II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 LIMBAH INDUSTRI TAHU DAN AIR KELAPA Proses produksi tahu menghasilkan dua jenis limbah, yaitu limbah padat dan limbah cairan. Pada umumnya, limbah padat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan dibuat kerupuk, sedangkan limbah cair dibuang langsung ke lingkungan. Limbah cair pabrik tahu ini memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi. Tanpa proses penanganan dengan baik, limbah tahu dapat menyebabkan dampak negatif seperti polusi air, sumber penyakit, bau tidak sedap, meningkatkan pertumbuhan nyamuk, dan menurunkan estetika lingkungan sekitar (www.okenet-kimia.com). Dalam proses produksi tahu, dihasilkan limbah cair antara 15-20 L/kg bahan baku kedelai dan limbah padat. Jumlah produksi tahu yang semakin meningkat akan mengakibatkan jumlah limbah cair yang dihasilkan semakin melimpah. Mengingat kedelai sebagai bahan baku pembuatan tahu yang memiliki kadar protein (34-45%), karbohidrat (12-30%), lemak (18-32%), dan air (7%) (Radiyati 2000), akibatnya limbah cair tahu memiliki zat-zat organik yang tinggi. Jika limbah cair industri tahu tersebut dibuang langsung ke lingkungan tanpa proses pengolahan, akan terjadi blooming (pengendapan zat-zat organik pada badan perairan), proses pembusukan dan berkembangnya mikroorganisme patogen (Sudaryati et al. 2007). Tabel 1. Kandungan kimia limbah cair tahu Komponen Jumlah Limbah Cair Tahu (% ) Air 99.34* Abu 0.11* Protein 1.73** Lemak 0.63** Nitrogen 0.05** Serat Sumber: *(Hartati 2010) **(Nuraida et al. 1996) Pada tahun 2000 produksi kelapa di Indonesia mencapai 5.6 juta ton per tahun. Buah kelapa tua terdiri dari empat komponen utama, yaitu 35 % sabut, 12 % tempurung, 28 % daging buah, dan 25 % air kelapa, sehingga satu buah kelapa rata-rata mengandung sekitar 200 ml air kelapa. Air kelapa mempunyai potensi yang baik untuk dibuat media fermentasi karena kandungan zat gizinya yang kaya dan relatif lengkap, sehingga sesuai untuk pertumbuhan mikroba. Komposisi gizi air kelapa tergantung pada umur kelapa dan varietasnya. Air kelapa mengandung sejumlah zat gizi, yaitu protein, lemak, gula, sejumlah vitamin, asam amino, dan hormon pertumbuhan. Kandungan gula maksimal, yaitu 3 gram per 100 ml air kelapa, sehingga air kelapa dapat menjadi sumber karbon dan berperan sebagai fermentable sugar dalam fermentasi bioinsektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis subsp. aizawai yang dapat mengoptimalkan proses fermentasi (www.transdigit.com). 3 Kelapa yang dibudidayakan di Indonesia pada umumnya adalah kelapa dalam dan kelapa hibrida. Buah kelapa terdiri dari kulit luar, sabut, tempurung, kulit daging (testa), daging buah, air kelapa, dan lembaga. Setiap butir kelapa dalam dan hibrida mengandung air kelapa masing-masing sebanyak 300-230 ml dengan berat jenis rata-rata 1.02 dan pH sedikit asam (5.6). Air kelapa mengandung sedikit karbohidrat, protein, lemak, dan beberapa mineral. Kandungan zat gizi ini tergantung kepada umur buah. Di samping zat gizi tersebut, air kelapa juga mengandung berbagai asam amino bebas. Kandungan zat gizi air kelapa tua dan muda disajikan dalam tabel berikut : Tabel 2. Kandungan zat gizi air kelapa muda dan tua per 100 g Zat Gizi Satuan Muda Tua Kalori K 17.0 - Lemak g 0.20 0.14 Protein g 1.00 1.50 Karbohidrat g 3.80 4.60 Kalsium mg 15.00 - Fosfor mg 8.00 0.50 Besi mg 0.20 - Vitamin C mg 1.00 - g 95.50 91.50 Air Sumber : http://warintek.ristek.go.id/pangan/umum/tanaman ............... perkebunan.pdf 2.2 BIOINSEKTISIDA Bioinsektisida merupakan salah satu dari beberapa jenis pestisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama berupa serangga. Bioinsektisida dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ovisida dan larvisida. Ovisida khusus digunakan untuk mengendalikan telur serangga, sedangkan larvisida khusus digunakan untuk mengendalikan larva serangga. Bioinsektisida memanfaatkan bakteri, cendawan, jamur, nematoda untuk membunuh hama serangga. Bioinsektisida juga merupakan insektisida generasi baru dan sangat dianjurkan untuk digunakan dalam PHT (Pengendalian Hama Terpadu) (Djojosumarto 2008). Bioinsektisida (insektisida mikrobial) merupakan produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh hama serangga dan vektor pembawa penyakit. Insektisida mikrobial didefinisikan juga sebagai racun biologis dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh serangga (entomopathogen). Sebagai entomopathogen, insektisida mikrobial dapat dikembangkan dari bakteri, virus, fungi, dan protozoa (Ignoffo dan Anderson 1979). Menurut Bravo (1997), adapun bakteri yang paling banyak digunakan untuk memproduksi bioinsektisida adalah Bacillus. Bakteri ini mampu membentuk δ-endotoksin yang bersifat toksin terhadap larva serangga. Penggunaan bioinsektida ditujukan untuk menggantikan insektisida kimia yang banyak digunakan selama ini. Menurut Behle et al. (1999), bioinsektisida memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan insektisida kimia. Keunggulan tersebut adalah sifat dari bioinsektisida yang spesifik terhadap hama serangga sehingga tidak membahayakan organisme non target lainnya, penggunaannya aman, dan bersifat ramah lingkungan karena tidak menyebabkan terjadinya penumpukan residu pada hasil pertanian dan dalam tanah. Menurut Becker dan Margalit (1993), 4 penggunaan insektisida kimia dengan dosis dan frekuensi yang tinggi menjadikan serangga vektor penyakit menjadi resisten terhadap insektisida kimia tersebut dan menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem. 2.3 Bacillus thuringiensis SEBAGAI BIOINSEKTISIDA A. Bacillus thuringiensis (B.t) B.t merupakan bakteri yang berbentuk batang dengan ukuran 3-5 µm ketika tumbuh pada media. Bakteri ini tergolong ke dalam kelas Schizomycetes, ordo Eubacteriales, dan famili Bacillaceae. Bakteri ini bersifat gram positif, aerob umumnya anaerob fakultatif, dan berflagelum. Bakteri ini dapat membentuk spora secara aerobik dan selama masa sporulasi juga dapat membentuk kristal protein yang toksik. Kristal protein ini dikenal dengan nama δendotoksin (Shieh 1994). Menurut Dulmage (1981), menyatakan bahwa selain menghasilkan δ-endotoksin, bakteri ini juga menghasilkan α-eksotoksin, β-eksotoksin, dan faktor kutu. α-eksotoksin memiliki sifat yang tidak tahan terhadap panas dan larut di dalam air. β-eksotoksin memiliki sifat yang tahan terhadap panas, larut di dalam air, dan sangat beracun terhadap larva beberapa jenis lalat. β-eksotoksin diproduksi pada masa pertumbuhan sel vegetatif dan terdiri atas adenine, ribose, glukosa, dan asam allaric dengan sekelompok fosfat. Sel-sel vegetatif yang dihasilkan dapat membentuk suatu rantai yang terdiri dari lima sampai enam sel. B.t merupakan bakteri yang paling penting secara ekonomi dan terbanyak digunakan untuk produksi bioinsektisida, sehingga bioinsektisida komersial B.t digunakan secara luas untuk mengendalikan larva hama serangga (Feitelson et al. 1992). Selain itu, menurut de Barjac dan Frachon (1990), B.t mempunyai sifat yang spesifik, aman terhadap lingkungan, dan bersifat entomopatogenik. Spora B.t berbentuk oval, letaknya subterminal, berwarna hijau kebiruan, dan berukuran 1.0-1.3 µm. Pembentukan spora terjadi dengan cepat pada suhu 3537oC. Spora tersebut relatif tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia. Spora ini mengandung asam dipikolinik (DPA), merupakan 10-15% dari berat kering spora. Asam ini bisa terdapat dalam bentuk kombinasi dengan unsur kalsium. B. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (B.t.a) Sebagai Bahan Aktif Bioinsektisida Bacillus thuringiensis subsp. aizawai (B.t.a) pertama kali ditemukan oleh Aizawa pada tahun 1962 (Dulmage 1981). Bakteri ini mempunyai endospora subterminal berbentuk oval dan selama masa sporulasi menghasilkan satu kristal protein dalam setiap selnya. Kristal protein ini dikenal juga sebagai δ-endotoksin yang merupakan komponen utama yang menyebabkan bersifat insektisidal. Menurut Faust dan Bulla (1982), δ-endotoksin tersebut bersifat termolabil karena dapat terdenaturasi oleh panas (walaupun lebih stabil dibandingkan eksotoksin yang terlarut) dan tidak larut dalam pelarut organik namun larut dalam pelarut alkalin. Sebagai organisme mesofilik, kisaran suhu pertumbuhannya ialah 15-45oC dengan suhu optimum 26-30oC. Kisaran pH pertumbuhannya ialah 5.5-8.5 dengan pH optimum 6.5-7.5 (Benhard dan Utz 1993). B.t.a dapat membentuk endospora yang berbentuk elips di bagian subterminal sel. Seperti halnya pada Bacillus thuringiensis lain, selama masa sporulasi, B.t.a membentuk tubuh paraspora berupa kristal protein yang disebut juga δ-endotoksin (Sneath 1986). 5 Kristal protein B.t.a berbentuk bipiramida yang bersifat insektisida terhadap larva serangga yang tergolong dalam ordo Lepidoptera dan Diptera (Lereclus et al. 1993). Sifat insektisida B.t.a berhubungan dengan gen penyandi kristal protein yang disebut gen cry. Menurut klasifikasi terbaru, dikenali ada 22 gen cry dan 2 gen cyt. Gen cry yang dimiliki B.t.a meliputi cry1A(a), cry1A(b), cry1C(a), cry1D(a) (Crickmore et al. 1998). Protein cry1C(a) menyandikan protein yang toksik terhadap Spodoptera litura, sedangkan protein cry1 lain yang dimiliki B.t.a, yaitu cry1A(a), cry1A(b), cry1D(a) kurang toksik terhadap Spodoptera litura, tetapi dapat memberikan pengaruh sinergis pada protein cry1C(a) sehingga dapat meningkatkan keampuhannya (Muller et al. 1996). Sedangkan menurut Liu et al. (1998), pada beberapa kasus, spora ternyata secara sinergis dapat meningktakan toksisitas kristal protein. Pada B.t.a, sinergisme yang terjadi adalah antara spora dengan protein cry1C(a) tetapi tidak dengan protein cry1 yang lain. C. Kristal Protein (δ-endotoksin) Bacillus thuringiensis Komponen utama penyusun kristal protein pada sebagian besar B.t adalah polipeptida dengan berat molekul (BM) berkisar antara 130-140 kilodalton (kDa). Polipeptida ini adalah protoksin yang dapat berubah menjadi toksin dengan BM yang bervariasi dari 30-80 kDa, setelah mengalami hidrolisis pada kondisi pH alkali dan adanya protease dalam saluran pencernaan serangga. Aktivitas insektisida tersebut akan menghilang jika BM lebih rendah dari 30 kDa (Aronson et al. 1986 dan Gill et al. 1992). Kristal protein ini terbentuk bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komponen protein yang mengandung toksin (δ-endotoksin) yang terbentuk di dalam sel selama 2-3 jam setelah akhir fase eksponensial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mangalami autolisis setelah sporulasi sempurna. Sekitar 95% dari keseluruhan komponen kristal terdiri dari protein dengan asam amino (umumnya terdiri dari asam glutamat, asam aspartat, dan arginin), sedangkan 5% sisanya terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa (Bulla et al. 1977), serta tidak mengandung asam nukleat maupun asam lemak. Protein yang mnyusun kristal protein tersebut terdiri dari 18 asam amino. Kandungan asam amino yang terbesar adalah asam aspartat dan asam glutamat (Fast 1981). Kristal protein B.t mempunyai beberapa bentuk, di antaranya bentuk bulat pada subsp. israelensis yang toksik terhadap Diptera, bentuk kubus yang toksik terhadap Diptera tertentu dan Lepidoptera, bentuk pipih empat persegi panjang (flat rectangular) pada subsp. tenebriosis yang toksik terhadap Coleoptera, bentuk piramida pada subsp. kurstaki yang toksik terhadap Lepidoptera (Shieh 1994). Sedangkan menurut Trizelia (2001), kristal protein memiliki beberapa bentuk. Ada hubungan nyata antara bentuk kristal dengan kisaran daya bunuhnya. Varietas yang memiliki daya bunuh terhadap serangga ordo Lepidoptera memiliki kristal protein yang berbentuk bipiramida dan jumlahnya hanya satu tiap sel, sedangkan yang berbentuk kubus, oval, dan amorf umumnya bersifat toksik terhadap serangga ordo Diptera dan jumlahnya dapat lebih dari satu tiap sel. Kristal yang memiliki daya bunuh terhadap serangga ordo Coleoptera berbentuk empat persegi panjang dan datar batu pipih. Aktifitas toksin dari kristal protein ini tergantung pada sifat intrinsik dari usus serangga, seperti kadar pH dari sekresi enzim proteolitik dan kehadiran spora bakteri secara terus menerus beserta kristal protein yang termakan (Burgerjon dan Martouret 1971). Selain itu, 6 efektifitas dari toksin tertentu dipengaruhi oleh kelarutan, afinitas terhadap reseptor yang ada serta pemecahan proteolitik ke dalam toksin. Secara umum dapat disimpulkan bahwa cara kerja kristal protein sebagai toksin dari B.t dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor spesifikasi dari mikroorganisme dan kerentanan dari serangga sasaran (Milne et al. 1990). Selain itu, umur dari serangga merupakan salah satu faktor yang menentukan toksisitas dari B.t. Jentik serangga yang lebih muda lebih rentan jika dibandingkan dengan jentik yang lebih tua (Swadener 1994). D. Proses Toksisitas dan Infeksi Bacillus thuringiensis Proses toksisitas kristal protein (δ-endotoksin) sebagai bioinsektisida dimulai ketika serangga memakan kristal protein tersebut, maka kristal tersebut akan larut di dalam usus tengah serangga. Setelah itu, dengan bantuan enzim protease pada pencernaan serangga, maka kristal protein tersebut akan terpecah struktur kristalnya. Toksin aktif yang dihasilkan akan berinteraksi dengan reseptor pada sel-sel epitelium usus tengah larva serangga, sehingga akan membentuk pori-pori kecil berukuran 0.5-1.0 nm. Hal ini akan mengganggu keseimbangan osmotik sel di dalam usus serangga sehingga ion-ion dan air dapat masuk ke dalam sel dan menyebabkan sel mengembang dan mengalami lisis (hancur). Larva akan berhenti makan dan akhirnya mati (Hofte dan Whiteley 1989; Gill et al. 1992). Kristal protein yang bersifat insektisida ini sebenarnya hanya protoksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek (27-147 kDa). Pada umumnya, kristal protein di alam bersifat protoksin karena adanya aktivitas proteolisis dalam sistem pencernaan serangga yang mengubah B.t protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin. Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan sel-sel epitelium di usus tengah serangga sehingga menyebabkan terbentuknya pori-pori di sel membran saluran pencernaan serangga (Bahagiawati, 2002). Proses toksisitas Bacillus thuringiensis pada larva ulat dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Proses toksisitas Bacillus thuringiensis pada larva ulat Sumber : (http://www.inchem.org/documents/ehc/ehc/ehc217.htm) Kristal protein B.t.a yang tersusun atas protein cry1A(a) (32%), cry1A(b) (38%), cry1C(a) (26%), cry1D(a) (5%) (Wright et al. 1997) dengan berat molekul 130-140 kDa, apabila terserap dalam suasana basah, saluran pencernaan tengah serangga yang rentan akan 7 terlarut dan terhidrolisis untuk menghasilkan protein toksin. Selama aktivitas proteolitiknya tersebut, protease akan mengubah polipeptida tersebut menjadi fragmen toksin aktif berukuran 60-70 kDa. Toksin cry1A(a) dan cry1A(b) akan berikatan dengan reseptor spesifik yang berukuran 210 kDa pada membran mikrofili apikal sel epithelium usus tengah serangga, sementara protein cry1C(a) berikatan dengan reseptor lainnya yang berukuran 40 kDa. Ikatan antara toksin dengan reseptornya itu akan menginduksi perubahan konformasi toksin yang diikuti dengan penyisipan toksin pada membran sehingga terjadi oligomerisasi toksin berupa lubang pada pori membran (Bravo 1997). Fenomena tersebut mengakibatkan sistem pompa ion K+ pada membran aplikasinya tidak berfungsi sehingga mengganggu keseimbangan osmotik yang berakibat lisisnya sel. Akhirnya, larva akan berhenti makan dan mati karena gejala septisemia setelah satu atau tiga hari (Aronson et al. 1986 ; Hofte and Whiteley 1989 ; Prieto-Samsonov et al. 1997). Efektifitas dari toksin tertentu juga dipengaruhi oleh kelarutan, afinitas tehadap reseptor yang ada serta pemecahan proteolitik ke dalam toksin. Secara umum dapat disimpulkan bahwa cara kerja kristal protein sebagai toksin dari B.t dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor spesifikasi dari mikroorganisme dan kerentanan dari serangga sasaran (Milne et al. 1990). Selain itu, umur dari serangga merupakan salah satu faktor yang menentukan toksisitas dari B.t. Jentik serangga yang lebih muda lebih rentan jika dibandingkan dengan jentik yang lebih tua (Swadener 1994). 2.4 FERMENTASI KONDISINYA A. Bacillus thuringiensis subsp. aizawai DAN Media Pertumbuhan Dan Fermentasi Faktor yang sangat mempengaruhi fermentasi B.t adalah komponen media dan kondisi fermentasi untuk pertumbuhan seperti pH, kelarutan oksigen, dan temperatur (Dulmage dan Rhodes 1971). Dalam pertumbuhan mikroorganisme membutuhkan sumber air, karbon, nitrogen, unsur mineral, dan faktor pertumbuhan dalam media pertumbuhannya (Vandekar dan Dulmage 1982). Media basal untuk pertumbuhan B.t terdiri dari garam, glukosa, dan asam amino, seperti asam glutamat, asam aspartat, dan alanin dalam konsentrasi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan sporulasi B.t (Dulmage et al. 1990). Pearson dan Ward (1988) mengemukakan bahwa komposisi media berpengaruh pada produk bioinsektisida yang dihasilkan. Beberapa formula media menghasilkan jumlah sel maksimum dan waktu terjadinya lisis sel yang berbeda-beda. Hal ini didukung juga oleh pendapat Mummigatti dan Raghunathan (1990) bahwa komposisi media berpengaruh terhadap pertumbuhan, toksisitas, dan potensi produk B.t. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), karbon adalah bahan utama untuk mensintesis sel baru atau produk sel. Beberapa sumber karbon yang dapat digunakan untuk memproduksi bioinsektisida B.t dengan fermentasi terendam adalah glukosa, sirup jagung, dekstrosa, sukrosa, laktosa, pati, minyak kedelai, dan molases dari bit dan tebu. Dalam penentuan sumber karbon, konsentrasi yang digunakan harus dipilih secara hati-hati. Hal ini karena semua galur B.t yang telah diteliti sejauh ini dapat memproduksi asam dari metabolisme glukosa. Menurut Rehm dan Reed (1981), jika konsentrasi glukosa terlalu tinggi, yaitu 50 g/L, pH media akan turun lebih rendah dari 5.6-5.8 dan keasaman yang terlalu tinggi akan menghambat dan menghentikan pertumbuhan B.t. Akan tetapi, jika konsentrasi gula terlalu rendah, menurut Vandekar dan Dulmage (1982), akan dapat menghentikan pertumbuhan B.t dengan segera, sehingga biomassa yang dihasilkan akan kurang baik karena dapat memperlambat proses 8 sporulasi yang menyebabkan proses fermentasi menjadi lebih lama. Nitrogen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme biasanya dipenuhi oleh garam amonium. Dalam hal ini, sering nitrogen organik harus disediakan dalam bentuk asam amino tunggal atau bahan kompleks termasuk asam nukleat dan vitamin. Beberapa sumber nitrogen yang sering digunakan dalam memproduksi bioinsektisida B.t adalah tepung kedelai, tepung biji kapas (proflo), corn steep, gluten jagung, ekstrak khamir, pepton kedelai, tepung ikan, tripton, tepung endosperma, dan kasein. Selain sumber karbon dan nitrogen, mikroorganisme juga memerlukan mineral untuk pertumbuhan dan pembentukan produk metabolit. Kebutuhan mineral bervariasi tergantung pada jenis mikroorganisme yang ditumbuhkan. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), garamgaram organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme meliputi K, Mg, P, S, dan yang diperlukan dalam jumlah yang sedikit seperti Ca, Zn, Fe, Co, Cu, Mo, dan Mn. Dalam media fermentasi B.t ditambahkan 0.3 g/l MgSO4.7H2O, 0.02 g/l MnSO4.7H2O, 0.02 g/l ZnSO4.7H2O, 0.02 g/l FeSO4.7H2O, dan 1.0 g/l CaCO3. Menurut Dulmage dan Rhodes (1971), Ca selain berperan dalam pertumbuhan dan produksi δ-endotoksin juga berfungsi untuk menjaga kestabilan spora terhadap panas. Penambahan ion Mg2+, Mn2+, Zn2+, dan Ca2+ ke dalam media perlu dipertimbangkan, karena berperan dalam pertumbuhan dan sporulasi B.t (Vandekar dan Dulmage, 1982). B. Kondisi Fermentasi Kondisi fermentasi B.t dalam labu kocok dilakukan pada suhu 28-32 0C, pH awal media diatur sekitar pH 6.8-7.2, agitasi 142-340 rpm, dan dipanen pada waktu inkubasi 24-48 jam. Sedangkan fermentasi B.t dalam fermentor dilakukan pada kondisi suhu 28-320C, pH awal media sekitar 6.8-7.2, volume media sekitar setengah sampai dua per tiga dari kapasitas volume fermentor, agitasi 400-700 rpm, aerasi 0.5-1.5 volume udara/volume media/menit (v/v/m), dan dipanen pada waktu inkubasi 40-72 jam (Vandekar dan Dulmage 1982; Pearson dan Ward 1988; dan Sikdar et al. 1993). Pertumbuhan optimum sebagian bakteri terjadi pada pH sekitar 7. Nilai pH awal media fermentasi sering kali diatur dengan menggunakan larutan penyangga atau dengan penambahan alkali atau asam steril. Nilai pH awal untuk media fermentasi Bacillus ditentukan pada kisaran 6.8-7.2. Selama fermentasi pH dapat berubah dengan cepat tergantung pada penggunaan karbohidrat dan protein. Penggunaan karbohidrat yang terlalu banyak daripada protein dapat menurunkan pH, sedangkan penggunaan protein yang terlalu banyak daripada karbohidrat dapat menaikkan pH. Nilai pH dapat dikendalikan dengan memelihara keseimbangan antara senyawa gula dan nitrogen (Quinlan dan Lisansky 1985). Menurut Vandekar dan Dulmage (1982), tiap mikroorganisme akan berbeda-beda dalam hal kebutuhan oksigen, dan kebutuhan ini akan berubah-ubah selama fase pertumbuhan yang berbeda. Dalam kondisi fermentasi yang aerob, penting untuk memperoleh campuran yang sesuai antara mikroorganisme, nutrien, dan udara. Untuk memperoleh hal tersebut harus dilakukan agitasi secara terus-menerus terhadap cairan fermentasi selama proses fermentasi. Hal ini penting apabila kultur ditumbuhkan dalam tabung atau labu. Agitasi dan aerasi tidak praktis jika dilakukan terhadap setiap labu secara sendiri-sendiri, maka aerasi dilakukan di atas mesin kocok. Aerasi (O2 bebas dari udara) dibutuhkan untuk pertumbuhan sel bakteri. Tujuan aerasi adalah memperoleh udara untuk fermentasi pada kecepatan yang akan memenuhi kebutuhan mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Vandekar dan Dulmage 1982). 9 C. Pemanenan (Recovery) Bahan aktif insektisida B.t dapat dipanen dengan sentrifugasi, filtrasi, presipitasi, spray drying, atau kombinasi dari proses-proses tersebut. Bahan aktif insektisida tersebut kemudian dapat diformulasikan menjadi produk flowable liquid, wettable powder, dust, atau granular tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi dari proses, dan kebutuhan formulasi tertentu (Quinlan dan Lisansky 1985). D. Penentuan Aktivitas Insektisida Mikroba Terdapat perbedaan pengukuran aktivitas mikroba antara insektisida kimia dengan bioinsektisida. Pada insektisida kimia prosedur yang dilakukan untuk memonitor produksi relatif sederhana. Hal ini karena produk yang digunakan adalah produk murni yang telah dievaluasi dan aktivitas insektisidanya telah diketahui sebelumnya. Sedangkan pada bioinsektisida, aktivitas insektisida dari mikroorganisme tidak dapat diukur secara kimia, melainkan dengan bioassay. Bioassay merupakan salah satu cara untuk menentukan serbuk bahan aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Pada insektisida kimia, bioassay hanya digunakan sebagai pelengkap (Vandekar dan Dulmage 1982). Insektisida mikroba ditentukan aktivitasnya dengan menghitung jumlah spora hidup dan melalui bioassay untuk menentukan kadar letal (LC50) dan International Unit (IU) (Vandekar dan Dulmage 1982) atau dosis letal (LD50), Diet Dillution Unit (DDU50) dan IU (Dulmage dan Rhodes, 1971). LC50, LD50, DDU50 sebenarnya hanya menunjukkan potensi relatif produk, karena potensi produk insektisida mikroba (Bacillus thuringiensis) dinyatakan dalam satuan internasional (SI) dengan cara pengukuran sebagai berikut : (1.1) 2.5 LARVA Crocidolomia pavonana (C. binotalis) SEBAGAI SERANGGA SASARAN Bacillus thuringiensis subsp aizawai Ulat krop kubis (Crocidolomia pavonana) memiliki nama lokal dalam Bahasa Indonesia: ulat krop kubis; hileud cocok; olet bosok. Kubis yang dimakan larva ulat krop kubis dapat mengakibatkan tanaman Brassica tidak laku dijual. Penggunaan pendekatan Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) akan membantu mengatasi hal ini serta hama penting lainnya seperti ngengat ulat daun kubis (www.indopetani.com) Crocidolomia pavonana (C. binotalis) tergolong dalam famili Pyralidae, ordo Lepidoptera, filum Arthropoda, genus Croccidolomia, dan kelas Insecta (Kalshoven 1981). Dalam siklus hidupnya, ulat ini mengalami metamorfosis sempurna yang melewati empat stadium, yaitu telur, larva, pupa, dan imago (Suyanto 1994). C. pavonana atau C. binotalis merupakan hama utama pada tanaman kubis-kubisan seperti kubis, sawi, lobak, petsai, dan brokoli (Kalshoven 1981). Daerah persebaran hama ini cukup luas mencakup Afrika Selatan, Asia Tenggara, Australia, dan Kepulauan Pasifik. Di Pulau Jawa, hama ini ditemukan di dataran rendah maupun dataran tinggi. Ulat C. binotalis dapat dilihat pada Gambar 2. Di dataran tinggi Indonesia, ulat krop kubis memerlukan waktu satu bulan lebih sedikit bagi telur untuk berkembang menjadi ulat dewasa. Daur hidupnya serta kerusakan yang ditimbulkannya dapat dilihat dibawah Gambar 2. 10 Gambar 2. Daur hidup ulat krop kubis dan kerusakan yang diakibatkan olehnya (Sumber : www.indopetani.com) Gambar 3. Ngengat dewasa sedang berada pada permukaan daun ( Sumber : www.indopetani.com) Ngengat ulat krop kubis memiliki panjang sekitar 18 mm dan berwarna cokelat krem muda (Gambar 3). Telur yang diratakan ditaruh di saling tumpang tindih dalam gugusan yang mengandung 10-140 telur. Gugusan telur yang baru ditaruh di berwarna hijau pucat. Warnanya berubah menjadi kuning cerah sebelum segera menjadi coklat tua sebelum menetas. Gugusan telur ulat krop kubis berbeda dengan gugusan telur ulat grayak (Spodoptera) yang ditutupi sisik halus. Gambar 4. Kumpulan telur ulat krop kubis: a) berumur satu hari berwarna kuning, b) lebih dewasa saat bentuk seperti irisan jeruk terlihat; dan c) telur berwarna coklat tua siap untuk menetas (Sumber : www.indopetani.com) Larva yang baru menetas berukuran panjang 2-3 mm, berbulu dan terlihat ‘basah’ serta makan secara berkelompok. Larva yang lebih dewasa berwarna hijau muda, berbulu dan memiliki garis-garis hijau pucat atau muda sepanjang punggung mereka. Mereka menutupi permukaan tanaman dengan anyaman sutera tebal dan makan di bawahnya. Larva yang telah tumbuh sempurna (panjang 20 mm) menggali tanah dan membentuk kepompong cokelat mengkilap. Ngengat dewasa muncul sekitar dua minggu kemudian. Hama ini sangat merusak karena larva memakan daun baru di bagian tengah tanaman kubis. Saat bagian tengah telah hancur, larva pindah ke ujung daun dan kemudian turun ke daun yang lebih tua (Gambar 2). Kebanyakan tanaman yang terserang akan hancur seluruhnya jika ulat krop kubis tidak dikendalikan. 11 Gambar 5. Kerusakan yang diakibatkan larva ulat krop kubis: ke bagian tengah tanaman (kiri), kemudian menghancurkan seluruh tanaman dari bagian tengah (Sumber : www.indopetani.com) Ulat krop kubis rentan terhadap sebagian besar insektisida tetapi insektisida tersebut harus dipilih dengan hati-hati untuk memastikan mereka tidak merugikan musuh alami ngengat ulat kubis. PHT adalah pendekatan yang paling efektif salah satunya adalah gunakan insektisida selektif yang tidak begitu berbahaya bagi musuh alami: Bacillus thuringiensis atau B.t (seperti Bacillin, Bite, Dipel), abamektin (seperti Amect, Mitigate) atau spinosad (seperti Success, Tracer). Insektisida ini membunuh larva bukan telur dan harus digunakan saat larva masih kecil. Kerusakan yang disebabkan C. pavonana atau C. binotalis dapat menurunkan hasil baik kualitas maupun kuantitas, karena menyebabkan kerusakan krop kubis bahkan kubis tidak dapat membentuk krop (Uhan 1993). Kehilangan hasil akibat serangan C. binotalis dapat mencapai 65.8 %. Larva yang baru keluar telur akan hidup berkelompok, memakan daun dari permukaan bawah karena menghindari cahaya. Bekas daun yang dimakan kelompok larva instar I biasanya berupa bercak putih yang merupakan lapisan epidermis daun yang tidak ikut dimakan dan berlubang bila epidermis mengering. Apabila serangga terjadi pada saat kubis sudah membentuk krop, larva yang telah mencapai instar III akan menggerek ke dalam krop dan merusak bagian ini, sehingga menurunkan nilai ekonomi. Pembusukan pada krop yang sudah rusak dapat terjadi karena munculnya serangan sekunder oleh cendawan dan bakteri (Sastrosiswojo dan Setiawati 1993). Larva C. binotalis melewati empat instar. Larva instar I berkelompok pada permukaan bawah daun, berwarna krem dengan kepala hitam kecoklatan, berukuran 2.1-2.7 mm dengan stadium ratarata 2 hari. Larva instar II bewarna hijau terang, berukuran 5.5-6.1 mm dengan stadium rata-rata 2 hari. Larva instar III berwarna hijau, berukuran 1.1-1.3 mm, stadium rata-rata 1.5 hari. Larva instar IV berwarna hijau dengan tiga garis putih pada bagian dorsal dan satu pada bagian lateral tubuh, stadium rata-rata 3.2 hari. Dua hari setelah ganti kulit, warna kulit larva instar IV berubah menjadi coklat, larva menjadi tidak aktif, dan tidak banyak makan. Setelah 24 jam, larva akan masuk ke dalam tanah dan membentuk pupa. Pupa berwarna kecoklatan dan ukuran tubuhnya 9-10 mm (Prijono dan Hassan 1992). Masa pupa berlangsung selama 9-13 hari (Othman 1982) dan rata-rata 11.4 hari pada brokoli (Prijono dan Hassan 1992). 12 2.6 KINETIKA FERMENTASI Kinetika fermentasi secara umum dikaji berdasarkan laju penggunaan substrat, laju pertumbuhan biomassa dan laju pembentukan produk (Judoamidjojo et al. 1990). (1.2) (1.3) (1.4) (1.5) Keterangan : µx = Laju pertumbuhan biomassa µN = Laju pertumbuhan sel Y X/S Y N/S Y P/S Y P/N = Yield atau koefisien randemen biomassa (g sel/g substrat) = Yield atau koefisien randemen sel (cfu/g substrat) = Yield atau koefisien randemen produk (g produk/g substrat) = Yield atau koefisien randemen produk (g produk/cfu) Kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk dipengaruhi oleh kemampuan sel (Gumbira Sa’id 1987). Menurut Mangunwidjaja dan Suryani (1994), hubungan kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk tergantung pada peranan produk tersebut dalam metabolisme sel. Pertumbuhan sel B.t.a dapat dicirikan dengan waktu yang digunakan untuk menggandakan jumlah atau massa sel dan konversi substrat menjadi biomassa. 13