pertanggung jawaban notaris dalam pembuatan akta

advertisement
TESIS
PERTANGGUNG JAWABAN NOTARIS DALAM
PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN PEMALSUAN
SURAT OLEH PARA PIHAK
PUTU VERA PURNAMA DIANA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
2
TESIS
PERTANGGUNG JAWABAN NOTARIS DALAM
PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN PEMALSUAN
SURAT OLEH PARA PIHAK
PUTU VERA PURNAMA DIANA
NIM. 1292461018
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i
3
PERTANGGUNG JAWABAN NOTARIS DALAM
PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN PEMALSUAN
SURAT OLEH PARA PIHAK
Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magister
pada Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana
Universitas Udayana
PUTU VERA PURNAMA DIANA
NIM. 1292461018
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii
4
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 13 JANUARI 2015
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof.Dr.I Ketut Mertha, SH.,M.Hum.
NIP. 19461231 197602 1 001
Dr. I Gede Artha, SH.,MH.
NIP. 19580127 198503 1 002
Mengetahui:
Ketua Program Magister Kenotariatan
Direktur
Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum.
NIP. 19640402 198911 2 001
Prof.Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 19590215 198510 2 001
iii
5
Tesis Ini Telah Diuji Pada
Tanggal 11 Desember 2014
Panitia penguji
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor : 3969/UN14.4/HK/2014
Tanggal 15 Oktober 2014
Ketua : Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH., M.Hum.
Anggota :
1. Dr. I Gede Artha, SH., MH.
2. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS.
3. Dr. I Gusti Putu Anom Kerti, SH., M.Kn.
4. Dr. I Dewa Made Suartha, SH., MH.
iv
6
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama
:
PUTU VERA PURNAMA DIANA
NIM
:
1292461018
Program Studi
:
Magister Kenotariatan
Judul Tesis
:
Pertanggung Jawaban Notaris Dalam
Pembuatan Akta
Berdasarkan Pemalsuan Surat Oleh Para Pihak
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 10 Nopember 2014
Yang membuat pernyataan
(Putu Vera Purnama Diana)
v
7
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun judul tesis
ini adalah “PERTANGGUNG JAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN
AKTA BERDASARKAN PEMALSUAN SURAT OLEH PARA PIHAK.”
Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan,
untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah
satu syarat untuk meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi
Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari
para pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini, penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing pertama
penulis yaitu Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH.,M.Hum dan Bapak Dr. I Gede Artha,
SH.,MH sebagai pembimbing kedua penulis yang telah dengan sabar memberikan
dukungan, bimbingan dan juga saran kepada penulis dalam proses penyelesaian
tesis ini.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika,
Sp.PD., KEMD. Rektor Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan
untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Terima kasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi,
Sp.S.(K), Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan
yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa pada Program
Pascasarjana Universitas Udayana dan kepada Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,
vi
8
M.Hum, Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana
Universitas Udayana atas kesempatan dan bimbingan yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi
Magister Kenotariatan Universitas Udayana.
Terima kasih juga penulis tujukan kepada Bapak/Ibu Dosen Pengajar pada
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah
memberikan ilmu kepada penulis, kepada Bapak/Ibu staf administrasi Program
Studi Kenotariatan Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan dan
dukungan selama perkuliahan dan penyusunan tesis ini. Terima kasih penulis
ucapkan kepada para penguji yaitu Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,MS,
Bapak Dr. I Gusti Putu Anom Kerti, SH.,MKn, dan Bapak Dr. I Dewa Made
Suartha, SH.,MH. yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis
demi penyelesaian tesis ini.
Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada keluarga tercinta,
Ayahanda Bapak Drs. I Gede Sumarabawa MM, Ibu Dra. Made Heryani, S.pd,
Kakak Nyoman Sudiarta Wijaya, SE, M.Pd, Putu Elik Trisia Trisna Wardani,
Made Treviana Sulistia Dewi, SE, Harry Irawan, Nyoman Dian Sukma
Siswandari, SH, Putu Gede Adi Krisna, SH, Ketut Astarini Paramitha, ST, Edi
Winarta, ST,
untuk doa, dukungan, semangat dan nasehat yang diberikan
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Kepada pacar tercinta I
Made Agus Mahendra Iswara, SH.,MH yang selalu dengan sabar memberikan
dukungan, motivasi, perhatian dan nasihat dalam penulisan tesis ini. Kepada
sahabat-sahabat tercinta Made Chandra Wrasmitha Dewi, Dwimayeni Savitri,
vii
9
SH.,MKn, Omink Adi Ariyani, Leny Apriani, Kadek Wika Wijani, Ayu Prita
Mellyana Dewi, SH, Putu Wulandari Savitri, SH, Arindi Ayudia Dharmayanthi,
SH, I. Gst Ayu Made Semilir Susila, SH., MKn, Yudhi Kharisma, SH, Gde
Rahadi Wiguna, SH.,MKn terima kasih untuk semangat dan dukungannya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Notaris/PPAT Ketut Neli Asih,
SH beserta staf pegawai atas ilmu yang diberikan dalam penyelesaian tesis ini.
Terima kasih juga kepada teman-teman seperjuangan Angkatan IV Mandiri
Magister Kenotariatan Universitas Udayana atas dukungan dan kebersamaannya
selama ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmatNya kepada
semua pihak yang mendukung penyelesaian tesis ini. Sebagai akhir kata, penulis
berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
menambah kepustakaan dalam bidang Kenotariatan, serta berguna bagi
masyarakat.
Denpasar, 10 November 2014
Penulis
viii
10
ABSTRAK
PERTANGGUNG JAWABAN NOTARIS DALAM
PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN PEMALSUAN SURAT
OLEH PARA PIHAK
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 (UUJN) maupun dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Jabatan
Notaris (UU Perubahan Atas UUJN) belum mengatur keberadaan sanksi hukum
pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan Atas UUJN dalam kaitannya
dengan aspek pidana dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan
ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan surat
atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP
sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan. Oleh
karena itu, penelitian ini berupaya menganalisis dan menjawab permasalahan
mengenai tanggung jawab notaris dalam hal terjadinya pemalsuan surat yang
dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta notaris menurut Undang-Undang
Jabatan Notaris, dan apakah notaris dapat dimintai pertanggungjawaban pidana
bila muncul kerugian terhadap salah satu pihak sebagai akibat adanya dokumen
palsu dari salah satu pihak.
Penelitian ini dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif yang
berangkat dari kekosongan norma. Sumber bahan hukum penelitian ini diperoleh
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan
hukum yang telah terkumpulkan selanjutnya disistematisasi, dianalisis dan
diberikan argurnentasi untuk mendapatkan kesimpulan atas kedua permasalahan
yang dibahas pada tesis ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adapun tanggung jawab Notaris
dalam hal terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak dalam
pembuatan akta Notaris menurut UUJN dan UU Perubahan atas UUJN adalah
ketika Notaris dalam menjalankan jabatannya terbukti melakukan pelanggaran,
maka Notaris bertanggung jawab sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya baik
tanggung jawab dari segi Hukum Administrasi, Hukum Perdata, yaitu sesuai
ketentuan sanksi yang tercantum dalam Pasal 84 dan 85 UU Perubahan atas
UUJN dan kode etik, namun di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak
mengatur adanya sanksi pidana. Dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa
pelanggaran atas sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak
pidana yang dilakukan oleh Notaris. Notaris tidak dapat diminta pertanggung
jawabannya pidana apabila muncul kerugian terhadap salah satu pihak sebagai
akibat adanya dokumen palsu dari salah satu pihak, karena Notaris hanya
mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta.
Keterangan palsu yang disampaikan oleh para pihak adalah menjadi tanggung
jawab para pihak. Dengan kata lain, yang dapat dipertanggungjawabkan oleh
Notaris ialah apabila penipuan atau tipu muslihat itu bersumber dari Notaris
sendiri.
Kata-kata Kunci :
Pemalsuan Surat, Pelanggaran, Notaris, Pertanggungjawaban
Pidana.
ix
11
ABSTRACT
NOTARY RESPONSIBILITY ON MAKING DEED BASED ON LETTER
FORGERIES OF THE PARTIES
Law No. 30 of 2004 (UUJN) as well as in Law No. 2 of 2014 about
Amendment of the Notary position law (UUJN Amendment) have not set the
presence of legal sanctions on delinquency of article 15 of the UUJN Amendment
in relation to the criminal aspect which is when the notary is not applying the
article provisions will lead to the acts of falsifying letters or certificates as
referred in article 263, 264, and 266 of the Criminal Code (KUHP) that will give
disadvantage to the concerned parties. Therefore, this study attempts to analyze
and answer issues concerning the responsibility of a notary in the case of letter
forgeries committed by the parties on making deed according to the Notary law.
And could notary asked to held for accountability when there disadvantages of
either party as a result of false documents from other party
This research qualified as a normative legal research that starts from the
nonexistent norm. The research source was obtained from primary legal
materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. Legal materials
that have been gathered up later been systematized, analyzed and given
argumentation to obtain conclusions on the issues discussed in this thesis.
The research results showed that the responsibility of Notary in case of
letter forgeries committed by the parties to making notary deed according to
UUJN and UUJN Amendment is when the notary running their duty proved to
have violated, notary have to responsible in accordance with the action in terms
of accountability of the Administrative Law, Civil Law, which is in accordance
with the sanction provision set forth in Article 84 and 85 of UUJN Amendment
and code of ethics, but in UUJN and UUJN Amendment did not yet provide
criminal sanctions. In practice it is found the fact that this violation is classified
as a crime act committed by a Notary. Notaries can not be asked to held the
resposibilities when there is disadvantage of either party as a result of false
documents from other party, because Notary only record what was presented by
the parties to be poured into the deed. False information that submitted by the
parties is the responsibility of the parties. In other words, which can be accounted
for by a notary is fraud or trickery when it comes from notary own.
Keywords: Letter forgeries, Violation, Notary, Criminal Responsibility.
x
12
RINGKASAN
Tesis ini menganalisis mengenai Petanggung jawaban Notaris dalam
pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak. Bab I, menguraikan
latar belakang masalah mengenai Realitanya dalam
masyarakat banyak
ditemukan adanya para pihak yang memberikan data dan informasi tidak sesuai
dengan kenyataannya kepada notaris dalam pembuatan suatu akta. Tugas seorang
notaris adalah menuangkan data dan informasi yang diberikan oleh para pihak
tanpa menginvestigasi lebih lanjut kebenaran data tersebut. Sebagaimana kita
ketahui bersama, notaris tidak memiliki kewenangan melakukan investigasi atau
mencari kebenaran materiil dari data dan informasi yang diberikan oleh para pihak
(penghadap). Timbul persoalan dalam hal bentuk pertanggungjawaban notaris
terhadap proses pembuatan akta otentik yang data dan informasinya dipalsukan
oleh para pihak. Notaris apabila melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU
Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak
menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan
pemalsuan surat atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264,
dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang
berkepentingan. Tetapi, di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak
mengatur mengenai tanggung jawab pidana seorang notaris dari akta yang telah
dibuatnya berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan oleh para pihak.
Sehingga timbul kekosongan norma hukum dalam UU Perubahan atas UUJN
yang berkaitan dengan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta berdasarkan
data dan informasi yang dipalsukan oleh para pihak. Berdasarkan latar belakang
masalah tersebut, maka pada sub ini juga diuraikan mengenai rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian.
Bab II, menguraikan tentang tinjauan umum. Tinjauan umum dijabarkan
menjadi 2 (dua) sub bab antara lain tinjauan umum terhadap jabatan Notaris,
tinjauan umum mengenai akta Notaris. Pertama, pada tinjauan umum terhadap
jabatan Notaris, dibahas mengenai pengertian Notaris, Notaris sebagai pejabat
umum, tugas dan kewenangan Notaris, kewajiban, larangan dan kode etik Notaris,
peran Notaris dalam membuat akta. Kedua, pada tinjauan umum mengenai akta
Notaris tentang akta Notaris sebagai akta otentik, kekuatan pembuktian akta
Notaris, pertanggung jawaban Notaris dalam pembuatan akta otentik.
Bab III, merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah
yang pertama, dibagi menjadi 1 (satu) sub bab yaitu bentuk tanggung jawab
seorang Notaris menurut Undang-Undang Jabatan Notaris yaitu tanggung jawab
dari segi Hukum Administrasi, tanggung jawab dari segi Hukum Perdata dan
tanggung jawab dari segi Hukum Pidana, di dalam UUJN dan UU Perubahan atas
UUJN tidak mengatur adanya sanksi pidana. Dalam praktek ditemukan kenyataan
bahwa pelanggaran atas sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai suatu
tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris. Aspek tersebut di atas sangat berkaitan
erat dengan perbuatan Notaris melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU
Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak
menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan
xi
13
pemalsuan atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266
KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan.
Bab IV, merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah
kedua yang dibagi menjadi 3 (tiga) sub bab yaitu pertama membahas mengenai
unsur-unsur perbuatan pidana terhadap pemalsuan akta, kemudian sub bab kedua
membahas mengenai pertanggung jawaban pidana oleh Notaris apabila muncul
kerugian dari salah satu pihak akibat adanya dokumen palsu, sub bab ketiga
membahas mengenai akibat hukum terhadap adanya dokumen palsu dalam
pembuatan akta otentik. Notaris dapat dikenakan sanksi pidana sepanjang batasanbatasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi rumusan
pelanggaran yang tersebut dalam UU Perubahan atas UUJN dan kode etik jabatan
Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP. Apabila
tindakan pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
Notaris memenuhi rumusan suatu tindak pidana, tetapi jika memang berdasarkan
UU Perubahan atas UUJN merupakan suatu pelanggaran. Maka Notaris yang
bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai
sebuah akta harus didasarkan pada UU Perubahan atas UUJN dan kode etik
jabatan Notaris. Hilangnya keotentikkan akta akan menjadi akta dibawah tangan
sesuai dengan ketentuan Pasal 41 UU Perubahan atas UUJN, yang memiliki
akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum.
Bab V merupakan bab penutup yaitu menguraikan tentang simpulan dan
saran dari penulis. Penulis menyimpulkan bahwa tanggung jawab Notaris dalam
hal terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan
akta Notaris menurut UUJN dan UU Perubahan atas UUJN adalah ketika Notaris
dalam menjalankan jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris
bertanggung jawab sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya baik tanggung
jawab dari segi Hukum Administrasi, Hukum Perdata, yaitu sesuai ketentuan
sanksi yang tercantum dalam Pasal 84 dan 85 UU Perubahan atas UUJN dan kode
etik, namun di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur adanya
sanksi pidana. Dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa pelanggaran atas
sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang
dilakukan oleh Notaris. Aspek tersebut di atas sangat berkaitan erat dengan
perbuatan Notaris melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas
UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan
pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan atau
memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP
sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan. Notaris
tidak dapat diminta pertanggungjawabannya pidana apabila muncul kerugian
trhadap salah satu pihak sebagai akibat adanya dokumen palsu dari salah satu
pihak, karena Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak
untuk dituangkan ke dalam akta. Keterangan palsu yang disampaikan oleh para
pihak adalah menjadi tanggung jawab para pihak. Dengan kata lain, yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada Notaris ialah apabila penipuan atau tipu muslihat
itu bersumber dari Notaris sendiri. Oleh karena itu demi tegaknya hukum Notaris
harus tunduk pada ketentuan pidana sebagaimana di atur dalam KUHP.
xii
14
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN
SAMPUL DALAM..........................................................................................
i
PRASYARAT GELAR....................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...............................................................
v
UCAPAN TERIMAKASIH.............................................................................
vi
ABSTRAK ......................................................................................................
ix
ABSTRACT.......................................................................................................
x
RINGKASAN ..................................................................................................
xi
DAFTAR ISI....................................................................................................
xii
BAB I
PENDAHULUAN ..........................................................................
1
1.1
Latar Belakang ......................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah .................................................................
14
1.3
Ruang Lingkup Masalah ........................................................
15
1.4
Tujuan Penelitian ...................................................................
15
1.4.1 Tujuan Umum ............................................................
15
1.4.2 Tujuan Khusus............................................................
16
Manfaat Penelitian ................................................................
16
1.5.1 Manfaat Teoritis .........................................................
16
1.5.2 Manfaat Praktis ..........................................................
17
1.5
xiii
15
1.6
Landasan Teoritis ...................................................................
17
1.6.1 Asas Kepastian Hukum ..............................................
19
1.6.2 Konsep Notaris Sebagai Pejabat Umum ...................
20
1.6.3 Teori Kewenangan .....................................................
25
1.6.4 Teori Pertanggung Jawaban Hukum .........................
31
1.6.5 Teori Pertanggung Jawaban Dalam Hukum Pidana...
35
Metode Penelitian ..................................................................
40
1.7.1 Jenis Penelitian...........................................................
40
1.7.2 Jenis Pendekatan .......................................................
41
1.7.3 Sumber Bahan Hukum ...............................................
43
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .........................
45
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ..................................
46
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
47
2.1
Tinjauan Umum Terhadap Jabatan Notaris............................
47
2.1.1 Pengertian Notaris ......................................................
47
2.1.2 Notaris Sebagai Pejabat Umum..................................
51
2.1.3 Tugas dan Kewenangan Notaris.................................
56
2.1.4 Kewajiban, Larangan Dan Kode Etik Notaris............
60
2.1.5 Peran Notaris Dalam Membuat Akta .........................
71
Tinjauan Umum Mengenai Akta Notaris...............................
73
2.2.1 Akta Notaris Sebagai Akta Otentik ............................
73
2.2.2 Kekuatan Pembuktian Akta Notaris ...........................
74
1.7
BAB II
2.2
2.2.3 Pertanggungjawaban Notaris Pembuatan Akta Otentik 79
xiv
16
BAB III TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PEMBUATAN
AKTA BERDASARKAN PEMALSUAN SURAT OLEH
PARA PIHAK MENURUT UNDANG-UNDANG
JABATAN NOTARIS ...................................................................
3.1
3.2
3.3
81
Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris
dari Segi Hukum Administrasi...............................................
81
Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris
dari Segi Hukum Perdata .......................................................
87
Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris
dari Segi Hukum Pidana.........................................................
92
BAB IV TANGGUNG JAWAB PIDANA OLEH NOTARIS APABILA
MUNCUL KERUGIAN TERHADAP SALAH SATU PIHAK
SEBAGAI AKIBAT ADANYA DOKUMEN PALSU................ 108
4.1
Unsur-unsur Perbuatan Pidana terhadap Pemalsuan Akta
Otentik....................................................................................
108
Pertanggungjawaban Pidana oleh Notaris Apabila Muncul
Kerugian Dari Salah Satu Pihak Akibat Adanya Dokumen
Palsu ......................................................................................
123
Akibat Hukum Terhadap Adanya Dokumen Palsu Dalam
Pembuatan Akta Otentik ........................................................
143
PENUTUP ......................................................................................
154
5.1
Simpulan ................................................................................
154
5.2
Saran-saran.............................................................................
155
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
157
4.2
4.3
BAB V
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan masyarakat yang berkembang memerlukan kepastian hukum
dalam sektor pelayanan jasa publik. Salah satu pekerjaan yang menawarkan
pelayanan jasa dalam bidang hukum khususnya hukum perdata ialah Notaris.
Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah untuk membantu
masyarakat umum dalam hal membuat perjanjian-perjanjian yang ada atau timbul
dalam masyarakat. Perlunya perjanjian-perjanjian tertulis ini dibuat dihadapan
seorang notaris adalah untuk menjamin kepastian hukum serta untuk memenuhi
hukum pembuktian yang kuat bagi para pihak yang melakukan perjanjian.
Kebutuhan akan pembuktian tertulislah yang mengkehendaki pentingnya lembaga
notariat ini.1 Notaris merupakan profesi hukum sehingga profesi notaris
merupakan suatu profesi mulia (nobile officium). Notaris disebut sebagai pejabat
mulia karena profesi notaris sangat erat hubungannya dengan kemanusiaan. Akta
yang dibuat oleh notaris dapat menjadi alas hukum atas status harta benda, hak
dan kewajiban seseorang. Kekeliruan atas akta yang dibuat notaris dapat
menyebabkan tercabutnya hak seseorang atau terbebaninya seseorang atas suatu
kewajiban, oleh karena itu notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus
mematuhi berbagai ketentuan yang tersebut dalam Undang-Undang Jabatan
1
R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia, PT Raja
Grafindo, Jakarta, hal. 1-4.
1
2
Notaris.2 Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare
Amtbtenaren yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor
30
Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris yang diundangkan pada tanggal 6 Nopember 2004 dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 (UUJN) jo.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang
diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014 Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 3 (UU Perubahan atas UUJN). Dalam Pasal 1 angka 1 UU
Perubahan atas UUJN yang menegaskan bahwa notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini. Notaris adalah kepanjangan tangan negara
dimana Notaris menunaikan tugas negara di bidang hukum perdata. Dalam kaitan
ini, negara dalam rangka memberikan perlindungan hukum di bidang privat
kepada warga negara telah melimpahkan sebagian wewenangnya kepada Notaris
untuk membuat akta otentik.
Menurut A. Kohar akta adalah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan
alat bukti. Apabila akta dibuat dihadapan notaris maka akta tersebut dikatakan
sebagai akta notarial, atau akta otentik, atau akta notaris. Suatu akta dikatakan
otentik apabila dibuat dihadapan pejabat yang berwenang.3 Tujuan akta dibuat
dihadapan pejabat berwenang adalah agar supaya akta tersebut dapat digunakan
2
Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia,
Perspektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, hal. 46.
3
A. Kohar, 1983, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung,
hal. 64.
3
sebagai bukti yang kuat jika suatu saat terjadi perselisihan antara para pihak atau
ada gugatan dari pihak lain.
Berdasarkan uraian diatas, jelas begitu pentingnya fungsi dari akta Notaris
tersebut, oleh karena itu untuk menghindari tidak sahnya dari suatu akta, maka
lembaga Notaris diatur didalam UUJN. Posisi notaris sangat penting dalam
membantu menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat.
Notaris dalam ranah pencegahan terjadinya masalah hukum melalui akta otentik
yang dibuatnya sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan, apa yang
terjadi jika alat bukti yang paling sempurna tersebut kredibilitasnya diragukan.4
Penyelesaian hukum dapat dilakukan oleh seorang Notaris karena
Lembaga Notariat merupakan lembaga kemasyarakatan yang timbul dari
kebutuhan dalam pergaulan masyarakat berkenaan dengan hubungan hukum
keperdataan antara sesama individu yang menghendaki suatu alat bukti diantara
mereka. Seorang Notaris yang membuat suatu akta yang bisa dijadikan alat bukti
tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU
Perubahan atas UUJN, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini. Kedudukan seorang Notaris sebagai fungsionaritas dalam
masyarakat dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh
nasihat yang boleh diandalkan dan pembuatan dokumen yang kuat dalam suatu
proses hukum. Masyarakat membutuhkan seorang (figure) yang ketentuanketentuanya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta
4
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2008,
Indonesia, PT Gramedia Pustaka, Jakarta, hal. 7.
Jati Diri Notaris
4
segalanya (capnya) memberikan jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak
memihak
dan
penasihat
yang tidak
ada
cacatnya
(onkreukbaar
atau
unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat
melindunginya di hari yang akan datang.5 Berdasarkan Pasal 15 ayat (1), (2), dan
(3) UU Perubahan atas UUJN disebutkan:
(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan
atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Notaris
berwenang pula :
a. mengesahkan tandatangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
dibawahtangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus;
c. membuat kopi dari asli surat-surat dibawahtangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat
yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;atau
g. membuat akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta yang
memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak
kepada Notaris. Menurut Soebekti, yang dinamakan surat akta adalah suatu tulisan
yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa,
5
Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 162.
5
karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani.6 Sedangkan menurut Sudikno
Mertokusumo, yang dinamakan akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang
memuat peristiwa-peritiwa yang menjadi dasar dari suatu hak/perikatan yang
dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.7 Sehingga pembuatan akta
Notaris dapat digunakan sebagai pembuktian dalam sebuah sengketa hukum yang
digunakan sebagai alat untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah
terjadi, sehingga dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian.8 Pasal 1866
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) bahwa
bukti tulisan merupakan salah satu alat bukti tertulis. Demikian pula dalam Pasal
1867 KUH Perdata menetapkan : “Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan
tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan.”
Pasal 1868 KUH Perdata pada dasarnya menyatakan bahwa :“Suatu akta
otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk
itu di tempat di mana akta dibuatnya.” Yang dimaksud akta tersebut dibuat dalam
bentuk menurut ketentuan undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat
umum dan pejabat umum tersebut berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat.
Dengan demikian Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh para pihak yang
6
R. Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Cet. XXVIII,
Jakarta, hal. 178.
7
Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke
6, Liberty, Yogyakarta, hal. 142.
8
R.Soegondo Notodisoerjo, 1982, Hukum Nataiat Di Indonesia Suatu
Penjelasan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 19.
6
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. Tujuannya adalah sebagai
alat bukti yang kuat jika suatu saat terjadi perselisihan antara para pihak atau ada
gugatan secara perdata maupun tuntutan secara pidana dari pihak lain. Jika terjadi
suatu gugatan perdata maupun tuntutan pidana dari salah satu pihak maka tidak
menutup kemungkinan notaris akan tersangkut dalam persoalan para pihak yang
berperkara berkenaan dengan akta yang dibuat oleh Notaris.
Dalam praktik banyak ditemukan, jika ada akta notaris dipermasalahkan
oleh para pihak atau pihak ketiga lainnya, maka sering pula notaris ditarik sebagai
pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana,
yaitu membuat atau memberikan keterangan palsu ke dalam akta notaris.9 Dalam
hal ini notaris secara sengaja atau tidak disengaja notaris bersama-sama dengan
pihak/penghadap untuk membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk
menguntungkan pihak atau penghadap tertentu saja atau merugikan penghadap
yang lain harus dibuktikan di Pengadilan.
Akta Notaris yang dibuat sesuai kehendak para pihak yang berkepentingan
guna memastikan atau menjamin hak dan kewajiban para pihak, kepastian,
ketertiban dan perlindungan hukum para pihak. Akta notaris pada hakekatnya
memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak
kepada Pejabat umum (Notaris). Notaris berkewajiban untuk memasukkan dalam
akta tentang apa yang sungguh-sungguh telah dimengerti sesuai dengan kehendak
para pihak dan membacakan kepada para pihak tentang isi dari akta tersebut.
9
Habib Adjie, 2008, Hukum Notariat di Indonesia-Tafsiran Tematik
Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama,
Bandung, hal. 24.
7
Pernyataan atau keterangan para pihak tersebut oleh Notaris dituangkan dalam
akta Notaris.10 Sedangkan tulisan di bawah tangan atau disebut juga akta dibawah
tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang, tanpa
perantara atau tidak dihadapan Pejabat Umum (notaris) berdasarkan Pasal 1874
KUH Perdata. Akta Notaris merupakan alat bukti tulisan atau surat yang bersifat
sempurna, karena akta Notaris mempunyai 3 (tiga) kekuatan pembuktian yaitu :
1. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht) yang merupakan
kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahanya sebagai akta
otentik.
2. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht) yang memberikan
kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul
diketahui dan didengar oleh Notaris dan diterangkan oleh para pihak yang
menghadap, yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah
ditentukan dalam pembuatan akta Notaris.
3. Kekuatan pembuktian Materiil (materiele bewijskracht) yang merupakan
kepastian tentang materi suatu akta.11
Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu akta otentik ialah
suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Dibuat oleh
atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat
dimana akta dibuatnya. Dari isi Pasal 1868 KUH Perdata tersebut masih belum
jelas apa yang dimaksud dengan pejabat umum dan akta otentik. Pasal 1 angka 1
UU Perubahan atas UUJN dijelaskan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini. Pemberian kualifikasi notaris sebagai Pejabat
Umum berkaitan dengan wewenang notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UU
Perubahan atas UUJN bahwa notaris berwenang membuat akta otentik, sepanjang
pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
10
11
Ibid, hal. 45.
Ibid, hal. 26-27.
8
atau orang lain. Wewenang utama notaris adalah untuk membuat akta otentik.
Otentisitas dari akta notaris bersumber dari Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas
UUJN, di mana notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar), sehingga
dengan demikian akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut
memperoleh sifat akta otentik, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUH
Perdata. Sedangkan Akta Otentik menurut Pasal 1 angka 7 UU Perubahan atas
UUJN menyebutkan bahwa akta Notaris yang selanjutnya disebut akta adalah akta
otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara
yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Sehingga dalam perkara perdata, Akta otentik merupakan alat bukti yang
bersifat mengikat dan memaksa, artinya hakim harus menganggap segala
peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta otentik adalah benar, kecuali ada
alat bukti lain yang dapat menghilangkan kekuatan pembuktian akta tersebut.
Akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga jika ada
orang atau pihak yang menilai atau menyatakan akta tersebut tidak benar, maka
orang atau pihak yang menilai atau menyatakan tersebut wajib membuktikan
penilaian atau pernyataannya sesuai dengan aturan hukum.
Berbeda dengan perkara Pidana, akta Notaris sebagai akta otentik
merupakan alat bukti yang tidak dapat mengikat penyidik dan hakim dalam
pembuktian, atau bersifat bebas.12 Dasar alasan ketidakterikatan atas alat bukti
surat tersebut, didasarkan pada beberapa asas, antara lain :
12
M, Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP Pemeriksaan Sidang di Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan
Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 283.
9
a. Asas proses perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran Materiil atau
kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan mencari kebenaran formal.
Walaupun dari segi formil alat bukti surat telah benar dan sempurna,
namun kebenaran dan kesempurnaan formal itu dapat disingkirkan demi
untuk mewujudkan kebenaran materiil. Dengan asas ini hakim bebas
menilai kebenaran yang terkandung pada alat bukti surat.
b. Asas Keyakinan Hakim seperti terdapat dalam jiwa ketentuan Pasal 183
KUHAP. Menurut Pasal 183 KUHAP yang menganut ajaran system
pembuktian “menurut undang-undang secara negatif” artinya bahwa
hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila
kesalahan terdakwa telah terbukti sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah, dan atas keterbuktian itu hakim “yakin”, terdakwalah yang
bersalah melakukannya.
c. Asas batas minimum pembuktian, alat bukti surat resmi (otentik)
berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan undang-undang
adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai
kesempurnaan yang melekat pada alat bukti surat yang bersangkutan
tidak mendukung untuk berdiri sendiri.13
Jika dikaitkan dengan Pasal 183 KUHAP Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Oleh karena itu
13
Ibid, hal. 310-311.
10
meskipun akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak,
namun dalam perkara pidana, akta otentik masih dapat digugurkan dengan alat
bukti lain yang lebih kuat yaitu keterangan pihak ketiga atau para pihak yang
terkait dalam pembuatan akta tersebut. Karena dalam perkara pidana alat bukti
yang sah menurut undang-undang disebutkan secara rinci atau limitative sesuai
dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu : 1. Keterangan saksi, 2. Keterangan
ahli, 3. Surat, 4. Petunjuk, dan 5. Keterangan Terdakwa.
Kekuatan pembuktian akta Notaris dalam perkara pidana, merupakan alat
bukti yang sah menurut undang-undang dan bernilai sempurna. Namun nilai
kesempurnaanya tidak dapat berdiri sendiri, tetapi memerlukan dukungan alat
bukti lain.14Notaris tidak menjamin bahwa apa yang dinyatakan oleh penghadap
tersebut adalah benar atau suatu kebenaran, ini dikarenakan notaris tidak sebagai
investigator dari data dan informasi yang telah diberikan oleh para pihak. Bahwa
dalam Undang-undang Jabatan Notaris, sebagai pejabat umum Notaris dituntut
untuk bertanggung jawab terhadap akta yang telah dibuatnya. Apabila akta yang
dibuat ternyata dibelakang hari mengandung sengketa maka hal ini perlu
dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan notaris atau kesalahan para
pihak tidak mau jujur dalam memberikan keterangannya terhadap notaris, ataukah
adanya kesepakatan yang telah dibuat antara notaris dengan salah satu pihak yang
menghadap. Jika akta yang diterbitkan notaris mengandung cacat hukum yang
terjadi karena kesalahan notaris baik kerena kelalaiannya maupun karena
14
Ibid, hal. 311.
11
kesengajaan notaris itu sendiri maka notaris sudah seharusnya memberikan
pertanggungjawaban.
Pengaturan kewenangan notaris secara jelas diatur dalam Pasal 15 UU
Perubahan atas UUJN dari kewengan tersebut timbul tanggung jawab notaris
sebagai pejabat yang bertugas membuat akta otentik. Notaris dalam menjalankan
jabatannya apabila terbukti melakukan pelanggaran, maka sudah seharusnya
Notaris bertanggung jawab sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya baik
tanggung jawab dari segi Hukum Administrasi, Hukum Perdata, yaitu sesuai
ketentuan sanksi yang tercantum dalam Pasal 84 dan 85 UU Perubahan atas
UUJN dan kode etik, namun di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak
mengatur adanya sanksi pidana. Dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa
pelanggaran atas sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai suatu tindak
pidana. Aspek tersebut di atas sangat berkaitan erat dengan perbuatan Notaris
apabila melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN,
dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal
tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan surat atau
memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP
sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan.
Realitanya dalam masyarakat banyak ditemukan adanya para pihak yang
memberikan data dan informasi tidak sesuai dengan kenyataannya kepada notaris
dalam pembuatan suatu akta. Tugas seorang notaris adalah menuangkan data dan
informasi yang diberikan oleh para pihak tanpa menginvestigasi lebih lanjut
kebenaran data tersebut. Sebagaimana kita ketahui bersama, notaris tidak
12
memiliki kewenangan melakukan investigasi atau mencari kebenaran materiil dari
data dan informasi yang diberikan oleh para pihak (penghadap). Hal tersebut
berdampak pada akta yang dibuatnya yang dikemudian hari menjadi bermasalah.
Timbul persoalan dalam hal bentuk pertanggungjawaban notaris terhadap proses
pembuatan akta otentik yang data dan informasinya dipalsukan oleh para pihak.
UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur mengenai tanggung
jawab pidana seorang notaris dari akta yang telah dibuatnya berdasarkan data dan
informasi yang dipalsukan oleh para pihak. Sehingga timbul kekosongan norma
hukum dalam UU Perubahan atas UUJN yang berkaitan dengan tanggung jawab
notaris dalam pembuatan akta berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan
oleh para pihak. Berdasarkan latar belakang tersebut mendorong penulis untuk
mengangkat suatu judul yang akan dibahas dalam tesis ini adalah “Pertanggung
Jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta Berdasarkan Pemalsuan Surat
Oleh Para Pihak”.
Setelah menelusuri kepustakaan, kemudian diketahui bahwa tesis tentang
“Pertanggung Jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta Berdasarkan Pemalsuan
Surat Oleh Para Pihak” sampai saat ini belum ada. Namun, telah ditemukan
penelitian serupa meskipun di dalam penelitian tersebut tidak terdapat kesamaan.
Penelitian tersebut dijadikan bahan acuan, adapun penelitian yang dimaksud
adalah :
1. Steven
Winarso, Tesis Universitas Airlangga Surabaya 2009, dengan
judul “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Yang dibuat Berdasarkan
13
Keterangan dan Dokumen Palsu”, menggunakan metode yuridis normatif,
dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap akta yang dibuat
berdasarkan keterangan dan dokumen palsu ?
Kesimpulan :
1. Tanggung jawab Notaris dalam hal tindak pidana berupa tanggung
jawab berdasarkan hukum dan moral. Tanggung jawab Notaris
secara perrdata yakni mengganti biaya, kerugian, dan bunga serta
tanggung jawab pidana sesuai dengan ketentuan dalam KUHP.
Dengan adanya pembuatan akta yang berdasarkan keterangan dan
dokumen palsu dalam hal ini setiap akta Notaris yang dibuat tetap
sah sampai dibktikan oleh pihak yang dirugikan bahwa akta
tersebut dibuat berdasarkan surat dan keterangan palsu itu dengan
adanya putusan hakim yang bersifat tetap.
2. Tesis mahasiswa Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro Semarang dengan judul “Tanggung Jawab Notaris
Dalam Hal Terjadi Pelanggaran Kode Etik” yang disusun oleh Evie
Murniaty, Tahun 2010. Mengenai permasalahan yang dibahas dalam tsis
bersangkutan ada 2 (dua) hal yakni :
1. Bagaimanakah
tanggung
jawab
Notaris
dalam
hal
terjadi
pelanggaran kode etik ?
2. Bagaimana akibat hukum jika terjadi pelanggaran kode etik oleh
Notaris ?
14
3. Khoirun Nisa, SH, Tesis Universitas Brawijaya Malang 2013, dengan judul
“Tanggungjawab Notaris sebagai pejabat umum dalam perkara pidana
mengenai akta yang diterbitkan”, menggunakan metode penelitian hukum
normatif, dengan rumusan masalah :
1. Bagaimana tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum dalam
mempertanggung jawabkan isi akta yang menimbulkan perkara
pidana?
2. Bagaimana akibat hukum terhadap akta notaris yang aktanya
menimbulkan perkara pidana?
Penelusuran orisinalitas penelitian yang telah dilakukan, tidak ditemukan
adanya kesamaan dalam hal isi maupun subtansi karya tulis yang telah dimuat
sebelumnya. Oleh karena itu, tingkat orisinalitas penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan.
1.2 Rumusan Masalah
Latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tanggung jawab notaris dalam hal terjadinya pemalsuan
surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta notaris
menurut Undang-Undang Jabatan Notaris?
2. Apakah notaris dapat dimintai pertanggungjawaban pidana bila muncul
kerugian terhadap salah satu pihak sebagai akibat adanya dokumen palsu
dari salah satu pihak?
15
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Menurut Bambang Sunggono yang dimaksud dengan ruang lingkup
permasalahan adalah bingkai penelitian yang menggambarkan batas penelitian,
mempersempit permasalahan, dan yang membatasi areal penelitian.15 Sehubungan
dengan masalah yang dikemukakan diatas, maka ruang lingkup masalah dari tesis
ini akan dibatasi pada permasalahan mengenai tanggung jawab notaris dalam hal
terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta
notaris menurut Undang-Undang Jabatan Notaris dan dapatkah notaris dimintai
pertanggungjawaban pidana bila muncul kerugian terhadap salah satu pihak
sebagai akibat adanya dokumen palsu dari salah satu pihak.
1.4 Tujuan Penelitian
Agar penulisan karya ilmiah ini memiliki maksud yang jelas, maka harus
memiliki suatu tujuan guna mencapai target yang dikehendaki. Adapun tujuan
penulisan ini dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang
bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
1.4.1 Tujuan Umum
Adapaun tujuan penulisan ini adalah untuk mengembangkan kemampuan
diri dalam menyampaikan dan menuliskan pikiran dalam suatu karya ilmiah serta
lebih memahami mengenai aturan-aturan hukum yang berlaku terutama yang
terkait dengan pengaturan jabatan notaris, melaksanakan dan mewujudkan Tri
Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang akademis terkait bidang
15
Bambang Sunggono, 2005, Metode Penelitian Hukum, cetakan ke 7,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 111.
16
penelitian yang dilakukan mahasiswa mengenai suatu permasalahan hukum
sebagaimana
yang
dibahas
dalam
penelitian
ini
terkait
mengenai
pertanggungjawaban notaris dalam pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat
oleh para pihak, dan mengembangkan ilmu hukum, khususnya bidang hukum
kenotariatan serta sebagai syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan strata 2
(dua) di Magister Kenotariatan Universitas Udayana.
1.4.2 Tujuan Khusus :
Sementara itu, sesuai permasalahan yang dibahas, adapun tujuan khusus
dari penelitian ini adalah :
1. Untuk dapat mengetahui dan mengkaji lebih dalam mengenai tanggung
jawab notaris dalam hal terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh
para pihak dalam pembuatan akta notaris.
2. Untuk mengetahui dapat tidaknya Notaris dimintai pertanggungjawaban
perdata bila muncul kerugian terhadap salah satu pihak sebagai akibat
adanya dokumen palsu dari salah satu pihak.
1.5 Manfaat Penelitian
Setiap penulisan yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat memberikan
manfaat. Manfaat tersebut baik secara teoritis maupun praktis diperuntukkan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.
1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum Pidana dan ilmu
Kenotariatan, memberikan sumbangan yang berarti dalam bentuk kajian kritis,
17
asas-asas, teori-teori serta kajian teoritis yang lebih menitikberatkan kepada
pertanggungjawaban oleh pejabat publik yang dalam hal ini seorang Notaris
dalam pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat. Disamping itu, hasil
penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat bagi pengembangan hukum pidana
terkait dengan jabatan Notaris seperti mencantumkan suatu keterangan palsu di
dalam suatu akta otentik (Pasal 263, dan 264, 266 KUHP), turut serta melakuakan
tindak pidana (Pasal 55 KUHP). Hal ini secara keilmuan diharapkan dapat
membantu pengembangan teori-teori yang terkait.
1.5.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat
berharga bagi Notaris sebagai pejabat umum, pihak-pihak yang berperkara,
instansi terkait baik dari aparat penegak hukum yaitu polisi maupun Majelis
Pengawas Daerah dan Ikatan Notaris Indonesia untuk bertindak lebih profesional
di bidangnya masing-masing. Serta dapat memberikan sumbangan pemikiran juga
bagi peneliti sendiri dan
dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan
masyarakat luas pada umumnya mengenai pemalsuan surat yang dilakukan oleh
para pihak. Sehingga, dapat memberikan jalan keluar terhadap permasalahan yang
dihadapi dalam hal terjadinya pemalsuan surat oleh para pihak dalam pembuatan
akta notaris.
1.6 Landasan Teoritis
Berkenaan dengan kerangka teoritik ini dikemukakan teori-teori yang
diperkuat dengan kekuatan-kekuatan hukum positif sebagai acuan dan landasan
18
pemikiran
yang
digunakan
sebagai
landasan
dalam
membahas
kedua
permasalahan penelitian tesis ini. Menurut Snelbecker dikutip dalam Lexy J.
Meleong mendefenisikan teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi
secara sintaksis yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara
logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati dan berfungsi
sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.16
Fungsi teori adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta
menjelaskan gejala yang diamati.17 Teori berguna untuk menerangkan atau
menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori
harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan
ketidakbenarannya.
Menurut
Soerjono
Soekanto,
bahwa
“kontinuitas
perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas
penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.” 18 Teori inilah yang
dipergunakan sebagai landasan konseptual dalam pola berpikir untuk meneliti
lebih jauh mengenai pertanggungjawaban notaris dalam pembuatan akta
berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak. Penulisan tesis ini penulis
mempergunakan 1 (satu) Asas Kepastian Hukum, 2 (dua) teori yaitu toeri
kewenangan, dan teori pertanggungjawaban hukum dan 1 (satu) Konsep Notaris
sebagai pejabat umum :
16
Lexy J. Meleong, 1993, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja
Rosdakarya, Bandung, hal. 34-35.
17
Ibid, hal. 35.
18
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,
Jakarta, hal. 6.
19
1.6.1 Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum merupakan salah satu asas terpenting dalam negara
hukum. Menurut Radbruch hukum memiliki tujuan yang berorientasi pada hal-hal
berikut:
1. kepastian hukum;
2. keadilan;
3. daya guna atau kemanfaatan.19
Asas kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama
adanya aturan yang bersifat umum yang memberi penjelasan kepada individu
tentang perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kedua, adanya
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan kekuasaan pemerintah.
Asas kepastian hukum ini memberikan landasan tingkah laku individu dan
landasan perbuatan yang dapat dilakukan oleh negara terhadap individu.
Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang
melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim
yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di
putuskan.20
Asas kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian
tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Kepastian hukum secara normatif
adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena dapat
19
O. Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media,
Salatiga, hal. 33.
20
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana
Pranada Media Group, Jakarta (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I),
hal. 158.
20
memberikan pengaturan secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak
menimbulkan keragu-raguan atau multi tafsir, dan logis dalam arti hukum tersebut
menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma ataupun adanya kekaburan dan kekosongan norma.
Asas ini dapat dipergunakan untuk dapat mengatasi persoalan dalam hal
bentuk pertanggungjawaban notaris terhadap proses pembuatan akta otentik yang
data dan informasinya dipalsukan oleh para pihak. Realitanya banyak
permasalahan seperti ini timbul di masyarakat dan mengikutsertakan Notaris
tetapi di dalam pengaturannya terutama di UUJN sendiri tidak mengatur mengenai
tanggung jawab pidana seorang notaris dari akta yang telah dibuatnya berdasarkan
data dan informasi yang dipalsukan oleh para pihak. Dengan asas kepastian
hukum ini diharapkan dapat memberikan suatu bentuk kepastian bagi notaris
apabila berhadapan dengan kasus seperti ini.
1.6.2 Konsep Notaris Sebagai Pejabat Umum
Istilah pejabat dapat diartikan sebagai pemegang jabatan orang lain untuk
sementara, sedangkan pejabat sebagai pegawai pemerintah yang memegang
jabatan (unsur pimpinan) atau orang yang memegang suatu jabatan. 21 Suatu
jabatan sebagai personifikasi hak dan kewajiban dapat berjalan oleh subyek
manusia atau subyek hukum yang dapat menjalankan hak dan kewajiban dengan
didukung oleh jabatan ialah pejabat.22 Jabatan dilaksanakan melalui perantara
21
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Kamus Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 392.
22
Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia-Tabir Tematik Terhadap
UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, PT. Rafika Adisama, Bandung
(selanjutnya disebut Habib Adjie I), hal. 12.
21
pejabatnya, jabatan merupakan lingkungan pekerjaan tetap sebagai subyek hukum
(persoon), yakni pendukung hak dan kewajiban (suatu personifikasi). Sebagai
subyek hukum maka jabatan itu dapat menjamin kesinambungan hak dan
kewajiban.
Hubungan antara jabatan dengan pejabat, bahwa jabatan bersifat tetap
(lingkungan pekerjaan tetap). Jabatan dapat berjalan oleh manusia sebagai
pendukung hak dan kewajiban sehingga disebut sebagai pejabat, pejabat adalah
orang yang menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan amanat dari
jabatannya. Pejabat dapat berganti-ganti orangnya terhadap suatu jabatan,
sedangkan jabatan akan terus ada selama masih dibutuhkan di dalam suatu
struktur pemerintahan ataupun struktur organisasi.23
Jabatan dengan pejabat sangat berhubungan erat dan tidak dapat
dipisahkan, jabatan bersifat tetap dan baru dapat dijalankan apabila ada pejabat
sebagai pendukung hak dan kewajibannya. Oleh karena itu suatu jabatan tidak
akan berjalan jika tidak ada pejabat yang menjalankanya, kata pejabat lebih
menonjolkan orang yang memangku jabatan. Segala tindakan yang dilakukan
olehpejabat sesuai dengan jabatannya merupakan suatu implementasi dari hak dan
kewajiban jabatannya.
Pejabat Umum berasal dari bahasa Belanda yaitu Openbare Ambtenaren,
menurut kamus hukum.24 Salah satu arti dari Openbare Ambtenaren adalah
pejabat, dengan demikian Openbare Ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai
23
Ibid, hal. 14.
N.E. Algra, H.R.W. Gokkel dkk, 1983, “Kamus Istilah Hukum Fockema
Andreae, Belanda Indonesia,” Binacipta, Jakarta, hal. 29.
24
22
tugas bertalian dengan kepentingan masyarakat, sehingga Openbare Ambtenaren
diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang
melayani kepentingan masyarakat, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada
Notaris25. Menurut N.G Yudara26, “Pejabat umum adalah organ negara yang
dilengkapi dengan kekuasaan umum (met openbaar gezag bekleed), yang
berwenang menjalankan sebagian kekuasaan negara khususnya dalam pembuatan
dan peresmian alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang hukum perdata
sebagaimana ditentukan Pasal 1868 BW”. Pejabat Umum satu-satunya yang
ditunjuk oleh Pasal 1868 BW adalah Notaris berdasarkan UUJN dan UU
Perubahan atas UUJN.
Notaris adalah Pejabat Umum yang berfungsi menjamin otoritas pada
tulisan-tulisannya (akta). Notaris diangkat oleh pengurus tertinggi negara dan
kepadanya diberikan kepercayaan dan pengakuan dalam memberikan jasa bagi
kepentingan masyarakat27. Notaris sebagai Pejabat Umum memiliki tanggung
jawab atas perbuatannya terkait dengan pekerjaannya dalam membuat akta. Ruang
lingkup pertanggung jawaban Notaris meliputi kebenaran materiil, dapat dibagi
menjadi empat poin :28
1. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil dari akta
yang dibuatnya.
25
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 13.
Husni Thamrin, 2010, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris,
Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal. 74.
27
Ibid, hal. 72.
28
Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hal. 34.
26
23
Kontruksi yuridis yang digunakan dalam tanggung jawab perdata terhadap
kebenaran materiil terhadap akta yang dibuat oleh Notaris adalah kontruksi
perbuatan melawan hukum.29 Kontruksi yuridis ini bersifat sangat luas dan dapat
mencakup segala perbuatan yang menyebutkan terjadinya kerugian pada pihak
lain. Bila dikaitkan dengan Notaris sebagai Pejabat Umum, bahwa berdasarkan
kontruksi yuridis perbuatan melawan hukum dapat terjadi apabila Notaris
melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kerugian salah satu atau kedua
belah pihak. Notaris dalam hal ini dapat dimintakan pertanggungjawaban
berdasarkan kontruksi perbuatan melawan hukum.
Tanggung jawab Notaris terkait dengan kebenaran materiil dari isi akta
yang di buat dihadapannya menurut Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa :
Mengingat Notaris pada dasarnya hanya mencatat apa yang dikemukakan
oleh para penghadap dan tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran
materiil isinya, maka tidaklah tepat bila hakim membatalkannya. Notaris
dapat berbuat salah atas mengenai isi akta karena informasi yang salah dari
para pihak. Kiranya kesalahan demikian tidak dapat dipertanggung jawabkan
kepada Notaris karena isi akta telah dikonfirmasikan kepada para pihak oleh
Notaris.30
2. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dari akta
yang dibuatnya
Berdasarkan pengertian dari tindak pidana, konsekuensi dari perbuatan
pidana dapat melahirkan jawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana baru timbul
bila subyek hukum melakukan kesalahan yang dapat berupa kesengajaan (dolus)
maupun kealpaan (culpa).
29
30
Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hal. 35.
Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hal. 37.
24
Berkaitan dengan pertanggungjawaban Notaris sebagai Pejabat Umum
maka sesungguhnya Notaris bila melakukan tindak pidana dapat dikenakan
tuntutan
pidana yang berdasarkan perbuatan pemalsuan surat, namun dalam
hubungannya dengan kebenaran materiil atas akta yang dibuat, Notaris dalam
menjalankan profesinya melalui kontruksi yuridis bahwa Notaris sejatinya hanya
fasilitator dari para pihak dalam partij acte. Sehingga secara materiil Notaris tidak
terlibat di dalam akta para pihak tersebut. Kecuali Notaris mengetahui para pihak
dalam membuat akta itu beritikad buruk atau dengan akta tersebut dapat timbul
perbuatan pidana.
3. Tanggung jawab Notaris berdasar Peraturan Jabatan Notaris terhadap
kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya
Mengenai kebenaran materiil dalam akta yang dibuat, Notaris bertanggung
jawab untuk mengikuti aturan di dalam UU Perubahan atas UUJN. Apabila akta
yang dibuat tidak memenuhi ketentuan dalam UU Perubahan atas UUJN maka
akta yang dibuat akan bersifat sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut
akan menjadi batal demi hukum. Kelalaian dan ketidakpahaman Notaris terhadap
peraturan di dalam UU Perubahan atas UUJN dapat menyebabkan Notaris
dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan sehingga pihak yang menderita
kerugian memiliki alasan yuridis untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi,
dan bunga kepada Notaris.31
31
Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit, hal. 46.
25
4. Tanggung Jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan
kode etik Notaris
Hubungan profesi Notaris dengan masyarakat dan negara telah diatur
dalam UUJN berikut aturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan hubungan
profesi Notaris dengan organisasi profesi Notaris diatur melalui kode etik Notaris.
Keberadaan kode etik merupakan suatu konsekuensi dari sebuah profesi. Ada
pendapat yang menyatakan bahwa Notaris sebagai Pejabat Umum yang
mengemban kepercayaan harus memegang teguh tidak hanya kepada peraturan
perundang-undangan semata namun juga pada kode etik profesinya, karena tanpa
adanya kode etik profesi harkat dan martabat dari profesinya akan hilang.
1.6.3 Teori Kewenangan
Kewenangan memiliki arti : hal berwenang, hak dan kekuasaan yang
dipunyai untuk melakukan sesuatu. Kewenangan yang di dalamnya terkandung
hak dan kewajiban, menurut P. Nicolai adalah sebagai berikut :
Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen
(handelingen die op rechtsgevolgen onstaan of teniet gaan). Een recht houdt
in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepaalde feitelijke handeling te
verrichen of na te laten, of de (rechtens gegeven) aanspraak of het verrichten
van een handeling door een ander. Een plicht impliceert een verplichting om
een bepaalde handeling te verrichten of na te laten.
Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakantindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan
mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisi
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau
menuntut pihak lain untuk melakukan tinakan tertentu, sedangkan kewajiban
memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan
tertentu.32
32
Ridwan H.R, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 102.
26
Wewenang
tidak
sama
dengan
kekuasaan,
kekuasaan
hanya
menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang
sekaligus berarti hak dan kewajiban. Dalam negara hukum, wewenang
pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, R.J.H.M.
Huisman sebagaimana dikutip dari Ridwan H.R menyatakan pendapat berikut ini :
Een bestuurorgaan kan zich geen bevoegdheid toergenen. Slecht de wet kan
bevoegdheden verlenen. De wetgever kan en bevoegdheid niet alleen
attribueren aan en bestuurorgaan, maar ook aan ambtienaren (bijvoorbeeld
belastinginspecteursm ibspecteur voor hes milleu enz) of aan speciale collage
(bijvoorbeeld de kiesraad de pachskame), of zelfs aan privaatrechtelijke
rechtspersonen.
Organ pemerintah tidak dapat menganggap bahwa telah memiliki sendiri
wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh UndangUndang. Pembuat Undang-Undang dapat memberikan wewenang pemerintah
tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga terhadap para pegawai
(misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan dan sebagainya) atau
terhadap badan khusus (seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus
untuk perkara sewa tanah), atau bahkan terhadap badan hukum privat.33
Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui 2 (dua) cara yaitu dengan
atribusi atau dengan pelimpahan wewenang.
a) Atribusi
Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam
tinjauan hukum tata negara, atribusi ini ditunjukkan dalam wewenang yang
dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan
kewenangan yang dibentuk oleh pembuat Undang-Undang. Atribusi ini menunjuk
pada kewenangan asli atas dasar konstitusi atau peraturan perundang-undangan.
33
R.J.H.M. Huisman, 1995, Algemen Bestuursrecht, Een Inleiding,
Amsterdam : Kobra, tt, hal. 4.
27
b) Pelimpahan wewenang
Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dari wewenang
pejabat atasan kepada bawahan tersebut untuk membantu dalam melaksanakan
tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang ini
dimaksudkan untuk menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur komunikasi
yang bertanggung jawab, sepanjang tidak ditentukan secara khusus oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bentuk pelimpahan kewenangan dapat dibagi
menjadi dua, yaitu :
a) Delegasi
Pendelegasian diberikan biasanya antara organ pemerintah satu dengan
organ pemerintah lain dan biasanya pihak pemberi wewenang memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dari pihak yang diberikan wewenang.
b) Mandat
Umumnya mandat diberikan dalam hubungan kerja internal antara atasan
dengan bawahan. Kewenangan yang sah jika ditinjau dari mana kewenangan itu
diperoleh, maka ada tiga kategori kewenangan, yaitu atributif, mandat, dan
delegasi.34
a) Kewenangan Atributif
Kewenangan atributif lazimnya digariskan atau berasal dari adanya
pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar. Istilah lain untuk
kewenangan distributif adalah kewenangan asli atau kewenangan yang tidak dapat
dibagi-bagikan kepada siapapun. Dalam kewenangan atributif, pelaksanaannya
34
Lutfi Effendi, 2004, Pokok-pokok Hukum Administrasi, Edisi Pertama
Cetakan Kedua, Bayumedia Publising, Malang, hal. 77-79.
28
dilakukan sendiri oleh pejabat atau badan tersebut yang tertera dalam peraturan
dasarnya. Adapun mengenai tanggung jawab dan tanggung gugat berada pada
pejabat ataupun pada badan sebagaimana tertera dalam peraturan dasarnya.
b) Kewenangan Mandat
Kewenangan mandat merupakan kewenangan yang bersumber dari proses
atau prosedur pelimpahan dari pejabat atau badan yang lebih tinggi kepada pejabat
atau badan yang lebih rendah. Kewenangan mandat terdapat dalam hubungan
rutin atasan bawahan, kecuali bila dilarang secara tegas. Setiap saat pemberi
kewenangan dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan tersebut.
c) Kewenangan Delegatif
Kewenangan delegatif merupakan kewenangan yang bersumber dari
pelimpahan suatu organ pemerintahan kepada organ lain dengan dasar peraturan
perundang-undangan. Berbeda dengan kewenangan mandat, dalam kewenangan
delegatif, tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada yang diberi
limpahan wewenang tersebut atau beralih pada delegataris. Dengan begitu,
pemberi limpahan wewenang tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali
setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas contrarius actus. Oleh sebab
itu, dalam kewenangan delegatif peraturan dasar berupa peraturan perundangundangan merupakan dasar pijakan yang menyebabkan lahirnya kewenangan
delegatif tersebut. Tanpa adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur
pelimpahan wewenang tersebut, maka tidak terdapat kewenangan delegasi. 35
35
Ibid, hal. 77-79.
29
Pendapat
beberapa
sarjana
lainnya
yang
mengemukakan
bahwa
kewenangan yang diperoleh secara atribusi itu sebagai penciptaan kewenangan
(baru) oleh pembentuk wet (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara,
baik yang sudah ada maupun yang baru dibentuk untuk itu. Tanpa membedakan
secara teknis mengenai istilah wewenang dan kewenangan, Indroharto
berpendapat dalam arti yuridis : pengertian wewenang adalah kemampuan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat
hukum.
Menurut teori kewenangan dari H.D.van Wijk/Willem Konijnenbelt dapat
dirumuskan sebagai berikut :
a) Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan
een bestuursorgaan; (pemberian izin/wewenang oleh pemerintah kepada
pejabat administrasi Negara)
b) Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan
aan een ander; (pelimpahan wewenang dari satu badan ke yang lain)
c) Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem
uitoefenen door een ander. (tidak adanya suatu pelimpahan wewenang
dari Badan atau pejabat yang satu kepada yang pejabat lain ). 36
Menurut Philipus M. Hadjon, kewenangan membuat keputusan hanya
dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan atribusi atau dengan delegasi.
Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Philipus
menambahkan
36
bahwa
“Berbicara
tentang
delegasi
dalam
hal
ada
H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1988, Hoofdstukken van
Administratief Recht, Uitgeverij LEMMA BV, Culemborg, hal. 56.
30
pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada. Apabila kewenangan itu
kurang sempurna, berarti bahwa keputusan yang berdasarkan kewenangan itu
tidak sah menurut hukum”.37
Pernyataan diatas, dapat dipahami bahwa atribusi dan delegasi merupakan
suatu sarana yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu badan berwenang
atau tidak dalam melaksanakan kewajiban kepada masyarakat. Philipus M.
Hadjon menyatakan dalam hal mandat tidak ada sama sekali pengakuan
kewenangan atau pengalih tanganan kewenangan. Di sini menyangkut janji-janji
kerja intern antara penguasa dan pengawal. Dalam hal-hal tertentu seorang
pegawai memperoleh kewenangan untuk atas nama si penguasa. 38 Berdasarkan
pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh notaris
merupakan kewenangan atribusi yang berasal dari peraturan perundang-undangan.
Max Weber menyebutkan bahwa, “In legal authority, Legitimacy is based on a
belief in reason, and laws are obeyed because they have been enacted by proper
procedures.”39 (Dalam kewenangan hukum, keabsahan suatu perbuatan
didasarkan pada keyakinan dalam penalaran dan hukum yang dipatuhi karena
telah diberlakukan dengan prosedur yang tepat).
Hal tersebut menunjukkan bahwa segala kewenangan notaris adalah sah
apabila dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku, yaitu dalam bentuk
peraturan perundang-undangan. Hal ini secara tegas dapat ditemukan dalam Pasal
37
Philipus M. Hadjon, 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Cetakan Ketujuh, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 110.
38
Ibid, hal. 131.
39
Max Weber, 2008, Mastering Public Administration, Second Edition,
CQ Press,Washington, hal. 32.
31
15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perubahan atas UUJN tentang kewenangan
notaris. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa notaris berwenang untuk membuat
akta otentik secara umum. Beberapa batasan terhadap kewenangan tersebut
adalah:
1.
Sepanjang tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan dengan
undang-undang;
2.
Sepanjang menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta
otentik yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang
bersangkutan;
3.
Sepanjang mengenai subjek hukum untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.
Teori kewenangan ini digunakan untuk membahas dan menganalisis
masalah tentang kewenangan notaris dalam memberikan jasanya kepada para
pihak. Dengan mengetahui wewenang tersebut dapat memberikan kejelasan
mengenai tanggung jawab notaris dalam membuat akta berdasarkan pemalsuan
surat oleh para pihak.
1.6.4 Teori Pertanggung Jawaban Hukum
Pertanggung jawaban dapat diistilahkan ke dalam dua bentuk menurut
kamus hukum, yakni liability (the state of being liable) dan responsibility (the
state or fact being responsible). Liability merupakan istilah hukum yang luas (a
broad legal term), yang di dalamnya antara lain mengandung makna bahwa “it
has been reffered to as of the most comprehensive significance, including almost
every character of hazard or responsibility, absolute, contingen, or likely. It has
been defined to mean : all character of debt and obligations”. (Liability
32
menunjukkan kepada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap
karakter resiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang
mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dua
kewajiban).40 Disamping itu, liability juga merupakan “condition of being actually
or potentially subject to an obligation, condition of being responsible for a
possible or actual loss, pinalty, evil, exspense, or burden; condition which crate a
duty to perform an act immediately or in the future.41 (Kondisi tunduk kepada
kewajiban secara aktual atau potensial; kondisi bertanggung jawab terhadap halhal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya, atau
beban; kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan Undang-Undang
dengan segera atau pada masa yang akan datang).
Responsibility berarti, “the state of being answerable for an obligation
and
include
judgement,
dipertanggungjawabkan
atas
skill,
suatu
obility
and
kewajiban,
capability”
dan
(Hal
termasuk
dapat
putusan,
keterampilan, kemampuan dan kecakapan).42 Responsibility juga berarti, “The
obligation to answer for an act done, and a repair or otherwise make restitution
fpr any injury it may have caused” (Kewajiban bertanggung jawab atas UndangUndang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberikan ganti
rugi atas kerusakan apa pun yang telah ditimbulkannya).
Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjukkan
pada pertanggung jawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang
40
Ridwan H.R. 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 335-337.
41
Ibid, hal. 335.
42
Ibid, hal. 338.
33
dilakukan oleh subyek hukum. Pasal 1365 KUH Perdata yang lazim dikenal
sebagai Pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya
empat unsur pokok, yaitu :
a. Adanya perbuatan;
b. Adanya unsur kesalahan;
c. Adanya kerugian yang diderita;
d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian
Kesalahan yang dimaksud didalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah unsur
yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum tidak hanya bertentangan
dengan undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.
Teori pertanggungjawaban menjelaskan bahwa sseorang bertanggung jawab
secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung
jawab hukum. Ini berarti bahwa di bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal
perbuatan yang dilakukan itu bertentangan. Hans Kelsen membagi pertanggung
jawaban menjadi 4 (empat) macam yaitu :
a. Pertanggungjawaban individu yaitu pertanggungjawaban yang harus
dilakukan terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri
b. Pertanggungjawaban
kolektif
berarti
bahwa
seorang
individu
bertanggungjawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain
c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang
individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena
sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbukan kerugian.
34
d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak
sengaja dan tidak diperkirakan. 43
Menurut pendapat Hans Kelsen tentang teori tanggung jawab hukum
menyatakan bahwa :
a concept related to that of legal duty is the concept of legal responsibility
(liability). That a person is legally responsible for a certain behavior or
that he bears the legal responsibility therefore means that he is liable to a
sanction in case contrary behavior. Normally, that is, in case the sanction
is directed againts the immediate delinquent, it is his own behavior for which
an individual is responsible. In this case the subject of the legal responsibility
and the subject of the legal duty coincide.44
Bahwa suatu konsep yang terkait dengan kewajiban hukum adalah konsep
tanggung jawab (liability). Seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab
untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam
kasus perbuatan berlawanan dengan hukum. Biasanya, dalam kasus, sanksi dikenakan
terhadap delinquent (penjahat) karena perbuatannya sendiri yang membuat orang
tersebut harus bertanggungjawab. Dalam kasus ini subjek tanggung jawab hukum
(responsibility) dan subjek kewajiban hukum adalah sama.
Teori tanggung jawab dalam hal ini dikaitkan dengan tanggung jawab
Notaris dalam hal pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak
yang dalam hal ini pemalsuan surat merupakan tindak pidana dimana di dalam
UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur mengenai tanggung jawab
pidana seorang notaris dari akta yang telah dibuatnya berdasarkan data dan
43
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi,
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal. 73-79.
44
Hans Kelsen, 1944, General Theory Of Law And State, New York.
hal. 65.
35
informasi yang dipalsukan oleh para pihak. Sehingga timbul kekosongan norma
hukum dalam UU Perubahan atas UUJN yang berkaitan dengan tanggung jawab
notaris dalam pembuatan akta berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan
oleh para pihak.
1.6.5 Teori Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana
Menurut Moeljatno “orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan
(dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi meskipun
melakukan perbuatan pidana, tidak selalu dia dapat dipidana”.45 Selanjutnya
Wirjono Prodjodikoro terkait tentang kapan harus ada sanksi pidana, menyatakan
bahwa:
Norma-norma atau kaidah-kaidah dalam bidang Hukum Tata Negara dan
Hukum Tata Usaha Negara harus pertama-tama ditanggapi dengan sanksi
Hukum Administrasi, begitu pula norma-norma dalam bidang Hukum
Perdata pertama-tama harus ditanggapi dengan sanksi perdata. Hanya
apabila sanksi Hukum Administrasi dan sanksi perdata ini belum
mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan,
maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai senjata pamungkas
(terakhir) atau ultimum remidium. Melakukan perbuatan pidana dilihat dari
segi persepsi masyarakat, hal itu adalah perbuatan dicela karenanya, yaitu
kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal marnpu
untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dan karenanya dapat
bahkan harus menghindari untuk berbuat demikian. Dengan demikian,
perbuatan tersebut memang sengaja dilakukan, dan celaannya dapat
berupa: kenapa melakukan perbuatan yang dia mengerti bahwa perbuatan
itu merugikan masyarakat. Orang juga dapat dicela karena melakukan
perbuatan pidana, jika dia, meskipun tak sengaia dilakukan, tapi terjadinya
perbuatan tersebut dimungkinkan karena dia alpa atau lalai terhadap
kewajiban-kewajiban yang dalam hal tersebut, oleh masyarakat dipandang
seharusnya, (sepatutnya) dijalankan olehnya. Disini celaan tidak berupa
kenapa melakukan perbuatan padahal mengerti (mengetahui) sifat jeleknya
perbuatan seperti dalam hal kesengajaan, tapi berupa kenapa tidak
menjalankan kewajiban-kewajiban yang seharusnya (sepatutnya)
45
Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. V, PT. Rineka Cipta,
Jakarta, hal. 155.
36
dilakukan olehnya dalam hal itu, sehingga karenanya masyarakat
dirugikan.46
Di sini perbuatan dimungkinkan terjadi karena kealpaan Ajaran Pompey,47
mengemukakan dua gambaran, yaitu suatu gambaran teoritis tentang “peristiwa
pidana” dan suatu gambaran menurut hukum positif, yakni suatu “wettelyke
definitie“ (definisi menurut undang-undang), tentang “peristiwa pidana” itu.
Gambaran
teoritis
suatu
peristiwa
pidana
adalah
suatu
pelanggaran
kaidah/pelanggaran tata hukum (normover treding), yang diadakan karena
kesalahan pelanggar dan yang harus diberi hukuman untuk dapat mempertahankan
tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Menurut gambaran teoritis
ini, maka anasir-anasir peristiwa pidana adalah:
a. Suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan) hukum (onrechtmatig
atau wederrechtelyk)
b. Suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah
Menurut hukum positif, maka peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan
dijatuhkan hukuman. Teori ini berpegang pada asas: tidak dapat dijatuhkan
hukuman, apabila tidak ada suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan)
hukum dan yang diadakan karena kesalahan pembuatnya. Jadi, makna teori ini
dapat dirumuskan: tiada hukuman tanpa kesalahan (geen strafzonder schuld).
46
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia,
PT. Eresco Jakarta-Bandung, hal. 14.
47
Ibid, hal. 157.
37
Ajaran Van Hattum,48 menetapkan bahwa: “suatu peristiwa pidana adalah
suatu peristiwa yang menyebabkan hal seseorang (pembuat) mendapat hukuman
atau dapat dihukum”. Dengan demikian ditegaskan bahwa peristiwa dan pembuat
(yang mengadakan peristiwa itu) sama sekali tidak dapat dipisahkan. Oleh karena
itu, dalam pertimbangan dijatuhkan tidaknya suatu hukuman, maka tidak boleh
dilupakan asas bahwa seseorang hanya dapat dihukum karena suatu peristiwa
(kelakuan) yang ia sendiri adakan. Jadi seperti halnya dalam turut serta
(deelneming) jumlah peristiwa-peristiwa pidana adalah sebesar jumlah peserta.
Sering terjadi hal ada tidaknya suatu kelakuan yang melawan hukum,
barulah dapat diketahui setelah diketahui keadaan didalamnya pembuat
ditempatkan. Oleh sebab itu, peristiwa dan pembuat tidak dapat dipisahkan.
Menurut E. Utrecht, apakah seseorang mendapat hukuman bergantung pada dua
hal: “(1) harus ada suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum-anasir
obyektif - dan (2) seorang pembuat (dader) yang bertanggung jawab atas kelakuan
yang bertentangan dengan hukum-anasir subyektif. Perlu disampaikan juga bahwa
ketentuan dalam suatu peristiwa adalah suatu kelakuan manusia yang
bertentangan
dengan
hukum-anasir
melawan
hukum
(element
van
wederrechtelijkheid)-dan oleh sebab itu dapat dijatuhkan hukuman (strafbaarheid
van het kit)“.49
Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya
berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu tetapi juga sepenuhnya dapat
48
Ibid.
E. Utrecht, 1960, Hukum Pidana I, Penerbit Universitas Bandung,
hal. 253 - 260.
49
38
diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggung jawaban pidana,
pertama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak
pidana. Kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan
antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya
dijatuhkan. Sanksi adalah alat pemaksa selain hukuman, juga untuk mentaati
ketetapan yang ditentukan dalam peraturan atau perjanjian.50 Menurut Philipus M.
Hadjon,51 sanksi merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang
digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap ke tidak patuhan pada norma
hukum administrasi, sehingga dengan demikian unsur-unsur sanksi meliputi yaitu:
a. Sebagai alat kekuasaan
b. Bersifat hukum publik
c. Digunakan oleh penguasa
d. Sebagai reaksi terhadap ketidak patuhan
Sanksi ketentuan merupakan bagian penutup yang penting dalam hukum,
dan tiap aturan hukum yang berlaku di Indonesia selalu ada sanksi pada akhir
aturan hukum tersebut. Pencantuman sanksi dalam berbagai aturan hukum
tersebut seperti merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam tiap aturan
hukum. Seakan-akan aturan hukum yang bersangkutan tidak bergigi atau tidak
dapat ditegakkan atau tidak akan dipatuhi jika pada bagian akhir tidak
mencantumkan sanksi. Dengan demikian sanksi pada hakekatnya merupakan
instrument yuridis yang biasanya diberikan apabila kewajiban-kewajiban atau
50
Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Sanksi Administratif Terhadap
Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, hal. 89-90.
51
Ibid, hal. 48-49.
39
larangan-larangan yang ada dalam ketentuan hukum telah dilanggar dan dibalik
ketentuan perintah dan larangan tersedia sanksi untuk memaksa kepatuhan.52
Hakekat sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk
memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu tindakan
yang dilakukan telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan untuk
mengembalikan yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan yang
berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan hukum.
Sanksi yang ditujukan kepada Notaris juga untuk memberikan penyadaran bahwa
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya untuk tertib sesuai dengan UUJN,
disamping itu juga untuk melindungi masyarakat dari tindakan Notaris yang dapat
merugikannya, seperti membuat akta yang tidak melindungi hak-hak yang
bersangkutan sebagaimana yang tersebut dalam akta Notaris. Sanksi tersebut juga
untuk menjaga martabat lembaga Notaris sebagai lembaga kepercayaan karena
jika Notaris melakukan pelanggaran dapat menurunkan kepercayaan masyarakat
terhadap Notaris. Pada UUJN sanksi terhadap Notaris secara tegas diatur dalam
pasal 84 dan pasal 85. Sanksi-sanksi tersebut dimaksudkan untuk menjaga
keutuhan dan keluhuran martabat jabatan Notaris sebagai salah satu pejabat umum
yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melayani kepentingan
masyarakat, serta untuk memberikan pengamanan terhadap kepentingan publik
dari penyalahgunaan jabatan. Dalarn kaitan dengan pelaksanaan jabatan Notaris
maka diperlukan tanggung jawab professional berhubungan dengan jasa yang
diberikan.
52
Ibid.
40
1.7 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan kepada
suatu metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari
suatu gejala tertentu dengan jalan menganalisisnya, karena penelitian didalam
ilmu-ilmu sosial merupakan suatu proses yang dilakukan secara terencana dan
sistematis untuk memperoleh pemecahan masalah dan memberikan kesimpulankesimpulan yang tidak meragukan.53 Penelitian adalah merupakan sarana pokok
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk
mengungkap kebenaran sistematis, metodologis dan konsisten, karena melalui
proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang
telah dikumpulkan.54
1.7.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam tesis ini adalah penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara mengkaji bahan-bahan yang berasal dari berbagai peraturan
perundang-undangan dan bahan lain dari berbagai literatur. Dengan kata lain
penelitian ini meneliti bahan pustaka atau data sekunder.55
Jenis penelitian normatif digunakan dalam penelitian ini karena penelitian
ini berangkat dari adanya kekosongan norma. Kekosongan norma yang dimaksud
adalah tidak adanya norma yang mengatur mengenai pertanggungjawaban notaris
53
Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal.13.
54
Suparmoko, 1991, Metode Penelitian Praktis, Yogyakarta, hal. 1.
55
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit, hal.13.
41
dalam pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak (dalam aspek
tindak pidana) di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN.
1.7.2 Jenis Pendekatan
Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa dalam penelitian hukum
diperlukan suatu model pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, Penulis akan
mendapat informasi dari berbagai aspek mengenai isu (permasalahanpermasalahan) yang sedang dicari jawabannya.56 Macam pendekatan yang dapat
dipergunakan dalam menulis adalah :
1. Pendekatan Undang-Undang (statute approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan
undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari
adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan
undang-undang lainnya atau antara undang-undang dengan Undang-Undang
Dasar atau antara regulasi dan undang-undang.
Dalam pendekatan perundang-undangan (the statute approach) ini
dilakukan penelitian sinkrunasi perundang-undangan baik vertical maupun
horizontal. Sehingga di dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan
Undang-undang
yaitu Undang-Undang Nomor
30
Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris yang diundangkan pada tanggal 6 Nopember 2004 dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 (UUJN) jo.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
56
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Edisi Pertama
Cetakan ke-7, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 93.
42
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang
diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014 Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 (UU Perubahan atas UUJN) untuk mengetahui
sejauh mana pertanggungjawaban notaris dalam pembuatan akta berdasarkan
Pemalsuan Surat oleh para pihak baik dari aspek hukum perdata maupun
pidana.
2. Pendekatan Kasus (case approach)
Pendekatan kasus ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasuskasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap.
3. Pendekatan Sejarah (historical approach)
Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang
dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.
Pendekatan historis ini diperlukan kalau memang peneliti menganggap bahwa
pengungkapan filosofis dan pola pikir ketika sesuatu yang dipelajari itu
dilahirkan memang mempunyai relevansi dengan masa kini. Dalam penelitian
ini, pendekatan historis digunakan untuk mengkaji perkembangan lembaga
notaris di Indonesia, serta perkembangan pengaturan mengenai notaris di
Indonesia.
4. Pendekatan Konsep (conseptual approach)
Pendekatan konseptual dalam penelitian ini merujuk pada prinsip-prinsip
hukum. Prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan
sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum. Meskipun tidak secara eksplisit,
43
konsep hukum juga dapat ditemukan di dalam undang-undang. Hanya saja
dalam mengidentifikasi prinsip tersebut, terlebih dahulu harus memahami
konsep tersebut melalui pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang ada.
Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji konsep mengenai tanggung jawab
notaris dalam dalam pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para
pihak dengan beberapa asas, teori, dan konsep yaitu asas kepastian hukum,
teori kewenangan, teori pertanggungjawaban hukum, dan konsep Notaris
sebagai Pejabat Umum.
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan penelitian pada umumnya dibedakan atas bahan yang
diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Adapun
yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka dinamakan bahan sekunder. Penelitian
ini lebih baik menitikberatkan pada penelitian kepustakaan (library research)
serta bahan-bahan lain yang dapat menunjang dalam kaitannya dengan
pembahasan permasalahan. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian tesis ini adalah :
a.
Sumber bahan hukum primer
Bahan hukum primer ini diperoleh dari sumber yang mengikat dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, antara lain :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 117).
44
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3).
3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
5. Kode Etik Notaris.
b.
Bahan Hukum Sekunder
Bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal lain yang berkaitan
dengan isi dari sumber bahan hukum primer serta implementasinya dan dapat
membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang dapat
berupa :
- Buku-buku literatur;
- Jurnal hukum dan Majalah Hukum;
- Makalah, hasil-hasil seminar, majalah dan koran
- Tesis, artikel ilmiah dan disertasi.
- Pendapat praktisi hukum,
- Berbagai buku yang relevan dengan kode etik profesi notaris
c.
Bahan Hukum Tertier
Bahan-bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti : artikel dalam format elektronik (internet).57
Untuk menopang data sekunder dalam penelitian ini juga dipergunakan data
primer. Menurut Barda Nawawi Arief dalam suatu penelitian hukum normatif
57
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif
(Suatu Tinjauan Singkat), PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 33.
45
dapat juga dilakukan penelitian data primer.58 Dengan konteks demikian maka
konsekuensinya adalah data primer dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam
suatu penelitian hukum yang bersaifat normatif. Namun demikian dalam
penelitian hukum normatif kajian utama tetap terletak pada data sekunder. Data
primer hanya dipergunakan untuk mendukung data sekunder yang diperoleh
melalui wawancara dengan pihak-pihak tertentu, yang dipandang memiliki
keahlian ataupun pandangan yang dapat mempertajam analisa dari penelitian ini.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari
penelusuran melalui kegiatan studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan berbagai
bahan hukum, baik berupa peraturan perundang-undangan, kode etik profesi,
literartur, karya ilmiah, hasil penelitian terdahulu, dokumen, pendapat praktisi
hukum, majalah, serta berbagai buku yang relevan yang terkait dengan
pertanggungjawaban notaris dalam pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat
oleh para pihak. Mengenai Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan
dalam penelitian tesis ini adalah dengan melakukan kegiatan membaca secara
kritis analisis lalu menemukan permasalahan dan isu hukum yang akan diteliti dan
mengumpulkan semua informasi yang ada kaitannya dengan permasalahan yang
diteliti, kemudian dipilih informasi yang relevan dan esensial.
58
Barda Nawawi Arief, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Upaya
Reorinetasi Pemahaman), Dipaparkan dalam Penataran Metodologi Penelitian
Hukum, Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto, hal. 4.
46
1.7.5 Teknik Pengolahan Dan Analisis Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul kemudian dianalisa dengan
menggunakan beberapa teknik yaitu :
1. Teknik deskripsi
Teknik deskripsi memaparkan situasi atau peristiwa. Dalam teknik deskripsi
tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau
membuat prediksi.59 Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi
atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Di dalam tesis ini
yang dideskripsikan adalah mengenai tanggung jawab notaris dalam hal
terjadinya pemalsuan surat yang dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan
akta notaris.
2. Teknik evaluasi
Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak
setuju, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, pernyataan,
baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.
3. Teknik argumentasi
Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian
dari analisa harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran
hukum. Hasil analisis selanjutnya diberikan argumentasi untuk mendapatkan
kesimpulan atas pokok permasalahan yang dibahas pada penelitian ini.
59
M. Hariwijaya, 2007, Metodologi Dan Teknik Penulisan Skripsi, Tesis
Dan Disertasi, Azzagrafika, Yogyakarta, hal. 48.
47
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Terhadap Jabatan Notaris
2.1.1 Pengertian Notaris
Istilah Notaris pada dasarnya berasal dari perkataan "notarius" (bahasa
Latin), yakni nama yang diberikan pada orang-orang Romawi dimana tugasnya
menjalankan pekerjaan menulis pada masa itu. Ada juga pendapat mengatakan
bahwa nama "notaries'" itu berasal dari perkataan "nota literaria", berarti tanda
(letter merk atau karakter) yang menyatakan sesuatu perkataan.60 Pada abad kelima dan ke-enam sebutan itu (notarius) diberikan kepada penulis (sekretaris)
pribadi dari raja atau kaisar serta pegawai-pegawai dari istana yang melaksanakan
pekerjaan administrasi. Para pejabat dinamakan notarius itu merupakan pejabat
yang menjalankan tugasnya hanya untuk pemerintah dan tidak melayani publik
atau umum. Terkait dengan tugas untuk melayani public dinamakan tubelliones
yang fungsinya agak mirip dengan Notaris pada saat ini. Hanya saja tidak
mempunyai sifat amblitjke, sifat jabatan negeri sehingga surat-surat yang
dibuatnya tidak mempunyai sifat otentik atau resmi.
Notaris dalam pemerintahan gereja diartikan sebagai suatu college tertutup
dan dikepalai oleh Primicerius Notarium yang pada mulanya merupakan pejabat
administratif. Lambat laun telah menjadi suatu kebiasaan bahwa sengketa hukum
60
Notodisoerjo, Soegondo, R, 1982, Hukum Notarial di Indonesia Suatu
Penjelasan, Rajawali Jakarta, hal. 13.
47
48
oleh Paus diserahkan kepada Dewan Kondisinya yang memutuskan hal tersebut,
dan Notaris ikut memberikan pertimbangannya.
Negara Anglo Saxon, notary public (Notaris) hanya menjadi legislator saja
dari tanda tangan mereka yang membuat perjanjian, sedangkan perjanjiannya
sendiri dibuat oleh Lawyer. Notaris saat itu memerlukan pengetahuan tentang
hukum yang mendalam karena mereka tidak hanya berkewajiban mengesahkan
tandatangan belaka melainkan juga menyusun kata dan memberikan masukannya
apabila diperlukan sebelum akta itu dibuat. Terkait dengan hal ini, maka Notaris
dapat memberikan sumbangan yang penting untuk perkembangan lembaga
notariat dan hukum nasional. Jabatan Notaris bukanlah merupakan suatu profesi
melainkan suatu jabatan Notaris termasuk ke dalam jenis pelaksanaan jabatan
luhur seperti yang dimaksud oleh C. S. T. Kansil dan Christine S. T, yaitu:
Suatu pelaksanaan jabatan yang pada hakekatnya merupakan suatu
pelayanan pada manusia atau masyarakat. Orang yang menjalankan jabatan
luhur tersebut juga memperoleh nafkah dari pekerjaannya, tetapi hal tersebut
bukanlah motivasi utamanya. Adapun yang menjadi motivasi utamanya
adalah kesediaan yang bersangkutan untuk melayani sesamanya.61
Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN
merupakan peraturan
pelaksanaan dari Pasal 1868 KUHPerdata menyatakan, bahwa yang dimaksud
dengan Notaris adalah pejabat umum khusus (satu-satunya) berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau boleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya
61
C. S. T. Kansil dan Christine S. T, 1979, Pokok-Pokok Etika Jabatan
Hukum, Pradnya Paramita, hal. 5.
49
semua sepanjang pembuatan akta sedemikian oleh suatu peraturan umum tidak
juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.
Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN disebutkan bahwa Notaris
adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang ini.
Memperhatikan uraian Pasal Undang-Undang Jabatan Notaris, dapat dijelaskan
bahwa Notaris adalah:
a. pejabat umum
b. berwenang membuat akta
c. otentik
d. ditentukan oleh undang-undang
Pasal 2 UUJN disebutkan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri, selanjutnya dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa untuk dapat diangkat
menjadi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan
Notaris dalam 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas
50
prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus
strata dua kenotariatan; dan
g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak
sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk
dirangkap dengan jabatan Notaris.
Batasan yang diberikan oleh Pasal 1 UU Perubahan atas UUJN mengenai
Notaris pada hakekatnya masih dapat ditambahkan "yang diperlengkapi dengan
kekuasaan umum". Oleh karena grosse atau salinan dari akta tertentu dari Notaris
yang pada bagian atasnya memuat perkataan: "Demi Keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa" mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
keputusan hakim. Notaris memperoleh kekuasaannya itu langsung dari kekuasaan
eksekutif, sehingga Notaris dalam menjalankan tugasnya melakukan sebagian dari
kekuasaan eksekutif.
Menurut Kohar, "yang diharuskan oleh peraturan umum itu ialah antara
lain hibah harus dilakukan dengan akta Notaris, demikian juga perjanjian kawin
dan pendirian perseroan terbatas”.62 Sedangkan yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan bisa berupa tindakan hukum apapun. Apabila diperlukan setiap
perbuatan dapat dimintakan penguatannya dengan akta otentik, berupa akta
Notaris. Sesudah Notaris membuat akta, selesai, dan itulah merupakan bukti
otentik dapat digunakan untuk keperluan yang bersangkutan, dapat diajukan
sebagai bukti dalam suatu perkara dipengadilan. Selanjutnya Gandasubrata,
menyatakan bahwa "Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh Pemerintah
62
A. Kohar, 1984. Notaris Berkomunikasi, Alumni Bandung, hal. 203.
51
termasuk
unsur
penegak
hukum
yang
memberikan
pelayanan
kepada
masyarakat”.63 Di dalam tugasnya sehari-hari ia menetapkan hukum dalam
aktanya sebagai akta otentik yang merupakan alat bukti yang kuat, sehingga
memberikan pembuktian lengkap kepada para pihak yang membuatnya.
2.1.2 Notaris Sebagai Pejabat Umum
UUJN mengalami perubahan pada tanggal 15 Januari 2014 dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Perubahan
tersebut dikarenakan beberapa ketentuan dalam UUJN dirasakan sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat saat ini.
Dengan demikian notaris dalam menjalankan tugasnya harus tunduk pada undangundang Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Notaris merupakan pejabat yang diangkat oleh negara untuk mewakili
kekuasaan umum negara dalam melakukan pelayanan hukum kepada masyarakat
dalam bidang hukum perdata demi terciptanya kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hukum. Bentuk pelayanan keperdataan yang dilakukan oleh notaris
adalah dengan membuat akta otentik. Akta otentik diperlukan oleh masyarakat
untuk kepentingan pembuktian sebagai alat bukti yang terkuat dan terpenuh. Halhal yang dinyatakan dalam akta notaris harus diterima, kecuali dapat dibuktikan
63
Gandasubrata, HR. Purwoto, 1998, Renungan Hukum, IKAHI Cabang
Mahkamah Agung RI, hal. 484
52
hal yang sebaliknya. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam penjelasan
umum UUJN. Notaris di Indonesia memiliki beberapa karakteristik, yaitu:64
1. Sebagai jabatan;
UUJN dan perubahannya merupakan unifikasi di bidang pengaturan
jabatan notaris. Hal ini berarti undang-undang tersebut merupakan aturan hukum
dalam yang mengatur jabatan notaris di Indonesia. Segala sesuatu yang berkaitan
dengan notaris di Indonesia harus mengacu pada undang-undang tersebut.
2. Notaris mempunyai kewenangan tertentu;
Setiap jabatan mendapat wewenang yang diatur/dilandasi oleh aturan
hukum sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak
berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya.
3. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah;
Pengangkatan dan pemberhentian notaris dilakukan oleh pemerintah, yaitu
melalui Menteri. Hal ini diatur dalam Pasal 2 UUJN. Dalam hal ini oleh Menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum (Pasal 1 angka 14
UU Perubahan atas UUJN). Walaupun Notaris secara administratif diangkat dan
diberhentikan oleh pemerintah, ini tidak berarti Notaris menjadi subordinasi
(bawahan) dari yang mengangkatnya yaitu pemerintah. Dengan demikian notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya:
a. Bersifat mandiri (autonomous);
b. Tidak memihak siapapun (impartial);
64
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 15-16.
53
c. Tidak tergantung kepada siapa pun (independent), yang berarti dalam
menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang
mengangkatnya atau oleh pihak lain.
4. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya;
Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi notaris tidak
menerima gaji dan pensiun dari pemerintah karena notaris bukan bagian
subordinasi dari yang mengangkatnya (pemerintah). Notaris hanya menerima
honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan
pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang kurang atau tidak mampu.
5. Akuntabilitaas atas pekerjaannya kepada masyarakat.
Jabatan Notaris berperan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
memerlukan dokumen hukum tertulis berupa akta otentik dalam bidang hukum
perdata. Notaris bertanggung jawab untuk melayani masyarakat yang menggugat
secara perdata, menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga jika ternyata akta yang
dibuatnya tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum
yang berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat.
Pada Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN disebutkan bahwa:
"Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini".
Memperhatikan uraian Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN tersebut di atas,
maka dapat dijelaskan bahwa Notaris adalah:
1. Pejabat umum
2. Berwenang membuat akta
54
3. Otentik
4. Ditentukan oleh undang-undang
Ad. 1 Pejabat Umum
Notaris adalah pejabat umum, namun tidak dijelaskan mengenai arti
pejabat umum itu, dan apakah Notaris merupakan satu-satunya pejabat umum.
Menurut Doddy Radjasa Waluyo, berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang diberi wewenang membuat akta otentik menjalankan fungsi seperti halnya
seorang pejabat umum antara lain:
a. Consul (berdasarkan Consular Wet),
b. Bupati Kepala Daerah atauSekretaris Daerah yang ditetapkan oleh Menteri
Kehakiman
c. Notaris Pengganti
d. Juru Sita
e. Pegawai Kantor Catalan Sipil.65
Apabila didasarkan pada uraian di atas menunjukkan bahwa Notaris
merupakan salah satu pejabat umum, namun jika dikaitkan dengan tugas dan
wewenang Notaris sebagaimana Pasal 15 ayat (1) UU Perubahan atas UUJN,
bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan,
maka Notaris merupakan satu-satunya pejabat umum. Hal ini dipertegas pula oleh
Pasal 1868 KUHPerdata bahwa Notaris mempunyai wewenang membuat akta
otentik, selain juga mempunyai kewenangan untuk mengesahkan suatu akta yang
65
Doddy Radjasa Waluyo, 2004, Hanya Ada Satu Pejabat Umum, Notaris,
Media Notariat, Membangun Notaris Profesional, hal. 42-43.
55
dibuat oleh pihak-pihak yang menghadap sebagai bukti adanya suatu hubungan
hukum.
Ad. 2. Berwenang membuat akta.
Notaris berwenang membuat akta dan kewenangan lainnya. Berwenang
atau kewenangan berasal dari kata wewenang, dibedakan wewenang dalam
hukum administrasi dan hukum publik. Wewenang dari hukum administrasi
adalah wewenang pemerintahan, sedangkan wewenang dalam hukum publik,
adalah wewenang yang berkaitan dengan kekuasaan. Wewenang dalam suatu
konsep hukum publik, terdiri dari sekurang-kurangnya 3 komponen yaitu:
a. Pengaruh
b. Dasar hukum, dan
c. Konformitas hukum
Komponen pengaruh ialah penggunaan wewenang dimaksudkan untuk
mengendalikan pelaku subyek hukum. Komponen dasar hukum maksudnya
wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan konformitas
hukum yaitu menghubungkan kedua wewenang tersebut sebagai standar
wewenang, yaitu berkaitan dengan standar umum dan standar khusus.66
Wewenang yang diberikan kepada Notaris yaitu untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU Perubahan atas UUJN, hal
ini berarti bahwa wewenang yang diberikan kepada Notaris termasuk wewenang
atribusi yaitu kewenangan yang diberikan berdasarkan undang-undang dalam hal
ini UU Perubahan atas UUJN.
66
Philipus M. Hadjon, 1997, Tentang Kewenangan, Majalah Bulanan
"YURIDKA", No. 5-6 Tahun XII, September-Desember, hal. 14.
56
Ad. 3. Otentik
Akta otentik, yaitu suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya (Pasal 1868 KUHPerdata).
Dengan demikian : dikualifikasikan sebagai suatu akta otentik jika akta tersebut
tercantum tandatangan, merupakan suatu pernyataan perbuatan hukum dan
digunakan sebagai alat bukti. Akta tersebut dibuat oleh pejabat umum, bentuknya
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan pejabat yang membuat akta
tersebut mempunyai kewenangan yang ditentukan oleh undang-undang.
Ad. 4. Ditentukan oleh undang-undang
Akta harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang,
meskipun bentuk dari akta otentik tidak ditentukan secara tegas dalam undangundang, akta-akta otentik yang dibuat para pejabat pembuat akta menurut hukum
publik, seperti vonis pengadilan, berita acara pemeriksaan polisi, dan sebagainya.
Ketentuan tersebut di atas menunjukkan Notaris mempunyai kewenangan untuk
membuat suatu akta otentik, akta otentik juga dibuat oleh pejabat lain selain
Notaris yaitu: pejabat pembuat akta tanah juga mempunyai wewenang untuk
membuat suatu akta yaitu yang berhubungan dengan tanah, sedang Notaris
mempunyai wewenang membuat suatu akta yang berkaitan dengan hubungan
keperdataan.
2.1.3 Tugas dan Kewenangan Notaris
Pasal l angka 1 UU Perubahan atas UUJN tidak memberikan uraian yang
lengkap mengenai tugas Notaris. Menurut Lumban Tobing, bahwa "selain untuk
57
membuat akta-akta otentik, Notaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran
dan mensahkan surat-surat atau akta-akta yang dibuat di bawah tangan”.67 Notaris
juga memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai undang-undang
kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
Menurut Setiawan, "Inti dari tugas Notaris selaku pejabat umum ialah
mengatur secara tertulis dan otentik hubungan hukum antara pihak yang secara
manfaat meminta jasa Notaris yang pada dasarnya adalah sama dengan tugas
hakim yang memberikan keadilan di antara para pihak yang bersengketa”.37
Terlihat bahwa Notaris tidak memihak tetapi mandiri dan bukan sebagai salah satu
pihak. la tidak memihak kepada mereka yang berkepentingan. Itulah sebabnya
dalam menjalankan tugas dan jabatannya selaku pejabat umum terdapat ketentuan
undang-undang yang demikian ketat bagi orang tertentu, tidak diperbolehkan
sebagai saksi atau sebagai pihak berkepentingan pada akta yang dibuat di
hadapannya.
Tugas pokok dari Notaris ialah membuat akta-akta otentik. Adapun akta
otentik itu menurut Pasal 1870 KUHPerdata memberikan kepada pihak-pihak
yang membuatnya suatu pembuktian sempurna. Disinilah letak arti penting dari
seorang Notaris, bahwa Notaris karena undang-undang diberi wewenang
menciptakan alat pembuktian yang sempurna, dalam pengertian bahwa apa yang
tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar sepanjang tidak ada
bukti sebaliknya.
67
Setiawan, 1995, Hak Ingkar dari Notaris dan Hubungannya dengan
KUHP (suatu kajian uraian yang disajikan dalam Kongres INI di Jakarta), hal. 2.
58
Notaris mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembuatan aktaakta otentik. Bukan hanya karena ia memang disebut sebagai pejabat umum yang
dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata, tetapi juga karena adanya orientasi atas
pengangkatan Notaris sebagai pejabat umum yang dimaksudkan untuk melayani
kepentingan umum dan menerima penghasilan karena telah memberikan jasajasanya.
Kewenangan seorang Notaris dalam hal pembuatan akta nampak dalam
Pasal Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN yaitu membuat akta otentik.
Notaris tidak boleh membuat akta untuk ia sendiri, istrinya, keluarga sedarah atau
semenda dalam garis lurus tanpa perbedaan tingkatan dalam garis samping dengan
tingkat ketiga, bertindak sebagai pihak baik secara pribadi maupun diwakili oleh
kuasanya. Sehubungan dengan kewenangan Notaris dalam membuat akta
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 15 ayat (1), maka dalam Pasal 15 ayat (2)
UU Perubahan atas UUJN dijelaskan bahwa Notaris berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus,
b. membukukan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus,
c. membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan,
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya,
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta,
f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
g. membuat akta risalah lelang.
Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) UU Perubahan atas UUJN.
59
Sepanjang mengenai wewenang yang harus dipunyai oleh pejabat umum untuk
membuat suatu akta otentik, seorang Notaris hanya boleh melakukan atau
menjalankan jabatannya di daerah yang ditentukan baginya dan hanya dalam
daerah hukum ia berwenang. Akta yang dibuat oleh seorang Notaris di luar daerah
hukumnya (daerah jabatannya) adalah tidak sah. Dengan kata lain, kewenangan
Notaris pada dasarnya meliputi 4 hal yaitu:
a. Sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya
b. Sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan akta itu dibuat
c. Sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat
d. Sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Terkait dengan wewenang Notaris untuk membuat akta otentik tentang semua
perbuatan, perjanjian, dan penetapan sebagaimana diuraikan dalam Pasal 15 ayat
(1) UU Perubahan atas UUJN, yang perlu mendapat perhatian mengenai
perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan penetapan-penetapan yang harus
dibuat oleh Notaris ialah:
a. Bilamana yang demikian itu dikehendaki oleh mereka atau pihak-pihak
yang berkepentingan.
b. Apabila oleh perundang-undangan umum hal tersebut harus dinyatakan
dalam akta otentik.
Tidak semua akta yang mengandung perbuatan-perbuatan, perjanjianperjanjian dan penetapan-penetapan harus dilakukan dengan akta otentik,
melainkan orang bebas membuatnya dengan bentuk apapun. Sebagai contoh
dalam pencatatan boedel dari orang yang telah meninggal dunia dilakukan oleh
60
ahli warisnya. Hal mana dapat dilakukan dengan akta Notaris sebagai akta otentik
dan dapat pula dilakukan dengan akta di bawah tangan. Mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang harus dilakukan dengan akta otentik
oleh karena hal itu memang telah digariskan dalam ketentuan perundangundangan yang berlaku. Sebagai contoh dalam hal pemberian kuasa untuk
memasang hak tanggungan/hipotik atas tanah. Hal ini telah diatur dalam ketentuan
Pasal 1171 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, hipotik hanya dapat diberikan
dengan suatu akta otentik kecuali dalam hal-hal yang tegas ditunjuk oleh undangundang. Begitu pula untuk memberikan hipotik harus dibuat dengan suatu akta
otentik.
2.1.4. Kewajiban, Larangan, dan Kode Etik Notaris
Notaris dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus mematuhi
segala kewajiban yang dimilikinya. Kewajiban notaris merupakan sesuatu yang
wajib dilakukan oleh notaris. Jika kewajiban tersebut tidak dilakukan atau
dilanggar, maka notaris akan dikenakan sanksi atas pelanggaran yang
dilakukannya. Kewajiban notaris yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU
Perubahan atas UUJN adalah sebagai berikut :
a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris;
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta
Akta;
d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan
Minuta Akta;
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
61
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih
dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku;
h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan akta setiap bulan;
j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar
nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Pusat Daftar Wasiat pada
Kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan
berikutnya;
k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akhir bulan;
l. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,
dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk
pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu
juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;
n. Menerima magang calon Notaris.
Kewajiban notaris yang tercantum dalam Pasal 16 UU Perubahan atas
UUJN jika dilanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85
UUJN. Khusus untuk notaris yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i
dan k UU Perubahan atas UUJN selain dapat dijatuhi sanksi yang terdapat dalam
Pasal 85 UUJN, juga dapat dikenakan sanksi berupa akta yang dibuat di hadapan
notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan,
atau suatu akta menjadi batal demi hukum. Hal tersebut juga dapat merugikan
para pihak yang bersangkutan, sehingga pihak yang dirugikan tersebut dapat
62
menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 84 UUJN.
Pasal 16 ayat (1) huruf m dan Pasal 16 ayat (1) huruf n UU Perubahan atas UUJN
meskipun termasuk ke dalam kewajiban notaris, tapi jika notaris tidak
melakukannya tidak dikenakan sanksi apapun. Pasal 16 ayat (1) huruf m UU
Perubahan atas UUJN menentukan kewajiban notaris untuk membacakan akta
dihadapan para penghadap, namun hal tersebut dapat tidak dilakukan selama
penghadap menghendaki agar akta tersebut tidak dibacakan karena penghadap
telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan
bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman
minuta akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan notaris. Tetapi ketentuan diatas
dikecualikan terhadap pembacaan kepala akta, komparisi, penjelasan pokok akta
serta penutup akta yang dapat dibacakan secara singkat dan jelas. Jika salah satu
kewajiban yang dimaksud pada Pasal 16 ayat (1) huruf m dan Pasal 16 ayat (7)
UU Perubahan atas UUJN tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan (hal ini tidak
berlaku untuk pembuatan akta wasiat).
Dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum tidak jarang Notaris
berurusan dengan proses hukum baik ditahap penyelidikan, penyidikan maupun
persidangan. Pada proses hukum ini Notaris harus memberikan keterangan dan
kesaksian menyangkut isi akta yang dibuatnya. Dilihat sekilas, hal ini
bertentangan dengan sumpah jabatan Notaris, bahwa notaris wajib merahasiakan
isi akta yang dibuatnya.
63
Pada beberapa Undang-Undang, telah memberikan hak ingkar atau hak
untuk dibebaskan menjadi saksi. Sesuai dengan pendapat Van Bemmelen bahwa
“er zijn 3 fundamentele rechten op het gebruik van gebroken beweren, namelijk:
a) Familiebanden zijn zeer dicht; (Hubungan keluarga yang sangat dekat)
b) Gevaren van straffen; (Bahaya dikenakan hukuman pidana)
c) Status, beroep en vertrouwelijke posities”.68 (Kedudukan, pekerjaan dan
rahasia jabatan).
Hak ingkar merupakan konsekuensi dari adanya kewajiban merahasiakan
sesuatu yang diketahuinya.69 Sumpah jabatan Notaris dalam Pasal 4 dan
kewajiban Notaris dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (e) Undang-Undang Jabatan
Notaris mewajibkan Notaris untuk tidak berbicara, sekalipun dimuka pengadilan,
artinya seorang Notaris tidak diperbolehkan untuk memberikan kesaksian
mengenai apa yang dimuat dalam akta.70 Notaris tidak hanya berhak untuk bicara,
akan tetapi mempunyai kewajiban untuk tidak berbicara. Hal tersebut sesuai
dengan penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf (f) UU Perubahan atas UUJN yang
menyatakan bahwa “merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya
dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan.”
68
J.M. van Bemmelen, Strafvordering, Leerboek, v.h. Ned.
Strafprocesrecht, hal.167.
69
Muhammad Fajri, Perspektif Notaris Dalam Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, (http://www.ptpn5.com) diakses pada tanggal 20 Maret 2013, pukul
13.30 WITA
70
Habib Adjie, 2012, Menjalin Pemikiran-Pendapat Tentang
Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.97.
64
Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) huruf a sampai dengan huruf
l UU Perubahan atas UUJN dapat
dikenakan
tertulis,
sanksi
berupa
peringatan
pemberhentian
sementara,
pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat.
Penolakan diperbolehkan untuk dilakukan oleh notaris terkait tugas dan
wewenangnya dalam menjabat sebagai notaris. Seorang Notaris dapat menolak
untuk membuat dokumen atau akta otentik yang diminta oleh para pihak selama
adanya alasan kuat atas terjadinya penolakan tersebut. Penolakan ini boleh
dilakukan dengan alasan hukum, yaitu dengan memberikan alasan yang
berdasarkan pada aturan hukum yang berlaku secara sah sehingga menjadi
argumentasi hukum yang dapat diterima oleh pihak yang bersangkutan. Hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf e UU Perubahan atas UUJN
menyebutkan bahwa notaris dalam keadaan tertentu dapat menolak untuk
memberikan pelayanan dengan alasan-alasan tertentu. Dalam penjelasan pasal
tersebut ditegaskan yang dimaksud dengan alasan menolaknya adalah alasan yang
mengakibatkan notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan darah atau
semenda dengan notaris sendiri atau dengan suami/istrinya, salah satu pihak tidak
mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang
tidak dibolehkan oleh undang-undang.
Alasan-alasan lain yang ditemukan dalam praktik dapat pula membuat
notaris menolak memberikan jasanya. Alasan-alasan ini diungkapkan oleh R.
Soegondo Notodisoerjo dalam bukunya sebagaimana dikutip oleh Habib Adjie
sebagai berikut:
65
a. Apabila notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya, jadi
berhalangan karena fisik;
b. Apabila notaris tidak ada karena dalam cuti, jadi karena sebab yang sah;
c. Apabila notaris karena kesibukan pekerjaannya tidak dapat melayani
orang lain;
d. Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat sesuatu akta, tidak
diserahkan kepada notaris;
e. Apabila penghadap atau saksi instrumentair yang diajukan oleh
penghadap tidak dikenal oleh notaris atau tidak dapat diperkenalkan
kepadanya;
f. Apabila yang berkepentingan tidak mau membayar bea meterai yang
diwajibkan;
g. Apabila karena pemberian jasa tersebut, notaris melanggar sumpahnya
atau melakukan perbuatan melanggar hukum; dan
h. Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa notaris membuat akta dalam
bahasa yang tidak dikuasai olehnya, atau apabila orang-orang yang
menghadap berbicara dengan bahasa yang tidak jelas, sehingga notaris
tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh mereka.71
Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya, selain memiliki
kewajiban seperti yang tercantum dalam Pasal 16 UU Perubahan atas UUJN, juga
terikat pada larangan-larangan. Adapun larangan-larangan yang tidak boleh
dilakukan oleh Notaris diatur dalam Pasal 17 UU Perubahan atas UUJN sebagai
berikut :
a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dan 7 (tujuh) hari kerja berturutturut tanpa alasan yang sah;
c. Merangkap sebagai pegawai negeri;
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. Merangkap jabatan sebagai advokat;
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan Usaha milik
negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau
Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;
h. Menjadi Notaris Pengganti; atau
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan
martabat jabatan Notaris.
71
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 87.
66
Larangan notaris merupakan suatu tindakan yang tidak boleh dilakukan
oleh notaris. Jika larangan ini dilanggar oleh notaris, maka kepada notaris yang
melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN.
Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
UU Perubahan atas UUJN dapat dikenakan sanksi yang diatur dalam Pasal 17 ayat
(2) UU Perubahan atas UUJN, yaitu berupa peringatan tertulis, pemberhentian
sementara, pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak
hormat. Dan apabila Notaris melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU
Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila Notaris tidak
menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan terjadinya perbuatan
pemalsuan surat atau memalsukan akta sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264,
dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang
berkepentingan. Dimana di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN itu
sendiri belum ada pengaturan dalam kaitannya tindak pidana yang dalam hal ini
pemalsuan surat.
Pasal 52 ayat (1) dan 53 UUJN menegaskan dalam keadaan tertentu
notaris dilarang membuat akta, larangan ini hanya ada pada subjek hukum para
penghadap, jika subjek hukumnya dilarang, maka substansi akta (perbuatannya)
apapun tidak diperkenankan untuk dibuat. Maksud pasal ini adalah tidak
diperkenankan mereka yang disebut dalam Pasal 52 ayat (1) UUJN untuk
membuat akta di hadapan notaris yang mempunyai hubungan hukum tertentu
dengan notaris yang bersangkutan. Jika hal tersebut dilakukan, maka akta yang
dibuat tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
67
tangan, dan untuk notaris yang membuatnya dikenakan sanksi perdata dalam Pasal
52 ayat (3) UUJN.
Notaris dalam keadaan tertentu tidak berwenang untuk membuat akta
notaris. Ketidakwenangan dalam hal ini bukan karena alasan-alasan sebagaimana
disebutkan di atas, melainkan karena alasan-alasan yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas jabatan notaris, seperti:
1.
Sebelum notaris mengangkat sumpah (Pasal 4 UUJN);
2.
Selama notaris diberhentikan sementara dari jabatannya (Pasal 9 UU
Perubahan atas UUJN);
3.
Di luar wilayah jabatannya (Pasal 17 huruf a UU Perubahan atas UUJN dan
Pasal 18 ayat (2) UUJN); dan
4.
Selama notaris cuti (Pasal 25 UUJN).72
Notaris dalam menjalankan tugasnya dituntut untuk selalu mengikuti etika
yang sudah disepakati bersama dalam bentuk kode etik. Kode etik merupakan
norma atau peraturan yang praktis mengenai suatu profesi, baik tertulis maupun
tidak tertulis. Kode etik memuat etika yang berkaitan dengan sikap yang
didasarkan pada nilai dan standar perilaku orang yang dinilai baik atau buruk
dalam menjalankan profesinya. Hal-hal tersebut kemudian secara mandiri
dirumuskan, ditetapkan, dan ditegakkan oleh organisasi profesi.73
Kalangan notaris membutuhkan adanya pedoman objektif yang konkret
pada perilaku profesionalnya. Oleh sebab itu diperlukan kaidah perilaku sebagai
pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban profesi notaris yang muncul dari
72
73
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 157.
Herlien Budiono, Op.Cit, hal. 164.
68
dalam lingkungan para notaris itu sendiri. Pada dasarnya kode etik notaris
bertujuan untuk menjaga martabat profesi yang bersangkutan dan juga untuk
melindungi klien (warga masyarakat) dari penyalahgunaan keahlian atau otoritas
profesional di lain pihak.74
Standar etik notaris telah dijabarkan dalam Kode Etik Notaris yang wajib
dipatuhi oleh segenap notaris. Kode Etik Notaris memuat kewajiban serta
larangan bagi notaris yang sifatnya praktis. Terhadap pelanggaran kode etik
terdapat sanksi-sanksi organisasi dan tanggung jawab secara moril terhadap citra
notaris, baik sekarang maupun keberadaan lembaga notariat pada masa yang akan
datang.75 Pasal 1 Kode Etik Notaris menjelaskan bahwa kode etik adalah seluruh
kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia (INI)
berdasarkan keputusan kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu. Kode Etik Notaris
ini berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan
dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk di
dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris
Pengganti Khusus.
Ikatan Notaris Indonesia (INI) merupakan satu-satunya wadah pemersatu
bagi setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan notaris di
Indonesia yang diakui oleh pemerintah. INI merupakan perkumpulan bagi para
notaris yang legal dan telah berbadan hukum berdasarkan Keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia tanggal 23 Januari 1995 Nomor C274
Herlien Budiono, Op.Cit, hal. 170.
Herlien Budiono, Op.Cit, hal. 164.
75
69
1022.HT.01.06 Tahun 1995. Oleh karena itu INI merupakan Organisasi Notaris
sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU Perubahan atas UUJN.
Berdasarkan spirit kode etik notaris dan dengan memiliki ciri
pengembanan profesi notaris, maka kewajiban notaris dapat dibagi menjadi: 76
1.
Kewajiban umum
a. Notaris wajib senantiasa melakukan tugas jabatannya menurut ukuran
yang tertinggi dengan amanah, jujur, seksama, mandiri dan tidak berpihak;
b. Notaris
dalam
menjalankan
jabatannya
jangan
dipengaruhi
oleh
pertimbangan keuntungan pribadi;
c. Notaris tidak memuji diri sendiri, dan tidak memberikan imbalan atas
pekerjaan yang diterimanya;
d. Notaris hanya memberi keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan
kebenarannya;
e. Notaris berusaha menjadi penyuluh masyarakat dalam bidang jabatannya;
dan
f. Notaris hendaknya memelihara hubungan seaik-baiknya dengan para
pejabat pemerintah terkait ataupun dengan para profesional hukum
lainnya.
2.
Kewajiban notaris terhadap klien
a. Notaris wajib bersikap tulus ikhlas terhadap klien dan mempergunakan
segala keilmuan yang dimilikinya. Dalam hal notaris tidak cukup
menguasai bidang hukum tertentu dalam suatu pembuatan akta, ia wajib
76
Herlien Budiono, Op.Cit, hal. 166-168.
70
berkonsultasi dengan rekan lain yang mempunyai keahlian dalam masalah
yang bersangkutan; dan
b. Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
masalah klien. Hal ini terkait dengan kepercayaan yang telah diberikan
kepadanya, bahkan setelah klien meninggal dunia.
3.
Kewajiban notaris terhadap rekan notaris
a. Notaris wajib memperlakukan rekan notaris sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan; serta
b. Notaris tidak boleh merebut klien atau karyawan dari rekan notaris.
4.
Kewajiban notaris terhadap dirinya sendiri
a. Notaris harus memelihara kesehatannya, baik rohani maupun jasmani; dan
b. Notaris hendaknya senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan tetap setia pada cita-cita yang luhur.
Selain kode etik, notaris sebagai suatu bentuk profesi mengharuskan
dirinya untuk selalu bersikap secara profesional dalam bekerja. Menurut
Abdulkadir Muhammad, notaris harus memiliki perilaku profesional (professional
behavior). Unsur-unsur perilaku professional yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1. Keahlian yang didukung oleh pengetahuab dan pengalaman tinggi;
2. Integritas moral artinya menghindari sesuatu yang tidak baik walaupun
imbalan jasanya tinggi, pelaksanaan tugas profesi diselaraskan dengan
nilai-nilai kemasyarakatan, sopan santun, dan agama;
3. Jujur tidak saja pada pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga pada diri
sendiri;
4. Tidak semata-mata pertimbangan uang, melainkan juga pengabdian, tidak
membedakan antara orang mampu dan tidak mampu; dan
71
5. Berpegang teguh pada kode etik profesi notaris karena di dalamnya
ditentukan segala perilaku yang harus dimiliki oleh notaris, termasuk
berbahasa Indonesia yang sempurna.77
2.1.5 Peran Notaris Dalam Membuat Akta
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa wewenang Notaris adalah membuat
suatu akta otentik. Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa para
Notaris merealisir apa yang dikemukakan para pihak. Isi akta Notaris yaitu akta
pihak atau partij-acte yang memuat sepenuhnya apa yang dikehendaki dan
disepakati oleh para pihak. Hukum perjanjian bertitik tolak dari asumsi bahwa
para pihak yang membuat perjanjian kedudukannya adalah sama dan sederajat.
Praktek sehari-hari, kesamaan kedudukan para pihak tidak selamanya
dijumpai, ini disebabkan oleh perbedaan tingkat pengetahuannya maupun
perbedaan kekuatan ekonominya. Hal tersebut tidak dapat dibenarkan apabila
nampak kedudukan para pihak tidak seimbang. Apakah Notaris berhak untuk
memberikan saran perubahan mengenai isi perjanjian baku, yang berat sebelah
dan bagaimana seharusnya sikap Notaris apabila para pihak terutama pihak yang
kedudukannya lebih kuat tetap pada pendiriannya, membuat atau menolak untuk
membuat akta yang diminta. Meskipun Notaris dalam membuat atau
mengesahkan suatu akta mempunyai kebebasan, namun bukan berarti kebebasan
tersebut dibuat sebebas-bebasnya. Untuk itu jika Notaris menghadapi masalah
yang jelas-jelas mengetahui hal-hal yang akan terjadi jika disahkan sebagai akta
Notaris, maka seharusnya Notaris menolak saja. Mungkin Notaris yang bertindak
77
Suhrawardi K. Lubis, 2008, Etika Profesi Hukum, Cetakan Kelima, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 35.
72
seperti itu akan kehilangan client, namun lama kelamaan Notaris tersebut dapat
diandalkan. Seorang Notaris yang aktanya dapat dipertanggungjawabkan dan tak
pernah meleset, tolak ukurnya adalah "itikad baik". Dalam perkembangannya,
hukum melahirkan peraturan-peraturan yang "complicated", yang cenderung
melupakan asas utamanya yaitu asas itikad baik.
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, itikad baik itu
disyaratkan ada pada saat perjanjian itu dilaksanakan, bahkan sebenarnya itikad
baik harus ada pada waktu perjanjian dibuat, yaitu pada saat para pihak
mengemukakan kehendaknya yang kemudian oleh Notaris dituangkan dalam akta
pihak yang dibuat olehnya. Dalam batas-batas terwujudnya itikad baik itulah para
Notaris hendaknya bersikap lebih arif dengan cara memberitahukan kepada para
pihak perihal konsekwensi-konsekwensi hukum yang akan timbul di kemudian
hari sebagai akibat dari perjanjian mereka. Apabila telah diberikan penjelasan
mereka tetap pada pendiriannya, maka hendaknya Notaris menolak untuk
membuat akta pihak yang dikehendaki dari pada menanggung resiko
dipersalahkan, dan akta-akta yang dibuatnya dibatalkan oleh hakim.
Dalam hal ini, maka citra dan martabat jabatan Notaris akan jatuh.
Penurunan citra Notaris atas dibatalkannya akta yang dibuatnya tersebut tentunya
akan membawa dampak pada pihak-pihak penghadap Notaris tersebut, karena
akta yang semula dibuat bertujuan sebagai bukti yang sempurna, dengan
dibatalkannya tersebut tentunya menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum
sebagai alat bukti sah bila di kemudian hari timbul sengketa antara pihak-pihak
yang berkaitan dengan perikatan yang disepakatinya tersebut.
73
2.2
Tinjauan Umum Mengenai Akta Notaris
2.2.1 Akta Notaris Sebagai Akta Otentik
Menurut R. Soegondo, “akta otentik adalah akta yang dibuat dan
diresmikan dalam bentuk menurut hukum, oleh atau dihadapan penjabat umum,
yang berwenang untuk berbuat sedemikian itu, di tempat dimana akta itu
dibuat”.78 Selanjutnya Irawan Soerodjo mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) unsur
essensialia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:
a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
b. Dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum;
c. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itudan di tempat dimana akta itu dibuat.
Pendapat diatas sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1868 KUH Perdata,
suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. R. Soegondo dalam kaitan ini
mengemukakan bahwa:
Untuk dapat membuat akte otentik, seseorang harus mempunyai
kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang advokat,
meskipun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum. tidak berwenang
untuk membuat akta otentik, karena itu tidak mempunyai kedudukan
sebagai pejabat umum. Sebaliknya seorang pegawai catatan sipil
(Ambtenaar van de Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia
berhak membuat akta kelahiran, akta perkawinan, akta kematian.
Demikian itu karena ia oleh undang-undang ditetapkan sebagai pejabat
umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu.79
78
R. Soegondo, 1991, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita,
hal. 89.
79
R. Soegondo, Op.Cit, hal. 43.
74
G.H.S Lumban Tobing lebih lanjut terkait dengan keberadaan suatu akta
mengemukakan sebagai berikut:
Akta yang dibuat oleh Notaris dapat merupakan suatu akta yang memuat
relaas atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan
atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu,
yakni Notaris sendiri, di dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris.
Akta yang dibuat sedemikian dan memuat uraian dari apa yang dilihat dan
disaksikan dan dialaminya itu dinamakan akta yang dibuat oleh (door)
Notaris (sebagai pejabat umum). Akan tetapi akta Notaris dapat juga
berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi karena perbuatan yang
dilakukan oleh pihak lain di hadapan Notaris, artinya yang diterangkan
atau diceritakan oleh pihak lain kepada Notaris dalammenjalankan
jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di
hadapan Notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh
Notaris dalam suatu akta otentik. Akta sedemikian dinamakan akta yang
dibuat di hadapan (ten overtaan) Notaris.80
Dari uraian di atas dan sejalan dengan pendapat Abdulkadir Muhammad
maka dapat diketahui, bahwa pada dasarnya terdapat 2 (dua) golongan akta
Notaris, yaitu:
a. Akta yang dibuat oleh (door) Notaris atau yang dinamakan akta relaas atau
akta pejabat (Ambtelijken Aden);
b. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Notaris atau yang dinamakan
akta pihak (partij-acte).81
2.2.2 Kekuatan Pembuktian Akta Notaris
Akta otentik merupakan bukti sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli
warisnya serta sekalian orang yang mendapatkan hak dari padanya. Apa yang
tersebut di dalamnya perihal pokok masalah dan isi dari akta otentik itu dianggap
80
G. H. S Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 51.
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Bandung: Citra
Aditya, hal. 129.
81
75
tidak dapat disangkal kebenarannya, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa apa yang
oleh pejabat umum itu dicatat sebagai hal benar tetapi tidaklah demikian halnya.
Daya bukti sempurna dari akta otentik terhadap kedua belah pihak,
dimaksudkan jika timbul suatu sengketa dimuka hakim mengenai suatu hal dan
salah satu pihak mengajukan akta otentik, maka apa yang disebutkan di dalam
akta itu sudah dianggap terbukti dengan sempurna. Jika pihak lawan menyangkal
kebenaran isi akta otentik itu, maka ia wajib membuktikan bahwa isi akta itu
adalah tidak benar.
Dalam suatu proses perkara perdata apabila pihak penggugat mengajukan
akta otentik sebagai alat bukti, sedangkan pihak tergugat menyatakan bahwa isi
dari akta itu tidak benar, maka beban pembuktian beralih kepada pihak tergugat
yaitu pihak tergugat wajib membuktikan ketidakbenaran dari akta tersebut.
Kekuatan pembuktian sempurna mengandung arti bahwa isi akta itu dalam
pengadilan dianggap benar sampai ada bukti perlawanan yang melumpuhkan akta
tersebut.
Beban pembuktian perlawanan itu jatuh kepada pihak lawan dari pihak
yang menggunakan akta otentik atau akta di bawah tangan tersebut. Pihak lawan
misalnya, dapat mengemukakan perjanjian yang dimuat dalam akta itu memang
benar, akan tetapi tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sehingga perjanjian itu
tidak berlaku. Perlawanan demikian dapat melumpuhkan tuntutan penggugat,
apabila dapat dibuktikan. Daya bukti dari akta otentik itu ialah daya bukti yang
cukup antara para pihak, ahli waris mereka dan semua orang yang memperoleh
hak dari mereka.
76
Akta Notaris sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian,
dalam hal ini ada 3 (tiga) nilai pembuktian, yaitu:
a. Lahiriah (uitwendigebewijskracht):
b. Formal (formalebewijskracht);
c. Materiil (materielebewijskracht).
Terhadap ketiga daya pembuktian dari akta otentik di atas, akan diuraikan
sebagai berikut:
a. Lahiriah (uitwendigebewijskrachf):
Menurut Efendi, Bachtiar, dkk, daya bukti lahir sesuai dengan asas
“actapubiicaseseipsa” berarti suatu akta yang tampak sebagai akta otentik serta
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat
dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya. Daya bukti ini berlaku
terhadap siapapun. Kekuatan pembuktian keluar, maksudnya membuktikan tidak
saja antara para pihak yang bersangkutan tetapi juga terhadap pihak ketiga, Pada
tanggal tersebut dalam akta kedua belah pihak tersebut sudah menghadap dimuka
Notaris dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta itu.
b. Formal (formalebewijskracht);
Menurut Notodisoerjo, "kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta yang
tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh para
penghadap. Hal yang pasti ialah tentang tanggal dan tempat akta tersebut dibuat
serta keaslian tanda tangan".82 Akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang
(ambtelijk acte) tidak terdapat pernyataan atau keterangan dari para pihak,
82
Notodisoerjo, Soegondo, R, 1982, Hukum Notarial di Indonesia suatu
Penjelasan, Rajawali Jakarta, hal. 55.
77
pejabatlah yang menerangkan. Akta para pihak (partij acte), bagi siapapun telah
pasti bahwa pihak-pihak dan pejabat menyatakan seperti yang tercantum di atas
tanda tangan mereka. Sebagai contoh, jika dalam akta itu tertulis bahwa A
menerangkan menjual sebidang tanah kepada B seharga Rp 100.000.000,- dan
sebaliknya B menerangkan telah membeli tanah dari A dengan harga yang
sedemikian itu. Daya bukti formal ini artinya, telah terbukti dengan
sempurnabahwa si A dan si B, benar-benar telah membebankan keterangan
tersebut dimuka pejabat yang bersangkutan. Namun yang terbukti terbatas hingga
itu saja. Jadi tidak terbukti pula benar tidaknya telah terjadi persetujuan jual beli
antara mereka. Notaris atau pejabat yang berwenang tidak wajib untuk
menyelidiki kebenaran dari pada keterangan A dan B tersebut. Bukti formal ini
berlaku terhadap siapapun. Daya bukti formal dari akta dibawah tangan ini sama
dengan daya bukti formal dari akta otentik.
c. Materiil (materielebewijskrachf)
Daya bukti materiil ini membuktikan bahwa antara para pihak yang
bersangkutan telah menerangkan bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi. Daya
bukti materiil ini yang dibuktikan bukan saja peristiwa antara pihak-pihak.
melainkan dibuktikan kebenaran dari peristiwa tersebut. Sebagai contoh: pada
suatu hari si A dan si B menghadap di muka Notaris dan menerangkan bahwa
mereka telah mengadakan jual beli mengenai sebuah rumah dengan harga tertentu.
Harus dianggap benar tidak saja bahwa mereka telah menerangkan terjadinya jual
beli mengenai sebuah rumah dengan harga tertentu, dianggap benar tidak saja
78
bahwa mereka telah menerangkan bahwa mereka itu benar-benar sudah dijual
kepada si B.
UU Perubahan atas UUJN menyebutkan bahwa akta otentik itu harus
dianggap sah hanyalah bahwa apabila para pihak betul-betul sudah menghadap
kepada pejabat umum (Notaris) termasuk pada hari dan tanggal dibukukan dalam
akta itu dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. Akta merupakan
bukti tentang apakah benar bahwa mereka telah menerangkan apa yang ditulis
disitu, tetapi tidak menerangkan bukti tentang apakah benar yang mereka
terangkan itu. Pendapat yang demikian itu sudah lama ditinggalkan. Sekarang
yang tepat ialah bahwa akta otentik itu tidak hanya membuktikan bahwa para
pihak sudah menerangkan bahwa apa yang ditulis pada akta tersebut, tetapi juga
menerangkan bahwa para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis tadi adalah
benar-benar terjadi.
Kekuatan bukti suatu surat terletak dalam akta yang asli. Jika akta yang
asli itu ada, maka turunan dan ringkasannya hanya dapat dipercayai sesuai dengan
yang asli yang selalu dapat diperintahkan untuk dipertunjukkan. Hakim selalu
berwenang memerintahkan kepada pihak yang bersangkutan untuk mengajukan
akta yang aslinya dimuka sidang. Walaupun demikian dalam suatu proses kerap
kali hanya salinan atau ikhtisarnya yang diserahkan kepada Pengadilan. Ini tidak
menimbulkan keberatan, asal saja pihak lawan tidak menyangkal, bahwa salinan
atau ikhtisar itu tidak sesuai dengan aslinya.
Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris
sebagai akta otentik dan siapapun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan
79
dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak
benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasi kekuatan
pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
di bawah tangan.
2.2.3 Pertanggungjawaban Notaris atas Pembuatan Akta Otentik
Jabatan atau profesi Notaris dalam pembuatan akta merupakan jabatan
kepercayaan yang harus dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun
secara etika profesi. Akta yang dibuat oleh Notaris adalah akta yang bersifat
otentik, oleh karena itu Notaris dalam membuat akta harus hati-hati dan selalu
berdasar pada peraturan.
Pembuatan akta otentik, Notaris harus bertanggung jawab apabila atas akta
yang dibuatnya terdapat kesalahan atau pelanggaran yang disengaja oleh Notaris.
Sebaliknya apabila unsur kesalahan atau pelanggaran itu terjadi dari para pihak
penghadap, maka sepanjang Notaris melaksanakan kewenangannya sesuai
peraturan. Notaris bersangkutan tidak dapat diminta pertanggungjawabannya,
karena Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak untuk
dituangkan ke dalam akta.
Berkaitan ini tidak berarti Notaris steril (bersih) dari hukum. tidak dapat
dihukum, atau kebal terhadap hukum. Notaris bisa saja dihukum (pidana atau
perdata) jika terbukti di pengadilan bahwa secara sengaja (penuh kesadaran
dan keinsyafan serta direncanakan) Notaris bersama-sama dengan para
pihak/penghadap membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan
80
pihak atau penghadap tertentu saja atau merugikan penghadap yang lain. Jika hal
ini terbukti, Notaris tersebut wajib di hukum.
Pasal 84 UUJN ditentukan ada 2 (dua) jenis sanksi perdata, jika Notaris
melakukan tindakan pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu dan juga sanksi
yang sama jenisnya tersebar dalam pasal-pasal yang lainnya, yaitu:
a. Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan; dan
b. Akta Notaris menjadi batal demi hukum.
Akibat dari akta Notaris yang seperti itu, maka ini dapat menjadi alasan
bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti
rugi, dan bunga kepada Notaris. Menurut Pasal 66 UU Perubahan atas UUJN, jika
Notaris dipanggil oleh Kepolisian, Kejaksaan, atau hakim, maka instansi
bersangkutan yang ingin memanggil wajib meminta persetujuan dari Majelis
Pengawas Daerah (MPD).
81
BAB III
TANGGUNG JAWAB NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA
BERDASARKAN PEMALSUAN SURAT OLEH PARA PIHAK MENURUT
UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS
3.1 Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris Dari Segi Hukum Administrasi
Fungsi dan peran Notaris dalam pembangunan nasional dewasa ini
semakin komplek, semakin luas dan berkembang sehingga berbagai tantangan
dihadapi oleh Notaris dalam melaksanakan jabatannya. Dalam melaksanakan
tugas jabatannya seorang Notaris harus berpegang teguh kepada Undang-Undang
Jabatan Notaris (UU Perubahan atas UUJN) dan Kode Etik Notaris, karena tanpa
itu harkat dan martabat profesionalisme seorang Notaris akan hilang sama sekali.
Sejak tahun 1987 oleh Departemen Kehakiman sekarang Departemen Hukum dan
HAM diisyaratkan, bahwa seseorang untuk dapat diangkat sebagai Notaris selain
harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 3 UU Perubahan atas
UUJN harus dapat membuktikan pula bahwa ia telah lulus ujian kode etik yang
diselenggarakan oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI) berdasarkan wewenang yang
diberikan oleh Departemen Hukum dan HAM kepada INI.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang
diundangkan pada tanggal 6 Nopember 2004 dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 (UUJN) jo. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang diundangkan pada tanggal 15
81
82
Januari 2014 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 (UU
Perubahan atas UUJN) mengandung hukum materiil maupun hukum formal,
misalnya ketentuan-ketentuan mengenai kedudukan dan fungsi
Notaris.
Selanjutnya sebagai suatu jabatan kepercayaan yang menjalankan sebagian dan
wewenang pemerintah, maka dari seorang Notaris juga dituntut adanya sikap dan
watak yang tidak tercela dengan suatu ukuran yang lebih dari pada yang berlaku
pada para anggota masyarakat pada umumnya. Mengenai hari ini tentunya
diperlukan suatu utama bagi sikap dan watak dari seorang Notaris dan tolok ukur
tersebut termuat dari Kode Etik Indonesia.
Kode Etik adalah suatu tuntutan, bimbingan atau pedoman moral atau
kesusilaan untuk suatu profesi tertentu. Dengan kata lain Kode Etik Notaris adalah
tuntutan, bimbingan atau pedoman moral/kesusilaan Notaris baik selaku pribadi
maupun pejabat umum yang diangkat pemerintah dalam rangka pemberian
pelayanan umum, khususnya dalam bidang pembuatan akta. Kode Etik ini
umumnya memberikan petunjuk kepada para anggotanya untuk berpraktek dalam
profesi, khususnya menyangkut bidang-bidang sebagai berikut:
1. Hubungan antara klien dan tenaga ahli dalam profesi;
2. Pengukuran dan standar evaluasi yang dipakai dalam profesi;
3. Penelitian dan publikasi/penertiban profesi;
4. Konsultasi dari praktek pribadi;
5. Tingkat kemampuan/kompensasi yang umum;
83
6. Administrasi personalia;
7. Standar-standar untuk pelatihan83.
Kode etik yang disusun oleh organisasi profesi (INI) yang ada sekarang
merupakan penambahan dari UU Perubahan atas UUJN tersebut semata-mata
sebagai penjabaran atau penjelasan tambahan dari ketentuan UU Perubahan atas
UUJN. Kode Etik yang disusun menjadi norma-norma atau peraturan-peraturan
mengenai etika baik tertulis maupun tidak tertulis. Khusus bagi para Notaris
tentang etika telah diatur dalam UU Perubahan atas UUJN, namun untuk
mengetahui ketentuan mana yang ada dalam UU Perubahan atas UUJN yang
termasuk dalam ruang lingkup kode etik kiranya perlu ada penafsiran tersebut,
agar dapat diketahui dengan jelas hukuman-hukuman dalam arti teknis dari KUHP
yang merupakan hukuman pidana dan merupakan displinair dari ketentuan Pasal
84 dan Pasal 85 dari UU Perubahan atas UUJN.
Jabatan Notaris selain sebagai jabatan yang menggeluti masalah-masalah
teknis hukum, juga harus ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan hukum
nasional. Oleh karena itu, Notaris harus senantiasa menghayati idealisme
perjuangan bangsa secara menyeluruh terutama dalam rangka peningkatan jasa
pelayanan kepada masyarakat. Notaris wajib mengikuti perkembangan hukum
nasional yang pada akhirnya Notaris mampu melaksanakan profesinya secara
profesional.
Dalam menjalankan tugasnya, Notaris harus menyadari kewajibannya,
bekerja mandiri, jujur, tidak memihak dan penuh rasa tanggung jawab serta
83
hal. 13.
Suhrawardi K. Lubis, 2000, Etika Profesi Hakim, Jakarta : Sinar Grafika,
84
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan
sebaik-baiknya. Profesi Notaris termasuk ke dalam jenis profesi yang dinamakan
profesi luhur untuk membantu memberikan kepastian terhadap hubungan hukum
yang dibangun para pihak dalam melaksanakan kehidupan bermasyarakat,
sehingga penghasilan atas jasanya seharusnya bukan dijadikan motivasi utamanya.
Dalam kaitan itu, yang menjadi motivasi utamanya adalah kesediaan yang
bersangkutan untuk melayani sesamanya.84 Oleh karena itu, jabatan atau profesi
Notaris dalam pembuatan akta merupakan jabatan kepercayaan yang harus
dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun secara etika profesi. Akta
yang dibuat oleh Notaris adalah akta yang bersifat otentik, oleh karena itu Notaris
dalam membuat akta harus hati-hati dan selalu berdasar pada peraturan.
Dalam pembuatan akta otentik, Notaris harus bertanggung jawab apabila
atas akta yang dibuatnya terdapat kesalahan atau pelanggaran yang disengaja oleh
Notaris. Sebaliknya apabila unsur kesalahan atau pelanggaran itu terjadi dari para
pihak penghadap, maka sepanjang Notaris melaksanakan kewenangannya sesuai
peraturan. Notaris bersangkutan tidak dapat diminta pertanggungjawabannya,
karena Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak untuk
dituangkan ke dalam akta. Keterangan palsu yang disampaikan oleh para pihak
adalah menjadi tanggung jawab para pihak.85 Dengan kata lain, yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada Notaris ialah apabila penipuan atau tipu muslihat
84
C. S. T Kansil dan Christine S. T. Kansil, 1997, Pokok-Pokok Etika
Profesi Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 5.
85
Andi Mamminanga, 2008, Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas
Notaris Daerah dalam Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris berdasarkan UUJN,
Tesis yang ditulis pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,
hal. 32.
85
itu bersumber dari Notaris sendiri.86 Selama Notaris tidak berpihak dan hati-hati
dalam menjalankan jabatannya, maka Notaris akan lebih terlindungi dalam
menjalankan kewajibannya. Namun dalam pembuatan Akta Rapat Umum
Pemegang Saham, itu sepenuhnya merupakan tanggung jawab Notaris.
Apabila
Notaris
sebagai
pejabat
umum
dalam
menjalankan
kewenangannya membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
ketetapan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka Notaris sebagai
pejabat umum tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban dari segi hukum atas
akta yang dibuatnya tersebut. Namun apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 84
UUJN, akta yang dibuat oleh Notaris tersebut tidak mempunyai kekuatan notariil
sebagai akta otentik, melainkan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum. Akta yang dibuat
oleh Notaris mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan, apabila akta
tersebut tidak atau kurang syarat subyektifnya diantaranya pihak-pihak atau para
penghadap tidak cakap bertindak dalam hukum, sedangkan akta menjadi batal
demi hukum jika akta tersebut dibuat tidak memenuhi syarat obyektif, misalnya
tidak ada obyek yang diperjanjikan atau akta tersebut dibuat bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan.
Pada
kondisi
yang
demikian
ini,
Notaris
dapat
dimintai
pertanggungjawaban dari segi hukum. Mengenai pertanggungjawaban Notaris
dari segi hukum tidak lepas dari pertanggungjawaban dari segi hukum pidana,
perdata maupun Hukum Administrasi. Hal ini sejalan dengan asas yang berlaku
86
Notodisoerjo, 1982, Hukum Notarial di Indonesia (suatu penjelasan),
Rajawali Pers, Jakarta, hal. 229.
86
bahwa siapa saja yang dirugikan berhak melakukan tuntutan atau gugatan.
Gugatan terhadap Notaris dapat terjadi jika terbitnya akta Notaris tidak sesuai
dengan prosedur sehingga menimbulkan kerugian. Pada pihak lain, jika suatu
akta
sampai
dibatalkan,
maka
Notaris
yang
bersangkutan
dapat
dipertanggungjawabkan menurut Hukum Administrasi, Hukum Perdata dan/atau
Hukum Pidana.
Apabila memperhatikan uraian Pasal 1 angka 1 UU Perubahan atas UUJN
terdapat kalimat semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan
umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.
Kalimat sebagaimana di atas hanya mengecualikan bahwa akta tersebut jika
undang-undang menentukan lain. maka Notaris tidak mempunyai kewenangan
untuk membuat akta tersebut. Ketentuan ini menunjukkan bahwa selama akta
yang dibuat oleh Notaris tersebut dibuat sesuai dengan yang diharuskan oleh suatu
peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan
dalam suatu akta, maka Notaris tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas
akta yang dibuatnya. Namun Notaris adalah manusia yang tidak luput dari
kesalahan dalam pembuatan akta tersebut, untuk itu jika terjadi baik karena
disengaja maupun kelalaiannya Notaris melakukan kesalahan, maka dapat
dimintakan tanggung jawab baik dari segi hukum pidana, perdata maupun
administratisi. Mengenai sanksi Hukum Administrasi berupa teguran lisan,
tertulis,
pemberhentian
sementara,
pemberhentian
dengan
hormat,
atau
pemberhentian dengan tidak hormat tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam
keadaan bagaimana Notaris diberikan sanksi dengan kualifikasikan sebagaimana
87
tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Sanksi Hukum Administrasi terhadap Notaris
karena kesalahannya yang membuat akta otentik menurut Pasal 85 UUJN
menyangkut ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 7, Pasal 15 ayat
(1,2 dan 3), Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 16 ayat (1) huruf b Pasal 16 ayat (1)
huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1)
huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat (1) huruf
I, Pasal 16 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27,
Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, dan/atau Pasal 63, dapat dikenai sanksi
berupa:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis;
c. Pemberhentian sementara;
d. Pemberhentian dengan hormat: atau
e. Pemberhentian dengan tidak hormat.
3.2. Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris Dari Segi Hukum Perdata
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa akta yang dibuat oleh Notaris
berkaitan dengan masalah keperdataan yaitu mengenai perikatan yang dibuat oleh
dua pihak atau lebih meskipun memungkinkan dibuat secara sepihak (sifatnya
hanya menguatkan). Sifat dan asas yang dianut oleh hukum perikatan khususnya
perikatan yang lahir karena perjanjian, bahwa undang-undang hanya mungkin dan
boleh diubah atau diganti atau dinyatakan tidak berlaku, hanya oleh mereka yang
membuatnya, maksudnya kesepakatan kedua belah pihak yang dituangkan dalam
88
suatu akta otentik mengikat kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undangundang.
Kesepakatan itu tidak dapat ditarik selain terjadi kesepakatan kedua belah
pihak pula yang membuatnya (Pasal 1138 KUH Perdata). Oleh karena itu suatu
perjanjian atau persetujuan, yang mempunyai kekuatan seperti/sebagai undangundang itu, hanya dapat dibatalkan oleh atau atas persetujuan pihak-pihak yang
membuatnya. Hal yang sangat prinsip, bahwa suatu akta tidak mungkin
dibatalkan, kalaupun ada suatu kekhilafan/kekeliruan atau kesalahan hanya
mungkin melalui proses/prosedur hukum, dengan cara membuat rectificatie
(pembetulan/perbaikan) atau dengan kata lain hanya dapat dilakukan dengan
membuat akta lagi guna memperbaiki kesalahan tadi. Akta-akta yang keliru tadi,
masih tetap harus berada, tersimpan dalam protokol pembuat akta tadi. Hal ini
berarti bahwa jika ditinjau dari segi hukum perdata, apabila pembuat akta yang
keliru, maka akta tersebut akan disimpan oleh pembuat akta yang bersangkutan.
Pasal 84 UUJN menetapkan bahwa "dapat menjadi alasan bagi pihak yang
menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga
kepada Notaris". Dalam hal ini, Notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik, jika
terjadi kesalahan baik disengaja maupun karena kelalaiannya mengakibatkan
orang lain (akibat dibuatnya akta) menderita kerugian, yang berarti Notaris telah
melakukan perbuatan melanggar hukum.
Ganti rugi atas dasar perbuatan melanggar hukum di dalam hukum perdata
diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang menentukan: "Tiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang
89
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut.
Apabila memperhatikan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata diatas, di dalamnya
terkandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perbuatan yang melanggar hukum
2. Harus ada kesalahan;
3. Harus ada kerugian yang ditimbulkan;
4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
Perbuatan melanggar hukum diartikan sebagai “berbuat atau tidak berbuat
melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum orang yang
berbuat itu sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan atau sikap berhati-hati
sebagaimana sepatutnya dalam lalu lintas masyarakat, terhadap diri atau barangbarang orang lain.87
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 84 UUJN, bahwa tindakan
pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam beberapa Pasal, maka jika salah satu pasal tersebut dilanggar
berarti terjadi perbuatan melanggar hukum, sehingga unsur harus ada perbuatan
melanggar hukum sudah terpenuhi. Perihal kesalahan dalam perbuatan melanggar
hukum, dalam hukum perdata tidak membedakan antara kesalahan yang
ditimbulkan karena kesengajaan pelaku, melainkan juga karena kesalahan atau
kurang hati-hatinya pelaku. Ketentuan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Riduan Syahrani sebagai berikut: “tidak kurang hati-hati”.88 Notaris yang
87
Riduan Syahrani, 1998, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata,
Alumni, Bandung, hal. 264.
88
Ibid, hal. 279.
90
membuat akta ternyata tidak sesuai dengan wewenangnya dapat terjadi karena
kesengajaan maupun karena kelalaiannya, yang berarti telah salah sehingga unsur
harus ada kesalahan telah terpenuhi.
Perihal kerugian dalam perbuatan melanggar hukum, "dapat berupa
kerugian materiil dan dapat pula berupa kerugian immaterial".89 Kerugian dalam
bentuk materiil, yaitu kerugian yang jumlahnya dapat dihitung, sedangkan
kerugian immaterial, jumlahnya tidak dapat dihitung, misalnya nama baiknya
tercemar, mengakibatkan kematian. Dengan adanya akta yang dapat dibatalkan
atau batal demi hukum, mengakibatkan timbulnya suatu kerugian, sehingga unsur
harus ada kerugian telah terpenuhi.
Adanya hubungan kausal atau hubungan sebab akibat maksudnya yaitu
kerugian yang diderita tersebut ditimbulkan atau disebabkan karena perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan Riduan Syahrani yang mengutip teori Von Kries sebagai berikut:
"suatu hal baru dapat dinamakan sebab dari suatu akibat, apabila menurut
pengalaman masyarakat dapat diduga, bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat
itu”.90 Hal ini berarti bahwa jika terdapat suatu sebab tetapi sebab tersebut tidak
menimbulkan suatu kerugian, atau timbul suatu kerugian namun bukan
disebabkan oleh pelaku, maka tidak dapat dikatakan adanya suatu hubungan
kausal antara perbuatan dengan kerugian yang ditimbulkan. Kerugian yang
diderita oleh seseorang disebabkan karena kesalahan Notaris dalam membuat
89
90
Ibid, hal. 280.
Ibid, hal. 281.
91
akta, sehingga unsur harus ada hubungan kausal antara perbuatan Notaris dengan
kerugian yang timbul telah terpenuhi.
Gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melanggar hukum apabila
pelaku melakukan perbuatan yang memenuhi keseluruhan unsur Pasal 1365 KUH
Perdata, mengenai siapa yang diwajibkan untuk membuktikan adanya perbuatan
melanggar hukum, menurut Pasal 1865 KUH Perdata menentukan: "setiap orang
yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan
haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu
peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atas peristiwa tersebut". Hal ini
berarti bahwa dalam perbuatan melanggar hukum, yang diwajibkan untuk
membuktikan adanya perbuatan melanggar hukum adalah pihak yang haknya
dilanggar yang harus membuktikan bahwa haknya telah dilanggar oleh orang lain.
Oleh karenanya jika pihak yang merasa haknya dirugikan, namun tidak dapat
membuktikan adanya pelanggaran hak karena salah satu unsur tidak terpenuhi,
maka gugatan ganti kerugian atas dasar perbuatan melanggar hukum tidak akan
berhasil.
Pasal 1246 KUH Perdata menentukan bahwa "biaya, rugi, dan bunga yang
oleh si berpiutang boleh menuntut akan penggantinya, terdirilah pada umumnya
atas rugi yang dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya....".
Mengenai biaya, rugi, bunga dijelaskan lebih lanjut oleh Subekti sebagai berikut:
biaya maksudnya yaitu yang benar-benar telah dikeluarkan. Kerugian maksudnya
kerugian yang benar-benar diderita akibat kelalaian dari debitur. Sedangkan bunga
maksudnya yaitu keuntungan yang telah diperhitungkan sebelumnya akan di
92
terima.91 Mengenai gugatan ganti kerugian yang berupa penggantian biaya, rugi
dan bunga ini tidak sepenuhnya harus terpenuhi, melainkan cukup dengan
kerugian yang benar-benar telah diderita oleh kreditur karena kelalaian debitur
yang tidak memenuhi kewajiban yang timbul karena perjanjian.92
3.3 Bentuk Tanggung Jawab Seorang Notaris Dari Segi Hukum Pidana
Tanggung jawab Notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya tidak diatur
dalam UU Perubahan atas UUJN namun tanggung jawab Notaris secara pidana
dikenakan apabila Notaris melakukan perbuatan pidana. Notaris bersangkutan
tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, karena Notaris hanya mencatat apa
yang disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam akta. Keterangan
palsu yang disampaikan oleh para pihak adalah menjadi tanggung jawab para
pihak.93 Dengan kata lain, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris
ialah apabila penipuan atau tipu muslihat itu bersumber dari Notaris sendiri.94 UU
Perubahan atas UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan
oleh Notaris terhadap UU Perubahan atas UUJN sanksi tersebut dapat berupa akta
yang dibuat oleh Notaris tidak memiliki kekuatan otentik atau hanya mempunyai
kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Tentang perbuatan Notaris melakukan
tindak pidana pemalsuan atau memalsukan akta Notaris, UU Perubahan atas
UUJN tidak mengatur secara khusus tentang ketentuan pidana tersebut oleh
91
Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 47.
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 40.
93
Andi Mamminanga, 2008, Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas
Notaris Daerah dalam Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris berdasarkan UUJN,
Tesis yang ditulis pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,
hal. 32.
94
Notodisoerjo, 1982, Hukum Notarial di Indonesia (suatu penjelasan),
Rajawali Pers, Jakarta, hal. 229.
92
93
karena itu berdasarkan pada asas legalitas yang merupakan prinsip-prinsip KUHP
bahwa:
-
Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD
-
Negara menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan;
-
Setiap warga negara tanpa kecuali wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan.95
Demi tegaknya hukum Notaris harus tunduk pada ketentuan pidana
sebagaimana di atur dalam KUHP, dan terhadap pelaksanaannya mengingat
Notaris melakukan perbuatan dalam kapasitas jabatannya untuk membedakan
dengan perbuatan Notaris sebagai subyek hukum orang Pasal 50 KUHP
memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris yang menyebutkan bahwa :
“barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang,
tidak boleh dihukum”.96 Pengertian penerapan Pasal 50 KUHP terhadap Notaris
tidaklah semata-mata melindungi Notaris untuk membebaskan adanya perbuatan
pidana yang dilakukannya tetapi mengingat Notaris mempunyai kewenangan
sebagaimana diatur dalam UU Perubahan atas UUJN apakah perbuatan yang telah
dilakukannya pada saat membuat akta Notaris sudah sesuai dengan peraturan yang
berlaku.97
95
M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan
KUHAP (Penyidikan Dan Penuntutan), Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 36.
96
R. Soesilo, 1993, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, hal. 66.
97
Leden Marpaung, Op.Cit, hal. 67.
94
Membuktikan seorang Notaris telah melakukan perbuatan pidana
pemalsuan akta atau membuat akta palsu sebagaimana dimaksud Pasal 263, Pasal
264 dan Pasal 266 harus berdasarkan penyelidikan dan proses pembuktian yang
aturan hukum dengan mencari unsur-unsur kesalahan dan kesengajaan dari
Notaris itu sendiri. Hal itu dimaksudkan agar dapat dipertanggungjawabkan baik
secara kelembagaan maupun dalam kapasitas Notaris sebagai subyek hukum.
Dalam UU Perubahan atas UUJN di atur bahwa ketika Notaris dalam
menjalankan jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris dapat
dikenai sanksi atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi dan kode
etik, namun tidak mengatur adanya sanksi pidana. Dalam praktek ditemukan
kenyataan bahwa pelanggaran atas sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan
sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris. Adapun aspek-aspek
tersebut meliputi :
a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap;
b. Para pihak (siapa-orang) yang menghadap pada Notaris;
c. Tanda tangan yang menghadap;
d. Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta;
e. Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan
f. Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi minuta akta
dikeluarkan.98
Aspek tersebut di atas sangat berkaitan erat dengan perbuatan Notaris
melakukan pelanggaran terhadap Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, dimana
muaranya adalah apabila Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan
98
Habib Ajie, Op.Cit, hal. 120-121.
95
menimbulkan terjadinya perbuatan pemalsuan atau memalsukan akta sebagaimana
dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan kerugian
bagi pihak yang berkepentingan.
Seorang Notaris terhadap akta yang dibuat dihadapannya, terhadap aspekaspek tersebut di atas akan dapat menimbulkan terjadinya perbuatan pidana
pemalsuan atau memalsukan pada akta Notaris apabila dalam kenyataannya
dikaitkan dengan Notaris tidak membacakan dan menjelaskan akta dihadapan
penghadap dengan disaksikan oleh saksi bilamana unsur obyektifnya (unsur sifat
perbuatan melawan hukumnya formil) yang disampaikan dalam pasal-pasal
pemalsuan dimaksud, dan unsur subyektif (unsur sifat perbuatan melawan hukum
materiil) yaitu kesalahan dan pertanggungjawaban pidanya dapat dibuktikan.
Sementara itu, pemeriksaan atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris
harus dilakukan pemeriksaan yang holistik-integral dengan melihat aspek lahiriah,
formal dan materiil akta Notaris, serta pelaksanaan tugas jabatan Notaris terkait
dengan wewenang Notaris. Dengan demikian, disamping berpijak pada aturan
hukum yang mengatur tindakan pelanggaran yang dilakukan Notaris juga perlu
dipadukan dengan realitas praktik Notaris. Pemeriksaan terhadap Notaris kurang
memadai jika dilakukan oleh mereka yang belum mendalami dunia Notaris,
artinya mereka yang akan memeriksa Notaris harus dapat membuktikan kesalahan
besar yang dilakukan oleh Notaris secara intelektual, dalam hal ini kekuatan
logika (hukum) yang diperlukan dalam memeriksa Notaris, bukan logika kekuatan
ataupun kekuasaan.
96
Secara umum perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran
terhadap 2 (dua) norma yaitu :
1. Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggarannya dapat tergolong dalam
kelompok kejahatan penipuan;
2. Ketertiban masyarakat yang pelanggarannya tergolong ke dalam
kelompok kejahatan terhadap negara/ketertiban umum.99
Pada perbuatan pemalsuan yang tergolong dalam kelompok kejahatan
penipuan apabila seseorang memberikan gambaran tentang sesuatu keadaan atas
barang (c.q.surat) seakan-akan asli atau benar, sedangkan sesungguhnya keaslian
atau kebenaran tersebut tidak dimiIiknya.100 Berdasarkan pengertian pemalsuan
tersebut dalam kaitannya dengan Pasal 263, 264, dan 266 KUHP dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Pasal 263 ayat (1) KUHP, mengandung dua jenis perbuatan yang dilarang
yaitu:
-
membuat surat palsu adalah menyusun surat atau tulisan pada
keseluruhannya, dimana surat ini ada karena dibuat secara palsu yang
bertujuan untuk menunjukkan bahwa surat seakan-akan berasal dari orang
lain darlpada penulisnya (pelakunya) dan hal ini disebut pemalsuan
materiil (materiele valsheid), asal surat itu palsu tetapi surat itu juga
mengandung sesuatu yang bukan atau lain daripada apa yang sebenarnya
harus dimuat, hingga surat itu memuat isi yang tidak benar yang semula
99
H.A.K.Moch. Anwar, 1989, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP
Buku II), Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 155.
100
Ibid.
97
tidak ada. Dalam perbuatan membuat surat palsu terdapat juga pemalsuan
intelektuil (lntelectuele Valsheid), berhubung isinyapun bertentangan
dengan kebenaran. Perbuatan membuat surat palsu dapat mengenai tanda
tangan maupun mengenai isi daripada tulisan atau surat, dimana perbuatan
itu menggambarkan secara palsu bahwa surat itu baik dari keseluruhan
maupun dari hanya tanda tangannya atau isinya berasal dari seorang yang
namanya tercantum dibawah tulisan itu (Pemalsuan secara materiil).
-
Memalsukan surat adalah perbuatan yang dilakukan dengan cara
melakukan perubahan-perubahan tanpa hak (tanpa ijin yang berhak) dalam
suatu surat atau tulisan, perubahan mana dapat mengenai tanda tangannya
maupun mengenai isinya, tidak peduli bahwa ini sebelumnya adalah
sesuatu yang tidak benar ataupun sesuatu yang benar, perubahan isi yang
tidak benar menjadi benar merupakan pemalsuan surat. Perbuatan
perubahan itu dapat terdiri atas : - penghapusan kalimat, kata, angka, tanda
tangan, - penambahan dengan satu kalimat, kata atau angka - penggantian
kalimat, kata, angka, tanggal, dan/atau tanda tangan. Perbuatan perubahan
itu menimbulkan perubahan atas tampaknya maupun atas isinya serta
tujuannya
semula.
Dengan
demikian
perbuatan
perubahan
itu
mengganggu, memperkosa surat atau tulisan asli.
2. Pasal 264 ayat (1) ke 1 KUHP, yaitu : merupakan ketentuan pemberatan dari
Pasal 263 ayat (1) KUHP karena perbuatan pemalsuan itu dilakukan terhadap
akta otentik, dan hal ini menunjukkan seakan-akan sudah terdapat suatu akta
otentik, hingga pemalsuan itu terdiri hanya atas perbuatan memalsukan surat,
98
sedangkan perbuatan peniruannya (membuat surat palsu) tidak termasuk di
dalamnya.
3. Pasal 266 ayat (1) KUHP, Orang yang menghadap kepada Pegawai Negeri
memberikan keterangan-keterangan untuk dicantumkan di dalam akta yang
harus dibuat oleh Pegawai Negari itu keterangan-keterangan mana adalah tidak
benar. Pegawai Negeri itu tidak melakukan pemalsuan dalam pengertian Pasal
263 ayat (1) KUHP. Perbuatan itu merupakan pemalsuan secara intelektuil,
yaitu membuat surat itu palsu. Dan dalam hal ini tidak terdapat penyertaan
(Pasal 55 Ayat (1)). Perbuatan yang dilarang pada pasal ini adalah menyuruh
memasukkan keterangan-keterangan palsu di dalam akta otentik. Sedangkan
yang dimaksudkan dengan akta otetik palsu adalah isi dari akta ini tidak
berdasarkan pada kebenaran, tetapi bertentangan dengan kebenaran. Akta ini
harus membuktikan suatu peristiwa, peristiwa mana diterangkan oleh
penghadap. Dan peristiwa ini tidak benar, bertentangan dengan kebenaran
karenanya keterangan-keterangannya itu adalah palsu.101
Berdasarkan pada pengertian pasal pemalsuan tersebut di atas apabila
dikaitkan dengan pelanggaran Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, terhadap
perbuatan Notaris tampak pada contoh kasus :
1. Pasal 263 ayat (1 ) KUHP : adanya seorang Notaris membuat akta dan sudah
dikeluarkan salinannya. Kemudian terjadi sengketa dan dihadapan penyidik
salah satu pihak menyatakan bahwa akta tersebut dibuat oleh asisten Notaris.
Selanjutnya oleh asisten Notaris akta tersebut dibawa keliling untuk
101
Ibid, hal. 189-199.
99
ditandatangani oleh para pihak dan ketika asisten Notaris tidak ketemu dengan
salah satu pihak, maka akta tersebut ditinggal (dititipkan) dan setelah
ditandatangani baru diambil. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh penyidik
lebih lanjut temyata minuta dari akta tersebut tidak ada padahal salinan telah
dikeluarkan dan telah ditandatangani oleh Notaris bersangkutan.102
2. Pasal 264 ayat (1) KUHP : penghadap datang kepada Notaris untuk membuat
akta Notaris. Dan ternyata penghadap tersebut menggunakan identitas seperti
Kartu Tanda Penduduk Palsu (KTP palsu). Padahal pada akta partij tersebut
Notaris telah mencantumkan kata-kata” Penghadap saya Notaris kenal” ketika
perjanjian tersebut dilaksanakan oleh para pihak timbul permasalahan hukum
karena domisili penghadap tersebut dalam pemenuhan kewajiban tidak sesuai
dengan KTP sehingga yang bersangkutan tidak bisa menemukan si pelaku.103
3. Pasal 266 ayat (1) KUHP : Penghadap datang kepada Notaris untuk dibuatkan
akta Notaris, dan ternyata keterangan penghadap yang telah dituangkan ke
dalam akta ternyata palsu atau seolah-olah keterangan itu sesuai dengan
kebenarannya.
Memperhatikan contoh permasalahan tersebut sehubungan dengan dengan
adanya pelanggaran Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN tentu harus dilihat dari
sisi subyeknya (pelaku) artinya ketika perbuatan Notaris dalam membuat akta
otentik tidak melaksanakan ketentuan tersebut tidak otomatis yang bersangkutan
102
Soegeng Santoso, Doddy Radjasa Waluyo, dan Zulkifli Harahap,
Op.Cit, hal. 31.
103
Pleter E Latumeten, 2005, Dapatkah Notaris Dipidana, Jika KTP
Penghadap Palsu Dan Dalam Akta Tercantum Penghadap Saya Notaris Kenal,
Renvoi, Nomor 11.23.II, hal. 26.
100
melakukan perbuatan pidana, dan harus dilihat sampai sejauh mana keterlibatan
Notaris tersebut dengan melakukan penelitian secara mendalam sehingga timbul
permasalahan hukum akibat akta yang dibuatnya, mengingat perbuatan pidana
merupakan ketentuan yang di atur dalam hukum publik (KUHP) dengan mencari
unsur-unsur kesalahan dan kesengajaan yang bersangkutan.
Hukum Publik (Hukum Pidana) adalah hukum yang mengatur perbuatanperbuatan apa yang dilarang dan yang memberikan pidana kepada siapa yang
melanggamya serta mengatur bagaimana cara-cara mengajukan perkara-perkara
ke muka pengadilan.104 Dalam teori hukum pidana terdapat suatu pandangan yang
dikenal dengan ajaran feit materiel dalam hal penentuan adanya kesalahan dan
pertanggungjawaban dilakukan dengan meninjau apakah pembuat memenuhi
seluruh isi rumusan tindak pidana.105
Konsepsi
yang menempatkan
kesalahan
sebagai
faktor
penentu
pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law system,
yang memberlakukan maksim Latin : “actus non est reus, nisi mens sit rea” yang
oleh Wilson menafsirkan maksin Latin sebagai : “an act is not criminal in the
absence of a guilty mind” artinya suatu perbuatan tidak dapat dikatakan bersifat
kriminal jika tidak terdapat kehendak jahat di dalamnya. Sedangkan Kadish dan
Paulsen menafsirkan sebagai : “an unwarrantable act without a vicious will is no
crime at all” artinya suatu kelakuan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan
tanpa kehendak jahat.106 Pada satu sisi, doktrin ini menyebabkan adanya mens rea
104
C.S.T., Kansil, Op.Cit, hal. 31.
Chairul Huda, Op.Cit, hal. 3-4.
106
Chairul Huda, Op.Cit, hal. 5.
105
101
merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana sedangkan pada sisi lain hal ini
menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena
melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang
tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut menurut doktrin unsur-unsur perbuatan
pidana (delik) terdiri atas yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur
subyektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku, dalam hal ini
dikenal dengan asas “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”. Kesalahan
yang dimaksudkan disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh adanya
kesengajaan yang meliputi :
1. Kesengajaan sebagai maksud yaitu kesengajaan dalam hubungannya dengan
"maksud" adalah merupakan suatu kehendak dan kesengajaan “motif” adalah
merupakan suatu tujuan.
2. Kesengajaan dengan keinsafan pasti yaitu si pelaku mengetahui pasti atau
yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi suatu akibat lain. Si
pelaku menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan itu, pasti akan timbul
akibat lain.
3. Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan adalah seseorang
melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu,
akan tetapi si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang
juga dilarang dan di ancam oleh undang-undang.107
107
Leden Marpaung, Op.Cit, hal. 15-16.
102
Unsur obyektif yang dimaksud merupakan unsur yang ada di luar diri pelaku
terdiri atas :
1. Perbuatan manusia yang berupa : Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan
positif dan Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu
perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.
2. Akibat perbuatan manusia yaitu perbuatan tersebut membahayakan atau
merusak bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan
oleh hukum misalnya nyawa, benda, kemerdekaan.
3. Keadaan-keadaan, yang pada umumnya dibedakan antara lain keadaan pada
saat perbuatan dilakukan, keadaan setelah perbuatan dilakukan.
4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum sifat dapat dihukum berkenaan
dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun
sifat melawan hukum adalah perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni
berkenaan dengan larangan atau perintah.
Dalam hal Notaris diduga melakukan perbuatan pidana pemalsuan akta
sebagaimana dimaksud Pasal 263, 264 dan 266 KUHP maka dapat di uraikan
sebagai berikut :
1. Pasal 263 KUHP:
(1)
Barang siapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang
dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan, atau pembebasan hutang
atau yang di peruntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan
maksud diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan
maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut
103
seolah-olah isinya benar dan tidak di palsu, diancam jika pemakaian
tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat dengan
pidana penjara paling lama enam tahun.
(2)
Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat yang isinya tidak benar atau yang palsu, seolah-olah
benar dan tidak palsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan
kerugian.108
Adapun unsur-unsur yang tercantum pada ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHP
adalah :
a. Unsur obyektif adalah membuat surat palsu dan memalsukan surat yang
dapat menerbitkan sesuatu hak, menerbitkan sesuatu perjanjian, menimbulkan
pembebasan sesuatu hutang, diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu
hal.
b. Unsur Subyektif dengan maksud untuk mempergunakan dan memakai surat
itu seolah-olah asli atau tidak palsu, pemakaian atau penggunaan surat itu
dapat menimbulkan kerugian.109
Hukuman dapat diberikan menurut pasal ini, apabila pada waktu memalsukan
surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain
untuk
menggunakan
surat
tersebut
seolah-olah
asli
dan
tidak
palsu.
Penggunaannya itu harus dapat mendatangkan kerugian, ”dapat” maksudnya tidak
perlu kerugian itu betul-betul sudah ada, baru kemungkinan saja akan adanya
108
Dinas Hukum Polri, 1995, Penjabaran Unsur Pasal-Pasal Dalam
KUHP Dan Delik-Delik Lain Di Luar KUHP, Jakarta, hal. 91-92.
109
H.A.K. Moch Anwar, Op.Cit, hal. 181.
104
kerugian itu sudah cukup, yang diartikan dengan ”Kerugian”, disini tidak saja
hanya meliputi kerugian materil, akan tetapi juga kerugian dilapangan
kemasyarakatan, kesusilaan, dan kehormatan. Adapun yang dapat di hukum
menurut pasal ini tidak saja, “Memalsukan" surat pada ayat (1) tetapi juga sengaja
mempergunakan surat palsu ayat (2) ‘Sengaja' maksudnya, bahwa orang yang
menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu
palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum. Sudah dianggap sebagai
mempergunakan, misalnya : menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus
mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu ditempat dimana surat
tersebut harus dibutuhkan. Dalam hal menggunakan surat palsu ini pun harus pula
dibuktikan, bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak
dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kemgian.
2. Pasal 264 ayat(1) KUHP:
(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan
tahun, jika dilakukan terhadap :
1. Akta-akta otentik ;
2. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya
ataupun dari suatu lembaga umum ;
3. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu
perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai ;
4. talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang
diterangkan dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai
pengganti surat-surat itu ;
105
5. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.
(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja
memakai surat tersebut dalam ayat pertama yang isinya tidak benar atau
yang dipalsu seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat
itu dapat menimbulkan kerugian.
Unsur pasal tersebut memiliki unsur-unsur yang sama dengan Pasal 263
ayat (1) KUHP, sedangkan perbedaannya terletak pada obyek pemalsuan yang
dalam hubungannya dengan Notaris yaitu akta otentik Pasal 264 ayat (1) ke 1
yaitu perbuatan pemalsuan itu dilakukan terhadap akta otentik Perbuatan yang
diancam hukuman pada pasal ini harus memuat segala elemen-elemen atau syaratsyarat yang termuat pada Pasal 263 dan selain dari pada itu ditambah dengan
syarat, bahwa surat yang dipalsukan itu terdiri dari surat otentik, surat-surat mana
karena bersifat umum dan harus tetap mendapat kepercayaan dari umum. Akta
otentik menurut ketentuan tersebut adalah akte yang dibuat dihadapan seorang
pegawai-pegawai umum yang berhak untuk itu, biasanya Notaris.
3. Pasal 266 ayat (1) KUHP:
(1) Barang siapa menyuruh masukkan keterangan palsu kedalam suatu akta
otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh
akta itu dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai
akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenarannya, diancam
jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian dengan pidana penjara
paling Iama tujuh tahun.
106
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai
akta tersebut solah-olah isinya sesuai dengan kebenaran jika karena
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Unsur-unsur yang terdapat dalam Ketentuan Pasal 266 KUHP tersebut meliputi
beberapa unsur :
a. Unsur obyektif adalah membuat surat palsu dan memalsukan surat yang
dapat menerbitkan sesuatu hak, menerbitkan sesuatu perjanjian, menimbulkan
pembebasan sesuatu hutang, diperuntukkan guna menjadi bukti atas sesuatu
hal.
b. Unsur Subyektif dengan maksud untuk mempergunakan dan memakai surat
itu seolah-olah asli atau tidak palsu, pemakaian atau penggunaan surat itu
dapat menimbulkan kerugian.
Menurut pasal ini yang dapat dihukum misalnya orang yang memberikan
keterangan tidak benar kepada Burgerlijke Stand untuk dimasukkan ke dalam
akta kelahiran yang harus dibuat oleh pegawai tersebut, dengan maksud untuk
mempergunakan atau menyuruh orang lain mempergunakan akta itu seolah-olah
keterangan yang termuat didalamnya itu benar. Ancaman hukuman tidak hanya
orang yang memberikan keterangan tidak benar, akan tetapi juga orang yang
dengan sengaja menggunakan surat (akte) yang memuat keterangan tidak benar
itu. Kedua hal tersebut harus senantiasa dibuktikan bahwa orang itu bertindak
seakan-akan isi surat itu benar dan perbuatan itu dapat mendatangkan kerugian.110
110
R. Soesilo, Op.Cit, hal. 197-198.
107
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Notaris diduga dengan
kualifikasi membuat surat palsu atau memalsukan surat yang seolah-olah surat
tersebut asli dan tidak dipalsukan sebagaimana dimaksud Pasal 263 ayat (1)
KUHP, melakukan pemalsuan surat, dan pemalsuan tersebut telah dilakukan di
dala akta otentik sebagaimana dimaksud Pasal 264 ayat (1) ke 1 KUHP, serta
menempatkan keterangan palsu di dalam akta otentik sebagaimana dimaksud
Pasal 266 ayat (1) KUHP, merupakan akibat dari pada bentuk penyalahgunaan
jabatan atas pelanggaran Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN. Meskipun demikian
tidak serta merta mengakibatkan Notaris melakukan perbuatan pidana tersebut
karena harus melalui proses pembuktian terhadap subyeknya yaitu apakah unsur
subyektif perbuatan melawan hukum formil dan unsur obyektif perbuatan
melawan hukum materiil telah dapat dibuktikan.
Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang
batasan-batasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi
rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UU Perubahan atas UUJN dan kode
etik jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP.
Apabila tindakan pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh Notaris memenuhi rumusan suatu tindak pidana, tetapi jika ternyata
berdasarkan UU Perubahan atas UUJN suatu pelanggaran. Maka Notaris yang
bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai
sebuah akta harus didasarkan pada UU Perubahan atas UUJN dan kode etik
jabatan Notaris.
108
BAB IV
TANGGUNG JAWAB PIDANA OLEH NOTARIS APABILA MUNCUL
KERUGIAN TERHADAP SALAH SATU PIHAK SEBAGAI AKIBAT
ADANYA DOKUMEN PALSU
4.1. Unsur-unsur Perbuatan Pidana terhadap Pemalsuan Akta Otentik
Menurut Hermin Hediati Koeswadji suatu perbuatan melawan hukum
dalam konteks pidana atau perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan
diancam dengan pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar manusia yang
dapat berupa:
1. Suatu tindakan atau tindak tanduk yang dilarang dan diancam
dengan sanksi pidana, seperti memalsukan surat, sumpah palsu,
pencurian.
2. Suatu akibat tenentu yang dilarang dan diancam sanksi pidana oleh
undang-undang, seperti pembunuhan, penganiayaan.
3. Keadaan atau hal-hal yang khusus dilarang dan dIancam sanksi
pidana oleh undang-undang, seperti menghasut, melanggar
kesusilaan umum.
b. Unsur subjektif yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam diri manusia.
108
109
Unsur subjektif dapat berupa :
1. Dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvazbaarheid)
2. Kesalahan (schuld). 111
Berdasarkan Perumusan unsur-unsur pidana dari bunyi Pasal 263 KUHP
mengenai pemalsuan akta otentik yang dilakukan oleh Notaris tidak bisa
diterapkan kepada pelaku yakni Notaris yang memalsu akta otentik. Akan tetapi
Notaris tersebut dapat dikenakan sanksi dari Pasal 264 KUHP, sebab Pasal 264
KUHP merupakan Pemalsuan surat yang diperberat dikarenakan obyek pemalsuan
ini mengandung nilai kepercayaan yang tinggi. Sehingga semua unsur yang
membedakan antara Pasal 263 dengan Pasal 264 KUHP hanya terletak pada
adanya obyek pemalsuan yaitu “Macam surat dan surat yang mengandung
kepercayaan yang lebih besar akan kebenaran isinya”.112
Notaris dapat dikenakan sanksi Pasal 264 KUHP apabila terbukti telah
melakukan pemalsuan akta otentik. Pasal 264 merumuskan sebagai berikut:
1. Menjelaskan bahwa pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara
paling lama delapan (8) tahun jika dilakukan terhadap:
1) Akta Otentik;
2) Surat hutang dan sertifikat hutang dari suatu negara atau bagiannya
ataupun dari suatu lembaga umum
3) Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu
perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai
111
Liliana Tedjosapatro, 1991, Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana,
CV Agung, Semarang, hal. 51.
112
Adamichazawi, Op.Cit, hal. 107.
110
4) Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang
diterangkan dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai
pengganti surat-surat itu.
5) Surat kredit atau surat dagang yang disediakan untuk diedarkan.
2. Diancam dengan pidana yang sama barang siapa yang sengaja memakai
surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang
dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu jika pemalsuan surat itu
dapat menimbulkan kerugian.
Nyatalah bahwa yang menyebabkan diperberatnya pemalsuan surat Pasal 264
diatas terletak pada faktor macam-macamnya surat. Surat-surat tertentu yang
menjadi objek kejahatan adalah surat-surat yang mengandung kepercayaan yang
lebih besar akan kebenaran isinya. Pada surat-surat itu mempunyai derajat
kebenaran yang lebih tinggi dari pada surat-surat biasa atau surat-lainnya.
Kepercayaan yang lebih besar terhadap kebenaran akan isi dari macam-macam
surat itulah yang menyebabkan di perberat ancaman pidananya.113
Penyerangan terhadap kepercayaan masyarakat yang lebih besar terhadap
isi surat-surat yang demikian dianggap membahayakan kepentingan umum
masyarakat yang lebih besar pula. Ada 2 kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal
264 yang masing-masing dirumuskan dalam ayat (1) dan (2). Kejahatan pada ayat
(1) mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. Semua unsur baik obyektif maupun subyektif Pasal 263.
113
Adamichazawi, Op.Cit, hal. 108.
111
2. Unsur-unsur khusus pemberatnya (bersifat alternatif) berupa obyek suratsurat tertentu, ialah:
1. Akta otentik
2. Surat hutang dan sertifikat hutang dari suatu negara atau bagiannya
ataupun dari suatu lembaga umum
3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu
perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai
4. Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang
diterangkan dalam 2 dan 3 atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai
pengganti surat-surat itu.
5. Surat kredit atau surat dagang yang disediakan untuk diedarkan.
Sedangkan Unsur-unsur kejahatan dalam ayat (2) adalah sebagai berikut:
1. Unsur-unsur obyektif:
a. Perbuatan: Memakai;
b. Obyeknya: surat-surat tersebut pada ayat (1):
c. Pemakaian itu seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu;
2. Unsur Subyektif: dengan sengaja.
Rumusan ayat (1) Pasal 264 pada dasarnya sama dengan rumusan ayat (1)
Pasal 263. Perkataan pemalsuan surat pada permulaan rumusan mempunyai arti
yang sama dengan membuat surat palsu atau memalsu surat dan seterusnya.
Perbedaannya hanyalah terletak pada jenis surat yang menjadi obyek kejahatan.
Faktor jenis surat-surat tertentu inilah yang menyebabkan dibentuknya kejahatan
112
yang berdiri sendiri dan merupakan pemalsuan surat yang lebih berat dari pada
bentuk pokoknya (Pasal 263).114
Mengenai pengertian akta otentik, Pasal 1868 KUHPerdata merumuskan
sebagai surat yang didalam bentuk yang ditentukan UU, dibuat dihadapan dan
oleh pegawai umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu
dibuatnya. Pejabat umum yang menurut hukum berwenang membuat surat yang
dimaksud misalnya: seorang Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),
Pejabat Catatan Sipil dan Lain-lain. Surat-surat yang dibuat oleh pejabat-pejabat
ini misalnya Surat jual beli, Hutang Piutang, Hipotik atau Gadai yang dibuat oleh
notaris, Akta Kelahiran, Surat Nikah, Sertifikat hak atas tanah dan lain
sebagainya. Surat-surat ini menurut hukum mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna (Pasal 1870 KUHPerdata Jo 165 HIR).
Mengenai surat hutang negara termasuk didalamnya surat pinjaman
obligasi yang dilakukan pemerintahan. Surat hutang bagian negara ialah surat
hutang atau pinjaman dari Pemerintah Daerah. Sedangkan surat hutang dari
lembaga umum adalah surat-surat hutang seperti Perusahaan Daerah (Misalnya
Bank Pembangunan Daerah, Perusahan Air Minum Daerah), maupun Perusahaan
Negara seperti PLN, Perum Pegadaian, Perum Telkom dan Lain sebagainya.
Rumusan Pasal 264 (2) KUHP adalah sama dengan rumusan Pasal 263 (2)
KUHP. Perbedaannya hanya pada jenis surat yang dipakai. Pasal 263 (2) KUHP
adalah surat pada umumnya, sedangkan Pasal 264 (2) KUHP adalah surat-surat
tertentu yang mempunyai derajat kebenaran yang lebih tinggi dan kepercayaan
114
Adamichazawi, Op.Cit, hal. 110.
113
yang lebih besar dari surat pada umumnya. Sedangkan pelaku yang menyuruh
notaris membuat akta palsu dapat dikenakan sanksi pidana Pasal 266 KUHP.
Seorang klien menyuruh Notaris malakukan untuk memasukkan keterangan palsu
kedalam akta otentik:
 Pasal 266 KUHP
1) Barang mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh
akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain
memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran,
dipidana. Jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana
penjara paling lama 7 tahun. Akta menjadi batal demi hukum apabila isi
akta tidak memenuhi syarat objektif yaitu syarat yang berkaitan dengan
perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang dijadikan
perbuatan hukum oleh para pihak, yang terdiri dari suatu hal tertentu dan
sebab yang tidak dilarang yakni siapa yang menyuruh memasukkan
keterangan ke dalam suatu akta otentik
2) Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai
akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena
pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Ada 2 kejahatan dalam Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
Masing-masing dirumuskan pada ayat (1) dan (2). Ayat ke (1) mempunyai unsurunsur sebagai berikut:115
115
Adamichazawi, Op.Cit, hal. 112.
114
1. Unsur-unsur Obyektif:
a. Perbuatan: Menyuruh Memasukkan
b. Obyeknya: keterangan Palsu;
c. Kedalam Akta Otentik;
d. Mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan dengan
akta itu;
e. Jika pemakaiannya dapat menimbulkan kerugian;
2. Unsur Subyektif: Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh
memakai seolah-olah keterangan itu sesuai dengan kebenaran.
Ayat Ke (2) mempunyai Unsur-unsur sebagai berikut:
1. Unsur-unsur Obyektif:
a. Perbuatan zmemakaig
b. Obyeknya : Akta Otentik tersebut ayat (l);
c. Seolah-olah isinya benar;
2. Unsur Subyektif: dengan sengaja.
Dalam rumusan tersebut diatas, tidak dicantumkan siapa orang yang disuruh
untuk memasukkan keterangan palsu tersebut, tetapi dapat diketahui dari
unsur/kalimat ke dalam akta otentik dalam rumusan ayat ke (1). Bahwa orang
tesebut adalah si pembuat akta otentik.
Sebagaimana diatas telah diterangkan bahwa akta otentik itu dibuat oleh
pejabat umum yang menurut Undang-Undang berwenang untuk membuatnya,
misalnya seorang Notaris, Pegawai Catatan Sipil, Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT). Pejabat ini dalam pembuatan suatu akta otentik adalah memenuhi
115
permintaan. Orang yang meminta inilah yang dimaksud orang yang menyuruh
memasukkan keterangan palsu. Perbuatan menyuruh memasukkan mengandung
unsur-unsur:
1. Inisiatif atau kehendak untuk membuat akta, akta mana memuat tentang
apa (Obyek yakni: mengenai sesuatu hal atau kejadian) yang disuruuh
masukkan kedalamnya adalah berasal dari orang-orang yang memasukkan,
bukan dan pejabat pembuat akta otentik;
2. Dalam hubungannya dengan asalnya inisiatif dari orang yang meminta
dibuatkannya akta otentik, maka dalam perkataan/unsur menyuruh
memasukkan berarti orang itu dalam kenyataannya ia memberikan
keterangan-keterangan tentang sesuatu hal, hal mana adalah bertentangan
dengan kebenaran atau palsu.
3. Pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui bahwa keterangan yang
disampaikan oleh orang yang menyuruh memasukkan keterangan
kepadanya itu adalah keterangan yang tidak benar.
4. Oleh karena pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui perihal tidak
benarnya keterangan tentang sesuatu hal itu, maka ia tidak dapat
dipertanggungjawabkan, terhadap perbuatannya yang melahirkan akta
otentik yang isinya palsu itu, dan karenanya ia tidak dapat dipidana. 116
Apabila setelah memberikan keterangan perihal suatu kejadian yang diminta
dengan memasukkan kedalam akta otentik kepada pejabat pembuatnya, sedang
akta itu sendiri belum dibuatnya atau keterangan perihal kejadiaan itu belum
116
Adamichazawi, Op.Cit, hal. 113.
116
dimasukkan kedalam akta, kejahatan itu belum terjadi secara sempurna,
melainkan baru terjadi percobaan kejahatan saja.
Obyek kejahatan ini adalah keterangan palsu, artinya suatu keterangan
yang bertentangan dengan kebenaran, keterangan mana mengenai sesuatu
hal/kejadian. Tidak Semua hal/kejadian berlaku disini, melainkan kejadian yang
harus dibuktikan oleh akta otentik itu. Sama halnya dengan obyek surat yang
diperuntukkan untuk membuktikan suatu hal dari Pasal 263 KUHP, unsur sesuatu
hal dari pasal ini sama pengertiannya dengan suatu hal dari Pasal 266 KUHP itu.
Suatu hal atau kejadian yang dimaksudkan adalah sesuatu hal yang menjadi isi
pokok dari akta otentik yang dibuat itu. Seperti Akta nikah isi pokoknya adalah
pemikahan, akta jual beli isi pokoknya adalah perihal jual beli, akta kelahiran isi
pokoknya yaitu perihal kelahiran dan bukan mengenai hal-hal diluar mengenai isi
pokok dari akta. Misalnya dalam surat nikah atau akta perkawinan membuktikan
bahwa adanya kejadian perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria,
akta jual beli antara dua orang/pihak mengenai suatu benda dan dalam akta
kelahiran membuktikan adanya kelahiran seorang bayi dari seorang Ibu.
Mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan kejadian yang harus
dibuktikan oleh akta otentik tersebut, seperti tentang harga dalam jual beli,
benda/harga mas kawin dalam akta nikah, status/sah tidaknya pernikahan antara
bapak dan Ibu si bayi yang baru lahir dalam akta kelahiran, tidak termasuk dalam
kejadian yang hams dibuktikan oleh akta-akta otentik tersebut. Dalam arti akta
jual beli tidak untuk membuktikan tentang harga benda, akta kelahiran tidak untuk
117
membuktikan tentang sahnya perkawinan antara bapak dan ibu si bayi, surat nikah
tidak untuk membuktikan tentang harga mas kawin.
Unsur kesalahan dalam kejahatan Pasal 266 (1) KUHP adalah dengan
maksud untuk memakai akta yang memuat kejadian palsu yang demikian itu
seolah-olah keterangan dalam kata itu sesuai dengan kebenaran. Mengenai unsur
kesalahan ini pada dasamya sama dengan unsur kesalahan dalam Pasal 263 (1)
KUHP yang sudah diterangkan dibagian muka. Demikian juga mengenai unsur
“Jika pemakaian itu menimbulkan kerugian, sudah diterangkan secara cukup
dalam pembicaraan terhadap Pasal 263 dan 264 KUHP.
Mengenai kejahatan dalam ayat (2) Pasal 266 pada dasarnya sama dengan
kejahatan dalam ayat (2) Pasal 263 dan ayat (2) Pasal 264 KUHP. Unsur yang
sama yakni:
1) Perbuatannya adalah memakai,
2) Unsur kesalahannya ialah dengan sengaja, dan
3) Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian.117
Perbedaannya hanya terletak pada obyek kejahatan. Pada Pasal 263 (2)
KUHP yakni surat palsu dan surat dipalsu, Pasal 264 (2) KUHP adalah akta-akta
tertentu palsu dan akta-akta tertentu dipalsu dan Pasal 266 (2) KUHP ialah akta
otentik yang isinya memuat sesuatu kejadian yang palsu.
Dengan demikian pemidanaan terhadap notaris dapat saja dilakukan
dengan batasan jika:
117
Adamichazawi, Op.Cit, hal. 115.
118
1. Ada tindakan hukum dari notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja,
penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang
dibuat dihadapan notaris atau oleh notaris bersama-sama (sepakat) untuk
dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindakan pidana;
2. Ada tindakan hukum dari notaris dalam membuat akta dihadapan atau oleh
notaris yang bila diukur berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris
tidak sesuai dengan UU Perubahan atas UUJN tersebut dan;
3. Tindakan notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang
untuk menilai suatu tindakan notaris, hal ini disebutkan dalam Majelis
Pengawas Notaris.118
Diruang lingkup Notaris kita mengenal adagium bahwa “Setiap orang
yang datang menghadap Notaris telah benar berkata. Sehingga benar berkata
berbanding lurus dengan berkata benar”. Jika benar berkata, tidak berbanding
lurus dengan berkata benar yang artinya suatu kebohongan atau memberikan
keterangan palsu, maka hal itu menjadi tanggungjawab yang bersangkutan. Jika
hal seperti itu terjadi, maka seringkali Notaris dilaporkan kepada pihak yang
berwajib dalam hal ini adalah Aparat Kepolisian. Dalam pemeriksaan Notaris
dicercar dengan berbagai pertanyaan yang intinya Notaris digiring sebagai pihak
yang membuat keterangan palsu.119 Penjatuhan sanksi pidana terhadap notaris
dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan sebagaimana tersebut diatas dilanggar,
artinya disamping memenuhi rumusan pelanggaran yang disebutkan dalam
118
Habib Adjie, 2005, Batasan Pemidanaan Notaris, Jurnal Renvoi,
Nomor 10-22 Tanggal 3 Maret, ha1. 123-125.
119
Habieb Adjie,http://google.co.id,Notaris_Indonesia Majelis Pengawas
Sebagai Pelapor Tindak Pidana, diambil tanggal 28.03.12.
119
Undang-Undang Jabatan Notaris (UU Perubahan atas UUJN) dan Kode Etik
profesi Jabatan Notaris yang juga harus memenuhi rumusan dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut Prosedur Hukum Acara Pidana, untuk menentukan seseorang
telah melakukan Tindak Pidana terlebih dahulu harus memenuhi unsur-unsur
perbuatan pidana yaitu:
Terbukti
Perumusan
delik
Dipidana
Sifat melawan
hukum
Sifat tercela
Sumber : D.Schafmeister, N. Kijzer, E.PH Sitorus 1995
Perumusan delik tersebut harus terpenuhi sebagaimana unsur-unsur yang
dijelaskan berikut ini :
a) Delik formil.
Apabila jika suatu tindakan yang dirumuskan dalam peraturan pidana
telah dilakukan (yang dilarang) adalah perbuatannya atau kelakuannya.
b) Delik materiil.
Mengenai unsur Delik Materiil yang dilarang oleh Undang-Undang
ialah akibatnya.
120
1) Sifat melawan hukum dapat dibedakan juga kedalam:
a) Sifat melawan Hukum Formil.
Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum apabila perbuatan
memenuhi semua unsur yang terdapat didalam Rumusan Delik dalam
Undang-Undang. Perbuatan (Pidana) yang tidak memenuhi salah satu
unsur delik dalam rumusan Undang-undang tidak dapat dikatakan
bersifat melawan hukum.
b) Sifat melawan Hukum Materiil
Suatu perbuatan bersifat melawan hukum atau tidak, ukurannya bukan
hanya didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis saja
tetapi juga harus ditinjau menurut Asas-asas umum dad hukmn yang
tidak tertulis seperti nilai-nilai dalam masyarakat (Hukum Masyarakat).
2) Sifat Tercela
Suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik yang tertulis dan juga
bersifat melawan hukum, namun tidak dapat dipidana jika tidak dapat
dicela pelakunya. Misalnya dia berada dalam kesesatan yang dapat
dimaafkan (Ingat Putusan Terkenal Tahun 1916 tentang Air dan Susu).
Sifat melawan hukum dan sifat tercela itu merupakan syarat umum untuk
dapat dipidananya perbuatan, sekalipun tidak disebutkan dalam rumusan
delik. Inilah yang yang dinamakan unsur diluar Undang-Undang, jadi yang
tidak tertulis.120
120
D.Schafmeister, N.Kijzer, E.PH.Sitorus, Editor J.E.Sahetapy, 1995,
Hukum Pidana, Yogyakarta: Libert, hal. 27.
121
Dengan adanya penjelasan diatas notaris bisa saja dihukum pidana, jika
dapat dibuktikan dipengadilan, bahwa secara sengaja Notaris bersama-sama
dengan para pihak/penghadap untuk membuat akta dengan maksud dan tujuan
untuk menguntungkan pihak atau penghadap dengan cara merugikan pihak
penghadap yang lain. Jika hal ini terbukti maka pihak penghadap yang merugikan
pihak lain beserta Notaris tersebut wajib dihukum.
Notaris dalam melaksanakan jabatannya sebagai pejabat umum yang
membuat akta otentik sebenamya berada diantara mungkin/tidak mungkin
melakukan pemalsuan akta dengan pihak yang menghadap untuk meminta
dibuatkan aktanya. Dikarenakan apabila seorang notaris selaku pejabat umum
tidak lagi menjunjung tinggi tentang Etika profesinya/tidak lain menyimpang dari
peraturan hukum Undang-Undang Jabatan Notaris (UU Perubahan atas UUJN)
dengan alasan ingin menguntungkan salah satu pihak tersebut untuk ikut peran
serta membantu para pihak lainnya dan sebaliknya sehingga lahirlah akta yang
mengandung keterangan palsu.
Notaris dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam
konteks Hukum Pidana sekaligus juga melanggar kode etik dan UU Perubahan
atas UUJN, sehingga syarat pemidanaan menjadi lebih kuat. Apabila hal tersebut
tidak disertai dengan pelanggaran kode etik atau bahkan dibenarkan oleh UU
Perubahan atas UUJN, maka mungkin hal ini dapat menghapuskan sifat melawan
hukum suatu perbuatan dengan suatu alasan pembenar. Adapun pemidanaan
terhadap Notaris dapat saja dilakukan dengan batasan sebagai berikut :
122
a. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang
sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa
akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama
(sepakat) untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana.
b. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau
oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan UU Perubahan atas UUJN
tidak sesuai dengan UU Perubahan atas UUJN.
c. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang
berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini
MPN.121
Apabila seorang Notaris melakukan penyimpangan akan sebuah akta yang
dibuatnya sehingga menimbulkan suatu perkara pidana maka Notaris harus
mempertanggung jawabkan secara pidana apa yang telah dilakukannya tersebut.
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijbaarheid)
yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana
berdasarkan Hukum Pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada pelaku
yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenakan pidana karena perbuatannya
itu.122 Hal tersebut didasarkan pada asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan
atau “actus non facit reum nisi mens sit rea". Orang tidak mungkin dimintakan
penanggungjawaban dan dijatuhi pidana jika tidak melakukan kesalahan. Akan
tetapi seseorang yang melakukan perbuatan pidana, belum tentu dapat
121
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 124-125.
Dwidja Priyatno, 2004, Kebijakan Legislasi tentang Sistem
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV. Utomo, Bandung,
hal. 30.
122
123
dipidananya. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana apabila dia
mempunyai kesalahan.123
Terjadinya pemidanaan terhadap Notaris berdasarkan akta yang dibuat
oleh atau di hadapan Notaris sebagai bagian dari pelaksanaan tugas jabatan atau
kewenangan Notaris, tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan
tata cara pembuatan akta dan hanya berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) saja, menunjukkan telah terjadinya kesalahpahaman atau
penafsiran terhadap kedudukan Notaris sedangkan akta otentik yang dibuat oleh
Notaris sebagai alat bukti dalam Hukum Perdata. Sanksi pidana merupakan
ultimum remedium yaitu obat terakhir, apabila sanksi atau upaya-upaya pada
cabang hukum lainnya tidak mampu atau dianggap tidak mempan.124
4.2 Pertanggungjawaban Pidana oleh Notaris Apabila Muncul Kerugian
Dari Salah Satu Pihak Akibat Adanya Dokumen Palsu
Masyarakat pada umumnya hanya memahami bahwa yang membuat akta
otentik adalah Notaris. Mereka tidak paham kalau keterangan yang tertuang dalam
akta otentik tersebut adalah keterangan mereka sendiri selaku para pihak sesuai
dengan apa yang diinginkannya dalam membuat suatu perjanjian. Notaris selaku
pejabat yang berwenang untuk membuat akta yang paham tentang hukum
perjanjian, pada saat dilaksanakannya pembacaan akta harus dabat menjelaskan
posisi atau kapasitas masing-masing dengan segala konsekuensi terutama
menyangkut tentang hak dan kewajiban serta akibatnya yang muncul dikemudian
123
Ibid, hal. 56.
Habib Adjie, 2005, Batasan Pemidanaan Notaris, Jurnal Renvoi,
Nomor 10-22 Tanggal 3 Maret, hal. 126.
124
124
hari, dengan tidak menimbulkan kesan seolah-olah Notaris ada kepentingan
tertentu, karena tidak jarang sekarang ini untuk membuat akta dihadapan Notaris,
ada pihak tertentu yang mengarahkan untuk membuat akta dihadapan Notaris
yang telah disiapkan, sehingga seorang klien merasa ragu-ragu dengan
anggapannya bahwa jangan-jangan Notaris yang disiapkan tersebut akan membela
kepentingan pihak tertentu dengan menyalahgunakan keadaan dalam pembuatan
aktanya dan lebih berbahaya lagi kalau Notarisnya disalahgunakan oleh
kliennya.125
Keadaan tersebut sebisanya dihindarkan, dan seorang Notaris harus bisa
menempatkan diri dengan memperlihatkan sikap memang demikian keadaannya,
dimana dalam menjalankan jabatannya telah bersikap mandiri, jujur dan tidak
memihak. Akan tetapi yang menyulitkan adalah adanya suatu cacat terhadap kata
sepakat dalam suatu perjanjian yang aktanya telah dibuat dihadapannya bahwa
Salah satu pihak telah menyalahgunakan keadaan yang mana hal tersebut oleh
Notaris tidak pemah diketahui sebelumnya yang akhirnya menimbulkan masalah,
dengan tuduhan Notaris telah membuat akta palsu atau memalsukan akta.
Tuduhan tersebut juga diakibatkan dan tindakan Notaris sendiri pada saat
pembuatan akta tidak pernah membacakan dan menjelaskan kepada para pihak
sebagaimana dimaksud Pasal 15 dan 16 UU Perubahan atas UUJN sehingga
menimbulkan adanya kerugian pihak yang berkepentingan.
Terjadinya suatu pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 15 dan 16 UU
Perubahan atas UUJN oleh Notaris di dalam menjalankan jabatannya sangat
125
Herien Budiono, Op.Cit, hal. 22.
125
rentan terhadap kemungkinan terjadinya perbuatan pemalsuan atas akta yang
dibuat dihadapan oleh para pihak (penghadap). Akan tetapi perbuatan Notaris
tersebut sangat sulit untuk membuktikannya. Hal ini mengingat bahwa di dalam
akta Notaris selalu disebutkan pada awal akta bahwa penghadap menghadap pada
Notaris dan pada akhir akta selalu disebutkan bahwa akta tersebut dibacakan oleh
Notaris kepada para penghadap dan saksi dihadapan Notaris. Namun dalam
kenyataannya baik pembacaan dan penandatanganan tidak pernah dilakukan
dihadapan Notaris sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf k UU
Perubahan atas UUJN, maka Notaris dianggap telah melakukan pelanggaran
membuat akta palsu sebagaimana dimaksud Pasal 263, Pasal 264 dan Pasal 266
KUHP. Akan tetapi untuk menyatakan tentang adanya kebenaran Notaris
melakukan perbuatan tersebut tentu harus melalui proses pembuktian yang dalam
sistem pembuktian acara pidana disebut dengan sistem negatif yaitu suatu sistem
pembuktian dengan mencari kebenaran materiil yaitu seorang hakim dalam suatu
sistem pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan harus
memenuhi dua syarat mutlak meliputi adanya alat bukti yang cukup dan
keyakinan hakim.126
Alat bukti sebagaimana dimaksud tersebut pada ketentuan Pasal 184 ayat
(1) KUHAP menyebutkan ;
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
126
Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata),
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 2
126
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.127
Berdasarkan alat bukti tersebut, maka untuk membuktikan perbuatan
Notaris telah melakukan tindak pidana pemalsuan akta atau memalsukan akta
Notaris sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah sebagaimana
dimaksud Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
pelakunya”.128
Dalam lapangan acara, hal ini berarti pembuktian telah dilakukannya suatu
tindak pidana dipandang cukup sebagai suatu dasar pertanggungjawaban pidana
terdakwa. Dengan demikian seorang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum
pidana sepanjang dapat dibuktikan bahwa perbuatannya telah memenuhi seluruh
isi rumusan tindak pidana yang didakwakan.
Notaris memiliki kewenangan membuat akta, bukan membuat surat,
dengan demikian harus dibedakan antara surat dan akta. Surat berarti surat pada
umumnya yang dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti atau untuk tujuan
tertentu sesuai dengan keinginan atau maksud pembuatnya, yang tidak terikat
pada ikatan tertentu, dan akta (akta otentik) dibuat dengan maksud sebagai alat
bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempuma, dibuat dihadapan
127
M. Karjadi dan R Soesilo, 1990, Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar), Politeia, Bogor, hal. 162.
128
Ibid.
127
pejabat yang berwenang untuk membuatnya dan terikat pada bentuk yang sudah
ditentukan. Dengan demikian pengertian surat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP
tidak mutatis mutandis sebagai akta otentik, sehingga tidak tepat jika akta Notaris
diberikan perlakuan sebagai suatu surat pada umumnya. Namun meskipun
demikian dalam perbuatan pidana adalah perbuatan yang menunjuk pada subyek
(pelaku) sepanjang unsur-unsur kesengajaan dan kesalahan bisa dibuktikan maka
perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 263 ayat (1) KUHP dapat diterapkan
terhadap Notaris.
Keterangan atau pernyataan dan kenginan para pihak yang diutarakan
dihadapan Notaris merupakan bahan dasar untuk Notaris untuk membuatkan akta
sesuai kenginan para pihak yang menghadap Notaris. Tanpa adanya keterangan
atau pernyataan dan kenginan dari para pihak, Notaris tidak mungkin untuk
membuat akta. Kalaupun ada pemyataan atau keterangan yang diduga palsu
dicantumkan dimasukkan kedalam akta otentik, tidak menyebabkan akta tersebut
palsu. Contohnya, kedalam akta otentik dimasukkan keterangan berdasarkan surat
nikah yang diperlihatkan kepada Notaris atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari
pengamatan secara fisik asli. Jika ternyata terbukti surat nikah atau KTP tersebut
palsu, tidak berarti Notaris memasukan atau mencatumkan keterangan palsu
kedalam akta Notaris (Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP). Secara materil
kepalsuan atas hal tersebut merupakan tanggungjawab para pihak yang
bersangkutan sepanjang Notaris tidak mengetahui tentang pemalsuan itu sendiri.
Bilamana Notaris mengetahui kalau hal tersebut palsu maka patut diduga
ketentuan pasal tersebut dapat diterapkan terhadap Notaris. Sedangkan terhadap
128
ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP tidak dapat diterapkan karena tugas Notaris
hanya mencantumkan di dalam akta apa yang diberitahukan oleh penghadap, atas
hal-hal yang sebenarnya diberikan kepadanya. Dan dengan demikian penghadap
tidak mungkin melakukan perbuatan membujuk (Pasal 55 ayat 1 ke-2) ataupun
memberi bantuan (Pasal 56), karena tiada kejahatan dilakukan oleh Notaris itu. Ia
hanya mencatumkan dalam akta keterangan-keterangan yang diberikan oleh
penghadap. Ia tidak mengetahui, bahwa keterangan-keterangan yang ia
dimasukkan dalam akta itu tidak benar. Jadi perbuatan yang dilarang adalah
menyuuruh dan memasukkan keterangan-keterangan palsu didalam akta otentik.
Notaris yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam
menjalankan profesinya wajib mempertanggungjawabkan perbuatan yang
dilakukannya tersebut. Besarnya tanggung jawab Notaris dalam menjalankan
profesinya mengharuskan Notaris untuk selalu cermat dan hati-hati dalam setiap
tindakannya. Namun demikian sebagai manusia biasa, tentunya seorang Notaris
dalam menjalankan tugas dan jabatannya terkadang tidak luput dari kesalahan
baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian yang kemudian dapat
merugikan pihak lain. Dalam penjatuhan sanksi terhadap Notaris, ada beberapa
syarat yang harus terpenuhi yaitu perbuatan Notaris harus memenuhi rumusan
perbuatan itu dilarang oleh undang-undang, adanya kerugian yang ditimbulkan
dari perbuatan Notaris tersebut serta perbuatan tersebut harus bersifat melawan
hukum, baik formil maupun materiil. Secara formal disini sudah dipenuhi karena
sudah memenuhi rumusan dalam undang-undang, tetapi secara materiil harus diuji
kembali dengan kode etik, UU Perubahan atas UUJN.
129
Tugas seorang Notaris adalah membuat suatu akta otentik yang diinginkan
oleh para pihak untuk suatu perbuatan hukum tertentu. Tanpa adanya suatu
permintaan dari para pihak maka Notans tidak akan membuatkan suatu akta
apapun. Notaris dalam membuat suatu akta harus berdasarkan keterangan atau
pernyataan dari para pihak yang hadir dihadapan Notaris, kemudian Notaris
menuangkan keterangan-keterangan/penyataan-pernyataan tersebut kedalam suatu
akta, dimana akta tersebut telah memenuhi ketentuan secara ilmiah, formil dan
materiil dalam pembuatan akta otentik. Serta Notaris dalam membuat akta
tersebut harus berpijak pada peraturan hukum atau tata cara prosedur pembuatan
akta. Selain itu Notaris juga berperan dalam hal memberikan nasehat hukum yang
sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh para pihak yang membutuhkan
jasa seorang Notaris. Seandainya nasehat hukum yang diberikan oleh Notaris
kepada para pihak kemudian dituangkan ke dalam bentuk akta maka hal tersebut
tetap sebagai keinginan atau keterangan para pihak yang bersangkutan, tidak
sebagai keterangan atau pernyataan Notaris.
Seorang Notaris dapat secara sadar, sengaja untuk secara bersama-sama
dengan para pihak yang bersangkutan (penghadap) melakukan atau membantu
atau menyuruh penghadap untuk melakukan suatu tindakan hukum yang
diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum. Jika hal ini dilakukan,
selain merugikan Notaris, para pihak, dan pada akhirnya orang yang menjalankan
tugas jabatan sebagai Notaris, diberi sambutan sebagai orang yang senantiasa
melanggar hukum.129
129
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 124.
130
Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya tunduk dan patuh pada
UU Perubahan atas UUJN. Oleh karena itu apabila Notaris melakukan
pelanggaran dalam melaksanakan tugas dan jabatannya, Notaris diancam sanksi
sebagaimana tertuang UU Perubahan atas UUJN. Sanksi terhadap Notaris
dikategorikan menjadi 2 (dua), yaitu sanksi perdata berupa penggantian biaya,
ganti rugi, dan bunga merupakan akibat yang akan diterima atas tuntutan para
penghadap jika akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 41 UUJN. Selain sanksi perdata, juga ditentukan sanksi
adminstrasi yaitu berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara,
pemberhentian dengan hormat, sampai pemberhentian dengan tidak hormat,
sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal dalam UU Perubahan atas UUJN.130
Selain itu, Notaris juga masih harus menghadapi ancaman sanksi berupa sanksi
etika jika Notaris melakukan pelanggaran terhadap kode etik jabatan Notaris, dan
bahkan dapat dijatuhi sanksi pidana. Namun demikian, sanksi pidana terhadap
Notaris harus dilihat dalam rangka menjalankan tugas jabatannya, dan tunduk
pada ketentuan pidana umum yaitu KUHP, UU Perubahan atas UUJN tidak
mengatur mengenai tindak pidana khusus untuk Notaris.
Menurut Hennin Hediati Koeswadji, suatu delik atau pebuatan yang
dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana mempunyai unsurunsur sebagai berikut mempunyai unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat
di luar manusia yang dapat bempa suatu tindakan atau tindak tanduk yang
130
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 91-92.
131
dilarang dan diancam dengan sanksi pidana, seperti memalsukan surat, sumpah
palsu, pencurian. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam sanksi pidana
oleh undang-undang, seperti pembunuhan, penganiayaan. Keadaan atau hal-hal
yang khusus dilarang dan diancam sanksi pidana oleh undang-undang, seperti
menghasut, melanggar kesusilaan umum. Kedua mempunyai unsur subjektif,
yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam diri manusia. Unsur subjektif dapat
berupa dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbczarlzeid) dan kesalahan
(schuld).131
Batasan-batasan pemidanaan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh
Notaris adalah berupa ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal
akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa
akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat)
untuk dijadikan dasar untuk malakukan suatu tindak pidana. Ada tindakan hukum
dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris yang jika diukur
berdasarkan UU Perubahan atas UUJN tidak sesuai dengan UU Perubahan atas
UUJN. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang
untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.132
Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang
batasan-batasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya di samping memenuhi
mmusan pelanggaran yang tersebut dalam UU Perubahan atas UUJN dan kode
etik jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP.
131
Li1iana Tedjosapatro, 1991, Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana,
CV Agung, Semarang, hal. 51.
132
Habib Adjie I, Op.Cit, hal. 124-125.
132
Apabila tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris memenuhi rumusan
suatu tindak pidana, tetapi jika ternyata berdasarkan UU Perubahan atas UUJN
dan menuntut penilaian dan Majelis Pengawas Daerah bukan suatu pelanggaran.
Maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena
ukuran untuk menilai sebuah akta harus didasarkan pada UU Perubahan atas
UUJN dan kode etik jabatan Notaris.
Bentuk pertanggungjawaban seorang Notaris yang melakukan perbuatan
melawan
hukum
dalam
pembuatan
akta
otentik
harus
dapat
dipertanggungjawabkan dengan penuh tanggung jawab serta memuat rasa
keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan akibat perbuatan Notaris dan keadilan
bagi Notaris itu sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep tujuan hukum menurut
Gustav Radbruch yang mengarahkan penanggungjwaban yang diberikan terhadap
Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta
otentik sesuai dengan tujuan hukum yaitu yang lebih diutamakan memberikan
keadilan bagi pihak yang dirugikan selajutnya memberikan manfaat dan
selanjutnya menjamin adanya kepastian hukum.
Sedangkan dalam teori keadilan menurut Hans Kelsen yang menyatakan
bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat
mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat
menemukan kebahagian didalamnya. Dari teori tersebut dapat dijelaskan bahwa
tujuan dari pertanggungjawaban seorang Notaris yaitu untuk memberikan rasa adil
bagi para pihak maupun bagi Notaris sebagai akibat dan perbuatan melawan
hukum seorang Notaris dalam pembuatan akta otentik.
133
Demikian pula dengan bentuk pertanggungjawaban Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik telah sesuai
dengan teori pertanggungjawaban yang dikemukan oleh Kranenburg dan Vertig
dalam teori fautes personalles yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak
ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan
kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku
pribadi. Sehingga disini Notaris berdasarkan teori pertanggungjawaban tersebut
Notaris bertanggungjawab secara pribadi atas perbuatan melawan hukum yang
dilakukannya dalam pembuatan akta otentik.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa bentuk pertangggungjawaban
terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan
akta otentik adalah seorang Notaris dapat dikenakan pertanggungjawaban secara
perdata berupa sanksi untuk melakukan penggantian biaya atau ganti rugi kepada
pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
Notaris. Pertanggungjawaban secara administrasi berupa pemberian sanksi
teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan
hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat sebagai seorang Notaris.
Pertanggungjawaban terhadap kode etik profesi Notaris berupa pemberian sanksi
teguran, peringatan, pemecatan sementara (schorsing), pemecatan (Onzetting) dan
pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. Sedangkan
pertanggungjawaban secara pidana seorang dapat berupa pemberian sanksi pidana
penjara atau kurungan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Halhal tersebut berdasarkan temuan-temuan dalam yurisprudensi mengenai
134
pedanggungjawaban terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan
hukum.
Pembuatan akta otentik oleh atau di hadapan Notaris diatur dalam Pasal 1
angka 7 UU Perubahan atas UUJN, hal tersebut tidak berani bahwa Notaris ikut
ambil bagian dalam perbuatan hukum yang mana dibuatkan akta olehnya, Notaris
tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak, Notaris tetap berada di luar para
pihak. Suatu saat apabila akta tersebut dipermasalahkan, maka Notaris dapat
menempatkan posisinya dengan tidak ikut sebagai pembantu tergugat dalam
lingkup Hukum Perdata maupun membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum
Pidana.
Perkara
pidana
dan
perdata
terhadap
akta
otentik
biasanya
dipermasalahkan dari aspek formalnya yaitu mengenai pukul/waktu, tanggal,
bulan dan tahun kapan para penghadap menghadap ke hadapan Notaris, mengenai
komparisi, identitas para penghadap termasuk juga kewenangan para pihak dalam
bertindak, mengenai tanda tangan para penghadap, mengenai salinan akta yang
tidak sesuai dengan minuta akta, mengenai salinan akta ada tapi minuta akta tidak
ada, hal ini berkaitan dengan penyimpanan minuta akta yang seharusnya tertata
rapi, dan mengenai minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi salinan
akta malah dikeluarkan.
Hal-hal tersebut biasanya yang menjadi perhatian dalam pembuatan akta
otentik oleh Notaris, oleh karena itu Notaris harus berpedoman kepada UU
Perubahan atas UUJN, jangan sampai melenceng jauh dari UU Perubahan atas
UUJN bahkan tidak berpedoman kepada UU Perubahan atas UUJN dalam
135
pembuatan akta otentik. Hal yang sangat penting diperhatikan yaitu mengenai
komparisi akta, harus sesuai apakah para pihak tersebut berwenang untuk
melakukan perbuatan hukum dalam akta atau tidak. Sedangkan bila dilihat dari
sudut pandang Hukum Pidana yang berkaitan dengan aspek formal pembuatan
akta otentik oleh Notaris, pihak penyidik, penuntut umum dan hakim akan
memasukkan Notaris telah melakukan tindakan hukum :
1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat
palsu/yang dipalsukan (Pasal 163 ayat (1), (2) KUHP)
2. Melakukan pemalsuan (Pasal 264 KUHP)
3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal
266 KUHP)
4. Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan (Pasal
55 Jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP)
5. Membantu
membuat
surat
palsu/atau
yang
dipalsukan
dan
menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2)
jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP.133
Jika kemudian temyata terbukti bahwa yang menghadap Notaris tersebut bukan
orang yang sebenarnya atau orang yang mengaku asli, tapi orang yang sebenarnya
tidak pernah menghadap Notaris, sehingga menimbulkan kerugian orang yang
sebenarnya, maka dalam hal ini Notaris tidak bisa disalahkan karena unsur
kesalahannya tidak ada, dan Notaris telah melaksanakan tugas jabatan sesuai
aturan hukum yang berlaku, sesuai asas tiada hukum tanpa kesalahan, dan tiada
133
Habib Adjie II, Op.Cit, hal. 136.
136
kesalahan yang dilakukan oleh Notaris yang bersangkutan, maka Notaris tersebut
harus dilepas dari segala tuntutan.
Kehendak penghadap yang tertuang dalam akta secara metenil merupakan
kehendak atau keinginan para pihak sendiri, bukan kehendak Notaris, dan tugas
Notaris hanya memberi saran saja, kalaupun kemudian saran tersebut diikuti dan
dituangkan dalam akta, hal tersebut tetap merupakan keinginan atau kehendak
penghadap sendiri. Jika penghadap mendalilkan bahwa akta Notaris yang berisi
keterangan atau perkataannya di hadapan Notaris, tidak dikehendaki oleh
penghadap, kemudian penghadap mengajukan gugatan dengan gugatan untuk
membatalkan akta tersebut. Sehingga hal tersebut harus dapat dibuktikan bahwa
akta dibuat dalam keadaan terpaksa, kekhilafan atau penipuan, jika tidak dapat
dibuktikan maka gugatan seperti itu ditolak, karena semua prosedur untuk dalam
pembuatan akta telah dilakukan oleh Notaris bersangkutan. Jika secara materiil isi
akta tidak sesuai dengan keinginan penghadap, sehingga dapat diajukan gugatan
ke pengadilan, dengan kewajiban untuk membuktikan dalil gugatannya.
Dalam gugatan untuk menyatakan akta Notaris tersebut tidak sah, maka
harus dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formal dan materiil akta
Notaris. Jika tidak dapat dibuktikan maka akta yang bersangkutan tetap sah dan
mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut.
Penilaian terhadap akta Notaris harus dilakukan dengan asas praduga sah,
berdasarkan asas ini bahwa suatu keputusan Tata Usaha Negara harus dianggap
sah selama belum dibuktikan sebaliknya, sehingga pada prinsipnya harus selalu
dapat segera dilaksanakan. Fungsi dan kedudukan dan akta Notaris sebagai akta
137
otentik yang mempunyai kekuatan istimewa sebagai alat bukti, kekuatan
pembuktian akta otentik demikian juga (termasuk di dalamnya) akta Notaris
adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundangundangan, bahwa hams ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari
tugas yang dibebankan oleh undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orangorang tertentu. Dalam pemberian tugas inilah terletak tanda kepercayaan kepada
pejabat dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang dibuat oleh
mereka.134
Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris
sebagai akta otentik dan siapapun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan
dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak
benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasi kekuatan
pembuktiannya menjadi akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
di bawah tangan.
Akta otentik yang dibuat oleh Notaris dalam hal ini dapat dikatakan
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna selama dibuat menurut bentuk dan
tata cara sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang yaitu KUHPerdata
dan UU Perubahan atas UUJN, jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan
prosedur yang tidak dipenuhi dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses
pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian
134
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 63.
138
sebagai akta dibawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai
pembuktiannya diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
Mengacu pada penjelasan diatas artinya bahwa syarat akta Notaris sebagai
akta otentik adalah harus dibuat dengan tata cara maupun prosedur sebagaimana
yang ditentukan oleh undang-undang dan dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang
bahwa suatu akta otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan
akta itu. Apabila suatu akta otentik temyata tidak memenuhi kekuatan pembuktian
lahir, formil maupun materil dan tidak memenuhi syarat otentisitas maka akta
otentik tidak lagi disebut sebagai akta otentik melainkan hanya akta di bawah
tangan.
UU Perubahan atas UUJN hanya mengatur bahwa ketika Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran/perbuatan
melawan hukum, maka Notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi
perdata, administrasi, dan kode etik jabatan Notaris. Dalam praktek ditemukan
bahwa tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan Notaris sebenarnya
dapat dijatuhi sanksi administrasi atau sanksi perdata atau kode etik jabatan
Notaris, tetapi kemudian dikualifikasian sebagai suatu tindak pidana yang
dilakukan oleh Notaris, tetapi dalam penjatuhan sanksi hanya dijatuhi berupa
sanksi pidana. Aspek yang dijadikan batasan dalam hal pelanggaran oleh Notaris
harus diukur berdasarkan UU Perubahan atas UUJN, artinya apakah perbuatan
yang dilakukan oleh Notaris melanggar pasal-pasal tertentu dalam UU Perubahan
atas UUJN, karena ada kemungkinan menurut UU Perubahan atas UUJN bahwa
akta yang bersangkutan telah sesuai dengan UU Perubahan atas UUJN, tetapi
139
menurut pihak penyidik perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana.
Dengan demikian sebelum melakukan penyidikan lebih lanjut, lebih baik meminta
pendapat mereka yang mengetahui dengan pasti mengenai hal tersebut, yaitu dari
organisasi jabatan Notaris. Ancaman sanksi yang demikian itu dimaksudkan agar
dalam menjalankan tugas dan jabatannya, seorang Notaris dituntut untuk dapat
bertanggungjawab terhadap diri, klien, dan juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum.
Larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
yang melanggar larangan tersebut. Dalam kehidupan manusia, ada perbuatanperbuatan yang tidak boleh dilakukan karena bertentangan dengan Hak Asasi
Manusia (HAM) yaitu seperangkat hak yang melckat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang Wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan manabat manusia.135 Ada juga perbuatan yang bertentangan dengan
kepentingan masyarakat umum atau kepentingan sosial, yaitu kepentingan yang
lazim terjadi dalam perspektif pergaulan hidup antar manusia sebagai insan yang
merdeka dan dilindungi oleh norma-norma moral, agama, sosial serta hukum.
Bertentangan dengan kepentingan pemerintah dan Negara, yaitu kepentingan yang
muncul dan berkembang dalam rangka penyelenggaraan kehidupan pemerintahan
serta kehidupan bernegara demi tegak dan berwibawanya Negara Indonesia.136
135
Ilhami Bisri, 2005, Sistem Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 40.
136
Ibid.
140
Sanksi pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, dimana sanksi pidana dibagi
menjadi pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas pidana
mati, pidana penjara, pidana kurungan dan denda, sedangkan pidana tambahan
berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tenentu dan
pengumuman putusan hakim. Keberadaan sanksi pidana tambahan disini berupa
adanya pencabutan hak, dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 38 KUHP yang
menyatakan mengenai adanya suatu pencabutan hak, disini Pasal 38 KUHP lebih
menekankan adanya sanksi tambahan tidak dapat dijadikan dasar sebagai adanya
komulasi atau penggabungan penerapan sanksi dalam Hukum Pidana. Karena
dalam prakteknya dan dalam yurisprudensi-yurisprudensi yang menjatuhkan
pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum tidak
ditemukan sanksi tambahan berupa pencabutan hak seorang Notaris sebagai
seorang pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik.
Sanksi pidana dianggap sebagai sanksi paling kuat bagi perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris, karena seperti disebutkan di atas
sanksi pidana merupakan ultimum remedium yaitu obat terakhir, apabila sanksi
perdata, administrasi atau sanksi kode etik Notaris tidak mempan atau dianggap
tidak mempan dalam menghukum atau membuat Notaris menjadi jera untuk tidak
melakukan perbuatan melawan hukum lagi. Prosedur penerapan sanksi pidana
yaitu berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang amar putusannya menghukum Notaris untuk menjalani pidana tenentu. Jadi
pertanggungjawaban secara pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan
melawan hukum adalah Notaris mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan
141
penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan melawan
hukum. Notaris dapat dijatuhi sanksi pidana berupa pidana kurungan atau pidana
penjara atau pidana lainya yang diatur dalam KUHP. Adapun yurisprudensi yang
menunjang dalam pertanggungjawaban seorang Notaris secara pidana yaitu
putusan Mahkamah Agung nomor 1099 K/PID/2010. Dalam hal ini seorang
Notaris bernama San Smith, SH didakwa dalam dakwaan primair yaitu Pasal 266
ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP yaitu telah melakukan, serta
melakukan, menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik
mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan
maksud untuk itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran.
Dakwaan Subsidair Pasal 263 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1
KUHP yaitu membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan
suatu hak yang dilakukan terhadap akta otentik, turut serta melakukan, menyuruh
memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik mengenai suatu hal
yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk itu
seolah-olah keterangannya sesuai kebenaran. Terhadap dakwaan tersebut
Pengadilan Negeri Medan dalam putusannya Nomor 3036/PID.B/2009/PN.Mdn,
tertanggal 4 Januari 2010 yang amar lengkapnya menyatakan bahwa terdakwa
Notaris tersebut telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana turut serta menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu
akta otentik dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara
selama 1 (satu) tahun.
142
Pengadilan Tinggi Medan menerima permintaan banding dari Jaksa dan
Penasihat hukum terdakwa dan tetap menyatakan dalam putusan nomor
82/PID/2010/PT-MDN tanggal 25 Februari 2010 bahwa Notaris tersebut telah
terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta
menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik dan
menjatuhkan pidana penajara selama 2 (dua) tahun. Mahkamah Agung dalam
Putusan MA nomor 1099 K/PID/2010 menolak permohonan Kasasi dan pemohon
kasasi yaitu Notaris tersebut. Menimbang bahwa putusan judex facti tidak
bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, judex facti tidak salah
menerapkan hukum karena telah mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara
yuridis.
Putusan tersebut di atas seorang Notaris dibebankan petanggungjawaban
secara pidana yaitu dengan dijatuhkan pidana penjara atas perbuatan melawan
hukum yang dilakukannya, disini Notaris hanya dibebankan pertanggungjawaban
pidana. Dalam amar putusannya tidak disebutkan pertanggungjawab secara
perdata bempa penggantian kerugian yang didenta oleh para pihak maupun
penanggungjawaban administrasi. Disini sanksi pidana merupakan sanksi yang
paling terkuat dan bisa memberikan efek jera terhadap Notaris yang melakukan
perbuatan melawan Hukum dalam pembuatan akta otentik. Namun seharusnya
pemberian ganti kerugian juga sangat perlu diberikan kepada para pihak, karena
kerugian yang diderita para pihak tidak dapat dibilang sedikit. Dalam hal ini
adanya
komulasi
pertanggungjawaban
atau
penggabungan
Notaris
perlu
sanksi
dilakukan
atau
sebagai
wujud
diterapkan
dan
sehingga
143
pertanggungjawaban seorang Notaris benar-benar memberikan rasa adil dan
memberikan perlindungan hukum terhadap para pihak yang dirugikan atas
perbuatan melawan hukum seorang Notaris dalam pembuatan akta otentik.
Yurisprudensi lainnya yang menunjang digunakan dalam pemberian
pertimbangan terhadap beberapa kasus yang berkaitan dengan tindak pidana yang
melibatkan Notaris ialah Putusan Mahkamah Agung No. 702K/SIP/1973, yang
dalam hal ini disebutkan bahwa Notaris fungsinya hanya mencatatkan /
menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang
menghadap Notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk menyelidiki
secara materiil apa-apa atau hal-hal yang dikemukakan oleh penghadap dihadapan
Notaris tersebut. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut jika akta yang
dibuat dihadapan / oleh Notaris bermasalah oleh para pihak sendiri, maka hal
tersebut menjadi urusan para pihak itu sendiri, Notaris tidak perlu dilibatkan
dikarenakan Notaris bukan pihak di dalam akta.
4.3 Akibat Hukum Terhadap Adanya Dokumen Palsu Dalam Pembuatan
Akta Otentik
Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan sebagian dari kekuasan
negara di bidang Hukum Perdata temtama untuk membuat alat bukti otentik (akta
Notaris). Dalam pembuatan akta Notaris baik dalam bentuk partij akta maupun
relaas akta, Notaris bertanggungjawab supaya setiap akta yang dibuatnya
mempunyai sifat otentik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868
KUHPerdata. Kewajiban Notaris untuk dapat mengetahui peraturan hukum yang
berlaku di Negara Indonesia juga serta untuk mengetahui hukum apa yang berlaku
144
terhadap para pihak yang datang kepada Notaris untuk membuat akta. Hal tersebut
sangat penting agar supaya akta yang dibuat oleh Notaris tersebut memiliki
otentisitasnya sebagai akta otentik karena sebagai alat bukti yang sempurna.
Namun dapat saja Notaris melakukan suatu kesalahan dalam pembuatan akta.
Kesalahan-kesalahan yang mungkin dapat terjadi, yaitu :
a. Kesalahan ketik pada salinan Notaris, dalam hal ini kesalahan tersebut
dapat diperbaiki dengan membuat salinan baru yang sama dengan yang
asli dan hanya salinan yang sama dengan yang asli baru mempunyai
kekuatan sama seperti akta asli.
b. Kesalahan bentuk akta Notaris, dalam hal ini dimana seharusnya
dibuat belita acara rapat tapi oleh Notaris dibuat sebagai pernyataan
keputusan rapat.
c. Kesalahan isi akta Notaris, dalam hal ini mengenai keterangan dari
para pihak yang menghadap Notaris, di mana saat pembuatan akta
dianggap benar tapi ternyata kemudian tidak benar.137
Apabila ada akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak atau yang
berkepentingan, maka untuk menyelesaikannya harus didasarkan pada kebatalan
dan pembatalan akta Notaris sebagai suatu alat bukti yang sempurna. Kesalahankesalahan yang terjadi pada akta-akta yang dibuat oleh Notaris akan dikoreksi
oleh hakim pada saat akta Notaris tersebut diajukan ke pengadilan sebagai alat
bukti.
137
Mudofr Hadi, 1991, Varia Peradilan Tahun VI Nomor 72, Pembatalan
Isi Akta Notaris Dengan Putusan Hakim, hal. 142-143.
145
Menurut George Whitecross Patton138 alat bukti tersebut dapat berupa oral
(words spoken by a witness in court) dan documentarjy (the production of a
admissible documents) atau material (the production of a physical res other
document). Alat bukti sah atau yang diterima dalam suatu perkara (perdata), pada
dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan saksi-saksi, pengakuan,
sumpah, dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang mempunyai nilai
pembuktian. Dalam perkembangan alat bukti sekarang ini (untuk perkara pidana
dan perdata) telah diterima juga alat bukti elektronik atau yang terekam atau yang
disimpan secara elektronis sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan
pengadilan. Dalam kaitan ini perlu diberi penekanan dan penjelasan terdapat alat
bukti tertulis dapat berupa tulisan yang mempunyai nilai pembuktian. Secara
tertulis tersebut dapat bempa Surat (secara umum) dan Surat dalam bentuk
tertentu serta tata cara pembuatan dengan pejabat yang ditunjuk oleh peraturan
perundang-undangan.
Kewenangan dari hakim untuk menyatakan suatu akta Notaris tersebut
batal demi hukum, dapat dibatalkan atau akta Notaris tersebut dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum. Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris
terhadap ketentuan-ketentuan pasal-pasal dalam UU Perubahan atas UUJN, yang
menyebabkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum, maka pihak yang merugikan
dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga pada Notaris. Dalam hal
suatu akta Notaris dibatalkan oleh putusan hakim di pengadilan, maka jika
138
George Whitecross Patton, 1953, A Text-Book af Jurisprudence, Oxford
at the Clarendon Press, second editon, hal. 481.
146
menimbulkan kerugian bagi para pihak yang berkepentingan, Notaris dapat
dituntut untuk rnemberikan ganti rugi, sepanjang hal tersebut terjadi disebabkan
oleh karena kesalahan Notaris. Namun dalam hal pembatalan akta Notaris oleh
pengadilan dengan alasan bukan merupakan kesalahan Notaris, maka para pihak
yang berkepentingan tidak dapat menuntut Notaris untuk memberikan ganti rugi.
Seorang Notaris baru dapat dikatakan bebas dari pertanggungjawaban
hukum apabila akta otentik yang dibuatnya dan atau dibuat dihadapannya telah
memenuhi syarat formil. Akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan akta otentik pada dasarnya terjadinya
suatu perkara dimana pejabat umum telah mencari-cari keuntungan serta
menyalahgunakan kewenangan yang telah diatur dalam UU Perubahan atas UUJN
dan seorang klien atau penghadap lainnya merasa dimgikan atas terbuatnya suatu
akta yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
Notaris, sehingga berakibat akta otentik yang dibuat oleh Notaris dapat menjadi
batal atau dapat dibatalkan.
Mengenai pembatalan akta adalah menjadi kewenangan hakim perdata,
yakni dengan mengajukan gugatan secara perdata kepengadilan. Apabila dalam
persidangan dimintakan pembatalan akta oleh pihak yang dirugikan (pihak
korban) maka akta Notaris tersebut dapat dibatalkan oleh hakim perdata jika ada
bukti lawan. Sebagaimana diketahui bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang
mempakan alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian yang
mengikat dan sempurna. Ini berarti bahwa masih dimungkinkan dapat
147
dilumpuhkan oleh bukti lawan yakni diajukannya gugatan untuk menuntut
pembatalan akta ke pengadilan agar akta tersebut dibatalkan.
Pembatalan menimbulkan keadaan tidak pasti, oleh karena itu undangundang memberikan waktu terbatas dalam hal menuntut dimana oleh undangundang dapat dilakukan pembatalan apabila hendak melindungi seseorang
terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian dalam suatu putusan oleh hakim
perdata selama tidak dimintakan pembatalan maka perbuatan hukum perjanjian
yang tercantum dalam akta tersebut akan tetap berlaku atau sah. Setelah adanya
putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap atas gugatan penuntutan
pembatalan akta tersebut maka akta itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum
sebagai alat bukti yang otentik karena mengandung cacat secara yuridis/cacat
hukum, maka dalam amar putusan hakim perdata akan menyatakan bahwa akta
tersebut batal demi hukum. Dan berlakunya pembatalan akta tersebut adalah
berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/perjanjian itu dibuat.
Hukum perjanjian memuat adanya akibat hukum tertentu jika syarat
subjektif dan syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi,
maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang ada permintaan oleh
orang-orang tertentu atau yang berkepentingan. Pembatalan karena ada
permintaan dan pihak yang berkepentingan, seperti orang tua, wali atau pengampu
disebut pembatalan yang relatif atau tidak mutlak. Pembatalan relatif ini dibagi 2
(dua) yaitu pembatalan atas kekuatan sendiri, maka atas permintaan orang tertentu
dengan mengajukan gugatan atau perlawanan, agar hakim menyatakan batal
(nietig verklaard) suatu perjanjian. Contohnya jika tidak dipenuhi syarat subjektif
148
(Pasal 1446 KUHPerdata) dan pembatalan oleh hakim, dengan putusan
membatalkan suatu perjanjian dengan mengajukan gugatan. Contohnya Pasal
1449 KUHPerdata.139
Syarat subjektif ini senantiasa dibayangi ancarnan untuk dibatalkan oleh
para pihak yang berkepentingan dari orang tua, wali atau pengampu. Agar
ancaman seperti itu tidak terjadi, maka dapat dimintakan penegasan dari mereka
yang berkepentingan, bahwa perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan mengikat
para pihak. Jika syarat suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat
karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka persetujuan tersebut tidak
mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUHPerdata), Jika tidak dinyatakan suatu
sebab, tetapi ada sebab yang halal (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu sebab
lain, daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tctap sah (Pasal 1336
KUHPerdata), objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (nietig),
tanpa perlu ada permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap
tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun.
Perjanjian yang batal mutlak dapat juga terjadi, jika suatu perjanjian yang
dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan untuk perbuatan
hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah ditentukan atau berlawanan
dengan kesusilaan atau ketertiban umum, karena perjanjian sudah dianggap tidak
ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak untuk saling menuntut atau
menggugat dengan cara dan bentuk apapun.140 Misalnya jika suatu perjanjian
139
Wirjono Prodjodikoro, 1989, Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur
Bandung, hal. 121.
140
R. Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 22.
149
wajib dibuat dengan akta (Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tapi
ternyata tidak dilakukan, maka perbuatan hukum atau perjanjian tersebut batal
demi hukum.
Pembatalan terhadap suatu akta otentik dapat juga dilakukan oleh Notaris
apabila para pihak/penghadap menyadari adanya kekeliruan atau kesalahan yang
telah dituangkan dalam akta tersebut. Sehingga dapat membuat keraguan terhadap
kesepakatan/perjanjian dari para pihak/penghadap, maka akta tersebut dapat
dibatalkan oleh Notaris. Bilamana Notaris terseret dalam perkara pemalsuan akta
yang menjadi aktor intelektualnya atau Notaris turut serta ikut melakukan
pemalsuan surat yang bisa dikategorikan dalam perbuatan tindak pidana tersebut
maka secara yuridis tidak dapat ditolelir bukan hanya berdasarkan ketentuan
pidana saja, tetapi juga oleh peraturan dalam KUHPerdata serta UU Perubahan
atas UUJN.
Kasus Notaris berkaitan dengan akta otentik yang dibuatnya dan aktanya
menimbulkan perkara perdata atau pidana maka aktanya batal demi hukum karena
kita melihat dari sisi syarat sah perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320
KUHPerdata yang berisi kesepakatan para pihak, kecakapan bertindak, adanya
suatu hal tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu sebab yang halal terhadap
perjanjian tersebut. Jika suatu akta menimbulkan suatu pidana maka persyaratan
perjanjian dilihat unsur-unsur perjanjian yang terkandung didalamnya. Para ahli
hukum seperti Sudikno Mertokusuno, Mariam Darus, dan J J. Satrio bersepakat
150
bahwa unsur-unsur perjanjian itu terdiri dari unsur esensialia, unsur naturalia, dan
unsur aksidentalia.141
Unsur pertama lazim disebut dengan bagian inti perjanjian, unsur kedua
dan ketiga disebut bagian non inti perjanjian. Unsur esensialia adalah unsur yang
mutlak harus ada untuk terjadinya perjanjian, agar penjanjian itu sah dan ini
merupakan syarat sahnya perjanjian. Jadi keempat syarat dalam Pasal 1320
KUHPerdata merupakan unsur esensialia perjanjian. Dengan kata lain, sifat
esensialia perjanjian adalah sifat yang menentukan perjanjian itu tercipta
(constructieve oordeel).
Unsur naturalia adalah unsur yang lazim melekat pada perjanjian, yaitu
unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam
dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian. Unsur ini merupakan sifat
bawaan (natuur) atau melekat pada perjanjian. Misalnya penjual harus menjamin
cacat-cacat tersembunyi kepada pembeli. Sedangkan unsur aksidentalia, artinya
unsur yang harus dimuat atau dinyatakan secara tegas di dalam perjanjian oleh
para pihak. Misalnya jika terjadi perselisihan, para pihak telah menentukan tempat
yang dipilih. Untuk membuktikan suatu akta tersebut sah atau tidak sah dalam
penelitian ini, digunakan asas praduga sah. Asas praduga sah (Vermoeden van
Rechtmatigheid) atau Presumptio Iustae Causa adalah asas yang menganggap sah
suatu produk hukum sebelum adanya putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap yang menyatakan tidak sah. Dengan adanya asas ini maka
akta otentik yang dibuat oleh Notaris harus dianggap sah dan mengikat para pihak
141
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 84.
151
sebelurn dapat dibuktikan ketidakabsahan dari aspek lahiriah, formal dan materiil
akta otentik tersebut. Dalam ketentuan yang tersebut dalam Pasal 41 UU
Perubahan atas UUJN yang menyatakan jika Notaris rnelanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 UU Perubahan atas
UUJN mengakibatkan akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
di bawah tangan, maka akta Notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta dibawah tangan, namun apabila para pihak dapat membuktikan
ketidakbenaran akta otentik tesebut dalam persidangan di pengadilan dan
mengakibatkan akta tersebut dapat dibatalkan serta kekuatan pembuktian sebagai
akta dibawah tangan tidak akan berlaku Iagi. Karena asas praduga sah ini
berkaitan dengan akta yang dapat dibatalkan, merupakan suatu tindakan
mengandung cacat yaitu tidak berwenangnya Notaris untuk membuat akta secara
lahiriah, formal, materiil dan tidak sesuai dengan aturan hukum tentang
pembuatan akta Notaris.
Akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh Notaris secara
melawan hukum sehingga menyebabkan akta otentik menjadi akta dibawah
tangan serta akta tersebut dapat dibatalkan telah sejalan dengan teon kewenangan
dan konsep perlindungan hukum. Seperti dikemukakan dalam teori kewenangan,
Notaris dalam membuat akta otentik termasuk dalam kewenangan secara atribusi,
berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Perubahan atas UUJN. Terjadinya
suatu akibat hukum yaitu berupa akta otentik menjadi akta dibawah tangan dan
akta tersebut dibatalkan diakibatkan oleh penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh Notaris, dimana Notaris dalam menjalankan wewenangnya telah
152
melanggar ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kenlgian bagi
para pihak dan mengakibatkan berubahnya kekuatan pembuktian akta dan adanya
pembatalan akta otentik tersebut oleh pengadilan.
Akibat hukum ini juga telah sejalan dengan konsep perlindungan hukum
yang dikemukan Satijipto Raharjo yang menjelaskan bahwa perlindungan hukum
mernberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan
orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Serta bahwa perlindungan
hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial,
ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. Sesuai dengan pengertian
konsep perlindungan hukum yang dikemukan oleh para sarjana maka akibat
hukum berupa pembatalan akta otentik dapat melindungi para pihak yang merasa
dirugikan oleh perbuatan melawan hukum seorang Notaris dalam proses
pembuatan akta otentik.
Kedudukan akta Notaris dapat dibagi menjadi 5 macam yaitu dapat
dibatalkan, batal demi hukum, mempunyai kekuatan pcmbuktian sebagai akta
dibawah tangan, dibatalkan oleh para pihak sendiri dan dibatalkan oleh putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena penerapan asas
praduga sah. Kelima kedudukan akta Notaris tersebut tidak dapat dilakukan secara
bersama-sama, tetapi hanya berlaku satu saja. Jika akta Notaris diajukan
pembatalan oleh pihak yang berkepentingan kepada pengadilan umum (Negeri)
dan telah ada putusan pengadilan umum yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap atau akta Notaris mempunyai kududukan pembuktian sebagai akta dibawah
153
tangan atau akta Notaris batal demi hukum, atau akta Notaris dibatalkan oleh para
pihak sendiri dengan akta Notaris lagi, maka pembatalan akta Notaris yang
lainnya tidak berlaku.
Akibat hukum terhadap terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang
Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah hilangnya
keotentikkan akta tersebut dan menjadi akta dibawah tangan sesuai dengan
ketentuan Pasal 41 UU Perubahan atas UUJN serta akta otentik tersebut dapat
dibatalkan apabila pihak yang mendalilkan dapat membuktikannya dalam
persidangan di pengadilan, karena pembuatan suatu akta otentik harus memuat
ketiga unsur tersebut di atas (lahiriah, formil dan matenil) atau salah satu unsur
tersebut tidak benar dan menimbulkan perkara pidana atau perdata yang kemudian
dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Sehingga dalam menjalankan jabatannya
seorang Notaris harus tunduk pada ketentuan undang-undang dan akta tersebut
dibuat oleh dan dihadapan Notaris sesuai dengan prosedur dan tata cara
pembuatan akta untuk agar koetentikannya tidak menjadi akta di bawah tangan
atau akta tidak sampai dibatalkan.
154
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan pada uraian pembahasan terhadap kedua permasalahan yang
diteliti dalam tesis ini, maka kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai
berikut:
1.
Adapun tanggung jawab Notaris dalam hal terjadinya pemalsuan surat yang
dilakukan oleh para pihak dalam pembuatan akta Notaris menurut UUJN
dan UU Perubahan atas UUJN adalah ketika Notaris dalam menjalankan
jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris bertanggung
jawab sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya baik tanggung jawab dari
segi Hukum Administrasi, Hukum Perdata, yaitu sesuai ketentuan sanksi
yang tercantum dalam Pasal 84 dan 85 UU Perubahan atas UUJN dan kode
etik, namun di dalam UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur
adanya sanksi pidana. Dalam praktek ditemukan kenyataan bahwa
pelanggaran atas sanksi tersebut kemudian dikualifikasikan sebagai suatu
tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris. Aspek tersebut di atas sangat
berkaitan erat dengan perbuatan Notaris melakukan pelanggaran terhadap
Pasal 15 UU Perubahan atas UUJN, dimana muaranya adalah apabila
Notaris tidak menjalankan ketentuan pasal tersebut akan menimbulkan
terjadinya perbuatan pemalsuan atau memalsukan akta sebagaimana
dimaksud Pasal 263, 264, dan 266 KUHP sehingga dapat menimbulkan
kerugian bagi pihak yang berkepentingan.
154
155
2.
Notaris tidak dapat diminta pertanggungjawabannya pidana apabila muncul
kerugian trhadap salah satu pihak sebagai akibat adanya dokumen palsu dari
salah satu pihak, karena Notaris hanya mencatat apa yang disampaikan oleh
para pihak untuk dituangkan ke dalam akta. Keterangan palsu yang
disampaikan oleh para pihak adalah menjadi tanggung jawab para pihak.
Dengan kata lain, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris ialah
apabila penipuan atau tipu muslihat itu bersumber dari Notaris sendiri. Oleh
karena itu demi tegaknya hukum Notaris harus tunduk pada ketentuan pidana
sebagaimana di atur dalam KUHP, dan terhadap pelaksanaannya mengingat
Notaris melakukan perbuatan dalam kapasitas jabatannya untuk membedakan
dengan perbuatan Notaris sebagai subyek hukum orang Pasal 50 KUHP
memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris Pengertian penerapan
Pasal 50 KUHP terhadap Notaris tidaklah semata-mata melindungi Notaris
untuk membebaskan adanya perbuatan pidana yang dilakukannya tetapi
mengingat Notaris mempunyai kewenangan sebagaimana diatur dalam UUJN
dan UU Perubahan atas UUJN apakah perbuatan yang telah dilakukannya
pada saat membuat akta Notaris sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
5.2 Saran-Saran
Adapun saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan di atas
terhadap pertanggungjawaban Notaris dalam pembuatan akta berdasarkan
pemalsuan surat oleh para pihak adalah sebagai berikut :
1. Agar pemerintah selaku lembaga eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) selaku lembaga legislatif merekontruksi kcmbali pengaturan dalam
156
UUJN juncto UU Perubahan atas UUJN mengenai tidak adanya komulasi
atau penggabungan penerapan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban
seorang Notaris, karena pengaturan komulasi atau penggabungan
penerapan sanksi ini tentunya akan lebih memberikan perlindungan dan
kepastian hukum bagi para pihak yang dirugikan termasuk Notaris itu
sendiri. Dan perlu disempurnakan kembali UU Perubahan atas UUJN
untuk mempertegas tindakan-tindakan yang dilarang oleh Notaris dalam
melaksanakan tugasnya, termasuk ketentuan-ketentuan dalam pembuatan
akta baik bagi Notaris dan para pihak yang ingin membuat akta, baik
dalam perspektif tindakannya yang berkaitan dengan Hukum Administrasi,
Hukum Perdata, maupun Hukum Pidana, terutama pada pasal 66A UU
Perubahan atas UUJN dimana sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang
dimaksud belum terbit sehingga dalam hal ini untuk segera menerbitkan
Peraturan Pemerintah yang berkaitan mengenai tugas dan fungsi seorang
Notaris.
2. Agar Notaris sebagai pejabat publik yang melaksanakan tugas mulia
membantu masyarakat menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapinya
untuk selalu bertindak cermat, hati-hati, dan belajar meningkatkan
pengetahuannya untuk mendalami mengenai peraturan perundangundangan yang berlaku dengan baik selama menjalankan jabatannya
sebagai notaris, sehingga dapat seminimal mungkin terjadinya perbuatan
atau akta yang dilahirkan dipersengketakan oleh para pihak yang
berkepentingan.
157
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adjie, Habib, 2008, Hukum Notariat di Indonesia-Tafsiran Tematik Terhadap UU
No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, PT. Rafika Aditama,
Bandung.
---------, 2012, Menjalin Pemikiran-Pendapat Tentang Kenotariatan, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
---------,2008, Sanksi Perdata dan Sanksi Administratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung.
Anwar, H.A.K.Moch, 1989, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II),
Jilid I, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Arief, Barda Nawawi, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Upaya
Reorientasi Pemahaman), Dipaparkan dalam Penataran Metodologi
Penelitian Hukum, Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto.
Bisri, Ilhami, 2005, Sistem Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Dinas Hukum Polri, 1995, Penjabaran Unsur Pasal-Pasal Dalam KUHP Dan
Delik-Delik Lain Di Luar KUHP, Jakarta.
Effendi, Lutfi, 2004, Pokok-pokok Hukum Administrasi, Edisi Pertama Cetakan
Kedua, Bayumedia Publising, Malang.
Fuady, Munir, 2006, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Gandasubrata, HR. Purwoto, 1998, Renungan Hukum, IKAHI Cabang Mahkamah
Agung RI.
Ghofur Anshori, Abdul, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif
Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta.
Habib, Kohar, 1984, Notaris Berkomunikasi, Alumni Bandung.
Hadi, Mudofr, 1991, Varia Peradilan, Tahun VI Nomor 72, Pembatalan Isi Akta
Notaris Dengan Putusan Hakim.
Hadjon, Philipus, M, 1997, Tentang Kewenangan, Majalah
"YURIDKA", No. 5-6 tahun XII, September-Desember.
157
Bulanan
158
----------, 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan Ketujuh,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hariwijaya, M, 2007, Metodologi Dan Teknik Penulisan Skripsi, Tesis Dan
Disertasi, Azzagrafika, Yogyakarta.
Kansil, C. S. T dan Christine S. T. Kansil, 1979, Pokok-Pokok Etika Jabatan
Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.
----------, 1997, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.
Karjadi, M, dan R Soesilo, 1990, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar), Politeia, Bogor.
Kie, Tan Thong, 2000, Studi Notariat Serba Sebi Praktek Notaris, Ichtiar Baru
Van Hoeve, Jakarta.
Kohar, A, 1983, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung.
Latumeten, Pleter E, 2005, Dapatkah Notaris Dipidana, Jika KTP Penghadap
Palsu Dan Dalam Akta Tercantum Penghadap Saya Notaris Kenal,
Renvoi, Nomor 11.23.II., 3 April.
Mamminanga, Andi, 2008, Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris
Daerah dalam Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris berdasarkan UUJN,
Tesis yang ditulis pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
Mahmud Marzuki, Peter, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media
Group, Jakarta.
----------, 2011, Penelitian Hukum, Edisi Pertama Cetakan ke-7, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke 6,
Liberty, Yogyakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bandung.
Harahap, Yahya, M, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang di Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan
Kembali, Sinar Grafika, Jakarta.
159
----------, 2000, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Penyidikan
Dan Penuntutan), Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakana.
Huisman, R.J.H.M, 1995, Algemen Bestuursrecht, Een Inleiding, Amsterdam :
Kobra, tt.
Kelsen, Hans, 1944, General Theory Of Law And State, New York.
Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. V, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Notodisoerjo, R.Soegondo, 1982, Hukum Nataiat Di Indonesia Suatu Penjelasan,
Rajawali Pers, Jakarta.
----------, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia, PT Raja Grafindo, Jakarta.
Notohamidjojo, O, 2011, Soal Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga
Priyatno, Dwidja, 2004, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi di Indonesia, CV. Utomo, Bandung.
Prodjodikoro, Wirjono, 1989, Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung.
Ridwan, H.R, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Schafmeister, D, N.Kijzer,E.PH.Sitorus, Editor J.E.Sahetapy, 1995, Hukum
Pidana, Libert, Yogyakarta
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi,
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Snlbecker dalam Lexy J. Meleong, 1993, Metodologi Penelitian Kualitatif,
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Soegondo, R, 1991, "Hukum Pembuktian", PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
Soesilo, R, 1993, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor.
Soemitro, Ronny Hanitijo, 1988, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
160
Subekti, R, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Cet. XXVIII, Jakarta.
----------, 2005, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.
Sunggono, Bambang, 2005, Metode Penelitian Hukum, cetakan ke 7, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Suhrawardi K. Lubis, 2000, Etika Profesi Hukian, Sinar Grafika, Jakarta.
----------, 2008, Etika Profesi Hukum, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta.
Suparmoko, 1991, Metode Penelitian Praktis, Yogyakarta
Syahrani, Riduan, 1998, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,
Bandung,.
Tedjosapatro, Liliana, 1991, Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana,
CV Agung, Semarang.
Thamrin, Husni, 2010, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, Laksbang
Pressindo, Yogyakarta.
Utrecht, E., 1960, Hukum Pidana I, Penerbit Universitas Bandung.
Van Wijk/Willem Konijnenbelt, H. D, 1988, Hoofdstukken van Administratief
Recht, Uitgeverij LEMMA BV, Culemborg.
Van Bemmelen, J.M, Strafvordering, Leerboek, v.h. Ned. Strafprocesrecht.
Waluyo, Doddy Radjasa, Hanya ada Satu Pejabat Umum, Notaris, Media
Notariat, Membangun Notaris Profesional.
Whitecross Patton, George, 1953, A Text-Book af Jurisprudence, Oxford at the
Clarendon Press, second editon.
Weber, Max, 2008, Mastering Public Administration, Second Edition, CQ
Press,Washington.
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT. Eresco
Jakarta-Bandung.
161
PERUNDANG-UNDANGAN
Burgerlijk Wetboek Indonesia terjemahan Oleh R. Subekti Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491)
KAMUS
Algra, N.E., H.R.W. Gokkel dkk, 1983, “Kamus Istilah Hukum Fockema
Andreae, Belanda Indonesia,” Binacipta, Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Kamus Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta.
ARTIKEL
Habib, Adjie, Batasan Pemidanaan Notaris, Jurnal Renvoi, Nomor 10-22 Tanggal
3 Maret 2005.
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2008,
PT Gramedia Pustaka, Jakarta.
Jati Diri Notaris Indonesia,
Setiawan, 1995, Hak Ingkar dari Notaris dan Hubungannya dengan KUHP (suatu
kajian uraian yang disajikan dalam Kongres INI di Jakarta).
INTERNET
Adjie, Habib, http://google.co.id,Notaris_Indonesia Majelis Pengawas Sebagai
Pelapor Tindak Pidana, diakses pada tanggal 28 Maret 2012, pukul 15.20
WITA
162
Muhammad Fajri, Perspektif Notaris Dalam Pemeriksaan Sidang Pengadilan,
(http://www.ptpn5.com) diakses pada tanggal 20 Maret 2013, pukul 13.30
WITA
Download