Document

advertisement
Definisi Sebuah Nilai Yang Tak Bernilai
I
“Sebenarnya, jika tak seorangpun berusaha mereduksi nilai dengan
status benda, tidak ada keraguan bahwa nilai telah dikacaukan dengan objek
material yang menutupinya,yaitu dengan penyimpan atau pengembannya….
Oleh karena itu, nilai bukan merupakan benda, atau pengalaman , juga bukan
merupakan sebuah esensi (idea pikiran), nilai adalah nilai.” (Risieri Frondizi,
Pengantar Filsafat Nilai).
Kehidupan dijalankan oleh sebuah penilaian, sesuatu menjadi objek
motivasi karena didalamnya mengandung nilai. Mustahil sebuah gerakan
terjadi dalam kehendak kalau yang dikerjakan tanpa nilai. Objek material
belakangan sering dijadikan sumber nilai. Orang modern seolah hanya bisa
hidup dengan nilai material, dan jika tidak adalah kematian.
Yang terjadi ketika nilai hanya merepresentasikan kehidupan material,
maka yang tampil adalah kemegahan dan kekuatan semata. yang tampil adalah
keangkuhan dan kesombongan, hingga mempertuhankan diri sebagai sesuatu
yang menciptakan nilai. nilai terpuruk menjadi sebuah kebenaran super-ego,
labil,
dan
merupakan
“kekeliruan-keliruan
dimana
sebuah
subjek
mempertahankannya karena masih layak digunakan atau dibutuhkan untuk
merepresentasikan kekuatan”.
Risieri
Frondizi
dalam
tulisannya
mencoba
merombak
aksiologi
tradionalis-modernis, bahwa menurutnya nilai merupakan sesuatu yang “tak
bernilai” atau tidak nyata. Ini merupakan sebuah perlawanan kepada
pengetahuan aksiologis yang menyatakan bahwa nilai adalah kandungan sebuah
objek atau subjek, real dan pasti.
Untuk
merepresentasikan
sebuah
nilai
kebendaan
maka
perlu
penyingkapan, parahnya ketika penyingkapan nilai atas identitas kebendaan
dilakukan
yang
timbul
adalah
esensi
ide,
berarti
belum
menembus
subtansialnya. Sebagaimana kita ketahui ide merupakan produk intelektual
dan logos, yang diciptakan manusia melalui kajian akal. Berhenti disini ide
yang diproduksi dalam kreatifitas akal manusia maka nilai menyiratkan
subjektifitasnya, dengan demikian ia masih bersifat despotik secara kolektif,
ide bisa mengejawantahkan dirinya menjadi struktur super ego, yang
menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya, meski tidak
seluruhnya.
Yang kedua adalah ketika ide menjadi kesadaran kebendaan, maka
kebenaran hanya tampil sebagai kebenaran universal yang dangkal, empirik,
dan tak bermakna, dan secara tidak langsung diakibatkan dari hasil pemikiran
pihak pertama yang mengaggungkan intelektual, sebab pada dasarnya mereka
yang menganut nilai objektif meyakinkan sebuah nilai sebagai praktik, bukan
sebagai perenungan yang dihasilkan para intelektual. kebenaran bernilai
sebagai sebuah penilaian saintifik belaka, sama sebagai sebuah ukuran
panjang berat, dan matematik, sesuatu yang dilakukan sebagai sebab
keberhasilan si intelek akan berlaku pula bagi para awam.
II
Al Gazali seperti halnya Frondizi mendefinisikan nilai sebagai yang tak
bernilai secara materil. Untuk meraihnya sang pemikir harus menyingkap
unsur kebendaan terhadap nilai, namun yang diharapkan bukan hadirnya
sebuah ide penciptaan seseorang atau kebenaran universal, karena keduanya
masih diproduksi dalam esensi yang sama: material.
Dalam konsep Mutasabihat dan Muhkamat, dalam penafsiran kitab suci,
Al Gazali menyingkap kebenaran kepada dua kriteria, kebenaran yang dapat di
definisi dengan akal dan kebenaran yang hanya bisa di definisi dengan
perenungan epistemologi berikutnya yaitu hati. Hati bukan sumber kebenaran
universal, ia merupakan wadah dari inspirasi atau ilham. Sumber kebenaran
universal didapat dari epistemologi empirik (rasa). Ini di identifikasi bahwa
kebenaran selalu tampil dalam makna, sehingga apabila direpresentasi dengan
akal ia menimbulkan keraguan.
Lalu bagaimana mencari nilai yang sesungguhnya?, nilai merupakan
sumber emanasi sebuah benda sehingga ia menjadi eksis. Ia akan selalu ada
walaupun aktifitas akal merubah sebuah benda menjadi bernilai kebutuhan.
Sebuah batu yang dipahat menjadi sebuah arca akan tetap eksis sebagai
batu, meskipun batu tak dirubah menjadi arca ia akan bernilai sebagai batu.
Dus, nilai dapat didefinisikan sebagai bahan dasar kebutuhan, ia secara
fundamental akan mendukung penciptaan.
Disini kita akan sepakat dengan apa yang dibilang oleh para ahli tasawuf,
bahwa benda merupakan bayangan dari eksistensi asali yang disinari oleh
kebenaran Supra Ego.
III
Namun pada hakikatnya nilai harus tampil dalam realitas kehidupan, yang
terperi dalam kehendak kreatif manusia, supaya ia diyakini ada dalam dunia
ketiadaan. Sehingga pada zaman modern ini karena nilai didefinsikan sebagai
yang ada, manusia menuntut perubahannya: Satu pihak karena nilai seolah
hanya mengandung tradisonalisme dan tak mampu menyikapi kehidupan
modern yang semakin kompleks, pihak lain mengagungkan nilai sebagai sesuatu
esensi yang dapat menyelesaikan segala sesuatu dizaman kompleks ini.
Padahal seperti dibicarakan diatas nilai masih merupakan bahan dasar yang
sangat abstrak.
Kita seakan lupa bahwa esensi nilai membutuhkan metodologi. Nilai yang
terkandung dalam sebuah Kitab Suci perlu diferensisasi. Sebab ia tidak
membicarakan detail persoalan sains ketika dirinya berbicara persolan ilmu
pengetahuan alam, ia tidak membicarakan detail Filsafat ketika melegitimasi
refleksi akal manusia, dan ia pun tak berbicara detail mengenai pelajaran
iluminatif ketika ia berbicara pelajaran hati.
Orang modern terjebak kepada bagaimana nilai dapat langsung menjadi
sebuah solusi kehidupan, sehingga nilai begitupun direnungkan tak dapat hadir
dalam realitas sosiologis. Banyak orang yang memahami nilai-nilai religius
tetapi apabila dihadapkan kepada permasalah kehidupan ia malah memakai
sebuah cara yang melenceng dari nilai-nilai yang diyakini.
Sudah seyogyanya kita merenungkan kembali nilai sebagai yang tak
bernilai secara material, agar aplikasinya melibatkan pemikiran kita bahwa
sesuatu diciptakan oleh kehendak kreatif yang berkualitas dan bermanfaat
bagi semua, dan itu membutuhkan ketulusan, rasa ikhlas kita sebagai manusia,
banyak yang kreatif karena ingin menonjol secara fisik dihadapan insan lainya,
sehingga segala upaya dilakukan, klaim belakangan orang sebagai nabi baru
sebuah agama adalah fenomena ingin menonjol.
Terakhir, apa yang harus dikultuskan dari sebuah nilai?, ya ketiadaanya,
bukan fisiknya, kultus kita atas Rasulullah, bukan atas fisiknya tetapi
ketiadaanya yang merangkum segala sikap baiknya, jiwanya. Sebab bila yang
dikultuskan fisiknya maka syariah atau hukum adab hanya menjadi model gaya
hidup semata bukan implikasi kejiwaanya. Jika yang dikultuskan fisiknya maka
yang timbul adalah pemikiran bahwa Rasul sebagai manusia juga memiliki
kekurangan, sehingga Sunnahnya dianggap tak sesuai lagi dengan kehidupan
zaman ini. Sunnah adalah metodologi dasar kehidupan kita yang merefleksikan
Kitab Suci sebagai Rule Of Ways. Untuk menghadirkanya dimasa kini ia harus
dideferensiasikan sebagai motede yang lebih baru lagi.
Saya kira konsep wilayah (Oleh Abu Najib Suhrawardi) dalam dunia
Islam sudah menjelaskan secara detail pula masalah ini, seorang wali masa
kini harus lebih baik ilmu kontemporernya ketimbang seorang Rasul dimasa
lalu, dalam upaya menegakan nilai kebenaran yang abadi di masa lalu,
sekarang, dan masa depan.
Hu Allahu Alam bisawab
***
Bandung, 5 November 2007
M Taufan
Tarekat Kontemporer
[email protected]
Download