“MOTIVASI INDIVIDU HIJABERS DALAM KEPUTUSAN MELEPAS HIJAB” Makalah Non-Seminar Disusun oleh: Andra Dwita Putri 1106085056 Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2014 Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Scanned by CamScanner Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Scanned by CamScanner Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Scanned by CamScanner Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Scanned by CamScanner Motivasi Individu Hijabers dalam Keputusan Melepas Hijab Andra Dwita Putri dan Askariani Kartono Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Email: [email protected] Email: [email protected] Abstrak Di Indonesia, fenomena perempuan menggunakan hijab sudah menjadi tren dalam beberapa tahun belakangan ini. Media massa maupun media sosial berlomba-lomba menampilkan para perempuan yang menggunakan hijab, baik dari sisi fesyen maupun dari sisi tingkat religiusitas seseorang. Namun, berbanding lurus dengan tren perempuan berhijab, fenomena perempuan yang melepas hijab juga meningkat. Berdasarkan fenomena tersebut, yang menjadi pertanyaan penulis adalah sejauh mana motivasi hijabers dalam keputusan melepaskan hijabnya?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan data sekunder yaitu mengutip hasil penelitian yang dibuat oleh penulis buku terkait dengan kasus para perempuan hijabers yang melepaskan hijabnya. Dari hasil analisis dan pembahasan, terungkap bahwa adanya komunikasi persuasif dengan banyak pihak yang dirasa dekat serta self-esteem yang rendah, membuat mereka memiliki pergeseran makna akan hijab yang kemudian melepas hijabnya. Kata kunci: motivasi, changing attitudes, Hijabers Motives Behind Muslim Woman Uncovering Their Hijab Abstract In Indonesia, the phenomena of women using hijab has become a trend in these past view years. Mass media and social media has been competing to show women wearing hijab for fashion purposes and religious purposes. But besides using hijab, the number of individual who decides to take off their hijab is also increasing. Based on that phenomena, my question is: “How far the motivation impacting the decision of taking off the hijab?”. To answer that question, i used secondary data gathered from various research about why women taking off their hijab. The result is that they still have a low self-esteem that causes the regression of meaning in wearing hijab. Keywords: motivation, changing attitudes, Hijabers Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hijab telah menjadi sebuah fenomena yang tidak asing lagi bagi perempuan di Indonesia. Melalui perkembangan zaman, saat ini hijab sudah menjadi suatu hal yang biasa masyarakat lihat ketika banyak perempuan yang telah menggunakannya. Seiring perkembangan zaman pula, masyarakat telah terbiasa menggunakan istilah hijab untuk menunjukkan pakaian perempuan muslim.1 Pada tahun 2000-an, media di Indonesia telah menjadi saluran untuk menyebarkan istilah ‘hijab’ sebagai pakaian penutup kepala. Hijab menurut etimologi yang diambil dari kamus al-Munawwir Arab Indonesia menurut Ahmad Warson Munawir adalah penutup atau tabir, sedangkan jilbab berarti baju kurung panjang sejenis jubah.2 Hijab menurut bahasa berarti penghalang.3 Didalam kamus bahasa arab hijab berarti penutup, tabir, tirai, layar dan sekat. Penghalang biasanya dapat dilihat di dalam masjid sebagai penghalang atau pembatas antara jamaah laki-laki dan perempuan. Apapun yang membatasi antara laki-laki dan perempuan pasti disebut hijab. Beberapa ulama juga menyimpulkan bahwa hijab merupakan batasan antara laki-laki dan perempuan mulai dari pakaian, sikap, tingkah laku hingga pikiran. Hal tersebut membuktikan bahwa istilah hijab tidak menuju pada satu jenis kelamin tertentu. Namun, dengan adanya perkembangan dan perubahan makna di Indonesia, hijab lebih mengacu pada sebuah pakaian dan identik dengan jilbab atau kerudung. Jilbab/Hijab pada zaman Nabi Muhammad SAW merupakan pakaian yang menutupi seluruh anggota badan. Hijab sendiri terbuat dari kain, dimana dalam pemakaiannya diusahakan untuk tidak berlebihan seperti memakai dilengkapi dengan memakai aksesoris atau perhiasan yang dapat mengundang perhatian orang lain. Berbeda dengan pemaknaan hijab saat ini. Sejak munculnya film dan novel yang bernafaskan Islam seperti Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, penggunaan kata ‘hijab’ memiliki pengertian baru. Hal tersebut dapat dilihat dengan penerbitan buku-buku tutorial mengenai hijab sejak tahun 2008 oleh penerbit non-Islam4 yang menampilkan berbagai model cara menggunakan hijab yang 1 Dr. Muhammad Haitsan Al-Khayyat, Al-Mar’ah Al-Muslimah wa Qadhaya Al Ashr atau problematika muslimah di era modern.terj.salafuddin, Asmu’i (penerbit Erlangga: 2007) hlm. 123 2 Abi Qasim Husain, Mu’jam Mufradat alfaazul Qur’an (Beirut-Lebanon:2004), hlm. 122 Muh.Fuad Abdul Baqi, Mu’jam Mufahras Iialfazil Qur’an (kairo:2007), hlm. 237 4 “Jilbab dan Berjilbab di Indonesia: Sebuah Evolusi” (http://inspirasi.co/polemik_diskusi/single/31) 3 Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia 2 modis dan stylish. Para pengguna hijab modis seperti itulah yang menyebut dirinya sebagai Hijabers. Dengan adanya pengertian tersebut, sebagian perempuan di Indonesia telah menilai bahwa hijab merupakan model jilbab yang modis dan mengikuti tren yang ada. Pengaruh gaya baru berpakaian perempuan modern yang terhitung vulgar-pun telah berkiblat pada dunia barat yang tidak sesuai dan bertentangan dengan budaya Indonesia dan aturan yang ditetapkan oleh Islam sehingga hal tersebut dapat menarik perhatian dan menjadi bahan perbincangan oleh generasi perempuan muda di Indonesia. Karena adanya hal tersebut, banyak perempuan yang memutuskan untuk menggunakan hijab. Namun, adanya peningkatan penggunaan hijab pada seseorang belum tentu menandakan adanya peningkatan tingkat agama pula. Banyaknya alasan perempuan yang menggunakan hijab hanya karena modis, menguak pula bahwa terdapat alasan-alasan lain yang membuat perempuan memakai hijab. Misalnya, karena adanya paksaan dari sebuah aturan, adanya alasan psikologis atau alasan politis.5 Beragamnya alasan perempuan menggunakan hijab saat ini, membuat pemakaian hijab sendiri terlihat seperti budaya ikut-ikutan yang disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat akan arti dan makna dibalik menggunakan jilbab. Hal tersebut menimbulkan adanya fenomena baru yaitu tren melepas hijab. Tren ini bukan sebagai pembangkangan terhadap agama, melainkan sebagai sebuah tren global yang dapat dipengaruhi oleh dunia politik. Banyak perempuan saat ini biasa dengan melepaskan hijabnya karena memiliki pendapat bahwa ketaqwaan dan ketaatan dalam beragama tidak berhubungan dengan pakaian yang digunakan melainkan dicerminkan dengan hati yang ikhlas. Ada pula sebagian perempuan yang merasa terganggu kebebasannya dalam berkehidupan hanya karena memakai hijab. Begitu pula dengan sebagian perempuan lainnya yang hanya mengikuti hawa nafsu bahwa hijab tidak begitu penting tetapi hijab hati yang lebih penting. Maraknya perempuan Indonesia yang menggunakan hijab, membuat masyarakat lain memberikan aspresiasi yang positif sehingga membuat fenomena melepas hijab sendiri pun dianggap menjadi sesuatu hal yang berbeda. Fakta-fakta diatas membuat sebagian orang ingin mengetahui apakah motivasi sebenarnya dari para pengguna hijab dalam memutuskan untuk melepaskan hijabnya. Adanya hasil keputusan dari sebuah kelompok atau individu, komentar dari orang-orang yang berpengaruh, persepsi orang lain yang dapat membentuk norma baru 5 Juneman, Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan Melepas Jilbab, LKis Yogyakarta, 2010, hlm. Viii Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia 3 atau bahkan adanya konflik diri untuk melakukan penyesuaian dari teori Social Influence dan tingkat self-esteem seseorang dalam teori The Social Self bisa menjadi beberapa motivasi dan dampak yang dapat dikaitkan dari beberapa kasus perempuan Indonesia dalam fenomena melepas hijab. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka yang menjadi pertanyaan penulis yaitu: “Sejauh mana motivasi hijabers dalam memutuskan untuk melepaskan hijabnya?” 1.3 Tujuan Penulisan Untuk mengetahui dan mengkaji sejauh mana motivasi perempuan yang berhijab dalam memutuskan untuk melepaskan hijabnya. 1.4 Metode Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data penulisan jurnal ini, penulis menggunakan data sekunder, yaitu mengutip hasil penelitian yang dibuat oleh penulis buku terkait dengan kasus-kasus para perempuan hijabers yang melepaskan hijabnya. Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia 4 KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Konsep Budaya Secara umum, terdapat tiga kategori dalam mendefinisikan budaya6. Ketiga kategori tersebut, yaitu: a. Kategori ideal, di mana budaya adalah sebuah proses kesempurnaan manusia, dalam nilai-nilai mutlak ataupun universal. b. Kategori dokumenter, di mana budaya merupakan tubuh dari intelektual dan tempat imajinasi bekerja, yang mana, secara lebih rinci, pikiran manusia dan pengalamannya telah terekam. c. Kategori sosial, di mana budaya adalah sebuah deskripsi dari cara hidup tertentu, yang menggambarkan arti dan nilai tertentu. Dalam hal ini, tidak hanya seni dan pengetahuan, tetapi juga di kehidupan biasa. 2.2 Konsep Motivasi Motivasi pada seseorang bukan saja menunduk pada dorongan yang timbul, namun sudah menunjuk pada perilaku serta tujuan yang akan dicapai. Motivasi berkaitan erat dengan tingkah laku seseorang, karena motivasi menunjuk pada pembangkitan kekuatan yang mendorong atau menarik seseorang sehingga tingkah lakunya secara tekun tertuju pada pencapaian tujuan tertentu. Menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.7 Dari pengertian yang dikemukakan oleh Mc Donald ini mengandung tiga elemen yaitu: 1) Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan energi manusia, walaupun motivasi ini muncul dari dalam manusia, penampakan-nya akan menyangkut kegiatan fisik manusia. 2) Motivasi ditandai dengan munculnya rasa (feeling) afeksi seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia. 6 Hal. 332. 7 Oliver Boyd-Barrett, Chris Newbold. Approaches to MediaL A Reader. (New York, Arnold: 1995). Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta: raja Grafindo Persada, 1996), hal 71. Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia 5 3) Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi, motivasi dalam hal ini sebenarnya respon dari suatu aksi, yaitu tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia tetapi kemunculan-nya karena terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan. Tujuan ini akan menyangkut soal kebutuhan. Berbicara tentang macam atau jenis motivasi ini dapat dilihat dari proses timbulnya motivasi yaitu ada yang datang dari dalam individu dan ada yang datang dari luar individu. 1) Motif ekstrinsik, yaitu motif-motif yang berfungsi karena adanya perangsang dari luar. 2) Motif intrinsik, yaitu motif-motif yang berfungsi tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Telah disebutkan diatas pula, bahwa motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Maka dalam hal ini, Sardimin A.M. berpendapat bahwa motivasi dari dasar terbentuknya ada dua macam yaitu: 1) Motif-motif bawaan yaitu motif yang dibawa sejak lahir, jadi motivasi itu ada tanpa dipelajari. Motif-motif ini seringkali disebut motif-motif yang diisyaratkan secara biologis. 2) Motif-motif yang dipelajari yaitu motif-motif yang timbul karena dipelajari. Motifmotif ini seringkali disebut motif-motif yang diisyaratkan secara sosial.8 2.3 Konsep Social Influence Menurut buku Social Psychology karangan Ann L. Weber (1992), Social influence mengacu pada perubahan sikap atau perilaku seseorang dari hasil interaksi dengan orang lain. Ada empat tingkatan dalam teori social influence yaitu: 1) Acceptance Perubahan merupakan akibat dari pengaruh sosial yang disebut acceptance (penerimaan). Jika seseorang atau kelompok meyakinkan seseorang untuk percaya serta bertindak ke arah yang diinginkan, maka percakapan tersebut didasari oleh proses batin. Penerimaan ini dapat terjadi karena adanya proses perubahan sikap melalui dua hal yaitu identification dan internalization. Identification merupakan pengaruh yang diterima karena adanya konformitas untuk menjaga hubungan dengan 8 Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta: raja Grafindo Persada, 1996), hal 73. Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia 6 kelompok dan individual lainnya dengan cara mengikuti perilaku sikap kelompok atau individu. Sedangkan, internalization merupakan bentuk penerimaan yang lebih dalam karena seseorang yakin untuk percaya pada perubahan sikap. Dalam hal ini, seseorang telah terinternalisasi kepercayaan baru, baik pemaknaan atau bentuk sosial. 2) Compliance Compliance merupakan suatu bentuk pengaruh sosial yang meliputi permintaan langsung dari seseorang atau kelompok kepada orang lain yaitu usaha-usaha untuk membuat orang lain menerima berbagai macam permintaan. Dua hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi yaitu conformity dan obedience. Conformity adalah pengaruh sosial yang terjadi karena adanya hasil dari tekanan kelompok. Sedangkan, obedience merupakan pengaruh sosial yang terjadi karena adanya pendapat dari orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan pada seseorang. 3) Normative Influence Normative influence sangat tergantung pada isyarat-isyarat sosial seperti ukuran kelompok atau status perilaku orang yang dapat mempengaruhi seseorang. Untuk memvalidasi keyakinan sosial seseorang, ia dapat berkonsultasi dengan perilaku orang lain. 4) Informational Influence Terkadang seseorang dapat mengubah pikiran dan tindakannya karena orang lain telah mengajarkan kita cara yang lebih baik atau membawa informasi yang berguna untuk kita. Hal tersebut merupakan hasil dari pengaruh informasi yang didapatkan tidak hanya sesuai dengan norma kita, tetapi kita juga menerima hal itu. Dalam teori social influence, terdapat pula social power yaitu kapasitas atau kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain. Ada enam dasar-dasar kekuasaan sosial (social power) yang terdiri dari: 1) Reward Power Kekuasaan didapatkan dengan memberikan imbalan positif seperti uang, pujian, atau kedudukan. 2) Coercive Power Kemampuan untuk memaksa orang lain untuk merubah perilaku dengan ancaman atau hukuman. 3) Legitimate Power Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia 7 Kekuasaan berdasarkan peran atau kedudukan tertentu yang sah seperti dosen, presiden, orang tua, dll. 4) Referent Power Kekuasaan berdasarkan derajat rasa suka atau dipuja atau rasa hormat orang atau masyarakat seperti artis idola. 5) Expert Power Kekuasaan berdasarkan pengetahuan atau keahlian tertentu yang dimiliki seseorang seperti professor, ahli agama, dll. 6) Informational Power Kekuasaan yang ada pada seseorang yang memiliki informasi yang tidak dimiliki orang lain seperti saksi dalam persidangan, media massa, dll. 2.4 Konsep Social Self Ann L. Weber (1992) mengatakan bahwa seseorang tidak dilahirkan dengan memiliki konsep diri, melainkan tumbuh seiring dengan orang tersebut. Weber kembali menjelaskan bahwa secara umum, konsep diri muncul dari dalam diri sendiri serta pengaruh dari luar. Deaux, Dane, dan Wrightsman (1993) mendefinisikan konsep diri sebagai sekumpulan keyakinan dan perasaan seseorang mengenai dirinya yang berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan, penampilan fisik, dan sebagainya. Kemudian orang tersebut dapat memiliki perasaan terhadap keyakinan mengenai dirinya tersebut. Keyakinan terhadap dirinya tersebut mengenai apakah dirinya merasa positif atau negatif, bangga atau tidak bangga, dan senang atau tidak senang dengan dirinya sendiri. Jadi, konsep diri merupakan bagaimana kita memandang, menilai, serta perasaan kita tentang diri kita sendiri. Weber kemudian mengomponenkan konsep diri, yaitu self-esteem dan social evaluation. Self-esteem (harga diri) adalah mengenai evaluasi seseorang tentang dirinya sendiri. Evaluasi terhadap diri sendiri ini merupakan penilaian, baik positif atau negatif, mengenai dirinya sendiri. Seseorang yang memiliki self-esteem yang tinggi menunjukkan bahwa ia memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki nilai, kemampuan, dan kepercayaan yang tinggi. Sedangkan seseorang yang memiliki self-esteem yang rendah menunjukkan bahwa ia memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki penilaian yang buruk akan pengalaman masa lalunya serta memiliki harapan yang rendah akan pencapaian di masa depan. Social evaluation (penilaian sosial) adalah mengenai apa yang kita yakini tentang bagaimana orang lain memandang diri kita, dan hal tersebut akan mempengaruhi perilaku kita apakah kita akan memutuskan untuk merubah diri kita atau tidak. Social evaluation dibagi Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia 8 menjadi dua, yaitu reflected appraisal dan direct feedback. Reflected appraisal (pantulan penilaian) diartikan bahwa pendapat kita tentang diri sendiri merupakan cermin atau refleksi dari penilaian secara nyata dari orang lain terhadap diri kita. Sedangkan direct feedback adalah umpan balik langsung mengenai pendapat seseorang terhadap diri kita. Social evaluation dapat digambarkan dengan seseorang yang berpikir bahwa orang lain menilai dirinya sebagai perempuan yang tidak menarik. Dan self-esteem dapat digambarkan sebagai sikap dari individu dari social evaluation tersebut. 2.5 Konsep Changing Attitudes Teori ini menjelaskan bagaimana sikap seseorang bisa berubah, dari yang tidak suka menjadi suka ataupun sebaliknya. Ketika sikap dibentuk oleh pengalaman, maka pengalaman baru dan penemuan terhadap informasi baru yang akan mengubah sikap seseorang. Selain faktor tersebut, sikap juga bisa berubah sebagai hasil dari persuasi, sebagai bentuk pengaruh sosial yang merubah keyakinan, perasaan, maupun perilaku seseorang. Menurut Carl Hovland, perubahan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh komunikasi yang persuasif. Ada tiga faktor utama yang membuat sebuah komunikasi menjadi lebih persuasif yaitu orang yang menyampaikan pesan, pesan yang disampaikan, dan penerima pesan itu sendiri. (Ann L. Weber, 1992 : hal 137). Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia 9 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3.1 Analisis Dalam buku yang berjudul Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan Melepas Jilbab karya Juneman, terdapat hasil penelitian yang dilakukan penulis buku dalam meneliti kisah-kisah yang menceritakan dinamika kepercayaan eksistensial para muslimah Indonesia yang melepaskan hijabnya sebelum, saat, dan sesudah mereka melakukan tindakan tersebut. Buku ini menceritakan tentang empat orang subjek penelitian yaitu Tari, Intan, Wina dan Lanni yang pernah menggunakan hijab namun akhirnya melepas hijabnya. Berikut ini, penulis paparkan kisah-kisah individu hijabers yang melepas hijab berdasarkan yang penulis kutip dari buku. a. Kisah Tari: Jilbab Sebagai Pilihan Busana Latar belakang keluarga Tari adalah keluarga yang santri, maka ayah Tari memiliki inisiatif untuk memasukkan tari ke pesantren. Di pesantren tersebut, Tari diwajibkan untuk memakai jilbab. Namun, kehidupan di pesantren yang mengajarkan ajaran Islam mengenai jilbab masih membuat Tari belum begitu fanatik dengan pemakaian jilbab sendiri. Tari pertama kali memakai jilbab saat duduk di bangku SMA. Di sekolahnya, ia banyak bergaul dengan para anggota kerohanian Islam (Rohis) yang banyak mempengaruhi pola pikir dan pandangannya akan agama dan jilbab. Ia tidak pernah melepas jilbabnya, menghindari musik, televisi dan sebagainya. Tari juga cukup aktif melakukan dakwah. Saat menginjak bangku kuliah, Tari semakin mantap untuk berjilbab. Pada tahun pertama kuliah, Tari masih menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang dinilai tidak mendukung kehidupan keislaman Tari. Namun seiring dengan berjalannya waktu, Tari banyak bergaul dengan teman kampus AINI, perguruan tinggi lain dan teman pesantren yang cukup berbeda aliran, sehingga dapat membuka wawasan Tari. Setelah semester 4 kuliah, Tari mempunyai pacar yang sekarang telah menjadi suaminya. Mereka banyak melakukan diskusi mengenai jilbab, HAM dan membaca buku yang agak berbeda dengan bacaan buku yang dibaca Tari sebelumnya. Karena hal tersebut, pemaknaan jilbab Tari mulai bergeser. Titik kritis terjadi saat pemilihan ketua divisi keputrian di kampusnya. Saat itu, isu yang beredar adalah ketua keputrian mushola haruslah yang jilbabnya besar. Hal ini memancing konflik internal dalam diri Tari, “Apakah perempuan hanya bisa dinilai dari seberapa lebar jilbab yang dipakainya? Bukan dari pikiran atau dirinya sendiri?” Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia 10 Setelah lulus kuliah dan bergabung di sebuah LSM keperempuanan (Afina Riskana), membuat Tari banyak berdiskusi tentang isu-isu keperempuanan, termasuk masalah jilbab. Hingga Tari sampai pada satu kesimpulan, kalau jilbab adalah busana, bagian dari budaya. Jilbab bukanlah sebuah ajaran agama dan bukan suatu kewajiban untuk perempuan muslim. Jilbab memang menjadi identitas muslimah, akan tetapi lebih kepada sebuah simbol. Lalu, Tari menikah dan kajian keislaman Tari lebih terbuka karena kesempatan untuk berdiskusi dengan pacarnya yang kini menjadi suami-nya pun lebih besar. Hingga pada akhirnya Tari sampai pada suatu kesimpulan dan memutuskan bahwa jilbab adalah sebuah pilihan. Keputusannya melepas jilbab tidak langsung membuatnya mengambil sikap bertolak belakang terhadap jilbab. Tari merasa ia masih mungkin memakai jilbab kembali dengan aladan dan tujuan tertentu yang sifatnya lebih politis dan bukan teologis. b. Kisah Intan: Orang yang Berjilbab adalah Orang yang Gagal Trust Terhadap Orang Lain Intan berasal dari keluarga pluralistik dan hanya menekankan Shalat (shalat wajib maupun shalat sunah atau tarawih) sebagai satu-satunya kewajiban. Dalam hal keagamaan, keluarga Intan tidak mewajibkannya atau menghimbau untuk mengenakan jilbab. Saat menginjak bangku SMP, Intan mempunyai guru agama yang “sangat gemar” menebarkan rasa takut kepada siswa akan Tuhan dan agama. Ancaman kalau perempuan yang tidak menutup auratnya dan tidak menggunakan jilbab di neraka nanti payudaranya akan digantung kemudian dibakar sampai bernanah. Hal tersebut menjadi titik balik buat Intan yang membuatnya berkeinginan memakai jilbab. Apalagi saat sepupu terdekat Intan juga memutuskan untuk memakai jilbab. Titik balik lainnya berasal pula dari lingkungan sekolah Intan saat SMA, dimana para senior Intan yang dianggap figur-figur ideal banyak yang berhijab. Pada saat yang bersamaan, sepupu terdekat Intan memutuskan untuk berhijab sehingga enam bulan setelahnya Intan juga sudah yakin untuk berhijab pula. Intan memakai jilbab tertutup sekitar dua tahun sampai saat ia berpacaran dengan seorang aktivis politik. Walaupun sang pacar tidak secara langsung untuk memintanya melepas jilbab, tetapi diskusi panjang di antara mereka mengenai agama dan Tuhan membuat Intan mempertanyakan kembali jilbabnya. Secara bertahap, Intan mulai menanggalkan jilbabnya hingga akhirnya memutuskan untuk melepasnya. Bersamaan dengan hal tersebut, Intan juga mengalami pergeseran pemahaman dan Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia 11 pemaknaan agama dalam dirinya. Ia mulai mempelajari ajaran agama-agama lain serta mempertanyakan ibadah, dosa-pahala, takdir serta berbagai hal lainnya. Setelah itu, Intan putus dengan pacarnya dan mengalami masalah keluarga dimana keluarganya harus menjual rumah dan Intan harus membantu keberlangsungan kehidupan keluarganya. Sang mantan pacar yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pikirnya tersebut malah menikah dengan wanita rohis berjilbab besar. Hal tersebut menimbulkan kekecewaan yang besar dalam diri Intan. Perlahan, timbul sinisme dan sentimen negatif agama dalam dirinya, Secara ekstrem, Intan menganggap bahwa perempuan yang memakai jilbab adalah orang yang gagal trust terhadap orang lain. c. Kisah Wina: Melepas Jilbab untuk Berjilbab Kembali Dari kecil Wina telah diasuk oleh ayah angkat. Bagi Wina, bercerita tentang ibu seperti membuka luka lama karena ia memiliki pengalaman yang kurang harmonis dengan ibunya. Di samping itu, Wina mengagumi ayanh kandung dan ayah angkatnya. Keduanya adalah muslim yang baik. Wina juga menjalani masa kanakkanaknya di kota kecil dengan dominasi muslim yang penuh cinta dan damai Wina memakai jilbab saat ia duduk di bangku SMA setelah mengikuti basic training sebuah perkumpulan remaja islami. Namun ia baru memakai jilbab setelah bergabung di organisasi Mahasiswa Islam NMI. NMI adalah organisasi yang sangat berperan dalam pengembangan karakternya. Sejak memakai jilbab, jilbab Wina tertutup dengan rapat. Karena menurutnya menutup aurat tidak bisa setengah-setengah. Hingga suatu ketika Wina mengalami insiden kritis dalam bidang seksual dengan sang pacar. Wina memutuskan untuk melepas jilbabnya setelah menikah karena ia merasa belum cukup pantas mengenakan jilbab dan tidak bisa mempertanggungjawabkan jilbabnya di lingkungan dan di mata Tuhan. Wina terus melakukan upaya pencarian diri, hingga beberapa tahun kemudian setelah mengalami “mimpi religius”, Wina memakai jilbabnya kembali yang ternyata hanya sementara. Beberapa waktu kemudian, Wina kembali melepas jilbabnya karena ia masih banyak terlibat gossip, intrik dan politik pihak-pihak tertentu yang kurang sehat di kantornya sehingga hal tersebut membuatnya tertekan dan merasa tidak sejalan dengan jilbabnya. Wina merasa perilakunya mash jauh dari sosok perempuan muslim yang baik. Pelepasan jilbab ini dimaknai Wina sebagai salah satu proses Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia 12 upaya pencarian yang hakiki untuk lebih konsisten mengenakan jilbab kembali. Saat ini, Wina terus melakukan upaya pencarian diri dan tetap berniat untuk kembali berhijab. d. Kisah Lanni: Jilbab Belum Sejatinya Mencerminkan Diriku Lanni memutuskan untuk memakai jilbab saat usianya menjelang 37 tahun. Peristiwa-peristiwa pertama yang mendahuluinya adalah tekanan-tekanan sosiopsikis yang dialami dalam kehidupannya yang hampir membuat Lanni putus asa dan membawanya lari ke jilbab dan agama dengan maksud untuk menenangkan hati. Lanni menggunakan jilbab atas anjuran seorang laki-laki yang ia cintai saat itu. Meskipun anjuran itu sebenarnya hanya satu kali didengar Lanni, tapi pengaruhnya kuat. Di samping itu, Lanni juga mengaku ada kecenderungan berlaku konformistis dengan sebagian teman-teman S2-nya yang saat itu juga menggunakan jilbab. Namun, di saat hubungannya dengan laki-laki yang menganjurkannya mengenakan jilbab tidak lagi penting, Lanni sudah mulai mencoba melepas jilbabnya. Diawali dengan kedatangan teman lamanya dari Belanda di saat bulan puasa, Lanni dan temannya jalan-jalan, makan siang dan gandengan. Karena merasa tidak nyaman maka suatu sore ia melepas jilbabnya. Lanni merasa lebih bisa menjadi diri sendiri ketika ia tidak berjilbab. Ia merasa kalau jilbab tidak sesuai dengannya dan tidak mencerminkan dirinya. Lanni mengaitkan kejadian tersebut dengan motif awalnya memakai jilbab yang tidak timbul dari dalam dirinya, tetapi lebih karena situasi sosio-emosionalnya yang depresif pada saat itu. 3.2 Pembahasan Munculnya fenomena melepas hijab ini, terjadi karena adanya suatu proses keputusan pada diri seseorang setelah melewati berbagai pemikiran yang panjang. Melihat pada kisah perempuan diatas yang dijadikan subjek penelitian, Tari dan Intan awalnya menggunakan hijab karena faktor ketakutan pada surga dan neraka yang disampaikan oleh lingkungannya, faktor kesadaran pribadi terjadi pada Wina dan faktor keputus-asaan sehingga berlari pada agama dan hijab terjadi pada Lanni. Lalu, satu persatu dari mereka mulai mengalami pergeseran makna dan mempertanyakan kembali akan hijab yang mereka kenakan karena adanya faktor persuasi dari orang-orang terdekat, dimana hal tersebut merupakan alasan mayoritas yang terjadi pada mereka. Adanya proses tersebut dapat dijelaskan dengan konsep budaya. Terdapat beberapa kategori yang mendefinisikan budaya yaitu kategori ideal dan kategori sosial. Kategori ideal ini menjelaskan bahwa manusia dapat menjalani sebuah proses Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia 13 menuju kesempurnaan pada nilai-nilai mutlak seperti agama dan kewajiban memakai hijab. Kategori sosial sendiri menjelaskan bahwa budaya merupakan deskripsi dari cara hidup manusia yang menggambarkan arti dan nilai tertentu dari makna dan perilaku indvidu saat mereka memakai hijab. Kategori sosial ini tidak hanya menjelaskan pengetahuan akan agama dan aturan yang ada, namun budaya dapat menjelaskan bagaimana seseorang menjalani kehidupannya dengan keputusan yang telah mereka pilih. Pada jurnal ini, kisah para perempuan yang melepaskan hijabnya dapat penulis analisis melalui beberapa konsep yang terkait. Dari berbagai kasus yang sudah diterterakan diatas, terlihat adanya motivasi yang terjadi pada keempat kisah peremuan yang memutuskan untuk melepaskan hijabnya. Tari, yang awalnya sangat mantap untuk berhijab, seiring waktu dengan adanya sosialisasi dan komunikasi bersama lingkungan dan orang-orang terdekatnya saat memasuki bangku kuliah membuat ia berpikir kembali akan pemaknaan hijab itu sendiri. Begitu pula dengan kisah Intan, Lanni dan Wina yang melewati elemen pertama konsep motivasi, dimana motivasi mengawali terjadinya perubahan energi manusia. Adanya motivasi pada keempat kisah perempuan ini ditandai pula dengan munculnya feeling mengenai afeksi dan emosi yang menentukan keputusan mereka untuk melepaskan hijabnya seperti rasa belum pantas menggunakannya, rasa takut akan dosa, dan rasa tidak nyaman. Motivasi mereka melepaskan hijabnya-pun juga terangsang karena adanya tujuan. Seperti kisah Wina yang bertujuan untuk berhijab kembali setelah melepaskan hijabnya beberapa kali karena ia masih merasa perilakunya masih jauh dari sosok perempuan muslim yang baik. Asal motivasi keempat perempuan ini, mayoritas merupakan jenis motif ekstrinsik dumana motif-motif mereka melepaskan hijabnya terjadi karena adanya perangsang dari luar. Pengaruh dari lingkungan mereka bergaul dan bekerja, organisasi yang mereka ikuti, hingga dari orang-orang terdekat seperti pacar telah menjadi peran besar bagi masing-masing individu dalam keputusan melepas hijab. Dasar terbentuknya motivasi pada diri mereka juga merupakan motif-motif yang timbul karena dipelajari. Motif-motif yang dapat diisyarakatkan secara sosial ini terjadi pada kisah Tari dan Intan seperti melakukan diskusi dan membaca buku sebelum mereka melepaskan hijabnya. Adanya motivasi yang mendorong perubahan sikap dan perilaku Tari, Intan, Wina dan Lanni, dapat terjadi karena munculnya social influence dari hasil interaksi dengan orang lain. Dari tingkatan yang pertama dalam social influence yaitu penerimaan (acceptance), keempat perempuan tersebut telah melalui proses batin. Penerimaan yang terjadi pada kisah Intan dan Wina termasuk pada proses perubahan sikap identification, dimana mereka menerima Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia 14 pengaruh karena adanya konformitas untuk menjaga hubungan dengan sang pacar sehingga mereka secara tidak langsung mengikuti kemauan sang pacar untuk melepaskan hijabnya. Pengaruh yang mereka terima juga termasuk pada tingkatan kedua social influence yaitu compliance. Intan dan Wina menerima permintaan dan pendapat dari sang pacar untuk membuat mereka terpengaruh dalam keputusan melepaskan hijabnya. Hal yang menyebabkan Intan dan Wina menerima pengaruh dari pacar mereka dapat disebut obedience, dimana pengaruh sosial yang terjadi dikarenakan adanya pendapat dari orang yang memiliki dampak besar bagi hidup mereka. Pada saat itu pula, pacar yang mereka anggap telah memiliki dampak yang besar atas hidupnya juga termasuk pada tingkatan ketiga dan dan keempat social influence yaitu normative influence dan informational influence, dimana isyarat-isyarat seperti diskusi, pendapat, hingga kritik atas informasi dalam pemakaian jilbab mereka dapat memvalidasi keyakinan hingga mengubah pikiran dan tindakan Intan dan Wina untuk melepaskan hijabnya karena pengaruh yang mereka rasa sesuai dengan norma dari sang pacar. Selain itu, kisah Tari dan Lanni yang memikirkan kembali pemakaian hijabnya terjadi karena dirasa hijab itu sendiri hanya menjadi simbol agama bagi perempuan muslimah dan pemakaian hijab pada diri mereka belum mencerminkan diri mereka yang sebenarnya. Hal tersebut termasuk pada proses penerimaan perubahan perilaku internalization, dimana Tari dan Lanni yakin dalam melakukan perubahan sikapnya untuk melepas hijab karena adanya pemaknaan dan bentuk sosial yang baru terhadap agama dan jilbab. Normative influence dan informational influence juga terkait pada kisah Tari, tetapi pengaruh yang mereka dapatkan banyak berasal dari kelompok atau organisasi seperti Rohis dan LSM Afina Riskana sehingga mereka juga banyak melakukan diskusi, bertukar pikiran dan melakukan konsultasi tentang masalah keperempuanan, agama dan hijab. Dengan itu, mereka melewati tahap penerimaan karena adanya rasa kesesuaian pengetahuan dan informasi yang baru mereka dapatkan dari berbagai organisasi di lingkungannya dengan norma yang mereka patuhi. Dasar-dasar kekuasaan sosial yang dialami oleh Tari, Intan dan Wina terjadi karena adanya referent power dan informational power. Dampak sang pacar terhadap keputusan Intan dan Wina dalam melepaskan hijabnya termasuk pada dasar kekuasaan referent power karena adanya rasa suka atau dipujanya mereka oleh Intan dan Wina pada saat itu. Namun, dasar kekuasaan yang terjadi pada Tari termasuk pada informational power, dimana kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok atau organisasi yang mereka ikuti memiliki informasi lebih dan berguna yang tidak dimiliki orang lain. Selain adanya motivasi yang berasal dari pengaruh-pengaruh sosial terhadap kisah perempuan yang melepaskan hijabnya, terdapat pula konsep diri yang dapat menjelaskan Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia 15 motivasi serta alasan perempuan dalam memutuskan melepaskan hijab. Pada konsep ini, kisah Wina dan Lanni dapat mewakilkan bahwa sebuah keyakinan dan perasaan seseorang yang berkaitan dengan penampilan fisik sehingga menimbulkan penilaian tentang diri sendiri dapat berdampak pada pergeseran makna akan sebuah hijab yang digunakan. Kisah Wina yang melepaskan hijabnya dikarenakan adanya insiden pada bidang seksual, membuat Wina merasa bahwa ia belum cukup pantas menggunakan hijab. Hal tersebut termasuk pada komponen konsep diri yaitu self-esteem. Wina yang mengalami insiden seksual dengan sang pacar, telah melakukan evaluasi terhadap dirinya akan hal yang sudah ia lakukan sebelumnya. Ia merasa insiden tersebut bernilai negatif, sehingga Wina juga memiliki nilai yang buruk terhadap dirinya sendiri. Setelah Wina memutuskan kembali untuk mengenakan hijabnya, ia masih terlibat dengan gosip, intrik serta politik dari pihak-pihak tertentu di lingkungan tempat ia bekerja. Dengan itu, Wina-pun kembali memutuskan untuk melepas hijabnya. Hal tersebut membuktikan pula bahwa adanya komponen konsep diri yaitu social evaluation mengenai pandangan dan penilaian orang lain terhadap keyakinan Wina dapat mempengaruhi perilaku Wina sendiri untuk melepaskan hijabnya. Maka dari itu, dengan adanya social evaluation pada diri Wina dapat mengakibatkan self-esteem yang rendah sehingga Wina memutuskan untuk melepaskan hijabnya karena ia merasa belum bertanggung jawab terhadap hijab yang ia gunakan. Begitu pula dengan kisah yang terjadi pada Lanni, pada awalnya ia melepaskan hijabnya karena hubungannya dengan sang pacar sudah berakhir. Pelepasan hijabnya semakin terdorong karena kedatangan temannya yang berasal dari Belanda. Lanni melepaskan hijabnya karena ia merasa tidak nyaman dengan hijabnya atas perilaku yang ia lakukan saat bersama temannya tersebut. Komponen konsep diri dari social evaluation yaitu direct feedback, dimana Lanni melakukan umpan balik langsung atas pandangan orang lain dirinya saat itu sehingga saat ia sedang berjalan-jalan di sore hari bersama temannya dari Belanda, Lanni langsung melepaskan hijabnya. Ia merasa bahwa hijabnya itu tidak sesuai dan tidak mencerminkan dirinya. Hal tersebut juga juga terkait dengan adanya self-esteem yang rendah karena Lanni sendiri juga merasa tidak bangga dan tidak senang atas pemakaian hijab pada dirinya, sehingga membuat keyakinan pada diri Lanni sendiri memutuskan untuk melepaskan hijab yang telah ia gunakan. Setelah penjelasan adanya motivasi, social influence, hingga social self atas keputusan melepas hijab terhadap kisah-kisah perempuan yang sudah dipaparkan sebelumnya, maka perubahan sikap dari mereka juga dapat dijelaskan dengan konsep changing attitudes. Perubahan sikap pada Tari dan Wina, bisa terjadi karena adanya pengalaman-pengalaman dan Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia 16 penemuan terhadap informasi baru dari organisasi atau LSM yang diikutinya sehingga dapat memacu Tari dan Wina untuk yakin dalam pelepasan hijabnya. Sikap yang berubah juga dapat terjadi karena hasil dari persuasi dari seseorang atau kelompok yang dapat merubah keyakinan, perasaan dan perilaku seseorang. Perubahan sikap karena adanya persuasi telah terjadi pada kisah Intan dan Lanni, dimana pacar mereka telah melakukan komunikasi yang persuasif untuk membuat Intan dan Lanni berpikir kembali atas pemakaian hijab mereka. Komunikasi yang terjadi pada keempat perempuan ini menjadi lebih persuasif karena adanya beberapa faktor yaitu orang yang menyampaikan pesan yaitu orang-orang terdekat mereka, lalu pesan yang disampaikan, dimana Tuhan, agama, dan hijab merupakan suatu hal yang sensitif untuk dibahas dan masih banyak manusia yang minim pengetahuannya akan ketiga hal tersebut, dan yang ketiga yaitu penerima pesan, dimana keempat perempuan ini masih dalam kondisi yang labil dan mudah terpengaruh karena adanya rasa bimbang dan kecewa akan pengalaman yang didapat sebelumnya. Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia 17 KESIMPULAN Dari hasil analisis kasus-kasus yang dialami oleh keempat perempuan Indonesia yang melepaskan hijabnya yaitu Tari, Intan, Wina dan Lanni, penulis menarik kesimpulan bahwa motivasi mereka dalam memutuskan untuk melepaskan hijabnya berasal dari motif ekstrinsik, dimana perangsang dari luar dapat merubah sikap dan perilaku mereka. Perangsang dari luar yang menyebabkan perubahan perilaku kepada keempat perempuan ini mayoritas berasal dari orang-orang terdekat dan lingkungan sekitar yang memiliki kekuatan serta dampak yang besar bagi kehidupan mereka. Adanya pengetahuan dan informasi baru yang disampaikan secara persuasif melalui diskusi, konsultasi dan membaca buku dengan pihak-pihak tertentu membuat para subjek penelitian mulai memikirkan kembali akan hijab yang mereka gunakan. Informasi dan pengetahuan baru yang didapat dari orang-orang terdekat, mereka terima dengan baik karena adanya konformitas untuk menjaga hubungan. Penerimaan pengetahuan baru tersebut berlanjut pada proses terbentuknya pemaknaan dan bentuk sosial baru terhadap penggunaan hijab pada diri mereka masing-masing. Disamping adanya pengetahuan baru yang membuat pergeseran makna akan hijab pada beberapa kasus perempuan yang melepaskan hijabnya, terdapat pula penyebab dari luar yang membuat perasaan mereka bimbang dan kecewa sehingga hal tersebut juga menjadi motivasi perempuan untuk memutuskan melepaskan hijabnya. Adanya self-esteem (harga diri) yang rendah karena adanya pengalaman yang buruk serta pandangan dan social evaluation dari penilaian orang lain terhadap kita membuat beberapa individu mempertanyakan kembali keyakinan dan keputusan mereka dalam menggunakan hijab. Motivasi yang disebabkan karena adanya social influence pada masing-masing individu, menyebabkan adanya direct feedback yang tertuju langsung kepada mereka sehingga membuat mereka merubah sikap dan perilakunya untuk mengambil keputusan dalam melepas hijabnya. Berdasarkan kesimpulan diatas, Tari, Intan, Wina dan Lanni telah memutuskan untuk melepaskan hijabnya karena adanya komunikasi yang persuasif dari beberapa pihak mengenai pengetahuan baru tentang agama dan hijab, serta self-esteem yang rendah akibat pendapat dan kritik dari berbagai pihak yang membuat mereka mengalami pergeseran makna akan hijab dan memikirkan kembali dengan penggunaan hijab pada diri mereka sendiri. Hal tersebut mereka lakukan karena adanya perasaan bahwa hijab hanya merupakan simbol bagi perempuan muslimah dan hijab belum mencerminkan diri mereka sebenernya sehingga mereka-pun belum merasa mempertanggungjawabkan hijabnya dengan baik. Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia 18 DAFTAR PUSTAKA Buku Al Khayyat, Dr. Muhammad Haitsan. (2007). Al-Mar’ah Al-Muslimah wa Qadhaya Al Ashr atau problematika muslimah di era modern.terj.salafuddin. Erlangga. A.M., Sardiman. (1996). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Barrett, Oliver Boyd., Chris Newbold. (1995). Approaches to MediaL A Reader. New York: Arnold. Baqi, Muh. Fuad Abdul. (2007). Mu’jam Mufahras Iialfazil Qur’an. Kairo. Husain, Abi Qasim. (2004). Mu’jam Mufahras Iialfazil Qur’an. Beirut-Lebanon. Juneman. (2010). Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan Melepas Jilbab. Yogyakarta: PT. LkiS. Weber, A.L. (1992). Social Pcychology. New York: HarperCollins Publisher, Inc. Website http://inspirasi.co/polemik_diskusi/single/31 http://www.hijabscorner.com/2012/05/pengertian-hijab-hijab-dalam-islam.html http://skripsi-manajemen.blogspot.com/2011/02/teori-motivasi-maslow-mcclelland.html Motivasi individu..., Andra Dwita Putri, FISIP UI, 2014 Universitas Indonesia