BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA Profil Desa Pakraman Tabola • Desa Tabola dan Puri Sidemen Desa Pakraman Tabola (Desa Tabola) adalah sebuah desa adat di Bali yang letak geografisnya berada dalam wilayah Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Sebagaimana telah disinggung dalam bagian sebelumnya, kata desa di Bali terbagi atas dua pengertian, yaitu: pertama, mengacu pada desa sebagai bagian dari administrasi pemerintahan di atasnya (kecamatan dan kabupaten), yang di Bali dinamakan desa dinas; ke dua, mengacu pada desa sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat yang berdiri sendiri, yang di Bali dinamakan desa adat. Terkait dengan hal ini, Desa Tabola merupakan desa adat, yang penyebutannya sejak tahun 2001 untuk seluruh Bali berubah dari sebutan semula desa adat menjadi desa pakraman. 1 Sebagai suatu desa adat atau desa pakraman, wilayah Tabola melingkupi tiga wilayah desa dinas, yang secara hirarkhis administrasi berada di wilayah administrasi pemerintahan Kecamatan Sidemen. Tiga desa dinas tersebut masing-masing adalah: (1) Desa Sidemen; (2) Desa Telagatawang; dan (3) Desa Sinduwati. Pada awalnya, wilayah Desa Pakraman Tabola hanya mencakup satu desa dinas, yaitu Desa Sidemen. Lalu dalam perkembangannya, wilayah Desa Sidemen dimekarkan dua kali, yaitu: pertama, pemekaran Desa Telagatawang dan ke dua, pemekaran Desa Sinduwati. Desa Telagatawang adalah hasil pemekaran Desa Sidemen pada tahun 1999/2000; sedangkan Desa Sinduwati adalah hasil pemekaran Desa Sidemen pada tahun 2007/2008. Dengan cakupan wilayahnya yang meliputi tiga desa dinas itu, maka wilayah Desa Pakraman Tabola boleh dikatakan relatif luas. Sebagai perbandingan, dalam wilayah Kecamatan Sidemen terdapat 10 desa dinas, yang tiga di antara berada dalam wilayah Desa Pakraman Lihat: Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Bali, No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. 1 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Tabola. Kesepuluh desa dinas yang ada di wilayah Kecamatan Sidemen itu masing-masing adalah: (1) Desa Sidemen, (2) Desa Telagatawang, (3) Desa Sinduwati, (4) Desa Talibeng, (5) Desa Tangkup, (6) Desa Wismakerta, (7) Desa Sangkan Gunung, (8) Desa Tri Eka Bhuwana, (9) Desa Kerta Bhuwana, dan (10) Desa Lokasari. Kecamatan Sidemen adalah satu di antara 8 kecamatan yang ada di Kabupaten Karangasem. Nama dari ke 8 kecamatan itu masingmasing adalah: Kecamatan Abang, Kecamatan Kubu, Kecamatan Selat, Kecamatan Bebandem, Kecamatan Manggis, Kecamatan Karangasem, Kecamatan Rendang dan Kecamatan Sidemen (lihat peta Kabupaten Karangasem). Kalau dilihat dari letak geografisnya, wilayah Kecamatan Sidemen berada di bagian barat Kabupaten Karangasem, dan karena itu wilayah Kecamatan Sidemen dan sekitarnya sering disebut dengan nama lain yaitu Karangasem Barat, bersama dengan Kecamatan Rendang dan Kubu. Berdasarkan data BPS Kabupaten Karangasem tahun 2009, luas wilayah Kecamatan Sidemen yang terbagi atas 10 desa dinas itu adalah 35,15 km², dengan total jumlah penduduk sebesar 33.958 jiwa, yang terdiri dari sekitar 7.956 satuan rumah tangga. 2 Berikut data tentang luas desa, besarnya jumlah penduduk, serta besarnya jumlah rumah tangga tiga desa dinas yang wilayahnya tercakup dalam wilayah Desa Pakraman Tabola, yaitu Desa Dinas Telaga Tawang, Desa Dinas Sidemen dan Desa Dinas Sinduwati. Tabel 5. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Jumlah Rumah Tangga Tiga Desa No 1 2 3 4 Desa (Dinas) Telaga Tawang Sidemen Sinduwati Total 3 Desa Luas Wilayah (km2) Jumlah Penduduk (Jiwa) Jumlah Rumah Tangga 2,97 3,86 3,02 9,85 3.122 3.850 3.798 10.710 764 1.008 846 2.618 Sumber: BPS Kabupaten Karangasem, 2009 Lihat: Karangasem Dalam Angka 2009 (Keadaan Geografi dan Iklim). Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem dengan Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Karangasem. Amlapura, Karangasem, Agustus 2010. 2 144 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA Oleh karena wilayah Desa Adat Tabola mencakup wilayah tiga desa dinas sebagaimana tersebut di atas, maka pada tahun 2009, jumlah penduduk Desa Tabola diperkirakan 10.710 jiwa, yang tercakup dalam 2.618 rumah tangga, dengan luas wilayah kurang lebih 9,85 km². Angka-angka statistik yang disebutkan itu memang mengacu pada data statistik tiga desa dinas sebagaimana disebut di atas, karena memang sejauh ini belum ada angka statistik yang resmi dari Desa Parkraman Tabola itu sendiri. Selain itu, sejauh ini belum ada batas wilayah dalam arti geografis, yang lebih pasti dari Desa Pakraman Tabola. Pada umumnya batas-batas wilayah desa adat/pakraman di Bali memang tidak dalam bentuk batas peta wilayah geografis yang tergambar jelas batasbatasnya, sebagaimana biasanya yang berlaku untuk desa-desa dinas. Sebaliknya, batas wilayahnya adalah batas wilayah adat, yang wujud kongkritnya kerap berupa batas-batas alam, seperti sungai, perbukitan, batu besar, suatu tempat tertentu sebagai penanda, dan lain sebagainya. Contohnya adalah Desa Pakraman Tabola, yang batas-batasnya ditentukan oleh batas alam dan nama suatu tempat atau nama desa tetangga (Catra, 2003). Misalnya, disebutkan bahwa batas sebelah barat Desa Pakraman Tabola adalah pinggiran Desa Pakraman Sangkan Gunung. Yang dimaksudkan dengan pinggiran desa tersebut adalah Sungai Unda atau Tukad Unda yang mengalir melewati pinggiran batas Desa Pakraman Tabola dan Desa Pakraman Sangkan Gunung. Begitupula dengan batas “pinggiran desa” yang lainnya, yang bentuk konkritnya juga merupakan batas alam, seperti misalnya bukit dan lembah. Perlu dicatat di sana bahwa pengertian batas itu memang sedikit banyak masih kabur. Ini terlihat dari kata-kata bahwa batasnya adalah “pinggiran desa…”. Kekaburan ini bahkan diakui sendiri oleh salah seorang tokoh adat Desa Pakraman Tabola, Ida I Dewa Gde Catra. Dalam suatu wawancara, misalnya, ia mengemukakan bahwa dalam awig-awig sengaja disebutkan bahwa batasnya adalah “pinggiran desa”. Ini pengertiannya adalah bahwa memang tidak ada batas wilayah geografis 145 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI yang pasti dan jelas. Sehingga di mana letak “pinggiran desa” itu menjadi sangat tergantung dari pemahaman bersama dari ke dua belah pihak desa yang bersangkutan. Pemahamannya tentu mengacu pada perspektif sejarah dan adat dari masing-masing pihak desa terkait. 3 Selain itu, penyebutan batas “pinggiran desa” adalah untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik wilayah antara desa adat/pakraman. Sebab penyebutan batas desa yang lebih pasti dan jelas secara geografis seringkali harus berhadapan dengan kenyataan bahwa di Bali masih terdapat perselisihan batas wilayah antar desa. Memang, sebagaimana diketahui, awig-awig lama di Bali pada umumnya tidak menyebutkan batas-batas desa adat/pakraman dengan jelas secara geografis. Sehingga ketika desa adat/pakraman di Bali mulai menata diri untuk membangun kembali eksistensinya, khususnya sejak masa reformasi (1998/1999), maka tidak jarang muncul konflik akibat saling klaim terhadap garis batas desa. Sebagai contoh adalah konflik yang terjadi pada tahun 2005 yang melibatkan Desa Pakraman Ulakan dan Desa Pakraman Antiga. Konflik antara dua desa adat/pakraman yang ada di Kacamatan Manggis, Kabupaten Karangasem itu dipicu oleh persoalan saling klaim penguasaan tapal batas desa yang berimpitan dengan areal Depo Minyak Pertamina di Labuan Amuk. Di sini konflik tidak saja berdimensi adat tetapi juga menonjol kepentingan ekonomi-politik, khususnya dalam memperebutkan sumber daya ekonomi yang berasal dari keberadaan Depo Minyak Pertamina itu. Konflik-konflik serupa tidak jarang terjadi di daerah-daerah lainnya di Bali (Parimatha, 2006: 21-43). Dalam sejarahnya, batas desa adat/pakraman memang lebih banyak tidak secara geografis tetapi lebih pada batas adat. Sedangkan batas adat itu sendiri dalam praktiknya lebih banyak mengacu pada keberadaan penduduk yang tinggal dan menjadi bagian dari komunitas/masyarakat adat tertentu. Kalau di Bali, hal itu paling jelas ditunjukkan dengan keterikatan suatu komunitas/masyarakat adat yang bersangkutan dengan apa yang disebut sebagai ikatan kahyangan tiga 3 Wawancara dengan Ida I Dewa Catra. Amlapura, 28 Oktober 2010. 146 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA (sebagai anggota pemaksan pura). Dalam konteks masyarakat Desa Pakraman Tabola, ikatannya tentu saja adalah ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang terdapat di wilayah Desa Pakraman Tabola. Sebagai anggota dari institusi yang dinamakan pemaksan, para krama desa berkewajiban “mengemong” tiga pura suci di desa, yaitu pura desa/balai agung, pura puseh, dan pura dalem, yang maknanya mereka bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan keberadaan tempat suci tersebut. Salah satu bentuk tanggungjawab ini, misalnya, memelihara bangunan tempat suci, menyelenggarakan berbagai macam upacara pada hari-hari tertentu di tempat suci yang bersangkutan, dan lain sebagainya. Di samping adanya ikatan terhadap kahyangan tiga, ikatan adat yang lain adalah apa yang disebut pelemahan dan pawongan. palemahan mengacu pada tanah-tanah sawah, kebun maupun pekarangan milik desa ataupun milik Pura yang dikuasai dan digarap oleh penduduk desa yang bersangkutan. Kalau di Bali pada umumnya, atau di Desa Pakraman Tabola pada khususnya, ikatan terhadap Palemahan ini berbentuk ikatan terhadap tanah ayahan desa, tanah pekarangan desa atau tanah pelaba pura. Tanah ayahan desa bisa berwujud sawah maupun kebun, sedangkan tanah pekarangan desa umumnya berbentuk tanah-tanah (milik) desa yang diatasnya berdiri rumah-rumah dan pekarangan penduduk, atau dalam bentuk bangunan-bangunan kios yang berdiri didalam dan disekitar areal pasar desa (Pasar Sidemen) milik desa pakraman Tabola. Sedangkan tanah pelaba pura adalah tanah milik pura yang digarap oleh penduduk desa, dan sebagai imbalannya mereka yang menggarap tanah tersebut berkewajiban memberikan sebagian hasilnya ke pura. Sementara pawongan mengacu pada ikatan di antara orangorang yang ada di desa, atau lebih tepatnya anggota keluarga yang ada di desa. Dalam hal ini mereka terikat pada keanggotaan berbagai organisasi yang ada di desa, mulai tingkat tempek, banjar sampai desa, yaitu sebagai krama tempek, krama banjar serta krama desa. Di samping mereka juga terikat pada keanggotaan organisasi lainnya seperti seke-seke yang ada di desa, dari mulai seke gong (kumpulan 147 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI penabuh musik gamelan tradisonal Bali), seke tari, sampai seke subak (di Desa Tabola sendiri terdapat organisasi subak, yang dinamakan Subak Tabola). Seke adalah suatu organisasi yang memiliki tujuan spesifik yang tertentu (seperti menabuh gamelan, menari, dan lain sebagainya) dengan keanggotaan bersifat sukarela. Dengan demikian batas-batas adat yang ditunjukkan oleh keanggotaan dan keterikatan warga atau penduduk desa terhadap kelembagaan adat di desa yang bersangkutan memang sudah jelas keberadaannya, yaitu mulai dari tingkat paling bawah tempek, banjar, sampai desa adat dan kahyangan desa. Selanjutnya bagaimana gambaran keadaan sosial-ekonomi masyarakat Desa Pakraman Tabola? Sejauh ini memang belum tersedia data statistik sosial-ekonomi tentang masyarakat Desa Adat/Pakraman Tabola. Namun demikian karena penduduk Desa Pakraman Tabola mencakup tiga desa dinas yang ada dalam ruang lingkup wilayah desa pakraman bersangkutan, maka gambarannya bisa dilihat dari statistik sosial ekonomi tiga dinas tersebut. Berikut gambaran statistiknya. Tabel 6: Keadaan Kependudukan Desa Pakraman Tabola Tahun 2000 2006 2008 Sumber: Jumlah Penduduk Jumlah Keluarga Persentasi Keluarga Petani (%) 9008 2026 66 10738 2574 84 10710 2618 68 Dikompilasi dari data Podes (Potensi Desa) BPS, tahun 2000, 2006 dan 2008. Patut dicatat di sini bahwa persentase keluarga petani di Desa Pakraman Tabola angkanya cukup besar dan malah merupakan mayoritas. Ini sejalan dengan gambaran wilayah Desa Tabola yang memang merupakan daerah pertanian yang bertopografi bukit dan lembah. Sebagai daerah pertanian, wilayah Kecamatan Sidemen (yang didalamnya termasuk Tabola) bahkan menjadi daerah lumbung padi terbesar ke dua di Kabupaten Karangasem, setelah Kecamatan Karangasem. Dari angka statistik pertanian Kabupaten Karangasem, misalnya, tercatat bahwa hasil produksi padi di Sidemen tahun 2009 tercatat sebesar 12.040 ton, atau terbesar ke dua di Kabupaten Karangasem, setelah Kecamatan Karangasem yang mampu 148 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA menghasilkan produksi padi sebesar 21.403 ton. Di wilayah Kabupaten Karangasem sendiri, hampir 53% penduduk usia kerja berkerja di sektor pertanian (BPS Kabupaten Karangasem, 2010). Sementara itu kalau diperhatikan dari tabel, ada lonjakan angka persentase keluarga petani tahun 2006, yaitu 84%, dibandingkan dengan angka tahun 2000 (66%) maupun 2008 (68%). Lonjakan ini diperkirakan terjadi akibat dari dampak Bom Bali yang memang meluluh lantakkan sektor pariwisata di Bali. Sebagaimana dikemukakan oleh mantan Kepala Desa Dinas Telagatawang, Ketut Sukayasa, bahwa setelah kejadian Bom Bali, banyak masyarakat di Sidemen yang bekerja di kota-kota, khususnya tempat-tempat yang menjadi pusat pariwisata (Denpasar, Sanur, Kuta, dan lain-lain) kembali ke desa. 4 Keadaan inilah yang diduga menjadikan persentase keluarga yang berkecimpung di sektor pertanian menjadi meningkat. Sebagai catatan, data Pokdes 2006 merupakan data hasil survei BPS tahun 2004/2005. Sedangkan tahun 2004/2005 banyak dinilai merupakan kurun waktu paling pahit bagi Bali akibat jatuhnya sektor pariwisata sebagai dampak dari Bom Bali. 5 Bagi Bali, sektor pariwisata memang memegang peranan sangat penting bagi perekonomian domestik sebagaimana terbukti dari sumbangannya yang cukup dominan terhadap keseluruhan pendapatan ekonomi regional. Data BPS tahun 2009, misalnya, menunjukkan bahwa sumbangan sektor pariwisata secara umum kepada PDRB Bali mencapai lebih dari 30% atau kirakira hampir sama dengan sumbangan sektor pertanian secara luas yang tercatat sebesar 31%. 6 Wawancara dengan Ketut Sukayasa, mantan Perbekel Telagatawang dan ketika wawancara ini dilakukan ia menjabat sebagai Sekretaris I Desa Pakraman Tabola. Banjar Kebon, Desa Telagatawang, 24 Desember 2009. 5 Lihat juga: Suriastini, N.DI MANA. Kontribusi Strategi Bertahan Hidup Rumah 4 Tangga Pasca Tragedi Bom Bali I Pada Peningkatan Kesejahteraan Materi: Menggunakan Data Panel Rumah Tangga. SurveyMeter, Yogyakarta. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/2~artikel_kontribusi_strategi_untuk_majalah_pirami da.pdf 6 Lihat: Karangasem dalam Angka 2009 (Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Karangasem Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha) 149 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Gambar 10: Lahan Pertanian di Sidemen Berada di Areal Perbukitan dan Lembah. Sumber: Dokumen Pribadi, 2009. Bahwa Desa Pakraman Tabola merupakan desa pertanian (mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian) juga ditunjukkan oleh cukup besarnya proporsi areal pertanian yang ada di desa tersebut dibandingkan dengan keseluruhan areal yang ada. Berikut data yang dikompilasi dari 3 desa dinas, yaitu Telagatawang, Sidemen dan Sinduwati, yang tercakup dalam wilayah Desa Pakraman Tabola. Tabel 7: Luas Lahan Pertanian (Sawah) di Desa Pakraman Tabola Tahun Luas (Ha) Desa Lahan Sawah (Ha) Lahan non Sawah* (Ha) 2000 985 452 533 2006 985 NA NA 2008 985 450 535 * non sawah di sini termasuk perumahan, pemukiman, ladang, kebun dan hutan. Sumber: Dikompilasi dari data Podes (Potensi Desa) BPS, tahun 2000, 2006 dan 2008, yaitu untuk Desa (Dinas) Telagatawang, Sidemen dan Sinduwati. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem dengan Badan Perencana Pembangunan Daerah Kabupaten Karangasem. Amlapura, Karangasem, Agustus 2010. 150 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA Dari data tersebut bisa dilihat bahwa luas areal pertanian (khususnya persawahan) di Desa Tabola mencakup sekitar 46% dari seluruh areal desa yang ada. Sekali lagi, ini dibandingkan dengan luas lahan sawah, belum termasuk lahan-lahan perkebunan dan hutan yang memang ada di desa tersebut (dalam tabel termasuk dalam lahan non sawah). Kalau menurut data Podes 2008, lahan bukan sawah tetapi termasuk pertanian/perkebunan/hutan, luasnya sebesar 401 ha. Dengan luasan lahan sebesar ini berarti luas lahan pertanian dalam arti luas di Tabola mencapai hampir sebesar 86%. Pada kenyataannya memang Kecamatan Sidemen, khususnya Desa Pakraman Tabola, memang dianggap sebagai salah satu dari wilayah pertanian yang subur yang ada di Kabupaten Karangasem. Bahkan Sidemen termasuk salah satu sentra produksi pertanian, khususnya padi sawah, dari Kabupaten Karangasem yang sebagian besar wilayahnya memang merupakan lahan kering. Sebagai catatan, persentase luas lahan sawah dibandingkan lahan kering di Kabupaten Karangasem hanya sekitar 8,42% saja, atau luas totalnya sekitar 7.070 ha (Karangasem dalam Angka, BPS, 2009). Selanjutnya, bagaimana dengan gambaran sosial ekonomi desa yang lain? Berikut gambaran selintas tentang keadaan di bidang pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum di Desa Tabola. Tabel 8: Data Fasilitas Pendidikan di Desa Pakraman Tabola Tahun Jumlah TK Jumlah SD Jumlah SMP Jumlah SMA 2000 0 10 1 1 2006 1 9 1 1 2008 4 10 1 1 Sumber: Dikompilasi dari data Podes (Potensi Desa) BPS, tahun 2000, 2006 dan 2008, yaitu untuk Desa (Dinas) Telagatawang, Sidemen dan Sinduwati. Dalam bidang pendidikan, Desa Tabola yang wilayahnya mencakup tiga desa dinas tersebut, boleh dikatakan relatif maju. Katakanlah bila dibandingkan dengan desa-desa sekitarnya (desa adat maupun desa dinas). Gambaran yang paling nyata adalah tersedianya fasilitas pendidikan, baik pada tingkat Di mana Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah 151 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Menengah Atas (SMA). SMA yang ada di Tabola (terletak di Desa dinas Sidemen/Telagatawang), bahkan statusnya SMA Negeri (SMAN 1 Sidemen). Sebagai tambahan, SMA Negeri I Sidemen memiliki keistimewaan karena sejak awal berdirinya sudah memperkenalkan kurikulum kebudayaan (tradisi dan kebudayaan Bali), yang kelak kemudian dijadikan contoh oleh banyak SMA lainnya di Bali. Misalnya saja, SMAN I Sidemen memberikan pelajaran menenun, membaca dan membuat tulisan huruf Bali Kuno dalam lontar, menari, menabuh gamelan, dan lain sebagainya. Dalam soal pelajaran menenun, ini sejalan apa yang berkembang di Desa Tabola yang sampai sekarang dikenal sebagai salah satu pusat produksi kain tenun di Bali. Di samping Sidemen/Tabola juga dikenal sebagai salah satu tempat kerajinan pembuatan tulisan-tulisan Bali Kuno serta cerita bergambar (misalnya, cerita bergambar Ramayana), yang semuanya itu dituliskan atau digambarkan di daun lontar. Kalau ditelusuri riwayatnya, salah satu penggagas dari SMA yang memberikan atau menyertakan kurikulum kebudayaan ini adalah Penglisir (penguasa) Puri Sidemen, Cokorda Gde Dangin. Menurut penuturan Pak Cok, nama panggilan popular dari Penglingsir Puri Sidemen itu, SMA Sidemen sejak awal memang dirancang sebagai Sekolah Menengah Atas yang dalam kurikulumnya memberikan pelajaran budaya Bali. Untuk merealisasikan hal itu, ia dibantu oleh beberapa sahabatnya orang asing yang sempat tinggal di Sidemen. Kelak kemudian, pada masa pemerintahan Gubernur Bali, Dewa Barata (1998-2008), SMA Sidemen itu itu dijadikan SMA Negeri (SMAN I, Sidemen), dengan kekhususan tetap memberikan pelajaran kebudayaan Bali, sampai sekarang. Sebagaimana akan dikemukakan pada bagian selanjutnya dari Bab ini, Puri Sidemen dalam sejarahnya memang memiliki peranan sosial-politik yang khusus di Sidemen/Tabola. Bahkan dinamika sosialpolitik yang terjadi di Desa Tabola tidak pernah lepas dari pengaruh Puri yang berdiri sejak abad ke-17 ini. Sampai sekarangpun, pengaruh 152 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA sosial, politik dan budaya Puri Sidemen, khususnya di bawah kepemimpinan Pak Cok, boleh dikatakan masih cukup kuat. Berikutnya adalah gambaran statistik mengenai kondisi ketersediaan fasilitas Kesehatan di Desa Tabola. Tabel 9: Data Fasilitas Kesehatan di Desa Pakraman Tabola Rumah Praktek Praktek Surat Dukun Tahun Bersalin Puskesmas Posyandu Dokter Bidan Miskin Bayi 2000 1 1 NA 3 2 37 NA 2006 NA 1 14 3 2 58 NA 2008 1 1 16 NA 1 206 2 Sumber: Dikompilasi dari data Pokdes (Potensi Desa) BPS, tahun 2000, 2006 dan 2008, yaitu untuk Desa (Dinas) Telagatawang, Sidemen dan Sinduwati. Dari gambaran yang ada tersebut, terlihat bahwa di Desa Tabola relatif cukup tersedia fasilitas kesehatan. Dalam koteks ini perlu dicatat bahwa letak Ibu kota Kecamatan Sidemen ada di wilayah Desa Tabola, tepatnya ada di wilayah Desa (Dinas) Sidemen. Sehingga bisa dimaklumi kalau fasilitas kesehatan di Tabola tersedia di sana. Selanjutnya bagaimana gambaran infrastruktur yang ada di Desa Tabola? Berikut data statistik ketersediaan infrastruktur seperti PLN, telpon, pura dan masjid. Tabel 10: Data Fasilitas Infrastruktur di Desa Tabola Tahun 2000 2006 2008 Pelanggan PLN 1090 1402 2033 Pelanggan Telpon Kabel 30 NA 40 Jumlah Pura 39 36 36 Jumlah Masjid/Surau 3 3 3 Sumber: Dikompilasi dari data Pokdes (Potensi Desa) BPS, tahun 2000, 2006 dan 2008. Terkait jumlah pelanggan PLN kalau dibandingkan dengan jumlah keluarga yang ada di Desa Tabola, maka bisa dikemukakan bahwa terjadi peningkatan yang cukup tajam dalam proporsi antara jumlah keluarga dengan jumlah pelanggan PLN, khususnya pada tahun 2008. Dalam hal ini bisa dicatat, misalnya, bahwa proporsi pelanggan PLN dibandingkan jumlah seluruh keluarga yang ada di Desa Tabola tahun 2000 sebesar 54%, lalu tahun 2006 hampir tidak berubah, yaitu 153 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI 54,4%. Tetapi tahun 2008 terjadi lonjakan menjadi 77,7%. Ini bisa ditafsirkan bahwa cakupan pelayanan infrastruktur listrik di Desa Tabola semakin meningkat tajam pada tahun 2008. Peningkatan yang sama juga terjadi dalam hal layanan telpon. Sedangkan jumlah pura di Desa Tabola, seperti halnya di desadesa adat/pakraman, cukup banyak. Tahun 2008 jumlahnya mencapai 36, termasuk pura yang dikatagorikan sebagai pura kahyangan tiga, yaitu pura puseh, pura desa/bale agung dan pura dalem. Sebagai catatan, pura puseh dan pura desa yang ada di Desa Tabola, lokasinya menjadi satu, yaitu ada di Banjar Tabola; sedangkan pura dalem di Tabola ada beberapa buah, antara lain: Dalem Bwan, Dalem Kikiyan, Dalem Boni, Dalem Yangtaluh, Dalem Cepik dan Dalem Panggung. Di luar pura kahyangan tiga, terdapat pura-pura yang lain, seperti misalnya pura melanting (pura yang ada di pasar Sidemen), pura ulun suwi (pura Subak), dan pura keluarga atau pura dadia. Yang terakhir ini contohnya pura dadia kanuruhan, yaitu pura keluarga yang diempon (dikelola dan dipelihara) oleh para keluarga yang berasal dari soroh/keturunan Kanuruhan. Pura dadia kanuruhan di Sidemen terletak di Banjar Kebon, Telagatawang. Dari data yang ada juga terlihat bahwa di Desa Tabola terdapat Masjid yang jumlahnya mencapai tiga buah. Memang, di Desa Tabola terdapat pemukiman komunitas muslim dengan tempat ibadahnya (masjid). Mereka umumnya tinggal mengelompok dalam suatu komunitas, khususnya berada di Desa Dinas Sinduwati dan Sidemen. Menurut Ida I Dewa Gde Catra, keberadaan komunitas muslim di Desa Tabola ini memiliki sejarah yang panjang, yaitu sejak abad 19, terutama sejak keterlibatan Puri Sidemen membantu Kerajaan Karangasem dalam perang di Lombok. Dalam Babad Dalem Anom Pemahyun juga diceritakan tentang keterlibatan Sidemen membantu Kerajaan Karangasem dalam perang di Lombok. 7 “Diceritakan Raja Karangasem I Gusti Bagus Karang, mendengar kesaktian Cokorda Oka (penguasa Sidemen) di masyarakat, Lihat: Babad Dalem Anom Pemahyun. Koleksi Pribadi Cokorda Gde Dangin (terjemahan tanpa tahun). Halaman 78. 7 154 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA diundanglah beliau agar datang ke Puri (Karangasem) mengadakan pertemuan dengan maksud membantu Raja Mataram Sasak, untuk menggempur/memerangi Raja Singasari Sasak. Sebab melanggar tata aturan (hukum) “gamya gamana” menggendaki saudara kandung. Hal itu menyebabkan merusak Negara dan harus dimusnahkan”. Tentang pasukan Sidemen yang berangkat ke Lombok, dalam babad yang sama dicertakan antara lain: “Maka berangkatlah beliau menuju Sasak menggempur Singasari… Keberangkatan beliau pada hari minggu paing uku sungsang sasih kasa tahun Caka 1760 Masehi 1838. Adapun jumlah pasukan dari Sidemen terdiri dari 311 laki-laki, 39 perempuan, penggotong 84 orang, dukun 21 orang, pemangku 15 orang, pemimpin pasukan Dewa Ketut Gede, ujung tombaknya I Gusti Dangin yang diketuai oleh I Gusti Jambe, pemberi petunjuk Ida Wayan Dangin Buruan, pembantu klian-klian desa masing-masing”. Selanjutnya dari sini bisa dirunut bahwa nenek moyang komunitas muslim yang tinggal di Tabola itu berhubungan dengan orang-orang Lombok beragama Islam yang di bawah ke Bali (Sidemen) oleh penguasa Puri Sidemen setelah peperangan itu. Sejak itu komunitas muslim di Tabola terus berkembang sampai sekarang. Menurut catatan sejarah, Desa Adat/Pakraman Tabola, ikut menyediakan tanah-tanah yang sampai sekarang dipakai/digunakan oleh masyarakat muslim setempat. Tanah-tanah itu statusnya mirip tanah ayahan desa, yaitu bisa dipakai/diusahakan tetapi tidak bisa dijual, dan para pemakainya harus menjalankan kewajiban tertentu terhadap desa adat sesuai ketentuan yang ada. Dalam awig-awig (peraturan) Desa Pakraman Tabola disebutkan dengan jelas bahwa terdapat tanah-tanah yang direlakan (diijinkan) kepada mereka yang beragama Islam. Tanah-tanah itu hingga kini dikuasi oleh masyarakat komunitas muslim yang tinggal di Kampung Sindu, Puniya dan Buhu. Termasuk juga dalam hal ini tanah desa yang statusnya dijadikan tanah kuburan (makam), yaitu Kuburan Islam Batunkapas (Catra, 2003). 155 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Gambar 11: Perkampungan Warga Muslim di Desa Tabola, Sidemen Sumber: Dokumen Pribadi, 2012 Keberadaan tanah-tanah desa yang dipakai atau digunakan oleh komunitas Islam di Desa Tabola menunjukkan bahwa komunitas itu dalam konteks tertentu dianggap menjadi bagian dari masyarakat adat di Tabola. Kalau diamati, masyarakat muslim di Tabola bisa hidup berdampingan secara baik dengan masyarakat desa pada umumnya yang mayoritas memiliki keyakinan Hindu. Bahkan setelah terjadinya peristiwa Bom Bali, ketika di berbagai tempat di Bali merebak sentimen negatif terhadap komunitas muslim, di Tabola hal demikian boleh dikatakan tidak terjadi. Mereka tetap dapat melanjutkan pola kehidupan berdampingan bersama seperti biasanya selama ini. Sebagaimana disinggung di atas, keberadaan komunitas muslim di Desa Adat/Pakraman Tabola, sesungguhnya terkait erat dengan keberadaan Puri (istana raja) Sidemen di Desa Tabola. Ini berawal ketika pasukan Sidemen yang ikut dalam rombongan pasukan perang Karangasem kembali dari Lombok dengan membawa pulang orangorang muslim dari Lombok tersebut untuk tinggal di Sidemen. Apa yang dilakukan orang-orang Sidemen ini mengikuti apa yang juga dilakukan oleh Raja Karangasem. Dalam konteks ini, perlu pula dicatat bahwa Lombok pada mulanya adalah bagian wilayah Kerajaan Karangasem. Sehingga memang tidak aneh kalau sejak semula perkampungan Islam sudah ada di Karangasem. Bahkan menurut 156 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA catatan sejarah yang ada, Puri sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan Kerajaan Karangasem dikelilingi oleh perkampungan Islam, yang antara lain berfungsi juga sebagai benteng kerajaan. Dalam sejarah disebutkan bahwa hal seperti ini mungkin terjadi karena adanya loyalitas dari kelompok Islam tersebut kepada Raja Karangasem (Gde Putra, 2006: 103-106). Sebagaimana diungkapkan oleh Cokorda Gde Dangin (pemimpin/penerus kekuasaan Puri Sidemen), bahwa wilayah Puri Sidemen tidak hanya mencakup daerah Sidemen (sekarang Kecamatan Sidemen) saja, tetapi hingga sampai ke daerah Selat (sekarang Kecamatan Selat), Rendang (sekarang Kecamatan Rendang) dan Kubu (sekarang Kecamatan Kubu). Tetapi Puri Sidemen sejak dahulu kala berada di bawah pengaruh Kerajaan Karangasem, yang wilayahnya kurang lebih mencakup wilayah Kabupaten Karangasem sekarang. 8 Pusat kekuasaan Puri Sidemen sejak dari dahulu kala berada di wilayah Desa Tabola sekarang. Tetapi kalau ditelusuri sejarahnya, Desa Tabola itu sendiri sudah ada sejak jauh sebelum berdiri kerajaan Sidemen dengan Puri Sidemennya itu. Menurut catatan Babad Dalem Anom Pemahyun, misalnya, pada tahun Caka 1563 atau tahun 1641 Masehi, Desa Tabola masih berada di bawah kekuasaan seorang penguasa lokal yang bernama Kyai Lurah Sidemen. Selanjutnya, pada suatu ketika Kyai Lurah Sidemen, menyerahkan kekuasaannya di Sidemen kepada Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade, putera Sri Aji Anom Pemahyun yang merupakan mantan Raja Gegel yang melengserkan diri dan menyerahkan kekuasaannya pada adiknya. 9 Wawancara dengan Cokorda Gde Dangin, penglingsir Puri Sidemen. Sidemen, 30 April 2010. 9 Menurut cerita dalam Babad Dalem Anom Pemahyun, Sri Aji Dalem Anom Pemahyun adalah putera sulung dan pengganti Raja Gegel yang bernama Sri Aji Segening, yang wafat pada tahun Caka 1587 atau 1665 Masehi. Karena konflik politik yang tidak berkesudahan dan untuk menghindarkan pertumpahan darah di kerajaannya, Sri Aji Dalem Anom Pemahyun terpaksa melengserkan diri, dan menyerahkan kekuasaannya kepada adiknya, Ida I Dewa Dimade. Selanjutnya Dalem Anom Pemahyun meninggalkan Gegel dan menuju Desa Purasi (suatu tempat yang sekarang berada di wilayah Timur, Karangasem) untuk bertempat tinggal di sana. Kelak kemudian, Dalem Anom Pemahyun memerintahkan anaknya, Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade untuk memerintah dan mengkonsolidasikan kekuasaan di Sidemen. Sedangkan pada waktu itu Sidemen berada di bawah kekuasaan Kyai Lurah Sidemen, yang memerintah berdasarkan petunjuk Raja Gegel yang sudah wafat, Sri Aji Segening. 8 157 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Sejak itulah berdiri kekuasaan Puri Sidemen di Desa Tabola, yang jejak pengaruhnya – dalam ukuran tertentu, sebagaimana juga dibahas dalam tulisan ini – masih kelihatan nyata sampai sekarang. • Struktur Organisasi Desa Tabola Dari versi cerita yang lebih lama, sebagaimana dituturkan oleh I Wayan Suartana, atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan pak Kawi, sebelum kehadiran Puri Sidemen, Desa Tabola sudah lebih dahulu diperintah oleh penguasa lokal keturunan dari pendiri Desa Tabola. Sebagaimana dituturkan oleh pak Kawi, panggilan sehari-hari dari I Wayan Suartana, salah seorang pengurus Desa Pakraman: ”Keluarga (leluhur) saya yang paling pertama datang ke Desa Tabola. Leluhur saya itu, Semeton Pasek Gelgel, yang membangun Pura Puseh (di Desa Tabola). Itu terjadi pada abad 15, atau sekitar tahun 1463, yang dengan demikian berarti memang Puri Sidemen belum ada pada waktu itu”. 10 Jadi kalau mengikuti penuturan tersebut, Desa Tabola sudah ada jauh sebelum ada Puri Sidemen. Selain itu, sebagaimana diungkapkan oleh Ida I Dewa Gde Catra, salah seorang pemuka adat di Karangasem yang berasal dari Desa Tabola, Desa Tabola bahkan dianggap sebagai desa kuno. Pengertian kuno ini dikaitkan dengan keberadaan Desa Tabola yang sudah ada jauh sebelum masa kerajaan Karangasem, atau bahkan Gelgel (sebelum abad 15). Menurutnya, kekunoan itu antara lain ditunjukkan dari bentuk padmasana yang ada di Pura Puseh Desa Tabola yang memiliki tiga ruang. Hal itu mencirikan bentuk-bentuk padmasana peninggalan dari jaman kuno, atau sebelum tahun 1000 Masehi. Sebagai catatan, padmasana berasal dari bahasa sanskerta “padmÄsana”, yang adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan menaruh sajian bagi umat Hindu, terutama umat Hindu (Bali) di Indonesia. Jadi ada semacam penyerahan kekuasaan oleh penguasa Sidemen kepada penerus dari Sri Aji Segening, yaitu Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade, atau cucu dari Sri Aji Segening sendiri. 10 Wawancara dengan I Wayan Suarthana. Banjar Tabola, Desa Pakraman Tabola, Sidemen, 29 Oktober 2010. 158 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA Padmasana seperti yang ada di Pura Puseh Tabola memiliki bentuk seperti yang dikenalkan oleh Empu Kuturan yang datang dari Jawa ke Bali pada abad 9/10 M. Bentuk-bentuk padmasana seperti ini tentu berbeda dengan bentuk padmasana dari jaman yang lebih baru, yang terutama dikenalkan oleh Dahyang Nirarta, seorang Mahaguru dari Jawa yang datang ke Bali kira-kira pada abad ke 15/16 M, atau kira-kira 6-7 abad setelah Empu Kuturan datang ke Bali. Berikut ini gambar foto dari padmasana bentuk baru yang asal mulanya dikembangkan oleh Dahyang Nirarta. Gambar 12: Contoh bentuk Padmasana Sumber: Dokumen Pribadi, 2009. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pura puseh adalah salah satu dari tiga pura desa (kahyangan tiga) yang menandakan keberadaan desa adat atau desa pakraman. Keberadaan kahyangan tiga sebagai dasar dari desa adat di Bali mulai dikenalkan oleh Empu Kuturan sekitar abad ke 9 M. Jadi dengan demikian, awal dari keberadaan pura puseh sebagai salah satu dari kahyangan tiga, terkait langsung dengan awal dari keberadaan desa adat itu sendiri. 159 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Dalam kahyangan tiga, selain pura puseh juga ada pura balai agung/pura desa dan pura dalem. Pura Puseh Desa Tabola berada di lokasi wilayah Banjar Tabola. Di lokasi yang sama di pura puseh itu terdapat pula pura desa. Sedangkan pura dalem di Desa Tabola ada beberapa jumlahnya, yang letaknya tersebar di berbagai tempat di Desa Tabola. Sebagian pura dalem memiliki Setra (kuburan), sedangkan yang lainnya tidak memiliki Setra (kuburan). Yang terakhir ini seperti pura dalem yang ada di Banjar Tabola, yang diberinama Pura Dalem Suci Tabola. Gambar 13: Pura Puseh dan Pura Desa (Balai Agung) Desa Tabola Sumber: Dokumen Pribadi 2012 Kembali kepada keberadaan Puri Sidemen di Tabola. Hadirnya Puri Sidemen di Tabola sejak kurang lebih abad 17, memang pada akhirnya mengubah struktur sosial masyarakat Desa Tabola, yang sebelumnya boleh dikatakan termasuk dalam katagori desa kuno di Bali. Sebagaimana halnya Desa Kuno –yang hingga kini keberadaannya sebagian masih nyata di Bali– susunan masyarakatnya umumnya lebih sederhana, yang hal itu antara lain ditunjukkan dengan tidak adanya pelapisan sosial atau hirarkhi sosial yang lebih komplek. Dalam Bab 3 terdahulu, misalnya, sudah dijelaskan bagaimana masyarakat desa di Bali yang masih memiliki ciri sebagai desa kuno di Bali (desa aga) seperti halnya Desa Tenganan Pegringsingan, memiliki susunan masyarakat yang lebih egaliter (dalam pengertian susunan 160 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA masyarakatnya tidak terlalu hirarkhis), khususnya bila dibandingkan dengan susunan masyarakat desa pada umumnya di Bali (desa apanaga). Maka dengan hadirnya Puri Sidemen, susunan masyarakat Desa Tabola yang semula termasuk desa kuno itu, lalu mulai mengenal pelapisan sosial atau hirarki sosial atas dasar geneologis (keturunan). Di sini para penguasa baru tersebut, langsung atau tidak langsung, mengkonstruksi suatu realitas sosial baru yang didalamnya para keluarga puri dan pengikutnya menempati lapisan sosial paling atas di desa. Mereka menduduki suatu posisi lapisan atas yang kemudian disebut sebagai golongan satria dan arya (golongan satria yang lebih rendah). Sementara pada saat yang sama kedatangan mereka di Tabola juga disertai oleh para pendeta, yang secara hirarkhis dikatagorikan sebagai golongan brahmana. Sebagaimana sudah disinggung dalam bagian sebelumnya, golongan brahmana, satria (dan weisya), secara bersama-sama menyebut dirinya sebagai golongan triwangsa. Merekalah yang menempati posisi paling atas dari pelapisan sosial dimasyarakatnya. Di luar itu, adalah golongan non-triwangsa, yang dari sisi jumlah merupakan golongan mayoritas. Di antara para non-triwangsa ini, sebagian kemudian menjadi parekan atau pengikut keluarga puri. Para parekan ini biasanya menempati dan/atau menggarap tanah-tanah milik keluarga puri. Realitas sosial yang seperti ini, sedikit banyak masih ditemui hingga dewasa ini, tidak saja di Sidemen, tapi juga di hampir semua desa-desa di Bali, terkecuali desa-desa yang digolongkan sebagai desa Bali aga seperti Tenganan. Sebagai parekan, tentu saja mereka harus memberikan loyalitasnya secara penuh pada keluarga puri. Dalam konteks Sidemen, loyalitas itu tidak saja dibangun berdasarkan basis material, tetapi juga non-material. Yang dimaksudkan dengan basis material di sini adalah suatu relasi kekuasaan timbal balik antara para penguasa puri dengan para parekan yang didasarkan pada hubungan ekonomi dan politik (power). Sebagai gambaran, dalam hubungan ekonomi dan politik, misalnya, para parekan adalah mereka para pengikut penguasa puri yang mendapatkan manfaat-manfaat ekonomi dan politik dari 161 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI kehadiran keluarga puri. Manfaat itu bisa dalam bentuk pemberian, maupun sekedar menggunakan/menggarap tanah-tanah milik keluarga puri; atau juga perlindungan politik yang diberikan oleh penguasa puri. Ini sebagai imbalan atas loyalitas mereka kepada keluarga puri. Sampai saat ini, jejak hubungan antara penguasa puri dengan para parekan-nya masih kelihatan. Padersen (2006), dalam bukunya berjudul “Ritual and World Change in Balinese Princedom”, misalnya, menunjukkan bahwa hubungan antara penguasa puri dengan para parekan (dan/atau bekas parekan) masih kelihatan jelas ketika pada tahun 2000, Penglisir Puri Sidemen menyelenggarakan upacara besar yang dinamakan maligya. Pada saat upacara maligya itu, sebagian masyarakat desa Tabola dan desa-desa lain yang ada di sekitarnya beramai-ramai datang membantu secara sukarela persiapan dan pelaksanaan upacara tersebut. Dalam tulisan Lene Pedersen, terungkap bahwa di antara mereka adalah keluarga-keluarga yang mengaku keturunan parekan Keluarga Puri Sidemen. Keterlibatan mereka dalam upacara maligya yang dipersembahkan bagi almarhum bekas Penglingsir Puri Sidemen yang lalu (ayah Cokorda Gde Dangin, Penglingsir Puri Sidemen saat ini), diakui sebagai bagian dari wujud ketaatan atau loyalitas terhadap Puri Sidemen. Loyalitas itu dalam praktiknya diwujudkan dalam suatu kegiatan yang terkait dengan kewajiban adat yang disebut ngayah atau kerja wajib sukarela untuk kepentingan Puri Sidemen. Dalam konteks ngayah ke puri ini, misalnya, Cokorda Gde Dangin sebagai Penglingsir Puri Sidemen, melihatnya sebagai kewajiban yang terkait dengan sejarah masa lalu leluhurnya dan leluhur dari individu masyarakat yang bersangkutan (parekan). Sebagaimana dikemukakan dalam buku Pedersen (2006:134-138): “In many cases, their forefathers came here (Sidemen) with my forefathers, under my forefathers. Now, this was passed on from generation to generation and is still remembered, and from generation to generation there has continued to be conection, especially in the case of large ceremonies. If we have cremation ceremony, they are sure to come also. This to indicate an earlier 162 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA social conection, one forefather….came here.”. with other, before when our Sedangkan dalam pandangan individu masyarakat desa Tabola yang ikut ngayah, merekapun melihat dari perspektif yang hampir sama. Sebagaimana dikutip dalam buku yang sama, mereka mengungkapkan hal sebagai berikut: “It is difficult for us to say wheter it is an obligation or not. It depends on our own conviction, that we really believe that they raised us and that there is a persistent connection from earlier time, from the times of rajas. Up until now even, we believe that there is this connection…So we consistently “matur ngayah” (ask, or literally plead, to ngayah). And it is the same with them, because they feel that they posses us.” Tetapi apa yang dimaksud dengan upacara maligya? Sebagaimana kepercayaan Hindu di Bali, manusia itu pada dasarnya memiliki atau terdiri dari tiga badan yang disebut tri sarira, yang mengandung maksud: tri berarti tiga dan sarira berarti badan atau tubuh. Tri sarira atau tiga badan/tubuh itu terdiri dari: (1) stula sarira, yaitu badan wadag berupa tubuh dan tenaga; (2) suksma sarira, yaitu badan halus berupa badan pikiran dan akal budi; (3) atma, yaitu roh atau sang diri. Dalam konteks ini, upacara maligya adalah upacara di Bali setelah pelaksanaan upacara ngaben (pembakaran) yang tujuannya untuk menyucikan atma (roh) agar tidak terbelenggu oleh badan halus (suksma sarira). Sedangkan ngaben adalah upacara menyucikan atma agar tidak terbelenggu oleh badan kasar (stula sarira) dengan cara membakar atau mengkremasi jenazah. Istilah lain dari maligya adalah mamukur. Hanya bedanya, maligya biasanya sebutan bagi upacara yang dilakukan untuk keluarga golongan satria tinggi (keturunan raja), sedangkan istilah mamukur lebih sering dipakai untuk upacara yang ditujukan bagi keluarga dari golongan warna/kasta yang lebih rendah. Sebagai tambahan, dalam literatur Hindu di Bali ada lima kewajiban yang harus ditunaikan oleh manusia, yaitu apa yang disebut sebagai panca yadnya. Panca artinya lima, dan yadnya kurang lebih artinya kewajiban (suci) yang harus dilaksanakan oleh manusia. Panca 163 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI yadnya itu terdiri dari: (1) dewa yadnya, yaitu kewajiban melaksanakan persembahan suci kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Sang Hyang Widi Wasa; (2) rsi yadnya, kewajiban melaksanakan penghormatan kepada para pendeta atau guru; (3) pitra yadnya, kewajiban melaksanakan persembahan kepada orang tua, roh nenek moyang atau leluhur; (4) bhuta yadnya, kewajiban melaksanakan persembahan kepada alam; dan (5) manusa yadnya, kewajiban untuk melaksanakan perbuatan baik sesama manusia. Dalam konteks panca yadnya ini, maligya termasuk ke dalam katagori pitra yadnya, yaitu kewajiban melaksanakan persembahan kepada orang tua atau leluhur. Kembali pada soal loyalitas keluarga puri dan para parekannya. Yang dimaksudkan dengan loyalitas yang di dasarkan pada basis nonmaterial lebih banyak menyangkut suatu relasi kekuasaan timbal balik antara penguasa puri dengan parekan yang didasarkan pada hubunganhubungan yang bersifat simbolik dan historis. Bersifat simbolik karena relasi kekuasaan timbal balik itu didasarkan kepada suatu nilai-nilai tertentu yang saling diyakini dan dipercayai kebenarannya. Bersifat historis karena relasi itu berasal dari suatu warisan sejarah lama, yang terinternalisasi dan “diwariskan” dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui praktik sehari-hari yang sudah mentradisi. Praktik sehari-hari yang telah mentradisi ini secara teoritis bisa dikatagorikan sebagai suatu habitus – kalau mengikuti konsep yang dikembangkan oleh Bourdieu. Praktik sehari-hari yang sudah mentradisi ini cenderung dianggap “taken for granted” bagi para aktornya (penguasa puri dan para parekannya), dan juga cenderung “tidak disadari”. Dalam konteks ini juga harus diingat bahwa menurut Bourdieu (1990: 54), habitus itu memiliki dimensi kolektif, selain individual, serta merupakan produk sejarah (a product of history). Dimensi kolektif itu tidak lain tercermin dalam praktik para parekan, dan nilai-nilai terkait hubungan keluarga puri dan para perekannya yang tetap dijalankan itu tidak lain adalah aspek habitus sebagai produk sejarah. Dalam konteks relasi timbal balik yang bersifat simbolik tersebut di atas, ada yang menarik kalau menyimak sebagian isi dari 164 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA Babad Dalem Anom Pemahyun. Babad yang menuturkan asal usul dan riwayat perjalanan sejarah Keluarga Puri Sidemen itu didalamnya antara lain dikemukakan suatu cerita bagaimana Raja Sidemen telah memberikan hadiah berupa tanah/wilayah kepada para pengikutnya. Sebagai imbalannya, para pengikut dan seluruh keturunannya nanti harus setia dan loyal kepada raja seketurunannya; atau sebaliknya akan dikutuk bersama para keturunannya. “Saya memberikan tempat (tanah/wilayah) untukmu di sini agar selamat hidupmu. Dan bila kamu tetap setia kepadaku sampai kemudian, semoga turunan-turunanmu berguna, tidak kurang pangan dan sandang, memperoleh kebahagiaan! Tetapi bila kamu dan turunan-turunanmu tidak jujur, sengaja melupakan dan melawan kekuasaanku, untuk selanjutnya turun temurun agar kamu banyak kerja tanpa hasil. Tidak hentihentinya timbul percekcokan dalam keluargamu. Demikian selanjutnya!” 11 Memang tidak semua (tidak banyak) masyarakat Desa Tabola yang membaca dan memahami isi Babad, termasuk apa yang disebutkan di atas. Namun demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam babad tersebut sedikit banyak dimengerti atau dipahami melalui proses pewarisan nilai-nilai, paling tidak dari orangtua dan para leluhurnya. Apa yang bisa dipelajari dari hal ini adalah bahwa basis material dan basis non-material ternyata memiliki keterkaitan yang erat. Mengacu pada pemikiran Bourdieu, basis material seperti yang dijelaskan diatas bisa dihubungkan dengan konsep ekonomi kapital dan basis nonmaterial bisa dikaitkan dengan simbolik kapital. Dalam hubungan ini, tampak jelas bahwa kapital ekonomi bisa ditransformasikan ke dalam kapital simbolik, yaitu dalam bentuk pemberian tanah untuk mendapatkan imbalan loyalitas keluarga dan seketurunannya. Bahwa kelak kemudian ketaatan sebagai parekan itu sebagian bisa terpelihara, dapat digambarkan dari sikap penghormatan yang ditunjukkan oleh Ketut Sukayasa kepada Keluarga Puri Sidemen. Padahal Ketut adalah salah seorang tokoh masyarakat Desa Tabola yang 11 Lihat: Babad Dalem Anom Pemahyun (terjemahan). Halaman 68. 165 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI terlibat aktif dalam aksi-aksi perlawanan yang bermuara pada proses pelengseran pengurus lama Desa Tabola, yang di dalamnya termasuk Cokorda Gde Dangin sebagai pingajeng desa. Penghormatan itu, menurut penuturan Ketut didasarkan suatu kepercayaan tentang relasi kekuasaan di masa lalu antara leluhurnya dengan leluhur keluarga Puri Sidemen. Berikut antara lain penuturan Ketut Sukayasa berkaitan dengan kepercayaannya tentang nilai-nilai terkait dengan keberadaan dan hubungan antara leluhurnya dengan leluhur keluarga Puri Sidemen. “Apa sebab saya dekat dengan Cok Dangin (nama panggilan Cokorda Gde Dangin)? Itu secara kekeluargaan…karena dia kan keturunan raja, seorang Dalem. Saya sebagai (keturunan) pengiring lah, istilahnya di Bali…Arya Kanuruhan itu pengiring. Kanuruhan itu kan artinya sekretaris – jadi sebagai sekretarisnya Dalem. Saya (baca: leluhur saya) memiliki kedekatan langsung (dengan Dalem), ngiring (mengabdi/mengawal) di Sidemen, sehingga diberikan tempat di Kebon. Dulu Kebon ini namanya Kubon, yg artinya kubu, rumah (dan tanah) yg baru dibangun. Lalu kemudian jadi Kebon.” 12 Atas dasar pengertian sebagai keturunan Arya Kanuruhan itu, maka sulit bagi Ketut Sukayasa mengabaikan keberadaan Puri Sidemen. Di sisi lain, Cokorda Gde Dangin, dalam suatu wawancara pernah juga mengemukakan bahwa Pura Keluarga (Dadya) Arya Kanuruhan yang ada di seputar komplek Pura Besakih, atau yang disebut Pura Pedarman Arya Kanuruhan, bisa berdiri karena berkat jasa baik Puri Sidemen. Sesuatu hal yang dalam kesempatan wawancara dengan Ketut Sukayasa diakuinya juga. Relasi antara Ketut Sukaya dengan keluarga Puri Sidemen itu, paling tidak menggambarkan masih adanya/hadirnya suatu bentuk kekuatan kapital simbolik yang dimiliki oleh Puri Sidemen (karena pewarisan nilai-nilai dalam masyarakat), yang representasinya melekat dalam diri Cokorda Gde Dangin. Wawancara dengan Ketut Sukayasa, tanggal 24 Desember 2009 di Banjar Keboen, Desa Telagatawang Dinas, Kecamatan Sidemen. 12 166 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA Sebagai tambahan, Ketut Sukayasa adalah Ketua Keluarga Keturunan (Dadya) Arya Kanuruhan di Kecamatan Sidemen. Selain itu, dia menjabat sebagai Penyarikan (Sekretaris) Desa Pakraman Tabola, yang terbentuknya didahului oleh konflik yang berujung pada pelengseran pengurus lama yang kepemimpinannya berada di bawah bayang-bayang pengaruh Cokorda Gde Dangin. Cokorda Gde Dangin sendiri dalam kepengurusan Desa Pakraman Tabola yang lama menjabat sebagai Pingajeng Desa (Penasehat). Sedangkan sebelum menjabat sebagai pengurus Desa Pakraman, Ketut Sukayasa adalah Perbekel Desa Dinas Telaga Tawang. Adanya relasi sosial bersifat hirarkhis seperti tersebut diatas itulah yang menjelaskan mengapa kepemimpinan sosial-politik di Desa Tabola dalam sejarahnya banyak didominasi oleh keluarga dari kalangan lapisan atas masyarakat Desa, khususnya yang memiliki hubungan keluarga (langsung maupun tak langsung) dengan Keluarga Puri Sidemen. Cokorda Gde Dangin sendiri sejak tahun 1960-an hingga tahun 1970-an, pernah memegang jabatan formal sebagai bendesa dan juga kemudian Perbekel Sidemen. Setelah tidak memegang jabatan formal itu, Cokorda Gde Dangin tetap merupakan seorang figur yang memiliki pengaruh yang kuat di wilayah Sidemen dan di Desa Tabola pada khususnya. Sampai saat ini, kepemimpinan desa di Sidemen, baik desa dinas maupun desa adat/pakraman, masih diwarnai oleh golongan lapisan atas masyarakat, yang hal itu paling mudah digambarkan dari asal-usul golongan/warna/kasta mereka yang memegang kepemimpinan tersebut. Misalnya, Bendesa Desa Pakraman Tabola yang lama berasal dari golongan ksatria, sebagaimana ditunjukkan dari nama depannya yang bergelar Gusti (I Gusti Lanang Gita). Begitupula bendesa yang menggantikannya hingga sekarang, kalau dilihat dari namanya juga berasal dari golongan ksatria (I Gusti Lanang Sidemen). Meskipun memiliki nama depan yang sama, yaitu I Gusti Lanang, keduanya tidak memiliki hubungan keluarga. Bahwa kepemimpinan desa sejak dulu lebih didominasi oleh golongan lapisan atas desa, juga dijelaskan oleh Ida I Dewa Tjatra 167 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI tentang bagaimana pola perekrutan kepemimpinan desa yang berlaku sejak lama. “Sistem perekrutan dasarnya campuran: keturunan dan dipilih. Artinya, perekrutan dipilih dari orang-orang keturunan itu (keturunan pemimpin sebelumnya). Lalu juga dipilih. Sebab, misalnya, seorang bendesa mempunyai lima orang anak, kan tidak ke limanya menjadi bendesa, ada di antaranya dipilih, dengan kesepakatan. Lalu terjadi lagi seorang bendesa sama sekali tidak punya keturunan laki-laki. Maka desa mengambil keputusan akan dipilih dari keluarga besar bendesa itu. Sekarang masih berlaku itu.” 13 Selanjutnya bagaimana gambaran keseluruhan struktur dari organisasi Desa Pakraman Tabola itu sendiri? Yang pertama-tama harus dikemukakan adalah bahwa struktur organisasi desa pakraman dibangun diatas suatu landasan nilai-nilai Hindu, yang disebut sebagai Tri Hita Karana. Tri Hita Karana kurang lebih berarti “tiga sebab yang menjadi sumber dari kebahagiaan”, yaitu; pertama, parhyangan, berasal dari kata dasar Hyang, yang berarti Tuhan/Ketuhanan; kedua, pawongan, berasal dari kata dasar wong, yang berarti manusia/masyarakat; ketiga, palemahan, berasal dari kata dasar lemah yang berarti tanah atau juga bisa berarti alam semesta. Dalam konteks Tri Hita Karana ini, maka untuk mencapai kehidupan yang bahagia, manusia harus mengusahakan suatu proses hubungan yang harmonis di antara tiga hal tersebut di atas. Dan tak ubahnya seperti kehidupan manusia, maka untuk mencapai kehidupan kemasyarakatan yang bahagia, struktur organisasi masyarakat desapun diatur sedemikian rupa dengan mendasarkan diri pada prinsip Tri Hita Karana. Dalam realitasnya sehari-hari, konsep Tri Hita Karana seperti tersebut di atas itu terwujud dalam bentuk seperti yang dijelaskan berikut ini. Pertama, parhyangan, terwujud dalam bentuk tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, yang pengejawantahannya nampak dalam diri: Dewa Brahma, dewa pencipta alam semesta beserta isinya, yang dipuja di Lihat: Wawancara dengan Ida I Dewa Tjatra, di Amlapura, Karangasem, tanggal 11 November 2009. 13 168 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA pura puseh; Dewa Wisnu, dewa pemelihara alam semesta beserta isinya, yang dipuja di pura Desa/bale agung; dan Dewa Syiwa, dewa yang mengembalikan atau meniadakan kembali alam semesta beserta isinya, yang dipuja di pura dalem. Ketiga pura yang merupakan syarat mutlak dari keberadaan desa pakraman disebut sebagai pura kahyangan tiga. Di Desa Tabola, Pura Desa berada dalam satu lokasi dengan puseh, yaitu terletak di Banjar Tabola. Sedangkan pura dalem jumlahnya ada beberapa yang letaknya tersebar di berbagai banjar yang ada di Tabola. Pura dalem ini juga terbagi menjadi dua, yaitu pura dalem suci dan pura dalem biasa. Sebagai tempat pemujaan Dewa Syiwa, dewa yang meniadakan kembali semua yang pernah hidup dan ada di dunia (pralina/kematian) maka di areal sekitar pura dalem biasanya terdapat kuburan untuk mengubur jenazah manusia sebelum dibakar melalui upacara yang disebut ngaben. Setra atau kuburan yang ada di pura dalem di desa pakraman Tabola, terdapat di pura dalem biasa. Sedangkan pura dalem suci tidak memiliki setra atau kuburan. Dalam konteks adanya dua jenis pura dalem di Tabola ini, sering dikatakan bahwa pura dalem suci adalah tempat bersemayam Dewa Syiwa sedangkan pura dalem biasa menjadi termpat persemayaman Dewa Durga. Dalam mitos Hindu, Durga dianggap sebagai penjelmaan dari istri Dewa Syiwa yang bernama Dewa Uma. Kedua, pawongan, terwujud dalam diri individu, keluarga dan masyarakat yang bertempat tinggal di dalam wilayah desa pakraman yang disebut sebagai krama desa. Untuk konteks Desa Pakraman Tabola, konsep tentang krama desa mencakup dua hal, yaitu : (a) siapapun yang bermukim di dalam wilayah Desa Tabola lebih dari tiga bulan (105 hari), serta beragama Hindu; (b) siapapun yang berasal dari desa Tabola, bermukim menetap di luar Desa Tabola, tetapi tetap tercatat (terdaftar) pada salah satu banjar yang ada di dalam wilayah Desa Tabola. Contoh yang terakhir ini adalah orang-orang dari Desa Tabola yang ada di berbagai wilayah di Bali, tetapi yang secara adat masih merasa terkait dengan banjar dan desa asalnya di Desa Tabola. Ketiga, palemahan, terwujud dalam bentuk tanah dan lingkungan alam sekitarnya yang wilayahnya dianggap merupakan 169 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI teritorial dari desa pakraman. Teritorial atau wilayah ini meliputi tanah tempat tinggal (rumah) dan bangunannya, tanah sawah, tanah tegalan, dan tanah-tanah lainnya, termasuk untuk kasus Desa Tabola adalah tanah wilayah hutan desa, yang batas-batasnya dapat dibedakan dengan wilayah desa pakraman yang lain. Secara konsepsional, wilayah tanah atau palemahan yang ada di Desa Tabola, pengaturannya berpedoman pada tri-mandala. Di sini tri berarti tiga, sedang mandala kurang lebih berarti tempat atau wilayah. Konsep tri-mandala meliputi tiga hal, yaitu: (a) utama mandala, mencakup tanah-tanah yang dijadikan pekarangan pura atau parhyangan; (b) madya mandala, mencakup tanah-tanah yang dijadikan pekarangan tempat pemukiman, dan juga tempat bangunan-bangunan lain seperti banjar (balai banjar), sekolah, kantor pemerintahan, rumah sakit dan lain-lain; (c) nista mandala, mencakup tanah-tanah yang dijadikan tanah pekuburan, jalan, lorong, saluran air, tulak tanggul (tanah khusus untuk tempat upacara jenazah yang pernah dikebumikan di tanah kuburan), dan lain-lain. Ketiga pilar (parhyangan, pawongan, dan palemahan) yang menjadi acuan kehidupan masyarakat desa tersebut memuat nilai-nilai tertentu, yang perwujudannya dalam praktek kehidupan sosial masyarakat tertuang dalam aturan yang ada dalam awig-awig desa. Mengacu pada pemikiran Giddens tentang struktur sosial, maka aturanaturan yang ada dalam awig-awig Desa Tabola boleh disebut sebagai suatu struktur. Jadi dalam hal ini struktur sosial tidak hanya menyangkut disposisi peran dan fungsi dari individu atau kelompok serta pola relasi sosialnya di antara mereka, tetapi juga nilai, norma atau aturan yang melingkupi keseluruhan proses dalam struktur sosial yang bersangkutan. Perubahan dalam aspek-aspek disposisi, pola relasi sosial serta nilai, norma dan aturan, tidak lain adalah bagian penting dari proses perubahan sosial itu sendiri. Pada Bab 5 akan dijelaskan bagaimana nilai, norma serta aturan yang perwujudannya secara eksplisit terdapat dalam awig-awig Desa Pakraman Tabola itu, ternyata mengalami proses pergeseran maupun perubahan. Contohnya, masuknya nilai, norma ataupun ketentuan baru 170 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA yang mengatur kehidupan sosial masyarakat desa, yang hal itu dimuat dalam awig-awig desa. Padahal sebelumnya hal demikian belum ada atau bahkan tidak dikenal. Begitupula pergeseran maupun perubahan nilai-nilai dan norma-norma tersebut pada gilirannya juga merubah disposisi, pola relasi sosial yang ada. Bab 6 dan 7 dalam tulisan ini, antara lain, menjelaskan bagaimana perubahan disposisi dan pola relasi sosial yang terjadi di Desa Pakraman Tabola/Sidemen. Fenomena seperti ini secara keseluruhan, sebagaimana akan dijelaskan pada bagian berikutnya dari tulisan ini, merupakan suatu bentuk dari proses perubahan sosial. Secara organisatoris, struktur pemerintahan Desa Pakraman Tabola sejak semula selalu dipimpin oleh seorang bendesa atau klian desa. Selanjutnya bendesa membawahi para pengurus desa lainnya yang membantu menjalankan roda pemerintahan desa adat/pakraman. Yang termasuk dalam katagori pengurus desa ini, untuk kasus Desa Pakraman Tabola, dibagi dua, yaitu prakangge desa atau berarti “pengurus desa”, serta prajuru desa atau berarti petugas-petugas desa. Prakangge desa Desa Pakraman Tabola terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut. Pertama, pingajeng desa. Pingajeng artinya kira-kira yang “didepan”, yaitu terdiri dari individu-individu yang berasal dari wilayah Geria-Geria di Banjar Punia, Jro Gde, Jro Kanginan Sidemen, Jro Pekandelan, Pingajeng Arya Wang Bang Sidemen, yang telah ditunjuk dan diberikan mandat dalam kelompok masing-masing. Kedua, klian desa atau sering juga disebut bendesa. Klian desa artinya kira-kira sama dengan kepala desa. Ketiga, pemaden klian desa. Pemaden kurang lebih artinya wakil, sehingga pemaden klian desa berarti wakil kepala desa. Keempat, penyarikan desa. Penyarikan artinya sekretaris, sehingga penyarikan desa berarti adalah sekretaris desa. Kelima, sedahan atau jururaksa. Sedahan atau jururaksa kira-kira artinya dalah bendahara desa. Keenam, patangan atau panglima. Patangan atau panglima adalah pejabat yang menangani masalahmasalah keamanan di desa. Sedangkan prajuru desa terdiri dari: klian-klian banjar (ketuaketua banjar) dan klian-klian subak (ketua-ketua subak) yang ada dalam wilayah Desa Tabola. Banjar adalah kesatuan masyarakat adat 171 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI yang strukturnya berada di bawah desa adat/pakraman. Di bawah stuktur banjar terdapat organisasi yang strukturnya terdiri dari kesatuan atas beberapa rumah tangga yang disebut tempek/tempekan. Tempekan dipimpin oleh ketua/klian tempek, yang biasanya dijabat secara bergiliran di antara para keluarga yang tergabung dalam kesatuan tempek tersebut. Sedangkan subak adalah kesatuan organisasi masyarakat yang bergerak di bidang pengelolaan pengairan sawah. Patut di catat di sini bahwa di Sidemen, selain terdapat organisasi subak sawah, juga ada subak untuk pengelolaan kebun, yaitu yang disebut sebagai subak abian. Kedua jenis subak itu mempunyai peran yang hampir sama, yaitu melakukan pengorganisasi/pengelolaan sumberdaya air secara kolektif untuk kepentingan pengairan sawah atau kebun yang tergabung dalam organisasi subak tersebut. Perlu dikemukakan di sini bahwa sebelum tahun 2000, atau sebelum Desa Tabola memiliki awig-awig baru yang sudah disuratkan (tertulis), struktur organisasi desanya tidak mengenal kelembagaan yang disebut sebagai pingajeng desa. Jadi kelembagaan pingajeng desa adalah unsur baru dalam struktur organisasi pemerintahan desa adat di Desa Tabola. Elemen-elemen yang mewakili pingajeng desa adalah wakil dari keluarga-keluarga brahmana yang ada di Sidemen, khususnya dari Banjar Punia, dan keluarga-keluarga ksatria Puri Sidemen. Sementara struktur organisasi pemerintahan desa adat/pakaraman di bawah pingajeng desa, seperti misalnya, klian desa, pemaden klian desa, serta panyarikan, merupakan struktur yang sejak lama ada dan berlaku di Desa Pakraman Tabola. Begitupula dengan struktur yang lain seperti klian banjar dan klian tempek memimpin dan membawahi struktur organisasi banjar dan tempekan, serta juga struktur klian subak, yang membawahi organisasi subak yang ada di Desa Tabola. Berikut gambar organisasi pemerintahan Desa Pakraman Tabola, menurut awig-awig desa: 14 14 Sampai tulisan ini dibuat, Awig-awig Desa Pakraman Tabola yang di “pasupati” (disahkan melalui upacara di Pura Desa) masih dianggap berlaku. Dalam beberapa kesempatan wawancara dengan Klian Desa Tabola yang baru (kepengurusan baru paska pelengseran pengurus lama bulan Agustus 2008), pihak pengurus baru berencana 172 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA Gambar 14: Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Adat/Pakaraman Tabola berdasarkan Awig-awig Desa Pakraman Tabola Bagaimana cara pemilihan klian desa dan klian banjar di Desa Tabola? Berdasarkan proses pemilihan yang terakhir (pengurus desa untuk periode 2009-2014), maka pada dasarnya klian desa dipilih oleh masyarakat melalui proses pemilihan secara langsung. Pada tahap pertama masing-masing banjar memilih calon dari banjarnya untuk diajukan dalam pemilihan klian desa. Berdasarkan pengalaman pemilihan klian desa pada tahun 2009, masing-masing banjar dari 12 banjar yang ada di Desa Tabola mengajukan 3 orang calon. Jadi calon yang akan diajukan untuk menjadi klian banjar seluruhnya ada 36 mengubah sebagian isi awig-awig, khususnya pasal-pasal yang menyangkut struktur organisasi pemerintahan desa pakraman. 173 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI orang (12 banjar X 3 orang). Selanjutnya dari calon-calon yang dimajukan itu diseleksi untuk dipilih 3 besar; dan dari tiga besar itu kemudian dipilih satu untuk menjadi klian desa oleh masyarakat dari 12 banjar yang ada. Proses pemilihan di lakukan di pura puseh. Lalu mereka yang tidak terpilih kemudian diminta untuk menjadi prakangge desa, mendampingi klian desa terpilih. Dengan demikian, seluruh banjar yang ada di Desa Tabola, semuanya terwakili dalam kepengurusan desa pakraman. 15 Pada tingkat banjar, pemilihan klian banjar-nya juga dilakukan secara langsung sebagaimana halnya pemilihan klian desa. Kalau pemilihan klian desa bermula dari pangajuan calon dari tingkat banjar, maka untuk pemilihan klian banjar, calon diajukan dari tingkat tempek. Tempek adalah satuan masyarakat di bawah banjar, yang dipimpin oleh klian tempek. Tempek ini adalah satuan masyarakat hukum di desa yang paling kecil, terdiri dari kumpulan rumah tanggarumah tangga. Di dalam banjar ini biasanya berdiri seke-seke, yaitu suatu organisasi yang khusus dibentuk untuk satu tujuan tertentu, misalnya, seke gong (untuk kegiatan menabuh gamelan), seke tari (untuk kegiatan tari), dan lain sebagainya. Kalau dilihat dari proses pemilihan kepemimpinan di Desa Tabola, kelihatan bahwa unsur-unsur demokrasi hadir dalam proses itu. Paling tidak calon pemimpin diseleksi dan dipilih dari tingkatan susunan masyarakat yang paling bawah, khususnya mulai dari kelompok rumah tangga di desa, yang disebut tempek, lalu kemudian meningkat ke banjar. Sebelumnya, khususnya sebelum jaman reformasi, kepemimpinan dipilih tidak secara langsung oleh masyarakat, tetapi melalui jalan “musyawarah”, yang dalam hal ini, seperti diakui oleh Ida I Dewa Gde Catra, prosesnya melalui perpaduan antara “dipilih dan keturunan”. Jadi umumnya dipilih dari keluarga bangsawan atau brahmana, yang memang leluhurnya merupakan bagian dari elit masyarakat setempat. Tentu saja dalam konteks waktu 15 Hasil wawancara dengan Ketut Sukayasa, mantan Perbekal Desa Dinas Telagatawang (November 1998- Juni 2009), dan ketika wawancara ini dilakukan menjadi Prakangge Desa Tabola. Wawancara dilakukan pada tanggal 24 Desember 2009. 174 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA itu (sebelum reformasi), campur tangan unsur-unsur pemerintahan di luar desa adat, apakah desa dinas dan/atau kekuatan “supra-desa”, seringkali terjadi. Sehingga kalau dibandingkan dengan proses pemilihan kepemimpinan-kepemimpinan desa pada kurun waktu sebelumnya, prosesnya memang sedikit agak berbeda. Pada dasarnya, mereka yang menjadi pengurus desa pakraman Tabola, tidak memperoleh pendapatan tetap, misalnya berupa gaji, sebagaimana pengurus desa dinas. Sebagai gantinya mereka memperoleh keistimewaan tertentu dari desa yang disebut “luput”. Luput ini adalah bahasa Bali, yang artinya lepas atau bebas dari berbagai kewajiban tertentu di desa. Jadi dengan menerima “luput” ini berarti mereka yang menjadi pengurus desa dibebaskan dari kewajiban untuk, misalnya, membayar iuran wajib yang dibebankan kepada krama desa untuk kepentingan desa. Juga mereka dibebaskan dari kewajiban membayar iuran untuk pemeliharaan pura-pura tertentu yang ada di desa, khususnya pura puseh, pura desa atau pura dalem. Termasuk dalam hal ini iuran-iuran yang harus ditanggung bersama para krama desa bila ada kegiatan upacara adat/agama yang diselenggarakan di Desa Tabola. Contohnya, bila pura puseh ataupun pura desa berencana menyelenggarakan kegiatan “odalan” yang membutuhkan biaya cukup besar, yang untuk itu para krama desa harus menanggung beban biaya bersama, maka para pengurus desa biasanya dibebaskan untuk ikut menanggung kewajiban itu. “Odalan” adalah bahasa Bali yang artinya perayaan ulang tahun atau hari jadi (misalnya, pura) yang diperingati melalui suatu kegiatan upacara agama atau adat. Menurut kebiasaan yang berlaku di Desa Tabola, meskipun para pengurus desa memang mendapatkan hak “luput” untuk bebas membayar berbagai iuran desa, tetapi mereka tetap harus menjalankan kewajiban “ngayah”. Secara harfiah, ngayah itu artinya “meladeni/melayani”, yang dalam konteks desa di Bali sering berarti melakukan sesuatu pekerjaan untuk desa atau pura di desa tanpa dibayar. Ngayah ini biasanya melibatkan para krama desa untuk berbagai jenis pekerjaan, dari mulai pekerjaan mempersiapkan upacara agama di desa sampai pekerjaan-pekerjaan gotong-royong lainnya yang 175 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI diselenggarakan oleh desa maupun banjar. Sebagai tambahan, dalam konteks puri (misalnya, Puri Sidemen), ngayah bisa berarti melakukan sesuatu kegiatan atau pekerjaan untuk puri tanpa dibayar. Biasanya hal itu dilakukan oleh para pengikut Puri Sidemen (parekan) bila ada kegiatan upacara atau adat (misalnya “odalan” di pura milik keluarga puri) yang diselenggarakan oleh Puri Sidemen. Di luar “luput”, para pengurus desa (prakangge) sebenarnya memang memperoleh sedikit pembagian hasil dari pendapatan desa pakraman. Pembagian yang biasanya dalam bentuk uang ini, di Desa Tabola disebut “solasan”. Solas adalah bahasa Bali yang artinya sebelas. Jadi yang dimaksud dengan solasan di sana adalah bahwa setiap pemasukan (uang) yang diperoleh desa dari berbagai sumber penghasilan, disisihkan sejumlah sepersebelasnya untuk kemudian dibagikan kepada semua pengurus desa sebagai imbalan atas jabatannya itu. Sumber pendapatan desa ini, antara lain, berasal dari pemasukan sewa (dari para pedagang) pasar milik desa, sewa atau bagi hasil tanahtanah desa yang digarap oleh para penggarap, dan lain-lain. Karena jumlahnya tidak terlalu besar maka hasil solasan ini biasanya dikumpulkan terlebih dahulu untuk kemudian dikeluarkan dan dibagikan kepada pengursus desa setengah tahun atau bahkan tidak jarang setahun sekali. Biasanya waktu pembagiannya mendekati hari raya, misalnya, mendekati Hari Raya Nyepi atau juga Hari Raya Galungan. 16 Memang, dari segi imbalan material, sebagaimana diakui oleh I Gusti Lanang Gita, mantan Klian Desa Pakraman Tabola, menjadi klian desa atau bendesa, tidak lebih dari pekerjaan ngayah, pekerjaan pengabdian. Suatu pengakuan yang kemudian juga dibenarkan oleh Klian Desa Tabola yang baru, I Gusti Lanang Sidemen, yang menggantikan kepengurusan desa pakraman yang lama di bawah kepemimpinan I Gusti Lanang Gita. Namun demikian dari segi kultural, jabatan sebagai klian desa boleh dikatakan menghasilkan suatu imbalan yang tidak kecil, khususnya dipandang dari sisi perolehan status dan prestise sosial. Atau kalau dipandang dari konsep kapital 16 Hasil wawancara dengan I Gusti Lanang Gita, Mei 2008. 176 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA menurut Bourdieu maka menjadi klian desa, perolehan (imbalan) kapital sosial, kultural atau simbolik menjadi lebih penting ketimbang kapital ekonomi. Tetapi permasalahannya adalah bahwa secara teoritis, kapital sosial dan kultural pada tingkatan tertentu bisa ditransformasikan menjadi kapital ekonomi (dan begitu pula sebaliknya). Sehingga sesungguhnya kapital simbolik, sosial maupun kultural pada dasarnya juga tidak kalah penting. Adanya kenyataan seperti inilah yang menyebabkan klian desa (bersama jajaran pengurus desanya) tetap menempati kedudukan yang penting dalam keseluruhan kehidupan sosial masyarakat desa. Hal demikian juga terbukti bahwa dalam proses Pilkada langsung yang dilaksanakan di Bali sejak tahun 2005, apakah itu Pilkada untuk memilih Gubernur maupun Bupati/Walikota, posisi klian desa menjadi penting secara politis. Sehingga tidak mengherankan kalau dalam setiap Pilkada (untuk kasus desa pakraman adalah pemilihan Gubernur Provinsi Bali atau Bupati Karangasem) Klian Desa Tabola (dan jajaran pengurusnya) menjadi “target” untuk bisa memberikan dukungan bagi kepentingan mobilisasi suara. Seperti halnya terjadi di desa-desa pakraman di seluruh Bali, setiap berlangsung Pilkada, di suatu desa adat/pakraman tertentu diselenggarakan apa yang disebut sebagai mesimakrama. Arti dari mesimakrama sebenarnya adalah suatu pertemuan tidak resmi/informal dalam rangka silahturahmi untuk menyampaikan sesuatu keinginan tertentu. Dalam konteks politik Pilkada (Provinsi atau Kabupaten/Kota), yang dimaksud dengan keingingan tertentu itu adalah meminta dukungan politik. Yang hadir dalam mesimakrama biasanya adalah klian desa (beserta jajaran pengurusnya), masyarakat desa setempat, dan tentu saja, calon Gubernur/Wakil Gubernur atau calon Bupati/Wakil Bupati yang akan berkompetisi dalam Pilkada. 177 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Desa Tabola Dalam Perubahan Jaman • Desa Tabola Sebelum Jaman Reformasi Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, desa-desa di Bali, hingga sekarang terbagi menjadi dua jenis desa, yaitu desa dinas dan desa adat (yang sejak tahun 2001 namanya dikembalikan menjadi desa pakraman). Hal yang sama juga terjadi di Sidemen, yang di masa lalu desanya memang telah terbagi menjadi dua (dengan wilayah yang sama), yaitu desa dinas Sidemen dan desa adat Tabola (sekarang Desa Pakraman Tabola). Kelak kemudian, sejak akhir tahun 1990-an Desa Dinas Sidemen dimekarkan sehingga sekarang menjadi tiga desa dinas, yaitu Desa Dinas Sidemen, Desa Dinas Telagatawang dan Desa Dinas Sinduwati. Ketiga desa dinas itu masih tetap berada dalam satu wilayah Desa Pakraman Tabola. Desa Dinas Sidemen itu sendiri merupakan desa lama, yang eksistensinya sudah ada sejak masa kolonial atau ketika Kerajaan Karangasem mulai berada di bawah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Desa dinas itu dipimpin oleh seorang kepala desa (Dinas), yang disebut sebagai perbekel. Wilayahnya juga sering disebut sebagai wilayah keperbekelan. Namun jauh sebelum berada di bawah kekuasaan kolonial, atau pada masa Kerajaan Karangasem, Sidemen adalah suatu wilayah kedistrikan Kerajaan Karangasem yang disebut kepunggawaan. Kepunggawaan ini dipimpin oleh seorang punggawa. Sebagai catatan, pada masa itu, Kerajaan Karangasem memiliki 23 distrik atau kepunggawaan, yang sebagian dari wilayah kepunggawaan itu hingga kini (nama dan wilayahnya) masih ada. Wilayah-wilayah kepunggawaan ini antara lain: Seraya, Karangasem, Bugbug, Pasedahan, Ulakan, Manggis, Angantalu, Budakeling, Saren, Bebendem, Sibetan, Pesangkan, Selat, Muncan, Rendang, Besakih, Talibeng, Babi, Abang, Culik, Kubu, Tianyar, dan Sidemen sendiri. Saat ini, wilayah bekas kepunggawaan tersebut, sebagian menjadi wilayah kecamatan di Kabupaten Karangasem. Termasuk dalam hal ini adalah Kecamatan Sidemen, yang di dalamnya tercakup Desa Dinas 178 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA Sidemen dan dua desa dinas lainnya hasil pemekaran (Telagatawang dan Sinduwati). Ketika pemerintah kolonial membentuk keperbekelan, yang dalam hal ini mempunyai fungsi untuk melakukan pengelolaan administrasi pemerintah (kolonial) pada tingkat masyarakat paling bawah (desa), maka pemerintahan adat yang sudah ada jauh sebelumnya tidak dihapuskan. Sehingga dengan demikian di Sidemen sejak jaman kolonial ada dua desa, yaitu Desa Adat Tabola dan Desa dinas Sidemen (keperbekelan Sidemen). Wilayah Keperbekelan Sidemen itu sendiri semula adalah bagian dari wilayah Kepunggawaan Sidemen, yang wilayahnya semula kurang lebih sama dengan wilayah Kecamatan Sidemen sekarang. Dalam perkembangannya kemudian, keberadaan kepunggawaan ini berangsur-angsur pudar, tergantikan oleh keberadaan keperbekelan. Kenyataan seperti ini bisa dipahami karena memang sejalan dengan semakin kokohnya kekuasaan pemerintahan kolonial maka unsur-unsur birokrasi kerajaan, dalam hal ini kepunggawaan, menjadi semakin memudar peran dan esksistensinya, digantikan oleh birokrasi kolonial, seperti halnya keperbekelan. Di beberapa tempat, para punggawa dan/atau keturunannya (seringkali adalah para pengikut setia raja/kerajaan) ini sebagian malah diangkat menjadi perbekel oleh pemerintah kolonial. Dengan menjadi perbekel ini maka mau tidak mau mereka terintegrasi dalam birokrasi pemerintahan kolonial paling bawah, yaitu desa dinas. Di lain pihak, dalam wilayah yang sama sejak dulu terdapat para bendesa atau klian desa sebagai kepala pemerintahan adat yang memimpin pengelolaan urusan-urusan adat dan agama. Di sinilah kemudian awal dari terbentuknya apa yang disebut dualisme desa di Sidemen, yaitu Desa Dinas Sidemen (yang sejak akhir tahun 1990-an wilayahnya sudah dimekarkan menjadi tiga desa) di satu sisi, dan Desa Adat Tabola (yang sejak tahun 2001 nama dan sebutannya diganti menjadi Desa Pakraman Tabola) di sisi lain. Jadi, sebagaimana sempat di singgung di depan, dualisme desa yang ada di wilayah Desa Pakraman Tabola dewasa ini mencakup 179 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI dualisme desa antara: pertama, Desa Adat/Pakaraman Tabola di satu sisi dan ke dua, Desa Dinas Sidemen, Telagatawang serta Sinduwati di sisi lain. Sehingga pada akhirnya memang krama (warga) Desa Pakraman Tabola pada dasarnya mencakup warga atau penduduk dari tiga desa dinas sebagaimana disebutkan di atas. Terkait dengan hal ini, perlu juga dicatat bahwa sejak masa pra-kolonial, wilayah adat Desa Pakraman Tabola belum pernah dimekarkan. Cakupan wilayah adatnya sejak dahulu masih sama dan tetap berpusat pada keberadaan kahyangan tiga, pura puseh, pura desa/balai agung, dan pura dalem yang ada di Desa Tabola itu sendiri. Kembali ke soal keberadaan dualisme desa yang sudah ada sejak masa kolonial. Dalam soal dualisme ini, ada kencenderungan bahwa desa dinas sejak semula memiliki peranan politik yang kuat atas masyarakat desa secara keseluruhan. Kuatnya peranan politik desa dinas ini tidak terlepas dari pengaruh kekuatan politik kolonial atas pemerintahan kerajaan, yang dalam konteks Sidemen adalah Pemerintahan Kerajaan Karangasem. Sebagaimana sempat disinggung dalam bagian sebelumnya bahwa kekuasaan politik Kerajaan Karangasem sebagai suatu entitas politik yang mandiri terus melorot ketika Pemerintah Kolonial Belanda mulai menancapkan kekuasaan di Bali. Ini terutama terjadi sejak Kerajaan Buleleng, yang didukung Kerajaan Karangasem, jatuh di tangan kekuasaan Pemerintah Kolonial dalam Perang Jagaraga sekitar tahun 1849. Puncaknya, pada tahun 1930, Raja Karangasem, bersama Raja Gianyar, memperoleh status Stadehauder, yang berarti Raja adalah wakil dari Pemerintah Hindia Belanda. Dengan kedudukan sebagai wakil pemerintah kolonial ini, maka mau tidak mau Kerajaan Karangasem menjadi semakin terintegrasi dengan kekuasaan birokrasi kolonial. Melalui proses pengintegrasian kekuasaan politik kerajaan ini, maka desa dinas yang sejak awal sengaja dibentuk oleh Pemerintah Kolonial, mau tidak mau semakin memiliki kedudukan yang kuat dalam konteks pengaruh kekuasaan politik di desa atas masyarakat desa. Sebaliknya, desa adat, semakin terfokus untuk melakukan pengelolaan di bidang adat dan/atau agama saja. Apalagi, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa kepemimpinan desa dinas, sejak awal 180 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA diambil dari para bekas punggawa (dan keturunannya), yang tentu saja dalam tingkat tertentu memiliki pengaruh cukup kuat di desa. Keberadaan kepunggawaan sendiri, yang semula lebih banyak memiliki fungsi dan kedudukan sebagai wakil raja (di daerah), berangsur-angsur pudar dan berubah menjadi aparat birokrasi kolonial di tingkat desa. Apa yang digambarkan tersebut di atas itu juga terjadi di Sidemen. Perbekel Sidemen, pada awal-awal pertumbuhan desa dinas di sana, misalnya, adalah keturunan bekas punggawa atau juga dari keluarga Puri Sidemen. Sebagai contoh, Perbekel Sidemen pada tahun 1930-an hingga tahun 1950-an adalah seorang keturunan bangsawan tinggi bekas punggawa. Dia adalah Ayah dari Ida I Dewa Catra, yang pada tahun 1960-an menjadi sekretaris desa, mendampingi Cokorda Gde Dangin sebagai Perbekel Sidemen. Sedangkan Cokorda Gde Dangin adalah anak keturunan dari penguasa Puri Sidemen saat itu, Cokorda Gede Rai. Cokorda Gde Dangin ini kelak kemudian, ditunjuk menjadi Penglingsir Puri Sidemen, sampai sekarang ini. Sebelum menjadi perbekel, Cokorda Gde Dangin sempat menjadi Bendesa/Klian Desa Adat Tabola. Jadi dengan demikian, desa dinas itu menjadi kuat secara politik bukan hanya karena didukung oleh kekuasaan politik pemerintahan supra-desa, tetapi lebih dari itu juga karena kepemimpinannya direkrut dari unsur tokoh masyarakat setempat, seperti keturunan para bekas punggawa atau untuk kasus Sidemen juga dari keluarga Puri Sidemen. Di masa Orde Baru, dukungan kekuasaan politik dari pemerintah supra-desa terhadap keberadaan desa dinas tetap berlangsung sebagaimana halnya pada masa kolonial. Malahan pada masa ini boleh dikatakan dukungannya menjadi semakin kuat dan kokoh. Terlebihlebih setelah dikeluarkan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, di mana desa-desa di Indonesia menjadi bagian langsung dari birokrasi pemerintahan supra-desa, dengan susunan hirarki mulai dari atas ke bawah, yaitu Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi, Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintahan Kecamatan, dan Pemerintahan Desa (Parimartha, 2009: 136-167). 181 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Dalam UU No 5 Tahun 1979, pasal (1), ayat (a), disebutkan bahwa “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dengan ketentuan ini, maka pemerintahan desa tak pelak adalah bagian dari birokrasi pemerintahan secara keseluruhan. Dan karena itu bisa dipahami kalau dukungan politik terhadap pemerintahan desa diberikan secara otomatis oleh pemerintahan di atasnya, khususnya dalam hal ini secara langsung adalah pemerintah Kecamatan dan Kabupaten. Dengan adanya dukungan dari birokrasi pemerintahan supradesa itu, maka desa dinas di Bali, tak terkecuali di Sidemen, menjadi sosok organisasi yang sangat berpengaruh di desa secara sosial-politik. Dalam konteks ini, misalnya, hampir tidak ada suatu kegiatan di desa pada waktu itu yang lepas dari kontrol/pengawasan dan kendali pemerintahan desa dinas. Tidak terkecuali apakah kegiatan itu adalah kegiatan adat atau keagamaan yang semestinya berada di luar wewenang pemerintahan desa dinas. Di samping itu, secara ekonomi, desa dinas juga berperan sebagai “lokomotif” dari gerak pembangunan perekonomian di desa. Hal ini terjadi karena berbagai macam program pembangunan ekonomi yang digulirkan pemerintah ‘supra-desa’ pada tingkat lokal/desa, umumnya langsung ataupun tidak langsung, dijalankan melalui mekanisme perantaraan pemerintahan desa dinas. Dengan praktek seperti ini, maka pengaruh dan peranan desa dinas di mata masyarakat desa pada umumnya menjadi semakin kuat. Bahkan pada masa puncak-puncaknya kekuasaan pemerintahan Orde Baru, atau kira-kira pada akhir dasa warsa 1980-an sampai 1990-an, pengaruh dari kekuatan ekonomi-politik desa dinas menetrasi aspekaspek kehidupan adat dan agama, yang seharus menjadi urusan desa adat. Pada masa itu, hampir tidak ada kegiatan adat atau agama, khususnya yang melibatkan massa dalam jumlah besar, yang tidak seijin atau sepengetahuan pemerintahan desa dinas, yang dalam hal ini 182 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA tentu saja, didukung oleh aparat keamanan setempat (polisi dan militer). Jadi hegemoni desa dinas terhadap desa adat di Sidemen mencapai titik puncaknya justru di masa Orde Baru, khususnya pada satu sampai dua dekade sebelum jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998. Sebagaimana dituturkan oleh seorang mantan Kepala Desa Dinas Sidemen (perbekel tahun 1994 - 1999), yang sejak tahun 2002 (setelah berhenti jadi perbekel) terpilih menjadi Bendesa/ Klian Desa Pakraman Tabola, bahwa pada masa Orde Baru kekuasaan desa dinas sangat kuat sekali bila dibandingkan dengan desa adat. Malah menurut pengalamannya, apapun yang dikatakan pemerintah (desa dinas) pada waktu itu, harus jalan. “Desa adat belum belum melejit seperti sekarang,” demikian antara lain diungkapkannya. 17 Keadaan yang terjadi di Sidemen pada masa Orde Baru itu, sebagaimana dikemukakan oleh mantan Perbekel Sidemen dan mantan Bendesa/Klian Desa Tabola, bukan hanya terjadi di Sidemen atau Tabola saja. Tetapi situasi itu juga berlangsung di hampir seluruh desa di Bali. Subanda (2005: 91-101) dalam disertasinya berjudul “Negara, Desa Adat dan Rakyat Dalam Kepemimpinan Lokal di Bali”, misalnya, menyinggung dominasi dari desa dinas terhadap desa adat pada masa Orde Baru. Desa Dinas, dengan kepala desanya, dalam hal ini (di Bali) digambarkan sebagai instrumen bagi Pemerintah Pusat untuk dapat melaksanakan program-programnya secara penuh di desa, apakah sesuai dengan kebutuhan rakyat atau tidak. Masa setelah diberlakukannya UU No.5 Tahun 1979 hingga akhir Pemerintahan Orde Baru atau tepatnya setelah diundangkan UU No. 22 Tahun1999, digambarkan sebagai akhir dari otonomi dan demokrasi di desa. Fenomena yang sama juga dikemukakan oleh Sunantara (2004: 106-116), melalui tulisan hasil penelitian berjudul “Desa Dinas VS Desa Pakraman, Konflik Otonomi Desa di Bali pada Era Otonomi”. Dalam tulisan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Pakraman Penjaringan, Hasil wawancara dengan mantan Perbekel Sidemen ( tahun 1994-1999) dan mantan Bendesa/Kliyan Desa Pakraman Tabola( tahun 2002-2009), I Gusti Lanang Gita, Mei 17 2008, Banjar Tabola, Desa Pakaraman Tabola. 183 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Kabupaten Jembrana itu, antara lain dikemukakan bahwa pada masa Orde Baru desa pakramanan/desa adat hanya berperan sebagai obyek dari pembangunan. Desa pakraman sering dianggap sebagai bagian atau bahkan bawahan dari desa dinas, dan desa dinas sendiri tidak jarang melakukan intervensi berlebihan terhadap urusan-urusan yang sebenarnya menjadi hak otonomi dari desa pakraman. Sementara I Gede Parimarta, dalam tulisannya berjudul “Memahami Desa Adat, Desa Dinas, dan Desa Pakraman (Satu Tinjauan Historis Kritis)”, mengemukakan hal yang hampir sama, khususnya dalam kaitannya dengan relasi antara desa adat dan desa dinas di masa Orde Baru. Bahkan dengan adanya UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang substansinya membawa konsekuensi menguatnya peranan desa dinas di Bali, istilah banjar di Bali malah diganti dengan istilah di sana (Parimarta, 2009: 136-167). Banjar adalah istilah khas atau istilah asli di Bali yang artinya merujuk pada satu kesatuan masyarakat adat yang cakupannya berada di bawah desa adat (lihat kembali struktur organisasi desa adat/pakraman dalam tulisan ini). Sementara istilah di sana justru tidak atau kurang dikenal di Bali. Paling tidak sebelum istilah itu dikenalkan untuk menggantikan istilah banjar. Istilah di sana lebih mengacu pada kesatuan masyarakat hukum di bawah desa, tetapi dalam konsep atau pengertian bagi desa-desa di Jawa. Istilah di sana ini diadopsi dalam UU No. 5 Tahun 1979, dan bersama kata “desa”, dikenalkan diseluruh Indonesia untuk merujuk pada pengertian kesatuan masyarakat hukum di bawah Kecamatan. Akhirnya, Schulte-Nordholt (2007: 27-29), dalam bukunya berjudul “Bali, An Open Fortress 1995-2005” juga menyebutkan bahwa dalam situasi adanya dualisme desa di Bali yang muncul sejak jaman kolonial, yaitu desa adat dan desa dinas, maka desa adat lebih banyak menjadi subordinat dari desa dinas. Ini terutama terjadi pada masa Pemerintahan Orde Baru. Terkait dengan hal ini, ia menulis, antara lain: “This adat-dinas divide was to survive well into the New Order, when the state penetrated deeper into village affairs and the desa 184 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA adat was increasingly subordinated to the desa dinas. Various government regulated stipulated that adat was but an instrument in the pursuit of development and needed state guidance and supervision.” • Tabola di Jaman Reformasi Sama seperti banyak daerah lain di Indonesia, gelombang reformasi menjadi semakin kuat menerpa Bali, terutama sejak pemerintahan Orde Baru ambruk pada tanggal 21 Mei 1998. Pada tanggal itu, Presiden Soeharto yang memimpin Indonesia sejak tahun 1967, melengserkan diri, dan diganti oleh Wakil Presiden pilihannya, B.J. Habibie. Ibarat gelombang air bah, di mana-mana di Bali pada waktu itu terjadi perlawanan terhadap kekuatan status quo, yang disimbolkan oleh keberadaan pemerintahan lokal yang pada waktu itu ditopang oleh Golkar. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau pada Pemilu pertama sejak Orde Baru ambruk (1999) di Bali hasilnya berubah secara sangat drastis, bahkan bila dibandingkan dengan perubahan hasil Pemilu di daerah-daerah lainnya Indonesia. Di Tabola sendiri, beberapa saat setelah Presiden Soeharto lengser, banyak tokoh masyarakat setempat yang mengubah haluan politiknya dengan tidak lagi memberikan dukungan ke Golkar. Sebagai alternatifnya, umumnya mereka memberikan dukungan ke PDIP di bawah kepemimpinan Megawati Sukarnoputri. Salah satu di antara tokoh lokal itu adalah penglingsir (pemimpin/pewaris/penguasa) Puri Sidemen, Cokorda Gde Dangin. Jadi dalam suasana politik yang baru itu, pak Cok mampu kembali membangun dan memperkuat posisi simboliknya sebagai salah satu tokoh utama di Desa Pakraman Tabola. Dalam hal ini pengaruhnya sekarang tidak lagi hanya sebatas sebagai tokoh adat (mengingat dia adalah pewaris/penglisir Puri Sidemen), tetapi juga kembali sebagai tokoh politik lokal yang disegani. Selanjutnya pada Bab 7 dari tulisan ini akan dijelaskan proses dinamika bagaimana Pak Cok membangun kembali dan mentrasformasikan modal sosial dan kulturalnya untuk memperkuat 185 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI kembali pengaruh politiknya di Sidemen/Tabola dalam lingkungan sosial-politik yang sedang berubah karena faktor reformasi. Yang dimaksudkan dengan modal sosial dan kultural dalam hal ini adalah kekuatan-kekuatan sosial dan kultural yang masih melekat pada diri Pak Cok dalam posisinya sebagai Penglingsir Puri Sidemen. Hal ini yang membuatnya tetap disegani dan dihormati oleh masyarakat setempat. Kekuatan sosial ini salah satunya, misalnya, jaringan patronase yang terbangun sejak dahulu kala antara keluarga Puri Sidemen dan para perekan yang ada di lingkungan wilayah Sidemen. Sedangkan kekuatan kultural terwujud dalam bentuk posisi dan pengaruhnya sebagai salah satu pemimpin adat (primus interpares) di Sidemen. Pada awal-awal reformasi itu pula mulai terjadi berbagai perubahan organisasi serta pergantian kepemimpian di Sidemen, yang melibatkan baik desa dinas maupun desa adat/pakraman (Desa Tabola). Sebagai contoh, pada masa awal reformasi itu, Desa Dinas Sidemen, misalnya, mulai dimekarkan sehingga sekarang menjadi tiga desa dinas, dari semula hanya satu desa dinas. Dalam proses pemekaran itu, salah satu kerabat Puri Sidemen berhasil menjadi Perbekel Desa Sidemen, yang merupakan desa dinas induk. Dia adalah I Dewa Ketut Mayun, keponakan dari Pak Cok, yang tinggal di lokasi dalam lingkungan Puri Sidemen. I Dewa Ketut Mayun terpilih sebagai Perbekel tahun 2000. “Saya terpilih sebagai perbekel tahun 2000. Dulu namanya kepala desa (dinas), sekarang perbekel. Istilah perbekel sebagai nama pengganti dari kepala desa mulai muncul tahun 2001”. 18 Sebagaimana dikemukakan oleh I Dewa Ketut Mayun, salah satu perubahan yang terjadi di Sidemen (dan juga di desa-desa dinas di Bali pada umumnya) adalah perubahan istilah nama pemimpin desa dinas, yaitu dari kepala desa menjadi perbekel. Selintas memang kelihatan sederhana karena hanya perubahan nama. Tetapi kalau ditelusuri lebih lanjut, perubahan nama itu tampaknya adalah bagian dari upaya untuk membangun suatu identitas baru desa-desa yang khas Bali dan mengacu pada sejarah masa lampau. Ini mirip atau sejalan 18 Wawancara dengan I Dewa Ketut Mayun, Perbekel Sidemen, Mei 2008. 186 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA dengan perubahan nama desa adat menjadi desa pakraman di Bali. Seperti sempat disinggung dalam bagian sebelumnya dari tulisan ini, kepala desa adalah sebutan resmi untuk para pemimpin desa sebagaimana dicantumkan dalam UU No. 5 Tahun 1979, tentang Pemerintahan Desa. Nama kepala desa dipakai di seluruh Indonesia, meskipun nama itu semula lebih mengacu pada istilah nama untuk desa-desa di Jawa. Salah satu aspek dari “penyeragaman” desa menurut UU No. 5 Tahun 1979 adalah nama desa itu sendiri beserta istilah nama yang digunakan untuk menyebut pemimpinnya, yaitu kepala desa. Selain itu, perubahan nama kepala desa menjadi perbekel juga adalah bagian dari proses untuk mengembalikan otonomi desa, sebagaimana tercantum dalam UU No. 22 Tahun 1999, khususnya pasal-pasal yang memuat ketentuan tentang desa. Menurut undangundang yang secara resmi baru diterapkan tahun 2001 itu, nama desa dimungkinkan untuk diganti dengan istilah atau nama lainnya di luar nama desa. Misalnya saja, sekarang nama desa di Aceh, dikembalikan lagi dari nama desa menjadi gampong; atau di Sumatera Selatan, nama desa mulai dikembalikan pada nama aslinya, yaitu marga. Hal yang sama mulai banyak terjadi diberbagai daerah lainnya di Indonesia. Lalu pada tahun 2001, Pemerintah Daerah Provinsi mengeluarkan Perda No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang substansinya memperkuat keberadaan desa pakraman. Perda ini merupakan pengganti dari Perda No. 6 Tahun 1986 tentang Desa Adat, yang isinya mengatur tentang kedudukan, fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan hukum masyarakat adat di Daerah Provinsi Bali. Namun sebagaimana disebutkan di atas, karena posisi desa dinas pada masa Orde Baru sangat kuat, maka posisi desa adat seolah-olah tetap hanya menjadi subordinasi dari desa dinas. Sedangkan Perda tentang desa pakraman tahun 2001 itu muncul dalam situasi reformasi yang suasananya memberikan kesempatan bagi tumbuhnya kembali otonomi desa asli. Inilah yang menyebabkan Perda baru itu langsung dimaknai oleh desa-desa adat (pakraman) di Bali, tidak terkecuali Desa Tabola, sebagai kesempatan untuk memperkuat kedudukannya yang selama ini seperti “terpinggirkan”. 187 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Seperti halnya banyak desa-desa adat lainnya di Bali, Desa Tabola dan desa-desa adat lainnya yang ada di sekitarnya (desa adat yang ada di wilayah Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem) merespon terbitnya Perda ini dengan mulai menyusun awig-awig desa. Hasilnya adalah terbit Awig-Awig Desa Tabola, yang proses penyusunannya cukup memakan waktu lama. Menurut I Dewa Tjatra, proses pembuatan Awig-Awig Desa Pakraman Tabola memakan waktu dua tahun lebih. Sebagaimana ketentuan yang ada dalam Perda, proses pembuatan Awig-Awig Desa Pakraman Tabola melibatkan krama desa melalui serangkaian paruman atau musyawarah desa. 19 Awal tahun 2003 atau kurang lebih 2 tahun setelah terbitnya Perda No. 3 Tahun 2001, terbit awig-awig tertulis Desa Pakraman Tabola, dalam versi bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Dengan lahirnya awig-awig baru di Desa Pakraman Tabola, maka lahir pula semacam konstitusi baru yang menjadi landasan bagi Desa Tabola untuk “mengurus rumah tangganya sendiri”. Sebelum ini, awig-awig memang sudah ada, tetapi belum tertuang dalam satu bentuk ketentuan tertulis yang sistematis. Bahkan dalam beberapa hal, ketentuan yang ada lebih mengacu pada konvensi tradisi yang tidak tertulis, yang dipraktikkan sebagai warisan tradisi yang turun temurun sehingga, mengacu pada konsep Pierre Bourdieu, menjadi habitus. Oleh karena itu awig-awig yang ada sebelumnya boleh dikatakan tidak terlalu banyak yang memahaminya secara penuh, terkecuali para tetua ataupun tokoh desa adat setempat. 20 Mengacu pada konsep Giddens, pemahaman terhadap awig-awig lama secara konsepsional bisa disebut sebagai pemahaman berdasarkan kesadaran praktik ketimbang diskursif. Sebaliknya, dengan awig-awig baru, karena dituliskan secara sistematis dan disusun dalam bahasa Bali maupun bahasa Indonesia, Wawancara dengan Ida I Dewa Catra, bulan Mei tahun 2008. Dalam Perda No 3 Tahun 2001, pembuatan atau penyusunan awig-awig baru itu disebut sebagai “penyuratan” awig-awig. Desa Pakraman memiliki tugas, antara lain melakukan “penyuratan” awig-awig. Disebut “penyuratan” karena desa adat/pakraman di Bali pada umumnya sudah memiliki awig-awig sebagai suatu warisan tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi. Hanya masalahnya warisan tradisi itu lebih banyak belum terumuskan secara sistematis, dan malahan tidak jarang bentuknya belum atau tidak tertulis, meskipun substansinya diakui sebagai suatu sistem nilai yang berlaku bagi masyarakat setempat. 19 20 188 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA maka semua warga desa memiliki kesempatan untuk mengakses dan memahaminya secara lebih baik. Awig-awig baru itu, sebagai suatu ketentuan hukum (adat), boleh dikatakan sekarang sifatnya menjadi lebih terbuka. Juga sejak masa reformasi (1999) pemerintah desa dinas tidak bisa lagi mengandalkan kekuatan pemaksa (polisi dan di antara) untuk melaksanakan program-programnya. Untuk itu, setiap program yang membutuhkan dukungan masyarakat luas, desa dinas mau tidak mau harus berkomunikasi dalam rangka mendapatkan dukungan desa pakraman. Dengan demikian, kedudukan desa adat/pakraman terhadap desa dinas pada akhirnya memang menjadi semakin menguat. Awigawig desa yang sudah disuratkan juga semakin membuat kedudukan desa adat/pakraman menguat di mata warga/krama desa. Ini karena awig-awig yang ada sekarang atau yang sudah disuratkan, antara lain memuat ketentuan-ketentuan yang secara eksplisit mengatur hubungan antara krama desa dengan desa pakraman. Termasuk dalam hal ini sanksi-sanksi atas kemungkinan pelanggaran atau penyimpangan yang terjadi. Selain itu, sebagai ketentuan hukum adat, awig-awig yang sudah disuratkan itu juga kuat, karena ketika disahkan, setelah melewati proses paruman desa, awig-awig itu “dipasopati” di pura puseh. Dipasopati, artinya kurang lebih awig-awig itu dinyatakan sebagai suatu “kesepakatan bersama” lewat suatu upacara adat yang dilakukan di pura puseh. Lahirnya suatu kesepakatan bersama (yang baru) ini boleh dikatakan merupakan bagian dari suatu proses perubahan sosial yang berlangsung di Desa Tabola. Kalau dilihat dari sisi dimensi perubahan, maka munculnya kesepakatan bersama yang baru itu memiliki aspek perubahan pada dimensi nilai-nilai dan norma-norma masyarakat, yang pada aspek-aspek tertentu akan merubah sebagian habitus krama desa. Bab 5 dalam disertasi ini akan membahas, antara lain, beberapa aspek habitus masyarakat desa yang berubah itu. Sebagaimana akan dijelaskan kemudian, perubahan yang terjadi itu ternyata terus berlangsung, bahkan menemukan bentuknya yang lebih dinamis justru ketika kesepakatan bersama yang secara formal sudah di pasopati itu mulai dipraktikkan. 189 PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Rangkuman Dari uraian tulisan di atas, tergambar jelas bahwa seiring dengan perkembangan waktu, Desa Adat (sekarang dinamakan Desa Pakraman) Tabola mengalami berbagai perubahan sosial, yang kalau dilihat secara kasat mata, kesan seperti itu mungkin tidak terlalu tampak, atau bahkan tidak kelihatan sama sekali. Hal seperti ini karena kesan Desa Tabola yang terlihat selalu tenang, semuanya berjalan seolah-olah seperti apa adanya sebelumnya. Tetapi kesan memang tidak jarang berbeda dengan realitas yang berkembang. Sebab berbagai perubahan sosial ternyata menerjang Desa Tabola, menyusul datangnya gelombang reformasi tahun 1998/1999. Semuanya itu menjadikan desa yang berada di kaki Gunung Agung itu berkembang menjadi lebih dinamis dibandingkan sebelumnya, terutama pada masa Orde Baru, ketika Desa Tabola hanya menjadi seolah-olah bagian sub-ordinasi dari Desa Dinas Sidemen. Subordinasi yang menempatkannya hanya berperan dalam hal adat dan agama saja, yang hal demikianpun juga tidak bisa lepas sama sekali dari campur tangan Desa Dinas Sidemen. Selintas tergambar bahwa perubah-perubahan yang terjadi di Tabola, antara lain, menyangkut perubahan dalam hal nilai-nilai dan norma-norma (yang terwujud dalam isi awig-awig), perubahan dalam hal kelembagaan (relasi kelembagaan di desa, utamanya relasi antara desa adat dan desa dinas), serta kepemimpinan di desa. Perubahanperubahan yang sudah disinggung dalam tulisan di atas, selanjutnya akan dibahas secara lebih detil pada bab-bab berikutnya dari disertasi ini. Seperti juga sempat disinggung dalam tulisan di atas, pengertian perubahan yang dibahas dalam keseluruhan tulisan ini mengacu pada pengertian konsep yang dikembangkan oleh Giddens dan Bourdieu. Sehingga pengertian perubahan dalam aspek struktur di sini, misalnya, mengacu pada pengertian menurut pemikiran Giddens dan Bourdieu.21 21 Sebagai catatan, pengertian struktur sosial dalam arti yang umum mengacu pada definisi yang di samping Harper (1989) yang mengartikan struktur sosial sebagai satu 190 BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA Sejalan dengan ini, maka pengertian perubahan itu tidak saja mengacu pada perubahan yang sifatnya material atau yang bersifat obyektif (di luar individu/subyek), tetapi juga menyangkut perubahan yang sifatnya immaterial atau bersifat subyektif (di dalam diri individu/subyek, misalnya, dalam bentuk kesadaran kognitif individu maupun kolektif). Pendek kata, pengertian perubahan yang akan dibahas menyangkut sisi obyektif (bentuk-bentuk material di luar individu/masyarakat) maupun sisi subyektif (bentuk-bentuk immaterial di dalam individu/masyarakat, termasuk bentuk-bentuk dan maknamakna simboliknya). Melihat perubahan dari aspek konsep seperti ini menjadi kelihatan jelas bahwa Desa Tabola adalah desa yang berubah dan berkembang secara dinamis, mengikuti perubahan waktu dan jaman. Jauh dari kesan mandeg atau lambat berubah, seperti halnya kalau kita melihat hanya dari sosok fisik atau material yang ada di Desa Tabola. jaringan relasi sosial yang bersifat tetap di mana didalamnya terjadi interaksi yang rutin dan berulang (a persistent network of social relationships in which interaction has become routine and repetitive). Atau sejalan dengan itu pengertian menurut SchulteNordhlot (1971) yang melihat struktur sebagai sesuatu tindakan manusia (human action) yang bersifat permanen, yang dalam hal ini “the essensial idea is parts or components are arranged in an orderly way to constitute what may be comprehended as some kind of systematic unity” (lihat Bab 2, halaman 30-31). Dalam pengertian struktur dalam arti yang umum ini, terdapat kesan bahwa struktur sosial yang dimaksud lebih menekankan pada struktur sosial dalam arti obyektif, sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Schulte-Nordholt (1971: 11) dalam bukunya berjudul “The Political System of Atony Timor” bahwa “structure is pattern, i.e. an observable uniformity of action or operation”. 191