SHILAT AL- RAHIM DALAM PERSPEKTIF AL

advertisement
SHILAT AL- RAHIM DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN*1
Oleh: Lilik Ummi Kaltsum
Abstrak
Al-Qur'an tidak secara eksplisit menggunakan istilah shilat al-rahim , tetapi jika diteliti lebih
dalam, maka akan ditemukan beberapa petunjuk Ilahi yang memerintahkan menjalin dan menjaga
ikatan kekeluargaan. Wawasan al-Qur'an tentang shilat al-rahim dan urgensinya dalam kehidupan
inilah yang menjadi fokus dari penelitian ini dengan menggunakan metode tafsir tematik. Gambaran
yang utuh tentang shilat al-rahim menurut al-Qur'an diharapkan dapat menjadi pedoman untuk
melangkah sehingga pesan tersebut tidak terkesan sebagai kegiatan yang hampa makna.
Shilat al-rahim menurut al-Qur'an bukan sekedar kunjung mengunjung atau saling
memberikan hadiah yang dilakukan pada momen-momen tertentu, tetapi merupakan suatu bentuk
hubungan yang senantiasa diperbaharui dan dijaga terus menerus atau berulang-ulang yang
dilandasi dengan sikap kasih sayang, memberikan perhatian, dan memperlakukan dengan baik
kepada manusia keseluruhan yang diawali dari sanak kerabat dekat maupun jauh hingga akhirnya
meneyeluruh ke seluruh manusia.
Setiap manusia ingin menyayangi dan disayangi orang lain terutama dari keluarga dan sanak
kerabat. Rasa kasih sayang dan sikap peduli yang telah tertanam pada setiap anggota keluarga akan
mewujudkan kesatuan dan persatuan masyarakat. Sebaliknya, hubungan kekeluargaan yang tidak
terjalin dengan baik akan menimbulkan ketegangan-ketegangan antar anggota keluarga dan akan
berimbas pada munculnya masalah-masalah sosial. Menjamurnya penyakit sosial akan mengganggu
keamanan dan ketentraman bangsa. Dengan demikian, shilat al-rahim sangat berpengaruh pada
keamanan dan keutuhan bangsa.
Kata Kunci: Shilat al-rahim, kasih sayang, kepedulian, persaudaraan, kesatuan.
Pendahuluan
Shilat al-rahim atau lazim disebut shilaturrahmi merupakan tradisi yang mengakar kuat pada
bangsa Indonesia, terutama pada moment hari raya Idul Fitri. Istilah shilat al-rahim juga
dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat temporal, seperti: shilat alrahim budaya, shilat al-rahim politik, shilat al-rahim antar umat beragama dan lain-lain. Budaya ini
merupakan implementasi dari anjuran Rasulullah s.a.w yang terekam dalam beberapa riwayat. Salah
satunya yang terdokumentasikan dalam kitab Shahih Muslim:
‫ زٔاِ يسهًى‬.ًّ‫يٍ أحب أٌ ٌبسط نّ فً زشقّ ٌُٔسأ نّ فً اثسِ فهٍصم زح‬
Artinya: Barangsiapa yang ingin diluaskan rizinya dan dipanjangkan ajalnya maka
hendaklah ia bershilat al-rahim. (H.R. Muslim)2
* tulisan ini dimuat di jurnal Al-Fanar_Jurnar Ulum al-Qur‟an dan Hadits Fakultas Ushuluddin IIQ Jakarta, vol. 3. No.
2 Desember 2011, ISSN 2085-8175
1
Anjuran Rasulullah tersebut menunjukkan ada dua keuntungan yang akan dipetik seseorang yang
selalu bershilat al-rahim, yaitu diluaskan rizkinya dan dipanjangkan ajalnya. Menurut Ibn Hajar alAsqalani, maksud dari diperluas rizkinya adalah Allah akan mempermudah perolehan rizki bagi
seseorang yang gemar menghubungkan tali kekerabatan dan bukan sebaliknya memutuskan tali
kekerabatan. Sedangkan yang dimaksud dengan diperpanjang ajalnya adalah senantiasa
mendapatkan taufiq Allah swt sehingga semua aktifitas mengarah kepada ketaatan kepadaNya dan
terhindar dari penggunaan waktu sia-sia. Dengan kata lain, bisa saja usianya tidak sampai lanjut
usia tetapi sejak masih hidup sampai wafatnya tetap dikenang banyak orang karena kemuliaan
ahlaknya.3
Anjuran shilat al-rahim yang ditemukan di dalam hadis berbeda dengan yang ditemukan di
dalam al-Qur‟an. Seseorang akan dengan mudah menemukan penjelasan tentang shilat al-rahim
dalam literatur-literatur hadis, namun tidak demikian halnya dengan penjelasan di dalam al-Qur‟an.
Istilah shilat al-rahim tidak secara eksplisit ditemukan dalam ribuan ayat al-Qur‟an. Namun bukan
berarti al-Qur‟an tidak mengungkapkan terkait dengan shilat al-rahim. Penjelasan al-Qur‟an terkait
dengan shilat al-rahim tersebar dalam berbagai surah dan tidak terpaku dengan kata shilat al-rahim.
Inilah bidang yang akan penulis teliti. Tema ini menarik untuk penulis angkat karena mempunyai
dampak yang luar biasa, baik dari sisi ‘ubudiyyah ( hal yang dinilai ibadah) maupun Mu’asyarah
Basyariyyah ( Interaksi sosial kemanusiaan). Shilat al rahim bila diamalkan sesuai aturan yang
diinformasikan oleh al-Qur‟an dan Hadis maka tidak hanya mendapatkan muatan ibadah, tapi juga
akan melahirkan nilai-nilai sosial yang menghantarkan manusia pada cinta, kasih sayang dan
kepekaan sosial antar sesama. Nilai-niali seperti inilah yang semakin tergerus di era teknologi
informasi ini, berangkat dari hal ini penulis mencoaba berusaha menyegarkan kembali ingatan kita
tentang nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kegiatan Shilat al rahim.
Dalam penulisan ini penulis akan menguraikan arti Shilat al rahim melalui melalui
pendekatan al-Qur‟an sebagai kajian tematik. Besar harapan penulis semoga bisa memberikan
manfa‟at khususnya bagi penulis pribadi dan bagi umat muslim pada umumnya.
PENGERTIAN SHILAT AL-RAHIM
Secara eksplisit istilah Shilat al- rahim tidak ditemukan dalam al-Qur‟an. Pengungkapan
makna Shilat al- rahim menurut al-Qur‟an dapat diperoleh melalui penulusuran secara semantik
kata Shilat dan rahim. Kedua kata yang menunjukkan makna atau perintah Shilat al- rahim ini
ditemukan dalam enam ayat dan sangat global. Keenam ayat tersebut hanya menyebutkan perintah
menyambung hubungan kekeluargaan, balasan bagi yang mau bershilat al-rahim dan peringatan
22
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-naisabury, Shahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-„Araby, t.th), bab alBirr wa al-Shilah wa al-Adab, no. 4438 & 4439, juz II, h. 242. Riwayat lain ditemukan di dalam Shahih al-Bukhari, bab
al-Adab:
ْ‫صم‬
َ ‫صهَّى هللاُ َعهَ ٍْ ِّ َٔ َسهَّ َى قَا َل َي ٍْ َكاٌَ ٌ ُْؤ ِيٍُ بِاهللِ َٔ ْانٍَْٕ ِو ْاَ ِخ ِس فَ ْهٍُ ْك ِس ْو‬
َ ًِّ ِ‫ض ًَ هللاُ َع ُُّْ َع ٍِ انَُّب‬
ِ ٍَ‫ض ٍْفَُّ َٔ َي ٍْ َكاٌَ ٌ ُْؤ ِيٍُ بِاهللِ َٔ ْانٍَْٕ ِو ْاَ ِخ ِس فَ ْه‬
ِ ‫ع ٍَْ أَبِ ًْ ُْ َس ٌْ َسةَ َز‬
.)‫ (زٔاِ انبخازي‬. ْ ًُ ْ‫َز ِح ًَُّ َٔ َي ٍْ َكاٌَ ٌُ ْؤ ِيٍُ بِاهللِ َٔ ْانٍَْٕ ِو ْاَ ِخ ِس فَ ْهٍَ ُمْ َخ ٍْسًرا أَْٔ نٍَِص‬
Hadis semakna juga ditemukan di dalam Sunan al-Turmudzi bab Adab dan Abu Dawud bab Zakat.
3
Ibn Hajar al-„Asqalani, Fath al-Bari, (Beirut: Dar al-Fikr), juz XIV, h. 114.
2
keras bagi yang melanggarnya dan tidak menyebutkan secara terperinci hal-hal yang terkait dengan
pelaksanaan shilat al-rahim.
Untuk melengkapi pemaknaan terhadap Shilat al-rahim harus juga dilakukan penelusuran
terhadap terma-terma lain yang mengarah kepada pelaksanaan shilat al-rahim, seperti kata qurbâ,
ahl, dzurriyyah dan lain-lain. Dari penelusuran terma-terma ini dapat ditemukan makna shilat alrahim menurut al-Qur‟an.
Berikut ini penelusuran dari terma-terma yang terkait:
1. Terma shilah
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, karena al-Qur‟an tidak menggunakan istilah
ini secara jelas, maka penulusuran diarahkan pada kata shilat dan al-rahim. Kata shilat (
‫(صهت‬adalah mashdar/invinitive noun dari kata washala (‫ (ٔصم‬yang terdiri dari tiga huruf Arab
wauw, shad dan lam yang dalam berbagai bentuk kata yang dihasilkannya mengandung
makna “ menghimpun sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga ia mengikatnya”.
Secara literal kata wa-sha-la mengandung makna menyambung atau bergabungnya
sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata ini bisa digunakan pada materi maupun non materi
(ma’nawi). Contoh penggunaannya: washaltu al-sya’a washlan artinya saya benar-benar
menyambung sesuatu, washala fulân rahimahȗ yashilahȗ shilatan wa bainahumâ washlan
artinya seseorang menyambung kerabatnya, ia benar-benar menyambungnya sehingga antara
keduanya ada hubungan atau sambungan4. Disamping dari kata washala, penjelasan shilat alrahim juga menggunakan terma qath’, (bentuk antonim shilat) yang bermakna memutus,
memotong dan menjauh .5
2. Terma al-rahim
Semua kata yang terdiri dari r-h-m secara literal menunjukan pengertian kelemah
lembutan, kasih sayang dan kehalusan.Derivasi dari akar kata r-h-m terulang di dalam alQur‟an lebih dari 300 kali.6 Organ perempuan tempat janin berada disebut rahim sebab dari
rahim seorang ibu akan lahir anak sebagai tumpuhan kasih sayang, dan tidak ada kasih sayang
yang melebihi kasih sayang seorang ibu terhadap anak kandungnya. Istilah rahim juga dipakai
untuk menyebutkan kerabat (saudara) karena mereka dilahirkan dari satu rahim.7
Kata rahim yang berarti “peranakan” dapat juga diartikan dengan “keluarga”. Hanya
saja disini mereka berbeda pendapat tentang cakupan makna “keluarga”. Ada yang
4
Selebihnya akar kata wa-sha-la mengandung makna yang beragam, antara lain: Berturut-turut (Q.s. al-Qashash/28:51)
dan Domba Jantan yang bersaudara kembar betina (Q.s. al-Ma‟idah/5:103). Lihat: Abî al-Husain Ahmad bin Fâris bin
Zakariyyâ, Mu’jam al-Maqâyis fi al-Lughah, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th),h.1094. Al-Râghib al-Ashfahânî, al-Mufradât fi
Gharîb al-Qur’an, (Bairut:Dar al-Ma‟rifah, t.th),h.525; Jamal al-Din Muhammad bin Mukram bin Manzhûr, Lisan al‘Arab (Beirut:Dâr al-Shadr, 1990)jilid XI, h.726
5
„Abd al-Bâqî. Al-Mu’jam al-Mufahras, h.695-696. Contoh penggunaannya antara lain: rajulum qâthi’un li ikhwânihi
(seseorang memutuskan hubungan dengan saudaranya), taqâtha’a al qaum (kaum itu saling memutuskan) dan qotha’a
rahimahu ( ia memutuskan hubungan kekeluargaan)5. Kata jadiannya terulang 36 kali di dalam al-Qur‟an dan hanya
tiga surah yang terkait dengan pembahasan ini, yaitu Q.s. al-Baqarah/2:27, al-Ra‟d/13:25 dan Muhammad/47:22
6
„Abd al-Bâqî. Al-Mu’jam al-Mufahras, h.387-393
7
Ibn Fâris, Mu’jam al-Maqâyis,h.442. Ibn Manzhûr, Lisan al-‘Arab, jilid VIII, h.232. Al-Ashfahânî, alMufradât,.h.191-192.
3
mempersempit maknanya hingga hanya mencakup keluarga yang sangat dekat, yakni yang
haram dinikahi. Ini berarti, sepupu misalnya, bukanlah anggota kelurga yang ditunjuk oleh
kata rahim. Pakar hadits, Ibnu Hajar, memperluas maknanya
hingga mencakup semua
anggota keluarga yang memiliki garis keturunan yang sama, baik mahram mauun bukan, baik
berhak menerima waris maupun tidak.
Pakar al-Qur‟an dan hukum Islam, al-Qurthubi, lebih memperluas jangkauan maknanya.
Menurutnya, rahim ada dua macam , umum dan khusus. Yang bersifat umum adalah
kedekatan yang dijalin oleh persamaan agama, dan yang khusus adalah yang dijalin oleh garis
keturunan. Silaturrahim yang pertama mengundang hubungan kasih sayang, nasihatmenasihati, kunjung-mengunjungi, berlaku adil, serta melaksanakan kewajiban dan anjuran
agamaterhadap mereka. Adapun yang khusus ia menuntut pemberian bantuan/nafkah-bila
mereka butuh- disamping memperhatikan suka duka mereka serta memaafkan kesalahan
mereka.
Di dalam al-Qur‟an kata rahim yang bermakna peranakan perempuan ataupun kerabat
terulang 12 kali dalam 11 surah dan semuanya berbentuk plural (rahim).8 Tujuh ayat
menunjukan makna rahim atau kandungan, misalnya Q.s. Luqmân/31:34 menyebutkan:
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
‫ب َغ ًدا َوَما‬
َّ ‫ا َّن اهللَ ِعْن َدهُ ِع ْل ُم‬
َ ‫اع ِة َويـُـنَـ ِّـزُل الْ ـغـَْـي‬
َ ‫الس‬
ُ ‫س َماذَا تَكْس‬
ٌ ‫ث َويـَ ْـعلَ ُم َما ِف اْالَْرحاَم َوَما تَ ْدر ْي نـَْف‬
ِ
)34:31 ‫ (لقمان‬. ٌ‫َي اَْر ٍ َُْ ُ اِ َّن اهللَ َعلِْي ٌم َ ِْيـ‬
ِّ ِ ‫س‬
ٌ ‫تَ ْدر ْي نـَ ْف‬
“Sesungguhnya Allah, hanya ada pada sisi-Nya pengetahuan tentang hari kiamat; dan
Dialah yang menurunkan hujan; dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim. Dan tiada
seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan
tiada seorangpun yang dapat mengetahui dibumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah
maha mengetahui lagi maha mengenal.” (Q.s. Luqmân/31:34)
Kata arham yang bermakna rahim juga terdapat pada Q.s. al-Baqarah/2:228. Âli
„Imrân/3:6; al-An‟âm/6:143-144; al-Ra‟d/13:8; al-Hajj/22:5. Sedangkan pada lima ayat yang
lain menunjukan makna kerabat, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Mumtahanah/60:3:
ِ ‫صل ـيـنَ ُكم واهلل ِِبَا تَـعملُ َن‬
ِ ِ ِ
‫صْيـٌ (املمتحنة‬
َ ْ َ ْ ُ َ ْ َْ ُ ‫لَ ْن ت ـَْنـ َف َع ُك ْم اَْر َح ُام ُك ْم َوَالأ َْوَال ُد ُك ْم يـَ ْ َم اْلقيَ َامة يـَْف‬
)3:63
“ Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat bagimu pada hari
kiamat. dia akan memisahkan antara kamu. dan Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.”
Makna kerabat terdapat pada empat ayat yang lain yaitu Q.s. al-Nisâ/4:1; al-Anfâl/8:75;
al-Ahzâb/33:6; Muhammad/47:22.9 Akar kata ini juga digunakan oleh Allah (al-Asmâ alHusnâ), al-Rahmân dan al-Rahîm.10 Keduanya merupakan konsekuensi dari posisi Tuhan
8
„Abd al-Bâqî. Al-Mu’jam al-Mufahras, h.695-696.
Selain terma rahima dan derivasinya, al-Qur‟an juga menggunakan beberapa terma yang terkait dengan kekeluargaan
antara lain qurba/aqrabîn, ‘asyîrah, dzurriyyah, dan ahl. Ada juga istilah lain yang menunjukkan pada individuindividu dari keluarga besar tersebut, seperti terma wâlidain, ab, umm, akh.
10
Ibn Manzhûr, Lisan al ‘Arab,jilid XII,h.230-231.
9
4
sebagai rabb, yang memelihara, mengasuh, menyayangi dan mendidik hamba-Nya. Kata alRahmân menunjukan kasih sayang terhadap semua makhluk – mukmin atupun kafir- tetapi
hanya bersifat sementara, yaitu di dunia saja. Sedangkan al-Rahim menunjukan rahmat yang
hanya ditujukan kepada hamba yang bertaqwa di akhirat kelak secara terus menerus atau
berkesinambungan.11
Penelusuran yang telah dijelaskan baik terhadap istilah shilah & rahim maupun istilah-istilah
terkait dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Terma shilah yang mengandung makna shilat al-rahim disebutkan dalam bentuk
fi’il
mudhâri’ . Setiap kalimat fi’il mudhari‟ menunjukkan makna tajaddud yang berarti
perbuatan yang terus menerus dilaksanakan dan selalu diperbarui.12
2. Terma rahim, yang makna dasarnya adalah kasih sayang, disebutkan dalam bentuk jamak
baik
yang bermakna
rahim
(peranakan
perempuan) ataupun
kerabat.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa yang di maksud arham bukan kerabat dekat saja tetapi mencakup
semua kerabat dekat maupun jauh atau dengan istilah keluarga besar. Salah satu konteks
ayat yang menggunakan terma arham memerintahkan agar menjaga hubungan antar sesama
karena pada dasarnya semua berasal dari satu jiwa (nafs wâhidah). Terma Qurbâ juga
banyak digunakan oleh al-Qur‟an yang bermakna kerabat atau diartikan dengan keluarga
dekat. Terkait dengan shilaturrahim, penggunaan kata ini menunjukkan perintah agar
memberikan perhatian dan berbuat baik dengan orang lain. Kata qurba selalu disejajarkan
dengan anggota masyarakat lain, seperti anak yatim, tetangga, teman dan hamba sahaya.
Hal ini mengindikasikan bahwa sebelum mempedulikan ke berbagai lapisan masyarakat,
kerabat atau saudara-saudara dekat tidak boleh terlewatkan.
Dengan demikian, makna shilat al-rahim adalah suatu bentuk hubungan yang senantiasa
diperbaharui dan dijaga terus menerus yang dilandasi dengan sikap kasih sayang, perhatian, dan
perlakuan baik kepada manusia secara keseluruhan, diawali dari sanak kerabat dekat maupun jauh.
11
Pendapat lain mengatakan bahwa al-Rahmân tidak memiliki akar kata. Kata al-Rahmân mengandung makna
kesempurnaan (pemilik rahmat yang melimpah). Oleh karenanya, kata ini tidak memiliki bentuk jamak dan hanya Allah
yang layak menyandangnya. Hal ini terbukti ketika kaum musyrik diperintah untuk bersujud kepada al-Rahmân,
mereka tidak mengenal-Nya (Q.s al-Furqân/25:60). Sedangkan al-Rahîm tidak mengandung makna sempurna dan
memiliki bentuk jamak ruhamâ‟. Rasulullah juga d sebut rahîm (Q.s. al-Taubah /9:128). Di dalm al-Qur‟an kata alRahmân di ulang 57 kali dan al-rahîm di ulang 95 kali.Eksplorasi lebih lanjut lihat M. Quraish Shihab, Menyingkap
Tabir Ilahi : Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur’an (Jakarta : Lentera Hati, 1999),h.16-23.
12
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut:Dâr al-Fikr, t.th.) jilid IV, h.66; Mannâ Khalîl al-Khathân,
Mabâhis fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Mansyûrât al-„Ashr al-Hadîts, t.th.)h. 206.
5
CARA AL-QUR’AN MEMERINTAHKAN SHILATU AL-RAHIM
Tujuan syi‟ar Islam adalah mewujudkan kehidupan mulia bagi pengikutnya. Salah satu cara
untuk mencapai tujuan tersebut adalah menjalin dan memelihara ikatan persaudaraan antara anggota
masyarakat. Ikatan persaudaraan menuntut adanya pengorbanan, kasih sayang dan tolong menolong
dimulai dari keluarga. Melalui sistem keluarga, seseorang mendapatkan pembinaan agama,
bimbingan moral, menegakkan hubungan sosial yang akrab dan memelihara rasa kesetiaan terhadap
keluarga.13
Islam menuntun umatnya untuk menjunjung tinggi ikatan keluarga dan mencela orang-orang
yang memutuskannya. Al-Qur‟an menegaskan posisi arhâm (kekeluargaan) dalam Islam sekaligus
mendorong setiap individu untuk menegakkan ikatan kekeluargaan (shilat al-rahim). Dorongan
yang diberikan al-Qur‟an dapat terlihat dari rangkaian-rangkaian ayat itu sendiri sekaligus
keterkaitannya (munâsabah) dengan ayat-ayat sebelum atau sesudahnya.
Pesan shilat al-rahim selalu dikaitkan dengan pesan-pesan moral. Hal ini sekaligus
menunjukkan urgensi perintah shilat al-rahim,yaitu: pertama, dihubungkan dengan perintah
bertaqwa kepada Allah; kedua, dihubungkan dengan karakter ulu al-albab dan ketiga, dihubungkan
dengan penetapan hubungan waris.
A. Perintah Shilat al-Rahim Dikaitkan dengan Perintah Takwa Kepada Allah
Terciptanya bangunan masyarakat yang kokoh diawali dari kokohnya unit sosial dasar yaitu
keluarga yang menjaga ikatan kerahiman (kekeluargaan) dari segala kezaliman dan kerusakan.
Hubungan kekeluargaan sebagai dasar hubungan
kemanusiaan secara umum harus dilandasi
dengan ikatan ketuhanan. Dimensi vertikal harus diselaraskan dengan dimensi horisontal.
Hubungan kemanusiaan dilakukan melalui pemeliharaan tali kasih sayang antar sesama manusia
Membahas Kitab Tafsir Klasik Membahas Kitab Tafsir Klasik menganjurkan shilat al-rahim.
Keterkaitan antara dimensi vetikal dan dimensi horisontal ini terlukiskan dalam Q.s. al-Nisâ‟/4:1
ِ ‫َّفس َّو‬
ٍ ‫َّاس اتـَّ ُق ْ َارَّ ُك ُم الَّ ِذ ْي َ لَ َق ُك ْم ِم ْن ن‬
‫ث ِمْنـ ُه َما ِر َج ًاال َكثِْيـً َّاونِ َساءً َّواتَّـ ُق ا اهللَ الَّ ِذ ْي‬
َّ ‫اح َدةٍ َّو َ لَ َق ِمْنـ َها َزْو َج َها َو‬
‫يَاأَيـُّ َهاالن‬
ُ
ِ
) 1:4 ‫تَ َساءَلُْ َن ِِو ِو ْاْل َْر َح َام ا َّن اهللَ َكا َن َعلَْي ُك ْم َرقِْيًا (النساء‬
“Hai manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptaknmu dari jiwa yang satu
dan Allah menciptakn darinya istri (pasangan) dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan menjadi banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lainya dan(peliharalah) hubungan
shilat al- rahim. Sesungguhnya Allh selalu menjaga dan mengawasi kamu.”(Q.s. al-Nisâ‟/4:1)
Ayat ini merupakan pengantar lahirnya persatuan dan kesatuan dalam masyarakat. Semua
manusia berasal dari satu keturunan. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, besar
atau kecil, beragama atau tidak, semuanya dituntut untuk menciptakan rasa aman dan kedamaian,
1313
Abd al-Rahim, Family Planning The Legacy Of Islam penerjemah Muhammad Hasyim, Islam dan KB (Jakarta:
Lentera Basritama, 1997), h. 11.
6
saling menyayangi, saling menghormati hak masing – masing.14 Oleh karena itu, ayat ini diawali
dengan seruan
‫ياأيهاالناس‬
(wahai manusia) meskipun termasuk ayat Madaniyah yang biasanya
menggunakan panggilan ‫( ٌا أٌٓا انرٌٍ أيُٕا‬wahai orang – orang beriman).15
Hubungan antar sesama ini dipertegas dengan penjelasan bahwa manusia
berkembang biak dan beranak pinak di bumi ini berasal dari satu jiwa( ‫واحدة‬
‫نفس‬
yang telah
).
16
Kesamaan
inilah yang harus di tanamkan pada masing – masing individu agar ikatan kekeluargaan tidak putus
dan terhindar dari pertikaian – pertikaian akibat perbedaan yang ada, seperti bahasa, warna kulit, ras
dan lain. Perbedaan ini harus dipahami sebagai konsekuensi logis dari penyebaran manusia ke
pelosok bumi yang sangat dipengaruhi dengan letak geografis, sosiologis dan antropologis. 17
Pentingnya menjaga hubungan kemanusiaan, sehingga ia diposisikan setelah perintah bertakwa
kepada Allah. Kata taqwa munujuk kepada sebuah sikap yang terdiri dari cinta dan takut kepada
Allah. Rasa cinta yang kuat kepada-Nya mendorong seseorang untuk hanya melakukan sesuatu
yang menyenangkan-Nya dan takut melakukan sesuatu yang tidak di sukai-Nya.18
Cinta kepada Allah dan takut tidak mendapat ridhâ-nya berarti juga cinta kepada hambaNya dan takut menyakitinya. Oleh karena itu, dalam Q.s al-Nisâ‟/4:1 ini perintah menjalin
hubungan kasih sayang sesama menggunakan kata yang sama (di athafkan) dengan perintah taqwa
kepada Allah ‫ )(ٔات ٕا هللا انري تساءنٌٕ بّ ٔاألزحاو‬.
Dalam ayat di atas juga terdapat dua perintah taqwa yang mepunyai penekanan yang
berbeda. Kalimat ‫ ات ٕازبكى‬yang di hubungkan dengan penciptaan manusia lebih ditekankan pada
kesadaran manusia agar bertaqwa kepada Zat yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam
kehidupan. sedangkan ‫ ات ٕا هللا‬yang di hubungkan dengan kata arham lebih menekankan kepatuhan
pada Zat Yang Maha Agung dengan tidak memutuskan hubungan kekeluargaan.19
Uraian di atas menunjukan adanya skala prioritas dalam berbakti dan berbuat baik kepada
orang lain yaitu : orang tua, sanak kerabat, anak yatim, orang miskin, tetangga yang masih ada
hubungan kerabat, tetangga non kerabat,teman – teman dekat, ibnu sabîl dan hamba sahaya. Hal ini
sekaligus menunujukkan ke-humanis-an dalam agama Islam. Hubungan manusia yang penuh tali
14
Ibn Jarîr al-Thabârî, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ây al-Qur’an,(Beirut:Dâr al-Fikr,1988),jilid II,h. 227-228.
Ada tiga versi mengenai istilah makkiah dan madaniyah. Pertama, makkiyah adalah ayat yang di tujukan kepada
penduduk mekkah dan madaniyah adalah ayat yang di tujukan kepada penduduk madinah; kedua makkiyah adalah ayat
yang diturunkan sebelum hijrah dan Madaniyah adalah ayat di turunkan pasca hijrah. Dan salah salah satu tanda
makkiah adalah di awali yâ ayyha al-nâs sedangkan madaniyah di awali dengan yâ ayyuha ‘I-dzîna âmanû. Lihat, alSuyûthî, al-itqân fî al-Qur’an,(Beirut:Dâr al-Fikr, 1979), jilid I,h 9.â
16
Terdapat perbedaan ketika menginterpretasikan kalimat ‫ َفس ٔاحدة‬mayoritas ulama mengartikannya dengan Adam a.s
sebagai bapak semua manusia, sebagaiman di jelaskan dalam ayat lain Q.s. al-Zumar/39:6; al-A‟râf/8:27 dan alisrâ‟/17:62. Lihat, al-Thabarî, Jâmi, al-Bayân, jilid II, h.227-228. Muhammad bin Umar al-Zamakhsyari , al-Kasysyâf
„uyun al-Aqâwîl fi wujûh al-ta‟wîl, (Beirut: ihyâ‟Dâr al-turâts al-„arabî, 1971), jilid II, h. 235. Muhammad Husain al
17 Perbedaan yang ada pada diri manusia adalah suatu keniscayaan yang tak dapat dihndari, sebagaimana yang
disinyalir oleh Q.s. al-Hujurât/49:13. Menurut al-Thabâthabâi‟î, Q.s. al-Nisa‟/4:1 dan al-Hujurât/49:13 keduanya
memerintahkan kesatuan, persatuan antar sesama dan melarang pertikaian. Akan tetapi, penekanannya berbeda. alNisa‟/4:1 memerintahkan persatuan, karena semua manusia berasal dari satu jiwa, sedangkan al-Hujurât/49:13 melarang
pertikaian dan perpecahan antar individu atau kelompok, karena yang paling mulia di sisi Allah adalah hamba-Nya yang
paling taqwa. Lihat, al-Thabâthabâi‟î, al-Mîzân, juz IV, h. 139-140.
18
Suzanne Haneef, Islam dan Muslim, penerjemah Siti Zaenab, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h.128-129.
19
Al-Zuhailî , al-Tafsir al-Manar, juz IV, h. 142.
15
7
kasih tersebut harus bertumpu pada satu titik yang tidak dapat dilepaskan yaitu mengesakan Allah.
Pengakuan yang tulus akan keesaan Allah menuntut seorang muslim untuk tidak mnerima
pandangan, tata nilai, dan tata kesopanan dari selain-Nya.
Cara menampilkan pesan shilat al-rahim semacam ini ( dihubungkan dengan keimanan pada
Allah) juga dipergunakan oleh Rasulullah dalam salah satu riwayat :
ِ ِ ِ ِ
ِ
‫ضْيـ َفوُ َو َم ْن َكا َن‬
َ َ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق‬
َ ‫ال َم ْن َكا َن يـُ ْؤم ُن ِاهلل َوالْيَـ ْ م ْاْل ِ فَـ ْليُ ْك ِْم‬
ِّ ِ‫َِب ُىَيْـََة َرض َي اهللُ َعْنوُ َع ِن الن‬
َ ‫َِّب‬
ْ ِ‫َع ْن أ‬
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ ِ
ِ
ِ ِ
ِ
. ْ ‫ص ُم‬
ْ َ‫ْل ِ فَـ ْليَص ْل َر َوُ َو َم ْن َكا َن يُ ْـؤم ُن ِاهلل َوالْيَـ ْ م ْاْل ِ فَـ ْليَـ ُق ْل َ ْيـًا أ َْو لي‬20ْ‫يـُ ْؤم ُن ِاهلل َواْلَي ْ م ا‬
.)‫(رواه ال خاري‬
“Dari Abu Hurairah r.a.dari Nabi SAW bersabda, “ Barang siapa yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir maka hendaklah memuliakan tamunya, dan barang siapa yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah menyambung kerabatnya dan barang siapa
yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah berkata yang baik atau (jika
tidak mampu b erkata baik) hendaklah diam”. (H.R. al-Bukhari)
Jiwa yang taqwa kepada Allah dan cinta kasih terhadap sesama manusia merupakan unsur
yang sangat diperlukan dalam setiap nafas kehidupan. Dengan keimanan dan ketaqwaan , rasa
tanggung jawab atas semua perbuatan akan tumbuh dalam diri manusia. Perbuatan baik yang
dilandasi keimanan dan ketaqwaan tidak akan dikotori dengan sikap mengharap imbalan selain
Allah (riyâ). Jika kerelaan dan ketulusan senantiasa tertanam di dalam jiwa seseorang muslim,
maka ia akan memegang teguh tali shilat al-rahim apapun yang akan dihadapinya.
B. Shilat al-rahim bagian dari Karakter Ulu al-Albab
Cara lain yang dipergunakan oleh al-Qur‟an untuk menganjurkan kepada kaum muslim agar
melaksanakan shilaturrahim adalah menghubungkan perintah shilaturrahim dengan karakter ulu alAlbab, sebagaimana yang terangkai dalam Q.s. al-Ra‟d/13:21-24 berikut:
1. Menyambung sesuatu yang diperintahkan untuk disambung/ shilat al–rahim.
2. Takut kepada Allah dan Hisâb – Nya
3. Sabar mengharap ridhâ – Nya
4. Mendirikan shalat
5. Menafkahkan harta
6. Membalas keburukan dengan kebaikan
Meski tidak secara jelas disebutkan dalam ayat tersebut, para mufassirun menafsirkan bahwa
yang dimaksud menyambung yang diperintahkan untuk disambung adalah menyabung hubungan
kekeluargaan. Sebagaimana ayat pada sub bab sebelumnya, ayat al-Ra‟d ini juga menggambarkan
bahwa peningkatan hubungan vertical harus diimbangi dengan peningkatan hubungan horizontal.
20
Al-Bukhâri, Shahih al-Bukhari, Juz IV,h.71.
8
C. Ancaman bagi Qâthi’ al-Rahim
Perhatian al-Qur‟an terhadap pentingnya shilat al-rahim juga dapat dipahami dari
penyebutan balasan bagi orang yang menjaga hubungan antar manusia, khususnya keluarga, dan
ancaman bagi orang-orang yang memutuskannya (qâthi’ al-rahim). Balasan bagi orang yang
membina dan menjaga dengan baik hubungan kekeluargaan adalah mendapat kenikmatan,
ketenangan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah memberikan keistimewaan kepada hamba
yang membina hubungan vertikal ataupun horisontal dengan baik yaitu memasuki surga ‘Adn
bersama keluarganya. Kabar gembira ini terdapat di dalam Q.s al-Ra‟d/13: 23 dengan menggunakan
tiga kata âbâ, azwâj dan dzuriyyât. Lafaz âbâ menunjukkan orang tua dan orang-orang yang ada
hubungan darah dengan keduanya, seperti kakek, nenek, paman dan lain-lain. Lafaz âbâ dapat juga
bermakna para tokoh pendahulu atau guru-guru.21 Lafaz azwâj menunjukkan suami atau istri dan
orang-orang yang ada hubungan darah, seperti mertua dan lain-lain sedangkan dzuriyyât
menunjukkan keturunan.
Al-Qur‟an juga menginformasikan ancaman bagi orang-orang yang tidak mampu membina
hubungan vertikal atau horisontal dengan baik, sebagimana yang digambarkan dalam beberapa
firman-Nya, yang artinya:
“ (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan
memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan
membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi” (Q.s. al-Baqarah/2:27)
“ Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan
apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orangorang Itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).”
(Q.s. al-Ra‟d/13:25).
“ Mereka Itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan
dibutakan-Nya penglihatan mereka”. (Q.s. Muhammad/ 47:23).
Kata la’nah dalam ayat 23 di atas, secara leksikal berarti tercabutnya rahmat.22 Allah tidak
akan melimpahkan kasih syang-Nya kepada orang-orang yang tidak menjalankan perintah-Nya
dalam hal ini merusak perjanjian dengan Allah („ahd Allah), memutuskan hubungan kekeluargaan
dan membuat kerusakan.23
Merusak perjanjian dan memutuskan hubungan vertikal ataupun horizontal dikategorikan
sebagai orang fâsiq.24 Kefasikan adalah sifat yang menjadikan manusia keluar dan menjauh dari
kebenaran. Kata fisq yang berakar kata f, s, q ini adalah awalnya digunakan untuk menyebutkan
buah busuk, karena kulitnya terkelupasdengan sendirinya atau kulitnya sangat mudah terkelupas
21
Penjelasan lebih detail dapat dilihat pada bab II tenteang arti kata âbâ.
Al-Ashfahânî, al-Mufradât, h. 451.
23
Al-Marâghî, Tafsir Al-Marâghî, juz XIII, h. 96.
24
Q.s. al-Baqarah/2:27 ini adalah penjelas dari ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang sikap kaum fâsîq. Lihat,
Sa‟id Hawwâ, al-Asâs fi al-Qur’an, (Kairo, Dâr al-Salâm, 1989), jilid IX, h. 5315.
22
9
sehingga terpisah dari isinya. Demikian juga seorang fâsiq adalah seorang yang keluar dengan
kemauannya sendiri dari tuntunan Ilahi.25
D. Perintah Shilat al-Rahim dihubungkan dengan Hukum Waris
Perhatian al-Quran terhadap menjaga pentingnya hubungan kekeluargaan juga dapat dilihat
dari penetapan pembagian waris yang mengutamakan saudara senasab daripada yang hubungan
tanpa nasab, sebagaimana yang dapat dipahami dari firman Allah :
ِ َ‫و أُولُ ْاالَرح ِام ـ ْع ُهم أَوَ ِ ـ ْع ٍ ِِف كِت‬
)6: 22 ‫ االحزاا‬,75: 9 ‫( االنفال‬...ِ‫اا اهلل‬
َ ْ ُْ َ َْ
ْ
َ
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah….(Q.s. al-Anfal/9:75, alAhzab/22:6)
Didalam surat al-Anfâl, ayat ini sebagai penghapus dari tradisi memberikan warisan kepada
saudara seiman yang tanpa hubungan darah sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Muhâjirîn dan
Anshâr pada awal periode Madinah.26 Di dalam tradisi Jahiliyyah sering terjadi ikatan-ikatan
persekutuan. Ikatan persekutuan ini oleh Rasulullah dimodifikasi menjadi ikatan persudaraan antara
kaum Muhâjirîn dan Anshâr atas dasar kesamaan agama. Ikatan persaudaraan se-agama dapat
menimbulkan hak waris secara timbal balik dan menafikan hak waris hubungan nasab. Oleh karena
itu, ikatan semacam ini sangat bersifat temporal hanya berlaku pada awal periode Madinah ketika
kondisi ummat Islam masih sangat lemah.27
Sedangkan dalam surah al-Ahzab, ayat ini mengecam tradisi tabanni (pengangkatan anak)
yang mengakibatkan lahirnya hak waris antara orang tua angkat dengan anak angkat sekaligus
hokum-huum lain seperti larangan menikahinya dan sebagainya.28 Hak waris dalam tradisi
Jahiliyyah didasarkan pada kemampuan kerja dan mencari nafkah. Anak yang diadopsi harus yang
sudah memasuki usia dewasa atau yang memiliki kemampuan kerja sehingga dapat memperkuat
kabilah baik dalam percaturan ekonomi ataupun kekuasaan. Kaum wanita dan anak laki-laki yang
dianggap lemah meskipun memiliki hubungan nasab sedikitpun tidak mendapatkan warisan.
Sedangkan anak-anak angkat atau orang-orang yang terikat janji persekutuan memperoleh hak
warisan meski tidak ada hubungan nasab. Seorang ayah angkat biasa mengatakan, “Engkau adalah
anakku, aku dapat mewarisi hartamu dan engkau pun berhak mewarisi peninggalanku”.
29
Dengan
demikian, hubungan antara anak dan orang tua kandung menjadi terputus dan berpindah ke orang
tua angkat.
25
M. Quraish Shihab, Tafsir Misbaẖ, jilid I, h. 131.
Al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, jilid III, h. 523-524; Al-Zuẖailî, al-Tafsir al-Munir, jilid V, juz X, h. 80.
27
Muẖammad Yûsuf Mûsâ, al-Tirkah wa al-Mîrâts fi al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Ma‟rifah, 1967), h. 27-28
28
Muẖammad Yûsuf Mûsâ, al-Tirkah wa al-Mîrâts fi al-Islâm, juz XXI, h.247
29
Muhammad „Ali al-Shâbûnî, Rawâ‟i al Bayan fi Tafsîr Âyât al-Aẖkâm, (Beirut: Dâr al-Turâts al-„Arabî, t.th.), jilid
II, h. 270.
26
10
Kedua ayat di atas meski dalam konteks historis berbeda, tetapi memiliki persamaan
pembahasan bahwa hak waris karena hubungan nasab lebih diutamakan daripada yang lain.
Orientasi materialistic yang telah membudaya pada masa jahiliyyah dihapus dan diganti dengan
aturan yang menekankan persamaan derajat kemanusiaan, motif-motif sosial dan pemeliharaan
kesejahteraan generasi.
PENERAPAN SHILAT AL-RAHIM DALAM KEHIDUPAN
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan mampu sedikitpun berdiri sendiri tanpa bantuan
orang lain dalam pemenuhan kebutuhan. Interaksi sosial merupakan keniscayaan dalam kehidupan
manusia. Interaksi sosial tidak akan berhasil baik bila tidak diiringi dengan saling kenal dan saling
sapa. Saling mengenal juga tidak akan langgeng bila tidak diliputi dengan rasa kasih sayang dan
saling peduli. Di sinilah letak urgensi pelaksanaan shilat al-rahim dalam kehidupan sosial. Ada
beberapa cara untuk menjalin hubungan kekeluargaan dan menciptakan kebersamaan, antara lain :
1. Berkunjung (Ziyârah)
Saling mengunjungi merupakan salah satu cara untuk mengetahui secara langsung keadaan
orang lain terutama sanak kerabat. Melalui berkunjung seseorang dapat segera memberikan bantuan
materiil ataupun non materiil. Akan tetapi, hal ini jarang dilakukan apabila sanak kerabat jarak
rumah saling berdekatan. Al-Ghazali menjelaskan bahwa kerabat yang rumahnya berdekatan sangat
berpeluang menimbulkan percekcokan dan permusuhan yang mengakibatkan hubungan
kekeluargaan terputus. Lebih baik hidup berjauhan tetapi saling mengunjungi dan saling
menyayangi daripada hidup saling berdekatan tetapi penuh permusuhan.30
Pada era modern yang semakin memanjakan manusia dengan beragam fasilitas, semakin
mempermudah manusia untuk saling berkunjung dan menyapa, meski tidak secara fisik. Dengan
fasilitas alat komunikasi handphone, messanger dan sejenisnya seseorang bisa saling
berkomunikasi tanpa harus meluangkan banyak waktu untuk transportasi. Namun akan lebih baik
bila tetap meluangkan waktu untuk berkunjung, agar lebih dapat memahami keadaan saudara atau
kerabat. Di Indonesia, saling mengunjungi antar sanak kerabat merupakan cara yang paling sering
dilakukan untuk menjalin dan mempertahankan hubungan kekeluargaan, sebagaimana yang telah
dilakukan kaum muslimin terutama pada hari raya ‘Id al-Fitri. Tradisi saling menyapa,
mengunjungi dan pada akhirnya saling membantu seperti ini selayaknya harus dilestarikan bukan
hanya pada hari Raya. Agar kunjungan shilat al-rahim baik secara fisik maupun non fisik ini tidak
terkesan formalitas, tetapi mampu membuahkan hasil yang baik seharusnya diiringi dengan
pergaulan yang baik serta peningkatan solidaritas sosial.
3030
Abu Hamid Muẖammad bin Muẖammad al-Ghazâlî, Iẖyâ’ ‘Ulûm al-Din, (Beirut: Dâr al-Fîkr, t.th.), jilid II, h. 216.
11
2. Pergaulan yang Baik (Husn al-Mu’âsyarah)
Cara berikutnya yang dapat mewujudkan shilat al-rahim adalah memperlakukan orang lain
dengan baik. Semua manusia berhak mendapatkan perlakuan baik meskipun label yang disandang
berbeda-beda. Dalam hal ini ada beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
a. Membalas perlakuan buruk dengan kebajikan
Salah satu penyebab munculnya permusuhan dan perpecahan adalah kekerasan dibalas
dengan kekerasan. Membalas kebaikan dengan kebaikan dapat dengan mudah diupayakan, tetapi
membalas kemarahan dengan keramahan adalah sikap yang membutuhkan ketulusan dan lapang
dada, sebagaimana disebutkan dalam Q.s. Fushshilat/41:34-35. Melalui ayat ini kaum muslim diberi
bekal mental untuk berinteraksi dengan orang lain. Penggunaan “ahsana” menunjukkan bahwa
Islam tidak hanya memerintahkan membalas kejahatan dengan kebaikan, tetapi dengan balasan
yang lebih baik atau yang paling baik. Jika kejahatan diperintahkan untuk dibalas dengan sikap
yang lebih baik, maka membalas kebaikan dengan yang lebih baik adalah sebuah keharusan. Kunci
untuk melaksanakannya adalah ketulusan dan kesabaran. Bila kita menyimak perjalanan Rasulullah
s.a.w maka akan kita temukan banyak contoh sikap-sikap mulia beliau ketika berinteraksi dengan
banyak orang dari beragam lapisan masyarakat.
b. Memaafkan dan berlapang dada
Upaya membalas keburukan dengan kebaikan tidak akan terwujud bila tidak didahului
dengan sikap memaafkan dan berlapang dada. Gabungan dua sikap mulia ini banyak ditemukan di
dalam al-Qur‟an, antara lain Q.s. al-Baqarah/2:109; al-Maidah/5: 24; al-Nur/24:22; Ali
Imran/3:159. Ayat-ayat ini meskipun dalam konteks yang berbeda-beda tetapi memiliki penekanan
yang sama yaitu memaafkan kesalahan orang lain dan berlapang dada dengan cara berusaha
melupakan kesalahannya dan tetap menjalin hubungan baik.
Apapun kesalahan orang lain hendaklah dimaafkan dan kemudian dilupakan atau minimal
tidak disebut-sebut lagi.31 Sebaliknya, kesalahan pribadi selalu diingat sebagai alat control agar
tidak terulang. Sedangkan kebaikan orang lain sekecil apapun harus dihargai dan tidak diabaikan.
Sebaliknya, kebaikan diri sendiri kepada orang lain hendaknya dilupakan atau tidak diingat-ingat
agar tidak sombong, takabbur ataupun mengharap-harap balasan duniawi.
c. Tidak berburuk Sangka
Perumpamaan yang digambarkan oleh al-Qur‟an surah al-Hujurat ayat 12 adalah ibarat
memakan daging saudara sendiri yang telah mati. Memakan daging saudara yang telah mati adalah
perbuatan keji dan melampaui batas. Seseorang yang telah mati tidak akan mampu membela diri
31
Yang dimaksud di sini adalah kesalahan individual, bila kesalahan yang bersifat kolektif maka pemberian maaf pun
bersifat kolektif. Demikian juga, etika pemberian maaf ini adalah etika yang ditujukan untuk orang yang disakiti atau
yang didhalimi, sedangkan etika untuk yang mendhalimi seharusnya memohon maaf dan lebih hati-hati dalam
bertindak.
12
meski bagian tubuhnya dianiaya. Demikian juga seseorang yang menjadi obyek pembicaraan orang
lain tidak dengan bertatap muka juga tidak mampu membela diri atau meluruskan pembicaraan
tersebut. Perbuatan demikian akan memperburuk hubungan kekeluargaan dan mengganggu
kehamonisan anggota masyarakat secara luas.
d. Kedermawanan
Kedermawanan sangat diperlukan dalam jalinan persaudaraan antar sesama. Setiap individu
harus dapat menerima dan merasakan keberadaan orang-orang dekatnya. Seorang muslim harus
mau membantu dan turut bertanggung jawab terhadap sanak kerabat yang memerlukan.jika salah
satu diantara mereka ada yang miskin, lemah atau hidup sendiri, maka harus ditopang atau dibantu
oleh anggota keluarga yang lain. Kedermawanan sangat terkait dengan sikap mental dan bukan
hanya pada harta yang melimpah.
Demi meningkatkan hubungan kekeluargaan (shilat al-rahim), kepedulian terhadap sesama
harus berawal dari keluarga terdekat kemudian menyebar ke masyarakat luas. Beberapa ayat alQur‟an yang memerintahkan demikian adalah Q.s. al-Isra‟/17:26-27; al-Rum/30:38; alBaqarah/2:177. Prioritas kerabat dalam ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa seseorang harus
memperhatikan dan mempedulikan nasib sesama manusia yang diawali dengan perhatian terhadap
keluarga. Pesan al-Qur‟an ini diperjelas oleh sabda Rasulullah:
‫عٍ سهًٍاٌ بٍ عايس زضً هللا عُّ قال قال زسٕل هللا صهى هللا عهٍّ ٔسهى انصدقت عهى انًسكٍٍ صدقت ٔ عهى ذي‬
32
. ‫انسحى ثُتاٌ صدقت ٔ زحى‬
Dari Sulaiman bin „Amir r.a., Rasulullah s.a.w berkata “shadaqah kepada orang miskin
memperoleh pahala shadaqah (saja), sedangkan shadaqah kepada kerabat memperoleh dua pahala
yaitu pahala shadaqah dan pahala shilat al-rahim.
Prioritas kepada sanak kerabat yang ditekankan oleh agama Islam menunjukkan bahwa yang
dimaksud keluarga bukan hanya keluarga inti: bapak, ibu dan anak, tetapi merupakan keluarga
besar yang satu keturunan darah. Keluarga besar inilah yang seharusnya saling sapa saling peduli
secara tulus hati bukan karena kepentingan-kepentingan duniawi, sehingga tidak terjadi seseorang
yang telah banyak mengorbankan waktu dan materi kepada masyarakat luas, namun saudara dekat
tidak terhiraukan.
MANFAAT SHILAT AL-RAHIM
Perintah shilat al- rahim mengandung beberapa manfaat, antara lain :
1. Membangun Kekuatan Dakwah
Dakwah Islam yang menyeru pada kebajikan dan mencegah kemunkaran
memerlukan kekuatan yang tangguh. Menyeru kepada kebajikan memerlukan dukungan
yang kuat dari keluarga besar. Keutuhan, kebersamaan dan kepedulian dalam keluarga
32
Al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, jilid IV, h. 98
13
besar dapat membentuk keuatan dakwah. Dakwah tidak akan berhasil atau akan menemukan
banyak hambatan apabila mendapat serangan atau tidak memperoleh dukungan baik dari
orang-orang terdekatnya.
Hal ini sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah s.a.w dalam berdakwah. Langkah
pertama yang diambil beliau adalah memberi peringatan kepada keluarga sebelum memberi
peringatan kepada orang lain (Q.s. al-Syu‟ara‟/26:214). Oposisi kaum Quraisy terhadap nabi
Muhammad merupakan keniscayaan yang tak dapat dihindari. Dalam keadaan demikian
sangat dibutuhkan dukungan yang kuat terutama dari orang-orang terdekat. Dukungan yang
diberikan oleh istri beliau, Khadijah dan paman beliau, Abu Thalib sangat berarti bagi
kelancaran dakwah Rasulullah.
2. Membangun kekuatan Ekonomi
Islam mengajarkan bahwa setiap harta benda memiliki fungsi social. Pandangan
yang keliru terhadap pembangunan ekonomi menyebabkan kaburnya konsep tentang harta
benda. Setiap individu dirangsang untuk mengejar kebutuhan dan kesejahteraan materiil,
tetapi melupakan fungsi sosial dari kekayaan materi. Dewasa ini semakin banyak orang
yang menumpuk hartanya di beberapa Bank dengan dalih demi masa tua – karena takut
miskin- dan demi masa depan anak cucu, tetapi mengabaikan kaum lemah bahkan kerabat
sendiri yang memerlukan uluran tangan.
Menahan orang-orang untuk shadaqah karena takut miskin adalah tugas dan janji
setan yang sesuai dengan watak manusia.33 Setan akan senantiasa mempengaruhi dengan
beberapa kebimbangan dan kekhawatiran kepada siapapun yang akan mengeluarkan harta
bendanya di jalan Allah. Allah menggambarkan kepada manusia bahwa harta benda yang
banyak bukan jaminan keselamatan dan kebahagiaan manusia baik di dunia maupun di
akhirat. Harta yang hanya ditimbun dan mengabaikan fungsi harta untuk kemaslahatan
sosial, maka bagaikan air sumur yang tidak pernah ditimba, airnya menjadi keruh dan kotor.
Penjelasan tersebut bukan berarti Isalam melarang untuk seseorang mencari
kekayaan. Sebaliknya, Islam memberikan nilai yang tinggi kepada kekayaan dengan sebutan
sebagai “ Limpahan dari Allah” ( Fadhl Allah)34 dan kebaikan (al-khair)35. Akan tetapi,
penyalahgunaan kekayaan akan dapat menghalangi manusia dalam mencari nilai-nilai luhur
sehingga kekayaan tersebut menjadi “qalîl” ( sebagian kecil dari limpahan dunia).36
Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa bershadaqah kepada kerabat yang
membutuhkan harus diutamakan. Perintah shliat al-rahim yang diwujudkan dengan
33
Q.s. al-Baqarah/2:268
Q.s. al-Jumu‟ah/62:10
35
Q.s. al-Baqarah/2:215
36
.s. al-Nahl/16:117
34
14
memberikan bantuan-bantuan (shadaqah) kepada kerabat akan dapat membangun kekuatan
ekonomi keluarga sebagai dasar dari terciptanya kekuatan ekonomi suatu negara.
3. Mencegah Kehancuran Bangsa
Setiap manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan untuk mempertahankan eksistensi
hidupnya, sehingga muncul dorongan dan usaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Jika
kebuthan-kebutuhan hidup terhalang atau tidak terpenuhi, maka akan timbul keteganganketegangan yang berakhir dengan kekalutan mental (mental disorder). Salah satu kebutuhan
manusia adalah kebutuhan sosial yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan manusia yang lain,
seperti kebutuhan bekerja, belajar, membangun relasi dan lain-lain.
Terpenuhinya kebutuhan hidup adalah nikmat dari Allah yang harus disyukuri.
Kebersamaan yang penuh dengan kasih saying juga merupakan nikmat yang harus
dipertahankan dengan cara menjalin dan memelihara hubungan antar sesama dengan baik,
sebagaimana kisah kaum Aus dan Khazraj, dua kabilah yang saling bermusuhan, telah
disatukan oleh Allah menjadi bersaudara.37
Ketidakmampuan manusia menggunakan karunia Allah secara proporsional akan
mendatangkan bencana sosial yang menimpa fisik dan jiwa kepada seluruh lapisan
masyarakat. Berawal dari kegitan shilat al-rahim yang disinergikan dengan perintahperintah Allah yang lain, maka insyallah akan mampu mencegah dari ancaman buruk dan
mengerikan sebagaimana dilansir dala Q.s. al-Nahl/16:112. Sebaliknya, hubungan
kekeluargaan yang tidak terjalin dengan baik akan menimbulkan ketegangan-ketegangan
antar anggota keluarga. Keretakan keluarga ini akan berimbas pada munculnya masalahmasalah sosial termasuk juga penyakit-penyait sosial. Langgengnya tatanan masyarakat
sangat dipengaruhi oleh sikap anggota masyarakat tersebut. Persatuan, kebersamaan dan
kepedulian yang diawali dari lingkungan keluarga besar harus tetap dipertahankan demi
terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa.
KESIMPULAN
Shilat al rahim merupakan hal yang urgen bahkan sangat urgen untuk bersama-sama kita
segarkan kembali dalam ingatan, kajian-kajian akademis dan kemudian melakuakan aksi bersama
untuk mengaplikasikannya. Di tengah era yang semakin mengglobal namun semakin tampak nyata
perpecahan sesama umat muslim ini, maka budaya shilat al rahim bisa dijadikan alternatif jawaban
untuk mengeratkan kembali Ukhuwah Islamiyyah, mendudukkan bersama untuk membahas isu-isu
kontroversial (khilafiyyah) dan menghujamkan pemahaman bersama bahwa perbedaan penafsiran
teks-teks otoritatif merupakan hal yang niscaya, maka tantangannya adalah mampukah kita untuk
bersikap arif dan bijak dalam mnghadapi ini semua?. Fa’tabirû Yâ Ulil Albâb..[ ].
37
Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’an, jilid II, h.25-26. Lihat Q.s. Alî Imrân/3:103
15
Daftar Pustaka
„Abd al-Baqi, Muhammad Fu‟ad, al-Mu’jam al – Mufahras li Alfdz al-Qur’an al-Karim, Beirut:
Dar al-Fikr,1994
Al-Ashfahani, al-Raghib, al-Mufradât fi Gharîb al-Qur’an, Bairut:Dar al-Ma‟rifah, t.th
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fath al Bari, Beirut : Dar al- Ma‟rifah, 1379
Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Husain, syu’b al-iman, Bairut : Dar al-Kutub al- Ilmiyyah, 1990
Bakr, Anton, Metodologi penenlitian, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Darraz, Muhammad „Abd Allah, Dusqtur al Akhlak Fil Qur’an, Bairut : Muassanah al- Risalah,
1980
Dastaghib, Abd al-Husain, Adab min al-Qur’an, Bairut : Dar al-Islamiyyah, 1992
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan terjemahanya, Jakarta : Indah Press, 1984
Al-Farmawi, „Abd al-Hayy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, Kairo: Maktabah Jumhuriyyah,
1976
Gerungan, W.A, Psikologi Sosial, Bandung: Eresco,1987
Al Ghozali, Muhammad, Khuluuq al- Muslim,t.tp.: Dar al-Kutub al-Haditsiyyah, 1974
Al-Hamd, Muhammad bin Ibrahim, Qathi’urrohim memutuskan hubungan kekeluargaan,
Penerjemah Abdul Rosyad Shidiq. Jakarta : Akbar :2001
Hawwa, Sa‟id, al-Asas fi al-Tafsir, Dar al-Salam, 1989.
Haneef, Suzanne. Islam dan Muslim, penerjemah Siti Zaenab, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Ibn Faris, Abî al-Husain Ahmad, Mu’jam al-Maqâyis fi al-Lughah, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
Ibn Manzhûr, Jamal al-Din Muhammad bin Mukram bin Manzhûr, Lisan al-‘Arab, Beirut:Dâr alShadr, 1990.
Imran, abd al-Rahim, family Planing the Legacy of Islam, Jakarta: Lentera Basritama, 1997
al-Khathân, Mannâ Khalîl. Mabâhis fi Ulum al-Qur’an. Riyadh: Mansyûrât al-„Ashr al-Hadîts, t.th.
Kartono, Kartini, Patologi Sosial, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001
Muhammad, „Abd al-Lathif, Al-Akhlaq fi al-Islam, Madinah: Dar al-Turats,t.th.
Al-Naisabury, Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya alTurats al-„Araby, t.th.
Qardhawi, Yusuf.Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan. Jakarta : Gema Insani Press,1995
16
Al-Suyûthî, Jalal al-Din, al-Itqân fî al-Qur’an, Beirut:Dâr al-Fikr, 1979.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’aj, Jakarta : Lentera,2000
…………. , Menyingkap Tabir Ilahi : Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur’an (Jakarta :
Lentera Hati, 1999
al-Thabârî, Ibn Jarîr, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ây al-Qur’an, Beirut:Dâr al-Fikr,1988.
Al-Wahidi, Ali bin Ahmad, Asbab al-Nuzul, Beirut : Dar al-Fikr,t.th.
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut:Dâr al-Fikr, t.th.
17
Download