KEARIFAN LOKAL DALAM UPACARA KEAGAMAAN PADA MASYARAKAT DESA JOGOYASAN, KECAMATAN NGABLAK, KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2013 SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam Oleh: Ria Ristiana 11106103 JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) SALATIGA 2014 PERSEMBAHAN Kepada: Kedua orang tuatercinta, BapakH.AskuridanIbuKistimah yang selalumemberikando’adankasihsayangnyauntukkudalammenitikesuksesan. Suamikutercinta ” Mas Yudhi”, yang selaluadadalamsetiapsukadukaku. PutrikutercintaMeisyaAuliaPutri, kaulah motivator kecilku. Adikku Imam ArisJazuli, yang selalumembantuku. Keluargadarisuamiku, Bapak Budi Hananto, Mas Basit, danDikFitri yang selalumemberikandorongandanmotivasinyauntukku. KeluargabesarHarjoDimulyodanMuhrodi, terimakasihatassemuanya. Teman – teman di SDN Girirejo 3, yang selalumemberikandukungannya Takterlupateman – teman Program StudiPendidikan Agama Islam angkatan 2006. Teman – temanseperjuanganMuna, Mery, Titis, Sintadan yang lainnya, akhirnyaperjuangankitaberakhirdenganindah. Rental Rizqy yang membantukudalampenyelesaiantugasini. Karyainikupersembahkan. vi KATA PENGANTAR Denganmenyebutnama Allah Yang MahaPengasihLagiMahaPenyayang, segalapujibagi Allah semestaalam, ataslimpaharahmat, hidayah, taufiqdaninayahNya, sehinggapenulisdapatmenyelesaikanskripsiinidenganlancar. Shalawatsertasalamsemogaselalutercurahkanpadapanutanumat Islam Nabi Muhammad SAW, anakkerabatdanparasahabat yang telahmenunjukkanjalan yang benardenganperantara agama Islam. Penulisanskripsiinidimaksudkangunamemenuhikewajibansebagaisyaratunt ukmemperolehgelarsarjanadalamIlmuPendidikan Islam. Tersusunnyaskripsiinitidaklepasdaribantuansertabimbingandariberbagaipih ak, makadengansegalakerendahanhatipenulismenyampaikanterimakasihkepada : 1. Bapak Dr. RahmatHariyadi, M.Pd.,SelakuKetuaSekolahTinggi Agama Islam NegeriSalatiga. 2. Bapak Suwardi, M.Pd, Selaku Ketua Jurusan Tarbiyah 3. BapakRasimin, M.Pd., SelakuKetua Program StudiPendidikan Agama Islam 4. BapakYediEfriadi M. Ag selakudosenpembimbing yang denganpenuhkesabarantelahmeluangkanwaktunyauntukmemberikanpengarah andanbimbingandalampenulisanskripsiini. 5. Ibu Eva PalupiS.PsiselakudosenPembimbingAkademik 6. SegenapperangkatDesaJogoyasan yang telahmemberikanfasilitassertabantuankepadapenulissehinggaskripsiinidapatte rsusundanterselesaikan. vii Penulismenyadaridanmengakuibahwapenulisanskripsiinimasihjauhdarikesemp urnaan, semuaitudikarenakanketerbatasan, kemampuan, danpengetahuanpenulis.Sehinggamasihbanyakkekurangan yang perluuntukdiperbaikidalamskripsiini. Akhirnyapenulisberharapdanberdo’asemogaskripsiinimemberikansumbanganp ositifbagipengembanganpendidikan, khususnyaPendidikan Agama Islam. Salatiga, 14 Juli 2014 Penulis Ria Ristiana viii ABSTRAK RiaRistiana. 2014. KearifanLokaldalamUpacaraKeagamaanpadaMasyarakatDesaJogoyasan, KecamatanNgablak, KabupatenMagelang.Skripsi, JurusanTarbiyah Program StudiPendidikan Agama Islam. SekolahTinggi Agama Islam NegeriSalatiga. Pembimbing :YediEfriadi M. Ag. Kata Kunci : Kearifan, Lokal, Upacara, Keagamaan. Penelitianinimerupakanpenelitianlapangan yang dilaksanakan di DesaJogoyasan, KecamatanNgablak, KabupatenMagelang.Pertanyaanutama yang ingindijawabdaripenelitianiniadalah( 1 ) apasajaupacarakeagamaanpadamasyarakatDesaJogoyasan, KecamatanNgablak, KabupatenMagelang?( 2 ) Apa sajakahkearifanlokal yang terkandungdalamupacarakeagamaanpadamasyarakatDesaJogoyasan, KecamatanNgablak, KabupatenMagelang? . Untukmenjawabpertanyaantersebutmakapenelitianinimenggunakanpendek atankualitatifdenganrancanganstudi yang sumberdatanyaberasaldarimanusia( human instrument). Metodepengumpulan data yang dipakaiolehpenelitiadalahmetode interview.Sedangkanteknikanalisis data penelitimenggunakanmetodereduksi data, pengkajian data, kesimpulandanverifikasi. TemuanpenelitianinimengetahuibahwamasyarakatDesaJogoyasan, KecamatanNgablak, KabupatenMagelangmemilikipemahaman yang baikterhadaptradisikeagamaan, terbuktidaribeberapajawabanresponden, hampirseluruhnyamemilikijawaban yang sama. Serta mengetahuibahwatradisisaparan, upacarapertanian, kelahiran, dankematianmemilikimuatanreligius yang kentaldanalami yang masihhidupsampaisekarang.Semuaitumerupakaninventarisasisalahsatukebudayaan Jawa yang perludilestarikan. ix lDAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………… i PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………….... ii PENGESAHAN KELULUSAN ……………………………… iii …………………….... iv ……………………………………………………… v ……………………………………………… vi ……………………………………… vii ……………………………………………………… ix DAFTAR ISI ……………………………………………………… x BAB I : PENDAHULUAN ……………………………… 1 A. LATAR BELAKANG ……………………… 1 B. RUMUSAN MASALAH ……………… 3 C. TUJUAN PENELITIAN ……………… 3 D. KEGUNAAN PENELITIAN ……………… 3 ……………… 4 ….................... 4 ………. 4 ……………… 5 ……… 5 2. KehadiranPeneliti .................................... 6 3. LokasiPenelitian .................................... 6 PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN MOTTO PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR ABSTRAK E. PENEGASAN ISTILAH 1. PengertianKearifanLokal 2. PengertianUpacaraKeagamaan F. METODE PENELITIAN 1. Pendekatan Dan JenisPenelitian x …………………….... 4. Sumber Data 5. ProsedurPengumpulan Data ……… 7 6. Analisis Data a. Reduksi Data 7 .................................... 8 .................................... 8 ……………… 8 b. Pengkajian Data c. Kesimpulan Dan Verifikasi ............ 8 7. PengecekanKeabsahanTemuan ………. 9 ........................ 9 .................................... 9 a. DerajatKepercayaan b. Keteralihan ……………… 10 .................................... 10 c. Kebergantungan d. Kepastian 8. Tahap – TahapPenelitian ……………… 10 G. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI ……. 11 ……………………… 13 A. PENGERTIAN KEARIFAN LOKAL ……… 13 B. ISLAM DALAM BUDAYA LOKAL ............ 20 BAB II : KAJIAN PUSTAKA C. AKULTURASI ISLAM KE DALAM ADAT JAWA 24 1. SejarahTradisiUpacaraPertanian ……… 24 2. SejarahTradisiUpacaraKelahiran ……… 25 3. SejarahTradisiUpacaraKematian ……… 25 ........................ 32 ……… 32 ……………… 32 4. PelakuTradisiKeagamaan 5. TempatUpacaraKeagamaan 6. HikmahTradisiKeagamaan xi a. HikmahUpacaraPertanian ............ 33 b. HikmahUpacaraKelahiran............ 33 c. HikmahUpacaraKematian ………. 33 BAB III: PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN… 34 A. GAMBARAN UMUM DESA JOGOYASAN .... 34 ………………………… 34 ………………… 34 ………………………… 34 1. LetakGeografis 2. KondisiKeagamaan 3. KondisiSosial B. SEJARAH TRADISI PERTANIAN ………....35 C. UPACARA KELAHIRAN ( KEHAMILAN )……. 39 D. UPACARA KEMATIAN ………………………… 40 a. UpacaraNgesur Tanah ( Geblag ) ………… 40 b. UpacaraTigangDinten ( 3 Hari ) ………… 42 c. UpacaraPitungDinten ( 7 Hari ) ………… 42 d. UpacaraSekawanDasaDinten ( 40 Hari )……. 43 e. UpacaraNyatus ( 100 Hari ) ………………… 43 f. UpacaraMendhakSepisan ( TahunPertama )... 44 g. UpacaraMendhakPindho( TahunKedua ) …. 44 h. UpacaraMendhakKatelu ( Nyewu/ 1000 Hari ) 44 i. Khol …………………………………………. 45 j. Nyadran …………………………………. 45 E. SAPARAN …………………………………. 46 xii ………………………………… 50 A. MENDIDIK CINTA KEPADA TUHAN …………. 50 …. 51 C. KERUKUNAN BERMASYARAKAT …………. 51 …………………. 53 BAB IV: PEMBAHASAN B. MENDIDIK CINTA TERHADAP ALAM D. MELATIH RASA SYUKUR E. MENDIDIK SIKAP HORMAT ……………….. 53 ……………….. 55 BAB V : PENUTUP ……………………………………….. 56 ……………………………….. 56 ……………………………………….. 57 C. PENUTUP ……………………………….. 57 DAFTAR PUSTAKA ……………………………….. 58 F. MENDIDIK SIKAP OPTIMIS A. KESIMPULAN B. SARAN LAMPIRAN – LAMPIRAN xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kearifan lokal merupakan hasil – hasil pikiran yang muncul dan perilaku budaya yang menyangkut keagamaan (Hadikusuma, 1993: 25) di daerah setempat. Sementara itu agama sebagai hasil rancang bangun dari akumulasi konsep, pandangan, penafsiran, dan gagasan manusia melalui pedoman teks sucinya (Roibin, 2009: 191). Agama juga sebagai sistem nilai yang mana pada suatu saat akan mengalami proses akulturasi, kolaborasi, bahkan sinkretisasi terhadap kemajemukan budaya sebagai hasil tindakan manusia, atau kemajemukan budaya pada ranah pemikiran maupun sikap manusia. Bertitik tolak dari dasar di atas problem perbedaan pemahaman antar intern umat beragama terhadap eksistensi agama itu terjadi. Pada satu pihak, di antara mereka memiliki pemikiran untuk mengembalikan agama dari kontaminasi-kontaminasi budaya yang sangat akut, seraya menjaganya dari kemungkinan-kemungkinan bid’ah, khurafat, dan tahayul. Upacara keagamaan merupakan bentuk refleksi dari budaya agama, di mana upacara keagamaan ini berfungsi sebagai sarana untuk 1 mempertahankan atau memperkuat emosi keagamaan dan keyakinan atau kepercayaannya terhadap sesuatu yang ghaib (Hadikusuma, 1993: 25). Masyarakat Desa Jogoyasan mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan seluruhnya beragama Islam. Sehingga dalam kehidupannya saling berdampingan dan menunjukkan keharmonisan, tidak pernah ada masalah signifikan yang terjadi di dalamnya. Mereka saling menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan. Sebagai objek penelitian, peneliti memilih masyarakat Desa Jogoyasan dikarenakan pada masyarakat tersebut masih melakukan upacara – upacara keagamaan. Selain itu masyarakat pedesaan merupakan kelompok masyarakat yang masih mempercayai akan adanya kekuatan lain selain Allah SWT, yaitu kekuatan ghaib atau mistik. 2 B. Rumusan Masalah 1. Apa saja upacara keagamaan pada masyarakat Desa Jogoyasan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang? 2. Apa sajakah kearifan lokal yang terkandung dalam upacara keagamaan masyarakat Desa Jogoyasan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui upacara keagamaan apa saja yang dilaksanakan masyarakat Desa Jogoyasan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. 2. Untuk mengetahui kearifan lokal yang terkandung dalam upacara keagamaan masyarakat Desa Jogoyasan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. D. Kegunaan Penelitian 1. Bagi akademik, hasil penelitian ini berguna untuk melestarikan nilai nilai budaya yang terdapat di Indonesia. 2. Bagi masyarakat, sebagai sumbangan informasi bagi segenap masyarakat yang beragama Islam untuk tetap menjaga nilai Islam yang terdapat pada upacara keagamaan. 3 3. Bagi peneliti, sebagai bahan masukan untuk mengembangkan wawasan dan sikap ilmiah serta sebagai bahan dokumen untuk penelitian lebih lanjut. E. Penegasan Istilah 1. Pengertian Kearifan Lokal a. Kearifan Berasal dari kata arif yang artinya cerdik, pandai, bijaksana, kebijaksanaan akan segala hal (Poerwadarminto, 1984 : 57) b. Lokal Berarti setempat (Poerwadarminto, 1984 : 605) Kearifan lokal berarti kebijaksanaan akan segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kebudayaan pada suatu wilayah. 2. Pengertian Upacara Keagamaan ( Upacara pertanian, kelahiran, kematian ) a. Upacara Berarti hal melakukan sesuatu perbuatan yang tentu menurut adat kebiasan atau agama (Poerwadarminta, 1984: 1132) b. Keagamaan Berarti sifat-sifat yang terdapat dalam agama, segala sesuatu mengenai agama (Poerwadarminta, 1984 :19) 4 c. Pertanian Segala sesuatu yang bertalian dengan tanam menanam (Poerwadarminta, 1984: 1016) d. Kelahiran Segala sesuatu yang bertalian dengan perihal lahir (Poerwadarminta, 1984 : 551) e. Kematian Perihal mati (Poerwadarminta, 1984 : 639) Upacara keagamaan berarti suatu rangkaian kegiatan atau ritual yang dilaksanakan seseorang dalam menjalankankan kehidupan yang berhubungan dengan agama. F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Metode ini dipandang sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku ini dapat diamati terhadap fakta-fakta yang ada saat sekarang dan melaporkannya seperti apa yang terjadi. Data kualitatif hanya dapat digolongkan dalam wujud kategorikategori. Misalnya pernyataan orang tentang suatu keadaan bagus, mencekam, menarik, membosankan, istimewa, dan sebagainya. Pada hakikatnya manusia sebagai makhluk sosial , psikis, dan budaya yang mengaitkan makna dan interpretasi dalam bersikap dan bertingkah laku. 5 Makna interpretasi itu sendiri dipengarui oleh lingkungan pendidikan sekitar. 2. Kehadiran Peneliti Peneliti dalam hal ini bertindak sebagai instrumen penelitian, yaitu peneliti terjun langsung ke lapangan untuk proses penelitian dan pengumpulan data, adapun karakteristik dalam penelitian ini adalah : Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sistem wawancara tidak berstruktur, peneliti memungkinkan melakukan hal tersebut dengan latar belakang kebudayaan. Artinya peneliti memiliki pengetahuan dasar tentang upacara pertanian, upacara kelahiran, dan upacara kematian sehingga memungkinkan untuk mengembangkan pertanyaan untuk wawancara secara mendalam di lapangan. Peneliti mengadakan komunikasi dengan objek penelitian memakai bahasa Jawa, yang memungkinkan komunikasi lebih akrab dan mudah dipahami sehingga akan terjalin baik antara peneliti dan responden. Peneliti mencatat dan mengumpulkan data secara terperinci mengenai hal - hal yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. 3. Lokasi Penelitian Difokuskan pada Desa Jogoyasan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Karena masyarakat ini masih melaksanakan 6 berbagai kegiatan keagamaan yang menjadi ciri khas dari tempat tersebut. 4. Sumber Data Data dalam penelitian ini diperoleh melalui sumber data lapangan. Sumber data lapangan adalah Kepala Desa, Warga Desa sebagai pelaku budaya dan Ulama’ setempat. Sedangkan sumber sekunder yaitu dokumen-dokumen yang merupakan hasil laporan, hasil penelitian, serta buku-buku yang ditulis orang lain tentang pemahaman ajaran Islam terhadap tradisi saparan di Dusun Temu Kidul, Desa Jogoyasan,Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. 5. Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data dalam penilitian ini adalah wawancara mendalam untuk menggali informasi lebih dalam mengenai pikiran, serta perasaan responden, untuk mengetahui lebih jauh bagamana responden memandang dunia berdasarkan perspektifnya. Wawancara dilakukan dalam bentuk percakapan informal dengan menggunakan lembaran berisi garis besar tentang apa-apa yang ditanyakan, yaitu: a. Pemahaman terhadap kearifan lokal masyarakat. b. Pengalaman responden dalam upacara keagamaan c. Pendapat, pandangan, tanggapan, tafsiran, atau pikiran responden tentang upacara keagamaan 7 d. Latar belakang responden mengenai pendidikan, pekerjaan, daerah asal, keadaan sosial ekonomi, dan lain sebagainya. 6. Analisis Data a. Reduksi Data Data yang diperoleh di lapangan ditulis dalam bentuk uraian yang sangat lengkap dan banyak. Data tersebut direduksi, dirangkum, dipilih hal - hal pokok, difokuskan pada hal - hal yang penting dan berkaitan dengan masalah - masalah, sehingga memberi gambaran yang lebih tajam tentang hasil wawancara. Reduksi dapat membantu dalam memberikan kode kepada aspek - aspek yang dibutuhkan. b. Pengkajian Data Analisis ini dilakukan untuk mengkaji data - data yang telah tereduksi dengan kajian ilmu yang berkaitan dengan tema penelitian. Dalam hal ini peneliti menggunakan data- data ilmu pendidikan Islam, data - data wawancara yang diperoleh di lapangan tentang upacara keagamaan. c. Kesimpulan dan Verifikasi Data yang sudah dipolakan, difokuskan dan disususun secara sistematis baik melalui reduksi dan pengkajian data kemudian disimpulkan sehingga makna data bisa ditemukan. Namun kesimpulan itu masih bersifat sementara saja dan bersifat umum. Supaya kesimpulan diperoleh secara lebih mendalam, maka 8 diperlukan data yang baru sebagai penguji terhadap kesimpulan di awal tadi. 7. Pengecekan Keabsahan Temuan Teknik pemeriksaan data dalam penelitian ini dilaksanakan berdasarkan beberapa kriteria tertentu, yang dibagi menjadi 4 kriteria yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan keabsahan yaitu : a. Derajat Kepercayaan ( Credibility ) Kredibilitas ini merupakan konsep pengganti dari validitas internal dalam penelitian kuantitatif. Kriteria kredibilitas ini berfungsi untuk melakukan penelaahan data secara akurat agar tingkat kepercayaan penemuan dapat dicapai. Adapun teknik dalam menentukan kredibilitas ini adalah memperpanjang masa observasi, menggunakan bahan referensi serta member check. Dalam hal ini adalah informan lain yang memiliki keterkaitan dengan penelitian atau pelaku budaya di Desa Jogoyasan. b. Keteralihan ( Transferability ) Konsep ini merupakan pengganti dari validitas eksternal dalam penelitian kuantitatif. Validitas eksternal diperlukan dalam penelitian kuantitatif untuk memperoleh generalisasi. Dalam kualitatif generalisasi tidak dipastikan, ini bergantung pada pemakai, apakah akan dipastikan lagi atau tidak, karena tidak akan terjadi situasi yang sama. Transferability hanya melihat kemiripan sebagai kemungkinan terhadap situasi - situasi yang berbeda. Teknik yang 9 digunakan untuk transferabilitas ini dilakukan dengan uraian rinci (Thick description). c. Kebergantungan ( Dependendability ) Konsep ini merupakan pengganti dari konsep reabilitas dalam penelitian kuantitatif, reabilitas tercapai bila alat ukur yang digunakan secara berulang - ulang dan hasilnya sama. Teknik yang digunakan untuk mengukur kebergantungan adalah auditing, yaitu pemeriksaan data yang sudah dipolakan. d. Kepastian ( Confirmability ) 8. Tahap – Tahap Penelitian a. Kegiatan administratif yang meliputi pengajuan ijin operasional untuk penelitian dari ketua STAIN Salatiga kepada pihak kepala desa yaitu Bapak Ashari S.Ag, untuk menyusun pedoman wawancara dan administrasi lainnya. b. Kegiatan lapangan yang meliputi : 1). Survei awal untuk mengetahui gambaran lokasi 2). Memilih sejumlah warga dan pemangku adat sebagai informan yang dilanjutkan dengan responden penelitian. 3). Melakukan observasi lapangan dengan melakukan wawancara sejumlah responden maupun informan sebagai langkah pengumpulan data. 4). Menyaji data dengan susunan dan urutan yang memungkinkan memudahkan dalam pengkajian data. 10 5). Mereduksi data dengan cara membuang data- data yang lemah, menyimpang, setelah mulai tampak adanya kekurangan data sebagai akibat proses reduksi data. 6). Melakukan verifikasi untuk membuat kesimpulan- kesimpulan sebagai deskriptif temuan penelitian. 7). Menyusun laporan akhir untuk dijilid dan dilaporkan . Penelitian ini dilaksanakan dengan memakan waktu selama 90 hari. G. Sistematika Penulisan Skripsi Dalam memahami skripsi ini, maka perlu diketahui tata urutan penulisannya. Adapun tata urutannya sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Pendahuluan memuat: latar belakang nasalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, sistematika penulisan skripsi. BAB II : LANDASAN TEORI Landasan teori berisi tentang teori - teori yang berhubungan dengan variabel penelitian yaitu tradisi yang meliputi pengertian, tata cara, dan hal - hal yang berhubungan dengan tradisi keagamaan, pemahaman Islam yang meliputi pengertian dan faktor yang berhubungan. BAB III : PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN 11 Paparan data berisi tentang keseluruhan penemuan penelitian, sejarah, ritual, pelaku, waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan tradisi keagamaan diantaranya upacara pertanian, upacara kelahiran, upacara kematian dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian ini termasuk hasil pengamatan data - data terkait. BAB IV : PEMBAHASAN Pada bab ini akan menguraikan analisis tentang pandangan masyarakat, pemuka adat, terhadap pemahaman Islam dan tradisi. BAB V : PENUTUP Berisi kesimpulan hasil penelitian, saran, penutup. 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Kearifan Lokal Pengertian kearifan lokal (local wisdom) dalam kamus terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasangagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin Antropologi dikenal istilah local genius. Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Gobyah (2003), mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan 13 budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal. Menurut Caroline Nyamai-Kisia (2010), kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya. Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Perubahan adalah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Perubahan-perubahan yang terjadi bukan saja berhubungan dengan lingkungan fisik, tetapi juga dengan budaya manusia. Hubungan erat antara manusia dan lingkungan kehidupan fisiknya itulah yang melahirkan budaya manusia. Budaya lahir karena kemampuan manusia mensiasati lingkungan hidupnya agar tetap layak untuk ditinggali waktu demi waktu. Kebudayaan dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau kelompok orang yang selalu mengubah alam. Kebudayaan merupakan usaha manusia, perjuangan 14 setiap orang atau kelompok dalam menentukan hari depannya. Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan. Oleh sebab itu dituntut adanya kemampuan, kreativitas, dan penemuanpenemuan baru. Manusia tidak hanya membiarkan diri dalam kehidupan lama melainkan dituntut mencari jalan baru dalam mencapai kehidupan yang lebih manusiawi. Dasar dan arah yang dituju dalam perencanaan kebudayaan adalah manusia sendiri sehingga humanisasi menjadi kerangka dasar dalam strategi kebudayaan. Ciri-cirinya adalah: 1. Mampu bertahan terhadap budaya luar, 2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, 3. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, 4. Mempunyai kemampuan mengendalikan, 5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya. I Ketut Gobyah dalam “Berpijak pada Kearifan Lokal” dalam http://www. balipos.co.id, didownload 17/9/2003, mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilainilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan 15 hidup. Meski pun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam Iun, http://www.balipos.co.id mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Dalam penjelasan tentang „urf, Pikiran Rakyat terbitan 6 Maret 2003 menjelaskan bahwa tentang kearifan berarti ada yang memiliki kearifan (al- ‘addah al-ma’rifah), yang dilawankan dengan al-‘addah aljahiliyyah. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulangulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan. 16 Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily problem solving). Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayam pada budaya lokal (local culture). Budaya lokal (juga sering disebut budaya daerah) merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain. Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 pasal 1 mendefinisikan budaya daerah sebagai “suatu sistem nilai yang dianut oleh komunitas atau kelompok masyarakat tertentu di daerah, yang diyakini akan dapat memenuhi harapan-harapan warga masyarakatnya dan di dalamnya terdapat nilai-nilai, sikap tatacara masyarakat yang diyakini dapat memenuhi kehidupan warga masyarakatnya”. Di Indonesia istilah budaya lokal juga sering disepadankan dengan budaya etnik/ subetnik. Setiap bangsa, etnik, dan sub etnik memiliki kebudayaan yang mencakup tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem 17 pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian. Secara umum, kearifan lokal dianggap pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dengan pengertian-pengertian tersebut, kearifan lokal bukan sekedar nilai tradisi atau ciri lokalitas semata melainkan nilai tradisi yang mempunyai daya-guna untuk untuk mewujudkan harapan atau nilai-nilai kemapanan yang juga secara universal yang didamba-damba oleh manusia. Yang dimaksud dengan kearifan lokal adalah sesuatu yang berkaitan khusus dengan budaya tertentu dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu, serta memiliki nilai-nilai tradisi atau ciri lokalitas yang mempunyai daya-guna untuk mewujudkan harapan atau nilai-nilai kemapanan yang juga secara universal yang didamba-damba oleh manusia yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat. 18 Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Jenis-jenis kearifan lokal, antara lain; 1. Tata kelola, berkaitan dengan kemasyarakatan yang mengatur kelompok sosial (kades). 2. Nilai-nilai adat, tata nilai yang dikembangkan masyarakat tradisional yang mengatur etika. 3. Tata cara dan prosedur, bercocok tanam sesuai dengan waktunya untuk melestarikan alam. 4. Pemilihan tempat dan ruang. a. Kearifan lokal yang berwujud nyata, antara lain; 1. Tekstual, contohnya yang ada tertuang dalam kitab kono (primbon), kalinder. 2. Tangible, contohnya bangunan yang mencerminkan kearifan lokal. 3. Candi borobodur, batik. b. Kearifan lokal yang tidak berwujud; 1. Petuah yang secara verbal, berbentuk nyanyian seperti balamut. Fungsi kearifan lokal, yaitu: 1. Pelestarian alam,seperti bercocok tanam. 2. Pengembangan pengetahuan. 3. Mengembangkan SDM. 19 Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dan kalau budaya lokal itu merupakan suatu budaya yang dimiliki suatu masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain. Kearifan lokal apabila diterjemahkan secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka kita harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam wilayah tersebut. B. Islam Dalam Budaya Lokal Perkembangan Islam di penjuru Indonesia sangat erat korelasinya dengan budaya setempat. Misi penyebaran Islam dahulu kala sangat mempertimbangkan pola apresiasi, akomodasi, akulturasi, dengan budaya lokal masyarakat Indonesia. Maka wajar adanya jika wajah Islam Indonesia dalam batas dan ruang lingkup yang tidak fundamental, menjadi sangat beragam, seplural konteks kulturalnya. Bahkan secara historis kita dapat memahami bagaimana proses dakwah ajaran Islam dilakukan secara bertahap, dengan pertimbangan yang sangat matang pada pola akomodasi serta apresiasi konteks budaya khas masyarakat Indonesia. Bahkan jejak- jejak budaya lokal tersebut tetap 20 dipertahankan sebagai sebuah bentuk penghargaan agama Islam atas konteks budaya. Budaya lokal menjadi media yang efektif bagi proses penyebaran, perkembangan dan pertumbuhan agama Islam di Nusantara. Dalam sejarah kita dapat melihat bahwa corak animistic-dynamistic dalam konteks budaya setempat tidak serta merta dilarang secara keras. Sebab hal itu tentu akan menimbulkan antipati serta penolakan masyarakat setempat. Maka dari itu, pola pikir serta pemahaman kultural yang demikian ditransformasikan secara gradual ke dalam bentuk pemahaman yang lain, yang secara khas mencerminkan prinsip dan dasar ajaran keislaman. Sehingga secara tidak langsung, dan tidak disadari masyarakat digiring pada sebuah perubahan pola pikir keagamaannya. Inilah bentuk dakwah yang kooperatif dan persuasif, dengan mengakomodir konteks budaya lokal para pendakwah Islam khususnya, dan agama yang lain umumnya di Indonesia dahulu kala. Masuknya Islam ke Indonesia dengan cara merentas ke dalam budaya, yang merupakan jantung dari komunitas manusia, membuat budaya menjadi bagian penting dari keberislaman masyarakat Indonesia. Sampai sekarang, meskipun sudah berabad-abad perkembangan Islam di Indonesia kemelekatan Islam dengan budaya sangat sulit dilepaskan, meskipun ada upaya untuk menghilangkannya oleh kalangan muslim tertentu di Indonesia. Kalau kita mencoba melihat Islam yang hidup di masyarakat sekarang maka kita akan melihat ekspresinya yang kental dengan budaya lokal. 21 Budaya lokal ini, meskipun sebagian kaum muslimin tidak menyukainya karena diangap bid‟ah, namun memiliki banyak hal-hal positif yang bermanfaat bagi perkembangan sosial ekonomi. Di dalamnya ada perayaan-perayaan yang mampu menjadi media bagi masyarakat untuk bersilaturahim dan menjalin hubungan social ekonomi lainnya. Perekonomian dalam hal ini, secara sederhana terlihat berputar ketika perayaan-perayaan di mana masyarakat berkumpul menciptakan hubungan jual beli yang saling menguntungkan. Benny Ridwan dalam buku berjudul Islam Etika Universal, menyebutkan bahwa acara- acara yang memiliki kearifan lokal di pedesaan Jawa seperti lelayu, slub- sluban, sowan, supitan, mitoni, aqiqahan, rewang, merti dusun dan lain sebagainya menciptakan iklim persaudaraan yang natural. Sikap kita sebagai warga dan juga makhluk Tuhan adalah bersaudara. Hubungan sesama warga yang tercakup dalam kesatuan hubungan yang dilandasi kesadaran akan adanya perbedaan dalam masyarakat. Persaudaraan merupakan suatu simpul yang mutlak diperlukan dalam masyarakat yang majemuk ini. Kemajemukan merupakan kekayaaan, sekaligus ancaman bagi masyarakat itu sendiri, yakni muara timbulnya konflik dan perpecahan. Acara-acara yang memiliki kearifan seperti ini kerap dihadiri oleh mereka-mereka dari berbagai macam agama dan usia. Jalinan komunikasi dalam pentas acara tersebut menjadikan kerukunan umat beragama terjalin secara alamiah. 22 Hukum sosial berlaku jika anggota masyarakat sangat minim dalam partisipasi acaranya. Kearifan lokal ini jugalah yang menjadi peredam dan tindakan preventif sebagai upaya pencegahan konflik dalam pesta demokrasi tahun ini dalam sejarah Indonesia baru. Suksesnya pesta demokrasi, tingkat kesadaran masyarakat semakin tinggi, tidak terjadinya konflik menjelang dan pasca pemilu hendaknya berjalan paralel dengan keinginan baik pemimpin terpilih untuk dapat membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan dan maju sejajar dengan bangsa yang lain. Pentingnya pembauran agama dan budaya lokal dapat dilihat dari penelitian thesis M. Jakfar Abdullah yang berjudul ” Diantara Agama dan Budaya Suatu Analisis tentang Upacara Peusijuek di Nangroe Aceh Darussalam”. Penelitian ini menunjukkan Upacara Peusijuek sebagai hasil percampuran antara ajaran agama Islam dengan yang bukan Islam. Sehingga menjadi suatu budaya yang sangat sukar untuk dipisahkan. Hal ini terjadi karena upacara peusijuek senantiasa mengiringi setiap upacara, sama pada upacara sosio kemasyarakatan seperti upacara perkawinan, mendirikan bangunan maupun sosiokeagamaan seperti berkhitan, orang yang hendak menunaikan ibadah haji, dan sebagainya. Meskipun peusijuek diakui oleh tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama sebagai budaya peninggalan budaya dan agama Hindu, namun mayoritas masyarakat. Aceh masih tetap mengamalkan peusijuek sebagai amalan budaya. Di kampung- kampung, pelaksanaan peusijuek lebih lebih banyak diadakan daripada dengan masyarakat Aceh yang 23 bertempat tinggal dikota-kota. Di kampung, mereka yang tidak melaksanakan peusijuek dianggap sebagai orang yang tidak punya adat dan budaya. Di kota-kota, sebagian masyarakat Aceh sudah tidak melakasanakan peusijuek lagi,dan ini menjadi suatu hal yang dianggap biasa saja. C. Akulturasi Islam ke dalam Adat Jawa 1. Sejarah Tradisi Upacara Pertanian Tradisi keagamaan upacara pertanian ini telah berlangsung secara turun temurun dari sesepuh atau nenek moyang terdahulu. Untuk kapan pertama kali dilaksanakan tidak diketahui. Berikut penuturan Bapak Bagio, petani setempat yang masih menjalankan tradisi tersebut” Kapan tradisi keagamaan upacara pertanian dimulai, tidak diketahui, kita melaksanakan upacara tersebut berdasarkan kebiasaan turun temurun dari nenek moyang ”. Dari paparan pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tradisi upacara yang dilaksanakan oleh petani telah berlangsung sejak lama, dan sebagai wujud nyata dari kearifan lokal yang telah dijaga kelestariannya hingga saat ini. Bahkan masyarakat beranggapan bahwa dengan adanya tradisi upacara pertanian tersebut, hasil panen yang akan diperoleh lebih banyak dan lebih memuaskan meski sebenarnya mereka juga yakin bahwa yang memberikan baik tidaknya hasil pertanian tersebut adalah Allah SWT. 24 2. Sejarah Tradisi Upacara Kelahiran Upacara kelahiran yang dilaksanakan dalam masyarakat yang sering dilaksanakan adalah mitoni, yaitu upacara yang dilaksanakan ketika usia kehamilan memasuki usia ke tujuh. Secara antropologis, kehamilan adalah simbol fertilitas dan penanda lahirnya sebuah generasi baru yang harus disambut dengan seksama. Dan Kebudayaan Tujuh Bulanan ini selalu dilakukan oleh masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Jawa Tengah khususnya. Pelaksanaan Tujuh Bulanan ini diambil dari Kalender Islam atau Kalender Masehi, dimana upacara adat ini biasanya diselenggarakan pada atau setelah usia kehamilan memasuki usia ketujuh yang menurur kepercayaan agar si jabang bayi yang dilahirkan mendapatkan keselamatan, keberkahan, juga menjadi anak yang soleh/ solehah, dan menjadi anak yang berbakti dan patuh terhadap kedua orang tuanya. Dan tradisi seperti itu ditujukan sebagai ungkapan rasa syukur dan mohon kesejahteraan dan keselamatan lahir bathin, dunia dan akhirat. 3. Sejarah Tradisi Upacara Kematian Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta pengembangan Islam di Pulau Jawa adalah para ulama/mubaligh yang berjumlah sembilan, yang populer dengan sebuatan Wali Songo (http://www.akhirzaman.com) . Atas perjuangan mereka, berhasil mendirikan sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berpusat di Demak, Jawa Tengah. 25 Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam. Para ulama yang sembilan (Wali Songo) dalam menangguangi masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu ALIRAN GIRI dan ALIRAN TUBAN. ALIRAN GIRI adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain.Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari'at Islam tanpa reserve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut ISLAM PUTIH. Adapun ALIRAN TUBAN adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati. Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah 26 mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk Islam. Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari syari'at Islam. Maka para wali aliran Tuban berusaha agar adat istiadat Budha, Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai keislaman. Karena moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang "radikal". aliran ini sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh mencampur adukan syari'at Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran Islam abangan. Musyawarah Para Wali Pada masa para wali dibawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi orang yang telah masuk Islam. Dalam musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga selaku Ketua aliran Tuban mengusulkan kepada majelis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit dibuang. Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu itu sebab para ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama dan lain-lainnya sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya.Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang penuh diplomatis itu, Sunan Ampel selaku penghulu para wali pada waktu itu dan sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut : 27 "Apakah tidak dikhawatirkan dikemudian hari?, bahwa adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid'ah"?.Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut : "Saya sangat setuju dengan pendapat Sunan Kali Jaga" Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu. Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti itu yang berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme dan dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu tidaklah heran muridnya Sunan Kali Jaga sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang yang sangat leluasa untuk mensinkritismekan ajaran Hindu dalam Islam. Dari hasil olahannya, maka lahir suatu ajaran klenik/aliran kepercayaan yang berbau Islam. Dan tumbuhlah apa yang disebut "Manunggaling Kawula Gusti" yang artinya Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka tatacara untuk mendekatkan diri kepada Allah lewat shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya tidak usah dilakukan.Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi murid-muridnya yang cukup 28 banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan seperti itu hidup subur sampai sekarang. Keadaan umat Islam setelah para wali meninggal dunia semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. Para Ulama aliran Giri yang terus mempengaruhi para raja Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan syari'at Islam yang murni mendapat kecaman dan ancaman dari para raja Islam pada waktu itu, karena raja-raja Islam mayoritas menganut aliran Tuban. Sehingga pusat pemerintahan kerajaan di Demak berusaha dipindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh para ulama aliran Giri. Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja Amangkurat I, para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama. Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri itu, maka Trunojoyo, Santri Giri berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang Amangkurat I yang keparat itu. Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai pengganti ayahnya, ia membela, dendam terhadap Truno Joyo yang menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula. Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam 29 yang konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulama-ulama yang lunak (moderat) yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ada. maka bertambah suburlah adatistiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian. Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna. Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu Al Qur'an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyrakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Qur'an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan bid'ah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional. Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam, akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju 30 untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu, yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu. Pada tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya organisasi yang diberi nama "Nahdhatul Ulama" yang disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain : "Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat". Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang NU. Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan tahlil, termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang. Sesuai dengan sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, maka istilah tahlilan dalam upacara kematian hanya dikenal di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini. Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa saja. Apalagi di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara 31 lainnnya diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan dalam kematian ini. Dengan sudah mengetahui sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian yang terurai diatas, maka kita tidak akan lagi mengatakan bahwa upacara kematian adalah ajaran Islam, bahkan kita akan bisa mengatakan bahwa orang yang tidak mau membuang upacara tersebut berarti melestarikan salah satu ajaran agama Hindu. Orang-orang Hindu sama sekali tidak mau melestarikan ajaran Islam, bahkan tidak mau kepercikan ajaran Islam sedikitpun. Tetapi kenapa kita orang Islam justru melestarikan keyakinan dan ajaran mereka. 4. Pelaku tradisi keagamaan Pelaku tradisi keagamaan yang meliputi upacara pertanian, upacara kelahiran dan upacara kematian dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Jogoyasan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dan seluruh penduduknya beragam Islam. 5. Tempat Upacara Keagamaan Upacara pertanian dilaksanakan di Desa Jogoyasan, khususnya pada rumah warga yang akan melaksanakan penanaman pada sawah – sawah mereka. Sedangkan untuk upacara kelahiran dan kematian upacara dilaksanakan pada rumah masyarakat dimana didalamnya terdapat salah satu keluarganya yang melahirkan maupun mati. 6. Hikmah Tradisi Keagamaan 32 a. Hikmah Upacara Pertanian Dengan diadakannya upacara pertanian ini dapat kita ambil suatu hikmah antara lain : 1. Meningkatkan ketakwaan terhadap Allah SWT 2. Meningkatkan rasa solidaritas antar warga masyarakat 3. Mempererat tali silaturahmi antar warga b. Hikmah Upacara Kelahiran 1. Meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT 2. Meningkatkan rasa syukur kita kepada Allah SWT 3. Lebih mengerti tentang arti kehidupan 4. Menambah nilai keimanan terhadap Allah SWT 5. Hikmah Upacara Kematian 1. Mengetahui siklus kehidupan 2. Meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT 3. Meningkatkan rasa introspeksi diri 4. Meningkatkan rasa solidaritas terhadap sesama 5. Meningkatkan ibadah kepada Allah SWT 33 BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Gambaran Umum Desa Jogoyasan 1. Letak Geografis Desa Jogoyasan merupakan daerah atau wilayah Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Dengan luas wilayah 173.630 ha, yang terbagi dalam 5 dusun dan terdiri atas 1875 jiwa. Selain itu Desa Jogoyasan berbatasan langsung dengan: a. Sebelah Utara : Desa Keditan Kecamatan Ngablak b. Sebelah Selatan : Desa Girirejo Kecamatan Ngablak c. Sebelah Timur : Desa Pandean Kecamatan Ngablak d. Sebelah Barat : Desa Pagergunung Kecamatan Ngablak 2. Kondisi Keagamaan Berdasarkan data kependudukan yang didapat dari Kantor Kepala Desa Jogoyasan 2010 telah diketahui bahwa, seluruh warga masyarakat Desa Jogoyasan berkeyakinan atau beragama Islam, sehingga masyarakatnya juga hidup secara berdampingan dan harmonis dalam menjalankan kegiatan keagamaan. 3. Kondisi Sosial Kondisi sosial ekonomi Desa Jogoyasan dapat digambarkan sebagai berikut: a. PNS : 15 orang 34 b. Pegawai Swasta : 31 orang c. Wiraswasta : 25 orang d. Petani : 854 orang e. Buruh : 126 orang f. Tukang Kayu : 11 orang g. Tukang Batu :29 orang Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas dari penduduk bermata pencaharian sebagai petani. B. Sejarah Tradisi Upacara Pertanian Upacara pertanian dilaksanakan sebelum petani menanam segala sesuatu pada sawah – sawah mereka. Yang pertama kali dilakukan adalah dengan penentuan hari dan waktu. Setelah hari dan waktu ditentukan maka petani tersebut mencari benih yang hendak ditanam, misalnya kubis, tomat, cabe ataupun yang lainnya. Kemudian ketika waktu yang dimaksud telah tiba maka petani tersebut harus menanamkan benih tersebut, dan apabila waktu yang terpilih mendekati sore ataupun malam, maka petani boleh melanjutkan peneneman tersebut di kemudian hari dengan syarat sudah menanamkan benih tersebut pada waktu yang telah ditentukan tersebut meski hanya satu benih. Petani biasa menyebut hal tersebut dengan sebutan Kacir. Setelah semua benih tertanam maka petani tersebut mengadakan selamatan di rumah dengan menggunakan bubur merah. 35 Kebudayaan Jawa telah mengajarkan kepada kita untuk selalu bersukur dan menjaga keharmonisan dengan alam. Memaknai dan memberi warna istimewa terhadap hasil yang telah diperoleh. Memanfaatkannya untuk kepentingan orang lain dan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun keluarga adalah presentasi kebudayaan Jawa yang senantiasa diselaraskan dengan alam dan kaya makna dalam ranah kehidupan sosial. Kebudayaan Jawa yang sering kali kita dapat bedakan melalui dua kultur masyarakat yang berbeda, little tradition (kebudayaan tradisional petani) dan great tradition (peradaban masyarakat kota) ini dapat diafiliasikan maknanya dalam tradisi selametan sebelum mulai tanam atau panen padi yang sering kali disebut dengan upacara wiwitan. Upacara ini merupakan bagian integral dalam pola pertanian masyarakat Jawa yang sampai saat ini masih dipertahankan meski gempuran arus modernisasi merambah lini-lini kebudayaan tradisional kita. Upacara wiwitan ini adalah hasil implementasi dari tiga fase perkembangan kebudayaan Jawa, mulai dari fase mistis, mistis-religius dan fase rasional-religion. Ini juga bisa dikatakan sebagai pandangan dunia (word view) terhadap pandangan masa depan keselamatan dan hasil panen yang berlimpah ruah. Perkembangan budaya mistis Jawa yang dulunya bersandarkan kepada kekuatan diluar diri mereka atau keteraturan alam numen dan numinous kepola pemikran yang lebih rasional telah mengilhami pertanian modern yang lebih mendasarkan diri kepada akal budi. 36 Perkembangan ini tidak lain karena pola pikir masyarakat yang semakin maju dalam dunia pertanian. Terutama Jawa yang memiliki dua kultur pertanian berbeda yakni petani lahan kering dan lahan basah. Di mana petani lahan kering lebih banyak mengembangkan komoditas tanaman keras atau perkebunan, sejenis tanaman kayu dan buah-buahan. Sedangkan petani lahan basah lebih banyak membudidayakan tanaman padi dan beraneka ragam sayursayuran atau tanaman palawija. Hal ini sangat kontradiktif sekali dengan falsafah Jawa yang mengajarkan untuk mencintai alam ini. Sebagaimana upacara wiwitan yang dilakukan kaum petani Jawa, yang diselenggarakan sebagai ucapan terimakasih, puji dan sukur kepada Tuhan, pencipta alam semesta. Sebuah tradisi yang biasanya dilakukan untuk menandai dimulainya waktu masa tanam padi atau panen. Dalam tradisi tersebut seakan mengharuskan pemilik sawah menyediakan jamuan makan bagi tetangga, biasanya berupa nasi megana dan seekor ayam ingkung. Nasi Magana yang disajikan digelar di atas daun pisang yang ditaruh di atas meja, ingkung akan dibagi dengan diiris-iris sesuai undangan yang datang. Sebelum menyantap hidangan seorang kiai kampung akan membacakan doa keselamatan dan rasa syukur atas dimulainya menanam dan memanen padi. Setelah usai berdoa, sisa makanan akan dibawakan tamu undangan. Tradisi ini bahkan tidak hanya dilakukan di rumah karena wiwitan terkadang juga dilakukan di tengah sawah. Upacara wiwitan ini tidak hanya menjadi upacara sewaktu akan menanam atau memanen padi, tetapi juga sebagai salah satu perekat tali 37 persaudaraan antara warga desa, khusunya kaum petani. Lebih-lebih upacara ini merupakan khazanah budaya yang memiliki dimensi sosial sangat tinggi. Karena di dalamnya menanamkan rasa persaudaraan dan solidaritas atar sesama manusia. Biasanya saat menanam dan memanen padi para petani itu saling membantu petani yang menyelenggarakan upacara wiwitan. Ini merupakan aksi solidaritas yang kaya dengan falsafah Jawa “mikul duwur mendem jero.” Untuk lebih memeriahkan upacara ini warga terkadang juga menggelar kesenian gejon lesung dengan tembang-tembang Jawa yang berisi tentang kemakmuran para petani. Di samping sebagai wujud syukur tradisi wiwitan ini digelar sebagai bentuk untuk melestarikan ritual budaya yang hampir punah dikalangan petani Jawa. Apalagi di tengah zaman yang kini sekat-sekat sosial kian menonjol. Tradisi wiwitan layak terus dikembangkan oleh petani di desa-desa agar hubungan sosial warga tidak semakin pudar tetapi terus merekat sepanjang zaman. Niat yang tulus akan diberkahi oleh alam. Alam punya intelegensi luar biasa yang mampu memahami niat dan isi hati kita tanpa batasan dan cara. Maukah kita mencoba mensyukuri berkah yang telah lama kita lupakan ini, bukan dengan doa yang diucapkan sembarang karena reflek, tetapi dengan setiap kata yang dihayati. Memandang nasi yang kita makan hari ini bak kumpulan mutiara putih yang berharga. Memandang mereka sebagai hasil perkawinan alam yang telah dilimpahkan kepada kita, hingga menjadi gugusan-gugusan yang membangun tubuh dan jiwa. 38 C. Upacara Kelahiran ( Kehamilan) Sudah menjadi takdir seorang wanita mengalami masa – masa yang penuh keajaiban, yaitu masa ketika janin telah tumbuh dalam rahim seorang ibu. Dari fase ke fase janin terus tumbuh menjadi besar. Dalam proses tersebut kita sebagai manusia tidak ada salahnya jika kita mengadakan berbagai upacara mulai dari ngapati sampai mitoni. Upacara ngapati diadakan ketika usia kehamilan memasuki usia 4 bulan. Hal tersebut berdasarkan keyakinan bahwa pada masa ini ruh telah ditiupkan ke janin. Dengan diadakan doa bersama sebagai sikap syukur, ketundukan, dan kepasrahan. Selain itu kita juga sebaiknya mengajukan permohonan kepada Allah SWT supaya agar nanti anak yang lahir sebagai manusia yang utuh sempurna, sehat, yang dianugerahi rizki yang baik dan lapang, berumur panjang yang penuh nilai- nilai ibadah, beruntung di dunia dan akhirat. Setelah usia kehamilan memasuki usia ketujuh, pada masyarakat Desa Jogoyasan telah mengadakan upacara mitoni atau tingkeban. Yang dilaksanakan pada hari Sabtu Wage. Adapun waktunya yaitu pukul 03.00. ritual diadakan dirumah dan juga di tempat di mana ibu hamil tersebut mandi. Ritual yang diadakan dirumah yaitu dengan mengadakan kenduri yang di dalamnya disiapkan nasi golong dan telur ayam kampung yang jumlahnya 7 buah yang diletakkan di atas tampah . Kenduri dilaksanakan di depan pintu rumah, dan tidak diperbolehkan diadakan di dalam rumah. Jumlah orang yang diundang dalam upacara tersebut juga berjumlah 7 orang. Setelah kenduri dilaksanakan, si ibu mandi kembang pada air yang mengalir dengan membawa 39 sapu lidi, tikar dan tampah yang telah selesai digunakan. Hal tersebut dipercaya masyarakat dapat mempermudah kelahiran sang bayi, dan setelah itu si ibu tinggal menunggu hingga waktu kelahiran si jabang bayi tersebut. Upacara kelahiran dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur ataupun sambutan atas lahirnya anggota baru dalam keluarga. Akan tetapi bentuk ataupun perwujudan dalam menyambut kelahiran atas putra – putri mereka berbeda – beda. Ada yang dilaksanakan secara sederhana, dan ada pula yang dilaksanakan secara mewah. D. Upacara Kematian Penghormatan ala Jawa bagi orang yang telah meninggal Dalam pemahaman orang Jawa, bahwa nyawa orang yang telah mati itu sampai dengan waktu tertentu masih berada di sekeliling keluarganya. Oleh karena itu kita sering mendengar istilah selametan yang dilakukan untuk orang yang telah meninggal. Berikut diantaranya ritual yang dilakukan menurut adat istiadat Jawa. 1. Upacara ngesur tanah (geblag) Upacara ngesur tanah merupakan upacara yang diselenggarakan pada saat hari meninggalnya seseorang. Upacara ini diselenggarakan pada sore hari setelah jenazah dikuburkan. Istilah sur tanah atau ngesur tanah berarti menggeser tanah (membuat lubang untuk penguburan mayat). Makna sur tanah adalah memindahkan alam fana ke alam baka dan wadag 40 semula yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah juga. Bahan yang digunakan untuk kenduri terdiri atas: a. Nasi gurih (sekul wuduk) b. Ingkung (ayam dimasak utuh) c. Urap (gudhangan dengan kelengkapannya) d. Cabai merah utuh e. Krupuk rambak f. Kedelai hitam g. Bawang merah yang telah dikupas kulitnya h. Bunga kenanga i. Garam yang telah dihaluskan j. Tumpeng yang dibelah dan diletakkan dengan saling membelakangi (tumpeng ungkur-ungkuran) yang memiliki makna bahwa mayat telah berpisah antara jasmani dan ruhnya. Dalam prosesi pemakaman, sering kita jumpai masyarakat menggunakan bunga yang dirangkai dan dikalungkan pada keranda yang dibawa untuk mengangkut mayat ke pemakaman. Bunga memiliki makna penghormatan kepada jenazah dan untuk mengenang kebaikan-kebaikan yang dilakukan selama hidupnya dan suatu upaya keluarga untuk mendoakan agar arwahnya diterima disisi Allah Tuhan Yang Maha Esa. Selain bunga, perangkat yang selalu digunakan dalam prosesi pemakaman yaitu payung. Payung ini memiliki makna tanda belas kasih, 41 cinta sanak keluarga terhadap orang yang baru saja meninggal itu tidak kehujanan dan kepanasan selama di liang kubur. 2. Upacara tigang dinten (tiga hari) Upacara ini merupakan upacara kematian yang diselenggarakan untuk memperingati tiga hari meninggalnya seseorang. Peringatan ini dilakukan dengan kenduri dengan mengundang kerabat dan tetangga terdekat. Bahan untuk krnduri biasanya terdiri atas: Takir pontang yang berisi nasi putih dan nasi kuning, dilengkapi dengan sudi-sudi yang berisi kecambah, kacang panjang yang telah dipotongi, bawang merah yang telah diiris, garam yang telah digerus (dihaluskan), kue apem putih, uang, gantal dua buah. Nasi asahan tiga tampah, daging lembu yang telah digoreng, lauk-pauk kering, sambal santan, sayur menir, jenang merah. Adapun makna dari sesajen tersebut adalah untuk menyempurnakan 4 perkara yang disebut anasir yaitu bumi, api, angin, dan air. 3. Upacara pitung dinten (tujuh hari) Upacara ini untuk memperingati tujuh hari meninggalnya seseorang. Bahan yang digunakna untuk kenduri biasanya terdiri atas: Kue apem yang di dalamnya diberi uang logam, ketan, kolak (semuanya diletakkan dalam satu takir) Nasi asahan tiga tampah, daging goreng, pindang merah yang dicampur dengan kacang panjang yang diikat kecilkecil, dan daging jeroan yang ditempatkan dalam wadah berbentuk kerucut (conthong), serta pindang putih. Sesajen tersebut maksudnya untuk 42 menyempurnakan pembawaan dari ayah dan ibu berupa darah, daging, sungsum, jeroan (isi perut), kuku, rambut, tulang, dan otot. 4. Upacara sekawan dasa dinten (empat puluh hari) Upacara ini untuk memperingati empat puluh hari meninggalnya seseorang. Biasanya peringatannya dilakukan dengan kenduri. Bahan untuk kenduri biasanya sama dengan kenduri pada saat memperingati tujuh hari meninggalnya, namun ada tambahan sebagai berikut: a. Nasi wuduk b. Ingkung c. Kedelai d. Cabai merah utuh e. Rambak kulit f. Bawang merah yang telah dikupas kulitnya g. Garam h. Bunga kenanga Sesajen tersebut mempunyai maksud untuk menyempurnakan semua yang bersifat badan wadag (jasad) 5. Upacara nyatus (seratus hari) Upacara ini untuk memperingati seratus hari meninggalnya seseorang. Tata cara dan bahan yang digunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan empat puluh hari. 43 6. Upacara mendhak pisan (setahun pertama) Upacara mendhak pisan merupakan upacara yang diselenggarakan ketika orang meninggal pada setahun pertama. Tata cara dan bahan yang diigunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan seratus hari.Hal tersebut dilaksanakan dengan maksud untuk menyempurnakan kulit, daging, dan organ dalamnya. 7. Upacara mendhak pindho (tahun kedua) Upacara mendhak pindho merupakan upacara terakhir untuk memperingati meninggalnya seseorang. Tata cara dan bahan yang digunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan mendhak pisan. Hal tersebut dilaksanakan dengan maksud untuk menyempurnakan semua kulit, darah, dan semacamnya yang tinggal hanyalah tulangnya saja. 8. Upacara mendhak katelu (nyewu) Merupakan peringatan seribu hari bagi orang yang sudah meninggal. Peringatan dilakukan dengan mengadakan kenduri yang diselenggarakan pada malam hari. Bahan yang digunakan untuk kenduri sama dengan bahan yang digunakan pada peringatan empat puluh hari. ditambah dengan: daging kambing/domba becek bagi yang belum mengadakan aqiqah. Hal tersebut bermaksud supaya kambing tersebut nantinya dapat dijadikan kendaraan bagi si mayat untuk menuju ke hadapan Tuhan. Sedangkan peringatan mendhak katelu ini dimaksudkan 44 untuk menyempurnakan semua rasa dan bau hingga semua rasa dan bau sudah lenyap. 9. Kol(kol kolan) Kol merupakan peringatan yang dilakukan untuk orang yang sudah meninggal setelah seribu hari. Ngekoli diselenggarakan bertepatan dengan satu tahun setelah nyewu. Saat peringatan ini harus bertepatan dengan hari dan bulan meninggalnya. Ngekoli dilakukan dengan kenduri dengan bahan kenduri: kue apem, ketan, dan kolak. Semuanya diletakkan dalam satu takir. Pisang raja satu tangkep, uang “wajib”, dan dupa. 10. Nyadran Nyadran adalah hari berkunjung ke makam para leluhur/kerabat yang telah mendahului. Nyadran ini dilakukan pada bulan Ruwah atau bertepatan dengan saat menjelang puasa bagi umat Islam. untuk memperjelas lagi sedikit arti/makna sesajinya dan unsur- unsur upacarnya: Sesajen upacara ngesur tanah : bermakna memindahkan roh jenazah dari alam fana ke alam baka. Kematian tersebut didoakan oleh para ahli waris dengan berbagai sesajen yang tujuannya mengharap keselamatan bagi orang yang meninggal dan mendapat ampunan dari Tuhan. Budaya Jawa terkenal mudah untuk menyerap budaya dari luar yang masuk tanpa kehilangan identitasnya. Suatu misal, dengan masuknya agama Islam, ritual selametan biasanya ditambahi dengan pembacaan ayatayat Al-Qur’an, seperti Surat Yasiin dan Tahlil. Meski bagi sebagian masyarakat yang memahami Islam secara murni hal ini dapat 45 dikategorikan sebagai bid’ah, namun bagi masyarakat yang masih memegang teguh tradisi leluhur hal ini sulit untuk ditinggalkan. Karena hal ini merupakan wujud dari sikap hormat terhadap orang tua, serta sebagai bentuk pengejawantahan anak yang sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya dalam kepercayaan Islam. E. Saparan Mayoritas masyarakat Desa Jogoyasan bermata pencaharian sebagai petani. Dimana pada setiap tahunnya masyarakat mengadakan upacara- upacara yang berkaitan dengan masa tanam atau yang dikatakan sebagai wiwitan dan ada masa panen. Pada masyarakat ini ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah tersebut tidak pasti dilaksanakan setelah masa panen tersebut berlangsung. Akan tetapi sebagai ungkapan rasa syukur tersebut masyarakat telah mengadakan tradisi sendiri yang dinamakan Saparan. Yang mana tradisi tersebut dilaksanakan setiap bulan Sapar. Sehingga dapat dikatakan Saparan berhubungan erat dengan tradisi pertanian. Pelaksanaan tradisi ini dilaksanakan tidak berdasarkan tanggal tertentu akan tetapi menurut hari yang dipercaya warga masyarakat desa itu sendiri yaitu hari Sabtu Legi. Hari Sabtu Legi diambil berdasarkan kepercayaan dari sesepuh desa yang mempercayai bahwa hari sabtu Legi itulah hari jadi Desa Jogoyasan. Tiga atau dua hari sebelum acara tersebut dilaksanakan para warga saling bergotong royong bersama- sama mengadakan kerja bakti untuk 46 membersihkan desa dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Pada hari malam Jum’at sebelum hari sabtu legi, para warga mengadakan doa bersama yang diadakan yang dilaksanakan di rumah kepala dusun yang dipimpin oleh ulama setempat. Pada Jum’at pagi para warga bersama- sama mengadakan Nyadran. Nyadran adalah bersih – bersih makam pada makam leluhur mereka. Mereka saling membantu satu sama lain untuk membersihkan makam sehingga dari kebiasaan tersebut terlihat adanya keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat mereka. Kemudian pada hari Sabtu Legi dari setiap warga masyarakat mengundang para saudara atau kerabat dari desa lain untuk berkunjung ke rumah mereka dengan berbagai suguhan istimewa. Baik berupa makanan ataupun pertunjukan seni yang diadakan di desa tersebut. Pada hari inilah disuguhkan beberapa jenis makanan yang memiliki makna simbolik: a. Ingkung Ayam Ingkung ayam adalah ayam yang sudah dimasak dan masih utuh. melambangkan pengorbanan selama hidup, cinta kasih terhadap sesama juga melambangkan hasil bumi (hewan darat) b. Tumpeng Tumpeng adalah nasi yang dibentuk lancip dan menyerupai kerucut. Melambangkan ketuntasan dan kesempurnaan. Artinya, jika melakukan sesuatu harus dengan tuntas dan tidak setengah-setengah. Sedangkan 47 tumpeng berasal dari kata tumungkulo sing mempeng, artinya jika kita ingin selamat, hendaknya kita selalu rajin beribadah. c. Jajan Pasar Jajan pasar adalah makanan yang terdiri dari berbagai macam jajanan yang ada di pasar. Misalnya : tape, kacang, buah - buahan, cethil ( makanan yang terbuat dari ketela pohon ) dan yang lainnya. Melambangkan kerukunan walaupun ada perbedaan, tenggang rasa. Kecenderungan upacara tradisi dalam saparan, khususnya warga masyarakat Jogoyasan cukup menarik. Meskipun ada kesulitan penulis untuk memahami tradisi saparan. Mungkin hasil dari pengamatan yang kami dapatkan baik secara langsung di masyarakat atau dengan wawancara dengan warga akan bisa memaparkan tentang tradisi sparan. Hasil wawancara dari salah satu warda dusun pagertengah tentang pandangan tradisi saparan, sebagaimana diungkapkan Saudara Parli: ’’Sebenarnya acara saparan itu sendiri bagus, tujuannya pun jelas yaitu : Syukuran dusun atau memperingati cikal-bakal adanya dusun istilahnya dalam bahasa Jawa (merti dusun), itu juga sama halnya seperti syukuran yang diadakan setiap hari kemerdekaan tanggal 17 agustus. Mungkin yang perlu ditinjau kembali adalah dalam pelaksanaannya’’. Warga masyarakat Pagertengah mempunyai cara pandang sendiri terhadap tradisi saparan. Salah satu tokoh warga masyarakat dusun Pagertengah tentang apa saja acara yang ada di dalamnya, yang di ungkapkan Bapak Tarjo: “Saparan itu memang dari dulu sudah ada sejak zaman nenek moyang, kalau cikal-bakalnya atau pertama kali muncul kurang begitu jelas, entah itu datangnya pada masa transisi dari Hindu-Budha ke agama Islam, sebelum itu atau bahkan sesudah Islam menyebar”. 48 Dengan acara Saparan masyarakat dapat melengkapi pemenuhan kebutuhannya akan sarana pengungkapan persaan mereka akan aspek-aspek pengalaman hidup mereka. 49 BAB IV PEMBAHASAN Kearifan lokal memiliki peran penting dalam memahami siklus kehidupan. Adapun fungsi kearifan lokal dalam bidang pendidikan yaitu: A. MendidikCintaKepadaTuhan Sebagaiinsan yang beragamasudahsepantasnyakitadapatmengambilhikmahakanartipesan yang disampaikandariberbagaikegiatankeagamaan yang dilakukanpadamasyarakattersebut. Denganadanyarangkaiankegiatan yang dilaksanakan di dalam ritual upacarakeagamaan, misalnyamanakiban, tahlilan, yasinandapatdijadikanperantarakomunikasikitasebagaiumatmanusiakepada Allah SWT.Dan denganadanya ritual tersebutdiharapkankitadapatmencapaikeridhoanNyadalammenjalanihidup. Karena yang terlibatdalamacaratersebuttidakhanya orang tuasaja, – melainkandarianak anaksampaidewasa, makasecaratidaklangsungmelaluiacaratersebuttelahmengajarkandanmendid ikanakuntukmerefleksikanperasaancintakepadaTuhan Yang MahaEsa.Dan denganmelibatkananakdalamkegiatantersebutsecaratidaklangsunganaktela hdiperkenalkandengantradisikeagamaan yang telahterjadisecaraturuntemurun.Dan anakterdidikuntukmelaksanakanibadahsecarabertahapdariamalan – amalan yang telahdijalankan. 50 51 B. MendidikCintaTerhadapAlam Aspekreligiusitasmasyarakatlokalsangatsederhanadanlogis, bahkancarakeberagamaannyatidakberhentipadaaspek ritual danformalistik, akantetapimerekalebihmenghayatidalamsetiapdetikkehidupansebagaibagai andariaspekkedekatanmerekadengan Sang penciptadanalamsemesta. Denganlandasanlocal wisdomtersebut, perlumenumbuhkanpandangankeislaman universal mempunyaikomitmenkuatterhadapbudayalokal, sehingga transformasimasyarakattidaktercerabutdariakarnya. yang proses Hal inisangatpentingdalamrangkamenggalikearifanlokal (local wisdom) yang selamainitertimbunolehbudaya-budaya lain. UpacaraPertanianadalahsebuahsaranapendidikancintalingkunganhi dup.Di sinimasyarakatmenghayatilagihubunganeratmerekadenganbumidan air.Dimanajikasalahsatunyatidakterpenuhimakahasilpertanianjugatidakaka nmaksimal. Misalnyaadatanamannamuntidakdiberikanpengairan cukup, yang makatanamantersebutakanlayuataumati. Bahkankalaupuntanamantersebuttumbuh, makapertumbuhannyaakanterhambat. C. Kerukunanbermasyarakat Aspek local wisdom yang mendidikkerukunanmasyarakatterjadi di setiapupacakeagamaan, dimanamerekadiarahkanolehtradisimerekasendiriuntukmenyadaribahwame 52 rekasalingmembutuhkansatusamalain.Sikap rukun merupakan suatu sikap yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan, kita tidak menginginkan suatu permusuhan ataupun pertengkaran dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai mana yang telah tercantum dalam surat asy – Syu’ara ayat 15 berikut ini : Selain ayat tersebut, sikap rukun tertuang dalam surat Al- Hujurat ayat 12 sebagai berikut : Artinya :Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Sikap rukun yang tercermin dari tradisi saparan yaitu adanya kerja sama antara warga satu dengan yang lainnya. Hal tersebut dapat kita lihat dari prosesi demi prosesi yang dilaksanakan. Misalnya upacara kematian , dari kegiatan tersebut kita bisa melihat kebersamaan yang terjalin dengan harmonis, dimana secara bersama- sama membersihkan makam, kemudian dalam pelaksanaannya para warga saling bahu membahu untuk mengumpulkan segala sesuatu yang diperlukan misalnya : pemasangan tratak, lampu, kursi dan lain sebagainya. D. Melatih Rasa Syukur 53 Sudah selayaknya kita mempunyai rasa syukur kepada Allah SWT atas rahmat yang dilimpahkan kepada kita. Karena syukur merupakan cermin dari pribadi yang mempunyai ketakwaan kepada Allah. Orang yang mempunyai rasa syukur hatinya akan senantiasa tentram dan jiwanya juga tenang,tidak mudah terhasut oleh orang lain. Berikut dalil tentang perlunya rasa syukur : Artinya: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. E. Mendidik Sikap Hormat Sikap hormat pada tradisi upacarakeagamaan dapat diwujudkan dalam bentuk silaturrahmi yaitu dengan mendatangkan sanak saudara. Tidak hanya itu, tamu yang datang juga disuguhi jamuan istimewa. Maka tidak mengherankan jika acara keagamaan tersebut menghabiskan dana yang cukup besar. Disamping jamuan istimewa para tamu disuguhi berbagai rangkaianrangkaian ritual yang dilaksanakan, terutamadalamupacarakelahiran. Perwujudan sikap hormat ini diterangkan dalam surat An-Nahl ayat 90 dan surat Ar-Rum ayat 38: 54 Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. Artinya: Maka berikanlah kepada Kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung. Selain itu, perwujudan sikap hormat juga tercantum dalam surat Al-Isra’ ayat 26 berikut: Artinya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. F. MendidikSikap Optimis Perwujudansikapoptimisartinyapercayadiriyaitusuatusikap yang menaruhharapanbesarakantercapainyakeberhasilanbagidirinya. Sikapoptimismembuatseseorangtidakragu ragudalambertindakataumelangkah. 55 - Sikapoptimisterwujuddalamkesungguhanuntukmelaksanakansertakeyakina n yang beranggapanbahwaTuhanakanmemberikanlimpahanrizkidankarunia. Bilamanabanyaktamu yang datangmakaakanbanyak pula rizki yang datang. Keyakinan yang sedemikianrupamerupakanperwujudansikapoptimismasyarakatDesaJogoya san, sebagaisalahsatufungsi dapatdiungkapkandaripelaksanaantradisikeagamaandimaksud. 56 yang BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pada yang telah diuraikan dalam analisis, pembahasan masalah, landasan teori, data dan wacana yang berkembang maupun untuk memenuhi tujuan penelitian ini, peneliti berkesimpulan sebagai berikut : 1. Bahwa benar masyarakat di Desa Jogoyasan memiliki pemahaman yang baik terhadap tradisi keagamaan, terbukti dari beberapa jawaban responden, hampir seluruhnya memiliki jawaban yang sama, disamping itu dari data pengamatan peneliti masyarakat di Desa Jogoyasan memahami makna tiap kegiatan yang mereka jalani mulai dari makna keagamaan, tatacara upacara, hingga silaturahmi. 2. Bahwa benar tradisi saparan memiliki muatan religius atau keagamaan yang sangat kental dan alami, dari data terdahulu diungkapkan bahwa dalam setiap kegiatan yang dilakukan, keseluruhan mengandung makna keagamaan yang sangat kental yaitu tiga unsur yang meliputi : amal, ikhlas dan syukur. 3. Bahwa tradisi keagamaan yang meliputi upacara pertanian, kelahiran, dan kematian serta saparan di Desa Jogoyasan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang merupakan salah satu tradisi Islam Jawa yang bersifat sosial religius dan masih hidup sampai sekarang, sebagai inventarisasi salah satu kekayaan budaya Jawa yang perlu dilestarikan. 56 B. Saran 1. Upacara pertanian, upacara kelahiran, kematian dan Saparan merupakan budaya nenek moyang atau leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan, untuk itu diharapkan masyarakat Desa Jogoyasan melakukan sebuah dokumentasi agar tradisi keagamaan ini lestari sampai anak cucu dari masyarakat itu sendiri. 2. Bagi masyarakat Desa Jogoyasan, jadikan tradisi keagamaan ini sebagai aset pendidikan spiritual bagi masyarakat Desa Jogoyasan dan sekitarnya. C. Penutup Demikian skripsi ini saya buat dengan sesungguhnya, mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Karena sesungguhnya manusia hanya bisa berusaha, sedangkan kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. 57 DAFTAR PUSTAKA WiyasaBratawijaya, MengungkapdanMengenalBudayaJawa.CetakanPertama. PradnyaParamita. 1997. Thomas. Jakarta: PT Ali, Mukti. BeberapaPersoalan AgamaDewasaIni. Jakarta: CV. Rajawali. 1987 R Woodward, Mark.Islam JawaKesalehanNormatifVersusKebatinan. CetakanPertama. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. 1999. Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama Bagian 1 ( PendekatanBudayaterhadapAliranKepercayaan, Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, di Indonesia ). Bandung: PT. Citra AdityaBakti. 1993. Mubaraq, Zulfi. Sosiologi Agama. Malang: UIN Maliki Press. 2010. Poerwadarminta, WJS. KamusBesarBahasa Indonesia. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada. 1994 Roibin.RelasiAgamadanBudayaMasyarakatKontemporer. Malang: UIN Malang Press. 2009. Agus, Bustanudin. Agama DalamKehidupanManusiaPengantarAntropologi Agama.Jakarta: PT Raja GrafindoPersada. 2006. Chafidh, Afnandkk.TradisiIslamiPanduanProsesiKelahiranPerkawinanKematian. Surabaya: Khalista. 2006. Hariyadi, Rahmaddan M. Ghufron.Islam Etika Universal, BudayaLokal. CetakanPertama. Salatiga: STAIN Salatiga Press.2006. Perta.KetikaSarjana Muslim Membaca Islam. Abdul Fattah, Munawir. Tradisi PustakaPesantren. 2006. Orang – Orang NU. Yogyakarta: Khalil, Ahmad. Islam JawadalamEtikadanTradisiJawa. Malang: UIN Malang Press. 2008. Departemen Agama RepublikIndonesia.Al Qur’an danTerjemahnya. Bandung: LubukAgung. 1989. 58