“MOTIVASI INDIVIDU HIJABERS DALAM KEPUTUSAN MELEPAS

advertisement
“MOTIVASI INDIVIDU HIJABERS DALAM
KEPUTUSAN MELEPAS HIJAB”
Makalah Non-Seminar
Disusun oleh:
Andra Dwita Putri
1106085056
Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
2014
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Scanned by CamScanner
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Scanned by CamScanner
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Scanned by CamScanner
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Scanned by CamScanner
Motivasi Individu Hijabers dalam Keputusan Melepas Hijab
Andra Dwita Putri dan Askariani Kartono
Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Email: [email protected]
Email: [email protected]
Abstrak
Di Indonesia, fenomena perempuan menggunakan hijab sudah menjadi tren dalam beberapa
tahun belakangan ini. Media massa maupun media sosial berlomba-lomba menampilkan para
perempuan yang menggunakan hijab, baik dari sisi fesyen maupun dari sisi tingkat religiusitas
seseorang. Namun, berbanding lurus dengan tren perempuan berhijab, fenomena perempuan
yang melepas hijab juga meningkat. Berdasarkan fenomena tersebut, yang menjadi
pertanyaan penulis adalah sejauh mana motivasi hijabers dalam keputusan melepaskan
hijabnya?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan data sekunder yaitu
mengutip hasil penelitian yang dibuat oleh penulis buku terkait dengan kasus para perempuan
hijabers yang melepaskan hijabnya. Dari hasil analisis dan pembahasan, terungkap bahwa
adanya komunikasi persuasif dengan banyak pihak yang dirasa dekat serta self-esteem yang
rendah, membuat mereka memiliki pergeseran makna akan hijab yang kemudian melepas
hijabnya.
Kata kunci: motivasi, changing attitudes, Hijabers
Motives Behind Muslim Woman Uncovering Their Hijab
Abstract
In Indonesia, the phenomena of women using hijab has become a trend in these past view
years. Mass media and social media has been competing to show women wearing hijab for
fashion purposes and religious purposes. But besides using hijab, the number of individual
who decides to take off their hijab is also increasing. Based on that phenomena, my question
is: “How far the motivation impacting the decision of taking off the hijab?”. To answer that
question, i used secondary data gathered from various research about why women taking off
their hijab. The result is that they still have a low self-esteem that causes the regression of
meaning in wearing hijab.
Keywords: motivation, changing attitudes, Hijabers
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hijab telah menjadi sebuah fenomena yang tidak asing lagi bagi perempuan di
Indonesia. Melalui perkembangan zaman, saat ini hijab sudah menjadi suatu hal yang biasa
masyarakat lihat ketika banyak perempuan yang telah menggunakannya. Seiring
perkembangan zaman pula, masyarakat telah terbiasa menggunakan istilah hijab untuk
menunjukkan pakaian perempuan muslim.1 Pada tahun 2000-an, media di Indonesia telah
menjadi saluran untuk menyebarkan istilah ‘hijab’ sebagai pakaian penutup kepala.
Hijab menurut etimologi yang diambil dari kamus al-Munawwir Arab Indonesia
menurut Ahmad Warson Munawir adalah penutup atau tabir, sedangkan jilbab berarti baju
kurung panjang sejenis jubah.2 Hijab menurut bahasa berarti penghalang.3 Didalam kamus
bahasa arab hijab berarti penutup, tabir, tirai, layar dan sekat. Penghalang biasanya dapat
dilihat di dalam masjid sebagai penghalang atau pembatas antara jamaah laki-laki dan
perempuan. Apapun yang membatasi antara laki-laki dan perempuan pasti disebut hijab.
Beberapa ulama juga menyimpulkan bahwa hijab merupakan batasan antara laki-laki dan
perempuan mulai dari pakaian, sikap, tingkah laku hingga pikiran. Hal tersebut membuktikan
bahwa istilah hijab tidak menuju pada satu jenis kelamin tertentu. Namun, dengan adanya
perkembangan dan perubahan makna di Indonesia, hijab lebih mengacu pada sebuah pakaian
dan identik dengan jilbab atau kerudung.
Jilbab/Hijab pada zaman Nabi Muhammad SAW merupakan pakaian yang menutupi
seluruh anggota badan. Hijab sendiri terbuat dari kain, dimana dalam pemakaiannya
diusahakan untuk tidak berlebihan seperti memakai dilengkapi dengan memakai aksesoris
atau perhiasan yang dapat mengundang perhatian orang lain. Berbeda dengan pemaknaan
hijab saat ini. Sejak munculnya film dan novel yang bernafaskan Islam seperti Ayat-Ayat
Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, penggunaan kata ‘hijab’ memiliki pengertian baru. Hal
tersebut dapat dilihat dengan penerbitan buku-buku tutorial mengenai hijab sejak tahun 2008
oleh penerbit non-Islam4 yang menampilkan berbagai model cara menggunakan hijab yang
1
Dr. Muhammad Haitsan Al-Khayyat, Al-Mar’ah Al-Muslimah wa Qadhaya Al Ashr atau
problematika muslimah di era modern.terj.salafuddin, Asmu’i (penerbit Erlangga: 2007) hlm. 123
2
Abi Qasim Husain, Mu’jam Mufradat alfaazul Qur’an (Beirut-Lebanon:2004), hlm. 122
Muh.Fuad Abdul Baqi, Mu’jam Mufahras Iialfazil Qur’an (kairo:2007), hlm. 237
4 “Jilbab dan Berjilbab di Indonesia: Sebuah Evolusi” (http://inspirasi.co/polemik_diskusi/single/31)
3
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
2 modis dan stylish. Para pengguna hijab modis seperti itulah yang menyebut dirinya sebagai
Hijabers.
Dengan adanya pengertian tersebut, sebagian perempuan di Indonesia telah menilai
bahwa hijab merupakan model jilbab yang modis dan mengikuti tren yang ada. Pengaruh
gaya baru berpakaian perempuan modern yang terhitung vulgar-pun telah berkiblat pada
dunia barat yang tidak sesuai dan bertentangan dengan budaya Indonesia dan aturan yang
ditetapkan oleh Islam sehingga hal tersebut dapat menarik perhatian dan menjadi bahan
perbincangan oleh generasi perempuan muda di Indonesia. Karena adanya hal tersebut,
banyak perempuan yang memutuskan untuk menggunakan hijab. Namun, adanya peningkatan
penggunaan hijab pada seseorang belum tentu menandakan adanya peningkatan tingkat
agama pula. Banyaknya alasan perempuan yang menggunakan hijab hanya karena modis,
menguak pula bahwa terdapat alasan-alasan lain yang membuat perempuan memakai hijab.
Misalnya, karena adanya paksaan dari sebuah aturan, adanya alasan psikologis atau alasan
politis.5
Beragamnya alasan perempuan menggunakan hijab saat ini, membuat pemakaian hijab
sendiri terlihat seperti budaya ikut-ikutan yang disebabkan minimnya pengetahuan
masyarakat akan arti dan makna dibalik menggunakan jilbab. Hal tersebut menimbulkan
adanya fenomena baru yaitu tren melepas hijab. Tren ini bukan sebagai pembangkangan
terhadap agama, melainkan sebagai sebuah tren global yang dapat dipengaruhi oleh dunia
politik. Banyak perempuan saat ini biasa dengan melepaskan hijabnya karena memiliki
pendapat bahwa ketaqwaan dan ketaatan dalam beragama tidak berhubungan dengan pakaian
yang digunakan melainkan dicerminkan dengan hati yang ikhlas. Ada pula sebagian
perempuan yang merasa terganggu kebebasannya dalam berkehidupan hanya karena memakai
hijab. Begitu pula dengan sebagian perempuan lainnya yang hanya mengikuti hawa nafsu
bahwa hijab tidak begitu penting tetapi hijab hati yang lebih penting.
Maraknya perempuan Indonesia yang menggunakan hijab, membuat masyarakat lain
memberikan aspresiasi yang positif sehingga membuat fenomena melepas hijab sendiri pun
dianggap menjadi sesuatu hal yang berbeda. Fakta-fakta diatas membuat sebagian orang ingin
mengetahui apakah motivasi sebenarnya dari para pengguna hijab dalam memutuskan untuk
melepaskan hijabnya. Adanya hasil keputusan dari sebuah kelompok atau individu, komentar
dari orang-orang yang berpengaruh, persepsi orang lain yang dapat membentuk norma baru
5
Juneman, Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan Melepas Jilbab, LKis Yogyakarta, 2010,
hlm. Viii
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
3 atau bahkan adanya konflik diri untuk melakukan penyesuaian dari teori Social Influence dan
tingkat self-esteem seseorang dalam teori The Social Self bisa menjadi beberapa motivasi dan
dampak yang dapat dikaitkan dari beberapa kasus perempuan Indonesia dalam fenomena
melepas hijab.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka yang menjadi pertanyaan
penulis yaitu:
“Sejauh mana motivasi hijabers dalam memutuskan untuk melepaskan hijabnya?”
1.3
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui dan mengkaji sejauh mana motivasi perempuan yang berhijab
dalam memutuskan untuk melepaskan hijabnya.
1.4
Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penulisan jurnal ini, penulis menggunakan data sekunder,
yaitu mengutip hasil penelitian yang dibuat oleh penulis buku terkait dengan kasus-kasus para
perempuan hijabers yang melepaskan hijabnya.
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
4 KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Konsep Budaya
Secara umum, terdapat tiga kategori dalam mendefinisikan budaya6. Ketiga kategori
tersebut, yaitu:
a.
Kategori ideal, di mana budaya adalah sebuah proses kesempurnaan manusia, dalam
nilai-nilai mutlak ataupun universal.
b.
Kategori dokumenter, di mana budaya merupakan tubuh dari intelektual dan tempat
imajinasi bekerja, yang mana, secara lebih rinci, pikiran manusia dan pengalamannya
telah terekam.
c.
Kategori sosial, di mana budaya adalah sebuah deskripsi dari cara hidup tertentu, yang
menggambarkan arti dan nilai tertentu. Dalam hal ini, tidak hanya seni dan
pengetahuan, tetapi juga di kehidupan biasa.
2.2
Konsep Motivasi
Motivasi pada seseorang bukan saja menunduk pada dorongan yang timbul, namun
sudah menunjuk pada perilaku serta tujuan yang akan dicapai. Motivasi berkaitan erat dengan
tingkah laku seseorang, karena motivasi menunjuk pada pembangkitan kekuatan yang
mendorong atau menarik seseorang sehingga tingkah lakunya secara tekun tertuju pada
pencapaian tujuan tertentu. Menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energi dalam
diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan
terhadap adanya tujuan.7 Dari pengertian yang dikemukakan oleh Mc Donald ini mengandung
tiga elemen yaitu:
1) Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu
manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan energi
manusia, walaupun motivasi ini muncul dari dalam manusia, penampakan-nya akan
menyangkut kegiatan fisik manusia.
2) Motivasi ditandai dengan munculnya rasa (feeling) afeksi seseorang. Dalam hal ini
motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang dapat
menentukan tingkah laku manusia.
6
Hal. 332. 7
Oliver Boyd-Barrett, Chris Newbold. Approaches to MediaL A Reader. (New York, Arnold: 1995).
Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta: raja Grafindo Persada, 1996), hal
71.
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
5 3) Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi, motivasi dalam hal ini
sebenarnya respon dari suatu aksi, yaitu tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam
diri manusia tetapi kemunculan-nya karena terdorong oleh adanya unsur lain, dalam
hal ini adalah tujuan. Tujuan ini akan menyangkut soal kebutuhan.
Berbicara tentang macam atau jenis motivasi ini dapat dilihat dari proses timbulnya
motivasi yaitu ada yang datang dari dalam individu dan ada yang datang dari luar individu.
1) Motif ekstrinsik, yaitu motif-motif yang berfungsi karena adanya perangsang dari
luar.
2) Motif intrinsik, yaitu motif-motif yang berfungsi tidak perlu dirangsang dari luar,
karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.
Telah disebutkan diatas pula, bahwa motivasi adalah perubahan energi dalam diri
seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan terhadap
adanya tujuan. Maka dalam hal ini, Sardimin A.M. berpendapat bahwa motivasi dari dasar
terbentuknya ada dua macam yaitu:
1) Motif-motif bawaan yaitu motif yang dibawa sejak lahir, jadi motivasi itu ada tanpa
dipelajari. Motif-motif ini seringkali disebut motif-motif yang diisyaratkan secara
biologis.
2)
Motif-motif yang dipelajari yaitu motif-motif yang timbul karena dipelajari. Motifmotif ini seringkali disebut motif-motif yang diisyaratkan secara sosial.8 2.3
Konsep Social Influence
Menurut buku Social Psychology karangan Ann L. Weber (1992), Social influence
mengacu pada perubahan sikap atau perilaku seseorang dari hasil interaksi dengan orang lain.
Ada empat tingkatan dalam teori social influence yaitu:
1) Acceptance
Perubahan merupakan akibat dari pengaruh sosial yang disebut acceptance
(penerimaan). Jika seseorang atau kelompok meyakinkan seseorang untuk percaya
serta bertindak ke arah yang diinginkan, maka percakapan tersebut didasari oleh
proses batin. Penerimaan ini dapat terjadi karena adanya proses perubahan sikap
melalui dua hal yaitu identification dan internalization. Identification merupakan
pengaruh yang diterima karena adanya konformitas untuk menjaga hubungan dengan
8 Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta: raja Grafindo Persada, 1996), hal
73. Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
6 kelompok dan individual lainnya dengan cara mengikuti perilaku sikap kelompok
atau individu. Sedangkan, internalization merupakan bentuk penerimaan yang lebih
dalam karena seseorang yakin untuk percaya pada perubahan sikap. Dalam hal ini,
seseorang telah terinternalisasi kepercayaan baru, baik pemaknaan atau bentuk
sosial.
2) Compliance
Compliance merupakan suatu bentuk pengaruh sosial yang meliputi permintaan
langsung dari seseorang atau kelompok kepada orang lain yaitu usaha-usaha untuk
membuat orang lain menerima berbagai macam permintaan. Dua hal yang
menyebabkan hal tersebut terjadi yaitu conformity dan obedience. Conformity adalah
pengaruh sosial yang terjadi karena adanya hasil dari tekanan kelompok. Sedangkan,
obedience merupakan pengaruh sosial yang terjadi karena adanya pendapat dari
orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan pada seseorang.
3) Normative Influence
Normative influence sangat tergantung pada isyarat-isyarat sosial seperti ukuran
kelompok atau status perilaku orang yang dapat mempengaruhi seseorang. Untuk
memvalidasi keyakinan sosial seseorang, ia dapat berkonsultasi dengan perilaku
orang lain.
4) Informational Influence
Terkadang seseorang dapat mengubah pikiran dan tindakannya karena orang lain
telah mengajarkan kita cara yang lebih baik atau membawa informasi yang berguna
untuk kita. Hal tersebut merupakan hasil dari pengaruh informasi yang didapatkan
tidak hanya sesuai dengan norma kita, tetapi kita juga menerima hal itu.
Dalam teori social influence, terdapat pula social power yaitu kapasitas atau
kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain. Ada enam dasar-dasar kekuasaan
sosial (social power) yang terdiri dari:
1) Reward Power
Kekuasaan didapatkan dengan memberikan imbalan positif seperti uang, pujian, atau
kedudukan.
2) Coercive Power
Kemampuan untuk memaksa orang lain untuk merubah perilaku dengan ancaman
atau hukuman.
3) Legitimate Power
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
7 Kekuasaan berdasarkan peran atau kedudukan tertentu yang sah seperti dosen,
presiden, orang tua, dll.
4) Referent Power
Kekuasaan berdasarkan derajat rasa suka atau dipuja atau rasa hormat orang atau
masyarakat seperti artis idola.
5) Expert Power
Kekuasaan berdasarkan pengetahuan atau keahlian tertentu yang dimiliki seseorang
seperti professor, ahli agama, dll.
6) Informational Power
Kekuasaan yang ada pada seseorang yang memiliki informasi yang tidak dimiliki
orang lain seperti saksi dalam persidangan, media massa, dll.
2.4
Konsep Social Self
Ann L. Weber (1992) mengatakan bahwa seseorang tidak dilahirkan dengan memiliki
konsep diri, melainkan tumbuh seiring dengan orang tersebut. Weber kembali menjelaskan
bahwa secara umum, konsep diri muncul dari dalam diri sendiri serta pengaruh dari luar.
Deaux, Dane, dan Wrightsman (1993) mendefinisikan konsep diri sebagai sekumpulan
keyakinan dan perasaan seseorang mengenai dirinya yang berkaitan dengan bakat, minat,
kemampuan, penampilan fisik, dan sebagainya. Kemudian orang tersebut dapat memiliki
perasaan terhadap keyakinan mengenai dirinya tersebut. Keyakinan terhadap dirinya tersebut
mengenai apakah dirinya merasa positif atau negatif, bangga atau tidak bangga, dan senang
atau tidak senang dengan dirinya sendiri. Jadi, konsep diri merupakan bagaimana kita
memandang, menilai, serta perasaan kita tentang diri kita sendiri.
Weber kemudian mengomponenkan konsep diri, yaitu self-esteem dan social
evaluation. Self-esteem (harga diri) adalah mengenai evaluasi seseorang tentang dirinya
sendiri. Evaluasi terhadap diri sendiri ini merupakan penilaian, baik positif atau negatif,
mengenai dirinya sendiri. Seseorang yang memiliki self-esteem yang tinggi menunjukkan
bahwa ia memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki nilai, kemampuan, dan kepercayaan
yang tinggi. Sedangkan seseorang yang memiliki self-esteem yang rendah menunjukkan
bahwa ia memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki penilaian yang buruk akan pengalaman
masa lalunya serta memiliki harapan yang rendah akan pencapaian di masa depan.
Social evaluation (penilaian sosial) adalah mengenai apa yang kita yakini tentang
bagaimana orang lain memandang diri kita, dan hal tersebut akan mempengaruhi perilaku kita
apakah kita akan memutuskan untuk merubah diri kita atau tidak. Social evaluation dibagi
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
8 menjadi dua, yaitu reflected appraisal dan direct feedback. Reflected appraisal (pantulan
penilaian) diartikan bahwa pendapat kita tentang diri sendiri merupakan cermin atau refleksi
dari penilaian secara nyata dari orang lain terhadap diri kita. Sedangkan direct feedback
adalah umpan balik langsung mengenai pendapat seseorang terhadap diri kita. Social
evaluation dapat digambarkan dengan seseorang yang berpikir bahwa orang lain menilai
dirinya sebagai perempuan yang tidak menarik. Dan self-esteem dapat digambarkan sebagai
sikap dari individu dari social evaluation tersebut.
2.5
Konsep Changing Attitudes
Teori ini menjelaskan bagaimana sikap seseorang bisa berubah, dari yang tidak suka
menjadi suka ataupun sebaliknya. Ketika sikap dibentuk oleh pengalaman, maka pengalaman
baru dan penemuan terhadap informasi baru yang akan mengubah sikap seseorang. Selain
faktor tersebut, sikap juga bisa berubah sebagai hasil dari persuasi, sebagai bentuk pengaruh
sosial yang merubah keyakinan, perasaan, maupun perilaku seseorang. Menurut Carl
Hovland, perubahan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh komunikasi yang persuasif. Ada
tiga faktor utama yang membuat sebuah komunikasi menjadi lebih persuasif yaitu orang yang
menyampaikan pesan, pesan yang disampaikan, dan penerima pesan itu sendiri. (Ann L.
Weber, 1992 : hal 137).
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
9 ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1
Analisis
Dalam buku yang berjudul Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan Melepas
Jilbab karya Juneman, terdapat hasil penelitian yang dilakukan penulis buku dalam meneliti
kisah-kisah yang menceritakan dinamika kepercayaan eksistensial para muslimah Indonesia
yang melepaskan hijabnya sebelum, saat, dan sesudah mereka melakukan tindakan tersebut.
Buku ini menceritakan tentang empat orang subjek penelitian yaitu Tari, Intan, Wina dan
Lanni yang pernah menggunakan hijab namun akhirnya melepas hijabnya. Berikut ini, penulis
paparkan kisah-kisah individu hijabers yang melepas hijab berdasarkan yang penulis kutip
dari buku.
a. Kisah Tari: Jilbab Sebagai Pilihan Busana
Latar belakang keluarga Tari adalah keluarga yang santri, maka ayah Tari
memiliki inisiatif untuk memasukkan tari ke pesantren. Di pesantren tersebut, Tari
diwajibkan untuk memakai jilbab. Namun, kehidupan di pesantren yang mengajarkan
ajaran Islam mengenai jilbab masih membuat Tari belum begitu fanatik dengan
pemakaian jilbab sendiri. Tari pertama kali memakai jilbab saat duduk di bangku
SMA. Di sekolahnya, ia banyak bergaul dengan para anggota kerohanian Islam
(Rohis) yang banyak mempengaruhi pola pikir dan pandangannya akan agama dan
jilbab. Ia tidak pernah melepas jilbabnya, menghindari musik, televisi dan
sebagainya. Tari juga cukup aktif melakukan dakwah. Saat menginjak bangku kuliah,
Tari semakin mantap untuk berjilbab.
Pada tahun pertama kuliah, Tari masih menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan yang dinilai tidak mendukung kehidupan keislaman Tari. Namun seiring
dengan berjalannya waktu, Tari banyak bergaul dengan teman kampus AINI,
perguruan tinggi lain dan teman pesantren yang cukup berbeda aliran, sehingga dapat
membuka wawasan Tari. Setelah semester 4 kuliah, Tari mempunyai pacar yang
sekarang telah menjadi suaminya. Mereka banyak melakukan diskusi mengenai
jilbab, HAM dan membaca buku yang agak berbeda dengan bacaan buku yang dibaca
Tari sebelumnya. Karena hal tersebut, pemaknaan jilbab Tari mulai bergeser. Titik
kritis terjadi saat pemilihan ketua divisi keputrian di kampusnya. Saat itu, isu yang
beredar adalah ketua keputrian mushola haruslah yang jilbabnya besar. Hal ini
memancing konflik internal dalam diri Tari, “Apakah perempuan hanya bisa dinilai
dari seberapa lebar jilbab yang dipakainya? Bukan dari pikiran atau dirinya sendiri?”
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
10 Setelah lulus kuliah dan bergabung di sebuah LSM keperempuanan (Afina
Riskana), membuat Tari banyak berdiskusi tentang isu-isu keperempuanan, termasuk
masalah jilbab. Hingga Tari sampai pada satu kesimpulan, kalau jilbab adalah busana,
bagian dari budaya. Jilbab bukanlah sebuah ajaran agama dan bukan suatu kewajiban
untuk perempuan muslim. Jilbab memang menjadi identitas muslimah, akan tetapi
lebih kepada sebuah simbol. Lalu, Tari menikah dan kajian keislaman Tari lebih
terbuka karena kesempatan untuk berdiskusi dengan pacarnya yang kini menjadi
suami-nya pun lebih besar. Hingga pada akhirnya Tari sampai pada suatu kesimpulan
dan memutuskan bahwa jilbab adalah sebuah pilihan. Keputusannya melepas jilbab
tidak langsung membuatnya mengambil sikap bertolak belakang terhadap jilbab. Tari
merasa ia masih mungkin memakai jilbab kembali dengan aladan dan tujuan tertentu
yang sifatnya lebih politis dan bukan teologis.
b. Kisah Intan: Orang yang Berjilbab adalah Orang yang Gagal Trust Terhadap
Orang Lain
Intan berasal dari keluarga pluralistik dan hanya menekankan Shalat (shalat
wajib maupun shalat sunah atau tarawih) sebagai satu-satunya kewajiban. Dalam hal
keagamaan, keluarga Intan tidak mewajibkannya atau menghimbau untuk
mengenakan jilbab. Saat menginjak bangku SMP, Intan mempunyai guru agama yang
“sangat gemar” menebarkan rasa takut kepada siswa akan Tuhan dan agama.
Ancaman kalau perempuan yang tidak menutup auratnya dan tidak menggunakan
jilbab di neraka nanti payudaranya akan digantung kemudian dibakar sampai
bernanah. Hal tersebut menjadi titik balik buat Intan yang membuatnya berkeinginan
memakai jilbab. Apalagi saat sepupu terdekat Intan juga memutuskan untuk memakai
jilbab. Titik balik lainnya berasal pula dari lingkungan sekolah Intan saat SMA,
dimana para senior Intan yang dianggap figur-figur ideal banyak yang berhijab. Pada
saat yang bersamaan, sepupu terdekat Intan memutuskan untuk berhijab sehingga
enam bulan setelahnya Intan juga sudah yakin untuk berhijab pula.
Intan memakai jilbab tertutup sekitar dua tahun sampai saat ia berpacaran
dengan seorang aktivis politik. Walaupun sang pacar tidak secara langsung untuk
memintanya melepas jilbab, tetapi diskusi panjang di antara mereka mengenai agama
dan Tuhan membuat Intan mempertanyakan kembali jilbabnya. Secara bertahap, Intan
mulai menanggalkan jilbabnya hingga akhirnya memutuskan untuk melepasnya.
Bersamaan dengan hal tersebut, Intan juga mengalami pergeseran pemahaman dan
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
11 pemaknaan agama dalam dirinya. Ia mulai mempelajari ajaran agama-agama lain
serta mempertanyakan ibadah, dosa-pahala, takdir serta berbagai hal lainnya.
Setelah itu, Intan putus dengan pacarnya dan mengalami masalah keluarga
dimana
keluarganya
harus
menjual
rumah
dan
Intan
harus
membantu
keberlangsungan kehidupan keluarganya. Sang mantan pacar yang secara tidak
langsung mempengaruhi pola pikirnya tersebut malah menikah dengan wanita rohis
berjilbab besar. Hal tersebut menimbulkan kekecewaan yang besar dalam diri Intan.
Perlahan, timbul sinisme dan sentimen negatif agama dalam dirinya, Secara ekstrem,
Intan menganggap bahwa perempuan yang memakai jilbab adalah orang yang gagal
trust terhadap orang lain.
c. Kisah Wina: Melepas Jilbab untuk Berjilbab Kembali
Dari kecil Wina telah diasuk oleh ayah angkat. Bagi Wina, bercerita tentang
ibu seperti membuka luka lama karena ia memiliki pengalaman yang kurang
harmonis dengan ibunya. Di samping itu, Wina mengagumi ayanh kandung dan ayah
angkatnya. Keduanya adalah muslim yang baik. Wina juga menjalani masa kanakkanaknya di kota kecil dengan dominasi muslim yang penuh cinta dan damai Wina
memakai jilbab saat ia duduk di bangku SMA setelah mengikuti basic training
sebuah perkumpulan remaja islami. Namun ia baru memakai jilbab setelah bergabung
di organisasi Mahasiswa Islam NMI. NMI adalah organisasi yang sangat berperan
dalam pengembangan karakternya.
Sejak memakai jilbab, jilbab Wina tertutup dengan rapat. Karena menurutnya
menutup aurat tidak bisa setengah-setengah. Hingga suatu ketika Wina mengalami
insiden kritis dalam bidang seksual dengan sang pacar. Wina memutuskan untuk
melepas jilbabnya setelah menikah karena ia merasa belum cukup pantas mengenakan
jilbab dan tidak bisa mempertanggungjawabkan jilbabnya di lingkungan dan di mata
Tuhan.
Wina terus melakukan upaya pencarian diri, hingga beberapa tahun kemudian
setelah mengalami “mimpi religius”, Wina memakai jilbabnya kembali yang ternyata
hanya sementara. Beberapa waktu kemudian, Wina kembali melepas jilbabnya karena
ia masih banyak terlibat gossip, intrik dan politik pihak-pihak tertentu yang kurang
sehat di kantornya sehingga hal tersebut membuatnya tertekan dan merasa tidak
sejalan dengan jilbabnya. Wina merasa perilakunya mash jauh dari sosok perempuan
muslim yang baik. Pelepasan jilbab ini dimaknai Wina sebagai salah satu proses
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
12 upaya pencarian yang hakiki untuk lebih konsisten mengenakan jilbab kembali. Saat
ini, Wina terus melakukan upaya pencarian diri dan tetap berniat untuk kembali
berhijab.
d. Kisah Lanni: Jilbab Belum Sejatinya Mencerminkan Diriku
Lanni memutuskan untuk memakai jilbab saat usianya menjelang 37 tahun.
Peristiwa-peristiwa pertama yang mendahuluinya adalah tekanan-tekanan sosiopsikis
yang dialami dalam kehidupannya yang hampir membuat Lanni putus asa dan
membawanya lari ke jilbab dan agama dengan maksud untuk menenangkan hati.
Lanni menggunakan jilbab atas anjuran seorang laki-laki yang ia cintai saat itu.
Meskipun anjuran itu sebenarnya hanya satu kali didengar Lanni, tapi pengaruhnya
kuat. Di samping itu, Lanni juga mengaku ada kecenderungan berlaku konformistis
dengan sebagian teman-teman S2-nya yang saat itu juga menggunakan jilbab.
Namun, di saat hubungannya dengan laki-laki yang menganjurkannya mengenakan
jilbab tidak lagi penting, Lanni sudah mulai mencoba melepas jilbabnya.
Diawali dengan kedatangan teman lamanya dari Belanda di saat bulan puasa,
Lanni dan temannya jalan-jalan, makan siang dan gandengan. Karena merasa tidak
nyaman maka suatu sore ia melepas jilbabnya. Lanni merasa lebih bisa menjadi diri
sendiri ketika ia tidak berjilbab. Ia merasa kalau jilbab tidak sesuai dengannya dan
tidak mencerminkan dirinya. Lanni mengaitkan kejadian tersebut dengan motif
awalnya memakai jilbab yang tidak timbul dari dalam dirinya, tetapi lebih karena
situasi sosio-emosionalnya yang depresif pada saat itu.
3.2
Pembahasan
Munculnya fenomena melepas hijab ini, terjadi karena adanya suatu proses keputusan
pada diri seseorang setelah melewati berbagai pemikiran yang panjang. Melihat pada kisah
perempuan diatas yang dijadikan subjek penelitian, Tari dan Intan awalnya menggunakan
hijab karena faktor ketakutan pada surga dan neraka yang disampaikan oleh lingkungannya,
faktor kesadaran pribadi terjadi pada Wina dan faktor keputus-asaan sehingga berlari pada
agama dan hijab terjadi pada Lanni. Lalu, satu persatu dari mereka mulai mengalami
pergeseran makna dan mempertanyakan kembali akan hijab yang mereka kenakan karena
adanya faktor persuasi dari orang-orang terdekat, dimana hal tersebut merupakan alasan
mayoritas yang terjadi pada mereka. Adanya proses tersebut dapat dijelaskan dengan konsep
budaya. Terdapat beberapa kategori yang mendefinisikan budaya yaitu kategori ideal dan
kategori sosial. Kategori ideal ini menjelaskan bahwa manusia dapat menjalani sebuah proses
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
13 menuju kesempurnaan pada nilai-nilai mutlak seperti agama dan kewajiban memakai hijab.
Kategori sosial sendiri menjelaskan bahwa budaya merupakan deskripsi dari cara hidup
manusia yang menggambarkan arti dan nilai tertentu dari makna dan perilaku indvidu saat
mereka memakai hijab. Kategori sosial ini tidak hanya menjelaskan pengetahuan akan agama
dan aturan yang ada, namun budaya dapat menjelaskan bagaimana seseorang menjalani
kehidupannya dengan keputusan yang telah mereka pilih. Pada jurnal ini, kisah para
perempuan yang melepaskan hijabnya dapat penulis analisis melalui beberapa konsep yang
terkait.
Dari berbagai kasus yang sudah diterterakan diatas, terlihat adanya motivasi yang
terjadi pada keempat kisah peremuan yang memutuskan untuk melepaskan hijabnya. Tari,
yang awalnya sangat mantap untuk berhijab, seiring waktu dengan adanya sosialisasi dan
komunikasi bersama lingkungan dan orang-orang terdekatnya saat memasuki bangku kuliah
membuat ia berpikir kembali akan pemaknaan hijab itu sendiri. Begitu pula dengan kisah
Intan, Lanni dan Wina yang melewati elemen pertama konsep motivasi, dimana motivasi
mengawali terjadinya perubahan energi manusia. Adanya motivasi pada keempat kisah
perempuan ini ditandai pula dengan munculnya feeling mengenai afeksi dan emosi yang
menentukan keputusan mereka untuk melepaskan hijabnya seperti rasa belum pantas
menggunakannya, rasa takut akan dosa, dan rasa tidak nyaman. Motivasi mereka melepaskan
hijabnya-pun juga terangsang karena adanya tujuan. Seperti kisah Wina yang bertujuan untuk
berhijab kembali setelah melepaskan hijabnya beberapa kali karena ia masih merasa
perilakunya masih jauh dari sosok perempuan muslim yang baik.
Asal motivasi keempat perempuan ini, mayoritas merupakan jenis motif ekstrinsik
dumana motif-motif mereka melepaskan hijabnya terjadi karena adanya perangsang dari luar.
Pengaruh dari lingkungan mereka bergaul dan bekerja, organisasi yang mereka ikuti, hingga
dari orang-orang terdekat seperti pacar telah menjadi peran besar bagi masing-masing
individu dalam keputusan melepas hijab. Dasar terbentuknya motivasi pada diri mereka juga
merupakan motif-motif yang timbul karena dipelajari. Motif-motif yang dapat diisyarakatkan
secara sosial ini terjadi pada kisah Tari dan Intan seperti melakukan diskusi dan membaca
buku sebelum mereka melepaskan hijabnya.
Adanya motivasi yang mendorong perubahan sikap dan perilaku Tari, Intan, Wina dan
Lanni, dapat terjadi karena munculnya social influence dari hasil interaksi dengan orang lain.
Dari tingkatan yang pertama dalam social influence yaitu penerimaan (acceptance), keempat
perempuan tersebut telah melalui proses batin. Penerimaan yang terjadi pada kisah Intan dan
Wina termasuk pada proses perubahan sikap identification, dimana mereka menerima
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
14 pengaruh karena adanya konformitas untuk menjaga hubungan dengan sang pacar sehingga
mereka secara tidak langsung mengikuti kemauan sang pacar untuk melepaskan hijabnya.
Pengaruh yang mereka terima juga termasuk pada tingkatan kedua social influence yaitu
compliance. Intan dan Wina menerima permintaan dan pendapat dari sang pacar untuk
membuat mereka terpengaruh dalam keputusan melepaskan hijabnya. Hal yang menyebabkan
Intan dan Wina menerima pengaruh dari pacar mereka dapat disebut obedience, dimana
pengaruh sosial yang terjadi dikarenakan adanya pendapat dari orang yang memiliki dampak
besar bagi hidup mereka. Pada saat itu pula, pacar yang mereka anggap telah memiliki
dampak yang besar atas hidupnya juga termasuk pada tingkatan ketiga dan dan keempat
social influence yaitu normative influence dan informational influence, dimana isyarat-isyarat
seperti diskusi, pendapat, hingga kritik atas informasi dalam pemakaian jilbab mereka dapat
memvalidasi keyakinan hingga mengubah pikiran dan tindakan Intan dan Wina untuk
melepaskan hijabnya karena pengaruh yang mereka rasa sesuai dengan norma dari sang pacar.
Selain itu, kisah Tari dan Lanni yang memikirkan kembali pemakaian hijabnya terjadi
karena dirasa hijab itu sendiri hanya menjadi simbol agama bagi perempuan muslimah dan
pemakaian hijab pada diri mereka belum mencerminkan diri mereka yang sebenarnya. Hal
tersebut termasuk pada proses penerimaan perubahan perilaku internalization, dimana Tari
dan Lanni yakin dalam melakukan perubahan sikapnya untuk melepas hijab karena adanya
pemaknaan dan bentuk sosial yang baru terhadap agama dan jilbab. Normative influence dan
informational influence juga terkait pada kisah Tari, tetapi pengaruh yang mereka dapatkan
banyak berasal dari kelompok atau organisasi seperti Rohis dan LSM Afina Riskana sehingga
mereka juga banyak melakukan diskusi, bertukar pikiran dan melakukan konsultasi tentang
masalah keperempuanan, agama dan hijab. Dengan itu, mereka melewati tahap penerimaan
karena adanya rasa kesesuaian pengetahuan dan informasi yang baru mereka dapatkan dari
berbagai organisasi di lingkungannya dengan norma yang mereka patuhi. Dasar-dasar
kekuasaan sosial yang dialami oleh Tari, Intan dan Wina terjadi karena adanya referent power
dan informational power. Dampak sang pacar terhadap keputusan Intan dan Wina dalam
melepaskan hijabnya termasuk pada dasar kekuasaan referent power karena adanya rasa suka
atau dipujanya mereka oleh Intan dan Wina pada saat itu. Namun, dasar kekuasaan yang
terjadi pada Tari termasuk pada informational power, dimana kekuasaan yang dimiliki oleh
kelompok atau organisasi yang mereka ikuti memiliki informasi lebih dan berguna yang tidak
dimiliki orang lain.
Selain adanya motivasi yang berasal dari pengaruh-pengaruh sosial terhadap kisah
perempuan yang melepaskan hijabnya, terdapat pula konsep diri yang dapat menjelaskan
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
15 motivasi serta alasan perempuan dalam memutuskan melepaskan hijab. Pada konsep ini, kisah
Wina dan Lanni dapat mewakilkan bahwa sebuah keyakinan dan perasaan seseorang yang
berkaitan dengan penampilan fisik sehingga menimbulkan penilaian tentang diri sendiri dapat
berdampak pada pergeseran makna akan sebuah hijab yang digunakan. Kisah Wina yang
melepaskan hijabnya dikarenakan adanya insiden pada bidang seksual, membuat Wina
merasa bahwa ia belum cukup pantas menggunakan hijab. Hal tersebut termasuk pada
komponen konsep diri yaitu self-esteem. Wina yang mengalami insiden seksual dengan sang
pacar, telah melakukan evaluasi terhadap dirinya akan hal yang sudah ia lakukan sebelumnya.
Ia merasa insiden tersebut bernilai negatif, sehingga Wina juga memiliki nilai yang buruk
terhadap dirinya sendiri. Setelah Wina memutuskan kembali untuk mengenakan hijabnya, ia
masih terlibat dengan gosip, intrik serta politik dari pihak-pihak tertentu di lingkungan tempat
ia bekerja. Dengan itu, Wina-pun kembali memutuskan untuk melepas hijabnya. Hal tersebut
membuktikan pula bahwa adanya komponen konsep diri yaitu social evaluation mengenai
pandangan dan penilaian orang lain terhadap keyakinan Wina dapat mempengaruhi perilaku
Wina sendiri untuk melepaskan hijabnya. Maka dari itu, dengan adanya social evaluation
pada diri Wina dapat mengakibatkan self-esteem yang rendah sehingga Wina memutuskan
untuk melepaskan hijabnya karena ia merasa belum bertanggung jawab terhadap hijab yang ia
gunakan.
Begitu pula dengan kisah yang terjadi pada Lanni, pada awalnya ia melepaskan
hijabnya karena hubungannya dengan sang pacar sudah berakhir. Pelepasan hijabnya semakin
terdorong karena kedatangan temannya yang berasal dari Belanda. Lanni melepaskan
hijabnya karena ia merasa tidak nyaman dengan hijabnya atas perilaku yang ia lakukan saat
bersama temannya tersebut. Komponen konsep diri dari social evaluation yaitu direct
feedback, dimana Lanni melakukan umpan balik langsung atas pandangan orang lain dirinya
saat itu sehingga saat ia sedang berjalan-jalan di sore hari bersama temannya dari Belanda,
Lanni langsung melepaskan hijabnya. Ia merasa bahwa hijabnya itu tidak sesuai dan tidak
mencerminkan dirinya. Hal tersebut juga juga terkait dengan adanya self-esteem yang rendah
karena Lanni sendiri juga merasa tidak bangga dan tidak senang atas pemakaian hijab pada
dirinya, sehingga membuat keyakinan pada diri Lanni sendiri memutuskan untuk melepaskan
hijab yang telah ia gunakan.
Setelah penjelasan adanya motivasi, social influence, hingga social self atas keputusan
melepas hijab terhadap kisah-kisah perempuan yang sudah dipaparkan sebelumnya, maka
perubahan sikap dari mereka juga dapat dijelaskan dengan konsep changing attitudes.
Perubahan sikap pada Tari dan Wina, bisa terjadi karena adanya pengalaman-pengalaman dan
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
16 penemuan terhadap informasi baru dari organisasi atau LSM yang diikutinya sehingga dapat
memacu Tari dan Wina untuk yakin dalam pelepasan hijabnya. Sikap yang berubah juga
dapat terjadi karena hasil dari persuasi dari seseorang atau kelompok yang dapat merubah
keyakinan, perasaan dan perilaku seseorang. Perubahan sikap karena adanya persuasi telah
terjadi pada kisah Intan dan Lanni, dimana pacar mereka telah melakukan komunikasi yang
persuasif untuk membuat Intan dan Lanni berpikir kembali atas pemakaian hijab mereka.
Komunikasi yang terjadi pada keempat perempuan ini menjadi lebih persuasif karena adanya
beberapa faktor yaitu orang yang menyampaikan pesan yaitu orang-orang terdekat mereka,
lalu pesan yang disampaikan, dimana Tuhan, agama, dan hijab merupakan suatu hal yang
sensitif untuk dibahas dan masih banyak manusia yang minim pengetahuannya akan ketiga
hal tersebut, dan yang ketiga yaitu penerima pesan, dimana keempat perempuan ini masih
dalam kondisi yang labil dan mudah terpengaruh karena adanya rasa bimbang dan kecewa
akan pengalaman yang didapat sebelumnya.
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
17 KESIMPULAN
Dari hasil analisis kasus-kasus yang dialami oleh keempat perempuan Indonesia yang
melepaskan hijabnya yaitu Tari, Intan, Wina dan Lanni, penulis menarik kesimpulan bahwa
motivasi mereka dalam memutuskan untuk melepaskan hijabnya berasal dari motif ekstrinsik,
dimana perangsang dari luar dapat merubah sikap dan perilaku mereka. Perangsang dari luar
yang menyebabkan perubahan perilaku kepada keempat perempuan ini mayoritas berasal dari
orang-orang terdekat dan lingkungan sekitar yang memiliki kekuatan serta dampak yang besar
bagi kehidupan mereka. Adanya pengetahuan dan informasi baru yang disampaikan secara
persuasif melalui diskusi, konsultasi dan membaca buku dengan pihak-pihak tertentu
membuat para subjek penelitian mulai memikirkan kembali akan hijab yang mereka gunakan.
Informasi dan pengetahuan baru yang didapat dari orang-orang terdekat, mereka terima
dengan baik karena adanya konformitas untuk menjaga hubungan. Penerimaan pengetahuan
baru tersebut berlanjut pada proses terbentuknya pemaknaan dan bentuk sosial baru terhadap
penggunaan hijab pada diri mereka masing-masing.
Disamping adanya pengetahuan baru yang membuat pergeseran makna akan hijab
pada beberapa kasus perempuan yang melepaskan hijabnya, terdapat pula penyebab dari luar
yang membuat perasaan mereka bimbang dan kecewa sehingga hal tersebut juga menjadi
motivasi perempuan untuk memutuskan melepaskan hijabnya. Adanya self-esteem (harga diri)
yang rendah karena adanya pengalaman yang buruk serta pandangan dan social evaluation
dari penilaian orang lain terhadap kita membuat beberapa individu mempertanyakan kembali
keyakinan dan keputusan mereka dalam menggunakan hijab. Motivasi yang disebabkan
karena adanya social influence pada masing-masing individu, menyebabkan adanya direct
feedback yang tertuju langsung kepada mereka sehingga membuat mereka merubah sikap dan
perilakunya untuk mengambil keputusan dalam melepas hijabnya.
Berdasarkan kesimpulan diatas, Tari, Intan, Wina dan Lanni telah memutuskan untuk
melepaskan hijabnya karena adanya komunikasi yang persuasif dari beberapa pihak mengenai
pengetahuan baru tentang agama dan hijab, serta self-esteem yang rendah akibat pendapat dan
kritik dari berbagai pihak yang membuat mereka mengalami pergeseran makna akan hijab dan
memikirkan kembali dengan penggunaan hijab pada diri mereka sendiri. Hal tersebut mereka
lakukan karena adanya perasaan bahwa hijab hanya merupakan simbol bagi perempuan
muslimah dan hijab belum mencerminkan diri mereka sebenernya sehingga mereka-pun
belum merasa mempertanggungjawabkan hijabnya dengan baik.
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
18 DAFTAR PUSTAKA
Buku
Al Khayyat, Dr. Muhammad Haitsan. (2007). Al-Mar’ah Al-Muslimah wa Qadhaya Al Ashr
atau problematika muslimah di era modern.terj.salafuddin. Erlangga.
A.M., Sardiman. (1996). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Barrett, Oliver Boyd., Chris Newbold. (1995). Approaches to MediaL A Reader. New York:
Arnold.
Baqi, Muh. Fuad Abdul. (2007). Mu’jam Mufahras Iialfazil Qur’an. Kairo.
Husain, Abi Qasim. (2004). Mu’jam Mufahras Iialfazil Qur’an. Beirut-Lebanon.
Juneman. (2010). Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan Melepas Jilbab.
Yogyakarta: PT. LkiS.
Weber, A.L. (1992). Social Pcychology. New York: HarperCollins Publisher, Inc.
Website
http://inspirasi.co/polemik_diskusi/single/31
http://www.hijabscorner.com/2012/05/pengertian-hijab-hijab-dalam-islam.html
http://skripsi-manajemen.blogspot.com/2011/02/teori-motivasi-maslow-mcclelland.html
Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
Download