunjuk pada seperangkat sumber daya yang melekat dalam
hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas serta sangat
berguna bagi pengembangan kognitif anak. Kerja sama dalam keluarga
dimungkinkan karena terdapat fakta biologis yang alami dan itu akan
memperlancar dan memudahkan berbagai aktivitas sosial termasuk
dalam menjalankan bisnis. Namun di satu sisi ketergantungan berbisnis
secara berlebihan oleh ikatan kekerabatan ini dapat menimbulkan
konsekuensi negatif atas komunitas yang lebih luas, karena sering
terjadi misalnya, komunikasi di antara kerabat kalau tindak otoritas
dalam pengelolaan oleh salah satu yang dituakan.
217
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Keluarga sebagai kelompok primer, menurut Cooley (dalam
Soekanto, 2004) menyatakan kelompok yang ditandai ciri-ciri saling
mengenal antara anggota-anggotanya serta kerja sama erat yang
bersifat pribadi. Hubungan antar anggota keluarga masyarakat Kudus
umumnya saling berkomunikasi dengan bahasa ngoko (bukan bahasa
halus), baik orang tua dengan anaknya, anak dengan bapaknya,
maupun adik dengan kakak. Mereka menggunakan bahasa kromo
(halus) biasanya antara pegawai dengan majikannya, atau pembantu
rumah tangga kepada tuannya. Sebagaimana orang Jawa di daerah lain,
masyarakat Kudus memanggil atau bertegur sapa kepada yang lebih tua
dengan sebutan tertentu, misal pak Haji (bagi yang sudah menunaikan
ibadah haji), tetapi kepada yang lebih muda, meskipun sebutannya ada
mereka lebih senang memanggil nama panggilannya secara langsung
atau “njangkar”, tetapi untuk memanggil yang lebih tua, seperti orang
tua laki-laki memanggil dengan Pak, atau ibunya dengan sebutan Bu.
Tetapi ada juga yang memanggil bapak dengan sebutan Bah (Abah) dan
Mi (Umi) sebutan ibu dan sebutan untuk kakak laki-laki dengan Mas
atau kang dan kakak perempuan dengan sebutan mbak. Panggilan
paman dengan sebutan pak Lik dan bibi adalah bu Lik. Sedangkan
sebutan kakek dan nenek, mereka menyebut dengan mbah kakung
(kakek) dan mbah putri (nenek). Sedangkan mulai turunan kedua,
istilah panggilannya sudah tidak ada, dan kebanyakan masyarakat
Kudus memanggil dengan langsung namanya, tetapi juga sering
menggunakan istilah yang dipakai untuk memanggil anak, yaitu
panggilan cucu laki-laki dengan le dan cucu perempuan dengan
sebutan nduk.
Hampir semua ibu rumah tangga di daerah penelitian
mempunyai peran dalam menambah penghasilan keluarga, baik
melalui usahanya sendiri maupun membantu usaha suaminya. Ada
perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dengan anak perempuan,
dimana anak laki-laki berkewajiban mematuhi semua perintah orang
tuanya, khususnya perintah ayah/bapak. Bekerja sesuai dengan apa
yang diperintahkan ayahnya dan jarang mendapat perintah dari
ibunya. Karena itu anak laki-laki lebih mempunyai kebebasan
218
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
dibanding anak perempuan, karena anak laki-laki tidak dilibatkan
dalam pekerjaan rumah tangga seperti membersihkan kamar, menyapu
halaman, memasak, mencuci dan lain-lain. Sedangkan anak
perempuan, karena dekat dengan ibunya, mempunyai tugas membantu
pekerjaan-pekerjaan rumah tangga setiap harinya, disamping itu
kadang-kadang kalau ada waktu longgar harus membatu pekerjaan
ayahnya yang ada di rumah sehingga tidak ada kesempatan untuk
bermain di luar rumah seperti anak laki-laki. Anak laki-laki yang
sudah dewasa memiliki tugas membantu menangani usaha bapaknya
sampai pada suatu saat diserahkan sepenuhnya untuk meneruskan
mengelola usaha orang tuanya atau membuka usaha sendiri. Kalau
sudah sampai pada taraf ini, tugasnya sudah menjadi lebih berat dan
lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.
Setiap anggota keluarga memiliki hak dan kewajiban yang
berbeda. Bapak sebagai kepala keluarga menjadi pemimpin dan
bertanggung jawab pada seluruh keluarga yang harus mencari nafkah,
disamping pengambil keputusan untuk hal-hal yang penting, misalnya
sekolah anak-anak, hubungan sosial maupun hajatan yang harus
dipatuhi dan dilayani oleh semua anggota keluarga. Sedangkan tugas
ibu memiliki kewajiban melayani kepada suami dan anak-anak sesuai
dengan kebutuhannya (memberi uang saku kepada anak-anak, masak
dan lain-lain) dan mengatur uang belanja dan memanfaatkan sesuai
kebutuhan, serta melakukan pendidikan anak-anaknya khususnya
perempuan.
Namun pada suatu keluarga yang sudah tidak utuh, misalnya
bapaknya sudah meninggal atau tidak ada (cerai), pemimpin rumah
tangga menjadi tanggung jawab ibu. Dalam keadaan demikian, anakanak perempuan tugasnya akan lebih berat dibanding dengan anak
laki-laki, karena ketika ibunya berperan sebagai bapak, pekerjaan ibu
menjadi tanggung jawab anak perempuan.
Hubungan kekerabatan dalam suatu keluarga, mereka saling
membantu, khususnya dalam menyelenggarakan upacara-upacara
hajatan keluarga, seperti perkawinan, sunatan, kelahiran bayi,
219
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
pengajian dan lain sebagainya. Namun menyangkut kehidupan bisnis
(ekonomi), mereka saling bersaing, meskipun tidak secara terbuka,
misalnya ada pengusaha bordir mau membeli bahan baku di KSU
Padurenan Jaya tetapi saat bersamaan ada pengusaha lain (bahkan
masih hubungan kekerabatan) juga mau belanja bahan baku pada
tempat yang sama, maka pasti salah satu akan menunggu setelah
pengusaha pesaing bisnis (meskipun itu masih kerabat) selesai belanja
baru mereka mau membeli.
Setiap pagi, menjelang sholat subuh, semua mushola dan masjid
di Kelurahan Padurenan–Kecamatan Gebog mengumandangkan adzan
sholat subuh yang sangat ramai suaranya, membangunkan warga
supaya menjalankan sholat subuh, saat itulah kehidupan masyarakat
Kudus sudah mulai mempersiapkan kehidupan pada hari itu. Keluarga
Ibu Hj. Sri Murni‟ah dan Bp.H.Moch Anshori sebagai informan kunci
pada setiap jam 04.30 melakukan sholat subuh di rumah sendiri atau
menuju mushola terdekat untuk melaksanakan sholat subuh.
Pagi itu setelah selesai sholat subuh Ibu Sri Murni‟ah sudah
mempersiapkan keperluan keluarga yaitu masak untuk persiapan
sarapan pagi anak-anaknya yang akan ke sekolah dan suaminya
(pegawai kantor kelurahan Padurenan), setelah selesai mulai
mengelompokkan bahan-bahan yang akan dibordir oleh para pengrajin
yang akan diantar suaminya ke rumah masing-masing pengrajin atau
mengambil hasil bordir yang sudah selesai dikerjakan oleh para
pengrajin. Kemudian anak perempuan nomer dua datang dari
rumahnya (masih di sekitar Desa Padurenan) sekitar jam 09.00 terus
membuka butik/toko bordir ibu Hj.Sri Murni‟ah setelah kegiatan
rumah sudah selesai atau saat anaknya nomer 3 masih tinggal bersama
jam 8.30 toko sudah di buka. Kadang-kadang pagi-pagi sudah ada
pesanan dari konsumen datang membeli atau menerima para pengrajin
yang mengambil bahan bordir dan model disain, serta menerangkan
kepada pengrajin mengenai disain, warna atau corak dan kapan
selesainya. Dan bila ibu Hj.Sri Murni‟ah akan mengantar hasil produksi
bordir ke Pasar Klewer (Surakarta) maka selama ditinggal, anak
220
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
perempuannya sudah bisa melaksanakan tugas ibunya mengelola bisnis
bordir.
Sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan Ibu Sri Murni‟ah
dalam menerima dan melayani para pelanggan atau calon pembeli
baru. Kemudian ditunjukkan berbagai variasi desain, corak dan warna,
maupun model bordir, beliau pasti menanyakan: “Pados nopo
kemawon mbak, taken mawon mboten nopo-nopo” artinya cari apa
mbak, tanya saja nggak apa-apa. Dalam berjualan kita harus sregep
(rajin), sabar dan sumanak (ramah)”. Lebih lanjut Ibu Hj. Sri Murni‟ah
mengatakan sebagai berikut:
“Sregep ngomong, ampun kendel kemawon amargi menawi
kendel kemawon ngrantos pembeli tangklet ya saget kawon
kalian pengusaha bordir sanesipun amargi barang ingkang
dipun wadhe sami. Amargi pembeli meniko benten-benten,
wonten ingkang namun pilih wonten noponipun, lan
wonten pembeli ingkang tangklet disain, corak dan warni
ingkang sanesipun”.
Artinya:
Aktif dalam bicara, jangan diam saja sebab kalau diam saja
menunggu pembeli bertanya ya bisa kalah dengan pengusaha
bordir lain karena barang yang dibuat hampir sama,. Pembeli
itu bermacam-macam, ada yang hanya memilih sak adanya
dan ada pembeli yang menanyakan lebih detail mengenai
disain, corak dan warna yang lain.
Hari Kamis tanggal 29 Januari 2015 kira-kira jam 8.30 WIB, Ibu
Hj. Sri Murni‟ah menerima telpon kalau ada pembeli dari Semarang
(rombongan pegawai Dinas Perindustrian Propinsi Jawa Tengah) akan
datang, mau membeli pakaian blouse wanita dengan pernik-pernik
bordir sebanyak 400 buah untuk keperluan pakaian dinas yang
diwajibkan memakai pakaian khas daerah, setelah kira-kira jam 10.00
mereka tiba di rumah Ibu Hj.Sri Murni‟ah, dan langsung diterima oleh
Ibu H.Sri Murni‟ah dengan ramah, gesit dan cekatan menawarkan
berbagai corak bordir. Karena kemampuan usaha Ibu Hj. Sri Murni‟ah
tidak bisa memenuhi permintaan sebanyak 400 buah pada siang itu,
kemudian beliau mengontak/menghubungi teman-teman sesama
pengusaha bordir dan konveksi supaya menyediakan kekurangan stok
221
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
untuk pemenuhan order tersebut, dan beberapa saat pesanan datang
dengan membawa pesanan blouse dengan bordir tersebut sehingga
dapat terpenuhi 400 buah blouse bordir. Saat ditanya keuntungan hari
ini, tuturnya sebagai berikut:
“injih lumayan keuntungan ipun dinten punika,pas pikantuk
rejeki saking Gusti Allah, amargi sedoyo sampun dipun atur
Gusti Allah lan alhamdulilah pelanggan saking Semarang
dumugi lan kawulo saget ngaturi pelayanan ingkang sae
supados tetap dados lengganan kawulo”
Artinya:
ya lumayan dapat keuntungan hari ini, kebetulan rejeki dari
Gusti Allah, karena semuanya sudah diatur Gusti Allah dan
alhamdulilah pelanggan dari Semarang datang dan bisa
memenuhi kebutuhan dan pelayanan baik supaya tetap
menjadi pelanggan).
Kemudian beliau melanjutkan ucapannya dan titip tidak usah
diceritakan ke mana-mana kepada pengusaha bordir yang lain karena
ini merupakan rahasia usahanya, supaya tidak terjadi persaingan yang
tidak sehat, dan menumbuhkan kecemburuan antar pengusaha. Ini
menunjukkan betapa implikasi dari ajaran Gus-ji-gang telah mereka
lakukan untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan para
pengusaha bordir telah dilakukan informan, sehingga kondisi yang
baik di antara pengusaha bordir terjalin harmonis. Demikian pula Ibu
Hj.Sri Murni‟ah dalam menjalin hubungan dengan para pekerja bordir,
baik yang bekerja di rumahnya maupun pekerja bordir yang
mengerjakan di rumah masing-masing dilakukan dengan baik dan
selalu memberikan petunjuk sebelum para pekerja mengerjakan, baik
itu desain maupun kombinasi warna benang dengan dasar warna kain,
sehingga diharapkan sesuai dengan yang diharapkannya. Ungkapnya
terhadap pekerjanya sebagai berikut:
“ngene lho, dik Markonah yen kono biso gawe bordir sesuai
sing takkarepke, rapi,cepet lan kombinasi warna sesuai lan
biso kemadol duwur, pasti kono takwenehi bonus lan ojo
nganti salah le bordir… aku biso rugi”.
Artinya:
begini lho, dik Markonah kalau kamu bisa membuat bordir
yang sesuai yang saya harapkan yaitu rapi, cepat dan
222
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
kombinasi warna sesuai dan bisa terjual tinggi, pasti kamu
saya beri bonus dan jangan sampai salah dalam membordir…
saya bisa rugi.
Demikian pula Bapak H.Moch Anshori menceritakan kebiasaan
yang dilakukan setiap hari kepada peneliti:
“setelah solat subuh, biasanya melakukan perjalanan ke luar
kota setiap minggu 3 kali untuk mengirim produksi bordir
tempel ke Magelang, Surakerta maupun ke Semarang.
Rencana hari ini, Bp. H. Moch Anshori akan mencari bahan
baku dan sekaligus mengirim hasil produksi bordir tempel ke
Surakarta. Sebelum berangkat bisanya sudah memberikan
pengarahan pada karyawan pengrajin bordir maupun
berkoordinasi dengan isterinya yang nantinya bertugas
mengawasi pekerjaan pengrajin bordir selama dia ke luar
kota dan bisanya tidak menginap (langsung pulang). Malam
harinya setelah di rumah, setiap ada kegiatan “kumpulan”
beliau selalu mengikuti kegiatan sosial, pengajian,
menghadiri hajatan tetangga”.
Para pengusaha bordir setiap ditanya berapa rupiah keuntungan
hari ini, pasti jawabannya tidak jelas dengan kata “lumayan” dan
ukurannya bisa untuk beli bahan baku, bayar tukang/pengrajin bordir
dan bisa memenuhi iuran kegiatan-kegiatan sosial (arisan, pengajian,
gotong-royong, jimpitan dan sebagainya). Seperti yang diungkapkan
Ibu Islahiyah pemilik usaha bordir „La Risma‟ kepada peneliti sebagai
berikut:
“ya untungnya lumayan lah, bisa buat beli bahan yang
berkualitas baik, bayar tenaga kerja dan masih bisa untuk
kebutuhan keluarga sedikit-dikit, ya harus selalu disyukuri
bila masih ada sisa akan di tabung untuk keperluan yang lain
misal naik haji, umroh atau punya hajat”.
Habitus Pengusaha Bordir di Kudus
Habitus merupakan nilai-nilai sosial yang dihayati oleh
manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang
berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola
223
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Bila seseorang
memiliki habitus yang begitu kuat, sampai dapat mempengaruhi tubuh
fisiknya. Habitus yang sudah demikian kuat tertanam serta mengendap
menjadi pelaku fisik disebutnya sebagai hexis.
Dengan habitus, Bourdieu merujuk pada berbagai disposisi yang
tidak disadari, skema-skema klasifikasi, pilihan-pilihan yang dianggap
benar yang tampak jelas dalam pengertian seseorang tentang ketepatan
dan validitas seleranya akan berbagai benda dan praktik budaya.
Habitus merupakan kontribusi penting bagi Bourdieu dalam usahanya
untuk mengkontruksi sebuah model yang memperhitungkan struktur
dan agen (Lash, 2004:239), dan habitus menurut Bourdieu (dalam
Malawarman, 2008:431) merupakan sebuah proses yang menghubungkan antara agensi (practice) dengan struktur (melalui capital
dan field/arena).
Pembentukan habitus menurut Bourdieu (1977) melalui suatu
dialektika yang digambarkan sebagai ”a dialectic of
internalization of externality and externalization of internality.‟”
Artinya proses internalisasi yang terus diterima atau dilakukan secara
terus-menerus sehingga akan membentuk habitus yang berfungsi
sebagai pola berpikir pelaku bisnis bordir (aktor) yang terekternalisasi
dalam bentuk praktik yaitu perdagangan, dan selanjutnya apa yang
terekternalisasi ini akan mengalami proses internalisasi kembali, dst.,
semuanya berlangsung dalam ranah/field. Dalam ranah inilah para
aktor melakukan tindakan atau praktik dalam bentuk berinteraksi yang
dialektis yang melibatkan capital baik ekonomi, sosial, budaya maupun
simbolik yang dimiliki untuk meraih, mempertahankan, dan
pemberdayaan sumber-sumber daya yang dimiliki agar eksis dalam
melakukan perdagangan.
proses
Proses pembentukan habitus sebagai kerangka berpikir maka
paparan selanjutnya bagaimana habitus sebagai kerangka berpikir ini
menjadi tindakan pengusaha bordir dalam arena. Oleh karena itu
difokuskan pada posisi dan peran aktor dalam bisnis keluarga bordir
baik pada tataran mikro yaitu dalam rumah atau keluarga, tataran
224
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
medium dalam hubungan pengusaha dengan tenaga kerja, pemasok
bahan baku maupun pemangku kepentingan dalam perekonomian.
Perbedaan habitus antar-daerah nampak pada perbedaan
tindakkan yang menurut Bourdieu (1994) digambarkan dalam
perbedaan gaya hidup atau selera, praktik-praktik dan hasil karya yang
memposisikan habitus-nya dan sekaligus menjadi pembeda perilaku
dan gaya dari suatu masyarakat. Dalam masyarakat Jawa (termasuk
masyarakat Kudus) memiliki karakteritik budaya yang khas sesuai
dengan kondisi masyarakatnya. Masyarakat Kudus memiliki pola
akulturasi antara budaya Jawa dengan budaya Islam yang merupakan
ciri khas budaya Kudus. Menurut Prabowo (2003:24), budaya secara
garis besar dibagi menjadi dua, yaitu: budaya lahir dan budaya batin.
Budaya lahir terkait dengan kedudukan seseorang sebagai mahkluk
individu dan mahkluk sosial. Sebaliknya budaya batin terkait dengan
persoalan-persoalan yang bersifat transendental atau hal-hal yang tidak
dapat dijangkau berdasarkan perhitungan empiris atau objektif, tetapi
menduduki posisi yang penting dalam sistem kehidupan masyarakat
Jawa. Pengakuan orang Jawa terhadap Tuhan Sang Pencipta dapat
diketahui dari berbagai ungkapan-ungkapan yang mengacu pada
ketergantungan manusia kepada Tuhan.
Menurut Koentjaraningrat (1982), budaya batin masyarakat
Jawa (termasuk masyarakat Kudus) dapat dimasukkan pada sistem
religi atau keagamaan Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
terkristalisasi dalam perilaku berdagang masyarakat Kudus, ketika
memulai untuk melakukan aktivitas dagang/bisnis para orang tua
mengingatkan Gusti ora sare, Tuhan tidak tidur. Ungkapan ini
memiliki makna bahwa kita harus memulai aktivitas baik itu
berdagang atau aktivitas yang lain dengan memohon apa yang kita
inginkan kepada Tuhan. Tuhan selalu mengawasi sehingga manusia
harus memikirkan apakah tindakan yang dilakukannya berpengaruh
baik atau buruk, baik bagi dirinya maupun orang lain.
Keyakinan dan sikap budaya Jawa, termasuk masyarakat Kudus
sangat kental dengan keyakinan tentang asal mula kehidupan yang
225
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
disebut sebagai sangkan atau “asal atau kelahiran‟” dan paran (tujuan
hidup). Disamping memiliki sikap perilaku yang sangat kental dengan
keyakinan yang dianutnya, orang Jawa (termasuk masyarakat Kudus)
juga memiliki etos kerja yang kuat dan disiplin tinggi. Etos kerja ini
diajarkan pertama kali oleh para orang tua kepada anaknya ketika
mereka sudah berumur akil baligh. Nilai-nilai yang ditanamkan orang
tua secara terus-menerus kepada anaknya terkait dengan kewajiban
dalam mencari kehidupan (memenuhi kebutuhan sehari-hari). Orang
tua terus mendorong anaknya dengan memberikan nilai-nilai yang arif
serta memberikan contoh.
Prabowo (2003), mengemukakan kata-kata arif yang sering
diucapkan oleh orang tua kepada anaknya agar mau bekerja, misal ana
dina ana upo, artinya ada hari pasti ada rejeki; ajo sanggo tangan
artinya “jangan berpangku tangan”; obah mamah, untuk lebih
lengkapnya dalam sebuah nasehat sing sopo gelem obah bakal mamah,
artinya siapa yang mau berusaha (bekerja) pasti akan makan. Ketika
akan memulai melakukan aktivitas bisnis para orang tua mengingatkan
Gusti ora sare/ Tuhan tidak tidur. Ungkapan ini memiliki makna
bahwa kita harus memulai aktivitas dengan memohon apa yang kita
inginkan dan Tuhan selalu mengawasi sehingga manusia harus
memikirkan apakah tindakan yang dilakukannya berpengaruh baik
atau buruk, baik bagi dirinya maupun orang lain.
Demikian pula nilai-nilai keagamaan diberikan orang tua
kepada anak-anaknya sejak kecil, misalnya anak-anak disamping
mengikuti belajar di sekolah formal (SD, SMP, SMA) tetapi setiap sore
diwajibkan mengikuti kegiatan keagamaan melalui pengajian yang
diselengarakan di masjid atau Taman Baca Al Qur‟an. Demikian pula
bagi orang dewasa atau orang tua dalam masyarakat Kudus melakukan
kegiatan keagamaan Islam seperti pengajian, sholat berjamaah di
masjid, ziarah kubur, khaul, manaqiban, burdahan, terbangan dan lainlain merupakan ciri khas masyarakat Kudus dalam meningkatkan
internalisasi kehidupan keagamaanya yang dilakukan pada hari Selasa
kliwon, malam Jumat, atau hari Jumat siang maupun hari-hari lain,
sehingga bisa dikatakan, di Kudus setiap hari pasti ada kegiatan
226
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
keagamaan (Islam). Hal ini seperti diungkapkan informan kunci Ibu
Hj. Sri Murni‟ah:
“Menawi dinten Jum‟at karyawan bordir libur lan kawulo
ginakaen derek kegiatan pengajian dateng Masjid”.
Artinya:
kalau hari jum‟at karyawan bordir libur dan saya gunakan
untuk mengikuti pengajian di Masjid.
Sedangkan informan Ibu Mirah mengungkapkan kebiasaan
melakukan usaha yang agak berbeda kepada peneliti:
“menawi dinten jum‟at wonten 2 karyawan ingkang tetap
bekerja lan nyuwun libur ipun dinten minggu, ya kawulo
manut kemawon, ingkang baku damelanipun rampung,
sanesipun karyawan menawi Jum‟at nyuwun libur lan
dinten minggu mlebet nyambut damel”.
Artinya:
kalau hari jum‟at ada 2 karyawan yang tetap bekerja dan
minta liburnya hari minggu, ya saya ikuti saja, yang penting
pekerjaan selesai, karyawan lainnya kalau hari Jum‟at minta
libur lan hari minggu masuk kerja.
Kemudian informan kunci Bapak H.Moch Anshor menjelaskan
kepada peneliti sebagai berikuti:
“kalau hari Jum‟at saya tidak melakukan kegiatan pengiriman
barang atau membeli bahan baku dan kegiatan membuat
bordir berhenti karena karyawan libur dan saya gunakan
untuk melakukan servis mesin, mendisain rancangan bordir
dan melakukan sholat Jum‟at serta mengikuti pengajian”.
Berdasarkan ketiga informan tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa, pada Hari Jumat umumnya para pengusaha bordir di Desa
Padurenan Kecaamatan Gebog-Kabupaten Kudus kegiatan usaha bordir
libur, kalau toh ada yang tetap membuka usaha, namun baik waktu dan
volume pekerjaan dikurangi tidak seperti hari-hari biasa. Pada hari
Jumat banyak dilakukan kegiatan keagamaan yaitu sholat Jum‟at dan
pengajian-pengajian di masjid atau yang diselenggarakan keluarga
dengan mengundang para kyai atau ustad.
227
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Nilai-nilai Gus-ji-gang dalam kehidupan sehari-hari sudah
meresap dalam diri masyarakat Kudus, termasuk para pengusaha
bordir. Hal ini dapat dilihat dari pola berpikir, perbuatan, tindakan
baik dalam kehidupan sosial maupun bisnis/dagang, sehingga adanya
sinergi antara kehidupan dunia dan akhirat di masyarakat Kudus.
Rutinitas kegiatan keagamaan (Islam) demikian kuatnya dalam
kehidupan masyarakat Kudus untuk menjaga keseimbangan dua
kehidupan (sosial dan ekonomi) sehingga mengkristal dalam diri
masyarakat Kudus.
Perilaku “gus” artinya beraklak baik atau berperilaku bagus dan
”ji” artinya pintar mengaji, telah mendasari internalisasi perilaku
pengusaha bordir yang sering ditunjukkan dengan ungkapan paring
panglilane Gusti artinya pemberian sesuai dengan kerelaan Tuhan.
Dan masyarakat Kudus masih berpegang pada prinsip hidup sak titahe
dan etika “sak titahe” akan menjadi pegangan hidup dan guidance
value bagi masyarakat Kudus dalam mengarungi kehidupanya,
terutama dalam menjalankan usahanya.
Menurut Abdul Jalil (2013), etika “sak titahe” kalau dicari
padananya lebih mendekati konsep tawakal dalam Islam dan
masyarakat Kudus mampu menginternalisasi konsep tawakal dalam
Islam ke dalam etika ”sak titahe”. Hal ini seperti yang diungkapkan
oleh informan kunci Ibu Hj Sri Murni‟ah dan Bapak H.Moch Anshori
yang pada dasarnya hampir sama. Ibu Hj Sri Murni‟ah mengatakan:
“sak wanci dinten pas sepi namun pikantuk penghasilan
namun cekap kagem bayar borongan bordir, injih kedah
bersyukur alhamdulilah, namun pas rame injih pikantuk
penghasilan cukup kagem tumbas bahan, bayar karyawan lan
tasih wonten sisanipun kagem kebetahan sedinten-dinten,
injih tetap disyukuri”.
Artinya:
Sewaktu hari pas sepi hanya mendapat penghasilan cukup
kagem bayar borongan bordir, ya harus bersyukur
Alhamdulilah, namun pas rame, ya mendapat penghasilan
cukup buat beli bahan, bayar karyawan dan masih ada
sisanya buat kebutuhan sehari-hari, ya tetap harus disyukuri.
228
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
Sedangkan Bapak H.Moch Anshori menuturkan kepada peneliti
sebagai berikut:
“tetapi saya tetap sabar karena rejeki sudah diatur Yang Maha
Kuasa dan Alhamdulilah karena pelanggan saya sangat
banyak, ya lumayan lah penghasilannya bisa untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari”.
Bagi masyarakat Jawa (termasuk masyarakat Kudus), mencari
kerelaan Tuhan menjadi tujuan utama untuk mendapat rejeki yang
berkah. Sebagai konsekuensinya akan menyisihkan sebagian rejeki
yang telah diterimannya untuk diberikan kepada yang berhak. Ada dua
bentuk balasan kebaikan yang diharapkan yang sesuai dengan ajaran
agama Islam yaitu: Pertama, kebaikan yang dengan cepat/segera akan
mendapat balasan dengan kebaikan. Kedua, kebaikan yang mendapat
balasan dalam jangka waktu yang lama, yang diibaratkan dengan
nandur pari jero. Menanam kebaikan kepada seseorang yang tidak
mampu membalas kebaikan itu dipandang sebagai nandur pari jero
(menanam padi yang dalam), dan berkeyakinan bahwa akan
memperoleh kenikmatan bagi anak dan cucunya.
Demikian pula “gus” dan “ji” telah mampu memperkuat
kehidupan internal komunitas pengusaha bordir di Kudus dalam
melakukan kegiatan dagang, seperti yang sering diungkapkan para
informan sebagai sikap rendah hati yaitu tuna satak bathi sanak dalam
pergaulan komunitas pengusaha bordir. Artinya bila mendapat rugi
uang tidak apa-apa, asal mendapat untung saudara. Menurut Suratno
dan Astiyanto (2009), Bathi sanak artinya tambah sedulur (tambah
saudara; yang berarti tambah juga pelanggan). Demikian pula pendapat
Marbangun (1995) yang menjelaskan bahwa, manusia Jawa merupakan
sosok yang dapat menerima kondisi atau nasib yang terjadi dalam
hidupnya dengan dilandasi rasa percaya pada kemurahan Tuhan
sehingga segala sesuatu diterima dengan jiwa narima ing pandum tetapi
bukan tindakan fatalis.
Hal ini menunjukkan bahwa kebahagiaan pengusaha bordir
dalam bertransaksi dagang tidak selalu diukur dengan keuntungan
berupa uang, karena mendapatkan saudara atau rekanan berarti
229
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
menambah jejaring atau pelanggan, yang dalam berusaha dihitung
sebagai keuntungan (laba). Oleh karena itu, seorang pengusaha bordir
rela menjual barang dagangannya dengan harga sedikit lebih rendah
dari penawarannya demi menjaga dan menjalin hubungan dengan
orang lain, yakni pembeli. Bagi orang Jawa (termasuk orang Kudus)
harta benda bukanlah segala-galanya dan ukuran kekayaan seseorang
tidak selalu ditentukan oleh banyaknya harta yang dimiliki. Pelanggan
merupakan aset potensial yang menghasilkan keuntungan dalam
jangka panjang dan pelanggan keberadaannya tidak berada di luar
melainkan manunggal dengan kekayaan. Sehingga pengusaha bordir
pada suatu saat mendapatkan kerugian atau tuna satak dianggap tidak
berarti apa-apa jika kekayaan yang berupa sanak “pelanggan” terus
bertambah.
Pengusaha Industri Kecil Bisnis
Berinteraksi dengan Tenaga Kerja
Keluarga
Bordir
Berdasarkan data empiris di lapangan, komunitas IKBK bordir
di Kabupaten Kudus sebagian besar dilakukan di rumah sebagai tempat
usaha (bengkel) dan dikelola oleh suatu keluarga, dimana suami atau
isteri sebagai pemilik usaha dibantu dengan anggota keluarga yang lain
seperti isteri atau suami, anak, menantu sehingga pembagian area
publik (produktif) dan domestik (reproduktif) menjadi tidak jelas
secara fisik, usaha bukan lagi milik seseorang tetapi milik bersama dan
tidak jelas siapa juragan (suami atau isteri), tidak ada perjanjian dan
kontrak karena semuanya berlangsung karena saling menjaga
kepercayaan, saling memahami, saling membantu, dan sebagai social
capital. Bourdieu (dalam Richard Jenkins, 2013) mengatakan bahwa,
capital tidak selalu bermakna ekonomi tetapi capital juga bisa
bermakna sosial, budaya, politik, dan simbolik yang dapat
menghasilkan bukan hanya barang atau uang tetapi makna dan simbol.
Pekerja usaha bordir pada umumnya berasal dari lingkungan
keluarga inti (anak, saudara, menantu) maupun keluarga luar (tetangga
rumah dan tetangga desa) yang tidak mempunyai ikatan kerja formal
230
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
dengan pengusaha, sehingga hubungan kerja di antara mereka secara
informal. Keterlibatan pekerja saling bekerja sama membantu dan
saling percaya dalam pengelolaan dan proses produksi bordir sampai
pemasarannya dan para pekerja tersebut juga berperan dalam
mendukung perekonomian keluarga, keterlibatan keluarga sebagai
pekerja mendapat upah harian atau borongan dengan kesepakatan
(majikan dan pekerja) sebelumnya dan kondisi pekerja didominasi oleh
perempuan. Para pekerja sebagian melakukan aktivitas mengerjakan
produksi bordir di rumah/bengkel pengusaha bordir dan sebagian lagi
pekerja membawa pulang bahan-bahan bordir dari majikannya dan
mengerjakan aktivitas bordir di rumah masing-masing, ini yang sering
disebut sebagai tenaga kerja rumahan (home-woker)47.
Meskipun tenaga kerja bordir sebagain besar perempuan dan
dalam mengerjakan pekerjaan bordir di bawa pulang atau dikerjakan di
rumahnya tetapi tetap dalam kendali dan pengawasan pengusaha baik
itu dalam menentukan desain, penentuan kombinasi warna benang,
penentuan jenis dan warna kain dan akan dibayar dalam satuan
tertentu (pieces) yaitu borongan atau harian.
Hubungan pekerja dengan majikan (penguaha) dapat dilihat
sebagai hubungan kekuasaan dan pertukaran yang oleh Marx (2004)
disebut sebagai hubungan eksploitatif karena majikan membayar
pekerja hanya untuk kekuatan bekerjanya tanpa membayar untuk
pengeluaran sesungguhnya atas energi dan inteligensi manusia yang
diambil dan ditransfer menjadi komoditi yang dihasilkan mereka.
Namun karena antara pekerja dan pengusaha sama-sama memiliki
hubungan kekeluargaan yang baik dan hangat, serta menjaga
kepercayaan masing-masing, maka pekerja tidak merasa dirinya
dieksploitasi karena mereka mendapat gaji yang sudah disepakati, dan
masih bisa melakukan kegiatan rumah tangganya seperti mengantar
anak sekolah, belanja, memasak untuk keluarga tetapi yang penting
kesepakatan selesainya pekerjaan bordir serta kualitas bordir yang
diharapkan pengusaha (pemberi order). Hal ini terungkap dalam
wawancara dengan informan kunci Bp. H. Moch Anshori48 sebagai
berikut:
231
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
“para pekerja, saya beri kebebasan mau mengerjakan di
bengkel atau di rumahnya, yang penting pekerjaan selesai
tepat waktu, dan sudah disepakati pula dengan desain,
kombinasi warna benang tertentu karena secara teknik
membordir para pekerja sudah profesional, dan untuk tetap
menjaga kualitas tetap saya kontrol dengan mendatangi di
rumah para pekerja setiap sore hari (setelah sholat dhuhur)
dan harga pekerjaan bordir sudah disepakati bersama,
biasanya kalau dikerjakan di rumah pekerja dengan borongan
sedangkan kalau dikerjakan di bengkel (rumah pengusaha)
dengan harian, yang terpenting antara pengusaha dan
pekerja menjaga kejujuran dan norma-norma yang berlaku,
rata-rata pekerja ikut bekerja dengan saya rata-rata di atas 5
tahun lebih.”
Dalam memenuhi kebutuhan karyawan bordir yang dihadapi
usaha bordir ”Fadillah” dirasa cukup memadai. Dalam wawancara
secara mendalam dengan Ibu Sri Murni‟ah49 terungkap sebagai berikut:
”jumlah karyawan sameniko sampun cekap lan kualitas ipun
sampun sae, injih kawulo boten nambah karyawan, namun
menawi wedal pesanan katah, kawulo nembe pados
karyawan pocokan, sakmenika karyawan ingkang dateng
griyo 2 tiyang lan karyawan ingkang dateng griyonipun
kiambak-kiambak wonten 12 tiyang ngagem sistem
borongan, hanya untuk administarasi anak kulo kiyambak”
Artinya:
Jumlah karyawan sekarang sudah mencukupi dan kualitas
sudah baik, ya saya tidak menambah karyawan, tetapi kalau
pesanan banyak baru mencari karyawan “pocokan”, sekarang
jumlah karyawan 2 orang di rumah dan 12 orang karyawan
di rumahnya masing-masing dengan sistem borongan dan
kalau tenaga administrasi anak saya sendiri).
Dari karyawan yang dimiliki Ibu Hj. Sri Murni‟ah sudah ada
pembagian pekerjaan dari masing-masing karyawan, hal ini terungkap
dari hasil cuplikan wawancara sebagai berikut:
“sampun wonten pembagian tugas ingkang jelas kagem
masing-masing karyawan, wonten ingkang mengerjakan
bordir Juki kemawon, bordir manual “icik” dan wonten
ingkang mesin computer lan boten sisah melatih amargi
232
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
kawolu hanya menerima ingkang sampun saget bordir,sak
lajengipun dipun latih kaliyan bekerja”
Artinya:
sudah ada pembagian tugas yang jelas buat masing-masing
karyawan, ada yang hanya mengerjakan bordir mesin Juki,
bordir manual “Icik” dan mengerjakan bordir komputer dan
tidak melakukan pelatihan sebab saya hanya menerima yang
sudah bisa bordir dan seterusnya dilatih sambil bekerja).
Sementara itu seorang informan lainnya, Ibu Mirah pemilik
usaha bordir ”La Mirah” menyampaikan sebagai berikut:
”pembagian tugas pekerjaan boten rumit, namun tugas-tugas
membordir engkang kawolu tekanaken kaliyan karyawan
cekap sae lan boten ribet”.
Artinya:
di usaha bordir “la Mirah” pembagian tugas pekerjaan tidak
rumit, namun tugas-tugas membordir yang saya tekankan
bagi karyawan cukup baik dan tidak rumit.
Pada umumnya para pengusaha memberikan bonus atau hadiah
kepada para karyawannya apabila bisa bekerja sesuai target dangan
kualitas yang diharapkan komunitas pengusaha IKBK bordir, hal ini
bisa terungkap dari wawancara informan kunci maupun informan yang
lain. Seperti yang disampaikan Ibu Hj.Sri Muni‟ah dalam cuplikan
wawancara sebagai berikut:
“Kawulo ngaturi penghargaan kagem karyawan berupa uang
menawi karyawan saget damel bordir ingkang sae sesuai
kaliyan ingkang kawulo kersakake, sampun sami disain ipun
dan reginipun sae”
Artinya:
Saya memberi penghargaan buat karyawan berupa uang
kalau karyawan bisa membuat bordir baik sesuai dengan
yang saya harapkan, sama dengan disain dan harganya baik).
Demikian pula informan Bapak Nur Syafiq50 menyatakan:
”kami memberi bonus berupa uang dan memberikan
kebebasan karyawan sebagai usaha mempertahankan
karyawan agar tidak pindah ke tempat lain”.
233
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Karyawan pada umumnya baik yang bekerja di rumah
pengusaha maupun yang mengerjakan di rumah pekerja sendiri,
memiliki hubungan informal yang sangat baik, tanpa ditandai dengan
kontrak kerja secara tertulis, hanya dengan perjanjian lisan dengan
didasarkan saling percaya, hal ini disampaikan oleh para informan yang
dijumpai dan diwawancarai peneliti. Seperti Ibu Hj.Sri Murni‟ah yang
mengungkapkan sebagai berikut:
“pekerja bordir ingkang nyambut damel dateng mriki
puniko, katah ipun injih tetanggi dusun mriki kemawon,
amargi sampun kados sederek injih menawi ijin wonten
kebatahan sanes ipun injih monggo, contonipun dipun sambi
methuk lare sekolah, belanjo dateng peken, namun ingkang
penting damelanipun bordir rampung sesuai kaliyan wedal
ingkang sampun kawulo tenthok-aken, disain ingkang
kawulo tenthok-aken”
Artinya:
pekerja bordir yang bekerja di sini, kebanyakkan tetangga di
sini saja, karena sudah seperti saudara sendiri sehingga kalau
ada keperluan lain, ya silahkan contohnya menjemput anak
sekolah, belanja di pasar), namun yang penting pekerjaan
bordir selesai tepat waktu sesuai dengan disain yang telah
ditentukan).
Demikian juga informan Bapak H.Hasan51 menyampaikan
kepada peneliti sebagai berikut:
“Untuk mendapatkan pekerja bagi saya sangat mudah, yang
penting mereka sudah bisa menjahit, tinggal saya latih
mengkombninasikan benang dan warna kain dasarnya, itu
sudah kami gambarkan desainnya, dan hubungan saya
dengan karyawan tidak formal, karena semua perjanjian
kerja secara lesan, hanya saling percaya dan saling
menguntungkan, dan saya lakukan secara fleksibel saja, yang
penting hasil bordir sesuai yang saya kehendaki yaitu sesuai
desain yang saya inginkan dan rata-rata mendapat upah
dengan sistem borongan kalau gaji dibayar harian tanpa
makan siang mendapatkan Rp.60.000, per hari”.
Mendapat rejeki yang cukup banyak mendatangkan untung
maka, kegemberiaan atas keuntungan itu diwujudkan melalui
bersyukur dengan cara, menyisihkan keuntungan tersebut
234
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
disimpan/ditabung untuk merencanakan ibadah umroh. Hal itu
disampaikan Hj.Sri Murniah saat diwawancarai sebagai berikut:
”menawi pikantuk untung radi katah, kawulo sisihkan dipun
tabung kangge rencana bade kesah ngilen “umroh” (menawi
pikantuk untung cukup banyak, saya sisihkan di tabung buat
pergi ke Barat untuk ”umroh”). Namun jika mendapatkan
rejeki sedikit, ya harus disyukuri pula, tentunya tidak
menyisihkan untuk ditabung dan tidak mengurangi untuk
kulakan bahan-bahan bordir, bahaya. Nah, ini harus sesuai
dengan pemasukkan dan pengeluarannya.
Jadi ukuran keuntungan, atau kinerja yang baik bagi Hj.Sri
Murni‟ah adalah ketika sekurang-kurangnya dapat menyediakan
alokasi dana untuk arisan dan mengangsur kredit pinjaman. Seperti
ucapnya ”Tasih saget kagem bayar arisan, lan bayar utang kreditan”
(masih dapat buat bayar arisan, dan bayar utang kreditan).
Bagi pengusaha bordir yang penting mendapatkan keuntungan
akan mendorong pengusaha tetap berproduksi bordir untuk memenuhi
pesanan dan menjual langsung kepada konsumen, meskipun penjualan
langsung maupun pesanan bordir sangat dipengaruhi oleh faktor
musim (dalam konteks budaya) yang secara umum dialami semua
pengusaha bordir, misalnya sebelum bulan puasa Ramadhan dan hari
raya Idhul Fitri, pesanan dan omzet penjualan bordir meningkat. Hal
ini sesuai dengan yang diungkapkan Ibu Hj.Sri Murni‟ah sebagai
berikut:
”Biasanipun wedal bade wulan pusasa Rhomadon, bisaanipun
katah pelanggan ingkang pesan bordir baju Muslim, jilbab,
baju Koko dengan motif bordir lan kain-kain motif bordir
kagem kabayak”
Artinya:
Biasanya setiap waktu menjelang bulan puasa Rhamadan,
biasanya banyak pelanggan yang pesan baju muslim, jilbab,
baju koko dengan motif bordir dan kain-kain motif bordir
untuk kebaya).
Demikian pula Ibu Nurul Hikmah52 menjelaskan kepada
peneliti bahwa:
235
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
“Setiap musim orang punya hajat, souvenir menikahkan
putra-putrinya, atau mendekati hari besar keagamaan banyak
pesanan baik konsumen maupun pemilik toko yang memesan
souvenir dompet, tutup gelas, tempat tisu,taplak meja dll, ya
lumayan omzetnya”.
Konsep keuntungan bagi para pengusaha bordir cukup
sederhana, kadang-kadang tidak diperhitungkan oleh berbagai
komponen yang selalu dianggap biaya. Keuntungan adalah saldo selisih
antara harga jual yang yang telah dikurangi harga pokok barang,
namun dalam kisaran tidak lebih dari 15%. Pedagang tidak menafikan
untuk mendapatkan keuntungan yang banyak sehingga keluarga
sejahtera, namun pada umumnya komunitas pengusaha bordir setiap
usaha selalu dikaitkan dengan motif untuk ibadah seperti zakat,
sedekah, infak maupun kegiatan sosial dilakukan secara rutin. Jadi
tidak semata-mata mencari keuntungan yang besar dan melupakan
ibadah. Indikator dan bukti secara empiris cukup banyak ditemukan,
diantaranya setiap hari Jumat pengusaha bordir menutup usahanya
atau dibuka lagi setelah lewat sholat Jumat, memberikan zakat,
sedekah meskipun permintaan bordir sepi, seperti yang diucapkan oleh
Ibu Islahiyah53 bahwa:
“Kulo, nek sepi pesanan bordir boten tentu, kadang-kadang
wulan Pebruari ngatos Maret, namun sakwedal ipun bede
romadhon lan dinten Riyadi injih radi rame, ningali rejekine
teka Pangeran (Allah SWT), menawi nembe kesel nggih
istirahat, nek rame nggih remen sanget, ngantos garapipun
lembur-lembur injih tetap amal ngaturi shodakoh, zakat
utawi infak injih tetap”.
Artinya:
kalau sepi pesanan bordir tidak tentu, kadang-kadang bulan
Februari sampai April, namun sewaktu mendekati bulan
Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri ya cukup ramai, ya
seneng sekali, melihar rejekinya datang dari Allah SWT,
kalau baru capek ya istirahat, kalau rame ya senang sekali
sampai mengerjakan lembur-lembur ya tetap beramal
memberikan zakat, sedekah atau infak”.
Keberlanjutan usaha bordir dibangun dan dipelihara melalui
pengembangan disain dan corak kombinasi warna benang yang
236
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
menarik serta memiliki keunikan tersendiri. Jadi minat untuk
mengembangkan bordir di kalangan pengusaha bordir sangat tinggi
dan bukan atas dasar permintaan pangsa pasar yang dominan
diperlukan oleh banyak konsumen, dan bukan atas harga yang
menarik, tetapi ada keinginan untuk melestarikan dan menguri-uri
bordir di Desa Padurenan Kecamatan Gebog yang sudah merupakan
warisan para orang tua, sehingga masih bertahan sampai sekarang.
Usaha bordir yang dikembangkan keluarga, tidak hanya sekedar space
tempat melakukan kegiatan bisnis tetapi sebagai tempat dalam
menimba ilmu memproduksi bordir dan menjualnya kepada
konsumen, sehingga sebagai praktik nyata (learning by doing and
natural education) orang tua kepada anak-anaknya dalam menjalani
etika berdagang, memelihara dan menepati janji pembayaran, menjaga
kualitas barang, menjalin kerja sama, memberikan pelayanan yang
memuaskan kepada pelanggannya. Hal ini seperti yang diungkapkan
Bapak H.Maskan54, suami dari Ibu Hj. Sri Murni‟ah:
“Sebenarnya saya bukanlah yang menjalankan usaha ini
tetapi isteri saya dan anak-anak. Saya hanyalah sebagai
pendukung atau memberi masukan kepada isteri dan anakanak saya dalam menjalankan usaha bordir. Isteri saya punya
bakat dagang dari orang tuanya. Waktu masih sekolah isteri
saya sudah rajin menabung, terus selalu membantu orang
tuanya memproduksi bordir dan menjualnya ke pasar atau ke
pengecer. Dari pengalaman itulah setelah menikah dengan
isteri saya, isteri saya mencoba mulai membuka usaha sendiri
sampai sekarang dan cukup berhasil…ya otodidak ya ilmu
katon saja (ilmu dari melihat/mengamati saja)……”
Pengusaha Industri Kecil Bisnis
Berinteraksi dengan Konsumen
Keluarga
Bordir
Perilaku konsumen dalam berkonsumsi, diasumsikan bahwa
seseorang konsumen merupakan sosok yang cerdas dan rasional. Dalam
artian, konsumen tersebut mengetahui secara detail tentang income
dan kebutuhan yang ada dalam hidupnya serta pengetahuan tentang
jenis, karakteristik, dan keistimewaan komoditas yang ada. Rasionalitas
237
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
konsumen selalu mengalami perubahan dan berkembang, pada zaman
modern ini selalu mengarah pada peningkatan efisiensi, menggunakan
teknologi yang bisa memberi kemudahan, terutama dalam penggunaan
sumber daya manusia ke arah sumber daya non manusia.
Perilaku seorang komsumen terkadang dipengaruhi oleh
lingkungan sosial, budaya, politik dan ekonomi dalam menentukan
komoditas dan jasa yang harus dikonsumsi. Bahkan sekarang ini, sering
ditemukan seorang konsumen yang mengkonsumsi atau membeli
produk baru tetapi tidak dilandasi oleh pengetahuan tentang komoditas
tersebut, tetapi didasarkan karena pengaruh advertensi (iklan) yang
dapat mempengaruhi dan membuat image baru tentang sebuah produk.
Sesungguhnya antara kepentingan produsen sebagai penjual
bordir dengan konsumen adalah sama-sama ingin mendapatkan
manfaat maksimal, bagi produsen menjual bordir ingin mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya melaui omzet penjualan yang besar,
sedangkan konsumen ingin memperoleh kepuasan maksimal dengan
harga yang terjangkau. Sistem harga luncur, disertai dengan tawarmenawar antara produsen dan konsumen yang ramai dan kadangkadang agresif menjadi ciri sistem harga luncur dalam situasi
penetapan harga yang tidak pasti. Tawar-menawar yang tidak selesaiselesai dalam menentukan harga merupakan refleksi dari kenyataan
tidak adanya pembukuan yang baik dan perhitungan anggaran serta
biaya jangka panjang itu telah menimbulkan kesulitan, baik bagi
pembeli maupun penjual dalam menentukan harga yang “pantas”.
Produsen bordir akan menjual dalam memaksimalkan
keuntungan dengan mengambil margin harga tinggi dan mendapatkan
harga jual dengan tawar-menawar. Ketika tawar-menawar berlarutlarut, maka sering kali hasilnya justru cenderung berupa kegagalan,
konsumen tidak jadi membeli. Oleh karena itu banyak produsen
menjual bordir dengan tidak memaksakan margin harga yang besar dan
keuntungan yang dicanangkan bersifat lentur atau elastis.
Bagi komunitas pengusaha bordir yang semakin meningkat
omzet produksi bordir dan jualnya, itu sebagai petanda semakin kuat
238
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
kapasitas interpersonal kepercayaanya sebagai hasil dari kepercayaan
produk bordir kepada konsumen atau pelanggannya, baik personal
maupun pedagang eceran tidak terbatas pada Kota Kudus, tetapi bisa
berbagai kota yaitu Pekalongan, Surakarta, Malang bahkan Denpasar
(Bali). Demikian pula kepercayaan dari para pemasok bahan baku juga
semakin tinggi dikarenakan pengusaha bordir tersebut menjaga
kepercayaan tepat waktu melunasi bahan baku yang dibelinya, bahkan
sering digunakan caranyaur ngamek. Hal itu karena pengusaha bordir
tersebut telah mendapat semacam sertifikat “kepercayaan sosial” (social
credentials) sehingga sebagai pedagang memiliki aksesibilitas peluang
sumber daya usaha lebih besar.
Menunjuk pada informan kunci Ibu Hj.Sri Murni‟ah pemilik
usaha bordir “Fadillah Embroidery” tanpa dibuat-buat, apa adanya dan
jauh daripada kesan hyperbolik, menunjukkan sikap kejujuran,
perilaku sabar, tata cara komunikasi bagus dan memelihara
kepercayaan sebagai modal usaha yang amat menentukan
berlangsungnya usaha.
Berdagang adalah interaksi antara penjual (produsen) dan
pembeli, oleh karena itu membangun kerja sama serta menjalin
komunikasi dilakukan dengan baik. Bila sudah ada kecocokan dengan
pembeli, karena telah mengenal dengan baik melalui jual beli berulang
kali, terjalinnya hubungan baik maka hubungan antara penjual
(produsen bordir) dengan pembeli yang sudah menjadi pelanggan. Cara
berkomunikasi, berinteraksi dan selalu menjaga kejujuran dengan
pembeli merupakan kekuatan modal berjualan yang dimiliki produsen
bordir, dan hubungan yang baik itu jika dipelihara sebagai norma atau
nilai-nilai yang disepakatinya. Cara yang dilakukan Ibu Hj.Sri
Murni‟ah selalu membuat terkesan bagi siapa pun yang pernah
berbelanja di rumahnya:
“Dagang meniko kedah sumeh, disiplin. Sumeh meniko
ingkang dipun padosi tiyang, boten pikantuk cepet nesu
menawi dipun tawar dagangan kanti murah”
Artinya:
239
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Dagang itu harus sumeh, disipin. Sumeh itu yang dicari
orang, tidak boleh marah-marah kalau dagangan ditawar
murah).
Untuk melihat dan mendalami pengusaha IKBK bordir di
tempat penelitian yang dipilih, peneliti menetapkan beberapa
informan kunci, salah satunya ibu Hj.Sri Murni‟ah pemilik usaha
bordir “Fadillah”, asal mulanya merupakan usaha dari orang tuanya
(warisan) yang kemudian dikembangkan dan diberi nama usaha
“Fadillah”. Pemilik usaha “Fadillah” sangat sederhana dan tidak
mengesankan bila diperhatikan cara pandang tentang betapa
pentingnya suatu modal financial, demikian pula tidak pernah
mendapat pendidikan formal yang mengajarkan teori tentang norma
dan nilai berdagang, jaringan usaha, kepercayaan, hubungan timbal
balik sebagai model usaha. Namun berdasarkan pengalaman selama
mengikuti dan membantu orang tua dalam berbisnis bordir ternyata
menjadikan proses pembelajaran, sehingga mampu mengemukakan
pandangannya tentang bisnis bordir, tanpa dibuat-buat, apa adanya
yang menunjukan nilai kejujuran, mampu memelihara kepercayaan,
perilaku sabar, tata cara komunikasi baik, berhubungan timbal balik
dengan sesama baik sebagai modal usaha yang amat menentukan
kelangsungan usaha bordir. Sebagaimana yang diungkapan Ibu Hj.Sri
Murni‟ah55 kepada peneliti sebagai berikut:
“kejujuran
lan kesabaran kuncinipun kawolu padhos
pedagang kain lan batik besar dateng peken Kliwon-Kudus
dan Peken Klewer Surakarta supados purun tumbas hasil
produksi bordir kawulo. Alhamdulilah, wonten pengusaha
pemilik toko batik lan konveksi “Toko Sinar Jaya” keturunan
Cina purun tumbas ‟kulakan‟ produksi bordir kawulo lan
ngantos sakmeniko dodhos jujugan menawi kentun bordir,
lan pembayaranipun injih lancar. Amargi rembagan engkang
sae lan kejujuran ingkang kawulo jagi ngantos sakmeniko
kawulo tasih dipun pitados kaliyan pemilik Toko Sinar Jaya
peken Klewer-Surakarta, ugi katah pedagang kain peken
Kliwon Kudus injih katah ingkang pesen bordir kawulo, injih
Alhamdulilah dipun pitados tiyang ya kedhah dipun jagi ”.
Artinya:
240
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
kejujuran dan kesabaran, kuncinya saya mencari pedagang
kain dan batik besar di Pasar Kliwon Kudus dan Pasar Klewer
Surakarta supaya mau membeli hasil produksi bordir saya.
Alhamdulilah, ada pengusaha pemilik toko batik dan
konveksi “Toko Sinar Jaya” keturunan Cina mau beli
”kulakan” produksi bordir saya dan sampai sekarang menjadi
tujuan mengirim bordir, dan pembayaran ya lancar. Sebab
komunikasi yang baik dan kejujuran yang selalu dijaga,
sampai sekarang masih dipercaya dengan pemilik Toko Sinar
Jaya di pasar Klewer Surakarta, demikian juga banyak
pedagang kain pasar Kliwon Kudus, ya banyak yang pesan
bordir saya, ya Alhamdulillah dipercaya orang ya harus
dijaga).
Kejujuran harus menjadi dasar pengusaha bordir, bila dirinya
berharap usahanya akan tetap berkelanjutan. Temuan fenomena nilai
kejujuran dalam berdagang bagi pengusaha bordir juga diperoleh dari
ungkapan Bapak H.Moch Anshori56 ketika menuturkan informasi
tentang tawar-menawar dengan konsumennya:
“saat menawarkan hasil produk bordir kadang-kadang ada
pengusaha bordir yang mengatakan harga yang ditawar di
bawah harga pokok padahal belum tentu benar, meskipun
hanya sebagai pemanis kata saja itu tidak baik karena sudah
berbohong sebab bila pembeli ternyata benar-benar
mengetahui harga produksi bordir maka dapat kehilangan
kepercayaan pembeli. Dan saya hanya mengatakan kepada
pembeli kalau dibolehkan dinaikkan sedikit harganya, kita
tidak bohong, ya seandainya pembeli menyetujui kita dapat
untung sedikit, tetapi akan menambah pelanggan”
Bahkan waktu diadakan pameran produk inovatif yang
diadakan di Citraland-Semarang selama 3 hari, KSU Padurenan Jaya
bekerja sama dengan Bank Indonesia, Bank Jateng dan Dinas
Perindustrian Perdagangan dan UKM Kabupaten Kudus telah
mengirim pengusaha Bordir dari Kelurahan Padurenan-Kecamatan
Gebog, yang diwakilkan oleh antara lain Ibu Hj.Sri Muni‟ah, Ibu
Mirah, Ibu Islahiyah yang menjaga stand bordir dari hasil produksi
para pengusaha bordir di Desa Padurenan Kec.Gebog. Waktu Ibu Hj.
Sri Murni‟ah menjaga stand bazar pada sore hari, terungkap bagaimana
241
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
cara Ibu Hj. Sri Murni‟ah dengan sumeh, ramah dan komunikatif
menyakinkan pengunjung yang berkeinginan membeli sebagai berikut:
“monggo-monggo mresani rumiyen, meniko wonten jilbab,
bluse, baju koko, taplak ingkang dipun bordir utawi meniko
tas,dompet, tempat tisu, tutup tatakan gelas utawi tutup air
gallon semua wonten bordir ipun, dipun presani boten
menopo-menopo”
Artinya:
mari-mari melihat dulu, ini ada jilbab, blouse, baju koko,
taplak yang sudah dibordir, atau ada tas, dompet, tempat tisu,
tatakan gelas atau tutup air gallon semua ada bordirnya,
dilihat-lihat dulu tidak apa-apa.
Ketika ada seorang pembeli mengatakan:
“Bu disana jilbab ini hanya 25 ribu, lo bu…….
Ibu Hj.Sri Murni‟ah sambil melayani pembeli lain merespon
sebagai berikut:
“Masa sih? ya sudah beli yang lain, ini kembalikan, boleh
tukar warna jilbab yang lain tidak apa-apa tetapi… tukar
uang tidak boleh”.
Kejujuran, sabar dan telaten bagi pengusaha bordir itu harus
menjadi pegangan. Hal ini sering dilakukan para pengusaha bordir dari
Desa Padurenan Kecamatan Gebog–Kudus yang mengikuti bazar atau
pasar murah yang dikoordinir oleh KSU Padurenen Jasa yang bekerja
sama dengan BI atau Bank Jateng di kota Semarang atau kota-kota lain
di Jateng. Sewaktu secara bergantian menjaga stan bazar Ibu Hj.Sri
Murni‟ah tidak menawarkan barang bordir milik sendiri tetapi justru
produksi bordir titipan teman-teman yang ditawarkan dan laku terjual,
hal itupun disampaikan Ibu Hj.Sri Murni sebagai berikut:
“boten menopo-menopo, rejeki meniko saking Gusti Allah,
sanajan kawulo jagi stand bordir kagungan rencang-rencang
dititipkan wonten basar lan ingkang laku bordir kagungan
rencang, injih kedah iklas lan jujur”
Artinya:
tidak apa-apa, rejeki saking Gusti Allah, jaga stand bordir
milik teman-teman yang menitipkan di bazar ini, dan yang
laku bordir kepunyaan kawan, ya harus iklas dan jujur)
242
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
Menurut Ibu Hj.Sri Murni‟ah sebetulnya tawar menawar,
meskipun semua barang bordir yang dipajang itu sudah ada harganya,
tetapi kenyataannya tawar menawar sudah menjadi norma atau
kelaziman yang diterima dan sudah menjadi kebiasaan yang
berlangsung pada hubungan transaksi antar penjual dengan pembeli
sehingga mencapai keseimbangan, harga dan barang sudah disepakati
dan diterima antara pembeli dan penjual. Seperti yang disampaikan
oleh Ibu Hj.Sri Murni‟ah kepada peneliti sebagai berikut:
“Injih, kito kedah ngaturi pirso bilih barang bordir ingkang
dipun wadhe meniko langkung mirah, kito paringi informasi
ingkang leres mengenai bordir ingkang dipun dasaraken
benten reginipun, wonten bordir “icik57”reginipun langkung
awis, ketimbang bordir mesin Juki atawi mesin bordir
computer, namun bisanipun kito sampun ngaturi perso
sakderengipun menawi jenis bordir, lan kualitas bordir
reginipun injih beda”
Artinya:
Kita harus memberikan informasi sebelumnya, bila bordir
yang didasarkan itu beda harganya, bordir “icik” harganya
lebih mahal, daripada bordir mesin Juki atau mesin bordir
komputer, namun biasanya kita sudah memberitahukan
sebelumnya kalau jenis bordir dan kualitas border harganya
bisa berbeda).
Pengelolaan pemasaran biasanya dilakukan sendiri oleh
pengusaha bordir sendiri. Sedangkan pekerjaan membordir dilakukan
oleh karyawan yang datang dari desa di sekitarnya. Sebagian besar
tenaga kerja bekerja di rumah pekerja masing-masing dengan mesin
bordir yang mereka miliki, dan hanya sebagian kecil karyawan bekerja
membordir seharian di tempat majikannya. Majikan biasanya tidak
banyak ikut campur dengan cara kerja membordir, kecuali kontrol
pada hasil bordirannya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Bapak
H.Moch Anshori58 seorang informan kunci lainnya sebagai berikut:
“Pemasaran hasil bordir kami lakukan sendiri, yang keliling
ke pengepul atau ke toko-toko di Kudus, Magelang, Solo,
Semarang atau Jepara, dan setiap 2 minggu sekali saya muter
ke kota-kota tersebut untuk menyerahkan hasil bordir atau
mengambil hasil penjualan dan keuntungannya ya yang
243
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
penting dapat untuk usaha lagi dan dapat untuk makan se
hari-hari karena “rejeki ini yang penting bukan jumlahnya,
tetapi barokahnya, sehingga tidak perlu dihitung-hitung”.
Demikian pula informan Bapak Nur Syafiq59 dan Bapak
H.Hasan60 menyatakan dalam wawancaranya yang intinya hampir
sama bahwa:
“tidak bisa memperhitungkan hasil yang dicapai karena
penghasilan itu terus diputar dan mengalami pasang surut
terus-menerus, kadang untung banyak, tetapi keuntungan itu
bisa habis untuk menutup kerugian yang telah dialami, tetapi
kadang-kadang untung sedikit tetapi bisa menyisihkan untuk
membeli barang-barang, begitu seterusnya dan perhitungan
mereka hanya berdasarkan perkiraan sesuai dengan
keuntungan normal”.
Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir dengan
Pemasok Bahan Baku
Kebutuhan bahan baku seperti berbagai corak kain, benang
jahit, benang bordir, benang bordir polos, kain keras, kancing hem,
kancing celana, bermacam-macam perlengkapan jahit lainnya
keberadaannya merupakan kunci keberhasilan pendukung bagi
seorang pengusaha bordir. Banyak toko di Kudus yang menyediakan
bahan baku tersebut antara lain toko Nufiya, toko Urip, toko Kita, toko
Novita, toko Tansur dan toko Salva, maupun KSU Padurenan Jaya yang
menyediakan kebutuhan bahan baku dan jasa bordir komputer dengan
kualitas dan harga yang bersaing.
Pada dasarnya para pengusaha bordir menyatakan cukup
mudah mencari bahan baku bordir dan hanya sebagian kecil yang
menyatakan mengalami kesulitan untuk bahan-bahan tertentu yang
akan digunakan untuk memproduksi bordir pesanan khusus. Hal ini
sesuai dengan apa yang diungkapkan informan Bapak. H. Hasan61
berikut ini:
“bahan baku diperoleh cukup mudah di Kota Kudus dan
sekitar industri kecil bordir ini seperti KSU Padurenan Jaya”.
244
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
Sementara informan Bapak H.Moch Anshori62 mengungkapkan
kepada peneliti bahwa:
“pengadaan bahan baku untuk keperluan produksi bordir
cukup mudah, karena sudah ada penyuply tetap yang
didatangkan dari Semarang dan Bandung secara rutin dengan
harga yang lebih murah dan kualitas yang bagus bahkan
kadang pinjaman berupa bahan baku tertentu dengan dibayar
kemudian dari penyuplay dilakukan 1(satu) bulan sekali” .
Sedangkan pengusaha bordir Ibu Islahiyah63 mengungkapkan
dalam wawancara dengan peneliti sebagai berikut:
“kalau ada pesanan khusus kami mencari bahan yang
berkualitas dengan warna yang khusus dan kalau di Kudus
tidak ada ya ke kota lain seperti di Semarang bahkan sampai
ke Solo dan kami tidak ada toko langganan khusus dan setiap
membeli berpindah-pindah hanya untuk mencari yang
berkualitas baik dan kami melakukan pembelian pengadaan
bahan baku dilakukan 10 hari sekali”.
Hampir semua informan pengusaha bordir mengatakan harga
bahan baku bordir masih cukup terjangkau. Seperti informasi dari
Bapak Nur Syafiq64 bahwa:
“harga bahan baku bordir relatif terjangkau dan jika ada
kenaikan harga bahan baku, kami tinggal menyesuaikan
dengan harga jual.”
Informan yang lain Ibu Hj.Sri Murni‟ah65 mengungkapkan
mengenai harga bahan baku sebagai berikut :
“menawi awis lan regi bahan baku tergantung kalian
jenis,warna dan merk bahan baku, menawi reginipun bahan
baku mindak, kawulo bade unggah aken regi wadenipun”
Artinya:
apabila mahal dan harga bahan baku tergantung jenis, warna
dan merek bahan baku. Apabila harganya bahan baku naik,
saya naikkan harga jual).
Bahkan untuk menyuply bahan baku bordir yang sering kami
terima dari toko-toko kadang-kadang kami menggunakan model
pembayaran dengan nyaur ngamek. Hal itu karena pemilik toko sudah
245
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
memberikan kepercayaan pembayaran selalu tepat waktu. Pola
semacam ini bagi Ibu Hj. Sri Murni‟ah adalah komitmen untuk
memelihara kepercayaan, dan setiap saat diutarakan:
”bisnis meniko boten saget plin-plan”
Artinya:
(berbisnis itu tidak boleh ingkar janji).
Tidak semua toko penyedia bahan baku bordir menyediakan
pola pembayaran dan pengambilan bahan baku dengan nyaur ngamekkecuali para pengusaha bordir secara tetap “ajeg” tepat waktu
membayar-melunasi utangnya. Bagi pengusaha industri bordir yang
tidak sanggup secara rutin membayar utangnya, maka agen pemasok
bahan baku atau toko penyedia bahan baku bordir tidak mau mengirim
ke pengusaha industri bordir atau bahan baku yang diberikan kepada
pengusaha industri bordir akan terbatas.
Pada saat ini, banyak toko yang sudah tidak memberikan
fasilitas nyaur ngamek seperti dulu, disebabkan ada pengusaha bordir
yang agak nakal yaitu sudah ngamek (utang) bahan baku sampai
seharga 2 juta rupiah dan tidak nyaur (melunasi) dengan semestinya,
yang kemudian membuat toko sebagai agen pemasok bahan baku tidak
dibolehkan ngamek lagi, kalau tidak dibayar kontan. Seperti yang
diungkapkan Ibu Mirah66:
“sakmeniko katah toko –toko bahan baku bordir boten saget
ngagem coro “nyaur ngamek” malih lan menawi tumbas
kedhah konstan”
Artinya:
sekarang banyak toko-toko bahan baku bordir tidak bisa
dengan cara “nyaur ngamek” lagi dan kalau beli harus
kontan).
Pemilik usaha bordir Bapak H.Noor Kholid67, pernah
mengalami situasi yang amat sangat memaksa yaitu pada saat kondisi
konsumen di pasar mengalami kelesuan sehingga target penjualan tidak
tercapai, maka pilihan terakhir yang dilakukan Bapak Noor Kholid
yaitu dengan semoyo yaitu janji untuk meminta penundaan pelunasan
pembayaran, didasarkan kejujuran atas kondisi pasar lesu dan bukan
246
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
karena menyalahgunakan uang pembayaran kepada agen atau toko
bahan baku bordir. Seperti yang diungkapkan kepada peneliti:
“saya pernah terpaksa melakukan penundan pembayaran
“semoyo” waktu ditagih membayar pembelian di salah satu
toko bahan baku bordir minggu lalu, karena pada saat itu pas
lagi sepi dan saya sangat membutuhkan bahan baku
tersebut”.
Pengusaha industri kecil bordir dalam membangun jaringan
dengan pemasok bahan baku (supllier), dengan mengembangkan dan
menjaga norma atau nilai-nilai dalam mengatasi persoalan bahan baku
bordir yang mengalami kerusakan atau warna dan kualitas yang tidak
sesuai. Rusak, cacat atau ketidaksesuaian dengan yang diharapkan
pengusaha industri bordir yang dibeli dari agen pemasok atau toko
bahan baku bordir dapat ditukarkan kembali, sehingga Ibu Hj.Sri
Murni‟ah menyampaikan kesepakatan dengan pemilik toko bahan
bordir sebagai berikut:
“yen aku tuku ning kene, nek ono benang, kain utowo
liyane yen ora cocok bisa dibalekno to”
Artinya:
Kalau saya beli di sini, apa itu benang, kain atau yang lain
kalau tidak sesuai bisa dikembalikan, sehingga tidak
mengalami kerugian.
Demikian pula bila palanggan atau pembeli baru, kalau
membeli bordir pengusaha bordir dan tidak cocok bisa dikembalikan
tetapi kalau bordir pesanan tidak bisa dikembalikan, ini terungkap
dalam wawancara dengan Ibu Islahiyah sebagai berikut:
”Ya, kalau ada pembeli atau langganan membeli baju blouse
bordir, kebaya bordir atau yang lain, kalau ternyata setelah
sampai rumah tidak cocok, diberikan garansi bisa
dikembalikan dalam waktu 1 (satu) bulan, tetapi kalau
pesanan tidak bisa dikembalikan”.
Konsep nyaur ngamek merupakan gejala hubungan sosial yang
menjadikan kerja sama berdasarkan norma-norma dan nilai kejujuran
yang dibangun dan saling bermanfaat secara timbal balik. Hubungan
antara pengusaha industri bordir dengan agen /toko bahan baku bordir
247
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
sebagai pemasok bahan baku, telah terjadi ikatan ekonomi yang
didasarkan pada jaringan, hubungan timbal balik yang harmonis, yaitu
menjaga hubungan antar manusia melalui norma dan nilai “kejujuran
atau kepercayaan”, sebagai bentuk social capital yang dikembangkan
oleh Fukuyama (2005). Menurut Bourdieu (1980; 1986) erat dan tahan
lamanya ikatan sama vitalnya: social capital merepresentasikan
“agregat sumber daya aktual atau potensial yang dikaitkan dengan
kepemilikan jaringan yang bertahan lama”. Social capital dapat
dibangun secara spontan setiap saat oleh pelaku-pelaku siapapun yang
menjalani kehidupan sehari-hari.
Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir dengan
Pemangku Kepentingan
Sudah menjadi kewajibaan pemerintah untuk membina dan
meningkatkan usaha kecil seperti pengusaha Industri Kecil Bisnis
Keluarga bordir, untuk itulah pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No.17 Tahun 2013 tentang
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro,Kecil dan menengah terutama ketentuan Pasal 12 ayat (2), Pasal
16 ayat (3), Pasal 37, Pasal 38 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (3).
Berdasarkan peraturan tersebut Pemerintah Kabupaten Kudus
melakukan pembinaan dan peningkatan UKM melalui jalur Dinas
Perindag &UKM, kecamatan sampai tingkat kelurahan.
Desa Padurenan Kecamatan Gebog-Kab Kudus dikenal dengan
Desa Produktif, berkat partisipasi dan kesadaran untuk mengembangkan Desa Padurenan oleh beberapa tokoh masyarakat seperti
Bapak H.Moch Anshori, Bapak H.Gufron, Bapak Muh Sholichan,
Bapak Abdul Rauf bersama perangkat Kelurahan dan dibina oleh Bank
Indonesia dan Bank Jateng telah mendirikan Koperasi Serba Usaha
Padurenan Jaya dengan Akte Pendirian Nomor: 503/208/BH/21/2009
dan telah diresmikan oleh Bupati Kudus pada tanggal 5 Agustus 2009,
sejalan dengan itu ditetapkannya Desa Padurenan sebagai Desa
Produktif Klaster Bordir dan Konfeksi oleh KBI (Koordinator Bank
248
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
Indonesia) Semarang bersama dengan stake holder terkait yaitu Dinas
Tenaga Kerja Transmigrasi dan Kependudukan Propinsi Jawa Tengah,
Balai Besar Peningkatan Produktivitas (NNPP) Direktorat Jendral
Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas, Bank Jawa Tengah, GTZ Red
dan Pemerintah Kabupaten Kudus. Program tersebut ditandai dengan
lounching pada tanggal 5 Agustus 2009 disertai penandatanganan
Dokumen Kesekapatan Kerja sama (MoU) antara para pihak di atas
yaitu No: 11/37/ DKBU/BPBU/SM.563 /6298.B73 /LattasBBPP/VII/09,4525/ HT.01.02 /2009 dan 59 Tahun 2009.
Kegiatan KSU Padurenan Jaya selain berfungsi sebagai wadah
untuk mengumpulkan modal dari anggota yaitu berupa Produk Simpan
Pinjam, Simpanan Wajib, Simpanan Sukarela dan Simpanan Khusus
dan selanjutnya disalurkan kredit kepada para anggota KSU Padurenan
Jaya. KSU Padurenan Jaya juga mempunyai toko penyedia bahan baku
dan penolong meliputi: berbagai macam jenis kain, benang jahit,
benang bordir “Double Penguin”, benang bordir polos, kancing hem,
kancing celana, berbagai macam resleting dan perlengkapan jahit
lainnya. Untuk membantu para pengusaha bordir KSU Padurenan Jaya
juga mengembangkan jasa bordir komputer dengan kualitas dan harga
yang bersaing, serta pelayanan yang efektif dan efisien serta ditunjang
dengan 3 (tiga) mesin bordir komputer yang berkualitas serta didukung
dengan tenaga yang ahli di bidangnya. Seiring kemajuan teknologi
pemasaran produk dengan menggunakan sistem Online melalui web
dengan alamat www.padurenanjaya.com, dan juga bisa dipesan melalui
email di admin@padurenanjaya .com.
Adapun Visi Program Pengembangan Klaster Bordir dan
konfeksi di Desa Padurenan Kudus adalah ”Menjadikan Desa
Padurenan sebagai Klaster Wisata yang memiliki produktivitas serta
daya saing industri yang tinggi sehingga menjadi penggerak bagi
pertumbuhan ekonomi desa sekitarnya”. Sedangkan misi program
adalah: 1) pemberdayaan masyarakat Desa Produktif Padurenan
sebagai manusia yang religius, kreatif, produktif, dan memiliki etika
bisnis serta modal sosial yang tinggi, 2) mendorong keterlibatan aktif
dari aparatur pemerintah dalam pembangunan fisik/infrastruktur serta
249
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
stake holders terkait dalam peningkatan daya saing industri kecil
bordir dan konfeksi sehingga mendukung terwujudnya klaster bordir
dan konfeksi di Desa Produktif Padurenan Kudus, dan 3) mendorong
tumbuhnya berbagai industri pendukungnya serta jaringan usaha yang
besinergi untuk meningkatkan daya saing klaster bordir dan konfeksi
di Desa Produktif Padurenan Kudus.
Ketua KSU Padurenan Jaya Bapak Arif Chuzaimahtum68 yang
juga sebagai Kepala Desa Padurenan menyatakan:
“Sejak tahun 2009 sudah banyak bantuan yang diberikan
kepada KSU Padurenan Jaya yaitu bantuan Bank Jateng Cab.
Kudus tahun 2009 Rp.100.000.000,-; Mesin jahit High Speed
sebanyak 7 buah dari Pemkab Kudus tahun 2009; Mesin
bordir Komputer 12 kepala jarum dari Pemprov Jawa tengah
tahun 2010; bantuan 24 mesin jahit “High Speed” dari
Pemprov Jawa Tengah tahun 2011; bantuan 24 Mesin “NRCI‟
dari Pemprov Jawa Tengah tahun 2011; bantuan mesin
bordir komputer 12 kepala bantuan dari pemprov Jawa
Tengah tahun 2011 dan tahun 2012 menerima bantuan hibah
dari Kementrian Koperasi dan UKM tahun anggaran 2012
sebesar Rp.100.000.000,- dan semua bantuan secara aktif
dipergunakan untuk membina anggota koperasi pengusaha
bordir dan konfeksi sebanyak 176 orang”.
Selanjutnya Bapak Arif Chuzaimahtum menambahkan dengan
penambahan modal koperasi berdampak pada:
“bertambahnya bahan kebutuhan bahan baku dan penolong
anggota koperasi bordir dan konfeksi; mempermudah
pengusaha bordir dan konveksi memperoleh bahan baku dan
penolong dengan cepat dan dengan harga yang murah, serta
mempermudah melakukan pembinaan dan pelatihan
berusaha bordir dan konfeksi dan renofasi ruang
pamer/display telah mampu memperkenalkan hasil produksi
bordir dan konfeksi dan mampu memperluas dan
meningkatkan pemasaran”.
Berdasarkan hasil laporan evaluasi perkembangan bantuan
Peralatan oleh Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Tengah atas
bantuan mesin bordir Komputer sebanyak 3 (tiga) unit telah
memberikan keuntungan yang cukup besar sebelum ada bantuan
250
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
pendapatan bersih Rp.1.469.145,83 per bulan dan setelah ada bantuan
pendapatan meningkat menjadi Rp.3.117.987,50 per bulan serta
manfaat bagi anggota koperasi adanya peluang untuk menggunakan
jasa bordir komputer lebih banyak dikarenakan mesin lebih dari satu,
selain itu lebih dekat dan pelayanan lebih baik. Meskipun masih ada
kendala yaitu walaupun jasa bordir komputer sudah beropersi non stop
24 jam (tiga shif), namun masih banyak anggota Koperasi yang belum
bisa terlayani secara maksimal dengan 3 (tiga) buah mesin bordir
Komputer yang ada dan pembayaran jasa Koperasi untuk anggota bisa
dicicil sebanyak 3 kali dan masih belum mampu merealisasi keinginan
anggota Koperasi yang menginginkan jasa bordir mesin komputer
pembayarannya dilakukan pada saat lebaran (dalam tempo 1 tahun)
karena membutuhkan biaya operasi yang besar.
Keberadaan KSU Padurenan Jaya memberikan manfaat bagi
pengusaha bordir, hal ini seperti yang diungkapkan beberapa informan
sebagai berikut:
Ibu Mirah69 yang rumahnya berdekatan dengan kantor KSU
Padurenan Jaya menyatakan:
“kebetahan bahan baku bordir (benang bordir merk “double
penguin” atau benang warna polos) segera saget terpenuhi
lan reginipun terjangkau”
Artinya:
kebutuhan bahan bordir (benang bordir “double penguin”
atau benang warna polos) segera bisa terpenuhi dan harganya
terjangkau.
Hal ini juga diungkapkan informan kunci Ibu Hj.Sri Murni‟ah70
yang menyatakan bahwa :
”saget memenuhi bahan baku langkung cepet, reginipun
injih langkung mireng ketimbang kaliyan toko ing kota,
boten ongkos transpor amargi jarak ipun saking griyo injih
celak lan Koperasi sering nugasakaen derek pameran utawi
bazar pasar murah dateng pundi-pundi,contonipun Hotel
Citraland, Java Mall lan Kantor Gubenuran ing Semarang,
injih saget tambah pelanggan, sakmeniko lengganan bordir
kawulo katang saking Semarang”
251
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Artinya:
bisa memenuhi kebutuhan bahan baku lebih cepat, harganya
pun lebih miring /murah daripada datang ke toko di kota
Kudus. Tidak ada ongkos transport karena jarak dari rumah
dekat dan Koperasi sering menugaskan ikut pameran atau
bazar pasar murah di mana-mana, contohnya Hotel
Citraland, Java Mall dan Kantor Gubenuran di Semarang, ya
bisa tambah langganan, sekarang langganan bordir saya
banyak dari Semarang.
Sedangkan informan
diwawancarai menyatakan:
yang
lain
Ibu
Islahiyah71
saat
”bisa membangun kebersamaan antar pengusaha bordir di
Desa Padurenan dengan diajak berpartisipasi mengikuti pasar
murah/bazar di mana-mana serta kalau membeli kebutuhan
bahan baku bordir anggota koperasi dapat dibayar setelah
satu bulan, ini sangat membantu sekali bagi anggota yang
memiliki modal kecil”.
Untuk lebih mendorong pemasaran produk anggota KSU
Padurenan Jaya, di kantor KSU Padurenan Jaya telah disediakan
display produk bordir dan konfeksi, dengan harga yang terjangkau
serta disediakan pula sistem online melalui web dengan alamat
www.padurenanjaya.com dan juga dapat dipesan melalui email di
[email protected].
Berdasarkan
itu
semua
belum
dipergunakan secara optimal, seperti yang disampaikan informan yang
diwawancarai peneliti, antara lain:
Informan
wawancaranya:
Ibu
Nurul
Hikmah72
mengungkapkan
dalam
“display hasil bordir dan konfeksi di KSU Padurenan cukup
baik untuk ajang promosi, namun yang menjadi masalah
barang-barang dagangan saya berupa bordir kan berhenti
kalau tidak ada yang beli, yah seharusnya ditalangi dulu oleh
Koperasi modal membuat barang-barang akan didisplay”
Namun masih ada pengusaha bordir yang belum dapat
memanfaatkan KSU Padurenan Jaya secara optimal, hal ini
disampaikan oleh Rosyadi73:
252
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
”saya belum pernah diajak mengikuti bazar atau mengikuti
pelatihan yang diselenggarakan oleh KSU Padurenan Jaya, ya
mungkin rumah saya jauh dari lokasi koperasi, sehingga
informasinya tidak sampai ke saya”.
Demikian pula sdr Izan An Imi.S.Ag74, pengelola KSU
Padurenan Jaya menjelaskan kepada peneliti:
”untuk penjualan produk dengan model on line sering
dilakukan namun belum optimal dilakukan oleh para
pengusaha bordir karena masih kekurangan tenaga ahli yang
bisa menjalankan komputer secara on time, apalagi para
pengusaha bordir rata-rata usianya sudah di atas 35 tahun
yang tidak memiliki kemampuan menjalankan internet dan
bila dibantu dengan anak-anaknya yang bisa komputer tidak
bisa berjalan dengan lancer karena kesibukan anak-anak”.
Bahkan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah telah mengeluarkan
Surat Edaran Gubenur Jawa Tengah No.065.5/001068 tanggal 27
Januari 2015 tentang penggunaan pakaian adat Jawa Tengah yang
isinya mewajibkan menggunakan Pakaian Adat Jawa Tengah pada Hari
Kerja/jam Dinas setiap tanggal 15 untuk setiap bulannya (lengkap
dengan atribut). Harapan dari surat edaran akan mendorong wilayah
kabupaten/kota mengembangkan produk unggulan lokal khususnya
pakaian. Kabupaten Kudus memiliki keunggulan lokal yang perlu
dikembangkan yaitu pakaian dengan corak bordir dan itu harus
menjadi pakaian adat yang wajib dipakai pegawai di seluruh Kabupaten
Kudus. Tentunya diharapkan akan mendorong pengusaha-pengusaha
bordir untuk meningkatkan kreativitas dan peningkatan produksi
bordir.
Upaya pemerintah Jawa Tengah untuk menumbuhkembangkan industri kain unggulan daerah, telah mendorong
beberapa komunitas pengusaha IKBK Bordir di Desa Padurenan
Kecamatan Gebog untuk melakukan inovasi dan menyediakan baju
atau pakaian wanita dengan motif bordir untuk keperluan pakaian
kerja di kantor-kantor pemerintahan. Hal ini sesuai dengan pandangan
Geertz (1977) bahwa, Pemerintah Indonesia tampaknya tidak bisa
mengharapkan adanya pola pertumbuhan ekonomi yang uniform di
253
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
antara berbagai golongan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu,
pemerintah di dalam menetapkan kebijakan-kebijakan di bidang
pembinaan pengusaha kecil dan menengah harus melihat perbedaanperbedaan yang terdapat antara daerah-daerah dari mana golongan
masyarakat itu berasal. Dengan kata lain, di dalam menetapkan
kebijakan-kebijakan tersebut harus memperhitungkan perbedaanperbedaan yang terdapat dalam lembaga-lembaga sosial-budaya di
masing-masing daerah.
CATATAN-CATATAN KAKI
1
Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari Konteks”. (Jakarta: Gramedia, 1992) hlm. 127
2
K. Bertens, “Etika” (Jaakarta: Gramedia, 2000).hlm. 220
3
Sonny Keraf, “Etika Lingkungan”, (Jakarta:Kompas,2002). hlm. 5
Teori kritis mengandung dua arti. Pertama, kritis terhadap ajaran-ajaran di bidang
sosial yang ada pada waktu itu. Kedua, kritis terhadap masyarakat pada saat itu, yang
perlu diubah secara radikal. Menurut teori kritis pengenalan tidak pernah merupakan
suatu usaha yang terlepas dari atau terangkat dari aksi. Teori kritis menyadari bahwa
kegiatan ilmiah pada pokoknya sama dengan memihak kepada suatu bentuk
masyarakat tertentu. Maka teori kritis ingin memperjuangkan terwujudnya suatu
masyarakat yang mempunyai dasar rasional. Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran
dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: UGM Press, 1986), hlm. 123
4
Alasan prinsip hormat dan rukun sebagai acuan caranya bersikap baik dalam
pergaulan, karena menurut Magnis Suseno, dua prinsip itu paling menentukan
pertama-tama bagi pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kedua, kerangka normatif
yang menentukan bentuk-bentuk konkrit semua interaksi dan ketiga, tuntutan dua
prinsip itu selalu disadari oleh orang Jawa sejak kecil telah membatinkannya dan ia
sadar bahwa masyarakar mengharapkan agar kelakuannya selalu sesuai Indikasi proses
internalisasi dengan nilai moral hormat dan rukun dalam habitus Bourdieu implisit
dalam penjelasannya. Menurutnya, habitus mempresentasikan niat teoritis semacam
logika permainan untuk keluar dari filsafat kesadaran tanpa membuang agen dalam
hakikatnya sebagai operator praktis bagi pengkonstruksian obyek. Karenanya, habitus
merupakan kekuatan social capital adalah, modal hubungan sosial yang jika
diperlukan akan memberikan dukungan-dukungan bermanfaat yaitu, modal harga diri
dan kehormatan yang sering kali diperlukan jika orang ingin menarik para klien
dengan prinsip hormat dan rukun ini. Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah...., op. cit.,
hlm. 38
5
Menurut Magnis Suseno, antara bersikap hormat dan rukun dengan bersikap
kekeluargaan dan bergotong-royong mengimplikasikan semangat batin yang sama
6
254
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
yaitu, hendak bersikap baik atau senang kepada sesamanya. Praktik gotong-royong
juga mewujudkan kerukunan. Dengan gotong-royong dimaksudkan dua macam
pekerjaan: saling membantu dan melakukan pekerjaan bersama demi kepentingan
seluruh desa. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah...., op.cit., hal. 50.
Koentjaraningrat menambahkan, ada tiga nilai yang disadari orang Jawa dalam
melakukan gotong-royong. Pertama, orang itu harus sadar bahwa dalam hidup
seseorang pada hakikatnya selalu tergantung pada sesamanya, maka ia harus selalu
berusaha untuk memelihara hubungan baik dengan sesamanya. Kedua, orang itu harus
selalu bersedia membantu sesamanya. Ketiga, orang itu harus selalu bersifat konform
artinya, orang harus selalu mengingat bahwa ia sebaiknya jangan berusaha untuk
menonjol, melebihi yang lain dalam masyarakat. Koentjaraningrat, Rintanganrintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia, (Jakarta: Bhratara,
1969), hlm. 35.
Realitas sosial pada dasarnya berfungsi sebagai konteks komunikasi atau sebagai dunia
kehidupan yang di dalamnya terkandung cakrawala pengetahuan-pengetahuan,nilainilai dan norma-norma yang baginya barang tentu, yang belum direnungkan
(direfleksikan) dan merupakan latar belakang pendapat dan penilaian-penilaian untuk
mengambil sikap. Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad 20, (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), hlm. 224
7
8
Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Kompas, 2002), hlm. 3
C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko, (Yogyakarta: Kanisius,
1976), hlm. 9
9
Clifford Geertz, “The Impact of the Concep of Culture on the Concept of Man”,
dalam John R. Platt (ed.), New Views of the Nature of Man, (Chicago: The University
of Chicago Press, 1965), hlm. 93-94
10
Gunawan S. menyebutkan beberapa ahli dari luar Indonesia seperti, Niels Mulder,
Clifford Geertz, Ben Anderson, William Liddle, atau yang ada di dalam negeri seperti,
Franz Magnis Suseno, Muchtar Lubis, Koentjaraningrat sampai dengan Sri Sultan
Hamengkubuwana X, Gunawan Sumodiningrat, “Budaya Jawa dan Integrasi Nasional”,
dalam Leila Retna Kumala, Keraton Surakarta dan Perubahan Masyarakat,
Membumikan Nilai-nilai Tradisional, (Surakarta: Tem Simposium Nasional, 2003),
hlm. 8
11
Lihat dalam Leila Retna Kumala, Keraton Surakarta dan Perubahan Masyarakat,
Membumikan Nilai-nilai Tradisional (Surakarta: Tem Simposium Nasional, 2003), hlm.
12
11-13
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan
Hidup (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.2001)., hlm. 82
13
Niels Mulder, Misticism and Daily Life in Contemporary Java, Cultural Persistence
and Change (Singapore: Singapore University Press, 1978), hlm. 17
14
Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), hlm.
17
15
255
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Sinkretisme adalah, penyatuan atau usaha penyatuan ideologi-ideologi yang
bertentangan ke dalam satu kesatuan pikiran atau ke dalam suatu hubungan sosial yang
harmonis
16
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan
Hidup, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.2001)., hlm. 82
17
Benedict R.O‟G Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, terj. Revianto B.S,
(Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 2
18
Lihat dalam A.S. Dhesi, ”Social Capital and Community Development ”, dalam:
(Community Development Journal, 2000), hlm. 210
19
Francis Fukuyama, Social capital and Civil Society, (The Institute of Public Policy.
George Mason University.International Menetry Fund,1999), hlm. 104
20
Identifikasi dalam teori kepribadian merupakan salah satu bentuk pertahanan
terpenting dalam diri seseorang. Hal itu juga disebut sebagai introjeksi. Mekanisme
kerjanya melalui akal dengan cara membawa kepribadian orang lain masuk ke dalam
dirinya. Dengan cara itu dia, di satu pihak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang
mengganggu dan menemukan jalan untuk bersikap hormat terhadap kepribadian orang
lain sekaligus menentukan atau meneguhkan identitas dirinya di pihak lain.
selanjutnya dibaca George Boeree, 2005, hlm. 50-51
21
Maksudnya kekuatan moral adalah kekuatan kepribadian seseorang yang mantap
dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai
benar. Franz Magnis Suseno (2005) Etika Dasar Masalah Pokok Masalah Falsafah
Moral.Yogyakarta:Janisius. hlm. 141
22
23 Sepi ing pamrih termasuk salah satu keutamaan Jawa yang biasanya digandeng
dengan kalimat rame ing gawe. Keutamaan yang lain seperti, kesetiaan, kemurahan
hati dan lain-lain. Magnis Suseno menjelaskan, manusia bisa dikatakan sepi ing pamrih
apabila ia tidak mengejar kepentingan-kepentingan individualnya tanpa
memperhatikan keselarasan sosial seluruhnya, berarti ia berada di tempat yang tepat
dalam kosmos. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafat Kebijakan
Hidup, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2001), hlm. 147.
Bersikap integrasi artinya, bersikap terbuka keluar. Maksudnya, bersedia bersikap
hormat atau bersikap baik terhadap aneka tradisi atau budaya, pandangan hidup atau
agama yang berbeda bagi setiap orang yang hidup bersama dalam masyarakatnya demi
terciptanya suasana yang tenang, gembira, bebas dari rasa takut, dan bebas dari
tekanan. Untuk selanjutnya baca Franz Magnis Suseno, 2005,hlm. 97
24
Magnis Suseno menjelaskan, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh beberapa
mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (Jakarta) di berbagai daerah Yogyakarta
dan Jawa Tengah pada tahun 1976 menunjukkan bahwa kalimat aja mitunani
masyarakat liya (jangan merugikan orang lain) seringkali secara spontan dikemukakan
sebagai dasar jawaban para responden terhadap berbagai aturan moral. Franz Magnis
Suseno, Etika Jawa sebuah Analisis Falsafah tentang kebijakan Hidup Jawa” (Jakarta
25
256
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
:PT Gramedia Pustaka Utama,2001)., hal. 54. Lihat jugaFranz Magnis Suseno, Kuasa
dan Moral,(Yogyakarta:Kanisius,2005), hlm. 167.
Niels Mulder, Mysticism and Daily Life in Contemporary Java. A Cultural Analysis
of Javanese Worldview and Etic as Embodied in Kebatinan and Everyday Experience,
26
(Diss. Amsterdam, 1975), hlm. 51.
Pluralisme modern disebut sikap toleransi dalam masyarakat modern. Maksudnya,
dalam masyarakat tersebut dikembangkan kemampuan-kemampuan psikis dan cara
bersikap baik (etis) tertentu. Kemampuan itu dapat difungsikan dalam hidup seharisehari dan bekerja dalam berbagai bidang kehidupannya. Walaupun dengan orangorang yang etnis, suku, adat dan agama yang berbeda, tetap sesuai (cocok) atau dapat
diterima secara enak dan rileks oleh masing-masing pihak tersebut. Termasuk di
dalamnya kemampuan untuk bertoleransi dalam menghormati keyakinan-keyakinan
keagamaan dan politik yang berbeda, untuk merasa solider dengan saudara sebangsa
dan sebagai sesama manusia (bukan sebagai se-negara), maka meskipun barangkali
termasuk suku atau umat atau kelas sosial yang lain. Franz Magnis Suseno, Kuasa dan
Moral. (Yagyakarta:Kanisiu, 2005), hlm. 37.
27
Pluralisme tradisional bukan ciri khas masyarakat modern. Sebab, ada dua unsur
yang khas bagi pluralisme tradisional. Pertama, pluralisme itu ditangani atas dasar
ketidaksamaan. Maksudnya, masyarakat seluruhnya tersusun secara hirarkis, dan
semua unsur di dalamnya, termasuk mereka yang berbudaya atau beragama berbeda,
memiliki tempat dan kedudukan sosial tertentu di dalamnya. Kedua, wawasan
kemanusiaannya membagi manusia ke dalam “orang kamu” dan “orang asing”. Yang
tidak termasuk komunitas adat atau agama yang sama mereka pandang sebagai “orang
asing”. Namun, mereka diterima baik, tamu asing dihormati, tempat mereka terjamin,
hanya saja mereka tetap dianggap sebagai orang asing.Franz Magnis Suseno, Kuasa dan
dan Moral. (Yagyakarta:Kanisiu, 2005), hlm. 35.
28
Tindakan moral artinya, tindakan yang memuat unsur-unsur: 1) motif atau maksud
untuk bertindak, 2) pelaku yang memilih atau menentukan suatu arah tindakan, 3)
pilihan bebas, ditentukan atau dikehendaki sendiri, 4) baik buruknya maksud, motif
dan pilihan, 5) akibat yang dimaksudkan atau tidak, yang berpengaruh terhadap diri
sendiri atau orang lain, 6) kriteria baik-buruk manusia sebagai manusia. Lorens Bagus,
Kamus Falsat,(Jakarta: Gramedia,2000). hlm. 109-110.
29
Bersikap baik bukan hanya sebuah prinsip yang dipahami secara rasional, melainkan
juga mengungkapkan syukur alhamdulillah, suatu kecondongan yang memang sudah
ada dalam watak manusia. Bersikap baik mendasari semua norma moral karena hanya
atas dasar sikap baik yang masuk akal inilah semua orang harus bersikap adil, atau jujur
dan atau bersiakp rukun (setia) kepada orang lain. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa
dalam Tantangan, (Yogyakarta: Kanisius, 1983),hal. 55. Lihat juga Franz Magnis
Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta:Kanisius,
2005), hlm.29.
30
Bersikap hormat pada prinsipnya berdasarkan pendapat bahwa, semua hubungan
dalam masyarakat teratur secara hierarkis. Keteraturannya itu bernilai pada dirinya
31
257
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk
membawa diri sesuai dengannya. Hildred Gertz, The Javanese Family.A Study of
Kinship and Socialization, (New York: The Free Press 0f Glencoe, 1961),hlm. 110.
Franz Magnis Suseno, 1983”Etika Jawa dalam Tantangan”. (Yogyakarta:
Kanisius.1983). hlm. 58-59.
32
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafat tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa”. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama2001), hal. 68.
33
Niels Mulder, Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java. Cultural
Persistence and Change, (Singapore: Singapore Press, 1978), hlm. 39.
34
Struktur sosial artinya konsep perumusan asas hubungan antarindividu dalam
kehidupan masyarakat yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu. Hasan
Alwi (Pim.red). Kamus Besar Bahasa Indonsia.(Jakarta: Balai Pustaka.2001) hlm.1092.
35
36
Fachry Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa, (Jakarta: PT Gramedia,2006), hlm.31.
Franz Magnis Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia, (Jakarta: PT Gramedia, 1991),
hlm. 86.
37
38 Kegiatan bermakna adalah, suatu kegiatan yang memiliki maksud sosial yang diatur
secara formal atau tidak formal dan merupakan kesatuan yang bermakna. Misalnya,
bercocok tanam, membuka dan mengembangkan usaha dagang, dan lain-lain. Franz
Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika...., op. cit., hlm. 200.
Spiritual/rohaniah dalam bahasa Latin, spiritualis dari spiritus (roh). Beberapa
pengertiannya: 1) tidak jasmani, immaterial, terdiri dari roh, 2) mengacu ke
kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan nilainilai pikiran, 3) mengacu ke nilai-nilai manusiawi yang nonmaterial seperti keindahan,
kebaikan, cinta, kebenaran, belas kasihan, kejujuran, dan kesucian, 4) mengacu ke
perasaan dan emosi-emosi religius dan estetik. Lorens Bagus, Kamus...., op. cit., hlm.
1034.
39
Makna internalnya yaitu, sebagai suatu kegiatan yang menghendaki: 1) mutunya,
kualitasnya (excellency-nya), 2) bernilai bagi seseorang yang melakukannya, maka
memerlukan (a) standar mutu (standart of excellent), (b) ketaatan terhadap aturanaturan (yang menentukannya) dan (c) pencapaian sesuatu yang bernilai. Ibid, hlm. 201.
40
Bersikap momong atau ngemong berarti, memelihara atau mengasuh dengan kasih,
membimbing di dalamnya terkandung juga sikap waspada senantiasa dan membujuk
dengan halus. C.F. Winter dan R.Ng. Ranggawarsita, Kamus Kawi Jawa, (Surakarta:
Museum Mangkunegaran, 1978), hlm. 509. Bersikap ngemong mengungkapkan sikap
manusia bahwa, ia hendaknya merasa bertanggung jawab terhadap alam atau dunia,
bertanggung jawab agar alam, termasuk budaya itu seindah mungkin, agar alam tetap
utuh. Sikap itu didasari penghayatan bahwa apa saja yang ada merupakan ciptaan
Tuhan atau percikan dari eksistensi Ilahi sehingga perlu dihormati, dipelihara baikbaik, bagaikan memelihara sebuah benda berharga yang dititipkan padanya. Franz
Magnis Suseno, Kuasa dan...., op. cit., hlm. 168.
41
258
Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus
Mawas diri atau tahu diri sama dengan bersikap eling. Tahu diri (eling) berarti,
menyadari keterbatasannya sendiri, memahami bahwa pengetahuan kita selalu terbatas
dan oleh karena itu kita sebaiknya bersedia terus belajar dan jangan mencampuri
urusan orang lain. Tahu diri (eling) mendasari sikap toleran yang sebenarnya. Tahu diri
(eling) mengandung kesadaran bahwa, meskipun kita yakin kebenaran atau kebaikan
agama dan kebudayaan kita, namun bukanlah urusan kita untuk mencampuri golongan
yang tidak sepaham atau tidak seagama. Tahu diri ( eling) bukan hanya suatu tuntutan
kesopanan, melainkan merupakan tanda kesungguhan keyakinan beragama. Karena
sikap eling juga berarti sebagai pengalaman keagamaan yaitu, kita selalu ingat bahwa
Allah lebih besar dari pada kita. Orang yang intoleran terhadap agama dan kebudayaan
lain, termasuk orang yang mengukur Allah pada kekerdilan otaknya sendiri. Ibid. hlm.
97-98.
42
43
Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 34.
Maldwyn Hughes,”Experience”, dalam James Halting (ed.), The Encyclopedia of
Religions and Ethic, Vol. V, (New York: Charles Scribner‟s Son, t. th.), hlm. 630-633.
44
William James, The Varieties of Religious Experience, (New York: The New
American Library, 1958), hlm. 463.
45
Joachim Wach, “Ilmu Perbandingan Agama”, terj.Djamanuri (Jakarta:Rajawa
1984),hlm.32.
46
Home-woker memiliki karakteristik: rumah sendiri sebagai tempat ia beraktivitas
untuk menghasilkan produk bordir, upah yang ditetapkan dengan borongan atau
kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha,ada interaksi antara pemberi kerja
(pengusaha) dengan pekerja.Home-worker sering disamakan dengan home based work
(bahasa Indonesia: Pekerja Rumahan) yang dikonotasikan sebagai Pembantu Rumah
Tangga. Home-Woker, sering dikategorikan dalam kategori yang salah, seperti home
industri, pengusaha mikro, pengrajin, ibu rumah tangga, pekerja musiman, bahkan
tidak bekerja (Hunga, 2005).
47
48
Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014
49
Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 14 Oktober 2014
50
Wawancara dengan bapak Nur Syafik tanggal 14 Oktober 2014
51
Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 13 Oktober 2014
52
Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah ranggal 14 Oktober 2014
53
Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 10 Oktober 2014
54
Wawancara dengan Bapak H.Maskan tanggal 14 Oktober 2014
55
Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014
56
Wawancara dengam Bapak H.Moch Anshori tanggal 14 Oktober 2014
259
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS:
Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
Icik adalah bordir yang dibuat dengan menggunakan mesin manual atau tenaga
manusia dengan mesin jahit manual yang geraknya dikayuh dengan kaki sehingga
menimbulkan bunyi icik,icik, icik, namun hasil bordirnya memiliki kualitas yang
bagus karena tebal, kecil-kecil dan sangat rumit
57
58
Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014
59
Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq tanggal 11 Oktober 2014
60
Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 15 Oktober 2016
61
Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 15 Oktober 2016
62
Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 14 Oktober 2014
63
Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 9 Okober 2014
64
Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq 11 Juli 2014
65
Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah 14 Oktober 2014
66
Wawancara dengan Ibu Mirah 11 Oktober 2014
Wawancara dengan Bapak Noor Klolid tanggal 12 Oktober 2014 di rumahnya desa
Padurenan RT 5 RW 1, Kecamatan Gebog-Kab Kudus
67
68
Wawancara dengan Bapak Arif Chuzalmahtum tanggal 8 Agustus 2014
69
Wawancara dengan Ibu Mirah tanggal 13 Oktober 2014
70
Wawancara dengan Ibu Murniah tanggal 15 Nopember 2014
71
Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 14 Ontober 2014
72
Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal 12 Oktober 2014
73
Wawancara dengan Bapak Rosyadi tanggal 10 Oktober 2014
74
Wawancara dengan Izan An Imi,S.Ag tanggal 24 September 2014
260
Download