D_902008104_BAB IV

advertisement
BAB 4
DESA PAKRAMAN TABOLA
Profil Desa Pakraman Tabola
• Desa Tabola dan Puri Sidemen
Desa Pakraman Tabola (Desa Tabola) adalah sebuah desa adat
di Bali yang letak geografisnya berada dalam wilayah Kecamatan
Sidemen, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Sebagaimana telah
disinggung dalam bagian sebelumnya, kata desa di Bali terbagi atas dua
pengertian, yaitu: pertama, mengacu pada desa sebagai bagian dari
administrasi pemerintahan di atasnya (kecamatan dan kabupaten),
yang di Bali dinamakan desa dinas; ke dua, mengacu pada desa sebagai
satu kesatuan masyarakat hukum adat yang berdiri sendiri, yang di Bali
dinamakan desa adat. Terkait dengan hal ini, Desa Tabola merupakan
desa adat, yang penyebutannya sejak tahun 2001 untuk seluruh Bali
berubah dari sebutan semula desa adat menjadi desa pakraman. 1
Sebagai suatu desa adat atau desa pakraman, wilayah Tabola
melingkupi tiga wilayah desa dinas, yang secara hirarkhis administrasi
berada di wilayah administrasi pemerintahan Kecamatan Sidemen.
Tiga desa dinas tersebut masing-masing adalah: (1) Desa Sidemen; (2)
Desa Telagatawang; dan (3) Desa Sinduwati. Pada awalnya, wilayah
Desa Pakraman Tabola hanya mencakup satu desa dinas, yaitu Desa
Sidemen. Lalu dalam perkembangannya, wilayah Desa Sidemen
dimekarkan dua kali, yaitu: pertama, pemekaran Desa Telagatawang
dan ke dua, pemekaran Desa Sinduwati. Desa Telagatawang adalah
hasil pemekaran Desa Sidemen pada tahun 1999/2000; sedangkan Desa
Sinduwati adalah hasil pemekaran Desa Sidemen pada tahun
2007/2008.
Dengan cakupan wilayahnya yang meliputi tiga desa dinas itu,
maka wilayah Desa Pakraman Tabola boleh dikatakan relatif luas.
Sebagai perbandingan, dalam wilayah Kecamatan Sidemen terdapat 10
desa dinas, yang tiga di antara berada dalam wilayah Desa Pakraman
Lihat: Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Bali, No. 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman.
1
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Tabola. Kesepuluh desa dinas yang ada di wilayah Kecamatan Sidemen
itu masing-masing adalah: (1) Desa Sidemen, (2) Desa Telagatawang,
(3) Desa Sinduwati, (4) Desa Talibeng, (5) Desa Tangkup, (6) Desa
Wismakerta, (7) Desa Sangkan Gunung, (8) Desa Tri Eka Bhuwana, (9)
Desa Kerta Bhuwana, dan (10) Desa Lokasari.
Kecamatan Sidemen adalah satu di antara 8 kecamatan yang
ada di Kabupaten Karangasem. Nama dari ke 8 kecamatan itu masingmasing adalah: Kecamatan Abang, Kecamatan Kubu, Kecamatan Selat,
Kecamatan Bebandem, Kecamatan Manggis, Kecamatan Karangasem,
Kecamatan Rendang dan Kecamatan Sidemen (lihat peta Kabupaten
Karangasem). Kalau dilihat dari letak geografisnya, wilayah Kecamatan
Sidemen berada di bagian barat Kabupaten Karangasem, dan karena itu
wilayah Kecamatan Sidemen dan sekitarnya sering disebut dengan
nama lain yaitu Karangasem Barat, bersama dengan Kecamatan
Rendang dan Kubu.
Berdasarkan data BPS Kabupaten Karangasem tahun 2009, luas
wilayah Kecamatan Sidemen yang terbagi atas 10 desa dinas itu adalah
35,15 km², dengan total jumlah penduduk sebesar 33.958 jiwa, yang
terdiri dari sekitar 7.956 satuan rumah tangga. 2 Berikut data tentang
luas desa, besarnya jumlah penduduk, serta besarnya jumlah rumah
tangga tiga desa dinas yang wilayahnya tercakup dalam wilayah Desa
Pakraman Tabola, yaitu Desa Dinas Telaga Tawang, Desa Dinas
Sidemen dan Desa Dinas Sinduwati.
Tabel 5. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk
dan Jumlah Rumah Tangga Tiga Desa
No
1
2
3
4
Desa (Dinas)
Telaga Tawang
Sidemen
Sinduwati
Total 3 Desa
Luas Wilayah
(km2)
Jumlah
Penduduk (Jiwa)
Jumlah Rumah
Tangga
2,97
3,86
3,02
9,85
3.122
3.850
3.798
10.710
764
1.008
846
2.618
Sumber: BPS Kabupaten Karangasem, 2009
Lihat: Karangasem Dalam Angka 2009 (Keadaan Geografi dan Iklim). Kerjasama
Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem dengan Badan Perencana Pembangunan
Daerah Kabupaten Karangasem. Amlapura, Karangasem, Agustus 2010.
2
144
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
Oleh karena wilayah Desa Adat Tabola mencakup wilayah tiga desa
dinas sebagaimana tersebut di atas, maka pada tahun 2009, jumlah
penduduk Desa Tabola diperkirakan 10.710 jiwa, yang tercakup dalam
2.618 rumah tangga, dengan luas wilayah kurang lebih 9,85 km².
Angka-angka statistik yang disebutkan itu memang mengacu pada data
statistik tiga desa dinas sebagaimana disebut di atas, karena memang
sejauh ini belum ada angka statistik yang resmi dari Desa Parkraman
Tabola itu sendiri.
Selain itu, sejauh ini belum ada batas wilayah dalam arti
geografis, yang lebih pasti dari Desa Pakraman Tabola. Pada umumnya
batas-batas wilayah desa adat/pakraman di Bali memang tidak dalam
bentuk batas peta wilayah geografis yang tergambar jelas batasbatasnya, sebagaimana biasanya yang berlaku untuk desa-desa dinas.
Sebaliknya, batas wilayahnya adalah batas wilayah adat, yang wujud
kongkritnya kerap berupa batas-batas alam, seperti sungai, perbukitan,
batu besar, suatu tempat tertentu sebagai penanda, dan lain sebagainya.
Contohnya adalah Desa Pakraman Tabola, yang batas-batasnya
ditentukan oleh batas alam dan nama suatu tempat atau nama desa
tetangga (Catra, 2003).
Misalnya, disebutkan bahwa batas sebelah barat Desa
Pakraman Tabola adalah pinggiran Desa Pakraman Sangkan Gunung.
Yang dimaksudkan dengan pinggiran desa tersebut adalah Sungai Unda
atau Tukad Unda yang mengalir melewati pinggiran batas Desa
Pakraman Tabola dan Desa Pakraman Sangkan Gunung. Begitupula
dengan batas “pinggiran desa” yang lainnya, yang bentuk konkritnya
juga merupakan batas alam, seperti misalnya bukit dan lembah. Perlu
dicatat di sana bahwa pengertian batas itu memang sedikit banyak
masih kabur. Ini terlihat dari kata-kata bahwa batasnya adalah
“pinggiran desa…”.
Kekaburan ini bahkan diakui sendiri oleh salah seorang tokoh
adat Desa Pakraman Tabola, Ida I Dewa Gde Catra. Dalam suatu
wawancara, misalnya, ia mengemukakan bahwa dalam awig-awig
sengaja disebutkan bahwa batasnya adalah “pinggiran desa”. Ini
pengertiannya adalah bahwa memang tidak ada batas wilayah geografis
145
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
yang pasti dan jelas. Sehingga di mana letak “pinggiran desa” itu
menjadi sangat tergantung dari pemahaman bersama dari ke dua belah
pihak desa yang bersangkutan. Pemahamannya tentu mengacu pada
perspektif sejarah dan adat dari masing-masing pihak desa terkait. 3
Selain itu, penyebutan batas “pinggiran desa” adalah untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik wilayah antara desa
adat/pakraman. Sebab penyebutan batas desa yang lebih pasti dan jelas
secara geografis seringkali harus berhadapan dengan kenyataan bahwa
di Bali masih terdapat perselisihan batas wilayah antar desa. Memang,
sebagaimana diketahui, awig-awig lama di Bali pada umumnya tidak
menyebutkan batas-batas desa adat/pakraman dengan jelas secara
geografis. Sehingga ketika desa adat/pakraman di Bali mulai menata
diri untuk membangun kembali eksistensinya, khususnya sejak masa
reformasi (1998/1999), maka tidak jarang muncul konflik akibat saling
klaim terhadap garis batas desa.
Sebagai contoh adalah konflik yang terjadi pada tahun 2005
yang melibatkan Desa Pakraman Ulakan dan Desa Pakraman Antiga.
Konflik antara dua desa adat/pakraman yang ada di Kacamatan
Manggis, Kabupaten Karangasem itu dipicu oleh persoalan saling klaim
penguasaan tapal batas desa yang berimpitan dengan areal Depo
Minyak Pertamina di Labuan Amuk. Di sini konflik tidak saja
berdimensi adat tetapi juga menonjol kepentingan ekonomi-politik,
khususnya dalam memperebutkan sumber daya ekonomi yang berasal
dari keberadaan Depo Minyak Pertamina itu. Konflik-konflik serupa
tidak jarang terjadi di daerah-daerah lainnya di Bali (Parimatha, 2006:
21-43).
Dalam sejarahnya, batas desa adat/pakraman memang lebih
banyak tidak secara geografis tetapi lebih pada batas adat. Sedangkan
batas adat itu sendiri dalam praktiknya lebih banyak mengacu pada
keberadaan penduduk yang tinggal dan menjadi bagian dari
komunitas/masyarakat adat tertentu. Kalau di Bali, hal itu paling jelas
ditunjukkan dengan keterikatan suatu komunitas/masyarakat adat yang
bersangkutan dengan apa yang disebut sebagai ikatan kahyangan tiga
3
Wawancara dengan Ida I Dewa Catra. Amlapura, 28 Oktober 2010.
146
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
(sebagai anggota pemaksan pura). Dalam konteks masyarakat Desa
Pakraman Tabola, ikatannya tentu saja adalah ikatan kahyangan tiga
atau kahyangan desa yang terdapat di wilayah Desa Pakraman Tabola.
Sebagai anggota dari institusi yang dinamakan pemaksan, para
krama desa berkewajiban “mengemong” tiga pura suci di desa, yaitu
pura desa/balai agung, pura puseh, dan pura dalem, yang maknanya
mereka bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan
dengan keberadaan tempat suci tersebut. Salah satu bentuk
tanggungjawab ini, misalnya, memelihara bangunan tempat suci,
menyelenggarakan berbagai macam upacara pada hari-hari tertentu di
tempat suci yang bersangkutan, dan lain sebagainya.
Di samping adanya ikatan terhadap kahyangan tiga, ikatan adat
yang lain adalah apa yang disebut pelemahan dan pawongan.
palemahan mengacu pada tanah-tanah sawah, kebun maupun
pekarangan milik desa ataupun milik Pura yang dikuasai dan digarap
oleh penduduk desa yang bersangkutan. Kalau di Bali pada umumnya,
atau di Desa Pakraman Tabola pada khususnya, ikatan terhadap
Palemahan ini berbentuk ikatan terhadap tanah ayahan desa, tanah
pekarangan desa atau tanah pelaba pura. Tanah ayahan desa bisa
berwujud sawah maupun kebun, sedangkan tanah pekarangan desa
umumnya berbentuk tanah-tanah (milik) desa yang diatasnya berdiri
rumah-rumah dan pekarangan penduduk, atau dalam bentuk
bangunan-bangunan kios yang berdiri didalam dan disekitar areal pasar
desa (Pasar Sidemen) milik desa pakraman Tabola. Sedangkan tanah
pelaba pura adalah tanah milik pura yang digarap oleh penduduk desa,
dan sebagai imbalannya mereka yang menggarap tanah tersebut
berkewajiban memberikan sebagian hasilnya ke pura.
Sementara pawongan mengacu pada ikatan di antara orangorang yang ada di desa, atau lebih tepatnya anggota keluarga yang ada
di desa. Dalam hal ini mereka terikat pada keanggotaan berbagai
organisasi yang ada di desa, mulai tingkat tempek, banjar sampai desa,
yaitu sebagai krama tempek, krama banjar serta krama desa. Di
samping mereka juga terikat pada keanggotaan organisasi lainnya
seperti seke-seke yang ada di desa, dari mulai seke gong (kumpulan
147
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
penabuh musik gamelan tradisonal Bali), seke tari, sampai seke subak
(di Desa Tabola sendiri terdapat organisasi subak, yang dinamakan
Subak Tabola). Seke adalah suatu organisasi yang memiliki tujuan
spesifik yang tertentu (seperti menabuh gamelan, menari, dan lain
sebagainya) dengan keanggotaan bersifat sukarela. Dengan demikian
batas-batas adat yang ditunjukkan oleh keanggotaan dan keterikatan
warga atau penduduk desa terhadap kelembagaan adat di desa yang
bersangkutan memang sudah jelas keberadaannya, yaitu mulai dari
tingkat paling bawah tempek, banjar, sampai desa adat dan kahyangan
desa.
Selanjutnya bagaimana gambaran keadaan sosial-ekonomi
masyarakat Desa Pakraman Tabola? Sejauh ini memang belum tersedia
data statistik sosial-ekonomi tentang masyarakat Desa Adat/Pakraman
Tabola. Namun demikian karena penduduk Desa Pakraman Tabola
mencakup tiga desa dinas yang ada dalam ruang lingkup wilayah desa
pakraman bersangkutan, maka gambarannya bisa dilihat dari statistik
sosial ekonomi tiga dinas tersebut. Berikut gambaran statistiknya.
Tabel 6: Keadaan Kependudukan Desa Pakraman Tabola
Tahun
2000
2006
2008
Sumber:
Jumlah Penduduk
Jumlah Keluarga
Persentasi Keluarga
Petani (%)
9008
2026
66
10738
2574
84
10710
2618
68
Dikompilasi dari data Podes (Potensi Desa) BPS, tahun 2000, 2006 dan 2008.
Patut dicatat di sini bahwa persentase keluarga petani di Desa
Pakraman Tabola angkanya cukup besar dan malah merupakan
mayoritas. Ini sejalan dengan gambaran wilayah Desa Tabola yang
memang merupakan daerah pertanian yang bertopografi bukit dan
lembah. Sebagai daerah pertanian, wilayah Kecamatan Sidemen (yang
didalamnya termasuk Tabola) bahkan menjadi daerah lumbung padi
terbesar ke dua di Kabupaten Karangasem, setelah Kecamatan
Karangasem. Dari angka statistik pertanian Kabupaten Karangasem,
misalnya, tercatat bahwa hasil produksi padi di Sidemen tahun 2009
tercatat sebesar 12.040 ton, atau terbesar ke dua di Kabupaten
Karangasem, setelah Kecamatan Karangasem yang mampu
148
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
menghasilkan produksi padi sebesar 21.403 ton. Di wilayah Kabupaten
Karangasem sendiri, hampir 53% penduduk usia kerja berkerja di
sektor pertanian (BPS Kabupaten Karangasem, 2010).
Sementara itu kalau diperhatikan dari tabel, ada lonjakan angka
persentase keluarga petani tahun 2006, yaitu 84%, dibandingkan
dengan angka tahun 2000 (66%) maupun 2008 (68%). Lonjakan ini
diperkirakan terjadi akibat dari dampak Bom Bali yang memang
meluluh lantakkan sektor pariwisata di Bali. Sebagaimana
dikemukakan oleh mantan Kepala Desa Dinas Telagatawang, Ketut
Sukayasa, bahwa setelah kejadian Bom Bali, banyak masyarakat di
Sidemen yang bekerja di kota-kota, khususnya tempat-tempat yang
menjadi pusat pariwisata (Denpasar, Sanur, Kuta, dan lain-lain)
kembali ke desa. 4
Keadaan inilah yang diduga menjadikan persentase keluarga
yang berkecimpung di sektor pertanian menjadi meningkat. Sebagai
catatan, data Pokdes 2006 merupakan data hasil survei BPS tahun
2004/2005. Sedangkan tahun 2004/2005 banyak dinilai merupakan
kurun waktu paling pahit bagi Bali akibat jatuhnya sektor pariwisata
sebagai dampak dari Bom Bali. 5 Bagi Bali, sektor pariwisata memang
memegang peranan sangat penting bagi perekonomian domestik
sebagaimana terbukti dari sumbangannya yang cukup dominan
terhadap keseluruhan pendapatan ekonomi regional. Data BPS tahun
2009, misalnya, menunjukkan bahwa sumbangan sektor pariwisata
secara umum kepada PDRB Bali mencapai lebih dari 30% atau kirakira hampir sama dengan sumbangan sektor pertanian secara luas yang
tercatat sebesar 31%. 6
Wawancara dengan Ketut Sukayasa, mantan Perbekel Telagatawang dan ketika
wawancara ini dilakukan ia menjabat sebagai Sekretaris I Desa Pakraman Tabola.
Banjar Kebon, Desa Telagatawang, 24 Desember 2009.
5
Lihat juga: Suriastini, N.DI MANA. Kontribusi Strategi Bertahan Hidup Rumah
4
Tangga Pasca Tragedi Bom Bali
I Pada Peningkatan Kesejahteraan Materi:
Menggunakan Data Panel Rumah Tangga. SurveyMeter, Yogyakarta.
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/2~artikel_kontribusi_strategi_untuk_majalah_pirami
da.pdf
6
Lihat: Karangasem dalam Angka 2009 (Distribusi Persentase PDRB Kabupaten
Karangasem Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha)
149
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Gambar 10: Lahan Pertanian di Sidemen Berada
di Areal Perbukitan dan Lembah.
Sumber: Dokumen Pribadi, 2009.
Bahwa Desa Pakraman Tabola merupakan desa pertanian
(mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian) juga ditunjukkan
oleh cukup besarnya proporsi areal pertanian yang ada di desa tersebut
dibandingkan dengan keseluruhan areal yang ada. Berikut data yang
dikompilasi dari 3 desa dinas, yaitu Telagatawang, Sidemen dan
Sinduwati, yang tercakup dalam wilayah Desa Pakraman Tabola.
Tabel 7: Luas Lahan Pertanian (Sawah) di Desa Pakraman Tabola
Tahun
Luas
(Ha)
Desa
Lahan Sawah (Ha)
Lahan non Sawah*
(Ha)
2000
985
452
533
2006
985
NA
NA
2008
985
450
535
* non sawah di sini termasuk perumahan, pemukiman, ladang, kebun dan hutan.
Sumber: Dikompilasi dari data Podes (Potensi Desa) BPS, tahun 2000, 2006 dan 2008,
yaitu untuk Desa (Dinas) Telagatawang, Sidemen dan Sinduwati.
Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem dengan Badan Perencana
Pembangunan Daerah Kabupaten Karangasem. Amlapura, Karangasem, Agustus 2010.
150
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
Dari data tersebut bisa dilihat bahwa luas areal pertanian
(khususnya persawahan) di Desa Tabola mencakup sekitar 46% dari
seluruh areal desa yang ada. Sekali lagi, ini dibandingkan dengan luas
lahan sawah, belum termasuk lahan-lahan perkebunan dan hutan yang
memang ada di desa tersebut (dalam tabel termasuk dalam lahan non
sawah). Kalau menurut data Podes 2008, lahan bukan sawah tetapi
termasuk pertanian/perkebunan/hutan, luasnya sebesar 401 ha. Dengan
luasan lahan sebesar ini berarti luas lahan pertanian dalam arti luas di
Tabola mencapai hampir sebesar 86%.
Pada kenyataannya memang Kecamatan Sidemen, khususnya
Desa Pakraman Tabola, memang dianggap sebagai salah satu dari
wilayah pertanian yang subur yang ada di Kabupaten Karangasem.
Bahkan Sidemen termasuk salah satu sentra produksi pertanian,
khususnya padi sawah, dari Kabupaten Karangasem yang sebagian
besar wilayahnya memang merupakan lahan kering. Sebagai catatan,
persentase luas lahan sawah dibandingkan lahan kering di Kabupaten
Karangasem hanya sekitar 8,42% saja, atau luas totalnya sekitar 7.070
ha (Karangasem dalam Angka, BPS, 2009).
Selanjutnya, bagaimana dengan gambaran sosial ekonomi desa
yang lain? Berikut gambaran selintas tentang keadaan di bidang
pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum di Desa Tabola.
Tabel 8: Data Fasilitas Pendidikan di Desa Pakraman Tabola
Tahun
Jumlah TK
Jumlah SD
Jumlah SMP
Jumlah SMA
2000
0
10
1
1
2006
1
9
1
1
2008
4
10
1
1
Sumber: Dikompilasi dari data Podes (Potensi Desa) BPS, tahun 2000, 2006 dan 2008,
yaitu untuk Desa (Dinas) Telagatawang, Sidemen dan Sinduwati.
Dalam bidang pendidikan, Desa Tabola yang wilayahnya
mencakup tiga desa dinas tersebut, boleh dikatakan relatif maju.
Katakanlah bila dibandingkan dengan desa-desa sekitarnya (desa adat
maupun desa dinas). Gambaran yang paling nyata adalah tersedianya
fasilitas pendidikan, baik pada tingkat Di mana Kanak-Kanak (TK),
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah
151
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Menengah Atas (SMA). SMA yang ada di Tabola (terletak di Desa dinas
Sidemen/Telagatawang), bahkan statusnya SMA Negeri (SMAN 1
Sidemen).
Sebagai tambahan, SMA Negeri I Sidemen memiliki
keistimewaan karena sejak awal berdirinya sudah memperkenalkan
kurikulum kebudayaan (tradisi dan kebudayaan Bali), yang kelak
kemudian dijadikan contoh oleh banyak SMA lainnya di Bali.
Misalnya saja, SMAN I Sidemen memberikan pelajaran menenun,
membaca dan membuat tulisan huruf Bali Kuno dalam lontar, menari,
menabuh gamelan, dan lain sebagainya. Dalam soal pelajaran
menenun, ini sejalan apa yang berkembang di Desa Tabola yang sampai
sekarang dikenal sebagai salah satu pusat produksi kain tenun di Bali.
Di samping Sidemen/Tabola juga dikenal sebagai salah satu tempat
kerajinan pembuatan tulisan-tulisan Bali Kuno serta cerita bergambar
(misalnya, cerita bergambar Ramayana), yang semuanya itu dituliskan
atau digambarkan di daun lontar.
Kalau ditelusuri riwayatnya, salah satu penggagas dari SMA
yang memberikan atau menyertakan kurikulum kebudayaan ini adalah
Penglisir (penguasa) Puri Sidemen, Cokorda Gde Dangin. Menurut
penuturan Pak Cok, nama panggilan popular dari Penglingsir Puri
Sidemen itu, SMA Sidemen sejak awal memang dirancang sebagai
Sekolah Menengah Atas yang dalam kurikulumnya memberikan
pelajaran budaya Bali. Untuk merealisasikan hal itu, ia dibantu oleh
beberapa sahabatnya orang asing yang sempat tinggal di Sidemen.
Kelak kemudian, pada masa pemerintahan Gubernur Bali, Dewa Barata
(1998-2008), SMA Sidemen itu itu dijadikan SMA Negeri (SMAN I,
Sidemen), dengan kekhususan tetap memberikan pelajaran kebudayaan
Bali, sampai sekarang.
Sebagaimana akan dikemukakan pada bagian selanjutnya dari
Bab ini, Puri Sidemen dalam sejarahnya memang memiliki peranan
sosial-politik yang khusus di Sidemen/Tabola. Bahkan dinamika sosialpolitik yang terjadi di Desa Tabola tidak pernah lepas dari pengaruh
Puri yang berdiri sejak abad ke-17 ini. Sampai sekarangpun, pengaruh
152
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
sosial, politik dan budaya Puri Sidemen, khususnya di bawah
kepemimpinan Pak Cok, boleh dikatakan masih cukup kuat.
Berikutnya adalah gambaran statistik mengenai kondisi
ketersediaan fasilitas Kesehatan di Desa Tabola.
Tabel 9: Data Fasilitas Kesehatan di Desa Pakraman Tabola
Rumah
Praktek Praktek Surat Dukun
Tahun Bersalin Puskesmas Posyandu Dokter
Bidan
Miskin
Bayi
2000
1
1
NA
3
2
37
NA
2006
NA
1
14
3
2
58
NA
2008
1
1
16
NA
1
206
2
Sumber: Dikompilasi dari data Pokdes (Potensi Desa) BPS, tahun 2000, 2006 dan 2008,
yaitu untuk Desa (Dinas) Telagatawang, Sidemen dan Sinduwati.
Dari gambaran yang ada tersebut, terlihat bahwa di Desa
Tabola relatif cukup tersedia fasilitas kesehatan. Dalam koteks ini perlu
dicatat bahwa letak Ibu kota Kecamatan Sidemen ada di wilayah Desa
Tabola, tepatnya ada di wilayah Desa (Dinas) Sidemen. Sehingga bisa
dimaklumi kalau fasilitas kesehatan di Tabola tersedia di sana.
Selanjutnya bagaimana gambaran infrastruktur yang ada di
Desa Tabola? Berikut data statistik ketersediaan infrastruktur seperti
PLN, telpon, pura dan masjid.
Tabel 10: Data Fasilitas Infrastruktur di Desa Tabola
Tahun
2000
2006
2008
Pelanggan
PLN
1090
1402
2033
Pelanggan
Telpon Kabel
30
NA
40
Jumlah
Pura
39
36
36
Jumlah
Masjid/Surau
3
3
3
Sumber: Dikompilasi dari data Pokdes (Potensi Desa) BPS, tahun 2000, 2006 dan 2008.
Terkait jumlah pelanggan PLN kalau dibandingkan dengan
jumlah keluarga yang ada di Desa Tabola, maka bisa dikemukakan
bahwa terjadi peningkatan yang cukup tajam dalam proporsi antara
jumlah keluarga dengan jumlah pelanggan PLN, khususnya pada tahun
2008. Dalam hal ini bisa dicatat, misalnya, bahwa proporsi pelanggan
PLN dibandingkan jumlah seluruh keluarga yang ada di Desa Tabola
tahun 2000 sebesar 54%, lalu tahun 2006 hampir tidak berubah, yaitu
153
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
54,4%. Tetapi tahun 2008 terjadi lonjakan menjadi 77,7%. Ini bisa
ditafsirkan bahwa cakupan pelayanan infrastruktur listrik di Desa
Tabola semakin meningkat tajam pada tahun 2008. Peningkatan yang
sama juga terjadi dalam hal layanan telpon.
Sedangkan jumlah pura di Desa Tabola, seperti halnya di desadesa adat/pakraman, cukup banyak. Tahun 2008 jumlahnya mencapai
36, termasuk pura yang dikatagorikan sebagai pura kahyangan tiga,
yaitu pura puseh, pura desa/bale agung dan pura dalem. Sebagai
catatan, pura puseh dan pura desa yang ada di Desa Tabola, lokasinya
menjadi satu, yaitu ada di Banjar Tabola; sedangkan pura dalem di
Tabola ada beberapa buah, antara lain: Dalem Bwan, Dalem Kikiyan,
Dalem Boni, Dalem Yangtaluh, Dalem Cepik dan Dalem Panggung. Di
luar pura kahyangan tiga, terdapat pura-pura yang lain, seperti
misalnya pura melanting (pura yang ada di pasar Sidemen), pura ulun
suwi (pura Subak), dan pura keluarga atau pura dadia. Yang terakhir ini
contohnya pura dadia kanuruhan, yaitu pura keluarga yang diempon
(dikelola dan dipelihara) oleh para keluarga yang berasal dari
soroh/keturunan Kanuruhan. Pura dadia kanuruhan di Sidemen
terletak di Banjar Kebon, Telagatawang.
Dari data yang ada juga terlihat bahwa di Desa Tabola terdapat
Masjid yang jumlahnya mencapai tiga buah. Memang, di Desa Tabola
terdapat pemukiman komunitas muslim dengan tempat ibadahnya
(masjid). Mereka umumnya tinggal mengelompok dalam suatu
komunitas, khususnya berada di Desa Dinas Sinduwati dan Sidemen.
Menurut Ida I Dewa Gde Catra, keberadaan komunitas muslim di Desa
Tabola ini memiliki sejarah yang panjang, yaitu sejak abad 19, terutama
sejak keterlibatan Puri Sidemen membantu Kerajaan Karangasem
dalam perang di Lombok. Dalam Babad Dalem Anom Pemahyun juga
diceritakan tentang keterlibatan Sidemen membantu Kerajaan
Karangasem dalam perang di Lombok. 7
“Diceritakan Raja Karangasem I Gusti Bagus Karang, mendengar
kesaktian Cokorda Oka (penguasa Sidemen) di masyarakat,
Lihat: Babad Dalem Anom Pemahyun. Koleksi Pribadi Cokorda Gde Dangin
(terjemahan tanpa tahun). Halaman 78.
7
154
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
diundanglah beliau agar datang ke Puri (Karangasem)
mengadakan pertemuan dengan maksud membantu Raja
Mataram Sasak, untuk menggempur/memerangi Raja Singasari
Sasak. Sebab melanggar tata aturan (hukum) “gamya gamana”
menggendaki saudara kandung. Hal itu menyebabkan merusak
Negara dan harus dimusnahkan”.
Tentang pasukan Sidemen yang berangkat ke Lombok, dalam
babad yang sama dicertakan antara lain:
“Maka
berangkatlah beliau menuju Sasak menggempur
Singasari… Keberangkatan beliau pada hari minggu paing uku
sungsang sasih kasa tahun Caka 1760 Masehi 1838. Adapun
jumlah pasukan dari Sidemen terdiri dari 311 laki-laki, 39
perempuan, penggotong 84 orang, dukun 21 orang, pemangku 15
orang, pemimpin pasukan Dewa Ketut Gede, ujung tombaknya I
Gusti Dangin yang diketuai oleh I Gusti Jambe, pemberi
petunjuk Ida Wayan Dangin Buruan, pembantu klian-klian desa
masing-masing”.
Selanjutnya dari sini bisa dirunut bahwa nenek moyang
komunitas muslim yang tinggal di Tabola itu berhubungan dengan
orang-orang Lombok beragama Islam yang di bawah ke Bali (Sidemen)
oleh penguasa Puri Sidemen setelah peperangan itu. Sejak itu
komunitas muslim di Tabola terus berkembang sampai sekarang.
Menurut catatan sejarah, Desa Adat/Pakraman Tabola, ikut
menyediakan tanah-tanah yang sampai sekarang dipakai/digunakan
oleh masyarakat muslim setempat. Tanah-tanah itu statusnya mirip
tanah ayahan desa, yaitu bisa dipakai/diusahakan tetapi tidak bisa
dijual, dan para pemakainya harus menjalankan kewajiban tertentu
terhadap desa adat sesuai ketentuan yang ada.
Dalam awig-awig (peraturan) Desa Pakraman Tabola
disebutkan dengan jelas bahwa terdapat tanah-tanah yang direlakan
(diijinkan) kepada mereka yang beragama Islam. Tanah-tanah itu
hingga kini dikuasi oleh masyarakat komunitas muslim yang tinggal di
Kampung Sindu, Puniya dan Buhu. Termasuk juga dalam hal ini tanah
desa yang statusnya dijadikan tanah kuburan (makam), yaitu Kuburan
Islam Batunkapas (Catra, 2003).
155
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Gambar 11: Perkampungan Warga Muslim di Desa Tabola, Sidemen
Sumber: Dokumen Pribadi, 2012
Keberadaan tanah-tanah desa yang dipakai atau digunakan oleh
komunitas Islam di Desa Tabola menunjukkan bahwa komunitas itu
dalam konteks tertentu dianggap menjadi bagian dari masyarakat adat
di Tabola. Kalau diamati, masyarakat muslim di Tabola bisa hidup
berdampingan secara baik dengan masyarakat desa pada umumnya
yang mayoritas memiliki keyakinan Hindu. Bahkan setelah terjadinya
peristiwa Bom Bali, ketika di berbagai tempat di Bali merebak
sentimen negatif terhadap komunitas muslim, di Tabola hal demikian
boleh dikatakan tidak terjadi. Mereka tetap dapat melanjutkan pola
kehidupan berdampingan bersama seperti biasanya selama ini.
Sebagaimana disinggung di atas, keberadaan komunitas muslim
di Desa Adat/Pakraman Tabola, sesungguhnya terkait erat dengan
keberadaan Puri (istana raja) Sidemen di Desa Tabola. Ini berawal
ketika pasukan Sidemen yang ikut dalam rombongan pasukan perang
Karangasem kembali dari Lombok dengan membawa pulang orangorang muslim dari Lombok tersebut untuk tinggal di Sidemen. Apa
yang dilakukan orang-orang Sidemen ini mengikuti apa yang juga
dilakukan oleh Raja Karangasem. Dalam konteks ini, perlu pula dicatat
bahwa Lombok pada mulanya adalah bagian wilayah Kerajaan
Karangasem. Sehingga memang tidak aneh kalau sejak semula
perkampungan Islam sudah ada di Karangasem. Bahkan menurut
156
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
catatan sejarah yang ada, Puri sebagai pusat pemerintahan dan
kebudayaan Kerajaan Karangasem dikelilingi oleh perkampungan
Islam, yang antara lain berfungsi juga sebagai benteng kerajaan. Dalam
sejarah disebutkan bahwa hal seperti ini mungkin terjadi karena
adanya loyalitas dari kelompok Islam tersebut kepada Raja Karangasem
(Gde Putra, 2006: 103-106).
Sebagaimana diungkapkan oleh Cokorda Gde Dangin
(pemimpin/penerus kekuasaan Puri Sidemen), bahwa wilayah Puri
Sidemen tidak hanya mencakup daerah Sidemen (sekarang Kecamatan
Sidemen) saja, tetapi hingga sampai ke daerah Selat (sekarang
Kecamatan Selat), Rendang (sekarang Kecamatan Rendang) dan Kubu
(sekarang Kecamatan Kubu). Tetapi Puri Sidemen sejak dahulu kala
berada di bawah pengaruh Kerajaan Karangasem, yang wilayahnya
kurang lebih mencakup wilayah Kabupaten Karangasem sekarang. 8
Pusat kekuasaan Puri Sidemen sejak dari dahulu kala berada di
wilayah Desa Tabola sekarang. Tetapi kalau ditelusuri sejarahnya, Desa
Tabola itu sendiri sudah ada sejak jauh sebelum berdiri kerajaan
Sidemen dengan Puri Sidemennya itu. Menurut catatan Babad Dalem
Anom Pemahyun, misalnya, pada tahun Caka 1563 atau tahun 1641
Masehi, Desa Tabola masih berada di bawah kekuasaan seorang
penguasa lokal yang bernama Kyai Lurah Sidemen. Selanjutnya, pada
suatu ketika Kyai Lurah Sidemen, menyerahkan kekuasaannya di
Sidemen kepada Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade, putera Sri Aji
Anom Pemahyun yang merupakan mantan Raja Gegel yang
melengserkan diri dan menyerahkan kekuasaannya pada adiknya. 9
Wawancara dengan Cokorda Gde Dangin, penglingsir Puri Sidemen. Sidemen, 30
April 2010.
9
Menurut cerita dalam Babad Dalem Anom Pemahyun, Sri Aji Dalem Anom
Pemahyun adalah putera sulung dan pengganti Raja Gegel yang bernama Sri Aji
Segening, yang wafat pada tahun Caka 1587 atau 1665 Masehi. Karena konflik politik
yang tidak berkesudahan dan untuk menghindarkan pertumpahan darah di
kerajaannya, Sri Aji Dalem Anom Pemahyun terpaksa melengserkan diri, dan
menyerahkan kekuasaannya kepada adiknya, Ida I Dewa Dimade. Selanjutnya Dalem
Anom Pemahyun meninggalkan Gegel dan menuju Desa Purasi (suatu tempat yang
sekarang berada di wilayah Timur, Karangasem) untuk bertempat tinggal di sana.
Kelak kemudian, Dalem Anom Pemahyun memerintahkan anaknya, Ida I Dewa Anom
Pemahyun Dimade untuk memerintah dan mengkonsolidasikan kekuasaan di Sidemen.
Sedangkan pada waktu itu Sidemen berada di bawah kekuasaan Kyai Lurah Sidemen,
yang memerintah berdasarkan petunjuk Raja Gegel yang sudah wafat, Sri Aji Segening.
8
157
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Sejak itulah berdiri kekuasaan Puri Sidemen di Desa Tabola, yang jejak
pengaruhnya – dalam ukuran tertentu, sebagaimana juga dibahas dalam
tulisan ini – masih kelihatan nyata sampai sekarang.
• Struktur Organisasi Desa Tabola
Dari versi cerita yang lebih lama, sebagaimana dituturkan oleh
I Wayan Suartana, atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan pak
Kawi, sebelum kehadiran Puri Sidemen, Desa Tabola sudah lebih
dahulu diperintah oleh penguasa lokal keturunan dari pendiri Desa
Tabola. Sebagaimana dituturkan oleh pak Kawi, panggilan sehari-hari
dari I Wayan Suartana, salah seorang pengurus Desa Pakraman:
”Keluarga (leluhur) saya yang paling pertama datang ke Desa
Tabola. Leluhur saya itu, Semeton Pasek Gelgel, yang
membangun Pura Puseh (di Desa Tabola). Itu terjadi pada abad
15, atau sekitar tahun 1463, yang dengan demikian berarti
memang Puri Sidemen belum ada pada waktu itu”. 10
Jadi kalau mengikuti penuturan tersebut, Desa Tabola sudah
ada jauh sebelum ada Puri Sidemen. Selain itu, sebagaimana
diungkapkan oleh Ida I Dewa Gde Catra, salah seorang pemuka adat di
Karangasem yang berasal dari Desa Tabola, Desa Tabola bahkan
dianggap sebagai desa kuno. Pengertian kuno ini dikaitkan dengan
keberadaan Desa Tabola yang sudah ada jauh sebelum masa kerajaan
Karangasem, atau bahkan Gelgel (sebelum abad 15). Menurutnya,
kekunoan itu antara lain ditunjukkan dari bentuk padmasana yang ada
di Pura Puseh Desa Tabola yang memiliki tiga ruang. Hal itu
mencirikan bentuk-bentuk padmasana peninggalan dari jaman kuno,
atau sebelum tahun 1000 Masehi. Sebagai catatan, padmasana berasal
dari bahasa sanskerta “padmāsana”, yang adalah sebuah tempat untuk
bersembahyang dan menaruh sajian bagi umat Hindu, terutama umat
Hindu (Bali) di Indonesia.
Jadi ada semacam penyerahan kekuasaan oleh penguasa Sidemen kepada penerus dari
Sri Aji Segening, yaitu Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade, atau cucu dari Sri Aji
Segening sendiri.
10
Wawancara dengan I Wayan Suarthana. Banjar Tabola, Desa Pakraman Tabola,
Sidemen, 29 Oktober 2010.
158
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
Padmasana seperti yang ada di Pura Puseh Tabola memiliki
bentuk seperti yang dikenalkan oleh Empu Kuturan yang datang dari
Jawa ke Bali pada abad 9/10 M. Bentuk-bentuk padmasana seperti ini
tentu berbeda dengan bentuk padmasana dari jaman yang lebih baru,
yang terutama dikenalkan oleh Dahyang Nirarta, seorang Mahaguru
dari Jawa yang datang ke Bali kira-kira pada abad ke 15/16 M, atau
kira-kira 6-7 abad setelah Empu Kuturan datang ke Bali. Berikut ini
gambar foto dari padmasana bentuk baru yang asal mulanya
dikembangkan oleh Dahyang Nirarta.
Gambar 12: Contoh bentuk Padmasana
Sumber: Dokumen Pribadi, 2009.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pura puseh adalah salah
satu dari tiga pura desa (kahyangan tiga) yang menandakan keberadaan
desa adat atau desa pakraman. Keberadaan kahyangan tiga sebagai
dasar dari desa adat di Bali mulai dikenalkan oleh Empu Kuturan
sekitar abad ke 9 M. Jadi dengan demikian, awal dari keberadaan pura
puseh sebagai salah satu dari kahyangan tiga, terkait langsung dengan
awal dari keberadaan desa adat itu sendiri.
159
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Dalam kahyangan tiga, selain pura puseh juga ada pura balai
agung/pura desa dan pura dalem. Pura Puseh Desa Tabola berada di
lokasi wilayah Banjar Tabola. Di lokasi yang sama di pura puseh itu
terdapat pula pura desa. Sedangkan pura dalem di Desa Tabola ada
beberapa jumlahnya, yang letaknya tersebar di berbagai tempat di Desa
Tabola. Sebagian pura dalem memiliki Setra (kuburan), sedangkan yang
lainnya tidak memiliki Setra (kuburan). Yang terakhir ini seperti pura
dalem yang ada di Banjar Tabola, yang diberinama Pura Dalem Suci
Tabola.
Gambar 13: Pura Puseh dan Pura Desa (Balai Agung) Desa Tabola
Sumber: Dokumen Pribadi 2012
Kembali kepada keberadaan Puri Sidemen di Tabola. Hadirnya
Puri Sidemen di Tabola sejak kurang lebih abad 17, memang pada
akhirnya mengubah struktur sosial masyarakat Desa Tabola, yang
sebelumnya boleh dikatakan termasuk dalam katagori desa kuno di
Bali. Sebagaimana halnya Desa Kuno –yang hingga kini keberadaannya
sebagian masih nyata di Bali– susunan masyarakatnya umumnya lebih
sederhana, yang hal itu antara lain ditunjukkan dengan tidak adanya
pelapisan sosial atau hirarkhi sosial yang lebih komplek. Dalam Bab 3
terdahulu, misalnya, sudah dijelaskan bagaimana masyarakat desa di
Bali yang masih memiliki ciri sebagai desa kuno di Bali (desa aga)
seperti halnya Desa Tenganan Pegringsingan, memiliki susunan
masyarakat yang lebih egaliter (dalam pengertian susunan
160
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
masyarakatnya tidak terlalu hirarkhis), khususnya bila dibandingkan
dengan susunan masyarakat desa pada umumnya di Bali (desa apanaga).
Maka dengan hadirnya Puri Sidemen, susunan masyarakat Desa
Tabola yang semula termasuk desa kuno itu, lalu mulai mengenal
pelapisan sosial atau hirarki sosial atas dasar geneologis (keturunan).
Di sini para penguasa baru tersebut, langsung atau tidak langsung,
mengkonstruksi suatu realitas sosial baru yang didalamnya para
keluarga puri dan pengikutnya menempati lapisan sosial paling atas di
desa. Mereka menduduki suatu posisi lapisan atas yang kemudian
disebut sebagai golongan satria dan arya (golongan satria yang lebih
rendah). Sementara pada saat yang sama kedatangan mereka di Tabola
juga disertai oleh para pendeta, yang secara hirarkhis dikatagorikan
sebagai golongan brahmana.
Sebagaimana sudah disinggung dalam bagian sebelumnya,
golongan brahmana, satria (dan weisya), secara bersama-sama
menyebut dirinya sebagai golongan triwangsa. Merekalah yang
menempati posisi paling atas dari pelapisan sosial dimasyarakatnya. Di
luar itu, adalah golongan non-triwangsa, yang dari sisi jumlah
merupakan golongan mayoritas. Di antara para non-triwangsa ini,
sebagian kemudian menjadi parekan atau pengikut keluarga puri. Para
parekan ini biasanya menempati dan/atau menggarap tanah-tanah
milik keluarga puri. Realitas sosial yang seperti ini, sedikit banyak
masih ditemui hingga dewasa ini, tidak saja di Sidemen, tapi juga di
hampir semua desa-desa di Bali, terkecuali desa-desa yang digolongkan
sebagai desa Bali aga seperti Tenganan.
Sebagai parekan, tentu saja mereka harus memberikan
loyalitasnya secara penuh pada keluarga puri. Dalam konteks Sidemen,
loyalitas itu tidak saja dibangun berdasarkan basis material, tetapi juga
non-material. Yang dimaksudkan dengan basis material di sini adalah
suatu relasi kekuasaan timbal balik antara para penguasa puri dengan
para parekan yang didasarkan pada hubungan ekonomi dan politik
(power). Sebagai gambaran, dalam hubungan ekonomi dan politik,
misalnya, para parekan adalah mereka para pengikut penguasa puri
yang mendapatkan manfaat-manfaat ekonomi dan politik dari
161
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
kehadiran keluarga puri. Manfaat itu bisa dalam bentuk pemberian,
maupun sekedar menggunakan/menggarap tanah-tanah milik keluarga
puri; atau juga perlindungan politik yang diberikan oleh penguasa puri.
Ini sebagai imbalan atas loyalitas mereka kepada keluarga puri.
Sampai saat ini, jejak hubungan antara penguasa puri dengan
para parekan-nya masih kelihatan. Padersen (2006), dalam bukunya
berjudul “Ritual and World Change in Balinese Princedom”, misalnya,
menunjukkan bahwa hubungan antara penguasa puri dengan para
parekan (dan/atau bekas parekan) masih kelihatan jelas ketika pada
tahun 2000, Penglisir Puri Sidemen menyelenggarakan upacara besar
yang dinamakan maligya. Pada saat upacara maligya itu, sebagian
masyarakat desa Tabola dan desa-desa lain yang ada di sekitarnya
beramai-ramai datang membantu secara sukarela persiapan dan
pelaksanaan upacara tersebut.
Dalam tulisan Lene Pedersen, terungkap bahwa di antara
mereka adalah keluarga-keluarga yang mengaku keturunan parekan
Keluarga Puri Sidemen. Keterlibatan mereka dalam upacara maligya
yang dipersembahkan bagi almarhum bekas Penglingsir Puri Sidemen
yang lalu (ayah Cokorda Gde Dangin, Penglingsir Puri Sidemen saat
ini), diakui sebagai bagian dari wujud ketaatan atau loyalitas terhadap
Puri Sidemen. Loyalitas itu dalam praktiknya diwujudkan dalam suatu
kegiatan yang terkait dengan kewajiban adat yang disebut ngayah atau
kerja wajib sukarela untuk kepentingan Puri Sidemen.
Dalam konteks ngayah ke puri ini, misalnya, Cokorda Gde
Dangin sebagai Penglingsir Puri Sidemen, melihatnya sebagai
kewajiban yang terkait dengan sejarah masa lalu leluhurnya dan
leluhur dari individu masyarakat yang bersangkutan (parekan).
Sebagaimana dikemukakan dalam buku Pedersen (2006:134-138):
“In many cases, their forefathers came here (Sidemen) with my
forefathers, under my forefathers. Now, this was passed on from
generation to generation and is still remembered, and from
generation to generation there has continued to be conection,
especially in the case of large ceremonies. If we have cremation
ceremony, they are sure to come also. This to indicate an earlier
162
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
social conection, one
forefather….came here.”.
with
other,
before
when
our
Sedangkan dalam pandangan individu masyarakat desa Tabola
yang ikut ngayah, merekapun melihat dari perspektif yang hampir
sama. Sebagaimana dikutip dalam buku yang sama, mereka
mengungkapkan hal sebagai berikut:
“It is difficult for us to say wheter it is an obligation or not. It
depends on our own conviction, that we really believe that they
raised us and that there is a persistent connection from earlier
time, from the times of rajas. Up until now even, we believe that
there is this connection…So we consistently “matur ngayah”
(ask, or literally plead, to ngayah). And it is the same with them,
because they feel that they posses us.”
Tetapi apa yang dimaksud dengan upacara maligya?
Sebagaimana kepercayaan Hindu di Bali, manusia itu pada dasarnya
memiliki atau terdiri dari tiga badan yang disebut tri sarira, yang
mengandung maksud: tri berarti tiga dan sarira berarti badan atau
tubuh. Tri sarira atau tiga badan/tubuh itu terdiri dari: (1) stula sarira,
yaitu badan wadag berupa tubuh dan tenaga; (2) suksma sarira, yaitu
badan halus berupa badan pikiran dan akal budi; (3) atma, yaitu roh
atau sang diri.
Dalam konteks ini, upacara maligya adalah upacara di Bali
setelah pelaksanaan upacara ngaben (pembakaran) yang tujuannya
untuk menyucikan atma (roh) agar tidak terbelenggu oleh badan halus
(suksma sarira). Sedangkan ngaben adalah upacara menyucikan atma
agar tidak terbelenggu oleh badan kasar (stula sarira) dengan cara
membakar atau mengkremasi jenazah. Istilah lain dari maligya adalah
mamukur. Hanya bedanya, maligya biasanya sebutan bagi upacara yang
dilakukan untuk keluarga golongan satria tinggi (keturunan raja),
sedangkan istilah mamukur lebih sering dipakai untuk upacara yang
ditujukan bagi keluarga dari golongan warna/kasta yang lebih rendah.
Sebagai tambahan, dalam literatur Hindu di Bali ada lima
kewajiban yang harus ditunaikan oleh manusia, yaitu apa yang disebut
sebagai panca yadnya. Panca artinya lima, dan yadnya kurang lebih
artinya kewajiban (suci) yang harus dilaksanakan oleh manusia. Panca
163
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
yadnya itu terdiri dari: (1) dewa yadnya, yaitu kewajiban
melaksanakan persembahan suci kepada Tuhan Yang Maha Esa atau
Sang Hyang Widi Wasa; (2) rsi yadnya, kewajiban melaksanakan
penghormatan kepada para pendeta atau guru; (3) pitra yadnya,
kewajiban melaksanakan persembahan kepada orang tua, roh nenek
moyang atau leluhur; (4) bhuta yadnya, kewajiban melaksanakan
persembahan kepada alam; dan (5) manusa yadnya, kewajiban untuk
melaksanakan perbuatan baik sesama manusia. Dalam konteks panca
yadnya ini, maligya termasuk ke dalam katagori pitra yadnya, yaitu
kewajiban melaksanakan persembahan kepada orang tua atau leluhur.
Kembali pada soal loyalitas keluarga puri dan para parekannya.
Yang dimaksudkan dengan loyalitas yang di dasarkan pada basis nonmaterial lebih banyak menyangkut suatu relasi kekuasaan timbal balik
antara penguasa puri dengan parekan yang didasarkan pada hubunganhubungan yang bersifat simbolik dan historis. Bersifat simbolik karena
relasi kekuasaan timbal balik itu didasarkan kepada suatu nilai-nilai
tertentu yang saling diyakini dan dipercayai kebenarannya. Bersifat
historis karena relasi itu berasal dari suatu warisan sejarah lama, yang
terinternalisasi dan “diwariskan” dari satu generasi ke generasi
berikutnya melalui praktik sehari-hari yang sudah mentradisi.
Praktik sehari-hari yang telah mentradisi ini secara teoritis bisa
dikatagorikan sebagai suatu habitus – kalau mengikuti konsep yang
dikembangkan oleh Bourdieu. Praktik sehari-hari yang sudah
mentradisi ini cenderung dianggap “taken for granted” bagi para
aktornya (penguasa puri dan para parekannya), dan juga cenderung
“tidak disadari”. Dalam konteks ini juga harus diingat bahwa menurut
Bourdieu (1990: 54), habitus itu memiliki dimensi kolektif, selain
individual, serta merupakan produk sejarah (a product of history).
Dimensi kolektif itu tidak lain tercermin dalam praktik para parekan,
dan nilai-nilai terkait hubungan keluarga puri dan para perekannya
yang tetap dijalankan itu tidak lain adalah aspek habitus sebagai
produk sejarah.
Dalam konteks relasi timbal balik yang bersifat simbolik
tersebut di atas, ada yang menarik kalau menyimak sebagian isi dari
164
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
Babad Dalem Anom Pemahyun. Babad yang menuturkan asal usul dan
riwayat perjalanan sejarah Keluarga Puri Sidemen itu didalamnya
antara lain dikemukakan suatu cerita bagaimana Raja Sidemen telah
memberikan hadiah berupa tanah/wilayah kepada para pengikutnya.
Sebagai imbalannya, para pengikut dan seluruh keturunannya nanti
harus setia dan loyal kepada raja seketurunannya; atau sebaliknya akan
dikutuk bersama para keturunannya.
“Saya memberikan tempat (tanah/wilayah) untukmu di sini
agar selamat hidupmu. Dan bila kamu tetap setia kepadaku
sampai kemudian, semoga turunan-turunanmu berguna, tidak
kurang pangan dan sandang, memperoleh kebahagiaan! Tetapi
bila kamu dan turunan-turunanmu tidak jujur, sengaja
melupakan dan melawan kekuasaanku, untuk selanjutnya turun
temurun agar kamu banyak kerja tanpa hasil. Tidak hentihentinya timbul percekcokan dalam keluargamu. Demikian
selanjutnya!” 11
Memang tidak semua (tidak banyak) masyarakat Desa Tabola
yang membaca dan memahami isi Babad, termasuk apa yang
disebutkan di atas. Namun demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam
babad tersebut sedikit banyak dimengerti atau dipahami melalui proses
pewarisan nilai-nilai, paling tidak dari orangtua dan para leluhurnya.
Apa yang bisa dipelajari dari hal ini adalah bahwa basis material dan
basis non-material ternyata memiliki keterkaitan yang erat. Mengacu
pada pemikiran Bourdieu, basis material seperti yang dijelaskan diatas
bisa dihubungkan dengan konsep ekonomi kapital dan basis nonmaterial bisa dikaitkan dengan simbolik kapital. Dalam hubungan ini,
tampak jelas bahwa kapital ekonomi bisa ditransformasikan ke dalam
kapital simbolik, yaitu dalam bentuk pemberian tanah untuk
mendapatkan imbalan loyalitas keluarga dan seketurunannya.
Bahwa kelak kemudian ketaatan sebagai parekan itu sebagian
bisa terpelihara, dapat digambarkan dari sikap penghormatan yang
ditunjukkan oleh Ketut Sukayasa kepada Keluarga Puri Sidemen.
Padahal Ketut adalah salah seorang tokoh masyarakat Desa Tabola yang
11
Lihat: Babad Dalem Anom Pemahyun (terjemahan). Halaman 68.
165
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
terlibat aktif dalam aksi-aksi perlawanan yang bermuara pada proses
pelengseran pengurus lama Desa Tabola, yang di dalamnya termasuk
Cokorda Gde Dangin sebagai pingajeng desa. Penghormatan itu,
menurut penuturan Ketut didasarkan suatu kepercayaan tentang relasi
kekuasaan di masa lalu antara leluhurnya dengan leluhur keluarga Puri
Sidemen.
Berikut antara lain penuturan Ketut Sukayasa berkaitan dengan
kepercayaannya tentang nilai-nilai terkait dengan keberadaan dan
hubungan antara leluhurnya dengan leluhur keluarga Puri Sidemen.
“Apa sebab saya dekat dengan Cok Dangin (nama panggilan
Cokorda Gde Dangin)? Itu secara kekeluargaan…karena dia kan
keturunan raja, seorang Dalem. Saya sebagai (keturunan)
pengiring lah, istilahnya di Bali…Arya Kanuruhan itu pengiring.
Kanuruhan itu kan artinya sekretaris – jadi sebagai sekretarisnya
Dalem. Saya (baca: leluhur saya) memiliki kedekatan langsung
(dengan Dalem), ngiring (mengabdi/mengawal) di Sidemen,
sehingga diberikan tempat di Kebon. Dulu Kebon ini namanya
Kubon, yg artinya kubu, rumah (dan tanah) yg baru dibangun.
Lalu kemudian jadi Kebon.” 12
Atas dasar pengertian sebagai keturunan Arya Kanuruhan itu,
maka sulit bagi Ketut Sukayasa mengabaikan keberadaan Puri Sidemen.
Di sisi lain, Cokorda Gde Dangin, dalam suatu wawancara pernah juga
mengemukakan bahwa Pura Keluarga (Dadya) Arya Kanuruhan yang
ada di seputar komplek Pura Besakih, atau yang disebut Pura Pedarman
Arya Kanuruhan, bisa berdiri karena berkat jasa baik Puri Sidemen.
Sesuatu hal yang dalam kesempatan wawancara dengan Ketut Sukayasa
diakuinya juga. Relasi antara Ketut Sukaya dengan keluarga Puri
Sidemen itu, paling tidak menggambarkan masih adanya/hadirnya
suatu bentuk kekuatan kapital simbolik yang dimiliki oleh Puri
Sidemen (karena pewarisan nilai-nilai dalam masyarakat), yang
representasinya melekat dalam diri Cokorda Gde Dangin.
Wawancara dengan Ketut Sukayasa, tanggal 24 Desember 2009 di Banjar Keboen,
Desa Telagatawang Dinas, Kecamatan Sidemen.
12
166
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
Sebagai tambahan, Ketut Sukayasa adalah Ketua Keluarga
Keturunan (Dadya) Arya Kanuruhan di Kecamatan Sidemen. Selain itu,
dia menjabat sebagai Penyarikan (Sekretaris) Desa Pakraman Tabola,
yang terbentuknya didahului oleh konflik yang berujung pada
pelengseran pengurus lama yang kepemimpinannya berada di bawah
bayang-bayang pengaruh Cokorda Gde Dangin. Cokorda Gde Dangin
sendiri dalam kepengurusan Desa Pakraman Tabola yang lama
menjabat sebagai Pingajeng Desa (Penasehat). Sedangkan sebelum
menjabat sebagai pengurus Desa Pakraman, Ketut Sukayasa adalah
Perbekel Desa Dinas Telaga Tawang.
Adanya relasi sosial bersifat hirarkhis seperti tersebut diatas
itulah yang menjelaskan mengapa kepemimpinan sosial-politik di Desa
Tabola dalam sejarahnya banyak didominasi oleh keluarga dari
kalangan lapisan atas masyarakat Desa, khususnya yang memiliki
hubungan keluarga (langsung maupun tak langsung) dengan Keluarga
Puri Sidemen. Cokorda Gde Dangin sendiri sejak tahun 1960-an hingga
tahun 1970-an, pernah memegang jabatan formal sebagai bendesa dan
juga kemudian Perbekel Sidemen. Setelah tidak memegang jabatan
formal itu, Cokorda Gde Dangin tetap merupakan seorang figur yang
memiliki pengaruh yang kuat di wilayah Sidemen dan di Desa Tabola
pada khususnya.
Sampai saat ini, kepemimpinan desa di Sidemen, baik desa
dinas maupun desa adat/pakraman, masih diwarnai oleh golongan
lapisan atas masyarakat, yang hal itu paling mudah digambarkan dari
asal-usul golongan/warna/kasta mereka yang memegang kepemimpinan
tersebut. Misalnya, Bendesa Desa Pakraman Tabola yang lama berasal
dari golongan ksatria, sebagaimana ditunjukkan dari nama depannya
yang bergelar Gusti (I Gusti Lanang Gita). Begitupula bendesa yang
menggantikannya hingga sekarang, kalau dilihat dari namanya juga
berasal dari golongan ksatria (I Gusti Lanang Sidemen). Meskipun
memiliki nama depan yang sama, yaitu I Gusti Lanang, keduanya tidak
memiliki hubungan keluarga.
Bahwa kepemimpinan desa sejak dulu lebih didominasi oleh
golongan lapisan atas desa, juga dijelaskan oleh Ida I Dewa Tjatra
167
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
tentang bagaimana pola perekrutan kepemimpinan desa yang berlaku
sejak lama.
“Sistem perekrutan dasarnya campuran: keturunan dan dipilih.
Artinya, perekrutan dipilih dari orang-orang keturunan itu
(keturunan pemimpin sebelumnya). Lalu juga dipilih. Sebab,
misalnya, seorang bendesa mempunyai lima orang anak, kan
tidak ke limanya menjadi bendesa, ada di antaranya dipilih,
dengan kesepakatan. Lalu terjadi lagi seorang bendesa sama
sekali tidak punya keturunan laki-laki. Maka desa mengambil
keputusan akan dipilih dari keluarga besar bendesa itu. Sekarang
masih berlaku itu.” 13
Selanjutnya bagaimana gambaran keseluruhan struktur dari
organisasi Desa Pakraman Tabola itu sendiri? Yang pertama-tama harus
dikemukakan adalah bahwa struktur organisasi desa pakraman
dibangun diatas suatu landasan nilai-nilai Hindu, yang disebut sebagai
Tri Hita Karana. Tri Hita Karana kurang lebih berarti “tiga sebab yang
menjadi sumber dari kebahagiaan”, yaitu; pertama, parhyangan, berasal
dari kata dasar Hyang, yang berarti Tuhan/Ketuhanan; kedua,
pawongan, berasal dari kata dasar wong, yang berarti
manusia/masyarakat; ketiga, palemahan, berasal dari kata dasar lemah
yang berarti tanah atau juga bisa berarti alam semesta. Dalam konteks
Tri Hita Karana ini, maka untuk mencapai kehidupan yang bahagia,
manusia harus mengusahakan suatu proses hubungan yang harmonis di
antara tiga hal tersebut di atas.
Dan tak ubahnya seperti kehidupan manusia, maka untuk
mencapai kehidupan kemasyarakatan yang bahagia, struktur organisasi
masyarakat desapun diatur sedemikian rupa dengan mendasarkan diri
pada prinsip Tri Hita Karana. Dalam realitasnya sehari-hari, konsep Tri
Hita Karana seperti tersebut di atas itu terwujud dalam bentuk seperti
yang dijelaskan berikut ini. Pertama, parhyangan, terwujud dalam
bentuk tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan
Yang Maha Esa, yang pengejawantahannya nampak dalam diri: Dewa
Brahma, dewa pencipta alam semesta beserta isinya, yang dipuja di
Lihat: Wawancara dengan Ida I Dewa Tjatra, di Amlapura, Karangasem, tanggal 11
November 2009.
13
168
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
pura puseh; Dewa Wisnu, dewa pemelihara alam semesta beserta
isinya, yang dipuja di pura Desa/bale agung; dan Dewa Syiwa, dewa
yang mengembalikan atau meniadakan kembali alam semesta beserta
isinya, yang dipuja di pura dalem.
Ketiga pura yang merupakan syarat mutlak dari keberadaan
desa pakraman disebut sebagai pura kahyangan tiga. Di Desa Tabola,
Pura Desa berada dalam satu lokasi dengan puseh, yaitu terletak di
Banjar Tabola. Sedangkan pura dalem jumlahnya ada beberapa yang
letaknya tersebar di berbagai banjar yang ada di Tabola. Pura dalem ini
juga terbagi menjadi dua, yaitu pura dalem suci dan pura dalem biasa.
Sebagai tempat pemujaan Dewa Syiwa, dewa yang meniadakan kembali
semua yang pernah hidup dan ada di dunia (pralina/kematian) maka di
areal sekitar pura dalem biasanya terdapat kuburan untuk mengubur
jenazah manusia sebelum dibakar melalui upacara yang disebut ngaben.
Setra atau kuburan yang ada di pura dalem di desa pakraman Tabola,
terdapat di pura dalem biasa. Sedangkan pura dalem suci tidak memiliki
setra atau kuburan. Dalam konteks adanya dua jenis pura dalem di
Tabola ini, sering dikatakan bahwa pura dalem suci adalah tempat
bersemayam Dewa Syiwa sedangkan pura dalem biasa menjadi termpat
persemayaman Dewa Durga. Dalam mitos Hindu, Durga dianggap
sebagai penjelmaan dari istri Dewa Syiwa yang bernama Dewa Uma.
Kedua, pawongan, terwujud dalam diri individu, keluarga dan
masyarakat yang bertempat tinggal di dalam wilayah desa pakraman
yang disebut sebagai krama desa. Untuk konteks Desa Pakraman
Tabola, konsep tentang krama desa mencakup dua hal, yaitu : (a)
siapapun yang bermukim di dalam wilayah Desa Tabola lebih dari tiga
bulan (105 hari), serta beragama Hindu; (b) siapapun yang berasal dari
desa Tabola, bermukim menetap di luar Desa Tabola, tetapi tetap
tercatat (terdaftar) pada salah satu banjar yang ada di dalam wilayah
Desa Tabola. Contoh yang terakhir ini adalah orang-orang dari Desa
Tabola yang ada di berbagai wilayah di Bali, tetapi yang secara adat
masih merasa terkait dengan banjar dan desa asalnya di Desa Tabola.
Ketiga, palemahan, terwujud dalam bentuk tanah dan
lingkungan alam sekitarnya yang wilayahnya dianggap merupakan
169
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
teritorial dari desa pakraman. Teritorial atau wilayah ini meliputi tanah
tempat tinggal (rumah) dan bangunannya, tanah sawah, tanah tegalan,
dan tanah-tanah lainnya, termasuk untuk kasus Desa Tabola adalah
tanah wilayah hutan desa, yang batas-batasnya dapat dibedakan dengan
wilayah desa pakraman yang lain. Secara konsepsional, wilayah tanah
atau palemahan yang ada di Desa Tabola, pengaturannya berpedoman
pada tri-mandala. Di sini tri berarti tiga, sedang mandala kurang lebih
berarti tempat atau wilayah.
Konsep tri-mandala meliputi tiga hal, yaitu: (a) utama mandala,
mencakup tanah-tanah yang dijadikan pekarangan pura atau
parhyangan; (b) madya mandala, mencakup tanah-tanah yang dijadikan
pekarangan tempat pemukiman, dan juga tempat bangunan-bangunan
lain seperti banjar (balai banjar), sekolah, kantor pemerintahan, rumah
sakit dan lain-lain; (c) nista mandala, mencakup tanah-tanah yang
dijadikan tanah pekuburan, jalan, lorong, saluran air, tulak tanggul
(tanah khusus untuk tempat upacara jenazah yang pernah dikebumikan
di tanah kuburan), dan lain-lain.
Ketiga pilar (parhyangan, pawongan, dan palemahan) yang
menjadi acuan kehidupan masyarakat desa tersebut memuat nilai-nilai
tertentu, yang perwujudannya dalam praktek kehidupan sosial
masyarakat tertuang dalam aturan yang ada dalam awig-awig desa.
Mengacu pada pemikiran Giddens tentang struktur sosial, maka aturanaturan yang ada dalam awig-awig Desa Tabola boleh disebut sebagai
suatu struktur. Jadi dalam hal ini struktur sosial tidak hanya
menyangkut disposisi peran dan fungsi dari individu atau kelompok
serta pola relasi sosialnya di antara mereka, tetapi juga nilai, norma atau
aturan yang melingkupi keseluruhan proses dalam struktur sosial yang
bersangkutan. Perubahan dalam aspek-aspek disposisi, pola relasi sosial
serta nilai, norma dan aturan, tidak lain adalah bagian penting dari
proses perubahan sosial itu sendiri.
Pada Bab 5 akan dijelaskan bagaimana nilai, norma serta aturan
yang perwujudannya secara eksplisit terdapat dalam awig-awig Desa
Pakraman Tabola itu, ternyata mengalami proses pergeseran maupun
perubahan. Contohnya, masuknya nilai, norma ataupun ketentuan baru
170
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
yang mengatur kehidupan sosial masyarakat desa, yang hal itu dimuat
dalam awig-awig desa. Padahal sebelumnya hal demikian belum ada
atau bahkan tidak dikenal. Begitupula pergeseran maupun perubahan
nilai-nilai dan norma-norma tersebut pada gilirannya juga merubah
disposisi, pola relasi sosial yang ada. Bab 6 dan 7 dalam tulisan ini,
antara lain, menjelaskan bagaimana perubahan disposisi dan pola relasi
sosial yang terjadi di Desa Pakraman Tabola/Sidemen. Fenomena
seperti ini secara keseluruhan, sebagaimana akan dijelaskan pada bagian
berikutnya dari tulisan ini, merupakan suatu bentuk dari proses
perubahan sosial.
Secara organisatoris, struktur pemerintahan Desa Pakraman
Tabola sejak semula selalu dipimpin oleh seorang bendesa atau klian
desa. Selanjutnya bendesa membawahi para pengurus desa lainnya yang
membantu menjalankan roda pemerintahan desa adat/pakraman. Yang
termasuk dalam katagori pengurus desa ini, untuk kasus Desa
Pakraman Tabola, dibagi dua, yaitu prakangge desa atau berarti
“pengurus desa”, serta prajuru desa atau berarti petugas-petugas desa.
Prakangge desa Desa Pakraman Tabola terdiri dari unsur-unsur sebagai
berikut. Pertama, pingajeng desa. Pingajeng artinya kira-kira yang
“didepan”, yaitu terdiri dari individu-individu yang berasal dari
wilayah Geria-Geria di Banjar Punia, Jro Gde, Jro Kanginan Sidemen,
Jro Pekandelan, Pingajeng Arya Wang Bang Sidemen, yang telah
ditunjuk dan diberikan mandat dalam kelompok masing-masing.
Kedua, klian desa atau sering juga disebut bendesa. Klian desa artinya
kira-kira sama dengan kepala desa. Ketiga, pemaden klian desa.
Pemaden kurang lebih artinya wakil, sehingga pemaden klian desa
berarti wakil kepala desa. Keempat, penyarikan desa. Penyarikan
artinya sekretaris, sehingga penyarikan desa berarti adalah sekretaris
desa. Kelima, sedahan atau jururaksa. Sedahan atau jururaksa kira-kira
artinya dalah bendahara desa. Keenam, patangan atau panglima.
Patangan atau panglima adalah pejabat yang menangani masalahmasalah keamanan di desa.
Sedangkan prajuru desa terdiri dari: klian-klian banjar (ketuaketua banjar) dan klian-klian subak (ketua-ketua subak) yang ada
dalam wilayah Desa Tabola. Banjar adalah kesatuan masyarakat adat
171
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
yang strukturnya berada di bawah desa adat/pakraman. Di bawah
stuktur banjar terdapat organisasi yang strukturnya terdiri dari
kesatuan atas beberapa rumah tangga yang disebut tempek/tempekan.
Tempekan dipimpin oleh ketua/klian tempek, yang biasanya dijabat
secara bergiliran di antara para keluarga yang tergabung dalam
kesatuan tempek tersebut. Sedangkan subak adalah kesatuan organisasi
masyarakat yang bergerak di bidang pengelolaan pengairan sawah.
Patut di catat di sini bahwa di Sidemen, selain terdapat organisasi subak
sawah, juga ada subak untuk pengelolaan kebun, yaitu yang disebut
sebagai subak abian. Kedua jenis subak itu mempunyai peran yang
hampir sama, yaitu melakukan pengorganisasi/pengelolaan sumberdaya
air secara kolektif untuk kepentingan pengairan sawah atau kebun
yang tergabung dalam organisasi subak tersebut.
Perlu dikemukakan di sini bahwa sebelum tahun 2000, atau
sebelum Desa Tabola memiliki awig-awig baru yang sudah disuratkan
(tertulis), struktur organisasi desanya tidak mengenal kelembagaan
yang disebut sebagai pingajeng desa. Jadi kelembagaan pingajeng desa
adalah unsur baru dalam struktur organisasi pemerintahan desa adat di
Desa Tabola. Elemen-elemen yang mewakili pingajeng desa adalah
wakil dari keluarga-keluarga brahmana yang ada di Sidemen,
khususnya dari Banjar Punia, dan keluarga-keluarga ksatria Puri
Sidemen.
Sementara
struktur
organisasi
pemerintahan
desa
adat/pakaraman di bawah pingajeng desa, seperti misalnya, klian desa,
pemaden klian desa, serta panyarikan, merupakan struktur yang sejak
lama ada dan berlaku di Desa Pakraman Tabola. Begitupula dengan
struktur yang lain seperti klian banjar dan klian tempek memimpin dan
membawahi struktur organisasi banjar dan tempekan, serta juga
struktur klian subak, yang membawahi organisasi subak yang ada di
Desa Tabola. Berikut gambar organisasi pemerintahan Desa Pakraman
Tabola, menurut awig-awig desa: 14
14
Sampai tulisan ini dibuat, Awig-awig Desa Pakraman Tabola yang di “pasupati”
(disahkan melalui upacara di Pura Desa) masih dianggap berlaku. Dalam beberapa
kesempatan wawancara dengan Klian Desa Tabola yang baru (kepengurusan baru paska
pelengseran pengurus lama bulan Agustus 2008), pihak pengurus baru berencana
172
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
Gambar 14: Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Adat/Pakaraman
Tabola berdasarkan Awig-awig Desa Pakraman Tabola
Bagaimana cara pemilihan klian desa dan klian banjar di Desa
Tabola? Berdasarkan proses pemilihan yang terakhir (pengurus desa
untuk periode 2009-2014), maka pada dasarnya klian desa dipilih oleh
masyarakat melalui proses pemilihan secara langsung. Pada tahap
pertama masing-masing banjar memilih calon dari banjarnya untuk
diajukan dalam pemilihan klian desa. Berdasarkan pengalaman
pemilihan klian desa pada tahun 2009, masing-masing banjar dari 12
banjar yang ada di Desa Tabola mengajukan 3 orang calon. Jadi calon
yang akan diajukan untuk menjadi klian banjar seluruhnya ada 36
mengubah sebagian isi awig-awig, khususnya pasal-pasal yang menyangkut struktur
organisasi pemerintahan desa pakraman.
173
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
orang (12 banjar X 3 orang). Selanjutnya dari calon-calon yang
dimajukan itu diseleksi untuk dipilih 3 besar; dan dari tiga besar itu
kemudian dipilih satu untuk menjadi klian desa oleh masyarakat dari
12 banjar yang ada. Proses pemilihan di lakukan di pura puseh. Lalu
mereka yang tidak terpilih kemudian diminta untuk menjadi prakangge
desa, mendampingi klian desa terpilih. Dengan demikian, seluruh
banjar yang ada di Desa Tabola, semuanya terwakili dalam
kepengurusan desa pakraman. 15
Pada tingkat banjar, pemilihan klian banjar-nya juga dilakukan
secara langsung sebagaimana halnya pemilihan klian desa. Kalau
pemilihan klian desa bermula dari pangajuan calon dari tingkat banjar,
maka untuk pemilihan klian banjar, calon diajukan dari tingkat
tempek. Tempek adalah satuan masyarakat di bawah banjar, yang
dipimpin oleh klian tempek. Tempek ini adalah satuan masyarakat
hukum di desa yang paling kecil, terdiri dari kumpulan rumah tanggarumah tangga. Di dalam banjar ini biasanya berdiri seke-seke, yaitu
suatu organisasi yang khusus dibentuk untuk satu tujuan tertentu,
misalnya, seke gong (untuk kegiatan menabuh gamelan), seke tari
(untuk kegiatan tari), dan lain sebagainya.
Kalau dilihat dari proses pemilihan kepemimpinan di Desa
Tabola, kelihatan bahwa unsur-unsur demokrasi hadir dalam proses itu.
Paling tidak calon pemimpin diseleksi dan dipilih dari tingkatan
susunan masyarakat yang paling bawah, khususnya mulai dari
kelompok rumah tangga di desa, yang disebut tempek, lalu kemudian
meningkat ke banjar. Sebelumnya, khususnya sebelum jaman
reformasi, kepemimpinan dipilih tidak secara langsung oleh
masyarakat, tetapi melalui jalan “musyawarah”, yang dalam hal ini,
seperti diakui oleh Ida I Dewa Gde Catra, prosesnya melalui perpaduan
antara “dipilih dan keturunan”. Jadi umumnya dipilih dari keluarga
bangsawan atau brahmana, yang memang leluhurnya merupakan
bagian dari elit masyarakat setempat. Tentu saja dalam konteks waktu
15
Hasil wawancara dengan Ketut Sukayasa, mantan Perbekal Desa Dinas
Telagatawang (November 1998- Juni 2009), dan ketika wawancara ini dilakukan
menjadi Prakangge Desa Tabola. Wawancara dilakukan pada tanggal 24 Desember
2009.
174
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
itu (sebelum reformasi), campur tangan unsur-unsur pemerintahan di
luar desa adat, apakah desa dinas dan/atau kekuatan “supra-desa”,
seringkali terjadi. Sehingga kalau dibandingkan dengan proses
pemilihan kepemimpinan-kepemimpinan desa pada kurun waktu
sebelumnya, prosesnya memang sedikit agak berbeda.
Pada dasarnya, mereka yang menjadi pengurus desa pakraman
Tabola, tidak memperoleh pendapatan tetap, misalnya berupa gaji,
sebagaimana pengurus desa dinas. Sebagai gantinya mereka
memperoleh keistimewaan tertentu dari desa yang disebut “luput”.
Luput ini adalah bahasa Bali, yang artinya lepas atau bebas dari
berbagai kewajiban tertentu di desa. Jadi dengan menerima “luput” ini
berarti mereka yang menjadi pengurus desa dibebaskan dari kewajiban
untuk, misalnya, membayar iuran wajib yang dibebankan kepada
krama desa untuk kepentingan desa. Juga mereka dibebaskan dari
kewajiban membayar iuran untuk pemeliharaan pura-pura tertentu
yang ada di desa, khususnya pura puseh, pura desa atau pura dalem.
Termasuk dalam hal ini iuran-iuran yang harus ditanggung bersama
para krama desa bila ada kegiatan upacara adat/agama yang
diselenggarakan di Desa Tabola. Contohnya, bila pura puseh ataupun
pura desa berencana menyelenggarakan kegiatan “odalan” yang
membutuhkan biaya cukup besar, yang untuk itu para krama desa
harus menanggung beban biaya bersama, maka para pengurus desa
biasanya dibebaskan untuk ikut menanggung kewajiban itu. “Odalan”
adalah bahasa Bali yang artinya perayaan ulang tahun atau hari jadi
(misalnya, pura) yang diperingati melalui suatu kegiatan upacara agama
atau adat.
Menurut kebiasaan yang berlaku di Desa Tabola, meskipun para
pengurus desa memang mendapatkan hak “luput” untuk bebas
membayar berbagai iuran desa, tetapi mereka tetap harus menjalankan
kewajiban “ngayah”. Secara harfiah, ngayah itu artinya
“meladeni/melayani”, yang dalam konteks desa di Bali sering berarti
melakukan sesuatu pekerjaan untuk desa atau pura di desa tanpa
dibayar. Ngayah ini biasanya melibatkan para krama desa untuk
berbagai jenis pekerjaan, dari mulai pekerjaan mempersiapkan upacara
agama di desa sampai pekerjaan-pekerjaan gotong-royong lainnya yang
175
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
diselenggarakan oleh desa maupun banjar. Sebagai tambahan, dalam
konteks puri (misalnya, Puri Sidemen), ngayah bisa berarti melakukan
sesuatu kegiatan atau pekerjaan untuk puri tanpa dibayar. Biasanya hal
itu dilakukan oleh para pengikut Puri Sidemen (parekan) bila ada
kegiatan upacara atau adat (misalnya “odalan” di pura milik keluarga
puri) yang diselenggarakan oleh Puri Sidemen.
Di luar “luput”, para pengurus desa (prakangge) sebenarnya
memang memperoleh sedikit pembagian hasil dari pendapatan desa
pakraman. Pembagian yang biasanya dalam bentuk uang ini, di Desa
Tabola disebut “solasan”. Solas adalah bahasa Bali yang artinya sebelas.
Jadi yang dimaksud dengan solasan di sana adalah bahwa setiap
pemasukan (uang) yang diperoleh desa dari berbagai sumber
penghasilan, disisihkan sejumlah sepersebelasnya untuk kemudian
dibagikan kepada semua pengurus desa sebagai imbalan atas jabatannya
itu. Sumber pendapatan desa ini, antara lain, berasal dari pemasukan
sewa (dari para pedagang) pasar milik desa, sewa atau bagi hasil tanahtanah desa yang digarap oleh para penggarap, dan lain-lain. Karena
jumlahnya tidak terlalu besar maka hasil solasan ini biasanya
dikumpulkan terlebih dahulu untuk kemudian dikeluarkan dan
dibagikan kepada pengursus desa setengah tahun atau bahkan tidak
jarang setahun sekali. Biasanya waktu pembagiannya mendekati hari
raya, misalnya, mendekati Hari Raya Nyepi atau juga Hari Raya
Galungan. 16
Memang, dari segi imbalan material, sebagaimana diakui oleh I
Gusti Lanang Gita, mantan Klian Desa Pakraman Tabola, menjadi klian
desa atau bendesa, tidak lebih dari pekerjaan ngayah, pekerjaan
pengabdian. Suatu pengakuan yang kemudian juga dibenarkan oleh
Klian Desa Tabola yang baru, I Gusti Lanang Sidemen, yang
menggantikan kepengurusan desa pakraman yang lama di bawah
kepemimpinan I Gusti Lanang Gita. Namun demikian dari segi
kultural, jabatan sebagai klian desa boleh dikatakan menghasilkan suatu
imbalan yang tidak kecil, khususnya dipandang dari sisi perolehan
status dan prestise sosial. Atau kalau dipandang dari konsep kapital
16
Hasil wawancara dengan I Gusti Lanang Gita, Mei 2008.
176
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
menurut Bourdieu maka menjadi klian desa, perolehan (imbalan)
kapital sosial, kultural atau simbolik menjadi lebih penting ketimbang
kapital ekonomi. Tetapi permasalahannya adalah bahwa secara teoritis,
kapital sosial dan kultural pada tingkatan tertentu bisa
ditransformasikan menjadi kapital ekonomi (dan begitu pula
sebaliknya). Sehingga sesungguhnya kapital simbolik, sosial maupun
kultural pada dasarnya juga tidak kalah penting.
Adanya kenyataan seperti inilah yang menyebabkan klian desa
(bersama jajaran pengurus desanya) tetap menempati kedudukan yang
penting dalam keseluruhan kehidupan sosial masyarakat desa. Hal
demikian juga terbukti bahwa dalam proses Pilkada langsung yang
dilaksanakan di Bali sejak tahun 2005, apakah itu Pilkada untuk
memilih Gubernur maupun Bupati/Walikota, posisi klian desa menjadi
penting secara politis. Sehingga tidak mengherankan kalau dalam setiap
Pilkada (untuk kasus desa pakraman adalah pemilihan Gubernur
Provinsi Bali atau Bupati Karangasem) Klian Desa Tabola (dan jajaran
pengurusnya) menjadi “target” untuk bisa memberikan dukungan bagi
kepentingan mobilisasi suara.
Seperti halnya terjadi di desa-desa pakraman di seluruh Bali,
setiap berlangsung Pilkada, di suatu desa adat/pakraman tertentu
diselenggarakan apa yang disebut sebagai mesimakrama. Arti dari
mesimakrama sebenarnya adalah suatu pertemuan tidak resmi/informal
dalam rangka silahturahmi untuk menyampaikan sesuatu keinginan
tertentu. Dalam konteks politik Pilkada (Provinsi atau
Kabupaten/Kota), yang dimaksud dengan keingingan tertentu itu
adalah meminta dukungan politik. Yang hadir dalam mesimakrama
biasanya adalah klian desa (beserta jajaran pengurusnya), masyarakat
desa setempat, dan tentu saja, calon Gubernur/Wakil Gubernur atau
calon Bupati/Wakil Bupati yang akan berkompetisi dalam Pilkada.
177
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Desa Tabola Dalam Perubahan Jaman
• Desa Tabola Sebelum Jaman Reformasi
Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, desa-desa di
Bali, hingga sekarang terbagi menjadi dua jenis desa, yaitu desa dinas
dan desa adat (yang sejak tahun 2001 namanya dikembalikan menjadi
desa pakraman). Hal yang sama juga terjadi di Sidemen, yang di masa
lalu desanya memang telah terbagi menjadi dua (dengan wilayah yang
sama), yaitu desa dinas Sidemen dan desa adat Tabola (sekarang Desa
Pakraman Tabola). Kelak kemudian, sejak akhir tahun 1990-an Desa
Dinas Sidemen dimekarkan sehingga sekarang menjadi tiga desa dinas,
yaitu Desa Dinas Sidemen, Desa Dinas Telagatawang dan Desa Dinas
Sinduwati. Ketiga desa dinas itu masih tetap berada dalam satu wilayah
Desa Pakraman Tabola.
Desa Dinas Sidemen itu sendiri merupakan desa lama, yang
eksistensinya sudah ada sejak masa kolonial atau ketika Kerajaan
Karangasem mulai berada di bawah kekuasaan Pemerintah Kolonial
Belanda. Desa dinas itu dipimpin oleh seorang kepala desa (Dinas),
yang disebut sebagai perbekel. Wilayahnya juga sering disebut sebagai
wilayah keperbekelan. Namun jauh sebelum berada di bawah
kekuasaan kolonial, atau pada masa Kerajaan Karangasem, Sidemen
adalah suatu wilayah kedistrikan Kerajaan Karangasem yang disebut
kepunggawaan. Kepunggawaan ini dipimpin oleh seorang punggawa.
Sebagai catatan, pada masa itu, Kerajaan Karangasem memiliki
23 distrik atau kepunggawaan, yang sebagian dari wilayah
kepunggawaan itu hingga kini (nama dan wilayahnya) masih ada.
Wilayah-wilayah kepunggawaan ini antara lain: Seraya, Karangasem,
Bugbug, Pasedahan, Ulakan, Manggis, Angantalu, Budakeling, Saren,
Bebendem, Sibetan, Pesangkan, Selat, Muncan, Rendang, Besakih,
Talibeng, Babi, Abang, Culik, Kubu, Tianyar, dan Sidemen sendiri.
Saat ini, wilayah bekas kepunggawaan tersebut, sebagian menjadi
wilayah kecamatan di Kabupaten Karangasem. Termasuk dalam hal ini
adalah Kecamatan Sidemen, yang di dalamnya tercakup Desa Dinas
178
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
Sidemen dan dua desa dinas lainnya hasil pemekaran (Telagatawang
dan Sinduwati).
Ketika pemerintah kolonial membentuk keperbekelan, yang
dalam hal ini mempunyai fungsi untuk melakukan pengelolaan
administrasi pemerintah (kolonial) pada tingkat masyarakat paling
bawah (desa), maka pemerintahan adat yang sudah ada jauh
sebelumnya tidak dihapuskan. Sehingga dengan demikian di Sidemen
sejak jaman kolonial ada dua desa, yaitu Desa Adat Tabola dan Desa
dinas Sidemen (keperbekelan Sidemen). Wilayah Keperbekelan
Sidemen itu sendiri semula adalah bagian dari wilayah Kepunggawaan
Sidemen, yang wilayahnya semula kurang lebih sama dengan wilayah
Kecamatan Sidemen sekarang. Dalam perkembangannya kemudian,
keberadaan kepunggawaan ini berangsur-angsur pudar, tergantikan
oleh keberadaan keperbekelan. Kenyataan seperti ini bisa dipahami
karena memang sejalan dengan semakin kokohnya kekuasaan
pemerintahan kolonial maka unsur-unsur birokrasi kerajaan, dalam hal
ini kepunggawaan, menjadi semakin memudar peran dan
esksistensinya, digantikan oleh birokrasi kolonial, seperti halnya
keperbekelan.
Di beberapa tempat, para punggawa dan/atau keturunannya
(seringkali adalah para pengikut setia raja/kerajaan) ini sebagian malah
diangkat menjadi perbekel oleh pemerintah kolonial. Dengan menjadi
perbekel ini maka mau tidak mau mereka terintegrasi dalam birokrasi
pemerintahan kolonial paling bawah, yaitu desa dinas. Di lain pihak,
dalam wilayah yang sama sejak dulu terdapat para bendesa atau klian
desa sebagai kepala pemerintahan adat yang memimpin pengelolaan
urusan-urusan adat dan agama. Di sinilah kemudian awal dari
terbentuknya apa yang disebut dualisme desa di Sidemen, yaitu Desa
Dinas Sidemen (yang sejak akhir tahun 1990-an wilayahnya sudah
dimekarkan menjadi tiga desa) di satu sisi, dan Desa Adat Tabola (yang
sejak tahun 2001 nama dan sebutannya diganti menjadi Desa Pakraman
Tabola) di sisi lain.
Jadi, sebagaimana sempat di singgung di depan, dualisme desa
yang ada di wilayah Desa Pakraman Tabola dewasa ini mencakup
179
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
dualisme desa antara: pertama, Desa Adat/Pakaraman Tabola di satu sisi
dan ke dua, Desa Dinas Sidemen, Telagatawang serta Sinduwati di sisi
lain. Sehingga pada akhirnya memang krama (warga) Desa Pakraman
Tabola pada dasarnya mencakup warga atau penduduk dari tiga desa
dinas sebagaimana disebutkan di atas. Terkait dengan hal ini, perlu juga
dicatat bahwa sejak masa pra-kolonial, wilayah adat Desa Pakraman
Tabola belum pernah dimekarkan. Cakupan wilayah adatnya sejak
dahulu masih sama dan tetap berpusat pada keberadaan kahyangan tiga,
pura puseh, pura desa/balai agung, dan pura dalem yang ada di Desa
Tabola itu sendiri.
Kembali ke soal keberadaan dualisme desa yang sudah ada sejak
masa kolonial. Dalam soal dualisme ini, ada kencenderungan bahwa
desa dinas sejak semula memiliki peranan politik yang kuat atas
masyarakat desa secara keseluruhan. Kuatnya peranan politik desa
dinas ini tidak terlepas dari pengaruh kekuatan politik kolonial atas
pemerintahan kerajaan, yang dalam konteks Sidemen adalah
Pemerintahan Kerajaan Karangasem. Sebagaimana sempat disinggung
dalam bagian sebelumnya bahwa kekuasaan politik Kerajaan
Karangasem sebagai suatu entitas politik yang mandiri terus melorot
ketika Pemerintah Kolonial Belanda mulai menancapkan kekuasaan di
Bali. Ini terutama terjadi sejak Kerajaan Buleleng, yang didukung
Kerajaan Karangasem, jatuh di tangan kekuasaan Pemerintah Kolonial
dalam Perang Jagaraga sekitar tahun 1849.
Puncaknya, pada tahun 1930, Raja Karangasem, bersama Raja
Gianyar, memperoleh status Stadehauder, yang berarti Raja adalah
wakil dari Pemerintah Hindia Belanda. Dengan kedudukan sebagai
wakil pemerintah kolonial ini, maka mau tidak mau Kerajaan
Karangasem menjadi semakin terintegrasi dengan kekuasaan birokrasi
kolonial. Melalui proses pengintegrasian kekuasaan politik kerajaan ini,
maka desa dinas yang sejak awal sengaja dibentuk oleh Pemerintah
Kolonial, mau tidak mau semakin memiliki kedudukan yang kuat
dalam konteks pengaruh kekuasaan politik di desa atas masyarakat
desa. Sebaliknya, desa adat, semakin terfokus untuk melakukan
pengelolaan di bidang adat dan/atau agama saja. Apalagi, sebagaimana
dikemukakan sebelumnya bahwa kepemimpinan desa dinas, sejak awal
180
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
diambil dari para bekas punggawa (dan keturunannya), yang tentu saja
dalam tingkat tertentu memiliki pengaruh cukup kuat di desa.
Keberadaan kepunggawaan sendiri, yang semula lebih banyak memiliki
fungsi dan kedudukan sebagai wakil raja (di daerah), berangsur-angsur
pudar dan berubah menjadi aparat birokrasi kolonial di tingkat desa.
Apa yang digambarkan tersebut di atas itu juga terjadi di
Sidemen. Perbekel Sidemen, pada awal-awal pertumbuhan desa dinas
di sana, misalnya, adalah keturunan bekas punggawa atau juga dari
keluarga Puri Sidemen. Sebagai contoh, Perbekel Sidemen pada tahun
1930-an hingga tahun 1950-an adalah seorang keturunan bangsawan
tinggi bekas punggawa. Dia adalah Ayah dari Ida I Dewa Catra, yang
pada tahun 1960-an menjadi sekretaris desa, mendampingi Cokorda
Gde Dangin sebagai Perbekel Sidemen. Sedangkan Cokorda Gde
Dangin adalah anak keturunan dari penguasa Puri Sidemen saat itu,
Cokorda Gede Rai. Cokorda Gde Dangin ini kelak kemudian, ditunjuk
menjadi Penglingsir Puri Sidemen, sampai sekarang ini. Sebelum
menjadi perbekel, Cokorda Gde Dangin sempat menjadi Bendesa/Klian
Desa Adat Tabola.
Jadi dengan demikian, desa dinas itu menjadi kuat secara politik
bukan hanya karena didukung oleh kekuasaan politik pemerintahan
supra-desa, tetapi lebih dari itu juga karena kepemimpinannya direkrut
dari unsur tokoh masyarakat setempat, seperti keturunan para bekas
punggawa atau untuk kasus Sidemen juga dari keluarga Puri Sidemen.
Di masa Orde Baru, dukungan kekuasaan politik dari pemerintah
supra-desa terhadap keberadaan desa dinas tetap berlangsung
sebagaimana halnya pada masa kolonial. Malahan pada masa ini boleh
dikatakan dukungannya menjadi semakin kuat dan kokoh. Terlebihlebih setelah dikeluarkan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa, di mana desa-desa di Indonesia menjadi bagian langsung dari
birokrasi pemerintahan supra-desa, dengan susunan hirarki mulai dari
atas ke bawah, yaitu Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah
Provinsi, Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintahan
Kecamatan, dan Pemerintahan Desa (Parimartha, 2009: 136-167).
181
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Dalam UU No 5 Tahun 1979, pasal (1), ayat (a), disebutkan
bahwa “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan
terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan
rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. Dengan ketentuan ini, maka pemerintahan desa tak pelak
adalah bagian dari birokrasi pemerintahan secara keseluruhan. Dan
karena itu bisa dipahami kalau dukungan politik terhadap
pemerintahan desa diberikan secara otomatis oleh pemerintahan di
atasnya, khususnya dalam hal ini secara langsung adalah pemerintah
Kecamatan dan Kabupaten.
Dengan adanya dukungan dari birokrasi pemerintahan supradesa itu, maka desa dinas di Bali, tak terkecuali di Sidemen, menjadi
sosok organisasi yang sangat berpengaruh di desa secara sosial-politik.
Dalam konteks ini, misalnya, hampir tidak ada suatu kegiatan di desa
pada waktu itu yang lepas dari kontrol/pengawasan dan kendali
pemerintahan desa dinas. Tidak terkecuali apakah kegiatan itu adalah
kegiatan adat atau keagamaan yang semestinya berada di luar
wewenang pemerintahan desa dinas. Di samping itu, secara ekonomi,
desa dinas juga berperan sebagai “lokomotif” dari gerak pembangunan
perekonomian di desa. Hal ini terjadi karena berbagai macam program
pembangunan ekonomi yang digulirkan pemerintah ‘supra-desa’ pada
tingkat lokal/desa, umumnya langsung ataupun tidak langsung,
dijalankan melalui mekanisme perantaraan pemerintahan desa dinas.
Dengan praktek seperti ini, maka pengaruh dan peranan desa
dinas di mata masyarakat desa pada umumnya menjadi semakin kuat.
Bahkan pada masa puncak-puncaknya kekuasaan pemerintahan Orde
Baru, atau kira-kira pada akhir dasa warsa 1980-an sampai 1990-an,
pengaruh dari kekuatan ekonomi-politik desa dinas menetrasi aspekaspek kehidupan adat dan agama, yang seharus menjadi urusan desa
adat. Pada masa itu, hampir tidak ada kegiatan adat atau agama,
khususnya yang melibatkan massa dalam jumlah besar, yang tidak
seijin atau sepengetahuan pemerintahan desa dinas, yang dalam hal ini
182
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
tentu saja, didukung oleh aparat keamanan setempat (polisi dan
militer).
Jadi hegemoni desa dinas terhadap desa adat di Sidemen
mencapai titik puncaknya justru di masa Orde Baru, khususnya pada
satu sampai dua dekade sebelum jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun
1998. Sebagaimana dituturkan oleh seorang mantan Kepala Desa Dinas
Sidemen (perbekel tahun 1994 - 1999), yang sejak tahun 2002 (setelah
berhenti jadi perbekel) terpilih menjadi Bendesa/ Klian Desa Pakraman
Tabola, bahwa pada masa Orde Baru kekuasaan desa dinas sangat kuat
sekali bila dibandingkan dengan desa adat. Malah menurut
pengalamannya, apapun yang dikatakan pemerintah (desa dinas) pada
waktu itu, harus jalan. “Desa adat belum belum melejit seperti
sekarang,” demikian antara lain diungkapkannya. 17
Keadaan yang terjadi di Sidemen pada masa Orde Baru itu,
sebagaimana dikemukakan oleh mantan Perbekel Sidemen dan mantan
Bendesa/Klian Desa Tabola, bukan hanya terjadi di Sidemen atau
Tabola saja. Tetapi situasi itu juga berlangsung di hampir seluruh desa
di Bali. Subanda (2005: 91-101) dalam disertasinya berjudul “Negara,
Desa Adat dan Rakyat Dalam Kepemimpinan Lokal di Bali”, misalnya,
menyinggung dominasi dari desa dinas terhadap desa adat pada masa
Orde Baru. Desa Dinas, dengan kepala desanya, dalam hal ini (di Bali)
digambarkan sebagai instrumen bagi Pemerintah Pusat untuk dapat
melaksanakan program-programnya secara penuh di desa, apakah
sesuai dengan kebutuhan rakyat atau tidak. Masa setelah
diberlakukannya UU No.5 Tahun 1979 hingga akhir Pemerintahan
Orde Baru atau tepatnya setelah diundangkan UU No. 22 Tahun1999,
digambarkan sebagai akhir dari otonomi dan demokrasi di desa.
Fenomena yang sama juga dikemukakan oleh Sunantara (2004:
106-116), melalui tulisan hasil penelitian berjudul “Desa Dinas VS Desa
Pakraman, Konflik Otonomi Desa di Bali pada Era Otonomi”. Dalam
tulisan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Pakraman Penjaringan,
Hasil wawancara dengan mantan Perbekel Sidemen ( tahun 1994-1999) dan mantan
Bendesa/Kliyan Desa Pakraman Tabola( tahun 2002-2009), I Gusti Lanang Gita, Mei
17
2008, Banjar Tabola, Desa Pakaraman Tabola.
183
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Kabupaten Jembrana itu, antara lain dikemukakan bahwa pada masa
Orde Baru desa pakramanan/desa adat hanya berperan sebagai obyek
dari pembangunan. Desa pakraman sering dianggap sebagai bagian atau
bahkan bawahan dari desa dinas, dan desa dinas sendiri tidak jarang
melakukan intervensi berlebihan terhadap urusan-urusan yang
sebenarnya menjadi hak otonomi dari desa pakraman.
Sementara I Gede Parimarta, dalam tulisannya berjudul
“Memahami Desa Adat, Desa Dinas, dan Desa Pakraman (Satu Tinjauan
Historis Kritis)”, mengemukakan hal yang hampir sama, khususnya
dalam kaitannya dengan relasi antara desa adat dan desa dinas di masa
Orde Baru. Bahkan dengan adanya UU No 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa yang substansinya membawa konsekuensi
menguatnya peranan desa dinas di Bali, istilah banjar di Bali malah
diganti dengan istilah di sana (Parimarta, 2009: 136-167).
Banjar adalah istilah khas atau istilah asli di Bali yang artinya
merujuk pada satu kesatuan masyarakat adat yang cakupannya berada
di bawah desa adat (lihat kembali struktur organisasi desa
adat/pakraman dalam tulisan ini). Sementara istilah di sana justru tidak
atau kurang dikenal di Bali. Paling tidak sebelum istilah itu dikenalkan
untuk menggantikan istilah banjar. Istilah di sana lebih mengacu pada
kesatuan masyarakat hukum di bawah desa, tetapi dalam konsep atau
pengertian bagi desa-desa di Jawa. Istilah di sana ini diadopsi dalam UU
No. 5 Tahun 1979, dan bersama kata “desa”, dikenalkan diseluruh
Indonesia untuk merujuk pada pengertian kesatuan masyarakat hukum
di bawah Kecamatan.
Akhirnya, Schulte-Nordholt (2007: 27-29), dalam bukunya
berjudul “Bali, An Open Fortress 1995-2005” juga menyebutkan bahwa
dalam situasi adanya dualisme desa di Bali yang muncul sejak jaman
kolonial, yaitu desa adat dan desa dinas, maka desa adat lebih banyak
menjadi subordinat dari desa dinas. Ini terutama terjadi pada masa
Pemerintahan Orde Baru. Terkait dengan hal ini, ia menulis, antara
lain:
“This adat-dinas divide was to survive well into the New Order,
when the state penetrated deeper into village affairs and the desa
184
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
adat was increasingly subordinated to the desa dinas. Various
government regulated stipulated that adat was but an instrument
in the pursuit of development and needed state guidance and
supervision.”
• Tabola di Jaman Reformasi
Sama seperti banyak daerah lain di Indonesia, gelombang
reformasi menjadi semakin kuat menerpa Bali, terutama sejak
pemerintahan Orde Baru ambruk pada tanggal 21 Mei 1998. Pada
tanggal itu, Presiden Soeharto yang memimpin Indonesia sejak tahun
1967, melengserkan diri, dan diganti oleh Wakil Presiden pilihannya,
B.J. Habibie. Ibarat gelombang air bah, di mana-mana di Bali pada
waktu itu terjadi perlawanan terhadap kekuatan status quo, yang
disimbolkan oleh keberadaan pemerintahan lokal yang pada waktu itu
ditopang oleh Golkar. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau pada
Pemilu pertama sejak Orde Baru ambruk (1999) di Bali hasilnya
berubah secara sangat drastis, bahkan bila dibandingkan dengan
perubahan hasil Pemilu di daerah-daerah lainnya Indonesia.
Di Tabola sendiri, beberapa saat setelah Presiden Soeharto
lengser, banyak tokoh masyarakat setempat yang mengubah haluan
politiknya dengan tidak lagi memberikan dukungan ke Golkar. Sebagai
alternatifnya, umumnya mereka memberikan dukungan ke PDIP di
bawah kepemimpinan Megawati Sukarnoputri. Salah satu di antara
tokoh lokal itu adalah penglingsir (pemimpin/pewaris/penguasa) Puri
Sidemen, Cokorda Gde Dangin. Jadi dalam suasana politik yang baru
itu, pak Cok mampu kembali membangun dan memperkuat posisi
simboliknya sebagai salah satu tokoh utama di Desa Pakraman Tabola.
Dalam hal ini pengaruhnya sekarang tidak lagi hanya sebatas sebagai
tokoh adat (mengingat dia adalah pewaris/penglisir Puri Sidemen),
tetapi juga kembali sebagai tokoh politik lokal yang disegani.
Selanjutnya pada Bab 7 dari tulisan ini akan dijelaskan proses
dinamika bagaimana Pak Cok membangun kembali dan
mentrasformasikan modal sosial dan kulturalnya untuk memperkuat
185
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
kembali pengaruh politiknya di Sidemen/Tabola dalam lingkungan
sosial-politik yang sedang berubah karena faktor reformasi. Yang
dimaksudkan dengan modal sosial dan kultural dalam hal ini adalah
kekuatan-kekuatan sosial dan kultural yang masih melekat pada diri
Pak Cok dalam posisinya sebagai Penglingsir Puri Sidemen. Hal ini
yang membuatnya tetap disegani dan dihormati oleh masyarakat
setempat. Kekuatan sosial ini salah satunya, misalnya, jaringan
patronase yang terbangun sejak dahulu kala antara keluarga Puri
Sidemen dan para perekan yang ada di lingkungan wilayah Sidemen.
Sedangkan kekuatan kultural terwujud dalam bentuk posisi dan
pengaruhnya sebagai salah satu pemimpin adat (primus interpares) di
Sidemen.
Pada awal-awal reformasi itu pula mulai terjadi berbagai
perubahan organisasi serta pergantian kepemimpian di Sidemen, yang
melibatkan baik desa dinas maupun desa adat/pakraman (Desa Tabola).
Sebagai contoh, pada masa awal reformasi itu, Desa Dinas Sidemen,
misalnya, mulai dimekarkan sehingga sekarang menjadi tiga desa dinas,
dari semula hanya satu desa dinas. Dalam proses pemekaran itu, salah
satu kerabat Puri Sidemen berhasil menjadi Perbekel Desa Sidemen,
yang merupakan desa dinas induk. Dia adalah I Dewa Ketut Mayun,
keponakan dari Pak Cok, yang tinggal di lokasi dalam lingkungan Puri
Sidemen. I Dewa Ketut Mayun terpilih sebagai Perbekel tahun 2000.
“Saya terpilih sebagai perbekel tahun 2000. Dulu namanya kepala desa
(dinas), sekarang perbekel. Istilah perbekel sebagai nama pengganti dari
kepala desa mulai muncul tahun 2001”. 18
Sebagaimana dikemukakan oleh I Dewa Ketut Mayun, salah
satu perubahan yang terjadi di Sidemen (dan juga di desa-desa dinas di
Bali pada umumnya) adalah perubahan istilah nama pemimpin desa
dinas, yaitu dari kepala desa menjadi perbekel. Selintas memang
kelihatan sederhana karena hanya perubahan nama. Tetapi kalau
ditelusuri lebih lanjut, perubahan nama itu tampaknya adalah bagian
dari upaya untuk membangun suatu identitas baru desa-desa yang khas
Bali dan mengacu pada sejarah masa lampau. Ini mirip atau sejalan
18
Wawancara dengan I Dewa Ketut Mayun, Perbekel Sidemen, Mei 2008.
186
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
dengan perubahan nama desa adat menjadi desa pakraman di Bali.
Seperti sempat disinggung dalam bagian sebelumnya dari tulisan ini,
kepala desa adalah sebutan resmi untuk para pemimpin desa
sebagaimana dicantumkan dalam UU No. 5 Tahun 1979, tentang
Pemerintahan Desa. Nama kepala desa dipakai di seluruh Indonesia,
meskipun nama itu semula lebih mengacu pada istilah nama untuk
desa-desa di Jawa. Salah satu aspek dari “penyeragaman” desa menurut
UU No. 5 Tahun 1979 adalah nama desa itu sendiri beserta istilah nama
yang digunakan untuk menyebut pemimpinnya, yaitu kepala desa.
Selain itu, perubahan nama kepala desa menjadi perbekel juga
adalah bagian dari proses untuk mengembalikan otonomi desa,
sebagaimana tercantum dalam UU No. 22 Tahun 1999, khususnya
pasal-pasal yang memuat ketentuan tentang desa. Menurut undangundang yang secara resmi baru diterapkan tahun 2001 itu, nama desa
dimungkinkan untuk diganti dengan istilah atau nama lainnya di luar
nama desa. Misalnya saja, sekarang nama desa di Aceh, dikembalikan
lagi dari nama desa menjadi gampong; atau di Sumatera Selatan, nama
desa mulai dikembalikan pada nama aslinya, yaitu marga. Hal yang
sama mulai banyak terjadi diberbagai daerah lainnya di Indonesia.
Lalu pada tahun 2001, Pemerintah Daerah Provinsi
mengeluarkan Perda No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang
substansinya memperkuat keberadaan desa pakraman. Perda ini
merupakan pengganti dari Perda No. 6 Tahun 1986 tentang Desa Adat,
yang isinya mengatur tentang kedudukan, fungsi dan peranan desa adat
sebagai kesatuan hukum masyarakat adat di Daerah Provinsi Bali.
Namun sebagaimana disebutkan di atas, karena posisi desa dinas pada
masa Orde Baru sangat kuat, maka posisi desa adat seolah-olah tetap
hanya menjadi subordinasi dari desa dinas. Sedangkan Perda tentang
desa pakraman tahun 2001 itu muncul dalam situasi reformasi yang
suasananya memberikan kesempatan bagi tumbuhnya kembali
otonomi desa asli. Inilah yang menyebabkan Perda baru itu langsung
dimaknai oleh desa-desa adat (pakraman) di Bali, tidak terkecuali Desa
Tabola, sebagai kesempatan untuk memperkuat kedudukannya yang
selama ini seperti “terpinggirkan”.
187
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Seperti halnya banyak desa-desa adat lainnya di Bali, Desa
Tabola dan desa-desa adat lainnya yang ada di sekitarnya (desa adat
yang ada di wilayah Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem)
merespon terbitnya Perda ini dengan mulai menyusun awig-awig desa.
Hasilnya adalah terbit Awig-Awig Desa Tabola, yang proses
penyusunannya cukup memakan waktu lama. Menurut I Dewa Tjatra,
proses pembuatan Awig-Awig Desa Pakraman Tabola memakan waktu
dua tahun lebih. Sebagaimana ketentuan yang ada dalam Perda, proses
pembuatan Awig-Awig Desa Pakraman Tabola melibatkan krama desa
melalui serangkaian paruman atau musyawarah desa. 19 Awal tahun
2003 atau kurang lebih 2 tahun setelah terbitnya Perda No. 3 Tahun
2001, terbit awig-awig tertulis Desa Pakraman Tabola, dalam versi
bahasa Bali dan bahasa Indonesia.
Dengan lahirnya awig-awig baru di Desa Pakraman Tabola,
maka lahir pula semacam konstitusi baru yang menjadi landasan bagi
Desa Tabola untuk “mengurus rumah tangganya sendiri”. Sebelum ini,
awig-awig memang sudah ada, tetapi belum tertuang dalam satu bentuk
ketentuan tertulis yang sistematis. Bahkan dalam beberapa hal,
ketentuan yang ada lebih mengacu pada konvensi tradisi yang tidak
tertulis, yang dipraktikkan sebagai warisan tradisi yang turun temurun
sehingga, mengacu pada konsep Pierre Bourdieu, menjadi habitus.
Oleh karena itu awig-awig yang ada sebelumnya boleh dikatakan tidak
terlalu banyak yang memahaminya secara penuh, terkecuali para tetua
ataupun tokoh desa adat setempat. 20 Mengacu pada konsep Giddens,
pemahaman terhadap awig-awig lama secara konsepsional bisa disebut
sebagai pemahaman berdasarkan kesadaran praktik ketimbang
diskursif. Sebaliknya, dengan awig-awig baru, karena dituliskan secara
sistematis dan disusun dalam bahasa Bali maupun bahasa Indonesia,
Wawancara dengan Ida I Dewa Catra, bulan Mei tahun 2008.
Dalam Perda No 3 Tahun 2001, pembuatan atau penyusunan awig-awig baru itu
disebut sebagai “penyuratan” awig-awig. Desa Pakraman memiliki tugas, antara lain
melakukan “penyuratan” awig-awig. Disebut “penyuratan” karena desa adat/pakraman
di Bali pada umumnya sudah memiliki awig-awig sebagai suatu warisan tradisi yang
diturunkan dari generasi ke generasi. Hanya masalahnya warisan tradisi itu lebih
banyak belum terumuskan secara sistematis, dan malahan tidak jarang bentuknya
belum atau tidak tertulis, meskipun substansinya diakui sebagai suatu sistem nilai yang
berlaku bagi masyarakat setempat.
19
20
188
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
maka semua warga desa memiliki kesempatan untuk mengakses dan
memahaminya secara lebih baik. Awig-awig baru itu, sebagai suatu
ketentuan hukum (adat), boleh dikatakan sekarang sifatnya menjadi
lebih terbuka.
Juga sejak masa reformasi (1999) pemerintah desa dinas tidak
bisa lagi mengandalkan kekuatan pemaksa (polisi dan di antara) untuk
melaksanakan program-programnya. Untuk itu, setiap program yang
membutuhkan dukungan masyarakat luas, desa dinas mau tidak mau
harus berkomunikasi dalam rangka mendapatkan dukungan desa
pakraman. Dengan demikian, kedudukan desa adat/pakraman terhadap
desa dinas pada akhirnya memang menjadi semakin menguat. Awigawig desa yang sudah disuratkan juga semakin membuat kedudukan
desa adat/pakraman menguat di mata warga/krama desa. Ini karena
awig-awig yang ada sekarang atau yang sudah disuratkan, antara lain
memuat ketentuan-ketentuan yang secara eksplisit mengatur hubungan
antara krama desa dengan desa pakraman. Termasuk dalam hal ini
sanksi-sanksi atas kemungkinan pelanggaran atau penyimpangan yang
terjadi. Selain itu, sebagai ketentuan hukum adat, awig-awig yang
sudah disuratkan itu juga kuat, karena ketika disahkan, setelah
melewati proses paruman desa, awig-awig itu “dipasopati” di pura
puseh. Dipasopati, artinya kurang lebih awig-awig itu dinyatakan
sebagai suatu “kesepakatan bersama” lewat suatu upacara adat yang
dilakukan di pura puseh.
Lahirnya suatu kesepakatan bersama (yang baru) ini boleh
dikatakan merupakan bagian dari suatu proses perubahan sosial yang
berlangsung di Desa Tabola. Kalau dilihat dari sisi dimensi perubahan,
maka munculnya kesepakatan bersama yang baru itu memiliki aspek
perubahan pada dimensi nilai-nilai dan norma-norma masyarakat, yang
pada aspek-aspek tertentu akan merubah sebagian habitus krama desa.
Bab 5 dalam disertasi ini akan membahas, antara lain, beberapa aspek
habitus masyarakat desa yang berubah itu. Sebagaimana akan dijelaskan
kemudian, perubahan yang terjadi itu ternyata terus berlangsung,
bahkan menemukan bentuknya yang lebih dinamis justru ketika
kesepakatan bersama yang secara formal sudah di pasopati itu mulai
dipraktikkan.
189
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Rangkuman
Dari uraian tulisan di atas, tergambar jelas bahwa seiring
dengan perkembangan waktu, Desa Adat (sekarang dinamakan Desa
Pakraman) Tabola mengalami berbagai perubahan sosial, yang kalau
dilihat secara kasat mata, kesan seperti itu mungkin tidak terlalu
tampak, atau bahkan tidak kelihatan sama sekali. Hal seperti ini karena
kesan Desa Tabola yang terlihat selalu tenang, semuanya berjalan
seolah-olah seperti apa adanya sebelumnya.
Tetapi kesan memang tidak jarang berbeda dengan realitas yang
berkembang. Sebab berbagai perubahan sosial ternyata menerjang Desa
Tabola, menyusul datangnya gelombang reformasi tahun 1998/1999.
Semuanya itu menjadikan desa yang berada di kaki Gunung Agung itu
berkembang menjadi lebih dinamis dibandingkan sebelumnya,
terutama pada masa Orde Baru, ketika Desa Tabola hanya menjadi
seolah-olah bagian sub-ordinasi dari Desa Dinas Sidemen. Subordinasi
yang menempatkannya hanya berperan dalam hal adat dan agama saja,
yang hal demikianpun juga tidak bisa lepas sama sekali dari campur
tangan Desa Dinas Sidemen.
Selintas tergambar bahwa perubah-perubahan yang terjadi di
Tabola, antara lain, menyangkut perubahan dalam hal nilai-nilai dan
norma-norma (yang terwujud dalam isi awig-awig), perubahan dalam
hal kelembagaan (relasi kelembagaan di desa, utamanya relasi antara
desa adat dan desa dinas), serta kepemimpinan di desa. Perubahanperubahan yang sudah disinggung dalam tulisan di atas, selanjutnya
akan dibahas secara lebih detil pada bab-bab berikutnya dari disertasi
ini.
Seperti juga sempat disinggung dalam tulisan di atas, pengertian
perubahan yang dibahas dalam keseluruhan tulisan ini mengacu pada
pengertian konsep yang dikembangkan oleh Giddens dan Bourdieu.
Sehingga pengertian perubahan dalam aspek struktur di sini, misalnya,
mengacu pada pengertian menurut pemikiran Giddens dan Bourdieu.21
21
Sebagai catatan, pengertian struktur sosial dalam arti yang umum mengacu pada
definisi yang di samping Harper (1989) yang mengartikan struktur sosial sebagai satu
190
BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
Sejalan dengan ini, maka pengertian perubahan itu tidak saja mengacu
pada perubahan yang sifatnya material atau yang bersifat obyektif (di
luar individu/subyek), tetapi juga menyangkut perubahan yang sifatnya
immaterial atau bersifat subyektif (di dalam diri individu/subyek,
misalnya, dalam bentuk kesadaran kognitif individu maupun kolektif).
Pendek kata, pengertian perubahan yang akan dibahas
menyangkut sisi obyektif (bentuk-bentuk material di luar
individu/masyarakat) maupun sisi subyektif (bentuk-bentuk immaterial
di dalam individu/masyarakat, termasuk bentuk-bentuk dan maknamakna simboliknya). Melihat perubahan dari aspek konsep seperti ini
menjadi kelihatan jelas bahwa Desa Tabola adalah desa yang berubah
dan berkembang secara dinamis, mengikuti perubahan waktu dan
jaman. Jauh dari kesan mandeg atau lambat berubah, seperti halnya
kalau kita melihat hanya dari sosok fisik atau material yang ada di Desa
Tabola.
jaringan relasi sosial yang bersifat tetap di mana didalamnya terjadi interaksi yang rutin
dan berulang (a persistent network of social relationships in which interaction has
become routine and repetitive). Atau sejalan dengan itu pengertian menurut SchulteNordhlot (1971) yang melihat struktur sebagai sesuatu tindakan manusia (human
action) yang bersifat permanen, yang dalam hal ini “the essensial idea is parts or
components are arranged in an orderly way to constitute what may be comprehended
as some kind of systematic unity” (lihat Bab 2, halaman 30-31). Dalam pengertian
struktur dalam arti yang umum ini, terdapat kesan bahwa struktur sosial yang
dimaksud lebih menekankan pada struktur sosial dalam arti obyektif, sebagaimana
dinyatakan sendiri oleh Schulte-Nordholt (1971: 11) dalam bukunya berjudul “The
Political System of Atony Timor” bahwa “structure is pattern, i.e. an observable
uniformity of action or operation”.
191
Download