BAB VI PEMBAHASAN Penelitian ini secara umum bertujuan untuk membuktikan apakah bumbu babi guling dapat menghambat efek aterogenik dari daging babi guling melalui kerja antioksidan yang dikandungnya, sehingga terjadi proses penghambatan terhadap penuaan pembuluh darah. Ada 4 indikator yang dipakai untuk menjelaskan tujuan tersebut yaitu kadar dan ekspresi F2-isoprostan untuk menunjukan terjadinya munculnya radikal bebas (ROS), kadar dan ekspresi IL-6 untuk menunjukkan terjadinya proses inflamasi, kadar antioksidan total, kadar GSH, dan jumlah sel busa yang terjadi. Kesemua indikator tersebut diukur pada awal, minggu III, minggu XII dan minggu XX. Dasar pemikiran minggu-minggu pengukuran tersebut adalah untuk menunjukkan pengaruh adaptasi yang ditunjukkan pada minggu III, mulai terbentuknya sel busa pada minggu XII dan terbentuknya plaque aterosklerosis pada minggu XX (Muliartha dan Mulyohadi, 2002; Arjuna R., 2008). 6.1 F2-isoprostan sebagai Perwujudan Radikal Bebas Dalam keadaan normal dan untuk mempertahankan homeostasis dalam dinding pembuluh darah, sel endothel senantiasa memproduksi faktor relaksasi dan penghambat pertumbuhan seperti Nitric Oxide (NO), prostacyclin, endotheliumderived hyperpolarizing factors (EDHF) dan faktor vasokonstriksi dan faktor promosi pertumbuhan seperti superoxide 145 anions (O2-), endoperoxides, 146 thromboxane A2, endothelin (ET)-1, Angiotensin II, secara seimbang (Vanhoutte, 2002). Mengkonsumsi daging yang mengandung lemak secara terus menerus, menyebabkan tingginya lemak dalam darah secara konsisten. Lamanya lemak di darah khususnya cholesterol LDL dan adanya radikal bebas oksigen (O2-) menyebabkan lemak ini akan teroksidasi menimbulkan oxLDL (Berliner etal, 1985, Griendling, 2003, Carnevale etal, 2007). Tingginya Oksidasi LDL ini akan menimbulkan jejas di dinding endotel dan menyebabkan masuknya monosit atau LDL ke dinding pembuluh darah dan otot polos yang berada di bawahnya. Partikel LDL yang terjebak di dinding pembuluh darah akan mengalami oksidasi dan internalisasi oleh makrofag yang ada di dinding pembuluh darah. Internalisasi ini akan membentuk peroksida lemak dan menyebabkan terakumulasinya kolesterol ester yang kemudian membentuk menjadi sel busa (Berliner J.A. etal., 1995, Ross, 1999, Bahorun etal., 2006). F2-isoprostan sudah dibuktikan dapat menjadi indeks yang sangat berarti untuk melihat peroksidasi lemak secara invivo (Morrow J.D. etal., 1998). Salah satunya dipakai untuk mengukur munculnya radikal bebas oleh karena oksidasi Low Density Lippoprotein (oxLDL) di dalam plasma darah (Dhawan etal., 2004), menggambarkan proses kalsifikasi pada arteri koroner (Gross M. etal., 2005) dan saat ini kadar F2-isoprostan dapat dipakai sebagai marker yang spesifik dan ajeg dalam menggambarkan stress oksidasi secara invivo (Comporti M. etal., 2008). Disebutkan bahwa antioksidan dalam hal ini flavonoid dapat menekan terbentuknya radikal bebas (Youdim etal., 2001, Han, 2007) dan antioksidan 147 dalam curcumin dapat menekan terbentuknya Radikal bebas yang dinyatakan dengan lebih rendahnya ekspresi f2isoprostan pada dinding pembuluh darah dan juga menekan kadar kolesterol termasuk LDL kolesterol dalam darah hewan coba, Tikus Wistar (Ika Fikriah, 2007). Pada penelitian ini pada minggu III, terjadi peningkatan kadar F2isoprostan di semua perlakuan, dan peningkatannya pada minggu ini tampak sangat signifikan bila dibandingkan dengan kondisi awal (0,000 ≤ p ≤ 0,039). Peningkatan tertinggi ditemukan pada kelompok hewan yang memperoleh makanan daging saja (PV) baru kemudian diiukuti oleh hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) dan peningkatan terendah bahkan dapat dikatakan tidak meningkat karena peningkatannya tidak signifikan (p = 0,180, > 0,05) dijumpai pada hewan yang memperoleh makanan aslinya (PVI). Kalau dilihat perbedaan permasing-masing perlakuan, hewan yang memperoleh makanan daging saja (PV) dan makanan hiperkolesterol (PI) menempati tempat tertinggi dan diantara mereka tidak ada perbedaan yang signifikan, tapi mereka ini sangat signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok hewan yang memperoleh daging dan bumbu (PII-PIV) (0,004 ≤ p ≤ 0,040). Hewan yang memperoleh daging plus bumbu dosis optimum (PIII) terletak diantaranya yang mana perbedaannya tidak signifikan baik ke kelompok yang tinggi maupun dengan kelompok daging berbumbu. Bila dilihat dari teori munculnya F2-isoprostan sebagai tanda dari munculnya radikal bebas dan ini adalah akibat dari peroksidasi lemak, maka dapat dikatakan tingginya kadar F2-isoprostan pada kelompok hiperkolesterol dan 148 daging saja, sampai dengan minggu ke III mendukung hasil-hasil peneliti terdahulu, yaitu merupakan akibat dari tingginya asupan lemak yang diikuti dengan tingginya lemak yang teroksidasi. Terlebih lagi asupan lemak dari mengkonsumsi babi guling saja berarti meningkatkan risiko menderita aterosklerosis atau penuaan pembuluh darah dini. Radikal bebas ini kemudian diekspresikan oleh sel endotel dalam bentuk tingginya ekspresi terhadap F2-isoprostan. Korelasi antara kandungan F2isoprostan dalam serum dengan ekspresi oleh sel endotel ditunjukkan dengan uji Spearman adalah sangat signifikan (r: 0,649, p = 0,001). Adanya bumbu yang mengandung terpenoid, flavonoid dan polyphenol,sampai dengan minggu ke III ini di dalam penelitian ini memberikan efek proteksi terhadap munculnya radikal bebas yang diakibatkan oleh mengkonsumsi daging tersebut sehingga memberikan gambaran penekanan terhadap munculnya F2-isoprostan baik konsentrasinya di dalam darah maupun ekspresinya di sel endotel. Hal ini mendukung temuan sebelumnya yang mengatakan bahwa flavonoid dapat menekan terbentuk radikal bebas. Pada minggu ke XII, keadaan menjadi berubah. Penurunan kadar terjadi pada produksi F2-isoprostan di semua perlakuan sedang ekspresinya cenderung tetap. Perubahan ini sangat signifikan hampir di semua perlakuan (0,000 ≤ p ≤ 0,008) kecuali yang memperoleh makanan asli hewan coba yang penurunannya dapat dikatakan tidak signifikan (p = 0,144). Kadar tertinggi masih konsisten dijumpai pada hewan yang memperoleh makanan daging babi saja (PV) dan kedua pada hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI). Kedua 149 perlakuan ini secara signifikan memproduksi F2-isoprostan lebih tinggi dibandingkan dengan hewan yang memperoleh bumbu dosis maksimum (PII) (p = 0,001 dan p = 0,010) berbeda cukup signifikan dengan yang memperoleh bumbu dosis optimum (PIII) (p = 0,004 dan p = 0,057), tidak dignifikan dengan yang mandapat bumbu dosis minimum (PIV). Hewan pada perlakuan PIII walaupun tidak signifikan berbeda dengan makanan hiperkolesterol tetapi berbeda dengan hewan yang menksonsumsi daging saja (PV) (p = 0,247 dan p = 0,022). Hewan yang memperoleh makanan aslinya (PVI) memproduksi F2-isoprostan yang lebih rendah secara bermakna dengan yang memperoleh daging saja (p = 0,008) tetapi tidak signifikan dengan makanan hiperkolesterol (p = 0,111). F2-isoprostan yang diproduksi di antara hewan yang mendapatkan bumbu plus daging tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Penurunan kadar F2-isoprostan yang sangat signifikan pada minggu ini, dapat diakibatkan oleh adanya antioksidan yang memang berperan dalam mencegah munculnya radikal bebas atau menekan efek stress oksidasi (Lihat hal bagian antioksidan). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh Bachem dan kawan-kawan, yang mendefinisikan antioksidan sebagai semua substrat yang dalam jumlah yang lebih sedikit dibanding dengan zat yang teroksidasi tapi dapat mencegah proses oksidasi dari zat tersebut (Bachem etal., 1999). Antioksidan disini dapat bersumber dari dalam (endogen) maupun yang berasal dari makanan (eksogen). Akan tetapi, dalam penelitian ini hewan yang mengkonsumsi makanan aterogenik (PI dan PV), walaupun kadarnya menurun, kosentrasi F2-isoprostan tetap lebih tinggi dibanding hewan yang memperoleh 150 makanan aterogenik plus bumbu yang mengandung antioksidan (PII-PIV) atau dengan kata lain adanya antioksidan polifenol, flavonoid dan terpenoid yang ada dalam bumbu dapat menekan stress oksidasi menjadi lebih rendah dibanding dengan hewan yang tidak mendapatkan tambahan bumbu dalam makanannya. dan sekali lagi dosis bumbu dan mungkin kandungan zat aktifnya tampaknya ikut berperan dalam kemampuan bumbu menekan stress oksidasi. Gambaran yang agak berbeda ditunjukkan oleh ekspresinya. Kalau pada minggu ke III, F2-isoprostan menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan pada kadar maupun ekspresi. Di minggu ke XII ini ekspresi F2-isoprostan cenderung stabil, dimana perubahan (peningkatan maupun penurunan) yang terjadi cenderung tidak bermakna (p>0,05) kecuali hewan yang memperoleh makanan aslinya memiliki ekspresi yang meningkat bermakna (p=0,048). Ekspresi tertinggi ditunjukkan oleh hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) dan kondisi ini sangat signifikan berbeda dengan perlakuan lainnya (PII-PVI) dengan tingkat signifikasni 0,002 ≤ p ≤ 0,023, sedangkan diantara perlakuan yang lainnya tidak ditemukan perbedaan yang bermakna. Hal ini dapat dijelaskan dari sifat ekspresi F2-isoprostan pada sel endotel yang lebih menetap dibanding kadarnya. Kadar F2-isoprostan di serum akan segera tereleminasi dengan berjalannya waktu (Halliwell and Lee, 2010) sedangkan ekspresinya cenderung lebih menetap. Sampai dengan minggu ke XII ini, hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol dan daging tanpa bumbu masih memberikan gambaran menghasilkan radikal bebas yang tertinggi atau lebih tinggi dibandingkan dengan 151 yang memperoleh daging plus bumbu (PII-PIV), dan yang memperoleh makanan asli (PVI) menempati tempat yang rendah. Hal ini menegaskan kembali efek dari bumbu menurunkan munculnya radikal bebas yang ditimbulkan oleh mengkonsumsi daging babi yang berlemak mendekati kondisi yang mendapatkan makanan aslinya dan dosis menunjukkan perananya terhadap dinamika kadar maupun ekspresi dari keluarnnya radikal bebas. Disamping itu, perubahan pada kadar bumbu ini tampak berkolerasi negatif dengan sangat signifikan dengan kadar antioksidan total (r = - 0,689, p < 0,001) dan GSH (r = -0,640, p=0,001), atau dengan kata lain makin tinggi kadar bumbu maka makin rendah antioksidan endogen yang aktif. Sehingga dapat dikatakan bahwa menurunnya kadar F2isoprostan lebih dimungkinkan karena adanya antioksidan yang diperoleh dari bumbu babi tersebut. Perbedaan pola antara kadar dan ekspresi F2-isoprostan dapat disebabkan karena sifat dari reaksi stress oksidasi. Stres oksidasi sebenarnya terjadi di dalam sel baik itu sel endotel maupun di otot polos (tunika intima maupun media), sehingga produksi F2-isoprostan juga diekspresikan oleh sel. F2-isoprostan yang terdeteksi di darah adalah akibat rusaknya dinding sel yang menyebabkan isi sel keluar bersama dengan F2-isoprostan. F2-isoprostan yang di darah lebih mudah muncul dan tereliminasi dibandingkan dengan yang di dalam sel. (Halliwell dan Lee, 2010). Pada minggu XX gambaran kadar F2-isoprostan pada hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) dan daging (PV) masih tertinggi dan lebih tinggi dibanding hewan yang memperoleh bumbu (PII-PIV). Akan tetapi 152 tidak ada perbedaan yang signifikan di antara hampir semua perlakuan kecuali yang mendapatkan bumbu dosis maksimum (PII), yang menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan dengan hewan yang mendapat makanan daging babi saja (PV) (p=0,029). Kalau dilihat dinamika kadar maka semua perlakuan menunjukkan peningkatan kadar yang tidak signifikan bedanya kecuali yang mendapatkan makanan asli yang justru meningkat secara signifikan. Disamping itu kalau dilihat secara statistik, hasil yang diperoleh pada minggu ini tidak homogen dibanding pengukuran sebelumnya (SD yang diperoleh cukup lebar) sehingga tidak munculnya perbedaan tersebut lebih dikarenakan masalah teknis yaitu waktu pengukuran yang berbeda, yang berakibat pada perbedaan jumlah F2isoprostan yang tereleminasi juga berbeda (Halliwell dan Lee, 2010). Hal kedua yang dapat menjelaskan mengapa tidak muncul perbedaan kadar antara yang memperoleh antioksidan (PIII dan PIV) dan yang tidak memperolehnya (PI dan PV) pada pengukuran minggu ini adalah aktifnya antioksidan endogen karena aktivasi dari NF-E2-related factor 2 (Nrf2). Nrf-2 adalah protein dalam sel yang bilamana dalam keadaan tenang, akan berikatan dengan Keap-1, akan tetapi bila terangsang oleh inducer type-2 termasuk stress oksidasi, maka dia akan menjadi aktif (Kobayashi and Yamamoto, 2005). Aktifnya Nrf-2 akan mengekspresi gen pertahanan sel yaitu salah satunya antiokisdan interna seperti Glutathione Stransferases (GSTs) (Itoh K. etal., 1997) dan enzyme Glutamylcysteine Synthase (γ-GCS) yang mengkontrol sintesis GSH (Wild A.C. etal., 1999). Aktifnya antioksidan endogen mengakibatkan berkurangnya stress oksidasi pada dinding sel yang bersangkutan. 153 Akan tetapi efek penekanan oleh antioksidan eksterna lebih besar masih dapat dibaca dari rendahnya kadar F2-isoprostan yang terdeteksi pada hewan yang mendapatkan perlakuan daging dengan bumbu dosis maksimum (PII) yang secara signifikan lebih rendah dari yang memperoleh daging saja (PV) (p=0,029). Sedangkan hewan yang mengkonsumsi makanan aslinya memiliki pola yang berbeda, mungkin karena makanan hewan coba tersebut kandungan lemak yang dapat menimbulkan stress oksidasi lebih sedikit, menunjukkan gambaran perubahan yang lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan hiperkolesterol (PI), daging dan lemak babi (PV) dan daging lemak plus bumbu (PII-PIV). 6.2 Interleukin (IL)-6 Interleukin-6 adalah salah satu inflammatory marker yang berkaitan erat dengan kejadian penyakit kardiovaskuler (Saremi A etal., 2009). Haddy etal, 2003 yang menganalisa hubungan IL-6 dengan faktor risiko aeterosklerosis pada studi kohort menyimpulkan bahwa data IL-6 ini sangat berguna untuk mendifinisikan peran sitokin pada mekanisme aterosklerosis pada kondisi fisiologis (Haddy etal, 2003). Dan lagi Omoigui dalam reviewnya menghipotesiskan bahwa IL-6 memediasi teroksidasinya LDL menjadi OxLDL dan isoflavon ternyata dapat menekan terbentuknya IL-6 (Omoigui, 2007). Tuomisto etal., 2006 yang diperkuat oleh Saremi etal., yang menyatakan bahwa IL-6 adalah salah satu inflamatory marker yang berkaitan erat dengan kejadian penyakit kardiovaskuler (Saremi A etal., 2009). Hal ini disebabkan karena tingginya kadar IL-6 dalam serum orang sehat berkaitan erat dengan disfungsi endotel pembuluh darah (Esteve E. etal., 2007). 154 Penelitian ini membuktikan hipotesis bahwa gabungan flavonoid, polyphenol maupun terpenoid yang ada dalam bumbu babi guling dapat menghambat proses kejadian aterosklerosis di pembuluh darah dan sekaligus mendukung hipotesis yang diajukan oleh Omoigui (2007). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa dinamika IL-6 yang diamati yaitu kosentrasi dan ekspresinya selama 20 minggu dengan melakukan empat kali pengukuran yaitu awal, minggu III, XII dan XX memberikan hasil data yang unik. Keunikan data disini ditunjukkan oleh kadar IL-6 pada minggu-minggu pengukuran tidak seiring dengan ekspresinya bahkan sepintas terkesan berlawanan. Kadar Interleukin-6 (IL-6) pada minggu III di penelitian ini menurun dengan sangat signifikan pada kelompok perlakuan PIII (yang mendapatkan bumbu dosis optimum, p < 0,001) dan P IV (bumbu dosis minimum, p = 0,001) dan sebagai akibatnya kadar IL-6 pada kelompok hewan ini menjadi terendah dibandingkan dengan kadar IL-6 lainnya. Kelompok perlakuan yang lain (PI, PII, PV dan PVI) tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dengan awalnya (p>0,05), walaupun gambaran yang ditunjukkan oleh perlakuan PII (dosis maksimum) dan PV (daging babi saja) juga menurun, akan tetapi PVI (makanan asli) dan PI (hiperkolesterol) terkesan justru meningkat. Karena kadar IL-6 pada perlakuan PV ini menurun, maka penurunan kadar pada dua kelompok perlakuan bumbu (PIII dan PIV) menjadi tidak signifikan lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan daging babi saja (PV) (p=0,086), tetapi secara signifikan lebih rendah dengan yang ditunjukkan oleh hewan yang mendapat makanan aslinya (PVI) dan juga dengan perlakuan hiperkolesterol (PI) (0,001 ≤ p ≤ 0,012). Dengan kata lain 155 baik munculnya radikal bebas dan peranan antioksidan sampai dengan minggu ke III, belum menunjukkan dampak inflamasi yang signifikan, kecuali pada perlakuan hiperkolesterol (PI) maupun makanan asli (PVI). Berbeda sekali dengan ekspresinya, dimana pada ekspresi oleh IL-6, di semua perlakuan, pada pengkuran minggu ini sudah menunjukkan peningkatan ekspresi yang sangat signifikan (0,000 ≤ p ≤ 0,002). Ekspresi tertinggi dijumpai pada kelompok hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) dan terendah pada hewan yang memperoleh makanan aslinya (PVI) dengan perbedaan yang sangat signifikan (p < 0,001). Hewan yang memperoleh tambahan bumbu (PII-PIV) dan daging saja (PV) menunjukkan ekspresi dengan tingkat kemaknaan yang bervariasi, dimana yang terendah dan bermakna justru ditunjukkan oleh hewan yang mendapatkan bumbu dosis maksimum (PII) (p < 0,05). Di sini dapat dikatakan bahwa perlakuan sampai dengan minggu ke III, efek penekanan terhadap IL-6 oleh bumbu terlihat terutama pada ekspresinya tetapi tidak terlalu terlihat pada kadarnya. Disamping itu pada penelitian ini juga terlihat bahwa baik kadar maupun ekspresi IL-6 yang ditunjukkan oleh perlakuan bumbu (PIII-PIV) tidak secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan daging (PV), kecuali yang memperoleh dosis maksimum (PII) yang ekspresinya secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan yang mendapatkan daging babi saja. Keadaan ini barangkali dapat dijelaskan dari hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, dimana ekspresi IL-6 pada hewan yang mendapatkan daging saja (PV) justru secara signifikan lebih rendah dari makanan hiperkolesterol (PI). Kalau dilihat gambaran ekspresi yang ditunjukkan oleh IL- 156 6 dan F2-isoprostan yang mirip, dan juga teori sebelumnya yang menyebutkan bahwa kedua marker tersebut berkaitan erat dengan kerusakan sel endotel, maka ekspresi yang ditunjukkan oleh IL-6 adalah gambaran kerusakan sel endotel walaupun kadarnya masih belum menunjukkan perbedaan yang bermakna. Pada minggu ke XII, terjadi peningkatan kadar IL-6. Peningkatan sangat signifikan terjadi pada hewan yang tadinya mengalami penurunan kadar secara signifikan, yaitu yang memperoleh bumbu dosis optimum (PIII) dan dosis minimum (PIV) (p ≤ 0,002). Hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) maupun daging saja (PV) dan hewan yang memperoleh daging plus bumbu maksimum (PII), yang sebelumnya tidak menunjukkan perubahan yang signifikan, juga tidak menunjukkan peningkatan yang berarti (p>0,05). Sedangkan yang memperoleh makanan aslinya (PVI), yang tadinya tidak ada perubahan, justru menurun dengan penurunan yang cukup signifikan (p = 0,020). Kalau dilihat perbedaan kadar diantara semua perlakuan pada minggu ke XII ini, hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI), kadar IL-6nya masih tetap tertinggi, dan berbeda sangat signifikan dengan hewan yang memperoleh bumbu dosis minimum (PIV) dan makanan aslinya (PVI) (p=0,015 dan p=0,002) dan cukup signifikan dengan hewan yang memperoleh daging saja (PV) (p=0,047). Kalau dilihat ekspresinya, ekspresi yang ditunjukkan pada minggu ke XII tidak mengalami perubahan yang signifikan di semua perlakuan, bahkan dapat dikatakan hampir tidak berubah. Sehingga bila disimpulkan, sampai dengan minggu ke XII ini efek perlakuan terhadap perubahan IL-6 termasuk juga perbedaannya masih belum terlihat dengan jelas. Tetapi ekspresi tertinggi tetap 157 dimiliki oleh hewan yang mendapatkan makanan hiperkolestrol (PI) dan diikuti oleh perlakuan lainnya Pada minggu XX, keadaan menjadi berubah, dimana kadar IL-6 tertinggi dimiliki oleh hewan coba yang mendapatkan makanan daging saja (PV), lebih tinggi dibanding yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI), walaupun perbedaannya tidak signifikan. Kadar IL-6 tertinggi di minggu ini ada pada perlakuan makanan daging saja (PV), diikuti di bawahnya oleh kadar IL-6 hewan coba yang mendapatkan makanan aslinya (PVI), makanan hiperkolesterol (PI) dan baru diikuti dengan bumbu di berbagai dosis (PII-PIV). Kadar IL-6 pada hewan yang memperoleh daging (PV), pada pengukuran minggu ini, menjadi tidak berbeda bermakna dengan perlakuan hiperkolesterol (PI) dan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan hewan yang memperoleh bumbu (PII-PIV). Bila dilihat ekpresinya, ekpresi IL-6 pada hewan hiperkolesterol (PI) meningkat secara signifikan diikuti dengan hewan yang memperoleh bumbu dosis maksimum (PII), optimum (PIII) dan daging saja (PV). Pada minggu ini perbedaan ekspresi diantara perlakuan bumbu (PII-PIV) tidak berbeda secara signifikan, begitu juga antara perlakuan bumbu dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh hewan perlakuan daging saja (PV). Kecuali hewan yang mendapat perlakuan bumbu dosis minimal (PIV) masih menunjukkan ekspresi yang secara signifikan lebih rendah dari perlakuan daging (PV) (p<0,001). Produksi IL-6 pada hewan yang memperoleh perlakuan bumbu (PII-PIV) tidak lebih tinggi dibandingkan dengan yang memperoleh makanan aslinya (PVI), kecuali pada awalnya saja yaitu pada minggu ke III perlakuan. Tetapi ekspresinya, terlihat bahwa ekspresi IL-6 158 pada perlakuan bumbu (PII-PIV) ini secara konsisten dan signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan makanan asli (PVI). Bila dilihat kadarnya, maka pengaruh antioksidan yang berasal dari luar yaitu dari bumbu baru nampak setelah minggu ke XX ini yaitu dengan rendahnya kadar IL-6 secara signifikan dibandingkan dengan hewan yang mempereoleh makanan daging saja (PV). Pola dari dinamika yang ditunjukkan oleh IL-6 yang sangat unik dalam penelitian ini dapat dijelaskan dari beberapa segi yaitu sifat dari IL-6 itu sendiri yang mana kadarnya pada sel mudah sekali hilang bersamaan dengan proses menghilangnya atau pergantian sel tersebut (Terebuh PD etal., 1992; Melani C etal., 1993), akan tetapi ekspresinya masih lebih menetap karena berhubungan dengan kerusakan endotel (Esteve, E. etal., 2007). Yang kedua IL-6 adalah sitokin yang diproduksi tidak saja oleh sel endotel tetapi oleh berbagai sel lainnya, seperti otot, leukosit khususnya eosinopil, sel stroma dan sebagainya. Mekanisme pembentukannya juga bervariasi di masing-masing lokasi pembentukannya (Melani C etal., 1993, Chauhan D etal., 1996). Dengan demikian masalah perbedaan waktu dan tempat tampaknya berpengarauh terhadap variasi jumlah produksi maupun ekspresi IL-6. Alasan yang ketiga dimungkinkan oleh pernyataan Sota Omoigui (2007) yang mengatakan bahwa Interleukin 6 adalah keluarga yang terdiri dari IL-6, IL-11, leukemia inhibitory factor, Oncostatin M., ciliary neurotropic factor, cardiotropin-1 sehingga dalam proses deteksi dengan menggunakan satu kit tertentu yang diambil di serum belum tentu mewakili seluruh IL-6 yang diproduksi (Omoigui S., 2007). Dengan kata lain, IL-6 adalah sitokin yang bersifat autokrin yang berarti diproduksi oleh sel tetapi bekerja di 159 dalam sel itu sendiri, endokrin (disekresi oleh sel tetapi kemudian didistribusikan lewat darah) dan parakrine (disekresi di tempat lain yang terlalu jauh dari tempat produksinya) (Subowo, 2009). Ketiga alasan ini menjelaskan mengapa kadar IL-6 tidak sama dengan ekpresinya bahkan ekspresi terkesan lebih rendah, disamping tampak seperti berlawanan dengan kadar yang dideteksi di dalam serum. Dalam penelitian ini diperoleh korelasi yang negatif antara kadar IL-6 dalam serum dan ekspresinya di sel endotel tetapi tidak memberikan arti yang signifikan (r: -0,149, p = 0,486), atau dengan kata lain pola kadar tidak berkorelasi dengan pola ekpresi, walaupun sepintas terlihat berlawanan. Tetapi bila dilihat perjalanannya dari minggu ke minggu pengukuran dan dibandingkan dengan perkembangan F2isoporsotan, perkembangan IL-6 berlangsung lebih lambat mengikuti perkembangan F2-isoprostan yang cenderung lebih cepat dan akut. Dengan kata lain perkembangan inflamasi cenderung lambat dan stabil dibandingkan dengan perkembangan radikal bebas. Disamping itu dalam penelitian ini bisa juga dilihat kecenderungan perkembangan kadar (konsentrasi) dan ekspresi, dimana konsentrasi terlihat berjalan lebih cepat dibandingkan dengan pola ekspresi. Akan tetapi pola ekspresi, oleh karena menggambarkan kerusakan endotel, terkesan lebih stabil. Hal ini dibuktikan dengan mengamati dinamika kadar dan ekspresi dari penjelasan di atas yaitu antara perlakuan bumbu (PII-PIV) dengan daging (PV), antara perlakuan daging (PV) dengan hiperkolesterol (PI) dan perlakuan bumbu (PII-PIV) dengan makanan asli (PVI). Ekspresi IL-6 antara minggu ke III dan minggu ke XII tidak menunjukkan perbedaan yang berarti di semua perlakuan (p>0,05) dibandingkan dengan ekspresi sebelumnya (minggu 0-III). 160 Seperti sudah disebutkan di atas bahwa penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah bumbu dapat menekan efek inflamasi yang ditimbulkan oleh daging babi. Dari hasil yang diperoleh dapat dijelaskan bahwa bumbu menekan terbentuknya IL-6 menjadi lebih rendah dibanding perlakuan daging babi saja, tetapi efeknya lambat dan baru terlihat signifikansinya pada minggu ke XX. Sebagai marker inflamasi, fakta menunjukkan bahwa peningkatan IL-6 menunjukkan proses inflamasi pada sel endotel yang nantinya kemudian dapat menimbulkan thrombosis idiopatik pembuluh darah (Jezovnik M.K. and Poredos P., 2010). Dipihak lain melalui jalur yang cukup panjang dan kompleks, tingginya kadar kolesterol merangsang aktivasi dari IL-6 dan reseptornya. Flavonoid melalui penekanan terhadap produksi kolesterol (bersifat antikolesterolemia) dapat menekan aktivasi IL-6 ini (Omoigui, 2007). Dan lagi gambaran IL-6 di dalam serum meningkat pada kondisi akut seperti sepsis dan sebagainya (Terebuh etal., 1992) Dari beberapa fakta ini dapat dijelaskan bahwa pemberian intervensi hiperkolesterol (makanan hiperkolesterol, daging babi dan daging babi plus bumbu) yang terus menerus sampai dengan minggu ke III, sudah dapat menunjukkan adanya peningkatan ekspresi tetapi belum memberikan dampak yang cukup berarti terhadap perubahan IL-6 sebagai marker inflamasi sistemik yang memberikan risiko terjadinya aterosklerosis. Pemberian bumbu menunjukkan efek penekanan terhadap proses inflamasi yang ditunjukkan oleh produksi IL-6 ini, tetapi tingkat signifikansinya bervariasi diantara dosis yang diberikan. 161 Perlu diwaspadai perbedaan antara dosis maksimum (PII) dan daging saja (PV) pada minggu XX, dimana pada penelitian ini di minggu ke XX pemberian bumbu dosis maksimum (PII) memberikan dampak ekspresi yang terkesan lebih tinggi dibandingkan dengan yang memperoleh daging saja (PV). Hal ini mungkin dapat dijelaskan dari munculnya pengaruh Nrf-2 yang menjadi aktif karena rangsangan radikal bebas yang merusak degradasi Nrf2 oleh Keap1 sehingga terjadi akumulasi aktifnya Nrf2 (Kobayashi et al, 2006). Nrf-2 ini kemudian mengaktivasi gen yang mengeluarkan antioksidan endogen, sehingga terjadi penekanan terhadap produksi radikal bebas, yang ditunjukkan dari berkurangnya proses inflamasi. Dipihak lain yang memperoleh bumbu dosis maksimum (PII), baru mengalami peningkatan inflamasi. Hal ini bisa dilihat dari tingkat kemaknaan dari peningkatan proses inflamasi yang berbeda, dimana yang memperoleh bumbu dosis maksimum (PII) menunjukkan tingkat kemaknaan yang lebih rendah dibanding dengan yang memperoleh daging saja (PV). Selain itu, sel endotel yang seolah-olah masih tenang pada perlakuan daging saja (PV) tampaknya mendukung pernyataan yang disampaikan oleh Casteilla dan kawankawan (2010) yang menghipotesiskan bahwa sel endotel dapat diperbaharui oleh progenitor stem sel yang berada di jaringan adipose tapi dapat beredar di dalam darah. Belum jelas bagaimana bentuk dan sifat sel yang baru tersebut, apakah memiliki sifat yang sama dengan sel endotel sebelumnya selama telomere dari DNA sel masih cukup untuk regenerasi atau mengalami dysfungsi sehingga berubah bentuknya, memerlukan penelitian lebih lanjut. 162 6.3 Perkembangan Total Antioksidan Antioksidan berperan dalam hal menetralisir kerja dari Radikal Bebas sehingga proses oksidasi terutama oksidasi lemak tidak terjadi (Best B., 2003). Berdasarkan sumbernya, antioksidan dibedakan atas dua bagian yaitu antioksidan yang bersifat endogen seperti SOD dan GSH maupun yang bersifat eksogen yang berasal dari makanan seperti Vitamin C, E, flavonoid dan sebagainya. Antioksidan yang dideteksi dalam serum disini adalah aktivitas antioksidan total untuk menetralisir radikal bebas yang sudah diketahui efeknya secara invitro (BioVision, 2010). Sehingga dari sini diketahui aktivitas antioksidan yang ada di serum darah yang dapat berasal baik dari luar (makanan) maupun yang berasal dari host. Pada penelitian ini dihipotesiskan bahwa pemberian flavonoid yang ada pada bumbu babi guling akan meningkatkan aktivitas antioksidan baik itu yang berasal dari luar (eksogen) yaitu dari makanan ataupun dari antioksidan endogen. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diajukan oleh Han dan kawan-kawan pada laporannya yang ditulis di Internasional Journal of Molecular Science dengan judul Dietary Poliphenol and Their Biological Significance (Han X. etal., 2007). Pada minggu ke III dari penelitian ini, aktivitas antioksidan total dalam serum hewan coba ini menurun, dan penurunan terjadi di semua perlakuan. Penurunan terbesar dan sangat signifikan terjadi pada hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI), daging (PV), makanan aslinya (PVI) dan yang memperoleh bumbu dengan dosis minimum (PIV) (0,012 ≤ p ≤ 0,039). Sedangkan hewan yang mendapatkan bumbu dosis maksimum (PII) dan optimum (PIII) 163 penurunannya tidak signifikan sehingga dapat dikatakan kadar antioksidannya tidak berubah. Pada minggu ke XII, aktivitas antioksidan hewan yang mendapatkan makanan hiperkolesterol (PI) dan daging saja (PV) turun lebih jauh dan sangat signifikan (p ≤ 0,001), sedangkan hewan yang memperoleh makanan asli (PVI) dan bumbu dosis minimum (PIV), yang tadinya mengalami penurunan, pada minggu ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan (p = 0,004 dan p = 0,014). Begitu juga hewan yang memperoleh bumbu dosis optimum (PIII), aktivitas antioksidannnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan (p = 0,015), sedangkan peningkatan aktivitas antioksidan yang ditunjukkan oleh hewan yang memperoleh bumbu dosis maksimum (PII) pada pengukuran minggu ini, menunjukkan peningkatan, tetapi tidak memberikan arti yang signifikan. Gambaran aktivitas antioksidan total pada minggu ke XII, hewan yang memperoleh makanan daging plus bumbu (PII-PIV) dan makanan aslinya (PVI) menunjukkan konsentrasi yang tinggi. Hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) dan daging babi saja (PV) menunjukkan aktivitas antioksidan yang rendah. Perbedaan di antara semua perlakuan menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan pada hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) dan daging saja (PV) sangat rendah dan berbeda sangat signifikan dengan perlakuan bumbu (PII-PIV) maupun makanan asli (PVI) (p < 0,001). Sedangkan hewan yang memperoleh makanan daging plus bumbu (PII-PIV), diantara dosis yang diberikan tidak menunjukkan perbedaan yang berarti, begitu juga dengan yang memperoleh makanan aslinya (PVI). Dari sini, yaitu sampai dengan minggu ini, 164 dapat dilihat bahwa penelitian ini mendukung pernyataan yang diajukan oelh Han dan kawan-kawan (Han X., etal., 2007) yaitu bumbu memberikan kontribusi meningkatkan antioksidan yang memiliki nilai sangat penting untuk menekan efek negatif dari radikal bebas maupun inflamasi. Pada minggu ke XX, aktivitas antioksidan pada hewan yang mendapat perlakuan bumbu (PII-PIV) maupun makanan aslinya (PVI) dapat dikatakan tidak berubah, karena memang aktivitasnya menurun tapi penurunannya tidak signifikan (0,107 ≤ p ≤ 0,916). Sebaliknya hewan yang mendapatkan makanan hiperkolesterol (PI) dan makanan daging berlemak (PV), menunjukkan peningkaatan aktivitas anti oksidan yang sangat bermakna (p = 0,000 dan p = 0,029). Sehingga pada minggu ke XX ini. aktivitas antioksidan hewan yang memperoleh bumbu (PII-PIV) masih secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan yang memperoleh daging berlemak saja (PV) (p = 0,029). Hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI), menunjukkan aktivitas antioksidan total lebih rendah secara signifikan hanya dengan hewan yang memperoleh bumbu dosis maksimum (PII) (p = 0,021). Dari ketiga gambaran di atas dapat dikatakan bahwa makanan hiperkolesterol dan daging berlemak yang berasal dari daging babi telah menghabiskan aktivitas antioksidan yang dikandung oleh host untuk menekan munculnya radikal bebas maupun inflamasi yang diakibatkan oleh makanan tersebut. Sedangkan bumbu telah memberikan tambahan antioksidan yang membantu keseimbangan redox (redox balance system) mengatasi munculnya radikal bebas tersebut. 165 Pada minggu ke XX, gambaran terkesan terbalik tetapi sebetulnya merupakan efek kompensasi dari hewan yang mendapatkan makanan hiperkolestrol dan daging saja karena rendahnya kadar antioksidan yang dimilikinya. Efek kompensasi antioksidan disini tentunya yang berasal dari antioksidan yang internal seperti SOD, maupun GSH dan sebagainya. Hal ini dapat terjadi karena aktivasi dari Nrf2 (nuclear factor erythroid 2 related factor 2) di dalam inti yang mengekspresi gen sehingga terjadi peningkatan gen yang berperan dalam sintesis enzim antioksidan endogen seperti misalnya gen SOD dan atau GSH (Kobayashi dan Yamamoto, 2005; Kobayashi etal., 2006; Han et al., 2007). Selanjutnya untuk mengetahui siapa yang berperan terhadap peningkatan antioksidan ini dari minggu ke minggu pengukuran, maka dilakukan uji regresi terhadap aktivitas antioksidan dan kadar GSH dan diperoleh hasil bahwa ada keterkaitan positif yang sangat bermakna antara aktivitas antioksidan total dengan GSH (r= 0,535, p<0,001). Hal ini menunjukan bahwa peningkatan dari aktivitas antioksidan total lebih disebabkan karena peningkatan kadar GSH, atau dengan kata lain asupan antioksidan yang dari luar dapat meningkatkan kadar GSH. 6.4 Glutathion (GSH) GSH adalah antioksidan yang diproduksi secara endogen oleh sel sebagai mekanisme pertahanan sel terhadap radikal bebas. Glutathione berikatan dengan hydroxyl radikal yang berasal dari reaksi Fenton membentuk Glutathion radikal, dan glutathione radikal inilah yang membentuk GSSG untuk kemudian didaur 166 ulang kembali menjadi Glutahione. Dengan andanya glutathione ini, akan mencegah peroksidasi lemak menjadi lemak radikal (Kidd P, 1997; Best B, 2003). Dalam penelitian ini kadar glutathione dicari untuk mengetahui bagaimana efek antioksidan yang diberikan dari luar dapat mempengaruhi kadar antioksidan endogen yang dalam hal ini diwakili oleh glutathione yang di dalam serum. Hypothesis dalam penelitian ini menyebutkan bahwa bumbu dapat meningkatkan kadar GSH lebih tinggi dibanding yang mendapat daging tanpa bumbu. Gambaran hasil GSH yang diperoleh dalam penelitian ini mirip dengan gambaran aktivitas antioksidan. Kadar glutathione pada minggu ke III secara statistik tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan keadaan awalnya. Walaupun konsentrasi glutathion pada hewan yang mendapat bumbu (PII-PIV) menunjukkan tanda peningkatan kadar dan hewan yang mendapat makanan daging (PV) dan makanan asli (PVI) menunjukkan penurunan kadar. Hanya hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) yang kadarnya menurun secara bermakna (p = 0,004). Keadaan ini menyebabkan perbedaan yang bermakna antara hewan yang mendapatkan makanan hiperkolesterol (PI) dengan hewan yang memperoleh bumbu (PII-PIV), tetapi tidak lebih rendah secara signifikan dengan yang memperoleh daging saja (PV). Kadar GSH hewan yang memperoleh daging saja (PV) ini secara signifikan lebih rendah dibanding dengan yang memperoleh perlakuan bumbu dosis optimum (PIII) dan minimum (PIV) tetapi tidak signifikan dengan perlakuan dosis maksimum (PII). Pada minggu ke XII kadar GSH pada hewan yang mendapatkan bumbu (PII-PIV) mengalami peningkatan yang signifikan (0,000 < p ≤ 0,048) dan begitu 167 juga yang mendapatkan makanan aslinya (PVI) (p<0,001). Tetapi yang mendapatkan makanan hiperkolesterol (PI) justru mengalami penurunan kadar yang sangat signifikan (110,4 µmol/L; p = 0,004), sedangkan yang mendapatkan makanan daging saja (PV) tidak mengalami perubahan signifikan. Sehingga pada pengukuran minggu ini kadar GSH hewan yang mendapatkan daging plus bumbu (PII-PIV) secara signifikan lebih tinggi daripada hewan yang memperoleh makanan kolesterol (PI). Sedangkan kadar GSH hewan yang mendapatkan daging saja (PV) tidak berbeda secara signifikan dengan yang mendapatkan kolesterol (PI), juga secara statistik tidak berbeda secara signifikan dengan yang mendapatkan perlakuan bumbu dosis maksimum (PII) maupun dosis minimum (PIV), walaupun perbedaan mereka secara nominal cukup tinggi (375,98 dan 432,25 µmol/L). Kadar GSH pada perlakuan daging saja (PV) hanya lebih rendah secara signifikan dengan perlakuan bumbu dosis optimum (PIII) (p = 0,030). Dari sini dapat dilihat bahwa daging babi (PV) dengan efek aterogeniknya menurunkan kadar GSH tetapi penurunannya tidak serendah perlakauan hiperkolesterol (PI), sedangkan perlakauan bumbu dapat meningkatkan kadar GSH tetapi, sampai dengan minggu XII belum cukup signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan yang memperoleh daging babi saja (PV) kecuali yang memperoleh dosis yang optimum (PIII). Pada minggu ke XX, gambaran mirip proses kompensasi, khususnya yang dialami oleh hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol (PI) walaupun tidak sedrastis yang ditunjukkan oleh gambaran antioksidan total, kadar GSHnya meningkat secara signifikan (p=0,043). Dipihak lain hewan yang memperoleh 168 daging plus bumbu (PII-PIV) dan makanan asli (PVI) mengalami penurunan kadar GSH yang signifikan (0,000 < p ≤ 0,018). Hewan yang memperoleh makanan daging saja (PV) tetap menunjukkan penurunan, yang walaupun tidak signifikan, tetapi memberikan gambaran yang signifikan lebih rendah dibanding dengan hewan yang memperoleh makanan daging berbumbu (PII-PIV). Begitu juga kadar GSH pada hewan yang mendapat makanan hiperkolesterol, walaupun terjadi peningkatan yang signfikan pada minggu ke XX ini tetapi tetap secara signfikan lebih rendah dibanding kadar GSH dari yang mendapatkan daging berbumbu. Dari gambaran diatas secara konsisten dapat dilihat bahwa bumbu memberikan kontribusi peningkatan kadar glutathione pada hewan yang mendapatkan makanan yang sebetulnya dapat menurunkan kadar glutathione, sehingga mendekati bahkan lebih tinggi dibanding kadar glutathione hewan yang mendapatkan makanan aslinya. Efek kompensasi yang dtunjukkan disini dapat dijelaskan berdasarkan temuan yang ditulis oleh Han dan kawan-kawan yang nmenyatakan bahwa aktivasi dari Nrf2 (nuclear factor erythroid 2 related factor 2) di dalam inti dapat mengekspresi gen sehingga terjadi peningkatan gen yang berperan dalam sintesis enzim antioksidan endogen seperti misalnya gen SOD dan atau GSH ( Han et al., 2007). Disamping itu, hal diatas juga ditunjang dari hasil uji korelasi antara perlakuan bumbu (PII-PIV) dan perlakuan daging saja (PV). Dari uji korelasi ini diperoleh hasil bahwa pada perlakuan bumbu peningkatan rasio GSH:GSSG lebih disebabkan karena menurunnya kadar GSSG atau oleh karena tidak terjadinya 169 peroksidasi lemak sedangkan pada kelompok perlakuan daging saja peningkatan rasio tersebut disebabkan karena peningkatan kadar GSH. 6.5 Sel Busa Penuaan pembuluh darah merupakan faktor risiko yang sangat besar untuk menderita ateroskelrosis sehingga dapat dikatakan bahwa aterosklerosis merupakan wujud dari penuaan dari pembuluh darah (O’Rourke, 2007). Bertambahnya umur dikatakan menjadi faktor yang independen terhadap penuaan pembuluh darah ini, tetapi penuaan ini dapat dipercepat oleh faktor lingkungan yang mendukungnya (Baraas, 2006). Dengan kata lain bilamana aterosklerosis terjadi pada usia muda, maka pembuluh darahnya dapat dikatakan mengalami penuaan dini. Sel busa adalah kunci utama yang berperan terhadap proses atherogenesis. Jadi terbetuknya atherogenesis yang nantinya disebut menderita aterosklerosis adalah suatu penumpukan fokal dari sel busa (lipid laden foam cell) yang berasal dari makropag yang kemudian membentuk atau diisi oleh materi lemak (fatty streak). Foam cell sendiri dapat dibentuk dari monosit ataupun LDL yang teroksidasi (Shashkin P etal., 2005, Wikipedia, 2010). Antioksidan dimungkinkan untuk dapat mengembalikan atau menghambat terjadinya sel busa yang mengarah ke aterosklerosis. Linda K. Curtiss (2009) dalam reviewnya membuat hipotesis bahwa antioksidan melalui penghambatan terhadap munculnya ROS dapat mencegah terjadinya aterosklerosis (Curtis L.K., 2009) dan dalam hal yang sama reservatrol (sejenis phenolic) juga dikatakan 170 dapat menghambat terjadinya ROS dan pembentukan sel busa (Park D-W etal., 2009). Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa pembentukan sel busa (Foam cell) tertinggi di dapatkan pada hewan yang mendapat makanan hiperkolesterol (PI) dan keadaan ini secara konsisten terjadi pada minggu-minggu pengukuran yaitu minggu III, XIII dan XX. (Lihat halaman 134, tabel 5.18). Jumlah tertinggi kedua adalah hewan yang mendapatkan makanan daging babi saja (PV) dan keadaan ini juga secara konsisten terjadi sampai dengan minggu akhir penelitian, walaupun dengan jumlah yang awalnya tidak berbeda dengan makanan hiperkolesterol tetapi kemudian lebih rendah secara signifikan terhadap makanan hiperkolesterol. Bumbu menurunkan jumlah sel busa yang terbentuk, yang diakibatkan oleh karena mengkonsumsi daging babi. Hewan yang mendapatkan makanan daging babi plus bumbu (PII-PIV) secara konsisten menunjukkan jumlah sel busa yang lebih rendah dibandingkan dengan yang mengkonsumsi daging babi saja, walaupun tingkat signifikansinya bervariasi berdasarkan dosis bumbu yang diberikan maupun lama waktu mengkonsumsinya. (lihat hal 137 tabel 5.19). Bahkan pada dosis optimum maupun minimum keadaannya mirip bahkan dapat menjadi lebih rendah dari hewan yang memperoleh makanan aslinya walapun keadaan mereka tidak bermakna secara statistik. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah daging babi bersifat aterogenik dan apakah bumbu dapat menekan efek aterogenik dari daging babi guling tersebut. Hasil yang diperoleh ternyata memberikan hasil yang konsisten dimana daging babi menimbulkna sel busa yang jumlahnya mendekati makanan 171 hiperkolesterol yang dipakai sebagai kontrol positif yang sudah diketahui dampaknya dalam pembuluh darah (Arjuna R.,2008) dan bumbu ternyata mampu dengan secara signifikan menurunkan jumlah sel busa (Foam Cell) yang terbentuk sehingga mendekati jumlah sel busa yang terbentuk pada hewan yang mengkonsumsi makanan aslinya yang rendah kolesterol (PVI). Selain itu dalam penelitian ini juga terlihat ada beberapa hal penting yang perlu mendapatkan perhatian yaitu pertama, dalam menurunkan jumlah sel busa yang terbentuk, dosis bumbu tampaknya ikut berpengaruh terhadap dinamika perjalanannya dari waktu ke waktu. Sehingga dalam penelitian selanjutnya dosis bumbu ini perlu mendapatkan perhatian. Disamping itu, komposisi bumbu yang diberlakukan dalam penelitian ini juga telah ditentukan secara baku berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Indraguna sebelumnya yang melakukan uji aktivitas antioksidan secara invitro terhadap bumbu tanpa mencari kandungan zat aktif dari masing-masing komponen bumbu (Indraguna, 2009). Bila diketahui kandungan zat aktifnya dan yang manakah diantara komponen tersebut secara invivo menurunkan jumlah sel busa yang terbentuk, untuk ke depan bisa dibuat komposisi yang lebih baik dan kalau mungkin menjadi lebih sehat. Yang kedua, efek kompensasi tubuh terhadap tingginya kadar radikal bebas yang menyebabkan pada peningkatan kadar antioksidan endogen yaitu GSH dan diikuti dengan regenerasi sel endotel. Pada penelitian ini ditemukan adanya efek kompensasi pada sel endotel hewan yang mengkonsumsi daging babi saja (PV) sehingga memperoleh gambaran seolah-olah lebih dan atau sama baik dengan yang mendapat perlakuan bumbu dosis maksimum (PII) dan dosis optimum (PIII) (hal 172 142-144). Hal ini menunjang hipotesis yang disampaikan Dimmeler S dan Zeiher M (2004) yang di dalam review artikelnya menyebutkan bahwa sel endotel akan mengalami regenerasi oleh adanya progenitor sel endotel yang bersirkulasi di darah. Sehingga dalam kondisi yang membaik oleh karena adanya efek kompensasi oleh karena teraktivasinya Nrf2 (nuclear factor erythroid 2 related factor 2) yang meningkatkan antioksidan endogen seperti misalnya SOD dan atau GSH, maka sel endotel akan beregenerasi. Hanya saja dengan meningkatnya umur, kemampuan regenerasi ini menurun oleh karena memendeknya telomere (Casteilla L. etal., 2010). Tambahan lagi, kalau dilihat bumbu yang digunakan pada umumnya menggunakan bumbu dasar yang disebut base gede (Eiseman, 1998) yang juga menjadi bahan dasar bumbu untuk masakan tradisional Bali lainnya. Akan sangat baik pula bila penelitian ini dilanjutkan dengan melihat bagaimana efek base gede tersebut terhadap penuaan pembuluh darah maupun penyakit degenerative lainnya yang memiliki kaitan dengan munculnya radikal bebas dan inflamasi. 6.6 Kelemahan Penelitian 6.6.1 Dosis bumbu Pada penelitian ini pemberian bumbu babi guling kepada hewan coba tidak bersamaan dengan daging babi gulingnya tetapi diberikan secara terpisah. Bumbu babi guling diberikan secara paksa (force feeding) dengan mempergunakan dosis yang dihitung berdasarkan berat badannya. Tujuan daripada pemberian secara paksa disini untuk memastikan bahwa hewan coba mengkonsumsi semua bumbu yang diberikan kepadanya. Dosis bumbu babi guling dibedakan atas tiga kategori 173 yaitu dosis maksimum, dosis optimum dan dosis minimum, yang mana kesemua dosis tersebut berada pada kisaran teori antioksidan yang dianggap efektif untuk meredam radikal bebas secara invitro (Indraguna, 2009). Latar belakang dari pemberian dosis disini adalah berasal dari hasil uji pendahuluan sebelumnya. Pada pendahuluan penelitian dimana metodenya hewan coba mengkonsumsi makanan secara ad libitum daging babi yang sudah dicampur dengan bumbunya berdasarkan komposisi yang sudah lazim dipakai, ternyata memberikan hasil yang membingungkan pada uji minggu III dan XII. Dua alasan yang mengkemuka pada waktu tersebut adalah yang pertama hewan coba tidak mengkonsumsi dengan baik makanannya yang terbukti dari peningkatan berat badan yang tidak menggembirakan dan jauh berbeda antara yang memperoleh daging plus bumbu dengan yang memperoleh makanan asli dan hiperkolesterol. yang kedua adalah karena bumbu dicampur dengan daging, walaupun merata, tidak yakin berapa banyak yang telah dikonsumsi. Sehingga yang dikonsumsi bisa kelebihan, dan besar kemungkinan bersifat prooksidan, bisa juga kekurangan sehingga tidak cukup kuat untuk memberikan efek peredaman terhadap radikal bebas yang diproduksi. Tidak ada teori khusus yang mendasari penentuan dosis disini. Dosis dibuat berdasarkan hasil uji ekstrak bumbu secara invitro. Bumbu yang dibuat kemudian diekstraksi dengan menggunakan metode penyaringan dan evaporasi. Ekstrak bumbu diuji aktifitas peredaman radikal bebasnya secara invitro dengan menggunakan metode DPPH. Kemudian diukur berat dan volumenya. Dengan menghitung berat ekstrak dan kelarutannya pada waktu diuji dengan metode 174 DPPH, maka dapat diketahui konsentrasinya per ml ekstrak. Dosis maksimum adalah yang memberikan efek peredaman 100%, optimum adalah yang memberikan efek peredaman 75% dan minimum adalah yang memberikan efek 50%. Dengan menghitung berat ekstrak dan kelarutannya pada waktu diuji dengan metode DPPH, maka dapat diketahui konsentrasinya per ml ekstrak. Konsentrasi ini yang dipakai dasar menghitung berapa ml diperlukan untuk setiap gram berat hewan coba. Dari hasil penelitian ditemukan variasi diantara dosis bumbu pada minggu-minggu pengukuran. Pada umumnya variasi tersebut tidak berbeda secara signifikan, tetapi ada beberapa yang variasinya cukup signifikan dan belum bisa dijelaskan mekanismenya secara lebih detil dan spesifik, disamping memberikan asumsi bahwa bumbu memiliki potensi menjadi prooksidan bila diberikan terlalu tinggi atau sebaliknya menjadi tidak berarti bila diberikan dalam dosis yang rendah. Oleh karena itu masalah dosis disini dapat menjadi kelemahan dalam penelitian ini dan diperlukan penelitian yang lebih lanjut. 6.6.2 Efek kompensasi Pada penelitian ini ditemukan adanya efek kompensasi pada terbentuknya antioksidan total dan GSH pada hewan yang memperoleh makanan hiperkolesterol dan hewan yang memperoleh daging tanpa mendapatkan bumbu. Efek ini tidak terlihat pada minggu ke III maupun minggu ke XII, tetapi terlihat sangat jelas pada minggu ke XX. Efek kompensasi ini dapat dijelaskan melalui teraktivasinya Nrf2 (nuclear factor erythroid 2 related factor 2) di dalam inti yang dapat mengekspresi gen, sehingga terjadi peningkatan gen yang berperan dalam 175 sintesis enzim antioksidan endogen seperti misalnya gen SOD dan atau GSH. Karena konsentrasi penelitian ini lebih diarahkan kepada kemampuan antioksidan yang diperoleh dari makanan, penulis tidak mampu menjelaskan seberapa jauh kemampuan dari aktivasi Nrf2 dalam meningkatkan gen-gen tersebut dengan bertambahnya umur dan seberapa jauh aktivitasnya dalam menghambat proses penuaan itu sendiri. Penelitian ini hanya dapat menjelaskan dari analisis korelasi, dimana diperoleh korelasi yang positif yang bermakna antara meningkatnya kadar GSH dengan meningkatnya rasio GSH:GSSG pada kelompok yang mendapatkan daging saja dan makanan hiperkolesterol. Untuk menjawab bagaimana efek dari aktivasi Nrf2 ini diperlukan penelitian lanjutan dengan metode yang lebih tepat. 6.6.3 Lama mengkonsumsi Penelitian ini harnya berlangsung 20 minggu, dan dimulai ketika tikus Wistar berusia masih sangat muda yaitu antara 5-6 minggu. Secara teori tikus Wistar ini (Rattus Norvegicus Wistar), yang khusus disebut sebagai tikus laboratorium, memiliki kemampuan untuk bisa hidup selama 2,5-3,5 tahun (Wikipedia, 2011). Bila hal ini dianalogikan pada umur manusia, maka 20 minggu itu kira-kira sama dengan usia dewasa muda. Memang sampai dengan 20 minggu ini jelas terbukti bahwa mengkonsumsi daging tanpa bumbu menimbulkan plak (fatty streak) pada dinding pembuluh darah atau dengan kata lain mempercepat kejadian akibat penuaan pembuluh darah dan sudah terbukti juga bahwa bumbu mampu menghambatnya. Melihat dinamika yang ditunjukkan oleh dosis yang berbeda dan lamanya waktu pemberian dan efek kompensasi oleh karena aktivasi Nrf2 yang terkesan melawan teori pemendekan telomere (Chang & Harley, 1995, Minamino 176 etal., 2002, Kurz etal., 2004), timbul pertanyaan baru selain dosis bumbu yang harus dikonsumsi yaitu berapa lama dapat mengkonsumsi dan berapa sering mengkonsumsinya supaya tetap sehat dan proses menua tidak dipercepat. Pertanyaan tersebut juga tidak bisa dijawab secara lebih meyakinkan mengingat bahwa untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan penelitian lanjutan yang memerlukan waktu lebih lama. 6.6.4 Generalisasi Penelitian ini dibatasi pada bumbu babi guling yang dibuat berdasarkan komposisi tertentu dan hanya dibandingkan dengan konsumsi daging babi dengan metode khusus yaitu dengan cara diguling (dipanggang dalam bentuk utuh). Hasil penelitian ini tidak berani menjawab kalau seandainya komposisi bumbu dirubah, atau metode cara olahnya dirubah atau bahkan lebih menantang lagi apakah dapat memberikan hasil yang sama kalau seandainya dipakai dalam mengkonsumsi makanan aterogenik lainnya atau untuk tujuan lainnya seperti misalnya dipakai sebagai obat. Perjalanan panjang penelitian masih perlu dipikirkan dengan metode-metode yang lebih spesifik untuk penyempurnaan temuan ini seperti misalnya apa kandungan zat aktif, bagaimana kalau metode cara olah berbeda, apakah dipakai untuk masakan lainnya dan sebagainya. 6.7 Temuan Baru Sampai dengan sebelum hasil penelitian ini dibacakan, orang masih berpikir bahwa mengkonsumsi babi guling berisiko besar untuk menderita ateroskelrosis. Hal ini disebabkan karena sampai sekarang konotasi mengkonsumsi daging babi 177 identik dengan mengkonsumsi makanan aterogenik, dan orang tidak pernah memikirkan manfaat dari bumbu yang digunakan untuk meredam efek buruk daging babi selain memberikan rasa enak di lidah konsumen yang mengkonsumsinya. Di pihak lain penggemar babi guling sudah semakin meningkat dan hal ini terbukti dari menjamurnya penjual babi guling baik di kota maupun sampai ke tingkat desa. Dua paradigma ini menimbulkan konflik bagi masyarakat umumnya dan pemerhati kesehatan khususnya, antara menyukai dan takut terkena dampak buruknya. Dari hasil penelitian ini, walaupun ditandai dengan berbagai kelemahan yang memerlukan penelitian lanjutan yang bersifat lebih spesifik, penulis secara yakin mengatakan bahwa mengkonsumsi babi guling, sejauh menggunakan bumbu standard yang dibuat oleh penulis dan pada jumlah (dosis) tertentu, adalah aman bagi kesehatan khususnya terhadap risiko menderita akibat penuaan pembuluh darah (aterosklerosis). Disamping itu melalui penelitian ini terbuka peluang untuk meneliti efek bumbu makanan tradisional Bali, mengingat bahan dasar bumbu babi guling ini dapat dikatakan tidak berbeda dengan bumbu makanan tradisional Bali lainnya. maka besar kemungkinan mengkonsumsi makanan tradisional Bali yang menggunakan bumbu yang mirip dengan bumbu babi guling, dilihat dari sudut pandang penuaan pembuluh darah, aman dan baik untuk dikonsumsi.