KEKERASAN DAN BENTUK KRIMINAL PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Ahmad Sudirman Abbas Fakultas Syariah Sekolah Tinggi Islam (STAI) al-Azis Az-Zaytun Jl. Gantar, Mekarjaya, Haurgelis, Indramayu, Indonesia E-mail: [email protected] Abstract: Violence and Other Crimes in Islamic Law Perspective. All religions principally teach and call on the values of fraternity (brotherhood), equation (equility) and fairness (justice). Violence committed by a group of man essentially is the way to fulfill material needs through shortcuts that cannot be justified. Stealing looting, robbery and rape are forms of violence that in the perspective of Islamic law will be subject to strict punishment. At first, the penalties would be considered rigid and cruel. However, the wisdom behind that firmness will positively impact the society as a whole. On the other hand, it will give a full sense of justice and relief for the victims. Keywords: ahkam al-jinayah, al-maslahah, hirabah Abstrak: Kekerasan dan Bentuk Kriminal Lain Perspektif Hukum Islam. Semua agama pada dasarnya mengajak dan menyeru kepada nilai-nilai persaudaraan (brotherhood), persamaan (equility) dan keadilan (justice). Kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok manusia hakekatnya adalah tuntutan kebutuhan materi melalui jalan pintas dan tidak patut dibenarkan. Pencurian, penjarahan, perampokan dan pemerkosaan merupakan bentuk-bentuk kekerasan yang dalam perspektif hukum Islam akan dikenakan sanksi tegas. Pada mulanya, penerapan hukuman memberi kesan “saklek” kaku dan kejam. Akan tetapi, hikmah dibalik ketegasan itu akan berdampak positif bagi masyarakat secara keseluruhan. Di sisi lain hal tersebut juga akan memberikan rasa keadilan penuh dan me­ legakan bagi pihak korban. Kata kunci: ahkâm al-jinâyah, al-maslahah, hirâbah Pendahuluan Mempercayai adanya Tuhan pencipta alam, dengan segenap yang ada tabi’at dasar bagi manusia yang terdapat bersama adanya tubuh (raga kasar) manusia. Atau paling tidak, kepercayaan tersebut telah mengambil tempat dalam diri manusia. Manusia mempunyai sifat mempercayai Allah dengan beberapa bukti, antara lain melalui pengalaman ketika manyaksikan bentangan alam luas, hamparan bumi dan gugusan bintang-bintang. Kesaksian pengalaman ini menggelitik hati nurani manusia mempertanyakan siapakah pencipta dan pengaturnya? Lalu pelbagai jawaban muncul secara variasi dan berbeda-beda yang menyebabkan munculnya perbedaan paham dalam beragama. “Beragama” menurut bahasa Arab di­ sebut ( ),1 dan menurut istilah dapat berarti kecenderungan fitrah manusia untuk mempercayai adanya kekuatan spiritual dan bersifat supranatural di atas kekuatan yang ada. Agama diterjemahkan oleh sebagian ahli 1 Luis Ma’luf, Munjid fi al-Lughah, (Bayrût: Dâr alMasyriq, 1986), h. 231. 87 88| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 bahasa dengan “a” berarti tidak dan “gama” berarti pergi (bahasa sangsekerta). Artinya tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun,2 dalam arti aturan yang musti atau harus diikuti oleh setiap generasi. Dengan demikian, predikat-predikat agama memiliki karakteristik mulia yang menyeru manusia kepada tatanan hidup mapan, tenteram dalam suasana kedamaian. Manusia tersusun dari dua unsur yaitu “jasmani” yang bersifat materi dan “rohani” dengan sifat immateri. Kebutuhan keduanya sangatlah “antagonis” (berlawanan), karena jasmani mempunyai kecenderungan hawa nafsu kejahatan sedang rohani cenderung kepada kesucian. Dalam kapasitas kejasmanian yang dipengaruhi oleh hawa dunia materi, maka lahirlah pelbagai fenomena yang seluruhnya berorientasi kepada nilai-nilai materi yang bersifat dominan. Kekerasan yang dilakukan oleh se­ kelompok manusia hakekatnya adalah tuntutan kebutuhan materi melalui jalan pintas dan tidak patut dibenarkan. Sebagai salah satu contoh kongkrit peristiwa kekerasan terjadi di Indonesia pada tahun 1998, tepatnya 1314 Mei. Tragedi berdarah tersebut menuai banyak pendapat dari pelbagai pihak. Untuk menelusuri pandangan yang dianggap paling mewakili, maka prinsip-prinsip Islam perlu dikaji tentang masalah ini. Sikap Islam terhadap Budaya Kekerasan Bertolak dari latar belakang peristiwa ber­ sejarah sekaligus tragedi berdarah yang ditandai runtuhnya rezim orde baru, per­ soalan-persoalan bermunculan secara ber­ samaan, bidang ekonomi, politik, sosial dan moral. Pada peristiwa itu, menjelaskan pula persoalan hancurnya infrastruktur ekonomi yang dimiliki warga keturunan, dan ada pula perilaku amoral terhadap wanita keturunan.3 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Pelbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), h. 9. 3 R. Sinamora, Fakta dan Saksi (Korban Pemerkosaan Etnik Tionghoa 13-14 Mei 1998), Harian Suara, Oktober 1998, h. 8-9. 2 Inisial paten atas peristiwa tersebut selain perilaku amoral adalah “penjarahan”. Penjarahan terambil dari akar kata “jarah” dengan awalan “pe” dan akhiran “an”. Dalam tema keindonesiaan sejalan peristiwa itu, berarti perampasan secara paksa terhadap sesuatu yang tidak dapat dibenarkan oleh undang-undang terlebih syariah Islam ter­ masuk agama-agama lain. Penjarahan perspektif pidana Islam (ahkâm al-jinâyah), didefinisikan sebagai bentuk “pencurian”, “perampokan” dan “pembunuhan”. Tiga jenis bentuk kriminal tersebut sangat erat kaitannya dengan kata “jarah” (penjarahan) dan sesuai dengan moment tragedi berdarah yang pernah terjadi di Indonesia pada bulan Mei tahun 1998. Peristiwa saat itu benar-benar dipenuhi warna kekerasan fisik dan sangat rentan kepada hilangnya nyawa tanpa alasan. Dinyatakan oleh tiga serangkai4 dalam kitab al-Dîn al-Islâmi, bahwa semua agama mengajak dan menyeru kepada nilai-nilai persaudaraan (brotherhood), persamaan (equility) dan keadilan (justice). Berdasarkan dengan konsep al-Musâwah (equility) Sjadzali, berpendapat bahwa al-musâwah dalam perspektif Islam lebih menekankan kesempatan dan tidak menghendaki pemerataan hasil tanpa kerja sebagaimana kaum sosialis.5 Dalam hal kebebasan beragama, ajaran Islam menentukan dua ketegasan, yaitu: 1.Kaum dzimmi tidak berhak didakwahi; 2. Tidak diperbolehkan berganti agama (murtad). Agama adalah fitrah yang anti kebodoh­ an dan anti kemiskinan (melalui pendaya­ gunaan zakat).6 Kebebasan beragama dalam Islam dijelaskan dalam Q.s. al-Kâfirûn Tiga serangkai yang dimaksud adalah Syaikh Hasan Mansur, Syaikh ‘Abd Wahhab Khairuddin, dan Syaikh Musthâfa al-Nawir. 5 Munawir Sjadzali, Makalah disampaikan dalam Seminar Tata Negara dalam Islam, Jakarta 25 Nopember 1987. 6 Munawir Sjadzali, Makalah disampaikan dalam Seminar Tata Negara dalam Islam. 4 Ahmad Sudirman Abbas: Kekerasan dan Bentuk Kriminal Perspektif Hukum Islam |89 [109]: 6, sebagai berikut: Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.7 Ayat di atas sejalan dan senafas dengan isi dari Piagam Madinah pasal 25, yaitu: Sesungguhnya kaum Yahudi dari Bani ‘Auf merupakan satu umat dengan kaum Mukmin. “Kaum Yahudi mempunyai agama mereka sendiri dan demikian pula bagi orang-orang mukmin”, di mana hal tersebut berlaku juga bagi sekutu-sekutu (kawan-kawan) mereka dan bagi diri mereka sendiri, kecuali terhadap yang berbuat zalim dan berbuat dosa (kesalahan), maka hal yang demikian itu akan menghancurkan diri sendiri dan keluarganya. Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal, dan secara global memuat lima pokok pikiran, yaitu: 1. Bertetangga baik; 2. Saling mengayomi; 3. Membantu yang teraniaya; 4. Konsultasi dan bertukar pikiran; dan 5. Kebebasan beragama. Lima pokok pikiran yang terkandung dalam naskah Piagam Madinah ini se­ benarnya upaya ideal untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia semuanya. Kemaslahatan di sini bukan saja terbatas pada usaha mencapai manfaat materi dan menghindari sejauh mungkin kerugian materi yang hendak menghadang. Kemaslahatan yang dikehendaki pada konteks piagam Madinah bersifat general meliputi segala aspek kehidupan, materi dan non materi. Al-Ghazâlî(w. 505 H) mengkonsepsikan al-mashlahah (kemaslahatan), sebagai berikut: 7 Departemen Agama RI, Al-Hidayah: Alquran Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka, (Banten: Kalim, t.t.), h. 604. 1. 2. 3. 4. 5. Memelihara agama; Memelihara jiwa; Memelihara akal; Memelihara nasab keturunan; dan Memelihara harta.8 Piagam Madinah tercetuskan oleh tuntutan masyarakat pada masanya dan sebagai wujud sikap ajaran Islam yang me­ miliki karakter universal. Menurut Watt, piagam Madinah merupakan realisasi dari potensi dan ide dalam Alquran, pelanggaran atas kesepakatan piagam Madinah membuat sikap Nabi Muhammad Saw. dan umat Islam berubah mengeras, sesudah terjadinya pengkhianatan serta pemberontakan tiga kelompok Yahudi, yaitu Bani Nadhir, Bani Qainuqa’, dan Bani Quraidhah. Sikap “keras” di sini, tentu masih dalam batasan seperti yang digariskan oleh alGhazali, yaitu lima pondasi pokok (dharûrah al-khams) sebagaimana telah disebutkan di atas. Lima pondasi dasar atau pokok tersebut terdapat pula pada ketentuan-ketentuan yang dimiliki semua agama samawi. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, yaitu sikap keras Nabi Muhammad mengandung sebuah tindakan tegas dalam ucapan dan tindakan. Ini berarti bahwa “keras” pada konteks tegas memiliki kon­ sekwensi hukum pasti. Berikut ini akan diuraikan ketentuan tegas hukum Islam terhadap beberapa tindakan atau perbuatan melawan hukum. A. Pencuri dan Sanksinya Menurut Islam Kata mencuri dalam bahasa Arab disebut syariqa atau al-syariqah. Kata ini didefinisikan secara etimologi dengan “mengambil se­ suatu melalui cara diam-diam”.9 Menurut pengertian syara’ atau terminologi syariah, kata syariqa atau al-syariqah didefinisikan 8 Al-Ghazâli, al-Mustasyfâ fî ‘Ilmi al-Ushûl, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1999), h. 89. 9 Ibrahim Anis, et, al-Mu’jam al-Washit, Juz. I, (Mishr: Dâr al-Ma’ârif, 1982 M./1392 H.), h. 427. 90| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 sebagai berikut: (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.12 10 Mengambil harta yang dihormati kepunyaan orang lain, dan mengeluarkannya dari tempat penyimpanan harta tersebut tanpa “syubhat” (sesuatu yang meragukan dari pengambilan itu) secara diam-diam. Definisi lain menyebutkan: 11 Pengambilan yang dilakukan oleh mukallaf yang dapat berbicara dan berpikir serta melihat sebanyak (senilai) sepuluh dirham murni atau seharga dengan itu, dengan sengaja mengeluarkan secara sembunyi-sembunyi terhadap barang atau benda yang tidak cepat rusak dari tangan pemilik yang sah di wilayah yang dilindungi tanpa “syubhat” (keraguan) dan “ta’wil” (interpretasi). Dua definisi di atas mengindikasikan unsur-unsur penting untuk dapat diberlaku­ kannya hukuman had, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.s. al-Ma’idah [5]:38 , sebagai berikut: Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potongkah tangan keduanya Al-Bukhari, Kasyf al-Iqna’, Juz. VII, (Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 129. Syubhat adalah bentuk jamak dari kata syabaha-yasybahu-syabhan wa syubhatan. Abu Fadhl Jamaluddin Muhammad al-Mukarram, Lisan al-‘Arab, Jil. XIII, (Bayrût: Dâr al-Sadr, t.t.), h. 504. Menurut istilah, syubhat berarti suatu keadaan yang dialami oleh pelaku pidana yang menyebabkan gugurnya hukuman had dan diganti dengan hukuman lain, yaitu ta’zir. Had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh Allah macam dan jumlahnya, sedang ta’zir tidak ditentukan Allah, hanya menyebutkan sejumlah hukuman melalui hakim (ijtihad) dari ringan sampai berat. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan memilih berdasar ijtihad. 11 Ibn Abidin, Hasyiyah Rad al-Mukhtar Syarh Tanwir alAbshar, Juz. IV, (Mishr: Dâr al-Fikr, 1979), h. 82. 10 Unsur-unsur penting untuk dapat di­ berlakukannya hukum potong tangan berdasarkan definisi adalah: 1. Pelaku mukallaf; 2. Harta yang dicuri adalah harta yang dihormati (kepemilikan yang sah); 3. Hak milik seseorang; 4. Mencapai nisab (sepuluh dirham atau seperempat dinar); 5. Diambil dari tempat penyimpanan; 6. Dilakukan secara sembunyi-sembunyi; dan 7. Tidak ada keraguan (syubhat). Hukum potong tangan terhadap per­ buatan mencuri diberlakukan bagi yang telah terpenuhi segala unsurnya tidak menunggu taubat dari sang pelaku. Taubat dan atau tidak bertaubatnya pelaku pencurian tidak menghalangi dan tidak ada hubung­annya dengan pelaksanaan hukuman. Ayat berikut­ nya menegaskan bahwa perbuatan mencuri termasuk kezaliman yang akan diampuni oleh Allah melalui taubat. Sebagai­mana Allah berfirman dalam Q.s. al-Ma’idah [5]: 39, sebagai berikut: Tetapi barang siapa bertaubat setelah melaku­ kan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.13 B. Perampokan, Pemberontakan dan Sanksinya Padanan kata perampokan adalah hirâbah atau qas’u al-thâriq. Menurut istilah syara’ 12 Departemen Agama RI, Al-Hidayah: al-Qur’an Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka, h. 114. 13 Departemen Agama RI, Al-Hidayah: al-Qur’an Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka, h. 115. Ahmad Sudirman Abbas: Kekerasan dan Bentuk Kriminal Perspektif Hukum Islam |91 didefinisikan sebagai berikut: 14 Keluar untuk mengambil harta secara paksa dengan jalan menakut-nakuti (mengancam) atau mengambil harta dan bahkan membunuh. Menurut Abd al-Qadir ‘Audah, kata hirabah semakna dengan qas’u al-thâriq dan atau syirqah al-kubrâ. Penggunaan makna syirqah kepada qas’u al-thâriq bersifat majaz, karena syirqah berarti mengambil harta secara sembunyi-sembunyi, sedang qas’u al-thâriq mengambil harta dengan cara terang-terangan disertai tindakan kekerasan.15 Suatu perbuatan atau tindakan dapat dinilai sebagai hirâbah apabila: 1. Pelaku keluar dengan sengaja untuk mengambil harta melalui cara kekerasan dan menghalalkannya kemudian meng­ ancam keamanan perjalanan, sekalipun belum mengambil harta dan membunuh; 2. Pelakunya keluar dengan sengaja untuk mengambil harta secara paksa melalui tindakan kekerasan dan ia mendapatkan harta tersebut tanpa membunuh sang pemilik harta; 3. Pelakunya keluar dengan sengaja untuk mengambil harta dan melakukan pem­ bunuhan dan belum mendapatkan harta; 4. Pelaku keluar dengan sengaja untuk mengambil harta melalui tindakan kekerasan dan mendapatkan harta dengan cara membunuh pemiliknya. Empat unsur tersebut dianggap tindakan atau perbuatan hirâbah karena di dalamnya terdapat kekerasan. Tindakan pidana dalam ketentuan Alquran patut diberikan sanksi, sebagaimana firman Allah dalam Q.s. alMa’idah [5]: 33, sebagai berikut: Abd al-Qadir ‘Audah, al-Tasyrǐ’ al-Jina’i al-Islāmī alMuqāran, Juz. II, (al-Qâhirah: Dār al-Turats, t.t.), h. 638-639. Lihat juga. Muzanni, Mukhtashar al-Muzanni, Juz. VIII, (Mishr: Dǎr al-Fikr, t.t.) h. 256. 15 ‘Abd al-Qadir ‘Audah, al-Tasyrǐ’ al-Jina’i, h. 638-639. Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia, dan di akherat mendapat azab yang besar.16 Di dalam literal ayat terdapat kata “au”, yang ditafsirkan oleh para ahli fikih dengan implikasi ketentuan hukum beragam. Secara umum mereka bersepakat harus memilih atau dipilih salah satu dari empat ketentuan yang ada dan kemudian berkembang dua pendapat, yaitu: Pertama: Ibn Abbas, Abû Hanifah, alSyabi’i, dan Ahmad ibn Hanbal, menentukan: 1. Apabila hanya membunuh, maka hukum­ an­nya dibunuh; 2. Apabila membunuh dan mengambil harta, maka disalib sampai mati; 3. Apabila mengambil harta tanpa mem­ bunuh, maka hukumannya dipotong kaki dan tangannya secara bersilang; 4. Apabila hanya menakut-nakuti saja tanpa mengambil harta, maka hukumannya dibuang dari kediamannya. Kadar kejahatan akan diganjar dengan hukuman yang sepadan, sebagaimana di­ sebut­ kan dalam Q.s. al-Syûrâ [42]: 40, sebagai berikut: 14 16 Departemen Agama RI, Al-Hidayah: al-Qur’an Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka, h. 114. 92| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang yang berbuat zalim.17 Kedua: golongan yang berpendapat bahwa para hakim dibolehkan menentukan pilihan hukuman terhadap muhârib dengan cara dibunuh, atau disalib atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilang atau dipenjara. Semua pilihan diserahkan kepada para hakim berdasarkan ijtihad demi kemaslahatan orang banyak. Bilamana hakim berpendapat bahwa si muhârib berotak cerdas dan pandai membaca situasi serta memahami keadaan, maka hakim boleh menjatuhkan hukuman salib dan dibunuh sebab, bila hukumannya dipotong tangan dan kaki secara bersilang dimungkinkan kejahatannya belum berhenti. Apabila hakim berpendapat bahwa si muharib memiliki kekuatan fisik dan tidak berotak cerdas, maka hakim boleh menjatuhkan hukuman potong tangan dan kaki secara bersilang. Adapun jika muharib tidak berotak cerdas dan tidak pula memiliki fisik kuat, maka hakim boleh menjatuhi hukuman ta’zir dengan penjara atau lainnya berdasar ijtihad.18 Seiring dengan perkembangan zaman, maka problem yang mengiringinya-pun turut berkembang, termasuk di dalamnya perkembangan bentuk-bentuk perbuatan pidana (kriminal). Peristiwa berdarah yang terjadi pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998 berlajuk “penjarahan”, termuat didalamnya: 1. Pengambilan harta; 2. Perusakan dan pemusnahan harta; 3. Pemerkosaan dengan kekerasan; 17 Departemen Agama RI, Al-Hidayah: al-Qur’an Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka, h. 488. 18 Marzuki Rasyid, Jarimah Hirabah dalam Hukum Pidana Islam, Jurnal “al-Jami’ah”, No. 22, Th. XV/1980, h. 62. 4. Pemerkosaan dengan pembunuhan; 5. Pembakaran dengan pembunuhan; dan 6. Kekerasan dengan pelbagai bentuk kekejian yang menyisahkan cacat ringan hingga berat dan kematian. Selain peristiwa berdarah yang terjadi ditanah air, para anak bangsa ini dikejutkan pula oleh kekejaman saudaranya dengan bentuk kriminal mutilasi, penculikan, korupsi dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua model perbuatan kriminal itu harus diganjar sepadan dan setara dengan tingkat kejahatan yang dilakukan. Analisis Permasalahan Ketentuan hukum yang ditegaskan dalam Q.s. al-Ma’idah [5]: 33, dan diperkuat Q.s. al-Syûrâ [42]: 40, merupakan penjelasan rinci dan tidak patut diabaikan. Yang perlu disikapi adalah meneladani ketentuan literal ayat semaksimal mungkin dan berupaya optimal mensosialisasikan kepada masyarakat agar dapat difahami. Untuk menteladani ketentuan ayat se­ bagai hukum Allah di muka bumi, maka opsi-opsi atau langkah-langkah yang se­ harusnya dilakukan, adalah: 1. Melihat jenis keadaan; 2. Merumuskan dan mengklasifikasikan jenis-jenis kejahatan; 3. Merumuskan dan menentukan bentuk hukuman yang hendak dijatuhkan ber­ dasarkan klasifikasi jenis-jenis kejahatan; 4. Melaksanakan hukuman yang telah di­ jatuhkan, yaitu: a.Dibunuh; b.Disalib; c. Dipotong tangan dan kaki secara ber­ silang (tangan kanan dan kaki kiri dan atau tangan kiri berpasangan kaki kanan); d.Diasingkan atau dibuang dari ma­ syrakat. Empat opsi di atas bersifat alternatif berdasar jenis dan tingkat kejahatan yang Ahmad Sudirman Abbas: Kekerasan dan Bentuk Kriminal Perspektif Hukum Islam |93 dilakukan. Hal yang patut dicermati adalah ketegasan Q.s. al-Syûrâ [42]: 40, tentang kadar hukuman setara dengan kejahatan beserta tingkatannya. Pemaknaan ayat dapat dijabarkan antara lain: 1. Membuat kerusakan dimuka bumi berupa eksploitasi hutan, tambang, hasil bumi dan semacamnya yang merugikan masyarakat umum serta membahayakan bagi hidup dan kehidupan orang banyak, dimana nilai materi yang dirugikan telah melebihi “nisab” maka ancaman hukumannya adalah mati, dan atau disalib sampai mati. Apabila nilai materi akibat kerusakan yang ditimbulkan tidak berlebih, tetapi telah mencapai nisab, maka hukumannya adalah dipotong tangan dan kaki secara bersilang. Kemudian jika nilai kerugian belum mencapai nisab, maka hukumannya-pun diasingkan berupa pengusiran paksa, penjara dan atau semisalnya; 2. Membuat kerusakan yang melukai orang lain dapat diberi sanksi hukuman dengan pelukaan sebagaimana luka yang diderita korban. Dan jika kerusakan berupa gangguan keamanan dan ke­ nyaman­an orang lain, maka sanksinya adalah pengembalian keamanan dan kenyamanan korban dengan cara meng­ asingkan dan atau penjara melalui pemantauan pihak berwenang. Dimana pelaku akan ditindak tegas dengan sanksi mati (dibunuh), disalib, dipotong tangan dan kaki secara bersilang yang semuanya bersifat alternatif; 3. Membuat kerusakan yang mengakibat­ kan hilangnya kehormatan berupa pemerkosaan yang diikuti pembunuhan, maka hukumannya adalah: a. Pemerkosaan diserupakan dengan pe­ rampokan benda yang tidak ternilai harga dan ukurannya, hukumannya potong tangan. b. Pemerkosaan berarti perbuatan zina yang harus diganjar “had cambuk bagi pelaku ghairu musan (belum menikah), dan hukumannya rajam bagi yang telah menikah atau pernah menikah. c. Pembunuhan, yaitu tindakan me­ langgar hukum dan atau melawan hukum yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Perbuatan ini harus diganjar dengan hukuman mati sebagaimana yang dialami korban. Tiga bentuk hukuman seperti yang dijelaskan di atas tidak bersifat alternatif yang berarti pilihan, tetapi ketiganya merupakan satu kesatuan dengan tertib urutan. Apabila urutan pertama telah dijalani pelaku, maka urutan berikutnya segera pula dilakukan dan begitu seterusnya. Penutup Pada mulanya, penerapan hukuman mem­ beri kesan “saklek” kaku dan kejam. Akan tetapi, hikmah dibalik ketegasan itu akan berdampak positif bagi umat manusia secara keseluruhan pada sisi lain, pihak korban memperoleh keadilan penuh dan melegakan serta kepuasan lahir batin yang mententramkan. Kesan “kejam” umumnya dilihat dari mayoritas masyarakat yang belum pernah mengalami nasib menjadi korban, sehingga berpandangan seperti itu. Apabila sebuah keluarga, kelompok atau semisalnya pernah mengalami keadaan buruk secara otomatis akan menuntut balas seukuran penderitaan yang diterima. Bahkan setiap korban ber­ kecendrungan memberikan hukuman ber­ lebih atau mungkin berlipat. Hukuman adalah penderitaan, karena itu penderitaan harus seimbang dengan perbuatan dan pengelompokan jenis-jenis kejahatan beserta sanksinya. Hal ini di­ maksud agar mempermudah hakim menentu­ kan pilihan keputusan hukum. Meskipun demikian, masih dimungkinkan bagi para hakim membuat pilihan berdasarkan situasi, kondisi, dan perubahan masa. 94| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 1 Januari 2013 Pustaka Acuan Ma’luf, Luis, Munjid fi al-Lughah, Bayrût: Dâr al-Masyriq, 1986. Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Pelbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985. Sinamora, R., Fakta dan Saksi (Korban Pemerkosaan Etnik Tionghoa 13-14 Mei 1998), Harian Suara, Oktober 1998. Departemen Agama RI, Al-Hidâyah: Alquran Tafsir Perkata Tajwid Kode Angka, Banten: Kalim, t.t. Ghazâli, al-, al-Mustasyfâ fî ‘Ilmi al-Ushûl, Bayrût: Dâr al-Fikr, 1999. Anis, Ibrâhîm, et, al-Mu’jam al-Washit, Juz. I, Mishr: Dâr al-Ma’ârif, 1982 M./1392 H. Bukhâri, al-, Kasyf al-Iqna’, Juz. VII, Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t Mukarram, al-, Abû Fadhl Jamaluddin Muhammad, Lisan al-‘Arab, Jil. XIII, Bayrût: Dâr al-Sadr, t.t. Ibn Abidin, Hasyiyah Rad al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, Juz. IV, Mishr: Dâr al-Fikr, 1979 ‘Audah, ‘Abd al-Qadir, al-Tasyrî’ al-Jina’i alIslāmī al-Muqāran, Juz. II, al-Qâhiroh: Dār al-Turats, t.t Muzanni, Mukhtashar al-Muzanni, Juz. VIII, Mishr: Dâr al-Fikr, t.t. Rasyid, Marzuki, Jarimah Hirabah dalam Hukum Pidana Islam, Jurnal “alJami’ah”, No. 22, Th. XV/1980.