HALAMAN PENGESAHAN Karya ilmiah inidiajukan olefr Nama Rahma Dina NPM 0806318776 Program Studi Fakultas Sastra Ppancis Ilmu Pengetahuan.Budaya Jenis Karya Makalah Non Seminar Nama Mata Kuliah Dinamika Pemikiran Prancis I Judul Karya Ilmiah Fenomena Masyarakat Konsumeris di Indonesia Telah disetujui oleh dosen pengajar mata kuliah untuk diunggah di lib.ui.ac.id/unggah dan dipublikasikan sebagai karya imiah sivitas akademika Universitas lndonesia \-D-11 Dosen Mata Kuliah DrJoesana Tiahjani Ditetapkan di Tanggal , \fl(\F : Depok :2Mei20l4 Fenomena masyarakat ..., Rahma Dina, FIB UI, 2014 FORMULIR PERSETUJUAN PUBLIKA SI NASKAH RINGKAS Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Joesana ljahjani NIPN{UP 196502271992122001 Pembimbing dari mahasiswa S i /S2lS3 *: Nama : Rahma Dina : NPM :0806318776 Fakultas : Ilmu Pengetairuan Budaya Program Studi : Sastra Prancis JudulNaskah Ringkas : Fenomena Mapyarakat konsumeris di Indonesia menyatakan bahrva naskah ringkas ini telah diperiksa, diperbaiki, dipertimbangkan dan dinyatakan diunggah di Ul-ana (lib.ui.ac.id/ungglh) dan (pilih salah satu dengan memberi) tanda silang Dapat diakses dan dipublikasikan di Ul-ana (lib.ui.ac.id). [-l OUn diproses diterbitkan pada Jumal Prodi/Jurusan/Fakultas di UI. |--l OOun diterbitkan pada prosiding qeminar nasional pada Serninar yang diprediksi akan dipublikasikan I pqda OOun diterbitkan pada JurnalNasional ...(bularr/tahun rerbit) yaitu ..... (namajLrrnal). yangdiprediksiakandipublikasikanpada ...(bulan/tahunterbit) tr *un diulis dalam batiasa inggris dan diterbitkan pada prosiding Konferensi Internasional pada yang diprediksi akan dipublikasikan pqda .... ........(bulan/tahun terbii) f-l Nrst<an ringkas ini baik, dan akan <liubah/digabung dengan hasil penelitian lain dan ditulis dalarn bahasa lnggris untuk dipersiapkan kejunral intemasional, yaitu: .....t.. dan akan akan dipublikasikan pada I-] .. ...........(bulan/tahun) nitunau publikasi onlinenya karena akan/sedang dalam proses paten/HKl Depok.2 Mei tahun 2014 T\-. ui. Joesana -\IJa Pembimbing Fenomena masyarakat ..., Rahma Dina, FIB UI, 2014 : dapat H ALAM AN PERNYATAAN PERSETU.IUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah Nama Rahr,na NPM 084$18776 Program Studi Sastrp Prancis Departemen Sastry Prancis Fakultas Imu Pengetahuan Budaya Jenis Karya Karyp Ilmiah : makalah non seminar ini : Dina demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui unttk memberikan kepada Universitas indonesia Hak Betlas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royatty-Free Right) atas karya ilmiah sayayang bprjudul: Fenoryona Masyarakat Konsumeris di Indonesia : beserta perangkat yang ada fiika Ciperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berha( menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), meravtat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencanturnkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saVl buat dengan sebenarnya. Dibuat pi : Depok Padatapgeal :2 Mei 2014 Yang meny^ru z4D (Rahma Dina) Fenomena masyarakat ..., Rahma Dina, FIB UI, 2014 FENOMENA MASYARAKAT KONSUMERIS DI INDONESIA Rahma Dina dan Joesana Tjahjani Program Studi Prancis, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat, Indonesia Email : [email protected] ABSTRAK Tulisan ini memaparkan gaya hidup masyarakat konsumeris yang terjadi di Indonesia pada era modern ini. Penulis akan menghubungkan teori Jean Baudrillard tentang masyarakat konsumeris, hiperealitas, dan simulacra dengan fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat modern yang ada di Indonesia. Hasil dari tulisan ini akan menunjukkan fenomena masyarakat konsumeris, konsumsi tidak lagi dilakukan atas dasar kebutuhan, melainkan dilatarbelakangi sebagai ajang pembuktian status sosial seseorang. Kata kunci : Jean Baudrillard, masyarakat konsumeris, hiperrealitas, simulacra, media massa, nilai tanda. THE PHENOMENONS OF CONSUMER SOCIETY IN INDONESIA ABSTRACT This paper describes the lifestyle of consumerist in Indonesia in modern era. The author use theory of Jean Baudrillard are consumer society, hyperreality, simulacra with the phenomenenons happens in Indonesia. The result of this paper will show how the phenomenons of consumer society, consumption is not just based on need of the products but the products will be show the social status of person. Keywords : Jean Baudrillard, consumer society, hyperreality, simulacra, mass media, sign value. 1 Fenomena masyarakat ..., Rahma Dina, FIB UI, 2014 Pendahuluan Ketika melihat antrean panjang saat diadakan potongan harga besar-besaran di sebuah pusat perbelanjaan atau melihat seseorang menjinjing tas mahal dari sebuah merek terkenal, mungkin kita akan bertanya-tanya, sebenarnya apa yang mendorong mereka hingga rela mengantre atau menghabiskan banyak uang hanya untuk memiliki produk dari sebuah merek tertentu? Sebagai anggota masyarakat yang hidup di era modernisasi dan globalisasi sekarang ini, pernahkah terlintas di pikiran kita bahwa produk-produk yang kita konsumsi selama ini bisa saja bukan yang kita butuhkan? Produk-produk baru yang terus bermunculan, baik dari dalam dan luar negeri, perkembangan teknologi yang semakin pesat, dan iklan-iklan di media massa yang muncul secara terus menerus, dapat mendorong masyarakat untuk membeli sesuatu yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Fenomena di atas merupakan contoh fenomena konsumeris menurut pemikiran seorang filsuf Prancis, Jean Baudrillard. Pemikir yang lahir di Reims pada tahun 1929 ini telah menganalisis bagaimana konsumerisme merebak sebagai akibat dari sistem kapitalis yang dibawa oleh bangsa Barat. Saat memperbincangkan konsumerisme, mau tidak mau kita juga akan berhubungan dengan media yang berperan penting dalam société de consommation.1 Pada perkembangannya, konsumerisme dan peran media akan tergabung dalam konsep yang lebih besar di dalam pemikiran Baudrillard yaitu hiperrealitas. Pemikiran Baudrillard 1. Hiperrealitas Berawal dari kritiknya terhadap teori ekonomi Karl Marx tentang objek, Jean Baudrillard mulai melihat adanya pergeseran nilai objek yang selama ini dipegang oleh Marx. Dalam menjelaskan perkembangan kapitalisme, Marx memegang dua nilai objek yaitu, nilai guna (use-value) yang merujuk pada kemampuan atau kegunaan barang tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan nilai tukar (exchange-value) yang mengindikasikan harga objek tersebut di pasaran. Selain itu, dalam 1 Suatu masa ketika masyarakat mulai mengalami perubahan gaya hidup yang cendrung konsumtif. 2 Fenomena masyarakat ..., Rahma Dina, FIB UI, 2014 teorinya, Marx memfokuskan diri pada proses produksi. Baginya, berkembangnya kapitalisme dipicu oleh semakin berkembangnya proses produksi. Objek-objek diproduksi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Berbeda dengan Marx, bagi Jean Baudrillard (1996) dalam Daryl Y. Mendoza (2010), proses konsumsilah yang memegang peranan dalam sebuah masyarakat kontemporer. Baudrillard juga mulai memfokuskan diri untuk menganalisis nilai guna (use-value) yang diterangkan Marx. Bagi Baudrillard, terdapat pergeseran terhadap nilai guna yang selama ini meurujuk pada pemenuhan kebutuhan. Dalam masyarakat kontemporer, konsumsi bukan hanya proses pasif dengan menerima atau menggunakan objek-objek hasil produksi untuk memenuhi kebutuhan semata, tapi di dalamnya juga terdapat usaha aktif yang disebutnya sebagai “manipulasi tanda”, maksudnya orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan karena kegunaannya atau nilai tukarnya, melainkan nilai simbolis yang ada pada objek tersebut. 2 Selanjutnya, Baudrillard menambahkan adanya nilai tanda (sign-value) dalam sebuah objek. Melalui nilai ini, konsumsi tidak lagi dipandang sebagai kegiatan memenuhi kebutuhan, tapi lebih sebagai penentu status di masyarakat. Hal inilah yang akan membawa kita pada istilah masyarakat konsumeris, status dan gaya hidup (lifestyle) adalah dasar kegiatan konsumsi dibanding pemenuhan kebutuhan semata. Sebenarnya, munculnya masyarakat konsumeris tidak terlepas dari peran media sebagai agen pencipta kebutuhan. Hal inilah yang tidak dijelaskan Marx dalam teori ekonominya. Baudrillard melihat bahwa media, khususnya iklan, dapat mendorong masyarakat mengonsumsi objek yang mungkin saja tidak mereka butuhkan. Tidak ada tujuan rasional untuk memenuhi kebutuhan. Iklan menampilkan citraan yang seakan nyata. Pesan-pesan yang ditampilkan iklan terusmenerus menstimulasi pikiran. Pada akhirnya, masyarakat percaya bahwa apa yang ditampilkan oleh iklan tersebut adalah benar dan objek yang diiklankan memang patut dikonsumsi. Bahkan, nantinya iklan dapat mempengaruhi pandangan masyarakat dalam menilai hal yang bagus atau tidak dalam kehidupannya. Kondisi inlah yang disebut Baudrillard sebagai hiperrealitas. Istilah ini merujuk pada keadaan antara perbedaan kenyataan dan fantasi telah menjadi begitu tipis. 2 Mendoza, Daryl Y. (2010, Desember). Commodity, Sign, and Spectacle: Retracing Baudrillard Hyperreality. http://www.kritike.org/journal/issue_8/mendoza_december2010.pdf 3 Fenomena masyarakat ..., Rahma Dina, FIB UI, 2014 Bahkan, dalam keadaan hiperrealitas, segala sesuatu terasa lebih nyata dari pada kenyataan itu sendiri. 2. Simulasi dan Simulakra Keadaan hiperrealitas ini dipicu oleh apa yang disebut Baudrillard sebagai simulasi dan simulakra. Simulakra adalah hal yang merepresentasikan serta memperlihatkan ketiadaan dari sebuah objek pertama yang diperlihatkan olehkode-kode. Untuk lebih mudahnya, simulakra merupakan sebuah alat yang mampu mengubah hal-hal yang abstrak menjadi konkret dan sebaliknya, sedangkan simulasi adalah penggambaran sebuah konsep dengan cara meniru benda pertama. Selanjutnya, Baudrillard menambahkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi telah menghasilkan kode-kode yang tidak terlihat secara langsung. Kode-kode ini dapat berarti kode-kode digital dalam teknologi komputer ataupun televisi. Nantinya, kode-kode ini membentuk sebuah realitas virtual yang akan membawa manusia masuk ke dalam dunia hasil imajinasi. Dalam realitas virtual, imajinasi terasa begitu nyata dan pada akhirnya perbedaan antara fantasi dan kenyataan menjadi begitu tipis. Baudrillard mengatakan bahwa masyarakat konsumeris mengonsumsi sebuah produk melampaui produk itu sendiri. Mereka sebenarnya mengonsumsi pesan yang ditampilkan oleh iklan 3. Kembali lagi kepada penjelasan tentang kode-kode, dengan menampilkan gambaran fisik produk, merek serta sajian visual yang begitu meyankinkan, ditambah dengan stimulasi secara terus menerus, kode-kode dalam iklan nantinya akan menjadi sistem tanda di masyarakat. Masyarakat Konsumeris di Indonesia Mungkin masih terekam jelas di ingatan kita tentang kejadian antrean panjang Crocs sepanjang 7 lantai yang terjadi di Senayan City pada bulan Maret 2010. Saat itu, sepatu merek Crocs yang memang sedang digandrungi, mengadakan potongan harga besar-besaran hingga 70%. Ribuan masyarakat Jakarta berbondong-bondong datang untuk membeli sepatu karet asal Amerika Serikat tersebut. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang rela mengantre sejak pukul 05.00, 3 Mendoza, Daryl Y. (2010, Desember). Commodity, Sign, and Spectacle: Retracing Baudrillard Hyperreality. http://www.kritike.org/journal/issue_8/mendoza_december2010.pdf 4 Fenomena masyarakat ..., Rahma Dina, FIB UI, 2014 padahal penjualan baru dibuka pukul 08.00. Mengutip laporan yang dilakukan oleh VIVAnews4, antrean panjang itu terlihat dari lantai 1 hingga lantai 8. Pembeli yang memiliki kesempatan untuk masuk ke tempat penjualan, berhimpitan untuk dapat membeli sepatu yang sedang menjadi favorit tersebut. Di sisi lain, calon pembeli yang lain rela menunggu berjam-jam agar mendapat kesempatan masuk ke tempat penjualan. Sekali lagi potongan harga besar-besaran dilakukan oleh Crocs untuk menyambut tahun baru 2012. Pada 30 Desember 2011 lalu, di pusat perbelanjaan yang sama, Crocs memberikan potongan harga hingga 90%. Dapat dibayangkan, dengan adanya kedua potongan besar-besaran tersebut, harga Crocs yang biasanya berkisar antara Rp 500.000,- hingga jutaan rupiah, kini dapat didapatkan dengan harga berkisar Rp 200.000,-. Contoh lain tentang masyarakat konsumeris adalah tentang konsumsi tas asal merek terkenal. Terdapat anggapan di kalangan perempuan urban Jakarta maupun dari kota-kota besar lainnya di Indonesia, bahwa memiliki tas dengan merek terkenal dapat meningkatkan gengsi dan status sosial mereka di masyarakat. Para perempuan ini rela mengeluarkan uang hingga ratusan juta rupiah untuk membeli sebuah tas dari merek-merek seperti, Louis Vuitton, Chanel, Hermès, Dior, Gucci, dll. Ditambah lagi, para perempuan urban ini menekankan bahwa mereka harus membeli produk asli dari berbagai merek tersebut. Bahkan, mereka rela membeli tas bekas pakai atau menyewa dengan kisaran harga yang tidak jauh berbeda dengan harga tas baru dari merekmerek tersebut asalkan mereka dapat memakai produk asli. Selain dua contoh di atas, masyarakat Indonesia mulai marak mengikuti acara yang mengusung tema “sepeda santai”. Acara yang menggunakan sepeda sebagai daya tarik ini tampaknya sudah menjamur di Indonesia, terutama pada masyarakat di kota-kota besar. Dengan semakin menjamurnya acara-acara tersebut, grafik permintaan akan sepeda juga ikut melambung. Berbagai merek sepeda bermunculan dengan harga yang tidak murah bahkan banyak yang melebihi harga sepeda motor. Semakin melonjaknya permintaan pasar, semakin ber-gerilya-lah para produsen sepeda baik produsen lokal maupun asing. Menurut data Asosiasi Industri Pesepedaan Indonesia (AIPI), kebutuhan sepeda di pasar lokal tahun ini naik hampir 10%, dari 4 Damayanti, Irina & Ahniar, Nur Farida. (2010, Maret 15). Antre Crocs Sepanjang 7 Lantai. http://kosmo.vivanews.com/news/read/136731-counter_crocs_masih_berjubel_pengunjung 5 Fenomena masyarakat ..., Rahma Dina, FIB UI, 2014 yang sebelumnya sekitar 5,5 juta unit menjadi 6 juta unit 5. Entah telah sadar akan arti kesehatan atau hanya ingin menunjukkan eksistensinya, masyarakat Indonesia mulai menaruh perhatian lebih pada keberadaan alat olahraga yang satu itu. Melalui tiga contoh tersebut, dapat dilihat bahwa gaya hidup dan status sosial menjadi alasan kelompok masyarakat tersebut membeli suatu produk tertentu. Merujuk pada pendapat Baudrillard sebelumnya yang mengatakan bahwa dalam masyarakat konsumeris, kegiatan konsumsi telah melampaui konsumsi terhadap objek itu sendiri dan masyarakat tersebut sebenarnya mengonsumsi pesan atau tanda yang muncul dari merek tertentu, dapat dilihat bahwa membeli sepatu Crocs tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan sebuah alas kaki, melainkan juga sebagai pemenuhan tuntutan gaya hidup. Muncul anggapan di masyarakat bahwa dengan memakai Crocs, seseorang dapat menaikkan gengsinya, karena berhasil mengikuti tren masa kini. Apalagi, potongan harga besar-besaran yang dilakukan Crocs dapat semakin meningkatkan keinginan masyarakat untuk memiliki sepatu tersebut. Padahal, belum tentu para pembeli saat itu memang benar-benar sedang membutuhkan sepatu itu. Hal yang sama juga terjadi pada kasus tas asal merek terkenal. Para pembeli tidak lagi melihat guna tas sebagai tempat menyimpan dan membawa barang, melainkan memusatkan diri pada merek yang tertera di tas tersebut. Hal ini merujuk pada pendapat Baudrillard bahwa dalam masyarakat kontemporer, sebuah barang tidak lagi hanya memiliki nilai guna (use-value) dan nilai tukar (exchange-value), melainkan juga mempunyai nilai tanda (sign-value) dan nilai simbol (symbolic-value).6 Dari penjelasan ini, kita dapat menganalogikan sepeda sebagai sebuah barang yang tidak hanya memiliki nilai guna dan nilai tukar, namun juga melekat nilai tanda dan nilai simbol. Sebagai alat olahraga, bersepeda membuat orang menjadi lebih sehat dan bugar, oleh karena itu orang ingin membelinya. Ketika ada tambahan dua nilai di atas, sepeda bukan lagi sekadar alat olahraga, melainkan sebagai simbol gaya hidup atau lifestyle bagi sebagian orang. Kebanyakan orang saat ini tidak lagi membeli sepeda dengan alasan kesehatan, namun juga persoalan tren dan gaya 5 Dalam Caturini, Rizki. 2011. Sepeda Booming, Bisnis pun Melejit. http://lipsus.kontan.co.id/v2/sepeda/read/21/Sepeda-booming-bisnis-pun-melejit 6 Lechte, John. 1994. Fifty Key Contemporary Thinkers: From Structuralism to Postmodernity. London: Routledge 6 Fenomena masyarakat ..., Rahma Dina, FIB UI, 2014 hidup. Kelompok masyarakat di atas dapat disebut masyarakat konsumeris, masyarakat mengkonsumsi tidak hanya atas dasar kebutuhan tetapi juga sebagai gaya hidup dan status sosial. Peran Iklan dan Media Massa Peningkatan daya beli masyarakat akan suatu barang dimanfaatkan oleh para produsen dengan selalu memperbaharui model suatu barang. Hal seperti ini menjadi ciri khas dalam sistem kapitalis. Dalam sistem ekonomi ini, kebutuhan bukan lagi datang dari masyarakat, namun kebutuhan diciptakan sendiri oleh pihak produsen. Pada masyarakat konsumeris saat ini, tindakan konsumsi tidak lagi berdasarkan kebutuhan melainkan keinginan. Baudrillard melihat fenomena ini terjadi akibat citraan yang dilakukan oleh media secara besar-besaran. Dengan menggabungkan teori semiotik Saussure dan strukturalisme, Baudrillard menekankan bahwa suatu barang selalu berkaitan dengan yang lainnya, walaupun barang tersebut mempunyai nilai guna, namun terdapat esensi lain yaitu dapat menandakan sebuah status. Sama seperti ketika seseorang membeli sepeda dengan merek terkenal dan harga yang mahal, secara tidak langsung ia ingin terlihat berbeda dengan masyarakat lainnya. Tidak berhenti sampai di situ, ia berusaha lebih jauh untuk mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi saat ia masuk ke dalam komunitas sepeda yang terdiri dari kalangan menengah ke atas. Tidak jauh berbeda dengan Crocs, memang pada awalnya produk ini dipasarkan dari mulut ke mulut, tapi dengan bantuan media Internet, iklan-iklan Crocs pun bermunculan untuk menarik perhatian masyarakat. Sekarang, merek sepatu berlogo buaya telah memiliki situs resmi sebagai alat untuk memasarkan produk. Peran iklan juga berlaku pada kasus tas bermerek. Kita dapat melihat iklan merek-merek terkenal itu dalam majalah-majalah mode. Ditambah lagi, pagelaran busana (fashion show) dan situs merek-merek tersebut di Internet. Berdasarkan hal inilah, dapat dilihat bagaimana peran media sebagai agen pencipta kebutuhan. Kode-kode virtual pada iklan yang telah dijelaskan sebelumnya menggiring masyarakat pada kondisi hiperrealitas, hingga mereka membeli produk tersebut seakan mereka benar-benar membutuhkannya. 7 Fenomena masyarakat ..., Rahma Dina, FIB UI, 2014 Pada hal lain, iklan sepeda dengan merek tertentu seringkali tidak ditampilkan nilai guna dari sepeda, melainkan menampilkan citra-citra khusus ketika orang bersepeda. Contohnya pada suatu iklan sepeda merek terkenal, ada sebuah keluarga yang masing-masing anggotanya memiliki sepeda. Keluarga ini terlihat harmonis ketika bersepeda bersama-sama. Hal ini menunjukkan bahwa iklan tersebut hendak memamerkan “keharmonisan” lewat bersepeda. Masyarakat ketika melihat iklan itu akan langsung berpikiran untuk membeli sepeda sebanyak anggota keluarga mereka. Dalam hal ini, iklan berhasil menciptakan sebuah citra baru mengenai sebuah sepeda yaitu keharmonisan. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah keharmonisan keluarga terjadi dengan atau tanpa sepeda. Pikiran semacam inilah yang membentuk hiperrealitas. Citra atau realitas buatan yang dibangun oleh media berhasil menutup realitas yang sebenarnya. Masyarakat sudah tidak lagi bisa membedakan mana realitas asli dan mana realitas buatan (citra). Kenyataan hiperrealitas muncul ketika masyarakat ingin hidup seperti yang tampak pada media iklan televisi. Hal inilah yang membuat besarnya peran media dalam masyarakat konsumeris menciptakan sebuah fenomena dimana citra atau simbol mengalahkan realitas yang sebenarnya atau hiperrealitas. Dalam hiperrealitas, kebebasan konsumsi yang dimiliki masyarakat bersifat semu karena kebebasan itu telah dikendalikan oleh produsen. Sehingga ketika manusia mengonsumsi sebuah objek, sebenarnya bukan objek yang dikonsumsi melainkan makna. Hal ini disebabkan peran media yang memanipulasi realitas dan memberi mimpi-mimpi yang menghipnotis masyarakat. Selanjutnya Baudrillard mengatakan bahwa citraan yang dibangun oleh media akan suatu barang sangat berpengaruh pada perilaku konsumsi seseorang. Masyarakat konsumeris selalu mencoba untuk mengesahkan diri atau mengubah dirinya dengan selalu patuh terhadap apa yang dikatakan dalam iklan. Kepatuhan masyarakat konsumeris ini menyebabkan iklan berhasil menciptakan peristiwa semu (buatan) menjadi peristiwa riil dalam kehidupan sehari-hari. Keberhasilan media dalam masyarakat konsumeris menjadikan manusia teralienasi atau merasa asing dengan dirinya sendiri. 8 Fenomena masyarakat ..., Rahma Dina, FIB UI, 2014 Penutup Setelah melihat penjelasan di atas, dapat dilihat bagaimana merek dari sebuah objek atau produk dapat melampaui kegunaan dari produk itu sendiri. Akibatnya, masyarakat di era modern sekarang ini lebih mementingkan merek untuk mengikuti gaya hidup dan status sosial dibanding kegunaan produk yang dikonsumsinya. Situasi ini juga tidak terlepas dari peran media yang dapat menciptakan kebutuhan melalui sajian visual iklan-iklan yang begitu meyakinkan hingga akhirnya memancing masyarakat untuk mengonsumsi produk-produk yang ditawarkan tersebut seakan mereka membutuhkannya. Media tidak hanya berperan sebagai perantara, tetapi juga menipu dalam masyarakat konsumsi. Media telah memaksa kita untuk berperilaku konsumtif secara tidak sadar dan menggoda kita untuk mengkonsumsi dengan kemampuan membangun citra melalui tanda, idiom, simbol, dan kode produk komoditi yang saling tumpang tindih, serta merepresentasi karakter. Melalui pandangan Baudrillard, mungkin mulai dari sekarang, masyarakat dapat mengkritisi diri mereka sendiri agar dapat mengonsumsi secara bijak dengan mempertimbangkan kebutuhan sebelum terjebak dalam arus gaya hidup atau sekedar kepentingan pencapaian status sosial. Dalam kasus konsumeris yang terjadi di Indonesia, fenomena hiperrealitas lebih banyak memberikan pengaruh negatif pada kehidupan masyarakat. Logika tidak lagi berlaku dalam perilaku konsumsi masyarakat saat ini. Mereka lebih mengutamakan emosi dan rasa gengsi. Begitulah dampak konsumerisme yang melanda masyarakat kita saat ini. Akhirnya dengan penggambaran konsep konsumerisme yang sudah dijelaskan di atas, penulis berharap masyarakat Indonesia segera membuka mata dan kritis terhadap gelombang kapitalisme yang menyerang di segala aspek kehidupan. Daftar Referensi Baudrillard, Jean. (1983). The Precession of Simulacra. Terj Foss, Paul. Patton, Paul & Philip Beitchman dari Simulations. New York : Columbia University. 9 Fenomena masyarakat ..., Rahma Dina, FIB UI, 2014 Baudrillard, Jean. (1993). Symbolic Exchange and Death. Terj. Grant, Iant dari L’échange Symbolique et La mort. California: Sage Publications Creswell, John W. (2009). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Metode Campuran. Terj. Achmad Fawaid dari Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Damayanti, Irina & Ahniar, Nur Farida. (2010, Maret 15). Antre Crocs Sepanjang 7 Lantai. diunduh pada 2 Desember 2010 http://kosmo.vivanews.com/news/read/136731- counter_crocs_masih_berjubel_pengunjung Hidayat, Medhy (2008, April). Kebudayaan Postmodern Menurut Jean Baudrillard In Social Theory diunduh pada tanggal 13 Januari 2014 http://fordiletante.com/2008/04/15/kebudayaan- postmodern-menurut-jean-baudrillard/ Mendoza, Daryl Y. (2010, Desember). Commodity, Sign, and Spectacle: Retracing Baudrillard Hyperreality.diunduh pada tanggal 13 Januari 2014 http://www.kritike.org/journal/issue_8/mendoza_december2010.pdf Suharto, Bambang Utoyo. 2001. Perkembangan Pemikiran Jean Baudrillard, dari Realitas ke Simulacrum. Tesis, Universitas Indonesia. 10 Fenomena masyarakat ..., Rahma Dina, FIB UI, 2014