kekerasan dan bentuk kriminal perspektif hukum islam

advertisement
KEKERASAN DAN BENTUK KRIMINAL
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Ahmad Sudirman Abbas
Fakultas Syariah Sekolah Tinggi Islam (STAI) al-Azis Az-Zaytun
Jl. Gantar, Mekarjaya, Haurgelis, Indramayu, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstract: Violence and Other Crimes in Islamic Law Perspective. All religions principally teach
and call on the values ​​of fraternity (brotherhood), equation (equility) and fairness (justice). Violence
committed by a group of man essentially is the way to fulfill material needs through shortcuts that
cannot be justified. Stealing looting, robbery and rape are forms of violence that in the perspective
of Islamic law will be subject to strict punishment. At first, the penalties would be considered rigid
and cruel. However, the wisdom behind that firmness will positively impact the society as a whole.
On the other hand, it will give a full sense of justice and relief for the victims.
Keywords: ahkam al-jinayah, al-maslahah, hirabah
Abstrak: Kekerasan dan Bentuk Kriminal Lain Perspektif Hukum Islam. Semua agama pada
dasarnya mengajak dan menyeru kepada nilai-nilai persaudaraan (brotherhood), persamaan (equility)
dan keadilan (justice). Kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok manusia hakekatnya adalah
tuntutan kebutuhan materi melalui jalan pintas dan tidak patut dibenarkan. Pencurian, penjarahan,
perampokan dan pemerkosaan merupakan bentuk-bentuk kekerasan yang dalam perspektif hukum
Islam akan dikenakan sanksi tegas. Pada mulanya, penerapan hukuman memberi kesan “saklek”
kaku dan kejam. Akan tetapi, hikmah dibalik ketegasan itu akan berdampak positif bagi masyarakat
secara keseluruhan. Di sisi lain hal tersebut juga akan memberikan rasa keadilan penuh dan me­
legakan bagi pihak korban.
Kata kunci: ahkâm al-jinâyah, al-maslahah, hirâbah
Pendahuluan
Mempercayai adanya Tuhan pencipta alam,
dengan segenap yang ada tabi’at dasar bagi
manusia yang terdapat bersama adanya tubuh
(raga kasar) manusia. Atau paling tidak,
kepercayaan tersebut telah mengambil tempat
dalam diri manusia. Manusia mempunyai
sifat mempercayai Allah dengan beberapa
bukti, antara lain melalui pengalaman ketika
manyaksikan bentangan alam luas, hamparan
bumi dan gugusan bintang-bintang. Kesaksian
pengalaman ini menggelitik hati nurani
manusia mempertanyakan siapakah pencipta
dan pengaturnya? Lalu pelbagai jawaban
muncul secara variasi dan berbeda-beda yang
menyebabkan munculnya perbedaan paham
dalam beragama.
“Beragama” menurut bahasa Arab di­
sebut ( ),1 dan menurut istilah dapat
berarti kecenderungan fitrah manusia untuk
mempercayai adanya kekuatan spiritual dan
bersifat supranatural di atas kekuatan yang
ada. Agama diterjemahkan oleh sebagian ahli
1
Luis Ma’luf, Munjid fi al-Lughah, (Bayrût: Dâr alMasyriq, 1986), h. 231.
87
88| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013
bahasa dengan “a” berarti tidak dan “gama”
berarti pergi (bahasa sangsekerta). Artinya
tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun
temurun,2 dalam arti aturan yang musti atau
harus diikuti oleh setiap generasi. Dengan
demikian, predikat-predikat agama memiliki
karakteristik mulia yang menyeru manusia
kepada tatanan hidup mapan, tenteram
dalam suasana kedamaian.
Manusia tersusun dari dua unsur yaitu
“jasmani” yang bersifat materi dan “rohani”
dengan sifat immateri. Kebutuhan keduanya
sangatlah “antagonis” (berlawanan), karena
jasmani mempunyai kecenderungan hawa
nafsu kejahatan sedang rohani cenderung
kepada kesucian. Dalam kapasitas kejasmanian
yang dipengaruhi oleh hawa dunia materi,
maka lahirlah pelbagai fenomena yang
seluruhnya berorientasi kepada nilai-nilai
materi yang bersifat dominan.
Kekerasan yang dilakukan oleh se­
kelompok manusia hakekatnya adalah tuntutan
kebutuhan materi melalui jalan pintas dan
tidak patut dibenarkan. Sebagai salah satu
contoh kongkrit peristiwa kekerasan terjadi
di Indonesia pada tahun 1998, tepatnya 1314 Mei. Tragedi berdarah tersebut menuai
banyak pendapat dari pelbagai pihak. Untuk
menelusuri pandangan yang dianggap paling
mewakili, maka prinsip-prinsip Islam perlu
dikaji tentang masalah ini.
Sikap Islam terhadap Budaya Kekerasan
Bertolak dari latar belakang peristiwa ber­
sejarah sekaligus tragedi berdarah yang
ditandai runtuhnya rezim orde baru, per­
soalan-persoalan bermunculan secara ber­
samaan, bidang ekonomi, politik, sosial dan
moral. Pada peristiwa itu, menjelaskan pula
persoalan hancurnya infrastruktur ekonomi
yang dimiliki warga keturunan, dan ada pula
perilaku amoral terhadap wanita keturunan.3
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Pelbagai Aspeknya,
(Jakarta: UI Press, 1985), h. 9.
3
R. Sinamora, Fakta dan Saksi (Korban Pemerkosaan
Etnik Tionghoa 13-14 Mei 1998), Harian Suara, Oktober
1998, h. 8-9.
2
Inisial paten atas peristiwa tersebut
selain perilaku amoral adalah “penjarahan”.
Penjarahan terambil dari akar kata “jarah”
dengan awalan “pe” dan akhiran “an”. Dalam
tema keindonesiaan sejalan peristiwa itu,
berarti perampasan secara paksa terhadap
sesuatu yang tidak dapat dibenarkan oleh
undang-undang terlebih syariah Islam ter­
masuk agama-agama lain.
Penjarahan perspektif pidana Islam
(ahkâm al-jinâyah), didefinisikan sebagai
bentuk “pencurian”, “perampokan” dan
“pembunuhan”. Tiga jenis bentuk kriminal
tersebut sangat erat kaitannya dengan kata
“jarah” (penjarahan) dan sesuai dengan
moment tragedi berdarah yang pernah
terjadi di Indonesia pada bulan Mei tahun
1998. Peristiwa saat itu benar-benar dipenuhi
warna kekerasan fisik dan sangat rentan
kepada hilangnya nyawa tanpa alasan.
Dinyatakan oleh tiga serangkai4 dalam
kitab al-Dîn al-Islâmi, bahwa semua agama
mengajak dan menyeru kepada nilai-nilai
persaudaraan (brotherhood), persamaan
(equility) dan keadilan (justice). Berdasarkan
dengan konsep al-Musâwah (equility)
Sjadzali, berpendapat bahwa al-musâwah
dalam perspektif Islam lebih menekankan
kesempatan dan tidak menghendaki
pemerataan hasil tanpa kerja sebagaimana
kaum sosialis.5
Dalam hal kebebasan beragama, ajaran
Islam menentukan dua ketegasan, yaitu:
1.Kaum dzimmi tidak berhak didakwahi;
2. Tidak diperbolehkan berganti agama
(murtad).
Agama adalah fitrah yang anti kebodoh­
an dan anti kemiskinan (melalui pendaya­
gunaan zakat).6 Kebebasan beragama dalam
Islam dijelaskan dalam Q.s. al-Kâfirûn
Tiga serangkai yang dimaksud adalah Syaikh Hasan
Mansur, Syaikh ‘Abd Wahhab Khairuddin, dan Syaikh Musthâfa
al-Nawir.
5
Munawir Sjadzali, Makalah disampaikan dalam Seminar
Tata Negara dalam Islam, Jakarta 25 Nopember 1987.
6
Munawir Sjadzali, Makalah disampaikan dalam Seminar
Tata Negara dalam Islam.
4
Ahmad Sudirman Abbas: Kekerasan dan Bentuk Kriminal Perspektif Hukum Islam |89
[109]: 6, sebagai berikut:
Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.7
Ayat di atas sejalan dan senafas dengan
isi dari Piagam Madinah pasal 25, yaitu:
Sesungguhnya kaum Yahudi dari Bani ‘Auf
merupakan satu umat dengan kaum Mukmin.
“Kaum Yahudi mempunyai agama mereka
sendiri dan demikian pula bagi orang-orang
mukmin”, di mana hal tersebut berlaku
juga bagi sekutu-sekutu (kawan-kawan)
mereka dan bagi diri mereka sendiri, kecuali
terhadap yang berbuat zalim dan berbuat
dosa (kesalahan), maka hal yang demikian
itu akan menghancurkan diri sendiri dan
keluarganya.
Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal,
dan secara global memuat lima pokok
pikiran, yaitu:
1. Bertetangga baik;
2. Saling mengayomi;
3. Membantu yang teraniaya;
4. Konsultasi dan bertukar pikiran; dan
5. Kebebasan beragama.
Lima pokok pikiran yang terkandung
dalam naskah Piagam Madinah ini se­
benarnya upaya ideal untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi manusia semuanya.
Kemaslahatan di sini bukan saja terbatas
pada usaha mencapai manfaat materi dan
menghindari sejauh mungkin kerugian materi
yang hendak menghadang. Kemaslahatan
yang dikehendaki pada konteks piagam
Madinah bersifat general meliputi segala
aspek kehidupan, materi dan non materi.
Al-Ghazâlî(w. 505 H) mengkonsepsikan
al-mashlahah (kemaslahatan), sebagai berikut:
7
Departemen Agama RI, Al-Hidayah: Alquran Tafsir
Perkata Tajwid Kode Angka, (Banten: Kalim, t.t.), h. 604.
1.
2.
3.
4.
5.
Memelihara agama;
Memelihara jiwa;
Memelihara akal;
Memelihara nasab keturunan; dan
Memelihara harta.8
Piagam Madinah tercetuskan oleh
tuntutan masyarakat pada masanya dan
sebagai wujud sikap ajaran Islam yang me­
miliki karakter universal. Menurut Watt,
piagam Madinah merupakan realisasi dari
potensi dan ide dalam Alquran, pelanggaran
atas kesepakatan piagam Madinah membuat
sikap Nabi Muhammad Saw. dan umat
Islam berubah mengeras, sesudah terjadinya
pengkhianatan serta pemberontakan tiga
kelompok Yahudi, yaitu Bani Nadhir, Bani
Qainuqa’, dan Bani Quraidhah.
Sikap “keras” di sini, tentu masih dalam
batasan seperti yang digariskan oleh alGhazali, yaitu lima pondasi pokok (dharûrah
al-khams) sebagaimana telah disebutkan di
atas. Lima pondasi dasar atau pokok tersebut
terdapat pula pada ketentuan-ketentuan yang
dimiliki semua agama samawi.
Sebagaimana yang telah disebutkan di
atas, yaitu sikap keras Nabi Muhammad
mengandung sebuah tindakan tegas dalam
ucapan dan tindakan. Ini berarti bahwa
“keras” pada konteks tegas memiliki kon­
sekwensi hukum pasti. Berikut ini akan
diuraikan ketentuan tegas hukum Islam
terhadap beberapa tindakan atau perbuatan
melawan hukum.
A. Pencuri dan Sanksinya Menurut Islam
Kata mencuri dalam bahasa Arab disebut
syariqa atau al-syariqah. Kata ini didefinisikan
secara etimologi dengan “mengambil se­
suatu melalui cara diam-diam”.9 Menurut
pengertian syara’ atau terminologi syariah,
kata syariqa atau al-syariqah didefinisikan
8
Al-Ghazâli, al-Mustasyfâ fî ‘Ilmi al-Ushûl, (Bayrût: Dâr
al-Fikr, 1999), h. 89.
9
Ibrahim Anis, et, al-Mu’jam al-Washit, Juz. I, (Mishr:
Dâr al-Ma’ârif, 1982 M./1392 H.), h. 427.
90| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013
sebagai berikut:
(sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka
lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.12
10
Mengambil harta yang dihormati kepunyaan
orang lain, dan mengeluarkannya dari tempat
penyimpanan harta tersebut tanpa “syubhat”
(sesuatu yang meragukan dari pengambilan
itu) secara diam-diam.
Definisi lain menyebutkan:
11
Pengambilan yang dilakukan oleh mukallaf
yang dapat berbicara dan berpikir serta
melihat sebanyak (senilai) sepuluh dirham
murni atau seharga dengan itu, dengan sengaja
mengeluarkan secara sembunyi-sembunyi
terhadap barang atau benda yang tidak cepat
rusak dari tangan pemilik yang sah di wilayah
yang dilindungi tanpa “syubhat” (keraguan)
dan “ta’wil” (interpretasi).
Dua definisi di atas mengindikasikan
unsur-unsur penting untuk dapat diberlaku­
kannya hukuman had, sebagaimana firman
Allah Swt. dalam Q.s. al-Ma’idah [5]:38 ,
sebagai berikut:
Adapun orang laki-laki maupun perempuan
yang mencuri, potongkah tangan keduanya
Al-Bukhari, Kasyf al-Iqna’, Juz. VII, (Bayrût: Dâr
al-Fikr, t.t.), h. 129. Syubhat adalah bentuk jamak dari kata
syabaha-yasybahu-syabhan wa syubhatan. Abu Fadhl Jamaluddin
Muhammad al-Mukarram, Lisan al-‘Arab, Jil. XIII, (Bayrût:
Dâr al-Sadr, t.t.), h. 504. Menurut istilah, syubhat berarti suatu
keadaan yang dialami oleh pelaku pidana yang menyebabkan
gugurnya hukuman had dan diganti dengan hukuman lain,
yaitu ta’zir. Had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh
Allah macam dan jumlahnya, sedang ta’zir tidak ditentukan
Allah, hanya menyebutkan sejumlah hukuman melalui hakim
(ijtihad) dari ringan sampai berat. Dalam hal ini hakim diberi
kebebasan memilih berdasar ijtihad.
11
Ibn Abidin, Hasyiyah Rad al-Mukhtar Syarh Tanwir alAbshar, Juz. IV, (Mishr: Dâr al-Fikr, 1979), h. 82.
10
Unsur-unsur penting untuk dapat di­
berlakukannya hukum potong tangan
berdasarkan definisi adalah:
1. Pelaku mukallaf;
2. Harta yang dicuri adalah harta yang
dihormati (kepemilikan yang sah);
3. Hak milik seseorang;
4. Mencapai nisab (sepuluh dirham atau
seperempat dinar);
5. Diambil dari tempat penyimpanan;
6. Dilakukan secara sembunyi-sembunyi;
dan
7. Tidak ada keraguan (syubhat).
Hukum potong tangan terhadap per­
buatan mencuri diberlakukan bagi yang telah
terpenuhi segala unsurnya tidak menunggu
taubat dari sang pelaku. Taubat dan atau
tidak bertaubatnya pelaku pencurian tidak
menghalangi dan tidak ada hubung­annya
dengan pelaksanaan hukuman. Ayat berikut­
nya menegaskan bahwa perbuatan mencuri
termasuk kezaliman yang akan diampuni
oleh Allah melalui taubat. Sebagai­mana Allah
berfirman dalam Q.s. al-Ma’idah [5]: 39,
sebagai berikut:
Tetapi barang siapa bertaubat setelah melaku­
kan kejahatan itu dan memperbaiki diri,
maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya.
Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.13
B. Perampokan, Pemberontakan dan
Sanksinya
Padanan kata perampokan adalah hirâbah
atau qas’u al-thâriq. Menurut istilah syara’
12
Departemen Agama RI, Al-Hidayah: al-Qur’an Tafsir
Perkata Tajwid Kode Angka, h. 114.
13
Departemen Agama RI, Al-Hidayah: al-Qur’an Tafsir
Perkata Tajwid Kode Angka, h. 115.
Ahmad Sudirman Abbas: Kekerasan dan Bentuk Kriminal Perspektif Hukum Islam |91
didefinisikan sebagai berikut:
14
Keluar untuk mengambil harta secara paksa
dengan jalan menakut-nakuti (mengancam)
atau mengambil harta dan bahkan membunuh.
Menurut Abd al-Qadir ‘Audah, kata
hirabah semakna dengan qas’u al-thâriq dan
atau syirqah al-kubrâ. Penggunaan makna
syirqah kepada qas’u al-thâriq bersifat majaz,
karena syirqah berarti mengambil harta secara
sembunyi-sembunyi, sedang qas’u al-thâriq
mengambil harta dengan cara terang-terangan
disertai tindakan kekerasan.15
Suatu perbuatan atau tindakan dapat
dinilai sebagai hirâbah apabila:
1. Pelaku keluar dengan sengaja untuk
mengambil harta melalui cara kekerasan
dan menghalalkannya kemudian meng­
ancam keamanan perjalanan, sekalipun
belum mengambil harta dan membunuh;
2. Pelakunya keluar dengan sengaja untuk
mengambil harta secara paksa melalui
tindakan kekerasan dan ia mendapatkan
harta tersebut tanpa membunuh sang
pemilik harta;
3. Pelakunya keluar dengan sengaja untuk
mengambil harta dan melakukan pem­
bunuhan dan belum mendapatkan harta;
4. Pelaku keluar dengan sengaja untuk
mengambil harta melalui tindakan
kekerasan dan mendapatkan harta
dengan cara membunuh pemiliknya.
Empat unsur tersebut dianggap tindakan
atau perbuatan hirâbah karena di dalamnya
terdapat kekerasan. Tindakan pidana dalam
ketentuan Alquran patut diberikan sanksi,
sebagaimana firman Allah dalam Q.s. alMa’idah [5]: 33, sebagai berikut:
Abd al-Qadir ‘Audah, al-Tasyrǐ’ al-Jina’i al-Islāmī alMuqāran, Juz. II, (al-Qâhirah: Dār al-Turats, t.t.), h. 638-639.
Lihat juga. Muzanni, Mukhtashar al-Muzanni, Juz. VIII, (Mishr:
Dǎr al-Fikr, t.t.) h. 256.
15
‘Abd al-Qadir ‘Audah, al-Tasyrǐ’ al-Jina’i, h. 638-639.
Hukuman bagi orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan
di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka secara silang,
atau diasingkan dari tempat kediamannya.
Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di
dunia, dan di akherat mendapat azab yang
besar.16
Di dalam literal ayat terdapat kata “au”,
yang ditafsirkan oleh para ahli fikih dengan
implikasi ketentuan hukum beragam. Secara
umum mereka bersepakat harus memilih
atau dipilih salah satu dari empat ketentuan
yang ada dan kemudian berkembang dua
pendapat, yaitu:
Pertama: Ibn Abbas, Abû Hanifah, alSyabi’i, dan Ahmad ibn Hanbal, menentukan:
1. Apabila hanya membunuh, maka hukum­
an­nya dibunuh;
2. Apabila membunuh dan mengambil
harta, maka disalib sampai mati;
3. Apabila mengambil harta tanpa mem­
bunuh, maka hukumannya dipotong
kaki dan tangannya secara bersilang;
4. Apabila hanya menakut-nakuti saja tanpa
mengambil harta, maka hukumannya
dibuang dari kediamannya.
Kadar kejahatan akan diganjar dengan
hukuman yang sepadan, sebagaimana di­
sebut­
kan dalam Q.s. al-Syûrâ [42]: 40,
sebagai berikut:
14
16
Departemen Agama RI, Al-Hidayah: al-Qur’an Tafsir
Perkata Tajwid Kode Angka, h. 114.
92| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan
yang setimpal, tetapi barang siapa yang
memaafkan dan berbuat baik (kepada orang
yang berbuat jahat) maka pahalanya dari
Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang
yang berbuat zalim.17
Kedua: golongan yang berpendapat
bahwa para hakim dibolehkan menentukan
pilihan hukuman terhadap muhârib dengan
cara dibunuh, atau disalib atau dipotong
tangan dan kakinya secara bersilang atau
dipenjara. Semua pilihan diserahkan kepada
para hakim berdasarkan ijtihad demi
kemaslahatan orang banyak.
Bilamana hakim berpendapat bahwa
si muhârib berotak cerdas dan pandai
membaca situasi serta memahami keadaan,
maka hakim boleh menjatuhkan hukuman
salib dan dibunuh sebab, bila hukumannya
dipotong tangan dan kaki secara bersilang
dimungkinkan kejahatannya belum berhenti.
Apabila hakim berpendapat bahwa
si muharib memiliki kekuatan fisik dan
tidak berotak cerdas, maka hakim boleh
menjatuhkan hukuman potong tangan dan
kaki secara bersilang. Adapun jika muharib
tidak berotak cerdas dan tidak pula memiliki
fisik kuat, maka hakim boleh menjatuhi
hukuman ta’zir dengan penjara atau lainnya
berdasar ijtihad.18
Seiring dengan perkembangan zaman,
maka problem yang mengiringinya-pun
turut berkembang, termasuk di dalamnya
perkembangan bentuk-bentuk perbuatan
pidana (kriminal). Peristiwa berdarah yang
terjadi pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998
berlajuk “penjarahan”, termuat didalamnya:
1. Pengambilan harta;
2. Perusakan dan pemusnahan harta;
3. Pemerkosaan dengan kekerasan;
17
Departemen Agama RI, Al-Hidayah: al-Qur’an Tafsir
Perkata Tajwid Kode Angka, h. 488.
18
Marzuki Rasyid, Jarimah Hirabah dalam Hukum
Pidana Islam, Jurnal “al-Jami’ah”, No. 22, Th. XV/1980, h. 62.
4. Pemerkosaan dengan pembunuhan;
5. Pembakaran dengan pembunuhan; dan
6. Kekerasan dengan pelbagai bentuk
kekejian yang menyisahkan cacat ringan
hingga berat dan kematian.
Selain peristiwa berdarah yang terjadi
ditanah air, para anak bangsa ini dikejutkan
pula oleh kekejaman saudaranya dengan
bentuk kriminal mutilasi, penculikan,
korupsi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Semua model perbuatan kriminal itu harus
diganjar sepadan dan setara dengan tingkat
kejahatan yang dilakukan.
Analisis Permasalahan
Ketentuan hukum yang ditegaskan dalam
Q.s. al-Ma’idah [5]: 33, dan diperkuat Q.s.
al-Syûrâ [42]: 40, merupakan penjelasan
rinci dan tidak patut diabaikan. Yang perlu
disikapi adalah meneladani ketentuan literal
ayat semaksimal mungkin dan berupaya
optimal mensosialisasikan kepada masyarakat
agar dapat difahami.
Untuk menteladani ketentuan ayat se­
bagai hukum Allah di muka bumi, maka
opsi-opsi atau langkah-langkah yang se­
harusnya dilakukan, adalah:
1. Melihat jenis keadaan;
2. Merumuskan dan mengklasifikasikan
jenis-jenis kejahatan;
3. Merumuskan dan menentukan bentuk
hukuman yang hendak dijatuhkan ber­
dasarkan klasifikasi jenis-jenis kejahatan;
4. Melaksanakan hukuman yang telah di­
jatuhkan, yaitu:
a.Dibunuh;
b.Disalib;
c. Dipotong tangan dan kaki secara ber­
silang (tangan kanan dan kaki kiri
dan atau tangan kiri berpasangan kaki
kanan);
d.Diasingkan atau dibuang dari ma­
syrakat.
Empat opsi di atas bersifat alternatif
berdasar jenis dan tingkat kejahatan yang
Ahmad Sudirman Abbas: Kekerasan dan Bentuk Kriminal Perspektif Hukum Islam |93
dilakukan. Hal yang patut dicermati adalah
ketegasan Q.s. al-Syûrâ [42]: 40, tentang
kadar hukuman setara dengan kejahatan
beserta tingkatannya. Pemaknaan ayat dapat
dijabarkan antara lain:
1. Membuat kerusakan dimuka bumi
berupa eksploitasi hutan, tambang, hasil
bumi dan semacamnya yang merugikan
masyarakat umum serta membahayakan
bagi hidup dan kehidupan orang banyak,
dimana nilai materi yang dirugikan
telah melebihi “nisab” maka ancaman
hukumannya adalah mati, dan atau
disalib sampai mati. Apabila nilai materi
akibat kerusakan yang ditimbulkan tidak
berlebih, tetapi telah mencapai nisab,
maka hukumannya adalah dipotong
tangan dan kaki secara bersilang.
Kemudian jika nilai kerugian belum
mencapai nisab, maka hukumannya-pun
diasingkan berupa pengusiran paksa,
penjara dan atau semisalnya;
2. Membuat kerusakan yang melukai
orang lain dapat diberi sanksi hukuman
dengan pelukaan sebagaimana luka yang
diderita korban. Dan jika kerusakan
berupa gangguan keamanan dan ke­
nyaman­an orang lain, maka sanksinya
adalah pengembalian keamanan dan
kenyamanan korban dengan cara meng­
asingkan dan atau penjara melalui
pemantauan pihak berwenang. Dimana
pelaku akan ditindak tegas dengan sanksi
mati (dibunuh), disalib, dipotong tangan
dan kaki secara bersilang yang semuanya
bersifat alternatif;
3. Membuat kerusakan yang mengakibat­
kan hilangnya kehormatan berupa
pemerkosaan yang diikuti pembunuhan,
maka hukumannya adalah:
a. Pemerkosaan diserupakan dengan pe­
rampokan benda yang tidak ternilai
harga dan ukurannya, hukumannya
potong tangan.
b. Pemerkosaan berarti perbuatan zina
yang harus diganjar “had cambuk
bagi pelaku ghairu musan (belum
menikah), dan hukumannya rajam
bagi yang telah menikah atau pernah
menikah.
c. Pembunuhan, yaitu tindakan me­
langgar hukum dan atau melawan
hukum yang mengakibatkan hilangnya
nyawa orang lain. Perbuatan ini harus
diganjar dengan hukuman mati
sebagaimana yang dialami korban.
Tiga bentuk hukuman seperti yang
dijelaskan di atas tidak bersifat alternatif yang
berarti pilihan, tetapi ketiganya merupakan
satu kesatuan dengan tertib urutan. Apabila
urutan pertama telah dijalani pelaku, maka
urutan berikutnya segera pula dilakukan dan
begitu seterusnya.
Penutup
Pada mulanya, penerapan hukuman mem­
beri kesan “saklek” kaku dan kejam. Akan
tetapi, hikmah dibalik ketegasan itu akan
berdampak positif bagi umat manusia
secara keseluruhan pada sisi lain, pihak
korban memperoleh keadilan penuh dan
melegakan serta kepuasan lahir batin yang
mententramkan.
Kesan “kejam” umumnya dilihat dari
mayoritas masyarakat yang belum pernah
mengalami nasib menjadi korban, sehingga
berpandangan seperti itu. Apabila sebuah
keluarga, kelompok atau semisalnya pernah
mengalami keadaan buruk secara otomatis
akan menuntut balas seukuran penderitaan
yang diterima. Bahkan setiap korban ber­
kecendrungan memberikan hukuman ber­
lebih atau mungkin berlipat.
Hukuman adalah penderitaan, karena
itu penderitaan harus seimbang dengan
perbuatan dan pengelompokan jenis-jenis
kejahatan beserta sanksinya. Hal ini di­
maksud agar mempermudah hakim menentu­
kan pilihan keputusan hukum. Meskipun
demikian, masih dimungkinkan bagi para
hakim membuat pilihan berdasarkan situasi,
kondisi, dan perubahan masa.
94| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013
Pustaka Acuan
Ma’luf, Luis, Munjid fi al-Lughah, Bayrût:
Dâr al-Masyriq, 1986.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Pelbagai
Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985.
Sinamora, R., Fakta dan Saksi (Korban
Pemerkosaan Etnik Tionghoa 13-14 Mei
1998), Harian Suara, Oktober 1998.
Departemen Agama RI, Al-Hidâyah: Alquran
Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka,
Banten: Kalim, t.t.
Ghazâli, al-, al-Mustasyfâ fî ‘Ilmi al-Ushûl,
Bayrût: Dâr al-Fikr, 1999.
Anis, Ibrâhîm, et, al-Mu’jam al-Washit,
Juz. I, Mishr: Dâr al-Ma’ârif, 1982
M./1392 H.
Bukhâri, al-, Kasyf al-Iqna’, Juz. VII, Bayrût:
Dâr al-Fikr, t.t
Mukarram, al-, Abû Fadhl Jamaluddin
Muhammad, Lisan al-‘Arab, Jil. XIII,
Bayrût: Dâr al-Sadr, t.t.
Ibn Abidin, Hasyiyah Rad al-Mukhtar Syarh
Tanwir al-Abshar, Juz. IV, Mishr: Dâr
al-Fikr, 1979
‘Audah, ‘Abd al-Qadir, al-Tasyrî’ al-Jina’i alIslāmī al-Muqāran, Juz. II, al-Qâhiroh:
Dār al-Turats, t.t
Muzanni, Mukhtashar al-Muzanni, Juz. VIII,
Mishr: Dâr al-Fikr, t.t.
Rasyid, Marzuki, Jarimah Hirabah dalam
Hukum Pidana Islam, Jurnal “alJami’ah”, No. 22, Th. XV/1980.
Download