BAB ENAM GUS-JI-GANG SEBAGAI KEUTAMAAN HABITUS DI KABUPATEN KUDUS Pendahuluan Keutamaan merupakan acuan sikap manusia terhadap hukum moral yang didasarkan atas keputusan bebasnya, maka menjadi semangat dan sikap batinnya. Karenanya, keutamaan merupakan sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki dan yang tidak dipaksa, maka tidak dapat dibuat begitu saja, misalnya seseorang hendak menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat. Menurut Magnis Suseno1, keutamaan pertama-tama adalah sebagai istilah deskriptif tentang sikap mental. Namun karena dalam melakukan pekerjaan atau profesi, dagang misalnya (keutamaan pedagang) diharapkan bahkan dituntut adanya sikap tertentu dan karena menilai sikap-sikap tertentu sebagai tidak memadai. Keutamaan mendapat arti normatif, yaitu sebagai sikap kehendak yang dituntut agar dikembangkan. Menuntut suatu keutamaan, mengandung kritik atau memuat tuduhan bahwa nilai-nilai moral yang berlaku dalam kehidupan atau sebagai budaya, mengandung kehendak yang kurang baik. Karenanya, pihak yang menuntut keutamaan ini tahu bagaimana orang lain harus bersikap supaya menjadi manusia baik. Proses ditemukannya identitas keutamaan Gus-ji-gang bagi masyarakat Kudus dalam melakukan aktivitas berdagang, di satu pihak tidak dibawa sejak lahir tetapi diperoleh melalui proses yang kompleks dalam dunia kehidupannya atau pada budaya Jawa di Kudus sesuai pada masanya. Kompleksitas memperoleh keutamaan, menurut K.Bertens2, sama kompleksnya dengan seluruh pendidikan. Keutamaan tidak bisa diperoleh dengan hanya membaca buku-buku, instruksi, atau 203 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus mengikuti kursus saja. Namun, menurut Sonny Keraf3, metode reflektif kritis merupakan bagian penting untuk menentukan berbagai pilihan keutamaan sebagai cara bersikap dan bertindak benar atau baik secara moral tentang tiga hal. Pertama, sesuai atau tidaknya keberlakuan norma dan nilai moral yang diberikan oleh adat-istiadat (etika dan moralitas) dalam situasi konkret pada masa kehidupannya. Kedua, masalah tersebut terhadap situasi khusus yang dihadapi dengan keunikan dan kompleksitasnya. Ketiga, terhadap paham yang dianut oleh manusia atau kelompok masyarakat tentang apa saja: tentang manusia, Tuhan, alam, masyarakat dengan sistem sosial-politiknya atau sistem ekonomi, kerja, dan sebagainya. Dari proses sampai tindakan Gus-ji-gang yang mengalir dalam jiwa masyarakat Kudus, habitus pada pengusaha bordir menurut Bourdieu (1977) menggambarkan sebagai habitus dalam 3 hal, yaitu (1) matrix of perception atau matrix persepsi; (2) appreciations atau apresiasi; dan (3) action atau tindakan. Pada ranah persepsi, habitus merupakan dasar seseorang dalam berpikir dan mempersepsikan sesuatu, misalnya banyaknya bordir baik produksi Tasikmalaya dan daerah lain, serta bordir dari Tiongkok dan Korea. Persepsi terhadap hal ini sangat tergantung pengetahuan terkait dengan nilai dan praktik yang dimiliki dan terbangun lama dan terkait erat dengan latar belakang aktor (pengusaha bordir) secara historis. Dari ranah persepsi mengalir pada ranah apresiasi maka habitus menjadi tempat berpikir, bertindak dan menentukan bagaimana mengapresiasi sesuatu dengan mengembangkan kekuatan-kekuatan produk bordir. Pada ranah tindakan, habitus merupakan basis bagi individu untuk melakukan aksi yaitu mengembangkan bordir Icik yang memiliki nilai jual tinggi. Tiga hal tersebut akan saling terintegrasi yang merupakan cerminan dari habitus seseorang. Secara prinsip persepsi, apresiasi, dan tindakan memiliki kecenderungan yang berbeda-beda pada setiap pengusaha bordir dalam menyelesaikan persepsi untuk kemajuan usaha bordir karena tergantung pada latar belakang masing-masing individu. 204 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus Penjelasan tersebut mengimplikasikan maksud untuk memahami Gus-ji-gang dan habitus Bourdieu (1977) sebagai keutamaan dagang Jawa di Kudus yang dapat dianalisis dengan teori kritis4 terhadap nilai-nilai moral budaya Jawa tentang tiga hal. Pertama, kebaikan tingkah laku sama dengan kebagusan moral mengacu pada kata “gus” dikembangkan pemahamannya melalui internalisasi sebagai proses pembelajaran (learning) seperti dimaksud pada kata “ji” dalam satu kesatuan pengalaman keagamaan yang menentukan ciri khas keutamaan moral. Ciri khasnya diobyektifikan melalui cara bersikap baik dalam pergaulan melalui prinsip hormat dan rukun5 kepada sesamanya baik bagi pandangan dunia atau sebagai pendapat umum. Proses internalisasi dengan nilai moral hormat dan rukun ini searah maksudnya pada habitus Bourdieu sebagai kekuatan social capital. Kedua, obyektifikasi keutamaan moral pada hormat dan rukun tersebut sebagai acuan cara bersikap kekeluargaan atau bergotong-royong baik di pemikiran atau tindakan (teknis pelaksanaan)6 dalam realitas sosial 7 Jawa yang modern atau sesuai di masanya. Ketiga, acuan teknis obyektifikasi keutamaan moral yang kedua itu dipahami sebagai keutamaan social capital dagang Jawa di Kudus. Analisis tiga hal itu dimaksudkan untuk memahami bahwa, antara keutamaan moral sebagai proses internalisasi dengan dunia kehidupan sebagai proses ekternalisasi atau realitas sosial Jawa (khususnya di Kudus) sebagai sumber social capital merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi terhadap perubahan cara bersikap dan bertindak secara terus-menerus (dinamis) baik pada tataran pemikiran pedagang atau cara pelaksanaannya yang sesuai (modern) dan berlaku di masanya. Social capital, dapat dibangun secara spontan setiap saat oleh pelaku-pelaku siapa pun (termasuk komunitas pengusaha bordir di Kudus) yang menjalankan kehidupan sehari-hari. Merujuk pada pemikiran para ahli, seperti Arrow (dalam Dasgupta ed, 2000) dan Krishna serta Rose (dalam Dasgupta, 2000) maupun Robison (2002) dalam Lawang (2005) menjelaskan bahwa social capital memang tidak dapat dipegang atau dilihat (intangible), tetapi pada dasarnya dapat dimetaforakan sebagai benda, sehingga 205 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus dapat diperbanyak, ditambah dan dilihat sebagai stock barang. Namun ada pandangan yang berbeda dari Anderson (2002) yang menyatakan bahwa, social capital itu adalah “proses yang menciptakan suatu kondisi untuk pertukaran informasi dan sumber secara efektif”. Pandangan ini menunjukkan pada fungsi memperlancar (lubricant) dan fungsi mempererat (glue) ikatan-ikatan sosial dalam sistem produksi dan perdagangan. Nilai-nilai Moral Budaya Jawa dalam Kehidupan Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir Sonny Keraf (2002) menjelaskan, harfiahnya etika maupun moralitas sama-sama berarti adat-kebiasaan hidup yang baik, diwariskan dan atau dilestarikan melalui agama atau kebudayaan serta dianggap sebagai sumber prinsip nilai moral atau norma moral yang baku dan dianut oleh masyarakat sebagai tradisinya8. Hal itu seperti dalam penjelasan Peursen dan Geertz tentang hakikat kebudayaan. Menurut Peursen (1976), hakikat kebudayaan sama dengan hakikat manusia. Kebudayaan pada dasarnya merupakan endapan dari berbagai kegiatan serta karya manusia9. Geertz (1965) menjelaskan, kebudayaan adalah, susunan dinamisnya ide-ide dan aktivitas-aktivitas yang saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain secara terus-menerus10, karenanya, sebelum menganalis tiga hal tersebut diperlukan pemahaman karakteristik budaya Jawa dalam kontruksi teoritis para ahli sebagai kekuatan modal hubungan sosial pedagang di Kudus. Gunawan S. (2003) menjelaskan bahwa, para ahli kebudayaan, baik yang dari luar atau yang ada dalam negeri11, pada prinsipnya mereka memiliki kesamaan dalam memandang inti nilainilai moral budaya Jawa “yang diidealkan” atau budaya Jawa yang dipikirkan. De Jong (dalam Endraswara, 2006) mengemukakan unsur sentral kebudayaan Jawa (termasuk Kudus) adalah sikap rilla (rela), nrima (menerima), dan sabar. Hal ini akan mendasari segala gerak dan langkah orang Jawa dalam segala pesoalan. Rela yang disebut juga iklas yaitu kesediaan menyerahkan segala milik, kemampuan dan hasil karya 206 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus kepada Tuhan. Nrima berarti merasa puas dengan nasib dan kewajiban yang telah ada, tidak memberontak, tapi mengucapkan matur nuwun (terima kasih). Sabar menunjukkan ketiadaan hasrat, ketiadaan nafsu yang bergolak. Kesamaan pandangan mereka dapat ditarik sebagai central concept (inti konsep) budaya Jawa yang terakulturasi dengan agama Islam yang terinternalisasi pada kehidupan masyarakat pada umumnya (pendapat umum) dalam paparan berikut: Pertama, budaya Jawa mendasarkan diri kepada kehidupan sosial harmonis. Biasanya disebutkan bahwa budaya Jawa adalah anti-konflik karena di dalamnya mempunyai tujuan ideal bahwa dunia ini harus ditata secara harmonis baik antara jagad cilik (jiwa, pikiran, hati nurani manusia) maupun jagad gede (komunitas, masyarakat). Berbagai cara untuk menjaga atau menuju kehidupan harmonis ini, terutama dengan sikap toleransinya. Budaya Jawa adalah budaya yang paling memberi tempat bagi perbedaan sebagai kekayaan yang harus dipupuk bersama. Kedua, budaya dalam konteks modern yang struktural fungsional, dengan asumsi bahwa setiap orang atau lembaga memiliki tempat masingmasing dan ia harus berperilaku atau bekerja sesuai dengan tempat keberadaannya tersebut. Pemahaman tentang “tempat” bukanlah pemahaman mati atau mutlak, tetapi sebagai yang kondisional dan relatif. Ketiga, budaya Jawa menghargai hal-hal atau nilai-nilai yang bersifat transendental. Sifat transenden itu dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa hidup selalu bergantung pada Tuhan Yang Maha Kuasa12. Berdasarkan penjelasan tersebut maka nilai-nilai moral Gus-jigang yang terdiri dari saling keterkaitan antara kebagusan tingkah laku (ahklak mulia) dan dengan proses pembelajaran (internalisasi) serta dengan pengalaman keagamaan, mesti dianalisis terkait dengan karakteristik budaya Jawa. Memahami obyektivikasi nilai-nilai moral Gus-ji-gang yang ditunjukkan dengan cara bersikap baik dalam pergaulan melalui prinsip hormat dan rukun kepada sesama dengan mengacu pada pandangan dunia Jawa atau sebagai pendapat umum menurut konstruksi teoritis para ahli. Prinsip hormat dan rukun telah 207 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus diteliti oleh Geerts (1981) maupun oleh Suseno (1984) yang menyimpulkan bahwa, setiap anggota masyarakat menyadari kaidah tersebut sebagai prinsip hidupnya. Setiap perbuatan senantiasa mengacu kepada kaidah tersebut. Setiap anggota masyarakat yang menyadari akan kejawaanya senantiasa menjaga situasi rukun dan berusaha untuk menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya. Nilai-nilai moral pada sisi lain juga memahami Gus-ji-gang dan habitus Bourdieu sebagai dasar pembentukan dan penguatan social capital dagang industri kecil dalam kesatuan central concept budaya Jawa yaitu harmonis, struktural fungsional dan transendental yang uraiannya masing-masing antara lain sebagai berikut: Harmonis Karakteristik inti pandangan harmonis adalah, menciptakan dan menjaga kesesuaian atau keselarasan hubungan antara manusia, masyarakat dan dengan alam. Ketiganya merupakan satu sistem yang disebut “pandangan dunia Jawa”. Tolok ukur arti pandangan dunia bagi orang Jawa adalah nilai pragmatisnya agar tercapai keadaan psikis tertentu yaitu ketenangan, ketentraman, dan keseimbangan batin. Karenanya, maksud pandangan dunia ini tidak hanya terbatas bagi agama-agama formal dan mitos, tetapi juga seperti yang dimaksud dalam istilah kejawen13. Kejawen merupakan suatu konsep hidup yang melingkupi lahir batin material spiritual yang merupakan kepercayaan tentang pandangan hidup yang diwariskan para leluhur yang dianut oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Pandangan hidup orang Jawa atau filsafat Jawa terbentuk dari gabungan alam pikir Jawa tradisional, kepercayaan Hindu atau filsafat India, dan ajaran tasawuf atau mistik Islam (Abdul Aziz, 2011). Niels Mulder menjelaskan, kejawen sebagai cap deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa atau sebagai yang khas Jawa.14 Kejawen pada dasarnya merupakan “suatu sikap khas” terhadap kehidupan sebagai sikap mental untuk mengatasi perbedaan agama.15 Sikap mental kejawen antara lain condong kepada sinkretisme16 dan toleransi keduanya merupakan dasar sikap baik yang dapat menciptakan sikap 208 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus hormat terhadap berbagai ungkapan religius (agama formal) dalam mewujudkan kesatuan hidup Jawa17. Para pengkaji dari luar negeri dan orang-orang Jawa yang terdidik semakin bersepaham mengenai sebutan sinkretisme dan meresapnya sikap toleransi bagi masyarakat Jawa ini18. Mencermati pengertian sinkretisme dan toleransi bagi kejawen tersebut menunjukkan adanya cara bersikap hormat dan rukun kepada sesamanya dengan nilai-nilai moralnya seperti, merasa sesuai dengan orang lain maka, bersedia saling kerja sama, dan bersabar dalam perbedaan keyakinan atau pengalaman keagamaan. Nilai-nilai moral kejawen itu sebagai habitus Bourdieu yang mendasari pembentukkan social capital dalam kesatuan tiga central concept budaya Jawa yang utama yaitu harmonis. Obyektivikasi nilai-nilai moral itu juga implisit dalam pemahaman habitus Bourdieu. Menurutnya, habitus merupakan kekuatan social capital yang ditentukan oleh berbagai akumulasi nilai dan beragam tipe dari aspek sosial, budaya, kelembagaan dan aset yang tidak terlihat yang mempengaruhi perilaku kerja sama19. Fukuyama juga lebih menjelaskan bahwa, norma dan nilai bagiannya social capital kekuatan habitus yang di dalamnya terdapat hubungan saling percaya sebagai nilai moralnya perilaku jujur dan dapat menciptakan kehidupan yang harmonis dan dinamis20. Nilai-nilai moral kejawen itu, di satu sisi sebagai acuan teoritis habitus Bourdieu, namun pada sisi lainnya memerlukan obyektivikasi dengan identifikasi21 terhadap para ahli atau tokoh Jawa yang pernah mempraktikkan nilai-nilai moral itu sebagai acuan contoh teknis pelaksanaan dan merasakan baik bagi dunia kehidupan atau realitas sosial Jawa yang sesuai di masanya. Mencermati identifikasi itu, maka dalam Gus-ji-gang mengimplikasikan suatu kekuatan moral22 yang diobyektivisikan dalam dunia kehidupan Jawa dengan keutamaan moral yang sesuai pada masanya. Keutamaan moralnya adalah sepi ing pamrih23 adapun kekuatan moralnya yaitu bersikap integrasi24 dan tujuan utamanya terungkap pada kalimat aja mitunani wong liya (jangan merugikan orang lain). Menurut Magnis Suseno, aja mitunani wong liya merupakan norma moral terpenting atau prinsip dasarnya etika sosial 209 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus Jawa25. Mencermati makna sikap integrasi itu maka maksud utamanya yaitu, agar pihak-pihak yang terlibat di dalamnya merasa terjalin dalam satu pola kekeluargaan Jawa yang saling kasih (tresno) sehingga tercipta suasana yang harmonis. Maksud makna itu searah dengan Niels Mulder26 yang menjelaskan, tujuan sikap integrasi dengan kekuatan moral aja mitunani wong liya adalah, manusia hendaknya selalu bersikap baik satu sama lain, saling membuat bahagia, dan tidak saling mengganggu. Nilai-nilai moral tata krama Jawa yang ditunjukkan dalam sikap hormat dan rukun justru sebagai usaha untuk menghasilkan suasana yang harmonis itu. Mencermati berbagai penjelasan identifikasi tersebut maka dalam Gus-ji-gang juga dapat mengimplikasikan dua kebaikan nilai moral. Pertama, kebagusan tingkah laku sebagai tata krama Jawa diimplementasikan melalui caranya bersikap hormat dan rukun terhadap sesama. Kebaikan nilai moralnya terkandung di keutamaan moral sepi ing pamrih dengan kekuatan moralnya aja mitunani wong liyan yang melahirkan sikap toleransi dalam masyarakat modern yang disebut pluralisme modern27. Sebutan terakhir itu merupakan kritik atau sebagai pembaharu pluralisme tradisional28. Kedua, mengimplikasi kebaikan tindakan moral29 yang berprinsip sikap baik30 terhadap apa saja dan siapa saja. Acuan teknis obyektivikasi maksud sikap tersebut dalam tata krama Jawa melalui bersikap hormat31dan rukun yang sesuai dengan alam modern. Suseno (2005) menjelaskan, sikap baik atau hormat terhadap apa saja dan siapa saja merupakan moral berharga bagi perkembangan masyarakat yang mendorong ke arah kejujuran dan sikap bakti nyata terhadap masyarakat. Dalam sikap itu terkandung ajaran atau anjuran agar bersikap menahan diri, toleransi, tidak memaksakan kehendak, serta menerima dengan simpati hukum dan irama perkembangan dari apa yang ada. Sikap hormat ini juga merupakan prasyarat sikap-sikap khas yang manusiawi seperti mengagumi, memahami nilai-nilai estetis, serta peduli (bersimpati). Berbagai sikap itulah yang telah mendasari semangat umat manusia mencapai prestasi-prestasi tertinggi dalam bidang ilmu pengetahuan, 210 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus seni, dan kemanusiaan32. Berdasarkan pada penjelasan itu maka bersikap hormat terhadap apa saja dan siapa saja dapat dijadikan sebagai acuan pertama untuk menganalisis Gus-ji-gang dan habitus Bourdieu sebagai keutamaan social capital bagi komunitas industri kecil di Kudus yang akan dibahas pada sub-bab berikutnya. Suseno (2001) menjelaskan, apa yang terkandung dalam prinsip hormat tersebut juga berlaku bagi prinsip kerukunan33. Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Keadaan semacam itu disebut rukun. Rukun menurut Niels Mulder (1978) berarti “berada dalam keadaan yang selaras, tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan”, bersatu dalam maksud untuk saling membantu34”. Keadaan rukun ada dimana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima dalam suasana tenang dan sepakat. Rukun yaitu keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial, pada keluarga, dalam rukun tetangga, di desa, dan dalam setiap pengelompokkan tetap. Suasana seluruh masyarakat seharusnya bernapaskan semangat kerukunan. Penjelasan tersebut memberikan arah acuan teknis obyektivikasi sikap rukun sebagai identifikasi kebagusan tingkah laku pada Gus-ji-gang bisa ditentukan oleh sesuai (cocok) atau tidaknya cara masing-masing individu memfungsikan nilai-nilai moral Jawa, di satu sisi sebagai tata krama dalam satu kesatuan struktur realitas sosialnya dan sesuai pada masanya pada sisi lain. Masalah tersebut terkait dengan konsep inti budaya Jawa yang kedua yaitu struktur fungsional yang uraian bahasannya antara lain sebagai berikut. Struktur Fungsional Struktur fungsional merupakan salah satu paham atau perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain dan bagian yang satu tidak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian lain. Namun, struktural fungsional di sini adalah struktural sosial35 nilai-nilai moral Jawa. Maksudnya, “struktur” 211 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus di sini adalah, bangunan ide para pujangga tentang nilai-nilai moral, dan cara memfungsikan atau pemberdayaannya sebagai konsep hubungan antar individu dalam dunia atau realitas sosial Jawa. Konsepnya merupakan pedoman ajaran moral (norma moral) bagi tingkah lakunya (perilakunya), baik secara individu atau kelompok. Penjelasan itu secara implisit searah dengan maksud Fachry Ali bahwa, ajaran moral pada budaya Jawa yang difungsikan sebagai ideologi, khususnya sebagai corak hidup kalangan bangsawan (priyayi), juga memberi arah cara bersikap bagi seluruh rakyat Jawa36. Cara memfungsikan atau pemberdayaan pada ajaran moral tersebut yang melahirkan berbagai sikap moral atau tindakan moral masing-masing individu atau kelompok bisa sesuai atau tidak, baik terhadap prinsip hormat dan rukun maupun sebagai sikap kekeluargaan dengan nilai-nilai manusiawi yang transendental bagi berbagai pihak yang hidup bersama. Jadi “struktur” di sini merupakan kerangka bangunan ide para ahli/ulama tentang nilai-nilai moral, dan cara memfungsikan atau teknis pemberdayaannya bagi konsep hubungan individual dalam dunia atau realita sosial masyarakat Jawa. Dalam kehidupan masyarakat Jawa (termasuk di Kabupaten Kudus) mengharapkan agar hidupnya sesuai dengan irama kodrat alam dan cita-cita masyarakat. Hidup seperti itu akan menciptakan kehidupan yang aman, sejahtera, adil makmur, lahir dan batin. Orang Jawa berkeyakinan bahwa hidup seperti tersebut dapat dicapai jika orang dalam setiap berhubungan dan bertingkah laku perbuatan, tata tertib dan kebiasaan hidup sehari-hari berpedoman dan bersumber pada kaidah-kaidah moral yang berlaku di masyarakat. Bagi orang Jawa nilai-nilai tersebut adalah: (a) kerukunan untuk menghindari konflik terbuka, dalam setiap situasi, hendaknya setiap anggota masyarakat bersikap dan berbuat sedemikian rupa sehingga ia tidak menimbulkan pertentangan atau konflik. Kemudian, Suseno (1984) dan Geertz (1983) menekankan bahwa, rukun adalah usaha mencegah segala kelakuan yang dapat menimbulkan konflik terbuka. Dengan rukun orang menciptakan keadaan masyarakat yang tenang dan selaras serta terhindar dari perselisihan. Orang saling 212 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus membantu sejauh kemampuannya, baik dalam kepentingan perorangan maupun kepentingan umum. Hal tersebut dapat dilihat dalam kerja sama, tukar-menukar pikiran, dalam keluarga, lingkungan Rukun Tetangga maupun masyarakat luas (termasuk dalam berbisnis). (b) prinsip hormat, artinya dalam setiap situasi, dimana pun orang berada, hendaknya setiap anggota masyarakat dalam cara berbicara dan membawakan diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukan (status)nya. Orang Jawa harus menghormati mereka yang lebih tinggi dan sebaliknya tidak meremehkan mereka yang lebih rendah. Sikap hormat tersebut tertanam sejak kecil dalam keluarga dengan perasaan wedi, isin dan sungkan (Geertz, 1983). Anak dididik untuk takut dan menghormati orang lain dan untuk malu akan apa yang tidak pantas bagi orang lain. Perasaan malu dapat muncul dalam setiap situasi sosial (Suseno, 1984). Mengerti kapan dan bagaimana wedi, isin dan sungkan harus dilakukan, berarti telah menjadi orang Jawa (Geerts, 1983). Selanjutnya Geertz (1981) dan Seseno (1984) menyimpulkan penelitiannya bahwa setiap anggota masyarakat manyadari kaidah kerukunan dan hormat sebagai prinsip hidupnya. Setiap perbuatan selalu mengacu kepada kaidah tersebut menjadi sumber etika dan terlihat dalam tatanan dan tingkah laku hidupnya. Jadi sifat rukun dan hormat berlaku agar masyarakat mencapai keselarasan dan bukan orang perorangan, tetapi masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam masyarakat Jawa orang harus sabar, kerja sama, patuh dan rela berkorban. Manusia dan lingkungan alam ini merupakan suatu keutuhan yang mengandung unsur-unsur dan relasi yang teratur. Terpeliharanya relasi itu berarti tercipta keadaan yang selaras, serasi dan seimbang, yang sering disebut sebagai keadaan tata titi tentrem kerta raharja. Identifikasi ungkapan tersebut mengimplikasikan pola keutamaan “ji” dalam Gus-ji-gang, di samping bersikap kritis, maka juga hendaknya bersikap kreatif terhadapnya. Bersikap kreatif, menurut Magnis Suseno, bergairah untuk memikirkan, mencari, dan 213 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus menemukan, serta menciptakan yang baru (modern)37. Agar tercipta yang baru (modern) artinya, yang sesuai dengan nilai-nilai moral budaya Jawa: struktural fungsional, maka keutamaan “ji” sebagai identifikasi proses pembelajaran (to learning), selain bersikap kritis dan kreatif, diperlukan pengembangan kedalamannya. Maksud pengembangan kedalamannya yaitu, dalam bersikap kritis dan kreatif dimaksudkan sebagai kegiatan bermakna38 spiritual39 pada makna internalnya40. Acuan identifikasi kegiatan bermakna spiritual sebagai makna internalnya yang sesuai bagi nilai-nilai moral budaya Jawa: struktural fungsional adalah, bersikap momong atau ngemong41 dan mawas diri atau tahu diri sama dengan bersikap eling42 sebagai satu tatanan caranya bersikap hormat dan rukun (tata krama Jawa) demi kekeluargaan dan hubungan kemasyarakatan. Transendental Kata transendental mempunyai pengertian menonjolkan halhal yang bersifat kerohanian, atau di luar apa yang diberikan oleh pengalaman manusia. Istilah transendental, menurut Garaudy (1986) memiliki 3 (tiga) pengertian dengan perspektifnya. Pertama, mengakui ketergantungan manusia kepada penciptanya. Sikap merasa cukup dengan diri sendiri yang memandang manusia sebagai pusat dan ukuran segala sesuatu, bertentangan dengan makna transendental. Transendental mengatasi naluri-naluri manusia seperti keserakahan dan nafsu berkuasa. Kedua, mengakui adanya kontinuitas dan ukuran bersama antara Tuhan dan manusia. Artinya, transendensi merelatifkan segala kekuasaan, kekayaan, dan pengetahuan. Ketiga, mengakui keunggulan nilai-nilai mutlak yang melampaui akal manusia. Menurut Leahy (1994), kehidupan manusia mengarah ke dalam yang transendental berarti sebagai yang mampu mengungkapkan seluruh realita objektif yang sedang dikerjakan dan mengungkapkan secara total sampai pada makna-makna hidup yang paling final. Transendental secara implisit maksudnya dalam penelitian ini searah dengan obyektivikasi pemikiran atau konkritisasi masyarakat asli Jawa, 214 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus khususnya masyarakat Kabupaten Kudus. Dalam budaya Jawa pandangan hidup lazim disebut ilmu kejawen atau yang dalam kesusastraan Jawa dikenal pula sebagai Ngelmu Kesempurnaan. Wejangan tentang Ngelmu Kesempurnaan Jawa ini termasuk ilmu kebatinan atau dalam filsafat Islam disebut tasawuf atau sufisme. Orang Jawa sendiri menyebutkan suluk atau mistik. Sebenarnya kejawen bukan aliran agama, tetapi adaptasi kepercayaan, karena di sana terdapat ajaran yang berdasarkan kepercayaan terhadap Tuhan dari puncak-puncak teologi Islam, Hindu dan Budha. Berbagai makna yang berkaitan dengan kata “transendental” adalah, sesuatu yang secara kualitas teratas, atau di luar apa yang diberikan oleh pengalaman manusia. Kehidupan yang mengarah ke dalam transendental berarti, sebagai yang mampu mengungkap seluruh realitas obyektif yang sedang dikerjakan dan mengungkapkan secara total sampai pada makna-makna hidup yang paling final43 sebagai “pengalaman keagamaan”. Maksudnya “pengalaman keagamaan” yaitu, adanya kesadaran akan dunia gaib, rohaniah atau spiritual, sebagai pandangan dunia dan pembuktian fakta-fakta kerohaniannya tersebut dalam dunia jasmaniah44. Pengertian tersebut searah dengan maksud William James menjelaskan, “pengalaman keagamaan” merupakan acuan untuk menguraikan fenomena realitas gaib, sebagaimana pandangan dunia atau spiritual yang dengannya manusia mengadakan hubungan dengan sesamanya45. Kemudian Joachim Wach (1984) mensyaratkan empat kriteria agar dapat diakui sebagai pengalaman transendental: (1) pengalaman tersebut merupakan tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai realitas mutlak; (2) dilakukan oleh pribadi yang utuh dan memiliki kapasitas untuk memberi tanggapan; (3) ada kedalaman penghayatan, dan (4) adanya unsur imperatif agar pengalaman tersebut tampil dalam wujud perbuatan konkret46. Oleh karena itu masyarakat Kudus di dalam melaksanakan kegiatan ekonomi seperti berdagang/ industri harus selalu tetap mengingat pada Allah SWT dan selalu membangun hubungan dengan–Nya dengan menjalankan sholat, zikir dan puasa. Hal itu dilakukan karena tumbuh kesadaran yang kuat bagi 215 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus masyarakat Kudus bahwa tidak logis jika dalam mencari rejeki justru melupakan yang memiliki rejeki tersebut. Masyarakat Kudus berkeyakinan semakin dekat dengan yang memiliki rejeki, semakin banyak rejeki yang mereka akan terima. Maka tidak mengherankan bila masyarakat Kudus dalam mencari rejeki dihubungkan dengan tawakal (transendesi), karena pada dasarnya tawakal adalah proses membangun transendensi kepada Allah. Kebudayaan asli Jawa yang bersifat transendental lebih cenderung pada paham animisme dan dinamisme, perubahan besar pada kebudayaan Jawa terjadi setelah masuknya agama Hindu-Budha yang berasal dari India berabad-abad lamanya mempengaruhi tanah Jawa, seperti sistem kepercayaan, kesenian, kesusasteraan, astronomi, dan pengetahuan umum. Para wali dan ulama mendominasi pembentukan karakter religiusitas orang Jawa, sehingga muncul pemahaman ajaran agama Islam dengan pemahaman kejawen. Sunan Kudus, salah satu walisanga yang memiliki pendekatan sangat toleran dan sebagai waliyyul ilmy yang melahirkan stok tanda paradikmatik varian masyarakat santri di Kabupaten Kudus dan tanda Sunan Kudus sebagai wali saudagar yang melahirkan tanda paradigmatik varian masyarakat santri yang pedagang/saudagar. Maka dengan perpektif ini, gejala budaya paradigmatik yang bisa diserap dari pola hubungan tanda tersebut melahirkan varian Islam di kabupaten Kudus sebagai ”santri Saudagar”. Gus-ji-gang sebagai bentukan dari hubungan yang lebih menekankan nilai-nilai akulturasi agama Islam dengan budaya Jawa sebagai nilai-nilai kebersamaan dan kepercayaan baik dalam suatu komunitas atau antar komunitas. Nilai-nilai tersebut merupakan suatu modal dalam membentuk masyarakat kuat dan berkepribadian, dimana saat ini sangat penting karena ketika suatu komunitas atau masyarakat mendapat suatu masalah maka akan cepat diatasi tanpa harus ada yang dirugikan. Bourdieu, dalam tulisannya melihat bahwa posisi agen atau aktor dalam arena sosial ditentukan oleh jumlah dan bobot modal relatif mereka. Dalam arena sosial agen bertaruh tidak hanya ditentukan oleh “chip hitam” yang mempresentasikan modal ekonomi, 216 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus namun juga dengan ”chip biru” yaitu modal budaya dan juga dengan “chip merah” yaitu social capital (Alheit,1996). Kehidupan Sehari-hari Komunitas Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Kabupaten Kudus, khususnya Desa Padurenan Kecamatan Gebog, rumah tempat tinggal merupakan pusat kegiatan ekonomi (bisnis), disamping untuk tempat tinggal keluarga. Rumah tempat tinggal bagi pengusaha bordir bukanlah sekedar tempat berlindung atau beristirahat dari kepenatan kerja sehari-hari, dan tempat komunikasi antar keluarga dan kerabat, tetapi tempat bekerja dan tempat berproduksi. Oleh karena itu, rumah bagi pengusaha bordir selalu dipenuhi barang-barang hasil produksi atau produksi orang lain dan selalu ramai dengan para pekerja yang datang dan pergi dari desa-desa di sekitar Kelurahan Padurenan maupun keluarga inti (suami/isteri, anak,cucu) dari keluarga pengusaha. Keluarga menurut Fukuyama (2000), sebagai sumber penting bagi social capital. Inilah merupakan alasan mendasar tentang mengapa sebenarnya seluruh kegiatan bisnis dimulai dari keluarga. Mengutip Putnam (dalam Fukuyama, 2000) menyebutkan bahwa, social capital menunjuk pada seperangkat sumber daya yang melekat dalam hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas serta sangat berguna bagi pengembangan kognitif anak. Kerja sama dalam keluarga dimungkinkan karena terdapat fakta biologis yang alami dan itu akan memperlancar dan memudahkan berbagai aktivitas sosial termasuk dalam menjalankan bisnis. Namun di satu sisi ketergantungan berbisnis secara berlebihan oleh ikatan kekerabatan ini dapat menimbulkan konsekuensi negatif atas komunitas yang lebih luas, karena sering terjadi misalnya, komunikasi di antara kerabat kalau tindak otoritas dalam pengelolaan oleh salah satu yang dituakan. 217 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus Keluarga sebagai kelompok primer, menurut Cooley (dalam Soekanto, 2004) menyatakan kelompok yang ditandai ciri-ciri saling mengenal antara anggota-anggotanya serta kerja sama erat yang bersifat pribadi. Hubungan antar anggota keluarga masyarakat Kudus umumnya saling berkomunikasi dengan bahasa ngoko (bukan bahasa halus), baik orang tua dengan anaknya, anak dengan bapaknya, maupun adik dengan kakak. Mereka menggunakan bahasa kromo (halus) biasanya antara pegawai dengan majikannya, atau pembantu rumah tangga kepada tuannya. Sebagaimana orang Jawa di daerah lain, masyarakat Kudus memanggil atau bertegur sapa kepada yang lebih tua dengan sebutan tertentu, misal pak Haji (bagi yang sudah menunaikan ibadah haji), tetapi kepada yang lebih muda, meskipun sebutannya ada mereka lebih senang memanggil nama panggilannya secara langsung atau “njangkar”, tetapi untuk memanggil yang lebih tua, seperti orang tua laki-laki memanggil dengan Pak, atau ibunya dengan sebutan Bu. Tetapi ada juga yang memanggil bapak dengan sebutan Bah (Abah) dan Mi (Umi) sebutan ibu dan sebutan untuk kakak laki-laki dengan Mas atau kang dan kakak perempuan dengan sebutan mbak. Panggilan paman dengan sebutan pak Lik dan bibi adalah bu Lik. Sedangkan sebutan kakek dan nenek, mereka menyebut dengan mbah kakung (kakek) dan mbah putri (nenek). Sedangkan mulai turunan kedua, istilah panggilannya sudah tidak ada, dan kebanyakan masyarakat Kudus memanggil dengan langsung namanya, tetapi juga sering menggunakan istilah yang dipakai untuk memanggil anak, yaitu panggilan cucu laki-laki dengan le dan cucu perempuan dengan sebutan nduk. Hampir semua ibu rumah tangga di daerah penelitian mempunyai peran dalam menambah penghasilan keluarga, baik melalui usahanya sendiri maupun membantu usaha suaminya. Ada perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dengan anak perempuan, dimana anak laki-laki berkewajiban mematuhi semua perintah orang tuanya, khususnya perintah ayah/bapak. Bekerja sesuai dengan apa yang diperintahkan ayahnya dan jarang mendapat perintah dari ibunya. Karena itu anak laki-laki lebih mempunyai kebebasan 218 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus dibanding anak perempuan, karena anak laki-laki tidak dilibatkan dalam pekerjaan rumah tangga seperti membersihkan kamar, menyapu halaman, memasak, mencuci dan lain-lain. Sedangkan anak perempuan, karena dekat dengan ibunya, mempunyai tugas membantu pekerjaan-pekerjaan rumah tangga setiap harinya, disamping itu kadang-kadang kalau ada waktu longgar harus membatu pekerjaan ayahnya yang ada di rumah sehingga tidak ada kesempatan untuk bermain di luar rumah seperti anak laki-laki. Anak laki-laki yang sudah dewasa memiliki tugas membantu menangani usaha bapaknya sampai pada suatu saat diserahkan sepenuhnya untuk meneruskan mengelola usaha orang tuanya atau membuka usaha sendiri. Kalau sudah sampai pada taraf ini, tugasnya sudah menjadi lebih berat dan lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Setiap anggota keluarga memiliki hak dan kewajiban yang berbeda. Bapak sebagai kepala keluarga menjadi pemimpin dan bertanggung jawab pada seluruh keluarga yang harus mencari nafkah, disamping pengambil keputusan untuk hal-hal yang penting, misalnya sekolah anak-anak, hubungan sosial maupun hajatan yang harus dipatuhi dan dilayani oleh semua anggota keluarga. Sedangkan tugas ibu memiliki kewajiban melayani kepada suami dan anak-anak sesuai dengan kebutuhannya (memberi uang saku kepada anak-anak, masak dan lain-lain) dan mengatur uang belanja dan memanfaatkan sesuai kebutuhan, serta melakukan pendidikan anak-anaknya khususnya perempuan. Namun pada suatu keluarga yang sudah tidak utuh, misalnya bapaknya sudah meninggal atau tidak ada (cerai), pemimpin rumah tangga menjadi tanggung jawab ibu. Dalam keadaan demikian, anakanak perempuan tugasnya akan lebih berat dibanding dengan anak laki-laki, karena ketika ibunya berperan sebagai bapak, pekerjaan ibu menjadi tanggung jawab anak perempuan. Hubungan kekerabatan dalam suatu keluarga, mereka saling membantu, khususnya dalam menyelenggarakan upacara-upacara hajatan keluarga, seperti perkawinan, sunatan, kelahiran bayi, 219 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus pengajian dan lain sebagainya. Namun menyangkut kehidupan bisnis (ekonomi), mereka saling bersaing, meskipun tidak secara terbuka, misalnya ada pengusaha bordir mau membeli bahan baku di KSU Padurenan Jaya tetapi saat bersamaan ada pengusaha lain (bahkan masih hubungan kekerabatan) juga mau belanja bahan baku pada tempat yang sama, maka pasti salah satu akan menunggu setelah pengusaha pesaing bisnis (meskipun itu masih kerabat) selesai belanja baru mereka mau membeli. Setiap pagi, menjelang sholat subuh, semua mushola dan masjid di Kelurahan Padurenan–Kecamatan Gebog mengumandangkan adzan sholat subuh yang sangat ramai suaranya, membangunkan warga supaya menjalankan sholat subuh, saat itulah kehidupan masyarakat Kudus sudah mulai mempersiapkan kehidupan pada hari itu. Keluarga Ibu Hj. Sri Murni‟ah dan Bp.H.Moch Anshori sebagai informan kunci pada setiap jam 04.30 melakukan sholat subuh di rumah sendiri atau menuju mushola terdekat untuk melaksanakan sholat subuh. Pagi itu setelah selesai sholat subuh Ibu Sri Murni‟ah sudah mempersiapkan keperluan keluarga yaitu masak untuk persiapan sarapan pagi anak-anaknya yang akan ke sekolah dan suaminya (pegawai kantor kelurahan Padurenan), setelah selesai mulai mengelompokkan bahan-bahan yang akan dibordir oleh para pengrajin yang akan diantar suaminya ke rumah masing-masing pengrajin atau mengambil hasil bordir yang sudah selesai dikerjakan oleh para pengrajin. Kemudian anak perempuan nomer dua datang dari rumahnya (masih di sekitar Desa Padurenan) sekitar jam 09.00 terus membuka butik/toko bordir ibu Hj.Sri Murni‟ah setelah kegiatan rumah sudah selesai atau saat anaknya nomer 3 masih tinggal bersama jam 8.30 toko sudah di buka. Kadang-kadang pagi-pagi sudah ada pesanan dari konsumen datang membeli atau menerima para pengrajin yang mengambil bahan bordir dan model disain, serta menerangkan kepada pengrajin mengenai disain, warna atau corak dan kapan selesainya. Dan bila ibu Hj.Sri Murni‟ah akan mengantar hasil produksi bordir ke Pasar Klewer (Surakarta) maka selama ditinggal, anak 220 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus perempuannya sudah bisa melaksanakan tugas ibunya mengelola bisnis bordir. Sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan Ibu Sri Murni‟ah dalam menerima dan melayani para pelanggan atau calon pembeli baru. Kemudian ditunjukkan berbagai variasi desain, corak dan warna, maupun model bordir, beliau pasti menanyakan: “Pados nopo kemawon mbak, taken mawon mboten nopo-nopo” artinya cari apa mbak, tanya saja nggak apa-apa. Dalam berjualan kita harus sregep (rajin), sabar dan sumanak (ramah)”. Lebih lanjut Ibu Hj. Sri Murni‟ah mengatakan sebagai berikut: “Sregep ngomong, ampun kendel kemawon amargi menawi kendel kemawon ngrantos pembeli tangklet ya saget kawon kalian pengusaha bordir sanesipun amargi barang ingkang dipun wadhe sami. Amargi pembeli meniko benten-benten, wonten ingkang namun pilih wonten noponipun, lan wonten pembeli ingkang tangklet disain, corak dan warni ingkang sanesipun”. Artinya: Aktif dalam bicara, jangan diam saja sebab kalau diam saja menunggu pembeli bertanya ya bisa kalah dengan pengusaha bordir lain karena barang yang dibuat hampir sama,. Pembeli itu bermacam-macam, ada yang hanya memilih sak adanya dan ada pembeli yang menanyakan lebih detail mengenai disain, corak dan warna yang lain. Hari Kamis tanggal 29 Januari 2015 kira-kira jam 8.30 WIB, Ibu Hj. Sri Murni‟ah menerima telpon kalau ada pembeli dari Semarang (rombongan pegawai Dinas Perindustrian Propinsi Jawa Tengah) akan datang, mau membeli pakaian blouse wanita dengan pernik-pernik bordir sebanyak 400 buah untuk keperluan pakaian dinas yang diwajibkan memakai pakaian khas daerah, setelah kira-kira jam 10.00 mereka tiba di rumah Ibu Hj.Sri Murni‟ah, dan langsung diterima oleh Ibu H.Sri Murni‟ah dengan ramah, gesit dan cekatan menawarkan berbagai corak bordir. Karena kemampuan usaha Ibu Hj. Sri Murni‟ah tidak bisa memenuhi permintaan sebanyak 400 buah pada siang itu, kemudian beliau mengontak/menghubungi teman-teman sesama pengusaha bordir dan konveksi supaya menyediakan kekurangan stok 221 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus untuk pemenuhan order tersebut, dan beberapa saat pesanan datang dengan membawa pesanan blouse dengan bordir tersebut sehingga dapat terpenuhi 400 buah blouse bordir. Saat ditanya keuntungan hari ini, tuturnya sebagai berikut: “injih lumayan keuntungan ipun dinten punika,pas pikantuk rejeki saking Gusti Allah, amargi sedoyo sampun dipun atur Gusti Allah lan alhamdulilah pelanggan saking Semarang dumugi lan kawulo saget ngaturi pelayanan ingkang sae supados tetap dados lengganan kawulo” Artinya: ya lumayan dapat keuntungan hari ini, kebetulan rejeki dari Gusti Allah, karena semuanya sudah diatur Gusti Allah dan alhamdulilah pelanggan dari Semarang datang dan bisa memenuhi kebutuhan dan pelayanan baik supaya tetap menjadi pelanggan). Kemudian beliau melanjutkan ucapannya dan titip tidak usah diceritakan ke mana-mana kepada pengusaha bordir yang lain karena ini merupakan rahasia usahanya, supaya tidak terjadi persaingan yang tidak sehat, dan menumbuhkan kecemburuan antar pengusaha. Ini menunjukkan betapa implikasi dari ajaran Gus-ji-gang telah mereka lakukan untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan para pengusaha bordir telah dilakukan informan, sehingga kondisi yang baik di antara pengusaha bordir terjalin harmonis. Demikian pula Ibu Hj.Sri Murni‟ah dalam menjalin hubungan dengan para pekerja bordir, baik yang bekerja di rumahnya maupun pekerja bordir yang mengerjakan di rumah masing-masing dilakukan dengan baik dan selalu memberikan petunjuk sebelum para pekerja mengerjakan, baik itu desain maupun kombinasi warna benang dengan dasar warna kain, sehingga diharapkan sesuai dengan yang diharapkannya. Ungkapnya terhadap pekerjanya sebagai berikut: “ngene lho, dik Markonah yen kono biso gawe bordir sesuai sing takkarepke, rapi,cepet lan kombinasi warna sesuai lan biso kemadol duwur, pasti kono takwenehi bonus lan ojo nganti salah le bordir… aku biso rugi”. Artinya: begini lho, dik Markonah kalau kamu bisa membuat bordir yang sesuai yang saya harapkan yaitu rapi, cepat dan 222 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus kombinasi warna sesuai dan bisa terjual tinggi, pasti kamu saya beri bonus dan jangan sampai salah dalam membordir… saya bisa rugi. Demikian pula Bapak H.Moch Anshori menceritakan kebiasaan yang dilakukan setiap hari kepada peneliti: “setelah solat subuh, biasanya melakukan perjalanan ke luar kota setiap minggu 3 kali untuk mengirim produksi bordir tempel ke Magelang, Surakerta maupun ke Semarang. Rencana hari ini, Bp. H. Moch Anshori akan mencari bahan baku dan sekaligus mengirim hasil produksi bordir tempel ke Surakarta. Sebelum berangkat bisanya sudah memberikan pengarahan pada karyawan pengrajin bordir maupun berkoordinasi dengan isterinya yang nantinya bertugas mengawasi pekerjaan pengrajin bordir selama dia ke luar kota dan bisanya tidak menginap (langsung pulang). Malam harinya setelah di rumah, setiap ada kegiatan “kumpulan” beliau selalu mengikuti kegiatan sosial, pengajian, menghadiri hajatan tetangga”. Para pengusaha bordir setiap ditanya berapa rupiah keuntungan hari ini, pasti jawabannya tidak jelas dengan kata “lumayan” dan ukurannya bisa untuk beli bahan baku, bayar tukang/pengrajin bordir dan bisa memenuhi iuran kegiatan-kegiatan sosial (arisan, pengajian, gotong-royong, jimpitan dan sebagainya). Seperti yang diungkapkan Ibu Islahiyah pemilik usaha bordir „La Risma‟ kepada peneliti sebagai berikut: “ya untungnya lumayan lah, bisa buat beli bahan yang berkualitas baik, bayar tenaga kerja dan masih bisa untuk kebutuhan keluarga sedikit-dikit, ya harus selalu disyukuri bila masih ada sisa akan di tabung untuk keperluan yang lain misal naik haji, umroh atau punya hajat”. Habitus Pengusaha Bordir di Kudus Habitus merupakan nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola 223 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Bila seseorang memiliki habitus yang begitu kuat, sampai dapat mempengaruhi tubuh fisiknya. Habitus yang sudah demikian kuat tertanam serta mengendap menjadi pelaku fisik disebutnya sebagai hexis. Dengan habitus, Bourdieu merujuk pada berbagai disposisi yang tidak disadari, skema-skema klasifikasi, pilihan-pilihan yang dianggap benar yang tampak jelas dalam pengertian seseorang tentang ketepatan dan validitas seleranya akan berbagai benda dan praktik budaya. Habitus merupakan kontribusi penting bagi Bourdieu dalam usahanya untuk mengkontruksi sebuah model yang memperhitungkan struktur dan agen (Lash, 2004:239), dan habitus menurut Bourdieu (dalam Malawarman, 2008:431) merupakan sebuah proses yang menghubungkan antara agensi (practice) dengan struktur (melalui capital dan field/arena). Pembentukan habitus menurut Bourdieu (1977) melalui suatu dialektika yang digambarkan sebagai ”a dialectic of internalization of externality and externalization of internality.‟” Artinya proses internalisasi yang terus diterima atau dilakukan secara terus-menerus sehingga akan membentuk habitus yang berfungsi sebagai pola berpikir pelaku bisnis bordir (aktor) yang terekternalisasi dalam bentuk praktik yaitu perdagangan, dan selanjutnya apa yang terekternalisasi ini akan mengalami proses internalisasi kembali, dst., semuanya berlangsung dalam ranah/field. Dalam ranah inilah para aktor melakukan tindakan atau praktik dalam bentuk berinteraksi yang dialektis yang melibatkan capital baik ekonomi, sosial, budaya maupun simbolik yang dimiliki untuk meraih, mempertahankan, dan pemberdayaan sumber-sumber daya yang dimiliki agar eksis dalam melakukan perdagangan. proses Proses pembentukan habitus sebagai kerangka berpikir maka paparan selanjutnya bagaimana habitus sebagai kerangka berpikir ini menjadi tindakan pengusaha bordir dalam arena. Oleh karena itu difokuskan pada posisi dan peran aktor dalam bisnis keluarga bordir baik pada tataran mikro yaitu dalam rumah atau keluarga, tataran 224 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus medium dalam hubungan pengusaha dengan tenaga kerja, pemasok bahan baku maupun pemangku kepentingan dalam perekonomian. Perbedaan habitus antar-daerah nampak pada perbedaan tindakkan yang menurut Bourdieu (1994) digambarkan dalam perbedaan gaya hidup atau selera, praktik-praktik dan hasil karya yang memposisikan habitus-nya dan sekaligus menjadi pembeda perilaku dan gaya dari suatu masyarakat. Dalam masyarakat Jawa (termasuk masyarakat Kudus) memiliki karakteritik budaya yang khas sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Masyarakat Kudus memiliki pola akulturasi antara budaya Jawa dengan budaya Islam yang merupakan ciri khas budaya Kudus. Menurut Prabowo (2003:24), budaya secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu: budaya lahir dan budaya batin. Budaya lahir terkait dengan kedudukan seseorang sebagai mahkluk individu dan mahkluk sosial. Sebaliknya budaya batin terkait dengan persoalan-persoalan yang bersifat transendental atau hal-hal yang tidak dapat dijangkau berdasarkan perhitungan empiris atau objektif, tetapi menduduki posisi yang penting dalam sistem kehidupan masyarakat Jawa. Pengakuan orang Jawa terhadap Tuhan Sang Pencipta dapat diketahui dari berbagai ungkapan-ungkapan yang mengacu pada ketergantungan manusia kepada Tuhan. Menurut Koentjaraningrat (1982), budaya batin masyarakat Jawa (termasuk masyarakat Kudus) dapat dimasukkan pada sistem religi atau keagamaan Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terkristalisasi dalam perilaku berdagang masyarakat Kudus, ketika memulai untuk melakukan aktivitas dagang/bisnis para orang tua mengingatkan Gusti ora sare, Tuhan tidak tidur. Ungkapan ini memiliki makna bahwa kita harus memulai aktivitas baik itu berdagang atau aktivitas yang lain dengan memohon apa yang kita inginkan kepada Tuhan. Tuhan selalu mengawasi sehingga manusia harus memikirkan apakah tindakan yang dilakukannya berpengaruh baik atau buruk, baik bagi dirinya maupun orang lain. Keyakinan dan sikap budaya Jawa, termasuk masyarakat Kudus sangat kental dengan keyakinan tentang asal mula kehidupan yang 225 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus disebut sebagai sangkan atau “asal atau kelahiran‟” dan paran (tujuan hidup). Disamping memiliki sikap perilaku yang sangat kental dengan keyakinan yang dianutnya, orang Jawa (termasuk masyarakat Kudus) juga memiliki etos kerja yang kuat dan disiplin tinggi. Etos kerja ini diajarkan pertama kali oleh para orang tua kepada anaknya ketika mereka sudah berumur akil baligh. Nilai-nilai yang ditanamkan orang tua secara terus-menerus kepada anaknya terkait dengan kewajiban dalam mencari kehidupan (memenuhi kebutuhan sehari-hari). Orang tua terus mendorong anaknya dengan memberikan nilai-nilai yang arif serta memberikan contoh. Prabowo (2003), mengemukakan kata-kata arif yang sering diucapkan oleh orang tua kepada anaknya agar mau bekerja, misal ana dina ana upo, artinya ada hari pasti ada rejeki; ajo sanggo tangan artinya “jangan berpangku tangan”; obah mamah, untuk lebih lengkapnya dalam sebuah nasehat sing sopo gelem obah bakal mamah, artinya siapa yang mau berusaha (bekerja) pasti akan makan. Ketika akan memulai melakukan aktivitas bisnis para orang tua mengingatkan Gusti ora sare/ Tuhan tidak tidur. Ungkapan ini memiliki makna bahwa kita harus memulai aktivitas dengan memohon apa yang kita inginkan dan Tuhan selalu mengawasi sehingga manusia harus memikirkan apakah tindakan yang dilakukannya berpengaruh baik atau buruk, baik bagi dirinya maupun orang lain. Demikian pula nilai-nilai keagamaan diberikan orang tua kepada anak-anaknya sejak kecil, misalnya anak-anak disamping mengikuti belajar di sekolah formal (SD, SMP, SMA) tetapi setiap sore diwajibkan mengikuti kegiatan keagamaan melalui pengajian yang diselengarakan di masjid atau Taman Baca Al Qur‟an. Demikian pula bagi orang dewasa atau orang tua dalam masyarakat Kudus melakukan kegiatan keagamaan Islam seperti pengajian, sholat berjamaah di masjid, ziarah kubur, khaul, manaqiban, burdahan, terbangan dan lainlain merupakan ciri khas masyarakat Kudus dalam meningkatkan internalisasi kehidupan keagamaanya yang dilakukan pada hari Selasa kliwon, malam Jumat, atau hari Jumat siang maupun hari-hari lain, sehingga bisa dikatakan, di Kudus setiap hari pasti ada kegiatan 226 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus keagamaan (Islam). Hal ini seperti diungkapkan informan kunci Ibu Hj. Sri Murni‟ah: “Menawi dinten Jum‟at karyawan bordir libur lan kawulo ginakaen derek kegiatan pengajian dateng Masjid”. Artinya: kalau hari jum‟at karyawan bordir libur dan saya gunakan untuk mengikuti pengajian di Masjid. Sedangkan informan Ibu Mirah mengungkapkan kebiasaan melakukan usaha yang agak berbeda kepada peneliti: “menawi dinten jum‟at wonten 2 karyawan ingkang tetap bekerja lan nyuwun libur ipun dinten minggu, ya kawulo manut kemawon, ingkang baku damelanipun rampung, sanesipun karyawan menawi Jum‟at nyuwun libur lan dinten minggu mlebet nyambut damel”. Artinya: kalau hari jum‟at ada 2 karyawan yang tetap bekerja dan minta liburnya hari minggu, ya saya ikuti saja, yang penting pekerjaan selesai, karyawan lainnya kalau hari Jum‟at minta libur lan hari minggu masuk kerja. Kemudian informan kunci Bapak H.Moch Anshor menjelaskan kepada peneliti sebagai berikuti: “kalau hari Jum‟at saya tidak melakukan kegiatan pengiriman barang atau membeli bahan baku dan kegiatan membuat bordir berhenti karena karyawan libur dan saya gunakan untuk melakukan servis mesin, mendisain rancangan bordir dan melakukan sholat Jum‟at serta mengikuti pengajian”. Berdasarkan ketiga informan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, pada Hari Jumat umumnya para pengusaha bordir di Desa Padurenan Kecaamatan Gebog-Kabupaten Kudus kegiatan usaha bordir libur, kalau toh ada yang tetap membuka usaha, namun baik waktu dan volume pekerjaan dikurangi tidak seperti hari-hari biasa. Pada hari Jumat banyak dilakukan kegiatan keagamaan yaitu sholat Jum‟at dan pengajian-pengajian di masjid atau yang diselenggarakan keluarga dengan mengundang para kyai atau ustad. 227 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus Nilai-nilai Gus-ji-gang dalam kehidupan sehari-hari sudah meresap dalam diri masyarakat Kudus, termasuk para pengusaha bordir. Hal ini dapat dilihat dari pola berpikir, perbuatan, tindakan baik dalam kehidupan sosial maupun bisnis/dagang, sehingga adanya sinergi antara kehidupan dunia dan akhirat di masyarakat Kudus. Rutinitas kegiatan keagamaan (Islam) demikian kuatnya dalam kehidupan masyarakat Kudus untuk menjaga keseimbangan dua kehidupan (sosial dan ekonomi) sehingga mengkristal dalam diri masyarakat Kudus. Perilaku “gus” artinya beraklak baik atau berperilaku bagus dan ”ji” artinya pintar mengaji, telah mendasari internalisasi perilaku pengusaha bordir yang sering ditunjukkan dengan ungkapan paring panglilane Gusti artinya pemberian sesuai dengan kerelaan Tuhan. Dan masyarakat Kudus masih berpegang pada prinsip hidup sak titahe dan etika “sak titahe” akan menjadi pegangan hidup dan guidance value bagi masyarakat Kudus dalam mengarungi kehidupanya, terutama dalam menjalankan usahanya. Menurut Abdul Jalil (2013), etika “sak titahe” kalau dicari padananya lebih mendekati konsep tawakal dalam Islam dan masyarakat Kudus mampu menginternalisasi konsep tawakal dalam Islam ke dalam etika ”sak titahe”. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh informan kunci Ibu Hj Sri Murni‟ah dan Bapak H.Moch Anshori yang pada dasarnya hampir sama. Ibu Hj Sri Murni‟ah mengatakan: “sak wanci dinten pas sepi namun pikantuk penghasilan namun cekap kagem bayar borongan bordir, injih kedah bersyukur alhamdulilah, namun pas rame injih pikantuk penghasilan cukup kagem tumbas bahan, bayar karyawan lan tasih wonten sisanipun kagem kebetahan sedinten-dinten, injih tetap disyukuri”. Artinya: Sewaktu hari pas sepi hanya mendapat penghasilan cukup kagem bayar borongan bordir, ya harus bersyukur Alhamdulilah, namun pas rame, ya mendapat penghasilan cukup buat beli bahan, bayar karyawan dan masih ada sisanya buat kebutuhan sehari-hari, ya tetap harus disyukuri. 228 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus Sedangkan Bapak H.Moch Anshori menuturkan kepada peneliti sebagai berikut: “tetapi saya tetap sabar karena rejeki sudah diatur Yang Maha Kuasa dan Alhamdulilah karena pelanggan saya sangat banyak, ya lumayan lah penghasilannya bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari”. Bagi masyarakat Jawa (termasuk masyarakat Kudus), mencari kerelaan Tuhan menjadi tujuan utama untuk mendapat rejeki yang berkah. Sebagai konsekuensinya akan menyisihkan sebagian rejeki yang telah diterimannya untuk diberikan kepada yang berhak. Ada dua bentuk balasan kebaikan yang diharapkan yang sesuai dengan ajaran agama Islam yaitu: Pertama, kebaikan yang dengan cepat/segera akan mendapat balasan dengan kebaikan. Kedua, kebaikan yang mendapat balasan dalam jangka waktu yang lama, yang diibaratkan dengan nandur pari jero. Menanam kebaikan kepada seseorang yang tidak mampu membalas kebaikan itu dipandang sebagai nandur pari jero (menanam padi yang dalam), dan berkeyakinan bahwa akan memperoleh kenikmatan bagi anak dan cucunya. Demikian pula “gus” dan “ji” telah mampu memperkuat kehidupan internal komunitas pengusaha bordir di Kudus dalam melakukan kegiatan dagang, seperti yang sering diungkapkan para informan sebagai sikap rendah hati yaitu tuna satak bathi sanak dalam pergaulan komunitas pengusaha bordir. Artinya bila mendapat rugi uang tidak apa-apa, asal mendapat untung saudara. Menurut Suratno dan Astiyanto (2009), Bathi sanak artinya tambah sedulur (tambah saudara; yang berarti tambah juga pelanggan). Demikian pula pendapat Marbangun (1995) yang menjelaskan bahwa, manusia Jawa merupakan sosok yang dapat menerima kondisi atau nasib yang terjadi dalam hidupnya dengan dilandasi rasa percaya pada kemurahan Tuhan sehingga segala sesuatu diterima dengan jiwa narima ing pandum tetapi bukan tindakan fatalis. Hal ini menunjukkan bahwa kebahagiaan pengusaha bordir dalam bertransaksi dagang tidak selalu diukur dengan keuntungan berupa uang, karena mendapatkan saudara atau rekanan berarti 229 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus menambah jejaring atau pelanggan, yang dalam berusaha dihitung sebagai keuntungan (laba). Oleh karena itu, seorang pengusaha bordir rela menjual barang dagangannya dengan harga sedikit lebih rendah dari penawarannya demi menjaga dan menjalin hubungan dengan orang lain, yakni pembeli. Bagi orang Jawa (termasuk orang Kudus) harta benda bukanlah segala-galanya dan ukuran kekayaan seseorang tidak selalu ditentukan oleh banyaknya harta yang dimiliki. Pelanggan merupakan aset potensial yang menghasilkan keuntungan dalam jangka panjang dan pelanggan keberadaannya tidak berada di luar melainkan manunggal dengan kekayaan. Sehingga pengusaha bordir pada suatu saat mendapatkan kerugian atau tuna satak dianggap tidak berarti apa-apa jika kekayaan yang berupa sanak “pelanggan” terus bertambah. Pengusaha Industri Kecil Bisnis Berinteraksi dengan Tenaga Kerja Keluarga Bordir Berdasarkan data empiris di lapangan, komunitas IKBK bordir di Kabupaten Kudus sebagian besar dilakukan di rumah sebagai tempat usaha (bengkel) dan dikelola oleh suatu keluarga, dimana suami atau isteri sebagai pemilik usaha dibantu dengan anggota keluarga yang lain seperti isteri atau suami, anak, menantu sehingga pembagian area publik (produktif) dan domestik (reproduktif) menjadi tidak jelas secara fisik, usaha bukan lagi milik seseorang tetapi milik bersama dan tidak jelas siapa juragan (suami atau isteri), tidak ada perjanjian dan kontrak karena semuanya berlangsung karena saling menjaga kepercayaan, saling memahami, saling membantu, dan sebagai social capital. Bourdieu (dalam Richard Jenkins, 2013) mengatakan bahwa, capital tidak selalu bermakna ekonomi tetapi capital juga bisa bermakna sosial, budaya, politik, dan simbolik yang dapat menghasilkan bukan hanya barang atau uang tetapi makna dan simbol. Pekerja usaha bordir pada umumnya berasal dari lingkungan keluarga inti (anak, saudara, menantu) maupun keluarga luar (tetangga rumah dan tetangga desa) yang tidak mempunyai ikatan kerja formal 230 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus dengan pengusaha, sehingga hubungan kerja di antara mereka secara informal. Keterlibatan pekerja saling bekerja sama membantu dan saling percaya dalam pengelolaan dan proses produksi bordir sampai pemasarannya dan para pekerja tersebut juga berperan dalam mendukung perekonomian keluarga, keterlibatan keluarga sebagai pekerja mendapat upah harian atau borongan dengan kesepakatan (majikan dan pekerja) sebelumnya dan kondisi pekerja didominasi oleh perempuan. Para pekerja sebagian melakukan aktivitas mengerjakan produksi bordir di rumah/bengkel pengusaha bordir dan sebagian lagi pekerja membawa pulang bahan-bahan bordir dari majikannya dan mengerjakan aktivitas bordir di rumah masing-masing, ini yang sering disebut sebagai tenaga kerja rumahan (home-woker)47. Meskipun tenaga kerja bordir sebagain besar perempuan dan dalam mengerjakan pekerjaan bordir di bawa pulang atau dikerjakan di rumahnya tetapi tetap dalam kendali dan pengawasan pengusaha baik itu dalam menentukan desain, penentuan kombinasi warna benang, penentuan jenis dan warna kain dan akan dibayar dalam satuan tertentu (pieces) yaitu borongan atau harian. Hubungan pekerja dengan majikan (penguaha) dapat dilihat sebagai hubungan kekuasaan dan pertukaran yang oleh Marx (2004) disebut sebagai hubungan eksploitatif karena majikan membayar pekerja hanya untuk kekuatan bekerjanya tanpa membayar untuk pengeluaran sesungguhnya atas energi dan inteligensi manusia yang diambil dan ditransfer menjadi komoditi yang dihasilkan mereka. Namun karena antara pekerja dan pengusaha sama-sama memiliki hubungan kekeluargaan yang baik dan hangat, serta menjaga kepercayaan masing-masing, maka pekerja tidak merasa dirinya dieksploitasi karena mereka mendapat gaji yang sudah disepakati, dan masih bisa melakukan kegiatan rumah tangganya seperti mengantar anak sekolah, belanja, memasak untuk keluarga tetapi yang penting kesepakatan selesainya pekerjaan bordir serta kualitas bordir yang diharapkan pengusaha (pemberi order). Hal ini terungkap dalam wawancara dengan informan kunci Bp. H. Moch Anshori48 sebagai berikut: 231 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus “para pekerja, saya beri kebebasan mau mengerjakan di bengkel atau di rumahnya, yang penting pekerjaan selesai tepat waktu, dan sudah disepakati pula dengan desain, kombinasi warna benang tertentu karena secara teknik membordir para pekerja sudah profesional, dan untuk tetap menjaga kualitas tetap saya kontrol dengan mendatangi di rumah para pekerja setiap sore hari (setelah sholat dhuhur) dan harga pekerjaan bordir sudah disepakati bersama, biasanya kalau dikerjakan di rumah pekerja dengan borongan sedangkan kalau dikerjakan di bengkel (rumah pengusaha) dengan harian, yang terpenting antara pengusaha dan pekerja menjaga kejujuran dan norma-norma yang berlaku, rata-rata pekerja ikut bekerja dengan saya rata-rata di atas 5 tahun lebih.” Dalam memenuhi kebutuhan karyawan bordir yang dihadapi usaha bordir ”Fadillah” dirasa cukup memadai. Dalam wawancara secara mendalam dengan Ibu Sri Murni‟ah49 terungkap sebagai berikut: ”jumlah karyawan sameniko sampun cekap lan kualitas ipun sampun sae, injih kawulo boten nambah karyawan, namun menawi wedal pesanan katah, kawulo nembe pados karyawan pocokan, sakmenika karyawan ingkang dateng griyo 2 tiyang lan karyawan ingkang dateng griyonipun kiambak-kiambak wonten 12 tiyang ngagem sistem borongan, hanya untuk administarasi anak kulo kiyambak” Artinya: Jumlah karyawan sekarang sudah mencukupi dan kualitas sudah baik, ya saya tidak menambah karyawan, tetapi kalau pesanan banyak baru mencari karyawan “pocokan”, sekarang jumlah karyawan 2 orang di rumah dan 12 orang karyawan di rumahnya masing-masing dengan sistem borongan dan kalau tenaga administrasi anak saya sendiri). Dari karyawan yang dimiliki Ibu Hj. Sri Murni‟ah sudah ada pembagian pekerjaan dari masing-masing karyawan, hal ini terungkap dari hasil cuplikan wawancara sebagai berikut: “sampun wonten pembagian tugas ingkang jelas kagem masing-masing karyawan, wonten ingkang mengerjakan bordir Juki kemawon, bordir manual “icik” dan wonten ingkang mesin computer lan boten sisah melatih amargi 232 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus kawolu hanya menerima ingkang sampun saget bordir,sak lajengipun dipun latih kaliyan bekerja” Artinya: sudah ada pembagian tugas yang jelas buat masing-masing karyawan, ada yang hanya mengerjakan bordir mesin Juki, bordir manual “Icik” dan mengerjakan bordir komputer dan tidak melakukan pelatihan sebab saya hanya menerima yang sudah bisa bordir dan seterusnya dilatih sambil bekerja). Sementara itu seorang informan lainnya, Ibu Mirah pemilik usaha bordir ”La Mirah” menyampaikan sebagai berikut: ”pembagian tugas pekerjaan boten rumit, namun tugas-tugas membordir engkang kawolu tekanaken kaliyan karyawan cekap sae lan boten ribet”. Artinya: di usaha bordir “la Mirah” pembagian tugas pekerjaan tidak rumit, namun tugas-tugas membordir yang saya tekankan bagi karyawan cukup baik dan tidak rumit. Pada umumnya para pengusaha memberikan bonus atau hadiah kepada para karyawannya apabila bisa bekerja sesuai target dangan kualitas yang diharapkan komunitas pengusaha IKBK bordir, hal ini bisa terungkap dari wawancara informan kunci maupun informan yang lain. Seperti yang disampaikan Ibu Hj.Sri Muni‟ah dalam cuplikan wawancara sebagai berikut: “Kawulo ngaturi penghargaan kagem karyawan berupa uang menawi karyawan saget damel bordir ingkang sae sesuai kaliyan ingkang kawulo kersakake, sampun sami disain ipun dan reginipun sae” Artinya: Saya memberi penghargaan buat karyawan berupa uang kalau karyawan bisa membuat bordir baik sesuai dengan yang saya harapkan, sama dengan disain dan harganya baik). Demikian pula informan Bapak Nur Syafiq50 menyatakan: ”kami memberi bonus berupa uang dan memberikan kebebasan karyawan sebagai usaha mempertahankan karyawan agar tidak pindah ke tempat lain”. 233 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus Karyawan pada umumnya baik yang bekerja di rumah pengusaha maupun yang mengerjakan di rumah pekerja sendiri, memiliki hubungan informal yang sangat baik, tanpa ditandai dengan kontrak kerja secara tertulis, hanya dengan perjanjian lisan dengan didasarkan saling percaya, hal ini disampaikan oleh para informan yang dijumpai dan diwawancarai peneliti. Seperti Ibu Hj.Sri Murni‟ah yang mengungkapkan sebagai berikut: “pekerja bordir ingkang nyambut damel dateng mriki puniko, katah ipun injih tetanggi dusun mriki kemawon, amargi sampun kados sederek injih menawi ijin wonten kebatahan sanes ipun injih monggo, contonipun dipun sambi methuk lare sekolah, belanjo dateng peken, namun ingkang penting damelanipun bordir rampung sesuai kaliyan wedal ingkang sampun kawulo tenthok-aken, disain ingkang kawulo tenthok-aken” Artinya: pekerja bordir yang bekerja di sini, kebanyakkan tetangga di sini saja, karena sudah seperti saudara sendiri sehingga kalau ada keperluan lain, ya silahkan contohnya menjemput anak sekolah, belanja di pasar), namun yang penting pekerjaan bordir selesai tepat waktu sesuai dengan disain yang telah ditentukan). Demikian juga informan Bapak H.Hasan51 menyampaikan kepada peneliti sebagai berikut: “Untuk mendapatkan pekerja bagi saya sangat mudah, yang penting mereka sudah bisa menjahit, tinggal saya latih mengkombninasikan benang dan warna kain dasarnya, itu sudah kami gambarkan desainnya, dan hubungan saya dengan karyawan tidak formal, karena semua perjanjian kerja secara lesan, hanya saling percaya dan saling menguntungkan, dan saya lakukan secara fleksibel saja, yang penting hasil bordir sesuai yang saya kehendaki yaitu sesuai desain yang saya inginkan dan rata-rata mendapat upah dengan sistem borongan kalau gaji dibayar harian tanpa makan siang mendapatkan Rp.60.000, per hari”. Mendapat rejeki yang cukup banyak mendatangkan untung maka, kegemberiaan atas keuntungan itu diwujudkan melalui bersyukur dengan cara, menyisihkan keuntungan tersebut 234 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus disimpan/ditabung untuk merencanakan ibadah umroh. Hal itu disampaikan Hj.Sri Murniah saat diwawancarai sebagai berikut: ”menawi pikantuk untung radi katah, kawulo sisihkan dipun tabung kangge rencana bade kesah ngilen “umroh” (menawi pikantuk untung cukup banyak, saya sisihkan di tabung buat pergi ke Barat untuk ”umroh”). Namun jika mendapatkan rejeki sedikit, ya harus disyukuri pula, tentunya tidak menyisihkan untuk ditabung dan tidak mengurangi untuk kulakan bahan-bahan bordir, bahaya. Nah, ini harus sesuai dengan pemasukkan dan pengeluarannya. Jadi ukuran keuntungan, atau kinerja yang baik bagi Hj.Sri Murni‟ah adalah ketika sekurang-kurangnya dapat menyediakan alokasi dana untuk arisan dan mengangsur kredit pinjaman. Seperti ucapnya ”Tasih saget kagem bayar arisan, lan bayar utang kreditan” (masih dapat buat bayar arisan, dan bayar utang kreditan). Bagi pengusaha bordir yang penting mendapatkan keuntungan akan mendorong pengusaha tetap berproduksi bordir untuk memenuhi pesanan dan menjual langsung kepada konsumen, meskipun penjualan langsung maupun pesanan bordir sangat dipengaruhi oleh faktor musim (dalam konteks budaya) yang secara umum dialami semua pengusaha bordir, misalnya sebelum bulan puasa Ramadhan dan hari raya Idhul Fitri, pesanan dan omzet penjualan bordir meningkat. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Ibu Hj.Sri Murni‟ah sebagai berikut: ”Biasanipun wedal bade wulan pusasa Rhomadon, bisaanipun katah pelanggan ingkang pesan bordir baju Muslim, jilbab, baju Koko dengan motif bordir lan kain-kain motif bordir kagem kabayak” Artinya: Biasanya setiap waktu menjelang bulan puasa Rhamadan, biasanya banyak pelanggan yang pesan baju muslim, jilbab, baju koko dengan motif bordir dan kain-kain motif bordir untuk kebaya). Demikian pula Ibu Nurul Hikmah52 menjelaskan kepada peneliti bahwa: 235 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus “Setiap musim orang punya hajat, souvenir menikahkan putra-putrinya, atau mendekati hari besar keagamaan banyak pesanan baik konsumen maupun pemilik toko yang memesan souvenir dompet, tutup gelas, tempat tisu,taplak meja dll, ya lumayan omzetnya”. Konsep keuntungan bagi para pengusaha bordir cukup sederhana, kadang-kadang tidak diperhitungkan oleh berbagai komponen yang selalu dianggap biaya. Keuntungan adalah saldo selisih antara harga jual yang yang telah dikurangi harga pokok barang, namun dalam kisaran tidak lebih dari 15%. Pedagang tidak menafikan untuk mendapatkan keuntungan yang banyak sehingga keluarga sejahtera, namun pada umumnya komunitas pengusaha bordir setiap usaha selalu dikaitkan dengan motif untuk ibadah seperti zakat, sedekah, infak maupun kegiatan sosial dilakukan secara rutin. Jadi tidak semata-mata mencari keuntungan yang besar dan melupakan ibadah. Indikator dan bukti secara empiris cukup banyak ditemukan, diantaranya setiap hari Jumat pengusaha bordir menutup usahanya atau dibuka lagi setelah lewat sholat Jumat, memberikan zakat, sedekah meskipun permintaan bordir sepi, seperti yang diucapkan oleh Ibu Islahiyah53 bahwa: “Kulo, nek sepi pesanan bordir boten tentu, kadang-kadang wulan Pebruari ngatos Maret, namun sakwedal ipun bede romadhon lan dinten Riyadi injih radi rame, ningali rejekine teka Pangeran (Allah SWT), menawi nembe kesel nggih istirahat, nek rame nggih remen sanget, ngantos garapipun lembur-lembur injih tetap amal ngaturi shodakoh, zakat utawi infak injih tetap”. Artinya: kalau sepi pesanan bordir tidak tentu, kadang-kadang bulan Februari sampai April, namun sewaktu mendekati bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri ya cukup ramai, ya seneng sekali, melihar rejekinya datang dari Allah SWT, kalau baru capek ya istirahat, kalau rame ya senang sekali sampai mengerjakan lembur-lembur ya tetap beramal memberikan zakat, sedekah atau infak”. Keberlanjutan usaha bordir dibangun dan dipelihara melalui pengembangan disain dan corak kombinasi warna benang yang 236 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus menarik serta memiliki keunikan tersendiri. Jadi minat untuk mengembangkan bordir di kalangan pengusaha bordir sangat tinggi dan bukan atas dasar permintaan pangsa pasar yang dominan diperlukan oleh banyak konsumen, dan bukan atas harga yang menarik, tetapi ada keinginan untuk melestarikan dan menguri-uri bordir di Desa Padurenan Kecamatan Gebog yang sudah merupakan warisan para orang tua, sehingga masih bertahan sampai sekarang. Usaha bordir yang dikembangkan keluarga, tidak hanya sekedar space tempat melakukan kegiatan bisnis tetapi sebagai tempat dalam menimba ilmu memproduksi bordir dan menjualnya kepada konsumen, sehingga sebagai praktik nyata (learning by doing and natural education) orang tua kepada anak-anaknya dalam menjalani etika berdagang, memelihara dan menepati janji pembayaran, menjaga kualitas barang, menjalin kerja sama, memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pelanggannya. Hal ini seperti yang diungkapkan Bapak H.Maskan54, suami dari Ibu Hj. Sri Murni‟ah: “Sebenarnya saya bukanlah yang menjalankan usaha ini tetapi isteri saya dan anak-anak. Saya hanyalah sebagai pendukung atau memberi masukan kepada isteri dan anakanak saya dalam menjalankan usaha bordir. Isteri saya punya bakat dagang dari orang tuanya. Waktu masih sekolah isteri saya sudah rajin menabung, terus selalu membantu orang tuanya memproduksi bordir dan menjualnya ke pasar atau ke pengecer. Dari pengalaman itulah setelah menikah dengan isteri saya, isteri saya mencoba mulai membuka usaha sendiri sampai sekarang dan cukup berhasil…ya otodidak ya ilmu katon saja (ilmu dari melihat/mengamati saja)……” Pengusaha Industri Kecil Bisnis Berinteraksi dengan Konsumen Keluarga Bordir Perilaku konsumen dalam berkonsumsi, diasumsikan bahwa seseorang konsumen merupakan sosok yang cerdas dan rasional. Dalam artian, konsumen tersebut mengetahui secara detail tentang income dan kebutuhan yang ada dalam hidupnya serta pengetahuan tentang jenis, karakteristik, dan keistimewaan komoditas yang ada. Rasionalitas 237 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus konsumen selalu mengalami perubahan dan berkembang, pada zaman modern ini selalu mengarah pada peningkatan efisiensi, menggunakan teknologi yang bisa memberi kemudahan, terutama dalam penggunaan sumber daya manusia ke arah sumber daya non manusia. Perilaku seorang komsumen terkadang dipengaruhi oleh lingkungan sosial, budaya, politik dan ekonomi dalam menentukan komoditas dan jasa yang harus dikonsumsi. Bahkan sekarang ini, sering ditemukan seorang konsumen yang mengkonsumsi atau membeli produk baru tetapi tidak dilandasi oleh pengetahuan tentang komoditas tersebut, tetapi didasarkan karena pengaruh advertensi (iklan) yang dapat mempengaruhi dan membuat image baru tentang sebuah produk. Sesungguhnya antara kepentingan produsen sebagai penjual bordir dengan konsumen adalah sama-sama ingin mendapatkan manfaat maksimal, bagi produsen menjual bordir ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya melaui omzet penjualan yang besar, sedangkan konsumen ingin memperoleh kepuasan maksimal dengan harga yang terjangkau. Sistem harga luncur, disertai dengan tawarmenawar antara produsen dan konsumen yang ramai dan kadangkadang agresif menjadi ciri sistem harga luncur dalam situasi penetapan harga yang tidak pasti. Tawar-menawar yang tidak selesaiselesai dalam menentukan harga merupakan refleksi dari kenyataan tidak adanya pembukuan yang baik dan perhitungan anggaran serta biaya jangka panjang itu telah menimbulkan kesulitan, baik bagi pembeli maupun penjual dalam menentukan harga yang “pantas”. Produsen bordir akan menjual dalam memaksimalkan keuntungan dengan mengambil margin harga tinggi dan mendapatkan harga jual dengan tawar-menawar. Ketika tawar-menawar berlarutlarut, maka sering kali hasilnya justru cenderung berupa kegagalan, konsumen tidak jadi membeli. Oleh karena itu banyak produsen menjual bordir dengan tidak memaksakan margin harga yang besar dan keuntungan yang dicanangkan bersifat lentur atau elastis. Bagi komunitas pengusaha bordir yang semakin meningkat omzet produksi bordir dan jualnya, itu sebagai petanda semakin kuat 238 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus kapasitas interpersonal kepercayaanya sebagai hasil dari kepercayaan produk bordir kepada konsumen atau pelanggannya, baik personal maupun pedagang eceran tidak terbatas pada Kota Kudus, tetapi bisa berbagai kota yaitu Pekalongan, Surakarta, Malang bahkan Denpasar (Bali). Demikian pula kepercayaan dari para pemasok bahan baku juga semakin tinggi dikarenakan pengusaha bordir tersebut menjaga kepercayaan tepat waktu melunasi bahan baku yang dibelinya, bahkan sering digunakan caranyaur ngamek. Hal itu karena pengusaha bordir tersebut telah mendapat semacam sertifikat “kepercayaan sosial” (social credentials) sehingga sebagai pedagang memiliki aksesibilitas peluang sumber daya usaha lebih besar. Menunjuk pada informan kunci Ibu Hj.Sri Murni‟ah pemilik usaha bordir “Fadillah Embroidery” tanpa dibuat-buat, apa adanya dan jauh daripada kesan hyperbolik, menunjukkan sikap kejujuran, perilaku sabar, tata cara komunikasi bagus dan memelihara kepercayaan sebagai modal usaha yang amat menentukan berlangsungnya usaha. Berdagang adalah interaksi antara penjual (produsen) dan pembeli, oleh karena itu membangun kerja sama serta menjalin komunikasi dilakukan dengan baik. Bila sudah ada kecocokan dengan pembeli, karena telah mengenal dengan baik melalui jual beli berulang kali, terjalinnya hubungan baik maka hubungan antara penjual (produsen bordir) dengan pembeli yang sudah menjadi pelanggan. Cara berkomunikasi, berinteraksi dan selalu menjaga kejujuran dengan pembeli merupakan kekuatan modal berjualan yang dimiliki produsen bordir, dan hubungan yang baik itu jika dipelihara sebagai norma atau nilai-nilai yang disepakatinya. Cara yang dilakukan Ibu Hj.Sri Murni‟ah selalu membuat terkesan bagi siapa pun yang pernah berbelanja di rumahnya: “Dagang meniko kedah sumeh, disiplin. Sumeh meniko ingkang dipun padosi tiyang, boten pikantuk cepet nesu menawi dipun tawar dagangan kanti murah” Artinya: 239 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus Dagang itu harus sumeh, disipin. Sumeh itu yang dicari orang, tidak boleh marah-marah kalau dagangan ditawar murah). Untuk melihat dan mendalami pengusaha IKBK bordir di tempat penelitian yang dipilih, peneliti menetapkan beberapa informan kunci, salah satunya ibu Hj.Sri Murni‟ah pemilik usaha bordir “Fadillah”, asal mulanya merupakan usaha dari orang tuanya (warisan) yang kemudian dikembangkan dan diberi nama usaha “Fadillah”. Pemilik usaha “Fadillah” sangat sederhana dan tidak mengesankan bila diperhatikan cara pandang tentang betapa pentingnya suatu modal financial, demikian pula tidak pernah mendapat pendidikan formal yang mengajarkan teori tentang norma dan nilai berdagang, jaringan usaha, kepercayaan, hubungan timbal balik sebagai model usaha. Namun berdasarkan pengalaman selama mengikuti dan membantu orang tua dalam berbisnis bordir ternyata menjadikan proses pembelajaran, sehingga mampu mengemukakan pandangannya tentang bisnis bordir, tanpa dibuat-buat, apa adanya yang menunjukan nilai kejujuran, mampu memelihara kepercayaan, perilaku sabar, tata cara komunikasi baik, berhubungan timbal balik dengan sesama baik sebagai modal usaha yang amat menentukan kelangsungan usaha bordir. Sebagaimana yang diungkapan Ibu Hj.Sri Murni‟ah55 kepada peneliti sebagai berikut: “kejujuran lan kesabaran kuncinipun kawolu padhos pedagang kain lan batik besar dateng peken Kliwon-Kudus dan Peken Klewer Surakarta supados purun tumbas hasil produksi bordir kawulo. Alhamdulilah, wonten pengusaha pemilik toko batik lan konveksi “Toko Sinar Jaya” keturunan Cina purun tumbas ‟kulakan‟ produksi bordir kawulo lan ngantos sakmeniko dodhos jujugan menawi kentun bordir, lan pembayaranipun injih lancar. Amargi rembagan engkang sae lan kejujuran ingkang kawulo jagi ngantos sakmeniko kawulo tasih dipun pitados kaliyan pemilik Toko Sinar Jaya peken Klewer-Surakarta, ugi katah pedagang kain peken Kliwon Kudus injih katah ingkang pesen bordir kawulo, injih Alhamdulilah dipun pitados tiyang ya kedhah dipun jagi ”. Artinya: 240 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus kejujuran dan kesabaran, kuncinya saya mencari pedagang kain dan batik besar di Pasar Kliwon Kudus dan Pasar Klewer Surakarta supaya mau membeli hasil produksi bordir saya. Alhamdulilah, ada pengusaha pemilik toko batik dan konveksi “Toko Sinar Jaya” keturunan Cina mau beli ”kulakan” produksi bordir saya dan sampai sekarang menjadi tujuan mengirim bordir, dan pembayaran ya lancar. Sebab komunikasi yang baik dan kejujuran yang selalu dijaga, sampai sekarang masih dipercaya dengan pemilik Toko Sinar Jaya di pasar Klewer Surakarta, demikian juga banyak pedagang kain pasar Kliwon Kudus, ya banyak yang pesan bordir saya, ya Alhamdulillah dipercaya orang ya harus dijaga). Kejujuran harus menjadi dasar pengusaha bordir, bila dirinya berharap usahanya akan tetap berkelanjutan. Temuan fenomena nilai kejujuran dalam berdagang bagi pengusaha bordir juga diperoleh dari ungkapan Bapak H.Moch Anshori56 ketika menuturkan informasi tentang tawar-menawar dengan konsumennya: “saat menawarkan hasil produk bordir kadang-kadang ada pengusaha bordir yang mengatakan harga yang ditawar di bawah harga pokok padahal belum tentu benar, meskipun hanya sebagai pemanis kata saja itu tidak baik karena sudah berbohong sebab bila pembeli ternyata benar-benar mengetahui harga produksi bordir maka dapat kehilangan kepercayaan pembeli. Dan saya hanya mengatakan kepada pembeli kalau dibolehkan dinaikkan sedikit harganya, kita tidak bohong, ya seandainya pembeli menyetujui kita dapat untung sedikit, tetapi akan menambah pelanggan” Bahkan waktu diadakan pameran produk inovatif yang diadakan di Citraland-Semarang selama 3 hari, KSU Padurenan Jaya bekerja sama dengan Bank Indonesia, Bank Jateng dan Dinas Perindustrian Perdagangan dan UKM Kabupaten Kudus telah mengirim pengusaha Bordir dari Kelurahan Padurenan-Kecamatan Gebog, yang diwakilkan oleh antara lain Ibu Hj.Sri Muni‟ah, Ibu Mirah, Ibu Islahiyah yang menjaga stand bordir dari hasil produksi para pengusaha bordir di Desa Padurenan Kec.Gebog. Waktu Ibu Hj. Sri Murni‟ah menjaga stand bazar pada sore hari, terungkap bagaimana 241 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus cara Ibu Hj. Sri Murni‟ah dengan sumeh, ramah dan komunikatif menyakinkan pengunjung yang berkeinginan membeli sebagai berikut: “monggo-monggo mresani rumiyen, meniko wonten jilbab, bluse, baju koko, taplak ingkang dipun bordir utawi meniko tas,dompet, tempat tisu, tutup tatakan gelas utawi tutup air gallon semua wonten bordir ipun, dipun presani boten menopo-menopo” Artinya: mari-mari melihat dulu, ini ada jilbab, blouse, baju koko, taplak yang sudah dibordir, atau ada tas, dompet, tempat tisu, tatakan gelas atau tutup air gallon semua ada bordirnya, dilihat-lihat dulu tidak apa-apa. Ketika ada seorang pembeli mengatakan: “Bu disana jilbab ini hanya 25 ribu, lo bu……. Ibu Hj.Sri Murni‟ah sambil melayani pembeli lain merespon sebagai berikut: “Masa sih? ya sudah beli yang lain, ini kembalikan, boleh tukar warna jilbab yang lain tidak apa-apa tetapi… tukar uang tidak boleh”. Kejujuran, sabar dan telaten bagi pengusaha bordir itu harus menjadi pegangan. Hal ini sering dilakukan para pengusaha bordir dari Desa Padurenan Kecamatan Gebog–Kudus yang mengikuti bazar atau pasar murah yang dikoordinir oleh KSU Padurenen Jasa yang bekerja sama dengan BI atau Bank Jateng di kota Semarang atau kota-kota lain di Jateng. Sewaktu secara bergantian menjaga stan bazar Ibu Hj.Sri Murni‟ah tidak menawarkan barang bordir milik sendiri tetapi justru produksi bordir titipan teman-teman yang ditawarkan dan laku terjual, hal itupun disampaikan Ibu Hj.Sri Murni sebagai berikut: “boten menopo-menopo, rejeki meniko saking Gusti Allah, sanajan kawulo jagi stand bordir kagungan rencang-rencang dititipkan wonten basar lan ingkang laku bordir kagungan rencang, injih kedah iklas lan jujur” Artinya: tidak apa-apa, rejeki saking Gusti Allah, jaga stand bordir milik teman-teman yang menitipkan di bazar ini, dan yang laku bordir kepunyaan kawan, ya harus iklas dan jujur) 242 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus Menurut Ibu Hj.Sri Murni‟ah sebetulnya tawar menawar, meskipun semua barang bordir yang dipajang itu sudah ada harganya, tetapi kenyataannya tawar menawar sudah menjadi norma atau kelaziman yang diterima dan sudah menjadi kebiasaan yang berlangsung pada hubungan transaksi antar penjual dengan pembeli sehingga mencapai keseimbangan, harga dan barang sudah disepakati dan diterima antara pembeli dan penjual. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Hj.Sri Murni‟ah kepada peneliti sebagai berikut: “Injih, kito kedah ngaturi pirso bilih barang bordir ingkang dipun wadhe meniko langkung mirah, kito paringi informasi ingkang leres mengenai bordir ingkang dipun dasaraken benten reginipun, wonten bordir “icik57”reginipun langkung awis, ketimbang bordir mesin Juki atawi mesin bordir computer, namun bisanipun kito sampun ngaturi perso sakderengipun menawi jenis bordir, lan kualitas bordir reginipun injih beda” Artinya: Kita harus memberikan informasi sebelumnya, bila bordir yang didasarkan itu beda harganya, bordir “icik” harganya lebih mahal, daripada bordir mesin Juki atau mesin bordir komputer, namun biasanya kita sudah memberitahukan sebelumnya kalau jenis bordir dan kualitas border harganya bisa berbeda). Pengelolaan pemasaran biasanya dilakukan sendiri oleh pengusaha bordir sendiri. Sedangkan pekerjaan membordir dilakukan oleh karyawan yang datang dari desa di sekitarnya. Sebagian besar tenaga kerja bekerja di rumah pekerja masing-masing dengan mesin bordir yang mereka miliki, dan hanya sebagian kecil karyawan bekerja membordir seharian di tempat majikannya. Majikan biasanya tidak banyak ikut campur dengan cara kerja membordir, kecuali kontrol pada hasil bordirannya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Bapak H.Moch Anshori58 seorang informan kunci lainnya sebagai berikut: “Pemasaran hasil bordir kami lakukan sendiri, yang keliling ke pengepul atau ke toko-toko di Kudus, Magelang, Solo, Semarang atau Jepara, dan setiap 2 minggu sekali saya muter ke kota-kota tersebut untuk menyerahkan hasil bordir atau mengambil hasil penjualan dan keuntungannya ya yang 243 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus penting dapat untuk usaha lagi dan dapat untuk makan se hari-hari karena “rejeki ini yang penting bukan jumlahnya, tetapi barokahnya, sehingga tidak perlu dihitung-hitung”. Demikian pula informan Bapak Nur Syafiq59 dan Bapak H.Hasan60 menyatakan dalam wawancaranya yang intinya hampir sama bahwa: “tidak bisa memperhitungkan hasil yang dicapai karena penghasilan itu terus diputar dan mengalami pasang surut terus-menerus, kadang untung banyak, tetapi keuntungan itu bisa habis untuk menutup kerugian yang telah dialami, tetapi kadang-kadang untung sedikit tetapi bisa menyisihkan untuk membeli barang-barang, begitu seterusnya dan perhitungan mereka hanya berdasarkan perkiraan sesuai dengan keuntungan normal”. Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir dengan Pemasok Bahan Baku Kebutuhan bahan baku seperti berbagai corak kain, benang jahit, benang bordir, benang bordir polos, kain keras, kancing hem, kancing celana, bermacam-macam perlengkapan jahit lainnya keberadaannya merupakan kunci keberhasilan pendukung bagi seorang pengusaha bordir. Banyak toko di Kudus yang menyediakan bahan baku tersebut antara lain toko Nufiya, toko Urip, toko Kita, toko Novita, toko Tansur dan toko Salva, maupun KSU Padurenan Jaya yang menyediakan kebutuhan bahan baku dan jasa bordir komputer dengan kualitas dan harga yang bersaing. Pada dasarnya para pengusaha bordir menyatakan cukup mudah mencari bahan baku bordir dan hanya sebagian kecil yang menyatakan mengalami kesulitan untuk bahan-bahan tertentu yang akan digunakan untuk memproduksi bordir pesanan khusus. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan informan Bapak. H. Hasan61 berikut ini: “bahan baku diperoleh cukup mudah di Kota Kudus dan sekitar industri kecil bordir ini seperti KSU Padurenan Jaya”. 244 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus Sementara informan Bapak H.Moch Anshori62 mengungkapkan kepada peneliti bahwa: “pengadaan bahan baku untuk keperluan produksi bordir cukup mudah, karena sudah ada penyuply tetap yang didatangkan dari Semarang dan Bandung secara rutin dengan harga yang lebih murah dan kualitas yang bagus bahkan kadang pinjaman berupa bahan baku tertentu dengan dibayar kemudian dari penyuplay dilakukan 1(satu) bulan sekali” . Sedangkan pengusaha bordir Ibu Islahiyah63 mengungkapkan dalam wawancara dengan peneliti sebagai berikut: “kalau ada pesanan khusus kami mencari bahan yang berkualitas dengan warna yang khusus dan kalau di Kudus tidak ada ya ke kota lain seperti di Semarang bahkan sampai ke Solo dan kami tidak ada toko langganan khusus dan setiap membeli berpindah-pindah hanya untuk mencari yang berkualitas baik dan kami melakukan pembelian pengadaan bahan baku dilakukan 10 hari sekali”. Hampir semua informan pengusaha bordir mengatakan harga bahan baku bordir masih cukup terjangkau. Seperti informasi dari Bapak Nur Syafiq64 bahwa: “harga bahan baku bordir relatif terjangkau dan jika ada kenaikan harga bahan baku, kami tinggal menyesuaikan dengan harga jual.” Informan yang lain Ibu Hj.Sri Murni‟ah65 mengungkapkan mengenai harga bahan baku sebagai berikut : “menawi awis lan regi bahan baku tergantung kalian jenis,warna dan merk bahan baku, menawi reginipun bahan baku mindak, kawulo bade unggah aken regi wadenipun” Artinya: apabila mahal dan harga bahan baku tergantung jenis, warna dan merek bahan baku. Apabila harganya bahan baku naik, saya naikkan harga jual). Bahkan untuk menyuply bahan baku bordir yang sering kami terima dari toko-toko kadang-kadang kami menggunakan model pembayaran dengan nyaur ngamek. Hal itu karena pemilik toko sudah 245 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus memberikan kepercayaan pembayaran selalu tepat waktu. Pola semacam ini bagi Ibu Hj. Sri Murni‟ah adalah komitmen untuk memelihara kepercayaan, dan setiap saat diutarakan: ”bisnis meniko boten saget plin-plan” Artinya: (berbisnis itu tidak boleh ingkar janji). Tidak semua toko penyedia bahan baku bordir menyediakan pola pembayaran dan pengambilan bahan baku dengan nyaur ngamekkecuali para pengusaha bordir secara tetap “ajeg” tepat waktu membayar-melunasi utangnya. Bagi pengusaha industri bordir yang tidak sanggup secara rutin membayar utangnya, maka agen pemasok bahan baku atau toko penyedia bahan baku bordir tidak mau mengirim ke pengusaha industri bordir atau bahan baku yang diberikan kepada pengusaha industri bordir akan terbatas. Pada saat ini, banyak toko yang sudah tidak memberikan fasilitas nyaur ngamek seperti dulu, disebabkan ada pengusaha bordir yang agak nakal yaitu sudah ngamek (utang) bahan baku sampai seharga 2 juta rupiah dan tidak nyaur (melunasi) dengan semestinya, yang kemudian membuat toko sebagai agen pemasok bahan baku tidak dibolehkan ngamek lagi, kalau tidak dibayar kontan. Seperti yang diungkapkan Ibu Mirah66: “sakmeniko katah toko –toko bahan baku bordir boten saget ngagem coro “nyaur ngamek” malih lan menawi tumbas kedhah konstan” Artinya: sekarang banyak toko-toko bahan baku bordir tidak bisa dengan cara “nyaur ngamek” lagi dan kalau beli harus kontan). Pemilik usaha bordir Bapak H.Noor Kholid67, pernah mengalami situasi yang amat sangat memaksa yaitu pada saat kondisi konsumen di pasar mengalami kelesuan sehingga target penjualan tidak tercapai, maka pilihan terakhir yang dilakukan Bapak Noor Kholid yaitu dengan semoyo yaitu janji untuk meminta penundaan pelunasan pembayaran, didasarkan kejujuran atas kondisi pasar lesu dan bukan 246 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus karena menyalahgunakan uang pembayaran kepada agen atau toko bahan baku bordir. Seperti yang diungkapkan kepada peneliti: “saya pernah terpaksa melakukan penundan pembayaran “semoyo” waktu ditagih membayar pembelian di salah satu toko bahan baku bordir minggu lalu, karena pada saat itu pas lagi sepi dan saya sangat membutuhkan bahan baku tersebut”. Pengusaha industri kecil bordir dalam membangun jaringan dengan pemasok bahan baku (supllier), dengan mengembangkan dan menjaga norma atau nilai-nilai dalam mengatasi persoalan bahan baku bordir yang mengalami kerusakan atau warna dan kualitas yang tidak sesuai. Rusak, cacat atau ketidaksesuaian dengan yang diharapkan pengusaha industri bordir yang dibeli dari agen pemasok atau toko bahan baku bordir dapat ditukarkan kembali, sehingga Ibu Hj.Sri Murni‟ah menyampaikan kesepakatan dengan pemilik toko bahan bordir sebagai berikut: “yen aku tuku ning kene, nek ono benang, kain utowo liyane yen ora cocok bisa dibalekno to” Artinya: Kalau saya beli di sini, apa itu benang, kain atau yang lain kalau tidak sesuai bisa dikembalikan, sehingga tidak mengalami kerugian. Demikian pula bila palanggan atau pembeli baru, kalau membeli bordir pengusaha bordir dan tidak cocok bisa dikembalikan tetapi kalau bordir pesanan tidak bisa dikembalikan, ini terungkap dalam wawancara dengan Ibu Islahiyah sebagai berikut: ”Ya, kalau ada pembeli atau langganan membeli baju blouse bordir, kebaya bordir atau yang lain, kalau ternyata setelah sampai rumah tidak cocok, diberikan garansi bisa dikembalikan dalam waktu 1 (satu) bulan, tetapi kalau pesanan tidak bisa dikembalikan”. Konsep nyaur ngamek merupakan gejala hubungan sosial yang menjadikan kerja sama berdasarkan norma-norma dan nilai kejujuran yang dibangun dan saling bermanfaat secara timbal balik. Hubungan antara pengusaha industri bordir dengan agen /toko bahan baku bordir 247 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus sebagai pemasok bahan baku, telah terjadi ikatan ekonomi yang didasarkan pada jaringan, hubungan timbal balik yang harmonis, yaitu menjaga hubungan antar manusia melalui norma dan nilai “kejujuran atau kepercayaan”, sebagai bentuk social capital yang dikembangkan oleh Fukuyama (2005). Menurut Bourdieu (1980; 1986) erat dan tahan lamanya ikatan sama vitalnya: social capital merepresentasikan “agregat sumber daya aktual atau potensial yang dikaitkan dengan kepemilikan jaringan yang bertahan lama”. Social capital dapat dibangun secara spontan setiap saat oleh pelaku-pelaku siapapun yang menjalani kehidupan sehari-hari. Pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga Bordir dengan Pemangku Kepentingan Sudah menjadi kewajibaan pemerintah untuk membina dan meningkatkan usaha kecil seperti pengusaha Industri Kecil Bisnis Keluarga bordir, untuk itulah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.17 Tahun 2013 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,Kecil dan menengah terutama ketentuan Pasal 12 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 37, Pasal 38 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (3). Berdasarkan peraturan tersebut Pemerintah Kabupaten Kudus melakukan pembinaan dan peningkatan UKM melalui jalur Dinas Perindag &UKM, kecamatan sampai tingkat kelurahan. Desa Padurenan Kecamatan Gebog-Kab Kudus dikenal dengan Desa Produktif, berkat partisipasi dan kesadaran untuk mengembangkan Desa Padurenan oleh beberapa tokoh masyarakat seperti Bapak H.Moch Anshori, Bapak H.Gufron, Bapak Muh Sholichan, Bapak Abdul Rauf bersama perangkat Kelurahan dan dibina oleh Bank Indonesia dan Bank Jateng telah mendirikan Koperasi Serba Usaha Padurenan Jaya dengan Akte Pendirian Nomor: 503/208/BH/21/2009 dan telah diresmikan oleh Bupati Kudus pada tanggal 5 Agustus 2009, sejalan dengan itu ditetapkannya Desa Padurenan sebagai Desa Produktif Klaster Bordir dan Konfeksi oleh KBI (Koordinator Bank 248 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus Indonesia) Semarang bersama dengan stake holder terkait yaitu Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Kependudukan Propinsi Jawa Tengah, Balai Besar Peningkatan Produktivitas (NNPP) Direktorat Jendral Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas, Bank Jawa Tengah, GTZ Red dan Pemerintah Kabupaten Kudus. Program tersebut ditandai dengan lounching pada tanggal 5 Agustus 2009 disertai penandatanganan Dokumen Kesekapatan Kerja sama (MoU) antara para pihak di atas yaitu No: 11/37/ DKBU/BPBU/SM.563 /6298.B73 /LattasBBPP/VII/09,4525/ HT.01.02 /2009 dan 59 Tahun 2009. Kegiatan KSU Padurenan Jaya selain berfungsi sebagai wadah untuk mengumpulkan modal dari anggota yaitu berupa Produk Simpan Pinjam, Simpanan Wajib, Simpanan Sukarela dan Simpanan Khusus dan selanjutnya disalurkan kredit kepada para anggota KSU Padurenan Jaya. KSU Padurenan Jaya juga mempunyai toko penyedia bahan baku dan penolong meliputi: berbagai macam jenis kain, benang jahit, benang bordir “Double Penguin”, benang bordir polos, kancing hem, kancing celana, berbagai macam resleting dan perlengkapan jahit lainnya. Untuk membantu para pengusaha bordir KSU Padurenan Jaya juga mengembangkan jasa bordir komputer dengan kualitas dan harga yang bersaing, serta pelayanan yang efektif dan efisien serta ditunjang dengan 3 (tiga) mesin bordir komputer yang berkualitas serta didukung dengan tenaga yang ahli di bidangnya. Seiring kemajuan teknologi pemasaran produk dengan menggunakan sistem Online melalui web dengan alamat www.padurenanjaya.com, dan juga bisa dipesan melalui email di admin@padurenanjaya .com. Adapun Visi Program Pengembangan Klaster Bordir dan konfeksi di Desa Padurenan Kudus adalah ”Menjadikan Desa Padurenan sebagai Klaster Wisata yang memiliki produktivitas serta daya saing industri yang tinggi sehingga menjadi penggerak bagi pertumbuhan ekonomi desa sekitarnya”. Sedangkan misi program adalah: 1) pemberdayaan masyarakat Desa Produktif Padurenan sebagai manusia yang religius, kreatif, produktif, dan memiliki etika bisnis serta modal sosial yang tinggi, 2) mendorong keterlibatan aktif dari aparatur pemerintah dalam pembangunan fisik/infrastruktur serta 249 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus stake holders terkait dalam peningkatan daya saing industri kecil bordir dan konfeksi sehingga mendukung terwujudnya klaster bordir dan konfeksi di Desa Produktif Padurenan Kudus, dan 3) mendorong tumbuhnya berbagai industri pendukungnya serta jaringan usaha yang besinergi untuk meningkatkan daya saing klaster bordir dan konfeksi di Desa Produktif Padurenan Kudus. Ketua KSU Padurenan Jaya Bapak Arif Chuzaimahtum68 yang juga sebagai Kepala Desa Padurenan menyatakan: “Sejak tahun 2009 sudah banyak bantuan yang diberikan kepada KSU Padurenan Jaya yaitu bantuan Bank Jateng Cab. Kudus tahun 2009 Rp.100.000.000,-; Mesin jahit High Speed sebanyak 7 buah dari Pemkab Kudus tahun 2009; Mesin bordir Komputer 12 kepala jarum dari Pemprov Jawa tengah tahun 2010; bantuan 24 mesin jahit “High Speed” dari Pemprov Jawa Tengah tahun 2011; bantuan 24 Mesin “NRCI‟ dari Pemprov Jawa Tengah tahun 2011; bantuan mesin bordir komputer 12 kepala bantuan dari pemprov Jawa Tengah tahun 2011 dan tahun 2012 menerima bantuan hibah dari Kementrian Koperasi dan UKM tahun anggaran 2012 sebesar Rp.100.000.000,- dan semua bantuan secara aktif dipergunakan untuk membina anggota koperasi pengusaha bordir dan konfeksi sebanyak 176 orang”. Selanjutnya Bapak Arif Chuzaimahtum menambahkan dengan penambahan modal koperasi berdampak pada: “bertambahnya bahan kebutuhan bahan baku dan penolong anggota koperasi bordir dan konfeksi; mempermudah pengusaha bordir dan konveksi memperoleh bahan baku dan penolong dengan cepat dan dengan harga yang murah, serta mempermudah melakukan pembinaan dan pelatihan berusaha bordir dan konfeksi dan renofasi ruang pamer/display telah mampu memperkenalkan hasil produksi bordir dan konfeksi dan mampu memperluas dan meningkatkan pemasaran”. Berdasarkan hasil laporan evaluasi perkembangan bantuan Peralatan oleh Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Tengah atas bantuan mesin bordir Komputer sebanyak 3 (tiga) unit telah memberikan keuntungan yang cukup besar sebelum ada bantuan 250 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus pendapatan bersih Rp.1.469.145,83 per bulan dan setelah ada bantuan pendapatan meningkat menjadi Rp.3.117.987,50 per bulan serta manfaat bagi anggota koperasi adanya peluang untuk menggunakan jasa bordir komputer lebih banyak dikarenakan mesin lebih dari satu, selain itu lebih dekat dan pelayanan lebih baik. Meskipun masih ada kendala yaitu walaupun jasa bordir komputer sudah beropersi non stop 24 jam (tiga shif), namun masih banyak anggota Koperasi yang belum bisa terlayani secara maksimal dengan 3 (tiga) buah mesin bordir Komputer yang ada dan pembayaran jasa Koperasi untuk anggota bisa dicicil sebanyak 3 kali dan masih belum mampu merealisasi keinginan anggota Koperasi yang menginginkan jasa bordir mesin komputer pembayarannya dilakukan pada saat lebaran (dalam tempo 1 tahun) karena membutuhkan biaya operasi yang besar. Keberadaan KSU Padurenan Jaya memberikan manfaat bagi pengusaha bordir, hal ini seperti yang diungkapkan beberapa informan sebagai berikut: Ibu Mirah69 yang rumahnya berdekatan dengan kantor KSU Padurenan Jaya menyatakan: “kebetahan bahan baku bordir (benang bordir merk “double penguin” atau benang warna polos) segera saget terpenuhi lan reginipun terjangkau” Artinya: kebutuhan bahan bordir (benang bordir “double penguin” atau benang warna polos) segera bisa terpenuhi dan harganya terjangkau. Hal ini juga diungkapkan informan kunci Ibu Hj.Sri Murni‟ah70 yang menyatakan bahwa : ”saget memenuhi bahan baku langkung cepet, reginipun injih langkung mireng ketimbang kaliyan toko ing kota, boten ongkos transpor amargi jarak ipun saking griyo injih celak lan Koperasi sering nugasakaen derek pameran utawi bazar pasar murah dateng pundi-pundi,contonipun Hotel Citraland, Java Mall lan Kantor Gubenuran ing Semarang, injih saget tambah pelanggan, sakmeniko lengganan bordir kawulo katang saking Semarang” 251 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus Artinya: bisa memenuhi kebutuhan bahan baku lebih cepat, harganya pun lebih miring /murah daripada datang ke toko di kota Kudus. Tidak ada ongkos transport karena jarak dari rumah dekat dan Koperasi sering menugaskan ikut pameran atau bazar pasar murah di mana-mana, contohnya Hotel Citraland, Java Mall dan Kantor Gubenuran di Semarang, ya bisa tambah langganan, sekarang langganan bordir saya banyak dari Semarang. Sedangkan informan diwawancarai menyatakan: yang lain Ibu Islahiyah71 saat ”bisa membangun kebersamaan antar pengusaha bordir di Desa Padurenan dengan diajak berpartisipasi mengikuti pasar murah/bazar di mana-mana serta kalau membeli kebutuhan bahan baku bordir anggota koperasi dapat dibayar setelah satu bulan, ini sangat membantu sekali bagi anggota yang memiliki modal kecil”. Untuk lebih mendorong pemasaran produk anggota KSU Padurenan Jaya, di kantor KSU Padurenan Jaya telah disediakan display produk bordir dan konfeksi, dengan harga yang terjangkau serta disediakan pula sistem online melalui web dengan alamat www.padurenanjaya.com dan juga dapat dipesan melalui email di [email protected]. Berdasarkan itu semua belum dipergunakan secara optimal, seperti yang disampaikan informan yang diwawancarai peneliti, antara lain: Informan wawancaranya: Ibu Nurul Hikmah72 mengungkapkan dalam “display hasil bordir dan konfeksi di KSU Padurenan cukup baik untuk ajang promosi, namun yang menjadi masalah barang-barang dagangan saya berupa bordir kan berhenti kalau tidak ada yang beli, yah seharusnya ditalangi dulu oleh Koperasi modal membuat barang-barang akan didisplay” Namun masih ada pengusaha bordir yang belum dapat memanfaatkan KSU Padurenan Jaya secara optimal, hal ini disampaikan oleh Rosyadi73: 252 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus ”saya belum pernah diajak mengikuti bazar atau mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh KSU Padurenan Jaya, ya mungkin rumah saya jauh dari lokasi koperasi, sehingga informasinya tidak sampai ke saya”. Demikian pula sdr Izan An Imi.S.Ag74, pengelola KSU Padurenan Jaya menjelaskan kepada peneliti: ”untuk penjualan produk dengan model on line sering dilakukan namun belum optimal dilakukan oleh para pengusaha bordir karena masih kekurangan tenaga ahli yang bisa menjalankan komputer secara on time, apalagi para pengusaha bordir rata-rata usianya sudah di atas 35 tahun yang tidak memiliki kemampuan menjalankan internet dan bila dibantu dengan anak-anaknya yang bisa komputer tidak bisa berjalan dengan lancer karena kesibukan anak-anak”. Bahkan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah telah mengeluarkan Surat Edaran Gubenur Jawa Tengah No.065.5/001068 tanggal 27 Januari 2015 tentang penggunaan pakaian adat Jawa Tengah yang isinya mewajibkan menggunakan Pakaian Adat Jawa Tengah pada Hari Kerja/jam Dinas setiap tanggal 15 untuk setiap bulannya (lengkap dengan atribut). Harapan dari surat edaran akan mendorong wilayah kabupaten/kota mengembangkan produk unggulan lokal khususnya pakaian. Kabupaten Kudus memiliki keunggulan lokal yang perlu dikembangkan yaitu pakaian dengan corak bordir dan itu harus menjadi pakaian adat yang wajib dipakai pegawai di seluruh Kabupaten Kudus. Tentunya diharapkan akan mendorong pengusaha-pengusaha bordir untuk meningkatkan kreativitas dan peningkatan produksi bordir. Upaya pemerintah Jawa Tengah untuk menumbuhkembangkan industri kain unggulan daerah, telah mendorong beberapa komunitas pengusaha IKBK Bordir di Desa Padurenan Kecamatan Gebog untuk melakukan inovasi dan menyediakan baju atau pakaian wanita dengan motif bordir untuk keperluan pakaian kerja di kantor-kantor pemerintahan. Hal ini sesuai dengan pandangan Geertz (1977) bahwa, Pemerintah Indonesia tampaknya tidak bisa mengharapkan adanya pola pertumbuhan ekonomi yang uniform di 253 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus antara berbagai golongan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah di dalam menetapkan kebijakan-kebijakan di bidang pembinaan pengusaha kecil dan menengah harus melihat perbedaanperbedaan yang terdapat antara daerah-daerah dari mana golongan masyarakat itu berasal. Dengan kata lain, di dalam menetapkan kebijakan-kebijakan tersebut harus memperhitungkan perbedaanperbedaan yang terdapat dalam lembaga-lembaga sosial-budaya di masing-masing daerah. CATATAN-CATATAN KAKI 1 Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari Konteks”. (Jakarta: Gramedia, 1992) hlm. 127 2 K. Bertens, “Etika” (Jaakarta: Gramedia, 2000).hlm. 220 3 Sonny Keraf, “Etika Lingkungan”, (Jakarta:Kompas,2002). hlm. 5 Teori kritis mengandung dua arti. Pertama, kritis terhadap ajaran-ajaran di bidang sosial yang ada pada waktu itu. Kedua, kritis terhadap masyarakat pada saat itu, yang perlu diubah secara radikal. Menurut teori kritis pengenalan tidak pernah merupakan suatu usaha yang terlepas dari atau terangkat dari aksi. Teori kritis menyadari bahwa kegiatan ilmiah pada pokoknya sama dengan memihak kepada suatu bentuk masyarakat tertentu. Maka teori kritis ingin memperjuangkan terwujudnya suatu masyarakat yang mempunyai dasar rasional. Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta: UGM Press, 1986), hlm. 123 4 Alasan prinsip hormat dan rukun sebagai acuan caranya bersikap baik dalam pergaulan, karena menurut Magnis Suseno, dua prinsip itu paling menentukan pertama-tama bagi pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kedua, kerangka normatif yang menentukan bentuk-bentuk konkrit semua interaksi dan ketiga, tuntutan dua prinsip itu selalu disadari oleh orang Jawa sejak kecil telah membatinkannya dan ia sadar bahwa masyarakar mengharapkan agar kelakuannya selalu sesuai Indikasi proses internalisasi dengan nilai moral hormat dan rukun dalam habitus Bourdieu implisit dalam penjelasannya. Menurutnya, habitus mempresentasikan niat teoritis semacam logika permainan untuk keluar dari filsafat kesadaran tanpa membuang agen dalam hakikatnya sebagai operator praktis bagi pengkonstruksian obyek. Karenanya, habitus merupakan kekuatan social capital adalah, modal hubungan sosial yang jika diperlukan akan memberikan dukungan-dukungan bermanfaat yaitu, modal harga diri dan kehormatan yang sering kali diperlukan jika orang ingin menarik para klien dengan prinsip hormat dan rukun ini. Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah...., op. cit., hlm. 38 5 Menurut Magnis Suseno, antara bersikap hormat dan rukun dengan bersikap kekeluargaan dan bergotong-royong mengimplikasikan semangat batin yang sama 6 254 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus yaitu, hendak bersikap baik atau senang kepada sesamanya. Praktik gotong-royong juga mewujudkan kerukunan. Dengan gotong-royong dimaksudkan dua macam pekerjaan: saling membantu dan melakukan pekerjaan bersama demi kepentingan seluruh desa. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah...., op.cit., hal. 50. Koentjaraningrat menambahkan, ada tiga nilai yang disadari orang Jawa dalam melakukan gotong-royong. Pertama, orang itu harus sadar bahwa dalam hidup seseorang pada hakikatnya selalu tergantung pada sesamanya, maka ia harus selalu berusaha untuk memelihara hubungan baik dengan sesamanya. Kedua, orang itu harus selalu bersedia membantu sesamanya. Ketiga, orang itu harus selalu bersifat konform artinya, orang harus selalu mengingat bahwa ia sebaiknya jangan berusaha untuk menonjol, melebihi yang lain dalam masyarakat. Koentjaraningrat, Rintanganrintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia, (Jakarta: Bhratara, 1969), hlm. 35. Realitas sosial pada dasarnya berfungsi sebagai konteks komunikasi atau sebagai dunia kehidupan yang di dalamnya terkandung cakrawala pengetahuan-pengetahuan,nilainilai dan norma-norma yang baginya barang tentu, yang belum direnungkan (direfleksikan) dan merupakan latar belakang pendapat dan penilaian-penilaian untuk mengambil sikap. Frans Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad 20, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 224 7 8 Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Kompas, 2002), hlm. 3 C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), hlm. 9 9 Clifford Geertz, “The Impact of the Concep of Culture on the Concept of Man”, dalam John R. Platt (ed.), New Views of the Nature of Man, (Chicago: The University of Chicago Press, 1965), hlm. 93-94 10 Gunawan S. menyebutkan beberapa ahli dari luar Indonesia seperti, Niels Mulder, Clifford Geertz, Ben Anderson, William Liddle, atau yang ada di dalam negeri seperti, Franz Magnis Suseno, Muchtar Lubis, Koentjaraningrat sampai dengan Sri Sultan Hamengkubuwana X, Gunawan Sumodiningrat, “Budaya Jawa dan Integrasi Nasional”, dalam Leila Retna Kumala, Keraton Surakarta dan Perubahan Masyarakat, Membumikan Nilai-nilai Tradisional, (Surakarta: Tem Simposium Nasional, 2003), hlm. 8 11 Lihat dalam Leila Retna Kumala, Keraton Surakarta dan Perubahan Masyarakat, Membumikan Nilai-nilai Tradisional (Surakarta: Tem Simposium Nasional, 2003), hlm. 12 11-13 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.2001)., hlm. 82 13 Niels Mulder, Misticism and Daily Life in Contemporary Java, Cultural Persistence and Change (Singapore: Singapore University Press, 1978), hlm. 17 14 Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), hlm. 17 15 255 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus Sinkretisme adalah, penyatuan atau usaha penyatuan ideologi-ideologi yang bertentangan ke dalam satu kesatuan pikiran atau ke dalam suatu hubungan sosial yang harmonis 16 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.2001)., hlm. 82 17 Benedict R.O‟G Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, terj. Revianto B.S, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 2 18 Lihat dalam A.S. Dhesi, ”Social Capital and Community Development ”, dalam: (Community Development Journal, 2000), hlm. 210 19 Francis Fukuyama, Social capital and Civil Society, (The Institute of Public Policy. George Mason University.International Menetry Fund,1999), hlm. 104 20 Identifikasi dalam teori kepribadian merupakan salah satu bentuk pertahanan terpenting dalam diri seseorang. Hal itu juga disebut sebagai introjeksi. Mekanisme kerjanya melalui akal dengan cara membawa kepribadian orang lain masuk ke dalam dirinya. Dengan cara itu dia, di satu pihak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang mengganggu dan menemukan jalan untuk bersikap hormat terhadap kepribadian orang lain sekaligus menentukan atau meneguhkan identitas dirinya di pihak lain. selanjutnya dibaca George Boeree, 2005, hlm. 50-51 21 Maksudnya kekuatan moral adalah kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai benar. Franz Magnis Suseno (2005) Etika Dasar Masalah Pokok Masalah Falsafah Moral.Yogyakarta:Janisius. hlm. 141 22 23 Sepi ing pamrih termasuk salah satu keutamaan Jawa yang biasanya digandeng dengan kalimat rame ing gawe. Keutamaan yang lain seperti, kesetiaan, kemurahan hati dan lain-lain. Magnis Suseno menjelaskan, manusia bisa dikatakan sepi ing pamrih apabila ia tidak mengejar kepentingan-kepentingan individualnya tanpa memperhatikan keselarasan sosial seluruhnya, berarti ia berada di tempat yang tepat dalam kosmos. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafat Kebijakan Hidup, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2001), hlm. 147. Bersikap integrasi artinya, bersikap terbuka keluar. Maksudnya, bersedia bersikap hormat atau bersikap baik terhadap aneka tradisi atau budaya, pandangan hidup atau agama yang berbeda bagi setiap orang yang hidup bersama dalam masyarakatnya demi terciptanya suasana yang tenang, gembira, bebas dari rasa takut, dan bebas dari tekanan. Untuk selanjutnya baca Franz Magnis Suseno, 2005,hlm. 97 24 Magnis Suseno menjelaskan, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (Jakarta) di berbagai daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tahun 1976 menunjukkan bahwa kalimat aja mitunani masyarakat liya (jangan merugikan orang lain) seringkali secara spontan dikemukakan sebagai dasar jawaban para responden terhadap berbagai aturan moral. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisis Falsafah tentang kebijakan Hidup Jawa” (Jakarta 25 256 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus :PT Gramedia Pustaka Utama,2001)., hal. 54. Lihat jugaFranz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral,(Yogyakarta:Kanisius,2005), hlm. 167. Niels Mulder, Mysticism and Daily Life in Contemporary Java. A Cultural Analysis of Javanese Worldview and Etic as Embodied in Kebatinan and Everyday Experience, 26 (Diss. Amsterdam, 1975), hlm. 51. Pluralisme modern disebut sikap toleransi dalam masyarakat modern. Maksudnya, dalam masyarakat tersebut dikembangkan kemampuan-kemampuan psikis dan cara bersikap baik (etis) tertentu. Kemampuan itu dapat difungsikan dalam hidup seharisehari dan bekerja dalam berbagai bidang kehidupannya. Walaupun dengan orangorang yang etnis, suku, adat dan agama yang berbeda, tetap sesuai (cocok) atau dapat diterima secara enak dan rileks oleh masing-masing pihak tersebut. Termasuk di dalamnya kemampuan untuk bertoleransi dalam menghormati keyakinan-keyakinan keagamaan dan politik yang berbeda, untuk merasa solider dengan saudara sebangsa dan sebagai sesama manusia (bukan sebagai se-negara), maka meskipun barangkali termasuk suku atau umat atau kelas sosial yang lain. Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral. (Yagyakarta:Kanisiu, 2005), hlm. 37. 27 Pluralisme tradisional bukan ciri khas masyarakat modern. Sebab, ada dua unsur yang khas bagi pluralisme tradisional. Pertama, pluralisme itu ditangani atas dasar ketidaksamaan. Maksudnya, masyarakat seluruhnya tersusun secara hirarkis, dan semua unsur di dalamnya, termasuk mereka yang berbudaya atau beragama berbeda, memiliki tempat dan kedudukan sosial tertentu di dalamnya. Kedua, wawasan kemanusiaannya membagi manusia ke dalam “orang kamu” dan “orang asing”. Yang tidak termasuk komunitas adat atau agama yang sama mereka pandang sebagai “orang asing”. Namun, mereka diterima baik, tamu asing dihormati, tempat mereka terjamin, hanya saja mereka tetap dianggap sebagai orang asing.Franz Magnis Suseno, Kuasa dan dan Moral. (Yagyakarta:Kanisiu, 2005), hlm. 35. 28 Tindakan moral artinya, tindakan yang memuat unsur-unsur: 1) motif atau maksud untuk bertindak, 2) pelaku yang memilih atau menentukan suatu arah tindakan, 3) pilihan bebas, ditentukan atau dikehendaki sendiri, 4) baik buruknya maksud, motif dan pilihan, 5) akibat yang dimaksudkan atau tidak, yang berpengaruh terhadap diri sendiri atau orang lain, 6) kriteria baik-buruk manusia sebagai manusia. Lorens Bagus, Kamus Falsat,(Jakarta: Gramedia,2000). hlm. 109-110. 29 Bersikap baik bukan hanya sebuah prinsip yang dipahami secara rasional, melainkan juga mengungkapkan syukur alhamdulillah, suatu kecondongan yang memang sudah ada dalam watak manusia. Bersikap baik mendasari semua norma moral karena hanya atas dasar sikap baik yang masuk akal inilah semua orang harus bersikap adil, atau jujur dan atau bersiakp rukun (setia) kepada orang lain. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam Tantangan, (Yogyakarta: Kanisius, 1983),hal. 55. Lihat juga Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta:Kanisius, 2005), hlm.29. 30 Bersikap hormat pada prinsipnya berdasarkan pendapat bahwa, semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis. Keteraturannya itu bernilai pada dirinya 31 257 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya. Hildred Gertz, The Javanese Family.A Study of Kinship and Socialization, (New York: The Free Press 0f Glencoe, 1961),hlm. 110. Franz Magnis Suseno, 1983”Etika Jawa dalam Tantangan”. (Yogyakarta: Kanisius.1983). hlm. 58-59. 32 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa”. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama2001), hal. 68. 33 Niels Mulder, Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java. Cultural Persistence and Change, (Singapore: Singapore Press, 1978), hlm. 39. 34 Struktur sosial artinya konsep perumusan asas hubungan antarindividu dalam kehidupan masyarakat yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu. Hasan Alwi (Pim.red). Kamus Besar Bahasa Indonsia.(Jakarta: Balai Pustaka.2001) hlm.1092. 35 36 Fachry Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa, (Jakarta: PT Gramedia,2006), hlm.31. Franz Magnis Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia, (Jakarta: PT Gramedia, 1991), hlm. 86. 37 38 Kegiatan bermakna adalah, suatu kegiatan yang memiliki maksud sosial yang diatur secara formal atau tidak formal dan merupakan kesatuan yang bermakna. Misalnya, bercocok tanam, membuka dan mengembangkan usaha dagang, dan lain-lain. Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika...., op. cit., hlm. 200. Spiritual/rohaniah dalam bahasa Latin, spiritualis dari spiritus (roh). Beberapa pengertiannya: 1) tidak jasmani, immaterial, terdiri dari roh, 2) mengacu ke kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan nilainilai pikiran, 3) mengacu ke nilai-nilai manusiawi yang nonmaterial seperti keindahan, kebaikan, cinta, kebenaran, belas kasihan, kejujuran, dan kesucian, 4) mengacu ke perasaan dan emosi-emosi religius dan estetik. Lorens Bagus, Kamus...., op. cit., hlm. 1034. 39 Makna internalnya yaitu, sebagai suatu kegiatan yang menghendaki: 1) mutunya, kualitasnya (excellency-nya), 2) bernilai bagi seseorang yang melakukannya, maka memerlukan (a) standar mutu (standart of excellent), (b) ketaatan terhadap aturanaturan (yang menentukannya) dan (c) pencapaian sesuatu yang bernilai. Ibid, hlm. 201. 40 Bersikap momong atau ngemong berarti, memelihara atau mengasuh dengan kasih, membimbing di dalamnya terkandung juga sikap waspada senantiasa dan membujuk dengan halus. C.F. Winter dan R.Ng. Ranggawarsita, Kamus Kawi Jawa, (Surakarta: Museum Mangkunegaran, 1978), hlm. 509. Bersikap ngemong mengungkapkan sikap manusia bahwa, ia hendaknya merasa bertanggung jawab terhadap alam atau dunia, bertanggung jawab agar alam, termasuk budaya itu seindah mungkin, agar alam tetap utuh. Sikap itu didasari penghayatan bahwa apa saja yang ada merupakan ciptaan Tuhan atau percikan dari eksistensi Ilahi sehingga perlu dihormati, dipelihara baikbaik, bagaikan memelihara sebuah benda berharga yang dititipkan padanya. Franz Magnis Suseno, Kuasa dan...., op. cit., hlm. 168. 41 258 Gus-Ji-Gang sebagai Keutamaan Habitus di Kabupaten Kudus Mawas diri atau tahu diri sama dengan bersikap eling. Tahu diri (eling) berarti, menyadari keterbatasannya sendiri, memahami bahwa pengetahuan kita selalu terbatas dan oleh karena itu kita sebaiknya bersedia terus belajar dan jangan mencampuri urusan orang lain. Tahu diri (eling) mendasari sikap toleran yang sebenarnya. Tahu diri (eling) mengandung kesadaran bahwa, meskipun kita yakin kebenaran atau kebaikan agama dan kebudayaan kita, namun bukanlah urusan kita untuk mencampuri golongan yang tidak sepaham atau tidak seagama. Tahu diri ( eling) bukan hanya suatu tuntutan kesopanan, melainkan merupakan tanda kesungguhan keyakinan beragama. Karena sikap eling juga berarti sebagai pengalaman keagamaan yaitu, kita selalu ingat bahwa Allah lebih besar dari pada kita. Orang yang intoleran terhadap agama dan kebudayaan lain, termasuk orang yang mengukur Allah pada kekerdilan otaknya sendiri. Ibid. hlm. 97-98. 42 43 Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 34. Maldwyn Hughes,”Experience”, dalam James Halting (ed.), The Encyclopedia of Religions and Ethic, Vol. V, (New York: Charles Scribner‟s Son, t. th.), hlm. 630-633. 44 William James, The Varieties of Religious Experience, (New York: The New American Library, 1958), hlm. 463. 45 Joachim Wach, “Ilmu Perbandingan Agama”, terj.Djamanuri (Jakarta:Rajawa 1984),hlm.32. 46 Home-woker memiliki karakteristik: rumah sendiri sebagai tempat ia beraktivitas untuk menghasilkan produk bordir, upah yang ditetapkan dengan borongan atau kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha,ada interaksi antara pemberi kerja (pengusaha) dengan pekerja.Home-worker sering disamakan dengan home based work (bahasa Indonesia: Pekerja Rumahan) yang dikonotasikan sebagai Pembantu Rumah Tangga. Home-Woker, sering dikategorikan dalam kategori yang salah, seperti home industri, pengusaha mikro, pengrajin, ibu rumah tangga, pekerja musiman, bahkan tidak bekerja (Hunga, 2005). 47 48 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014 49 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 14 Oktober 2014 50 Wawancara dengan bapak Nur Syafik tanggal 14 Oktober 2014 51 Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 13 Oktober 2014 52 Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah ranggal 14 Oktober 2014 53 Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 10 Oktober 2014 54 Wawancara dengan Bapak H.Maskan tanggal 14 Oktober 2014 55 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014 56 Wawancara dengam Bapak H.Moch Anshori tanggal 14 Oktober 2014 259 “GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus Icik adalah bordir yang dibuat dengan menggunakan mesin manual atau tenaga manusia dengan mesin jahit manual yang geraknya dikayuh dengan kaki sehingga menimbulkan bunyi icik,icik, icik, namun hasil bordirnya memiliki kualitas yang bagus karena tebal, kecil-kecil dan sangat rumit 57 58 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014 59 Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq tanggal 11 Oktober 2014 60 Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 15 Oktober 2016 61 Wawancara dengan Bapak H.Hasan tanggal 15 Oktober 2016 62 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 14 Oktober 2014 63 Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 9 Okober 2014 64 Wawancara dengan Bapak Nur Syafiq 11 Juli 2014 65 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah 14 Oktober 2014 66 Wawancara dengan Ibu Mirah 11 Oktober 2014 Wawancara dengan Bapak Noor Klolid tanggal 12 Oktober 2014 di rumahnya desa Padurenan RT 5 RW 1, Kecamatan Gebog-Kab Kudus 67 68 Wawancara dengan Bapak Arif Chuzalmahtum tanggal 8 Agustus 2014 69 Wawancara dengan Ibu Mirah tanggal 13 Oktober 2014 70 Wawancara dengan Ibu Murniah tanggal 15 Nopember 2014 71 Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 14 Ontober 2014 72 Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal 12 Oktober 2014 73 Wawancara dengan Bapak Rosyadi tanggal 10 Oktober 2014 74 Wawancara dengan Izan An Imi,S.Ag tanggal 24 September 2014 260