kearifan lokal dalam upacara keagamaan pada masyarakat desa

advertisement
KEARIFAN LOKAL DALAM UPACARA KEAGAMAAN PADA
MASYARAKAT DESA JOGOYASAN, KECAMATAN NGABLAK,
KABUPATEN MAGELANG
TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam
Oleh:
Ria Ristiana
11106103
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
SALATIGA
2014
PERSEMBAHAN
Kepada:

Kedua
orang
tuatercinta,
BapakH.AskuridanIbuKistimah
yang
selalumemberikando’adankasihsayangnyauntukkudalammenitikesuksesan.

Suamikutercinta ” Mas Yudhi”, yang selaluadadalamsetiapsukadukaku.

PutrikutercintaMeisyaAuliaPutri, kaulah motivator kecilku.

Adikku Imam ArisJazuli, yang selalumembantuku.

Keluargadarisuamiku, Bapak Budi Hananto, Mas Basit, danDikFitri yang
selalumemberikandorongandanmotivasinyauntukku.

KeluargabesarHarjoDimulyodanMuhrodi, terimakasihatassemuanya.

Teman – teman di SDN Girirejo 3, yang selalumemberikandukungannya

Takterlupateman – teman Program StudiPendidikan Agama Islam
angkatan 2006.

Teman – temanseperjuanganMuna, Mery, Titis, Sintadan yang lainnya,
akhirnyaperjuangankitaberakhirdenganindah.

Rental Rizqy yang membantukudalampenyelesaiantugasini.
Karyainikupersembahkan.
vi
KATA PENGANTAR
Denganmenyebutnama Allah Yang MahaPengasihLagiMahaPenyayang,
segalapujibagi
Allah
semestaalam,
ataslimpaharahmat,
hidayah,
taufiqdaninayahNya, sehinggapenulisdapatmenyelesaikanskripsiinidenganlancar.
Shalawatsertasalamsemogaselalutercurahkanpadapanutanumat Islam Nabi
Muhammad SAW, anakkerabatdanparasahabat yang telahmenunjukkanjalan yang
benardenganperantara agama Islam.
Penulisanskripsiinidimaksudkangunamemenuhikewajibansebagaisyaratunt
ukmemperolehgelarsarjanadalamIlmuPendidikan Islam.
Tersusunnyaskripsiinitidaklepasdaribantuansertabimbingandariberbagaipih
ak, makadengansegalakerendahanhatipenulismenyampaikanterimakasihkepada :
1. Bapak Dr. RahmatHariyadi, M.Pd.,SelakuKetuaSekolahTinggi Agama Islam
NegeriSalatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd, Selaku Ketua Jurusan Tarbiyah
3. BapakRasimin, M.Pd., SelakuKetua Program StudiPendidikan Agama Islam
4. BapakYediEfriadi
M.
Ag
selakudosenpembimbing
yang
denganpenuhkesabarantelahmeluangkanwaktunyauntukmemberikanpengarah
andanbimbingandalampenulisanskripsiini.
5. Ibu Eva PalupiS.PsiselakudosenPembimbingAkademik
6. SegenapperangkatDesaJogoyasan
yang
telahmemberikanfasilitassertabantuankepadapenulissehinggaskripsiinidapatte
rsusundanterselesaikan.
vii
Penulismenyadaridanmengakuibahwapenulisanskripsiinimasihjauhdarikesemp
urnaan,
semuaitudikarenakanketerbatasan,
kemampuan,
danpengetahuanpenulis.Sehinggamasihbanyakkekurangan
yang
perluuntukdiperbaikidalamskripsiini.
Akhirnyapenulisberharapdanberdo’asemogaskripsiinimemberikansumbanganp
ositifbagipengembanganpendidikan, khususnyaPendidikan Agama Islam.
Salatiga, 14 Juli 2014
Penulis
Ria Ristiana
viii
ABSTRAK
RiaRistiana.
2014.
KearifanLokaldalamUpacaraKeagamaanpadaMasyarakatDesaJogoyasan,
KecamatanNgablak, KabupatenMagelang.Skripsi, JurusanTarbiyah Program
StudiPendidikan Agama Islam. SekolahTinggi Agama Islam NegeriSalatiga.
Pembimbing :YediEfriadi M. Ag.
Kata Kunci
: Kearifan, Lokal, Upacara, Keagamaan.
Penelitianinimerupakanpenelitianlapangan
yang
dilaksanakan
di
DesaJogoyasan, KecamatanNgablak, KabupatenMagelang.Pertanyaanutama yang
ingindijawabdaripenelitianiniadalah(
1
)
apasajaupacarakeagamaanpadamasyarakatDesaJogoyasan,
KecamatanNgablak,
KabupatenMagelang?(
2
)
Apa
sajakahkearifanlokal
yang
terkandungdalamupacarakeagamaanpadamasyarakatDesaJogoyasan,
KecamatanNgablak, KabupatenMagelang? .
Untukmenjawabpertanyaantersebutmakapenelitianinimenggunakanpendek
atankualitatifdenganrancanganstudi yang sumberdatanyaberasaldarimanusia(
human
instrument).
Metodepengumpulan
data
yang
dipakaiolehpenelitiadalahmetode
interview.Sedangkanteknikanalisis
data
penelitimenggunakanmetodereduksi
data,
pengkajian
data,
kesimpulandanverifikasi.
TemuanpenelitianinimengetahuibahwamasyarakatDesaJogoyasan,
KecamatanNgablak,
KabupatenMagelangmemilikipemahaman
yang
baikterhadaptradisikeagamaan,
terbuktidaribeberapajawabanresponden,
hampirseluruhnyamemilikijawaban
yang
sama.
Serta
mengetahuibahwatradisisaparan,
upacarapertanian,
kelahiran,
dankematianmemilikimuatanreligius
yang
kentaldanalami
yang
masihhidupsampaisekarang.Semuaitumerupakaninventarisasisalahsatukebudayaan
Jawa yang perludilestarikan.
ix
lDAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
……………………………....
ii
PENGESAHAN KELULUSAN
………………………………
iii
……………………....
iv
………………………………………………………
v
………………………………………………
vi
………………………………………
vii
………………………………………………………
ix
DAFTAR ISI ………………………………………………………
x
BAB I : PENDAHULUAN ………………………………
1
A. LATAR BELAKANG ………………………
1
B. RUMUSAN MASALAH
………………
3
C. TUJUAN PENELITIAN
………………
3
D. KEGUNAAN PENELITIAN ………………
3
………………
4
…....................
4
……….
4
………………
5
………
5
2. KehadiranPeneliti
....................................
6
3. LokasiPenelitian
....................................
6
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
MOTTO
PERSEMBAHAN
KATA PENGANTAR
ABSTRAK
E. PENEGASAN ISTILAH
1. PengertianKearifanLokal
2. PengertianUpacaraKeagamaan
F. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Dan JenisPenelitian
x
……………………....
4. Sumber Data
5. ProsedurPengumpulan Data ………
7
6. Analisis Data
a. Reduksi Data
7
....................................
8
....................................
8
………………
8
b. Pengkajian Data
c. Kesimpulan Dan Verifikasi
............
8
7. PengecekanKeabsahanTemuan
……….
9
........................
9
....................................
9
a. DerajatKepercayaan
b. Keteralihan
………………
10
....................................
10
c. Kebergantungan
d. Kepastian
8. Tahap – TahapPenelitian
………………
10
G. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI …….
11
………………………
13
A. PENGERTIAN KEARIFAN LOKAL
………
13
B. ISLAM DALAM BUDAYA LOKAL
............
20
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
C. AKULTURASI ISLAM KE DALAM ADAT JAWA
24
1. SejarahTradisiUpacaraPertanian
………
24
2. SejarahTradisiUpacaraKelahiran
………
25
3. SejarahTradisiUpacaraKematian
………
25
........................
32
………
32
………………
32
4. PelakuTradisiKeagamaan
5. TempatUpacaraKeagamaan
6. HikmahTradisiKeagamaan
xi
a. HikmahUpacaraPertanian ............
33
b. HikmahUpacaraKelahiran............
33
c. HikmahUpacaraKematian ……….
33
BAB III: PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN…
34
A. GAMBARAN UMUM DESA JOGOYASAN
....
34
…………………………
34
…………………
34
…………………………
34
1. LetakGeografis
2. KondisiKeagamaan
3. KondisiSosial
B. SEJARAH TRADISI PERTANIAN
………....35
C. UPACARA KELAHIRAN ( KEHAMILAN )…….
39
D. UPACARA KEMATIAN …………………………
40
a. UpacaraNgesur Tanah ( Geblag )
…………
40
b. UpacaraTigangDinten ( 3 Hari )
…………
42
c. UpacaraPitungDinten ( 7 Hari )
…………
42
d. UpacaraSekawanDasaDinten ( 40 Hari )…….
43
e. UpacaraNyatus ( 100 Hari ) …………………
43
f. UpacaraMendhakSepisan ( TahunPertama )...
44
g. UpacaraMendhakPindho( TahunKedua )
….
44
h. UpacaraMendhakKatelu ( Nyewu/ 1000 Hari )
44
i. Khol ………………………………………….
45
j. Nyadran
………………………………….
45
E. SAPARAN
………………………………….
46
xii
…………………………………
50
A. MENDIDIK CINTA KEPADA TUHAN ………….
50
….
51
C. KERUKUNAN BERMASYARAKAT ………….
51
………………….
53
BAB IV: PEMBAHASAN
B. MENDIDIK CINTA TERHADAP ALAM
D. MELATIH RASA SYUKUR
E. MENDIDIK SIKAP HORMAT ………………..
53
………………..
55
BAB V : PENUTUP ………………………………………..
56
………………………………..
56
………………………………………..
57
C. PENUTUP
………………………………..
57
DAFTAR PUSTAKA
………………………………..
58
F. MENDIDIK SIKAP OPTIMIS
A. KESIMPULAN
B. SARAN
LAMPIRAN – LAMPIRAN
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kearifan lokal merupakan hasil – hasil pikiran yang muncul dan
perilaku budaya yang menyangkut keagamaan (Hadikusuma, 1993: 25) di
daerah setempat.
Sementara itu agama sebagai hasil rancang bangun dari akumulasi
konsep, pandangan, penafsiran, dan gagasan manusia melalui pedoman
teks sucinya (Roibin, 2009: 191). Agama juga sebagai sistem nilai yang
mana pada suatu saat akan mengalami proses akulturasi, kolaborasi,
bahkan sinkretisasi terhadap kemajemukan budaya sebagai hasil tindakan
manusia, atau kemajemukan budaya pada ranah pemikiran maupun sikap
manusia.
Bertitik tolak dari dasar di atas problem perbedaan pemahaman
antar intern umat beragama terhadap eksistensi agama itu terjadi. Pada
satu pihak, di antara mereka memiliki pemikiran untuk mengembalikan
agama dari kontaminasi-kontaminasi budaya yang sangat akut, seraya
menjaganya dari kemungkinan-kemungkinan bid’ah, khurafat, dan
tahayul.
Upacara keagamaan merupakan bentuk refleksi dari budaya agama,
di mana upacara keagamaan ini berfungsi sebagai sarana untuk
1
mempertahankan atau memperkuat emosi keagamaan dan keyakinan atau
kepercayaannya terhadap sesuatu yang ghaib (Hadikusuma, 1993: 25).
Masyarakat Desa Jogoyasan mayoritas bermata pencaharian
sebagai petani dan seluruhnya beragama Islam. Sehingga dalam
kehidupannya saling berdampingan dan menunjukkan keharmonisan, tidak
pernah ada masalah signifikan yang terjadi di dalamnya. Mereka saling
menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan.
Sebagai objek penelitian, peneliti memilih masyarakat Desa
Jogoyasan dikarenakan pada masyarakat tersebut masih melakukan
upacara – upacara keagamaan. Selain itu masyarakat pedesaan merupakan
kelompok masyarakat yang masih mempercayai akan adanya kekuatan
lain selain Allah SWT, yaitu kekuatan ghaib atau mistik.
2
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja upacara keagamaan pada masyarakat Desa Jogoyasan,
Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang?
2. Apa sajakah kearifan lokal yang terkandung dalam upacara
keagamaan masyarakat Desa Jogoyasan, Kecamatan Ngablak,
Kabupaten Magelang?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui upacara keagamaan apa saja yang dilaksanakan
masyarakat Desa Jogoyasan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten
Magelang.
2. Untuk mengetahui kearifan lokal yang terkandung dalam upacara
keagamaan masyarakat Desa Jogoyasan, Kecamatan Ngablak,
Kabupaten Magelang.
D. Kegunaan Penelitian
1. Bagi akademik, hasil penelitian ini berguna untuk melestarikan nilai nilai budaya yang terdapat di Indonesia.
2. Bagi masyarakat, sebagai sumbangan informasi bagi segenap
masyarakat yang beragama Islam untuk tetap menjaga nilai Islam
yang terdapat pada upacara keagamaan.
3
3. Bagi peneliti, sebagai bahan masukan untuk mengembangkan
wawasan dan sikap ilmiah serta sebagai bahan dokumen untuk
penelitian lebih lanjut.
E. Penegasan Istilah
1. Pengertian Kearifan Lokal
a. Kearifan
Berasal dari kata arif yang artinya cerdik, pandai, bijaksana,
kebijaksanaan akan segala hal (Poerwadarminto, 1984 : 57)
b. Lokal
Berarti setempat (Poerwadarminto, 1984 : 605)
Kearifan lokal berarti kebijaksanaan akan segala sesuatu hal yang
berkaitan dengan kebudayaan pada suatu wilayah.
2. Pengertian Upacara Keagamaan ( Upacara pertanian, kelahiran,
kematian )
a. Upacara
Berarti hal melakukan sesuatu perbuatan yang tentu
menurut adat kebiasan atau agama (Poerwadarminta, 1984: 1132)
b. Keagamaan
Berarti sifat-sifat yang terdapat dalam agama, segala
sesuatu mengenai agama (Poerwadarminta, 1984 :19)
4
c. Pertanian
Segala sesuatu yang bertalian dengan tanam menanam
(Poerwadarminta, 1984: 1016)
d. Kelahiran
Segala sesuatu yang bertalian dengan perihal lahir
(Poerwadarminta, 1984 : 551)
e. Kematian
Perihal mati (Poerwadarminta, 1984 : 639)
Upacara keagamaan berarti suatu rangkaian kegiatan atau ritual
yang dilaksanakan seseorang dalam menjalankankan kehidupan
yang berhubungan dengan agama.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Metode ini dipandang sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku ini dapat diamati terhadap fakta-fakta yang
ada saat sekarang dan melaporkannya seperti apa yang terjadi.
Data kualitatif hanya dapat digolongkan dalam wujud kategorikategori. Misalnya pernyataan orang tentang suatu keadaan bagus,
mencekam, menarik, membosankan, istimewa, dan sebagainya. Pada
hakikatnya manusia sebagai makhluk sosial , psikis, dan budaya yang
mengaitkan makna dan interpretasi dalam bersikap dan bertingkah laku.
5
Makna interpretasi itu sendiri dipengarui oleh lingkungan pendidikan
sekitar.
2. Kehadiran Peneliti
Peneliti dalam hal ini bertindak sebagai instrumen penelitian,
yaitu peneliti terjun langsung ke lapangan untuk proses penelitian dan
pengumpulan data, adapun karakteristik dalam penelitian ini adalah :
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sistem wawancara
tidak berstruktur, peneliti memungkinkan melakukan hal tersebut
dengan latar belakang kebudayaan. Artinya peneliti
memiliki
pengetahuan dasar tentang upacara pertanian, upacara kelahiran, dan
upacara kematian sehingga memungkinkan untuk mengembangkan
pertanyaan untuk wawancara secara mendalam di lapangan.
Peneliti mengadakan komunikasi dengan objek penelitian
memakai bahasa Jawa, yang memungkinkan komunikasi lebih akrab
dan mudah dipahami sehingga akan terjalin baik antara peneliti dan
responden.
Peneliti mencatat dan mengumpulkan data secara terperinci
mengenai hal - hal yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang
diteliti.
3. Lokasi Penelitian
Difokuskan pada Desa Jogoyasan, Kecamatan Ngablak,
Kabupaten Magelang. Karena masyarakat ini masih melaksanakan
6
berbagai kegiatan keagamaan yang menjadi ciri khas dari tempat
tersebut.
4. Sumber Data
Data dalam penelitian ini diperoleh melalui sumber data
lapangan. Sumber data lapangan adalah Kepala Desa, Warga Desa
sebagai pelaku budaya dan Ulama’ setempat. Sedangkan sumber
sekunder yaitu dokumen-dokumen yang merupakan hasil laporan, hasil
penelitian, serta buku-buku yang ditulis orang lain tentang pemahaman
ajaran Islam terhadap tradisi saparan di Dusun Temu Kidul, Desa
Jogoyasan,Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam penilitian ini adalah
wawancara mendalam untuk menggali informasi lebih dalam mengenai
pikiran, serta perasaan responden, untuk mengetahui
lebih jauh
bagamana responden memandang dunia berdasarkan perspektifnya.
Wawancara dilakukan dalam bentuk percakapan informal
dengan menggunakan lembaran berisi garis besar tentang apa-apa yang
ditanyakan, yaitu:
a. Pemahaman terhadap kearifan lokal masyarakat.
b. Pengalaman responden dalam upacara keagamaan
c. Pendapat, pandangan, tanggapan, tafsiran, atau pikiran responden
tentang upacara keagamaan
7
d. Latar belakang responden mengenai pendidikan, pekerjaan, daerah
asal, keadaan sosial ekonomi, dan lain sebagainya.
6. Analisis Data
a. Reduksi Data
Data yang diperoleh di lapangan ditulis dalam bentuk uraian
yang sangat lengkap dan banyak. Data tersebut direduksi,
dirangkum, dipilih hal - hal pokok, difokuskan pada hal - hal yang
penting dan berkaitan dengan masalah - masalah, sehingga memberi
gambaran yang lebih tajam tentang hasil wawancara. Reduksi dapat
membantu dalam memberikan kode kepada aspek - aspek yang
dibutuhkan.
b. Pengkajian Data
Analisis ini dilakukan untuk mengkaji data - data yang telah
tereduksi dengan kajian ilmu yang berkaitan dengan tema penelitian.
Dalam hal ini peneliti menggunakan data- data ilmu pendidikan
Islam, data - data wawancara yang diperoleh di lapangan tentang
upacara keagamaan.
c. Kesimpulan dan Verifikasi
Data yang sudah dipolakan, difokuskan dan disususun secara
sistematis baik melalui reduksi dan pengkajian data kemudian
disimpulkan sehingga makna data bisa ditemukan. Namun
kesimpulan itu masih bersifat sementara saja dan bersifat umum.
Supaya kesimpulan diperoleh secara lebih mendalam, maka
8
diperlukan data yang baru sebagai penguji terhadap kesimpulan di
awal tadi.
7. Pengecekan Keabsahan Temuan
Teknik pemeriksaan data dalam penelitian ini dilaksanakan
berdasarkan beberapa kriteria tertentu, yang dibagi menjadi 4 kriteria
yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan keabsahan yaitu :
a. Derajat Kepercayaan ( Credibility )
Kredibilitas ini merupakan konsep pengganti dari validitas
internal dalam penelitian kuantitatif. Kriteria kredibilitas ini
berfungsi untuk melakukan penelaahan data secara akurat agar
tingkat kepercayaan penemuan dapat dicapai. Adapun teknik dalam
menentukan kredibilitas ini adalah memperpanjang masa observasi,
menggunakan bahan referensi serta member check. Dalam hal ini
adalah informan lain yang memiliki keterkaitan dengan penelitian
atau pelaku budaya di Desa Jogoyasan.
b. Keteralihan ( Transferability )
Konsep ini merupakan pengganti dari validitas eksternal
dalam penelitian kuantitatif. Validitas eksternal diperlukan dalam
penelitian kuantitatif untuk memperoleh generalisasi. Dalam
kualitatif generalisasi tidak dipastikan, ini bergantung pada pemakai,
apakah akan dipastikan lagi atau tidak, karena tidak akan terjadi
situasi yang sama. Transferability hanya melihat kemiripan sebagai
kemungkinan terhadap situasi - situasi yang berbeda. Teknik yang
9
digunakan untuk transferabilitas ini dilakukan dengan uraian rinci
(Thick description).
c. Kebergantungan ( Dependendability )
Konsep ini merupakan pengganti dari konsep reabilitas
dalam penelitian kuantitatif, reabilitas tercapai bila alat ukur yang
digunakan secara berulang - ulang dan hasilnya sama. Teknik yang
digunakan untuk mengukur kebergantungan adalah auditing, yaitu
pemeriksaan data yang sudah dipolakan.
d. Kepastian ( Confirmability )
8. Tahap – Tahap Penelitian
a. Kegiatan administratif yang meliputi pengajuan ijin operasional
untuk penelitian dari ketua STAIN Salatiga kepada pihak kepala
desa yaitu Bapak Ashari S.Ag, untuk menyusun pedoman
wawancara dan administrasi lainnya.
b. Kegiatan lapangan yang meliputi :
1). Survei awal untuk mengetahui gambaran lokasi
2). Memilih sejumlah warga dan pemangku adat sebagai informan
yang dilanjutkan dengan responden penelitian.
3). Melakukan observasi lapangan dengan melakukan wawancara
sejumlah
responden
maupun
informan
sebagai
langkah
pengumpulan data.
4). Menyaji data dengan susunan dan urutan yang memungkinkan
memudahkan dalam pengkajian data.
10
5). Mereduksi data dengan cara membuang data- data yang lemah,
menyimpang, setelah mulai tampak adanya kekurangan data
sebagai akibat proses reduksi data.
6). Melakukan verifikasi untuk membuat kesimpulan- kesimpulan
sebagai deskriptif temuan penelitian.
7). Menyusun laporan akhir untuk dijilid dan dilaporkan .
Penelitian ini dilaksanakan dengan memakan waktu selama
90 hari.
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Dalam memahami skripsi ini, maka perlu diketahui tata urutan
penulisannya. Adapun tata urutannya sebagai berikut :
BAB I
: PENDAHULUAN
Pendahuluan memuat: latar belakang nasalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan
istilah, metode penelitian, sistematika penulisan skripsi.
BAB II : LANDASAN TEORI
Landasan teori berisi tentang teori - teori yang berhubungan
dengan variabel penelitian yaitu tradisi yang meliputi pengertian,
tata cara, dan hal - hal yang berhubungan dengan tradisi
keagamaan, pemahaman Islam yang meliputi pengertian dan
faktor yang berhubungan.
BAB III : PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
11
Paparan data berisi tentang keseluruhan penemuan penelitian,
sejarah, ritual, pelaku, waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan
tradisi keagamaan diantaranya upacara pertanian, upacara
kelahiran, upacara kematian dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan penelitian ini termasuk hasil pengamatan data - data
terkait.
BAB IV : PEMBAHASAN
Pada bab ini akan menguraikan analisis tentang pandangan
masyarakat, pemuka adat, terhadap pemahaman Islam dan tradisi.
BAB V
: PENUTUP
Berisi kesimpulan hasil penelitian, saran, penutup.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Kearifan Lokal
Pengertian kearifan lokal (local wisdom) dalam kamus terdiri dari
dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris
Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat,
sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum
maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasangagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai
baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Dalam disiplin Antropologi dikenal istilah local genius. Antara lain
Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural
identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa
tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak
dan
kemampuan
sendiri
(Ayatrohaedi,
1986:18-19).
Sementara
Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur
budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji
kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang.
Gobyah (2003), mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius)
adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.
Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan
dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan
13
budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara
terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi
nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal.
Menurut Caroline Nyamai-Kisia (2010), kearifan lokal adalah
sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan
diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman
mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya.
Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakan pada
level lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan
sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan. Dalam kearifan
lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal
sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan
sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi
dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Perubahan adalah
keniscayaan dalam kehidupan manusia. Perubahan-perubahan yang terjadi
bukan saja berhubungan dengan lingkungan fisik, tetapi juga dengan
budaya manusia. Hubungan erat antara manusia dan lingkungan kehidupan
fisiknya itulah yang melahirkan budaya manusia. Budaya lahir karena
kemampuan manusia mensiasati lingkungan hidupnya agar tetap layak
untuk ditinggali waktu demi waktu. Kebudayaan dipandang sebagai
manifestasi kehidupan setiap orang atau kelompok orang yang selalu
mengubah alam. Kebudayaan merupakan usaha manusia, perjuangan
14
setiap orang atau kelompok dalam menentukan hari depannya.
Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan.
Oleh sebab itu dituntut adanya kemampuan, kreativitas, dan penemuanpenemuan baru. Manusia tidak hanya membiarkan diri dalam kehidupan
lama melainkan dituntut mencari jalan baru dalam mencapai kehidupan
yang lebih manusiawi. Dasar dan arah yang dituju dalam perencanaan
kebudayaan adalah manusia sendiri sehingga humanisasi menjadi
kerangka dasar dalam strategi kebudayaan.
Ciri-cirinya adalah:
1. Mampu bertahan terhadap budaya luar,
2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,
3. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam
budaya asli,
4. Mempunyai kemampuan mengendalikan,
5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
I Ketut Gobyah dalam “Berpijak pada Kearifan Lokal” dalam
http://www. balipos.co.id, didownload 17/9/2003, mengatakan bahwa
kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau
ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilainilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal
terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun
kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk
budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan
15
hidup. Meski pun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya
dianggap sangat universal.
S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg
Bali” dalam Iun, http://www.balipos.co.id mengatakan bahwa secara
konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan
manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan
perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai
yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang
lama dan bahkan melembaga.
Dalam penjelasan tentang „urf, Pikiran Rakyat terbitan 6 Maret
2003 menjelaskan bahwa tentang kearifan berarti ada yang memiliki
kearifan (al- ‘addah al-ma’rifah), yang dilawankan dengan al-‘addah aljahiliyyah. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari
pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama.
Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai
baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulangulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan
tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami
penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara
sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang
tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa.
Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan.
16
Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem
pengetahuan masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems)
yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan
masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di
sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep
yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu
bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily problem solving).
Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik
dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup
suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dengan kata lain, kearifan
lokal bersemayam pada budaya lokal (local culture).
Budaya lokal (juga sering disebut budaya daerah) merupakan
istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari
budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya lokal adalah
budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau
daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat
yang berada di tempat yang lain.
Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 pasal 1 mendefinisikan
budaya daerah sebagai “suatu sistem nilai yang dianut oleh komunitas atau
kelompok masyarakat tertentu di daerah, yang diyakini akan dapat
memenuhi harapan-harapan warga masyarakatnya dan di dalamnya
terdapat nilai-nilai, sikap tatacara masyarakat yang diyakini dapat
memenuhi kehidupan warga masyarakatnya”.
Di Indonesia istilah budaya lokal juga sering disepadankan dengan
budaya etnik/ subetnik. Setiap bangsa, etnik, dan sub etnik memiliki
kebudayaan
yang mencakup tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem
17
pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi,
sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian.
Secara umum, kearifan lokal dianggap pandangan hidup dan ilmu
pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas
yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah
dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dengan pengertian-pengertian
tersebut, kearifan lokal bukan sekedar nilai tradisi atau ciri lokalitas
semata melainkan nilai tradisi yang mempunyai daya-guna untuk untuk
mewujudkan harapan atau nilai-nilai kemapanan yang juga secara
universal yang didamba-damba oleh manusia.
Yang dimaksud dengan kearifan lokal adalah sesuatu yang
berkaitan khusus dengan budaya tertentu dan mencerminkan cara hidup
suatu masyarakat tertentu, serta memiliki nilai-nilai tradisi atau ciri
lokalitas yang mempunyai daya-guna untuk mewujudkan harapan atau
nilai-nilai kemapanan yang juga secara universal yang didamba-damba
oleh manusia yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.
Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa kearifan
lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam
mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu
sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari
generasi ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu muncul
lewat cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan
juga aturan atau hukum setempat.
18
Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika
masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima
dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan
cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal.
Jenis-jenis kearifan lokal, antara lain;
1. Tata kelola, berkaitan dengan kemasyarakatan yang mengatur
kelompok sosial (kades).
2. Nilai-nilai adat, tata nilai yang dikembangkan masyarakat tradisional
yang mengatur etika.
3. Tata cara dan prosedur, bercocok tanam sesuai dengan waktunya
untuk melestarikan alam.
4. Pemilihan tempat dan ruang.
a. Kearifan lokal yang berwujud nyata, antara lain;
1. Tekstual, contohnya yang ada tertuang dalam kitab kono (primbon),
kalinder.
2. Tangible, contohnya bangunan yang mencerminkan kearifan lokal.
3. Candi borobodur, batik.
b. Kearifan lokal yang tidak berwujud;
1. Petuah yang secara verbal, berbentuk nyanyian seperti balamut.
Fungsi kearifan lokal, yaitu:
1. Pelestarian alam,seperti bercocok tanam.
2. Pengembangan pengetahuan.
3. Mengembangkan SDM.
19
Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik
dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup
suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dan kalau budaya lokal itu
merupakan suatu budaya yang dimiliki suatu masyarakat yang menempati
lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh
masyarakat yang berada di tempat yang lain.
Kearifan lokal apabila diterjemahkan secara bebas dapat diartikan
nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini
berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka kita
harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam
wilayah tersebut.
B. Islam Dalam Budaya Lokal
Perkembangan Islam di penjuru Indonesia sangat erat korelasinya
dengan budaya setempat. Misi penyebaran Islam dahulu kala sangat
mempertimbangkan pola apresiasi, akomodasi, akulturasi, dengan budaya
lokal masyarakat Indonesia. Maka wajar adanya jika wajah Islam
Indonesia dalam batas dan ruang lingkup yang tidak fundamental, menjadi
sangat beragam, seplural konteks kulturalnya.
Bahkan secara historis kita dapat memahami bagaimana proses
dakwah ajaran Islam dilakukan secara bertahap, dengan pertimbangan
yang sangat matang pada pola akomodasi serta apresiasi konteks budaya
khas masyarakat Indonesia. Bahkan jejak- jejak budaya lokal tersebut tetap
20
dipertahankan sebagai sebuah bentuk penghargaan agama Islam atas
konteks budaya. Budaya lokal menjadi media yang efektif bagi proses
penyebaran, perkembangan dan pertumbuhan agama Islam di Nusantara.
Dalam sejarah kita dapat melihat bahwa corak animistic-dynamistic dalam
konteks budaya setempat tidak serta merta dilarang secara keras. Sebab hal
itu tentu akan menimbulkan antipati serta penolakan masyarakat setempat.
Maka dari itu, pola pikir serta pemahaman kultural yang demikian
ditransformasikan secara gradual ke dalam bentuk pemahaman yang lain,
yang secara khas mencerminkan prinsip dan dasar ajaran keislaman.
Sehingga secara tidak langsung, dan tidak disadari masyarakat digiring
pada sebuah perubahan pola pikir keagamaannya. Inilah bentuk dakwah
yang kooperatif dan persuasif, dengan mengakomodir konteks budaya
lokal para pendakwah Islam khususnya, dan agama yang lain umumnya di
Indonesia dahulu kala.
Masuknya Islam ke Indonesia dengan cara merentas ke dalam
budaya, yang merupakan jantung dari komunitas manusia, membuat
budaya menjadi bagian penting dari keberislaman masyarakat Indonesia.
Sampai sekarang, meskipun sudah berabad-abad perkembangan Islam di
Indonesia kemelekatan Islam dengan budaya sangat sulit dilepaskan,
meskipun ada upaya untuk menghilangkannya oleh kalangan muslim
tertentu di Indonesia. Kalau kita mencoba melihat Islam yang hidup di
masyarakat sekarang maka kita akan melihat ekspresinya yang kental
dengan budaya lokal.
21
Budaya lokal ini, meskipun sebagian kaum muslimin tidak
menyukainya karena diangap bid‟ah, namun memiliki banyak hal-hal
positif yang bermanfaat bagi perkembangan sosial ekonomi. Di dalamnya
ada perayaan-perayaan yang mampu menjadi media bagi masyarakat
untuk bersilaturahim dan menjalin hubungan social ekonomi lainnya.
Perekonomian dalam hal ini, secara sederhana terlihat berputar ketika
perayaan-perayaan di mana masyarakat berkumpul menciptakan hubungan
jual beli yang saling menguntungkan.
Benny Ridwan dalam buku berjudul Islam Etika Universal,
menyebutkan bahwa acara- acara yang memiliki kearifan lokal di pedesaan
Jawa seperti lelayu, slub- sluban, sowan, supitan, mitoni, aqiqahan,
rewang, merti dusun dan lain sebagainya menciptakan iklim persaudaraan
yang natural. Sikap kita sebagai warga dan juga makhluk Tuhan adalah
bersaudara. Hubungan sesama warga yang tercakup dalam kesatuan
hubungan yang dilandasi kesadaran akan adanya perbedaan dalam
masyarakat. Persaudaraan merupakan suatu simpul yang mutlak
diperlukan dalam masyarakat
yang
majemuk
ini.
Kemajemukan
merupakan kekayaaan, sekaligus ancaman bagi masyarakat itu sendiri,
yakni muara timbulnya konflik dan perpecahan. Acara-acara yang
memiliki kearifan seperti ini kerap dihadiri oleh mereka-mereka dari
berbagai macam agama dan usia. Jalinan komunikasi dalam pentas acara
tersebut menjadikan kerukunan umat beragama terjalin secara alamiah.
22
Hukum sosial berlaku jika anggota masyarakat sangat minim
dalam partisipasi acaranya. Kearifan lokal ini jugalah yang menjadi
peredam dan tindakan preventif sebagai upaya pencegahan konflik dalam
pesta demokrasi tahun ini dalam sejarah Indonesia baru. Suksesnya pesta
demokrasi, tingkat kesadaran masyarakat semakin tinggi, tidak terjadinya
konflik menjelang dan pasca pemilu hendaknya berjalan paralel dengan
keinginan baik pemimpin terpilih untuk dapat membawa bangsa ini keluar
dari keterpurukan dan maju sejajar dengan bangsa yang lain.
Pentingnya pembauran agama dan budaya lokal dapat dilihat dari
penelitian thesis M. Jakfar Abdullah yang berjudul ” Diantara Agama dan
Budaya Suatu Analisis tentang Upacara Peusijuek di Nangroe Aceh
Darussalam”. Penelitian ini menunjukkan Upacara Peusijuek sebagai hasil
percampuran antara ajaran agama Islam dengan yang bukan Islam.
Sehingga menjadi suatu budaya yang sangat sukar untuk dipisahkan. Hal
ini terjadi karena upacara peusijuek senantiasa mengiringi setiap upacara,
sama pada upacara sosio kemasyarakatan seperti upacara perkawinan,
mendirikan bangunan maupun sosiokeagamaan seperti berkhitan, orang
yang hendak menunaikan ibadah haji, dan sebagainya.
Meskipun peusijuek diakui oleh tokoh adat, tokoh masyarakat, dan
tokoh agama sebagai budaya peninggalan budaya dan agama Hindu,
namun mayoritas masyarakat. Aceh masih tetap mengamalkan peusijuek
sebagai amalan budaya. Di kampung- kampung, pelaksanaan peusijuek
lebih lebih banyak diadakan daripada dengan masyarakat Aceh yang
23
bertempat tinggal dikota-kota. Di kampung, mereka yang tidak
melaksanakan peusijuek dianggap sebagai orang yang tidak punya adat
dan budaya. Di kota-kota, sebagian masyarakat Aceh sudah tidak
melakasanakan peusijuek lagi,dan ini menjadi suatu hal yang dianggap
biasa saja.
C. Akulturasi Islam ke dalam Adat Jawa
1. Sejarah Tradisi Upacara Pertanian
Tradisi keagamaan upacara pertanian ini telah berlangsung secara
turun temurun dari sesepuh atau nenek moyang terdahulu. Untuk
kapan pertama kali dilaksanakan tidak diketahui. Berikut penuturan
Bapak Bagio, petani setempat yang masih menjalankan tradisi
tersebut” Kapan tradisi keagamaan upacara pertanian dimulai, tidak
diketahui, kita melaksanakan upacara tersebut berdasarkan kebiasaan
turun temurun dari nenek moyang ”. Dari paparan pernyataan tersebut
dapat
ditarik
kesimpulan
bahwasanya
tradisi
upacara
yang
dilaksanakan oleh petani telah berlangsung sejak lama, dan sebagai
wujud nyata dari kearifan lokal yang telah dijaga kelestariannya
hingga saat ini. Bahkan masyarakat beranggapan bahwa dengan
adanya tradisi upacara pertanian tersebut, hasil panen yang akan
diperoleh lebih banyak dan lebih memuaskan meski sebenarnya
mereka juga yakin bahwa yang memberikan baik tidaknya hasil
pertanian tersebut adalah Allah SWT.
24
2. Sejarah Tradisi Upacara Kelahiran
Upacara kelahiran yang dilaksanakan dalam masyarakat yang
sering dilaksanakan adalah mitoni, yaitu upacara yang dilaksanakan
ketika usia kehamilan memasuki usia ke tujuh. Secara antropologis,
kehamilan adalah simbol fertilitas dan penanda lahirnya sebuah
generasi baru yang harus disambut dengan seksama. Dan Kebudayaan
Tujuh Bulanan ini selalu dilakukan oleh masyarakat Jawa pada
umumnya dan masyarakat Jawa Tengah
khususnya. Pelaksanaan
Tujuh Bulanan ini diambil dari Kalender Islam atau Kalender Masehi,
dimana upacara adat ini biasanya diselenggarakan pada atau setelah
usia kehamilan memasuki usia ketujuh yang menurur kepercayaan
agar si jabang bayi yang dilahirkan mendapatkan keselamatan,
keberkahan, juga menjadi anak yang soleh/ solehah, dan menjadi anak
yang berbakti dan patuh terhadap kedua orang tuanya. Dan tradisi
seperti itu ditujukan sebagai ungkapan rasa syukur dan mohon
kesejahteraan dan keselamatan lahir bathin, dunia dan akhirat.
3. Sejarah Tradisi Upacara Kematian
Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta
pengembangan Islam di Pulau Jawa adalah para ulama/mubaligh yang
berjumlah sembilan, yang populer dengan sebuatan Wali Songo
(http://www.akhirzaman.com) . Atas perjuangan mereka, berhasil
mendirikan sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang
berpusat di Demak, Jawa Tengah.
25
Para
ulama
yang
sembilan
dalam
menyiarkan
dan
mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya
beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dalam membuang
adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk
Islam.
Para ulama yang sembilan (Wali Songo) dalam menangguangi
masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam
terbagi menjadi dua aliran yaitu ALIRAN GIRI dan ALIRAN
TUBAN.
ALIRAN GIRI adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden
Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan
Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain.Aliran ini dalam
masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran
Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang yang
dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang
jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari'at
Islam tanpa reserve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan
mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut ISLAM PUTIH.
Adapun ALIRAN TUBAN adalah suatu aliran yang dipimpin
oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan
Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati. Aliran
ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikutnya
yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah
26
mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk
Islam. Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari syari'at
Islam. Maka para wali aliran Tuban berusaha agar adat istiadat Budha,
Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai keislaman. Karena
moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih banyak
dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang "radikal". aliran ini
sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh mencampur adukan
syari'at Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran
Islam abangan.
Musyawarah Para Wali
Pada masa para wali dibawah pimpinan Sunan Ampel, pernah
diadakan musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat
istiadat lama bagi orang yang telah masuk Islam. Dalam musyawarah
tersebut Sunan Kali Jaga selaku Ketua aliran Tuban mengusulkan
kepada majelis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit
dibuang.
Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu itu
sebab para ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama
dan lain-lainnya sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang
sebenarnya.Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang penuh diplomatis
itu, Sunan Ampel selaku penghulu para wali pada waktu itu dan
sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan
sebagai berikut :
27
"Apakah tidak dikhawatirkan dikemudian hari?, bahwa adat
istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam,
sehingga kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan
menjadikan bid'ah"?.Pertanyaan Sunan Ampel tersebut
kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut :
"Saya sangat setuju dengan pendapat Sunan Kali Jaga"
Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat
tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah
menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai
dengan keinginannya. Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil
musyawarah, upacara dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre
Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang
kemudian dikenal dengan nama nelung dino, mitung dina, matang
puluh, nyatus, dan nyewu.
Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara
seperti itu yang berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme
dan dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang
subur. Maka dari itu tidaklah heran muridnya Sunan Kali Jaga sendiri
yang bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang yang sangat
leluasa untuk mensinkritismekan ajaran Hindu dalam Islam. Dari hasil
olahannya, maka lahir suatu ajaran klenik/aliran kepercayaan yang
berbau Islam. Dan tumbuhlah apa yang disebut "Manunggaling
Kawula Gusti" yang artinya Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka
tatacara untuk mendekatkan diri kepada Allah lewat shalat, puasa,
zakat, haji dan lain sebagainya tidak usah dilakukan.Sekalipun Syekh
Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi murid-muridnya yang cukup
28
banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan
seperti itu hidup subur sampai sekarang.
Keadaan umat Islam setelah para wali meninggal dunia semakin
jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. Para Ulama aliran Giri yang
terus mempengaruhi para raja Islam pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya untuk menegakkan syari'at Islam yang murni
mendapat kecaman dan ancaman dari para raja Islam pada waktu itu,
karena raja-raja Islam mayoritas menganut aliran Tuban. Sehingga
pusat pemerintahan kerajaan di Demak berusaha dipindahkan ke
Pajang agar terlepas dari pengaruh para ulama aliran Giri.
Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja
Amangkurat I, para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan
masyarakat, mereka ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan
Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama. Melihat tindakan yang
sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri itu, maka Trunojoyo,
Santri
Giri
berusaha
menyusun
kekuatan
untuk
menyerang
Amangkurat I yang keparat itu.
Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai
pengganti ayahnya, ia membela, dendam terhadap Truno Joyo yang
menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC
menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri
dibunuh habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi
pula. Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam
29
yang konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah
ulama-ulama yang lunak (moderat) yang mau menyesuaikan diri
dengan keadaan masyarakat yang ada. maka bertambah suburlah adatistiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara
adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian.
Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada
seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat
lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna. Baru pada
tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H.
Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk
mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu Al Qur'an dan As Sunnah,
karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyrakat
Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal
dari Al Qur'an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan
khurafat dan bid'ah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan
konservatif dan tradisional.
Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis
habis segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang
melekat pada Islam, akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran
pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju
seperti umat-umat lain. Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan beliau
tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang
ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju
30
untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah
diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran
Tuban dahulu, yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi
nafas Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung
dina, matang dina, nyatus, dan nyewu.
Pada tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan
didirikannya organisasi yang diberi nama "Nahdhatul Ulama" yang
disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan suatu
keputusan yang antara lain :
"Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan
tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di
masyarakat".
Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang
NU. Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan
bacaan tahlil, termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara
lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman
berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang.
Sesuai dengan sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian,
maka istilah tahlilan dalam upacara kematian hanya dikenal di Jawa
saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini.
Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa saja.
Apalagi di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara
31
lainnnya diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan
dalam kematian ini.
Dengan sudah mengetahui sejarah lahirnya tahlilan dalam
upacara kematian yang terurai diatas, maka kita tidak akan lagi
mengatakan bahwa upacara kematian adalah ajaran Islam, bahkan kita
akan bisa mengatakan bahwa orang yang tidak mau membuang
upacara tersebut berarti melestarikan salah satu ajaran agama Hindu.
Orang-orang Hindu sama sekali tidak mau melestarikan ajaran Islam,
bahkan tidak mau kepercikan ajaran Islam sedikitpun. Tetapi kenapa
kita orang Islam justru melestarikan keyakinan dan ajaran mereka.
4. Pelaku tradisi keagamaan
Pelaku tradisi keagamaan yang meliputi upacara pertanian,
upacara kelahiran dan upacara kematian dalam penelitian ini adalah
masyarakat Desa Jogoyasan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten
Magelang. Dan seluruh penduduknya beragam Islam.
5. Tempat Upacara Keagamaan
Upacara pertanian dilaksanakan di Desa Jogoyasan, khususnya
pada rumah warga yang akan melaksanakan penanaman pada sawah –
sawah mereka.
Sedangkan untuk upacara kelahiran dan kematian upacara
dilaksanakan pada rumah masyarakat dimana didalamnya terdapat
salah satu keluarganya yang melahirkan maupun mati.
6. Hikmah Tradisi Keagamaan
32
a. Hikmah Upacara Pertanian
Dengan diadakannya upacara pertanian ini dapat kita ambil
suatu hikmah antara lain :
1. Meningkatkan ketakwaan terhadap Allah SWT
2. Meningkatkan rasa solidaritas antar warga masyarakat
3. Mempererat tali silaturahmi antar warga
b. Hikmah Upacara Kelahiran
1. Meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT
2. Meningkatkan rasa syukur kita kepada Allah SWT
3. Lebih mengerti tentang arti kehidupan
4. Menambah nilai keimanan terhadap Allah SWT
5. Hikmah Upacara Kematian
1. Mengetahui siklus kehidupan
2. Meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT
3. Meningkatkan rasa introspeksi diri
4. Meningkatkan rasa solidaritas terhadap sesama
5. Meningkatkan ibadah kepada Allah SWT
33
BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Gambaran Umum Desa Jogoyasan
1. Letak Geografis
Desa Jogoyasan merupakan daerah atau wilayah Kecamatan
Ngablak, Kabupaten Magelang. Dengan luas wilayah 173.630 ha, yang
terbagi dalam
5
dusun dan terdiri atas
1875
jiwa. Selain itu Desa
Jogoyasan berbatasan langsung dengan:
a. Sebelah Utara
: Desa Keditan Kecamatan Ngablak
b. Sebelah Selatan
: Desa Girirejo Kecamatan Ngablak
c. Sebelah Timur
: Desa Pandean Kecamatan Ngablak
d. Sebelah Barat
: Desa Pagergunung Kecamatan Ngablak
2. Kondisi Keagamaan
Berdasarkan data kependudukan yang didapat dari Kantor Kepala
Desa Jogoyasan 2010 telah diketahui bahwa, seluruh warga masyarakat
Desa
Jogoyasan
berkeyakinan
atau
beragama
Islam,
sehingga
masyarakatnya juga hidup secara berdampingan dan harmonis dalam
menjalankan kegiatan keagamaan.
3. Kondisi Sosial
Kondisi sosial ekonomi Desa Jogoyasan dapat digambarkan
sebagai berikut:
a. PNS
: 15 orang
34
b. Pegawai Swasta
: 31 orang
c. Wiraswasta
: 25 orang
d. Petani
: 854 orang
e. Buruh
: 126 orang
f. Tukang Kayu
: 11 orang
g. Tukang Batu
:29 orang
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa mayoritas dari
penduduk bermata pencaharian sebagai petani.
B. Sejarah Tradisi Upacara Pertanian
Upacara pertanian dilaksanakan sebelum petani menanam segala sesuatu
pada sawah – sawah mereka. Yang pertama kali dilakukan adalah dengan
penentuan hari dan waktu. Setelah hari dan waktu ditentukan maka petani
tersebut mencari benih yang hendak ditanam, misalnya kubis, tomat, cabe
ataupun yang lainnya. Kemudian ketika waktu yang dimaksud telah tiba maka
petani tersebut harus menanamkan benih tersebut, dan apabila waktu yang
terpilih mendekati sore ataupun malam, maka petani boleh melanjutkan
peneneman tersebut di kemudian hari dengan syarat sudah menanamkan benih
tersebut pada waktu yang telah ditentukan tersebut meski hanya satu benih.
Petani biasa menyebut hal tersebut dengan sebutan Kacir. Setelah semua benih
tertanam maka petani tersebut mengadakan selamatan di rumah dengan
menggunakan bubur merah.
35
Kebudayaan Jawa telah mengajarkan kepada kita untuk selalu bersukur
dan menjaga keharmonisan dengan alam. Memaknai dan memberi warna
istimewa terhadap hasil yang telah diperoleh. Memanfaatkannya untuk
kepentingan orang lain dan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun
keluarga adalah presentasi kebudayaan Jawa yang senantiasa diselaraskan
dengan alam dan kaya makna dalam ranah kehidupan sosial.
Kebudayaan Jawa yang sering kali kita dapat bedakan melalui dua kultur
masyarakat yang berbeda, little tradition (kebudayaan tradisional petani) dan
great tradition (peradaban masyarakat kota) ini dapat diafiliasikan maknanya
dalam tradisi selametan sebelum mulai tanam atau panen padi yang sering kali
disebut dengan upacara wiwitan. Upacara ini merupakan bagian integral dalam
pola pertanian masyarakat Jawa yang sampai saat ini masih dipertahankan
meski gempuran arus modernisasi merambah lini-lini kebudayaan tradisional
kita.
Upacara wiwitan
ini adalah hasil
implementasi dari tiga fase
perkembangan kebudayaan Jawa, mulai dari fase mistis, mistis-religius dan
fase rasional-religion. Ini juga bisa dikatakan sebagai pandangan dunia (word
view) terhadap pandangan masa depan keselamatan dan hasil panen yang
berlimpah ruah. Perkembangan budaya mistis Jawa yang dulunya bersandarkan
kepada kekuatan diluar diri mereka atau keteraturan alam numen dan numinous
kepola pemikran yang lebih rasional telah mengilhami pertanian modern yang
lebih mendasarkan diri kepada akal budi.
36
Perkembangan ini tidak lain karena pola pikir masyarakat yang semakin
maju dalam dunia pertanian. Terutama Jawa yang memiliki dua kultur
pertanian berbeda yakni petani lahan kering dan lahan basah. Di mana petani
lahan kering lebih banyak mengembangkan komoditas tanaman keras atau
perkebunan, sejenis tanaman kayu dan buah-buahan. Sedangkan petani lahan
basah lebih banyak membudidayakan tanaman padi dan beraneka ragam sayursayuran atau tanaman palawija.
Hal ini sangat kontradiktif sekali dengan falsafah Jawa yang mengajarkan
untuk mencintai alam ini. Sebagaimana upacara wiwitan yang dilakukan kaum
petani Jawa, yang diselenggarakan sebagai ucapan terimakasih, puji dan sukur
kepada Tuhan, pencipta alam semesta. Sebuah tradisi yang biasanya dilakukan
untuk
menandai
dimulainya
waktu
masa
tanam
padi
atau
panen.
Dalam tradisi tersebut seakan mengharuskan pemilik sawah menyediakan
jamuan makan bagi tetangga, biasanya berupa nasi megana dan seekor ayam
ingkung. Nasi Magana yang disajikan digelar di atas daun pisang yang ditaruh
di atas meja, ingkung akan dibagi dengan diiris-iris sesuai undangan yang
datang.
Sebelum
menyantap
hidangan
seorang
kiai
kampung
akan
membacakan doa keselamatan dan rasa syukur atas dimulainya menanam dan
memanen padi. Setelah usai berdoa, sisa makanan akan dibawakan tamu
undangan. Tradisi ini bahkan tidak hanya dilakukan di rumah karena wiwitan
terkadang juga dilakukan di tengah sawah.
Upacara wiwitan ini tidak hanya menjadi upacara sewaktu akan
menanam atau memanen padi, tetapi juga sebagai salah satu perekat tali
37
persaudaraan antara warga desa, khusunya kaum petani. Lebih-lebih upacara
ini merupakan khazanah budaya yang memiliki dimensi sosial sangat tinggi.
Karena di dalamnya menanamkan rasa persaudaraan dan solidaritas atar
sesama manusia. Biasanya saat menanam dan memanen padi para petani itu
saling membantu petani yang menyelenggarakan upacara wiwitan. Ini
merupakan aksi solidaritas yang kaya dengan falsafah Jawa “mikul duwur
mendem jero.” Untuk lebih memeriahkan upacara ini warga terkadang juga
menggelar kesenian gejon lesung dengan tembang-tembang Jawa yang berisi
tentang kemakmuran para petani.
Di samping sebagai wujud syukur tradisi wiwitan ini digelar sebagai
bentuk untuk melestarikan ritual budaya yang hampir punah dikalangan petani
Jawa. Apalagi di tengah zaman yang kini sekat-sekat sosial kian menonjol.
Tradisi wiwitan layak terus dikembangkan oleh petani di desa-desa agar
hubungan sosial warga tidak semakin pudar tetapi terus merekat sepanjang
zaman. Niat yang tulus akan diberkahi oleh alam. Alam punya intelegensi luar
biasa yang mampu memahami niat dan isi hati kita tanpa batasan dan cara.
Maukah kita mencoba mensyukuri berkah yang telah lama kita lupakan ini,
bukan dengan doa yang diucapkan sembarang karena reflek, tetapi dengan
setiap kata yang dihayati. Memandang nasi yang kita makan hari ini bak
kumpulan mutiara putih yang berharga. Memandang mereka sebagai hasil
perkawinan alam yang telah dilimpahkan kepada kita, hingga menjadi
gugusan-gugusan yang membangun tubuh dan jiwa.
38
C. Upacara Kelahiran ( Kehamilan)
Sudah menjadi takdir seorang wanita mengalami masa – masa yang
penuh keajaiban, yaitu masa ketika janin telah tumbuh dalam rahim seorang
ibu. Dari fase ke fase janin terus tumbuh menjadi besar. Dalam proses tersebut
kita sebagai manusia tidak ada salahnya jika kita mengadakan berbagai upacara
mulai dari ngapati sampai mitoni.
Upacara ngapati diadakan ketika usia kehamilan memasuki usia 4 bulan.
Hal tersebut berdasarkan keyakinan bahwa pada masa ini ruh telah ditiupkan
ke janin. Dengan diadakan doa bersama sebagai sikap syukur, ketundukan, dan
kepasrahan. Selain itu kita juga sebaiknya mengajukan permohonan kepada
Allah SWT supaya agar nanti anak yang lahir sebagai manusia yang utuh
sempurna, sehat, yang dianugerahi rizki yang baik dan lapang, berumur
panjang yang penuh nilai- nilai ibadah, beruntung di dunia dan akhirat.
Setelah usia kehamilan memasuki usia ketujuh, pada masyarakat Desa
Jogoyasan telah mengadakan upacara mitoni atau tingkeban. Yang
dilaksanakan pada hari Sabtu Wage. Adapun waktunya yaitu pukul 03.00.
ritual diadakan dirumah dan juga di tempat di mana ibu hamil tersebut mandi.
Ritual yang diadakan dirumah yaitu dengan mengadakan kenduri yang di
dalamnya disiapkan nasi golong dan telur ayam kampung yang jumlahnya 7
buah yang diletakkan di atas tampah . Kenduri dilaksanakan di depan pintu
rumah, dan tidak diperbolehkan diadakan di dalam rumah. Jumlah orang yang
diundang dalam upacara tersebut juga berjumlah 7 orang. Setelah kenduri
dilaksanakan, si ibu mandi kembang pada air yang mengalir dengan membawa
39
sapu lidi, tikar dan tampah yang telah selesai digunakan. Hal tersebut dipercaya
masyarakat dapat mempermudah kelahiran sang bayi, dan setelah itu si ibu
tinggal menunggu hingga waktu kelahiran si jabang bayi tersebut.
Upacara kelahiran dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur ataupun
sambutan atas lahirnya anggota baru dalam keluarga. Akan tetapi bentuk
ataupun perwujudan dalam menyambut kelahiran atas putra – putri mereka
berbeda – beda. Ada yang dilaksanakan secara sederhana, dan ada pula yang
dilaksanakan secara mewah.
D. Upacara Kematian
Penghormatan
ala
Jawa
bagi
orang
yang
telah
meninggal
Dalam pemahaman orang Jawa, bahwa nyawa orang yang telah mati itu
sampai dengan waktu tertentu masih berada di sekeliling keluarganya. Oleh
karena itu kita sering mendengar istilah selametan yang dilakukan untuk orang
yang telah meninggal. Berikut diantaranya ritual yang dilakukan menurut adat
istiadat Jawa.
1. Upacara ngesur tanah (geblag)
Upacara ngesur tanah merupakan upacara yang diselenggarakan
pada saat hari meninggalnya seseorang. Upacara ini diselenggarakan pada
sore hari setelah jenazah dikuburkan. Istilah sur tanah atau ngesur tanah
berarti menggeser tanah (membuat lubang untuk penguburan mayat).
Makna sur tanah adalah memindahkan alam fana ke alam baka dan wadag
40
semula yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah juga.
Bahan yang digunakan untuk kenduri terdiri atas:
a. Nasi gurih (sekul wuduk)
b. Ingkung (ayam dimasak utuh)
c. Urap (gudhangan dengan kelengkapannya)
d. Cabai merah utuh
e. Krupuk rambak
f. Kedelai hitam
g. Bawang merah yang telah dikupas kulitnya
h. Bunga kenanga
i. Garam yang telah dihaluskan
j. Tumpeng yang dibelah dan diletakkan dengan saling membelakangi
(tumpeng ungkur-ungkuran) yang memiliki makna bahwa mayat telah
berpisah antara jasmani dan ruhnya.
Dalam
prosesi
pemakaman,
sering
kita
jumpai
masyarakat
menggunakan bunga yang dirangkai dan dikalungkan pada keranda yang
dibawa untuk mengangkut mayat ke pemakaman. Bunga memiliki makna
penghormatan kepada jenazah dan untuk mengenang kebaikan-kebaikan
yang dilakukan selama hidupnya dan suatu upaya keluarga untuk
mendoakan agar arwahnya diterima disisi Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Selain bunga, perangkat yang selalu digunakan dalam prosesi
pemakaman yaitu payung. Payung ini memiliki makna tanda belas kasih,
41
cinta sanak keluarga terhadap orang yang baru saja meninggal itu tidak
kehujanan dan kepanasan selama di liang kubur.
2. Upacara tigang dinten (tiga hari)
Upacara ini merupakan upacara kematian yang diselenggarakan
untuk memperingati tiga hari meninggalnya seseorang. Peringatan ini
dilakukan dengan kenduri dengan mengundang kerabat dan tetangga
terdekat. Bahan untuk krnduri biasanya terdiri atas: Takir pontang yang
berisi nasi putih dan nasi kuning, dilengkapi dengan sudi-sudi yang berisi
kecambah, kacang panjang yang telah dipotongi, bawang merah yang telah
diiris, garam yang telah digerus (dihaluskan), kue apem putih, uang, gantal
dua buah. Nasi asahan tiga tampah, daging lembu yang telah digoreng,
lauk-pauk kering, sambal santan, sayur menir, jenang merah. Adapun
makna dari sesajen tersebut adalah untuk menyempurnakan 4 perkara yang
disebut anasir yaitu bumi, api, angin, dan air.
3. Upacara pitung dinten (tujuh hari)
Upacara ini untuk memperingati tujuh hari meninggalnya
seseorang. Bahan yang digunakna untuk kenduri biasanya terdiri atas: Kue
apem yang di dalamnya diberi uang logam, ketan, kolak (semuanya
diletakkan dalam satu takir) Nasi asahan tiga tampah, daging goreng,
pindang merah yang dicampur dengan kacang panjang yang diikat kecilkecil, dan daging jeroan yang ditempatkan dalam wadah berbentuk kerucut
(conthong), serta pindang putih. Sesajen tersebut maksudnya untuk
42
menyempurnakan pembawaan dari ayah dan ibu berupa darah, daging,
sungsum, jeroan (isi perut), kuku, rambut, tulang, dan otot.
4. Upacara sekawan dasa dinten (empat puluh hari)
Upacara ini untuk memperingati empat puluh hari meninggalnya
seseorang. Biasanya peringatannya dilakukan dengan kenduri. Bahan
untuk kenduri biasanya sama dengan kenduri pada saat memperingati
tujuh hari meninggalnya, namun ada tambahan sebagai berikut:
a. Nasi wuduk
b. Ingkung
c. Kedelai
d. Cabai merah utuh
e. Rambak kulit
f. Bawang merah yang telah dikupas kulitnya
g. Garam
h. Bunga kenanga
Sesajen tersebut mempunyai maksud untuk menyempurnakan
semua yang bersifat badan wadag (jasad)
5. Upacara nyatus (seratus hari)
Upacara ini untuk memperingati seratus hari meninggalnya
seseorang. Tata cara dan bahan yang digunakan untuk memperingati
seratus hari meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan
peringatan empat puluh hari.
43
6. Upacara mendhak pisan (setahun pertama)
Upacara mendhak pisan merupakan upacara yang diselenggarakan
ketika orang meninggal pada setahun pertama. Tata cara dan bahan yang
diigunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya pada dasarnya
sama dengan ketika melakukan peringatan seratus hari.Hal tersebut
dilaksanakan dengan maksud untuk menyempurnakan kulit, daging, dan
organ dalamnya.
7. Upacara mendhak pindho (tahun kedua)
Upacara mendhak pindho merupakan upacara terakhir untuk
memperingati meninggalnya seseorang. Tata cara dan bahan yang
digunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya pada dasarnya
sama dengan ketika melakukan peringatan mendhak pisan. Hal tersebut
dilaksanakan dengan maksud untuk menyempurnakan semua kulit, darah,
dan semacamnya yang tinggal hanyalah tulangnya saja.
8. Upacara mendhak katelu (nyewu)
Merupakan peringatan seribu hari bagi orang yang sudah
meninggal. Peringatan dilakukan dengan mengadakan kenduri yang
diselenggarakan pada malam hari. Bahan yang digunakan untuk kenduri
sama dengan bahan yang digunakan pada peringatan empat puluh hari.
ditambah dengan: daging kambing/domba becek bagi yang belum
mengadakan aqiqah. Hal tersebut bermaksud supaya kambing tersebut
nantinya dapat dijadikan kendaraan bagi si mayat untuk menuju ke
hadapan Tuhan. Sedangkan peringatan mendhak katelu ini dimaksudkan
44
untuk menyempurnakan semua rasa dan bau hingga semua rasa dan bau
sudah lenyap.
9. Kol(kol kolan)
Kol merupakan peringatan yang dilakukan untuk orang yang sudah
meninggal setelah seribu hari. Ngekoli diselenggarakan bertepatan dengan
satu tahun setelah nyewu. Saat peringatan ini harus bertepatan dengan hari
dan bulan meninggalnya. Ngekoli dilakukan dengan kenduri dengan bahan
kenduri: kue apem, ketan, dan kolak. Semuanya diletakkan dalam satu
takir. Pisang raja satu tangkep, uang “wajib”, dan dupa.
10. Nyadran
Nyadran adalah hari berkunjung ke makam para leluhur/kerabat
yang telah mendahului. Nyadran ini dilakukan pada bulan Ruwah atau
bertepatan dengan saat menjelang puasa bagi umat Islam. untuk
memperjelas lagi sedikit arti/makna sesajinya dan unsur- unsur upacarnya:
Sesajen upacara ngesur tanah : bermakna memindahkan roh jenazah dari
alam fana ke alam baka. Kematian tersebut didoakan oleh para ahli waris
dengan berbagai sesajen yang tujuannya mengharap keselamatan bagi
orang yang meninggal dan mendapat ampunan dari Tuhan.
Budaya Jawa terkenal mudah untuk menyerap budaya dari luar
yang masuk tanpa kehilangan identitasnya. Suatu misal, dengan masuknya
agama Islam, ritual selametan biasanya ditambahi dengan pembacaan ayatayat Al-Qur’an, seperti Surat Yasiin dan Tahlil. Meski bagi sebagian
masyarakat yang memahami Islam secara murni hal ini dapat
45
dikategorikan sebagai bid’ah, namun bagi masyarakat yang masih
memegang teguh tradisi leluhur hal ini sulit untuk ditinggalkan.
Karena hal ini merupakan wujud dari sikap hormat terhadap orang tua,
serta sebagai bentuk pengejawantahan anak yang sholeh yang selalu
mendoakan orang tuanya dalam kepercayaan Islam.
E. Saparan
Mayoritas masyarakat Desa Jogoyasan bermata pencaharian sebagai
petani. Dimana pada setiap tahunnya masyarakat mengadakan upacara- upacara
yang berkaitan dengan masa tanam atau yang dikatakan sebagai wiwitan dan
ada masa panen. Pada masyarakat ini ungkapan rasa syukur atas hasil panen
yang melimpah tersebut tidak pasti dilaksanakan setelah masa panen tersebut
berlangsung. Akan tetapi sebagai ungkapan rasa syukur tersebut masyarakat
telah mengadakan tradisi sendiri yang dinamakan Saparan. Yang mana tradisi
tersebut dilaksanakan setiap bulan Sapar. Sehingga dapat dikatakan Saparan
berhubungan erat dengan tradisi pertanian.
Pelaksanaan tradisi ini dilaksanakan tidak berdasarkan tanggal
tertentu akan tetapi menurut hari yang dipercaya warga masyarakat desa itu
sendiri yaitu hari Sabtu Legi. Hari Sabtu Legi diambil berdasarkan kepercayaan
dari sesepuh desa yang mempercayai bahwa hari sabtu Legi itulah hari jadi
Desa Jogoyasan.
Tiga atau dua hari sebelum acara tersebut dilaksanakan para warga
saling bergotong royong bersama- sama mengadakan kerja bakti untuk
46
membersihkan desa dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Pada
hari malam Jum’at sebelum hari sabtu legi, para warga mengadakan doa
bersama yang diadakan yang dilaksanakan di rumah kepala dusun yang
dipimpin oleh ulama setempat.
Pada Jum’at pagi para warga bersama- sama mengadakan Nyadran.
Nyadran adalah bersih – bersih makam pada makam leluhur mereka. Mereka
saling membantu satu sama lain untuk membersihkan makam sehingga dari
kebiasaan
tersebut
terlihat
adanya
keharmonisan
dalam
kehidupan
bermasyarakat mereka.
Kemudian pada hari Sabtu Legi dari setiap warga masyarakat mengundang
para saudara atau kerabat dari desa lain untuk berkunjung ke rumah mereka
dengan berbagai suguhan istimewa. Baik berupa makanan ataupun pertunjukan
seni yang diadakan di desa tersebut. Pada hari inilah disuguhkan beberapa jenis
makanan yang memiliki makna simbolik:
a. Ingkung Ayam
Ingkung ayam adalah ayam yang sudah dimasak dan masih utuh.
melambangkan pengorbanan selama hidup, cinta kasih terhadap sesama juga
melambangkan hasil bumi (hewan darat)
b. Tumpeng
Tumpeng adalah nasi yang dibentuk lancip dan menyerupai kerucut.
Melambangkan ketuntasan dan kesempurnaan. Artinya, jika melakukan
sesuatu harus dengan tuntas dan tidak setengah-setengah. Sedangkan
47
tumpeng berasal dari kata tumungkulo sing mempeng, artinya jika kita ingin
selamat, hendaknya kita selalu rajin beribadah.
c. Jajan Pasar
Jajan pasar adalah makanan yang terdiri dari berbagai macam jajanan
yang ada di pasar. Misalnya : tape, kacang, buah - buahan, cethil ( makanan
yang terbuat dari ketela pohon ) dan yang lainnya. Melambangkan
kerukunan walaupun ada perbedaan, tenggang rasa.
Kecenderungan upacara tradisi dalam saparan, khususnya warga
masyarakat Jogoyasan cukup menarik. Meskipun ada kesulitan penulis
untuk memahami tradisi saparan. Mungkin hasil dari pengamatan yang kami
dapatkan baik secara langsung di masyarakat atau dengan wawancara
dengan warga akan bisa memaparkan tentang tradisi sparan. Hasil
wawancara dari salah satu warda dusun pagertengah tentang pandangan
tradisi saparan, sebagaimana diungkapkan Saudara Parli:
’’Sebenarnya acara saparan itu sendiri bagus, tujuannya pun jelas yaitu :
Syukuran dusun atau memperingati cikal-bakal adanya dusun istilahnya
dalam bahasa Jawa (merti dusun), itu juga sama halnya seperti syukuran
yang diadakan setiap hari kemerdekaan tanggal 17 agustus. Mungkin yang
perlu ditinjau kembali adalah dalam pelaksanaannya’’.
Warga masyarakat Pagertengah mempunyai cara pandang sendiri
terhadap tradisi saparan. Salah satu tokoh warga masyarakat dusun
Pagertengah tentang apa saja acara yang ada di dalamnya, yang di
ungkapkan Bapak Tarjo:
“Saparan itu memang dari dulu sudah ada sejak zaman nenek moyang, kalau
cikal-bakalnya atau pertama kali muncul kurang begitu jelas, entah itu
datangnya pada masa transisi dari Hindu-Budha ke agama Islam, sebelum
itu atau bahkan sesudah Islam menyebar”.
48
Dengan acara Saparan masyarakat dapat melengkapi pemenuhan
kebutuhannya akan sarana pengungkapan persaan mereka akan aspek-aspek
pengalaman hidup mereka.
49
BAB IV
PEMBAHASAN
Kearifan lokal memiliki peran penting dalam memahami siklus
kehidupan. Adapun fungsi kearifan lokal dalam bidang pendidikan yaitu:
A. MendidikCintaKepadaTuhan
Sebagaiinsan
yang
beragamasudahsepantasnyakitadapatmengambilhikmahakanartipesan yang
disampaikandariberbagaikegiatankeagamaan
yang
dilakukanpadamasyarakattersebut. Denganadanyarangkaiankegiatan yang
dilaksanakan di dalam ritual upacarakeagamaan, misalnyamanakiban,
tahlilan,
yasinandapatdijadikanperantarakomunikasikitasebagaiumatmanusiakepada
Allah
SWT.Dan
denganadanya
ritual
tersebutdiharapkankitadapatmencapaikeridhoanNyadalammenjalanihidup.
Karena yang terlibatdalamacaratersebuttidakhanya orang tuasaja,
–
melainkandarianak
anaksampaidewasa,
makasecaratidaklangsungmelaluiacaratersebuttelahmengajarkandanmendid
ikanakuntukmerefleksikanperasaancintakepadaTuhan Yang MahaEsa.Dan
denganmelibatkananakdalamkegiatantersebutsecaratidaklangsunganaktela
hdiperkenalkandengantradisikeagamaan
yang
telahterjadisecaraturuntemurun.Dan
anakterdidikuntukmelaksanakanibadahsecarabertahapdariamalan – amalan
yang telahdijalankan.
50
51
B. MendidikCintaTerhadapAlam
Aspekreligiusitasmasyarakatlokalsangatsederhanadanlogis,
bahkancarakeberagamaannyatidakberhentipadaaspek ritual danformalistik,
akantetapimerekalebihmenghayatidalamsetiapdetikkehidupansebagaibagai
andariaspekkedekatanmerekadengan
Sang
penciptadanalamsemesta.
Denganlandasanlocal
wisdomtersebut,
perlumenumbuhkanpandangankeislaman
universal
mempunyaikomitmenkuatterhadapbudayalokal,
sehingga
transformasimasyarakattidaktercerabutdariakarnya.
yang
proses
Hal
inisangatpentingdalamrangkamenggalikearifanlokal (local wisdom) yang
selamainitertimbunolehbudaya-budaya lain.
UpacaraPertanianadalahsebuahsaranapendidikancintalingkunganhi
dup.Di sinimasyarakatmenghayatilagihubunganeratmerekadenganbumidan
air.Dimanajikasalahsatunyatidakterpenuhimakahasilpertanianjugatidakaka
nmaksimal.
Misalnyaadatanamannamuntidakdiberikanpengairan
cukup,
yang
makatanamantersebutakanlayuataumati.
Bahkankalaupuntanamantersebuttumbuh,
makapertumbuhannyaakanterhambat.
C. Kerukunanbermasyarakat
Aspek local wisdom yang mendidikkerukunanmasyarakatterjadi di
setiapupacakeagamaan,
dimanamerekadiarahkanolehtradisimerekasendiriuntukmenyadaribahwame
52
rekasalingmembutuhkansatusamalain.Sikap rukun merupakan suatu sikap
yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan, kita tidak menginginkan suatu
permusuhan ataupun pertengkaran dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai
mana yang telah tercantum dalam surat asy – Syu’ara ayat 15 berikut ini :

Selain ayat tersebut, sikap rukun tertuang dalam
surat Al- Hujurat ayat 12 sebagai berikut :



Artinya :Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu
dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang
diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Sikap rukun yang tercermin dari tradisi saparan yaitu adanya kerja sama
antara warga satu dengan yang lainnya. Hal tersebut dapat kita lihat dari prosesi
demi prosesi yang dilaksanakan. Misalnya upacara kematian , dari kegiatan
tersebut kita bisa melihat kebersamaan yang terjalin dengan harmonis, dimana
secara bersama- sama membersihkan makam, kemudian dalam pelaksanaannya
para warga saling bahu membahu untuk mengumpulkan segala sesuatu yang
diperlukan misalnya : pemasangan tratak, lampu, kursi dan lain sebagainya.
D. Melatih Rasa Syukur
53
Sudah selayaknya kita mempunyai rasa syukur kepada Allah SWT
atas rahmat yang dilimpahkan kepada kita. Karena syukur merupakan
cermin dari pribadi yang mempunyai ketakwaan kepada Allah. Orang
yang mempunyai rasa syukur hatinya akan senantiasa tentram dan jiwanya
juga tenang,tidak mudah terhasut oleh orang lain.
Berikut dalil tentang perlunya rasa syukur :


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki
yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan
bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya
kamu menyembah.
E. Mendidik Sikap Hormat
Sikap hormat pada tradisi upacarakeagamaan dapat diwujudkan
dalam bentuk silaturrahmi yaitu dengan mendatangkan sanak saudara.
Tidak hanya itu, tamu yang datang juga disuguhi jamuan istimewa. Maka
tidak mengherankan jika acara keagamaan tersebut menghabiskan dana
yang cukup besar. Disamping jamuan istimewa para tamu disuguhi
berbagai
rangkaianrangkaian
ritual
yang
dilaksanakan,
terutamadalamupacarakelahiran.
Perwujudan sikap hormat ini diterangkan dalam surat An-Nahl ayat
90 dan surat Ar-Rum ayat 38:

54

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.


Artinya: Maka berikanlah kepada Kerabat yang terdekat akan haknya,
demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
mencari keridhaan Allah; dan mereka Itulah orang-orang
beruntung.
Selain itu, perwujudan sikap hormat juga tercantum dalam surat
Al-Isra’ ayat 26 berikut:

Artinya: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan
haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan
dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros.
F. MendidikSikap Optimis
Perwujudansikapoptimisartinyapercayadiriyaitusuatusikap
yang
menaruhharapanbesarakantercapainyakeberhasilanbagidirinya.
Sikapoptimismembuatseseorangtidakragu
ragudalambertindakataumelangkah.
55
-
Sikapoptimisterwujuddalamkesungguhanuntukmelaksanakansertakeyakina
n
yang
beranggapanbahwaTuhanakanmemberikanlimpahanrizkidankarunia.
Bilamanabanyaktamu yang datangmakaakanbanyak pula rizki yang
datang.
Keyakinan
yang
sedemikianrupamerupakanperwujudansikapoptimismasyarakatDesaJogoya
san,
sebagaisalahsatufungsi
dapatdiungkapkandaripelaksanaantradisikeagamaandimaksud.
56
yang
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada yang telah diuraikan dalam analisis, pembahasan
masalah, landasan teori, data dan wacana yang berkembang maupun untuk
memenuhi tujuan penelitian ini, peneliti berkesimpulan sebagai berikut :
1. Bahwa benar masyarakat di Desa Jogoyasan memiliki pemahaman yang
baik terhadap tradisi keagamaan, terbukti dari beberapa jawaban
responden, hampir seluruhnya memiliki jawaban yang sama, disamping
itu dari data pengamatan peneliti masyarakat di Desa Jogoyasan
memahami makna tiap kegiatan yang mereka jalani mulai dari makna
keagamaan, tatacara upacara, hingga silaturahmi.
2. Bahwa benar tradisi saparan memiliki muatan religius atau keagamaan
yang sangat kental dan alami, dari data terdahulu diungkapkan bahwa
dalam setiap kegiatan yang dilakukan, keseluruhan mengandung makna
keagamaan yang sangat kental yaitu tiga unsur yang meliputi : amal,
ikhlas dan syukur.
3. Bahwa tradisi keagamaan yang meliputi upacara pertanian, kelahiran,
dan kematian serta saparan di Desa Jogoyasan, Kecamatan Ngablak,
Kabupaten Magelang merupakan salah satu tradisi Islam Jawa yang
bersifat sosial religius dan masih hidup sampai sekarang, sebagai
inventarisasi salah satu kekayaan budaya Jawa yang perlu dilestarikan.
56
B. Saran
1. Upacara pertanian, upacara kelahiran, kematian dan Saparan
merupakan budaya nenek moyang atau leluhur yang harus dijaga dan
dilestarikan, untuk itu diharapkan masyarakat Desa Jogoyasan
melakukan sebuah dokumentasi agar tradisi keagamaan ini lestari
sampai anak cucu dari masyarakat itu sendiri.
2. Bagi masyarakat Desa Jogoyasan, jadikan tradisi keagamaan ini
sebagai aset pendidikan spiritual bagi masyarakat Desa Jogoyasan dan
sekitarnya.
C. Penutup
Demikian skripsi ini saya buat dengan sesungguhnya, mohon maaf
apabila terdapat kesalahan. Karena sesungguhnya manusia hanya bisa
berusaha, sedangkan kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT.
57
DAFTAR PUSTAKA
WiyasaBratawijaya,
MengungkapdanMengenalBudayaJawa.CetakanPertama.
PradnyaParamita. 1997.
Thomas.
Jakarta: PT
Ali, Mukti. BeberapaPersoalan AgamaDewasaIni. Jakarta: CV. Rajawali. 1987
R
Woodward,
Mark.Islam
JawaKesalehanNormatifVersusKebatinan.
CetakanPertama. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. 1999.
Hadikusuma,
Hilman.
Antropologi
Agama
Bagian
1
(
PendekatanBudayaterhadapAliranKepercayaan, Agama Hindu, Budha,
Kong Hu Cu, di Indonesia ). Bandung: PT. Citra AdityaBakti. 1993.
Mubaraq, Zulfi. Sosiologi Agama. Malang: UIN Maliki Press. 2010.
Poerwadarminta, WJS. KamusBesarBahasa Indonesia. Jakarta: PT. Raja
GrafindoPersada. 1994
Roibin.RelasiAgamadanBudayaMasyarakatKontemporer. Malang: UIN Malang
Press. 2009.
Agus,
Bustanudin. Agama DalamKehidupanManusiaPengantarAntropologi
Agama.Jakarta: PT Raja GrafindoPersada. 2006.
Chafidh, Afnandkk.TradisiIslamiPanduanProsesiKelahiranPerkawinanKematian.
Surabaya: Khalista. 2006.
Hariyadi, Rahmaddan M. Ghufron.Islam Etika Universal, BudayaLokal.
CetakanPertama. Salatiga: STAIN Salatiga Press.2006.
Perta.KetikaSarjana Muslim Membaca Islam.
Abdul
Fattah, Munawir. Tradisi
PustakaPesantren. 2006.
Orang
–
Orang
NU.
Yogyakarta:
Khalil, Ahmad. Islam JawadalamEtikadanTradisiJawa. Malang: UIN Malang
Press. 2008.
Departemen Agama RepublikIndonesia.Al Qur’an danTerjemahnya. Bandung:
LubukAgung. 1989.
58
Download