BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Pengetahuan
1.
Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan didapat setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa
dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinganya. Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari
oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2010).
2.
Indikator Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2010), ada beberapa indikator yang dapat digunakan
untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan dan
dapat dikelompokkan menjadi :
a.
Pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi penyebab penyakit,
gejala atau tanda-tanda penyakit, cara pengobatan dan kemana mencari
pengobatan, cara penularan dan cara pencegahan penyakit.
b.
Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat
meliputi jenis makanan-makanan bergizi, manfaat makanan bergizi bagi
kesehatan, pentingnya olah-raga bagi kesehatan, bahaya merokok,
minuman keras, narkoba, pentingnya istirahat yang cukup, relaksasi,
rekreasi dan sebagainya bagi kesehatan.
c.
Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan meliputi manfaat air bersih,
cara pembuangan limbah yang sehat, manfaat pencahayaan, penerangan
rumah yang sehat dan akibat yang ditimbulkan polusi bagi kesehatan.
7
8
Pada pencegahan demam tifoid, pengetahuan yang harus dimiliki oleh Ibu
adalah : (1) pengetahuan tentang vaksinasi untuk mencegah agar seseorang
terhindar dari penyakit ini dilakukan vaksinasi, kini sudah ada vaksin tipes atau
tifoid yang disuntikan atau diminum dan dapat melindungi seseorang dalam
waktu 3 tahun dan pendidikan kesehatan pada masyarakat : hygiene, sanitasi,
personal hygiene; dan (2) pengetahuan tentang penyediaan air minum yang
memenuhi syarat kesehatan, pembuangan kotoran manusia yang higienis,
pemberantasan lalat, pengawasan terhadap masakan dirumah dan penyajian
pada penjual makanan (Zulkoni, 2010: 48).
3.
Tingkatan Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif
mempunyai enam tingkatan, yakni :
a.
Tahu (know)
Merupakan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,
termasuk dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap
suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan
yang diterima. Oleh karena itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang
paling rendah.
b.
Memahami (comprehension)
Merupakan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar objek yang
diketahui. Orang telah paham akan objek atau materi harus mampu
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan
sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
c.
Aplikasi (aplication)
Kemampuan dalam menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi
dan kondisi yang benar.
9
d.
Analisis (analysis)
Kemampuan dalam menjabarkan materi atau suatu objek dalam
komponen-komponen, serta masuk ke dalam struktur organisasi tersebut.
e.
Sinthesis (synthesis)
Kemampuan dalam meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di
dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f.
Evaluasi (evaluation)
Kemampuan dalam melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang
ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan memberikan seperangkat
alat tes/kuesioner tentang objek pengetahuan yang mau diukur, dengan
wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari
subjek penelitian atau responden.
4.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoadmojo (2010), faktor yang mempengaruhi pengetahuan dibagi
menjadi dua faktor, yaitu:
a.
Faktor Internal
Faktor Intenal yang meliputi :
1) Intelegensia
Intelegensia merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir yang
memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu.
Intelegensia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil
dari proses belajar.
10
2) Tingkat pendidikan
Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang.
Pendidikan mempengaruhi proses belajar. Makin tinggi pendidikan
seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi.
Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula
pengetahuan yang didapat. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan
pendidikan dimana seseorang dengan pendidikan tinggi akan semakin
luas pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang
berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah.
3) Pengalaman
Pengalaman merupakan salah satu sumber pengetahuan atau suatu
cara
untuk mengetahui
kebenaran
pengetahuan dengan
cara
mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan
masalah yang dihadapi masa lalu. Dalam hal ini, pengetahuan ibu dari
anak yang pernah atau bahkan sering mengalami demam seharusnya
lebih tinggi dari pengetahuan ibu dari anak yang belum pernah
mengalami demam sebelumnya.
4) Umur
Semakin cukup umur, tingkat kemampuan dan kematangan seseorang
akan lebih baik dalam berpikir dan menerima informasi. Namun perlu
diketahui bahwa seseorang yang berumur lebih tua tidak mutlak
memiliki pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
seseorang yang lebih muda.
5) Tempat tinggal
Tempat tinggal adalah tempat menetap responden sehari-hari.
Seseorang yang tinggal di daerah rawan penyakit infeksi akan lebih
11
sering menemukan kasus demam, sehingga masyarakat di daerah
tersebut memiliki tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi.
6) Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh
pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara
tidak langsung. Contohnya, seseorang yang bekerja sebagai tenaga
medis akan lebih mengerti mengenai demam dan pengelolaannya
daripada non tenaga medis.
7) Tingkat ekonomi
Tingkat ekonomi tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan
seseorang. Makin tinggi tingkat ekonomi, maka akan semakin mampu
untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi.
b. Faktor Eksternal
Faktor Eksternal antara lain :
1) Faktor lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik
lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh
terhadap proses masuknya pengetahuan kedalam individu yang berada
dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal
balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap
individu. Ibu yang di daerahnya sering mendapat penyuluhan kesehatan,
tentu saja akan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi daripada yang
tidak pernah menerima penyuluhan kesehatan.
2) Kepercayaan/tradisi
Kepercayaan/tradisi dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran
apakah yang dilakukan baik atau buruk. Kepercayaan/tradisi diantaranya
12
meliputi pandangan agama dan kelompok etnis. Hal ini dapat
mempengaruhi proses pengetahuan khususnya dalam penerapan nilai-nilai
keagamaan untuk memperkuat kepribadiannya.
3) Informasi
Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal
dapat memberikan pengaruh sehingga menghasilkan perubahan atau
peningkatan pengetahuan. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk
media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, termasuk
penyuluhan kesehatan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan
pengetahuan seseorang.
B. Konsep Demam Tifoid
1. Definisi Demam Tifoid
Penyakit demam tifoid merupakan penyakit yang ditularkan melalui makanan
dan minuman yang tercemar oleh bakteri Salmonella thyposa (food and water
borne disease). Seseorang yang menderita penyakit tifus menandakan bahwa
sering mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri.
Dalam masyarakat, penyakit ini dikenal dengan nama Tipes atau Thypus tetapi
dalam dunia kedokteran disebut Typhoid fever atau Thypus abdominalis karena
berhubungan dengan usus didalam perut (Zulkoni, 2010: 42).
2. Epidemiologi
Demam tifoid menyerang penduduk di semua negara. Seperti penyakit menular
lainnya, tifoid banyak ditemukan di negara berkembang dimana hygiene pribadi
dan sanitasi lingkungannya kurang baik. Prevalensi kasus bervariasi tergantung
lokasi, kondisi lingkungan, setempat dan perilaku masyarakat. Angka insidensi
di seluruh dunia sekitar 17 juta per tahun dengan 600.000 orang meninggal
karena penyakit ini.WHO memperkirakan 70% kematian berada di Asia.
Indonesia merupakan negara endemik demam tifoid. Diperkirakan terdapat 800
13
penderita per 100.000 penduduk setiap tahun yang ditemukan sepanjang tahun
(Widoyono, 2011: 42).
Tifoid bersifat sporadis terutama berhubungandengan kegiatan wisata ke negaranegara maju yang sedang berkembang.Secara umum insiden tifoid dilaporkan
75% didapatkan pada umur kurang dari 30 tahun.Padaanak-anak biasanya diatas
1 tahun dan terbanyak di atas 5 tahun dan manifestasi klinik lebih ringan
(Depkes RI, 2006: 6).
3. Etiologi
Penyakit demam tifoid disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhosa atau
Ebethella typhosa yang merupakan kuman gram negatif, motil dan tidak
menghasilkan spora. Kuman ini dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh
manusiamaupun suhu yang sedikit lebih rendah serta mati pada suhu 700 C
ataupun oleh antiseptic. Sampai saat ini, diketahui bahwa kuman ini hanya
menyerang manusia (Rampengan, 2007: 47).
Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku, peka
terhadap proses klorinasi dan pasteurisasi pada suhu 630C. Organisme ini juga
mampu bertahan beberapa minggu di dalam air, es, debu, sampah kering
(misalnya : plastic, kertas, kaca dan kaleng) dan pakaian, mampu bertahan di
sampah basah (misalnya : sisa makanan, guguran daun kering, buah dan
sayuran) selama satu minggu dan dapat bertahan dan berkembang biak dalam
susu, daging, telur atau produknya tanpa merubah warna atau bentuknya
(Soegijanto, 2002: 2).
Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi, terdapat di seluruh dunia
dengan reservoir manusia pula. Salmonella keluar bersama tinja atau urine,
memasuki lingkungan dan berkesempatan menyebar. Kuman typhus dapat
bertahan cukup lama didalam lingkungan air (Soemirat, 2006: 96).
14
4. Sumber Penularan dan Cara Penularan
Sumber penularan demam tifoid atau thyfus tidak selalu harus penderita thyfus.
Ada penderita yang sudah mendapat pengobatan dan sembuh tetapi di dalam air
seni dan kotorannya masih mengandung bakteri. Penderita ini disebut sebagai
pembawa (carrier). Walaupun tidak lagi menderita penyakit tifus, orang ini
masih dapat menularkan penyakit tifus pada orang lain. Penularan dapat terjadi
di mana saja dan kapan saja, biasanya terjadi melalui konsumsi makanan dari
luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih (Addin,
2009: 104).
Infeksi didapat dengan cara menelan makanan atau minuman yang
terkontaminasi dan dapat pula dengan kontak langsung jari tangan yang
terkontaminasi tinja, urin, sekret saluran nafas atau dengan pus penderita yang
terinfeksi (Soegijanto, 2002). Di beberapa negara penularan terjadi karena
mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buahbuahan, sayur mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu atau produk
susu yang terkontaminasi oleh carrier atau penderita yang tidak teridentifikasi
(James, 2006: 647).
Prinsip penularan penyakit ini adalah melalui fekal-oral. Kuman berasal dari
tinja atau urin penderita atau bahkan carrier (pembawa penyakit yang tidak
sakit) yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui air dan makanan. Di daerah
endemik, air yang tercemar merupakan penyebab utama penularan penyakit.
Adapun di daerah non-endemik, makanan yang terkontaminasi oleh carrier
dianggap paling bertanggung jawab terhadap penularan (Widoyono, 2011: 44).
Tifoid carrier adalah seseorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam
tifoid
tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di dalam ekskretnya.
Mengingat carrier sangat penting dalam hal penularan yang tersembunyi, maka
15
penemuan kasus sedini mungkin serta pengobatannya sangat penting dalam hal
menurunkan angka kematian (Rampengan, 2007: 58).
Penularan tipes dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu dikenal dengan 5F
yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat)
dan Feses. Feses dan muntah dari penderita typhoid dapat menularkan
Salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui
minuman terkontaminasi dan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap
di makanan yang akan dikonsumsi oleh orang sehat. Apabila orang tersebut
kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan
yang tercemar kuman Salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat
melalui mulut selanjutnya orang sehat akan menjadi sakit (Zulkoni, 2010: 43).
Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan pada penularan
demam tifoid adalah :
a. Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh anak.
b. Higiene makanan dan minuman yang rendah. Faktor ini paling berperan pada
penularan tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini diantaranya : makanan yang
dicuci
dengan air
yang terkontaminasi
(seperti
sayur-sayuran
dan
buahbuahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang
tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak masak
dan sebagainya.
c. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran dan
sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
d. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai.
e. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.
f. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna.
g. Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid (Depkes RI, 2006: 7).
16
5. Patogenesis
Kuman Salmonella masuk bersama makanan atau minuman. Setelah berada
dalam usus halus, kuman mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus
(terutama plak payer) dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah menyebabkan
peradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh limfe masuk ke darah
(bakteremia primer) menuju organ retikulo endotelial system (RES) terutama
hati dan limpa. Di tempat ini, kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan
kuman yang tidak difagosit akan berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi,
berkisar 5-9 hari, kuman kembali masuk darah menyebar ke seluruh tubuh
(bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama
limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali
dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi usus. Dalam
masa bekteremia ini, kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya
sama dengan antigen somatic (lipopolisakarida) yang semula diduga
bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala dari demam tifoid.
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhosa dan endotoksinnya yang
merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh lekosit pada jaringan yang
meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat
termoregulator di hipotalamus yang mengakibatkan timbulnya gejala demam
(Rampengan, 2007: 47).
6. Gejala Klinis
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah 1012 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, berupa :
a. Anoreksia
b. Rasa malas
c. Sakit kepala bagian depan
d. Nyeri otot
e. Lidah kotor
f. Gangguan perut (Rudi Haryono,2012 : 67)
17
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan
dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari yang tersingkat 4 hari
jika infeksi terjadi melalui makanan sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika
infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala
prodormal, yaitu tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang bisa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.Bersifat febris
remiten dan suhu tidak seberapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita
terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu badan
berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah,
lidah ditutupi selaput lendir kotor, ujung dan tepinya kemerahan, jarang
disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung,
hati dan limpa membesar disertai nyeri pada pada perabaan. Biasanya
didapati obstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi
diare.
c. Gangguan kesadaran
Biasanya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah. Di samping
gejala-gejala yang biasa ditemukan tersebut, mungkin pula ditemukan gejala
lain. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintikbintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit. Biasanya
18
ditemukan dalam minggu pertama demam. Kadang-kadang ditemukan
bradikardi pada anak besar dan mungkin pula ditemukan epistaksis.
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain adalah :
a. Intra intestinal
1) Perforasi usus
Perforasi merupakan komplikasi pada 1-5% penderita yang dirawat,
biasanya terjadi pada minggu ketiga tetapi bisa terjadi selama masa sakit.
Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara di rongga peritoneum.
2) Perdarahan Usus
Pada plak payeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka berbentuk
lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila sedikit hanya
ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Perdarahan
hebat dapat menyebabkan syok tetapi biasanya sembuh spontan tanpa
pembedahan.
b. Ekstra intestinal
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis yaitu meninggal, kolesistis,
ensefalopati dan lain-lain. Pankreatitis merupakan komplikasi yang jarang
terjadi pada demam tifoid. Myokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam
tifoid. Hepatitis tifosa merupakan komplikasi demam tifoid yang jarang
ditemukan. Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri S.typhi
melalui urin pada saat sakit maupun sembuh. Sehingga sistitis bahkan
pielonefritis merupakan penyulit demam tifoid. Dilaporkan pula kasus dengan
15 komplikasi neuro psikiatrik. Sebagian besar bermanifestasi gangguan
kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma.
19
8. Tindakan Pencegahan
Pencegahan lebih baik daripada pengobatan dan dengan pengobatan yang baik
berarti melaksanakan pencegahan yang baik pula. Kedua ungkapan ini berlaku
pula untuk tifoid, dimana kegiatan pencegahan lebih efisien dan tanpa resiko
yang membahayakan. Bila pengobatan tifoid terlaksana dengan sempurna, maka
dapat mencegah karier yang merupakan sumber penularan yang ada
dimasyarakat (KEMENKES, 2006). Pencegahan adalah segala upaya yang
dilakukan agar setiap anggota masyarakat tidak tertular oleh basil salmonella.
Ada 3 pilar strategis yang menjadi program pencegahan, yaitu :
a. Mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid
b. Mengatasi faktor-faktor yang berperan terhadap rantai penularan
c. Perlindungan dini agar tidak tertular
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap
individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka
konsumsi. S.typhi akan mati dalam air yang telah dipanaskan pada suhu setinggi
570C dalam beberapa menit atau bisa juga dengan prose iodinasi/klorinasi.
Vaksinasi atau imunisasi, memberikan pendidikan kesehatan dan pemeriksaan
kesehatan secara berkala terhadap penyaji makanan baik pada industri makanan
maupun restoran dapat berpengaruh terhadap penurunan angka kejadian demam
tifoid (Sumarmo dkk, 2002).
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan
berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam
tifoid. Tindakan preventif dan kontrol penularan kasus luar biasa (KLB) demam
tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman S.typhi sebagai agen penyakit
dan faktor pejamu (host) serta faktor lingkungan (Soegijanto, 2002).
1. Peningkatan Higiene dan Sanitasi
a. Sanitasi Lingkungan
Salah satu upaya pencegahan penularan demam tifoid adalah perbaikan
sanitasi lingkungan.
20
Dengan melibatkan lintas program dan lintas sektor, mitra terkait serta
peran serta aktif seluruh lapisan masyarakat melalui :
1) Akses terhadap jamban keluarga yang memenuhi syarat-syarat
kesehatan, yaitu tidak mencemari lingkungan, memutus kontak dengan
vector dan tidak menyebarkan bau.
2) Perilaku cuci tangan pakai sabun dan air mengalir dengan benar.
3) Pengelolaan makanan dan minuman serta penyimpanan dengan benar.
4) Pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah yang benar sehingga tidak
mencemari lingkungan.
5) Penyediaan air bersih untuk seluruh warga.
6) Kontrol dan pengawasan terhadap sanitasi lingkungan, terlaksana
dengan baik dan berkesinambungan.
7) Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat serta selalu menjaga
kondisi sanitasi dan lingkungan bersih.
2.
Higiene dan Sanitasi Makanan
Transmisi utama basil Salmonella melalui air minum dan makanan.
Higiene makanan dan minuman yang terjamin merupakan faktor yang
utama dalam pencegahan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain
menerapkan prinsip hygiene dan sanitasi makanan dengan pengendalian
titik kritis pada pengelolaan makanan, mulai dari pemilihan bahan
makanan,
penyimpanan
bahan
makanan,
pengolahan
makanan,
penyimpanan makanan matang, pengangkutan makanan matang dan
penyajian makanan.
Peningkatan pengawasan dan pembinaan tempat-tempat pengelolaan
makanan, yaitu jasa boga/catering, rumah makan, restauran, kantin, depot,
warung makan, makanan jajanan siap saji dan depot air minum, mulai dari
tempat bangunan, peralatan, penjamah makanan serta bahan dari
makanannya.
21
3.
Higiene perorangan
Higiene perorangan merupakan salah satu factor pencegahan dan
perlindungan diri terhadap penularan demam tifoid. Oleh karena itu
perilaku hidup bersih dan sehat harus benar-benar dilaksanakan oleh setiap
orang. Cuci tangan pakai air mengalir dan sabun harus dilakukan sesering
mungkin, khususnya sebelum memegang makanan, setelah BAB, setelah
keluar dari toilet, setelah melakukan kegiatan, setelah memegang binatang
peliharaan, setelah mengganti popok bayi dan sebagainya.
Syarat utama bagi penjamah makanan adalah sehat jasmani dan rohani,
tidak menderita penyakit menular serta berperilaku hidup bersih dan sehat.
Pemeriksaan kesehatan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun dalam
rangka pencegahan dan perlindungan terhadap penularan demam tifoid dan
penyakit menular lainnya.
4.
Pencegahan dengan Imunisasi
Membuat tubuh kebal (imunisasi) merupakan pilar perlindungan diri dari
penularan tifoid. Sampai saat inivaksin tifoid baru diprioritaskan untuk
pelancong, tenaga laboratorium mikrobiologis dan tenaga pemasak/penyaji
makanan di restoran-restoran. Namun, mengingat demam tifoid dengan
angka kesakitan cukup tinggi maka vaksinasi terhadap tifoid sudah harus
dipertimbangkan pemberiannya sejak anak-anak setelah mengenal jajanan
yang tidak terjamin kebersihannya.
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid yakni :
a) Vaksin dengan Salmonella yang telah dimatikan (Tab Vaccine).
Diberikan secara subkutan. Menurut evaluasi yang telah dilaksanakan,
daya perlindungan vaksin ini terbatas dan adanya efek samping pada
tempat suntikan.
22
b) Vaksin dengan Salmonella yang dilemahkan (T4 -212). Diberikan
peroral, selang sehari 3 kali dosis. Daya lindung kurang lebih 6 tahun
(pada anak).
c) Vaksin berisi komponen Vi basil Salmonella. Diberikan secara suntikan
intra muskular dengan daya lindung 3 tahun dan efikasi diperkirakan
60-70%. Umur minimal untuk pemberian 2 tahun dan booster dilakukan
setiap 3 tahun.
5. Pencegahan Karier
Pencegahan lebih baik daripada pengobatan dan dengan pengobatan yang
baik berarti melaksanakan pencegahan yang baik pula. Bila pengobatan tifoid
terlaksana dengan sempurna, maka dapat mencegah karier yang merupakan
sumber penularan di masyarakat (KEMENKES, 2013).
9 Penatalaksanaan dan Perawatan
Penatalaksanaan demam tifoid ada tiga, yaitu:
a. Pemberian antibiotik
Terapi ini dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab demam tifoid.
Obat yang sering dipergunakan adalah :
1) Kloramfenikol 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali selama 14 hari.
2) Amoksilin 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali.
3) Kotrimoksazol 480 mg, 2 x 2 tablet selama 14 hari.
4) Sefalosporin generasi II dan III (ciprofloxacin 2 x 500 mg selam 6 hari;
ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari; ceftriaxone 4 gram/hari selama 3
hari).
b. Istirahat dan perawatan
Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Penderita
sebaiknya beristirahat total ditempat tidur selama 1 minggu setelah bebas
dari demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap sesuai dengan keadaan
23
penderita. Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan
perorangan perlu dijaga karena ketidakberdayaan pasien untuk buang air
besar dan air kecil.
c. Terapi penunjang dan Diet
Agar tidak memperberat kerja usus, pada tahap awal penderita diberi
makanan berupa bubur saring. Selanjutnya penderita dapat diberi makanan
yang lebih padat dan akhirnya nasi biasa sesuai dengan kemampuan dan
kondisinya. Pemberian kadar gizi dan mineral perlu dipertimbangkan agar
dapat menunjang kesembuhan penderita (Widoyono, 2011: 44).
d Perawatan
Pada penderita demam tifoid dengan gambaran klinik jelas sebaiknya dirawat
dirumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan.
Tujuan perawatan adalah :
1. Optimalisasi pengobatan dan mempercepat penyembuhan.
2. Observasi terhadap perjalanan penyakit.
3. Minimalisasi komplikasi.
4. Isolasi
untuk
menjamin
pencegahan
terhadap
pencemaran
atau
kontaminasi.
C. Anak Usia Sekolah (6-12 tahun)
Anak usia sekolah adalah sebagai akhir masa kanak-kanak sejak usia 6 tahun atau
mulai masuk sekolah dasar
kelas 1, ditandai oleh kondisi yang sangat
mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial anak, identitas dan
konsep diri menjadi lebih kuat dan lebih individual (Potter & Perry, 2005). Masa
pertengahan dan akhir anak-anak ialah periode perkembangan yang merentang dari
usia 6-12 tahun (periode sekolah dasar), keterampilan pada masa ini :
1.
Belajar kecakapan fisik.
2.
Mengembangkan sikap positif terhadap diri sendiri.
24
3.
Belajar menyesuaikan diri dengan teman sebaya.
4.
Menjalankan peranan yang disesuaikan dengan jenis kelaminnya.
5.
Mengembangkan kecakapan membaca, menulis dan berhitung.
6.
Mengembangkan kata hati dan norma-norma (Hulu, 2011).
D. Kerangka Konsep
Setiadi (2007) menyebutkan bahwa kerangka konsep penelitian ini adalah suatu
hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari
masalah yang ingin diteliti.
Adapun kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut :
Skema 2.1
Kerangka Konsep
Variabel Independen
Variabel Dependen
Pengetahuan Ibu Tentang
Tindakan Pencegahan Penyakit
Demam Tifoid
Demam Tifoid
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesa dalam penelitian ini adalah
Ha : Ada hubungan antara pengetahuan Ibu tentang demam tifoid dengan
tindakan pencegahan penyakit pada anak usia sekolah di RSU Sari Mutiara
Medan tahun 2014.
Download