Teknologi Informasi dan Komunikasi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) berpengaruh
pada multi sektor kehidupan bernegara termasuk kebutuhan akan lahirnya sebuah
kebijakan yang mampu menjadi benchmark bagi tren telekomunikasi di Indonesia.
Pasca digitalisasi, fenomena konvergensi yang dimediasi keberadaan internet
menjadi tantangan yang harus disikapi secara rasional. Berdasarkan proyeksi
APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), infiltrasi internet di
Indonesia tergolong tinggi dimana pengguna yang tercatat berkisar pada jumlah
82 juta orang dengan tren yang terus naik setiap tahunnya1.
Nominal tersebut menjadi alarm bahwa konvergensi tidak sekedar isu
sekunder yang dapat dikesampingkan. Merunut ke belakang, perkenalan Indonesia
dengan jaringan internet telah terjadi mulai dekade 1990an tetapi belum begitu
luas penggunaannya oleh masyarakat awam2. Pada awal pemerintahan orde baru,
tepatnya tahun 1976, pemerintah telah memprediksi akan terjadinya era ketika
kemajuan teknologi informasi mempengaruhi ragam aspek kehidupan publik yang
kemudian memunculkan wacana terkait kebutuhan kepemilikan satelit secara
mandiri.
Visi tersebut kemudian direalisasikan dengan meluncurkan Palapa A1
milik Perumtel (sekarang Telkom) guna mendukung dan menghubungkan
aktivitas TIK seluruh kepulauan Indonesia. Setelah peluncuran pertama, berturutturut satelit lain diorbitkan dengan pengaturan alokasi pemakaian transponder
satelit nasional sebesar 60 persen untuk lembaga stasiun penyiaran dan
1
“Asia Marketing Research, Internet Usage, Population Statistics and Facebook Information“,
dalam <http://www.internetworldstats.com/asia.htm, diakses 27 Mei 2013, 11:57 WIB
2
“Sejarah
Perkembangan
Internet”,
dalam
<http://belajar.kemdiknas.go.id/index7.php?display=view&mod=script&cmd=Bahan%20Belajar/P
engetahuan%20Populer/view&id=74&uniq=590, diakses 16 Desember 2012, 21:09 WIB
Internet di Indonesia pertama kali lebih dikenal sebagai paguyuban network, dengan bercirikan
nilai-nilai paguyuban seperti kekeluargaan dan kerjasama. Internet belum terlalu terkomersialisasi
seperti saat ini meskipun tahun 1998, beberapa pengguna internet Indonesia telah ada yang
mengakses melalui CIX (Inggris) dan Compuserve (AS) yang awalnya menawarkan jasa email dan
news group.
1
komunikasi dalam negeri sedangkan sisanya dapat disewa lembaga stasiun
penyiaran dan komunikasi asing3.
Visi yang melatarbelakangi pembangunan satelit dapat dinyatakan tepat
guna. Buktinya, saat ini telekomunikasi bukan lagi bidang eksklusif yang hanya
dipadati oleh para pakar ataupun pihak yang berkepentingan langsung dengan
perkembangan TIK semisal regulator dan kaum pebisnis telekomunikasi.
Kebutuhan akan kecepatan, ketepatan dan kemudahan akses TIK menjadi begitu
krusial bahkan bagi masyarakat awam. Pola one way communication yang
merupakan ciri media konvensional akhirnya terus bertransformasi menjadi two
way communication dan pada gilirannya mengarah pada bentuk interaktivitas
komunikasi (interactivity communication). Kebutuhan terhadap interaktivitas
komunikasi yang memungkinkan orang untuk berbagi sesuatu tanpa karakteristik
delay inilah yang menjadi titik lemah teknologi konvensional dan sebaliknya
menjadi salah satu dasar berkembangnya tren konvergensi.
Secara
singkat
dijelaskan
bahwa
konvergensi
memungkinkan
dinikmatinya berbagai layanan seperti layanan penyiaran, telekomunikasi, dan
akses data dalam satu perangkat elektronik yang terkoneksi oleh internet. Artinya,
jaringan yang dahulu hanya sanggup membawahi masing-masing satu fungsi dari
audio dan visual, sekarang telah mampu mengakomodir seluruh fungsi tersebut
kedalam satu keterpaduan yang dikenal dengan nama jaringan konvergen4.
Contoh sederhananya adalah mobile phone yang saat ini umumnya
menyediakan fitur lengkap disamping fungsi utamanya sebagai alat komunikasi.
Fitur-fitur yang dimaksud termasuk akses internet, radio, saluran televisi, sharing
data, dan seterusnya. Terlebih pada tahun 2012, Indonesia tercatat menduduki
peringkat delapan untuk adopsi peranti mobile semisal ponsel cerdas dengan
estimasi 27 juta pengguna yang merupakan hasil dari peningkatan pertumbuhan
36 persen dari tahun sebelumnya5.
3
“Satelit Palapa” dalam <http://www.pendidikan-diy.go.id/dinas_v4/?view=v_taukah&id=5>,
diakses 03 Sept 2013, 15:59 WIB
4
Annabel Z. Dodd, The Essential Guide to Telecommunications: Panduan Pokok untuk
Telekomunikasi (Terjemahan Budi Sutedjo Dharma Oetomo, dkk) (Yogyakarta: ANDI, 2000),
hlm. 333.
5
“Indonesia
Pengguna
Internet
Nomor
3
Dunia”,
dalam
<http://www.tempo.co/read/news/2012/12/04/072445832/Indonesia-Pengguna-Internet-Nomor-3Dunia>, diakses 11 April 2013, 14:23 WIB
2
Fakta tersebut menguatkan asumsi bahwa pergeseran cara hidup akibat
paparan teknologi dengan platform konvergensi memang tidak terhindarkan.
Ketika kaum pebisnis khususnya yang bergerak dalam bidang telekomunikasi dan
penyiaran telah melihat peluang bagi penyatuan fungsi-fungsi dari berbagai
domain bisnis yang dimiliknya untuk memfasilitasi tren, sangat rawan apabila
pemerintah belum menyiapkan kebijakan memadai untuk mengantisipasi
pelanggaran yang tidak akan mampu direspon dengan benar tanpa patron yang
kuat untuk penindakannya.
Namun, kondisi kebijakan komunikasi di Indonesia belum bisa dibilang
harmonis kalau tidak mau dikatakan rapuh. Dengan menilik paket regulasi
komunikasi yang berbentuk undang-undang maka opini tersebut dapat terjelaskan
dengan ringkas. Pertama, regulasi telekomunikasi pasca reformasi yang diwakili
oleh UU nomor 36 tahun 1999 disusun dengan berlandaskan semangat
pembukaan iklim kompetisi sebagai upaya untuk menanggalkan atribut monopoli
sektor telekomunikasi. Regulasi tersebut mungkin cukup memadai pada masanya,
namun selama rentang waktu 1999 sampai 2008 dimana penggunaan internet
mulai menjadi massal6 dan terbaur dengan bisnis telekomunikasi, baru pada tahun
2008 kembali disahkan kebijakan komunikasi yang mengatur tentang cyberspace
yaitu UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) nomor 11 tahun 2008.
Artinya, dalam sela waktu sembilan tahun tersebut terjadi chaos kebijakan dimana
regulasi lama tidak mampu meraih fenomena terbaru (tren internet) sedangkan
regulasi yang dibutuhkan belum mencapai kata sepakat.
Kedua, pada tahun 2002 disahkan UU Penyiaran nomor 32/2002 sebagai
pengganti UU 24/1997 yang sebelumnya berlaku. Permasalahan kembali muncul
sebab regulasi penyiaran ini terbatas pada pengaturan penyiaran radio dan televisi
serta pemancarluasan siaran yang bersifat serentak dan bersamaan, sedangkan
siaran melalui internet sendiri dapat dilakukan tidak secara serentak dan
Data ini berdasarkan presentasi Mary Meeker, managing director Morgan Stanley yang dikutip
dari data Perserikatan Bangsa-Bangsa, International Telecommunications Union dan
Internetworldstats. Peringkat pertama ditempati Cina kemudian USA dengan masing-masing
jumlah pengguna ponsel sebanyak 270 juta dan 172 juta.
6
“Internet Usage in Asia”, dalam <http://www.internetworldstats.com/stats3.htm>, diakses 10
April 2013, 10:53 WIB
Pada tahun 2000, pengguna internet Indonesia sudah mencapai angka 2 juta dan melonjak menjadi
55 juta users pada 2012 dengan tingkat penetrasi 22,1 % per populasi.
3
bersamaan, contohnya video on demand. Di sisi lain, UU Pers 40/1999 meski
terkesan menjangkau urusan elektronik tetapi masih dikuasai paradigma cetak
melalui Dewan Persnya. Lagipula, pers dalam penjelasan regulasi tersebut masih
diartikan sebagai wahana komunikasi massa yang melakukan kegiatan jurnalistik
dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang
tersedia (belum ada paradigma tentang penyatuan saluran telematika).
Berdasarkan review sekilas tersebut, tidak berlebihan jika menyatakan
bahwa paket kebijakan komunikasi di Indonesia terkesan defensif alih-alih
preventif. Penyusunan kebijakan memang perlu disesuaikan dengan konstruksi
sosial yang ada, tetapi hal tersebut tidak mensahkan keadaan dimana regulasi
dapat jauh tertinggal dari fenomena sebab esensi dari regulasi adalah mengatur
suatu fenomena agar tidak melenceng dari sistem yang sudah disepakati bersama.
Menilik dinamika kebijakan komunikasi yang sedemikian adanya, maka
ketika fenomena konvergensi merebak sudah seharusnya kebijakan konvergensi
dikawal penyusunannya, tidak hanya oleh para regulator dan lembaga yang
berkepentingan tetapi juga oleh publik bahkan masing-masing individu sebagai
warga negara. Ide perumusan kebijakan konvergensi sendiri sebetulnya mulai
banyak dibahas bahkan sebelum tahun 2009 namun belum mencapai titik temu7.
Misalnya saja, pada tahun 2007, anggota Badan Regulasi Telekomunikasi
Indonesia (BRTI) Heru Sutadi mengeluarkan pernyataan bahwa Undang-Undang
nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi sepertinya sudah perlu direvisi. Sutadi
memprediksi bahwa fenomena konvergensi akan segera terwujud sehingga perlu
ada kajian mendalam untuk memastikan perlu atau tidaknya penyatuan regulasi
telekomunikasi, penyiaran, informatika, dan transaksi elektronik8.
Setelah
dilakukan
penggodokan
pasca
2009,
rencana
kebijakan
konvergensi sempat masuk dalam agenda review Kemenkumham (Kementerian
7
“Prolegnas 2011”, dalam <http://www.dpr.go.id/id/baleg/prolegnas/63/DAFTAR-PROGRAMLEGISLASI-NASIONAL-RANCANGAN-UNDANG-UNDANG-PRIORITAS-TAHUN-2011>,
diakses 29 Maret 2013, 16:56 WIB
RUU Konvergensi Telematika termasuk salah satu Prolegnas (Program Legislasi Nasional) RUU
prioritas tahun 2011 dengan Kemenkominfo sebagai Kementerian yang berkewajiban
menyiapakan draft RUU dan Naskah Akademik, namun kemudian RUU ini tidak tercantum lagi di
tahun 2012 dan 2013.
8
Dian Yuliastuti, “Anggota BRTI Usul Revisi UU Telekomunikasi”, dalam
<http://www.tempo.co/read/news/2007/11/08/056111048/Anggota-BRTI-Usul-Revisi-UUTelekomunikasi>, diakses 3 April 2013, 01:00 WIB
4
Hukum dan Hak Asasi Manusia) untuk diharmonisasi namun dikembalikan lagi
kepada inisiator kebijakan yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika
karena masih membutuhkan peninjauan ulang.
Regulasi konvergensi penting adanya, seperti juga diungkapkan oleh
Menteri Kominfo (Komunikasi dan Informatika), Tifatul Sembiring, bahwa
kebijakan konvergensi perlu segera disusun untuk paling tidak memastikan
domain masing-masing kebijakan komunikasi agar tidak tumpang tindih atau
bahkan berseberangan untuk menghadapi era konvergensi yang sangat terbuka
terhadap kemungkinan monopoli pasar9. Selain berkaitan dengan urusan nasional,
konvergensi sesungguhnya merupakan konsekuensi dari komitmen Indonesia
untuk terbuka pada globalisasi10 yang menjadikan negara ini sebagai bagian dari
network society atau masyarakat global11.
Artinya, kebijakan konvergensi merupakan regulasi vital dalam ranah
telekomunikasi menilik dari urgensi keberadaan pengaturan fenomena jaringan
konvergen yang berkembang pesat ditengah masyarakat sehingga patut diketahui
mengapa proses formulasi kebijakan ini berlangsung lamban bahkan cenderung
stagnan di Indonesia. Proposisi ini disandingkan pula dengan fakta bahwa terjadi
dualisme pilihan regulator (torn between two focus) terhadap bentuk kebijakan
yaitu harmonisasi peraturan yang sudah ada ataukah penyusunan kebijakan baru
yang dimaksudkan untuk melebur seluruh Undang-Undang terkait. Dinamika
perumusan kebijakan konvergensi inilah yang akan disoroti dalam penelitian
termasuk pilihan atas sikap dan tindakan yang diambil para aktor perumus
kebijakan konvergensi.
9
Ahmad
Fikri,
“Menteri
Kominfo
Rancang
RUU
Konvergensi”,
dalam
<http://www.tempo.co/read/news/2010/07/20/173264903/Menteri-Kominfo-Rancang-RUUKonvergensi>, diakses 3 April 2013, 23:14 WIB
10
Bergabungnya Indonesia dengan organisasi kerjasama bilateral maupun multilateral
menunjukkan itikad Indonesia untuk menjalin kerjasama dalam tataran internasional. Selain itu
beberapa komitmen yang dijalin Indonesia dengan United Nations seperti MDGs (Millenium
Development Goals) membuka kontak langsung antara Indonesia dengan negara luar dan
sebaliknya. Meskipun hakikatnya harus tetap menghargai kedaulatan masing-masing negara
namun infiltrasi nilai-nilai global akan cepat masuk dan sulit dicegah perkembangannya.
11
Jan Van Dijk, The Network Society: Social Aspect of New Media (Second Edition, Sage
Publication, 2006)
Konsep masyakarat dunia atau masyarakat global semakin berkembang seiring perkembangan
tekhnologi. Didorong oleh hubungan baru yang terjalin didalam batas-batas geografis yang
menjadi bias, masyarakat global berbagi isu bahkan kepentingan bersama. Saat ini, konsep
masyarakat global dipandang lebih kompleks karena melebur dengan konsep network society.
5
Sebagai upaya merekam sebuah perjalanan, maka penelitian ini paling
tidak harus mampu menjelaskan kejadian masa lampau dan dinamika masa
sekarang sehingga data yang terkumpul dapat digunakan untuk memprediksi masa
depan. Untuk itu, penelitian ini mengambil data perjalanan kebijakan konvergensi
semenjak tahun 2010 (ketika ide kebijakan konvergensi mulai dibahas secara
resmi oleh regulator) sampai dengan 2013 (pelacakan hingga tahun 2013
dimaksudkan agar data yang terkumpul dapat memungkinkan peneliti untuk
menyusun sebuah prediksi terkait prospek keberlanjutan kebijakan konvergensi
ini di masa mendatang).
Selain itu, disebabkan kebijakan ini masih berupa RUU, maka penelitian
jelas tidak akan difokuskan untuk mengawal konten kebijakan sebab akan menjadi
tidak relevan dengan masih banyaknya kemungkinan perubahan setelah beberapa
pembahasan kedepannya. Meskipun begitu, isu konten tentu akan terangkat
selama memotret perjalanan kebijakan. Penelitian ini juga terbatas sebagai studi
terkait perumusan kebijakan pada tahap awal inisiasi yang belum mencapai tahap
legislasi di DPR RI sebab RUU Konvergensi Telematika nyatanya ditinjau ulang
sebelum sempat masuk pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) ataupun Komisi I
DPR RI. Kemudian, apabila sepanjang penelitian ditemukan fakta dan isu baru
yang dominan maka hal tersebut akan menjadi bagian dari kedinamisan penelitian
yang memang tidak terbatas dan atau dibatasi dalam sebuah penelitian kualitatif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah: Bagaimana perjalanan kebijakan konvergensi di Indonesia selama tahun
2010-2013?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Memahami perjalanan kebijakan konvergensi di Indonesia antara tahun
2010-2013.
2. Menganalisis perjalanan kebijakan konvergensi di Indonesia selama tahun
2010-2013.
6
3. Memprediksi perjalanan kebijakan konvergensi Indonesia pada masa
mendatang.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:
1. Untuk kepentingan akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi
referensi ilmiah dalam studi perjalanan kebijakan komunikasi khususnya
kebijakan konvergensi di Indonesia.
2. Untuk kepentingan pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan
masukan dan pertimbangan dalam upaya proses formulasi kebijakan
konvergensi di Indonesia.
E. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
interpretif. Menurut Schwandt, pendekatan jenis ini menekankan pada dunia
pengalaman yang dihidupi, dirasakan, dan dialami oleh para aktor sosial12
sehingga memungkinkan peneliti melihat proses interaksi antar pihak dengan latar
belakangnya
masing-masing
untuk
mendapatkan
interpretasi
menyeluruh
mengenai satu arti.
Arti disini adalah tindakan yang melatarbelakangi para aktor kebijakan
dalam proses formulasi kebijakan konvergensi yang pada akhirnya mempengaruhi
peristiwa kebijakan pada masa lalu, masa sekarang dan prediksi masa depan.
F. Kerangka Pemikiran
1. Aktor Kebijakan
Ketika mengetengahkan proses perjalanan kebijakan konvergensi maka
satu aspek penting yang tidak bisa dikecualikan adalah mengelompokkan aktoraktor yang terlibat sebagai regulator (pembuat dan penyusun) konvergensi sebab
peran mereka sangat menentukan dalam dinamika perjalanan kebijakan.
Kebijakan disusun dan dirumuskan beberapa pihak yang memiliki otoritas
atau kewenangan tertentu dalam suatu negara. Dalam negara demokrasi, idealnya
12
Norman K. Denzin and Yvonna S, Lincoln, Handbook of Qualitative Research (UC Santa Cruz:
Sage Publications, Inc, 1994), hlm. 125.
7
kebijakan dapat diakses oleh seluruh pihak meskipun porsi kekuasaan dan
dominasinya tetap saja berlainan. Pihak-pihak yang berkuasa untuk menentukan
isu dan tahapan dalam proses kebijakan disebut aktor kebijakan.
Berdasarkan pendapat Lester dan Stewart, yang tergolong sebagai aktoraktor perumus kebijakan adalah13:
•
Agensi pemerintah, dengan kata lain eksekutif dan para birokrat karier.
•
Kantor kepresidenan. Komisi kepresidenan bahkan presiden sendiri
seringkali turun tangan dalam perumusan isu kebijakan tertentu. Di
Indonesia, lembaga kepresidenan sangat dominan pada masa orde baru.
•
Lembaga legislatif. Lembaga yang memang difungsikan untuk membuat
dan merevisi kebijakan. Pasca orde baru yaitu masa reformasi hingga saat
ini, lembaga legislatif berperan besar dalam proses legislasi nasional dan
daerah.
•
Kelompok kepentingan. Seringkali disebut juga sebagai kelompok
penekan yakni kelompok yang tertarik dan fokus pada isu tertentu. Peran
kelompok ini cukup signifikan apabila ide kebijakan berasal dari publik,
namun akan kurang diperhitungkan saat ide kebijakan berasal dari birokrat
ataupun legislatif.
Dengan menggunakan pengkategorian tersebut secara garis besar, maka
berikut identifikasi aktor yang terlibat langsung dalam proses perumusan
kebijakan konvergensi di Indonesia:
•
Agensi Pemerintah
Agensi pemerintah adalah badan atau lembaga tertentu yang dibentuk
untuk membantu tugas pemerintahan. Kementerian termasuk agensi
pemerintah. Kementerian yang terlibat langsung dalam perumusan kebijakan
konvergensi
ini
adalah
Kementerian
Komunikasi
dan
Informatika
(Kemenkominfo)
a. Kemenkominfo
sendiri
berada
dibawah
koordinasi
Kementerian
Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan dengan tugas
penyelenggaraan urusan di bidang komunikasi dan informatika yang salah
13
Solahuddin Kusumanegara, Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik (Yogyakarta:
Penerbit Gava Media, 2010), hlm. 88-89.
8
satu fungsi utamanya adalah perumusan; penetapan dan pelaksanaan
kebijakan di bidang komunikasi dan informatika.
Pada tahun 2009, Kemenkominfo yang saat itu dipimpin oleh Mohammad
Nuh telah menerbitkan Surat Keputusan Menteri Komunikasi dan
Informatika
Nomor
145/KEP/M.KOMINFO/05/2009
tentang
Tim
Penyiapan dan Materi RUU Konvergensi Telekomunikasi dan Penyiaran
dengan penanggung jawab yang berasal dari staf khusus, staf ahli dan
kepala badan Kemenkominfo.
Dalam perkembangannya, Kemenkominfo pada bulan Januari 2012
dengan kepemimpinan yang baru yaitu Tifatul Sembiring sebagai Menteri
Kominfo melalui Siaran Pers No. 1/PIH/Kominfo/1/2012 tentang Catatan
Strategis dan Prestasi Kementerian Kominfo, menuliskan bahwa:
“Setelah cukup lama dibahas internal dan ekternal, Kementerian Kominfo
masih memfinalisasi RUU Multimedia (Konvergensi Telematika) sebagai
pengganti UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Posisi saat ini,
terhadap RUU
tersebut
akan
segera
dilakukan harmonisasi di
Kementerian Hukum dan HAM”.
•
Kantor Kepresidenan
Dalam proses perumusan kebijakan konvergensi, kantor kepresidenan
tidak atau belum teridentifikasi terlibat secara langsung. Kebijakan ini
lebih ditangani oleh kementerian yang bersangkutan.
•
Lembaga Legislatif
Lembaga legislatif (DPR RI) memiliki alat kelengkapan yang salah
satunya adalah komisi. Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang
adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan dan penyempurnaan
Rancangan Undang-Undang yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya.
Komisi I adalah komisi DPR RI yang membawahi bidang tugas
pertahanan, intelijen, luar negeri, komunikasi dan informatika. Artinya Komisi
I adalah komisi yang secara spesifik terlibat dalam proses perumusan
kebijakan konvergensi.
Hal tersebut salah satunya terlihat dari Laporan Singkat Komisi I DPR RI
tentang rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPR RI dengan Kementerian
9
Komunikasi dan Informatika, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN) dan Edmon Makarim, pada tahun sidang 2009-2010 yang
diselenggarakan dalam rangka mendapatkan masukan bagi penyusunan RUU
tentang Konvergensi Telematika. Pada tahun 2011, RUU Konvergensi
termasuk RUU prioritas dan masuk kedalam Prolegnas (Program Legislasi
Nasional) dibawah bidang kerja Komisi I namun sampai akhir periode 2011,
belum ada pembahasan lebih lanjut terkait RUU tersebut di DPR RI.
Untuk itu pada tanggal 30 Januari 2013, Komisi I DPR RI mengundang
Menteri Kominfo Tifatul Sembiring beserta pejabat Kemenkominfo lainnya
untuk menghadiri rapat Dengar Pendapat (RPD) yang salah satunya
menghasilkan kesimpulan bahwa:
“Komisi I DPR RI mendesak Pemerintah agar segera menyelesaikan DIM
sandingan terhadap RUU tentang Penyiaran untuk segera disampaikan kepada
DPR RI, serta menyelesaikan perumusan terhadap RUU tentang Konvergensi
Telematika (RUU Telekomunikasi) dan draft RUU Revisi Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebelum
berakhirnya masa sidang III tahun Sidang 2012/2013 pada bulan April 2013”14
•
Kelompok Kepentingan
Peran kelompok kepentingan dalam perumusan kebijakan konvergensi
bisa dikatakan tidak terlalu signifikan. Salah satu lembaga nirlaba sejenis
NGO (Non Governmental Organization) yang fokus dalam mengawal
kebijakan ini adalah Yayasan SatuDunia Indonesia yang berdiri atas prakarsa
HIVOS, Yayasan Jaring dan Oneworld UK.
Beberapa brief paper telah diluncurkan oleh SatuDunia terkait perumusan
kebijakan konvergensi. Dari beberapa publikasi tulisan tersebut, Yayasan ini
berpendapat bahwa pembahasan RUU Konvergensi sebaiknya dihentikan
dengan alasan: dilatarbelakangi oleh desakan liberalisasi pasar, adanya
pereduksian hak warga negara menjadi hanya hak konsumen, terdapat pasal-
14
“Siaran Pers No.11/PIH/KOMINFO/1/2013 tentang Rapat Dengar Pendapat Menteri Kominfo
Tifatul
Sembiring
dengan
Komisi
I
DPR
RI”
dalam
<http://kominfo.go.id/berita/detail/3814/Siaran+Pers+No.+11-PIH-KOMINFO-1
2013+tentang+Rapat+Dengar+Pendapat+Menteri+Kominfo+Tifatul+Sembiring+dengan+Komisi+
I+DPR+RI+>, diakses 3 April 2013, 23:27 WIB
10
pasal karet yang mengancam HAM dan ketidakjelasan harmonisasi dengan
UU lainnya15.
Aktor kebijakan tersebut masing-masing akan melakukan tindakan yang
sesuai dengan ukuran atau nilai-nilai tertentu untuk mempengaruhi keputusan
politik. Anderson mengelompokkan nilai-nilai yang dapat mempengaruhi perilaku
aktor kebijakan, sebagai berikut16:
•
Nilai politik
Para aktor kebijakan mungkin mengeliminasi dan atau menambahkan
alternatif kebijakan tertentu yang dipandang sesuai dengan kepentingan partai
politik atau kelompok kepentingannya sehingga pilihan kebijakan didasarkan
pada hitung-hitungan keuntungan politik yang dipandang sebagai sarana untuk
mencapai tujuam partai atau tujuan kelompok kepentingannya. Hal ini
khususnya menimpa lembaga legislatif yang anggota-anggotanya pada
umumnya merupakan bagian dari perwakilan kelompok politik tertentu.
•
Nilai Organisasi
Agensi pemerintah adalah kelompok yang paling utama terpapar nilai
organisasi dalam mengambil setiap langkah terkait kebijakan. Organisasi
seperti badan adminstratif umumnya memiliki berbagai prosedur termasuk
soal imbalan dan sanksi dalam upayanya untuk mempengaruhi anggotaanggotanya agar bertindak sesuai dengan nilai organisasi yang telah
ditetapkan.
•
Nilai Pribadi
Upaya pribadi untuk mendapatkan beberapa keuntungan seperti meningkatkan
status sosial, menambah kepemilikan material, bahkan menjaga reputasi
merupakan contoh nilai pribadi yang dapat mempengaruhi cara aktor tertentu
memilih tindakan. Nilai pribadi ini bisa bersifat positif namun banyak pula
yang negatif. Nilai ini didorong oleh pertimbangan rasionalitas ego individu
untuk melakukan sesuatu yang benar untuk kepentingan eksistensi dirinya.
•
Nilai Kebijakan
15
Untuk lebih jelasnya silahkan dilihat Brief Paper SatuDunia berjudul ‘Kenapa pembahasan RUU
Konvergensi
Telematika
Harus
Dihentikan?
Dapat
diakses
melalui
portal
<http://www.satudunia.net/publikasi>
16
Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, (Yogyakarta: MedPress (Anggota IKAPI),
2008), hlm. 133-135.
11
Beberapa aktor juga akan terpengaruh oleh nilai kebijakan. Secara ringkas
dapat dinyatakan bahwa nilai kebijakan adalah nilai paling objektif sebab
terkait langsung dengan kriteria penilaian apakah satu kebijakan dirasa benar
dan pantas untuk dipilih dalam konteks dan kebutuhan masyarakat tertentu.
Namun, dorongan untuk secara objektif mempertimbangkan nilai kebijakan
memiliki kemungkinan besar untuk bersilangan dengan nilai-nilai yang lain.
•
Nilai Ideologi
Ideologi adalah seperangkat nilai dan kepercayaan tertentu yang berhubungan
secara logis sebagai pedoman tingkah laku dan tindakan tertentu. Ideologi
dalam satu negara tentu akan berpengaruh terhadap pola tindakan yang
diambil oleh para aktornya. Misalnya, ideologi komunis akan menghantarkan
tindakan kebijakan yang sentralistik dari pemerintah terhadap rakyatnya
sedangkan ideologi demokrasi sepatutnya memperjuangkan nilai-nilai
kerakyatan dari oleh dan untuk rakyat.
2. Kebijakan Konvergensi
Esensi konvergensi adalah penyatuan, dalam hal ini merupakan penyatuan
antara teknologi informasi dan komunikasi. Konvergensi memungkinkan
dinikmatinya berbagai macam layanan seperti layanan penyiaran, telekomunikasi,
dan Internet dalam satu perangkat terpadu.
Menurut Mc Chesney dan Herman, konvergensi penting dilihat dari dua
sisi: pertama, pertumbuhan dan perkembangan sektor informasi komunikasi pada
level global dimana banyak perusahaan besar dunia yang menguasai pasar jatuh
ke model konvergensi dimana sebagian dari jumlah tersebut memilih sektor
komunikasi untuk dikembangkan. Kedua, munculnya ketidakpastian pasar akibat
trend konvergensi. ketidakpastian tersebut didorong oleh banyaknya proses
akuisisi dan merger, usaha patungan dan aliansi yang ditempuh sebagai cara untuk
bertahan dalam kompetisi dan untuk meningkatkan penghasilan di sektor baru17.
17
Edward S. Herman and Robert W.McChesney, The Global Media: The New Missionaries of
Global Capitalism (London: Cassell, 1997), hlm. 108.
Alasan perusahaan melakukan akuisisi, merger, aliansi, dsb adalah karena perkembangan
teknologi sulit untuk diprediksi sehingga cara teraman adalah menjalin kerjasama sehingga
memiliki banyak kesempatan untuk bertahan dari serangan kompetitor.
12
Menilik kondisi di Indonesia, meskipun masih terdapat beberapa blank
spot yang membatasi individu atau kelompok tertentu untuk mempergunakan
fasilitas telematika modern, hal tersebut tidak menyurutkan tingginya angka
ketergantungan terhadap teknologi khususnya bagi penduduk perkotaan yang
notabene terpapar produk high-end teknologi ataupun generasi muda yang
cenderung menggunakan produk teknologi secara intens salah satunya sebagai
cara beradaptasi terhadap lingkungan modern.
Dikaitkan dengan negara, melalui Pasal 28f UUD (Undang-Undang Dasar)
1945 telah disebutkan bahwa negara memiliki kewajiban untuk menyediakan
akses bagi seluruh warganya tanpa terkecuali guna mendapatkan hak informasi.
Saluran yang memediasi hak atas informasi tersebutlah yang terus berkembang
seiring inovasi-inovasi baru dalam bidang teknologi. Karena itu, setiap negara
harus bergegas menentukan langkah untuk menghadapi hantaman teknologi
global yang semakin pesat, termasuk pada bidang teknologi komunikasi yang
memunculkan fenomena konvergensi telematika.
Perkembangan yang signifikan terkait konvergensi ini tentu saja
membutuhkan pengimbang dalam bentuk regulasi. Namun, penyusunan regulasi
bukanlah satu hal yang mudah khususnya pada kasus-kasus yang memiliki
interseksi mengenai hak-hak perorangan dan publik seperti halnya masalah
informasi dan media. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus pintar-pintar
menyeimbangkan antara kontrol dan akses18. Penjaminan akan hak publik atas
informasi melalui saluran yang berpotensi untuk menjadi efektif dan massal
penggunannya di masa mendatang termasuk satu alasan perlunya kebijakan
konvergensi19. Studi kebijakan komunikasi pada dasarnya bukanlah pekerjaan
18
Francois Bar and Christian Sandvig, Media, Culture and Society: US communication policy
after convergence (Sage Publications, 2008).
Disebutkan bahwa dalam setiap pengaturan komunikasi, kebijakan harus mempertimbangkan
keseimbangan antara kontrol dan akses, artinya kontrol pemerintah terhadap konten harus
didasarkan pada pertimbangan logis disertai kewajiban bagi pemerataan dan distribusi akses
terhadap media konvergen. Biaya yang harus dikeluarkan masyarakat juga sepatutnya
proporsional.
19
Paula Chakravartty and Katharine Sarikakis, Media policy and Globalization (Edinburgh:
University Press Ltd, 2006), hlm 4-5.
Disebutkan bahwa menghindari bahkan menjauhkan unsur-unsur kepentingan politis dalam proses
pembuatan kebijakan terkait pelayanan telekomunikasi dan penyiaran serta konten kultural dari
perdagangan konten media adalah langkah signifikan yang ditempuh Amerika dalam wacana
pembuatan kebijakan.
13
yang bersifat administratif meskipun hasil studi dapat membantu kelancaran
administrasi. Studi ini memiliki range kajian yang luas termasuk namun tidak
terbatas pada penelusuran kegiatan komunikasi dalam tiap tahapan kebijakan,
misalnya pola komunikasi antar aktor dalam proses perumusan kebijakan. Definisi
pola mengarah pada hal-hal yang mempengaruhi sikap aktor pada sistem tertentu
misalnya budaya komunikasi, bentuk interaksi antar aktor sampai bagaimana
mereka melakukan koalisi atau bahkan berkontradiksi satu dengan yang lain.
Di lain pihak, apabila kita menelisik dinamika penyiaran di Indonesia
khususnya terkait isu kepemilikan, maka kebijakan konvergensi perlu segera
diatur. Mengutip hasil riset kerjasama antara CIPG (Centre for Innovation Policy
and Government), Hivos dan Manchester Business School, bahwa:
Saat ini, dua belas kelompok media besar mengendalikan hampir semua kanal media di
Indonesia, termasuk didalamnya penyiaran, media cetak dan media online. Mereka adalah
MNC Group, Kelompok Kompas Gramedia, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia,
Grup Jawa Pos, Mahaka Media, CT Group, BeritaSatu Media Holdings, Grup Media, MRA
Media, Femina Group dan Tempo Inti Media. Grup MNC memiliki tiga kanal televisi freeto-air – jumlah terbanyak yang dimiliki oleh grup media – juga 20 jaringan televisi lokal
dan 22 jaringan radio dibawah anak perusahaan mereka, Sindo Radio. Grup Jawa Pos
memiliki 171 perusahaan media cetak, termasuk didalamnya Radar Grup. KOMPAS, surat
kabar paling berpengaruh di Indonesia, telah mengekpansi jaringannya dengan mendirikan
penyedia konten yaitu KompasTV, disamping 12 penyiaran radio di bawah anak perusahaan
mereka Radio Sonora, dan 89 perusahaan media cetak lainnya. Visi Media Asia telah
berkembang menjadi kelompok media yang kuat dengan dua saluran televisi teresterial
(ANTV dan tvOne) serta media online yang berkembang dengan pesat vivanews.com.
Sebuah perusahaan media di bawah Grup Lippo yakni Berita Satu Media Holding, telah
mendirikan Internet Protocol Television (IPTV) BeritaSatuTV, kanal media online
beritasatu.com dan juga memiliki sejumlah surat kabar dan majalah20.
Data riset tersebut menunjukkan bahwa konglomerasi penyiaran di
Indonesia telah berada di tahap genting baik untuk kepemilikan media
konvensional maupun konvergen. Ditambah lagi dengan semakin meningkatnya
pengguna internet yang menjadi faktor pendorong populernya media konvergen21.
Itu baru fakta dari industri penyiaran, belum lagi jika menelusuri
kepemilikan industri telekomunikasi Indonesia yang sebagian besar saham
20
Yanuar Nugroho, Dinita Andriani Putri, Shita Laksmi, Memetakan Lansekap Industri Media
Kontemporer di Indonesia (Jakarta: Centre for Innovation Policy and Government, 2012), hlm. 4.
21
Simon McPhillips and Omar Merlo, “Media convergence and the evolving media business
model: An overview and strategic opportunities”, The Marketing Review, 2008, Vol. 8, No. 3, doi:
10.1362/146934708X337663 ISSN1469-347X print / ISSN 1472-1384 online ©Westburn
Publishers Ltd, hlm. 237.
Konvergensi media adalah kemampuan untuk mendistribusikan jenis media yang berbeda dalam
satu platform melalui penggunaan internet.
14
perusahaannya dikuasai oleh investor asing. PT. Telkom Indonesia Tbk tercatat
sebagai perusahaan telekomunikasi dengan saham mayoritas dikuasai pemerintah
sebesar 51.19%, publik (40.21%) dan The Bank of New York serta investor dalam
negeri (8.60%) sedangkan perusahaan telekomunikasi lainnya didominasi oleh
kepemilikan saham asing seperti PT.XL Axiata Tbk yang dikuasai Axiata Group
Berhad atau Axiata (66,549%), PT Indosat Tbk dengan QTEL Asia / Qatar
Telkom Asia (65%), PT AXIS Telekom Indonesia didominasi Saudi Telcom
Company (80.1%) serta PT.Hutchinson CP Telecommunications atau 3 yang
dikuasai Hutchison Whampoa Hongkong (60%)22.
Dengan potensi masalah tersebut (monopoli perusahaan dalam dan luar
negeri) maka wajar bila pada mulanya pemerintah berinisiatif membuat sebuah
Undang-Undang yang diharapkan mampu memayungi persoalan telematika di
Indonesia, yang kemudian disebut kebijakan konvergensi. Namun kenyataannya,
proses formulasi kebijakan tersebut tertahan di tengah jalan sehingga belum ada
statement kebijakan yang muncul sampai saat ini23.
Pengggodokan rumusan kebijakan memang bukan hal yang mudah untuk
diselesaikan dalam sekali jalan. Banyak kepentingan yang perlu diakomodir
regulator terkait kebijakan tersebut, apalagi untuk kebijakan sejenis konvergensi
telekomunikasi yang nantinya akan berdampak pada banyak pihak. Idealnya,
seluruh tahapan proses kebijakan mulai dari penyusunan agenda hingga evaluasi
kebijakan disusun dengan pengutamaan unsur kepentingan publik. Namun pada
prakteknya, tarik menarik kepentingan yang diprakarsai oleh struktur maupun
aktor-aktor yang terlibat merupakan hal lumrah yang terjadi dalam setiap
pengagendaan kebijakan.
Jika dipandang dari analisa ekonomi, negara sebetulnya memiliki
kemampuan untuk mengintervensi aktor lain khususnya pasar dalam pembuatan
suatu kebijakan meskipun dengan alasan tertentu24. Namun negara melalui
22
“Komposisi Kepemilikan Saham Perusahaan Telekomunikasi di Indonesia”, dalam
<http://wahyurizkyllahlm.wordpress.com/2013/02/05/komposisi-kepemilikan-saham-perusahaantelekomunikasi-di-indonesia/>, diakses 19 Maret 2013, 12:13 WIB
23
Agus Sudibyo, Kebebasan Semu: Penjajahan Baru di Jagat Media (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2009) hlm. 94.
24
Hoskins Colin, McFadyen Stuart and Finn Adam, Media Economics: Applying Economics to
New and Traditional Media (London: Sage, 2004), hlm. 287- 307.
15
pemerintah juga harus berhati-hati menentukan langkah karena alih-alih
mendatangkan kemajuan, ketidaktepatan langkah intervensi malah dapat
menyebabkan kemunduran bahkan chaos. Sebagai contoh, reformasi di Indonesia
terjadi karena pemerintah orde baru dicap gagal dengan semakin merebaknya
praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme di jajaran elit yang merupakan
dampak dari kompromi politik dan ekonomi yang terjadi dalam cakupan internal
maupun eksternal pemerintah. Pada intinya, meski negara dapat melakukan
intervensi, tetap diperlukan stand point yang jelas tentang sistem yang dipilih
untuk mendasari gerak langkahnya, karena pada akhirnya sistem menentukan
relasi dan cara aktor berhubungan yang sedikit banyak mempengaruhi pola
kebijakan.
Karenanya, untuk membuat kebijakan yang akomodatif, negara harus
terlebih dahulu konsisten mengenai sistem yang dianut agar publik tidak bingung
dan terombang-ambing di tengah ketidakpastian perilaku negara sehingga tidak
terjadi kapitalisme demokrasi25 atau bahkan muncul istilah negara auto pilot
(tanpa pengendali). Termasuk dalam menentukan arah kebijakan komunikasi.
Mengenai bagaimana melahirkan suatu kebijakan, James Anderson menuliskan
tentang tahapan-tahapan kebijakan26.
Tahap pertama adalah formulasi masalah sebagai tahap brainstorming
tentang apa yang menjadi masalah, apakah hal tersebut dapat digolongkan sebagai
masalah kebijakan lalu bagaimana memasukkan masalah tersebut kedalam agenda
kegiatan. Tahap kedua adalah formulasi kebijakan yaitu tahap untuk
mengembangkan pilihan atau alternatif pemecahan masalah.
Disebutkan bahwa tiga alasan prinsip yang bisa menjadi alasan kuat negara mengintervensi adalah
kegagalan pasar, dengan indikator: externalities, public goods dan monopoly power. Externalities
adalah akibat samping yang ditimbulkan oleh sebuah produksi, yang tidak menimpa produsen
maupun sasaran konsumen secara langsung, namun bisa membahayakan pihak ketiga di luar itu,
misal: produksi tayangan dewasa yang diputar pada waktu prime time sehingga ditonton anak-anak
dan cenderung menimbulkan efek negatif. Kedua, public goods yang memiliki karakteristik bisa
diperoleh tanpa kompetisi dan bisa diakses siapapun, masalahnya adalah ketika barang publik ini
tidak lagi menjadi bebas karena tingkat pengkomersilan yang tinggi dan perlu modal tertentu untuk
mengaksesnya. Ketiga, monopoly power, yang sangat mungkin mengarah pada tekanan pasar atau
lebih tepatnya aktor yang menguasai pasar kepada publik, baik penguasaan tersebut terangterangan ataupun terselubung dengan melenakan publik dalam aktivitas pemuasan kebutuhan
ekonomi tertentu.
25
Bernard Crick, Democracy: A Very Short Introduction (Oxford: University Press, 2002), hlm.
81.
26
AG. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka
pelajar, 2005)
16
Dalam tahap kedua akan ditentukan pihak-pihak yang berpartisipasi dalam
formulasi kebijakan. Selain negara yang diwakili pemerintah, banyak pihak yang
sebetulnya dimungkinkan untuk berpartisipasi dalam formulasi kebijakan semisal
akdemisi, swasta terkait, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau nongovernmental organisation (NGO).
Selanjutnya, penetapan kebijakan merupakan tahap ketiga. Dalam tahapan
ini seharusnya dapat ditilik aktor-aktor utama yang terlibat. Saling silang
kepentingan antar aktor menjadi wacana yang rasional terjadi27. Lalu, tahap
keempat adalah implementasi. Tahapan ini menyoroti pihak-pihak yang terlibat
dalam implementasi kebijakan berikut tugasnya, dan bagaimana dampak dari isi
kebijakan tersebut.
Tahap terakhir adalah evaluasi mengenai bagaimana keberhasilan dan
dampak kebijakan diukur, pihak yang bertanggungjawab mengevaluasi kebijakan,
perhitungan akibat dari evaluasi kebijakan dan apakah ada tuntutan untuk
melakukan perubahan atau pembatalan kebijakan.
Dengan merunut lima tahap kebijakan tersebut terlihat bahwa kebijakan
sebagai hasil dari perembukan aktor-aktor dalam negara yang dimaksudkan
sebagai aturan atas satu hal tertentu sangat bergantung pada perilaku aktor dan
sistem yang sedang berjalan. Sebut saja jika relasi aktor negara, pasar dan publik
itu terjadi pada sistem kapitalis maka yang terjadi adalah dominasi pasar pada
setiap keputusan28, sedangkan pada sistem demokrasi, kebijakan yang diambil
haruslah mengena pada prinsip yang pro publik dengan mengedepankan
kesejahteraan masyarakat di level pertama.
Meskipun kegagapan seringkali terjadi di tahap implementasi dimana
ketidaksinkronan antara konsep kebijakan yang disepakati di awal dengan
27
Kaushik Bau, Prelude to Political Economy: A Study of the Social and Political Foundations of
Economics (New York: Oxford UP, 2000), hlm.37.
Dituliskan bahwa setiap individu memiliki pilihan rasional. Rasional bagi satu orang belum tentu
rasional bagi yang lain, karena itu individu bisa dikatakan melakukan pilihan rasional apabila dia
memilih aksi yang tepat untuk memaksimalkan pencapaian tujuan dirinya.
28
A. Habibullah, Kebijakan Privatisasi BUMN: Relasi State, Market dan Civil Society (Malang:
Averroes Press, 2009), hlm. 52.
Didalam buku ini dikutip pernyataan dari (Miliband, 1969) bahwa dalam masyarakat dengan
sistem kapitalis, modal mendominasi peran pemerintah termasuk perannya dalam pembuatan
kebijakan publik. Artinya, pengambilan kebijakan tidak lagi ditujukan untuk kepentingan publik
melainkan untuk kepentingan sekelompok orang yang memiliki modal finansial terkuat di
lingkungannya.
17
perlakuan yang terjadi di lapangan merupakan masalah yang paling banyak
disoroti, formulasi adalah satu langkah vital yang dibutuhkan seumpama sebuah
proses penggodokan bahan mentah untuk dijadikan bahan baku produksi untuk
kemudian dihantarkan menjadi satu barang jadi. Untuk tipe negara demokrasi
berkembang yang ‘masih muda’ terkait pengalaman dan kapasitas power yang
dimiliki29 seperti Indonesia, tentulah peran negara masih sangat dibutuhkan30
karena faktanya tidak mungkin mengandalkan invisible hand yang menjadi ciri
khas dari kapitalisme total.
Kembali pada pembahasan kebijakan konvergensi, satu isu lain yang
menarik selain formulasi kebijakan itu sendiri adalah persoalan terkait pihak yang
akan bertanggungjawab mengatur persoalan konvergensi di Indonesia setelah
kebijakan diundangkan. Badan atau lembaga yang akan bertanggungjawab
nantinya semestinya berposisi independen. Hal tersebut dimaksudkan untuk
menjaga netralitas dalam ruang lingkup konvergensi khususnya terhadap isu
krusial seperti kepemilikan.
Dalam konferensi mengenai the future of broadcasting regulatory
authorities in South-Eastern Europe, Johanna E. Fell menyampaikan usulan
menarik tentang konvergen regulator bagi konvergensi media, dimana beberapa
regulator terkait konvergensi media dilebur menjadi satu dengan beberapa
pertimbangan
seperti
efektvitas
kerja
dan
efisiensi
biaya,
kejelasan
pertanggungjawaban dan one-stop shop bagi industri. Namun muncul pula reaksi
kontra tentang ide tersebut yang disebabkan kekhawatiran tentang sulitnya
transparansi pada lembaga yang besar, berkurangnya aksesibilitas bagi konsumen,
29
Ibid., hlm. 53.
Friedman (1970) dan Clement (1997) juga merasa bahwa sistem ekonomi kapitalis dengan konsep
pasar bebas adalah hal yang cocok untuk diterapkan sebagai bentuk dukungan bagi kebebasan
politik dan demokrasi.
30
Edi Suharto, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2008),
hlm. 3.
Francis Fukuyama dalam State Building: Governance and World Order in the 21st Century
menuliskan bahwa ketika peran negara dikurangi dalam hal yang memang merupakan fungsinya
sebagai negara maka akan menimbulkan problematika baru meskipun pernyataan tersebut pada
akhirnya bertentangan dengan dua karya Fukuyama sebelumnya yang dengan yakin menuliskan
bahwa perang antara kapitalisme dan komunisme telah dimenangkan oleh kapitalisme karena
dianggap nilai yang paling cocok untuk diadopsi di masa modern
18
beragamnya agenda dari tiap media dan potensi dominasi oleh satu media
terhadap media yang lain31.
Dengan ragam isu dan begitu vitalnya kebijakan konvergensi di masa depan
maka lumrah bila terdapat keingintahuan untuk menyelidiki lebih lanjut proses
perjalanan kebijakan konvergensi ini. Menggali jawaban dari keingintahuan
tersebut paling mungkin dilakukan dengan mendekati pihak-pihak yang terlibat
dalam perumusan kebijakan melalui pendekatan interpretif sehingga didapat
kemampuan untuk menjelaskan objek berdasarkan pengamatan dan pengalaman
langsung. Diharapkan dengan melakukan hal tersebut peneliti dapat menjelaskan
proses perumusan kebijakan secara lengkap32.
3. Proses Formulasi Kebijakan
Seperti
disebutkan
sebelumnya
bahwa
banyak
hal
yang
harus
33
dipertimbangkan saat memformulasikan sebuah kebijakan . Seiring mendalami
perjalanan kebijakan konvergensi yang sampai saat ini masih bergulir, formulasi
kebijakan adalah satu tahap paling kritikal karena memuat ide dan kepentingan
dari beragam aktor yang terlibat. Hasil penelusuran dalam tahapan ini dapat
menjadi bahan untuk memprediksi isu kebijakan konvergensi di Indonesia di masa
depan sebab masing-masing aspek mulai dari aspek lingkungan kebijakan hingga
formulasi dan legitimasi akan menunjukkan konstruksi berpikir dan tindakan dari
para aktor kebijakan.
Sebagaimana sempat disinggung sebelumnya bahwa umumnya terdapat
dua opsi sebagai solusi bagi penyusunan kebijakan konvergensi di Indonesia:
pertama, menyusun Undang-Undang yang betul-betul baru sehingga kebijakan
lain yang terkait (UU ITE, UU Penyiaran, dan UU Telekomunikasi) akan dilebur
31
Johanna E. Fell, “Converging Media- Covergent Regulators?”, dalam Conference organised by
the Council of Europe and the OSCE Mission to Skopje, 1-2 October 2007 (2007), Skopje
32
Edi Suharto, Loc. Cit.
Disebutkan bahwa kebijakan adalah hasil sinergi, kompromi dan kompetisi dari berbagai gagasan
dan kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara.
33
OECD, “OECD Policy Guidance on Convergence and Next Generation Networks”, dalam
OECD Ministerial Meeting on the Future of the Internet Economy, 17-18 June 2008, hlm. 3.
Dituliskan dalam paper OECD, paling tidak terdapat dua tujuan utama yang harus
dipertimbangkan regulator dalam memonitor sebuah kebijakan: pertama, tujuan ekonomis dimana
regulasi dipastikan dapat mengefektifkan pasar yang kompetitif dan mendorong terjadinya inovasi
dan investasi. Kedua, tujuan sosial termasuk kewajiban pelayanan universal, akses, kualitas servis,
keberagaman media, perlindungan konsumen dan pengguna lainnya, dsb
19
menjadi satu sedangkan opsi kedua adalah mengharmonisasikan kebijakankebijakan komunikasi tersebut diatas yang artinya revisi parsial dari masingmasing undang-undang.
Melihat
gelagat
dari
Kemenkominfo
sebagai
inisiator
kebijakan
konvergensi, sepertinya penyusunan draft kebijakan ini masih akan terus
dilanjutkan seperti yang tercermin dalam beberapa siaran pers Kemenkominfo dan
pernyataan yang seringkali dikeluarkan oleh para pejabat Kominfo. Di sisi lain,
revisi kebijakan terkait (revisi UU ITE, revisi UU Penyiaran) juga terus berjalan.
Agak membingungkan memang mengingat masing-masing opsi ternyata
dijalankan. Hal tersebut tentu akan memperbanyak beban kerja regulator dan
menyebabkan mereka kehilangan fokus. Lagipula apabila kebijakan konvergensi
ini nantinya resmi dikeluarkan, bagaimana dengan nasib undang-undang lain yang
telah direvisi? Andaikan dilebur menjadi satu bukankah pekerjaan revisi
sebelumnya menjadi sia-sia.
Memprediksi masa depan penyusunan kebijakan bukanlah sesuatu yang
mudah dilakukan. Tidak hanya variasi data dan kedalaman observasi yang
dituntut melainkan juga dimungkinkannya sebuah ketepatan penilaian. Menilik
secara historis, tanggapan masyarakat Indonesia secara keseluruhan terkait
konvergensi dapat dikatakan bagus mengingat tren pemakaian internet dan
aplikasi TIK modern terus meningkat seiring tahun berjalan. Pemerintah
Indonesia pun terkesan bersifat terbuka dibuktikan dengan program-program
pemerintah nasional maupun daerah yang rata-rata memprioritaskan peningkatan
penggunaan TIK dan perluasan jaringan internet ke seantero daerah. Pemerintah
juga tidak mempermasalahkan webpage dan laman-laman jejaring sosial global
yang masuk ke Indonesia, bandingkan dengan Cina yang memiliki konsep Great
firewall sebagai sebutan bagi kebijakan dalam negeri Cina terkait pembatasan
terhadap internet dan arus informasi yang dibawanya34.
34
James Fallows, Kartu Pos dari Tomorrow Square: Liputan dari China, (PT Elex Media
Komputindo, 2009), hlm. xx.
Pemerintah memberlakukan sensor terhadap beberapa kata kunci pencarian semisal ‘Tiananmen’
sebab informasi yang tampil akan cenderung menyerang pemerintahlm. Akses publik ke lamanlaman pencarian seperti google dan wikipedia pun dibatasi bahkan pada periode tertentu sempat
ditutup. Hubungan ke situs luar negeri juga dibatasi dan dapat dilacak oleh aparat pemerintah
melalui IP adress pengguna yang harus didaftarkan. Publik yang menginginkan koneksi internet
20
Hal tersebut mengindikasikan bahwa secara umum Indonesia termasuk
negara yang bersikap terbuka terhadap perkembangan TIK dan fenomena
konvergensi. Semestinya hal itu bisa menjadi dasar bagi ditetapkannya sebuah
kebijakan yang relevan mengingat konvergensi mampu mempengaruhi seluruh
aspek kehidupan terutama telekomunikasi dan informasi. Para regulator di
Indonesia sesungguhnya dapat memetik pembelajaran dari negara tetangga yang
telah menyusun kebijakan sejenis seperti Malaysia dan Australia.
Malaysia mengadopsi regulasi konvergensi pada bulan November 1998.
Dua
peraturan
perundang-undangan
langsung
diberlakukan
yaitu
the
Communications and Multimedia Act 1998 yang menetapkan kerangka peraturan
baru bagi industri telekomunikasi dan the Malaysian Communications and
Multimedia Commission Act (1998) tentang pembentukan badan pengawas baru
yang membawahi seluruh urusan telematika di negara itu yang kemudian
dinamakan the Malaysian Communications and Multimedia Commission
(MCMC) atau SuruhanJaya Komunikasi dan Multimedia Malaysia (SKMM)35.
Sebaliknya, Australia memilih untuk mendahulukan merger regulator
tanpa perubahan regulasi. Hasilnya terbentuklah Australian Communication and
Media Authority (ACMA) pada pertengahan tahun 2005. Langkah ini dilakukan
dengan pertimbangan agar regulator konvergensi dapat beradaptasi terlebih
dahulu dengan potensi dan tantangan yang akan dihadapi kedepannya tanpa
dipusingkan dengan penyusunan peraturan baru pada saat yang sama.
Selain dimaksudkan sebagai strategi bertahap, pembentukan ACMA
sendiri sebetulnya agak radikal sebab alih-alih hanya melebur badan-badan yang
menjadi regulator media pra konvergensi, diberlakukan pula revisi struktur
internal secara keseluruhan termasuk dengan memilih orang-orang baru untuk
mengisi jabatan manajerial senior. Pada akhirnya, dua negara tersebut memilih
langkah yang berbeda dalam mengadopsi kebijakan konvergensi dengan hasil
kebijakan yang terlihat mulai mapan saat ini.
Dalam
lingkup
nasional,
sejarah
pengundangan
regulasi
bidang
komunikasi umumnya diwarnai dengan perdebatan yang panjang, salah satunya
yang lebih baik harus menggunakan jasa tertentu berbentuk pemasangan alat yang harganya pun
tergolong tidak murahlm.
35
Dapat dilihat di <http://www.skmm.gov.my/Home.aspx>
21
regulasi penyiaran pasca reformasi yaitu UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran. Agus Sudibyo dalam bukunya berjudul kebebasan semu36 menuliskan
bahwa, semangat awal yang mendasari UU Penyiaran tersebut sebenarnya adalah
upaya
mengeliminasi
kolonialisasi
ruang
publik
media
namun
pada
implementasinya justru condong pada reorganisasi kekuatan modal dan birokrasi
dalam mengontrol media penyiaran, sebagai contoh adalah pelemahan otoritas
KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) pada Judicial Review tahun 2004 dimana MK memutuskan bahwa peran
KPI dalam
penyusunan
Peraturan
Pemerintah
(PP)
tentang
Penyiaran
sebagaimana tercantum dalam Pasal 62 UU Penyiaran bertentangan dengan UUD
1945. Terlebih lagi dengan diberlakukannya empat PP Penyiaran Nomor 49, 50,
51, 52 Tahun 2005 yang membawahi perumusan ketentuan tentang kepemilikan
media, perizinan, isi siaran yang condong pada pemihakan terhadap industri. Lalu,
bagaimana dengan regulasi konvergensi?
Pelacakan lebih mendalam terkait kebijakan konvergensi di Indonesia
inilah yang dapat dibantu dengan pengunaan model formulasi kebijakan EastonRipley yang juga telah digunakan beberapa akademisi kebijakan internasional
maupun nasional dengan tujuan mendapat gambaran proses kebijakan beserta
interaksinya yang dirunut berdasarkan tahapan kebijakan Ripley namun
dikolaborasikan kedalam model sistem politik David Easton37.
Easton menggunakan pendekatan sederhana untuk menggambarkan model
sistem politiknya yang sekaligus menggambarkan skema umum proses kebijakan.
Berdasarkan pemikiran Easton bahwa dalam sebuah skema sistem, lingkungan
(domestik maupun internasional) mempengaruhi input (tuntutan dan dukungan)
36
Agus Sudibyo, Op. Cit., hlm. 14 – 16.
Dwiyanto Indiahono, Kebijakan publik: Berbasis Dynamic Policy Analysis (Yogyakarta:
Penerbit Gava Media, 2009), hlm. 22-27.
Termasuk dalam deretan akademisi yang menyinggung soal kolaborasi model Ripley-Easton ini,
diantaranya: John P.Stewart, “Public Policy and the Budget Process”, dalam
<https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CDA
QFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.personal.psu.edu%2Fjps11%2FL13POLCY.doc&ei=1xxuU
ZTwNYK4rAeMmYFw&usg=AFQjCNHOa5eIOjo7MH98r_CDZnWfRYtuzw&sig2=4rsnwxfXp
cBwIPnaSe1vWA&bvm=bv.45368065,d.bmk>, diakses 30 Maret 2013, 13:20 WIB
Augustine Ansah Akrofi, “Using the Policy Cycle as a Format Describe the Policy Process in your
Country
or
Institution”,
dalam
<http://www.academia.edu/1207664/Using_the_Policy_Cycle_as_a_Format_Describe_the_Policy
_Process_in_your_Country_or_Institution>, diakses 30 Maret 2013, 13:20 WIB
37
22
dimana input atau masukan tersebut kemudian dibahas didalam sistem politik
sehingga menghasilkan output (keputusan atau kebijakan) sebagai hasil akhirnya.
Selanjutnya output tersebut kembali menjadi umpan balik bagi lingkungan.
Secara sederhana, model sistem mungkin dapat mewakili apa yang terjadi
terkait proses yang berlangsung didalam sistem namun belum cukup menjelaskan
tentang kejadian didalam term ketiga (sistem politik) secara mendasar, padahal
apabila yang ingin dianalisa adalah proses pembuatan kebijakan maka term ketiga
tersebut adalah fokus dan lokus yang dibicarakan.
Dengan alasan itulah maka model formulasi kebijakan dari Ripley
dikolaborasikan dengan model sistem dari David Easton semata-mata untuk
menghasilkan analisis yang lebih dalam tentang proses perjalanan kebijakan.
Tahapan kebijakan menurut Ripley sendiri adalah sebagai berikut38:
a. Proses formulasi kebijakan:
•
Agenda Setting: persepsi masalah publik, pendefinisian masalah,
mobilisasi dukungan untuk masuknya isu/masalah publik menjadi
agenda pemerintah.
•
Formulasi dan legitimasi: tujuan dan program, informasi dan analisis,
pembangumam
alternatif,
advokasi
dan
pembangunan
koalisi,
kompromi; negosiasi; keputusan.
b. Tindakan kebijakan
c. Kinerja dan dampak kebijakan
Tersebab kebijakan konvergensi masih berada dalam tahap formulasi
kebijakan maka tahap agenda setting dan formulasi/legitimasi yang akan dibahas
terkait tahapan yang dikonsepkan oleh Ripley. Tindakan tersebut (penelitian
proses pembuatan kebijakan) legal adanya sesuai dengan yang disebutkan Laswell
bahwa analisa kebijakan sesungguhnya mencakup: metode penelitian proses
kebijakan, hasil dari studi kebijakan, dan hasil temuan penelitian yang
memberikan kontribusi paling penting untuk memenuhi kebutuhan intelegensi di
era sekarang. Dengan kata lain, titik berat analisa kebijakan terbagi pada usaha
menjelaskan proses pembuatan kebijakan, proses pelaksanaan kebijakan, serta
38
Randall B. Ripley, Policy Analysis in Political Science (Chicago: Nelson Hall Publisher, 1985),
hlm. 49.
23
usaha untuk menemukan data dan menyediakan interpretasi yang relevan dengan
persoalan kebijakan pada periode tertentu39. Dengan melekatkan kerangka
konseptual antara Easton dan Ripley maka didapat model formulasi kebijakan
publik sebagai berikut40:
Tabel 1.1 Model Formulasi Kebijakan Publik
Aspek
Lingkungan Kebijakan
Agenda Setting
Ruang Lingkup
Setting permasalahan dari para aktor
dan aktor yang dominan (struktur
kekuatan politik: birokrat, lembaga
legislatif dan kelompok kepentingan),
beberapa identifikasi pertanyaan yang
mungkin:
Bagaimana struktur politik saat
kebijakan diambil, kekuatan politik
mana yang paling dominan, seberapa
besar kekuatan
oposisi,
adakah
kelompok oposisi non parlemen seperti
LSM dan NGO, seberapa kuat tekanan
NGO dan atau lembaga lain dari
lingkungan internasional
• Sikap aktor dan persepsi aktor
terhadap masalah publik
Bagaimana sikap dan persepsi masingmasing aktor tentang isu tertentu,
berikut dinamikanya: respon awal,
sikap in process dan pendirian akhir
• Pendefinisian dan batasan masalah
oleh para aktor
Bagaimana aktor mendefinisikan isuisu tertentu dalam suatu kebijakan dan
bagaimana
mereka
memberikan
batasan masalah (misal: tentang
sesuatu yang perlu diatur atau tidak)
• Mobilisasi dukungan terhadap isu
tertentu
Bagaimana mobilisasi dukungan yang
ditempuh
masing-masing
aktor,
bagaimana model mobilisasi paling
dominan yang dipakai untuk mencapai
tujuan
39
Wayne Parsons, Public Policy: Pengantar teori dan praktik analisis kebijakan (Terjemahan Tri
Wibowo Budi Santoso) (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 19-20.
40
Dwiyanto Indiahono, Op. Cit., hlm. 27-28.
24
Formulasi dan Legitimasi
• Tujuan dan program
Bagaimana tujuan dan desain masingmasing aktor sebagai solusi bagi
masalah publik tertentu
• Pengumpulan informasi, analisis dan
penyebaran
Bagaimana cara aktor mengumpulkan
informasi kebijakan, seberapa lengkap
informasi yang diperoleh para aktor,
bagaimana
mereka
menganalisis
informasi tersebut, bagaimana mereka
menyebarkan informasi yang sudah
diolah.
• Pembangunan alternatif kebijakan
sebagai solusi
Bagaimana cara membangun alternatif
kebijakan, berapa alternatif yang
dikembangkan,
perbedaan
dan
kesamaan alternatif antar aktor
• Advokasi dan pembangunan koalisi
Bagaimana pembuatan jejaring oleh
para
aktor
untuk
memuluskan
penerimaan
terhadap
alternatif
kebijakan yang diusulkannya
• Kompromi, negosiasi dan keputusan
Cara apa yang paling menonjol selama
masa pengambilan keputusan. Hal ini
memungkinkan untuk mengetahui deal
politik tertentu dalam sebuah proses
perumusan.
Model formulasi kebijakan ini termasuk cukup mendetail sebagai upaya
menganalisa sebuah proses kebijakan. Tersebab dalam upaya memahami,
menganalisis, dan memprediksi perjalanan kebijakan konvergensi tidak akan
terlepas dari eksistensi para aktor kebijakan maka model formulasi kebijakan
publik ini akan diberlakukan untuk menjelaskan posisi kebijakan pada setiap
masing-masing periode yang telah dan sedang dilewati oleh kebijakan
konvergensi yaitu mulai dari tahun 2010 sampai tahun 2013. Tentu akan banyak
dinamika kebijakan sepanjang tahun tersebut yang dipelopori oleh dinamika aktor.
Paradigma sistem yang sebelumnya sangat kuat dalam pemikiran Estonian
dikolaborasi dengan sikap dan preferensi aktor-aktor di dalam sistem tersebut
terkait tahapan formulasi kebijakan. Model teori sistem ini sesungguhnya
25
merupakan bagian pendekatan politik untuk studi kebijakan. Ada pula model
serupa yang diawali oleh Grindle dan Thomas khusus untuk melihat aktivitas
kebijakan di negara berkembang dengan dua perspektif utama yang dipakai yaitu
perspektif yang berpusat pada masyarakat dan perspektif yang berpusat pada
negara41.
Kebijakan konvergensi yang berasal dari inisiatif pemerintah lebih
cenderung merefleksikan model yang berpusat pada negara khususnya melalui
pendekatan politik-birokratik. Alasannya, para aktor pembuat keputusan menjadi
fokus dalam pendekatan ini khususnya aktor yang berasal dari entitas birokrasi
dan politik yang saling menawarkan solusi untuk memecahkan problem isu
sehingga terurai menjadi kebijakan. Pendekatan ini sangat membantu untuk
mengetahui konflik ataupun bargaining antar lembaga kekuasaan.
G. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian explanatory42. Namun eksplanasi
dalam penelitian ini bersifat penafsiran bukan sekedar penamaan atau
pendefinisian melainkan pengidentifikasian regularitas di antara variabel43.
Karena itu, penelitian ini termasuk dalam metode kualitatif. Pernyataan tentang
metode kualitatif diungkapkan Moleong bahwa :
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
41
Solahuddin Kusumanegara, Op.Cit., hlm. 35-43.
Pada intinya perspektif yang bepusat pada masyarakat memiliki tiga pendekatan: analisis kelas
(sumber dan perubahan kebijakan berlokasi pada hubungan kekuasaan dan dominasi diantara kelas
sosial), pendekatan pluralis ((kebijakan adalah hasil dari konflik, bargaining dan formasi koalisi
dari organisasi/kelompok yang ada dalam masyarakat), pendekatan pilihan publik (kelompok
kepentingan yang semula berasal dari individu yang terorganisir akhirnya mengejar kepentingan
tertentu hingga terindikasi negara tidak mampu menekan kelompok lobi tersebut). Sedangkan
perspektif yang berpusat pada negara terdiri dari: model aktor rasional (merupakan modifikasi
teori pilihan rasional dimana para pembuat kebijakan adalah aktor rasional yang mengumpulkan
informasi, menilai alternatif dan memilih keputusan yang paling sesuai dengan kondisi tempat
kebijakan dibuat), pendekatan politik-birokratik, pendekatan kepentingan negara (negara adalah
aktor yang sangat berkuasa dimana kekuasaan tersebut diwakili oleh lembaga pemerintah sebagai
aktor mandiri yang mendefinisikan masalah publik dan mencari solusinya)
42
Ana Nadhya Abrar, Terampil Menulis Proposal Penelitian Komunikasi (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2005), hlm. 41.
43
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 31.
26
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah44
Artinya, peneliti adalah bagian integral dari data yang ikut aktif dalam
menentukan jenis data yang diinginkan. Dengan demikian peneliti menjadi
instrumen penelitian yang harus terjun langsung ke lapangan. Strategy of Inquiry
yang digunakan adalah studi kasus dimana peneliti berusaha mengeksplorasi
kedalaman sebuah program, peristiwa, aktivitas ataupun proses. Sesuai dengan
pernyataan Stake bahwa, kasus tersebut hendaknya dibatasi dalam periode waktu
dan aktivitas tertentu sehingga peneliti mengumpulkan informasi dengan
menggunakan berbagai cara pengumpulan data dalam sebuah periode yang sudah
ditentukan45. Dalam penelitian ini, konteks khusus yang akan dieksplorasi adalah
proses formulasi kebijakan konvergensi dalam periode waktu 2010-2013 dengan
mengumpulkan informasi dari para aktor kebijakan yang telah ditentukan.
Penelitian ini pun berkarakter unik sebab berusaha mendalami satu proses dimana
regulasi telekomunikasi yang sifatnya urgen nyatanya belum bisa disusun secara
efektif meskipun telah melibatkan jangka waktu yang lama.
Aturan peneliti kualitatif sebagai instrumen penelitian terlibat memberikan
kebebasan kepada peneliti untuk membawa nilai-nilai personal berupa interpretasi
data setelah informasi digali dari berbagai sumber. Penelitian diadakan dalam
konteks dan setting natural yang biasa digunakan oleh narasumber sehingga tidak
ada realitas tunggal sebab realitas dipandang sebagai sesuatu yang dinamis dan
produk konstruksi sosial.
Sebagai teknik pemeriksaan keabsahan data, peneliti menggunakan
triangulasi dengan sumber dimana pembandingan dan pengecekan balik derajat
kepercayaan suatu informasi dilakukan antara lain dengan cara: membandingkan
apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara
pribadi, membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan pendapat dan
pandangan orang lain, membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen
yang berkaitan46.
44
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi) (Bandung: Penerbit PT Remaja
Rosdakarya, 2006), hlm. 6.
45
John. W. Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches
(Thousand Oaks, CA: SAGE Publications Inc, 2009), hlm. 13.
46
Lexy J. Moleong, Op. Cit., hlm. 178.
27
1. Teknik Pengumpulan Data
Melalui pertimbangan bahwa penelitian ini harus mampu memberikan data
yang dapat membantu peneliti menjelaskan dan menganalisis proses kebijakan
konvergensi maka beberapa teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah:
•
Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam dengan teknik semi terstruktur dipilih peneliti dalam
upaya mengumpulkan data dan informasi dari objek wawancara yang telah
ditetapkan. Wawancara ini bersifat terbuka sehingga memungkinkan
partisipan menjawab isu-isu penting yang tidak terjadwal47. Beberapa alat
bantu dimungkinkan untuk digunakan selama berlangsungnya wawancara
langsung seperti tape recorder. Tidak menutup kemungkinan pula bahwa
wawancara dilakukan secara online mengingat perkembangan teknologi dan
kemungkinan keterbatasan ruang dan waktu antara peneliti dan partisipan.
Partisipan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:
a) Gunawan Hutagalung, Kepala Seksi Penerapan Teknologi Direktorat
Telekomunikasi, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan
Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia
b) Firdaus Cahyadi, Ketua Knowledge Department Yayasan SatuDunia
(OneWorld) Indonesia
c) Tantowi Yahya, Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Golkar
d) Rapin Mudiardjo, Head of Policy Study and Advocacy ICT Watch
•
Penelusuran Dokumen
Penelusuran dokumen dalam penelitian ini lebih berupa dokumen publik
seperti notulensi rapat dan berita di media. Peneliti akan berupaya
mengumpulkan bukti-bukti fisik berupa dokumen baik secara langsung
maupun tidak langsung. Tidak langsung berarti dengan mengunduh dokumen
dari pihak ketiga termasuk media online.
47
Norman. K. Denzin, The Research Act in Sociology (London: Butterworth, 1970), hlm. 125.
28
2. Teknik Analisis Data
Penelitian kualitatif menggunakan logika khusus ke umum. Huberman dan
Miles dikutip oleh Burhan Bungin, melukiskan siklusnya dalam gambar di bawah
ini:
Gambar 1.1 Teknis Analisis Data
DATA
COLLECTION
DATA
DISPLAY
DATA
REDUCTION
CONCLUSION
DRAWING&
VERIFIYING
(Sumber: Burhan Bungin, 2007:69)
Siklus Huberman dan Miles menggambarkan bahwa hasil pengumpulan
data (data colection) yang dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara dan
dokumentasi
memerlukan
reduksi
data
(data
reduction)
dimana
hasil
pengumpulan data dipilah dan dimasukkan ke dalam satuan konsep, kategori atau
tema tertentu dibawah cakupan bahasan perjalanan formulasi kebijakan
konvergensi di Indonesia tahun 2010 - 2013. Hasil reduksi data kemudian
diorganisasikan ke dalam suatu bentuk tertentu (display data) sebagaimana dapat
dilihat dalam bagian konteks penelitian, bab 2 dan bab 3 sehingga penyajian data
dapat memudahkan upaya pemaparan (bab hasil penelitian) dan penegasan
kesimpulan (conclution drawing and verification) pada bagian akhir penulisan.
Adapun mengenai pengujian keabsahan data Moleong mengatakan bahwa
“Pengujian keabsahan data didasarkan atas kriteria derajat kepercayaan
(kredibilitas), keteralihan, ketergantungan, dan kepastian”48. Dengan demikian
data yang diperoleh harus dapat dipercaya dan diterapkan pada semua konteks
dalam populasi yang diteliti.
48
Lexy J. Moleong, Op.Cit, hlm. 88.
29
H. Limitasi Penelitian
Penelitian ini menjelaskan perjalanan kebijakan konvergensi di Indonesia.
Namun, terdapat beberapa limitasi penelitian yang perlu dijelaskan sehingga
pemahaman tidak melebar dan keluar dari konteks permasalahan. Pertama,
penelitian ini khusus meneliti perjalanan kebijakan konvergensi selama tahun
2010 sampai dengan 2013. Artinya, meskipun terdapat beberapa perkembangan di
luar jangka waktu tahun tersebut adalah tidak termasuk cakupan penelitian.
Kedua, penelitian ini tidak terfokus pada konten Rancangan UndangUndang (RUU) konvergensi melainkan proses (perkembangan, stagnasi, ataupun
kemunduran) perjalanan kebijakan konvergensi. Bahasan mengenai konten tentu
ikut dibahas namun hanya sebagai penambah penjelasan atau detail untuk
mendukung penceritaan tentang proses kebijakan konvergensi. Ketiga, penelitian
ini dilaksanakan dalam lingkungan dan objek penelitian yang telah ditentukan.
Artinya, dinamika objek penelitian diluar limitasi penelitian ini tidak menjadi
fokus peneliti.
I. Jadwal Penelitian
Penulisan Proposal
Maret – Juni 2013
Pengumpulan Data
Juni – Oktober 2013
Pengolahan Data
Juni – November 2013
Penulisan Tesis
November – Desember 2014
J . Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
BAB I
: Pendahuluan
Bab
ini
berisikan
penjelasan
mengenai
latar
belakang
permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, pendekatan penelitian, kerangka pemikiran (aktor
kebijakan, kebijakan konvergensi, proses formulasi kebijakan),
metodologi penelitian (teknik pengumpulan data, teknik analisis
data), limitasi penelitian, jadwal penelitian dan sistematika
penelitian.
30
BAB II
: Direktorat Telekomunikasi Kementerian Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia
Bab ini menguraikan tentang tugas dan wewenang Direktorat
Telekomunikasi Kemenkominfo dan pembentukan Study Group
Regulasi Telekomunikasi
BAB III
: Organisasi Masyarakat Sipil
Bab ini membahas tentang pemeran serta tidak resmi diluar
inisiator kebijakan konvergensi. Pemeran serta tidak resmi tersebut
adalah Organisasi Masyarakat Sipil yang dikhususkan pada
Yayasan Satu Dunia.
BAB IV
: Hasil Penelitian
Bab ini akan menceritakan tentang temuan penelitian yang
dianalisis dengan memakai model formulasi kebijakan publik
persandingan Easton dan Ripley yang terdiri dari lingkungan
kebijakan, agenda setting serta formulasi dan legitimasi. Tersebab
proses perumusan kebijakan konvergensi berkaitan erat dengan
tindakan para aktor kebijakan, baik pemeran serta resmi maupun
pemeran serta tidak resmi dan dikarenakan penulisan tesis ini
termasuk kedalam kajian ilmu komunikasi maka titik berat analisis
adalah mengenai hubungan antar aktor tersebut dalam proses
perumusan kebijakan.
BAB V
: Penutup
Bab ini berisikan kesimpulan yang diekstraksi dari temuan-temuan
penelitian yang telah dianalisis dengan model formulasi kebijakan
publik saran sebagai masukan penelitian yang diharapkan dapat
berguna untuk kepentingan akademis maupun kebutuhan praktis.
Sebagai pelengkap dari sebuah hasil penelitian, maka pada bagian
akhir disertakan lampiran dan daftar pustaka untuk memudahkan
melacak data referensi yang digunakan dalam penulisan.
31
Download