15 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1.
Kajian Pustaka
2.1.1. Aktiva
Pada dasarnya aktiva merupakan pembagian dari modal yang dapat
terlihat pada neraca sebuah perusahaan. Sisi kiri suatu neraca merupakan
pembagian modal menurut bentuknya yang disebut dengan modal aktif. Jadi dapat
dikatakan bahwa “modal aktif ialah modal yang tertera di sebelah debit dari
neraca, yang menggambarkan bentuk-bentuk dalam mana seluruh dana yang
diperoleh perusahaan ditanamkan.” (Riyanto, 1995: 19). Menurut Wild et.al.
(2005:23) “aktiva merupakan sisi kiri dari persamaan akuntansi yang terkait
dengan sumber daya yang dikendalikan oleh perusahaan.” Sedangkan aset
menurut PSAK No. 18 paragraf 08 adalah “sumber daya yang: (1) dikendalikan
oleh perusahaan sebagai akibat peristiwa masa lampau; dan (2) bagi perusahaan
diharapkan akan menghasilkan manfaat ekonomis di masa depan.”
Sumber
daya
ini
merupakan
investasi
yang
diharapkan
untuk
menghasilkan laba di masa depan melalui aktivitas operasi. Aktiva tidak hanya
terbatas pada kekayaan perusahaan yang berwujud saja, tetapi juga termasuk
pengeluaran-pengeluaran yang belum dialokasikan atau biaya yang masih harus
dialokasikan pada penghasilan yang akan datang serta aktiva tidak berwujud
lainnya misalnya goodwill, hak paten, hak menerbitkan. Berdasarkan cara dan
15
16
lamanya perputaran, aktiva atau kekayaan perusahaan dapat dibedakan antara
aktiva lancar dan aktiva tidak lancar.
2.1.1.1 Aktiva Lancar
Aktiva lancar adalah “aktiva yang habis dalam satu kali berputar dalam
proses produksi, dan proses perputarannya adalah dalam jangka waktu
yangpendek (umumnya kurang dari satu tahun).” (Riyanto, 1995:19). Menurut
Wild et.al. (2005:24) “aktiva lancar (current asset) diharapkan untuk terkonversi
menjadi kas atau digunakan pada operasi dalam waktu satu tahun atau dalam satu
siklus operasi, yang mana yang lebih panjang.” Aktiva lancar menurut Munawir
(2007: 14) adalah
uang kas dan aktiva lainnya yang dapat diharapkan untuk dicairkan atau
ditukarkan menjadi uang tunai, dijual atau dikonsumer dalam periode
berikutnya (paling lama satu tahun atau dalam perputaran kegiatan perusahaan
yang normal).
Pos-pos aktiva lancar dalam neraca didasarkan pada urutan likuiditasnya,
sehingga penyajiannya dimulai dari aktiva yang paling likuid sampai dengan
aktiva yang paling tidak likuid.
Menurut Munawir (2007:14-16), jenis aktiva termasuk didalam kelompok
aktiva lancar antara lain:
a. Kas, atau uang tunai yang dapat digunakan untuk membiayai operasi
perusahaan. Termasuk dalam pengertian kas adalah cek yang diterima dari
para langganan dan simpanan di Bank dalam bentuk giro atau demand
deposit, yaitu simpanan di Bank yang dapat diambil kembali dengan
menggunakan cek atau bilyet setiap saat diperlukan oleh perusahaan.
b. Investasi jangka pendek (surat-surat berharga atau marketable securities),
yaitu investasi yang sifatnya sementara (jangka pendek) dengan maksud
untuk memanfaatkan uang kas yang untuk sementara belum dibutuhkan
dalam operasi.
17
c. Piutang wesel, adalah tagihan perusahaan kepada pihak lain yang
dinyatakan dalam suatu wesel atau perjanjian yang diatur dalam undangundang.
d. Piutang dagang, adalah tagihan kepada pihak lain (kreditor atau langganan)
sebagai akibat adanya penjualan barang dagangan secara kredit.
e. Persediaan. Untuk perusahaan perdagangan, yang dimaksud persediaan
adalah semua barang yang diperdagangkan yang sampai tanggal neraca
masih di gudang/ belum laku dijual. Sedangkan untuk perusahaan
manufaktur, persediaan meliputi persediaan bahan mentah, persediaan
barang dalam proses, dan persediaan barang jadi.
f. Piutang penghasilan atau penghasilan yang masih harus diterima, adalah
penghasilan yang sudah menjadi hak perusahaan karena perusahaan telah
memberikan jasa/prestasinya, tetapi belum menerima pembayarannya
sehingga merupakan tagihan.
g. Persekot atau biaya dibayar dimuka, adalah pengeluaran untuk memperoleh
jasa/prestasi dari pihak lain, tetapi pengeluaran itu belum menjadi biaya,
atau jasa/prestasi dari pihak lain itu belum dinikmati oleh perusahaan pada
periode ini melainkan periode selanjutnya.
2.1.1.2 Aktiva Tidak Lancar
“Aktiva tidak lancar adalah aktiva yang memiliki umur kegunaan relatif
permanen atau jangka panjang (mempunyai umur ekonomis lebih dari satu tahun
atau tidak akan habis dalam satu kali putaran operasi perusahaan).” (Munawir,
2007:16). Riyanto (1995: 19) menyebutkan bahwa “aktiva tetap termasuk dalam
aktiva tidak lancar, ialah aktiva-aktiva yang tahan lama yang tidak atau secara
berangsur-angsur habis turut serta dalam proses produksi.”
Munawir (2007:16) membagi aktiva tidak lancar menjadi lima bagian,
antara lain:
a. Investasi jangka panjang. Bagi perusahaan yang cukup besar dalam arti
mempunyai kekayaan atau modal yang cukup, bahkan sering berlebih,
maka perusahaan dapat menanamkan modalnya pada investasi di luar usaha
pokoknya. Investasi ini dapat berupa saham dari perusahaan lain, aktiva
tetap yang tidak ada hubungannya dengan usaha perusahaan, atau dalam
bentuk dana yang sudah ada tujuannya tertentu.
b. Aktiva tetap, yaitu kekayaan yang dimiliki perusahaan yang fisiknya
nampak (konkrit). Syarat lain untuk dapat diklasifikasikan sebagai aktiva
18
tetap selain aktiva itu dimiliki oleh perusahaan, juga harus digunakan dalam
operasi yang bersifat permanen (aktiva tersebut mempunyai umur kegunaan
jangka panjang atau tidak akan habis dipakai dalam satu periode kegiatan
perusahaan). Yang dimaksud dalam aktiva tetap meliputi: (1) Tanah yang
di atasnya didirikan bangunan atau digunakan operasi seperti lapangan,
tempat parkir, dan lain sebagainya. (2) Bangunan, baik bangunan kantor,
toko, maupun bangunan pabrik. (3) Mesin. (4) Inventaris. (5) Kendaraan
dan perlengkapan atau alat lainnya.
c. Aktiva tetap tidak berwujud (intangible fixed assets), adalah kekayaan
perusahaan yang secara fisik tidak nampak, tetapi merupakan suatu hak
yang mempunyai nilai dan dimiliki oleh perusahaan untuk digunakan dalam
kegiatan perusahaan. Yang termasuk ke dalam intangible fixed assets
antara lain: hak cipta, merk dagang, biaya pendirian (organization cost),
lisensi, goodwill, dan sebagainya.
d. Beban yang ditangguhkan (deferred charges), adalah menunjukkan adanya
pengeluaran atau biaya yang mempunyai manfaat jangka panjang (lebih
dari satu tahun), atau suatu pengeluaran yang akan dibebankan juga pada
periode-periode berikutnya. Aktiva ini harus dihapuskan dalam jangka
waktu tertentu sesuai dengan umur kegunaannya. Yang termasuk ke dalam
kelompok ini antara lain: biaya pemasaran, diskonto obligasi, biaya
pembukaan perusahaan, biaya penelitian, dan sebagainya.
e. Aktiva lain-lain, adalah menunjukkan kekayaan atau aktiva perusahaan
yang tidak dapat atau belum dapat dimasukkan dalam klasifikasi-klasifikasi
sebelumnya, misalnya gedung dalam proses, tanah dalam penyelesaian,
piutang jangka panjang.
Wild et.al (2005:227) menyebutkan “aktiva tetap merupakan aktiva
berwujud tak lancar yang digunakan dalam proses manufaktur, penjualan, atau
jasa untuk menghasilkan pendapatan dan arus kas selama lebih dari satu periode.”
Karenanya, aktiva ini memiliki periode manfaat yang diharapkan (masa manfaat)
yang meliputi lebih dari satu periode. Aktiva ini diperoleh untuk digunakan dalam
aktivitas operasi dan bukan untuk dijual pada aktivitas usaha biasa.
19
2.1.1.3 Pengakuan dan Perlakuan Aktiva Tidak Lancar
a. Investasi Jangka Panjang
Investasi jangka panjang menurut Hery dibagi menjadi “investasi dalam
available for sale securities dan held-to-maturity securities.” (Hery, 2009: 172).
Investasi jangka panjang juga dapat berupa penyertaan atau kepemilikan saham
biasa dalam perusahaan afiliasi atau anak perusahaan (investasi dalam equity
method securities). Investasi dalam available for sale securities akan disajikan di
neraca sebesar nilai pasar wajar. Sedangkan untuk investasi dalam held-tomaturity securities akan disajikan di dalam neraca sebesar biaya historis atau
harga perolehan yang telah diamortisasi, bukan sebesar nilai pasar wajarnya.
Biaya historis tersebut dihitung sebagai hasil penjumlahan antara harga perolehan
investasi dengan diskonto yang telah diamortisasi. Perubahan harga pasar pada
held-to-maturity securities tidak diakui, oleh karena itu sekuritas yang dimiliki
hingga jatuh tempo tidak dilaporkan dalam neraca sebesar nilai pasar wajarnya.
Sedangkan untuk investasi dalam trading securities dan available for sale
securities, tidak ada amortisasi yang dilakukan atas diskonto atau premium yang
timbul. Hal tersebut disebabkan oleh investasi yang dilakukan tidak untuk dimiliki
hingga jatuh tempo.
Perolehan saham biasa perusahaan lain dilakukan untuk mengendalikan
atau mempengaruhi kegiatan operasi investee. Perlakuan saham biasa tersebut
menggunakan metode ekuitas (equity method) bukan dengan metode harga
perolehan (cost method). “Investasi dalam equity method securities dilaporkan
dalam neraca sebesar biaya historis atau harga perolehan setelah disesuaikan
20
dengan perubahan yang terjadi dalam aktiva bersih investee.” (Hery, 2009: 174).
Saldo akun investasi dalam saham akan bertambah untuk memperlihatkan bagian
proporsional atas laba bersih yang dilaporkan investee atau berkurang apabila
investee melaporkan adanya kerugian. Pada saat dividen tunai diterima oleh
investor, maka akun investasi akan berkurang. Dengan equity method, saldo akun
investasi akan bertambah bila aktiva bersih investee bertambah, dan sebaliknya.
Aktiva bersih investee tersebut bertambah dengan adanya laba bersih yang
dihasilkan dan akan berkurang apabila dengan adanya rugi bersih yang dilaporkan
atau dividen tunai yang dibayarkan.
Perlakuan akuntansi untuk mencatat investasi saham biasa di dalam
pembukuan investor yaitu berdasarkan besarnya pengaruh yang dimiliki oleh
investor atas aktivitas yang dijalankan investee. Apabila besarnya kepemilikan
investor di perusahaan investee kurang dari 20% dan investor tidak memiliki
pengaruh terhadap perusahaan investee, maka investor mencatat dalam
pembukuan dengan metode harga pokok (cost method). Namun apabila
kepemilikan di atas 50%, berarti investor mengendalikan perusahaan investee, dan
investor mencatat dalam pembukuannya dengan metode ekuitas dan prosedur
konsolidasi.
b. Aktiva Tetap
Aktiva tetap dalam neraca dilaporkan berdasarkan urutan masa
manfaatnya yang paling lama, yaitu dimulai dari tanah, bangunan, dan seterusnya.
Aktiva tetap harus dicatat sebesar biaya perolehannya atau historical cost, karena
21
merupakan dasar untuk akuntansi aktiva tersebut pada periode-periode
selanjutnya. Biaya perolehan (cost) berdasarkan PSAK No. 16 par. 06 adalah
Jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan atau nilai wajar dari imbalan
lain yang diserahkan untuk memperoleh suatu aset pada saat perolehan atau
konstruksi atau, jika dapat diterapkan, jumlah yang diatribusikan ke aset pada
saat pertama kali diakui sesuai persyaratan tertentu dalam PSAK lain. (IAI,
2007: 16.2)
Berdasarkan PSAK No. 16 par 07 mengenai pengakuan biaya perolehan
aset tetap, “Biaya perolehan aset tetap harus diakui sebagai aset jika dan hanya
jika : (a) besar kemungkinan manfaat ekonomis di masa depan akan mengalir ke
entitas; dan (b) biaya perolehan aset dapat diukur secara andal.” (IAI, 2007: 16.2).
Sedangkan komponen biaya perolehan itu sendiri berdasarkan PSAK No. 16 par
15 meliputi:
a) harga perolehannya, termasuk bea impor dan pajak pembelian yang tidak
boleh dikreditkan setelah dikurangi diskon pembelian dan potonganpotongan lain;
b) biaya-biaya yang dapat diatribusikan secara langsung untuk membawa aset
ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai
dengan keinginan dan maksud manajemen;
c) estimasi awal biaya pembongkaran dan pemindahan aset tetap dan restorasi
lokasi aset. Kewajiban biaya yang timbul ketika aset tersebut diperoleh atau
karena entitas menggunakan aset tersebut selama periode tertentu untuk
tujuan selain untuk menghasilkan persediaan. (IAI, 2007: 16.4).
Setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap dicatat sebesar biaya
perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan rugi penurunan nilai aset.
Penyusutan merupakan “alokasi sistematis jumlah yang dapat disusutkan dari
suatu aset selama umur manfaatnya.” (IAI, 2007: 16.2). Tujuan dari penyusutan
adalah mencapai prinsip pengaitan (matching principle), yaitu mengaitkan
pendapatan pada satu periode akuntansi dengan biaya dari barang dan jasa yang
22
dikonsumsi untuk menghasilkan pendapatan tersebut. Penyusutan pada setiap
periode diakui sebagai beban untuk periode bersangkutan. Beban penyusutan
(depreciation expense) adalah “biaya perolehan aktiva tetap yang diakui sudah
dikonsumsi selama periode akuntansi/fiskal.” (Henry, 2000: 394). Sedangkan
akumulasi penyusutan adalah bagian dari biaya perolehan aktiva tetap yang
dialokasikan ke penyusutan sejak aktiva tersebut diperoleh. Akumulasi
penyusutan merupakan rekening kontra aktiva, yang mengimbangi rekening
aktiva dengan rekening yang berhubungan.
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi komputasi penyusutan: biaya
perolehan aktiva tetap; masa manfaatnya, yaitu periode waktu aset diharapkan
akan digunakan oleh entitas atau jumlah produksi yang diharapkan akan diperoleh
dari aset tersebut; dan nilai sisa/residu, yaitu jumlah yang diperkirakan akan
diperoleh entitas saat ini pada akhir masa manfaat suatu aktiva dikurangi dengan
taksiran biaya pelepasan. Metode yang digunakan dalam penyusutan antara lain:
metode garis lurus (mengalokasikan beban penyusutan yang sama besarnya
selama masa manfaat aktiva); metode satuan produksi (mengalokasikan
penyusutan ke periode-periode waktu berdasarkan keluaran aktiva); metode saldo
menurun (metode penyusutan dipercepat yang penyusutannya dihitung dengan
mengalikan nilai buku aktiva pada awal periode dengan dua kali tarif garis lurus);
dan metode jumlah angka tahun (mengalokasikan penyusutan dengan mengalikan
biaya perolehan aktiva yang tersusutkan yaitu biaya perolehan-nilai residu dengan
tarif penyusutan).
23
“Jumlah tercatat aset dihentikan pengakuannya pada saat dilepaskan; atau
tidak ada manfaat ekonomis masa depan yang diharapkan dari penggunaan atau
pelepasannya.” (IAI, 2007: 16.11 par 69). Aktiva tetap bisa saja tidak lagi berguna
bagi perusahaan karena beberapa sebab, misalnya karena kejadian yang tidak
diduga sebelumnya seperti bencana alam, pencurian, atau kerusakan fatal.
Ketidakbergunaan aktiva membuat perusahaan mengambil sikap untuk melepas
aktiva tersebut. Aktiva lama bisa saja dijual, ditukar dengan aktiva lain, atau
dibesituakan. Sedangkan pencatatan penyusutan harus tetap dilakukan hingga
tanggal pelepasan aktiva. Pencatatan aktiva tetap harus tetap berada dalam buku
besar menskipun aktiva tersebut telah disusutkan secara penuh guna menjaga
pertanggungjawaban atas aktiva yang telah digunakan tersebut. Laba atau rugi
yang timbul dari penghentian pengakuan suatu aset tetap harus ditentukan sebesar
perbedaan antara jumlah neto hasil pelepasan dan jumlah tercatat atas aset
tersebut. Sedangkan piutang atas pelepasan aset tetap diakui pada saat awal
sebesar nilai wajarnya.
c. Aktiva Tetap Tidak Berwujud
Aktiva tetap tidak berwujud dimasukkan ke dalam catatan akuntansi pada
biaya perolehan. “Biaya perolehan tersebut meliputi berbagai macam pengeluaran
yang diperlukan untuk menempatkan aktiva tidak berwujud tersebut ke dalam
kapasitas memberikan jasa.” (Henry, 2000: 320). Semua biaya dikapitalisasi
karena membantu memberikan manfaat ekonomi untuk periode-periode di masa
mendatang. Aktiva tetap tidak berwujud dibagi ke dalam dua kategori. Pertama
24
adalah aktiva tidak berwujud yang teridentifikasi secara spesifik, yaitu aktiva
tidak berwujud yang biaya-biayanya dapat teridentifikasi dengan mudah sebagai
bagian dari biaya perolehan aset dan masa manfaatnya ditentukan, misalnya hak
paten, merk dagang, waralaba, dan hak cipta intelektual. Kedua yaitu aktiva tidak
berwujud yang tidak teridentifikasi secara spesifik, adalah aktiva tetap tidak
berwujud yang hak atau masa manfaatnya tidak dapat ditentukan dan biaya
perolehannya inheren dalam kelangsungan usaha, contohnya yaitu goodwill.
“Aset tidak berwujud diakui jika dan hanya jika: (a) kemungkinan besar
perusahaan akan memperoleh manfaat ekonomis masa depan dari aset tersebut;
dan biaya perolehan aset dapat diukur secara andal.” (IAI, 2007: 19.5 par. 20).
Pengakuan aset tidak berwujud sebagai beban dilakukan pada saat terjadinya,
kecuali pos tersebut diperoleh melalui suatu penggabungan usaha yang berbentuk
akuisisi dan tidak dapat diakui sebagai aset tidak berwujud.
Penyusutan untuk aktiva tidak berwujud disebut dengan amortisasi.
Amortisasi adalah “lokasi sistematik biaya perolehan aktiva tanwujud selama
masa manfaatnya.” (Henry, 2000: 323). Amortisasi dilakukan dengan mendebit
rekening beban amortisasi dan mengkredit rekening aktiva tidak berwujud terkait.
Pada dasarnya proses penyusutan aktiva tetap tidak berwujud sama dengan
penyusutan aktiva tetap berwujud. Standar Akuntansi Keuangan (SAK)
menetapkan metode amortisasi aktiva tetap tidak berwujud adalah dengan metode
garis lurus (straight line method), kecuali jika ada metode lain yang lebih sesuai
dengan kondisi perusahan. Periode amortisasi tidak boleh melebihi 20 tahun
berdasarkan pertimbangan bahwa dalam 20 tahun sudah banyak perkembangan
25
yang terjadi sehingga untuk tenggang waktu selebihnya aktiva tetap tidak
berwujud diprediksi tidak lagi memiliki manfaat ekonomi.
Suatu aset tidak berwujud tidak boleh lagi diakui dan harus dihilangkan
dari neraca pada saat aset terseut dilepas atau ketika tidak ada lagi manfaat masa
depan yang diharapkan dari penggunaannya dan pelepasan yang telah
dilakukannya. Keuntungan atau kerugian dari pelepasan atau penghentian aset
tidak berwujud itu ditentukan dengan menghitung selisih antara jumlah
penerimaan bersih dari pelepasan aset dan nilai tercatat aset tersebut, serta diakui
sebagai keuntungan atau kerugian dalam laporan laba rugi.
2.1.1.4 Aktiva Dalam Neraca Perusahaan
Pos-pos yang berada dalam neraca umumnya diklasifikasikan sebagai pos
lancar (jangka pendek) dan pos tidak lancar (jangka panjang). Untuk aktiva yang
tergolong lancar, urutan penyajiannya di neraca haruslah berdasarkan pada urutan
tingkat likuiditas. Kas merupakan aktiva yang paling likuid (lancar), lalu diikuti
dengan investasi jangka pendek, piutang, persediaan, pendapatan yang masih
harus diterima, dan biaya dibayar dimuka.
Setelah menyusun aktiva lancar, dilanjutkan dengan penyusunan aktiva
tidak lancar. Aktiva tidak lancar yang dilaporkan dalam neraca sebesar harga
perolehan (biaya historis). Namun banyak juga aktiva jangka panjang yang
dilaporkan sebesar nilai pasar wajarnya.
Namun
setelah
diberlakukannya
penyusunan
laporan
keuangan
berdasarkan IFRS di Indonesia, urutan penyajian aktiva dalam neraca sedikit
26
berbeda. Penyajian aktiva di neraca tidak lagi berdasarkan urutan tingkat
likuiditas yang paling likuid (lancar), melainkan sebaliknya yaitu disusun dari
aktiva yang paling tidak likuid, mulai dari aktiva tidak lancar (tanah, mesin
bangunan, lisensi, goodwill, dan lain sebagainya) lalu diikuti dengan aktiva lancar
(piutang penghasilan, persediaan, piutang dagang, piutang wesel, investasi jangka
pendek, hingga yang terakhir adalah kas)
2.1.1.5 Struktur Aktiva
“Struktur aktiva merupakan keseimbangan atau perbandingan baik dalam
arti absolut maupun dalam arti relatif antara aktiva lancar dengan aktiva tetap.”
(Irawati, 2006: 8). Sama halnya dengan yang disebutkan oleh Riyanto (2001: 22)
mengenai struktur aktiva, yaitu disebut pula struktur kekayaan ialah “perimbangan
atau perbandingan baik dalam arti absolut maupun dalam arti relatif antara aktiva
lancar dengan aktiva tetap.” Sedangkan Husnan (2000: 7) menyebutkan bahwa
“keputusan investasi akan tercermin pada sisi aktiva perusahaan, dengan demikian
akan mempengaruhi struktur kekayaan perusahaan, yaitu perbandingan antara
aktiva lancar dengan aktiva tetap.”
Aktiva yang harus disediakan untuk beroperasinya perusahaan adalah
golongan aktiva tetap. Perusahaan-perusahaan industri diasumsikan akan
memperoleh hasil yang lebih besar dari aktiva tetap dibandingkan dengan aktiva
lancar, sehingga dapat dikatakan bahwa aktiva tetap menggambarkan aktiva yang
benar-benar dapat memberikan hasil kepada perusahaan. Oleh karena itu besarnya
aktiva tetap yang dapat dilihat dari perbandingannya antara aktiva tetap dengan
27
total aktiva menggambarkan seberapa besar perusahaan industri memiliki aktiva
tetap dalam operasional perusahaan.
Jumlah aktiva tetap yang ada dalam perusahaan paling tidak dipengaruhi
oleh sifat atau jenis dari proses produksi yang dilaksanakan. Input utama dalam
proses produksi selain bahan mentah dan tenaga kerja adalah biaya-biaya produksi
tidak langsung yang sebagian besar biaya overhead ini tergantung pada jumlah
mesin dan peralatan yang akan digunakan. Ada perusahaan yang memiliki aktiva
tetap dalam jumlah yang relatif besar daripada tenaga kerja yang diperlukan
dalam proses produksi, sedangkan perusahaan lainnya memiliki keadaan
sebaliknya.
Perusahaan yang memiliki aktiva tetap relatif jauh lebih besar daripada
jumlah tenaga kerjanya disebut capital intensive, sedangkan perusahaan yang
mempekerjakan jauh lebih banyak tenaga kerja daripada mesin-mesin disebut
perusahaan labour intensive. (Syamsudin, 2007: 408).
“Semakin besar ratio aktiva tetap atas total aktiva, maka semakin capital
intensive keadaan suatu perusahaan.” (Syamsudin, 2007: 409). Rumus dari
struktur aktiva dapat digambarkan dari perbandingan antara aktiva tetap dengan
total aktiva yang dimiliki perusahaan seperti seperti di bawah ini:
Syamsudin, 2007:9
Kebanyakan teori struktur modal menyatakan bahwa jenis aktiva yang
dimiliki oleh suatu jenis perusahaan mempengaruhi pemilihan struktur modal.
Riyanto (2001: 298) menyatakan bahwa
28
Perusahaan industri yang sebagian besar modalnya tertanam dalam aktiva
tetap (fixed assets), akan mengutamakan pemenuhan kebutuhan modalnya dari
modal yang permanen, yaitu modal sendiri, sedangkan modal asing sifatnya
adalah sebagai pelengkap.
Hal ini dapat dihubungkan dengan adanya struktur finansial konservatif
yang horisontal yang menyatakan bahwa besarnya modal sendiri hendaknya
paling sedikit dapat menutup jumlah aktiva tetap plus aktiva besi yang sifatnya
permanen, dan perusahaan yang sebagian besar dari aktivanya terdiri atas aktiva
lancar akan mengutamakan kebutuhan dananya dengan utang jangka pendek.
Seperti yang telah disebutkan oleh Riyanto, Harnanto (1991: 303)
menyebutkan pula bahwa:
Modal sendiri merupakan sumber dana perusahaan yang paling tepat
diinvestasikan pada aktiva tetap – yang bersifat permanen dan pada investasiinvestasi yang menghadapi risiko kerugian/kegagalan yang relatif besar.
Karena suatu kerugian/kegagalan investasi tersebut dengan alasan apapun,
tidak akan membahayakan kontinuitas atau kelangsungan hidup perusahaan.
Berbeda halnya dengan Weston dan Copeland (1997: 175) yang
menyatakan bahwa:
Perusahaan yang memiliki aktiva tetap jangka panjang lebih besar, maka
perusahaan tersebut akan menggunakan utang hipotik jangka panjang, dengan
harapan aktiva tersebut dapat digunakan untuk menutupi tagihannya.
Sebaliknya, perusahaan yang sebagian besar aktiva yang dimilikinya berupa
piutang dan persediaan barang yang nilainya sangat tergantung pada
kelanggengan tingkat profitabilitas, perusahaan tidak begitu tergantung pada
pembiayaan utang jangka panjang dan lebih tergantung pada pembiayaan
jangka pendek.
.
Aktiva memberikan perlindungan (proteksi) kepada para kreditur, karena
kemampuannya untuk menghasilkan laba dan dapat direalisasikan/dijual, sehingga
merupakan sumber dana untuk membayar kembali utang beserta bunganya. Selain
29
itu aktiva pun merupakan suatu alat dasar bagi perusahaan untuk digunakan
sebagai jaminan memperoleh pinjaman.
Dari pemaparan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
pemilihan jenis aktiva akan mempengaruhi jenis struktur modal dalam suatu
perusahaan.
2.1.2
Profitabilitas/Rentabilitas
Profitabilitas adalah “kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam
hubungannya dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri.” (Sartono,
2008: 120). Profitabilitas yang sering disebut juga dengan rentabilitas merupakan
“jumlah relatif laba yang dihasilkan dari sejumlah investasi/modal yang
ditanamkan dalam suatu usaha.” (Harnanto, 1991: 354). Profitabilitas merupakan
kriteria penilaian yang sangat luas dan dianggap paling valid untuk dipakai
sebagai alat pengukur mengenai hasil pelaksanaan operasi. Dikatakan paling valid
karena memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Merupakan alat pembanding pada berbagai alternatif investasi/penanaman
modal sesuai dengan tingkat risikonya maisng-masing. Semakin besar
risiko suatu penanaman modal, maka dituntut rentabilitas yang semakin
tinggi pula.
b. Mampu menggambarkan tingkat laba yang dihasilkan menurut jumlah
modal yang ditanamkan/investasinya, karena rentabilitas dinyatakan dalam
angka relatif (%). (Harnanto, 1992: 354).
Di dalam akuntansi digunakan prosedur penentuan laba/rugi periodik,
dengan didasarkan pada pengaruh transaksi–transaksi yang sesungguhnya terjadi
mengakibatkan timbulnya pendapatan dan biaya–biaya sebagai elemen yang
30
membentuk laba/rugi tersebut dalam suatu periode. Penggunaan profitabilitas
sebagai kriteria penilaian terhadap hasil pelaksanaan operasi perusahaan
menitikberatkan pada aspek ekonomisnya. Tujuan pokok penggunaan rentabilitas
sebagai kriteria penilaian hasil operasi perusahaan menurut Harnanto, (1992: 353)
antara lain dapat dipakai sebagai:
a. Suatu indikator tentang efektivitas manajemen. Tinggi rendahnya
rentabilitas yang dihasilkan perusahaan tergantung pada kapabilitas
manajemen dan merupakan salah satu faktor yang menarik perhatian analis,
karena mampu menggambarkan kriteria yang sangat diperlukan untuk
menilai suksesnya perusahaan.
b. Suatu alat untuk membuat proyeksi laba perusahaan. Rentabilitas
digunakan sebagai alat bantu membuat proyeksi laba, karena rentabilitas
menggambarkan korelasi antara tingkat laba dan jumlah modal yang
ditanamkan.
c. Suatu alat pengendali bagi manajemen. Rentabilitas digunakan sebagai alat
untuk penyusunan rencana (target), budget, koordinasi, evaluasi hasil
pelaksanaan operasi perusahaan, dan dasar pengambilan keputusan
penanaman modal.
Cara untuk menilai profitabilitas suatu perusahaan adalah bermacammacam tergantung pada laba dan aktiva atau modal mana yang akan
diperbandingkan satu dengan yang lainnya. Apakah yang akan diperbandingkan
itu laba yang berasal dari operasi atau usaha, atau laba neto sesudah pajak dengan
aktiva operasi, atau laba neto sesudah pajak dibandingkan dengan keseluruhan
aktiva “tangible” ataukah yang akan diperbandingkan itu laba neto sesudah pajak
dengan jumlah modal sendiri. Tidak mengherankan apabila beberapa perusahaan
berbeda dalam menghitung profitabilitas perusahaannya, namun yang terpenting
adalah profitabilitas tersebut digunakan secara konsisten untuk mengukur efisiensi
penggunaan modal bagi perusahaan tersebut.
31
Rasio profitabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur efisiensi
penggunaan aktiva perusahaan, atau merupakan kemampuan suatu perusahaan
untuk menghasilkan laba selama periode tertentu dan untuk melihat kemampuan
perusahaan dalam beroperasi secara efisien. Rasio yang umumnya digunakan
dalam penilaian profitabilitas atau sering pula disebut dengan rentabilitas dibagi
menjadi dua cara: profitabilitas ekonomi dan profitabilitas modal sendiri.
2.1.2.1 Profitabilitas Ekonomi
“Profitabilitas ekonomi adalah perbandingan antara laba usaha dengan
modal sendiri dan modal asing yang dipergunakan untuk menghasilkan laba
tersebut dan dinyatakan dalam persentase.” (Riyanto, 2001: 36). Karena
pengertian
profitabilitas
sering
dipergunakan
untuk
mengukur
efisiensi
penggunaan modal di dalam suatu perusahaan, maka profitabilitas ekonomi sering
pula dimaksudkan sebagai kemampuan suatu perusahaan dengan seluruh modal
yang bekerja di dalamnya untuk menghasilkan laba. “Modal yang diperhitungkan
untuk menghitung profitabilitas ekonomi hanyalah modal yang bekerja di dalam
perusahaan (operating capital/ assets).” (Riyanto, 2001: 36). Dengan demikian,
maka modal yang ditanamkan dalam perusahaan lain atau modal yang ditanamkan
dalam efek tidak diperhitungkan dalam profitabilitas ekonomi. Selain itu laba
yang diperhitungkan untuk menghitung profitabilitas ekonomi hanyalah laba yang
berasal dari operasi perusahaan yang disebut laba usaha (net operating income).
“Profitabilitas
ekonomi
digunakan
untuk
mengukur
kemampuan
perusahaan memperoleh laba dari operasi perusahaan.” (Husnan, 2004:72).
aktiva
32
Profitabilitas ekonomi dapat dirumuskan sebagai berikut:
Sartono, 2008: 124
Bagi perusahaan pada umumnya masalah profitabilitas adalah masalah
yang lebih penting dari hanya sekedar masalah laba, karena laba yang besar saja
belum tentu merupakan ukuran bahwa perusahaan itu telah bekerja dengan
efisien. Efisiensi baru akan diketahui dengan membandingkan laba yang diperoleh
itu dengan kekayaan atau modal yang menghasilkan laba tersebut atau dengan
kata lain menghitung profitabilitasnya. Dengan demikian, “yang harus
diperhatikan oleh perusahaan adalah bukan hanya bagaimana usaha untuk
memperoleh laba, tetapi yang penting ialah usaha untuk mempertinggi
profitabilitasnya.” (Riyanto, 2001:37).
2.1.2.2 Profitabilitas Modal Sendiri
Rasio profitabilitas kedua adalah profitabilitas modal sendiri. Profitabilitas
modal sendiri yang sering juga disebut dengan profitabilitas usaha adalah
“perbandingan antara jumlah laba yang tersedia bagi pemilik modal sendiri di satu
pihak dengan jumlah modal sendiri yang menghasilkan laba tersebut di lain
pihak.” (Riyanto, 2001: 44). Profitabilitas modal sendiri dapat dikatakan sebagai
kemampuan suatu perusahaan dengan modal sendiri yang bekerja di dalamnya
untuk menghasilkan keuntungan atau mengukur seberapa banyak keuntungan
yang menjadi hak pemilik modal sendiri.
33
Laba yang diperhitungkan untuk menghitung profitabilitas modal sendiri
adalah laba usaha setelah dikurangi dengan bunga modal asing dan pajak
perseroan atau earning after tax (EAT), sedangkan modal yang diperhitungkan
adalah modal sendiri yang bekerja dalam perusahaan. Profitabilitas modal sendiri
dapat dirumuskan sebagai berikut:
Sartono, 2008: 124
Penambahan antara modal asing atau modal sendiri tentunya akan
menimbulkan pengaruh terhadap profitabilitas perusahaan. Apabila ditinjau dari
kepentingan modal sendiri atau pemilik perusahaan, penambahan modal asing
hanya dibenarkan apabila penambahan tersebut memiliki efek finansial yang
menguntungkan terhadap modal sendiri. Penambahan modal asing hanya akan
memberikan efek yang menguntungkan terhadap modal sendiri jika rate of return
dari tambahan modal asing tersebut lebih besar dari biaya modalnya atau
bunganya. Atau dengan kata lain, tambahan modal asing itu hanya dibenarkan
apabila profitabilitas modal sendiri dengan tambahan modal asing lebih besar dari
profitabilitas modal sendiri dengan tambahan modal sendiri. Sebaliknya,
penambahan modal asing akan memberikan efek finansial yang merugikan
terhadap modal sendiri apabila rate of return dari tambahan modal asing tersebut
lebih kecil dari bunganya. Atau dengan kata lain, tambahan modal asing tidak
dibenarkan apabila profitabilitas modal sendiri dengan tambahan modal asing
lebih kecil daripada profitabilitas modal sendiri dengan tambahan modal sendiri.
34
Penelitian mengenai profitabilitas yang dilakukan oleh Hasa Nurrohim
menyebutkan bahwa profitabilitas berpengaruh pada struktur modal secara parsial
dengan pengaruh yang paling dominan, Ali Kesuma menyimpulkan bahwa
profitabilitas memiliki pengaruh yang berlawanan arah dengan struktur modal
sebesar 4,1%, sedangkan Bram Hadianto menyebutkan bahwa profitabilitas
berpengaruh positif terhadap struktur modal pada sektor telekomunikasi yang
tercatat di Bursa Efek Jakarta.
2.1.3
Modal
Modal merupakan hak atau bagian yang dimiliki oleh pemilik perusahaan
yang ditunjukkan dalam pos modal (modal saham), surplus, dan laba yang
ditahan. Atau kelebihan nilai aktiva yang dimiliki oleh perusahaan terhadap
seluruh hutang-hutangnya. (Munawir, 2007: 19).
Prof. Polak (dalam Riyanto, 1995: 18) menyebutkan bahwa ‘modal ialah
sebagai kekuasaan untuk mengunakan barang-barang modal, terdapat di neraca
sebelah kredit’. Barang-barang modal itu sendiri yaitu barang-barang yang ada
dalam perusahaan yang belum digunakan, jadi yang terdapat di sebelah debit.
Sedangkan Prof. Bakker (dalam Riyanto, 1995: 18) mengartikan modal adalah
‘baik yang berupa barang-barang kongkret yang masih ada dalam rumah tangga
perusahaan yang terdapat di neraca sebelah debit, maupun berupa daya beli atau
nilai tukar dari barang-barang itu yang tercatat di sebelah kredit.’
Jadi modal dapat terlihat di dalam neraca sebuah perusahaan. Modal yang
tercatat di sebelah debit termasuk ke dalam modal kongkret, yaitu modal yang
menunjukkan bentuk modal tersebut yang disebut pula modal aktif, sedangkan
35
modal yang tercatat di sebelah kredit termasuk ke dalam modal abstrak, yaitu
modal yang menunjukkan darimana modal tersebut berasal, yang disebut juga
modal pasif.
“Modal pasif itu dapat dibedakan antara modal sendiri dan modal asing,
atau modal badan usaha dan modal kreditur/utang.” (Riyanto, 1995: 21).
2.1.3.1 Modal Sendiri
Modal sendiri menurut Harnanto (1991: 302) yaitu “merupakan modal
dalam suatu perusahaan yang dipertaruhkan untuk segala risiko, baik risiko usaha
maupun risiko kerugian-kerugian lainnya.” Riyanto (2001: 240) menyebutkan
bahwa “modal sendiri pada dasarnya adalah modal yang berasal dari pemilik
perusahaan yang tertanam di dalam perusahaan dalam waktu yang tidak tentu
lamanya.” Modal sendiri dapat berasal dari sumber intern yang bentuknya adalah
keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan, juga berasal dari sumber ekstern
yaitu pemilik perusahaan dalam bentuk saham biasa dan saham preferen.
Harnanto (1991: 302) menyatakan bahwa karakteristik utama modal sendiri
terletak pada:
a. Tidak adanya jaminan atau keharusan untuk pembayarannya kembali dalam
setiap keadaan.
b. Tidak adanya kepastian tentang jangka waktu pembayaran kembali modal
yang disetor.
Modal sendiri yang bersifat permanen akan tetap tertanam dalam
perusahaan dan dapat diperhitungkan pada setiap saat untuk memelihara
kelangsungan hidup dan melindungi perusahaan dari risiko kebangkrutan. “Modal
sendiri merupakan sumber dana perusahaan yang paling tepat diinvestasikan pada
36
aktiva tetap yang bersifat permanen dan pada investasi yang menghadapi risiko
kerugian yang relatif besar.” (Harnanto, 1991: 303). Modal yang berasal dari
pemilik perusahaan berbagai macam bentuknya menurut bentuk hukum dari
masing-masing perusahaan. Komponen dari modal sendiri tersebut terdiri dari:
1) Laba Ditahan
Keuntungan yang diperoleh oleh suatu perusahaan dapat sebagian
dibayarkan sebagai dividen dan sebagian ditahan oleh perusahaan. Keuntungan
yang sudah memiliki tujuan akan masuk ke dalam cadangan perusahaan,
sedangkan apabila keuntungan yang belum memiliki tujuan akan menjadi
keuntungan yang ditahan (retained earning). Adanya keuntungan akan
memperbesar retained earning yang berarti akan memperbesar modal sendiri.
Sebaliknya, adanya kerugian maka akan memperkecil retaned earning yang
berarti memperkecil modal sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
adanya saldo laba akan memperbesar modal sendiri, dan adanya saldo kerugian
akan memperkecil modal sendiri.
Modal sendiri merupakan komponen yang tetap akan berada di dalam
struktur pendanaan perusahaan. Komponen dari modal sendiri merupakan modal
yang dipertaruhkan oleh perusahaan dalam menghadapi bebagai risiko yang akan
dihadapi oleh perusahaan. Modal sendiri tidak memiliki jaminan harus membayar
dalam kurun waktu tertentu, oleh karena itu perusahaan yang memiliki modal
sendiri lebih besar daripada modal asing merupakan perusahaan yang siap untuk
menghadapi tantangan bisnis tanpa terlalu memperhitungkan risiko membayar
modal asing yang tertanam di perusahaan.
37
2) Modal Saham
Saham adalah tanda bukti penyertaan dalam suatu Perseroan Terbatas.
“Saham menunjukkan bukti kepemilikan yang diterbitkan oleh perusahaan.”
(Husnan, 2000:276). Bagi perusahaan yang bersangkutan, yang diterima dari
hasil penjualan sahamnya akan tetap tertanam dalam perusahaan tersebut selama
hidupnya, meskipun pemegang saham itu sendiri bukan merupakan penanaman
yang permanen, karena setiap waktu pemegang saham dapat menjual sahamnya.
Modal saham tersebut terdiri dari saham biasa (common stock) dan saham
preferen (preferred stock).
Sartono (2008: 330) menyatakan bahwa:
Pemegang saham biasa merupakan pemilik perusahaan yang sebenarnya.
Pendapatan yang diterima oleh pemegang saham biasa merupakan kelebihan
pendapatan atas biaya-biaya atau laba setelah dikurangi pajak dan dividen atas
saham preferen.
Pada pemegang saham biasa, dividen akan dibagikan pada akhir tahun
pembukuan dan hanya apabila perusahaan mendapatkan keuntungan, namun
apabila perusahaan tidak mendapatkan keuntungan atau mendapatkan kerugian,
maka pemegang saham tidak mendapatkan dividen. Mengenai pembagian dividen
ada ketentuan hukumnya, yaitu bahwa “suatu perusahaan yang menderita
kerugian, selama kerugian itu belum dapat ditutup, maka perusahaan tidak boleh
membayarkan dividen.” (Riyanto, 2001: 241). Saham biasa merupakan sumber
dana yang permanen, karena akan tertanam dalam perusahaan untuk jangka waktu
38
yang tidak terbatas selama perusahaan masih melakukan kegiatan operasi. Fungsi
dari saham biasa di dalam perusahaan menurut Riyanto (2001: 241) antara lain:
a. Sebagai alat untuk membelanjai perusahaan dan terutama sebagai alat
untuk memenuhi kebutuhan akan modal permanen.
b. Sebagai alat untuk menentukan pembagian laba.
c. Sebagai alat untuk mengadakan fungsi atau kombinasi perusahaanperusahaan.
d. Sebagai alat untuk menguasai perusahaan.
Secara teoritis, hak-hak pemegang saham biasa dalam Sartono (2008: 331)
adalah:
a. Hak suara dalam rapat umum pemegang saham. Dengan hak tersebut,
pemegang saham memiliki hak untuk memilih direksi untuk
mengendalikan perusahaan.
b. Hak memperoleh pembayaran dividen per lembar saham yang dimiliki.
c. Hak untuk membeli tambahan saham baru yang dikeluarkan perusahaan
secara proporsional.
d. Hak atas aktiva setelah pembayaran hak yang lebih senior dalam likuidasi.
Sedangkan saham preferen merupakan sumber modal jangka panjang
perusahaan yang posisinya berada diantara utang jangka panjang dengan saham
biasa. “Saham preferen sebenarnya merupakan kombinasi antara bentuk utang
dengan modal sendiri.” (Husnan, 2001: 280). Pemegang saham preferen
mempunyai prioritas dalam pembayaran dividen. Pemegang saham preferen
berhak atas dividen yang tetap besarnya, berapapun keuntungan perusahaan.
Dalam peristiwa likuidasi (pembubaran perusahaan), pemegang saham preferen
memiliki hak setelah kreditor namun sebelum pemegang saham biasa.
Saham preferen memberikan pendapatan yang relatif konstan, di samping
itu biaya modal saham preferen cenderung lebih tinggi dari biaya utang, karena
39
risiko yang dihadapi pemegang saham preferen lebih besar dari risiko pemegang
obligasi.
Saham preferen memiliki ciri tertentu, diantaranya pertama, saham preferen
selalu dijual dengan harga pari. Kedua, saham preferen memberikan hak suara
kepada pemegang saham preferen untuk memilih manajer perusahaan jika
pada waktu tertentu perusahaan tidak membagikan dividen. Dengan demikian
manajer terpaksa untuk berusaha selalu membayar dividen kepada pemegang
saham preferen. (Sartono, 2008: 330).
Terdapat dua jenis saham preferen, yaitu saham preferen yang komulatif
dan tidak komulatif. Sartono (2008: 329) menyebutkan bahwa “saham preferen
yang komulatif selalu diperhitungkan kewajiban membayar dividen sebelum
membayar dividen kepada pemegang saham biasa.” Dengan demikian pemegang
saham preferen komulatif apabila tidak menerima dividen selama beberapa waktu
karena besarnya laba tidak memungkinkan atau karena ada kerugian, maka
pemegang saham ini dapat menuntut dividen-dividen yang tidak dibayarkan pada
waktu yang telah lampau di kemudian hari.
2.1.3.2 Modal Asing
“Modal asing adalah modal yang berasal dari luar perusahaan yang
sifatnya sementara bekerja dalam perusahaan, dan bagi perusahaan modal tersebut
merupakan utang yang pada saatnya harus dibayarkan kembali.” (Riyanto, 1995:
227). Pada dasarnya modal asing/utang dalam perusahaan dibagi menjadi dua
bagian, yaitu utang jangka pendek (yaitu kurang dari satu tahun) dan utang jangka
panjang (yaitu lebih dari satu tahun).
Suatu kewajiban diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka pendek jika: (a)
diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal operasi
perusahaan atau (b) jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan dari
40
tanggal neraca. Semua kewajiban lainnya harus diklasifikasikan sebagai
kewajiban jangka panjang. (IAI, 2007: 1.8 par 44).
Utang jangka pendek dapat diklasifikasikan serupa dengan aktiva lancar.
Beberapa utang jangka pendek seperti utang dagang dan biaya pegawai serta
biaya operasional lainnya akan membentuk sebagian modal kerja yang digunakan
dalam siklus operasi normal perusahaan. Sedangkan utang berbunga jangka
panjang yang digunakan untuk membiayai modal kerja dan tidak jatuh tempo
dalam waktu dua belas bulan termasuk ke dalam utang jangka panjang. Standar
Akuntansi Keuangan menetapkan bahwa utang yang akan jatuh tempo pada siklus
akuntansi periode berikutnya diharapkan dapat dibiayai kembali atau diperpanjang
kembali sehingga tidak diharapkan adanya penggunaan modal kerja lancar. Utang
seperti itu merupakan pembiayaan jangka panjang yang tergolong ke dalam utang
jangka panjang.
Namun dalam pembelanjaan, utang dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1) Utang jangka pendek / short term debt
Utang jangka pendek merupakan modal asing yang jangka waktunya
paling lama satu tahun yang sebagian besar terdiri dari kredit perdagangan, yaitu
kredit yang diperlukan untuk dapat menyelenggarakan usahanya. Husnan (1995:
228-231) mengelompokkan utang jangka pendek tersebut ke dalam empat bagian,
yaitu:
a. Kredit rekening koran, adalah kredit yang diberikan oleh bank kepada
perusahaan dengan batas plafond tertentu dengan pengambilan oleh
perusahaan tidak dilakukan sekaligus melainkan sesuai dengan
kebutuhannya, dan bunga yang dibayar hanya untuk jumlah yang diambil
saja, meskipun sebenarnya perusahaan meminjamnya lebih dari jumlah
tersebut.
41
b. Kredit dari penjual, merupakan kredit perniagaan (trade-credit) dan kredit
ini terjadi apabila penjualan produk dilakukan secara kredit.
c. Kredit dari pembeli, adalah kredit yang diberikan oleh perusahaan sebagai
pembeli kepada pemasok (supplier) dari bahan mentahnya atau barangbarang lainnya.
d. Kredit wesel, terjadi apabila suatu perusahaan mengeluarkan “surat
pengakuan utang” yang berisikan kesanggupan untuk membayar sejumlah
uang tertentu kepada pihak tertentu dan pada saat tertentu (surat Promes/
Notes Payable), dan setelah ditandatangani surat tersebut dapat dijual atau
diuangkan kepada Bank.
2) Utang jangka menengah / intermediate term debt
Utang jangka menengah adalah utang yang jangka waktu umumnya adalah
lebih dari satu tahun dan kurang dari sepuluh tahun. Kebutuhan untuk berbelanja
dengan jenis kredit ini dirasakan apabila di satu pihak kebutuhan pembelanjaan
tidak dapat dipenuhi dengan kredit jangka pendek, namun di pihak lain sulit untuk
dipenuhi oleh utang jangka panjang. Pada utang jangka menengah, pengurusan
pembelanjaannya lebih mudah dengan mengadakan kontak langsung dengan
kreditur, dan cara seperti ini merupakan ciri khas dari pembelanjaan dengan utang
jangka menengah.
Utang jangka menengah terdiri dari term loan dan leasing. “Term Loan,
yaitu kredit usaha dengan umur lebih dari satu tahun dan kurang dari sepuluh
tahun.” (Husnan, 1995: 232). Pada umumnya term loan dibayar kembali dengan
angsuran tetap selama suatu periode tertentu, misalkan pembayaran angsuran
dilakukan setiap bulan, setiap kuartal, atau setiap tahun. Term loan ini biasanya
diberikan oleh Bank Dagang, perusahaan asuransi, suppliers atau manufactures.
“Dilihat dari biaya modalnya, term loan memiliki biaya lebih rendah daripada
modal saham ataupun obligasi, maka harus membayar emisi, pendaftaran, dan
42
biaya lain yang berkaitan dengan pengeluaran saham dan obligasi.” (Sartono,
2008: 301). Dengan demikian keperluan dana yang tidak terlalu besar tidak perlu
menggunakan saham dan obligasi, karena biayanya terlalu mahal. Dibandingkan
dengan utang jangka pendek, term loan lebih baik karena tidak segera jatuh tempo
dan peminjam memberikan jaminan pembayaran secara periodik yang mencakup
bunga dan pokok pinjaman. “Besarnya tingkat bunga term loan ditentukan oleh
beberapa faktor, seperti bunga umum, besar kecilnya pinjaman, jatuh tempo,
jumlah utang yang telah dimiliki sebelumnya, dan faktor lainnya.” (Sartono, 2008:
302).
Pada umumnya tingkat bunga term loan lebih besar dibandingkan dengan
tingkat bunga jangka pendek, karena pemberian term loan dianggap lebih berisiko
dibandingkan dengan utang jangka pendek. Salah satu risiko dari term loan adalah
interest rate risk yaitu risiko akibat perubahan tingkat bunga, selain itu risiko lain
adalah default risk yaitu risiko tidak terbayarnya term loan oleh peminjam.
Jenis pembiayaan jangka menengah lainnya yaitu leasing. Apabila
perusahaan tidak ingin memiliki aktiva tetapi hanya menginginkan service dari
aktiva tersebut, perusahaan dapat memperoleh hak penggunaan atas suatu aktiva
tersebut tanpa disertai dengan hak milik dengan cara mengadakan kontrak leasing
untuk aktiva tersebut. Oleh karena itu, leasing dapat diartikan sebagai suatu alat
atau cara untuk mendapatkan services dari suatu aktiva tetap yang pada dasarnya
adalah sama halnya dengan menjual obligasi untuk mendapatkan services dan hak
milik atas aktiva tersebut, namun perbedaannya ialah pada leasing tidak disertai
oleh hak milik.
43
Menurut Sartono (2008: 304), “leasing adalah suatu kontrak antara
pemilik aktiva yang disebut lessor dan pihak lain yang memanfaatkan aktiva
tersebut yang disebut lesee untuk jangka waktu tertentu.” Lesee dapat
memanfaatkan aktiva tersebut tanpa harus memilikinya, namun sebagai
kompensasinya lesee mempunyai kewajiban untuk membayar secara periodik
sebagai sewa aktiva yang digunakan, namun lesee tidak perlu menanggung biaya
perawatan, pajak, dan asuransi.
Husnan (1995: 235) menyatakan bahwa “ada tiga bentuk utama leasing,
yaitu: sale and leaseback, operating leases, dan financial atau capital leases.”
Maksud dari bentuk yang pertama yaitu sale and leaseback adalah pemilik aktiva
berupa tanah, bangunan, dan peralatan pabrik menjual aktivanya kepada
perusahaan lain sekaligus menyewa kembali aktiva yang telah dijualnya tersebut.
Pembeli dari aktiva itu dapat berupa sebuah bank, perusahaan asuransi,
perusahaan leasing, pegadaian, atau investor individu. Biasanya aktiva tersebut
dijual dengan nilai pasar.
Manfaat dari sale and leaseback ini adalah bahwa penjual atau lesee
menerima pembayaran segera sebagai tambahan dana yang dapat
diinvestasikan ke investasi lain, dan bersamaan dengan itu lesee masih
menggunakan aktiva yang dijualnya selama jangka waktu perjanjian leasing.
(Sartono, 2008: 304)
Pada jenis leasing yang kedua yaitu operating leases, atau sering disebut
juga dengan services leases, pihak lessor menyediakan pendanaan sekaligus biaya
perawatan yang keseluruhannya tercakup dalam pembayaran leasing. Ciri utama
dari bentuk ini adalah bahwa harga perolehan aktiva sebagai objek leasing tidak
diamortisasikan secara penuh, dengan kata lain pembayaran yang disyaratkan
44
tidak cukup untuk menutup keseluruhan harga perolehan dan biaya perawatan
aktiva. Namun demikian, jangka waktu operating leases ini biasanya lebih pendek
daripada usia ekonomis yang diharapkan, sehingga lessor berharap dapat
menyewakan kembali kepada pihak lain atau menjual aktiva tersebut untuk
menutup harga perolehan, biaya perawatan dan tingkat keuntungan yang
disyaratkan.
“Karakteristik operating leases adalah sering dicantumkannya klausul
pembatalan yang memberikan hak kepada lesee untuk membatalkan leasing dan
mengembalikan aktiva sebelum periode leasing berakhir.” (Sartono, 2008: 305).
Klausula sangat penting terutama bagi aktiva yang melibatkan teknologi tinggi,
karena dengan adanya klausula ini jika lesee memandang bahwa aktiva yang
digunakannya sudah usang, maka lesee dapat membatalkan perjanjian sewa guna
usaha tersebut dan membuat perjaniajn leasing yang baru.
Jenis leasing yang terakhir yaitu financial leases, ialah “bentuk leasing
yang tidak memberikan maintanance services, tidak dapat dibatalkan, dan harus
penuh diangsur.” (Riyanto, 1995: 236). Pada jenis leasing ini, lessor menerima
pembayaran sewa dari lesee yang meliputi harga penuh dari leased equipment
tersebut plus harga bunga yang diinginkan. Lessor dalam hal ini biasanya adalah
perusahaan-perusahaan asuransi atau bank dagang.
3) Utang jangka panjang / long term debt
Utang jangka panjang adalah utang atau modal asing yang jangka
waktunya panjang, yaitu lebih dari 10 tahun.
45
Utang jangka panjang (long term loan) adalah satu bentuk perjanjian antara
peminjam dengan kreditur dimana kreditur bersedia memberikan pinjaman
sejumlah tertentu dan peminjam bersedia untuk membayar secara periodik
yang mencakup bunga dan pokok pinjaman. (Sartono, 2008: 324)
“Utang jangka panjang ini pada umumnya digunakan untuk membelanjai
perluasan perusahaan (ekspansi) atau modernisasi dari perusahaan, karena
kebutuhan modal untuk keperluan tersebut meliputi jumlah yang besar.” (Riyanto,
1995: 238).
Menurut Riyanto (1995: 238) “utang jangka panjang terbagi menjadi dua
bagian, yaitu pinjaman obligasi (bonds-payable) pinjaman hipotik (mortgage)”,
sedangkan menurut Husnan (2000: 282) “utang jangka panjang terdiri atas
obligasi, kredit investasi, dan hipotek.”
Bentuk pertama yaitu obligasi, adalah “surat tanda utang yang dikeluarkan
oleh perusahaan dalam jumlah tertentu dan akan jatuh tempo pada waktu tertentu
serta memberikan pendapatan sejumlah bunga tertentu.” (Sartono, 2008: 324).
Riyanto (1995: 238) mendefinisikan pinjaman obligasi adalah “pinjaman uang
untuk jangka waktu yang panjang, dengan debitur mengeluarkan surat pengakuan
utang yang mempunyai nominal tertentu”, sedangkan menurut Husnan (2000:
282) “obligasi merupakan surat tanda utang dan umumnya tidak dijamin dengan
aktiva tertentu.”
Jangka waktu peminjaman obligasi harus melalui pertimbanganpertimbangan tertentu, antara lain:
1. Jangka waktu pinjaman kredit hendaknya disesuaikan dengan jangka waktu
penggunaannya dalam perusahaan
2. Jumlah angsuran harus disesuaikan dengan jumlah penyusutan dari aktiva
tetap yang akan dibelanjai dengan kredit obligasi tersebut (Riyanto, 2001:
238)
46
Terdapat dua jenis obligasi atau bond, yaitu (a) mortgage bond dan (b)
debenture bond. Mortgage bond adalah utang jangka panjang yang dijamin oleh
sekelompok aset (Sartono, 2008: 324). Dengan demikian, apabila seandainya
debitur tidak dapat membayar kembali utang dan bunganya, maka kreditur dapat
memaksa perusahaan untuk menjual asset yang dijadikan jaminan.
Jenis obligasi kedua adalah debenture bond, yaitu utang jangka panjang
tanpa jaminan. Jenis obligasi ini hampir mirip dengan utang jangka panjang yang
diperoleh melalui bank maupun perusahaan asuransi. Namun yang membedakan
adalah bunga debenture biasanya lebih tinggi daripada bunga motgage bond
karena risiko yang ditanggung oleh pemegang debenture bond lebih tinggi
daripada risiko yang dihadapi pemegang mortgage bond.
Bentuk utang jangka panjang yang kedua yaitu kredit investasi. Jenis
pendanaan ini disediakan oleh perbankan, dan masih banyak dimanfaatkan oleh
kalangan pengusaha. Utang yang diperoleh melalui bank atau perusahaan asuransi
yang memiliki tiga karakteristik yaitu cepat, fleksibel, dan biaya rendah yang
disebabkan karena pinjaman tersebut dinegosiasikan langsung antara peminjam
dengan kreditur. Biaya administrasi menjadi semakin kecil, dan tidak diperlukan
adanya persetujuan dengan pengawas pasar modal seperti halnya perusahaan
mengeluarkan obligasi. Sedangkan mengenai tingkat bunga yang disetujui dapat
berupa bunga tetap atau variabel.
Jika digunakan tingkat bunga tetap, maka biasanya ditentukan setinggi
tingkat bunga obligasi yang memiliki jatuh tempo yang sama dan risiko yang
sama. Jika tingkat bunga ditentukan bersifat variabel, maka kreditur dapat
menentukan sebesar persentase tertentu di atas tingkat bunga surat berharga
yang dikeluarkan oleh pemerintah atau obligasi pemerintah. (Sartono, 2008:
324)
47
Bentuk utang jangka panjang terakhir adalah hipotik. Pinjaman hipotik
merupakan “bentuk utang jangka panjang dengan agunan aktiva tidak bergerak
(tanah, bangunan).” (Husnan, 2000: 287). Hal serupa dikemukakan oleh Riyanto
(1995: 239) mengenai utang hipotik yaitu
Pinjaman jangka panjang dengan pemberi uang (kreditur) diberi hak hipotik
terhadap suatu barang tidak bergerak, agar apabila pihak debitur tidak
memenuhi kewajibannya, barang itu dapat dijual dan dari hasil penjualan
tersebut dapat digunakan untuk menutup tagihannya.
Dalam perjanjian kredit pada hipotik, disebutkan secara jelas aktiva apa
yang dipergunakan sebagai agunan. Dalam peristiwa likuidasi, kreditur akan
dibayar terlebih dahulu dari hasil penjualan aktiva tetap yang dipergunakan
sebagai agunan. Apabila hasil penjualan aktiva yang diagunkan tersebut belum
cukup, maka sisanya menjadi kreditur umum, sama halnya dengan pemilik
obligasi.
Modal asing merupakan pembiayaan dalam bentuk utang yang dalam
jangka waktu tertentu harus kembali dibayarkan sejumlah utang beserta bunganya.
Semakin lama jangka waktu dari pembayaran utang dan semakin mudah
persyaratan penggunaan modal asing tersebut, maka akan semakin leluasa
perusahaan dalam menggunakan sumber dananya. Namun pembayaran utang
tidak boleh diabaikan, utang harus tetap dibayar sebagaimanapun keadaan
finansial perusahaan. Dengan demikian, seandainya perusahaan tidak dapat
membayar utangnya, maka kreditur memiliki hak untuk menyita asset yang
dimiliki oleh perusahaan. Oleh sebab itu, pertimbangan menggunakan modal
asing harus benar-benar dilakukan secara efisien dalam pendanaan perusahaan.
48
Penggunaan modal asing akan menimbulkan beban yang tetap, dan
penggunaan modal asing ini tergantung oleh besarnya leverage perusahaan.
Semakin besar penggunaan modal asing, maka semakin besar kemungkinan
perusahaan mengalami kesulitan dalam hal pembayaran utang/ modal asing
tersebut beserta bunga yang telah ditetapkan pada saat jatuh tempo. Bagi para
kreditur, hal tersebut berarti bahwa kemungkinan turut sertanya dana yang mereka
tanamkan di dalam perusahaan untuk dipertaruhkan pada resiko kerugian juga
semakin besar.
2.1.3.3 Pasiva Dalam Neraca Perusahaan
Dalam neraca sebuah perusahaan, pasiva terbagi ke dalam dua bagian,
yaitu kewajiban (utang) dan modal. Utang terdiri dari utang lancar dan utang tidak
lancar yang pada neraca disajikan berdasarkan urutan jatuh temponya.
Pasiva dalam neraca perusahaan disusun mulai dari utang lancar, utang
tidak lancar dan berikutnya adalah modal perusahaan. Berdasarkan Pedoman
Standar Akuntansi Keuangan, informasi yang disajikan dalam neraca minimal
mencakup utang usaha dan utang lainnya, kewajiban yang diestimasi, kewajiban
berbunga jangka panjang, hak minoritas, dan modal saham dan pos ekuitas
lainnya.
Namun sejak diberlakukannya IFRS, penyusunan pasiva perusahaan
berubah, tidak lagi disusun dari utang lancar, utang tidak lancar, lalu modal
sendiri, tetapi penyusunan pasiva dilakukan mulai dari modal perusahaan dan
diikuti oleh utang-utang perusahaan.
49
2.1.3.4 Struktur Modal
Struktur modal adalah merupakan perimbangan jumlah utang jangka
pendek yang bersifat permanen, utang jangka panjang, saham preferen, dan saham
biasa (Sartono, 2008: 225). Sedangkan Riyanto (2001: 282) menyebutkan bahwa
“Struktur modal adalah perimbangan atau perbandingan antara jumlah utang
jangka panjang dengan modal sendiri.” Sementara itu Sartono (2008: 225) juga
menyebutkan bahwa “struktur keuangan adalah perimbangan antara total utang
dengan modal sendiri.” Dalam struktur keuangan atau financial strucrure adalah
kombinasi seluruh sumber pembiayaan antara utang jangka pendek, utang jangka
panjang, saham preferen, dan saham biasa atau kombinasi antara sumber
pembiayaan jangka pendek dan jangka panjang. Sedangkan dalam struktur modal
atau capital structure adalah kombinasi atau bauran sumber dana jangka panjang.
Maka dari itu dapat ditarik kesimpulan bahwa struktur modal merupakan bagian
dari struktur keuangan. Berikut gambar untuk membedakan kedua istilah tersebut:
Balance Sheet
Current
Current Liabilities
Debt and Preferred
Fixed Asset
Shareholder Equity
Gambar 2.1
Struktur Keuangan
50
Financial Structure (Struktur Keuangan)
Sumber : Kamaludin (2011: 305)
Balance Sheet
Current
Current Liabilities
Debt and Preferred
Struktur Modal
Fixed Asset
Shareholder Equity
Gambar 2.2
Capital Structure (Struktur Modal)
Sumber: Kamaludin (2011: 306)
Rasio hutang jangka panjang terhadap modal sendiri (long-term debt to
equity ratio) menggambarkan struktur modal perusahaan dan rasio hutang
terhadap modal ini akan menentukan besarnya leverage keuangan yang
digunakan perusahaan (Weston dan Copeland, 1997:22).
Masalah struktur modal merupakan masalah yang penting yang dihadapi
oleh seluruh perusahaan disaat perusahaan harus menetapkan pembebanan
struktur finansial dan struktur modal perusahaan secara efektif, karena baik atau
buruknya struktur modal yang ditetapkan akan berpengaruh kepada struktur
finansial perusahaan.
Suatu perusahaan yang memiliki struktur modal tidak baik, yang memiliki
utang sangat besar akan memberikan beban yang berat bagi perusahaan yang
51
bersangkutan. Struktur modal mencerminkan kebijakan dari perusahaan dalam
menentukan jenis sekuritas yang dikeluarkan. Struktur dari modal perusahaan
harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat tercapai struktur finansial perusahaan
yang efektif meskipun berbeda-beda kebijakan dari setiap perusahaan tergantung
dengan apa yang dibutuhkan oleh perusahaan.
Analisa struktur modal dalam setiap perusahaan merupakan salah satu
indikator untuk menilai risiko finansial yang dihadapi oleh perusahaannya.
Alternatif lain untuk menilai struktur permodalan perusahaan adalah
dengan memfokuskan perhatian hanya terhadap sumber-sumber permodalan
yang bersifat jangka panjang/relatif permanen tanpa memperhatikan utang
yang berasal dari kreditur jangka pendek. (Harnanto, 1991: 319).
Berdasarkan pada penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya yang
secara ringkas disimpulkan bahwa struktur modal merupakan bagian dari struktur
keuangan, sehingga untuk menilai struktur modal itu hanya dari sumber
permodalan jangka panjang, serta mengacu pada penelitian sebelumnya, maka
rumus dari struktur modal tersebut adalah:
Riyanto, 2001: 333
Long term debt to equity ratio mengukur kontribusi relatif dari modal
sendiri dan utang jangka panjang dalam struktur permodalan perusahaan.
“Ratio di atas 100% menunjukkan bahwa partisipasi para pemilik lebih
besar dibanding partisipasi para kreditur jangka panjang di dalam membentuk
struktur permodalan perusahaan.” (Harnanto, 1991: 320).
52
2.1.3.5 Teori Struktur Modal
Teori struktur modal menjelaskan apakah ada pengaruh perubahan
struktur modal terhadap nilai perusahaan dan biaya modal. Dengan kata lain,
“apabila perubahan struktur modal tidak mengubah nilai perusahaan, maka tidak
terdapat struktur modal yang baik, dengan asumsi perusahaan tidak mengubah
keputusan keuangan lainnya.” (Husnan, 2000:299). Teori mengenai struktur
modal telah banyak dibicarakan oleh para peneliti. Teori tersebut antara lain:
a. Pendekatan Tradisional
Pendekatan tradisional berpendapat bahwa dalam pasar modal yang
sempurna dan tidak ada pajak, nilai perusahaan (biaya modal perusahaan) bisa
dirubah dengan cara merubah struktur modalnya. Pendapat ini dominan hingga
awal tahun 1950-an.
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa sampai dengan tingkat leverage
tertentu, risiko perusahaan tidak mengalami perubahan, sehingga baik tingkat
biaya utang (kd) maupun tingkat kapitalisasi atau biaya modal sendiri (ke)
relatif konstan. (Sartono, 2008: 230).
Namun setelah mencapai rasio utang atau leverage tertentu, biaya utang
dan biaya modal sendiri akan meningkat. Peningkatan biaya modal sendiri akan
semakin besar, bahkan lebih besar dari penurunan biaya, karena penggunaan
utang lebih murah. Akibatnya biaya modal rata-rata tertimbang awalnya akan
menurun dan setelah leverage tertentu barulah meningkat. Oleh karena itu, nilai
perusahaan mula-mula meningkat dan lambat laun menurun akibat dari
53
penggunaan utang yang semakin besar. Maka menurut pendekatan tradisional,
terdapat struktur modal yang optimal untuk setiap perusahaan yang terjadi pada
saat nilai perusahaan maksimum atau struktur modal yang mengakibatkan biaya
modal rata-rata tertimbang minimum.
b. Pendekatan Modigliani-Miller
Teori mengenai struktur modal modern bermula pada tahun 1958, ketika
Profesor Modigliani dan Profesor Merton Miller (yang selanjutnya disebut MM)
mempublikasikan artikel keuangan yang berjudul “The Cost of Capital,
Corporation Finance, and The Theory of Investment.” MM membuktikan bahwa
nilai suatu perusahaan tidak dipengaruhi oleh struktur modalnya. (Brigham dan
Houston, 1999:31). MM dalam Husnan (2004: 266) menunjukkan bahwa
‘pendapat pendekatan tradisional adalah tidak benar.’ MM menunjukkan
kemungkinan adanya proses arbitase yang akan membuat harga saham (nilai
perusahaan) yang tidak menggunakan utang maupun yang menggunakan utang
akhirnya sama, dengan kata lain struktur modal tidak akan mempengaruhi nilai
perusahaannya. Proses arbitase muncul karena investor lebih menyukai investasi
dan memerlukan dana yang lebih sedikit tetapi memberikan penghasilan bersih
yang sama dengan risiko yang sama pula. Namun hasil studi MM didasarkan pada
sejumlah asumsi yang tidak realistis, diantaranya:
1.
2.
3.
4.
Tidak ada biaya broker (pialang)
Tidak ada pajak
Tidak ada biaya kebangkrutan
Para investor dapat meminjam dengan tingkat suku bunga yang sama
dengan perseroan
54
5. Semua investor memiliki informasi yang sama seperti manajemen
mengenai peluang investasi perusahaan di masa mendatang
6. EBIT tidak dipengaruhi oleh penggunaan utang. (Brigham dan Houston,
1999: 31)
Dalam pendekatan MM tidak ada pajak, keputusan pendanaan tidak
relevan, artinya penggunaan utang atau modal sendiri akan memberi dampak yang
sama bagi kemakmuran pemilik perusahaan. Pada tahun 1963, MM menerbitkan
makalah lanjutan yang melemahkan asumsi tidak ada pajak perseroan. Dalam
keadaan ada pajak, MM dalam Husnan (2004: 269) berpendapat bahwa
Keputusan pendanaan menjadi relevan. Hal ini disebabkan karena pada
umumnya bunga yang dibayarkan (karena menggunakan utang) bisa
dipergunakan untuk mengurangi penghasilan yang dikenakan pajak. Dengan
kata lain, apabila terdapat dua perusahaan yang memperoleh laba operasi sama
tetapi yang satu menggunakan utang dan membayar bunga sedangkan yang
satunya tidak, maka perusahaan yang membayar bunga akan membayar pajak
penghasilan yang lebih kecil.
Penghematan dalam membayar pajak merupakan manfaat bagi pemilik
perusahaan, oleh karena itu nilai perusahaan yang menggunakan utang akan lebih
besar daripada nilai perusahaan yang tidak menggunakan utang.
Kesimpulan ini diubah oleh Miller (kali ini tanpa Modigliani) ketika
membahas efek pajak perseorangan. Miller dalam Brigham dan Houston (1999:
32) menyatakan ‘semua penghasilan dari obligasi pada umumnya adalah bunga
yang dikenakan pajak penghasilan perorangan, sementara penghasilan dari saham
biasanya sebagian berasal dari dividen dan sebagian dari keuntungan modal.’
Masalahnya adalah bahwa laba mungkin saja tidak seluruhnya dibagikan sebagai
dividen, dan mungkin tarif pajak untuk capital gains lebih kecil daripada tarif
pajak untuk dividen. Maka bila dua hal tersebut terjadi, preferensi atas utang tidak
selalu berlaku. Jika pemegang saham akan mendapatkan penghasilan bersih lebih
55
besar dengan memiliki saham, maka mereka akan lebih menyukai membeli saham
dibandingkan dengan obligasi, dan apabila hal ini terjadi maka perusahaan akan
lebih mudah menerbitkan saham, bukan obligasi.
Hasil MM yang tidak relevan juga tergantung pada asumsi bahwa tidak
adanya biaya kebangkrutan. Namun praktek kebangkrutan bisa sangat mahal.
Ancaman kebangkrutan bukan hanya kebangkrutan itu sendiri, namun masalah
yang ditimbulkannya beragam, seperti keluarnya karyawan yang berkompeten,
pemasok menolak memberikan kredit, pelanggan mencari perusahaan lain yang
lebih stabil, dan pemberi pinjaman meminta suku bunga yang lebih tinggi serta
menetapkan syarat yang lebih ketat pada kontrak pinjaman. Masalah yang
berkaitan dengan kebangkrutan cenderung muncul apabila suatu perusahaan lebih
banyak menggunakan utang dalam struktur modalnya, oleh karena itu biaya
kebangkrutan menghalangi perusahaan untuk menggunakan utang yang terlalu
besar.
c. Teori Trade-Off dan Pecking Order Theory
Keputusan mengenai struktur modal tertentu mempertimbangkan berbagai
faktor seperti pajak perusahaan, pajak perorangan, dan biaya kebangkrutan.
Keseluruhan pertimbangan tersebut masuk ke dalam teori trade-off atau yang
dinamakan juga balancing theories. “Esensi dari balancing theories adalah
menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul akibat penggunaan
utang.” (Husnan, 2004: 275). Apabila manfaat masih lebih besar, maka utang
56
akan ditambah, namun apabila pengorbanan karena menggunakan utang sudah
lebih besar, maka penggunaan utang tidak boleh ditambah.
Myers and Majluf (1984) dan Myers (1984) dalam Husnan (2004: 275)
‘merumuskan teori struktur modal yang disebut pecking order theory yang
selanjutnya disebut POT.’ Teori ini menjelaskan mengenai alasan penentuan
sumber dana yang paling disukai berdasarkan atas informasi asimetrik
(asymmetric information), yang menunjukkan bahwa manajemen mempunyai
informasi yang lebih banyak (tentang prospek, risiko, dan nilai perusahaan)
daripada pemodal publik. Tentu saja manajemen memiliki informasi yang lebih
banyak daripada pemodal publik, karena manajemenlah yang bertugas mengambil
keputusan keuangan dan menyusun berbagai rencana perusahaan.
Dengan adanya informasi asimetrik, perusahaan lebih suka menggunakan
pendanaan internal daripada eksternal. Penggunaan dana internal tidak
mengharuskan perusahaan mengungkapkan informasi baru kepada pemodal yang
dapat menurunkan harga saham.
Braeley and Myers dalam Husnan (2004: 278) menyebutkan bahwa secara
ringkas, POT tersebut menyatakan:
1. Perusahaan lebih menyukai pendanaan internal.
2. Perusahaan akan berusaha menyesuaikan rasio pembagian dividen dengan
kesempatan investasi yang dihadapi, dan berupaya untuk tidak melakukan
perubahan pembayaran dividen yang terlalu besar.
3. Pembayaran dividen yang cenderung konstan dan fluktuasi laba yang
diperoleh mengakibatkan dana internal kadang-kadang berlebih ataupun
kurang untuk investasi
4. Apabila pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan
menerbitkan sekuritas yang paling aman dulu. Penerbitan sekuritas akan
dimulai dari penerbitan obligasi, kemudian obligasi yang dapat
dikonversikan menjadi modal sendiri, baru akhirnya menerbitkan saham
baru.
57
2.1.3.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Struktur Modal
Faktor–faktor yang mempunyai pengaruh terhadap struktur modal
perusahaan (Brigham dan Houston, 2001:39-41) yaitu :
a. Stabilitas Penjualan. Jika penjualan relatif stabil, perusahaan dapat secara
aman menggunakan hutang lebih tinggi dan berani menanggung beban
tetap yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang
penjualannya tidak stabil.
b. Struktur Aktiva. Apabila aktiva perusahaan cocok digunakan untuk
dijadikan agunan kredit perusahaan tersebut cenderung menggunakan
banyak hutang.
c. Leverage Keuangan. Jika hal–hal lain tetap sama, perusahaan dengan
leverage operasi yang lebih kecil cenderung lebih mampu untuk
memperbesar leverage keuangan karena ia akan mempunyai risiko bisnis
yang lebih kecil.
d. Tingkat Pertumbuhan. Perusahaan–perusahaan yang mempunyai tingkat
pertumbuhan lebih cepat, akan membutuhkan dana dari sumber extern
yang lebih besar.
e. Profitabilitas. Perusahaan dengan tingkat yang tinggi atas investasi,
menggunakan hutang yang relatif kecil. Laba ditahannya yang tinggi
sudah memadai membiayai sebagian besar kebutuhan pendanaan.
f. Pajak. Bunga merupakan biaya yang dapat mengurangi pajak perusahaan,
sedangkan dividen tidak. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat pajak
perusahaan, maka semakin besar keuntungan dari penggunaan pajak,
semakin besar daya tarik penggunaan hutang.
g. Pengendalian. Pengaruh hutang lawan saham terhadap posisi pengendalian
manajemen bisa mempengaruhi struktur modal.
h. Sifat Manajemen. Sifat manajemen akan mempengaruhi dalam
pengambilan keputusan mengenai cara pemenuhan kebutuhan dana.
i. Sikap Pemberi Pinjaman dan Lembaga Penilai Peringkat. Tanpa
memperhatikan analisis para manajer atas faktor–faktor leverage yang
tepat bagi perusahaan mereka, sikap pemberi pinjaman dan perusahaan
penilai peringkat seringkali mempengaruhi keputusan struktur keuangan.
j. Keadaan Pasar Modal. Keadaan pasar modal sering mengalami perubahan
dalam menjual sekuritas harus menyesuaikan dengan pasar modal tersebut.
k. Kondisi Internal Perusahaan. Apabila perusahaan memperoleh keuntungan
yang rendah sehingga tidak menarik bagi investor, maka perusahaan lebih
menyukai pembelanjaan dengan hutang daripada mengeluarkan saham.
58
l. Fleksibilitas Keuangan. Seorang manajer pendanaan yang pintar adalah
selalu dapat menyediakan modal yang diperlukan untuk mendukung
operasi.
Riyanto
(1995:
296)
menyebutkan
bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi struktur modal antara lain:
a. Tingkat bunga. Saat perusahaan merencanakan pemenuhan kebutuhan
modal sangat dipengaruhi oleh tingkat bunga yang berlaku saat itu.
Tingkat bunga akan mempengaruhi jenis pemilihan modal apa yang akan
ditarik, apakah perusahaan mengeluarkan saham atau obligasi.
b. Stabilitas dari earning. Suaru perusahaan yang memiliki earning yang
stabil akan selalu dapat memenuhi kewajiban finansialnya sebagai akibat
dari penggunaan modal asing.
c. Susunan dari aktiva. Perusahaan industri yang sebagian besar dari
modalnya tertanam dalam aktiva tetap akan mengutamakan pemenuhan
modalnya dari modal permanen, yaitu modal sendiri, sedangkan modal
asing sifatnya adalah sebagai pelengkap.
d. Kadar risiko dari aktiva. Tingkat atau kadar risiko aktiva dalam setiap
perusahaan tidaklah sama. Semakin panjang jangka waktu penggunaan
suatu aktiva dalam perusahaan, semakin besar pula derajat risikonya.
e. Besarnya jumlah modal yang dibutuhkan. Apabila jumlah modal yang
dibutuhkan sekiranya dapat dipenuhi hanya dari satu sumber saja, maka
tidaklah perlu mencari sumber lain. Sebaliknya, apabila jumlah modal
yang dibutuhkan sangat besar, maka perlu dicari sumber pendanaan lain
seperti saham preferen dan obligasi.
f. Keadaan pasar modal. Keadaan pasar modal sering mengalami perubahan
akibat adanya gelombang konjungtur. Pada umumnya apabila gelombang
meninggi, para investor lebih senang menanamkan modalnya dalam
bentuk saham.
g. Sifat manajemen. Sifat manajemen akan memiliki pengaruh langsung
terhadap pengambilan keputusan mengenai pendanaan perusahaan.
Seorang manajer yang optimis memandang masa deoan cerah dan berani
menanggung resiko akan lebih berani untuk membiayai pertumbuhan
penjualannya dengan dana yang berasal dari utang meskipun memberikan
beban finansial yang tetap.
h. Besarnya suatu perusahaan. Suatu perusahaan yang besar sahamnya
beredar sangat luas, dan setiap perluasan modal saham hanya akan
mempunyai pengaruh yang kecil terhadap kemungkinan hilangnya atau
tergesernya kontrol dari pihak dominan terhadap perusahaan yang
bersangkutan.
59
Faktor yang mempengaruhi keputusan struktur modal menurut Kamaludin
(2011: 304) yaitu:
a. Risiko bisnis, atau risiko yang terkandung dalam operasi perusahaan
apabila ia tidak menggunakan utang. Risiko bisnis juga sering
didefinisikan sebagai risiko yang berkaitan dengan ketidakpastian yang
melekat pada tingkat pengembalian aktiva (ROA) suatu perusahaan di
masa mendatang.
b. Posisi pajak perusahaan. Alasan utama perusahaan menggunakan utang
karena biaya bunga dapat dikurangkan dalam perhitungan pajak, sehingga
menurunkan biaya utang yang sesungguhnya. Akan tetapi, jika sebagian
besar laba perusahaan telah terhindar dari pajak yang telah
dikompensasikan ke muka, maka tambahan utang tidak banyak manfaat.
c. Fleksibilitas keuangan atau kemampuan perusahaan untuk menambah
modal dengan persyaratan yang wajar apabila kondisi perusahaan
memburuk. Dalam keadaan perekonomian sulit atau perusahaan dalam
keadaan kesulitan keuangan, maka pemilik modal akan lebih suka
menanamkan modalnya terhadap perusahaan yang posisi neraca yang baik,
karena pemilik modal merasa kemungkinan tersedianya dana di masa
mendatang.
d. Konservatif atau agresif? Manajemen yang konservatif akan lebih takut
menggunakan utang, sebaliknya manajemen yang agresif akan cenderung
menggunakan utang untuk meningkatkan laba. Namun demikian faktorfaktor tersebut tidak akan mempengaruhi struktur modal yang optimal,
tetapi mempengaruhi struktur modal yang ditargetkan oleh perusahaan.
2.2.
Kerangka Teoritis
Persaingan yang semakin ketat menuntut perusahaan manufaktur untuk
dapat menghasilkan barang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Daya saing
produk dalam negeri mulai merosot karena masuknya produk impor dan
diperburuk lagi dengan banyaknya produk ilegal yang dengan mudahnya
memasuki pasar Indonesia. Bagi perusahaan manufaktur, kekayaan perusahaan
yaitu aktiva sangatlah penting, karena dengan adanya aktiva perusahaan
perusahaan dapat melakukan kegiatan operasionalnya dalam mengumpulkan dan
60
mengolah bahan mentah serta membuatnya menjadi barang jadi yang dibutuhkan
oleh konsumen.
Harta/kekayaan perusahaan atau sering disebut dengan aktiva perusahaan
merupakan investasi yang diharapkan untuk menghasilkan laba di masa yang akan
datang. Berdasarkan cara dan lamanya perputaran, aktiva dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu aktiva lancar dan aktiva tidak lancar atau sering disebut dengan
aktiva tetap. Aktiva lancar merupakan “aktiva yang habis dalam satu kali berputar
dalam proses produksi, dan perputarannya adalah dalam jangka waktu kurang dari
satu tahun.” (Riyanto, 1995: 19). Sedangkan aktiva tetap adalah “termasuk dalam
aktiva tidak lancar yaitu aktiva yang tahan lama yang tidak atau secara berangsurangsur habis turut serta dalam proses produksi.” (Riyanto, 1995: 19). Aktiva tetap
tersebut harus digunakan dalam operasional perusahaan yang bersifat permanen,
memiliki umur kegunaan, dan tidak habis dalam satu periode kegiatan perusahaan.
Bagi perusahaan manufaktur, aktiva yang harus disediakan dalam operasional
perusahaan adalah aktiva tetap, karena tanpa aktiva tetap proses produksi tidak
mungkin berjalan. Aktiva tetap seringkali disebut dengan the earning assets
(aktiva yang sesungguhnya menghasilkan pendapatan bagi perusahaan) oleh
karena aktiva-aktiva inilah yang memberikan dasar bagi earning power
perusahaan. Tanpa adanya mesin dan peralatan lain, perusahaan tidak akan dapat
memproduksi barang jadi. Sesuai dengan yang disebutkan oleh Syamsudin (2007:
409) bahwa “semakin besar ratio aktiva tetap atas total aktiva, maka semakin
capital intensive perusahaan.” Artinya jika perusahaan memiliki aktiva tetap
61
besar, maka semakin cepat perusahaan dalam memproduksi. Perimbangan antara
aktiva tetap dengan total aktiva akan membentuk suatu struktur aktiva.
Hasil operasional perusahaan dari aktiva yang dimiliki perusahaan akan
menghasilkan laba operasional perusahaan. Untuk mengukur hasil pelaksanaan
operasional perusahaan manufaktur tersebut digunakanlah alat pengukur yang
valid. Alat pengukur tersebut adalah profitabilitas. Dikatakan valid karena:
a. Merupakan alat pembanding pada berbagai alternatif investasi/penanaman
modal sesuai dengan tingkat risikonya maisng-masing. Semakin besar
risiko suatu penanaman modal, maka dituntut rentabilitas/profitabilitas
yang semakin tinggi pula.
b. Mampu menggambarkan tingkat laba yang dihasilkan menurut jumlah
modal yang ditanamkan/investasinya, karena rentabilitas/profitabilitas
dinyatakan dalam angka relatif (%). (Harnanto, 1992: 354).
Profitabilitas merupakan “kemampuan perusahaan dalam memperleh laba
dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri.”
(Sartono, 2008: 120). Rasio profitabilitas digunakan untuk mengukur tingkat
penggunaan aktiva pada perusahaan dalam menghasilkan barang jadi dan laba
yang diperoleh perusahaan tersebut.
Untuk dapat menjalankan aktivitas perusahaan, tentunya setiap perusahaan
memerlukan dana. Pemenuhan kebutuhan pendanaan menjadi sangat penting
untuk keberlangsungan perusahaan. Aktivitas pendanaan perusahaan berasal dari
dua sumber, yang pertama adalah pendanaan dari modal sendiri dan yang kedua
adalah pendanaan dari modal asing.
Pengertian modal itu sendiri menurut Prof. Bakker (dalam Riyanto, 1995:
18) adalah ‘baik yang berupa barang-barang kongkret yang masih ada dalam
rumah tangga perusahaan yang terdapat di neraca sebelah debit maupun berupa
62
daya beli atau nilai tukar dari barang-barang itu yang tercatat di sebelah kredit’.
Jadi modal itu adalah keseluruhan aspek yang terdapat dalam suatu neraca
perusahaan. Modal yang terletak di sebelah debit termasuk modal konkret yang
menunjukkan bentuk modal tersebut dan disebut pula modal aktif atau yang
dikenal dengan aktiva, sedangkan modal yang tercatat di sebelah kredit termasuk
ke dalam modal abstrak, yaitu modal yang menunjukkan dari mana modal tersebut
berasal yang sering disebut dengan pasiva.
Menurut Harnanto (1991: 302), modal sendiri “merupakan modal dalam
suatu perusahaan yang dipertaruhkan untuk segala risiko, baik risiko usaha
maupun risiko kerugian-kerugian lainnya.” Modal sendiri dapat berasal dari laba
ditahan (retained earning) maupun dari modal saham yang terdiri dari saham
biasa dan saham preferen. Laba yang diperoleh dari suatu perusahaan sebagian
dapat dibayarkan sebagai dividen dan sebagian lagi ditahan oleh perusahaan.
Adanya laba yang ditahan oleh perusahaan akan memperbesar modal sendiri suatu
perusahaan dan sebaliknya, apabila perusahaan mengalami kerugian, saldo rugi
tersebut akan mengurangi modal sendiri. Sedangkan modal saham adalah tanda
bukti penyertaan suatu perseroan terbatas. Pemegang saham biasa merupakan
pemilik perusahaan yang sebenarnya. Karena tertanam dalam perusahaan dalam
jangka waktu yang tidak terbatas selama perusahaan masih beroperasi, maka
saham biasa merupakan sumber dana permanen. Sedangkan saham preferen
merupakan sumber modal jangka panjang yang posisinya berada dantara utang
jangka panjang dengan saham biasa. Pemegang saham preferen memiliki prioritas
dalam pembayaran dividen.
63
Pendanaan dari modal asing yaitu “modal yang berasal dari luar
perusahaan yang sifatnya sementara bekerja dalam perusahaan, dan bagi
perusahaan modal tersebut merupakan utang yang harus dibayarkan kembali.”
(Riyanto, 1995:227). Dalam pembelanjaan perusahaan, modal asing/utang
dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu utang jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang. Utang jangka pendek merupakan utang yang
jangka waktunya paling lama satu tahun yang sebagian besar terdiri dari kredit
perdagangan. Utang jangka menengah adalah sumber modal asing yang jangka
waktu umumnya lebih dari satu tahun namun kurang dari sepuluh tahun.
Perusahaan menggunakan utang jangka menengah apabila pembelanjaan
perusahaan tidak dapat dipenuhi oleh utang jangka pendek namun tidak
memungkinkan menggunakan utang jangka panjang. Sedangkan utang jangka
panjang adalah modal asing yang waktunya lebih dari sepuluh tahun yang terdiri
dari obligasi, kredit investasi, dan hipotek.
Perimbangan antara utang jangka panjang dengan modal sendiri akan
membentuk suatu struktur modal. Struktur modal berbeda dengan struktur
kekayaan/finansial. Struktur finansial merupakan keseluruhan dari pasiva, yaitu
total utang dibandingkan dengan modal, sedangkan struktur modal hanya
merupakan bauran dari sumber dana jangka panjang yang meliputi utang jangka
panjang dan modal sendiri. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa struktur modal
merupakan bagian dari struktur keuangan.
Masalah struktur modal merupakan masalah yang penting bagi
perusahaan,
karena
keputusan
pendanaan
pada
struktur
modal
akan
64
mempengaruhi keseimbangan pada struktur finansial perusahaan. Suatu
perusahaan yang memiliki struktur modal tidak baik akan memiliki utang yang
besar sehingga akan membebani perusahaan.
Beberapa pakar mengklasifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi
struktur permodalan perusahaan, dua diantaranya yaitu struktur aktiva dan
profitabilitas.
Mengenai struktur aktiva, Brigham dan Houston (2001: 39) menyatakan
bahwa “apabila aktiva perusahaan cocok untuk dijadikan agunan kredit,
perusahaan tersebut cenderung menggunakan banyak utang.” Hal tersebut sesuai
dengan yang dikatakan oleh Weston dan Copeland (1997: 175) yang menyatakan
bahwa:
Perusahaan yang memiliki aktiva tetap jangka panjang lebih besar, maka
perusahaan tersebut akan menggunakan utang hipotik jangka panjang, dengan
harapan aktiva tersebut dapat digunakan untuk menutupi tagihannya.
Sebaliknya, perusahaan yang sebagian besar aktiva yang dimilikinya berupa
piutang dan persediaan barang yang nilainya sangat tergantung pada
kelanggengan tingkat profitabilitas, perusahaan tidak begitu tergantung pada
pembiayaan utang jangka panjang dan lebih tergantung pada pembiayaan
jangka pendek.
Dalam mencari keseimbangan finansial pada perusahaan industri, Riyanto
(2001: 13) menyatakan bahwa:
Bagi perusahaan yang bukan financial corporation, yang diutamakan lebih
dahulu adalah masalah penentuan dan susunan aktiva yang diperlukan untuk
melaksanakan produksi yang direncanakan. Setelah menentukan sejumlah
aktiva, besarnya komposisi, sifat-sifat dan syaratnya, barulah menentukan
jumlah dan susunan pasiva sehingga terbentuk struktur modal yang sebaikbaiknya.
65
Dapat ditarik kesimpulan bahwa perusahaan yang memiliki aktiva tetap
yang besar, maka penggunaan utang akan semakin besar, karena aktiva tersebut
dijadikan jaminan untuk memperoleh pinjaman, selain itu aktiva memberikan
perlindungan bagi kreditur karena aktiva digunakan sebagai alat operasional
perusahaan untuk menghasilkan laba serta dapat dijual untuk membayar kembali
utang beserta bunga pinjaman. Oleh karena itu struktur aktiva dapat
mempengaruhi struktur modal perusahaan.
Faktor
yang mempengaruhi struktur modal
yang kedua adalah
profitabilitas. Kamaludin (2011: 304) mendefinisikannya dengan risiko bisnis,
yaitu “risiko yang berkaitan dengan ketidakpastian yang melekat pada tingkat
pengembalian aktiva (ROA) sutu perusahaan di masa mendatang.”
Brigham dan Houston (2001: 40) mengatakan bahwa “perusahaan dengan
tingkat yang tinggi atas investasi menggunakan utang yang relatif kecil. Laba
ditahannya yang tinggi sudah membiayai sebagian besar kebutuhan pendanaan.”
Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa profitabilitas sangat
penting
bagi
peusahaan
karena
akan
mencerminkan
nilai
perusahaan.
Profitabilitas yang dihitung dengan ROA akan mempengaruhi struktur modal
perusahaan yang apabila profitabilitas perusahaan tinggi, berarti pemenuhan
pendanaan lebih menggunakan laba ditahan, artinya nilai struktur modal akan
turun.
HARTA
PERUSAHAAN
PENDANAAN
PERUSAHAAN
MODAL ASING
AKTIVA LANCAR
MODAL SENDIRI :
- LABA DITAHAN
- MODAL SAHAM
AKTIVA TETAP
UTANG
JANGKA PENDEK
UTANG
JANGKA MENENGAH
UTANG
JANGKA PANJANG
STRUKTUR AKTIVA
STRUKTUR MODAL
PROFITABILITAS
LABA
OPERASIONAL
Gambar 2.3
Kerangka Teoritis
66
67
Dalam beberapa dekade terakhir ini telah banyak penelitian yang
melakukan penelitian mengenai struktur modal. Penelitian tersebut juga masih
memberikan hasil yang bertentangan. Berikut hasil penelitian beberapa peneliti
tersebut:
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Judul Penelitian
Sampel dan
Ringkasan Isi Penelitian
No. Nama Peneliti
Periode Penelitian
1.
Terdahulu
Ali Kesuma
Analisis Faktor
Perusahaan Real
Pertumbuhan penjualan
(2009)
yang
Estate yang go
berpengaruh negatif dengan
Mempengaruhi
public di Bursa
struktur modal sebesar 19,1%;
Struktur Modal
Efek Indonesia
profitabilitas mempunyai
Serta
tahun 2003-2006
pengaruh berlawanan arah
Pengaruhnya
dengan struktur modal sebesar
Terhadap Harga
4,1%; rasio hutang berpengaruh
Saham
signifikan dan searah dengan
struktur modal dengan besarnya
pengaruh 58,7%
2.
Hasa
Pengaruh
Industri
Secara bersama-sama variabel
Nurrohim KP
Profitabilitas,
Consumer Goods
profitabilitas, fixed asset ratio,
(2008)
Fixed Asset
yang terdaftar di
kontrol kepemilikan, struktur
Ratio, Kontrol
Bursa Efek
aktiva berpengaruh signifikan
Kepemilikan, dan Indonesia tahun
terhadap struktur modal. Secara
Struktur Aktiva
parsial profitabilitas dan
2001-2005
68
Terhadap
kontrol kepemilikan
Struktur Modal
berpengaruh signifikan, dengan
profitabilitas bepengaruh paling
dominan. Fixed asset ratio dan
struktur aktiva tidak
berpengaruh signifikan
terhadap struktur modal.
3.
Bram
Pengaruh
Sektor
Struktur aktiva dan
Hadianto
Struktur Aktiva,
Telekomunikasi
profitabilitas berpengaruh
Ukuran
yang secara
positif terhadap struktur modal
Perusahaan, dan
konsisten tercatat
yang mendukung hipotesis
Profitabilitas
di Bursa Efek
STO, sedangkan ukuran
Jakarta selama
perusahaan berpengaruh negatif
tahun 2000-2006
terhadap struktur modal sesuai
dengan hipotesis POT.
4.
Rina
Pengaruh
25 perusahaan
Struktur aktiva, profitabilitas,
Walmiaty
Struktur Aktiva,
perbankan yang
dan kebijakan deviden secara
Mardi
Profitabilitas, dan terdaftar di BEJ
simultan mempunyai pengaruh
Kebijakan
terhadap struktur pendanaan
Deviden
tahun 2000-2006
industri perbankan dengan
struktur aktiva yang merupakan
pengaruh terbesar
dibandingkan dengan
69
profitabilitas dan kebijakan
deviden. Secara parsial,
struktur aktiva dan
profitabilitas berpengaruh
signifikan terhadap struktur
pendanaan dan bertanda
negatif. Kebijakan devidenpun
berpengaruh signifikan
terhadap struktur pendanaan
namun memiliki korelasi
bertanda positif.
Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah
penelitian ini mencoba membuktikan teori mengenai struktur modal dan
bagaimana struktur aktiva serta profitabilitas mempengaruhinya. Penelitian ini
menggunakan keseluruhan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia dengan data time series sehingga dapat mengetahui perkembangan
struktur aktiva, profitabilitas, dan struktur modal yang terjadi pada tiga tahun
terakhir terutama setelah terjadinya krisis finansial yang melanda di tahun 2008
khususnya untuk perusahaan manufaktur di Indonesia.
70
2.3
Hipotesis
Hipotesis menurut Arikunto (2006: 71) dapat diartikan sebagai “suatu
jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui
data yang terkumpul.” Sedangkan menurut Nazir (2009: 151) hipotesis adalah
“pernyataan yang diterima secara sementara sebagai suatu kebenaran sebagaimana
adanya, pada saat fenomena dikenal dan merupakan dasar kerja serta panduan
dalam verifikasi.”
Dengan mengacu pada teori-teori dan permasalahan yang terjadi, maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah:
H1
: Terdapat pengaruh positif antara struktur aktiva terhadap struktur
modal pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia
H2
: Terdapat pengaruh negatif antara profitabilitas terhadap struktur
modal pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia
H3
: Terdapat pengaruh antara struktur aktiva dan profitabilitas secara
bersama-sama
terhadap
struktur
modal pada
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
perusahaan
Download