TESIS PERTANGGUNG JAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN PEMALSUAN SURAT OLEH PARA PIHAK PUTU VERA PURNAMA DIANA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 2 TESIS PERTANGGUNG JAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN PEMALSUAN SURAT OLEH PARA PIHAK PUTU VERA PURNAMA DIANA NIM. 1292461018 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i 3 PERTANGGUNG JAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN PEMALSUAN SURAT OLEH PARA PIHAK Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana PUTU VERA PURNAMA DIANA NIM. 1292461018 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii 4 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 13 JANUARI 2015 Pembimbing I Pembimbing II Prof.Dr.I Ketut Mertha, SH.,M.Hum. NIP. 19461231 197602 1 001 Dr. I Gede Artha, SH.,MH. NIP. 19580127 198503 1 002 Mengetahui: Ketua Program Magister Kenotariatan Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum. NIP. 19640402 198911 2 001 Prof.Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19590215 198510 2 001 iii 5 Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 11 Desember 2014 Panitia penguji Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 3969/UN14.4/HK/2014 Tanggal 15 Oktober 2014 Ketua : Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH., M.Hum. Anggota : 1. Dr. I Gede Artha, SH., MH. 2. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS. 3. Dr. I Gusti Putu Anom Kerti, SH., M.Kn. 4. Dr. I Dewa Made Suartha, SH., MH. iv 6 SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : PUTU VERA PURNAMA DIANA NIM : 1292461018 Program Studi : Magister Kenotariatan Judul Tesis : Pertanggung Jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta Berdasarkan Pemalsuan Surat Oleh Para Pihak Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, 10 Nopember 2014 Yang membuat pernyataan (Putu Vera Purnama Diana) v 7 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah “PERTANGGUNG JAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN PEMALSUAN SURAT OLEH PARA PIHAK.” Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari para pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing pertama penulis yaitu Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH.,M.Hum dan Bapak Dr. I Gede Artha, SH.,MH sebagai pembimbing kedua penulis yang telah dengan sabar memberikan dukungan, bimbingan dan juga saran kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD., KEMD. Rektor Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S.(K), Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa pada Program Pascasarjana Universitas Udayana dan kepada Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., vi 8 M.Hum, Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Terima kasih juga penulis tujukan kepada Bapak/Ibu Dosen Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu kepada penulis, kepada Bapak/Ibu staf administrasi Program Studi Kenotariatan Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama perkuliahan dan penyusunan tesis ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada para penguji yaitu Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS, Bapak Dr. I Gusti Putu Anom Kerti, SH.,MKn, dan Bapak Dr. I Dewa Made Suartha, SH.,MH. yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis demi penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada keluarga tercinta, Ayahanda Bapak Drs. I Gede Sumarabawa MM, Ibu Dra. Made Heryani, S.pd, Kakak Nyoman Sudiarta Wijaya, SE, M.Pd, Putu Elik Trisia Trisna Wardani, Made Treviana Sulistia Dewi, SE, Harry Irawan, Nyoman Dian Sukma Siswandari, SH, Putu Gede Adi Krisna, SH, Ketut Astarini Paramitha, ST, Edi Winarta, ST, untuk doa, dukungan, semangat dan nasehat yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Kepada pacar tercinta I Made Agus Mahendra Iswara, SH.,MH yang selalu dengan sabar memberikan dukungan, motivasi, perhatian dan nasihat dalam penulisan tesis ini. Kepada sahabat-sahabat tercinta Made Chandra Wrasmitha Dewi, Dwimayeni Savitri, vii 9 SH.,MKn, Omink Adi Ariyani, Leny Apriani, Kadek Wika Wijani, Ayu Prita Mellyana Dewi, SH, Putu Wulandari Savitri, SH, Arindi Ayudia Dharmayanthi, SH, I. Gst Ayu Made Semilir Susila, SH., MKn, Yudhi Kharisma, SH, Gde Rahadi Wiguna, SH.,MKn terima kasih untuk semangat dan dukungannya. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Notaris/PPAT Ketut Neli Asih, SH beserta staf pegawai atas ilmu yang diberikan dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih juga kepada teman-teman seperjuangan Angkatan IV Mandiri Magister Kenotariatan Universitas Udayana atas dukungan dan kebersamaannya selama ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmatNya kepada semua pihak yang mendukung penyelesaian tesis ini. Sebagai akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan dalam bidang Kenotariatan, serta berguna bagi masyarakat. Denpasar, 10 November 2014 Penulis viii 10 ABSTRAK PERTANGGUNG JAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN PEMALSUAN SURAT OLEH PARA PIHAK Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 (UUJN) maupun dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Jabatan Notaris (UU Perubahan Atas UUJN) belum mengatur keberadaan sanksi hukum pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan Atas UUJN dalam kaitannya dengan aspek pidana dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan surat atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya menganalisis dan menjawab permasalahan mengenai tanggung jawab notaris dalam hal terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta notaris menurut Undang-Undang Jabatan Notaris, dan apakah notaris dapat dimintai pertanggungjawaban pidana bila muncul kerugian terhadap salah satu pihak sebagai akibat adanya dokumen palsu dari salah satu pihak. Penelitian ini dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif yang berangkat dari kekosongan norma. Sumber bahan hukum penelitian ini diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan hukum yang telah terkumpulkan selanjutnya disistematisasi, dianalisis dan diberikan argurnentasi untuk mendapatkan kesimpulan atas kedua permasalahan yang dibahas pada tesis ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adapun tanggung jawab Notaris dalam hal terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta Notaris menurut UUJN dan UU Perubahan atas UUJN adalah ketika Notaris dalam menjalankan jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris bertanggung jawab sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya baik tanggung jawab dari segi Hukum Administrasi, Hukum Perdata, yaitu sesuai ketentuan sanksi yang tercantum dalam Pasal 84 dan 85 UU Perubahan atas UUJN dan kode etik, namun di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur adanya sanksi pidana. Dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa pelanggaran atas sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris. Notaris tidak dapat diminta pertanggung jawabannya pidana apabila muncul kerugian terhadap salah satu pihak sebagai akibat adanya dokumen palsu dari salah satu pihak, karena Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta. Keterangan palsu yang disampaikan oleh para pihak adalah menjadi tanggung jawab para pihak. Dengan kata lain, yang dapat dipertanggungjawabkan oleh Notaris ialah apabila penipuan atau tipu muslihat itu bersumber dari Notaris sendiri. Kata-kata Kunci : Pemalsuan Surat, Pelanggaran, Notaris, Pertanggungjawaban Pidana. ix 11 ABSTRACT NOTARY RESPONSIBILITY ON MAKING DEED BASED ON LETTER FORGERIES OF THE PARTIES Law No. 30 of 2004 (UUJN) as well as in Law No. 2 of 2014 about Amendment of the Notary position law (UUJN Amendment) have not set the presence of legal sanctions on delinquency of article 15 of the UUJN Amendment in relation to the criminal aspect which is when the notary is not applying the article provisions will lead to the acts of falsifying letters or certificates as referred in article 263, 264, and 266 of the Criminal Code (KUHP) that will give disadvantage to the concerned parties. Therefore, this study attempts to analyze and answer issues concerning the responsibility of a notary in the case of letter forgeries committed by the parties on making deed according to the Notary law. And could notary asked to held for accountability when there disadvantages of either party as a result of false documents from other party This research qualified as a normative legal research that starts from the nonexistent norm. The research source was obtained from primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. Legal materials that have been gathered up later been systematized, analyzed and given argumentation to obtain conclusions on the issues discussed in this thesis. The research results showed that the responsibility of Notary in case of letter forgeries committed by the parties to making notary deed according to UUJN and UUJN Amendment is when the notary running their duty proved to have violated, notary have to responsible in accordance with the action in terms of accountability of the Administrative Law, Civil Law, which is in accordance with the sanction provision set forth in Article 84 and 85 of UUJN Amendment and code of ethics, but in UUJN and UUJN Amendment did not yet provide criminal sanctions. In practice it is found the fact that this violation is classified as a crime act committed by a Notary. Notaries can not be asked to held the resposibilities when there is disadvantage of either party as a result of false documents from other party, because Notary only record what was presented by the parties to be poured into the deed. False information that submitted by the parties is the responsibility of the parties. In other words, which can be accounted for by a notary is fraud or trickery when it comes from notary own. Keywords: Letter forgeries, Violation, Notary, Criminal Responsibility. x 12 RINGKASAN Tesis ini menganalisis mengenai Petanggung jawaban Notaris dalam pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak. Bab I, menguraikan latar belakang masalah mengenai Realitanya dalam masyarakat banyak ditemukan adanya para pihak yang memberikan data dan informasi tidak sesuai dengan kenyataannya kepada notaris dalam pembuatan suatu akta. Tugas seorang notaris adalah menuangkan data dan informasi yang diberikan oleh para pihak tanpa menginvestigasi lebih lanjut kebenaran data tersebut. Sebagaimana kita ketahui bersama, notaris tidak memiliki kewenangan melakukan investigasi atau mencari kebenaran materiil dari data dan informasi yang diberikan oleh para pihak (penghadap). Timbul persoalan dalam hal bentuk pertanggungjawaban notaris terhadap proses pembuatan akta otentik yang data dan informasinya dipalsukan oleh para pihak. Notaris apabila melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan surat atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan. Tetapi, di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur mengenai tanggung jawab pidana seorang notaris dari akta yang telah dibuatnya berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan oleh para pihak. Sehingga timbul kekosongan norma hukum dalam UU Perubahan atas UUJN yang berkaitan dengan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan oleh para pihak. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka pada sub ini juga diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian. Bab II, menguraikan tentang tinjauan umum. Tinjauan umum dijabarkan menjadi 2 (dua) sub bab antara lain tinjauan umum terhadap jabatan Notaris, tinjauan umum mengenai akta Notaris. Pertama, pada tinjauan umum terhadap jabatan Notaris, dibahas mengenai pengertian Notaris, Notaris sebagai pejabat umum, tugas dan kewenangan Notaris, kewajiban, larangan dan kode etik Notaris, peran Notaris dalam membuat akta. Kedua, pada tinjauan umum mengenai akta Notaris tentang akta Notaris sebagai akta otentik, kekuatan pembuktian akta Notaris, pertanggung jawaban Notaris dalam pembuatan akta otentik. Bab III, merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah yang pertama, dibagi menjadi 1 (satu) sub bab yaitu bentuk tanggung jawab seorang Notaris menurut Undang-Undang Jabatan Notaris yaitu tanggung jawab dari segi Hukum Administrasi, tanggung jawab dari segi Hukum Perdata dan tanggung jawab dari segi Hukum Pidana, di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur adanya sanksi pidana. Dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa pelanggaran atas sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris. Aspek tersebut di atas sangat berkaitan erat dengan perbuatan Notaris melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan xi 13 pemalsuan atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan. Bab IV, merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah kedua yang dibagi menjadi 3 (tiga) sub bab yaitu pertama membahas mengenai unsur-unsur perbuatan pidana terhadap pemalsuan akta, kemudian sub bab kedua membahas mengenai pertanggung jawaban pidana oleh Notaris apabila muncul kerugian dari salah satu pihak akibat adanya dokumen palsu, sub bab ketiga membahas mengenai akibat hukum terhadap adanya dokumen palsu dalam pembuatan akta otentik. Notaris dapat dikenakan sanksi pidana sepanjang batasanbatasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UU Perubahan atas UUJN dan kode etik jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP. Apabila tindakan pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris memenuhi rumusan suatu tindak pidana, tetapi jika memang berdasarkan UU Perubahan atas UUJN merupakan suatu pelanggaran. Maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai sebuah akta harus didasarkan pada UU Perubahan atas UUJN dan kode etik jabatan Notaris. Hilangnya keotentikkan akta akan menjadi akta dibawah tangan sesuai dengan ketentuan Pasal 41 UU Perubahan atas UUJN, yang memiliki akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum. Bab V merupakan bab penutup yaitu menguraikan tentang simpulan dan saran dari penulis. Penulis menyimpulkan bahwa tanggung jawab Notaris dalam hal terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta Notaris menurut UUJN dan UU Perubahan atas UUJN adalah ketika Notaris dalam menjalankan jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris bertanggung jawab sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya baik tanggung jawab dari segi Hukum Administrasi, Hukum Perdata, yaitu sesuai ketentuan sanksi yang tercantum dalam Pasal 84 dan 85 UU Perubahan atas UUJN dan kode etik, namun di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur adanya sanksi pidana. Dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa pelanggaran atas sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris. Aspek tersebut di atas sangat berkaitan erat dengan perbuatan Notaris melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan. Notaris tidak dapat diminta pertanggungjawabannya pidana apabila muncul kerugian trhadap salah satu pihak sebagai akibat adanya dokumen palsu dari salah satu pihak, karena Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta. Keterangan palsu yang disampaikan oleh para pihak adalah menjadi tanggung jawab para pihak. Dengan kata lain, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris ialah apabila penipuan atau tipu muslihat itu bersumber dari Notaris sendiri. Oleh karena itu demi tegaknya hukum Notaris harus tunduk pada ketentuan pidana sebagaimana di atur dalam KUHP. xii 14 DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN SAMPUL DALAM.......................................................................................... i PRASYARAT GELAR.................................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................ iv PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT............................................................... v UCAPAN TERIMAKASIH............................................................................. vi ABSTRAK ...................................................................................................... ix ABSTRACT....................................................................................................... x RINGKASAN .................................................................................................. xi DAFTAR ISI.................................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 14 1.3 Ruang Lingkup Masalah ........................................................ 15 1.4 Tujuan Penelitian ................................................................... 15 1.4.1 Tujuan Umum ............................................................ 15 1.4.2 Tujuan Khusus............................................................ 16 Manfaat Penelitian ................................................................ 16 1.5.1 Manfaat Teoritis ......................................................... 16 1.5.2 Manfaat Praktis .......................................................... 17 1.5 xiii 15 1.6 Landasan Teoritis ................................................................... 17 1.6.1 Asas Kepastian Hukum .............................................. 19 1.6.2 Konsep Notaris Sebagai Pejabat Umum ................... 20 1.6.3 Teori Kewenangan ..................................................... 25 1.6.4 Teori Pertanggung Jawaban Hukum ......................... 31 1.6.5 Teori Pertanggung Jawaban Dalam Hukum Pidana... 35 Metode Penelitian .................................................................. 40 1.7.1 Jenis Penelitian........................................................... 40 1.7.2 Jenis Pendekatan ....................................................... 41 1.7.3 Sumber Bahan Hukum ............................................... 43 1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ......................... 45 1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum .................................. 46 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 47 2.1 Tinjauan Umum Terhadap Jabatan Notaris............................ 47 2.1.1 Pengertian Notaris ...................................................... 47 2.1.2 Notaris Sebagai Pejabat Umum.................................. 51 2.1.3 Tugas dan Kewenangan Notaris................................. 56 2.1.4 Kewajiban, Larangan Dan Kode Etik Notaris............ 60 2.1.5 Peran Notaris Dalam Membuat Akta ......................... 71 Tinjauan Umum Mengenai Akta Notaris............................... 73 2.2.1 Akta Notaris Sebagai Akta Otentik ............................ 73 2.2.2 Kekuatan Pembuktian Akta Notaris ........................... 74 1.7 BAB II 2.2 2.2.3 Pertanggungjawaban Notaris Pembuatan Akta Otentik 79 xiv 16 BAB III TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN PEMALSUAN SURAT OLEH PARA PIHAK MENURUT UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS ................................................................... 3.1 3.2 3.3 81 Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris dari Segi Hukum Administrasi............................................... 81 Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris dari Segi Hukum Perdata ....................................................... 87 Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris dari Segi Hukum Pidana......................................................... 92 BAB IV TANGGUNG JAWAB PIDANA OLEH NOTARIS APABILA MUNCUL KERUGIAN TERHADAP SALAH SATU PIHAK SEBAGAI AKIBAT ADANYA DOKUMEN PALSU................ 108 4.1 Unsur-unsur Perbuatan Pidana terhadap Pemalsuan Akta Otentik.................................................................................... 108 Pertanggungjawaban Pidana oleh Notaris Apabila Muncul Kerugian Dari Salah Satu Pihak Akibat Adanya Dokumen Palsu ...................................................................................... 123 Akibat Hukum Terhadap Adanya Dokumen Palsu Dalam Pembuatan Akta Otentik ........................................................ 143 PENUTUP ...................................................................................... 154 5.1 Simpulan ................................................................................ 154 5.2 Saran-saran............................................................................. 155 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 157 4.2 4.3 BAB V xv 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan masyarakat yang berkembang memerlukan kepastian hukum dalam sektor pelayanan jasa publik. Salah satu pekerjaan yang menawarkan pelayanan jasa dalam bidang hukum khususnya hukum perdata ialah Notaris. Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah untuk membantu masyarakat umum dalam hal membuat perjanjian-perjanjian yang ada atau timbul dalam masyarakat. Perlunya perjanjian-perjanjian tertulis ini dibuat dihadapan seorang notaris adalah untuk menjamin kepastian hukum serta untuk memenuhi hukum pembuktian yang kuat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Kebutuhan akan pembuktian tertulislah yang mengkehendaki pentingnya lembaga notariat ini.1 Notaris merupakan profesi hukum sehingga profesi notaris merupakan suatu profesi mulia (nobile officium). Notaris disebut sebagai pejabat mulia karena profesi notaris sangat erat hubungannya dengan kemanusiaan. Akta yang dibuat oleh notaris dapat menjadi alas hukum atas status harta benda, hak dan kewajiban seseorang. Kekeliruan atas akta yang dibuat notaris dapat menyebabkan tercabutnya hak seseorang atau terbebaninya seseorang atas suatu kewajiban, oleh karena itu notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus mematuhi berbagai ketentuan yang tersebut dalam Undang-Undang Jabatan 1 R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia, PT Raja Grafindo, Jakarta, hal. 1-4. 1 2 Notaris.2 Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang diundangkan pada tanggal 6 Nopember 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 (UUJN) jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 (UU Perubahan atas UUJN). Dalam Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN yang menegaskan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Notaris adalah kepanjangan tangan negara dimana Notaris menunaikan tugas negara di bidang hukum perdata. Dalam kaitan ini, negara dalam rangka memberikan perlindungan hukum di bidang privat kepada warga negara telah melimpahkan sebagian wewenangnya kepada Notaris untuk membuat akta otentik. Menurut A. Kohar akta adalah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti. Apabila akta dibuat dihadapan notaris maka akta tersebut dikatakan sebagai akta notarial, atau akta otentik, atau akta notaris. Suatu akta dikatakan otentik apabila dibuat dihadapan pejabat yang berwenang.3 Tujuan akta dibuat dihadapan pejabat berwenang adalah agar supaya akta tersebut dapat digunakan 2 Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hal. 46. 3 A. Kohar, 1983, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, hal. 64. 3 sebagai bukti yang kuat jika suatu saat terjadi perselisihan antara para pihak atau ada gugatan dari pihak lain. Berdasarkan uraian diatas, jelas begitu pentingnya fungsi dari akta Notaris tersebut, oleh karena itu untuk menghindari tidak sahnya dari suatu akta, maka lembaga Notaris diatur didalam UUJN. Posisi notaris sangat penting dalam membantu menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat. Notaris dalam ranah pencegahan terjadinya masalah hukum melalui akta otentik yang dibuatnya sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan, apa yang terjadi jika alat bukti yang paling sempurna tersebut kredibilitasnya diragukan.4 Penyelesaian hukum dapat dilakukan oleh seorang Notaris karena Lembaga Notariat merupakan lembaga kemasyarakatan yang timbul dari kebutuhan dalam pergaulan masyarakat berkenaan dengan hubungan hukum keperdataan antara sesama individu yang menghendaki suatu alat bukti diantara mereka. Seorang Notaris yang membuat suatu akta yang bisa dijadikan alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Kedudukan seorang Notaris sebagai fungsionaritas dalam masyarakat dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan dan pembuatan dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum. Masyarakat membutuhkan seorang (figure) yang ketentuanketentuanya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta 4 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2008, Indonesia, PT Gramedia Pustaka, Jakarta, hal. 7. Jati Diri Notaris 4 segalanya (capnya) memberikan jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari yang akan datang.5 Berdasarkan Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) UU Perubahan atas UUJN disebutkan: (1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Notaris berwenang pula : a. mengesahkan tandatangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawahtangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat-surat dibawahtangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;atau g. membuat akta risalah lelang. (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta yang memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Menurut Soebekti, yang dinamakan surat akta adalah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, 5 Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 162. 5 karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani.6 Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, yang dinamakan akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peritiwa yang menjadi dasar dari suatu hak/perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.7 Sehingga pembuatan akta Notaris dapat digunakan sebagai pembuktian dalam sebuah sengketa hukum yang digunakan sebagai alat untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, sehingga dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian.8 Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) bahwa bukti tulisan merupakan salah satu alat bukti tertulis. Demikian pula dalam Pasal 1867 KUH Perdata menetapkan : “Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan.” Pasal 1868 KUH Perdata pada dasarnya menyatakan bahwa :“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.” Yang dimaksud akta tersebut dibuat dalam bentuk menurut ketentuan undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum dan pejabat umum tersebut berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat. Dengan demikian Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh para pihak yang 6 R. Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Cet. XXVIII, Jakarta, hal. 178. 7 Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke 6, Liberty, Yogyakarta, hal. 142. 8 R.Soegondo Notodisoerjo, 1982, Hukum Nataiat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 19. 6 berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. Tujuannya adalah sebagai alat bukti yang kuat jika suatu saat terjadi perselisihan antara para pihak atau ada gugatan secara perdata maupun tuntutan secara pidana dari pihak lain. Jika terjadi suatu gugatan perdata maupun tuntutan pidana dari salah satu pihak maka tidak menutup kemungkinan notaris akan tersangkut dalam persoalan para pihak yang berperkara berkenaan dengan akta yang dibuat oleh Notaris. Dalam praktik banyak ditemukan, jika ada akta notaris dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak ketiga lainnya, maka sering pula notaris ditarik sebagai pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana, yaitu membuat atau memberikan keterangan palsu ke dalam akta notaris.9 Dalam hal ini notaris secara sengaja atau tidak disengaja notaris bersama-sama dengan pihak/penghadap untuk membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau penghadap tertentu saja atau merugikan penghadap yang lain harus dibuktikan di Pengadilan. Akta Notaris yang dibuat sesuai kehendak para pihak yang berkepentingan guna memastikan atau menjamin hak dan kewajiban para pihak, kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum para pihak. Akta notaris pada hakekatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Pejabat umum (Notaris). Notaris berkewajiban untuk memasukkan dalam akta tentang apa yang sungguh-sungguh telah dimengerti sesuai dengan kehendak para pihak dan membacakan kepada para pihak tentang isi dari akta tersebut. 9 Habib Adjie, 2008, Hukum Notariat di Indonesia-Tafsiran Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hal. 24. 7 Pernyataan atau keterangan para pihak tersebut oleh Notaris dituangkan dalam akta Notaris.10 Sedangkan tulisan di bawah tangan atau disebut juga akta dibawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang, tanpa perantara atau tidak dihadapan Pejabat Umum (notaris) berdasarkan Pasal 1874 KUH Perdata. Akta Notaris merupakan alat bukti tulisan atau surat yang bersifat sempurna, karena akta Notaris mempunyai 3 (tiga) kekuatan pembuktian yaitu : 1. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht) yang merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahanya sebagai akta otentik. 2. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht) yang memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul diketahui dan didengar oleh Notaris dan diterangkan oleh para pihak yang menghadap, yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta Notaris. 3. Kekuatan pembuktian Materiil (materiele bewijskracht) yang merupakan kepastian tentang materi suatu akta.11 Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Dari isi Pasal 1868 KUH Perdata tersebut masih belum jelas apa yang dimaksud dengan pejabat umum dan akta otentik. Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN dijelaskan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Pemberian kualifikasi notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UU Perubahan atas UUJN bahwa notaris berwenang membuat akta otentik, sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat 10 11 Ibid, hal. 45. Ibid, hal. 26-27. 8 atau orang lain. Wewenang utama notaris adalah untuk membuat akta otentik. Otentisitas dari akta notaris bersumber dari Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN, di mana notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar), sehingga dengan demikian akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Sedangkan Akta Otentik menurut Pasal 1 angka 7 UU Perubahan atas UUJN menyebutkan bahwa akta Notaris yang selanjutnya disebut akta adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Sehingga dalam perkara perdata, Akta otentik merupakan alat bukti yang bersifat mengikat dan memaksa, artinya hakim harus menganggap segala peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta otentik adalah benar, kecuali ada alat bukti lain yang dapat menghilangkan kekuatan pembuktian akta tersebut. Akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga jika ada orang atau pihak yang menilai atau menyatakan akta tersebut tidak benar, maka orang atau pihak yang menilai atau menyatakan tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai dengan aturan hukum. Berbeda dengan perkara Pidana, akta Notaris sebagai akta otentik merupakan alat bukti yang tidak dapat mengikat penyidik dan hakim dalam pembuktian, atau bersifat bebas.12 Dasar alasan ketidakterikatan atas alat bukti surat tersebut, didasarkan pada beberapa asas, antara lain : 12 M, Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang di Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 283. 9 a. Asas proses perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran Materiil atau kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan mencari kebenaran formal. Walaupun dari segi formil alat bukti surat telah benar dan sempurna, namun kebenaran dan kesempurnaan formal itu dapat disingkirkan demi untuk mewujudkan kebenaran materiil. Dengan asas ini hakim bebas menilai kebenaran yang terkandung pada alat bukti surat. b. Asas Keyakinan Hakim seperti terdapat dalam jiwa ketentuan Pasal 183 KUHAP. Menurut Pasal 183 KUHAP yang menganut ajaran system pembuktian “menurut undang-undang secara negatif” artinya bahwa hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila kesalahan terdakwa telah terbukti sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan atas keterbuktian itu hakim “yakin”, terdakwalah yang bersalah melakukannya. c. Asas batas minimum pembuktian, alat bukti surat resmi (otentik) berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaan yang melekat pada alat bukti surat yang bersangkutan tidak mendukung untuk berdiri sendiri.13 Jika dikaitkan dengan Pasal 183 KUHAP Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Oleh karena itu 13 Ibid, hal. 310-311. 10 meskipun akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak, namun dalam perkara pidana, akta otentik masih dapat digugurkan dengan alat bukti lain yang lebih kuat yaitu keterangan pihak ketiga atau para pihak yang terkait dalam pembuatan akta tersebut. Karena dalam perkara pidana alat bukti yang sah menurut undang-undang disebutkan secara rinci atau limitative sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu : 1. Keterangan saksi, 2. Keterangan ahli, 3. Surat, 4. Petunjuk, dan 5. Keterangan Terdakwa. Kekuatan pembuktian akta Notaris dalam perkara pidana, merupakan alat bukti yang sah menurut undang-undang dan bernilai sempurna. Namun nilai kesempurnaanya tidak dapat berdiri sendiri, tetapi memerlukan dukungan alat bukti lain.14Notaris tidak menjamin bahwa apa yang dinyatakan oleh penghadap tersebut adalah benar atau suatu kebenaran, ini dikarenakan notaris tidak sebagai investigator dari data dan informasi yang telah diberikan oleh para pihak. Bahwa dalam Undang-undang Jabatan Notaris, sebagai pejabat umum Notaris dituntut untuk bertanggung jawab terhadap akta yang telah dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata dibelakang hari mengandung sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan notaris atau kesalahan para pihak tidak mau jujur dalam memberikan keterangannya terhadap notaris, ataukah adanya kesepakatan yang telah dibuat antara notaris dengan salah satu pihak yang menghadap. Jika akta yang diterbitkan notaris mengandung cacat hukum yang terjadi karena kesalahan notaris baik kerena kelalaiannya maupun karena 14 Ibid, hal. 311. 11 kesengajaan notaris itu sendiri maka notaris sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban. Pengaturan kewenangan notaris secara jelas diatur dalam Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN dari kewengan tersebut timbul tanggung jawab notaris sebagai pejabat yang bertugas membuat akta otentik. Notaris dalam menjalankan jabatannya apabila terbukti melakukan pelanggaran, maka sudah seharusnya Notaris bertanggung jawab sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya baik tanggung jawab dari segi Hukum Administrasi, Hukum Perdata, yaitu sesuai ketentuan sanksi yang tercantum dalam Pasal 84 dan 85 UU Perubahan atas UUJN dan kode etik, namun di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur adanya sanksi pidana. Dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa pelanggaran atas sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana. Aspek tersebut di atas sangat berkaitan erat dengan perbuatan Notaris apabila melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan surat atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan. Realitanya dalam masyarakat banyak ditemukan adanya para pihak yang memberikan data dan informasi tidak sesuai dengan kenyataannya kepada notaris dalam pembuatan suatu akta. Tugas seorang notaris adalah menuangkan data dan informasi yang diberikan oleh para pihak tanpa menginvestigasi lebih lanjut kebenaran data tersebut. Sebagaimana kita ketahui bersama, notaris tidak 12 memiliki kewenangan melakukan investigasi atau mencari kebenaran materiil dari data dan informasi yang diberikan oleh para pihak (penghadap). Hal tersebut berdampak pada akta yang dibuatnya yang dikemudian hari menjadi bermasalah. Timbul persoalan dalam hal bentuk pertanggungjawaban notaris terhadap proses pembuatan akta otentik yang data dan informasinya dipalsukan oleh para pihak. UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur mengenai tanggung jawab pidana seorang notaris dari akta yang telah dibuatnya berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan oleh para pihak. Sehingga timbul kekosongan norma hukum dalam UU Perubahan atas UUJN yang berkaitan dengan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan oleh para pihak. Berdasarkan latar belakang tersebut mendorong penulis untuk mengangkat suatu judul yang akan dibahas dalam tesis ini adalah “Pertanggung Jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta Berdasarkan Pemalsuan Surat Oleh Para Pihak”. Setelah menelusuri kepustakaan, kemudian diketahui bahwa tesis tentang “Pertanggung Jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta Berdasarkan Pemalsuan Surat Oleh Para Pihak” sampai saat ini belum ada. Namun, telah ditemukan penelitian serupa meskipun di dalam penelitian tersebut tidak terdapat kesamaan. Penelitian tersebut dijadikan bahan acuan, adapun penelitian yang dimaksud adalah : 1. Steven Winarso, Tesis Universitas Airlangga Surabaya 2009, dengan judul “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Yang dibuat Berdasarkan 13 Keterangan dan Dokumen Palsu”, menggunakan metode yuridis normatif, dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap akta yang dibuat berdasarkan keterangan dan dokumen palsu ? Kesimpulan : 1. Tanggung jawab Notaris dalam hal tindak pidana berupa tanggung jawab berdasarkan hukum dan moral. Tanggung jawab Notaris secara perrdata yakni mengganti biaya, kerugian, dan bunga serta tanggung jawab pidana sesuai dengan ketentuan dalam KUHP. Dengan adanya pembuatan akta yang berdasarkan keterangan dan dokumen palsu dalam hal ini setiap akta Notaris yang dibuat tetap sah sampai dibktikan oleh pihak yang dirugikan bahwa akta tersebut dibuat berdasarkan surat dan keterangan palsu itu dengan adanya putusan hakim yang bersifat tetap. 2. Tesis mahasiswa Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang dengan judul “Tanggung Jawab Notaris Dalam Hal Terjadi Pelanggaran Kode Etik” yang disusun oleh Evie Murniaty, Tahun 2010. Mengenai permasalahan yang dibahas dalam tsis bersangkutan ada 2 (dua) hal yakni : 1. Bagaimanakah tanggung jawab Notaris dalam hal terjadi pelanggaran kode etik ? 2. Bagaimana akibat hukum jika terjadi pelanggaran kode etik oleh Notaris ? 14 3. Khoirun Nisa, SH, Tesis Universitas Brawijaya Malang 2013, dengan judul “Tanggungjawab Notaris sebagai pejabat umum dalam perkara pidana mengenai akta yang diterbitkan”, menggunakan metode penelitian hukum normatif, dengan rumusan masalah : 1. Bagaimana tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum dalam mempertanggung jawabkan isi akta yang menimbulkan perkara pidana? 2. Bagaimana akibat hukum terhadap akta notaris yang aktanya menimbulkan perkara pidana? Penelusuran orisinalitas penelitian yang telah dilakukan, tidak ditemukan adanya kesamaan dalam hal isi maupun subtansi karya tulis yang telah dimuat sebelumnya. Oleh karena itu, tingkat orisinalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. 1.2 Rumusan Masalah Latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah tanggung jawab notaris dalam hal terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta notaris menurut Undang-Undang Jabatan Notaris? 2. Apakah notaris dapat dimintai pertanggungjawaban pidana bila muncul kerugian terhadap salah satu pihak sebagai akibat adanya dokumen palsu dari salah satu pihak? 15 1.3 Ruang Lingkup Masalah Menurut Bambang Sunggono yang dimaksud dengan ruang lingkup permasalahan adalah bingkai penelitian yang menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan yang membatasi areal penelitian.15 Sehubungan dengan masalah yang dikemukakan diatas, maka ruang lingkup masalah dari tesis ini akan dibatasi pada permasalahan mengenai tanggung jawab notaris dalam hal terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta notaris menurut Undang-Undang Jabatan Notaris dan dapatkah notaris dimintai pertanggungjawaban pidana bila muncul kerugian terhadap salah satu pihak sebagai akibat adanya dokumen palsu dari salah satu pihak. 1.4 Tujuan Penelitian Agar penulisan karya ilmiah ini memiliki maksud yang jelas, maka harus memiliki suatu tujuan guna mencapai target yang dikehendaki. Adapun tujuan penulisan ini dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut: 1.4.1 Tujuan Umum Adapaun tujuan penulisan ini adalah untuk mengembangkan kemampuan diri dalam menyampaikan dan menuliskan pikiran dalam suatu karya ilmiah serta lebih memahami mengenai aturan-aturan hukum yang berlaku terutama yang terkait dengan pengaturan jabatan notaris, melaksanakan dan mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang akademis terkait bidang 15 Bambang Sunggono, 2005, Metode Penelitian Hukum, cetakan ke 7, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 111. 16 penelitian yang dilakukan mahasiswa mengenai suatu permasalahan hukum sebagaimana yang dibahas dalam penelitian ini terkait mengenai pertanggungjawaban notaris dalam pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak, dan mengembangkan ilmu hukum, khususnya bidang hukum kenotariatan serta sebagai syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan strata 2 (dua) di Magister Kenotariatan Universitas Udayana. 1.4.2 Tujuan Khusus : Sementara itu, sesuai permasalahan yang dibahas, adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Untuk dapat mengetahui dan mengkaji lebih dalam mengenai tanggung jawab notaris dalam hal terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta notaris. 2. Untuk mengetahui dapat tidaknya Notaris dimintai pertanggungjawaban perdata bila muncul kerugian terhadap salah satu pihak sebagai akibat adanya dokumen palsu dari salah satu pihak. 1.5 Manfaat Penelitian Setiap penulisan yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat memberikan manfaat. Manfaat tersebut baik secara teoritis maupun praktis diperuntukkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan. 1.5.1 Manfaat Teoritis Hasil Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum Pidana dan ilmu Kenotariatan, memberikan sumbangan yang berarti dalam bentuk kajian kritis, 17 asas-asas, teori-teori serta kajian teoritis yang lebih menitikberatkan kepada pertanggungjawaban oleh pejabat publik yang dalam hal ini seorang Notaris dalam pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat. Disamping itu, hasil penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat bagi pengembangan hukum pidana terkait dengan jabatan Notaris seperti mencantumkan suatu keterangan palsu di dalam suatu akta otentik (Pasal 263, dan 264, 266 KUHP), turut serta melakuakan tindak pidana (Pasal 55 KUHP). Hal ini secara keilmuan diharapkan dapat membantu pengembangan teori-teori yang terkait. 1.5.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat berharga bagi Notaris sebagai pejabat umum, pihak-pihak yang berperkara, instansi terkait baik dari aparat penegak hukum yaitu polisi maupun Majelis Pengawas Daerah dan Ikatan Notaris Indonesia untuk bertindak lebih profesional di bidangnya masing-masing. Serta dapat memberikan sumbangan pemikiran juga bagi peneliti sendiri dan dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat luas pada umumnya mengenai pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak. Sehingga, dapat memberikan jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi dalam hal terjadinya pemalsuan surat oleh para pihak dalam pembuatan akta notaris. 1.6 Landasan Teoritis Berkenaan dengan kerangka teoritik ini dikemukakan teori-teori yang diperkuat dengan kekuatan-kekuatan hukum positif sebagai acuan dan landasan 18 pemikiran yang digunakan sebagai landasan dalam membahas kedua permasalahan penelitian tesis ini. Menurut Snelbecker dikutip dalam Lexy J. Meleong mendefenisikan teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.16 Fungsi teori adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.17 Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto, bahwa “kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.” 18 Teori inilah yang dipergunakan sebagai landasan konseptual dalam pola berpikir untuk meneliti lebih jauh mengenai pertanggungjawaban notaris dalam pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak. Penulisan tesis ini penulis mempergunakan 1 (satu) Asas Kepastian Hukum, 2 (dua) teori yaitu toeri kewenangan, dan teori pertanggungjawaban hukum dan 1 (satu) Konsep Notaris sebagai pejabat umum : 16 Lexy J. Meleong, 1993, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 34-35. 17 Ibid, hal. 35. 18 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal. 6. 19 1.6.1 Asas Kepastian Hukum Asas kepastian hukum merupakan salah satu asas terpenting dalam negara hukum. Menurut Radbruch hukum memiliki tujuan yang berorientasi pada hal-hal berikut: 1. kepastian hukum; 2. keadilan; 3. daya guna atau kemanfaatan.19 Asas kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum yang memberi penjelasan kepada individu tentang perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kedua, adanya keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan kekuasaan pemerintah. Asas kepastian hukum ini memberikan landasan tingkah laku individu dan landasan perbuatan yang dapat dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.20 Asas kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena dapat 19 O. Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, hal. 33. 20 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), hal. 158. 20 memberikan pengaturan secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak menimbulkan keragu-raguan atau multi tafsir, dan logis dalam arti hukum tersebut menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma ataupun adanya kekaburan dan kekosongan norma. Asas ini dapat dipergunakan untuk dapat mengatasi persoalan dalam hal bentuk pertanggungjawaban notaris terhadap proses pembuatan akta otentik yang data dan informasinya dipalsukan oleh para pihak. Realitanya banyak permasalahan seperti ini timbul di masyarakat dan mengikutsertakan Notaris tetapi di dalam pengaturannya terutama di UUJN sendiri tidak mengatur mengenai tanggung jawab pidana seorang notaris dari akta yang telah dibuatnya berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan oleh para pihak. Dengan asas kepastian hukum ini diharapkan dapat memberikan suatu bentuk kepastian bagi notaris apabila berhadapan dengan kasus seperti ini. 1.6.2 Konsep Notaris Sebagai Pejabat Umum Istilah pejabat dapat diartikan sebagai pemegang jabatan orang lain untuk sementara, sedangkan pejabat sebagai pegawai pemerintah yang memegang jabatan (unsur pimpinan) atau orang yang memegang suatu jabatan. 21 Suatu jabatan sebagai personifikasi hak dan kewajiban dapat berjalan oleh subyek manusia atau subyek hukum yang dapat menjalankan hak dan kewajiban dengan didukung oleh jabatan ialah pejabat.22 Jabatan dilaksanakan melalui perantara 21 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 392. 22 Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia-Tabir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, PT. Rafika Adisama, Bandung (selanjutnya disebut Habib Adjie I), hal. 12. 21 pejabatnya, jabatan merupakan lingkungan pekerjaan tetap sebagai subyek hukum (persoon), yakni pendukung hak dan kewajiban (suatu personifikasi). Sebagai subyek hukum maka jabatan itu dapat menjamin kesinambungan hak dan kewajiban. Hubungan antara jabatan dengan pejabat, bahwa jabatan bersifat tetap (lingkungan pekerjaan tetap). Jabatan dapat berjalan oleh manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban sehingga disebut sebagai pejabat, pejabat adalah orang yang menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan amanat dari jabatannya. Pejabat dapat berganti-ganti orangnya terhadap suatu jabatan, sedangkan jabatan akan terus ada selama masih dibutuhkan di dalam suatu struktur pemerintahan ataupun struktur organisasi.23 Jabatan dengan pejabat sangat berhubungan erat dan tidak dapat dipisahkan, jabatan bersifat tetap dan baru dapat dijalankan apabila ada pejabat sebagai pendukung hak dan kewajibannya. Oleh karena itu suatu jabatan tidak akan berjalan jika tidak ada pejabat yang menjalankanya, kata pejabat lebih menonjolkan orang yang memangku jabatan. Segala tindakan yang dilakukan olehpejabat sesuai dengan jabatannya merupakan suatu implementasi dari hak dan kewajiban jabatannya. Pejabat Umum berasal dari bahasa Belanda yaitu Openbare Ambtenaren, menurut kamus hukum.24 Salah satu arti dari Openbare Ambtenaren adalah pejabat, dengan demikian Openbare Ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai 23 Ibid, hal. 14. N.E. Algra, H.R.W. Gokkel dkk, 1983, “Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda Indonesia,” Binacipta, Jakarta, hal. 29. 24 22 tugas bertalian dengan kepentingan masyarakat, sehingga Openbare Ambtenaren diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan masyarakat, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris25. Menurut N.G Yudara26, “Pejabat umum adalah organ negara yang dilengkapi dengan kekuasaan umum (met openbaar gezag bekleed), yang berwenang menjalankan sebagian kekuasaan negara khususnya dalam pembuatan dan peresmian alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang hukum perdata sebagaimana ditentukan Pasal 1868 BW”. Pejabat Umum satu-satunya yang ditunjuk oleh Pasal 1868 BW adalah Notaris berdasarkan UUJN dan UU Perubahan atas UUJN. Notaris adalah Pejabat Umum yang berfungsi menjamin otoritas pada tulisan-tulisannya (akta). Notaris diangkat oleh pengurus tertinggi negara dan kepadanya diberikan kepercayaan dan pengakuan dalam memberikan jasa bagi kepentingan masyarakat27. Notaris sebagai Pejabat Umum memiliki tanggung jawab atas perbuatannya terkait dengan pekerjaannya dalam membuat akta. Ruang lingkup pertanggung jawaban Notaris meliputi kebenaran materiil, dapat dibagi menjadi empat poin :28 1. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil dari akta yang dibuatnya. 25 Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 13. Husni Thamrin, 2010, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal. 74. 27 Ibid, hal. 72. 28 Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hal. 34. 26 23 Kontruksi yuridis yang digunakan dalam tanggung jawab perdata terhadap kebenaran materiil terhadap akta yang dibuat oleh Notaris adalah kontruksi perbuatan melawan hukum.29 Kontruksi yuridis ini bersifat sangat luas dan dapat mencakup segala perbuatan yang menyebutkan terjadinya kerugian pada pihak lain. Bila dikaitkan dengan Notaris sebagai Pejabat Umum, bahwa berdasarkan kontruksi yuridis perbuatan melawan hukum dapat terjadi apabila Notaris melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kerugian salah satu atau kedua belah pihak. Notaris dalam hal ini dapat dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan kontruksi perbuatan melawan hukum. Tanggung jawab Notaris terkait dengan kebenaran materiil dari isi akta yang di buat dihadapannya menurut Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa : Mengingat Notaris pada dasarnya hanya mencatat apa yang dikemukakan oleh para penghadap dan tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran materiil isinya, maka tidaklah tepat bila hakim membatalkannya. Notaris dapat berbuat salah atas mengenai isi akta karena informasi yang salah dari para pihak. Kiranya kesalahan demikian tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada Notaris karena isi akta telah dikonfirmasikan kepada para pihak oleh Notaris.30 2. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dari akta yang dibuatnya Berdasarkan pengertian dari tindak pidana, konsekuensi dari perbuatan pidana dapat melahirkan jawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana baru timbul bila subyek hukum melakukan kesalahan yang dapat berupa kesengajaan (dolus) maupun kealpaan (culpa). 29 30 Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hal. 35. Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hal. 37. 24 Berkaitan dengan pertanggungjawaban Notaris sebagai Pejabat Umum maka sesungguhnya Notaris bila melakukan tindak pidana dapat dikenakan tuntutan pidana yang berdasarkan perbuatan pemalsuan surat, namun dalam hubungannya dengan kebenaran materiil atas akta yang dibuat, Notaris dalam menjalankan profesinya melalui kontruksi yuridis bahwa Notaris sejatinya hanya fasilitator dari para pihak dalam partij acte. Sehingga secara materiil Notaris tidak terlibat di dalam akta para pihak tersebut. Kecuali Notaris mengetahui para pihak dalam membuat akta itu beritikad buruk atau dengan akta tersebut dapat timbul perbuatan pidana. 3. Tanggung jawab Notaris berdasar Peraturan Jabatan Notaris terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya Mengenai kebenaran materiil dalam akta yang dibuat, Notaris bertanggung jawab untuk mengikuti aturan di dalam UU Perubahan atas UUJN. Apabila akta yang dibuat tidak memenuhi ketentuan dalam UU Perubahan atas UUJN maka akta yang dibuat akan bersifat sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut akan menjadi batal demi hukum. Kelalaian dan ketidakpahaman Notaris terhadap peraturan di dalam UU Perubahan atas UUJN dapat menyebabkan Notaris dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan sehingga pihak yang menderita kerugian memiliki alasan yuridis untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.31 31 Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hal. 46. 25 4. Tanggung Jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik Notaris Hubungan profesi Notaris dengan masyarakat dan negara telah diatur dalam UUJN berikut aturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan hubungan profesi Notaris dengan organisasi profesi Notaris diatur melalui kode etik Notaris. Keberadaan kode etik merupakan suatu konsekuensi dari sebuah profesi. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Notaris sebagai Pejabat Umum yang mengemban kepercayaan harus memegang teguh tidak hanya kepada peraturan perundang-undangan semata namun juga pada kode etik profesinya, karena tanpa adanya kode etik profesi harkat dan martabat dari profesinya akan hilang. 1.6.3 Teori Kewenangan Kewenangan memiliki arti : hal berwenang, hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. Kewenangan yang di dalamnya terkandung hak dan kewajiban, menurut P. Nicolai adalah sebagai berikut : Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen (handelingen die op rechtsgevolgen onstaan of teniet gaan). Een recht houdt in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepaalde feitelijke handeling te verrichen of na te laten, of de (rechtens gegeven) aanspraak of het verrichten van een handeling door een ander. Een plicht impliceert een verplichting om een bepaalde handeling te verrichten of na te laten. Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakantindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tinakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.32 32 Ridwan H.R, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 102. 26 Wewenang tidak sama dengan kekuasaan, kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban. Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, R.J.H.M. Huisman sebagaimana dikutip dari Ridwan H.R menyatakan pendapat berikut ini : Een bestuurorgaan kan zich geen bevoegdheid toergenen. Slecht de wet kan bevoegdheden verlenen. De wetgever kan en bevoegdheid niet alleen attribueren aan en bestuurorgaan, maar ook aan ambtienaren (bijvoorbeeld belastinginspecteursm ibspecteur voor hes milleu enz) of aan speciale collage (bijvoorbeeld de kiesraad de pachskame), of zelfs aan privaatrechtelijke rechtspersonen. Organ pemerintah tidak dapat menganggap bahwa telah memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh UndangUndang. Pembuat Undang-Undang dapat memberikan wewenang pemerintah tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga terhadap para pegawai (misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan dan sebagainya) atau terhadap badan khusus (seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus untuk perkara sewa tanah), atau bahkan terhadap badan hukum privat.33 Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui 2 (dua) cara yaitu dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang. a) Atribusi Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan hukum tata negara, atribusi ini ditunjukkan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat Undang-Undang. Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli atas dasar konstitusi atau peraturan perundang-undangan. 33 R.J.H.M. Huisman, 1995, Algemen Bestuursrecht, Een Inleiding, Amsterdam : Kobra, tt, hal. 4. 27 b) Pelimpahan wewenang Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dari wewenang pejabat atasan kepada bawahan tersebut untuk membantu dalam melaksanakan tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur komunikasi yang bertanggung jawab, sepanjang tidak ditentukan secara khusus oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bentuk pelimpahan kewenangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu : a) Delegasi Pendelegasian diberikan biasanya antara organ pemerintah satu dengan organ pemerintah lain dan biasanya pihak pemberi wewenang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pihak yang diberikan wewenang. b) Mandat Umumnya mandat diberikan dalam hubungan kerja internal antara atasan dengan bawahan. Kewenangan yang sah jika ditinjau dari mana kewenangan itu diperoleh, maka ada tiga kategori kewenangan, yaitu atributif, mandat, dan delegasi.34 a) Kewenangan Atributif Kewenangan atributif lazimnya digariskan atau berasal dari adanya pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar. Istilah lain untuk kewenangan distributif adalah kewenangan asli atau kewenangan yang tidak dapat dibagi-bagikan kepada siapapun. Dalam kewenangan atributif, pelaksanaannya 34 Lutfi Effendi, 2004, Pokok-pokok Hukum Administrasi, Edisi Pertama Cetakan Kedua, Bayumedia Publising, Malang, hal. 77-79. 28 dilakukan sendiri oleh pejabat atau badan tersebut yang tertera dalam peraturan dasarnya. Adapun mengenai tanggung jawab dan tanggung gugat berada pada pejabat ataupun pada badan sebagaimana tertera dalam peraturan dasarnya. b) Kewenangan Mandat Kewenangan mandat merupakan kewenangan yang bersumber dari proses atau prosedur pelimpahan dari pejabat atau badan yang lebih tinggi kepada pejabat atau badan yang lebih rendah. Kewenangan mandat terdapat dalam hubungan rutin atasan bawahan, kecuali bila dilarang secara tegas. Setiap saat pemberi kewenangan dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan tersebut. c) Kewenangan Delegatif Kewenangan delegatif merupakan kewenangan yang bersumber dari pelimpahan suatu organ pemerintahan kepada organ lain dengan dasar peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan kewenangan mandat, dalam kewenangan delegatif, tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada yang diberi limpahan wewenang tersebut atau beralih pada delegataris. Dengan begitu, pemberi limpahan wewenang tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas contrarius actus. Oleh sebab itu, dalam kewenangan delegatif peraturan dasar berupa peraturan perundangundangan merupakan dasar pijakan yang menyebabkan lahirnya kewenangan delegatif tersebut. Tanpa adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur pelimpahan wewenang tersebut, maka tidak terdapat kewenangan delegasi. 35 35 Ibid, hal. 77-79. 29 Pendapat beberapa sarjana lainnya yang mengemukakan bahwa kewenangan yang diperoleh secara atribusi itu sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh pembentuk wet (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang baru dibentuk untuk itu. Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah wewenang dan kewenangan, Indroharto berpendapat dalam arti yuridis : pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Menurut teori kewenangan dari H.D.van Wijk/Willem Konijnenbelt dapat dirumuskan sebagai berikut : a) Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan; (pemberian izin/wewenang oleh pemerintah kepada pejabat administrasi Negara) b) Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander; (pelimpahan wewenang dari satu badan ke yang lain) c) Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander. (tidak adanya suatu pelimpahan wewenang dari Badan atau pejabat yang satu kepada yang pejabat lain ). 36 Menurut Philipus M. Hadjon, kewenangan membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan atribusi atau dengan delegasi. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Philipus menambahkan 36 bahwa “Berbicara tentang delegasi dalam hal ada H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht, Uitgeverij LEMMA BV, Culemborg, hal. 56. 30 pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada. Apabila kewenangan itu kurang sempurna, berarti bahwa keputusan yang berdasarkan kewenangan itu tidak sah menurut hukum”.37 Pernyataan diatas, dapat dipahami bahwa atribusi dan delegasi merupakan suatu sarana yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu badan berwenang atau tidak dalam melaksanakan kewajiban kepada masyarakat. Philipus M. Hadjon menyatakan dalam hal mandat tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalih tanganan kewenangan. Di sini menyangkut janji-janji kerja intern antara penguasa dan pengawal. Dalam hal-hal tertentu seorang pegawai memperoleh kewenangan untuk atas nama si penguasa. 38 Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh notaris merupakan kewenangan atribusi yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Max Weber menyebutkan bahwa, “In legal authority, Legitimacy is based on a belief in reason, and laws are obeyed because they have been enacted by proper procedures.”39 (Dalam kewenangan hukum, keabsahan suatu perbuatan didasarkan pada keyakinan dalam penalaran dan hukum yang dipatuhi karena telah diberlakukan dengan prosedur yang tepat). Hal tersebut menunjukkan bahwa segala kewenangan notaris adalah sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku, yaitu dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini secara tegas dapat ditemukan dalam Pasal 37 Philipus M. Hadjon, 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan Ketujuh, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 110. 38 Ibid, hal. 131. 39 Max Weber, 2008, Mastering Public Administration, Second Edition, CQ Press,Washington, hal. 32. 31 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perubahan atas UUJN tentang kewenangan notaris. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa notaris berwenang untuk membuat akta otentik secara umum. Beberapa batasan terhadap kewenangan tersebut adalah: 1. Sepanjang tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan dengan undang-undang; 2. Sepanjang menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan; 3. Sepanjang mengenai subjek hukum untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Teori kewenangan ini digunakan untuk membahas dan menganalisis masalah tentang kewenangan notaris dalam memberikan jasanya kepada para pihak. Dengan mengetahui wewenang tersebut dapat memberikan kejelasan mengenai tanggung jawab notaris dalam membuat akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak. 1.6.4 Teori Pertanggung Jawaban Hukum Pertanggung jawaban dapat diistilahkan ke dalam dua bentuk menurut kamus hukum, yakni liability (the state of being liable) dan responsibility (the state or fact being responsible). Liability merupakan istilah hukum yang luas (a broad legal term), yang di dalamnya antara lain mengandung makna bahwa “it has been reffered to as of the most comprehensive significance, including almost every character of hazard or responsibility, absolute, contingen, or likely. It has been defined to mean : all character of debt and obligations”. (Liability 32 menunjukkan kepada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dua kewajiban).40 Disamping itu, liability juga merupakan “condition of being actually or potentially subject to an obligation, condition of being responsible for a possible or actual loss, pinalty, evil, exspense, or burden; condition which crate a duty to perform an act immediately or in the future.41 (Kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial; kondisi bertanggung jawab terhadap halhal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya, atau beban; kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan Undang-Undang dengan segera atau pada masa yang akan datang). Responsibility berarti, “the state of being answerable for an obligation and include judgement, dipertanggungjawabkan atas skill, suatu obility and kewajiban, capability” dan (Hal termasuk dapat putusan, keterampilan, kemampuan dan kecakapan).42 Responsibility juga berarti, “The obligation to answer for an act done, and a repair or otherwise make restitution fpr any injury it may have caused” (Kewajiban bertanggung jawab atas UndangUndang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberikan ganti rugi atas kerusakan apa pun yang telah ditimbulkannya). Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjukkan pada pertanggung jawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang 40 Ridwan H.R. 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 335-337. 41 Ibid, hal. 335. 42 Ibid, hal. 338. 33 dilakukan oleh subyek hukum. Pasal 1365 KUH Perdata yang lazim dikenal sebagai Pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu : a. Adanya perbuatan; b. Adanya unsur kesalahan; c. Adanya kerugian yang diderita; d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian Kesalahan yang dimaksud didalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Teori pertanggungjawaban menjelaskan bahwa sseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum. Ini berarti bahwa di bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang dilakukan itu bertentangan. Hans Kelsen membagi pertanggung jawaban menjadi 4 (empat) macam yaitu : a. Pertanggungjawaban individu yaitu pertanggungjawaban yang harus dilakukan terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri b. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggungjawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbukan kerugian. 34 d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan. 43 Menurut pendapat Hans Kelsen tentang teori tanggung jawab hukum menyatakan bahwa : a concept related to that of legal duty is the concept of legal responsibility (liability). That a person is legally responsible for a certain behavior or that he bears the legal responsibility therefore means that he is liable to a sanction in case contrary behavior. Normally, that is, in case the sanction is directed againts the immediate delinquent, it is his own behavior for which an individual is responsible. In this case the subject of the legal responsibility and the subject of the legal duty coincide.44 Bahwa suatu konsep yang terkait dengan kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab (liability). Seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan berlawanan dengan hukum. Biasanya, dalam kasus, sanksi dikenakan terhadap delinquent (penjahat) karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus bertanggungjawab. Dalam kasus ini subjek tanggung jawab hukum (responsibility) dan subjek kewajiban hukum adalah sama. Teori tanggung jawab dalam hal ini dikaitkan dengan tanggung jawab Notaris dalam hal pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak yang dalam hal ini pemalsuan surat merupakan tindak pidana dimana di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur mengenai tanggung jawab pidana seorang notaris dari akta yang telah dibuatnya berdasarkan data dan 43 Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal. 73-79. 44 Hans Kelsen, 1944, General Theory Of Law And State, New York. hal. 65. 35 informasi yang dipalsukan oleh para pihak. Sehingga timbul kekosongan norma hukum dalam UU Perubahan atas UUJN yang berkaitan dengan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan oleh para pihak. 1.6.5 Teori Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana Menurut Moeljatno “orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu dia dapat dipidana”.45 Selanjutnya Wirjono Prodjodikoro terkait tentang kapan harus ada sanksi pidana, menyatakan bahwa: Norma-norma atau kaidah-kaidah dalam bidang Hukum Tata Negara dan Hukum Tata Usaha Negara harus pertama-tama ditanggapi dengan sanksi Hukum Administrasi, begitu pula norma-norma dalam bidang Hukum Perdata pertama-tama harus ditanggapi dengan sanksi perdata. Hanya apabila sanksi Hukum Administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (terakhir) atau ultimum remidium. Melakukan perbuatan pidana dilihat dari segi persepsi masyarakat, hal itu adalah perbuatan dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal marnpu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan harus menghindari untuk berbuat demikian. Dengan demikian, perbuatan tersebut memang sengaja dilakukan, dan celaannya dapat berupa: kenapa melakukan perbuatan yang dia mengerti bahwa perbuatan itu merugikan masyarakat. Orang juga dapat dicela karena melakukan perbuatan pidana, jika dia, meskipun tak sengaia dilakukan, tapi terjadinya perbuatan tersebut dimungkinkan karena dia alpa atau lalai terhadap kewajiban-kewajiban yang dalam hal tersebut, oleh masyarakat dipandang seharusnya, (sepatutnya) dijalankan olehnya. Disini celaan tidak berupa kenapa melakukan perbuatan padahal mengerti (mengetahui) sifat jeleknya perbuatan seperti dalam hal kesengajaan, tapi berupa kenapa tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang seharusnya (sepatutnya) 45 Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. V, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 155. 36 dilakukan olehnya dalam hal itu, sehingga karenanya masyarakat dirugikan.46 Di sini perbuatan dimungkinkan terjadi karena kealpaan Ajaran Pompey,47 mengemukakan dua gambaran, yaitu suatu gambaran teoritis tentang “peristiwa pidana” dan suatu gambaran menurut hukum positif, yakni suatu “wettelyke definitie“ (definisi menurut undang-undang), tentang “peristiwa pidana” itu. Gambaran teoritis suatu peristiwa pidana adalah suatu pelanggaran kaidah/pelanggaran tata hukum (normover treding), yang diadakan karena kesalahan pelanggar dan yang harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Menurut gambaran teoritis ini, maka anasir-anasir peristiwa pidana adalah: a. Suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan) hukum (onrechtmatig atau wederrechtelyk) b. Suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah Menurut hukum positif, maka peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman. Teori ini berpegang pada asas: tidak dapat dijatuhkan hukuman, apabila tidak ada suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan) hukum dan yang diadakan karena kesalahan pembuatnya. Jadi, makna teori ini dapat dirumuskan: tiada hukuman tanpa kesalahan (geen strafzonder schuld). 46 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT. Eresco Jakarta-Bandung, hal. 14. 47 Ibid, hal. 157. 37 Ajaran Van Hattum,48 menetapkan bahwa: “suatu peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang menyebabkan hal seseorang (pembuat) mendapat hukuman atau dapat dihukum”. Dengan demikian ditegaskan bahwa peristiwa dan pembuat (yang mengadakan peristiwa itu) sama sekali tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, dalam pertimbangan dijatuhkan tidaknya suatu hukuman, maka tidak boleh dilupakan asas bahwa seseorang hanya dapat dihukum karena suatu peristiwa (kelakuan) yang ia sendiri adakan. Jadi seperti halnya dalam turut serta (deelneming) jumlah peristiwa-peristiwa pidana adalah sebesar jumlah peserta. Sering terjadi hal ada tidaknya suatu kelakuan yang melawan hukum, barulah dapat diketahui setelah diketahui keadaan didalamnya pembuat ditempatkan. Oleh sebab itu, peristiwa dan pembuat tidak dapat dipisahkan. Menurut E. Utrecht, apakah seseorang mendapat hukuman bergantung pada dua hal: “(1) harus ada suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum-anasir obyektif - dan (2) seorang pembuat (dader) yang bertanggung jawab atas kelakuan yang bertentangan dengan hukum-anasir subyektif. Perlu disampaikan juga bahwa ketentuan dalam suatu peristiwa adalah suatu kelakuan manusia yang bertentangan dengan hukum-anasir melawan hukum (element van wederrechtelijkheid)-dan oleh sebab itu dapat dijatuhkan hukuman (strafbaarheid van het kit)“.49 Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu tetapi juga sepenuhnya dapat 48 Ibid. E. Utrecht, 1960, Hukum Pidana I, Penerbit Universitas Bandung, hal. 253 - 260. 49 38 diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggung jawaban pidana, pertama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana. Kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Sanksi adalah alat pemaksa selain hukuman, juga untuk mentaati ketetapan yang ditentukan dalam peraturan atau perjanjian.50 Menurut Philipus M. Hadjon,51 sanksi merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap ke tidak patuhan pada norma hukum administrasi, sehingga dengan demikian unsur-unsur sanksi meliputi yaitu: a. Sebagai alat kekuasaan b. Bersifat hukum publik c. Digunakan oleh penguasa d. Sebagai reaksi terhadap ketidak patuhan Sanksi ketentuan merupakan bagian penutup yang penting dalam hukum, dan tiap aturan hukum yang berlaku di Indonesia selalu ada sanksi pada akhir aturan hukum tersebut. Pencantuman sanksi dalam berbagai aturan hukum tersebut seperti merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam tiap aturan hukum. Seakan-akan aturan hukum yang bersangkutan tidak bergigi atau tidak dapat ditegakkan atau tidak akan dipatuhi jika pada bagian akhir tidak mencantumkan sanksi. Dengan demikian sanksi pada hakekatnya merupakan instrument yuridis yang biasanya diberikan apabila kewajiban-kewajiban atau 50 Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Sanksi Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, hal. 89-90. 51 Ibid, hal. 48-49. 39 larangan-larangan yang ada dalam ketentuan hukum telah dilanggar dan dibalik ketentuan perintah dan larangan tersedia sanksi untuk memaksa kepatuhan.52 Hakekat sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu tindakan yang dilakukan telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan untuk mengembalikan yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan hukum. Sanksi yang ditujukan kepada Notaris juga untuk memberikan penyadaran bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya untuk tertib sesuai dengan UUJN, disamping itu juga untuk melindungi masyarakat dari tindakan Notaris yang dapat merugikannya, seperti membuat akta yang tidak melindungi hak-hak yang bersangkutan sebagaimana yang tersebut dalam akta Notaris. Sanksi tersebut juga untuk menjaga martabat lembaga Notaris sebagai lembaga kepercayaan karena jika Notaris melakukan pelanggaran dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Notaris. Pada UUJN sanksi terhadap Notaris secara tegas diatur dalam pasal 84 dan pasal 85. Sanksi-sanksi tersebut dimaksudkan untuk menjaga keutuhan dan keluhuran martabat jabatan Notaris sebagai salah satu pejabat umum yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melayani kepentingan masyarakat, serta untuk memberikan pengamanan terhadap kepentingan publik dari penyalahgunaan jabatan. Dalarn kaitan dengan pelaksanaan jabatan Notaris maka diperlukan tanggung jawab professional berhubungan dengan jasa yang diberikan. 52 Ibid. 40 1.7 Metode Penelitian Metode penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan kepada suatu metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari suatu gejala tertentu dengan jalan menganalisisnya, karena penelitian didalam ilmu-ilmu sosial merupakan suatu proses yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk memperoleh pemecahan masalah dan memberikan kesimpulankesimpulan yang tidak meragukan.53 Penelitian adalah merupakan sarana pokok dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengungkap kebenaran sistematis, metodologis dan konsisten, karena melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan.54 1.7.1 Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengkaji bahan-bahan yang berasal dari berbagai peraturan perundang-undangan dan bahan lain dari berbagai literatur. Dengan kata lain penelitian ini meneliti bahan pustaka atau data sekunder.55 Jenis penelitian normatif digunakan dalam penelitian ini karena penelitian ini berangkat dari adanya kekosongan norma. Kekosongan norma yang dimaksud adalah tidak adanya norma yang mengatur mengenai pertanggungjawaban notaris 53 Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.13. 54 Suparmoko, 1991, Metode Penelitian Praktis, Yogyakarta, hal. 1. 55 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit, hal.13. 41 dalam pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak (dalam aspek tindak pidana) di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN. 1.7.2 Jenis Pendekatan Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa dalam penelitian hukum diperlukan suatu model pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, Penulis akan mendapat informasi dari berbagai aspek mengenai isu (permasalahanpermasalahan) yang sedang dicari jawabannya.56 Macam pendekatan yang dapat dipergunakan dalam menulis adalah : 1. Pendekatan Undang-Undang (statute approach) Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dengan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Dalam pendekatan perundang-undangan (the statute approach) ini dilakukan penelitian sinkrunasi perundang-undangan baik vertical maupun horizontal. Sehingga di dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan Undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang diundangkan pada tanggal 6 Nopember 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 (UUJN) jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan 56 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Edisi Pertama Cetakan ke-7, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 93. 42 Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 (UU Perubahan atas UUJN) untuk mengetahui sejauh mana pertanggungjawaban notaris dalam pembuatan akta berdasarkan Pemalsuan Surat oleh para pihak baik dari aspek hukum perdata maupun pidana. 2. Pendekatan Kasus (case approach) Pendekatan kasus ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasuskasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. 3. Pendekatan Sejarah (historical approach) Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi. Pendekatan historis ini diperlukan kalau memang peneliti menganggap bahwa pengungkapan filosofis dan pola pikir ketika sesuatu yang dipelajari itu dilahirkan memang mempunyai relevansi dengan masa kini. Dalam penelitian ini, pendekatan historis digunakan untuk mengkaji perkembangan lembaga notaris di Indonesia, serta perkembangan pengaturan mengenai notaris di Indonesia. 4. Pendekatan Konsep (conseptual approach) Pendekatan konseptual dalam penelitian ini merujuk pada prinsip-prinsip hukum. Prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum. Meskipun tidak secara eksplisit, 43 konsep hukum juga dapat ditemukan di dalam undang-undang. Hanya saja dalam mengidentifikasi prinsip tersebut, terlebih dahulu harus memahami konsep tersebut melalui pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang ada. Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji konsep mengenai tanggung jawab notaris dalam dalam pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak dengan beberapa asas, teori, dan konsep yaitu asas kepastian hukum, teori kewenangan, teori pertanggungjawaban hukum, dan konsep Notaris sebagai Pejabat Umum. 1.7.3 Sumber Bahan Hukum Sumber bahan penelitian pada umumnya dibedakan atas bahan yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Adapun yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka dinamakan bahan sekunder. Penelitian ini lebih baik menitikberatkan pada penelitian kepustakaan (library research) serta bahan-bahan lain yang dapat menunjang dalam kaitannya dengan pembahasan permasalahan. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah : a. Sumber bahan hukum primer Bahan hukum primer ini diperoleh dari sumber yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan, antara lain : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117). 44 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3). 3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). 5. Kode Etik Notaris. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal lain yang berkaitan dengan isi dari sumber bahan hukum primer serta implementasinya dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang dapat berupa : - Buku-buku literatur; - Jurnal hukum dan Majalah Hukum; - Makalah, hasil-hasil seminar, majalah dan koran - Tesis, artikel ilmiah dan disertasi. - Pendapat praktisi hukum, - Berbagai buku yang relevan dengan kode etik profesi notaris c. Bahan Hukum Tertier Bahan-bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti : artikel dalam format elektronik (internet).57 Untuk menopang data sekunder dalam penelitian ini juga dipergunakan data primer. Menurut Barda Nawawi Arief dalam suatu penelitian hukum normatif 57 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 33. 45 dapat juga dilakukan penelitian data primer.58 Dengan konteks demikian maka konsekuensinya adalah data primer dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam suatu penelitian hukum yang bersaifat normatif. Namun demikian dalam penelitian hukum normatif kajian utama tetap terletak pada data sekunder. Data primer hanya dipergunakan untuk mendukung data sekunder yang diperoleh melalui wawancara dengan pihak-pihak tertentu, yang dipandang memiliki keahlian ataupun pandangan yang dapat mempertajam analisa dari penelitian ini. 1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari penelusuran melalui kegiatan studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan berbagai bahan hukum, baik berupa peraturan perundang-undangan, kode etik profesi, literartur, karya ilmiah, hasil penelitian terdahulu, dokumen, pendapat praktisi hukum, majalah, serta berbagai buku yang relevan yang terkait dengan pertanggungjawaban notaris dalam pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak. Mengenai Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah dengan melakukan kegiatan membaca secara kritis analisis lalu menemukan permasalahan dan isu hukum yang akan diteliti dan mengumpulkan semua informasi yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti, kemudian dipilih informasi yang relevan dan esensial. 58 Barda Nawawi Arief, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Upaya Reorinetasi Pemahaman), Dipaparkan dalam Penataran Metodologi Penelitian Hukum, Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto, hal. 4. 46 1.7.5 Teknik Pengolahan Dan Analisis Bahan Hukum Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul kemudian dianalisa dengan menggunakan beberapa teknik yaitu : 1. Teknik deskripsi Teknik deskripsi memaparkan situasi atau peristiwa. Dalam teknik deskripsi tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi.59 Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Di dalam tesis ini yang dideskripsikan adalah mengenai tanggung jawab notaris dalam hal terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta notaris. 2. Teknik evaluasi Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, pernyataan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. 3. Teknik argumentasi Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian dari analisa harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Hasil analisis selanjutnya diberikan argumentasi untuk mendapatkan kesimpulan atas pokok permasalahan yang dibahas pada penelitian ini. 59 M. Hariwijaya, 2007, Metodologi Dan Teknik Penulisan Skripsi, Tesis Dan Disertasi, Azzagrafika, Yogyakarta, hal. 48. 47 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Terhadap Jabatan Notaris 2.1.1 Pengertian Notaris Istilah Notaris pada dasarnya berasal dari perkataan "notarius" (bahasa Latin), yakni nama yang diberikan pada orang-orang Romawi dimana tugasnya menjalankan pekerjaan menulis pada masa itu. Ada juga pendapat mengatakan bahwa nama "notaries'" itu berasal dari perkataan "nota literaria", berarti tanda (letter merk atau karakter) yang menyatakan sesuatu perkataan.60 Pada abad kelima dan ke-enam sebutan itu (notarius) diberikan kepada penulis (sekretaris) pribadi dari raja atau kaisar serta pegawai-pegawai dari istana yang melaksanakan pekerjaan administrasi. Para pejabat dinamakan notarius itu merupakan pejabat yang menjalankan tugasnya hanya untuk pemerintah dan tidak melayani publik atau umum. Terkait dengan tugas untuk melayani public dinamakan tubelliones yang fungsinya agak mirip dengan Notaris pada saat ini. Hanya saja tidak mempunyai sifat amblitjke, sifat jabatan negeri sehingga surat-surat yang dibuatnya tidak mempunyai sifat otentik atau resmi. Notaris dalam pemerintahan gereja diartikan sebagai suatu college tertutup dan dikepalai oleh Primicerius Notarium yang pada mulanya merupakan pejabat administratif. Lambat laun telah menjadi suatu kebiasaan bahwa sengketa hukum 60 Notodisoerjo, Soegondo, R, 1982, Hukum Notarial di Indonesia Suatu Penjelasan, Rajawali Jakarta, hal. 13. 47 48 oleh Paus diserahkan kepada Dewan Kondisinya yang memutuskan hal tersebut, dan Notaris ikut memberikan pertimbangannya. Negara Anglo Saxon, notary public (Notaris) hanya menjadi legislator saja dari tanda tangan mereka yang membuat perjanjian, sedangkan perjanjiannya sendiri dibuat oleh Lawyer. Notaris saat itu memerlukan pengetahuan tentang hukum yang mendalam karena mereka tidak hanya berkewajiban mengesahkan tandatangan belaka melainkan juga menyusun kata dan memberikan masukannya apabila diperlukan sebelum akta itu dibuat. Terkait dengan hal ini, maka Notaris dapat memberikan sumbangan yang penting untuk perkembangan lembaga notariat dan hukum nasional. Jabatan Notaris bukanlah merupakan suatu profesi melainkan suatu jabatan Notaris termasuk ke dalam jenis pelaksanaan jabatan luhur seperti yang dimaksud oleh C. S. T. Kansil dan Christine S. T, yaitu: Suatu pelaksanaan jabatan yang pada hakekatnya merupakan suatu pelayanan pada manusia atau masyarakat. Orang yang menjalankan jabatan luhur tersebut juga memperoleh nafkah dari pekerjaannya, tetapi hal tersebut bukanlah motivasi utamanya. Adapun yang menjadi motivasi utamanya adalah kesediaan yang bersangkutan untuk melayani sesamanya.61 Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 1868 KUHPerdata menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan Notaris adalah pejabat umum khusus (satu-satunya) berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau boleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya 61 C. S. T. Kansil dan Christine S. T, 1979, Pokok-Pokok Etika Jabatan Hukum, Pradnya Paramita, hal. 5. 49 semua sepanjang pembuatan akta sedemikian oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN disebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang ini. Memperhatikan uraian Pasal Undang-Undang Jabatan Notaris, dapat dijelaskan bahwa Notaris adalah: a. pejabat umum b. berwenang membuat akta c. otentik d. ditentukan oleh undang-undang Pasal 2 UUJN disebutkan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, selanjutnya dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d. sehat jasmani dan rohani; e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas 50 prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Batasan yang diberikan oleh Pasal 1 UU Perubahan atas UUJN mengenai Notaris pada hakekatnya masih dapat ditambahkan "yang diperlengkapi dengan kekuasaan umum". Oleh karena grosse atau salinan dari akta tertentu dari Notaris yang pada bagian atasnya memuat perkataan: "Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan keputusan hakim. Notaris memperoleh kekuasaannya itu langsung dari kekuasaan eksekutif, sehingga Notaris dalam menjalankan tugasnya melakukan sebagian dari kekuasaan eksekutif. Menurut Kohar, "yang diharuskan oleh peraturan umum itu ialah antara lain hibah harus dilakukan dengan akta Notaris, demikian juga perjanjian kawin dan pendirian perseroan terbatas”.62 Sedangkan yang dikehendaki oleh yang berkepentingan bisa berupa tindakan hukum apapun. Apabila diperlukan setiap perbuatan dapat dimintakan penguatannya dengan akta otentik, berupa akta Notaris. Sesudah Notaris membuat akta, selesai, dan itulah merupakan bukti otentik dapat digunakan untuk keperluan yang bersangkutan, dapat diajukan sebagai bukti dalam suatu perkara dipengadilan. Selanjutnya Gandasubrata, menyatakan bahwa "Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh Pemerintah 62 A. Kohar, 1984. Notaris Berkomunikasi, Alumni Bandung, hal. 203. 51 termasuk unsur penegak hukum yang memberikan pelayanan kepada masyarakat”.63 Di dalam tugasnya sehari-hari ia menetapkan hukum dalam aktanya sebagai akta otentik yang merupakan alat bukti yang kuat, sehingga memberikan pembuktian lengkap kepada para pihak yang membuatnya. 2.1.2 Notaris Sebagai Pejabat Umum UUJN mengalami perubahan pada tanggal 15 Januari 2014 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Perubahan tersebut dikarenakan beberapa ketentuan dalam UUJN dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat saat ini. Dengan demikian notaris dalam menjalankan tugasnya harus tunduk pada undangundang Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Notaris merupakan pejabat yang diangkat oleh negara untuk mewakili kekuasaan umum negara dalam melakukan pelayanan hukum kepada masyarakat dalam bidang hukum perdata demi terciptanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Bentuk pelayanan keperdataan yang dilakukan oleh notaris adalah dengan membuat akta otentik. Akta otentik diperlukan oleh masyarakat untuk kepentingan pembuktian sebagai alat bukti yang terkuat dan terpenuh. Halhal yang dinyatakan dalam akta notaris harus diterima, kecuali dapat dibuktikan 63 Gandasubrata, HR. Purwoto, 1998, Renungan Hukum, IKAHI Cabang Mahkamah Agung RI, hal. 484 52 hal yang sebaliknya. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam penjelasan umum UUJN. Notaris di Indonesia memiliki beberapa karakteristik, yaitu:64 1. Sebagai jabatan; UUJN dan perubahannya merupakan unifikasi di bidang pengaturan jabatan notaris. Hal ini berarti undang-undang tersebut merupakan aturan hukum dalam yang mengatur jabatan notaris di Indonesia. Segala sesuatu yang berkaitan dengan notaris di Indonesia harus mengacu pada undang-undang tersebut. 2. Notaris mempunyai kewenangan tertentu; Setiap jabatan mendapat wewenang yang diatur/dilandasi oleh aturan hukum sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya. 3. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah; Pengangkatan dan pemberhentian notaris dilakukan oleh pemerintah, yaitu melalui Menteri. Hal ini diatur dalam Pasal 2 UUJN. Dalam hal ini oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum (Pasal 1 angka 14 UU Perubahan atas UUJN). Walaupun Notaris secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, ini tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya yaitu pemerintah. Dengan demikian notaris dalam menjalankan tugas jabatannya: a. Bersifat mandiri (autonomous); b. Tidak memihak siapapun (impartial); 64 Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 15-16. 53 c. Tidak tergantung kepada siapa pun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain. 4. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya; Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi notaris tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah karena notaris bukan bagian subordinasi dari yang mengangkatnya (pemerintah). Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang kurang atau tidak mampu. 5. Akuntabilitaas atas pekerjaannya kepada masyarakat. Jabatan Notaris berperan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum tertulis berupa akta otentik dalam bidang hukum perdata. Notaris bertanggung jawab untuk melayani masyarakat yang menggugat secara perdata, menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga jika ternyata akta yang dibuatnya tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat. Pada Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN disebutkan bahwa: "Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini". Memperhatikan uraian Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa Notaris adalah: 1. Pejabat umum 2. Berwenang membuat akta 54 3. Otentik 4. Ditentukan oleh undang-undang Ad. 1 Pejabat Umum Notaris adalah pejabat umum, namun tidak dijelaskan mengenai arti pejabat umum itu, dan apakah Notaris merupakan satu-satunya pejabat umum. Menurut Doddy Radjasa Waluyo, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberi wewenang membuat akta otentik menjalankan fungsi seperti halnya seorang pejabat umum antara lain: a. Consul (berdasarkan Consular Wet), b. Bupati Kepala Daerah atauSekretaris Daerah yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman c. Notaris Pengganti d. Juru Sita e. Pegawai Kantor Catalan Sipil.65 Apabila didasarkan pada uraian di atas menunjukkan bahwa Notaris merupakan salah satu pejabat umum, namun jika dikaitkan dengan tugas dan wewenang Notaris sebagaimana Pasal 15 ayat (1) UU Perubahan atas UUJN, bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, maka Notaris merupakan satu-satunya pejabat umum. Hal ini dipertegas pula oleh Pasal 1868 KUHPerdata bahwa Notaris mempunyai wewenang membuat akta otentik, selain juga mempunyai kewenangan untuk mengesahkan suatu akta yang 65 Doddy Radjasa Waluyo, 2004, Hanya Ada Satu Pejabat Umum, Notaris, Media Notariat, Membangun Notaris Profesional, hal. 42-43. 55 dibuat oleh pihak-pihak yang menghadap sebagai bukti adanya suatu hubungan hukum. Ad. 2. Berwenang membuat akta. Notaris berwenang membuat akta dan kewenangan lainnya. Berwenang atau kewenangan berasal dari kata wewenang, dibedakan wewenang dalam hukum administrasi dan hukum publik. Wewenang dari hukum administrasi adalah wewenang pemerintahan, sedangkan wewenang dalam hukum publik, adalah wewenang yang berkaitan dengan kekuasaan. Wewenang dalam suatu konsep hukum publik, terdiri dari sekurang-kurangnya 3 komponen yaitu: a. Pengaruh b. Dasar hukum, dan c. Konformitas hukum Komponen pengaruh ialah penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan pelaku subyek hukum. Komponen dasar hukum maksudnya wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan konformitas hukum yaitu menghubungkan kedua wewenang tersebut sebagai standar wewenang, yaitu berkaitan dengan standar umum dan standar khusus.66 Wewenang yang diberikan kepada Notaris yaitu untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU Perubahan atas UUJN, hal ini berarti bahwa wewenang yang diberikan kepada Notaris termasuk wewenang atribusi yaitu kewenangan yang diberikan berdasarkan undang-undang dalam hal ini UU Perubahan atas UUJN. 66 Philipus M. Hadjon, 1997, Tentang Kewenangan, Majalah Bulanan "YURIDKA", No. 5-6 Tahun XII, September-Desember, hal. 14. 56 Ad. 3. Otentik Akta otentik, yaitu suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya (Pasal 1868 KUHPerdata). Dengan demikian : dikualifikasikan sebagai suatu akta otentik jika akta tersebut tercantum tandatangan, merupakan suatu pernyataan perbuatan hukum dan digunakan sebagai alat bukti. Akta tersebut dibuat oleh pejabat umum, bentuknya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan pejabat yang membuat akta tersebut mempunyai kewenangan yang ditentukan oleh undang-undang. Ad. 4. Ditentukan oleh undang-undang Akta harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang, meskipun bentuk dari akta otentik tidak ditentukan secara tegas dalam undangundang, akta-akta otentik yang dibuat para pejabat pembuat akta menurut hukum publik, seperti vonis pengadilan, berita acara pemeriksaan polisi, dan sebagainya. Ketentuan tersebut di atas menunjukkan Notaris mempunyai kewenangan untuk membuat suatu akta otentik, akta otentik juga dibuat oleh pejabat lain selain Notaris yaitu: pejabat pembuat akta tanah juga mempunyai wewenang untuk membuat suatu akta yaitu yang berhubungan dengan tanah, sedang Notaris mempunyai wewenang membuat suatu akta yang berkaitan dengan hubungan keperdataan. 2.1.3 Tugas dan Kewenangan Notaris Pasal l angka 1 UU Perubahan atas UUJN tidak memberikan uraian yang lengkap mengenai tugas Notaris. Menurut Lumban Tobing, bahwa "selain untuk 57 membuat akta-akta otentik, Notaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensahkan surat-surat atau akta-akta yang dibuat di bawah tangan”.67 Notaris juga memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai undang-undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut Setiawan, "Inti dari tugas Notaris selaku pejabat umum ialah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan hukum antara pihak yang secara manfaat meminta jasa Notaris yang pada dasarnya adalah sama dengan tugas hakim yang memberikan keadilan di antara para pihak yang bersengketa”.37 Terlihat bahwa Notaris tidak memihak tetapi mandiri dan bukan sebagai salah satu pihak. la tidak memihak kepada mereka yang berkepentingan. Itulah sebabnya dalam menjalankan tugas dan jabatannya selaku pejabat umum terdapat ketentuan undang-undang yang demikian ketat bagi orang tertentu, tidak diperbolehkan sebagai saksi atau sebagai pihak berkepentingan pada akta yang dibuat di hadapannya. Tugas pokok dari Notaris ialah membuat akta-akta otentik. Adapun akta otentik itu menurut Pasal 1870 KUHPerdata memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian sempurna. Disinilah letak arti penting dari seorang Notaris, bahwa Notaris karena undang-undang diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar sepanjang tidak ada bukti sebaliknya. 67 Setiawan, 1995, Hak Ingkar dari Notaris dan Hubungannya dengan KUHP (suatu kajian uraian yang disajikan dalam Kongres INI di Jakarta), hal. 2. 58 Notaris mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembuatan aktaakta otentik. Bukan hanya karena ia memang disebut sebagai pejabat umum yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata, tetapi juga karena adanya orientasi atas pengangkatan Notaris sebagai pejabat umum yang dimaksudkan untuk melayani kepentingan umum dan menerima penghasilan karena telah memberikan jasajasanya. Kewenangan seorang Notaris dalam hal pembuatan akta nampak dalam Pasal Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN yaitu membuat akta otentik. Notaris tidak boleh membuat akta untuk ia sendiri, istrinya, keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus tanpa perbedaan tingkatan dalam garis samping dengan tingkat ketiga, bertindak sebagai pihak baik secara pribadi maupun diwakili oleh kuasanya. Sehubungan dengan kewenangan Notaris dalam membuat akta sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 15 ayat (1), maka dalam Pasal 15 ayat (2) UU Perubahan atas UUJN dijelaskan bahwa Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, b. membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, c. membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan, d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya, e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta, f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau g. membuat akta risalah lelang. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) UU Perubahan atas UUJN. 59 Sepanjang mengenai wewenang yang harus dipunyai oleh pejabat umum untuk membuat suatu akta otentik, seorang Notaris hanya boleh melakukan atau menjalankan jabatannya di daerah yang ditentukan baginya dan hanya dalam daerah hukum ia berwenang. Akta yang dibuat oleh seorang Notaris di luar daerah hukumnya (daerah jabatannya) adalah tidak sah. Dengan kata lain, kewenangan Notaris pada dasarnya meliputi 4 hal yaitu: a. Sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya b. Sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan akta itu dibuat c. Sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat d. Sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Terkait dengan wewenang Notaris untuk membuat akta otentik tentang semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan sebagaimana diuraikan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Perubahan atas UUJN, yang perlu mendapat perhatian mengenai perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan penetapan-penetapan yang harus dibuat oleh Notaris ialah: a. Bilamana yang demikian itu dikehendaki oleh mereka atau pihak-pihak yang berkepentingan. b. Apabila oleh perundang-undangan umum hal tersebut harus dinyatakan dalam akta otentik. Tidak semua akta yang mengandung perbuatan-perbuatan, perjanjianperjanjian dan penetapan-penetapan harus dilakukan dengan akta otentik, melainkan orang bebas membuatnya dengan bentuk apapun. Sebagai contoh dalam pencatatan boedel dari orang yang telah meninggal dunia dilakukan oleh 60 ahli warisnya. Hal mana dapat dilakukan dengan akta Notaris sebagai akta otentik dan dapat pula dilakukan dengan akta di bawah tangan. Mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang harus dilakukan dengan akta otentik oleh karena hal itu memang telah digariskan dalam ketentuan perundangundangan yang berlaku. Sebagai contoh dalam hal pemberian kuasa untuk memasang hak tanggungan/hipotik atas tanah. Hal ini telah diatur dalam ketentuan Pasal 1171 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, hipotik hanya dapat diberikan dengan suatu akta otentik kecuali dalam hal-hal yang tegas ditunjuk oleh undangundang. Begitu pula untuk memberikan hipotik harus dibuat dengan suatu akta otentik. 2.1.4. Kewajiban, Larangan, dan Kode Etik Notaris Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus mematuhi segala kewajiban yang dimilikinya. Kewajiban notaris merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh notaris. Jika kewajiban tersebut tidak dilakukan atau dilanggar, maka notaris akan dikenakan sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya. Kewajiban notaris yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU Perubahan atas UUJN adalah sebagai berikut : a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta; d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; 61 f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Pusat Daftar Wasiat pada Kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; l. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; n. Menerima magang calon Notaris. Kewajiban notaris yang tercantum dalam Pasal 16 UU Perubahan atas UUJN jika dilanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Khusus untuk notaris yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i dan k UU Perubahan atas UUJN selain dapat dijatuhi sanksi yang terdapat dalam Pasal 85 UUJN, juga dapat dikenakan sanksi berupa akta yang dibuat di hadapan notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, atau suatu akta menjadi batal demi hukum. Hal tersebut juga dapat merugikan para pihak yang bersangkutan, sehingga pihak yang dirugikan tersebut dapat 62 menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 84 UUJN. Pasal 16 ayat (1) huruf m dan Pasal 16 ayat (1) huruf n UU Perubahan atas UUJN meskipun termasuk ke dalam kewajiban notaris, tapi jika notaris tidak melakukannya tidak dikenakan sanksi apapun. Pasal 16 ayat (1) huruf m UU Perubahan atas UUJN menentukan kewajiban notaris untuk membacakan akta dihadapan para penghadap, namun hal tersebut dapat tidak dilakukan selama penghadap menghendaki agar akta tersebut tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman minuta akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan notaris. Tetapi ketentuan diatas dikecualikan terhadap pembacaan kepala akta, komparisi, penjelasan pokok akta serta penutup akta yang dapat dibacakan secara singkat dan jelas. Jika salah satu kewajiban yang dimaksud pada Pasal 16 ayat (1) huruf m dan Pasal 16 ayat (7) UU Perubahan atas UUJN tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan (hal ini tidak berlaku untuk pembuatan akta wasiat). Dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum tidak jarang Notaris berurusan dengan proses hukum baik ditahap penyelidikan, penyidikan maupun persidangan. Pada proses hukum ini Notaris harus memberikan keterangan dan kesaksian menyangkut isi akta yang dibuatnya. Dilihat sekilas, hal ini bertentangan dengan sumpah jabatan Notaris, bahwa notaris wajib merahasiakan isi akta yang dibuatnya. 63 Pada beberapa Undang-Undang, telah memberikan hak ingkar atau hak untuk dibebaskan menjadi saksi. Sesuai dengan pendapat Van Bemmelen bahwa “er zijn 3 fundamentele rechten op het gebruik van gebroken beweren, namelijk: a) Familiebanden zijn zeer dicht; (Hubungan keluarga yang sangat dekat) b) Gevaren van straffen; (Bahaya dikenakan hukuman pidana) c) Status, beroep en vertrouwelijke posities”.68 (Kedudukan, pekerjaan dan rahasia jabatan). Hak ingkar merupakan konsekuensi dari adanya kewajiban merahasiakan sesuatu yang diketahuinya.69 Sumpah jabatan Notaris dalam Pasal 4 dan kewajiban Notaris dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (e) Undang-Undang Jabatan Notaris mewajibkan Notaris untuk tidak berbicara, sekalipun dimuka pengadilan, artinya seorang Notaris tidak diperbolehkan untuk memberikan kesaksian mengenai apa yang dimuat dalam akta.70 Notaris tidak hanya berhak untuk bicara, akan tetapi mempunyai kewajiban untuk tidak berbicara. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf (f) UU Perubahan atas UUJN yang menyatakan bahwa “merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan.” 68 J.M. van Bemmelen, Strafvordering, Leerboek, v.h. Ned. Strafprocesrecht, hal.167. 69 Muhammad Fajri, Perspektif Notaris Dalam Pemeriksaan Sidang Pengadilan, (http://www.ptpn5.com) diakses pada tanggal 20 Maret 2013, pukul 13.30 WITA 70 Habib Adjie, 2012, Menjalin Pemikiran-Pendapat Tentang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.97. 64 Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l UU Perubahan atas UUJN dapat dikenakan tertulis, sanksi berupa peringatan pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat. Penolakan diperbolehkan untuk dilakukan oleh notaris terkait tugas dan wewenangnya dalam menjabat sebagai notaris. Seorang Notaris dapat menolak untuk membuat dokumen atau akta otentik yang diminta oleh para pihak selama adanya alasan kuat atas terjadinya penolakan tersebut. Penolakan ini boleh dilakukan dengan alasan hukum, yaitu dengan memberikan alasan yang berdasarkan pada aturan hukum yang berlaku secara sah sehingga menjadi argumentasi hukum yang dapat diterima oleh pihak yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf e UU Perubahan atas UUJN menyebutkan bahwa notaris dalam keadaan tertentu dapat menolak untuk memberikan pelayanan dengan alasan-alasan tertentu. Dalam penjelasan pasal tersebut ditegaskan yang dimaksud dengan alasan menolaknya adalah alasan yang mengakibatkan notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan notaris sendiri atau dengan suami/istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang. Alasan-alasan lain yang ditemukan dalam praktik dapat pula membuat notaris menolak memberikan jasanya. Alasan-alasan ini diungkapkan oleh R. Soegondo Notodisoerjo dalam bukunya sebagaimana dikutip oleh Habib Adjie sebagai berikut: 65 a. Apabila notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya, jadi berhalangan karena fisik; b. Apabila notaris tidak ada karena dalam cuti, jadi karena sebab yang sah; c. Apabila notaris karena kesibukan pekerjaannya tidak dapat melayani orang lain; d. Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat sesuatu akta, tidak diserahkan kepada notaris; e. Apabila penghadap atau saksi instrumentair yang diajukan oleh penghadap tidak dikenal oleh notaris atau tidak dapat diperkenalkan kepadanya; f. Apabila yang berkepentingan tidak mau membayar bea meterai yang diwajibkan; g. Apabila karena pemberian jasa tersebut, notaris melanggar sumpahnya atau melakukan perbuatan melanggar hukum; dan h. Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa notaris membuat akta dalam bahasa yang tidak dikuasai olehnya, atau apabila orang-orang yang menghadap berbicara dengan bahasa yang tidak jelas, sehingga notaris tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh mereka.71 Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya, selain memiliki kewajiban seperti yang tercantum dalam Pasal 16 UU Perubahan atas UUJN, juga terikat pada larangan-larangan. Adapun larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh Notaris diatur dalam Pasal 17 UU Perubahan atas UUJN sebagai berikut : a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya; b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dan 7 (tujuh) hari kerja berturutturut tanpa alasan yang sah; c. Merangkap sebagai pegawai negeri; d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. Merangkap jabatan sebagai advokat; f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan Usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta; g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris; h. Menjadi Notaris Pengganti; atau i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. 71 Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 87. 66 Larangan notaris merupakan suatu tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh notaris. Jika larangan ini dilanggar oleh notaris, maka kepada notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU Perubahan atas UUJN dapat dikenakan sanksi yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2) UU Perubahan atas UUJN, yaitu berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat. Dan apabila Notaris melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan surat atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan. Dimana di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN itu sendiri belum ada pengaturan dalam kaitannya tindak pidana yang dalam hal ini pemalsuan surat. Pasal 52 ayat (1) dan 53 UUJN menegaskan dalam keadaan tertentu notaris dilarang membuat akta, larangan ini hanya ada pada subjek hukum para penghadap, jika subjek hukumnya dilarang, maka substansi akta (perbuatannya) apapun tidak diperkenankan untuk dibuat. Maksud pasal ini adalah tidak diperkenankan mereka yang disebut dalam Pasal 52 ayat (1) UUJN untuk membuat akta di hadapan notaris yang mempunyai hubungan hukum tertentu dengan notaris yang bersangkutan. Jika hal tersebut dilakukan, maka akta yang dibuat tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah 67 tangan, dan untuk notaris yang membuatnya dikenakan sanksi perdata dalam Pasal 52 ayat (3) UUJN. Notaris dalam keadaan tertentu tidak berwenang untuk membuat akta notaris. Ketidakwenangan dalam hal ini bukan karena alasan-alasan sebagaimana disebutkan di atas, melainkan karena alasan-alasan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan notaris, seperti: 1. Sebelum notaris mengangkat sumpah (Pasal 4 UUJN); 2. Selama notaris diberhentikan sementara dari jabatannya (Pasal 9 UU Perubahan atas UUJN); 3. Di luar wilayah jabatannya (Pasal 17 huruf a UU Perubahan atas UUJN dan Pasal 18 ayat (2) UUJN); dan 4. Selama notaris cuti (Pasal 25 UUJN).72 Notaris dalam menjalankan tugasnya dituntut untuk selalu mengikuti etika yang sudah disepakati bersama dalam bentuk kode etik. Kode etik merupakan norma atau peraturan yang praktis mengenai suatu profesi, baik tertulis maupun tidak tertulis. Kode etik memuat etika yang berkaitan dengan sikap yang didasarkan pada nilai dan standar perilaku orang yang dinilai baik atau buruk dalam menjalankan profesinya. Hal-hal tersebut kemudian secara mandiri dirumuskan, ditetapkan, dan ditegakkan oleh organisasi profesi.73 Kalangan notaris membutuhkan adanya pedoman objektif yang konkret pada perilaku profesionalnya. Oleh sebab itu diperlukan kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban profesi notaris yang muncul dari 72 73 Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 157. Herlien Budiono, Op.Cit, hal. 164. 68 dalam lingkungan para notaris itu sendiri. Pada dasarnya kode etik notaris bertujuan untuk menjaga martabat profesi yang bersangkutan dan juga untuk melindungi klien (warga masyarakat) dari penyalahgunaan keahlian atau otoritas profesional di lain pihak.74 Standar etik notaris telah dijabarkan dalam Kode Etik Notaris yang wajib dipatuhi oleh segenap notaris. Kode Etik Notaris memuat kewajiban serta larangan bagi notaris yang sifatnya praktis. Terhadap pelanggaran kode etik terdapat sanksi-sanksi organisasi dan tanggung jawab secara moril terhadap citra notaris, baik sekarang maupun keberadaan lembaga notariat pada masa yang akan datang.75 Pasal 1 Kode Etik Notaris menjelaskan bahwa kode etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia (INI) berdasarkan keputusan kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu. Kode Etik Notaris ini berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus. Ikatan Notaris Indonesia (INI) merupakan satu-satunya wadah pemersatu bagi setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan notaris di Indonesia yang diakui oleh pemerintah. INI merupakan perkumpulan bagi para notaris yang legal dan telah berbadan hukum berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 23 Januari 1995 Nomor C274 Herlien Budiono, Op.Cit, hal. 170. Herlien Budiono, Op.Cit, hal. 164. 75 69 1022.HT.01.06 Tahun 1995. Oleh karena itu INI merupakan Organisasi Notaris sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU Perubahan atas UUJN. Berdasarkan spirit kode etik notaris dan dengan memiliki ciri pengembanan profesi notaris, maka kewajiban notaris dapat dibagi menjadi: 76 1. Kewajiban umum a. Notaris wajib senantiasa melakukan tugas jabatannya menurut ukuran yang tertinggi dengan amanah, jujur, seksama, mandiri dan tidak berpihak; b. Notaris dalam menjalankan jabatannya jangan dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi; c. Notaris tidak memuji diri sendiri, dan tidak memberikan imbalan atas pekerjaan yang diterimanya; d. Notaris hanya memberi keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya; e. Notaris berusaha menjadi penyuluh masyarakat dalam bidang jabatannya; dan f. Notaris hendaknya memelihara hubungan seaik-baiknya dengan para pejabat pemerintah terkait ataupun dengan para profesional hukum lainnya. 2. Kewajiban notaris terhadap klien a. Notaris wajib bersikap tulus ikhlas terhadap klien dan mempergunakan segala keilmuan yang dimilikinya. Dalam hal notaris tidak cukup menguasai bidang hukum tertentu dalam suatu pembuatan akta, ia wajib 76 Herlien Budiono, Op.Cit, hal. 166-168. 70 berkonsultasi dengan rekan lain yang mempunyai keahlian dalam masalah yang bersangkutan; dan b. Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang masalah klien. Hal ini terkait dengan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya, bahkan setelah klien meninggal dunia. 3. Kewajiban notaris terhadap rekan notaris a. Notaris wajib memperlakukan rekan notaris sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan; serta b. Notaris tidak boleh merebut klien atau karyawan dari rekan notaris. 4. Kewajiban notaris terhadap dirinya sendiri a. Notaris harus memelihara kesehatannya, baik rohani maupun jasmani; dan b. Notaris hendaknya senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap setia pada cita-cita yang luhur. Selain kode etik, notaris sebagai suatu bentuk profesi mengharuskan dirinya untuk selalu bersikap secara profesional dalam bekerja. Menurut Abdulkadir Muhammad, notaris harus memiliki perilaku profesional (professional behavior). Unsur-unsur perilaku professional yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Keahlian yang didukung oleh pengetahuab dan pengalaman tinggi; 2. Integritas moral artinya menghindari sesuatu yang tidak baik walaupun imbalan jasanya tinggi, pelaksanaan tugas profesi diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, sopan santun, dan agama; 3. Jujur tidak saja pada pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga pada diri sendiri; 4. Tidak semata-mata pertimbangan uang, melainkan juga pengabdian, tidak membedakan antara orang mampu dan tidak mampu; dan 71 5. Berpegang teguh pada kode etik profesi notaris karena di dalamnya ditentukan segala perilaku yang harus dimiliki oleh notaris, termasuk berbahasa Indonesia yang sempurna.77 2.1.5 Peran Notaris Dalam Membuat Akta Telah dijelaskan sebelumnya bahwa wewenang Notaris adalah membuat suatu akta otentik. Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa para Notaris merealisir apa yang dikemukakan para pihak. Isi akta Notaris yaitu akta pihak atau partij-acte yang memuat sepenuhnya apa yang dikehendaki dan disepakati oleh para pihak. Hukum perjanjian bertitik tolak dari asumsi bahwa para pihak yang membuat perjanjian kedudukannya adalah sama dan sederajat. Praktek sehari-hari, kesamaan kedudukan para pihak tidak selamanya dijumpai, ini disebabkan oleh perbedaan tingkat pengetahuannya maupun perbedaan kekuatan ekonominya. Hal tersebut tidak dapat dibenarkan apabila nampak kedudukan para pihak tidak seimbang. Apakah Notaris berhak untuk memberikan saran perubahan mengenai isi perjanjian baku, yang berat sebelah dan bagaimana seharusnya sikap Notaris apabila para pihak terutama pihak yang kedudukannya lebih kuat tetap pada pendiriannya, membuat atau menolak untuk membuat akta yang diminta. Meskipun Notaris dalam membuat atau mengesahkan suatu akta mempunyai kebebasan, namun bukan berarti kebebasan tersebut dibuat sebebas-bebasnya. Untuk itu jika Notaris menghadapi masalah yang jelas-jelas mengetahui hal-hal yang akan terjadi jika disahkan sebagai akta Notaris, maka seharusnya Notaris menolak saja. Mungkin Notaris yang bertindak 77 Suhrawardi K. Lubis, 2008, Etika Profesi Hukum, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 35. 72 seperti itu akan kehilangan client, namun lama kelamaan Notaris tersebut dapat diandalkan. Seorang Notaris yang aktanya dapat dipertanggungjawabkan dan tak pernah meleset, tolak ukurnya adalah "itikad baik". Dalam perkembangannya, hukum melahirkan peraturan-peraturan yang "complicated", yang cenderung melupakan asas utamanya yaitu asas itikad baik. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, itikad baik itu disyaratkan ada pada saat perjanjian itu dilaksanakan, bahkan sebenarnya itikad baik harus ada pada waktu perjanjian dibuat, yaitu pada saat para pihak mengemukakan kehendaknya yang kemudian oleh Notaris dituangkan dalam akta pihak yang dibuat olehnya. Dalam batas-batas terwujudnya itikad baik itulah para Notaris hendaknya bersikap lebih arif dengan cara memberitahukan kepada para pihak perihal konsekwensi-konsekwensi hukum yang akan timbul di kemudian hari sebagai akibat dari perjanjian mereka. Apabila telah diberikan penjelasan mereka tetap pada pendiriannya, maka hendaknya Notaris menolak untuk membuat akta pihak yang dikehendaki dari pada menanggung resiko dipersalahkan, dan akta-akta yang dibuatnya dibatalkan oleh hakim. Dalam hal ini, maka citra dan martabat jabatan Notaris akan jatuh. Penurunan citra Notaris atas dibatalkannya akta yang dibuatnya tersebut tentunya akan membawa dampak pada pihak-pihak penghadap Notaris tersebut, karena akta yang semula dibuat bertujuan sebagai bukti yang sempurna, dengan dibatalkannya tersebut tentunya menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti sah bila di kemudian hari timbul sengketa antara pihak-pihak yang berkaitan dengan perikatan yang disepakatinya tersebut. 73 2.2 Tinjauan Umum Mengenai Akta Notaris 2.2.1 Akta Notaris Sebagai Akta Otentik Menurut R. Soegondo, “akta otentik adalah akta yang dibuat dan diresmikan dalam bentuk menurut hukum, oleh atau dihadapan penjabat umum, yang berwenang untuk berbuat sedemikian itu, di tempat dimana akta itu dibuat”.78 Selanjutnya Irawan Soerodjo mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) unsur essensialia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu: a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; b. Dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum; c. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itudan di tempat dimana akta itu dibuat. Pendapat diatas sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1868 KUH Perdata, suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. R. Soegondo dalam kaitan ini mengemukakan bahwa: Untuk dapat membuat akte otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang advokat, meskipun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum. tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena itu tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Sebaliknya seorang pegawai catatan sipil (Ambtenaar van de Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta kelahiran, akta perkawinan, akta kematian. Demikian itu karena ia oleh undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu.79 78 R. Soegondo, 1991, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, hal. 89. 79 R. Soegondo, Op.Cit, hal. 43. 74 G.H.S Lumban Tobing lebih lanjut terkait dengan keberadaan suatu akta mengemukakan sebagai berikut: Akta yang dibuat oleh Notaris dapat merupakan suatu akta yang memuat relaas atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni Notaris sendiri, di dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris. Akta yang dibuat sedemikian dan memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan dan dialaminya itu dinamakan akta yang dibuat oleh (door) Notaris (sebagai pejabat umum). Akan tetapi akta Notaris dapat juga berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain di hadapan Notaris, artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh pihak lain kepada Notaris dalammenjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan Notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh Notaris dalam suatu akta otentik. Akta sedemikian dinamakan akta yang dibuat di hadapan (ten overtaan) Notaris.80 Dari uraian di atas dan sejalan dengan pendapat Abdulkadir Muhammad maka dapat diketahui, bahwa pada dasarnya terdapat 2 (dua) golongan akta Notaris, yaitu: a. Akta yang dibuat oleh (door) Notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (Ambtelijken Aden); b. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Notaris atau yang dinamakan akta pihak (partij-acte).81 2.2.2 Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Akta otentik merupakan bukti sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapatkan hak dari padanya. Apa yang tersebut di dalamnya perihal pokok masalah dan isi dari akta otentik itu dianggap 80 G. H. S Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 51. Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya, hal. 129. 81 75 tidak dapat disangkal kebenarannya, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa apa yang oleh pejabat umum itu dicatat sebagai hal benar tetapi tidaklah demikian halnya. Daya bukti sempurna dari akta otentik terhadap kedua belah pihak, dimaksudkan jika timbul suatu sengketa dimuka hakim mengenai suatu hal dan salah satu pihak mengajukan akta otentik, maka apa yang disebutkan di dalam akta itu sudah dianggap terbukti dengan sempurna. Jika pihak lawan menyangkal kebenaran isi akta otentik itu, maka ia wajib membuktikan bahwa isi akta itu adalah tidak benar. Dalam suatu proses perkara perdata apabila pihak penggugat mengajukan akta otentik sebagai alat bukti, sedangkan pihak tergugat menyatakan bahwa isi dari akta itu tidak benar, maka beban pembuktian beralih kepada pihak tergugat yaitu pihak tergugat wajib membuktikan ketidakbenaran dari akta tersebut. Kekuatan pembuktian sempurna mengandung arti bahwa isi akta itu dalam pengadilan dianggap benar sampai ada bukti perlawanan yang melumpuhkan akta tersebut. Beban pembuktian perlawanan itu jatuh kepada pihak lawan dari pihak yang menggunakan akta otentik atau akta di bawah tangan tersebut. Pihak lawan misalnya, dapat mengemukakan perjanjian yang dimuat dalam akta itu memang benar, akan tetapi tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sehingga perjanjian itu tidak berlaku. Perlawanan demikian dapat melumpuhkan tuntutan penggugat, apabila dapat dibuktikan. Daya bukti dari akta otentik itu ialah daya bukti yang cukup antara para pihak, ahli waris mereka dan semua orang yang memperoleh hak dari mereka. 76 Akta Notaris sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian, dalam hal ini ada 3 (tiga) nilai pembuktian, yaitu: a. Lahiriah (uitwendigebewijskracht): b. Formal (formalebewijskracht); c. Materiil (materielebewijskracht). Terhadap ketiga daya pembuktian dari akta otentik di atas, akan diuraikan sebagai berikut: a. Lahiriah (uitwendigebewijskrachf): Menurut Efendi, Bachtiar, dkk, daya bukti lahir sesuai dengan asas “actapubiicaseseipsa” berarti suatu akta yang tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya. Daya bukti ini berlaku terhadap siapapun. Kekuatan pembuktian keluar, maksudnya membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan tetapi juga terhadap pihak ketiga, Pada tanggal tersebut dalam akta kedua belah pihak tersebut sudah menghadap dimuka Notaris dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta itu. b. Formal (formalebewijskracht); Menurut Notodisoerjo, "kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta yang tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh para penghadap. Hal yang pasti ialah tentang tanggal dan tempat akta tersebut dibuat serta keaslian tanda tangan".82 Akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (ambtelijk acte) tidak terdapat pernyataan atau keterangan dari para pihak, 82 Notodisoerjo, Soegondo, R, 1982, Hukum Notarial di Indonesia suatu Penjelasan, Rajawali Jakarta, hal. 55. 77 pejabatlah yang menerangkan. Akta para pihak (partij acte), bagi siapapun telah pasti bahwa pihak-pihak dan pejabat menyatakan seperti yang tercantum di atas tanda tangan mereka. Sebagai contoh, jika dalam akta itu tertulis bahwa A menerangkan menjual sebidang tanah kepada B seharga Rp 100.000.000,- dan sebaliknya B menerangkan telah membeli tanah dari A dengan harga yang sedemikian itu. Daya bukti formal ini artinya, telah terbukti dengan sempurnabahwa si A dan si B, benar-benar telah membebankan keterangan tersebut dimuka pejabat yang bersangkutan. Namun yang terbukti terbatas hingga itu saja. Jadi tidak terbukti pula benar tidaknya telah terjadi persetujuan jual beli antara mereka. Notaris atau pejabat yang berwenang tidak wajib untuk menyelidiki kebenaran dari pada keterangan A dan B tersebut. Bukti formal ini berlaku terhadap siapapun. Daya bukti formal dari akta dibawah tangan ini sama dengan daya bukti formal dari akta otentik. c. Materiil (materielebewijskrachf) Daya bukti materiil ini membuktikan bahwa antara para pihak yang bersangkutan telah menerangkan bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi. Daya bukti materiil ini yang dibuktikan bukan saja peristiwa antara pihak-pihak. melainkan dibuktikan kebenaran dari peristiwa tersebut. Sebagai contoh: pada suatu hari si A dan si B menghadap di muka Notaris dan menerangkan bahwa mereka telah mengadakan jual beli mengenai sebuah rumah dengan harga tertentu. Harus dianggap benar tidak saja bahwa mereka telah menerangkan terjadinya jual beli mengenai sebuah rumah dengan harga tertentu, dianggap benar tidak saja 78 bahwa mereka telah menerangkan bahwa mereka itu benar-benar sudah dijual kepada si B. UU Perubahan atas UUJN menyebutkan bahwa akta otentik itu harus dianggap sah hanyalah bahwa apabila para pihak betul-betul sudah menghadap kepada pejabat umum (Notaris) termasuk pada hari dan tanggal dibukukan dalam akta itu dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. Akta merupakan bukti tentang apakah benar bahwa mereka telah menerangkan apa yang ditulis disitu, tetapi tidak menerangkan bukti tentang apakah benar yang mereka terangkan itu. Pendapat yang demikian itu sudah lama ditinggalkan. Sekarang yang tepat ialah bahwa akta otentik itu tidak hanya membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan bahwa apa yang ditulis pada akta tersebut, tetapi juga menerangkan bahwa para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis tadi adalah benar-benar terjadi. Kekuatan bukti suatu surat terletak dalam akta yang asli. Jika akta yang asli itu ada, maka turunan dan ringkasannya hanya dapat dipercayai sesuai dengan yang asli yang selalu dapat diperintahkan untuk dipertunjukkan. Hakim selalu berwenang memerintahkan kepada pihak yang bersangkutan untuk mengajukan akta yang aslinya dimuka sidang. Walaupun demikian dalam suatu proses kerap kali hanya salinan atau ikhtisarnya yang diserahkan kepada Pengadilan. Ini tidak menimbulkan keberatan, asal saja pihak lawan tidak menyangkal, bahwa salinan atau ikhtisar itu tidak sesuai dengan aslinya. Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai akta otentik dan siapapun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan 79 dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasi kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. 2.2.3 Pertanggungjawaban Notaris atas Pembuatan Akta Otentik Jabatan atau profesi Notaris dalam pembuatan akta merupakan jabatan kepercayaan yang harus dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun secara etika profesi. Akta yang dibuat oleh Notaris adalah akta yang bersifat otentik, oleh karena itu Notaris dalam membuat akta harus hati-hati dan selalu berdasar pada peraturan. Pembuatan akta otentik, Notaris harus bertanggung jawab apabila atas akta yang dibuatnya terdapat kesalahan atau pelanggaran yang disengaja oleh Notaris. Sebaliknya apabila unsur kesalahan atau pelanggaran itu terjadi dari para pihak penghadap, maka sepanjang Notaris melaksanakan kewenangannya sesuai peraturan. Notaris bersangkutan tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, karena Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta. Berkaitan ini tidak berarti Notaris steril (bersih) dari hukum. tidak dapat dihukum, atau kebal terhadap hukum. Notaris bisa saja dihukum (pidana atau perdata) jika terbukti di pengadilan bahwa secara sengaja (penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan) Notaris bersama-sama dengan para pihak/penghadap membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan 80 pihak atau penghadap tertentu saja atau merugikan penghadap yang lain. Jika hal ini terbukti, Notaris tersebut wajib di hukum. Pasal 84 UUJN ditentukan ada 2 (dua) jenis sanksi perdata, jika Notaris melakukan tindakan pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu dan juga sanksi yang sama jenisnya tersebar dalam pasal-pasal yang lainnya, yaitu: a. Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan; dan b. Akta Notaris menjadi batal demi hukum. Akibat dari akta Notaris yang seperti itu, maka ini dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. Menurut Pasal 66 UU Perubahan atas UUJN, jika Notaris dipanggil oleh Kepolisian, Kejaksaan, atau hakim, maka instansi bersangkutan yang ingin memanggil wajib meminta persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD). 81 BAB III TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN PEMALSUAN SURAT OLEH PARA PIHAK MENURUT UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS 3.1 Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris Dari Segi Hukum Administrasi Fungsi dan peran Notaris dalam pembangunan nasional dewasa ini semakin komplek, semakin luas dan berkembang sehingga berbagai tantangan dihadapi oleh Notaris dalam melaksanakan jabatannya. Dalam melaksanakan tugas jabatannya seorang Notaris harus berpegang teguh kepada Undang-Undang Jabatan Notaris (UU Perubahan atas UUJN) dan Kode Etik Notaris, karena tanpa itu harkat dan martabat profesionalisme seorang Notaris akan hilang sama sekali. Sejak tahun 1987 oleh Departemen Kehakiman sekarang Departemen Hukum dan HAM diisyaratkan, bahwa seseorang untuk dapat diangkat sebagai Notaris selain harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 3 UU Perubahan atas UUJN harus dapat membuktikan pula bahwa ia telah lulus ujian kode etik yang diselenggarakan oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI) berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Departemen Hukum dan HAM kepada INI. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang diundangkan pada tanggal 6 Nopember 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 (UUJN) jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang diundangkan pada tanggal 15 81 82 Januari 2014 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 (UU Perubahan atas UUJN) mengandung hukum materiil maupun hukum formal, misalnya ketentuan-ketentuan mengenai kedudukan dan fungsi Notaris. Selanjutnya sebagai suatu jabatan kepercayaan yang menjalankan sebagian dan wewenang pemerintah, maka dari seorang Notaris juga dituntut adanya sikap dan watak yang tidak tercela dengan suatu ukuran yang lebih dari pada yang berlaku pada para anggota masyarakat pada umumnya. Mengenai hari ini tentunya diperlukan suatu utama bagi sikap dan watak dari seorang Notaris dan tolok ukur tersebut termuat dari Kode Etik Indonesia. Kode Etik adalah suatu tuntutan, bimbingan atau pedoman moral atau kesusilaan untuk suatu profesi tertentu. Dengan kata lain Kode Etik Notaris adalah tuntutan, bimbingan atau pedoman moral/kesusilaan Notaris baik selaku pribadi maupun pejabat umum yang diangkat pemerintah dalam rangka pemberian pelayanan umum, khususnya dalam bidang pembuatan akta. Kode Etik ini umumnya memberikan petunjuk kepada para anggotanya untuk berpraktek dalam profesi, khususnya menyangkut bidang-bidang sebagai berikut: 1. Hubungan antara klien dan tenaga ahli dalam profesi; 2. Pengukuran dan standar evaluasi yang dipakai dalam profesi; 3. Penelitian dan publikasi/penertiban profesi; 4. Konsultasi dari praktek pribadi; 5. Tingkat kemampuan/kompensasi yang umum; 83 6. Administrasi personalia; 7. Standar-standar untuk pelatihan83. Kode etik yang disusun oleh organisasi profesi (INI) yang ada sekarang merupakan penambahan dari UU Perubahan atas UUJN tersebut semata-mata sebagai penjabaran atau penjelasan tambahan dari ketentuan UU Perubahan atas UUJN. Kode Etik yang disusun menjadi norma-norma atau peraturan-peraturan mengenai etika baik tertulis maupun tidak tertulis. Khusus bagi para Notaris tentang etika telah diatur dalam UU Perubahan atas UUJN, namun untuk mengetahui ketentuan mana yang ada dalam UU Perubahan atas UUJN yang termasuk dalam ruang lingkup kode etik kiranya perlu ada penafsiran tersebut, agar dapat diketahui dengan jelas hukuman-hukuman dalam arti teknis dari KUHP yang merupakan hukuman pidana dan merupakan displinair dari ketentuan Pasal 84 dan Pasal 85 dari UU Perubahan atas UUJN. Jabatan Notaris selain sebagai jabatan yang menggeluti masalah-masalah teknis hukum, juga harus ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan hukum nasional. Oleh karena itu, Notaris harus senantiasa menghayati idealisme perjuangan bangsa secara menyeluruh terutama dalam rangka peningkatan jasa pelayanan kepada masyarakat. Notaris wajib mengikuti perkembangan hukum nasional yang pada akhirnya Notaris mampu melaksanakan profesinya secara profesional. Dalam menjalankan tugasnya, Notaris harus menyadari kewajibannya, bekerja mandiri, jujur, tidak memihak dan penuh rasa tanggung jawab serta 83 hal. 13. Suhrawardi K. Lubis, 2000, Etika Profesi Hakim, Jakarta : Sinar Grafika, 84 memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya. Profesi Notaris termasuk ke dalam jenis profesi yang dinamakan profesi luhur untuk membantu memberikan kepastian terhadap hubungan hukum yang dibangun para pihak dalam melaksanakan kehidupan bermasyarakat, sehingga penghasilan atas jasanya seharusnya bukan dijadikan motivasi utamanya. Dalam kaitan itu, yang menjadi motivasi utamanya adalah kesediaan yang bersangkutan untuk melayani sesamanya.84 Oleh karena itu, jabatan atau profesi Notaris dalam pembuatan akta merupakan jabatan kepercayaan yang harus dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun secara etika profesi. Akta yang dibuat oleh Notaris adalah akta yang bersifat otentik, oleh karena itu Notaris dalam membuat akta harus hati-hati dan selalu berdasar pada peraturan. Dalam pembuatan akta otentik, Notaris harus bertanggung jawab apabila atas akta yang dibuatnya terdapat kesalahan atau pelanggaran yang disengaja oleh Notaris. Sebaliknya apabila unsur kesalahan atau pelanggaran itu terjadi dari para pihak penghadap, maka sepanjang Notaris melaksanakan kewenangannya sesuai peraturan. Notaris bersangkutan tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, karena Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta. Keterangan palsu yang disampaikan oleh para pihak adalah menjadi tanggung jawab para pihak.85 Dengan kata lain, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris ialah apabila penipuan atau tipu muslihat 84 C. S. T Kansil dan Christine S. T. Kansil, 1997, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 5. 85 Andi Mamminanga, 2008, Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Daerah dalam Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris berdasarkan UUJN, Tesis yang ditulis pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hal. 32. 85 itu bersumber dari Notaris sendiri.86 Selama Notaris tidak berpihak dan hati-hati dalam menjalankan jabatannya, maka Notaris akan lebih terlindungi dalam menjalankan kewajibannya. Namun dalam pembuatan Akta Rapat Umum Pemegang Saham, itu sepenuhnya merupakan tanggung jawab Notaris. Apabila Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan kewenangannya membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka Notaris sebagai pejabat umum tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban dari segi hukum atas akta yang dibuatnya tersebut. Namun apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 84 UUJN, akta yang dibuat oleh Notaris tersebut tidak mempunyai kekuatan notariil sebagai akta otentik, melainkan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum. Akta yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan, apabila akta tersebut tidak atau kurang syarat subyektifnya diantaranya pihak-pihak atau para penghadap tidak cakap bertindak dalam hukum, sedangkan akta menjadi batal demi hukum jika akta tersebut dibuat tidak memenuhi syarat obyektif, misalnya tidak ada obyek yang diperjanjikan atau akta tersebut dibuat bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan. Pada kondisi yang demikian ini, Notaris dapat dimintai pertanggungjawaban dari segi hukum. Mengenai pertanggungjawaban Notaris dari segi hukum tidak lepas dari pertanggungjawaban dari segi hukum pidana, perdata maupun Hukum Administrasi. Hal ini sejalan dengan asas yang berlaku 86 Notodisoerjo, 1982, Hukum Notarial di Indonesia (suatu penjelasan), Rajawali Pers, Jakarta, hal. 229. 86 bahwa siapa saja yang dirugikan berhak melakukan tuntutan atau gugatan. Gugatan terhadap Notaris dapat terjadi jika terbitnya akta Notaris tidak sesuai dengan prosedur sehingga menimbulkan kerugian. Pada pihak lain, jika suatu akta sampai dibatalkan, maka Notaris yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan menurut Hukum Administrasi, Hukum Perdata dan/atau Hukum Pidana. Apabila memperhatikan uraian Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN terdapat kalimat semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Kalimat sebagaimana di atas hanya mengecualikan bahwa akta tersebut jika undang-undang menentukan lain. maka Notaris tidak mempunyai kewenangan untuk membuat akta tersebut. Ketentuan ini menunjukkan bahwa selama akta yang dibuat oleh Notaris tersebut dibuat sesuai dengan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta, maka Notaris tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas akta yang dibuatnya. Namun Notaris adalah manusia yang tidak luput dari kesalahan dalam pembuatan akta tersebut, untuk itu jika terjadi baik karena disengaja maupun kelalaiannya Notaris melakukan kesalahan, maka dapat dimintakan tanggung jawab baik dari segi hukum pidana, perdata maupun administratisi. Mengenai sanksi Hukum Administrasi berupa teguran lisan, tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam keadaan bagaimana Notaris diberikan sanksi dengan kualifikasikan sebagaimana 87 tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Sanksi Hukum Administrasi terhadap Notaris karena kesalahannya yang membuat akta otentik menurut Pasal 85 UUJN menyangkut ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 7, Pasal 15 ayat (1,2 dan 3), Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 16 ayat (1) huruf b Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat (1) huruf I, Pasal 16 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, dan/atau Pasal 63, dapat dikenai sanksi berupa: a. Teguran lisan; b. Teguran tertulis; c. Pemberhentian sementara; d. Pemberhentian dengan hormat: atau e. Pemberhentian dengan tidak hormat. 3.2. Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris Dari Segi Hukum Perdata Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa akta yang dibuat oleh Notaris berkaitan dengan masalah keperdataan yaitu mengenai perikatan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih meskipun memungkinkan dibuat secara sepihak (sifatnya hanya menguatkan). Sifat dan asas yang dianut oleh hukum perikatan khususnya perikatan yang lahir karena perjanjian, bahwa undang-undang hanya mungkin dan boleh diubah atau diganti atau dinyatakan tidak berlaku, hanya oleh mereka yang membuatnya, maksudnya kesepakatan kedua belah pihak yang dituangkan dalam 88 suatu akta otentik mengikat kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undangundang. Kesepakatan itu tidak dapat ditarik selain terjadi kesepakatan kedua belah pihak pula yang membuatnya (Pasal 1138 KUH Perdata). Oleh karena itu suatu perjanjian atau persetujuan, yang mempunyai kekuatan seperti/sebagai undangundang itu, hanya dapat dibatalkan oleh atau atas persetujuan pihak-pihak yang membuatnya. Hal yang sangat prinsip, bahwa suatu akta tidak mungkin dibatalkan, kalaupun ada suatu kekhilafan/kekeliruan atau kesalahan hanya mungkin melalui proses/prosedur hukum, dengan cara membuat rectificatie (pembetulan/perbaikan) atau dengan kata lain hanya dapat dilakukan dengan membuat akta lagi guna memperbaiki kesalahan tadi. Akta-akta yang keliru tadi, masih tetap harus berada, tersimpan dalam protokol pembuat akta tadi. Hal ini berarti bahwa jika ditinjau dari segi hukum perdata, apabila pembuat akta yang keliru, maka akta tersebut akan disimpan oleh pembuat akta yang bersangkutan. Pasal 84 UUJN menetapkan bahwa "dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris". Dalam hal ini, Notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik, jika terjadi kesalahan baik disengaja maupun karena kelalaiannya mengakibatkan orang lain (akibat dibuatnya akta) menderita kerugian, yang berarti Notaris telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Ganti rugi atas dasar perbuatan melanggar hukum di dalam hukum perdata diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang menentukan: "Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang 89 yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut. Apabila memperhatikan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata diatas, di dalamnya terkandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Perbuatan yang melanggar hukum 2. Harus ada kesalahan; 3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan; 4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Perbuatan melanggar hukum diartikan sebagai “berbuat atau tidak berbuat melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum orang yang berbuat itu sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan atau sikap berhati-hati sebagaimana sepatutnya dalam lalu lintas masyarakat, terhadap diri atau barangbarang orang lain.87 Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 84 UUJN, bahwa tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam beberapa Pasal, maka jika salah satu pasal tersebut dilanggar berarti terjadi perbuatan melanggar hukum, sehingga unsur harus ada perbuatan melanggar hukum sudah terpenuhi. Perihal kesalahan dalam perbuatan melanggar hukum, dalam hukum perdata tidak membedakan antara kesalahan yang ditimbulkan karena kesengajaan pelaku, melainkan juga karena kesalahan atau kurang hati-hatinya pelaku. Ketentuan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Riduan Syahrani sebagai berikut: “tidak kurang hati-hati”.88 Notaris yang 87 Riduan Syahrani, 1998, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, hal. 264. 88 Ibid, hal. 279. 90 membuat akta ternyata tidak sesuai dengan wewenangnya dapat terjadi karena kesengajaan maupun karena kelalaiannya, yang berarti telah salah sehingga unsur harus ada kesalahan telah terpenuhi. Perihal kerugian dalam perbuatan melanggar hukum, "dapat berupa kerugian materiil dan dapat pula berupa kerugian immaterial".89 Kerugian dalam bentuk materiil, yaitu kerugian yang jumlahnya dapat dihitung, sedangkan kerugian immaterial, jumlahnya tidak dapat dihitung, misalnya nama baiknya tercemar, mengakibatkan kematian. Dengan adanya akta yang dapat dibatalkan atau batal demi hukum, mengakibatkan timbulnya suatu kerugian, sehingga unsur harus ada kerugian telah terpenuhi. Adanya hubungan kausal atau hubungan sebab akibat maksudnya yaitu kerugian yang diderita tersebut ditimbulkan atau disebabkan karena perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Riduan Syahrani yang mengutip teori Von Kries sebagai berikut: "suatu hal baru dapat dinamakan sebab dari suatu akibat, apabila menurut pengalaman masyarakat dapat diduga, bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat itu”.90 Hal ini berarti bahwa jika terdapat suatu sebab tetapi sebab tersebut tidak menimbulkan suatu kerugian, atau timbul suatu kerugian namun bukan disebabkan oleh pelaku, maka tidak dapat dikatakan adanya suatu hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian yang ditimbulkan. Kerugian yang diderita oleh seseorang disebabkan karena kesalahan Notaris dalam membuat 89 90 Ibid, hal. 280. Ibid, hal. 281. 91 akta, sehingga unsur harus ada hubungan kausal antara perbuatan Notaris dengan kerugian yang timbul telah terpenuhi. Gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melanggar hukum apabila pelaku melakukan perbuatan yang memenuhi keseluruhan unsur Pasal 1365 KUH Perdata, mengenai siapa yang diwajibkan untuk membuktikan adanya perbuatan melanggar hukum, menurut Pasal 1865 KUH Perdata menentukan: "setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atas peristiwa tersebut". Hal ini berarti bahwa dalam perbuatan melanggar hukum, yang diwajibkan untuk membuktikan adanya perbuatan melanggar hukum adalah pihak yang haknya dilanggar yang harus membuktikan bahwa haknya telah dilanggar oleh orang lain. Oleh karenanya jika pihak yang merasa haknya dirugikan, namun tidak dapat membuktikan adanya pelanggaran hak karena salah satu unsur tidak terpenuhi, maka gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melanggar hukum tidak akan berhasil. Pasal 1246 KUH Perdata menentukan bahwa "biaya, rugi, dan bunga yang oleh si berpiutang boleh menuntut akan penggantinya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya....". Mengenai biaya, rugi, bunga dijelaskan lebih lanjut oleh Subekti sebagai berikut: biaya maksudnya yaitu yang benar-benar telah dikeluarkan. Kerugian maksudnya kerugian yang benar-benar diderita akibat kelalaian dari debitur. Sedangkan bunga maksudnya yaitu keuntungan yang telah diperhitungkan sebelumnya akan di 92 terima.91 Mengenai gugatan ganti kerugian yang berupa penggantian biaya, rugi dan bunga ini tidak sepenuhnya harus terpenuhi, melainkan cukup dengan kerugian yang benar-benar telah diderita oleh kreditur karena kelalaian debitur yang tidak memenuhi kewajiban yang timbul karena perjanjian.92 3.3 Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris Dari Segi Hukum Pidana Tanggung jawab Notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya tidak diatur dalam UU Perubahan atas UUJN namun tanggung jawab Notaris secara pidana dikenakan apabila Notaris melakukan perbuatan pidana. Notaris bersangkutan tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, karena Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta. Keterangan palsu yang disampaikan oleh para pihak adalah menjadi tanggung jawab para pihak.93 Dengan kata lain, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris ialah apabila penipuan atau tipu muslihat itu bersumber dari Notaris sendiri.94 UU Perubahan atas UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap UU Perubahan atas UUJN sanksi tersebut dapat berupa akta yang dibuat oleh Notaris tidak memiliki kekuatan otentik atau hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Tentang perbuatan Notaris melakukan tindak pidana pemalsuan atau memalsukan akta Notaris, UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur secara khusus tentang ketentuan pidana tersebut oleh 91 Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 47. Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 40. 93 Andi Mamminanga, 2008, Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Daerah dalam Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris berdasarkan UUJN, Tesis yang ditulis pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hal. 32. 94 Notodisoerjo, 1982, Hukum Notarial di Indonesia (suatu penjelasan), Rajawali Pers, Jakarta, hal. 229. 92 93 karena itu berdasarkan pada asas legalitas yang merupakan prinsip-prinsip KUHP bahwa: - Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD - Negara menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan; - Setiap warga negara tanpa kecuali wajib menjunjung hukum dan pemerintahan.95 Demi tegaknya hukum Notaris harus tunduk pada ketentuan pidana sebagaimana di atur dalam KUHP, dan terhadap pelaksanaannya mengingat Notaris melakukan perbuatan dalam kapasitas jabatannya untuk membedakan dengan perbuatan Notaris sebagai subyek hukum orang Pasal 50 KUHP memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris yang menyebutkan bahwa : “barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang, tidak boleh dihukum”.96 Pengertian penerapan Pasal 50 KUHP terhadap Notaris tidaklah semata-mata melindungi Notaris untuk membebaskan adanya perbuatan pidana yang dilakukannya tetapi mengingat Notaris mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam UU Perubahan atas UUJN apakah perbuatan yang telah dilakukannya pada saat membuat akta Notaris sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku.97 95 M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Penyidikan Dan Penuntutan), Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 36. 96 R. Soesilo, 1993, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, hal. 66. 97 Leden Marpaung, Op.Cit, hal. 67. 94 Membuktikan seorang Notaris telah melakukan perbuatan pidana pemalsuan akta atau membuat akta palsu sebagaimana dimaksud Pasal 263, Pasal 264 dan Pasal 266 harus berdasarkan penyelidikan dan proses pembuktian yang aturan hukum dengan mencari unsur-unsur kesalahan dan kesengajaan dari Notaris itu sendiri. Hal itu dimaksudkan agar dapat dipertanggungjawabkan baik secara kelembagaan maupun dalam kapasitas Notaris sebagai subyek hukum. Dalam UU Perubahan atas UUJN di atur bahwa ketika Notaris dalam menjalankan jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris dapat dikenai sanksi atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi dan kode etik, namun tidak mengatur adanya sanksi pidana. Dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa pelanggaran atas sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris. Adapun aspek-aspek tersebut meliputi : a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap; b. Para pihak (siapa-orang) yang menghadap pada Notaris; c. Tanda tangan yang menghadap; d. Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta; e. Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan f. Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi minuta akta dikeluarkan.98 Aspek tersebut di atas sangat berkaitan erat dengan perbuatan Notaris melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan 98 Habib Ajie, Op.Cit, hal. 120-121. 95 menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan. Seorang Notaris terhadap akta yang dibuat dihadapannya, terhadap aspekaspek tersebut di atas akan dapat menimbulkan terjadinya perbuatan pidana pemalsuan atau memalsukan pada akta Notaris apabila dalam kenyataannya dikaitkan dengan Notaris tidak membacakan dan menjelaskan akta dihadapan penghadap dengan disaksikan oleh saksi bilamana unsur obyektifnya (unsur sifat perbuatan melawan hukumnya formil) yang disampaikan dalam pasal-pasal pemalsuan dimaksud, dan unsur subyektif (unsur sifat perbuatan melawan hukum materiil) yaitu kesalahan dan pertanggungjawaban pidanya dapat dibuktikan. Sementara itu, pemeriksaan atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris harus dilakukan pemeriksaan yang holistik-integral dengan melihat aspek lahiriah, formal dan materiil akta Notaris, serta pelaksanaan tugas jabatan Notaris terkait dengan wewenang Notaris. Dengan demikian, disamping berpijak pada aturan hukum yang mengatur tindakan pelanggaran yang dilakukan Notaris juga perlu dipadukan dengan realitas praktik Notaris. Pemeriksaan terhadap Notaris kurang memadai jika dilakukan oleh mereka yang belum mendalami dunia Notaris, artinya mereka yang akan memeriksa Notaris harus dapat membuktikan kesalahan besar yang dilakukan oleh Notaris secara intelektual, dalam hal ini kekuatan logika (hukum) yang diperlukan dalam memeriksa Notaris, bukan logika kekuatan ataupun kekuasaan. 96 Secara umum perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap 2 (dua) norma yaitu : 1. Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggarannya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan; 2. Ketertiban masyarakat yang pelanggarannya tergolong ke dalam kelompok kejahatan terhadap negara/ketertiban umum.99 Pada perbuatan pemalsuan yang tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan apabila seseorang memberikan gambaran tentang sesuatu keadaan atas barang (c.q.surat) seakan-akan asli atau benar, sedangkan sesungguhnya keaslian atau kebenaran tersebut tidak dimiIiknya.100 Berdasarkan pengertian pemalsuan tersebut dalam kaitannya dengan Pasal 263, 264, dan 266 KUHP dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Pasal 263 ayat (1) KUHP, mengandung dua jenis perbuatan yang dilarang yaitu: - membuat surat palsu adalah menyusun surat atau tulisan pada keseluruhannya, dimana surat ini ada karena dibuat secara palsu yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa surat seakan-akan berasal dari orang lain darlpada penulisnya (pelakunya) dan hal ini disebut pemalsuan materiil (materiele valsheid), asal surat itu palsu tetapi surat itu juga mengandung sesuatu yang bukan atau lain daripada apa yang sebenarnya harus dimuat, hingga surat itu memuat isi yang tidak benar yang semula 99 H.A.K.Moch. Anwar, 1989, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 155. 100 Ibid. 97 tidak ada. Dalam perbuatan membuat surat palsu terdapat juga pemalsuan intelektuil (lntelectuele Valsheid), berhubung isinyapun bertentangan dengan kebenaran. Perbuatan membuat surat palsu dapat mengenai tanda tangan maupun mengenai isi daripada tulisan atau surat, dimana perbuatan itu menggambarkan secara palsu bahwa surat itu baik dari keseluruhan maupun dari hanya tanda tangannya atau isinya berasal dari seorang yang namanya tercantum dibawah tulisan itu (Pemalsuan secara materiil). - Memalsukan surat adalah perbuatan yang dilakukan dengan cara melakukan perubahan-perubahan tanpa hak (tanpa ijin yang berhak) dalam suatu surat atau tulisan, perubahan mana dapat mengenai tanda tangannya maupun mengenai isinya, tidak peduli bahwa ini sebelumnya adalah sesuatu yang tidak benar ataupun sesuatu yang benar, perubahan isi yang tidak benar menjadi benar merupakan pemalsuan surat. Perbuatan perubahan itu dapat terdiri atas : - penghapusan kalimat, kata, angka, tanda tangan, - penambahan dengan satu kalimat, kata atau angka - penggantian kalimat, kata, angka, tanggal, dan/atau tanda tangan. Perbuatan perubahan itu menimbulkan perubahan atas tampaknya maupun atas isinya serta tujuannya semula. Dengan demikian perbuatan perubahan itu mengganggu, memperkosa surat atau tulisan asli. 2. Pasal 264 ayat (1) ke 1 KUHP, yaitu : merupakan ketentuan pemberatan dari Pasal 263 ayat (1) KUHP karena perbuatan pemalsuan itu dilakukan terhadap akta otentik, dan hal ini menunjukkan seakan-akan sudah terdapat suatu akta otentik, hingga pemalsuan itu terdiri hanya atas perbuatan memalsukan surat, 98 sedangkan perbuatan peniruannya (membuat surat palsu) tidak termasuk di dalamnya. 3. Pasal 266 ayat (1) KUHP, Orang yang menghadap kepada Pegawai Negeri memberikan keterangan-keterangan untuk dicantumkan di dalam akta yang harus dibuat oleh Pegawai Negari itu keterangan-keterangan mana adalah tidak benar. Pegawai Negeri itu tidak melakukan pemalsuan dalam pengertian Pasal 263 ayat (1) KUHP. Perbuatan itu merupakan pemalsuan secara intelektuil, yaitu membuat surat itu palsu. Dan dalam hal ini tidak terdapat penyertaan (Pasal 55 Ayat (1)). Perbuatan yang dilarang pada pasal ini adalah menyuruh memasukkan keterangan-keterangan palsu di dalam akta otentik. Sedangkan yang dimaksudkan dengan akta otetik palsu adalah isi dari akta ini tidak berdasarkan pada kebenaran, tetapi bertentangan dengan kebenaran. Akta ini harus membuktikan suatu peristiwa, peristiwa mana diterangkan oleh penghadap. Dan peristiwa ini tidak benar, bertentangan dengan kebenaran karenanya keterangan-keterangannya itu adalah palsu.101 Berdasarkan pada pengertian pasal pemalsuan tersebut di atas apabila dikaitkan dengan pelanggaran Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, terhadap perbuatan Notaris tampak pada contoh kasus : 1. Pasal 263 ayat (1 ) KUHP : adanya seorang Notaris membuat akta dan sudah dikeluarkan salinannya. Kemudian terjadi sengketa dan dihadapan penyidik salah satu pihak menyatakan bahwa akta tersebut dibuat oleh asisten Notaris. Selanjutnya oleh asisten Notaris akta tersebut dibawa keliling untuk 101 Ibid, hal. 189-199. 99 ditandatangani oleh para pihak dan ketika asisten Notaris tidak ketemu dengan salah satu pihak, maka akta tersebut ditinggal (dititipkan) dan setelah ditandatangani baru diambil. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh penyidik lebih lanjut temyata minuta dari akta tersebut tidak ada padahal salinan telah dikeluarkan dan telah ditandatangani oleh Notaris bersangkutan.102 2. Pasal 264 ayat (1) KUHP : penghadap datang kepada Notaris untuk membuat akta Notaris. Dan ternyata penghadap tersebut menggunakan identitas seperti Kartu Tanda Penduduk Palsu (KTP palsu). Padahal pada akta partij tersebut Notaris telah mencantumkan kata-kata” Penghadap saya Notaris kenal” ketika perjanjian tersebut dilaksanakan oleh para pihak timbul permasalahan hukum karena domisili penghadap tersebut dalam pemenuhan kewajiban tidak sesuai dengan KTP sehingga yang bersangkutan tidak bisa menemukan si pelaku.103 3. Pasal 266 ayat (1) KUHP : Penghadap datang kepada Notaris untuk dibuatkan akta Notaris, dan ternyata keterangan penghadap yang telah dituangkan ke dalam akta ternyata palsu atau seolah-olah keterangan itu sesuai dengan kebenarannya. Memperhatikan contoh permasalahan tersebut sehubungan dengan dengan adanya pelanggaran Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN tentu harus dilihat dari sisi subyeknya (pelaku) artinya ketika perbuatan Notaris dalam membuat akta otentik tidak melaksanakan ketentuan tersebut tidak otomatis yang bersangkutan 102 Soegeng Santoso, Doddy Radjasa Waluyo, dan Zulkifli Harahap, Op.Cit, hal. 31. 103 Pleter E Latumeten, 2005, Dapatkah Notaris Dipidana, Jika KTP Penghadap Palsu Dan Dalam Akta Tercantum Penghadap Saya Notaris Kenal, Renvoi, Nomor 11.23.II, hal. 26. 100 melakukan perbuatan pidana, dan harus dilihat sampai sejauh mana keterlibatan Notaris tersebut dengan melakukan penelitian secara mendalam sehingga timbul permasalahan hukum akibat akta yang dibuatnya, mengingat perbuatan pidana merupakan ketentuan yang di atur dalam hukum publik (KUHP) dengan mencari unsur-unsur kesalahan dan kesengajaan yang bersangkutan. Hukum Publik (Hukum Pidana) adalah hukum yang mengatur perbuatanperbuatan apa yang dilarang dan yang memberikan pidana kepada siapa yang melanggamya serta mengatur bagaimana cara-cara mengajukan perkara-perkara ke muka pengadilan.104 Dalam teori hukum pidana terdapat suatu pandangan yang dikenal dengan ajaran feit materiel dalam hal penentuan adanya kesalahan dan pertanggungjawaban dilakukan dengan meninjau apakah pembuat memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana.105 Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law system, yang memberlakukan maksim Latin : “actus non est reus, nisi mens sit rea” yang oleh Wilson menafsirkan maksin Latin sebagai : “an act is not criminal in the absence of a guilty mind” artinya suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat kriminal jika tidak terdapat kehendak jahat di dalamnya. Sedangkan Kadish dan Paulsen menafsirkan sebagai : “an unwarrantable act without a vicious will is no crime at all” artinya suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat.106 Pada satu sisi, doktrin ini menyebabkan adanya mens rea 104 C.S.T., Kansil, Op.Cit, hal. 31. Chairul Huda, Op.Cit, hal. 3-4. 106 Chairul Huda, Op.Cit, hal. 5. 105 101 merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana sedangkan pada sisi lain hal ini menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut menurut doktrin unsur-unsur perbuatan pidana (delik) terdiri atas yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur subyektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku, dalam hal ini dikenal dengan asas “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”. Kesalahan yang dimaksudkan disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh adanya kesengajaan yang meliputi : 1. Kesengajaan sebagai maksud yaitu kesengajaan dalam hubungannya dengan "maksud" adalah merupakan suatu kehendak dan kesengajaan “motif” adalah merupakan suatu tujuan. 2. Kesengajaan dengan keinsafan pasti yaitu si pelaku mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi suatu akibat lain. Si pelaku menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan itu, pasti akan timbul akibat lain. 3. Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan adalah seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, akan tetapi si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan di ancam oleh undang-undang.107 107 Leden Marpaung, Op.Cit, hal. 15-16. 102 Unsur obyektif yang dimaksud merupakan unsur yang ada di luar diri pelaku terdiri atas : 1. Perbuatan manusia yang berupa : Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif dan Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan. 2. Akibat perbuatan manusia yaitu perbuatan tersebut membahayakan atau merusak bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum misalnya nyawa, benda, kemerdekaan. 3. Keadaan-keadaan, yang pada umumnya dibedakan antara lain keadaan pada saat perbuatan dilakukan, keadaan setelah perbuatan dilakukan. 4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. Dalam hal Notaris diduga melakukan perbuatan pidana pemalsuan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264 dan 266 KUHP maka dapat di uraikan sebagai berikut : 1. Pasal 263 KUHP: (1) Barang siapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan, atau pembebasan hutang atau yang di peruntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut 103 seolah-olah isinya benar dan tidak di palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama enam tahun. (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang palsu, seolah-olah benar dan tidak palsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.108 Adapun unsur-unsur yang tercantum pada ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHP adalah : a. Unsur obyektif adalah membuat surat palsu dan memalsukan surat yang dapat menerbitkan sesuatu hak, menerbitkan sesuatu perjanjian, menimbulkan pembebasan sesuatu hutang, diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu hal. b. Unsur Subyektif dengan maksud untuk mempergunakan dan memakai surat itu seolah-olah asli atau tidak palsu, pemakaian atau penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian.109 Hukuman dapat diberikan menurut pasal ini, apabila pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain untuk menggunakan surat tersebut seolah-olah asli dan tidak palsu. Penggunaannya itu harus dapat mendatangkan kerugian, ”dapat” maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah ada, baru kemungkinan saja akan adanya 108 Dinas Hukum Polri, 1995, Penjabaran Unsur Pasal-Pasal Dalam KUHP Dan Delik-Delik Lain Di Luar KUHP, Jakarta, hal. 91-92. 109 H.A.K. Moch Anwar, Op.Cit, hal. 181. 104 kerugian itu sudah cukup, yang diartikan dengan ”Kerugian”, disini tidak saja hanya meliputi kerugian materil, akan tetapi juga kerugian dilapangan kemasyarakatan, kesusilaan, dan kehormatan. Adapun yang dapat di hukum menurut pasal ini tidak saja, “Memalsukan" surat pada ayat (1) tetapi juga sengaja mempergunakan surat palsu ayat (2) ‘Sengaja' maksudnya, bahwa orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum. Sudah dianggap sebagai mempergunakan, misalnya : menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu ditempat dimana surat tersebut harus dibutuhkan. Dalam hal menggunakan surat palsu ini pun harus pula dibuktikan, bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kemgian. 2. Pasal 264 ayat(1) KUHP: (1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap : 1. Akta-akta otentik ; 2. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum ; 3. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai ; 4. talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu ; 105 5. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan. (2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama yang isinya tidak benar atau yang dipalsu seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Unsur pasal tersebut memiliki unsur-unsur yang sama dengan Pasal 263 ayat (1) KUHP, sedangkan perbedaannya terletak pada obyek pemalsuan yang dalam hubungannya dengan Notaris yaitu akta otentik Pasal 264 ayat (1) ke 1 yaitu perbuatan pemalsuan itu dilakukan terhadap akta otentik Perbuatan yang diancam hukuman pada pasal ini harus memuat segala elemen-elemen atau syaratsyarat yang termuat pada Pasal 263 dan selain dari pada itu ditambah dengan syarat, bahwa surat yang dipalsukan itu terdiri dari surat otentik, surat-surat mana karena bersifat umum dan harus tetap mendapat kepercayaan dari umum. Akta otentik menurut ketentuan tersebut adalah akte yang dibuat dihadapan seorang pegawai-pegawai umum yang berhak untuk itu, biasanya Notaris. 3. Pasal 266 ayat (1) KUHP: (1) Barang siapa menyuruh masukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenarannya, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian dengan pidana penjara paling Iama tujuh tahun. 106 (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai akta tersebut solah-olah isinya sesuai dengan kebenaran jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian. Unsur-unsur yang terdapat dalam Ketentuan Pasal 266 KUHP tersebut meliputi beberapa unsur : a. Unsur obyektif adalah membuat surat palsu dan memalsukan surat yang dapat menerbitkan sesuatu hak, menerbitkan sesuatu perjanjian, menimbulkan pembebasan sesuatu hutang, diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu hal. b. Unsur Subyektif dengan maksud untuk mempergunakan dan memakai surat itu seolah-olah asli atau tidak palsu, pemakaian atau penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Menurut pasal ini yang dapat dihukum misalnya orang yang memberikan keterangan tidak benar kepada Burgerlijke Stand untuk dimasukkan ke dalam akta kelahiran yang harus dibuat oleh pegawai tersebut, dengan maksud untuk mempergunakan atau menyuruh orang lain mempergunakan akta itu seolah-olah keterangan yang termuat didalamnya itu benar. Ancaman hukuman tidak hanya orang yang memberikan keterangan tidak benar, akan tetapi juga orang yang dengan sengaja menggunakan surat (akte) yang memuat keterangan tidak benar itu. Kedua hal tersebut harus senantiasa dibuktikan bahwa orang itu bertindak seakan-akan isi surat itu benar dan perbuatan itu dapat mendatangkan kerugian.110 110 R. Soesilo, Op.Cit, hal. 197-198. 107 Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Notaris diduga dengan kualifikasi membuat surat palsu atau memalsukan surat yang seolah-olah surat tersebut asli dan tidak dipalsukan sebagaimana dimaksud Pasal 263 ayat (1) KUHP, melakukan pemalsuan surat, dan pemalsuan tersebut telah dilakukan di dala akta otentik sebagaimana dimaksud Pasal 264 ayat (1) ke 1 KUHP, serta menempatkan keterangan palsu di dalam akta otentik sebagaimana dimaksud Pasal 266 ayat (1) KUHP, merupakan akibat dari pada bentuk penyalahgunaan jabatan atas pelanggaran Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN. Meskipun demikian tidak serta merta mengakibatkan Notaris melakukan perbuatan pidana tersebut karena harus melalui proses pembuktian terhadap subyeknya yaitu apakah unsur subyektif perbuatan melawan hukum formil dan unsur obyektif perbuatan melawan hukum materiil telah dapat dibuktikan. Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UU Perubahan atas UUJN dan kode etik jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP. Apabila tindakan pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris memenuhi rumusan suatu tindak pidana, tetapi jika ternyata berdasarkan UU Perubahan atas UUJN suatu pelanggaran. Maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai sebuah akta harus didasarkan pada UU Perubahan atas UUJN dan kode etik jabatan Notaris. 108 BAB IV TANGGUNG JAWAB PIDANA OLEH NOTARIS APABILA MUNCUL KERUGIAN TERHADAP SALAH SATU PIHAK SEBAGAI AKIBAT ADANYA DOKUMEN PALSU 4.1. Unsur-unsur Perbuatan Pidana terhadap Pemalsuan Akta Otentik Menurut Hermin Hediati Koeswadji suatu perbuatan melawan hukum dalam konteks pidana atau perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar manusia yang dapat berupa: 1. Suatu tindakan atau tindak tanduk yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana, seperti memalsukan surat, sumpah palsu, pencurian. 2. Suatu akibat tenentu yang dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti pembunuhan, penganiayaan. 3. Keadaan atau hal-hal yang khusus dilarang dan dIancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti menghasut, melanggar kesusilaan umum. b. Unsur subjektif yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam diri manusia. 108 109 Unsur subjektif dapat berupa : 1. Dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvazbaarheid) 2. Kesalahan (schuld). 111 Berdasarkan Perumusan unsur-unsur pidana dari bunyi Pasal 263 KUHP mengenai pemalsuan akta otentik yang dilakukan oleh Notaris tidak bisa diterapkan kepada pelaku yakni Notaris yang memalsu akta otentik. Akan tetapi Notaris tersebut dapat dikenakan sanksi dari Pasal 264 KUHP, sebab Pasal 264 KUHP merupakan Pemalsuan surat yang diperberat dikarenakan obyek pemalsuan ini mengandung nilai kepercayaan yang tinggi. Sehingga semua unsur yang membedakan antara Pasal 263 dengan Pasal 264 KUHP hanya terletak pada adanya obyek pemalsuan yaitu “Macam surat dan surat yang mengandung kepercayaan yang lebih besar akan kebenaran isinya”.112 Notaris dapat dikenakan sanksi Pasal 264 KUHP apabila terbukti telah melakukan pemalsuan akta otentik. Pasal 264 merumuskan sebagai berikut: 1. Menjelaskan bahwa pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan (8) tahun jika dilakukan terhadap: 1) Akta Otentik; 2) Surat hutang dan sertifikat hutang dari suatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum 3) Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai 111 Liliana Tedjosapatro, 1991, Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana, CV Agung, Semarang, hal. 51. 112 Adamichazawi, Op.Cit, hal. 107. 110 4) Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu. 5) Surat kredit atau surat dagang yang disediakan untuk diedarkan. 2. Diancam dengan pidana yang sama barang siapa yang sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Nyatalah bahwa yang menyebabkan diperberatnya pemalsuan surat Pasal 264 diatas terletak pada faktor macam-macamnya surat. Surat-surat tertentu yang menjadi objek kejahatan adalah surat-surat yang mengandung kepercayaan yang lebih besar akan kebenaran isinya. Pada surat-surat itu mempunyai derajat kebenaran yang lebih tinggi dari pada surat-surat biasa atau surat-lainnya. Kepercayaan yang lebih besar terhadap kebenaran akan isi dari macam-macam surat itulah yang menyebabkan di perberat ancaman pidananya.113 Penyerangan terhadap kepercayaan masyarakat yang lebih besar terhadap isi surat-surat yang demikian dianggap membahayakan kepentingan umum masyarakat yang lebih besar pula. Ada 2 kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 264 yang masing-masing dirumuskan dalam ayat (1) dan (2). Kejahatan pada ayat (1) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1. Semua unsur baik obyektif maupun subyektif Pasal 263. 113 Adamichazawi, Op.Cit, hal. 108. 111 2. Unsur-unsur khusus pemberatnya (bersifat alternatif) berupa obyek suratsurat tertentu, ialah: 1. Akta otentik 2. Surat hutang dan sertifikat hutang dari suatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum 3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai 4. Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu. 5. Surat kredit atau surat dagang yang disediakan untuk diedarkan. Sedangkan Unsur-unsur kejahatan dalam ayat (2) adalah sebagai berikut: 1. Unsur-unsur obyektif: a. Perbuatan: Memakai; b. Obyeknya: surat-surat tersebut pada ayat (1): c. Pemakaian itu seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu; 2. Unsur Subyektif: dengan sengaja. Rumusan ayat (1) Pasal 264 pada dasarnya sama dengan rumusan ayat (1) Pasal 263. Perkataan pemalsuan surat pada permulaan rumusan mempunyai arti yang sama dengan membuat surat palsu atau memalsu surat dan seterusnya. Perbedaannya hanyalah terletak pada jenis surat yang menjadi obyek kejahatan. Faktor jenis surat-surat tertentu inilah yang menyebabkan dibentuknya kejahatan 112 yang berdiri sendiri dan merupakan pemalsuan surat yang lebih berat dari pada bentuk pokoknya (Pasal 263).114 Mengenai pengertian akta otentik, Pasal 1868 KUHPerdata merumuskan sebagai surat yang didalam bentuk yang ditentukan UU, dibuat dihadapan dan oleh pegawai umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya. Pejabat umum yang menurut hukum berwenang membuat surat yang dimaksud misalnya: seorang Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Catatan Sipil dan Lain-lain. Surat-surat yang dibuat oleh pejabat-pejabat ini misalnya Surat jual beli, Hutang Piutang, Hipotik atau Gadai yang dibuat oleh notaris, Akta Kelahiran, Surat Nikah, Sertifikat hak atas tanah dan lain sebagainya. Surat-surat ini menurut hukum mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (Pasal 1870 KUHPerdata Jo 165 HIR). Mengenai surat hutang negara termasuk didalamnya surat pinjaman obligasi yang dilakukan pemerintahan. Surat hutang bagian negara ialah surat hutang atau pinjaman dari Pemerintah Daerah. Sedangkan surat hutang dari lembaga umum adalah surat-surat hutang seperti Perusahaan Daerah (Misalnya Bank Pembangunan Daerah, Perusahan Air Minum Daerah), maupun Perusahaan Negara seperti PLN, Perum Pegadaian, Perum Telkom dan Lain sebagainya. Rumusan Pasal 264 (2) KUHP adalah sama dengan rumusan Pasal 263 (2) KUHP. Perbedaannya hanya pada jenis surat yang dipakai. Pasal 263 (2) KUHP adalah surat pada umumnya, sedangkan Pasal 264 (2) KUHP adalah surat-surat tertentu yang mempunyai derajat kebenaran yang lebih tinggi dan kepercayaan 114 Adamichazawi, Op.Cit, hal. 110. 113 yang lebih besar dari surat pada umumnya. Sedangkan pelaku yang menyuruh notaris membuat akta palsu dapat dikenakan sanksi pidana Pasal 266 KUHP. Seorang klien menyuruh Notaris malakukan untuk memasukkan keterangan palsu kedalam akta otentik:  Pasal 266 KUHP 1) Barang mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, dipidana. Jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama 7 tahun. Akta menjadi batal demi hukum apabila isi akta tidak memenuhi syarat objektif yaitu syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak, yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang tidak dilarang yakni siapa yang menyuruh memasukkan keterangan ke dalam suatu akta otentik 2) Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian. Ada 2 kejahatan dalam Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Masing-masing dirumuskan pada ayat (1) dan (2). Ayat ke (1) mempunyai unsurunsur sebagai berikut:115 115 Adamichazawi, Op.Cit, hal. 112. 114 1. Unsur-unsur Obyektif: a. Perbuatan: Menyuruh Memasukkan b. Obyeknya: keterangan Palsu; c. Kedalam Akta Otentik; d. Mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan dengan akta itu; e. Jika pemakaiannya dapat menimbulkan kerugian; 2. Unsur Subyektif: Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai seolah-olah keterangan itu sesuai dengan kebenaran. Ayat Ke (2) mempunyai Unsur-unsur sebagai berikut: 1. Unsur-unsur Obyektif: a. Perbuatan zmemakaig b. Obyeknya : Akta Otentik tersebut ayat (l); c. Seolah-olah isinya benar; 2. Unsur Subyektif: dengan sengaja. Dalam rumusan tersebut diatas, tidak dicantumkan siapa orang yang disuruh untuk memasukkan keterangan palsu tersebut, tetapi dapat diketahui dari unsur/kalimat ke dalam akta otentik dalam rumusan ayat ke (1). Bahwa orang tesebut adalah si pembuat akta otentik. Sebagaimana diatas telah diterangkan bahwa akta otentik itu dibuat oleh pejabat umum yang menurut Undang-Undang berwenang untuk membuatnya, misalnya seorang Notaris, Pegawai Catatan Sipil, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pejabat ini dalam pembuatan suatu akta otentik adalah memenuhi 115 permintaan. Orang yang meminta inilah yang dimaksud orang yang menyuruh memasukkan keterangan palsu. Perbuatan menyuruh memasukkan mengandung unsur-unsur: 1. Inisiatif atau kehendak untuk membuat akta, akta mana memuat tentang apa (Obyek yakni: mengenai sesuatu hal atau kejadian) yang disuruuh masukkan kedalamnya adalah berasal dari orang-orang yang memasukkan, bukan dan pejabat pembuat akta otentik; 2. Dalam hubungannya dengan asalnya inisiatif dari orang yang meminta dibuatkannya akta otentik, maka dalam perkataan/unsur menyuruh memasukkan berarti orang itu dalam kenyataannya ia memberikan keterangan-keterangan tentang sesuatu hal, hal mana adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu. 3. Pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui bahwa keterangan yang disampaikan oleh orang yang menyuruh memasukkan keterangan kepadanya itu adalah keterangan yang tidak benar. 4. Oleh karena pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui perihal tidak benarnya keterangan tentang sesuatu hal itu, maka ia tidak dapat dipertanggungjawabkan, terhadap perbuatannya yang melahirkan akta otentik yang isinya palsu itu, dan karenanya ia tidak dapat dipidana. 116 Apabila setelah memberikan keterangan perihal suatu kejadian yang diminta dengan memasukkan kedalam akta otentik kepada pejabat pembuatnya, sedang akta itu sendiri belum dibuatnya atau keterangan perihal kejadiaan itu belum 116 Adamichazawi, Op.Cit, hal. 113. 116 dimasukkan kedalam akta, kejahatan itu belum terjadi secara sempurna, melainkan baru terjadi percobaan kejahatan saja. Obyek kejahatan ini adalah keterangan palsu, artinya suatu keterangan yang bertentangan dengan kebenaran, keterangan mana mengenai sesuatu hal/kejadian. Tidak Semua hal/kejadian berlaku disini, melainkan kejadian yang harus dibuktikan oleh akta otentik itu. Sama halnya dengan obyek surat yang diperuntukkan untuk membuktikan suatu hal dari Pasal 263 KUHP, unsur sesuatu hal dari pasal ini sama pengertiannya dengan suatu hal dari Pasal 266 KUHP itu. Suatu hal atau kejadian yang dimaksudkan adalah sesuatu hal yang menjadi isi pokok dari akta otentik yang dibuat itu. Seperti Akta nikah isi pokoknya adalah pemikahan, akta jual beli isi pokoknya adalah perihal jual beli, akta kelahiran isi pokoknya yaitu perihal kelahiran dan bukan mengenai hal-hal diluar mengenai isi pokok dari akta. Misalnya dalam surat nikah atau akta perkawinan membuktikan bahwa adanya kejadian perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria, akta jual beli antara dua orang/pihak mengenai suatu benda dan dalam akta kelahiran membuktikan adanya kelahiran seorang bayi dari seorang Ibu. Mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan kejadian yang harus dibuktikan oleh akta otentik tersebut, seperti tentang harga dalam jual beli, benda/harga mas kawin dalam akta nikah, status/sah tidaknya pernikahan antara bapak dan Ibu si bayi yang baru lahir dalam akta kelahiran, tidak termasuk dalam kejadian yang hams dibuktikan oleh akta-akta otentik tersebut. Dalam arti akta jual beli tidak untuk membuktikan tentang harga benda, akta kelahiran tidak untuk 117 membuktikan tentang sahnya perkawinan antara bapak dan ibu si bayi, surat nikah tidak untuk membuktikan tentang harga mas kawin. Unsur kesalahan dalam kejahatan Pasal 266 (1) KUHP adalah dengan maksud untuk memakai akta yang memuat kejadian palsu yang demikian itu seolah-olah keterangan dalam kata itu sesuai dengan kebenaran. Mengenai unsur kesalahan ini pada dasamya sama dengan unsur kesalahan dalam Pasal 263 (1) KUHP yang sudah diterangkan dibagian muka. Demikian juga mengenai unsur “Jika pemakaian itu menimbulkan kerugian, sudah diterangkan secara cukup dalam pembicaraan terhadap Pasal 263 dan 264 KUHP. Mengenai kejahatan dalam ayat (2) Pasal 266 pada dasarnya sama dengan kejahatan dalam ayat (2) Pasal 263 dan ayat (2) Pasal 264 KUHP. Unsur yang sama yakni: 1) Perbuatannya adalah memakai, 2) Unsur kesalahannya ialah dengan sengaja, dan 3) Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.117 Perbedaannya hanya terletak pada obyek kejahatan. Pada Pasal 263 (2) KUHP yakni surat palsu dan surat dipalsu, Pasal 264 (2) KUHP adalah akta-akta tertentu palsu dan akta-akta tertentu dipalsu dan Pasal 266 (2) KUHP ialah akta otentik yang isinya memuat sesuatu kejadian yang palsu. Dengan demikian pemidanaan terhadap notaris dapat saja dilakukan dengan batasan jika: 117 Adamichazawi, Op.Cit, hal. 115. 118 1. Ada tindakan hukum dari notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan notaris atau oleh notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindakan pidana; 2. Ada tindakan hukum dari notaris dalam membuat akta dihadapan atau oleh notaris yang bila diukur berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris tidak sesuai dengan UU Perubahan atas UUJN tersebut dan; 3. Tindakan notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai suatu tindakan notaris, hal ini disebutkan dalam Majelis Pengawas Notaris.118 Diruang lingkup Notaris kita mengenal adagium bahwa “Setiap orang yang datang menghadap Notaris telah benar berkata. Sehingga benar berkata berbanding lurus dengan berkata benar”. Jika benar berkata, tidak berbanding lurus dengan berkata benar yang artinya suatu kebohongan atau memberikan keterangan palsu, maka hal itu menjadi tanggungjawab yang bersangkutan. Jika hal seperti itu terjadi, maka seringkali Notaris dilaporkan kepada pihak yang berwajib dalam hal ini adalah Aparat Kepolisian. Dalam pemeriksaan Notaris dicercar dengan berbagai pertanyaan yang intinya Notaris digiring sebagai pihak yang membuat keterangan palsu.119 Penjatuhan sanksi pidana terhadap notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan sebagaimana tersebut diatas dilanggar, artinya disamping memenuhi rumusan pelanggaran yang disebutkan dalam 118 Habib Adjie, 2005, Batasan Pemidanaan Notaris, Jurnal Renvoi, Nomor 10-22 Tanggal 3 Maret, ha1. 123-125. 119 Habieb Adjie,http://google.co.id,Notaris_Indonesia Majelis Pengawas Sebagai Pelapor Tindak Pidana, diambil tanggal 28.03.12. 119 Undang-Undang Jabatan Notaris (UU Perubahan atas UUJN) dan Kode Etik profesi Jabatan Notaris yang juga harus memenuhi rumusan dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Menurut Prosedur Hukum Acara Pidana, untuk menentukan seseorang telah melakukan Tindak Pidana terlebih dahulu harus memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana yaitu: Terbukti Perumusan delik Dipidana Sifat melawan hukum Sifat tercela Sumber : D.Schafmeister, N. Kijzer, E.PH Sitorus 1995 Perumusan delik tersebut harus terpenuhi sebagaimana unsur-unsur yang dijelaskan berikut ini : a) Delik formil. Apabila jika suatu tindakan yang dirumuskan dalam peraturan pidana telah dilakukan (yang dilarang) adalah perbuatannya atau kelakuannya. b) Delik materiil. Mengenai unsur Delik Materiil yang dilarang oleh Undang-Undang ialah akibatnya. 120 1) Sifat melawan hukum dapat dibedakan juga kedalam: a) Sifat melawan Hukum Formil. Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum apabila perbuatan memenuhi semua unsur yang terdapat didalam Rumusan Delik dalam Undang-Undang. Perbuatan (Pidana) yang tidak memenuhi salah satu unsur delik dalam rumusan Undang-undang tidak dapat dikatakan bersifat melawan hukum. b) Sifat melawan Hukum Materiil Suatu perbuatan bersifat melawan hukum atau tidak, ukurannya bukan hanya didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis saja tetapi juga harus ditinjau menurut Asas-asas umum dad hukmn yang tidak tertulis seperti nilai-nilai dalam masyarakat (Hukum Masyarakat). 2) Sifat Tercela Suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik yang tertulis dan juga bersifat melawan hukum, namun tidak dapat dipidana jika tidak dapat dicela pelakunya. Misalnya dia berada dalam kesesatan yang dapat dimaafkan (Ingat Putusan Terkenal Tahun 1916 tentang Air dan Susu). Sifat melawan hukum dan sifat tercela itu merupakan syarat umum untuk dapat dipidananya perbuatan, sekalipun tidak disebutkan dalam rumusan delik. Inilah yang yang dinamakan unsur diluar Undang-Undang, jadi yang tidak tertulis.120 120 D.Schafmeister, N.Kijzer, E.PH.Sitorus, Editor J.E.Sahetapy, 1995, Hukum Pidana, Yogyakarta: Libert, hal. 27. 121 Dengan adanya penjelasan diatas notaris bisa saja dihukum pidana, jika dapat dibuktikan dipengadilan, bahwa secara sengaja Notaris bersama-sama dengan para pihak/penghadap untuk membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau penghadap dengan cara merugikan pihak penghadap yang lain. Jika hal ini terbukti maka pihak penghadap yang merugikan pihak lain beserta Notaris tersebut wajib dihukum. Notaris dalam melaksanakan jabatannya sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik sebenamya berada diantara mungkin/tidak mungkin melakukan pemalsuan akta dengan pihak yang menghadap untuk meminta dibuatkan aktanya. Dikarenakan apabila seorang notaris selaku pejabat umum tidak lagi menjunjung tinggi tentang Etika profesinya/tidak lain menyimpang dari peraturan hukum Undang-Undang Jabatan Notaris (UU Perubahan atas UUJN) dengan alasan ingin menguntungkan salah satu pihak tersebut untuk ikut peran serta membantu para pihak lainnya dan sebaliknya sehingga lahirlah akta yang mengandung keterangan palsu. Notaris dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam konteks Hukum Pidana sekaligus juga melanggar kode etik dan UU Perubahan atas UUJN, sehingga syarat pemidanaan menjadi lebih kuat. Apabila hal tersebut tidak disertai dengan pelanggaran kode etik atau bahkan dibenarkan oleh UU Perubahan atas UUJN, maka mungkin hal ini dapat menghapuskan sifat melawan hukum suatu perbuatan dengan suatu alasan pembenar. Adapun pemidanaan terhadap Notaris dapat saja dilakukan dengan batasan sebagai berikut : 122 a. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana. b. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan UU Perubahan atas UUJN tidak sesuai dengan UU Perubahan atas UUJN. c. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini MPN.121 Apabila seorang Notaris melakukan penyimpangan akan sebuah akta yang dibuatnya sehingga menimbulkan suatu perkara pidana maka Notaris harus mempertanggung jawabkan secara pidana apa yang telah dilakukannya tersebut. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijbaarheid) yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan Hukum Pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada pelaku yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenakan pidana karena perbuatannya itu.122 Hal tersebut didasarkan pada asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan atau “actus non facit reum nisi mens sit rea". Orang tidak mungkin dimintakan penanggungjawaban dan dijatuhi pidana jika tidak melakukan kesalahan. Akan tetapi seseorang yang melakukan perbuatan pidana, belum tentu dapat 121 Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 124-125. Dwidja Priyatno, 2004, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV. Utomo, Bandung, hal. 30. 122 123 dipidananya. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana apabila dia mempunyai kesalahan.123 Terjadinya pemidanaan terhadap Notaris berdasarkan akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris sebagai bagian dari pelaksanaan tugas jabatan atau kewenangan Notaris, tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta dan hanya berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saja, menunjukkan telah terjadinya kesalahpahaman atau penafsiran terhadap kedudukan Notaris sedangkan akta otentik yang dibuat oleh Notaris sebagai alat bukti dalam Hukum Perdata. Sanksi pidana merupakan ultimum remedium yaitu obat terakhir, apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum lainnya tidak mampu atau dianggap tidak mempan.124 4.2 Pertanggungjawaban Pidana oleh Notaris Apabila Muncul Kerugian Dari Salah Satu Pihak Akibat Adanya Dokumen Palsu Masyarakat pada umumnya hanya memahami bahwa yang membuat akta otentik adalah Notaris. Mereka tidak paham kalau keterangan yang tertuang dalam akta otentik tersebut adalah keterangan mereka sendiri selaku para pihak sesuai dengan apa yang diinginkannya dalam membuat suatu perjanjian. Notaris selaku pejabat yang berwenang untuk membuat akta yang paham tentang hukum perjanjian, pada saat dilaksanakannya pembacaan akta harus dabat menjelaskan posisi atau kapasitas masing-masing dengan segala konsekuensi terutama menyangkut tentang hak dan kewajiban serta akibatnya yang muncul dikemudian 123 Ibid, hal. 56. Habib Adjie, 2005, Batasan Pemidanaan Notaris, Jurnal Renvoi, Nomor 10-22 Tanggal 3 Maret, hal. 126. 124 124 hari, dengan tidak menimbulkan kesan seolah-olah Notaris ada kepentingan tertentu, karena tidak jarang sekarang ini untuk membuat akta dihadapan Notaris, ada pihak tertentu yang mengarahkan untuk membuat akta dihadapan Notaris yang telah disiapkan, sehingga seorang klien merasa ragu-ragu dengan anggapannya bahwa jangan-jangan Notaris yang disiapkan tersebut akan membela kepentingan pihak tertentu dengan menyalahgunakan keadaan dalam pembuatan aktanya dan lebih berbahaya lagi kalau Notarisnya disalahgunakan oleh kliennya.125 Keadaan tersebut sebisanya dihindarkan, dan seorang Notaris harus bisa menempatkan diri dengan memperlihatkan sikap memang demikian keadaannya, dimana dalam menjalankan jabatannya telah bersikap mandiri, jujur dan tidak memihak. Akan tetapi yang menyulitkan adalah adanya suatu cacat terhadap kata sepakat dalam suatu perjanjian yang aktanya telah dibuat dihadapannya bahwa Salah satu pihak telah menyalahgunakan keadaan yang mana hal tersebut oleh Notaris tidak pemah diketahui sebelumnya yang akhirnya menimbulkan masalah, dengan tuduhan Notaris telah membuat akta palsu atau memalsukan akta. Tuduhan tersebut juga diakibatkan dan tindakan Notaris sendiri pada saat pembuatan akta tidak pernah membacakan dan menjelaskan kepada para pihak sebagaimana dimaksud Pasal 15 dan 16 UU Perubahan atas UUJN sehingga menimbulkan adanya kerugian pihak yang berkepentingan. Terjadinya suatu pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 15 dan 16 UU Perubahan atas UUJN oleh Notaris di dalam menjalankan jabatannya sangat 125 Herien Budiono, Op.Cit, hal. 22. 125 rentan terhadap kemungkinan terjadinya perbuatan pemalsuan atas akta yang dibuat dihadapan oleh para pihak (penghadap). Akan tetapi perbuatan Notaris tersebut sangat sulit untuk membuktikannya. Hal ini mengingat bahwa di dalam akta Notaris selalu disebutkan pada awal akta bahwa penghadap menghadap pada Notaris dan pada akhir akta selalu disebutkan bahwa akta tersebut dibacakan oleh Notaris kepada para penghadap dan saksi dihadapan Notaris. Namun dalam kenyataannya baik pembacaan dan penandatanganan tidak pernah dilakukan dihadapan Notaris sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf k UU Perubahan atas UUJN, maka Notaris dianggap telah melakukan pelanggaran membuat akta palsu sebagaimana dimaksud Pasal 263, Pasal 264 dan Pasal 266 KUHP. Akan tetapi untuk menyatakan tentang adanya kebenaran Notaris melakukan perbuatan tersebut tentu harus melalui proses pembuktian yang dalam sistem pembuktian acara pidana disebut dengan sistem negatif yaitu suatu sistem pembuktian dengan mencari kebenaran materiil yaitu seorang hakim dalam suatu sistem pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan harus memenuhi dua syarat mutlak meliputi adanya alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim.126 Alat bukti sebagaimana dimaksud tersebut pada ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan ; a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; 126 Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 2 126 d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.127 Berdasarkan alat bukti tersebut, maka untuk membuktikan perbuatan Notaris telah melakukan tindak pidana pemalsuan akta atau memalsukan akta Notaris sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah pelakunya”.128 Dalam lapangan acara, hal ini berarti pembuktian telah dilakukannya suatu tindak pidana dipandang cukup sebagai suatu dasar pertanggungjawaban pidana terdakwa. Dengan demikian seorang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana sepanjang dapat dibuktikan bahwa perbuatannya telah memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana yang didakwakan. Notaris memiliki kewenangan membuat akta, bukan membuat surat, dengan demikian harus dibedakan antara surat dan akta. Surat berarti surat pada umumnya yang dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti atau untuk tujuan tertentu sesuai dengan keinginan atau maksud pembuatnya, yang tidak terikat pada ikatan tertentu, dan akta (akta otentik) dibuat dengan maksud sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempuma, dibuat dihadapan 127 M. Karjadi dan R Soesilo, 1990, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar), Politeia, Bogor, hal. 162. 128 Ibid. 127 pejabat yang berwenang untuk membuatnya dan terikat pada bentuk yang sudah ditentukan. Dengan demikian pengertian surat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP tidak mutatis mutandis sebagai akta otentik, sehingga tidak tepat jika akta Notaris diberikan perlakuan sebagai suatu surat pada umumnya. Namun meskipun demikian dalam perbuatan pidana adalah perbuatan yang menunjuk pada subyek (pelaku) sepanjang unsur-unsur kesengajaan dan kesalahan bisa dibuktikan maka perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 263 ayat (1) KUHP dapat diterapkan terhadap Notaris. Keterangan atau pernyataan dan kenginan para pihak yang diutarakan dihadapan Notaris merupakan bahan dasar untuk Notaris untuk membuatkan akta sesuai kenginan para pihak yang menghadap Notaris. Tanpa adanya keterangan atau pernyataan dan kenginan dari para pihak, Notaris tidak mungkin untuk membuat akta. Kalaupun ada pemyataan atau keterangan yang diduga palsu dicantumkan dimasukkan kedalam akta otentik, tidak menyebabkan akta tersebut palsu. Contohnya, kedalam akta otentik dimasukkan keterangan berdasarkan surat nikah yang diperlihatkan kepada Notaris atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari pengamatan secara fisik asli. Jika ternyata terbukti surat nikah atau KTP tersebut palsu, tidak berarti Notaris memasukan atau mencatumkan keterangan palsu kedalam akta Notaris (Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP). Secara materil kepalsuan atas hal tersebut merupakan tanggungjawab para pihak yang bersangkutan sepanjang Notaris tidak mengetahui tentang pemalsuan itu sendiri. Bilamana Notaris mengetahui kalau hal tersebut palsu maka patut diduga ketentuan pasal tersebut dapat diterapkan terhadap Notaris. Sedangkan terhadap 128 ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP tidak dapat diterapkan karena tugas Notaris hanya mencantumkan di dalam akta apa yang diberitahukan oleh penghadap, atas hal-hal yang sebenarnya diberikan kepadanya. Dan dengan demikian penghadap tidak mungkin melakukan perbuatan membujuk (Pasal 55 ayat 1 ke-2) ataupun memberi bantuan (Pasal 56), karena tiada kejahatan dilakukan oleh Notaris itu. Ia hanya mencatumkan dalam akta keterangan-keterangan yang diberikan oleh penghadap. Ia tidak mengetahui, bahwa keterangan-keterangan yang ia dimasukkan dalam akta itu tidak benar. Jadi perbuatan yang dilarang adalah menyuuruh dan memasukkan keterangan-keterangan palsu didalam akta otentik. Notaris yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan profesinya wajib mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya tersebut. Besarnya tanggung jawab Notaris dalam menjalankan profesinya mengharuskan Notaris untuk selalu cermat dan hati-hati dalam setiap tindakannya. Namun demikian sebagai manusia biasa, tentunya seorang Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya terkadang tidak luput dari kesalahan baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian yang kemudian dapat merugikan pihak lain. Dalam penjatuhan sanksi terhadap Notaris, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi yaitu perbuatan Notaris harus memenuhi rumusan perbuatan itu dilarang oleh undang-undang, adanya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan Notaris tersebut serta perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum, baik formil maupun materiil. Secara formal disini sudah dipenuhi karena sudah memenuhi rumusan dalam undang-undang, tetapi secara materiil harus diuji kembali dengan kode etik, UU Perubahan atas UUJN. 129 Tugas seorang Notaris adalah membuat suatu akta otentik yang diinginkan oleh para pihak untuk suatu perbuatan hukum tertentu. Tanpa adanya suatu permintaan dari para pihak maka Notans tidak akan membuatkan suatu akta apapun. Notaris dalam membuat suatu akta harus berdasarkan keterangan atau pernyataan dari para pihak yang hadir dihadapan Notaris, kemudian Notaris menuangkan keterangan-keterangan/penyataan-pernyataan tersebut kedalam suatu akta, dimana akta tersebut telah memenuhi ketentuan secara ilmiah, formil dan materiil dalam pembuatan akta otentik. Serta Notaris dalam membuat akta tersebut harus berpijak pada peraturan hukum atau tata cara prosedur pembuatan akta. Selain itu Notaris juga berperan dalam hal memberikan nasehat hukum yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh para pihak yang membutuhkan jasa seorang Notaris. Seandainya nasehat hukum yang diberikan oleh Notaris kepada para pihak kemudian dituangkan ke dalam bentuk akta maka hal tersebut tetap sebagai keinginan atau keterangan para pihak yang bersangkutan, tidak sebagai keterangan atau pernyataan Notaris. Seorang Notaris dapat secara sadar, sengaja untuk secara bersama-sama dengan para pihak yang bersangkutan (penghadap) melakukan atau membantu atau menyuruh penghadap untuk melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum. Jika hal ini dilakukan, selain merugikan Notaris, para pihak, dan pada akhirnya orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, diberi sambutan sebagai orang yang senantiasa melanggar hukum.129 129 Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 124. 130 Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya tunduk dan patuh pada UU Perubahan atas UUJN. Oleh karena itu apabila Notaris melakukan pelanggaran dalam melaksanakan tugas dan jabatannya, Notaris diancam sanksi sebagaimana tertuang UU Perubahan atas UUJN. Sanksi terhadap Notaris dikategorikan menjadi 2 (dua), yaitu sanksi perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga merupakan akibat yang akan diterima atas tuntutan para penghadap jika akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 UUJN. Selain sanksi perdata, juga ditentukan sanksi adminstrasi yaitu berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, sampai pemberhentian dengan tidak hormat, sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal dalam UU Perubahan atas UUJN.130 Selain itu, Notaris juga masih harus menghadapi ancaman sanksi berupa sanksi etika jika Notaris melakukan pelanggaran terhadap kode etik jabatan Notaris, dan bahkan dapat dijatuhi sanksi pidana. Namun demikian, sanksi pidana terhadap Notaris harus dilihat dalam rangka menjalankan tugas jabatannya, dan tunduk pada ketentuan pidana umum yaitu KUHP, UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur mengenai tindak pidana khusus untuk Notaris. Menurut Hennin Hediati Koeswadji, suatu delik atau pebuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana mempunyai unsurunsur sebagai berikut mempunyai unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar manusia yang dapat bempa suatu tindakan atau tindak tanduk yang 130 Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 91-92. 131 dilarang dan diancam dengan sanksi pidana, seperti memalsukan surat, sumpah palsu, pencurian. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti pembunuhan, penganiayaan. Keadaan atau hal-hal yang khusus dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti menghasut, melanggar kesusilaan umum. Kedua mempunyai unsur subjektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam diri manusia. Unsur subjektif dapat berupa dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbczarlzeid) dan kesalahan (schuld).131 Batasan-batasan pemidanaan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Notaris adalah berupa ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk malakukan suatu tindak pidana. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan UU Perubahan atas UUJN tidak sesuai dengan UU Perubahan atas UUJN. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.132 Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi mmusan pelanggaran yang tersebut dalam UU Perubahan atas UUJN dan kode etik jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP. 131 Li1iana Tedjosapatro, 1991, Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana, CV Agung, Semarang, hal. 51. 132 Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 124-125. 132 Apabila tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris memenuhi rumusan suatu tindak pidana, tetapi jika ternyata berdasarkan UU Perubahan atas UUJN dan menuntut penilaian dan Majelis Pengawas Daerah bukan suatu pelanggaran. Maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai sebuah akta harus didasarkan pada UU Perubahan atas UUJN dan kode etik jabatan Notaris. Bentuk pertanggungjawaban seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik harus dapat dipertanggungjawabkan dengan penuh tanggung jawab serta memuat rasa keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan akibat perbuatan Notaris dan keadilan bagi Notaris itu sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep tujuan hukum menurut Gustav Radbruch yang mengarahkan penanggungjwaban yang diberikan terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik sesuai dengan tujuan hukum yaitu yang lebih diutamakan memberikan keadilan bagi pihak yang dirugikan selajutnya memberikan manfaat dan selanjutnya menjamin adanya kepastian hukum. Sedangkan dalam teori keadilan menurut Hans Kelsen yang menyatakan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya. Dari teori tersebut dapat dijelaskan bahwa tujuan dari pertanggungjawaban seorang Notaris yaitu untuk memberikan rasa adil bagi para pihak maupun bagi Notaris sebagai akibat dan perbuatan melawan hukum seorang Notaris dalam pembuatan akta otentik. 133 Demikian pula dengan bentuk pertanggungjawaban Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik telah sesuai dengan teori pertanggungjawaban yang dikemukan oleh Kranenburg dan Vertig dalam teori fautes personalles yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. Sehingga disini Notaris berdasarkan teori pertanggungjawaban tersebut Notaris bertanggungjawab secara pribadi atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya dalam pembuatan akta otentik. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa bentuk pertangggungjawaban terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik adalah seorang Notaris dapat dikenakan pertanggungjawaban secara perdata berupa sanksi untuk melakukan penggantian biaya atau ganti rugi kepada pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris. Pertanggungjawaban secara administrasi berupa pemberian sanksi teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat sebagai seorang Notaris. Pertanggungjawaban terhadap kode etik profesi Notaris berupa pemberian sanksi teguran, peringatan, pemecatan sementara (schorsing), pemecatan (Onzetting) dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. Sedangkan pertanggungjawaban secara pidana seorang dapat berupa pemberian sanksi pidana penjara atau kurungan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Halhal tersebut berdasarkan temuan-temuan dalam yurisprudensi mengenai 134 pedanggungjawaban terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum. Pembuatan akta otentik oleh atau di hadapan Notaris diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU Perubahan atas UUJN, hal tersebut tidak berani bahwa Notaris ikut ambil bagian dalam perbuatan hukum yang mana dibuatkan akta olehnya, Notaris tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak, Notaris tetap berada di luar para pihak. Suatu saat apabila akta tersebut dipermasalahkan, maka Notaris dapat menempatkan posisinya dengan tidak ikut sebagai pembantu tergugat dalam lingkup Hukum Perdata maupun membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana. Perkara pidana dan perdata terhadap akta otentik biasanya dipermasalahkan dari aspek formalnya yaitu mengenai pukul/waktu, tanggal, bulan dan tahun kapan para penghadap menghadap ke hadapan Notaris, mengenai komparisi, identitas para penghadap termasuk juga kewenangan para pihak dalam bertindak, mengenai tanda tangan para penghadap, mengenai salinan akta yang tidak sesuai dengan minuta akta, mengenai salinan akta ada tapi minuta akta tidak ada, hal ini berkaitan dengan penyimpanan minuta akta yang seharusnya tertata rapi, dan mengenai minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi salinan akta malah dikeluarkan. Hal-hal tersebut biasanya yang menjadi perhatian dalam pembuatan akta otentik oleh Notaris, oleh karena itu Notaris harus berpedoman kepada UU Perubahan atas UUJN, jangan sampai melenceng jauh dari UU Perubahan atas UUJN bahkan tidak berpedoman kepada UU Perubahan atas UUJN dalam 135 pembuatan akta otentik. Hal yang sangat penting diperhatikan yaitu mengenai komparisi akta, harus sesuai apakah para pihak tersebut berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dalam akta atau tidak. Sedangkan bila dilihat dari sudut pandang Hukum Pidana yang berkaitan dengan aspek formal pembuatan akta otentik oleh Notaris, pihak penyidik, penuntut umum dan hakim akan memasukkan Notaris telah melakukan tindakan hukum : 1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 163 ayat (1), (2) KUHP) 2. Melakukan pemalsuan (Pasal 264 KUHP) 3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP) 4. Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan (Pasal 55 Jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP) 5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP.133 Jika kemudian temyata terbukti bahwa yang menghadap Notaris tersebut bukan orang yang sebenarnya atau orang yang mengaku asli, tapi orang yang sebenarnya tidak pernah menghadap Notaris, sehingga menimbulkan kerugian orang yang sebenarnya, maka dalam hal ini Notaris tidak bisa disalahkan karena unsur kesalahannya tidak ada, dan Notaris telah melaksanakan tugas jabatan sesuai aturan hukum yang berlaku, sesuai asas tiada hukum tanpa kesalahan, dan tiada 133 Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 136. 136 kesalahan yang dilakukan oleh Notaris yang bersangkutan, maka Notaris tersebut harus dilepas dari segala tuntutan. Kehendak penghadap yang tertuang dalam akta secara metenil merupakan kehendak atau keinginan para pihak sendiri, bukan kehendak Notaris, dan tugas Notaris hanya memberi saran saja, kalaupun kemudian saran tersebut diikuti dan dituangkan dalam akta, hal tersebut tetap merupakan keinginan atau kehendak penghadap sendiri. Jika penghadap mendalilkan bahwa akta Notaris yang berisi keterangan atau perkataannya di hadapan Notaris, tidak dikehendaki oleh penghadap, kemudian penghadap mengajukan gugatan dengan gugatan untuk membatalkan akta tersebut. Sehingga hal tersebut harus dapat dibuktikan bahwa akta dibuat dalam keadaan terpaksa, kekhilafan atau penipuan, jika tidak dapat dibuktikan maka gugatan seperti itu ditolak, karena semua prosedur untuk dalam pembuatan akta telah dilakukan oleh Notaris bersangkutan. Jika secara materiil isi akta tidak sesuai dengan keinginan penghadap, sehingga dapat diajukan gugatan ke pengadilan, dengan kewajiban untuk membuktikan dalil gugatannya. Dalam gugatan untuk menyatakan akta Notaris tersebut tidak sah, maka harus dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formal dan materiil akta Notaris. Jika tidak dapat dibuktikan maka akta yang bersangkutan tetap sah dan mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. Penilaian terhadap akta Notaris harus dilakukan dengan asas praduga sah, berdasarkan asas ini bahwa suatu keputusan Tata Usaha Negara harus dianggap sah selama belum dibuktikan sebaliknya, sehingga pada prinsipnya harus selalu dapat segera dilaksanakan. Fungsi dan kedudukan dan akta Notaris sebagai akta 137 otentik yang mempunyai kekuatan istimewa sebagai alat bukti, kekuatan pembuktian akta otentik demikian juga (termasuk di dalamnya) akta Notaris adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundangundangan, bahwa hams ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orangorang tertentu. Dalam pemberian tugas inilah terletak tanda kepercayaan kepada pejabat dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang dibuat oleh mereka.134 Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai akta otentik dan siapapun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris dalam hal ini dapat dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna selama dibuat menurut bentuk dan tata cara sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang yaitu KUHPerdata dan UU Perubahan atas UUJN, jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian 134 G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 63. 138 sebagai akta dibawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Mengacu pada penjelasan diatas artinya bahwa syarat akta Notaris sebagai akta otentik adalah harus dibuat dengan tata cara maupun prosedur sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang dan dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang bahwa suatu akta otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu. Apabila suatu akta otentik temyata tidak memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil maupun materil dan tidak memenuhi syarat otentisitas maka akta otentik tidak lagi disebut sebagai akta otentik melainkan hanya akta di bawah tangan. UU Perubahan atas UUJN hanya mengatur bahwa ketika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran/perbuatan melawan hukum, maka Notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik jabatan Notaris. Dalam praktek ditemukan bahwa tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan Notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi atau sanksi perdata atau kode etik jabatan Notaris, tetapi kemudian dikualifikasian sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris, tetapi dalam penjatuhan sanksi hanya dijatuhi berupa sanksi pidana. Aspek yang dijadikan batasan dalam hal pelanggaran oleh Notaris harus diukur berdasarkan UU Perubahan atas UUJN, artinya apakah perbuatan yang dilakukan oleh Notaris melanggar pasal-pasal tertentu dalam UU Perubahan atas UUJN, karena ada kemungkinan menurut UU Perubahan atas UUJN bahwa akta yang bersangkutan telah sesuai dengan UU Perubahan atas UUJN, tetapi 139 menurut pihak penyidik perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana. Dengan demikian sebelum melakukan penyidikan lebih lanjut, lebih baik meminta pendapat mereka yang mengetahui dengan pasti mengenai hal tersebut, yaitu dari organisasi jabatan Notaris. Ancaman sanksi yang demikian itu dimaksudkan agar dalam menjalankan tugas dan jabatannya, seorang Notaris dituntut untuk dapat bertanggungjawab terhadap diri, klien, dan juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum. Larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut. Dalam kehidupan manusia, ada perbuatanperbuatan yang tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu seperangkat hak yang melckat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang Wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan manabat manusia.135 Ada juga perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat umum atau kepentingan sosial, yaitu kepentingan yang lazim terjadi dalam perspektif pergaulan hidup antar manusia sebagai insan yang merdeka dan dilindungi oleh norma-norma moral, agama, sosial serta hukum. Bertentangan dengan kepentingan pemerintah dan Negara, yaitu kepentingan yang muncul dan berkembang dalam rangka penyelenggaraan kehidupan pemerintahan serta kehidupan bernegara demi tegak dan berwibawanya Negara Indonesia.136 135 Ilhami Bisri, 2005, Sistem Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 40. 136 Ibid. 140 Sanksi pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, dimana sanksi pidana dibagi menjadi pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan denda, sedangkan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tenentu dan pengumuman putusan hakim. Keberadaan sanksi pidana tambahan disini berupa adanya pencabutan hak, dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 38 KUHP yang menyatakan mengenai adanya suatu pencabutan hak, disini Pasal 38 KUHP lebih menekankan adanya sanksi tambahan tidak dapat dijadikan dasar sebagai adanya komulasi atau penggabungan penerapan sanksi dalam Hukum Pidana. Karena dalam prakteknya dan dalam yurisprudensi-yurisprudensi yang menjatuhkan pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum tidak ditemukan sanksi tambahan berupa pencabutan hak seorang Notaris sebagai seorang pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Sanksi pidana dianggap sebagai sanksi paling kuat bagi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris, karena seperti disebutkan di atas sanksi pidana merupakan ultimum remedium yaitu obat terakhir, apabila sanksi perdata, administrasi atau sanksi kode etik Notaris tidak mempan atau dianggap tidak mempan dalam menghukum atau membuat Notaris menjadi jera untuk tidak melakukan perbuatan melawan hukum lagi. Prosedur penerapan sanksi pidana yaitu berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang amar putusannya menghukum Notaris untuk menjalani pidana tenentu. Jadi pertanggungjawaban secara pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah Notaris mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan 141 penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum. Notaris dapat dijatuhi sanksi pidana berupa pidana kurungan atau pidana penjara atau pidana lainya yang diatur dalam KUHP. Adapun yurisprudensi yang menunjang dalam pertanggungjawaban seorang Notaris secara pidana yaitu putusan Mahkamah Agung nomor 1099 K/PID/2010. Dalam hal ini seorang Notaris bernama San Smith, SH didakwa dalam dakwaan primair yaitu Pasal 266 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP yaitu telah melakukan, serta melakukan, menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran. Dakwaan Subsidair Pasal 263 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP yaitu membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan suatu hak yang dilakukan terhadap akta otentik, turut serta melakukan, menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk itu seolah-olah keterangannya sesuai kebenaran. Terhadap dakwaan tersebut Pengadilan Negeri Medan dalam putusannya Nomor 3036/PID.B/2009/PN.Mdn, tertanggal 4 Januari 2010 yang amar lengkapnya menyatakan bahwa terdakwa Notaris tersebut telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun. 142 Pengadilan Tinggi Medan menerima permintaan banding dari Jaksa dan Penasihat hukum terdakwa dan tetap menyatakan dalam putusan nomor 82/PID/2010/PT-MDN tanggal 25 Februari 2010 bahwa Notaris tersebut telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik dan menjatuhkan pidana penajara selama 2 (dua) tahun. Mahkamah Agung dalam Putusan MA nomor 1099 K/PID/2010 menolak permohonan Kasasi dan pemohon kasasi yaitu Notaris tersebut. Menimbang bahwa putusan judex facti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, judex facti tidak salah menerapkan hukum karena telah mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis. Putusan tersebut di atas seorang Notaris dibebankan petanggungjawaban secara pidana yaitu dengan dijatuhkan pidana penjara atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya, disini Notaris hanya dibebankan pertanggungjawaban pidana. Dalam amar putusannya tidak disebutkan pertanggungjawab secara perdata bempa penggantian kerugian yang didenta oleh para pihak maupun penanggungjawaban administrasi. Disini sanksi pidana merupakan sanksi yang paling terkuat dan bisa memberikan efek jera terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan Hukum dalam pembuatan akta otentik. Namun seharusnya pemberian ganti kerugian juga sangat perlu diberikan kepada para pihak, karena kerugian yang diderita para pihak tidak dapat dibilang sedikit. Dalam hal ini adanya komulasi pertanggungjawaban atau penggabungan Notaris perlu sanksi dilakukan atau sebagai wujud diterapkan dan sehingga 143 pertanggungjawaban seorang Notaris benar-benar memberikan rasa adil dan memberikan perlindungan hukum terhadap para pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum seorang Notaris dalam pembuatan akta otentik. Yurisprudensi lainnya yang menunjang digunakan dalam pemberian pertimbangan terhadap beberapa kasus yang berkaitan dengan tindak pidana yang melibatkan Notaris ialah Putusan Mahkamah Agung No. 702K/SIP/1973, yang dalam hal ini disebutkan bahwa Notaris fungsinya hanya mencatatkan / menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap Notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk menyelidiki secara materiil apa-apa atau hal-hal yang dikemukakan oleh penghadap dihadapan Notaris tersebut. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut jika akta yang dibuat dihadapan / oleh Notaris bermasalah oleh para pihak sendiri, maka hal tersebut menjadi urusan para pihak itu sendiri, Notaris tidak perlu dilibatkan dikarenakan Notaris bukan pihak di dalam akta. 4.3 Akibat Hukum Terhadap Adanya Dokumen Palsu Dalam Pembuatan Akta Otentik Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan sebagian dari kekuasan negara di bidang Hukum Perdata temtama untuk membuat alat bukti otentik (akta Notaris). Dalam pembuatan akta Notaris baik dalam bentuk partij akta maupun relaas akta, Notaris bertanggungjawab supaya setiap akta yang dibuatnya mempunyai sifat otentik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Kewajiban Notaris untuk dapat mengetahui peraturan hukum yang berlaku di Negara Indonesia juga serta untuk mengetahui hukum apa yang berlaku 144 terhadap para pihak yang datang kepada Notaris untuk membuat akta. Hal tersebut sangat penting agar supaya akta yang dibuat oleh Notaris tersebut memiliki otentisitasnya sebagai akta otentik karena sebagai alat bukti yang sempurna. Namun dapat saja Notaris melakukan suatu kesalahan dalam pembuatan akta. Kesalahan-kesalahan yang mungkin dapat terjadi, yaitu : a. Kesalahan ketik pada salinan Notaris, dalam hal ini kesalahan tersebut dapat diperbaiki dengan membuat salinan baru yang sama dengan yang asli dan hanya salinan yang sama dengan yang asli baru mempunyai kekuatan sama seperti akta asli. b. Kesalahan bentuk akta Notaris, dalam hal ini dimana seharusnya dibuat belita acara rapat tapi oleh Notaris dibuat sebagai pernyataan keputusan rapat. c. Kesalahan isi akta Notaris, dalam hal ini mengenai keterangan dari para pihak yang menghadap Notaris, di mana saat pembuatan akta dianggap benar tapi ternyata kemudian tidak benar.137 Apabila ada akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak atau yang berkepentingan, maka untuk menyelesaikannya harus didasarkan pada kebatalan dan pembatalan akta Notaris sebagai suatu alat bukti yang sempurna. Kesalahankesalahan yang terjadi pada akta-akta yang dibuat oleh Notaris akan dikoreksi oleh hakim pada saat akta Notaris tersebut diajukan ke pengadilan sebagai alat bukti. 137 Mudofr Hadi, 1991, Varia Peradilan Tahun VI Nomor 72, Pembatalan Isi Akta Notaris Dengan Putusan Hakim, hal. 142-143. 145 Menurut George Whitecross Patton138 alat bukti tersebut dapat berupa oral (words spoken by a witness in court) dan documentarjy (the production of a admissible documents) atau material (the production of a physical res other document). Alat bukti sah atau yang diterima dalam suatu perkara (perdata), pada dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan saksi-saksi, pengakuan, sumpah, dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang mempunyai nilai pembuktian. Dalam perkembangan alat bukti sekarang ini (untuk perkara pidana dan perdata) telah diterima juga alat bukti elektronik atau yang terekam atau yang disimpan secara elektronis sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan pengadilan. Dalam kaitan ini perlu diberi penekanan dan penjelasan terdapat alat bukti tertulis dapat berupa tulisan yang mempunyai nilai pembuktian. Secara tertulis tersebut dapat bempa Surat (secara umum) dan Surat dalam bentuk tertentu serta tata cara pembuatan dengan pejabat yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan dari hakim untuk menyatakan suatu akta Notaris tersebut batal demi hukum, dapat dibatalkan atau akta Notaris tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan-ketentuan pasal-pasal dalam UU Perubahan atas UUJN, yang menyebabkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum, maka pihak yang merugikan dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga pada Notaris. Dalam hal suatu akta Notaris dibatalkan oleh putusan hakim di pengadilan, maka jika 138 George Whitecross Patton, 1953, A Text-Book af Jurisprudence, Oxford at the Clarendon Press, second editon, hal. 481. 146 menimbulkan kerugian bagi para pihak yang berkepentingan, Notaris dapat dituntut untuk rnemberikan ganti rugi, sepanjang hal tersebut terjadi disebabkan oleh karena kesalahan Notaris. Namun dalam hal pembatalan akta Notaris oleh pengadilan dengan alasan bukan merupakan kesalahan Notaris, maka para pihak yang berkepentingan tidak dapat menuntut Notaris untuk memberikan ganti rugi. Seorang Notaris baru dapat dikatakan bebas dari pertanggungjawaban hukum apabila akta otentik yang dibuatnya dan atau dibuat dihadapannya telah memenuhi syarat formil. Akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan akta otentik pada dasarnya terjadinya suatu perkara dimana pejabat umum telah mencari-cari keuntungan serta menyalahgunakan kewenangan yang telah diatur dalam UU Perubahan atas UUJN dan seorang klien atau penghadap lainnya merasa dimgikan atas terbuatnya suatu akta yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris, sehingga berakibat akta otentik yang dibuat oleh Notaris dapat menjadi batal atau dapat dibatalkan. Mengenai pembatalan akta adalah menjadi kewenangan hakim perdata, yakni dengan mengajukan gugatan secara perdata kepengadilan. Apabila dalam persidangan dimintakan pembatalan akta oleh pihak yang dirugikan (pihak korban) maka akta Notaris tersebut dapat dibatalkan oleh hakim perdata jika ada bukti lawan. Sebagaimana diketahui bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang mempakan alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan sempurna. Ini berarti bahwa masih dimungkinkan dapat 147 dilumpuhkan oleh bukti lawan yakni diajukannya gugatan untuk menuntut pembatalan akta ke pengadilan agar akta tersebut dibatalkan. Pembatalan menimbulkan keadaan tidak pasti, oleh karena itu undangundang memberikan waktu terbatas dalam hal menuntut dimana oleh undangundang dapat dilakukan pembatalan apabila hendak melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian dalam suatu putusan oleh hakim perdata selama tidak dimintakan pembatalan maka perbuatan hukum perjanjian yang tercantum dalam akta tersebut akan tetap berlaku atau sah. Setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap atas gugatan penuntutan pembatalan akta tersebut maka akta itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti yang otentik karena mengandung cacat secara yuridis/cacat hukum, maka dalam amar putusan hakim perdata akan menyatakan bahwa akta tersebut batal demi hukum. Dan berlakunya pembatalan akta tersebut adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/perjanjian itu dibuat. Hukum perjanjian memuat adanya akibat hukum tertentu jika syarat subjektif dan syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang ada permintaan oleh orang-orang tertentu atau yang berkepentingan. Pembatalan karena ada permintaan dan pihak yang berkepentingan, seperti orang tua, wali atau pengampu disebut pembatalan yang relatif atau tidak mutlak. Pembatalan relatif ini dibagi 2 (dua) yaitu pembatalan atas kekuatan sendiri, maka atas permintaan orang tertentu dengan mengajukan gugatan atau perlawanan, agar hakim menyatakan batal (nietig verklaard) suatu perjanjian. Contohnya jika tidak dipenuhi syarat subjektif 148 (Pasal 1446 KUHPerdata) dan pembatalan oleh hakim, dengan putusan membatalkan suatu perjanjian dengan mengajukan gugatan. Contohnya Pasal 1449 KUHPerdata.139 Syarat subjektif ini senantiasa dibayangi ancarnan untuk dibatalkan oleh para pihak yang berkepentingan dari orang tua, wali atau pengampu. Agar ancaman seperti itu tidak terjadi, maka dapat dimintakan penegasan dari mereka yang berkepentingan, bahwa perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan mengikat para pihak. Jika syarat suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka persetujuan tersebut tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUHPerdata), Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tctap sah (Pasal 1336 KUHPerdata), objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (nietig), tanpa perlu ada permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun. Perjanjian yang batal mutlak dapat juga terjadi, jika suatu perjanjian yang dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan untuk perbuatan hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah ditentukan atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, karena perjanjian sudah dianggap tidak ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak untuk saling menuntut atau menggugat dengan cara dan bentuk apapun.140 Misalnya jika suatu perjanjian 139 Wirjono Prodjodikoro, 1989, Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, hal. 121. 140 R. Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 22. 149 wajib dibuat dengan akta (Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tapi ternyata tidak dilakukan, maka perbuatan hukum atau perjanjian tersebut batal demi hukum. Pembatalan terhadap suatu akta otentik dapat juga dilakukan oleh Notaris apabila para pihak/penghadap menyadari adanya kekeliruan atau kesalahan yang telah dituangkan dalam akta tersebut. Sehingga dapat membuat keraguan terhadap kesepakatan/perjanjian dari para pihak/penghadap, maka akta tersebut dapat dibatalkan oleh Notaris. Bilamana Notaris terseret dalam perkara pemalsuan akta yang menjadi aktor intelektualnya atau Notaris turut serta ikut melakukan pemalsuan surat yang bisa dikategorikan dalam perbuatan tindak pidana tersebut maka secara yuridis tidak dapat ditolelir bukan hanya berdasarkan ketentuan pidana saja, tetapi juga oleh peraturan dalam KUHPerdata serta UU Perubahan atas UUJN. Kasus Notaris berkaitan dengan akta otentik yang dibuatnya dan aktanya menimbulkan perkara perdata atau pidana maka aktanya batal demi hukum karena kita melihat dari sisi syarat sah perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang berisi kesepakatan para pihak, kecakapan bertindak, adanya suatu hal tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu sebab yang halal terhadap perjanjian tersebut. Jika suatu akta menimbulkan suatu pidana maka persyaratan perjanjian dilihat unsur-unsur perjanjian yang terkandung didalamnya. Para ahli hukum seperti Sudikno Mertokusuno, Mariam Darus, dan J J. Satrio bersepakat 150 bahwa unsur-unsur perjanjian itu terdiri dari unsur esensialia, unsur naturalia, dan unsur aksidentalia.141 Unsur pertama lazim disebut dengan bagian inti perjanjian, unsur kedua dan ketiga disebut bagian non inti perjanjian. Unsur esensialia adalah unsur yang mutlak harus ada untuk terjadinya perjanjian, agar penjanjian itu sah dan ini merupakan syarat sahnya perjanjian. Jadi keempat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata merupakan unsur esensialia perjanjian. Dengan kata lain, sifat esensialia perjanjian adalah sifat yang menentukan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel). Unsur naturalia adalah unsur yang lazim melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian. Unsur ini merupakan sifat bawaan (natuur) atau melekat pada perjanjian. Misalnya penjual harus menjamin cacat-cacat tersembunyi kepada pembeli. Sedangkan unsur aksidentalia, artinya unsur yang harus dimuat atau dinyatakan secara tegas di dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya jika terjadi perselisihan, para pihak telah menentukan tempat yang dipilih. Untuk membuktikan suatu akta tersebut sah atau tidak sah dalam penelitian ini, digunakan asas praduga sah. Asas praduga sah (Vermoeden van Rechtmatigheid) atau Presumptio Iustae Causa adalah asas yang menganggap sah suatu produk hukum sebelum adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan tidak sah. Dengan adanya asas ini maka akta otentik yang dibuat oleh Notaris harus dianggap sah dan mengikat para pihak 141 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 84. 151 sebelurn dapat dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formal dan materiil akta otentik tersebut. Dalam ketentuan yang tersebut dalam Pasal 41 UU Perubahan atas UUJN yang menyatakan jika Notaris rnelanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 UU Perubahan atas UUJN mengakibatkan akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka akta Notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, namun apabila para pihak dapat membuktikan ketidakbenaran akta otentik tesebut dalam persidangan di pengadilan dan mengakibatkan akta tersebut dapat dibatalkan serta kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan tidak akan berlaku Iagi. Karena asas praduga sah ini berkaitan dengan akta yang dapat dibatalkan, merupakan suatu tindakan mengandung cacat yaitu tidak berwenangnya Notaris untuk membuat akta secara lahiriah, formal, materiil dan tidak sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta Notaris. Akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh Notaris secara melawan hukum sehingga menyebabkan akta otentik menjadi akta dibawah tangan serta akta tersebut dapat dibatalkan telah sejalan dengan teon kewenangan dan konsep perlindungan hukum. Seperti dikemukakan dalam teori kewenangan, Notaris dalam membuat akta otentik termasuk dalam kewenangan secara atribusi, berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Perubahan atas UUJN. Terjadinya suatu akibat hukum yaitu berupa akta otentik menjadi akta dibawah tangan dan akta tersebut dibatalkan diakibatkan oleh penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Notaris, dimana Notaris dalam menjalankan wewenangnya telah 152 melanggar ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kenlgian bagi para pihak dan mengakibatkan berubahnya kekuatan pembuktian akta dan adanya pembatalan akta otentik tersebut oleh pengadilan. Akibat hukum ini juga telah sejalan dengan konsep perlindungan hukum yang dikemukan Satijipto Raharjo yang menjelaskan bahwa perlindungan hukum mernberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Serta bahwa perlindungan hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. Sesuai dengan pengertian konsep perlindungan hukum yang dikemukan oleh para sarjana maka akibat hukum berupa pembatalan akta otentik dapat melindungi para pihak yang merasa dirugikan oleh perbuatan melawan hukum seorang Notaris dalam proses pembuatan akta otentik. Kedudukan akta Notaris dapat dibagi menjadi 5 macam yaitu dapat dibatalkan, batal demi hukum, mempunyai kekuatan pcmbuktian sebagai akta dibawah tangan, dibatalkan oleh para pihak sendiri dan dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena penerapan asas praduga sah. Kelima kedudukan akta Notaris tersebut tidak dapat dilakukan secara bersama-sama, tetapi hanya berlaku satu saja. Jika akta Notaris diajukan pembatalan oleh pihak yang berkepentingan kepada pengadilan umum (Negeri) dan telah ada putusan pengadilan umum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau akta Notaris mempunyai kududukan pembuktian sebagai akta dibawah 153 tangan atau akta Notaris batal demi hukum, atau akta Notaris dibatalkan oleh para pihak sendiri dengan akta Notaris lagi, maka pembatalan akta Notaris yang lainnya tidak berlaku. Akibat hukum terhadap terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah hilangnya keotentikkan akta tersebut dan menjadi akta dibawah tangan sesuai dengan ketentuan Pasal 41 UU Perubahan atas UUJN serta akta otentik tersebut dapat dibatalkan apabila pihak yang mendalilkan dapat membuktikannya dalam persidangan di pengadilan, karena pembuatan suatu akta otentik harus memuat ketiga unsur tersebut di atas (lahiriah, formil dan matenil) atau salah satu unsur tersebut tidak benar dan menimbulkan perkara pidana atau perdata yang kemudian dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Sehingga dalam menjalankan jabatannya seorang Notaris harus tunduk pada ketentuan undang-undang dan akta tersebut dibuat oleh dan dihadapan Notaris sesuai dengan prosedur dan tata cara pembuatan akta untuk agar koetentikannya tidak menjadi akta di bawah tangan atau akta tidak sampai dibatalkan. 154 BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan pada uraian pembahasan terhadap kedua permasalahan yang diteliti dalam tesis ini, maka kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Adapun tanggung jawab Notaris dalam hal terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta Notaris menurut UUJN dan UU Perubahan atas UUJN adalah ketika Notaris dalam menjalankan jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris bertanggung jawab sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya baik tanggung jawab dari segi Hukum Administrasi, Hukum Perdata, yaitu sesuai ketentuan sanksi yang tercantum dalam Pasal 84 dan 85 UU Perubahan atas UUJN dan kode etik, namun di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur adanya sanksi pidana. Dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa pelanggaran atas sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris. Aspek tersebut di atas sangat berkaitan erat dengan perbuatan Notaris melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan. 154 155 2. Notaris tidak dapat diminta pertanggungjawabannya pidana apabila muncul kerugian trhadap salah satu pihak sebagai akibat adanya dokumen palsu dari salah satu pihak, karena Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta. Keterangan palsu yang disampaikan oleh para pihak adalah menjadi tanggung jawab para pihak. Dengan kata lain, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris ialah apabila penipuan atau tipu muslihat itu bersumber dari Notaris sendiri. Oleh karena itu demi tegaknya hukum Notaris harus tunduk pada ketentuan pidana sebagaimana di atur dalam KUHP, dan terhadap pelaksanaannya mengingat Notaris melakukan perbuatan dalam kapasitas jabatannya untuk membedakan dengan perbuatan Notaris sebagai subyek hukum orang Pasal 50 KUHP memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris Pengertian penerapan Pasal 50 KUHP terhadap Notaris tidaklah semata-mata melindungi Notaris untuk membebaskan adanya perbuatan pidana yang dilakukannya tetapi mengingat Notaris mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN apakah perbuatan yang telah dilakukannya pada saat membuat akta Notaris sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. 5.2 Saran-Saran Adapun saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan di atas terhadap pertanggungjawaban Notaris dalam pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak adalah sebagai berikut : 1. Agar pemerintah selaku lembaga eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga legislatif merekontruksi kcmbali pengaturan dalam 156 UUJN juncto UU Perubahan atas UUJN mengenai tidak adanya komulasi atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban seorang Notaris, karena pengaturan komulasi atau penggabungan penerapan sanksi ini tentunya akan lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak yang dirugikan termasuk Notaris itu sendiri. Dan perlu disempurnakan kembali UU Perubahan atas UUJN untuk mempertegas tindakan-tindakan yang dilarang oleh Notaris dalam melaksanakan tugasnya, termasuk ketentuan-ketentuan dalam pembuatan akta baik bagi Notaris dan para pihak yang ingin membuat akta, baik dalam perspektif tindakannya yang berkaitan dengan Hukum Administrasi, Hukum Perdata, maupun Hukum Pidana, terutama pada pasal 66A UU Perubahan atas UUJN dimana sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud belum terbit sehingga dalam hal ini untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah yang berkaitan mengenai tugas dan fungsi seorang Notaris. 2. Agar Notaris sebagai pejabat publik yang melaksanakan tugas mulia membantu masyarakat menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapinya untuk selalu bertindak cermat, hati-hati, dan belajar meningkatkan pengetahuannya untuk mendalami mengenai peraturan perundangundangan yang berlaku dengan baik selama menjalankan jabatannya sebagai notaris, sehingga dapat seminimal mungkin terjadinya perbuatan atau akta yang dilahirkan dipersengketakan oleh para pihak yang berkepentingan. 157 DAFTAR PUSTAKA BUKU Adjie, Habib, 2008, Hukum Notariat di Indonesia-Tafsiran Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, PT. Rafika Aditama, Bandung. ---------, 2012, Menjalin Pemikiran-Pendapat Tentang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. ---------,2008, Sanksi Perdata dan Sanksi Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung. Anwar, H.A.K.Moch, 1989, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung. Arief, Barda Nawawi, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Upaya Reorientasi Pemahaman), Dipaparkan dalam Penataran Metodologi Penelitian Hukum, Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto. Bisri, Ilhami, 2005, Sistem Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Dinas Hukum Polri, 1995, Penjabaran Unsur Pasal-Pasal Dalam KUHP Dan Delik-Delik Lain Di Luar KUHP, Jakarta. Effendi, Lutfi, 2004, Pokok-pokok Hukum Administrasi, Edisi Pertama Cetakan Kedua, Bayumedia Publising, Malang. Fuady, Munir, 2006, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Citra Aditya Bakti, Bandung. Gandasubrata, HR. Purwoto, 1998, Renungan Hukum, IKAHI Cabang Mahkamah Agung RI. Ghofur Anshori, Abdul, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta. Habib, Kohar, 1984, Notaris Berkomunikasi, Alumni Bandung. Hadi, Mudofr, 1991, Varia Peradilan, Tahun VI Nomor 72, Pembatalan Isi Akta Notaris Dengan Putusan Hakim. Hadjon, Philipus, M, 1997, Tentang Kewenangan, Majalah "YURIDKA", No. 5-6 tahun XII, September-Desember. 157 Bulanan 158 ----------, 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan Ketujuh, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hariwijaya, M, 2007, Metodologi Dan Teknik Penulisan Skripsi, Tesis Dan Disertasi, Azzagrafika, Yogyakarta. Kansil, C. S. T dan Christine S. T. Kansil, 1979, Pokok-Pokok Etika Jabatan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. ----------, 1997, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. Karjadi, M, dan R Soesilo, 1990, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar), Politeia, Bogor. Kie, Tan Thong, 2000, Studi Notariat Serba Sebi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. Kohar, A, 1983, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung. Latumeten, Pleter E, 2005, Dapatkah Notaris Dipidana, Jika KTP Penghadap Palsu Dan Dalam Akta Tercantum Penghadap Saya Notaris Kenal, Renvoi, Nomor 11.23.II., 3 April. Mamminanga, Andi, 2008, Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Daerah dalam Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris berdasarkan UUJN, Tesis yang ditulis pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Mahmud Marzuki, Peter, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta. ----------, 2011, Penelitian Hukum, Edisi Pertama Cetakan ke-7, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke 6, Liberty, Yogyakarta. Muhammad, Abdulkadir, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bandung. Harahap, Yahya, M, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang di Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta. 159 ----------, 2000, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Penyidikan Dan Penuntutan), Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakana. Huisman, R.J.H.M, 1995, Algemen Bestuursrecht, Een Inleiding, Amsterdam : Kobra, tt. Kelsen, Hans, 1944, General Theory Of Law And State, New York. Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. V, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Notodisoerjo, R.Soegondo, 1982, Hukum Nataiat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Rajawali Pers, Jakarta. ----------, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia, PT Raja Grafindo, Jakarta. Notohamidjojo, O, 2011, Soal Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga Priyatno, Dwidja, 2004, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV. Utomo, Bandung. Prodjodikoro, Wirjono, 1989, Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung. Ridwan, H.R, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Schafmeister, D, N.Kijzer,E.PH.Sitorus, Editor J.E.Sahetapy, 1995, Hukum Pidana, Libert, Yogyakarta Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Snlbecker dalam Lexy J. Meleong, 1993, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung. Soegondo, R, 1991, "Hukum Pembuktian", PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. Soesilo, R, 1993, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor. Soemitro, Ronny Hanitijo, 1988, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. 160 Subekti, R, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Cet. XXVIII, Jakarta. ----------, 2005, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta. Sunggono, Bambang, 2005, Metode Penelitian Hukum, cetakan ke 7, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Suhrawardi K. Lubis, 2000, Etika Profesi Hukian, Sinar Grafika, Jakarta. ----------, 2008, Etika Profesi Hukum, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta. Suparmoko, 1991, Metode Penelitian Praktis, Yogyakarta Syahrani, Riduan, 1998, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,. Tedjosapatro, Liliana, 1991, Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana, CV Agung, Semarang. Thamrin, Husni, 2010, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, Laksbang Pressindo, Yogyakarta. Utrecht, E., 1960, Hukum Pidana I, Penerbit Universitas Bandung. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, H. D, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht, Uitgeverij LEMMA BV, Culemborg. Van Bemmelen, J.M, Strafvordering, Leerboek, v.h. Ned. Strafprocesrecht. Waluyo, Doddy Radjasa, Hanya ada Satu Pejabat Umum, Notaris, Media Notariat, Membangun Notaris Profesional. Whitecross Patton, George, 1953, A Text-Book af Jurisprudence, Oxford at the Clarendon Press, second editon. Weber, Max, 2008, Mastering Public Administration, Second Edition, CQ Press,Washington. Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT. Eresco Jakarta-Bandung. 161 PERUNDANG-UNDANGAN Burgerlijk Wetboek Indonesia terjemahan Oleh R. Subekti Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491) KAMUS Algra, N.E., H.R.W. Gokkel dkk, 1983, “Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda Indonesia,” Binacipta, Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. ARTIKEL Habib, Adjie, Batasan Pemidanaan Notaris, Jurnal Renvoi, Nomor 10-22 Tanggal 3 Maret 2005. Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2008, PT Gramedia Pustaka, Jakarta. Jati Diri Notaris Indonesia, Setiawan, 1995, Hak Ingkar dari Notaris dan Hubungannya dengan KUHP (suatu kajian uraian yang disajikan dalam Kongres INI di Jakarta). INTERNET Adjie, Habib, http://google.co.id,Notaris_Indonesia Majelis Pengawas Sebagai Pelapor Tindak Pidana, diakses pada tanggal 28 Maret 2012, pukul 15.20 WITA 162 Muhammad Fajri, Perspektif Notaris Dalam Pemeriksaan Sidang Pengadilan, (http://www.ptpn5.com) diakses pada tanggal 20 Maret 2013, pukul 13.30 WITA