PRINSIP DAN STRATEGI PEMBANGUNAN SOSIAL DAN POLITIK DALAM PRESPEKTIF MASYARAKAT MADANI Oleh Drs. Bambang Santoso Haryono, MS Secara etimologis “Madani” berasal dari kata madina, tidak hanya berarti Kota atau Negara Kota, tetapi juga peradaban (tamaddun). Sebuah kota atau negara kota di masa lalu memang menggambarkan suatu wujud keterikatan kolektif, kota adalah sebuah bangunan kolektivitas yang terwujud dari kesepakatan yang tertulis maupun tidak. Di kota orang berkumpul dan berkomunikasi. Dan komunikasi yang itens membutuhkan bahasa yang lebih kaya. Melalui bahasa, manusia berfikir. Karena itu maka kota juga merupakan pusat manusia yang berfikir lebih keras. Di situ berkembang simbol-simbol sebagai alat komunikasi. Berkembangnya simbol-simbol lebih memeprlancar komunikasi. Memang simbol timbul karena kebutuhan komunikasi. Dengan simbol manusia memecahkan masalah hubungan antar manusia. Makin rumit sifat hubungan manusia makin banyak penciptaan simbol. Makin banyak simbol makin luas sifat bahasa itu. Dari situlah lahir adab dan peradaban. Manusia penghuni kota disebut juga civilian, orang-orang yang beradab. Mereka adalah orang-orang yang hidup berdasarkan suatu standar moral tertentu, standar moral yang lebih tinggi atau lebih kompleks. Itulah sebabnya maka orang yang terkesan kurang beradab sering pula disebut sebagai “orang desa” atau “orang kampung”, sekalipun belum tentu orang kota itu lebih 1 beradab dari orang desa, bahkan sebaliknya, orang kota sering juga dipandang sebagai kurang beradab oleh orang desa. Peradaban adalah istilah Indonesia sebagai terjemahan dari civilization. Asal katanya adalah a-dlb yang artinya adalah “kehalusan” (refinement), pembawaan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun, tata-susila, kemanusiaan atau kesasteraan. Secara historis pembicaraan tentang peradaban tidak bisa lepas dari “peradaban yang sedang dibangun di Madinah”. Strategi pembinaan peradaban yang dilakukan Nabi Muhamamd SAW. Adalah : Landasan utamanya adalah kontrak sosial di antara warga negara dalam Konstitusi Madinah. Pengakuan dan ketaatan terhadap kontrak sosial itu akan membentuk kewarga-negaraan. Eksistensi sebuah negara-kota pada waktu itu ditentukan oleh kewarga-negaraan (civic). Langkah kedua yang dilakukan oleh Nabi SAW., adalah membangun masjid umum, masjid Quba yang kemudian disebut sebagai Masjid Nabi. Pembangunan masjid adalah simbol pembangunan akhlak dan pembangunan komunitas (jama’ah). Lewat masjid, Nabi SAW., tidak hanya mengajak manusia untuk berkomunikasi secara bersama dengan Tuhan, tetapi juga membina akhlak yang luhur. Akhlak itu merupakan fondasi dari hubungan harmonis antar manusia. Selanjutnya, Nabi SAW., membentuk hubungan persaudaraan, terutama antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin yang mewakili komunitas yang paling jauh berbeda. Dari sini berkembang rukun tetangga (neighbourhood). Pendekatan Alternatif Pembangunan Sosial. 2 Salah satu determinan (penentu) yang paling kritis dari keberhasilan mencapai tujuan pembangunan sosial terletak pada jenis pendekatan yang digunakan oleh suatu negara. Tentu saja terdapat rentangan alternatif pendekatan pembangunan sosial yang dapat dipilih oleh negara mana pun. Namun pendekatan pembangunan sosial apa pun tampaknya jatuh pada suatu titik di antara kedua kutub sepanjang suatu kontinum pendekatan. Di satu ujung kontinum terdapat pendekatan pembangunan “top-down” terhadap pembangunan sosial bangunan sosial yang berdasar pengelolaan sumber yang bertumpu pada komunitas.” Pembangunan sosial apa pun akan ditandai baik oleh salah satu, atau gabungan dari dua pendekatan tersebut (Korten, 1980; Korten 1986). 1. Pendekatan Pembangunan Sosial Atas-Bawah, Cetak Biru (Top_Down, Blueprint Approach to Sosial Development). Pendekatan ini elitis sifatnya, seperti mimiliki ciri “charity strategy”. Pendekatan ini berkaitan dengan konsep pembangunan sosial yang diinterpretasikan sebagai usaha terencana untuk memberikan pelayanan dan fasilitas sosial yang lebih baik kepada rakyat. Keputusan-keputusan tentang pelayanan dan fasilitas sosial yang diberikan, siapa yang memberi, kapan, di mana serta bagaimana diberikan, sepenuhnya merupakan kebijaksanaan birokrasi pemerintah. Kelompok sasarannya tidak mempunyai bentuk pasti karena mereka ditentukan secara terpusat tanpa mempertimbangkan kebutuhan subyektif mereka dan kemampuan mereka untuk memberikan respons. Rakyat diharapkan menerima secara pasif apa pun pelayanan sosial dan fasilitas sosial yang dipilih birokasi pemerintah untuk ditawarkan sesuai dengan kebijaksanaannya. Pelayanan dan fasilitas sosial yang ditawarkan cenderung sudah ditentukan dan seragam. Pendekatan ini berkaitan dengan meminjam pepatah 3 Honadle (1981),” memberi ikan kepada rakyat yang siap dimakan pada hari ini, dan bukan mengajari mereka memancing sehingga mereka bisa memakannya setiap hari.” Meskipun mekanisme menyalurkan pelayanan melalui pendekatan atas bawah (top-down) tersebut dapat efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan sosial dan fasilitas sosial kepada rakyat, namun terdapat beberapa kelamahan serius yang inheren dalam pendekatan ini: a. Pendekatan ini menghilangkan nilai kemanusiaan karena penerima manfaat itu jarang memiliki peranan apa pun kecuali sebagai pemanfaat pelayanan dan fasilitas sosial yang ditentukan secara sepihak oleh birokrasi pemerintahan. b. Pendekatan tersebut sering melemahkan kemampuan kreatif rakyat untuk tradisional telah mereka lakukan untuk diri mereka sendiri serta menggantinya dengan campur tangan pemerintah dan penyediaan sumber. Hal ini pasti menghilangkan keswaspadaan yang telah mereka miliki dan mengubah mereka menjadi tergantung sepenuhnya pada pemerintah. c. Kecenderungan pendekatan tersebut mengabaikan pembentukan kemampuan dan proses pembinaan institusi sehingga akan membahayakan kemampuan proyek untuk tumbuh dengan kekuatan sendiri. Proyek tersebut segera akan berakhir setelah campur tangan pemerintah dan bantuan pemerintah berakhir. d. Karena sumber pembangunan publik (pemerintah) selalu langka, maka tanpa partisipasi rakyat jangkauan pelayanan pemerintah akan sangat terbatas. Pendekatan yang mengabaikan potensialitas partisipasi dan kontribusi rakyat terhadap pemberian pelayanan sosial dan fasilitas sosial akan membatasi 4 kemampuannya untuk menjangkau mereka yang ada pada lapisan bawah dari piramida sosial. e. Kecenderungan pendekatan cetak-biru dan atas-bawah untuk merumuskan proyek yang bersifat stereotipe dan seragam di samping ketidak pekaan mereka terhadap variasi-variasi daerah, mengurangi adaptabilitasnya terhadap situasi daerah. Akibatnya, terdapat kecocokan yang sangat kecil antara kebutuhan subyektif dan aspirasi masyarakat yang telah ada, dan sifat pelayanan yang diberikan mengakibatkan pemanfaatan sumber yang kurang serta mengakibatkan pemborosan sumber (Korten, 1981, pp. 182-183). 2. Pendekatan Pengelolaan Sumber yang Bertumpu pada Masyarakat terhadap Pembangunan Sosial. Pendekatan pengelolaan sumber yang bertumpu pada masyarakat terhadap pembangunan sosial, menempati ujung yang lain dari kontinum tersebut. Pendekatan ini mencoba mengembangkan rasa keefektivan politis yang akan mengubah penerima pasif dan reaktif menjadi peserta aktif yang memberikan kontribusinya dalam proses pembangunan, warga yang aktif dan berkembang yang dapat turut serta dalam memilih isyu kemasyarakatan (Thomas, tanpa tahun). Kendatipun pendekatan pembangunan sosial ini memadai untuk meraih tujuan-tujuan sosial seperti dipaparkan dalam kategori kedua dan ketiga dari pengertian pembangunan sosial, namun juga dapat diterapkan pada kategori pertama pengertian pembangunan sosial seperti dibahas sebelumnya. Ciri pokok pendekatan ini ialah (Korten, 1986): 5 a. Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan rakyat dibuat di tingkat lokal, yang didalamnya rakyat memiliki identitas dan peranan yang dilakukan sebagai partisipan yang dihargai; b. Fokus utamanya adalah memperkuat kemampuan rakyat miskin dalam mengawasi dan mengarahkan aset-aset untuk memenuhi kebutuhan yang khas manurut daerah mereka sendiri. c. Pendekatan ini mempunyai toleransi terhadap perbedaan dan karenanya mengakui arti penting pilihan nilai individual dan pembuatan keputusan yang terdistribusi. d. Pendekatan ini mencapai tujuan pembangunan sosial melalui proses belajar sosial (social learning) yang dalam proses tersebut individu berinteraksi satu sama lain menembus batas-batas organisatoris, dan tuntutan oleh kesadaran kritis individual. e. Budaya kelembagaan ditandai adanya organisasi yang mengatur diri sendiri dan lebih terdistribusi, yeng menandai unit-unit lokal yang mengelola diri sendiri, yang berinteraksi satu sama lain guna memberikan umpan balik pelaksanaan yang cepat dan kaya kepada semua tingkat organisasi yang membantu tindakan koreksi diri. Dengan demikian keseimbangan yang lebih baik antara struktur vertikal dan horisontal dapat diwujudkan. f. Jaringan koalisi dan komunikasi pelaku (aktor) lokal dan unit-unit lokal yang mengelola diri sendiri, yang mencakup kelompok-kelompok penerima manfaat lokal, organisasi pelayanan daerah, pemerintah daerah, bank-bank pedesaan dan lain-lain akan menjadi basis tindakan-tindakan lokal yang diarahkan untuk memperkuat pengawasan lokal yang mempunyai dasar yang luas atas sumbersumber dan kemampuan lokal untuk mengelola sumber mereka. 6 3. Pendekatan Pembangunan Sosial dengan Melibatkan NGO (Non Governmental Organization). Pendekatan ini mempertimbangkan keterlibatan struktur pembangunan daerah nonpemerintah dalam proses mencapai tujuan pembangunan sosial. Dengan demikian pendekatan ini telah mengintegrasikan satu ciri penting pendekatan pengelolaan sumber bertumpu pada masyarakat dalam pembangunan sosial. Namun, prinsip timbal balik yang memadai pendekatan pengelolaan sumber yang bertumpu pada masyarakat itu terlambat oleh peranan pemerintah yang dominan. Ciri utama pendekatan ini ialah: a. NGO diberi kesempatan untuk melaksanakan rencana pembangunan sosial. Dalam proses pelaksanaan proyek tersebut, mereka mendorong rakyat untuk ikut serta dalam semua tahapan pelaksanaan, dari identifikasi masalah, perumusan dan pelaksanaan proyek juga pemeliharaan terus menerus proyek tersebut. b. Rakyat yang ada dalam komunitas tersebut menjadi penggerak utama pelaksanaan proyek. Dengan melibatkan rakyat di dalam setiap tahapan aksi pembangunan, mereka akan terlibat dan bertanggung jawab demi kelangsungan proyek tersebut. c. Di dalam pendekatan ini peranan pemerintah adalah: 1. Memperkanankan NGO melaksanakan proyek. 2. Menugasi NGO untuk bekerja di suatu proyek atau di kawasan yang belum dijangkau pemerintah. Sekali NGO itu diperkenankan, seterusnya dapat menjalankan proyek itu tanpa terlalu banyak campur tangan pemerintah. d. Kerja sama antara pemerintah dan NGO-NGO dapat dilembagakan dengan mengundang wakil-wakil NGO menjadi anggota badan provinsi atau subprovinsi. 7 Kebijakan dan Strategi Bidang Politik. Bertitik tolak dari pemikiran tentang masyarakat madani maka hubungan bidang politik harus mengarah pada pemciptaan masyarakat yang demokratis. Yang paling menarik dalam karya-karya mengenai demokratisasi akhir-akhir ini adalah bahwa mayoritas ilmuwan itu menghasilkan kesimpulan yang sama. Yaitu bahwa variabel yang paling penting dalam menjelaskan transisi ke demokrasi sejak 1970-an adalah perilaku elit. Linz dan Stepan mencoba menjelaskan kejatuhan dan kebangkitan kembali demokrasi tidak dengan menelaah variabel-variabel konflik kelas atau kendala ekonomi, tetapi dengan mencurahkan perhatian pada perilaku elit atau kepemimpinan mereka. Walaupun keudanya tidak mengatakan bahwa kendala struktural tidak penting. Mereka yakin bahwa kalau terdapat lingkungan struktural yang sangat tidak menguntungkan bagi demokratisasi, seringkali itu terjadi sebagian karena ketidakmampuan para politisi untuk menghasilkan reformasi ekonomi dan inovasi pelembagaan yang diperlukan bagi tumbuhnya demokrasi. Para ilmuwan ini sangat menekankan pentingnya komitmen para pemimpin politik yang kuat terhadap demokrasi. Pemimpin yang setia pada demokrasi menolak penerapan kekerasan dan sarana yang ilegal dan tidak konstitusional untuk mengejar kekuasaan. Pemimpin demikian juga tidak mentolerir tindak anti-demokratis oleh partisipan lain. Penekanan pada variabel politik diatas memungkinkan analis untuk menelaah pengalaman demokratisasi dalam masyarakat yang tidak memiliki kualitas ekonomi, sosial dan kultural yang digambarkan dalam model Barat. Dalam keadaan tidak ada 8 kondisi itupun masih ada harapan untuk demokratisasi. Yang sangat krusial adalah “human action”, bukan variabel-variabel kondisional itu. Dengan kata lain, transisi menuju demokrasi adalah “a matter of political crafting”. Karena itu persoalan strategi dan taktik menjadi sangat relevan. Strategi dan taktik apa yang dianggap tepat untuk menjalankan demokratisasi? Diamond, Linz, Lipset, O’Donnell, Schmitter dan beberapa ilmuwan lain yang menakankan variabel perilaku elit itu juga sepakat untuk mengikuti jalan yang dirintis oleh Dahl, yang yakin bahwa gradualisme, moderasi dan kompromi adalah kunci menuju keberhasilan transisi ke arah demokrasi. Ini dianggap tindakan politik yang bijaksana untuk mendemokratiskan kembali pemerintahan yang otoriter. Namun beberapa ilmuwan lain yang mengajukan argumen berbeda. Pengalaman berbagai masyarakat yang melakukan demokratisasi dalam lingkungan otoriterisme sejak akhir 1970-an menunjukkan bahwa umumnya transisi itu berlangsung dalam suasana mobilisasi dan ketidaksabaran. Bahkan tidak jarang disertai dengan tindak kekerasan. Untuk memahami ini Share mengajukan sebuah tipologi yang menarik. Ilmuwan ini menelaah pola-pola transisi menuju demokrasi berdasar dua kriteria, yaitu keterlibatan pemerintah yang sedang berkuasa dan jangka waktu. Dua pertanyaan yang diajukan adalah: (1) Apakah transisi itu dilakukan dengan partisipasi atau persetujuan para pemimpin rezim otoriter yang berkuasa, atau tidak?; dan (2) Apakah transisi itu berlangsung secara bertahap, melewati masa lebih dari satu generasi, atau berjalan cepat? Hasilnya adalah tipologi berikut. 9 TIPE-TIPE TRANSISI DARI OTORITERISME KE DEMOKRASI Demokratisasi Melibatkan Para Pemimpin Rezim? YA (Konsensual) Bertahap TIDAK (Non-Konsensual) Demokratisasi inkremental Transisi melalui perjuangan revolusioner berkepanjangan Transisi melalui transaksi Transisi melalui perpecahan: (a) revolusi (b) kudeta (c) keruntuhan (d) “extrication” Kecapatan Cepat Sumber: Donald Share, “Transition to Democracy and Transition Through Transaction”, Comparative Political Studies, vol.19, No.4 (January 1987), h.530. Secara logika, hanya transisi melalui transaksi yang menjadikan bentuk demokratisasi secara damai dan cepat. Hanya sayangnya, transisi melalui transaksi menuntut serangkaian syarat khusus yang meungkin sulit dipenuhi di sebagian besar rezim otoriter masakini. Barangkali yang paling sulit adalah prasyarat adanya kehendak rezim otoriter untuk mengambil inisiatif ke arah transisi menuju demokrasi. Banyak pihak penyangsikan ini. Kalau perubahan itu hanya akan menimbulkan resiko yang merugikan dirinya sendiri, apa yang menarik bagi pemimpin rezim otoriter untuk mengambil inisiatif itu. Karenanya, akan lebih tepat kita mengajukan strategi demokratisasi lewat penguatan (empowerment) terhadap civil-society. Lewat strategi gradual transformatif demikian, kata Havel, rakyat sebagai warga negara mampu “belajar tentang aturan-aturan main lewat dialog demokratis dan penciptaan 10 bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni.” Gerakan penguatan civil society sama sekali bukan diarahkan sebagai strategi destruktif total bagai tatanan yang ada. Ia adalah, “gerakan untuk merekontruksi ikatansolidaritas dalam masyarakat yang telah hancur” akibat kekuasaan yang monolitik. Secara normatif-politis, inti strategi ini adalah upaya “memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat sebagai warga negara memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas apa yang mereka lakukan atas nama bangsa.” Proses penguatan civil society, jadinya, adalah sebuah upaya multivalen. Ia bisa terwujud dalam penyebaran ide-ide demokratis dan bisa pula dalam bentuk kiprah menciptakan dan mempertahankan lembaga-lembaga otonom dalam masyarakat dan negara. Ia mengambil sumber inspirasinya baik dari dunia penghayatan (lifeword) tradisional maupun dari nilai-nilai modern hasil dari “proyek Pencerahan”, sambil tetap kritis atas distorsi-distorsi mereka. Tak heran apabila di negara-negara Eropa Timur dan Tengah, penguatan menampilkan dirinya dalam spektrum yang luas: serikat kerja otonom, asosiasi profesi independen, lembaga-lembaga keagamaan mandiri, gerakan-gerakan lingkungan dan anti kekerasan serta feminis, serta berbagai bentuk gerakan masyarakat yang pada intinya ingin menyelamatkan kemandirian individu dan sosial dari cengkeraman negara totaliter. Sebagai sebuah proses, tentulah perjuangan demokrasi lewat penguatan ini tidak berpretensi menawarkan jawaban paripurna. Sukses menumbangkan rezim totaliter dan membangun sistem politik demokratik di beberapa negara, misalnya, bisa saja dinodai oleh godaan partikularisme, rasialisme dan sektarianisme di negara lain seperti kita saksikan di Bosnia, Serbia, Jerman, dan negara-negara bagian mantan Soviet. Bahkan 11 kita saksikan sekarang pun negara-negara seperti Ceko dan Polandia masih belum stabil secara sosial dan ekonomi di bawah rezim demokratis. Kesadaran bahwa transformasi ke arah masyarakat demokratis adalah proses terbuka dan berkesinambungan inilah justru yang membedakan strategi ini dari strategi revolusioner ala Marxis dan strategi teknokratis kaum modernis. Kedua strategi belakangan dilandasi oleh pandangan yang kurang menghargai kemampuan manusia sebagai individu untuk melakukan transformasi lewat kemampuan sendiri. Dalam visi Marxian, individu ditundukkan oleh hubungan dan kekuatan produksi yang dominan dalam masyarakat, sementara kaum modernis cenderung menyerahkan pemecahan sosial, ekonomi, dan politik lewat rekayasa teknokratik. Keduanya bersikap elitis dan tertutup, berlawanan dengan sifat alami proses kemasyarakatan yang menuntut keterbukaan, walau bukan berarti tanpa tujuan. Keyakinan atas kemandirian dan kemampuan individu inilah yang mendasari kiprah manusia yang oleh Hannah Arendt disebut vita activa. Hanya ketika manusia mampu mandiri saja, menurut Arendt (1958), demokrasi bisa jalan karena pada saat itu pula mereka menjadi warga negara (citizens) yang sebenarnya. Manusia mendiri adalah mereka yang tidak lagi terhimpit pada dunia tuntutan dasar (the realm of necessity) dan pada saat yang sama mampu berperan serta dalam proses wacana dalam ruang publik yang bebas. Pandangan Arendt itulah yang antara lain menjadi dasar normatif pendekatan civil society. Karenanya, tiga prasyarat di atas, yaitu otonomi, kebebasan dari tuntutan dasar dan kemampuan berwacana dalam ruang publik, merupakan landasan bagi bangunan masyarakat demokratis dan komponen itulah yang ingin diraih lewat penguatan civil 12 society. Dari asas itu pula kita bisa mencari berbagai strategi perjuangan yang pas dan pengejawantahannya dalam realitas sosial yang ada. Perjuangan meraih otonomi bisa dilakukan lewat setiap kiprah yang bertujuan pembebasan dari kungkungan sistem politik-ekonomi dan higemoni budaya yang ujungnya melenyapkan kapasitas inspiratif, kreatif, dan partisipatoris individu maupun kelompok. Upaya-upaya membentuk serikat buruh yang mandiri, aksi-aksi penyadaran dan pembelaan hak-hak dasar oleh LSM, perbaikan aturan main dalam politik untuk meningkatkan partisipasi warga negara dan kontrol terhadap lembaga-lembaga negara, pembelaan atas kaum tertindas dan minoritas, dst. Merupakan berbagai agenda yang tercakup di dalamnya. Pembebasan manusia dari himpitan keperluan (ekonomi) dasar menyiratkan sebuah tuntutan bagi perluasan dan penyeimbangan distribusi sumber daya ekonomi dan hasil-hasil pembangunan, pengentasan kemiskinan, dan kritik atas wacana dan praktek ekonomi kapitalis yang secara nyata maupun tersembunyi dipraktekkan. Upaya untuk mengurangi dan mengeliminir oligopoli, monopoli, dan kolusi antara penguasa dan pengusaha yang menjadi patologi sistem ekonomi kita, menjadi agenda utama di sini. Kesemua kiprah tersebut memerlukan ruang publik yang semakin bebas dan luas. Ini menyiratkan bukan saja tuntutan bagi jaminan kebebasan berpendapat, tetapi juga kualitas tinggi wacana yang ada dalam publik itu sendiri. 13 DAFTAR PUSTAKA Sumber: Donald Share, “Transition to Democracy and Transition Through Transaction”, Comparative Political Studies, vol.19, No.4 (January 1987), h.530. Risalah Ensiklopedia Al-Qur’an : Madinah No.5 Vol IV Tahun 1993 Cernea, Michael M., “Social Structures for Sustained Development”, paper presented in Combined Expert Group Meeting on Social Development and Third Training Seminar on Local Social DevelopmentPlanning Held in Nagoya, 20-29 October 1986. Doh Joon Chie, “People Development”: The Missing Link in Development, (mimeograph, n.d). Korten, David C., “People-Contered Development: Reflections on Development Theory and Method”, Manila: mimeograph, 1983. 14