BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Tuberkulosis Paru 1. Pengertian Tuberculosis Paru Tuberkulosis (TBC) termasuk penyakit "sepanjang masa". Tuberkulosis Paru yang disebabkan oleh kuman Mycrobacterium Tuberculosis dan telah ada sejak ribuan tahun sebelum Masehi (SM). Kuman TB Paru dapat menyerang semua bagian tubuh manusia, dan yang paling sering terkena adalah organ paru (90%) (Yoannes, 2008). Tuberkulosis Paru adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis yaitu sebagian dari organisma kompleks (Innes, 2006). 2. Cara Penularan Tuberkulosis Paru Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan di mana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2007). 3. Patogenesis Terjadinya tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 tahap yaitu tahap infeksi primer dan pasca primer (post primer). Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilia bronkus, dan terus berjalan sampai di alveolus dan menetap disana (Depkes, 2007). Infeksi dimulai 6 7 saat bakteri M. tuberculosis mengalami fagositosis oleh makrofag alveoli kemudian berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru-paru. Makrofag lain dan monosit berperan dalam proses pertahanan melawan infeksi (Enarson, 2003). Fokus infeksi yang terdiri dari sel-sel inflamasi yaitu : a. Fokus primer atau fokus ghon mengakibatkan peradangan dalam paru diikuti pembesaran kelenjar getah bening di hilus atau limfadenitis regional (Israr, 2009). b. Kompleks primer yang merupakan gabungan dari fokus primer limfangitis lokal dan limfadenitis regional. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4 - 6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan uji tuberkulin (Depkes, 2007). 4. Resiko Penularan Tuberkulosis Paru Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Penderita TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari penderita TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang di antara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB paru, hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB (Depkes RI, 2007). Faktor yang memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB Paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan 8 menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB paru akan meningkat, dengan demikian penularan TB Paru di masyarakat akan meningkat pula (Depkes RI, 2007). 5. Klasifikasi Tuberkulosis Paru Menurut Sudoyo (2006) dari sistem lama diketahui beberapa klasifikasi sebagai berikut : a. Pembagian secara patologis 1) Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis) 2) Tuberkulosis post-primer (adult tuberculosis) b. Pembagian secara aktivitas radiologis Tuberkulosis paru (Koch pulmonum) aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh). c. Pembagian secara radiologis (luas lesi). 1) Minimal tuberculosis. Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru. 2) Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru. 3) Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan pada moderately advanced tuberculosis. Berdasarkan terapi penderita TB dibagi dalam 4 kategori : 1. Kategori 1 ditujukkan terhadap : a. Kasus baru dengan sputum positif b. Kasus baru dengan bentuk TB berat 2. Kategori 2 ditujukan terhadap : a. Kasus kambuh 9 b. Kasus gagal dengan sputum BTA positif 3. Kategori 3 ditujukan terhadap : a. Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas b. Kasus TB ekstra paru selain dari yang di sebut dalam kategori 1 4. Kategori 4 ditujukan terhadap : TB kronik. 6. Gejala Klinis TB Paru Menurut Asril (2006), keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien yang ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak yaitu: a. Demam Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41C. Serangan demmam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi dapat timbul kembali. Begitulah seharusnya hilangtimbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk. b. Batuk/Batuk Darah Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradang bermula. Sifat untuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa bentuk batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang terpecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. 10 c. Sesak Nafas Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. d. Nyeri Dada Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik / melepaskan nafasnya. e. Malaise Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. 7. Tipe Penderita TB Paru Menurut Depkes RI (2007), ada beberapa tipe penderita TB Paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya yaitu : a. Kasus baru adalah penderita TB Paru yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). b. Kasus kambuh (relaps) adalah penderita TB Paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). c. Kasus setelah putus berobat (Default) adalah penderita TB Paru yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih, kemudian kembali berobat dengan BTA positif. 11 d. Kasus setelah gagal (Failure) adalah penderita TB Paru yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. e. Kasus pindahan (Transfer In) adalah penderita TB Paru yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB ke UPK lain untuk melanjutkan pengobatannya. f. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu penderita TB Paru dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. 8. Pengobatan Tuberkulosis Paru a. Prinsip Pengobatan Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip prinsip sebagai berikut (Depkes, 2008) : 1) Obat Anti Tuberkulosis (OAT) biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. 2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). 3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. b. Jenis dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan antara lain : 1) Isoniasid (H) Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB. 12 2) Rifampisin (R) Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi-dormant (persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu. 3) Pirasinamid (Z) Bersifat bakterisid, yang dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB. 4) Streptomisin (S) Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75g/hari, sedangkan untuk berumur 60 atau lebih diberikan 0,50g/hari. 5) Etambutol (E) Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB. 9. Prinsip pengobatan Tuberkulosis Paru Pengobatan tuberkulosis menurut Depkes (2007), dilakukan dengan prinsipprinsip sebagai berikut : a. Tahap Intensif Pada tahap intensif penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 13 minggu. Sebagian besar BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. b. Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah kekambuhan. B. Konsep Keluarga 1. Definisi Keluarga Menurut Notosoedirdjo (2005), keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang. Sedangkan menurut Suprajitno (2004), keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. 2. Tipe Keluarga Menurut Sudiharto (2007), tipe keluarga dikelompokkan menjadi enam bagian yaitu: a. Keluarga Inti (nuclear family) terdiri dari suami, istri, dan anak-anak, baik karena kelahiran maupun adopsi. b. Keluarga Besar (extended family) terdiri dari keluarga inti ditambah keluarga yang lain misalnya kakek, nenek, paman, bibi, sepupu termasuk keluarga modern, seperti orang tua tunggal, keluarga tanpa anak, serta keluarga pasangan sejenis. c. Keluarga Berantai (social family) keluarga yang terdiri dari wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali. d. Keluarga asal (family of origin) merupakan satu unit keluarga tempat asal seseorang dilahirkan. e. Keluarga Komposit (composite family) adalah keluarga dari poligami dan hidup bersama. perkawinan 14 f. Keluarga tradisional dan nontradisional, dibedakan menurut ikatan perkawinan. Keluarga tradisional diikat oleh perkawinan. Sedangkan keluarga nontradisional tidak diikat oleh perkawinan. 3. Dukungan Sosial Keluarga Menurut Setiadi (2008), Dukungan keluarga adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, dan menghargai. Sementara itu menurut Hawari (2009) dukungan sosial merupakan terapi yang bertujuan untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi agar yang bersangkutan dapat kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sosial. 4. Komponen Dukungan Keluarga Niven (2006), komponen-komponen dukungan keluarga adalah sebagai berikut: a. Dukungan emosional Dukungan emosional memberikan pasien nyaman, merasa dicintai meskipun mengalami suatu masalah, bantuan dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya, perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga menyediakan tempat istirahat dan memberikan semangat pada pasien yang dirawat di rumah atau rumah sakit. Jenis dukungan bersifat emosional atau ekspresi. Yang termasuk dukungan menjaga keadaan emosi atau emosional ini adalah ekspresi dari empati, kepedulian, dan perhatian kepada individu. Memberikan individu perasaan yang nyaman, rasa memiliki dan merasa dicintai saat mengalami masalah, bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan personal, cinta, dan emosi. Jika stres mengurangi perasaan seseorang akan hal yang dimiliki dan dicintai maka dukungan dapat menggantikannya sehingga akan dapat menguatkan kembali perasaan dicintai tersebut. Apabila dibiarkan terus menerus dan tidak terkontrol maka akan berakibat hilangnya harga diri. 15 b. Dukungan Pengharapan Dukungan pengharapan merupakan dukungan berupa dorongan dan motivasi yang diberikan keluarga kepada pasien. Dukungan ini merupakan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian positif terhadap individu. Pasien mempunyai seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah mereka, terjadi melalui ekspresi penghargaan positif keluarga kepada pasien, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan pasien. Dukungan keluarga ini dapat membantu meningkatkan strategi koping pasien dengan strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspekaspek positif. Dalam dukungan pengharapan kelompok dukungan dapat mempengaruhi persepsi pasien akan ancaman. Dukungan keluarga dapat membantu pasien mengatasi masalah dan mendefinisikan kembali situasi tersebut sebagai ancaman kecil dan keluarga bertindak sebagai pembimbing dengan memberikan umpan balik dan mampu membangun harga diri pasien. c. Dukungan Nyata (Instrumental) Dukungan ini meliputi penyedian dukungan jasmaniah seperti pelayanan, bantuan finansial dengan menyediakan dana untuk biaya pengobatan, dan material berupa bantuan nyata (Instrumental Support/Material Support), suatu kondisi dimana benda atau jasa akan membantu memecahkan masalah kritis, termasuk didalamnya bantuan langsung seperti saat seseorang membantu pekerjaan sehari-hari, menyediakan informasi dan fasilitas, menjaga dan merawat saat sakit serta dapat membantu menyelesaikan masalah. Pada dukungan nyata, keluarga sebagai sumber untuk mencapai tujuan praktis. Meskipun sebenarnya, setiap orang dengan sumber-sumber yang tercukupi dapat memberi dukungan dalam bentuk uang atau perhatian yang bertujuan untuk proses pengobatan. Akan tetapi, dukungan nyata akan lebih efektif bila dihargai oleh penerima dengan tepat. Pemberian dukungan nyata yang berakibat pada perasaan ketidakadekuatan dan perasaan berhutang, malah akan menambah stres individu. 16 d. Dukungan Informasi Dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung jawab bersama, termasuk didalamnya memberikan solusi dari masalah yang dihadapi pasien di rumah atau rumah sakit, memberikan nasehat, pengarahan, saran, atau umpan balik terhadap apa yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan tempat, dokter, dan terapi yang baik bagi dirinya dan tindakan spesifik bagi individu untuk melawan stressor. Pada dukungan informasi, keluarga sebagai penghimpun informasi dan pemberi informasi. Pemberian asuhan keperawatan dan terapi saja kepada pasien skizofrenia paranoid ternyata tidak cukup, tetapi peran keluarga untuk memberikan dukungan sosial merupakan kunci utama. Kuntjoro (2002) memberi contoh nyata yaitu bila ada seseorang yang sakit dan terpaksa dirawat di rumah sakit, maka sanak saudara ataupun teman-teman biasanya datang berkunjung. Dengan kunjungan tersebut maka orang yang sakit tentu merasa mendapat dukungan sosial. Dukungan sosial (social support) didefinisikan oleh Gottlieb (dalam Kuntjoro, 2002) sebagai informasi verbal atau nonverbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek didalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Pendapat senada dikemukakan juga oleh Sarason yang mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan menghargai dan menyayangi kita. Dalam hal ini pasien skizofrenia paranoid yang memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapatkan saran atau kesan yang menyenangkan. Kurangnya perhatian dan dukungan dari lingkungan sosial dapat menimbulkan konflik atau keguncangan atau kecemasan sehingga mempengaruhi proses 17 penyembuhan pasien dan juga mempengaruhi lamanya pengobatan (Darsana, 2009). C. Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru Berdasarkan penelitian Dewi (2009), tentang hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan pasien di Tiga Puskesmas Kabupaten Sumedang, didapatkan hasil pengujian didapatkan dengan menggunakan analisa Chi Square untuk analisa bivariat, dengan menggunakan nilai signifikansi alpha 5% (0 = 0,05). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan pasien TBC yang menjalani pengobatan OAT. Sedangkan menurut penelitian Hutapea (2009), tentang pengaruh dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat anti Tuberkulosis di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang didapatkan hasil bahwa uji analisis regresi ordinal menunjukkan adanya pengaruh dukungan keluarga terhadap kepatuhan minum obat antituberkulosis. Hasil analisis menunjukkan nilai F=5,502 dan p=0,001 (p<0,05) dan koefisien korelasi sebesar r=0,210. Hasil analisis tersebut menunjukkan semakin tinggi dukungan keluarga, semakin tinggi pula tingkat kepatuhan penderita minum OAT. Menurut penelitian Barriyah (2012), tentang Hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan menjalani pengobatan tuberkulosis di Puskesmas Se-Kota Malang didapatkan hasil bahwa dukungan keluarga pada Pasien Tuberkulosis Kambuh dalam menjalani pengobatan di Puskesmas Se-Kota Malang tergolong dukungan keluarga baik (83,3%) sedangkan tingkat kepatuhan dalam menjalani pengobatan tergolong kepatuhan sedang (40%), tidak ada hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan pada pasien tuberkulosis kambuh dalam menjalani pengobatan (p=0,349). Sementara itu penelitian Handhayani (2011), didapatkan hasil Ada hubungan yang bermakna antara dukungan dukungan sosial keluarga dengan kepatuhan minum obat pada penderita Tuberkulosis Paru di Poli Klinik Paru RSUP .Dr. M. Djamil Padang Tahun 2011. 18 D. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan tinjauan kepustakaan dan landasan teori, maka kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut : Skema 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Dukungan Sosial Keluarga Kepatuhan Minum Obat E. Hipotesis Penelitian Ha : Ada Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberkulosis Paru di Ruang Rawat Jalan Rumah Sakit Tentara Pematangsiantar.