cover jurnal vol 2 no 3 2013.cdr

advertisement
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan
Jurnal Hukum dan Peradilan memuat naskah/artikel yang bersumber dari hasil
penelitian/penelaahan tentang Hukum dan Peradilan yang belum pernah dipublikasikan.
Jurnal Hukum dan Peradilan terbit tiga kali dalam setahun (Maret, Juli, November)
Penasehat
Penasehat
Penanggung Jawab
Pemimpin Umum
Wakil Pemimpim Umum
Dewan Redaksi
Pemimpin Redaksi
Sekretaris
Anggota
Dewan Pakar
Mitra Bestari
Tata Usaha
: 1. Dr. H.M. Hatta Ali, SH. MH.
2. Dr. H. Ahmad Kamil, SH. M.Hum.
3. Dr. H. Mohammad Saleh, SH. MH.
: Ny. Siti Nurdjanah, SH. MH.
: Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH., MS.
: H. Amirullah Sholeh, SH. MM.
: R. Wijaya Brata K, S.Kom. MM.
:
: Dr. Ismail Rumadan, MH.
: Hudan Isnawan, SH., M.SI.
: 1. Moch. Iqbal, SH.
2. Johanes Brata Wijaya, SH.
3. Budi Suhariyanto, SH., MH.
4. Mila Kurnia Rahma, SH.
: 1. Dr. Andi Syamsu Alam, SH. MH.
2. Suwardi, SH.
3. Dr. Artidjo Alkostar, SH. LLM.
4 Timur Manurung, SH., MH.
5. Widayatno Sastro Hardjono, SH., M.Sc.
6. H.M. Imron Anwari, SH., Sp.N., MH.
: 1. Prof. Dr. Abdul Latif, SH. MH.
2. Dr. Lilik Mulyadi, SH., MH.
3. Dr. Hasbi Hasan, SH. MH.
4. Dr. M. Fauzan Anshori, SH. MH.
5. Laksamana Muda A.R. Tampubolon, SH, MH.
: Enny Yuniarti, S.Sos., Muchtar, SH, Sudaryanto,
SH. MH., Auto, SH., Suhenda, SH.
Alamat Redaksi :
Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI
Jln. Jend. A. Yani (By Pass) Kav. 58 Lt.10 Cempaka Putih, Jakarta Pusat 13011
Email: [email protected]
[email protected]
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Volume 2 Nomor 2 November 2013
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi
Kriminalisasi Hakim dan Eksistensi Prinsip Judicial
Independence Dalam Bingkai Negara Hukum …………………
325
Muh. Risnain
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI …..
337
Enrico Simanjuntak
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam
Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia …….
357
Candra Hayatul Iman
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum
Khusus Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ……
379
Ismail Rumadan
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi
Radio di Indonesia …………………………………………….....
405
Asril Sitompul
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan
Keuangan Perguruan Tinggi Negeri Yang Menyelenggarakan
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PTN PK-BLU)
427
Dewi Kania Sugiharti, Muhammad Ziaurahman, Sechabudin
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif
Filsafat Hermeneutika Hukum (Suatu Solusi Terhadap
Problematika Penegakan Hukum di Indonesia) ………………
449
Agus Budi Susilo
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak
dan Gas Bumi Sebagai Aset Negara Melalui Instrumen
Kontrak …………………………………………………………..
Faizal Kurniawan
471
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
Biodata Penulis
Pedoman Penulisan Jurnal Hukum dan Peradilan
Ucapan terima kasih kepada Mitra Bestari
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
DARI REDAKSI
Bisminllahirrahmannirrahim
Puji dan syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Dzat Yang
Maha Segala atas segala, yang selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,
menuntun gerak dan memotivasi, memberi kemampuan berfikir kepada hambaNya untuk berbuat kearah yang terbaik, memberikan penghargaan yang tinggi
kepada hamba-Nya yang selalu mengkaji berbagai problem kehidupan
disekitarnya.
Sebagai salah satu program prioritas Puslitbang Kumdil Mahkamah Agung
RI Penerbitan Jurnal Hukum dan Peradilan menjadi upaya positif yang dilakukan
oleh Puslitbang MA-RI sebagai Supporting Unit Mahkamah Agung RI secara
kelembagaan untuk mendukung terwujudnya visi dan misi Mahkamah Agung RI
yaitu: ―Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung‖.
Kehadiran Jurnal Hukum dan Peradilan ini diharapkan menjadi media bagi
insan peradilan, akademisi, praktisi dan pemerhati hukum dan peradilan untuk
mengaktuasikan ide, pemikiran melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan
hukum dan peradilan secara ilmiah. Kehadirannya patut diapresiasi, dan
diharapkan menjadi pencerah ditengah upaya besar bangsa menata pembangunan
hukum dan peradilan masa mendatang.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Yang Mulia Ketua
Mahkamah Agung RI dan seluruh unsur Pimpinan Mahkamah Agung RI yang
telah memberikan dukungan terbitnya jurnal ini, Juga Kepala Badan Litbang Diklat
Kumdil MA-RI dan Kepala Puslitbang Kumdil MA-RI yang telah memberikan
arahan dan bimbingan dalam proses penerbitan jurnal ini. Selanjutnya ucapan
terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada para penulis yang telah
berkontribusi mengirimkan artikelnya,para Mitra Bestari yang telah meluangkan
waktunya untuknya mereview artikel para penulis, Semoga mendapat pahala yang
setimpal dari Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa. Amin.
Jakarta, November 2013.
Redaksi
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Muh Risnain
Kriminalisasi Hakim dan Eksistensi Prinsip Judicial Independence Dalam
Bingkai Negara Hukum.
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 3, hlm. 325 - 336
Kebijakan Hukum dengan melakukan kriminalisasi hakim melalui undangundang merupakan kebijakan hukum yang bertentangan dengan prinsip judicial
independence dan mengancam keberadaan negara hukum yang telah dijamin
konstitusi. Disamping itu juga menunjukkan ketidakjelasan politik hukum
kriminalisasi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Untuk
memecahkan masalah tersebut maka dua langkah yang dapat ditempuh : pertama,
hendaknya pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) dalam penyusunan
Undang-undang meletakkan prinsip judicial indepennce sebagai salah satu pilar
negara hukum harus dipertimbangkan secara matang dalam mengambil kebijakan
hukum. kedua, hendaknya ada kejelasan politik kriminalisasi dalam penyusunan
peraturan perundang-undangan sehingga jelas perbuatan apa yang dapat dipidana
atau tidak dapat dipidana.
Kata Kunci : Kriminalisasi, Judicial Independence dan Negara Hukum.
Legal policy throught criminalization of judge by the law are abuse of judicial
indpence and threat of rule of law principle while regulate by the constitution.
And it is shown that quo vadis of criminalization policy when drafting the law. To
solve this problem, there are two step, firstly, House of representative and
President as state organs who have authority to arrange the law must pay
attention principle of judicial indepence and rule of law, second, reorientation of
criminal policy.
Key Words : Criminalization, Judicial Independence and Rule of Law.
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Enrico Simanjuntak
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI.
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 3, hlm. 337 - 356
Berdasarkan ketentuan pasal 24A (1) UUD 1945, Mahkamah Agung berwenang
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Hal ini berarti
pihak pencari keadilan dapat mengajukan permohonan hak uji materil di bawah
undang-undang kepada MA dengan alasan antara lain ketentuan yang
dimohonkan uji materi tersebut bertentangan dengan hirarki peraturan yang lebih
tinggi dalam sistem hukum nasional. Dalam pengujian ini, Mahkamah Agung
memiliki kesempatan untuk menilai legitimasi (keabsahan) dan menentukan
apakah peraturan yang diuji telah melampui kewenangan atau tidak sesuai dengan
kewenangan. Mahkamah Agung berwenang untuk membatalkan peraturan yang
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
bertentangan dengan hirarki peraturan yang lebih tinggi. Tulisan ini menganalisis
kewenangan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang, dengan melacak sejarah pengujian hak uji materi
sebelum diberlakukan PERMA No. 1/1993 sampai dengan diberlakukannya
Perma No. 1/2011, termasuk mempelajari beberapa aspek hukum acara dalam
Perma tersebut.
Kata Kunci : Mahkamah Agung, Hak Uji Materi, Hukum Acara.
Under art 24A(1) of the Constitution, the Supreme Court is granted the power to
review legal instruments below laws (undang-undang). This means that an
applicant could seek judicial review of regulations other than Acts of Parliament
(Undang-Undang) with a request to strike it out because, for example, it
contravenes national laws. This would provide the courts with an opportunity to
review the legitimacy of the regulation and determine whether it is ultra vires, or
beyond power. The Supreme Court has the power to cancel a regulation if it is
found to be in conflict with a higher law. This article analyses the judicial review
in the Supreme Court. It begins by highlighting the origins and formation of
judicial review before the regulation promulgation of the Supreme Court
(PERMA) No. 1/1993, and then examines several aspects of procedural law in the
current Supreme Court Regulation in No. 1/2011.
Keywords : Supreme Court, Judicial Review, Procedural Law.
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Candra Hayatul Iman
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia.
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 3, hlm. 357 - 378
Kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan
masyarakat, namun hal tersebut diakui sebagai suatu gejala umum yang harus
diterima sebagai fakta sosial. Anak berdasarkan perkembangan fisik, mental
maupun sosial mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan orang
dewasa, sehingga anak yang melakukan kenakalan perlu ditangani secara khusus.
Oleh karena itu, perlakuan terhadap anak nakal seyogianya berbeda dengan
perlakuan terhadap orang dewasa. Perlindungan Anak pada kenyataannya masih
banyak yang belum mengakomodir prinsip-prinsip instrument internasional. Pada
pengadilan anak masih ditemukan pelanggaran hak anak dalam pelaksanaan
penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Hasil penelitian menunjukan
bahwa Kebijakan formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan
hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia diatur dalam Undangundang No. 3 Tahun l997 tentang Pengadilan Anak belum mengakomodasi
prinsip the best interest of the child dalam sistem peradilan pidana anak, sehingga
secara normatif dalam tataran formulasi belum mencerminkan ide dasar
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
perlindungan terhadap anak. Dengan demikian, secara normatif dalam tataran
formulasi belum mencerminkan ide dasar perlindungan hukum terhadap anak.
Kajian formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum
dalam sistem peradilan pidana anak menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 telah mengakomodasi prinsip the best interest of the child dengan adanya
diversi. Namun belum ditemukan prinsip ketersediaan bantuan hukum dalam
konteks diversi dan prinsip adanya kontrol terhadap kewenangan diversi. Kajian
formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam
sistem peradilan pidana anak menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
telah mengakomodasi prinsip the best interest of the child antara lain dengan
menitik beratkan penanganan anak yang bermasalah dengan hukum melalui
tindakan diversi dengan mengedepankan pendekatan restorative justice.
Kebijakan aplikasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum
dalam sistem peradilan pidana anak menyangkut masalah substansial, struktural
dan kultural. Paradigma sistem peradilan yang retributif masih menjadi ide dalam
Undang-undang Nomor 3 tahun 1997.
Kata Kunci:
Kebijakan Hukum Pidana; perlindungan anak, Pembaruan, sistem
peradilan pidana anak.
Juvenile Delinquency is an anti-social behavior can be disturbing public society,
but it is recognized as a common phenomenon that must be accepted as a social
fact. Children based on their physical, mental and social have a weak position
compared with adults, so that children who committed needs to be special
treatment. Therefore, the treatment of juvenile delinquents should be different
with the treatment of adults. Child Protection in fact there are still many who
have not accommodate the principles of international instruments. In the juvenile
court still found violations of children's rights in the implementation of the
handling of children in conflict with the law. Research it can be concluded that
the formulation of policies for the protection of children in conflict with the law in
the juvenile justice system in Indonesia is regulated in Law No. 3 Year l997 on
Juvenile Court has not accommodated the principle of the best interest of the
child in the juvenile justice system, so it is normative in the formulation did not
reflect the level of the basic idea of the protection of children. Thus, the level of
normative formulation does not reflect the basic idea of the child protection law.
Formulation studies to the protection of children in conflict with the law in the
juvenile justice system in accordance with Law No. 11 Year 2012 has been to
accommodate the principle of the best interest of the child with the diversion. Yet
undiscovered principles of availability of legal aid in the context of the principle
of diversion and diversion control authority. Formulation studies to the protection
of children in conflict with the law in the juvenile justice system in accordance
with Law No. 11 Year 2012 has been to accommodate the principle of the best
interest of the child, among others, by focusing on the handling of children in
conflict with the law through diversion measures to promote restorative justice
approach. Application policy to the protection of children in conflict with the law
in the juvenile justice system involves substantial problems, structural and
cultural. Paradigm of retributive justice system is still an idea in Act No. 3 of
1997.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Keywords: Criminal Law Policy; child protection, juvenile justice system reform.
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Ismail Rumadan
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UndangUndang Tindak Pidana Korupsi.
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 3, hlm. 379 - 404
Semangat penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang ditengarai
sebagai kejahatan luar biasa yang berakibat pada terjadinya kesenjangan sosial,
ekonomi, hilangnya kepercayaan kepada pemerintah dan berbagai permasalahan
lainnya yang mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Hal
yang menarik dari pembentukan UU Tipikor ini adalah adanya ketentuan pidana
minimum khusus di dalam rumusan deliknya terhadap pelaku tindak pidana
korupsi. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan pidana pada umumnya dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lebih mengenal ketentuan
pidana maksimum. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketentuan pinadana
minimum khusus dalam undang-undang tindak pidana korupsi dapat saja
diterobos asalkan hakim memiliki legal resening atau ratio residenti yang tepat
terhadap suatu kasus korupsi dengan melihat skala besar kecilnya kasus korupsi
tersebut dengan pertimbangan dan pola penafsiran dari perpektif, social-justice,
moral-justice, dan keadilan masyarakat untuk menjatuhkan putusan di bawa batas
minimum pemidanaan. Penjatuhan pidana di bawah ketentuan pidana minimum
khusus dalam beberapa putusan pengadilan dapat dilakukan dengan beberapa
kriteria yang menjadi pertimbangan hakim menyimpangi ketentuan pidana
minimum tersebut, kriteria adanya unsur kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara sebagai akibat perbuatan tiundak pidana korupsi tersebut
dan kriteria peran dan kedudukan terdakwa dalam perbuatan tindak pidana
korupsi.
Kata Kunci: Penafsiran hakim, pidana minimum khusus, tindak pidana korupsi.
The spirit of the rule of law against corruption which is considered as an
extraordinary crime that resulted in the occurrence of social inequality , the
economy , the loss of faith in government and a variety of other problems that led
to the birth of Law No. 31 of 1999 in conjunction with the Law No. 20 Year 2001
About Follow Corruption. The interesting thing about the formation of the AntiCorruption Act is a criminal provision in the formulation of minimum deliknya
against perpetrators of corruption . It is certainly different from the general
criminal provisions in the draft Criminal Law (Penal Code) which is more
familiar maximum penal provision . The results showed that the minimum
pinadana special provisions in the law of corruption can be breached so long as
the judge has the legal resening or residenti proper ratio to a corruption case by
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
looking at the size scale of the corruption case with consideration and
interpretation of the patterns perspective, social - justice, moral justice and
community justice decision was taken to drop the minimum punishment. Criminal
punishment under the criminal provisions of the special minimum in some court
decisions can be made by several criteria into consideration the provisions of the
criminal judges deviate minimum , the criteria of the element of state assets or
state economy as a result of the acts of corruption tiundak and criteria of the role
and position of the defendant in acts of corruption.
Keywords : Interpretation of judges, a special minimum criminal , corruption.
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Asril Sitompul
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio di Indonesia.
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 3, hlm. 405 - 426
Saat ini di Indonesia penyelenggara telekomunikasi selular telah mencapai jumlah
9 operator pemilik izin penggunaan spektrum frekuensi radio (Mobile Network
Operator – MNO) dan beberapa operator yang tidak memiliki izin penggunaan
spektrum frekuensi radio. Dengan banyaknya perusahaan yang menjadi
penyelenggara telepon selular dan telepon fixed wireless dan meningkatnya
pemakai internet yang diselenggarakan oleh Internet Service Provider (―ISP‖)
melalui jaringan nirkabel dengan menggunakan spektrum frekuensi radio, maka
kebutuhan akan spektrum frekuensi radio semakin meningkat.
Upaya untuk mengatasi kelangkaan spektrum frekuensi dilakukan dengan
pengembangan teknologi penggunaan spektrum frekuensi, diantaranya dengan
sistem multiple access (penggandaan akses). Penggandaan akses ini dapat
dilakukan dengan pembagian waktu (time), frekuensi, ataupun kode. Selain itu
telah ditemukan cara penggunaan spektrum frekuensi radio dengan konsep Mobile
Virtual Network Operator (―MVNO‖) yaitu dengan menjalin hubungan dengan
penyelenggara pemilik izin penggunaan spektrum frekuensi radio, antara lain
dengan sistem penyewaan. Di Indonesia, belum ada regulasi yang menampung
keberadaan MVNO ini, yaitu mengenai apakah MVNO termasuk dalam kategori
pengguna spektrum frekuensi dan apakah wajib memiliki izin penggunaan
frekuensi dan wajib untuk membayar BHP Frekuensi. Untuk itu perlu diadakan
perubahan regulasi yang ada, untuk memperjelas kedudukan dan keberadaan
operator yang tidak memiliki izin penggunaan spektrum frekuensi radio seperti
MVNO.
Kata Kunci: Spektrum, pengguna, penggunaan, MVNO, regulasi.
Meanwhile there are nine telecommunications operators in Indonesia have the
license to use radio frequency spectrum (Mobile Network Operator – MNO) and
some operators that did not have the license. With the increase of the cellular and
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
fixed wireless operators and the increase of users of the internet provided by
Internet Service Provider (―ISP‖) through wireless networks using radio
frequency spectrum, then the need of Radio frequency spectrum also increased.
The effort to overcome the rare radio frequency spectrum conducted by
development of radio frequency spectrum technology, among others by using
multiple access system. This system may be conducted by division of time,
frequency, or code. Other system is by using the concept of Mobile Virtual
Network Operator (―MVNO‖) by relationship between the licensed and
unlicensed operators, i.e. by leasing of the spectrum. In Indonesia, there was no
regulation regarding MVNO, so there was a question about whether the MVNOs
include in the category of radio frequency spectrum users and whether or not the
MVNO required to have license and pay the BHP for the use of frequency.
Therefore it is necessary to have a change in the existing regulations to make
clear the status and the existence of the unlicensed users of radio frequency
spectrum as the MVNOs.
Keyword: Spectrum, users, utilization, MVNO, regulation.
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Dewi Kania Sugiharti, Muhammad Ziaurahman, Sechabudin
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan Perguruan
Tinggi Negeri Yang Menyelenggarakan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum (PTN PK-BLU).
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 3, hlm. 427 - 448
Perguruan Tinggi yang menerapkan konsep Badan Layanan Umum (PTN PKBLU) dalam menjalankan fungsi sebagai organ yang bergerak dalam bidang
pelayanan adalah dukungan sarana dan prasarana melalui barang atau jasa.
Sebagai institusi yang berada dalam naungan pemerintah dan menerima anggaran
negara maka PTN PK-BLU melaksanakan mekanisme untuk memperoleh barang
atau jasa sesuai ketentuan hukum. Namun proses pengadaan dalam memperoleh
barang atau jasa terkadang menimbulkan persoalan yang muncul sebagai
konsekuensi berjalannya proses pengadaan barang atau jasa yang melibatkan
organ-organ di dalamnya seperti PA/KPA, PPK, ULP, dan Panitia/Pejabat
Penerima Pengadaan. Rektor sebagai KPA dalam PTN PK-BLU memiliki
wewenang dalam melakukan kontrol terhadap organ-organ yang melaksanakan
proses pengadaan barang/jasa pada lingkungannya. Kesalahan dalam proses
pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh PPK dan ULP/Pejabat Pengadaan
menyebabkan kerugian negara akibat kesalahan tersebut, baik akibat kelalaian
atau tindakan melanggar hukum. Sebagai KPA dalam proses pengadaan
barang/jasa Rektor dapat melakukan kontrol pada organ-organ tersebut sesuai
dengan wewenang yang diberikan. Konsekuensi yang diterima jika pada akhirnya
pejabat pelaksanaan pengadaan barang/jasa tidak mengindahkan teguran Rektor
maka pejabat yang terkait proses pengadaan barang/jasa akan menerima sanksi.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Kata Kunci: Kuasa Pengguna Anggaran, Keuangan Negara.
Universities that apply the concept of Public Service Agency (BLU - PK PTN ) in
performing functions as an organ which is engaged in the service infrastructure
support through goods or services . As an institution under the auspices of the
government and the state budget receives PTN PK - BLU implement mechanisms
to acquire goods or services in accordance with the law . However, the
procurement process in obtaining goods or services sometimes poses problems
that arise as a consequence of the passage of the procurement of goods or
services involving the organs in it as PA / KPA , KDP , ULP , and Committee
/ Receiver Procurement Officer. Rector of the KPA in PK - BLU PTN has the
authority to control the organs that carry out the process of procurement of goods
/ services in the environment . Errors in the procurement process of goods /
services performed by the CO and the ULP / Procurement Officer causing state
losses due to these errors, either due to negligence or unlawful acts. As the KPA
in the process of procurement of goods / services Rector can control the organs in
accordance with the authority given . The consequences are acceptable if the
authorities ultimately the procurement of goods / services did not heed the
warning Rector officials related procurement process of goods / services will
receive sanctions.
Keywords: Authorized Budget, Financial State.
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Agus Budi Susilo
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika
Hukum (Suatu Solusi Terhadap Problematika Penegakan Hukum di Indonesia).
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 3, hlm. 449 - 470
Esensi penegakan hukum adalah keadilan. Keadilan itu sendiri mempunyai
berbagai macam makna, tergantung dari perspektifnya. Di negara manapun sering
timbul berbagai masalah, terkait penegakan keadilan di ranah hukum. Konsep
keadilan yang sudah mapan di suatu negara belum tentu baik apabila di terapkan
untuk negara lain. Meskipun demikian, dimungkinkan adanya saling pengaruh
mempengaruhi atau bersifat integrasi antara pemikiran satu dengan yang lainnya
mengenai makna keadilan, terutama yang mempunyai sifat universal. Pada tataran
filosofis, tentu masing-masing negara mempunyai akar pemikiran tersendiri,
tergantung dari norma dasar negara dan kehidupan sosial-budaya bangsanya.
Untuk mengurai lebih lanjut mengenai makna keadilan dari sudut pandang
filsafat, sarana yang tepat digunakan adalah hermeneutik. Penelusuran keadilan
dalam perspektif hermeneutik dalam rangka penegakan hukum seyogyanya
dibingkai juga dengan perspektif ilmu hukum, agar diperoleh titik temu dan lebih
mudah dalam pengimplementasiannya.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Kata kunci : Keadilan, Hermeneutik, Ilmu Hukum dan Penegakan Hukum.
The essence of the rule of law is justice. Justice has many meanings, depending on
the perspective. Every country often arise various problems, related to the
administration of justice in the realm of law. The concept of justice that have been
established in a country is not necessarily better when applied to other countries.
However, it is possible to mutual influenced or be integrated between each other
thinking about the meaning of justice, particularly those having a universal
nature. At the philosophical level, each country has own thoughts of the roots,
depending on the basic norms and socio-cultural life of the nation. Thus, about
the meaning of justice from the view of philosophy, the proper tools are used is
hermeneutic. Search justice in the perspective of hermeneutics in the context of
law enforcement should also be framed by the perspective of jurisprudence, in
order to obtain the intersection and its implementation easier.
Keywords: Justice, Hermeneutics, Legal Studies and Law Enforcement.
Kata kunci bersumber dari artikel
Lembar abstrak ini boleh dicopy tanpa izin dan biaya
Faizal Kurniawan
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Sebagai
Aset Negara Melalui Instrumen Kontrak.
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol. 2 No. 3, hlm. 471 - 492
Negara mempunyai kekuasaan untuk mengelola sumber daya alam demi
mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan untuk kemakmuran rakyat.
Instrumen hukum kontrak menjadi payung hukum utama sebagai upaya
perlindungan hukum terhadap asset negara yang berupa minyak dan gas bumi.
Kontrak Bagi Hasil menjadi pilar dasar dalam upaya pengelolaan dan
pemanfaatan kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Kontrak Bagi Hasil
merupakan kontrak publik yang tidak sepenuhnya tunduk pada hukum privat.
Dalam melakukan hubungan kontraktualnya, negara tidak boleh dirugikan
(imunitas negara) dan harus memperhatikan klausula-klausula yang
menitikberatkan pada perlindungan asset negara.
Kata Kunci:
Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Publik, Imunitas Negara, Klausula
Perlindungan Aset Negara.
State has the power to manage natural resources for the sake of social justice, the
general welfare and are used as much as possible the greatest benefit for the
greatest welfare of people. Contract law is the main instrument used to protect the
state assets including oil and gas. Production Sharing Contract as a legal
safeguard for oil and gas, is a fundamental pillar in the effort and utilization
management activities of oil and gas. In the contracts involving the Government,
called government contract, there is a unique characteristic which is not entirely
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
subject to private law. In principle, the state should not be harmed, called as state
immunity. This principle also applies universally in the interest of protecting the
state assets.
Keywords:
Production Sharing Contract, Government Contract, State
Immunity, Protection of State Assets Clause.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
KRIMINALISASI HAKIM DAN EKSISTENSI PRINSIP JUDICIAL
INDEPENDENCE DALAM BINGKAI NEGARA HUKUM
Muh. Risnain
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram
[email protected]
Abstrak
Kebijakan Hukum dengan melakukan kriminalisasi hakim melalui undang-undang
merupakan kebijakan hukum yang bertentangan dengan prinsip judicial
independence dan mengancam keberadaan negara hukum yang telah dijamin
konstitusi. Disamping itu juga menunjukkan ketidakjelasan politik hukum
kriminalisasi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Untuk
memecahkan masalah tersebut maka dua langkah yang dapat ditempuh : pertama,
hendaknya pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) dalam penyusunan
Undang-undang meletakkan prinsip judicial indepennce sebagai salah satu pilar
negara hukum harus dipertimbangkan secara matang dalam mengambil kebijakan
hukum. kedua, hendaknya ada kejelasan politik kriminalisasi dalam penyusunan
peraturan perundang-undangan sehingga jelas perbuatan apa yang dapat dipidana
atau tidak dapat dipidana.
Kata Kunci : Kriminalisasi, Judicial Independence dan Negara Hukum.
Abstract
Legal policy throught criminalization of judge by the law are abuse of judicial
indpence and threat of rule of law principle while regulate by the constitution. And
it is shown that quo vadis of criminalization policy when drafting the law. To solve
this problem, there are two step, firstly, House of representative and President as
state organs who have authority to arrange the law must pay attention principle of
judicial indepence and rule of law, second, reorientation of criminal policy.
Key Words : Criminalization, Judicial Independence and Rule of Law.
A. Pendahuluan
Kriminalisasi putusan hakim melalui undang-undang merupakan fenomena
menarik dalam dunia peradilan Indonesia. Pasca diundangkannya Undang-undang
Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan disahkanya RUU
Mahkamah Agung menjadi RUU inisiatif DPR yang akan dibahas DPR bersama
pemerintah hakim menjadi sasaran tembak para pembentuk undang-undang.
Berbagai pihak menilai kehadiran dua produk hukum tersebut sebagai ancaman
serius bagi kemerdekaan hakim.
Pasal kriminalisasi hakim yang kontroversial dalam UU SPPA diatur
dalam Pasal 96 dan Pasal 100. Ketentuan pasal 96 mengatur bahwa Penyidik,
Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban
melakukan mekanisme diversi dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
tahun atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Ketentuan Pasal 100 UU SPPA mengatur bahwa hakim yang dengan sengaja tidak
melaksanakan kewajiban untuk mengeluarkan tahanan anak yang telah ditahan
selama 10 hari dan diperpanjang 15 hari yang diatur dalam Pasal 35 ayat (3), hakim
banding yang dengan sengaja tidak mengeluarkan tahanan yang telah ditahan
selama 10 hari dan diperpanjang 15 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat
(3) dan hakim pada Mahkamah Agung yang tidak mengeluarkan tahanan yang
telah ditahan selama 10 hari dan diperpanjang 15 hari yang diatur dalam Pasal 38
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
Kehadiran Undang-undang SPPA merupakan usaha untuk mewujudkan
sistem peradilan anak dengan mengdepankan pendekatan keadilan restoratif
melalui mekanisme diversi. Namun kehadiran UU ini justru melahirkan
problematika baru dalam sistem peradilan pidana anak. Mengkriminalisasi penegak
hukum yang menjalankan sistem peradilan anak merupakan sebuah masalah serius
dalam sistem peradilan pidana dan keberadaan negara hukum.
Begitu juga dengan kehadiran RUU MA merupakan jawaban untuk
merespon perkembangan dunia peradilan yang sudah tidak mampu lagi dijawab
dengan Undang-undang yang lama. Serupa dengan UU SPPA, RUU ini lagi-lagi
menjadikan hakim sebagai obyek kriminalisasi ketika hakim mengeluarkan
putusan. Dalam RUU tersebut terdapat dua rancangan pasal kontroversial yaitu
Pasal 95 dan Pasal 97. Rancangan Pasal 95 melarang hakim untuk menggunakan
jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain, atau
keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan.partai/finansial atau mempunyai nilai
ekonomis secara langsung/tidak langsung; merekayasa fakta-fakta hukum dalam
penanganan perkara; menggunakan kapasitas dan otoritasnya dalam penanganan
perkara; menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan penekanan
secara fisik dan/atau psikis; meminta dan/atau meminta hadiah dan/atau
keuntungan serta melarang keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah
dan/atau keuntungan dengan jabatannya; dan bertindak diskriminatif.
Rancangan Pasal 97 RUU MA mengatur tentang larangan bagi hakim
ketika memutuskan perkara : 1) membuat putusan yang melanggar Undangundang, 2). Membuat keputusan yang mengakibatkan kerusuhan, huru-hara, 3).
Dilarang membuat putusan yang tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan
dengan realitas ditengah-tengah masyarakat, adat-istiadat, dan kebiasaan yang
turun temurun sehingga akan mengakibatkan pertikaian dan keributan; dilarang
merubah keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan keputusan ketua Komisi
Yudisial secara sepihak dan/atau keputusan bersama kode etik dan pedoman
perilaku hakim secara sepihak.
Gagasan tersebut menuai kontrovesi. Mantan ketua MA, Harifin A Tumpa
mengatakan gagasan kriminalisasi putusan hakim merupakan upaya untuk
meruntuhkan independensi dan merendahkan martabat hakim. Pendapat senada
datang dari Ketua Mahkamah Agung, M.Hatta Ali, menyatakan bahwa
kriminalisasi putusan hakim berakibat pada kualitas putusan, hakim akan berusaha
mencari safety dalam setiap putusan. Advokat Senior, O.C, Kaligis, menyatakan
326
Kriminalisasi Hakim dan Eksistensi Prinsip Judicial Independence
pasal kriminaslisasi dalam RUU MA berpotensi menghadirkan peradilan jalanan.
Akademisi Hukum, Romli Atmasasmita menilai gagasan kriminalisasi putusan
hakim merupakan pelecehan terhadap individu hakim dan lembaga pengadilan.
Sementara di pihak lain salah anggota parlemen tetap kukuh untuk
mempertahankan rancangan pasal yang mengkriminalisasi hakim.1
Isu kriminalisasi hakim merupakan masalah serius yang tengah dihadapi
dunia peradilan kita yang harus ditemukan penyelesaiannya baik dalam tataran
akademik maupun praktis. Kriminalisasi hakim sebenarnya telah mengubah
pemahaman teoritis tentang negara hukum yang selama ini diyakini secara teoritis
bahwa lembaga pengadilan merupakan institusi independen dimana didalamnya
diisi oleh orang-orang independen dalam mengeluarkan putusannya. Bila persoalan
ini terus berlanjut maka taruhannya adalah keberadaan paham negara hukum
dimana salah unsur penonggaknya adalah pengadilan yang independen. Dalam
konteks ini tulisan ini hendak menjawab persoalan ini dari kacamata teoritis guna
mencari solusi bagaimana memecahkan masalah kriminalisasi hakim dalam
konteks negara hukum dan sistem peradilan pidana.
B.
Independensi Pengadilan dan Negara Hukum
Konsepsi Negara Hukum dan Independensi Pengadilan memiliki hubungan
yang sangat erat karena keduanya menjadi condition sine quo non bagi yang lain.
Keberadaan negara hukum tidak dapat terwujud manakala tidak adanya jaminan
adanya kemerdekaan pengadilan. Independensi Pengadilan menjadi pilar utama
dari terbentuknya bangunan negara hukum. independensi dimaknai sebagai
terlepasnya campur tangan lembaga-lembaga negara di luar pengadilan terutama
eksekutif dan legislatif dalam melaksanakan fungsi-fungsi peradilan.2
Konsep negara hukum dalam perkembanganya mengalami berbagai varian
berdasarkan pada praktek negara-negara. Setidaknya terdapat empat model negara
hukum yang berkembang di dunia dengan cirri khas yang berbeda yaitu; konsep
rule of law, konsep rechstaat, konsep negara hukum sosialis (socialist legality) dan
konsep negara hukum Pancasila.3 Konsep rule of law lahir sebagai reaksi terhadap
kuatnya praktek absolutism yang berlaku pada zaman abad pertengahan dalam
pemerintahan di negara-negara Eropa. Di Prancis misalnya Raja Louis ke XIV
menganggap bahwa negara adalah raja (le’etas c’ est moi). Belanda di bawah
kekuasaan Raja Philip II menerapkan pemerintahan yang absolut. Inggris ketika
diperintah oleh raja William sampai Henry II menerapkan pemerintahan yang
absolut.4 Dapat dikatakan bahwa hadirnya konsep rule of law adalah bentuk
perlawanan terhadap absolutisme raja. Konsep negara hukum kemudian
melahirkan ciri khusus yaitu berperannya hukum sebagai satu-satunya instrumen
1
2
3
4
Komisi Hukum Nasional, Penjara untuk Hakim, Newsletter Komisi Hukum Nasional,
Vol. 12.Nomor 06 tahun 2012.
Ahmad Mujahidin,2006, Peradilan Satu Atap di Indonesia , Refika Aditama,
Bandung, hlm.53
Marwan Effendy,2005, Kejaksaan : Posisi Dan Fungsinya Dari Perpektif Hukum, PT.
Gramedia Pustaka utama, Jakarta hlm. 15-35
Ibid.
327
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
untuk mengatur kehidupan negara, adanya perlindungan HAM dan persamaan
kedudukan di depan hukum.
A.V Dicey5 memberikan tiga ciri dari sebuah negara sehingga dapat
dikatakan sebagai negara hukum, yaitu :
a) The absolute predominance of law (supremasi hukum)
b) Equality before the law (persamaan kedudukan di depan hukum) dan
c) The Concept according to which the constitution is the resul of the recognition
of individual right by judges (perlindungan dan pengakuan terhadap HAM)
Unsur supremasi hukum dalam konsep rule of law merupakan bentuk
penentangan terhadap absolutisme raja dan pemerintah. Dalam rule of law yang
paling berkuasa dan menjalankan kekuasaan adalah hukum bukan pada kekuasaan
raja atau pemerintah semata. Bahkan ketika pemerintah menjalankan kekuasaanya
harus tunduk pada hukum. Hukumlah yang memerintah pemerintah.Unsur
persamaan di depan hukum (equality before the law) bermaksud menyatakan
bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum
bagi semua golongan dan di depan pengadilan. Dalam negara hukum tidak ada
diskriminasi antara warga negara yang satu dengan yang lain, atau antara pejabat
negara dengan warga negara semua kedudukannya sama. Penyelenggara negara
tidak ada keistimewaan untuk tidak taat pada hukum.Unsur perlindungan dan
pengakuan terhadap HAM hendak menghadirkan bahwa di dalam rule of law,
HAM merupakan bagian penting dalam negara. Negara menjamin perlindungan
dan pengakuan terhadap HAM semua warga negara. Konstitusi menjamin
perlindungan HAM warga negaranya.
Pemikiran AV Dicey tentang rule of law mengalami perluasan pengertian
sebagaimana yang diuraikan H.W.R.Wade6 yang mengatakan bahwa terdapat lima
aspek penting dalam konsep rule of law, yaitu :
1) Semua tindakan pemerintah harus menurut hukum;
2) Pemerintah harus berprilaku dalam suatu bingkai yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan prinspi-prinsip yang membatasi kekuasaan diskresi;
3) Sengketa mengenai keabsahan (legality) tindakan pemerintah akan diputuskan
oleh pengadilan yang murni independen dari eksekutif;
4) Harus seimbang antara pemerintah dan warga negara; dan;
5) Tidak seorang pun dapat dihukum kecuali atas kejahatan yang yang ditegaskan
menurut undang-undang.
Konsep Rechtstaat juga lahir dari perjuangan melawan absolutisme yang
mengalami perkembangan revoluisioner dan tumbuh kembang dipraktekan di
negara-negara dengan sistem eropa kontinetal atau civil law. Konsep negara hukum
rechtstaat berkembang dengan konsep negara hukum liberal yang berpijak pada
dua kebebasan (liberty) dan persamaan (equality). Imanual Kant sebagai pelopor
5
6
328
A.V Dicey, An Introduction to the study of law of the constitution, 10th end, (London :
1973), hlm.202
H.W.R. Wade, Administrative law, Oxford, UK, 1984 hlm.22-24 sebagaimana
terkutip dalam Marwan Effendy, 0p.cit
Kriminalisasi Hakim dan Eksistensi Prinsip Judicial Independence
pandangan ini dianggap sebagai pendukung paham negara hukum liberal.7 Negara
hukum ―versi‖ Kant ini dianggap sebagai negara hukum klasik dimana negara
bersifat pasif dimana negara bertugas sebagai penjaga keamanan dan ketertiban
semata (nachwakerstaat). Van der Pot-Donner mengemukakan ciri negara klasik
adalah :
1) hubungan antara pemerintah dan rakyat dimuat dalam konstitusi;
2) adanya jaminan pemisahan kekuasaan dalam konstitusi;
3) konstitusi menjamin adanya hak-hak kebebasan rakyat.
Pandangan negara hukum rechstaat versi Kant kemudian disempurnakan
oleh F.J. Stahl melalui konsep negara hukum formal dengan unsure-unsur utama :
1) adanya pemisahan kekuasaan berdasarkan teori trias politica;
2) pemerintahan yang berdasarkan undang-undang;
3) adanya pengadilan administrasi negara.8
Pendapat F. J. Stahl di atas kemudian ditambahkan oleh Paul Scholten
dengan mengatakan bahwa negara hukum juga harus memiliki asas yaitu adanya
pengakuan dan perlindungan terhadap hak warga negara oleh hukum dan adanya
pemisahan kekuasaan. Pendapat M Scheltema mengatakan bahwa negara hukum
mempunyai empat asas utama : kepastian hukum, persamaan, demokrasi, dan
pemerintahan dibentuk untuk melayani rakyat.9
Gagasan negara hukum kemudian secara eksplisit terlihat dalam konstitusi
republic Indonesia. Ketika UUD 1945 belum dilakukan amandemen dekalarasi
bahwa Indonesia terlihat secara jelas dalam penjelasan UUD 1945 yang
mengatakan bahwa ―negara berdasarkan atas hukum (rechstaat). Pasca amandemen
ketiga UUD 1945 gagasan negara hukum kemudian diatur dalam Pasal 1 ayat (3)
yang menyatakan bahwa ― Negara Indonesia adalah negara hukum‖.
Pengakuan tersebut merupakan sebuah kemajuan yang progresif dalam
menempatkan konsep hukum dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Konsep negara hukum dalam konstitusi hendak menegaskan kembali prinsipprinsip negara hukum yang secara teoritis diuraikan di atas yaitu : supremasi
hukum, equality before the law, kekuasaan pengadilan yang indenependen dan
negara kesejahteraan, demokrasi, dan perlindungan HAM.
Secara konsepsional judicial independence dalam konsepsi negara hukum
menurut Alexis De Tocqueville10 dicirikan oleh tiga hal : pertama, judicial
independence merupakan pelaksanaan fungsi peradilan yang bekerja jika ada
pelanggaran hukum atau hak warga. Lembaga negara lain tidak memiliki hak
untuk campur tangan. Kedua, lembaga judicial dapat berperan manakala ada kasus
7
8
9
10
Philipus M Hadjon,1997, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia : Sebuah Studi
Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penerapanya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan
Peradilan Umum Dan Pemebntukan Peradilan Administrasi Negara, : Bina Ilmu,
Surabaya, hlm.80.
Padmo Wahjono,1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet ke-2,Ghalia
Indonesia, Jakarta, hlm.151
Ibid.
Alexis De Tocqueville, 1994, Democracy in America, David Campbell Publisher,
London, hlm. 99.
329
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
pelanggaran hukum yang secara khusus. Ketiga, kekuasaan pengadilan hanya
dapat berfungsi jika adanya sengketa yang diatur dalam hukum.
Lembaga pengadilan yang independen akan menjamin tidak adanya
manipulasi penyalahgunaan kekuasaan judicial dimaksudkan untuk menghindari
agar ketika pengadilan mengadili perbuatan pemerintah yang berwenangberwenang lembaga pengadilan tidak menyalahgunakan kewenangan itu untuk
membenarkan tindakan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh pemerintah.11
Dalam hubungannya dengan ide negara konstitusional maka judicial independence
merupakan mekanisme yang tepat untuk mempertahankan konstitusi dan
keadilan.12
Menurut Herbert Jacob13 independensi pengadilan dapat diuji dalam dua
hal yaitu ketidakerberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan actor
politik (insurlarity). Ketidakberpihakan hakim dimaknai bahwa putusan hakim
didasarka pada hukum dan fakta-fakata persidangan, bukan karena ada hubungan
dengan salah satu pihak. Hakim berada di tengah-tengah untuk memutuskan
perkara tanpa dipengaruhi oleh pihak lain. Tidak adanya relasi politik dengan salah
satu menjamin bahwa putusan yang diambil pengadilan lepas dari pengaruh politik
salah satu pihak.
Bagir Manan14 menyatakan konsep judicial independence terkadung tiga
pengertian. Pertama, adanya kebebasan lembaga pengadilan untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi judicial (memeriksa, mengadili dan memutus
perkara). Kedua, larangan bagi kekuasaan ekstra judicial untuk mencampuri urusan
pelanggaran peradilan. Ketiga, judicial independence merupakan pelaksanaan
konsep negara hukum.
Prinsip judicial indepence dalam negara hukum telah menjadi kesepakatan
masyarakat internasional melalui berbagai instrumen hukum yang bersifat soft
law.15 Pada tahun 1986 Kongres PBB di Milan Italia mengeluarkan sebuah
instrumen hukum berupa Deklarasi PBB tentang basic principles on the
independence of the judiciary dalam deklarasi tersebut disebutkan bahwa prinsip
judicial indepence shall be guaranteed by the State and enshrined in the
Constitution or the law of the country. It is the duty of all governmental and other
institutions to respect and observe the independence of the judiciary. Prinsip
kemerdekaan pengadilan harus dijamin semua negara dan didiakomodir dalam
konstitusi ataupun peraturan peundang-undangan lainnya. Menjadi kewajiban bagi
11
12
13
14
15
330
Ahmad Mujahidin, Idem.
Jimly Assidiqie,2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta,
hlm. 80.
Herbert Jacob, Cour, Law and Politics in comparative perpective,
Bagir Manan,2005, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), FH UII Press,
2005, hlm. 122
Soft law dalam hukum internasional adalah instrument hukum internasional yang
tidak dibuat dalam bentuk perjanjian internasional yang mengikat negara-negara tetapi
merupakan hasil kesepakatan masyarakt, tetap memiliki nilai keberlakuan secara
moral dan ditaati oleh negara-negara. D.J. Harris, Cases and Materials On
International Law, fifth edition, Sweet and Maxwell, London, 1998, hlm. 768.
Kriminalisasi Hakim dan Eksistensi Prinsip Judicial Independence
pemerintah untuk dan istitusi lainnya dalam pemerintah untuk menghormati prinsip
judicial indepence di negaranya.
Pada tahun 1995 bertempat di Beijing Para petinggi Mahkamah Agung dari
negara-negara Asia mengeluarkan pernyataan bersama tentang Statement of
Principles of the Independence of the Judiciary in the LAWASIA yang kemudian
dikenal dengan Beijing Statement mengemukakan kembali prinsip judicial
independence bahwa ― the judiciary shall decide matters before it in accordance
with its impartial assessment of the facts and its understanding of the law without
improper influences, direct or indirect, from any source, dan The judiciary has
jurisdiction, directly
or by way of review, over all issues of a
justiciable
nature. Maksudnya, pengadilan dalam memutuskan perkara didasarkan pada
prinsip ketidakberpihakan (impartial) yang didasarkan pada fakta-fakta dan hukum
tanpa dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung dari siapapun.
Pada tahun 2002 petinggi Mahkamah agung di dunia mengeluarkan sebuah
Deklarasi tentang Perilaku Hakim yang kemudian dikenal dengan The Bangalore
Principles Of Judicial Conduct 2002. Dalam Dekarasi tersebut disebutkan bahwa
prinsip utama bagi eksistensi dari kemerdekaan pengadilan adalah‖...is a prerequisite to the rule of law and a fundamental guarantee of a fair trial. A judge
shall therefore uphold and exemplify judicial independence in both its individual
and institutional aspects.‖ Kemerdekaan kekuasaan pengadilan merupakan
prasyarat bagi adanya negara hukum dan merupakan jaminan bagi adanya
pengadilan yang fair. Oleh karena itu seorang hakim harus diberikana dua dimensi
kemerdekaaan, yaitu kemerdekaan ketika mengeluarkan putusan dan kemerdekaan
kelembagaan.
Sejalan dengan prinsip-prinsip judicial indendence yang sudah universal
tersebut maka UUD NRI tahun 1945 pada amandemen ketiga mengukuhkan
kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam konstitusi Indonesia yang baru. Pasal 24
UUD NRI 1945 menyatakan bahwa ― kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan‖.
Jaminan Kemerdekaan kekuasaan kehakiman diatur kembali dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 3
ayat (1) UU ini menyatakan bahwa‖ dalam menjalankan tugas dan fungsinya,
hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.‖ Bahkan
ketentuan Pasal 3 ayat (2) mengatur secara ekstrim dengan mengatakan larangan
bagi setiap orang maupun institusi di luar pengadilan untuk mempengaruhi
kemandirian kekuasaan kehakiman. Pasal 3 ayat (3) mengkriminalisasi perbuatan
setiap orang yang dengan sengaja mengintervensi kemandirian kekuasaan
kehakiman.
Kemerdekaan hakim dalam menjalan kekuasaan kehakiman bukanlah
kebebasan yang tanpa batas. Begitu besarnya kekuasaan yang diberikan undangundang kepada hakim maka potensi untuk menyalahgunakan kewenangan itu
begitu besar. Maka kebebasan itu perlu ada rambu-rambu supaya tidak
331
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
disalahgunaka. Bagir Manan16 menyatakan pembatasan kebebasan hakim harus
memperhatikan aspek kebebasan hakim juga menjaga agar tidak terjadi
penyalahgunaan kebebasan itu. Untuk menjaga marwah kebabasan itu maka
terdapat beberapa rambu yang perlu diperhatika. Pertama, setiap putusan hakim
harus berdasarkan pada hukum. Kedua, Hakim memutuskan perkara berdasarkan
pada upaya untuk mewujudkan keadilan. Ketiga, dalam melaksanakan penafsiran,
konstruksi atau menemukan hukum17 hakim harus berpegang teguh pada asas-asas
umum hukum (general principles of law) dan asas keadilan yang umum (the
general principles of natural law), dan keempat, harus menciptakan suatu
mekanisme yang memungkinkan untuk menindak hakim yang melakukan
kesewenang-wenangan atau menyalahgunakan kebebasannya.
C. Kriminalisasi Hakim dan Dampaknya Terhadap Eksistensi Prinsip
Judicial Independence.
Kriminalisasi profesi hakim melalui Undang-undang merupakan ancaman
bagi keberadaan prinsip judicial independence, tetapi juga menganggu keberadaan
prinsip negara hukum. Ketika Undang-undang SPPA melakukan kriminalisasi dan
RUU MA berniat melakukan kriminalisasi profesi hakim maka sesungguhnya
merupakan ancaman bagi profesi hakim juga indpendensi kelembagaan Mahkamah
Agung. Hakim kemudian secara psikis tidak bebas untuk mengambil putusan
karena selalu dibayangi oleh ancaman pidana.
Terhadap kriminalisasi Hakim melalui Undang-undang SPPA
menimbulkan reaksi dari para hakim. Sembilan hakim, baik yang berasal dari
pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun mahkamah agung,18 mengajukan
permohonan judicia review terhadap Pasal 96, ketentuan Pasal 100, dan ketentuan
Pasal 101 UU SPPA. Perjuangan para hakim untuk keluar dari jeratan UU SPPA
akhirnya pada tanggal 23 maret 2013 mahkamah konstitusi mengabulkan semua
permohonan para pemohon dan menyatakan Pasal 96, Pasal 100, dan 101 UU
SPPA bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dengan demikian Pasal 96, Pasal 100, dan 101 UU SPPA tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum berlaku.
16
17
18
332
Ibid.
Bagir Manan, Hakim dan Prospek Hukum, dalam Sinta Dewi, et al, (ed), 2012,
Perkembangan Hukum di Indonesia : Tinjauan Retrospeksi dan Prospektif, Kumpulan
Tulisan Dalam Rangka 70 Tahun Prof.DR. Mieke Komar, SH.,MCL, Kerjasa
PT.Remaja Risdakarya dengan Bagian Hukum Internasional FH UNPAD, Bandung,
hlm. 146-147.
Para pemohon judicial review terdiri dari : Dr. H. Mohammad Saleh, S.H., M.H
(hakim agung) Dr. Drs. Habiburrahman, M.Hum ( Hakim Agung),Dr. Imam Subechi,
S.H., M.H. (Hakim Agung), Imron Anwari, S.H., Spn., M.H. (Hakim Agung), Suhadi,
S.H.,M.H ( Hakim Agung H. Kadar Slamet, S.H., M.Hum.(Hakim Tinggi Pengawas) I
Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H. (Hakim Tinggi) Nama : Drs. Abdul Goni, S.H.,
M.H. (Hakim Pengadilan Agama) dan Mien Trisnawati, S.H., M.H. (Wakil Ketua
Pengadilan Negeri Metro)
Kriminalisasi Hakim dan Eksistensi Prinsip Judicial Independence
Kriminalisasi Hakim melalui Undang-undang SPPA data dianalisis dalam
dua perpesktif. Pertama, perspektif indendependensi pengadilan dalam bingkai
negara hukum dan, Kedua, perspektif Politik Pemidanaan. Dalam perspektif
judicial independence menarik untuk dikutip pendapat Prof. Bagir Manan ketika
memberikan kesaksian dalam persidangan judicial review perkara Nomor
110/PUU-X/2012. Menurut Prof. Bagir Manan asas judicial independence
merupakan asas fundamental bagi keberadaan negara hukum demokratis
(democratische rechtsstaat). Didalam asas tersebut mengandung dua makna,
Pertama, kekuasaan kehakiman yang lepas dari pengaruh pemerintah harus
dimaknai sebagai pemerintah dalam arti luas yang tidak saja kekuasaan eksekutif,
tetapi juga meliputi kekuasaan legislatif dan lembaga negara yang lain, Kedua,
larangan bagi lembaga-lembga negara tadi untuk tidak intervensi dalam proses
yudisial (judicial process) pada suatu perkara konkrit (case and controvercy). Bagir
Manan menjelaskan lebih lanjut larangan bagi organ negara untuk mengambil
setiap kebijakan, penetapan, tindakan yang akan atau dapat secara langsung atau
tidak langsung mempengaruhi judicial independence, termasuk didalamnya adalah
pembentukan Undang-Undang yang memuat substansi yang dapat mempengaruhi
judicial indpendence. Kata mempengaruhi termasuk beban psikologis yang dialami
hakim ketika harus menerima akibat dari putusa yang dikeluarkannya.
Menarik pula merujuk pendapat-pendapat Mahkamah Konstitusi dalam
kasus-kasus terkait judicial independence yang diputuskan sebelum keluarnya
putusan kasus ini, misalnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005/PUU-IV/2006 bertanggal 23 Agustus 2006, Nomor 28/PUU-IX/2011 dan
bertanggal 31 Juli 2012 dan Nomor 37/PUU-X/2012 bertanggal 31 Juli
2012.Dalam putusan-putusan tersebut MK memberikan prinsip dasar judicial
independence dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terwujud dalam kemerdekaan
hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari pelbagai pengaruh yang
berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara
langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan
karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan
politik yang berkuasa,kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji
imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.
Jalan pikiran ini sejalan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan bahwa bahwa Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU 11/2012 yang
memuat ancaman pidana kepada pejabat khusus dalam penyelenggaraan SPPA,
yaitu hakim, pejabat pengadilan, penyidik, dan penuntut umum merupakan
ketentuan-ketentuan yang tidak konstitusional karena bertentangan dengan prinsip
kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi pejabat khusus yang terkait
yang memberikan jaminan hukum bagi penyelenggaraan peradilan yang merdeka.
Berangkat dari pendapat pakar dan pertimbagan mahkamah di atas maka
penulis berpendapat bahwa sesunngguhnya upaya kriminalisasi hakim melalui
peraturan perundang-undangan dalam UU SPPA maupun Draft RUU MA
merupakan suatu hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip judicial indepence
yang telah diakui oleh masyarakat internasional. Kesepakatan internasional
333
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
tersebut tidak menghendaki adanya ancaman hukuman atau sanksi pidana terhadap
pelaku kekuasaan kehakiman selain terhadap pelanggaran kode etik selama
menjalankan tugas dan wewenangnya. Sanksi pidana hanya dijatuhkan terhadap
para hakim yang telah terbukti meyakinkan melakukan suatu tindak pidana.
Kesepakatan bersama di atas bahkan mewajibkan pelaku kekuasaan kehakiman
tetap memelihara integritas dan dibebaskan dari intervensi dari balk eksekutif
maupun legislatif.
Hal ini menunjukkan pula lemahnya pemahaman tentang sistem
ketatanegaraan di kalangan pembentukan undang-undang. Semestinya prinsip
judicial independence yang tidak lagi menjadi norma hukum nasional tetapi
menjadi norma hukum internasiona harus dipahami dengan baik oleh pembentuk
undang-undang agar tidak menimbulkan dampak yang buruk bagi keberadaan
negara hukum.
Perspektif lain untuk melihat kriminalisasi hakim politik kriminalisasi.
Kecenderungan menkriminalisasi hakim melalui peraturan perundang-undangan
menunjukkan tidak jelasnya arah politik kriminalisasi. Kriminalisasi melalui Pasal
96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU Nomor 11/ tahun 012 tentang SPPA dan Pasal 95
dan Pasal 97 RUU MA tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kebijakan kriminalisasi
yang secara teoritis dianut. Dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional pada bulan Agustus 1980 di Semarang. Terdapat kesepakatan ilmiah
bahwa politik kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah
sesuai dengan politik criminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh
mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku
dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum
dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.Kriteria politik
kriminalisasi didasarkan pada criteria-keriteria:
Pertama, Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat
karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan Korban atau dapat
mendatangkan korban; Kedua, apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan
hasilnya yang akan dicapai, artinya biaya pembuatan Undang-Undang, pengawasan
dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, dan pelaku kejahatan
itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai, Ketiga,
Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang
atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya, dan d).
keempat, Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita
bangsa Indonesia sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.19
Menurut Barda Nawawi Arief20 politik kriminalisasi harus didasarkan pada
orientasi kebijakan (policy oriented approach) yang bersifat pragmatis, rasional dan
fungsional, dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value judgment
approach). Pendekatan kebijakan, padahakikatnya merupakan bagian dari
kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan sebagai bagian dari kebijakan penegakan
19
20
334
Terkutip dalam materi gugatan Pemohon perkara Nomor 110/PUU-X/2012.
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 27-33
Kriminalisasi Hakim dan Eksistensi Prinsip Judicial Independence
hukum. Sedangkan pendekatan nilai, pada hakikatnya merupakan upaya melakukan
peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosio-filosofis, sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap
muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.
Menarik pula dikemukakan pendapat Romli Atmasasmita ketika
menyampaikan kesaksian ahli dalam persidangan judicia review terhadap undangundang SPPA bahwa secara teknis pencantuman ancaman pidana dalam sebuah
undang-undang harus didasarkan pada derajat perbuatan (grativity). Jika sebuah
perbuatan pelanggaran terhadap suatu kewajiban maka itu merupakan pelanggaran
ringan yang tidak perlu dihukum dengan hukum pidana, sebaliknya jika perbuatan
pelanggaran terhadap hukum pidana maka perbuatan itulah yang dapat dihukum
dengan ancaman pidana. Kriminalisasi terhadap putusan hakim atau kewajiban
administrasi pidana merupakan kebijakan "overcriminalization" atau "kriminalisasi
melampaui batas kepatutan" dan sekaligus juga merupakan kebijakan hukum yang
bersifat "overpenalisasi".yang bertentangan dengan asas-asas fundamental hukum,
asas proprosionalitas dan asas subsidiaritas serta prinsip "due process of law" dan
asas "fair trial and impartial" yang diakui secara universal.
Disamping itu kebijakan kriminalisasi terhadap pelanggaran admintrasi
dan putusan hakim sebagai ―mahkota hakim‖ merupakan cerminan bentuk
intervensi atau mempengaruhi integritas dan kredibilitas serta kapabiltas judicial
indpendence yang merdeka. Romli Atmasamita memandang bahwa kriminalisasi
hakim merupakan ancaman sanksi terhadap pelaku kekuasaan kehakiman
cenderung merupakan proses stigmatisasi terhadap kedudukan dan martabat
seorang Hakim yang bertentangan dengan prinsip judicial indepence yang dianut
dalam UUD 1945.
D. Kesimpulan dan Saran
Uraian diatas memperlihatkan dua hal, terkait dengan kriminalisasi hakim
dan keberadaan prinsip judicial independence. Pertama, kriminalisasi melalui
peraturan perundang-undangan merupakan bentuk intervensi pihak eksekutif dan
legislatif terhadap kekuasaan kehakiman yang telah dijamin oleh konstitusi dan
prinsip-prinsip hukum yang telah diterima oleh masyarakat internasional.
Intervensi ini jelas akan mengancam keberadaan negara hukum yang telah dijamin
pula oleh konstitusi. Kedua, kriminalisasi hakim melalui Undang-undang
menunjukkan tidak jelasnya politik hukum kriminalisasi dalam penyusunan
peraturan perundang-undangan. Perbuatan yang seharusnya tidak dapat dipidana
tetapi dipaksa untuk dipidana sehingga terjadi over-criminalization.
Kecenderungan untuk melakukan upaya kriminalisasi hakim melalui
undang-undang pada masa yang akan datang diperikrakan semakin terus dilakukan
oleh pembentuk undang-undang. Pembahasan RUU Mahkamah Agung, RUU
KUHAP, RUU KUHP yang sedang dibahas di DPR jelas berhubungan dengan
Kekuasaan Kehakiman dan sangat potensial untuk lahirnya ketentuan-ketenuan
sebagaimana tercantum dalam UU SPPA yang berupaya untuk melakukan
kriminalisasi hakim sebagai profesi mulia yang dijamin kemerdekaanya oleh
335
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
konstitusi. Oleh karena itu diperlukan langkah antisipatif agar tidak terulang
kembali kesalahan dalam mengambil kebijakan hukum yang akan mengganggu
independensi pengadilan dan prinsip negara hukum.
Untuk itu diperlukan dua langkah penyelesaian sebagai rekomendasi dari
tulisan ini : pertama, hendaknya pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden)
dalam penyusunan Undang-undang meletakkan prinsip judicial indepennce sebagai
salah satu pilar negara hukum harus dipertimbangkan secara matang dalam
mengambil kebijakan hukum. kedua, hendaknya ada kejelasan politik kriminalisasi
dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga jelas perbuatan apa
yang dapat dipidana atau tidak dapat dipidana.
DAFTAR PUSTAKA
A.V Dicey, 1973, An Introduction to the study of law of the constitution, 10th end,
1973, London .
Ahmad Mujahidin,2006, Peradilan Satu Atap di Indonesia , Refika Aditama,
Bandung.
Alexis De Tocqueville, 1994, Democracy in America, David Campbell Publisher,
London.
Bagir Manan,2005, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), FH UII Press,
2005.
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Pidana:
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Prenada Media Group,
Jakarta.
D.J. Harris, 1998, Cases and Materials On International Law, fifth edition, Sweet
and Maxwell, London.
H.W.R. Wade, Administrative law, Oxford, UK, 1984 hlm.22-24 sebagaimana
terkutip dalam Marwan Effendy, 0p.cit
Jimly Assidiqie,2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, Jakarta.
Komisi Hukum Nasional, Penjara untuk Hakim, Newsletter Komisi Hukum
Nasional, Vol. 12.Nomor 06 tahun 2012.
Marwan Effendy,2005, Kejaksaan : Posisi Dan Fungsinya Dari Perpektif Hukum,
PT. Gramedia Pustaka utama, Jakarta.
Padmo Wahjono,1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet ke2,Ghalia Indonesia, Jakarta.
Philipus M Hadjon,1997, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia : Sebuah
Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penerapanya Oleh Pengadilan Dalam
Lingkungan Peradilan Umum Dan Pemebntukan Peradilan Administrasi
Negara, : Bina Ilmu, Surabaya..
Sinta Dewi, et al, (ed), 2012, Perkembangan Hukum di Indonesia : Tinjauan
Retrospeksi dan Prospektif, Kumpulan Tulisan Dalam Rangka 70 Tahun
Prof.DR. Mieke Komar, SH.,MCL, Kerjasa PT.Remaja Risdakarya dengan
Bagian Hukum Internasional FH UNPAD, Bandung.
336
KEWENANGAN HAK UJI MATERIL PADA MAHKAMAH AGUNG RI
Enrico Simanjuntak
Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Serang-Banten
[email protected]
Abstrak
Berdasarkan ketentuan pasal 24A (1) UUD 1945, Mahkamah Agung berwenang
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Hal ini berarti
pihak pencari keadilan dapat mengajukan permohonan hak uji materil di bawah
undang-undang kepada MA dengan alasan antara lain ketentuan yang dimohonkan
uji materi tersebut bertentangan dengan hirarki peraturan yang lebih tinggi dalam
sistem hukum nasional. Dalam pengujian ini, Mahkamah Agung memiliki
kesempatan untuk menilai legitimasi (keabsahan) dan menentukan apakah
peraturan yang diuji telah melampui kewenangan atau tidak sesuai dengan
kewenangan. Mahkamah Agung berwenang untuk membatalkan peraturan yang
bertentangan dengan hirarki peraturan yang lebih tinggi. Tulisan ini menganalisis
kewenangan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang, dengan melacak sejarah pengujian hak uji materi sebelum
diberlakukan PERMA No. 1/1993 sampai dengan diberlakukannya Perma No.
1/2011, termasuk mempelajari beberapa aspek hukum acara dalam Perma tersebut.
Kata Kunci : Mahkamah Agung, Hak Uji Materi, Hukum Acara.
Abstract
Under art 24A(1) of the Constitution, the Supreme Court is granted the power to
review legal instruments below laws (undang-undang). This means that an
applicant could seek judicial review of regulations other than Acts of Parliament
(Undang-Undang) with a request to strike it out because, for example, it
contravenes national laws. This would provide the courts with an opportunity to
review the legitimacy of the regulation and determine whether it is ultra vires, or
beyond power. The Supreme Court has the power to cancel a regulation if it is
found to be in conflict with a higher law. This article analyses the judicial review
in the Supreme Court. It begins by highlighting the origins and formation of
judicial review before the regulation promulgation of the Supreme Court (PERMA)
No. 1/1993, and then examines several aspects of procedural law in the current
Supreme Court Regulation in No. 1/2011.
Keywords : Supreme Court, Judicial Review, Procedural Law.
A. Sejarah Singkat Kewenangan Hak Uji Materil MA.
Gagasan pemberian kekuasaan hak menguji undang-undang telah dimulai
pada saat rapat-rapat persiapan kemerdekaan Indonesia. Namun, ketiadaan atau
keterbatasan ahli hukum pada awal berdirinya negara Indonesia menjadi salah satu
alasan pragmatis dari Soepomo untuk menolak diberikannya kewenangan menguji
337
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
undang-undang kepada kekuasaan kehakiman dalam konstitusi Indonesia. Alasan
keterbatasan ahli hukum itu direkam oleh Wiryono Prodjodikoro21 dalam
catatannya tentang urgensi peradilan administrasi sbb :
―Hak kekurangan keahlian inilah yang menimbulkan keragu-raguan dalam hati
sanubari segenap pembicara dalam pertemuan para ahli hukum tersebut.
Terutama Prof. Logemann adalah sangat tegas dalam kesimpulannya, bahwa
menurut pendapatnya hal yang pertama-tama harus diperhatikan di Indonesia
ialah suatu usaha memperbaiki berjalannya tata-usaha pemerintahan secara
mengatur sebaik-baiknya pemisahan Pengadilan dan Pamongpraja,
menyempurnakan hukum tata-usaha pemerintahan, memperbaiki hal
pengawasan di dalam tata usaha pemerintahan, dan mengadakan
pengawasan atas tindakan pemerintah oleh badan-badan perwakilan rakyat.
Pada akhirnya Ketua Pertemuan tersebut Mr. van Dunne mengemukakan
bahwa sebagai hasil dari pembicaraan diantara semua pembicara ialah,
bahwa belum dirasakan keperluan untuk lekas-lekas mengadakan pengadilan
dalam soal-soal tata usaha secara prinsipil dan luas‖.
Pada tanggal 27 Desember 1949 berdiri negara federal Republik Indonesia
Serikat (RIS) yang hanya berumur 7 bulan 21 hari, karena kemudian pada tanggal
17 Agustus 1950, negara Indonesia kembali ke Negara Kesatuan. Dalam
pemerintahan RIS, pembuatan undang-undang dilakukan oleh Presiden dan
Menteri-Menteri bersama dengan DPR, kecuali kalau mengatur hal-hal khusus
mengenai hal tertentu, beberapa atau semua daerah bagian, maka bersama-sama
juga dengan Senat (Pasal 127 KRIS). Berdasarkan ketentuan pasal 130 ayat (2)
KRIS disebutkan bahwa objek hak uji materi di MA adalah undang-undang negara
bagian yang bertentangan atau tidak sesuai dengan konsitusi.22 Dalam UUD
Sementara Tahun 1950, hak uji menguji secara materil tidak dapat dilakukan.
Artinya tidak ada satu kekuasaan pun, termasuk MA, yang mempunyai wewenang
untuk menguji, apakah isi suatu undang-undang bertentangan dengan UUD atau
tidak.23 Sedangkan, menurut Henry P. Panggabean objek HUM dalam periode
UUDS adalah peraturan pemerintah dan peraturan daerah (vide pasal 95 ayat (2)
UUDS).24
Praktek pengujian peraturan oleh para hakim di pengadilan sebenarnya
telah ada sejak zaman kolonial, terutama pada masa pendudukan Belanda-jauh
sebelum M. Yamin mengemukakan pemikiran itu dalam sidang pleno BPUPKI.25
21
22
23
24
25
338
Prodjodikoro, Wirjono. Bunga Rampai Hukum, Karangan Tersebar, Ichtiar Baru,
Jakarta, 1974. Hlm. 195.
Soemantri M., Sri. Hak Uji Material di Indonesia, Edisi Kedua 1997, Alumni,
Bandung, 1997. Hal.28
Ibid. Hal. 30.
Panggabean, Henry Pandapotan. Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Seharihari, Upaya Penanggulangan tunggakan perkara dan pemberdayaan fungsi
pengawasan Mahkamah Agung, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001. Hal. 127.
Harman, Benny K. Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, Sejarah Pemikiran
Pengujian UU Terhadap UUD. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2013. Hal.
146.
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
Pada masa kolonial, para hakim melaksanakan pengujian terhadap peraturan
perundang-undangan sebagai bentuk protes terhadap beberapa peraturan Gubernur
Jenderal yang mereka nilai bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Dalam hal ini peraturan yang lebih tinggi merujuk pada undang-undang yang
berlaku di negeri Belanda dan merujuk pada rasa keadilan dan hukum masyarakat
negara jajahan. S. Amin menyebutkan ada beberapa yurisprudensi atau arrest
Hooggerechtshof di zaman Hindia Belanda yang menunjukan bahwa para hakim di
pengadilan telah mempraktikan pengujian UU baik secara formal maupun materil.
Diantaranya arrest Hooggerechtshof tanggal 21 April 1921 perihal apakah suatu
pengadilan berwenang mengadakan pemeriksaan tentang hak atau kewenangan
seorang Gubernur Jenderal untuk membuat peraturan. Yurisprudensi tersebut
menyatakan, hakim tidak hanya berwenang tetapi berkewajiban menyelediki
apakah Gubernur Jenderal membuat ketentuan seturut garis kewenangan yang ada
padanya. Contoh lain adalah putusan Dewan Pengadilan (Raad van Justitie)
Medan 15 Juni 1934 dan 6 Oktober 1933. Putusan tersebut menguatkan putusan
PN (Landraad) Langsa dan PN Tebing Tinggi yang secara garis besar menyatakan
bahwa suatu ketetapan Gubernur Jenderal tidak sah dan karena itu tidak memiliki
kekuatan mengikat lantaran isinya bertentangan dengan ketetapan lain yang
disahkan oleh pembuat aturan yang lebih tinggi. Praktik hakim di pengadilan
menilai dan menguji UU terhadap UUD semacam ini terus berlanjut pada masa
Indonesia baru merdeka, sekalipun secara tegas UUD dan peraturan perundangundangan yang berlaku tidak memberikan kewenangan tersebut. Bahkan, secara
tegas melarang praktik tersebut lewat ketentuan pasal 20 AbvW dari masa HindiaBelanda yang dinyatakan masih tetap berlaku (carry over).
Dalam catatan Henry P. Panggabean26 terdapat satu yurisprudensi yang
sebenarnya telah menerapkan hak uji (toetsingsrecht) itu dalam sengketa yang
berkaitan dengan kewenangan Kantor Urusan Perumahan (KUP). Maksudnya,
meskipun terdapat PP. 49/1963 sebagaimana ditegaskan dengan SEMA No. 5/1964
yang isinya menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa
sewa-menyewa perumahan dan pengosongannya melainkan hanya Kepala Kantor
Urusan Perumahan yang berwenang pada tingkat pertama dan kepala daerah pada
tingkat banding namun dalam praktik tetap sengketa perumahan diadili oleh
Pengadilan Negeri. Namun, istilah hak uji sebagaimana digunakan oleh Henry P.
Panggabean dalam persoalan di atas perlu dicermati lebih seksama karena menurut
Penulis yang terjadi sebenarnya adalah ketidakjelasan yuridiksi dalam sengketa
perumahan, artinya kendati terdapat peraturan perundang-undangan yang memberi
kewenangan kepada Kepala Daerah dalam menyelesaikan sengketa perumahan
namun kewenangan tersebut tetap beririsan dengan kewenangan Pengadilan Negeri
dalam menyelesaikan soal-soal keperdataan di bidang perumahan (vide SEMA No.
18/1964)27.
26
27
Panggabean, Henry Pandapotan. Fungsi Mahkamah Agung Bersifat Pengaturan (Rule
Making Power) Tahun 1966-2003. Liberty, Yogjakarta, 2005. Hal. 90-91
Selengkapnya lihat Junus, Anwar. Penuntun Praktis Perkara Perumahan di Jakarta.
Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1979. Sehubungan dengan itu, Zainal Arifin
339
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Namun harus diakui praktik pengujian peraturan perundang-undangan
senantiasa terjadi, meskipun sebelum tahun 1993 para hakim tidak memiliki
kewenangan tersebut. Hanya saja pengujian yang dilakukan tidak mengakibatkan
pembatalan karena yang dilakukan hanya mengesampingkan suatu ketentuan atau
aturan hukum tertulis. Selain itu, penilaian yang dilakukan para hakim selalu
berkaitan dengan kasus kongkret yang mereka tangani di pengadilan.
Pengesampingan suatu ketentuan merupakan bagian dari proses penemuan hukum
atau interpretasi.
Kendati sebelum tahun 1993, melalui ketentuan pasal 26 UU. No. 14/1970
Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan pasal 31 UU. No. 14/1985
Tentang MA secara formal MA sudah memiliki kewenangan melakukan HUM,
namun kewenangan tersebut terhalang oleh TAP MPR No. III/MPR/1978 tentang
Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan atau
Antar Lembaga Tinggi Negara28. Konfigurasi politik Orde Baru yang membatasi
kekuasaan kehakiman merupakan catatan kelam dalam perjalanan cita negara
hukum Indonesia. Pada era tersebut sangat banyak peraturan maupun keputusan
pemerintah (penguasa) yang selain tidak sesuai harmonisasi aturan hukum juga
tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia. Kepala BPHN pada era tersebut,
C.F.G. Sunaryati Hartono mengatakan bahwa di Indonesia banyak UU yang
dikebiri oleh Peraturan (pelaksanaan) di bawahnya. Menurut Sunaryati : ―…cukup
banyak UU yang justruu dikebiri oleh peraturan perundang-undangan di
bawahnya. Itu terjadi karena pembuat peraturan tidak memperhatikan hierarki
dan tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan‖29. Dewasa ini, peranan
peraturan perundang-undangan pelaksana undang-undang atau biasa disebut
subordinate legislations dianggap semakin penting dan bahkan cenderung terus
berkembang dalam praktik di hampir semua Negara hukum modern. Sebabnya
adalah parlemen dan presiden tidak mempunyai cukup waktu untu secara mendetail
memberikan perhatian mengenai segala urusan teknis mengenai materi suatu
undang-undang. Sehubungan dengan hal tersebut, Gary Slapper & David Kelly
28
29
340
Hoessein, dengan mengutip Sri Soemantri, juga mencacat bahwa putusan MA No.
1631/K/Sip/1974 tanggal 21 Oktober 1975 merupakan sebuah ―pengujian peraturan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang‖ yakni sebagai pelaksanaan pasal 26
UU. No. 14 Tahun 1970. Duduk permasalahan dalam putusan tersebut adalah
keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI No. 229/Spb/T/T/1973 tanggal 29
Maret 1973 bertentangan dengan UU. No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan HakHak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya. Menurut undang-undang ini,
prosedur pencabutan hak atas tanah tersebut seharusnya dilakukan melalui
permohonan yang berkepentingan kepada Menteri Agraria (sekarang BPN) dan
selanjutnya Menteri Agraria meminta keputusan Presiden. Jadi pencabutan hak-hak
atas tanah tersebut harus melalui keputusan Presiden. Selengkapnya lihat, Hoessein,
Zainal Arifin. Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2009. Hal. 210-211.
Lotulung, Paulus Effendi dkk, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Wewenang
Mahkamah Agung Dalam Melaksanakan Hak Uji Materil (Judicial Review), Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Perundang-Undangan RI,
2001. Jakarta. Hal. 1 dan 2
―Banyak Pengebirian UU oleh Peraturan dibawahnya‖, Kompas, 8 Juli 1992.
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
menyatakan : ―Delegated legislation is of particular importance. Generally
speaking, delegated legislation is law made by some person or body to whom
Parliament has delegated its general law-making power. A validly enacted piece of
delegated legislation has the same legal force and effect as the Act of Parliament
under which it is enacted but, equally, it only has effect to the extent that its
enabling Act authorises it‖.30 Dalam konteks ini, kewenangan untuk membentuk
subordinate legislations itu harus dipahami dari rakyat. Karena itu lembaga
pemerintah dan lembaga pelaksana undang-undang lainya tidak dapat menetapkan
sesuatu peraturan perundang-undangan apapun kecuali atas dasar perintah atau
delegasi kewenangan mengatur yang diberikan oleh lembaga perwakilan rakyat
melalui undang-undang.
Beberapa contoh subordinate legislations dewasa ini :
1. Peraturan Pemerintah
2. Peraturan Presiden
3. Peraturan Daerah
4. Peratuan Menteri (Bahkan beberapa Peraturan Dirjen yang masih
berlaku)31
5. Peraturan-peraturan oleh lembaga-lembaga yang bersifat independen:
a) Peraturan MK
b) Peraturan MA
c) Peraturan BI
d) Peraturan BPK
e) Peraturan KPI
f) Peraturan KPU
g) Peraturan KPPU
h) Peraturan BRTI dsb
Fenomena delegated legislations sebagai peraturan pelaksana perundangundangan (subordinate legislations) sangat penting di semua Negara. Karena
pentingnya menurut A.W. Bradley dan K.D. Ewing harus memenuhi syarat :
(1) Consultation of interest
(2) Control by parliament
(3) Publication of statutory instruments
(4) Challenge in the courts
Perintah atau delegasi kewenangan tersebut oleh Maria Farida Indrati S.
dibedakan lagi antara peraturan pelaksanaan (verordung) dengan peraturan otonom
(autonome satzung). Peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi
(delegatie van wetgevingbevoegdheid) sedangkan peraturan otonom bersumber dari
kewenangan atribusi (attributie van wetgevingbevoegdheid).32 Sedangkan, Peter
30
31
32
Slapper, Gary & Kelly, David. The English Legal System, Sixth edition, Cavendish
Publishing Limited, The Glass House, 2003. P.63.
Contoh SK, SK Dirjen Bea Cukai, Keputusan Dirjen Pajak dsb
Maria Farida sebagaimana mengutip Van Wijk/Koninjnenbelt, attributie van
wetgevingbevoegdheid ialah pemberian kewenangan membentuk peraturan
perundang-undangan yang diberikan oleh Grondwet (Undang-Undang Dasar) atau
Wet (Kepada Suatu Lembaga Negara/Pemerintahan. Sedangkan delegatie van
341
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Cumper, sebagaimana dikutip oleh Anna Erliyana, menyebutkan alasan-alasan
mengapa parlemen mendelegasikan wewenang pengaturan kepada pemerintah
yakni : 1) tekanan waktu di parlemen. Waktu yang dimiliki lebih baik digunakan
untuk membahas hal-hal yang mendasar dalam peraturan perundang-undangan 2)
Permasalahan dalam pembuatan peraturan modern lebih sering bersifat teknis,
tidak efektif mendiskusikannya di Parlemen 3) Besar dan rumitnya skema
pembaharuan dalam bentuk teknis, sulit untuk dimasukan ke Undang-undang yang
menentukan prasayarat tertentu 4) lebih jauh adalah untuk pertimbangan praktis 5)
pertimbangan praktis lagi, pemerintah lebih berpengalaman 6) Delegasi pengaturan
lebih disukai dengan adanya kemungkinan pemulihan.33
Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa dari segi kuantitas jumlah
peraturan perundang-undangan akan senantiasa jauh lebih besar dari undangundang, mengikuti bentuk piramida hierarki norma Hans Kelsen, semakin ke
bawah jenis peraturan semakin besar jumlah peraturan yang dikeluarkan untuk
menindaklanjuti atau dibuat untuk mengatu atau menata tata kehidupan bersama
dalam negara. Oleh karena itu, menjadi wajar hipotesis yang menyatakan bahwa
kewenangan MA dalam menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang semestinya dari segi kuantitas perkara akan jauh lebih besar jumlahnya
daripada yang ditangani Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang.
Kewenangan MA dalam bidang judicial review semestinya tidak dipandang minor
atau memiliki signifikansi yang inferior dibandingkan kewenangan MK dalam
melakukan constitutional review.
Menurut Zainal Arifin Hoessein34 pengaturan pengujian peraturan
memiliki korelasi yang positif dengan pelaksanaan pengujian peraturan. Hubungan
ini dapat dijelaskan bahwa jika pengaturannya jelas dan memberikan kebebasan
dan kemandirian terhadap lembaga yang diberikan wewenang untuk melakukannya
maka pengujian peraturan perundang-undangan sebagai bagian dalam membangun
pemerintahan yang demokratis, dapat dijalankan sebagaimana mestinya35. Tetapi
33
34
35
342
wetgevingbevoegdheid alah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundangundangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
kepada peraturan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas
maupun tindakan. Selengkapnya lihat Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu
Perundang-Undangan I, Kanisius, Yogyakarta, 2007. hlm. 55-56.
Erliyana, Anna. Keputusan Presiden : Analisis Keppres R.I. 1987—1998, Program
Pascarsarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2005, hlm. 115-116.
Hoessein, Zainal Arifin. Op. Cit. Hal. 239-240.
Menurut Fajar Laksono Soeroso terkait dengan proses peradilan, terutama dalam
perkara judicial review, ada anggapan bahwa proses peradilan di MK lebih fair dan
terbuka. Hal ini dapat dimengerti mengingat seluruh proses persidangan di MK,
terutama dalam perkara pengujian UU di MK ditentukan terbuka untuk umum, kecuali
Rapat Permusyawaratan Hakim. Dalam praktiknya, MK sejak awal menerapkan asas
audi et alteram partem. Di dalam hukum acara MK, asas ini tidak tegas dicantumkan.
Namun pada dasarnya norma yang dirumuskan pasal-pasal undang-undang merupakan
penjabaran asas ini. Begitu pula dalam Peraturan MK, seluruh ketentuannya mengarah
pada pemberian kesempatan yang seimbang dalam memberikan keterangan mulai dari
pemberitahuan permohonan, kesempatan mengajukan jawaban dan bukti-bukti,
masuknya pihak-pihak berkepentingan dan lain sebagainya. Berbeda dengan di MK,
proses peradilan di MA dalam perkara uji materi peraturan perundang-undangan di
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
sebaliknya, jika pengaturan justru membatasi ruang gerak lembaga yang diberikan
wewenang untuk melaksanakannya, maka pelaksanaan pengujian peraturan
tersebut sulit bahkan tidak dapat dilaksanakan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian
disertasi Zainal Arifin Hoessein dalam hal kewenangan judicial review di MA
selama periode tahun 1970 s/d 1993 yang tidak ada atau tidak pernah diajukan oleh
kelompok masyarakat yang dirugikan oleh peraturan yang dikeluarkan pemerintah.
Setelah lebih dari dua dekade, kewenangan hak uji materil MA tidak
terealisir, dalam sistem sistem politik hukum Orde Baru yang memiliki
kecenderungan membatasi kekuasaan kehakiman, maka pada tahun 1993
merupakan babak bersejarah dalam aktualisasi kewenangan hak uji materil MA
karena pada tahun tersebut untuk pertama kali diterbitkan Peraturan MA yang
mengatur tata cara pengajuan hak uji materil ke MA. Munculnya PERMA tersebut
merupakan reaksi terhadap adanya permohonan perkara hak uji materil oleh Surya
Paloh sehubungan dengan pencabutan SIUP Harian Prioritas oleh Menteri
Penerangan berdasarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 01 Tahun 1984 yang
dianggap bertentangan dengan UU Pokok Pers (UU. No. 11 Tahun 1966).36
Permohonan Surya Paloh tersebut langsung diajukan ke MA, akan tetapi kemudian
ditolak, karena absennya aturan mengenai permohonan hak uji materi. Itulah
sebabnya kemudian MA mengeluarkan PERMA No. 1/1993.37
B. Beberapa Catatan Tentang Kewenangan Hak Uji Materil MA.
1. Tata Cara Pengajuan PHUM
PERMA No. 1 Tahun 2011 menguraikan bahwa pengajuan HUM ke MA
tersebut dilakukan dengan cara 1) Langsung ke MA dan 2) Melalui PN yang
36
37
bawah UU lebih bersifat tertutup dan sepihak. Jika dicermati, PERMA No. 01 Tahun
2011 tidak menyebutkan mengenai pentingnya proses persidangan yang terbuka dan
mengedepankan asas audi et alteram partem. Dalam Bab III Pemeriksaan dalam
Persidangan Pasal 5 ayat (2) Perma tersebut hanya disebutkan bahwa Majelis Hakim
Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan tentang Hak Uji Materiil
tersebut dengan menerapkan hukum yang berlaku bagi perkara permohonan dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan. Dalam memutuskan sengketa kepemilikan Pulau Berhala, dengan
berdasarkan PERMA No. 01 Tahun 2011, MA memutuskan secara sepihak dan
tertutup oleh Majelis Hakim Agung tanpa melibatkan pihak-pihak yang terkait
khususnya pihak-pihak yang bersengketa. Padahal, akan sangat baik apabila dalam
proses persidangan uji materi tersebut, selain sifatnya terbuka untuk umum, MA
seharusnya juga mengundang pihak-pihak yang bersengketa, pihak terkait, termasuk
saksi atau ahli seperti halnya dalam persidangan di MK. Dengan demikian, salah
paham dan salah implementasi hukum dapat dihindari. Karena itulah, terutama pihak
yang dirugikan oleh putusan MA kemudian memandang perlu mengalihkan
penyelesaiaan kasusnya ke MK mengingat proses peradilan di MK dirasakan lebih fair
dan terbuka. Soeroso, Fajar Laksono. Memaknai Kecenderungan Penyelesaian
Konflik Batas Wilayah Ke Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 9,
Nomor 3, September 2012. Hal. 30.
Lotulung, Ibid. Hal. 3
Laoh, Arnold. The Availability of International Judicial Review of Government
Breaches of Human Rights, Thesis : Thesis submitted for award of the degree of
Doctor of Philosophy (PhD) at Murdoch University, Perth, Western Australia, July
2006. P. 72
343
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
membawahi tempat kedudukan pemohon38. Terhadap mekanisme PHUM di MA
tersebut timbul pertanyaan jika Pendaftaran Hak Uji Materiil di MA dilakukan
melalui Direktur Pranata dan Tata Laksana TUN, dan diregister melalui Panitera
Muda TUN, apalagi penetapan Majelis yang mengadili PHUM dilakukan oleh
Ketua Kamar Peradilan TUN atas nama Ketua MA yang menetapkan Majelis
Hakim yang memeriksa dan memutus PHUM (vide Pasal 3 ayat (6) Perma No. 1
Tahun 2011), maka dapat disimpulkan bahwa penanganan dan penyelesaian
sengketa PHUM berada di kamar tata usaha negara. Atas dasar tersebut, Penulis
berpendapat bahwa ke depan perlu dipertimbangkan alternatif perubahan
mekanisme pengajuan PHUM dari PN sesuai domisili pemohon agar dapat
langsung diajukan dari PTUN sesuai domisili Pemohon PHUM selain langsung
diajukan ke MA.39
Sistem Pengujian Materiil Norma Hukum di Indonesia
Pengujian
UU Terhadap UUD
Negara RI 1945
Lembaga
Penguji
MK
Peraturan
Perundan-undangan
di bawah UU
terhadap UU
MA
Keputusan
Tata
Usaha
Negara
terhadap peraturan
PTUN
38
39
344
Landasan Yuridis
MK Berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk :
a. Menguji UU terhadap UUD
Negara RI tahun 1945 (Pasal 10
Ayat 1 UU No. 24 Tahun 2003)
MA
mempunyai
wewenang
menguji peraturan perundangundangan di bawah UU terhadap
UU (Pasal 31 UU. No. 5 Tahun
2004)
Pengadilan
bertugas
dan
berwenang memeriksa, memutus
dan menyelesaikan sengketa Tata
Bandingkan dengan ketentuan pasal 31 A Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yang menyebutkan bahwa
Permohonan Pengujian Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-undang
diajukan lansung oleh Pemohon atau Kuasanya Kepada Mahkamah Agung.
Bandingkan juga dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) huruf c dan ayat (3) UU No. 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : ―Mahkamah Agung
berwenang: a)…b)…c) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang‖ dan ―Putusan mengenai tidak sahnya peraturan
perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi
maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung‖.
Bandingkan dengan ketentuan berikut : ―Badan Peradilan tingkat pertama dan
tingkat banding yang menerima gugatan mengenai Hak Uji Materiil dalam perkara
perdata, pidana atau Tata Usaha Negara memeriksa dan memutus perkara tersebut
sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku bagi perkara-perkara masingmasing‖. (Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1
Tahun 1993 Tentang Hak Uji Materiil).
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
perundangundangan.
Usaha Negara (Pasal 47 jo. Pasal
53 UU. No. 5 Tahun 1986 jis UU.
No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51
Tahun 2009)
Sumber : W. Riawan Tjandra, Teori dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, Univ. Atma Jaya
Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hal. 9
Dapat disimpulkan bahwa karakter persoalan PHUM menyangkut masalah
hukum publik (dalam hal ini hukum tata negara dan hukum administrasi) sehingga
memang penanganannya dilakukan oleh Kamar Tata Usaha Negara. Hal ini
diperkuat dengan praktek peradilan administrasi di negara-negara lain yang pada
umumnya memberikan kewenangan kepada peradilan administrasi untuk menguji
keputusan/peraturan yang bersifat mengikat secara umum (general binding
rules)—termasuk halnya peraturan kebijakan sepanjang menimbulkan akibat
hukum, namun tidak termasuk pengujian undang-undang40, maka dalam konteks
tersebut dapat dipahami pendapat Prof. Paulus Effendie Lotulung yang pernah
menyatakan bahwa kewenangan Peradilan TUN di Indonesia meliputi kewenangan
Pengadilan TUN mulai dari tingkat pertama, banding, kasasi termasuk dalam
bidang pengujian hak uji materil : ―State Administration courts has the jurisdiction
to resolve state administration disputes at first instances, state administration high
courts for second instances and the supreme court for cassation and judicial
reviews‖.41
40
41
Hon. Brian Tamberlin, Deputy President, Australian Administrative Appeals Tribunal,
General Report 10th Congress of the IASAJ, Sydney and Canberra, 2010. The
International Association of Supreme Administrative Jurisdiction (IASAJ) adalah
asosiasi badan-badan peradilan administrasi tertinggi dari berbagai belahan dunia.
Setiap tiga tahun sekali asosiasi ini melakukan pertemuan guna saling meningkatkan
kerjasama di bidang peradilan administrasi. Beranggotakan 27 Negara, dengan
perwakilan institusi dari Supreme administrative Court (Finland, Poland, Portugal,
Austria, Sweden, Thailand), Mahkamah Agung ‗Supreme Court‘ (Hungary,
Indonesia, Senegal, Slovenia, Spain, Mali, Cyprus, Israel, Ivory Coast), Council of
State ‗Dewan Negara‘ (Belgium, Colombia, Egypt, Turkey, France, Greece,
Netherlands, Italy, Lebanon), Administrative Court (Luxembourg), Federal Court
Administrative Appeals Tribunal (Australia). Di luar negara-negara tersebut masih
terdapat beberapa negara lain yang belum tergabung dalam organisasi tersebut seperti
Denmark, Ireland dan terutama Amerika Serikat (Supreme Court), German (Federal
Administrative Court), Great Britain (Royal Courts of Justice), Lithuania dan Czech
Republic (Supreme administrative Court) dan lain sebagainya, namun sebagian besar
dari negara-negara yang belum tergabung tersebut adakalanya menjadi peninjau atau
utusan dalam pertemuan rutin asosiasi. (Diolah dari berbagai sumber).
Lotulung, Paulus E. State Administration Courts In Indonesia’s Judiciary System, 10th
Congress International Association of Supreme Administrative Jurisdictions, Sydney,
Australia, Sunday 7-Thursday 11 March, 2010. P. 1. Dalam satu seminar, Imam
Soebechi, Hakim Agung pernah menyampaikan kewenangan pengujian Perda oleh
Mahkamah Agung akan diturunkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),
sehingga kelak pengujian Perda akan dilakukan di daerah-daerah yang memiliki
(PTUN). Namun ide dari Mahkamah Agung ini berkonsekuensi terhadap peninjauan
ulang konsep regeling dan beschikking, karena selama ini PTUN hanya
menyelesaikan sengketa dalam rumpun keputusan tata usaha negara (beschikking),
345
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Pandangan Prof. Paulus Effendie Lotulung tersebut menjadi menarik untuk
dibandingkan dengan pandangan akhir pemerintah menyangkut kompetensi
Peradilan TUN dalam risalah pembahasan RUU Peradilan TUN tertanggal 20
Desember 1986, dimana Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, menyampaikan
pandangan pemerintah sbb :
―Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum bertujuan mewujudkan tata
kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib. Dalam usaha
untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah sebagai salah satu organ negara
diberi tugas untuk mengurus berbagai segi kehidupan dalam masyarakat.
Untuk itu, Pemerintah diberi wewenang untuk melakukan perbuatan tata usaha
negara yang dapat dikelompokan dalam 3 macam perbuatan, yaitu :
1) Mengeluarkan keputusan (beschikking)
2) Mengeluarkan peraturan (regeling)
3) Mengeluarkan perbuatan materil (materiele daad)
Dari ketiga macam perbuatan tersebut, yang menjadi kompetensi Peradilan Tata
Usaha Negara hanyalah terbatas mengenai perbuatan yang pertama, artinya
keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Tata Usaha Negara dapat dinilai
Peradilan Tata Usaha Negara‖42.
Selanjutnya, Ismail Saleh, sebagaimana halnya sosok Paulus Effendie
Lotulung, yang merupakan tokoh penting dan sentral mewakili pemerintah dalam
keseluruhan proses penyusunan dan pembahasan RUU Peratun selama dibahas di
DPR sejak bulan Mei 1986 sampai disahkannya RUU tersebut pada penghujung
bulan Desember 1986, menambahkan bahwa pada dasarnya semua perbuatan
Badan TUN dapat dinilai oleh Pengadilan : perbuatan materil dinilai oleh Peradilan
Umum sedangkan perbuatan pemerintah mengeluarkan peraturan dinilai oleh
Mahkamah Agung (vide UU. No. 14 Tahun 1970 dan UU. No. 14 Tahun 1985).43
Pengawasan terhadap perbuatan pemerintah mengeluarkan peraturan oleh
kekuasaan kehakiman tidak berjalan sebagaimana diharapkan pada zaman Orde
Baru. Yahya Harahap44 menyatakan penerapan hak uji materil (sebelum era
reformasi) hanya dapat dipergunakan pada saat menyelesaikan perkara dalam
tingkat kasasi. Selama suatu peraturan perundang-undangan tidak tersangkut dalam
suatu sengketa, MA tidak bisa berbuat apa-apa. Menurut Yahya Harahap
kekuasaan hak uji materil MA pasif dan membisu meskipun suatu peraturan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Bahkan
42
43
44
346
bukan sengketa peraturan (regeling). Disamping dua gagasan itu, dalam rencana
perubahan UU Mahakamah Konstitusi juga dicoba diraba-raba agar kelak Mahkamah
Konstitusi tidak hanya menguji konstitusionalitas undangundang, tetapi juga dapat
menguji semua peraturan perundang-undangan, termasuk Perda. Selengkapnya lihat
Yance Arizona, Disparitas Pengujian Peraturan Daerah : Suatu Tinjauan Normatif
www.legalitas.org, Diakses 12 Desember 2007.
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proses
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Jakarta, 1996. Hal. 1610-1611
Ibid.
Harahap, M. Yahya. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997. Hal. 62.
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
kekuasaan itu tidak berperan, meskipun telah timbul sengketa apabila proses
perkaranya tidak sampai kasasi.
Namun Purwoto S. Gandasubrata45 mengakui bahwa pelaksanaan hak uji
materil oleh MA melalui prosedur kasasi adalah sangat sulit untuk dilaksanakan,
kecuali apabila dalam prosedur pemeriksaan kasasi diadakan ketentuan tambahan
agar MA dalam tingkat kasasi dapat masuk untuk memeriksa dan memutus
tuntutan tentang hak uji materil. Hal mana menurut Mantan Ketua MA tersebut
prosedur semacam itu agak menyimpang dan diluar kelaziman, mengingat
pemeriksaan kasasi dimaksud hanya untuk meninjau putusan yang terhadapnya
dimohonkan kasasi, perkara yang sudah dimulai sejak tingkat pertama dan banding.
2.
Nomenklatur Hak Uji Materil
Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal ada dua macam
hak menguji, yaitu :
a) Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif
seperti undang-undang, dalam proses pembuatannya melalui cara-cara
sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau tidak.46 Pengujian formal terkait dengan masalah prosedural
dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.
b) Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan menilai
isi apakah suatu peraturan perundang-undangan itu sesuai atau bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan
tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
Pengujian material berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu
peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut
kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan
norma-norma yang berlaku umum.47
45
46
47
Gandasubrata, H.R. Purwoto S. Renungan Hukum, Diterbitkan Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI) Cabang Mahkamah Agung RI, untuk kalangan sendiri, Jakarta,
Maret 1998. Hal. 132-133.
Pasal 31 UU No. 03/09 Tentang Perubahan Kedua Atas UU 04/85 Tentang
Mahkamah Agung :
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undangundang.
(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di
bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan
yang berlaku.
(3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan
pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada
Mahkamah Agung.
Jadi selain bertentangan dengan peraturan per-UU-an yg berlaku juga
pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan yg berlaku. Istilah
―pembentukan‖ ini bukankah mengacu kepada proses pembuatan per-UU-an itu
sendiri? Dengan kata lain bagian ini bermakna formalitas sebuah per-UU-an yg
seharusnya diuji secara formil, bukan materil
Suripto, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekretariat Negara Republik
347
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Lebih lanjut Suripto menyatakan hak menguji secara materil terhadap
undang-undang merupakan suatu kewenangan yang diberikan kepada badan
peradilan untuk menguji apakah suatu peraturan tidak bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi48. Kewenangan ini diberikan kepada Mahkamah Agung
agar peraturan yang dibuat oleh lembaga legislatif dan eksekutif dapat diuji apakah
sesuai atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi. Kewenangan Mahkamah
Agung dalam hak menguji materil terhadap peraturan perundang-undangan dibatasi
hanya terhadap peraturan-peraturan di bawah undang-undang.49 Sedangkan
menurut Harun Al Rasid, hak menguji formal ialah mengenai prosedur pembuatan
UU dan hak menguji material ialah mengenai kewenangan pembuat UU dan
apakah isinya tidak bertentangan dengan yang lebih tinggi.50
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa konsekuensi dari
pengujian secara formal adalah keseluruhan isi UU menjadi tidak memiliki
kekuatan mengikat secara hukum, sedangkan uji materil hanya beberapa ketentuan
sepeti pasal, ayat atau huruf51. Menurut Jimly Asshidiqqie pengertian yang dapat
dikembangakan dalam rangka pemahaman terhadap konsepsi pengujian formil itu
bersifat kompleks. Secara umum, kriteria yang dapat dipakai untuk menilai
konstitusionalitas suatu UU dari segi formalnya (formele toetsing) adalah sejauh
mana UU itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appopriate form), oleh intitusi
yang tepat (appropriate institution), dan menurut prosedur yang tepat (appropriate
procedur)52. Jika dijabarkan dari ketiga kriteria ini, pengujian formil ini dapat
mencakup :
a) Pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan UU, baik
dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan
suatu UU menjadi UU
b) Pengujian atas bentuk, format, atau struktur UU
c) Pengujian yang berkenaan dengan keberwenangaan lembaga yang mengambil
keputusan dalam proses pembentukan UU; dan Pengujian atas hal-hal lain
yang tidak termasuk pengujian materil
Selanjutnya, dalam pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi No.
48
49
50
51
52
348
Indonesia, Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang (Judicial
Review), Kamis, 21 Juni 2007, http://www.setneg.go.id/index.php.
Bandingkan dengan ketentuan Pasal 9 ayat 2 UU Kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi : ―Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah UndangUndang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh
Mahkamah Agung‖.
Ibid.
Fatmawati. Hak Menguji (Toetsingrecht) yang dimiliki Hakim dalam sistem Hukum
Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005. Hal.94
Akan tetapi dalam kasus pengujian UU. No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan,
kendati hanya 3 pasal saja yang bertentangan dengan konstitusi, akan tetapi MK
menyatakan keseluruhan isi UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat. MK berpendapat bahwa norma-norma hukum yang terkandung dalam
ketiga pasal tersebut bersifat norma inti yang mempengaruhi keseluruhan isi UU
tersebut.
Asshidiqqie, Jimly. Perihal Undang-Undang, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
MK RI, Jakarta, 2006. Hal. 63-64.
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
06/PMK/2005 : ―pengujian formil adalah pengujian undang-undang yang
berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal yang tidak
termasuk pengujian materil‖.
Dalam Perma No. 1/2011 disebutkan bahwa Hak Uji Materil adalah hak
Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan Peraturan Perundang-Undangan di
bawah Undang-Undang terhadap Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih
tinggi53. Perma mengatur tersebut tidak menjelaskan apakah dalam pengujian hak
uji materil di MA hanya mencakup pengujian secara materil atau meliputi
pengujian secara materil dan formil dari suatu ketentuan peraturan perundangundangan. Kendati demikian dalam praktek, seperti dalam kasus pengujian perda
sarang burung walet di Kab. Berau, Kalimantan Timur aspek pengujian peraturan
tersebut meliputi formil dan materil54.
Dalam kaitannya dengan pengujian formil (formele toestsing) atau
procedural review dan pengujian materil atau substantive review (materiele
toetsing), membawa konsekuensi terhadap jenis pembatalan suatu norma dan daya
berlakunya suatu pembatalan. Dalam hal permohonan HUM beralasan karena
peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan perundang-undangan lebih tinggi, MA dalam putusannya menyatakan
bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut
sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada
instansi yang bersangkutan segera pencabutannya (Pasal 6 ayat (2) Perma No.
1/2011)55. Bukankah istilah ―Tidak sah‖ mengacu kepada makna retroaktif,
sedangkan batal mengacu konsep prospektif?, atau dengan kata lain jika ―tidak
sah‖ berarti dianggap tidak pernah ada Peratuan perundang-undangan itu (ex tunc).
Sehubungan dengan hal tersebut, Bagir Manan menggunakan istilah ―batal‖ dalam
konteks putusan yang ―prospektif‖ atau bersifat ex nunc atau pro future yaitu
putusan yang berlaku ke depan. Dijelaskan : ―peraturan perundang-undangan atau
perbuatan administrasi Negara dipandang sebagai suatu yang sah sampai saat
diinyatakan batal (dibatalkan). Istilah ―tidak sah‖ digunakan dalam konteks
putusan ―retroaktif‖ atau bersifat ―ex tunc‖; dengan kata lain putusan semacam ini
menganggap peraturan perundang-undangan atau perbuatan administasi tidak
pernah ada. Putusan ini bersifat deklaratur, bukan konstitutif. 56
53
54
55
56
Pasal 1 ayat (1)
Soebechi, Imam. Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Sinar Grafika,
Jakarta, 2012.
Padahal di ketentuan sebelumnya sudah tidak ditemukan lagi redaksi : ―Mahkamah
Agung menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di bawah undang-undang
atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku‖ dan : ―Putusan
mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi
maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung‖ (Ayat (1) dan
(2) pasal 31 UU. No. 5/2004).
Fachruddin, Irfan. Pengawasan Peradilan Administrasi
terhadap tindakan
Pemerintah, Bandung, PT. Alumni, 2004. Hal. 242
349
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Sejalan dengan hal tersebut, menjadi penting juga untuk dicermati apakah
dalam mengadili PHUM hanya menggunakan peraturan-perundang-undangan
sebagai batu uji (toetsingronden) ? Atau dapat juga meliputi asas-asas hukum
seperti AAUPB sebagaimana dalam pengujian suatu KTUN ?57 Dalam putusan
PHUM No. 08P/HUM/2001 tertanggal 31 Juli 2001, MA menyatakan tidak sah dan
tidak berlaku untuk umum Keppres No. 77 Tahun 2001 dengan alasan Keppres
tersebut bertentangan dengan asas kepastian hukum karena Keppres tersebut
ditetapkan dengan berlaku surut, disamping adanya pelanggaran terhadap asas-asas
umum pemerintahan yang baik dalam keppres lain yang terkait dalam objek
permohonan hak uji materil tersebut. Putusan ini menjadi penting karena suatu
keputusan yang didasarkan oleh diskresi dan kemudian dituangkan dalam bentuk
keputusan yang bersifat mengatur (regelend) pada akhirnya dinyatakan tidak sah
oleh MA, sebagaimana dikutip berikut ini :
―Bahwa kewenangan untuk menerbitkan dan menentukan perubahan atas suatu
Keputusan Presiden yang telah dikeluarkan sebelumnya adalah memang
merupakan kewenangan Presiden atas dasar diskresi yang dimilikinya selaku
pucuk pimpinan pemerintahan. Bahwa akan tetapi pelaksanaan atau
penggunaan diskresi ini oleh Presiden, tidaklah berarti sebebas-bebasnya
tanpa batas, sebab pelaksanaan kewenangan ini tetap akan dapat dinilai dan
diuji oleh Hakim manakala mengandung penyalahgunaan wewenang atau
tindakan yang bersifat sewenang-wenang, atau melanggar asas-asas umum
penyelenggaraan administrasi negara yang baik‖.
Sebagai perbandingan, menurut A.W. Bradley dan K.D. Ewing terdapat
beberapa alasan substantive yang biasa dipakai untuk melakukan pengujian atau
judicial review atas norma umum peraturan (regeling) dan norma kongkrit
(beschikking) yaitu:
1. The ulra vires rule (excess of power)
2. Abuse of discretionary power berupa:
a. Irrelevant considerations
b. Improper purposes
c. Error of Law
d. Unauthorised delegation
e. Discretion may not be fettered
f. Breach of a local authority’s financial duties
g. Unreasonableness (irrationality)
h. Proportionality
1. Failure to perform a statutory duty
3. The concept of jurisdictions
4. Mistake of fact
57
350
Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) UU. No.
48/2009). Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga
memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 50 ayat (1)
UU No. 48/2009).
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
5. Acting incompatibly with convention rights58
Ilegalitas, beberapa prinsip yang biasa digunakan secara sendiri-sendiri
atau secara bersama-sama sebagai dalil yaitu antara lain:
a. An authority must not exceed its jurisdiction by pupporting to exercise powers
which it does not process
b. An authority must direct itself properly on the law
c. An authority must not use its power for an improper purpose
d. An authority must take into account all relevant considerations and disregard
all irrelevant considerations
e. An authority to which the exercise of a discretions has been entrusted cannot
delegate to exercise of its discretions to another unless clearly authorized to do
so
f. An authority must not fetter its discretions
g. An authority acts unlawfully if it fails to fulfill a statutory duty
h. An authority must not excessively interfere with fundamental rights59
3. Penyelesaian PHUM
Dalam pasal 53 Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi60 disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada
Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian Undang-Undang dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku
Register Perkara Konstitusi, sedangkan dalam pasal 55 nya menyebutkan bahwa :
Pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang sedang
dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang
menjadi dasar pengujian perauran tersebut sedang dalam proses pengujian
Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Terhadap hal ini
timbul permasalahan yakni karena proses penyelesaian PHUM dipengaruhi proses
penyelesaian pengujian konstitusionalitas suatu UU di MK, sepanjang terdapat
keterkaitan antara norma yang diuji di MK dan di MA, sehingga dalam beberapa
situasi akan sulit menentukan batas waktu pengujian peraturan perundangundangan.
Dari keadaan ini dapat diajukan lain : bagaimana pengaruh suatu peraturan
perundang-undangan yang sedang diujimaterikan di MA maupun di MK dengan
keputusan TUN yang sedang digugat di PTUN dimana peraturan perundangundangan tersebut menjadi rujukan KTUN yang sedang digugat ?
a. Eksekutabilitas Putusan Hak Uji Materil MA.
Problematika dalam pelaksanaan putusan Peratun dalam hal kepatuhan
Badan/Pejabat TUN untuk melaksanakan putusan Peratun, menurut hemat penulis
sangat berpotensial terjadi dalam pelaksanaan putusan hak uji materil. Pembatalan
58
59
60
Ibid. Hal 149-150
Asshidiqqie, Jimly. Ibid. hal 156 dan Allen, Ibid hal 576.
Ketentuan Pasal 53 ini tidak mengalami perubahan dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi.
351
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
norma hukum oleh badan peradilan di Indonesia menghadapi tantangan yang serius
yakni berupa ancaman ketidakpatuhan lembaga yang terkait untuk melaksanakan
putusan pengadilan. Beberapa kali putusan MK tidak dipatuhi terkait pembatalan
suatu norma seperti dalam kasus kewajiban pemerintah dan DPR untuk
mengalokasikan 20% Dana Pendidikan dalam APBN sebagaimana amanat
konstitusi. Dalam konteks itu, terlihat ketidaktegasan politik hukum negara dalam
hal mendorong kepatuhan lembaga negara/organ publik negara untuk
melaksanakan putusan Peratun. Sebagai contoh pasal 54 UU. No. 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman yang secara khusus hanya mengatur tentang
pelaksanaan putusan pengadilan hanya menegaskan pelaksanaan putusan dalam
bidang pidana dan perdata, yang selengkapnya berbunyi sbb :
1) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.
2) Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh
panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.
3) Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan
dan keadilan
Ketidaktegasan tersebut juga diikuti perbedaan kedudukan pengaturan
suatu norma yang dibentuk untuk menindaklanjuti isi putusan MK dan MA dalam
sistem pengujian norma dikaitkan dengan proses pembentukan suatu peraturan
perundang-undangan. Dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 disebutkan :
Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden. Sedangkan dalam pasal 28 UU. No.
12 Tahun 2011 (hanya) disebutkan :
(1) Dalam keadaan tertentu, kementerian atau lembaga pemerintah
nonkementerian dapat mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah di luar
perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah.
(2) Rancangan Peraturan Pemerintah dalam keadaan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan kebutuhan Undang-Undang atau
putusan Mahkamah Agung.
Frasa ―dalam keadaan tertentu‖, sebagaimana termuat dalam ketentuan di
atas menyiratkan ketidaktegasan dan kepastian hukum, sehingga menimbulkan
tafsir seakan-akan pembuatan peraturan pemerintah untuk menindaklanjuti putusan
HUM MA dapat bersifat fakultatif, tidak imperatif. Seyogianya ketentuan tersebut
dibuat secara tegas sebagaimana isi pasal 28 UU. No. 12 Tahun 2011 atau
ketentuan Pasal 38 angka (1) huruf a UU. No. 28 Tahun 2011 yang berbunyi :
―Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftarkumulatif terbuka yang terdiri atas:
a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan b. Dst…‖
b. Pengujian Dua Kali Peraturan Perundang-Undangan
Sangat dimungkinkan setelah judicial review kepala daerah terhadap
pembatalan perda oleh pemerintah, terdapat kelompok lain yang mengajukan
judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang sebelumnya diujikan
oleh kepala daerah tersebut. Kendati peluang ini kecil tetapi bukan tidak pernah
terjadi sebagaimana dalam kasus pengujian perda sarang burung Walet Kab. Berau,
352
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
Kalimantan Timur.61 Namun peluang terulangnya kasus serupa sangat kecil karena
Perma Nomor 01 Tahun 2011 tidak berlaku surut. Oleh karenanya pengajuan HUM
terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang diterbitkan
dan pernah diajukan sebelum dikeluarkan Perma tersebut, berlaku ketentuan Perma
sebelumnya yaitu Perma Nomor 1 Tahun 2004. Sedangkan peraturan perundangundangan dibawah undang-undang yang diterbitkan sebelum dikeluarkan Perma
tersebut dan belum pernah diajukan HUM diberlakukan Perma Nomor 1 Tahun
201162.
C. Penutup
Kontrol normatif yang dilaksanakan oleh lembaga yang berwibawa akan
berdampak selain konsistensi dan harmonisasi normatif secara vertikal, juga
meningkatnya ketaatan penyelengara negara dan warga negara untuk tunduk dan
taat kepada norma hukum, tetapi tetap menjamin kebebasan setiap individu dan
kelompok untuk mengekspresikan berbagai keinginan dan kebutuhannya dalam
wadah negara hukum yang demokratis. Pengujian peraturan perundang-undangan
dalam ketatanegaran Indonesia diperkenalkan sejak tahun 1970 melalui UU. No. 14
Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan selanjutnya secara
tegas diatur dalam UUD Negara RI Tahun 1945 pada perubahan ketiga, merupakan
suatu proses untuk menyelesaikan konflik normatif melalui mekanisme hukum.
Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan kontrol normatif secara
vertikal terhadap produk hukum atau peraturan perundang-undangan yang
dilahirkan agar tetap terjadi konsistensi dan harmonisasi normatif secara vertikal.
Dari segi kuantitas jumlah peraturan perundang-undangan senantiasa jauh lebih
besar dari undang-undang, mengikuti bentuk piramida hierarki norma Hans Kelsen,
semakin ke bawah jenis peraturan semakin besar jumlah peraturan yang
dikeluarkan untuk menindaklanjuti atau dibuat untuk mengatur atau menata tata
kehidupan bernegara dan berbangsa. Dalam kondisi demikian, peranan MA untuk
mengawal negara hukum yang demokratis dengan memastikan harmonisasi
peraturan perundang-undangan secara vertikal menjadi sangat signifikan dan
penting, melengkapi peran dan fungsi MK sebagai court of law yang mengawal
konsistensi norma-norma hukum di tingkat undang-undang terhadap konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA
Asshidiqqie, Jimly. Perihal Undang-Undang, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid I, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2006.
61
62
Soebechi, Imam. Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Sinar Grafika,
Jakarta, 2012.
Jawaban Pokja TIM C. Dalam Pembahasan SEMA No. 7 Tahun 2012.
353
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Allen, Michael and Thompson, Brian. Cases And Materials On Constitutional And
Administrative Law, 7th edition (London : Oxford University Press, 2003).
Erliyana, Anna. Keputusan Presiden : Analisis Keppres R.I. 1987—1998, Program
Pascarsarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2005
Fatmawati. Hak Menguji (Toetsingrecht) yang dimiliki Hakim dalam sistem Hukum
Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005.
Fachruddin, Irfan. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap tindakan
Pemerintah, Bandung, PT. Alumni, 2004.
Hoessein, Zainal Arifin. Judicial Review di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta, Rajagrafindo
Persada, 2009
Harman, Benny K. Mempertimbangkan Mahkamah Konstitusi, Sejarah Pemikiran
Pengujian UU Terhadap UUD. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta,
2013.
Harahap, M. Yahya. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997. Hal. 62.
Gandasubrata, H.R. Purwoto S. Renungan Hukum, Diterbitkan Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI) Cabang Mahkamah Agung RI, untuk kalangan sendiri,
Jakarta, Maret 1998.
Hon. Brian Tamberlin, Deputy President, Australian Administrative Appeals
Tribunal, General Report 10th Congress of the IASAJ, Sydney and
Canberra, 2010.
Junus, Anwar. Penuntun Praktis Perkara Perumahan di Jakarta. Penerbit dan
Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1979
Laoh, Arnold. The Availability of International Judicial Review of Government
Breaches of Human Rights, Thesis : Thesis submitted for award of the
degree of Doctor of Philosophy (PhD) at Murdoch University, Perth,
Western Australia, July 2006.
Lotulung, Paulus Effendi dkk, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Wewenang
Mahkamah Agung Dalam Melaksanakan Hak Uji Materil (Judicial
Review), Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan
Perundang-Undangan RI, 2001. Jakarta
Lotulung, Paulus E. State Administration Courts In Indonesia’s Judiciary System,
10th Congress International Association of Supreme Administrative
Jurisdictions, Sydney, Australia, Sunday 7-Thursday 11 March, 2010.
Prodjodikoro, Wirjono. Bunga Rampai Hukum, Karangan Tersebar, Ichtiar Baru,
Jakarta, 1974. Hlm. 195.
Panggabean, Henry Pandapotan. Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Seharihari, Upaya Penanggulangan tunggakan perkara dan pemberdayaan
fungsi pengawasan Mahkamah Agung, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
2001.
Panggabean, Henry Pandapotan. Fungsi Mahkamah Agung Bersifat Pengaturan
(Rule Making Power) Tahun 1966-2003. Liberty, Yogjakarta, 2005. Hal.
90-91
354
Kewenangan Hak Uji Materil Pada Mahkamah Agung RI
Soemantri M., Sri. Hak Uji Material di Indonesia, Edisi Kedua 1997, Alumni,
Bandung, 1997
Soeroso, Fajar Laksono. Memaknai Kecenderungan Penyelesaian Konflik Batas
Wilayah Ke Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 3,
September 2012
Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan I, Kanisius,
Yogyakarta, 2007.
Slapper, Gary & Kelly, David. The English Legal System, Sixth edition, Cavendish
Publishing Limited, The Glass House, 2003
Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Proses
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta, 1996. Hal. 1610-1611
Suripto, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekretariat Negara Republik
Indonesia, Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang
(Judicial Review), Kamis, 21 Juni 2007, http://www.setneg.go.id/
index.php.
Soebechi, Imam. Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Sinar
Grafika, Jakarta, 2012.
Yance Arizona, Disparitas Pengujian Peraturan Daerah : Suatu Tinjauan
Normatif www.legalitas.org, Diakses 12 Desember 2007.
―Banyak Pengebirian UU oleh Peraturan dibawahnya‖, Kompas, 8 Juli 1992.
355
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
356
ISSN : 2303-3274
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA PERLINDUNGAN ANAK DALAM
PEMBARUAN SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA
Candra Hayatul Iman
Dekan Fakults Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang
Abstrak
Kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang dapat meresahkan
masyarakat, namun hal tersebut diakui sebagai suatu gejala umum yang harus
diterima sebagai fakta sosial. Anak berdasarkan perkembangan fisik, mental
maupun sosial mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan orang
dewasa, sehingga anak yang melakukan kenakalan perlu ditangani secara khusus.
Oleh karena itu, perlakuan terhadap anak nakal seyogianya berbeda dengan
perlakuan terhadap orang dewasa. Perlindungan Anak pada kenyataannya masih
banyak yang belum mengakomodir prinsip-prinsip instrument internasional. Pada
pengadilan anak masih ditemukan pelanggaran hak anak dalam pelaksanaan
penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Hasil penelitian menunjukan
bahwa Kebijakan formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan
hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia diatur dalam Undangundang No. 3 Tahun l997 tentang Pengadilan Anak belum mengakomodasi prinsip
the best interest of the child dalam sistem peradilan pidana anak, sehingga secara
normatif dalam tataran formulasi belum mencerminkan ide dasar perlindungan
terhadap anak. Dengan demikian, secara normatif dalam tataran formulasi belum
mencerminkan ide dasar perlindungan hukum terhadap anak. Kajian formulasi
terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem
peradilan pidana anak menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 telah
mengakomodasi prinsip the best interest of the child dengan adanya diversi.
Namun belum ditemukan prinsip ketersediaan bantuan hukum dalam konteks
diversi dan prinsip adanya kontrol terhadap kewenangan diversi. Kajian formulasi
terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem
peradilan pidana anak menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 telah
mengakomodasi prinsip the best interest of the child antara lain dengan menitik
beratkan penanganan anak yang bermasalah dengan hukum melalui tindakan
diversi dengan mengedepankan pendekatan restorative justice. Kebijakan aplikasi
terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum dalam sistem
peradilan pidana anak menyangkut masalah substansial, struktural dan kultural.
Paradigma sistem peradilan yang retributif masih menjadi ide dalam Undangundang Nomor 3 tahun 1997.
Kata Kunci:
Kebijakan Hukum Pidana; perlindungan anak, Pembaruan, sistem
peradilan pidana anak.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Abstract
Juvenile Delinquency is an anti-social behavior can be disturbing public society,
but it is recognized as a common phenomenon that must be accepted as a social
fact. Children based on their physical, mental and social have a weak position
compared with adults, so that children who committed needs to be special
treatment. Therefore, the treatment of juvenile delinquents should be different with
the treatment of adults. Child Protection in fact there are still many who have not
accommodate the principles of international instruments. In the juvenile court still
found violations of children's rights in the implementation of the handling of
children in conflict with the law. Research it can be concluded that the formulation
of policies for the protection of children in conflict with the law in the juvenile
justice system in Indonesia is regulated in Law No. 3 Year l997 on Juvenile Court
has not accommodated the principle of the best interest of the child in the juvenile
justice system, so it is normative in the formulation did not reflect the level of the
basic idea of the protection of children. Thus, the level of normative formulation
does not reflect the basic idea of the child protection law. Formulation studies to
the protection of children in conflict with the law in the juvenile justice system in
accordance with Law No. 11 Year 2012 has been to accommodate the principle of
the best interest of the child with the diversion. Yet undiscovered principles of
availability of legal aid in the context of the principle of diversion and diversion
control authority. Formulation studies to the protection of children in conflict with
the law in the juvenile justice system in accordance with Law No. 11 Year 2012 has
been to accommodate the principle of the best interest of the child, among others,
by focusing on the handling of children in conflict with the law through diversion
measures to promote restorative justice approach. Application policy to the
protection of children in conflict with the law in the juvenile justice system involves
substantial problems, structural and cultural. Paradigm of retributive justice
system is still an idea in Act No. 3 of 1997.
Keywords: Criminal Law Policy; child protection, juvenile justice system reform.
A. Pendahuluan
Anak merupakan subyek hukum dan aset bangsa, sebagai bagian dari
generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai generasi penerus suatu
bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu
bangsa. Peran strategis ini telah disadari oleh masyarakat Internasional untuk
melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai
makhluk manusia yang harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang
dimilikinya.63 Oleh karena itu, setiap anak harus mendapatkan pembinaan dan
perlindungan dari sejak dini, anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya
untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun
sosial. Terlebih lagi bahwa masa kanak-kanak merupakan periode penaburan
63
358
Ruben Achmad, Upaya Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum
di Kota Palembang, dalam Jurnal Simbur Cahaya Nomor 27 Tahun X, Januari, 2005,
hlm. 24.
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
benih, pendirian tiang pancang, pembuatan pondasi, yang dapat disebut juga
sebagai periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang
manusia, agar mereka kelak memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar
dalam meniti kehidupan.64 Selain itu, karena anak baik secara rohani maupun sosial
belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, maka menjadi kewajiban
generasi yang terdahulu untuk menjamin, memelihara dan mengamankan anak65,
bahkan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Right of The Child) Resolusi
PBB Nomor 40/25 tanggal 20 November Tahun 1989 secara tegas menyatakan
jaminan-jaminan hukum yang harus diberikan oleh negara-negara peserta terhadap
anak pelaku tindak pidana.
Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak (politik
kriminal anak) saat ini melalui penyelenggaraan sistem peradilan anak (Juvenile
Justice). Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan anak (Juvenile Justice) tidak
semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak yang telah
melakukan tindak pidana (kenakalan anak), tetapi lebih difokuskan pada dasar
pemikiran bahwa penjatuhan sanksi tersebut sebagai sarana mendukung
mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana. Kepastian hukum perlu
diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah
penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam
pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.66 Untuk itu, kegiatan perlindungan anak
setidaknya memiliki dua aspek. Aspek pertama berkaitan dengan kebijakan dan
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan anak.
Aspek kedua, menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan
tersebut.67 Sehingga dapat di identifikasi masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kebijakan formulasi terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum dalam pembaruan sistem peradilan pidana anak di Indonesia?
2. Bagaimanakah kebijakan aplikasi Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam
sistem peradilan pidana anak di Indonesia?
B.
Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Terhadap Anak Yang Berhadapan
Dengan Hukum
1.
Peradilan Pidana Anak Dalam Negara Hukum
Peradilan adalah tiang teras dan landasan negara hukum. Peraturan hukum
yang diciptakan memberikan faedah apabila ada peradilan yang berdiri kokoh/ kuat
dan bebas dari pengaruh apapun, yang dapat memberikan isi dan kekuatan kepada
kaidah-kaidah hukum yang diletakkan dalam undang-undang dan peraturan hukum
lainnya. Peradilan juga merupakan instansi yang merupakan tempat setiap orang
64
65
66
67
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama,2008, hlm. 1.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993, hlm.
222.
Zulmansyah Sekedang dan Arief Rahman, Selamatkan Anak-anak Riau, KPAID Riau,
Pekanbaru, 2008, hlm. 121.
359
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
mencari keadilan dan menyelesaikan persoalan-persoalan tentang hakdan
kewajibannya menurut hukum.68
Tempat dan kedudukan peradilan dalam negara hukum dan masyarakat
demokrasi, masih tetap diandaikan:
1. Sebagai ―katup
2. penekan‖ atau ―pressure valve‖ atas segala pelanggaran hukum, ketertiban
masyarakat dan pelanggaran ketertiban umum;
3. Peradilan masih tetap diharapkan berperan sebagai ―the last resort‖ yakni
sebagai tempat terakhir mencapai kebenaran dan keadilan, sehingga pengadilan
masih diandalkan sebagai badan yang berfungsi menegakkan kebenaran dan
keadilan (to enforce the truth and justice).69
―Landasan tindakan penegak hukum dalam Sistem Peradilan Pidana adalah :
l. Pendekatan yang manusiawi, yaitu menegakkan hukum dengan cara yang
manusiawi yang menjunjung tinggi human dignity. Hal ini mewajibkan para
penegak hukum melakukan pemeriksaan dengan cara penditeksian yang ilmiah
atau dengan metoda ―scientific crime detection‖, yakni cara pemeriksaan
tindak pidana berlandaskan kematangan ilmiah. Menjauhkan diri dari cara
pemeriksaan konpensional dalam bentuk tangkap dulu, dan peras pengakuan
dengan jalan pemeriksaan fisik dan mental. Sudah saatnya para penegak
hukum mengasah jiwa, perasaan dan penampilan serta gaya mereka dibekali
dengan kehalusan budi nurani yang tanggap atas rasa keadilan atau―sense
ofjustice‖.
2. Memahami rasa tanggungjawab, hal ini sangat penting disadari para penegak
hukum, sebab yang mereka hadapi adalah manusia sebagaimana dirinya
sendiri, yakni manusia yang memiliki jiwa dan perasaan. Sudah semestinya
para penegak hukum merenungkan arti tanggungjawab dalam menangani
setiap manusia yang dihadapkan kepadanya. Ketebalan rasa tanggungjawab
atau sense of responsibility yang mesti dimiliki oleh setiap pribadi para
penegak hukum harus mempunyai dimensi pertanggungjawaban terhadap diri
sendiri, pertanggungjawaban kepada masyarakat serta pertanggungjawaban
kepada TuhanYang Maha Esa.70
Undang-undang Hukum Acara Pidana termasuk UU No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak pada prinsipnya memiliki tujuan:
a. perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka atau terdakrwa);
b. perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan;
c. kodifikasi dan unifikasi acara pidana;
d. mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum;
e. mewujudkan hukum acara pidana yang sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945.71
68
69
70
71
360
SriWidoyati Wiratmo Soekito, Op. Cit., hlm. 143
M Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.237.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
PustakaKartini,Jakarta, 1993, hlm.5-6.
Ibid., hlm. 77.
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
2. Prinsip-prinsip Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang Pengadilan Anak dalam Pasal-Pasal nya menganut
beberapa asas yang membedakannya dengan sidang perkara pidana untuk orang
dewasa. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut:
1. Pembatasan umur (Pasal 1 butir 1 jo Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Pengadilan Anak); Orang yang dapat disidangkan dalam acara pengadilan anak
ditentukan secara liminatif, yaitu minimum berumur 8 (delapan) tahun dan
maksimum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
2. Ruang Lingkup masalah dibatasi; Masalah yang diperiksa di Sidang
Pengadilan Anak, hanyalah menyangkut perkara Anak Nakal saja. Sidang anak
hanya berwenang memeriksa perkara pidana, jadi masalah-masalah lain di luar
pidana bukan wewenang Pengadilan Anak. Sidang pengadilan Anak hanya
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara Anak Nakal
(Pasal 21 Undang-Undang Pengadilan Anak).
3. Ditangani pejabat khusus; Perkara Anak Nakal ditangani pejabat khusus yaitu
Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, dan Hakim Anak.
4. Peran Pembimbing Kemasyarakatan; Undang-Undang Pengadilan Anak
mengakui peranan Pembimbing Kemasyarakatan, pekerja Sosial, dan pekerja
Sosial Relawan.
5. Suasana Pemeriksaan dan kekeluargaan; pemeriksaan perkara di pengadilan
dilakukan dalam suasana kekeluargaan, karena itu Hakim, penuntut umum,
Penyidik, dan Penasihat Hukum tidak memakai toga.
6. Keharusan splitsing; Anak tidak boleh bersama orang dewasa baik yang
berstatus sipil maupun militer. Kalau terjadi anak melakukan pidana bersama
dengan orang dewasa, maka anak diadili dalam sidang biasa, atau apabila ia
berstatus militer di Peradilan Militer.
7. Acara pemeriksaan tertutup; Acara pemeriksan di Pengadilan Anak dilakukan
secara tertutup. Ini demi kepentingan anak sendiri, akan tetapi putusan harus
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 153 ayat (3) KUHAP dan
Pasal 57 ayat (1) UU No. 3 tahun 1997
8. Diperiksa hakim tunggal; Hakim yang memeriksa perkara di pengadilan Anak,
baik di tingkat pertama, banding atau kasasi dilakukan dengan hakim tunggal.
Apabila tindak pidananya diancam dengan pidana penjara di atas 5 (lima)
tahun dan pembuktiannya sulit, maka berdasarkan Pasal 11 ayat (2) UU No. 3
Tahun 1997 perkara diperiksa dengan hakim majelis. Pasal 11 ayat (2) tersebut
selain dalam ―hal tertentu‖ yaitu tentang ancaman hukuman dan pembuktian
tersebut, juga ―dipandang perlu‖. Undang-undang ini tidak menjelaskan yang
dimaksud dengan ―dipandang perlu‖. Bila hal ini ditinjau dari segi
perlindungan anak, dapat diketahui bahwa Pasal 11 ayat (2) UU No. 3 Tahun
1997 tidak memberikan perlindungan hukum terhadap anak, karena
ketidaktegasan pengaturan tentang waktu diwajibkannya hakim majelis di
dalam pemeriksaan perkara pidana Anak Nakal. Bisa saja Ketua Pengadilan
memandang bahwa perkara tersebut perkara yang tidak sulit pembuktiannya,
namun kenyataannya sulit, hal ini akan mempengaruhi kualitas perlindungan
361
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
anak yang tercermin dari keputusan hakim atas perkara pidana Anak Nakal.
Dalam hal ini anak menjadi korban ketidaktegasan UU No. 3 Tahun 1997.
9. Masa penahanan lebih singkat; Masa penahanan terhadap Anak Nakal lebih
singkat yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997 dibandingkan dengan masa
penahanan yang diatur dalam KUHAP. Hal ini tentu memberikan perlindungan
terhadap anak, sebab dengan penahanan yang tidak begitu lama, tidak akan
berpengaruh besar terhadap perkembangan fisik, mental dan sosial anak.
10. Hukum lebih ringan; Hukuman yang dijatuhkan terhadap Anak Nakal (Pasal
22-32 UU No. 3 Tahun 1997), lebih ringan dari ketentuan yang diatur dalam
KUUHP. Hukuman maksimal terhadap Anak Nakal adalah 10 (sepuluh) tahun.
Hal ini juga bila ditinjau dari aspek perlindungan anak, bila dibandingkan
dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, telah mencerminkan perlindungan terhadap
anak. Hakim Pengadilan Anak harus dengan jeli mempertimbangkan dan
memahami bahwa penjatuhan pidana terhadap anak merupakan upaya terakhir
(ultimum remediun/ the last resort).
3.
Perkembangan Formulasi Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak dan Undang-undang Nomor 11 Tentang Sistem
Peradilan Anak.
Dalam perkembangannya untuk melindungi anak, terutama perlindungan
khusus yaitu perlindungan hukum dalam sistem peradilan, telah terdapat 2 (dua)
undang-undang yang mengatur khusus tentang peradilan anak. Yang pertama
adalah Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berganti
menjadi Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Terdapat beberapa perubahan dan perkembangan, khususnya dalam
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang
baru disahkan oleh Presiden bersama DPR pada akhir bulan juli 2012 lalu
dibanding dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Tujuannya adalah untuk semakin efektifnya perlindungan anak dalam sistem
peradilan demi terwujudnya Sistem Peradilan Pidana yang Terpadu (―integrated
criminal justice sistem‖) atau juga bisa jadi pemunduran terhadap nilai-nilai yang
telah ada sebelumnya. Sebuah upaya yang patut diapresiasi oleh bahwa
Pemerintah telah mengadakan reformasi hukum di bidang pembaruan undangundang atau substansi hukum (legal substance reform), tetapi juga yang lebih
diharapkan lagi adalah terciptanya pembaruan struktur hukum (legal structure
reform) dan pembaruan budaya hukum (legal culture reform) yang termasuk di
dalamnya juga pembaharuan etika hukum dan ilmu/pendidikan hukum (legal ethic
and legal science/education reform).72
Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak terdapat perubahan-perubahan dibandingkan dengan Undang-undang
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, diantaranya :
72
362
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, 2010. Hlm.6
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
a)
b)
c)
d)
Definisi anak
Lembaga-lembaga anak
Asas-asas
Sanksi pidana
C. Kebijakan Aplikasi Hukum Pidana Terhadap Anak Yang Berhadapan
Dengan Hukum
1. Perlindungan Hukum Terhadap Anak pada Tahap Penyidikan
a. Penangkapan dan Penahanan
Mengenai tindakan penangkapan tidak diatur secara rinci dalam
Undang-Undang Pengadilan Anak, sehingga berlaku ketentuan-ketentuan
KUHAP (Pasal 43 UU No.3 Tahun 1997). Setelah tindakan penangkapan,
dapat dilakukan tindakan penahanan. Penahanan ialah penempatan
tersangka atau terdakwa ke tempat tertentu oleh Penyidik Anak atau
Penuntut Umum Anak atau Hakim Anak dengan penetapan, dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. UU No. 3
Tahun1997 dan KUHAP, menentukan bahwa tersangka atau terdakwa
dapat ditahan. Karena ada istilah ―dapat‖ ditahan berarti penahanan anak
tidak selalu harus dilakukan, sehingga dalam hal ini penyidik diharapkan
betul-betul mempertimbangkan apabila mau melaksakan penahanan anak.
Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP alasan penahanan adalah karena ada
kekhwatiran melarikan diri, agar tidak merusak atau menghilangkan
barang bukti, agar tidak mengulangi tindak pidana. Menurut Hukum
Acara Pidana menghilangkan kemerdekaan seseorang tidak merupakan
keharusan, tetapi untuk mencari kebenaran bahwa seseorang melanggar
hukum, kemerdekaan seseorang itu dibatasi dengan melakukan
penangkapan dan penahanan.
Tempat penahanan anak harus dipisah dari tempat penahanan
orang dewasa dan selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan
sosial anak harus tetap dipenuhi (Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 3
Tahun 1997). Penahanan anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan
Anak, yang tempatnya terpisah dari Narapidana Anak. Hal ini dilatar
belakangi oleh pertimbangan psikologis, untuk menghindari akibat
negatif sebab anak yang ditahan belum tentu terbukti melakukan
kenakalan, bergaul dengan dengan Narapidana Anak dikhawatirkan dapat
menularkan pengalaman-pengalamannya kepada anak yang berstatus
tahanan, dan mempengaruhi perkembangan mentalnya. Berdasarkan hasil
penelitian, dalam pelaksanaannya masih banyak tahanan anak digabung
dengan orang dewasa, dengan alasan bahwa tempat penahanan di
lembaga Pemasyarakatan orang dewasa sudah penuh. Menurut peneliti
hal ini sangat berbahaya dan tidak mencerminkan perlindungan anak.
Narapidana Anak dan tahanan anak terpengaruh dengan sikap dan
tindakan tahanan dewasa. Anak bisa saja mengetahui pengalamanpengalaman melakukan kejahatan yang belum pernah dia dengar dan dia
363
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
lakukan, atau bahkan anak dapat menjadi korban pelecehan seksual
selama berada dalam tahanan tersebut.
b. Proses Penyidikan
Dalam melakukan penyidikan Anak Nakal diusahakan
dilaksanakan oleh polisi wanita, dan dalam beberapa hal jika perlu
dengan bantuan polisi pria. Penyidik Anak juga harus mempunyai
pengetahuan seperti psikologi, psikiatri, sosiologi, pedagogi, antropologi,
juga harus mencintai anak dan berdedikasi, dapat menyilami jiwa anak
dan mengerti kemauan anak.
c. Penghentian Penyidikan
Dalam menghentikan penyidikan, ada beberapa alasan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu:
a. Tidak diperoleh bukti yang cukup; Seringkali penyidik tidak
memperhatikan atau mengabaikan kekuatan bukti-bukti yang
mendukung perkara yang ditangani dan diajukan ke penuntut umum
tanpa bukti yang cukup. Mengajukan bukti perkara dengan
sekedarnya akan menyulitkan menegakkan keadilan.
b. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana; Jika
memang kasus hukum yang disangkakan bukan termasuk perkara
pidana materiil (sebagaimana yang diatur oleh KUHP atau peraturan
hukum pidana khusus lainnya) yang jelas normatifnya termasuk
perkara hukum perdata, maka sudah seharusnya jika pemeriksaan
perkara itu dihentikan;
c. Penghentian penyidikan demi hukum; Kepentingan hukum harus
memperoleh perhatian dalam praktik beracara pidana, artinya hakhak seseorang yang terkait dengan kasus hukum tidak boleh
dimarginalkan. Penghentian atas dalih demi hukum pada pokoknya
sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya
hak menjalankan pidana. Menegakkan asas nebis in idem (seseorang
tidak boleh dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang
sama), terhadap suatu perkara seseorang sudah pernah diadili dan
telah diputus perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang
berwenang, dan putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap. Apabila tersangka meninggal dunia, maka perkaranya harus
dihentikan dan lain-lain alasan penghentian penyidikan.
Penyidik yang memahami bahwa anak adalah yang berumur 18
(delapan belas) tahun ke bawah.Pasal angka 2 UU No. 3 Tahun 1997,
menentukan bahwa Anak adalah orang dalam perkara Anak Nakal telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun tetap belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum pemah kawin. Menurut peneliti apabila
pemahaman UU No. 3 Tahun 1997 dan peraturan lain, yang berkaitan
dengan Peradilan Pidana Anak tidak benar, maka penerapannya dalam
364
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan penyidikan juga
tidak benar, dan hal ini sangat merugikan anak atau menjadikan anak
sebagai korban ketidaktahuan penyidik. Sumber daya manusia penyidik
perlu ditingkatkan melalui pendidikan/studi lanjut, melalui penataranpenataran/seminar atau lokakarya yang berkaitan dengan peradilan anak
dan yang berkaitan dengan perlindungan anak.
d. Hak-hak Tersangka
Hak-hak anak yang menjadi sorotan utama dalam proses ini,
sebagai berikut: sebagai tersangka: hak-hak yang diperoleh sebagai
tindakan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan (fisik,
psikologis dan kekerasan); hak untuk didampingi pengacara; hak untuk
mendapat fasilitas. Sebagai saksi korban: (viktim) hak untuk dilayani
karena penderitaan fisik, mental, dan sosial ataupenyimpangan perilaku
sosial; hak didahulukan dalam proses pemeriksaan, penerimaan laporanpengaduan dan tindakan lanjutan dan proses pemeriksaan;hak untuk
dilindungi dari bentuk-bentuk ancaman kekerasan dari akibat laporandan
pengaduan yang diberikan.
2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak pada Tahap Penuntutan
a. Penuntut Umum Anak
Syarat-syarat Penuntut Umum Anak adalah: a. Berpendidikan
Sarjana Hukum ditambah pengetahuan psikologi, psikiatri, sosiologi,
pendidikan sosial, antropologi; b. Menyintai anak, berdedikasi; c. Dapat
menyilami dan mengerti jiwa anak. Pasal 53 UU No. 3 Tahun 1997
menentukan bahwa Penuntut Umum Anak diangkat berdasarkan Surat
Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung.
Penuntut Umum Anak adalah yang memenuhi syarat telah berpengalaman
sebagai Penuntut Umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa;
mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Pada
prinsipnya UU No. 3 Tahun 1997 menghendaki agar setiap Kejaksaan
Negeri memiliki Penuntut Umum Anak untuk menangani Anak Nakal.
Tetapi apabila Kejaksaan Negeri tidak mempunyai penuntut Umum Anak,
karena belum ada yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, atau
karena pindah/mutasi, maka tugas penuntutan perkara Anak Nakal
dibebankan kepada Penuntut Umum yang melakukan tugas penuntutan
bagi tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Bila hal ini ditinjau
dari aspek perlindungan anak, maka dapat dikatakan bahwa anak tidak
mendapat perlindungan. Bila penuntutan terhadap Anak Nakal dilakukan
oleh yang bukan Penuntut Umum Anak, dikhawatirkan sasaran-sasaran
perlindungan anak diabaikan. Penuntut Umum yang bersangkutan tidak
memahami masalah anak, dikhawatirkan tindakan-tindakan hukum yang
dilakukan dalam penuntutan tidak mencerminkan prinsip-prinsip
perlindungan anak. Apabila Penuntut Umum Anak dimutasi/pindah, maka
365
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
sebelumnya dipersiapkan penggantinya dan apabila belum ada
penggantinya maka penuntut Umum Anak yang bersangkutan diurungkan
untuk dimutasi/dipindah Tingkat pendidikan Penuntut Umum.
Pemahaman tentang jangka waktu penahanan yang singkat, para
aparat Kejaksaan belum memahami tujuan penahanan singkat terhadap
anak, yaitu atas pertimbangan kepentingan pertumbuhan fisik, mental dan
sosial anak. Kemudian yang menjadi hambatan lain adalah kurangnya
pemahaman aparat tentang pemeriksaan anak secara kekeluargaan dan
secara rahasia, ada yang memahami bahwa pemeriksaan perkara pidana
anak tidak perlu dirahasiakan sebab anak perlu diberi pelajaran dan
menjadi contoh bagi masyarakat agar tidak ditiru. Kurangnya pengetahuan
tentang perlindungan anak, kurangnya koordinasi antar instansi terkait
seperti dengan Kepolisian, Bapas dan pengadilan, sehingga sulit
menciptakan peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah. Hal ini
disebabkan oleh kurangnya sumber daya manusia yang ahli di bidang
peradilan anak maupun di bidang perlindungan anak. Banyak Penuntut
Umum Anak yang tidak pernah menerima pendidikan khusus berupa
penataran/lokakarya berkaitan perlindungan anak/ hal-hal yang berkaitan
dengan hak-hak anak.
b. Penghentian Penuntutan
Dalam sidang anak ada kemungkinan penyampingan perkara.
Terdapat dua alasan penyampingan perkara, yaitu: penyampingan perkara
berdasarkan asas opportunitas karena alasan demi kepentingan umum; dan
penyampingan perkara karena alasan demi kepentingan hukum. Terhadap
proses peyampingan perkara yang ditutup demi hukum tidak sama dengan
perkara yang ditutup demi kepentingan umum, karena: a. ―demi hukum‖
tidak sama pengertiannya dengan ―Demi Kepentingan Umum‖ sebab
hukum juga mengatur kepentingan individual selain kepentingan umum: b.
Perkara yang ditutup ―demi hukum,‖ tidak dideponeer secara definitif,
tetapi masih dapat dituntut bilamana ada alasan baru sedangkan perkara
yang ditutup definitif demi kepentingan umum tidak boleh dituntut kembali
walaupun cukup alat buktinya. Kejaksaan harus menunjuk Jaksa Khusus
sebagai Penuntut Umum untuk perkara anak. Surat dakwaan harus dibuat
sederhana mungkin, agar tidak menyulitkan anak untuk memahami dan
mengikuti persidangan.
c. Hak-hak Anak Dalam Proses Penuntutan
Hak-hak anak dalam proses penuntutan meliputi hak-hak sebagai
berikut: menetapkan masa tahanan anak cuma pada sudut urgensi
pemeriksaan; membuat dakwaan yang dimengerti anak; secepatnya
melimpahkan perkara ke pengadilan; melaksanakan ketetapan hakim
dengan jiwa dan semangat pembinaan atau mengadakan rehabilitasi. Hakhak anak pada saat pemeriksaan di Kejaksaan sebagai berikut: hak untuk
366
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
mendapat keringanan masa/ waktu penahanan; hak untuk mengganti status
penahanan dari penahanan Rutan (Rumah Tahanan Negara) menjadi
berada dalam tahanan rumah atau tahanan kota; hak untuk mendapat
perlindungan dari ancaman, penganiayaan, pemerasan dari pihak yang
beracara; hak untuk mendapat fasilitas dalam rangka pemeriksaan dan
penuntutan; hak untuk didampingi oleh penasihat hukum.
d. Pelimpahan Perkara ke Pengadilan
Apabila Penuntut Umum sudah selesai mempelajari berkas perkara
hasil penyidikan dan Penuntut Umun berpendapat bahwa tindak pidana
yang disangkakan dapat dituntut, maka menurut ketentuan UndangUndang Pengadilan Anak (UU No. 3 Tahun 1997) sejalan dengan
ketentuan Pasal 140 ayat (l) KUHAP, Penuntut Umum dalam waktu
secepatnya membuat surat dakwaan. Surat dakwaan merupakan dasar
adanya suatu perkara pidana yang juga merupakan dasar Hakim melakukan
pemeriksaan. Setelah Penuntut Umum membuat surat dakwaan,
dilimpahkan ke Pengadilan dengan membuat surat pelimpahan perkara.
3.
Perlindungan Hukum Terhadap Anak pada Tahap Persidangan
a. Hakim Pengadilan Anak
Hakim Anak diangkat berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah
Agung atas usul Ketua Pengadian Negeri yang bersangkutan melalui Ketua
Pengadilan Tinggi. Berdasarkan Pasal 10 UU No. 3 Tahun 1997, Hakim
Anak harus mempunyai kualifikasi yang berpendidikan sarjana hukum
ditambah dengan pengetahuan tentang psikologi, psikiatri, sosiologi, sosial
pedagogi dan andragogi.
Mencintai anak, dapat menyilami jiwa anak, ingin ikut membina
dan membantu terutama anak yang dalam kesulitan. Menurut peneliti
berkaitan dengan Pasal 10 UU No. 3 Tahun 1997 ini, perlu dibuat
peraturan pelaksanaan yang mengatur tentang syarat-syarat menjadi Hakim
Anak. Seperti tentang pengalaman menjadi hakim perlu ditegaskan di
samping pendidikan-pendidikan khusus yang perlu ditempuh. Hal ini
didasarkan pertimbangan bahwa Hakim Anak merupakan hakim khusus
yang memiliki keahlian khusus dalam rangka perlindungan anak.
Hasil penelitian dapat diketahui bahwa pemahaman para Hakim
tentang peradilan anak sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997,
masih belum tepat. Seperti pemahaman tentang pengertian anak, banyak
para Hakim masih memahami bahwa pengertian anak adalah pengertian
anak menurut ketentuan Pasal 45 KUHP, padahal Pasal tersebut tidak
berlaku lagi dengan berlakunya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak.
Pemahaman para hakim tentang perlindungan anak kurang tepat,
dan mereka jarang bahkan tidak pernah mengikuti lokakarya atau
penataran tentang perlindungan anak. Menurut peneliti hal ini
367
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
mempengaruhi penanganan perkara pidana anak. Hakim tidak mampu
memprediksi dan menganalisis kemungkinan yang terjadi bila diambil
suatu keputusan tertentu.
b. Dasar Pertimbangan Keputusan Hakim
Hakim yang menangani perkara pidana anak sedapat mungkin
mengambil tindakan yang tidak memisahkan anak dari orang tuanya, atas
pertimbangan bahwa rumah yang jelek lebih baik dari Lembaga
pemasyarakatan Anak yang baik (a bad home is better than a good
institution/ prison). Hakim seyogianya benar-benar teliti dan mengetahui
segala latar belakang anak sebelum sidang dilakukan. Dalam mengambil
putusan, hakim harus benar-benar memperhatikan kedewasaan emosional,
mental dan intelektual anak. Dihindarkan putusan hakim yang
mengakibatkan penderitaan bathin seumur hidup atau dendam pada anak,
atas kesadaran bahwa putusan hakim bermotif perlindungan. Dalam
mengambil
keputusan,
Hakim
wajib
mendengarkan
dan
mempertimbangkan hasil penelitian Petugas Penelitian Kemasyarakatan.
Kegunaan Laporan Penelitian Kemasyarakatan bagi Hakim dalam
menjatuhkan putusannya, harus bijaksana dan adil. Hakim menjatuhkan
putusan yang bersifat memperbaiki para pelanggar hukum dan
menegakkan kewibawaan hukum. Hakim yang memeriksa dan mengadili
suatu perkara, sebagai manusia tidak luput dari kekhilafan, lupa dan aneka
ragam kesalahan yang dapat menimbulkan kerugian pada orang lain.
Umumnya bila Hakim telah mengetokkan palunya dalam suatu perkara
selalu ada pihak yang dirugikan, hal ini dapat dikategorikan sebagai
―Onrechtmatige overheidsdaad‖. Apabila hal ini terjadi pada tingkat
Pengadilan Negeri, maka akan dapat diperbaiki dalam pengadilan yang
lebih tinggi yaitu Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, namun yang
sulit adalah apabila kesalahan itu ada pada tingkat kasasi di Mahkamah
Agung.
Bila tidak ada pilihan lain kecuali menjatuhkan pidana terhadap
anak, patut diperhatikan pidana yang tepat. Untuk memperhatikan hal
tersebut patutdikemukakan sifat kejahatan yang dilakukan; perkembangan
jiwa anak, tempat menjalankan hukuman. Berdasarkan penelitian normatif,
diketahui bahwa yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim dalam
menjatuhkan putusan, antara lain: keadaan psikologis anak pada saat
melakukan tindak pidana; keadaan psikologis anak setelah dipidana;
keadaan psikologis hakim dalam menjatuhkan hukuman.
Berdasarkan Pasal 23 dan Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997, sanksi
yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal dapat berupa: pidana dan
tindakan. Pidana dapat berupa: pidana penjara, pidana kurungan, pidana
denda; atau pidana pengawasan (pidana pokok), perampasan barangbarang tertentu dan atau pembayaran gantirugi (pidana tambahan).
Tindakan dapat berupa pengembalian kepada orang tua, wali, atau orang
368
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
tua asuh, menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja; atau menyerahkan kepada Departemen
Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang
pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
D. Model Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak di Indonesia
1. Peradilan Pidana Anak yang Ideal
Steenhuis memberikan saran atau resep agar hukum pidana
memiliki tingkat efisiensi tinggi dan mencerminkan sesuatu ―criminal
policy‖ yang baik, yaitu: a. Peninjauan secara kritis perundang-undangan
yang ada untuk menentukan bahwa ketentuan tersebut realistis sebagai
suatu perangkat hukum pidana; b. Penegakan kembali seluruh asas yang
telah diatur sebagai perlindungan masyarakat dari kejahatan, yaitu
penuntutan yang efektif dan efisiensi hukum pidana hanya dapat dicapai
jika arah yang dilaksanakan memperoleh dukungan masyarakat; c. Adanya
keterkaitan dan kesinambungan antara tindakan penyidikan dan kelanjutan
tindakan penuntutan; d. Diperlukan efisiensi dengan memperhatikan
kemampuan peradilan dengan menggunakan sarana penuntutan (formal)
dan sarana penyelesaian (informal); e. Mengembangkan altematif
pemidanaan untuk kejahatan yang sering terjadi terutama dalam proses
peneguran dan aturan pembuktiannya; f. Penegakan hukum yang lebih
efisien dan efektif untuk semua tipe kejahatan.73
Dalam penegakan hukum dihubungkan dengan citra hak asasi
manusia, masih banyak terjadi perkosaan dan pelanggaran, seperti:
penangkapan dan penahanan yang tidak segera dibarengi dengan
penyidikan, malah sering tidak diberitahu kepada pihak keluarga; masih
terjadi kekerasan, pemaksaan dan penganiyaan pada penyidikan, sehingga
ada yang meninggal atau mengalami cacat seumur hidup: masih sering
terjadi penganiayaan di Rutan atau di Lembaga Pemasyarakatan Anak,
sehingga ada yang mengalami cacat atau meningggal dunia. Perlakuan
diskriminatif berdasar kekuasaan atau kekayaan, sehingga masih memantul
perbedaan perlakuan (unequal treatment) baik secara fungsional atau
instansional; masih sering terjadi penyelewengan memidanakan sengketa
perdataatau memperdatakan tindak pidana; proses penyelesaian perkara
yang bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan; hak untuk didampingi penasihat hukum pada tahap penyidikan;
masih kurang mendapat pelayanan yang layak.74 Kebebasan peradilan
(independence of judiciary) harus ditegakkan baik oleh Hakim maupun
pejabat-pejabat lain di luar pengadilan. Pengadilan sebagai kekuasaan
kehakiman, harus merdeka dari kekuasaan eksekutif. Tujuan utama
kebebasan dari pengaruh kekuasaan eksekutif, mempunyai dua sasaran
pokok: a. untuk menjamin terlaksana peradilan yang jujur dan adil (to
73
74
Romli Atmasasmita. Op.cit., hlm. l2-13.
Ibid. Hlm. 241-242.
369
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
ensures afair ond justrial);b. agar peradilan mampu berperan mengawasi
semua tindakan pemerintahan (to enable the judges to exercise control
over government action). Hal ini dalam rangka penegakan spirit yang
terkandung dalam kedudukan hukum sebagai bidang pembangunan
tersendiri, lepas dari bidang politik, hukum tidak subordinated pada
kekuasaan politik. Segala bentuk peradilan perlu dibentuk panel khusus
yang mengadili kasus-kasus pelanggaran-pelanggaran HAM. Jaminan
terhadap kebebasan hakim dalam memutus perkara biasanya diimbangi
dengan ―kekebalan‖ terhadap tuntutan atas perbuatan yang dilakukannya
atas dasar kebebasannya tersebut.
2.
Diversi
Diversi adalah menghindarkan anak tersebut dari prosedur resmi
beracara di pengadilan dan mengurangi kemungkinan terjadinya bentuk
residivisme di masa mendatang.75 Misi ide diversi bagi anak-anak
menyediakan sebuah alternatif dengan prosedur resmi beracara di
pengadilan untuk memberikan kesempatan kedua bagi para pelaku tindak
pidana ringan di bawah umur yang baru pertama kali melakukan, melalui
kegiatan yang terprogram dan memberikan bentuk pengabdian sosial
secara nyata pada masyarakat, adapun tujuan utama adalah guna
mengarungi residivis bagi peserta program. Dengan adanya kesempatan
ini, para anak muda diberikan kesempatan untuk menjadi sosok baru yang
bersih dari catatan kejahatan.
Di Indonesia tujuan diversi dapat dilihat dalam Manual Pelatihan
untuk Polisi. Di dalam manual tersebut disebutkan tujuan dari diversi yaitu:
untuk menghindari penahanan; untuk menghindari cap jahat/label sebagai
penjahat; untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku; agar pelaku
bertanggungjawab atas perbuatannya; untuk mencegah pengulangan tindak
pidana; untuk mengajukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi
korban dan pelaku tanpa harus melalui proses formal; program diversi akan
menghindari anak mengikuti proses-proses sistem pengadilan. Langkah
lanjut akan program ini akan menjauhkan anak-anak dari pengaruhpengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan tersebut.76
Jenis-jenis diversi secara garis besar, terdiri dari tiga jenis atau tipe
diversi yaitu: diversi dalam bentuk Peringatan; Diversi informal dan
Diversi formal.
a) Peringatan
Diversi dalam bentuk peringatan, ini akan diberikan oleh Polisi untuk
pelanggaran ringan. Sebagai bagian dari peringatan, si pelaku akan
75
76
370
The purpose of the Juvenile Diversion Program is to provide youthful offenders with a
posistive alternative to the court sistem. Young offenders in structured activities and
group interactions which are intended to improve their understanding and perception
of the legal sistem and law enforcement, increase their self-esteem
Apong Herlina dkk, Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum,Buku Saku untuk Polisi, UNICEF, Jakarta 2004, hlm. 21.
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
meminta maaf pada korban. Polisi mencatat detil kejadian dan
mencatatkan dalam arsip di kantor Polisi. Peringatan seperti ini telah
sering dipraktekkan.
b) Diversi informal
Diversi informal diterapkan terhadap pelanggaran ringan di mana
dirasakan kurang pantas jika hanya sekedar memberi peringatan
kepada pelaku, dan kepada pelaku membutuhkan rencana intervensi
yang komrehensif. Pihak korban harus diajak (dapat dilakukan melalui
telepon) untuk memastikan pandangan mereka tentang diversi
informal dan apa yang mereka inginkan di dalam rencana tersebut.
Diversi informal harus berdampak positif kepada korban, anak dan
keluarganya. Yaitu harus dipastikan bahwa anak akan cocok untuk
diberi diversi informal. Rencana diversi informal ini anak
bertanggungjawab, mengakui kebutuhan-kebutuhan korban dan anak,
dan kalau mungkin orang tua diminta bertanggungjawab atas kejadian
tersebut.
c) Diversi formal
Diversi formal dilakukan jika diversi informal tidak dapat dilakukan,
tetapi tidak memerlukan intervensi pengadilan. Beberapa korban akan
merasa perlu mengatakan pada anak betapa marah dan terlukanya
mereka, atau mereka ingin mendengarkan langsung dari anak. Karena
permasalahannya muncul dari dalam keluarga anak maka ada baiknya
ada anggota keluarga lainnya yang hadir untuk mendiskusikan dan
menyusun rencana diversi yang baik untuk semua pihak yang terkena
dampak dari perbuatan itu. Proses Diversi formal dimana korban dan
pelaku bertemu muka, secara internasional hal ini disebut sebagai
―Restorative Justice‖. Sebutan-sebutan lain Restorative Justice,
misalnya Musyawarah Kelompok Keluarganya (Family Group
Conference); Musyawarah Keadilan Restorative (Restorative Justice
Conference); Musyawarah masyarakat (Community Conferencing).77
Saat ini pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak untuk menggantikan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Berdasar Pasal 108, UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak ini baru akan mulai dinyatakan berlaku 2
(dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan (30 Juli 2012). Dengan demikian
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak baru berlaku tahun 2014.78 Untuk
menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat
menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan
diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara Substansi yang
paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengatuan secara tegas
77
78
Ibid.,hlm. 10.
Setya Wahyudi, Model Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak dan
Implikasi Bagi Politik Kriminal Anak di Indonesia, FH Unsoed, Makassar, 2013. Hlm.
9.
371
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
mengenai keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan wajar. Pengertian
diversi ditentukan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1
angka 7 yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana
ke proses di luar peradilan pidana.79
Menurut Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak,
ditentukan bahwa dalam sistem peradilan pidana anak wajib diupayakan diversi.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa diversi wajib diupayakan dalam setiap
tahap sistem peradilan pidana anak mulai dari penyidikan, penuntutan, persidangan
dan pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan. Selanjutnya ketentuan diversi
secara lengkap ditentukan dalam Bab II yang dimulai Pasal 6 sampai dengan Pasal
15. Berdasar Pasal 6 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka tujuan
penyelenggaraan diversi yaitu :
1) Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
2) Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
3) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
4) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
5) Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Penyelenggaraan diversi wajib diupayakan sejak tingkat penyidikan,
penuntutan dan pada tahap pemeriksaan perkara anak di sidang pengadilan. Hal ini
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak, diversi dilaksanakan dibatasi dalam tindak pidana yang dilakukan :80
1) Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
2) Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Di dalam Penjelasan Pasal 7, dijelaskan bahwa pengulangan tindak pidana
dalam ketentuan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, baik
tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis, termasuk tindak pidana yang
diselesaikan melalui diversi.
Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak,
proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang
tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya. Orang tua dan wali korban
dilibatkan dalam proses diversi dalam hal korban adalah anak. Pembimbing
kemasyarakatan, dan pekerja sosial professional berdasarkan pendekatan keadilan
restorative. Dalam hal ini diperlukan musyawarah, maka dapat melibatkan tenaga
kesejahteraan sosial dan/atau masyarakat. Yang dimaksud dengan ―masyarakat‖
antar lain tokoh agama, guru, dan tokoh masyarakat. Proses diversi wajib
memperhatikan :
1) Kepentingan korban;
2) Kesejahteraan dan tanggung jawab anak;
3) Penghindaran stigma negatif;
4) Penghindaran pembalasan;
5) Keharmonisan masyarakat; dan
6) Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
79
80
372
Ibid.
Ibid., hlm. 10.
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
Pasal 9 menentukan bahwa Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam
melakukan diversi harus mempertimbangkan :
1) Kategori tindak pidana;
2) Umur anak;
3) Hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan
4) Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Di dalam penjelasan Pasal 9 dijelaskan bahwa kategori tindak pidana
merupakan indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi
prioritas diversi. Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku
tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba,
dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun. Umur anak dalam
ketentuan ini dimaksudkan untuk menentukan prioritas pemberian diversi dan
semakin muda umur anak semakin tinggi prioritas diversi.81
Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau
keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk:
1) Tindak pidana yang berupa pelanggaran;
2) Tindak pidana ringan;
3) Tindak pidana tanpa korban; dan
4) Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.
Ketentuan mengenai ―Persetujuan keluarga Anak Korban‖ dimaksudkan
dalam hal korban adalah anak di bawah umur. Yang dimaksud dengan ―tindak
pidana ringan‖ adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara atau
pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 10,
ditentukan kesepakatan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa
pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian
korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku
dan/atau keluarganya, pembimbing kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh
masyarakat. Kesepakatan diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh penyidik atas rekomendasi pembimbing kemasyarakatan dapat berbentuk :
1) Pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
2) Rehabilitasi medis dan psikososial;
3) Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
4) Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau
LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
5) Pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 11 menentukan tentang hasil kesepakatan diversi. Hasil kesepakatan
diversi dapat berbentuk, antara lain:
1) Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
2) Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
3) Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau
LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
4) Pelayanan masyarakat.
81
Ibid., Hlm. 11.
373
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Pasal 12 menentukan, bahwa hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Hasil kesepakatan
diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh atasan langsung
pejabat yang bertanggungjawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri
sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak
kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan. Penetapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung
sejak diterimanya kesepakatan diversi.82
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada
pembimbing kemasyarakatan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam waktu
paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penyidik menerbitkan penetapan penghentian
penyidikan atau penuntut umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.
Pasal 13 menentukan, bahwa proses peradilan pidana anak dilanjutkan
dalam hal:
1) Proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau
2) Kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.
Pasal 14 menentukan, pengawasan atas proses diversi dan pelaksanaan
kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang
bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan. Selama proses diversi
berlangsung sampai dengan kesepakatan diversi dilaksanakan, pembimbing
kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbingan, dan
pengawasan. Dalam hal kesepakatan diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang
ditentukan, pembimbing kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat
yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pejabat yang
bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menindaklanjuti
laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.
Pasal 15 mengatur bahwa ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan
proses diversi, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan diversi diatur dengan
peraturan pemerintah. Penerapan diversi dalam sistem peradilan pidana anak wajib
diterapkan pada setiap tahapan sistem peradilan pidana. Penyidik anak, penuntut
umum anak dan hakim anak pada setiap pemeriksaan anak wajib mengupayakan
program diversi dalam proses pemeriksaan perkara anak. Kewajiban penegak
hukum anak untuk mengupayakan diversi diperkuat dengan adanya sanksi
ancaman pidana penjara bagi penegak hukum yang dengan sengaja tidak
melakukan kewajibannya untuk mengupayakan diversi. Hal ini sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tersebut.83
Pasal 96 menentukan: Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan
sengaja tidak melaksanakan kewajiban mengupayakan diversi, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
82
83
374
Ibid., hlm. 12.
Ibid., hlm. 13.
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
3.
Restorative Justice
Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan
pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan
pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk
bersama-sama berbicara. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan
kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang
sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya.
Pihak pelaku sangat mengharapkan pihak korban untuk dapat
menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa pihak pelaku
melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban.
Selanjutnya pelaku juga memaparkan tentang sebagaimana dirinya
bertaggungjawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan yang
telah dilakukannya. Selama pihak pelaku memaparkan tentang tindakan
yang telah dilakukannya dan sebab-sebab mengapa sampai tindakan
tersebut dilakukan pelaku, korban wajib mendengarkan dengan teliti
penjelasan pelaku. Untuk selanjutnya pihak korban dapat memberikan
tanggapan atas penjelasan pelaku. Di samping itu, juga hadir pihak
masyarakat yang mewakili kepentingan masyarakat. Wakil masyarakat
tersebut memberikan gambaran tentang kerugian yang diakibatkan oleh
telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dalam
paparannya tersebut masyarakat mengharapkan agar pelaku melakukan
sesuatu perbuatan atau tindakan untuk memulihkan kembali
keguncangan/kerusakan yang telah terjadi karena perbuatannya.
Di Indonesia praktik secara restorative justice ini juga telah
dilakukan yang dikenal dengan penyelesaian secara kekeluargaan. Praktik
yang ada merupakan sebagian dari tradisi dalam masyarakat atau hasil dari
penelitian dan perjalanan panjang dari contoh atau pilot project yang
diambil sebagai cara alternatif untuk menyelesaikan kasus pidana di luar
peradilan. Praktik-praktik yang ada tetap mempunyai dasar prinsip
restorative justice yang telah diakui di banyak negara yang mana dalam
pelaksanaannya kini telah diimplementasikan dalam sejumlah aturan dan
pola atau cara. Bentuk praktik restorative justice yang telah berkembang di
negara Eropa, Amerika Serikat, Canada, Australia, dan New Zealand dapat
dikelompokkan dalam empat jenis praktik yang menjadi pioneer penerapan
restorative justice di beberapa negara yaitu, Victim Offender Mediation,
Conferencing/Family Group Conferencing, Cirlcles dan Restorative
Board/Youth Panels. Proses restorative justice terbaru yang bertama adalah
VOM. Program VOM pertama kali dilaksanakan sejak tahun 1970 di
Amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia dan Finlandia.84 VOM
di negara bagian Pennylvania Amerika Serikat menjalankan program
tersebut dalam kantor pembelaan terhadap korban di bawah tanggung
84
Gordon Bazemore and Mark Umbreit (1999). Conferencing, Circles, Board, and
Mediations: Restorative justice and Citizen Involvement in the Response to Youth
Crime. Florida: University of Minnesota,hlm. 6.
375
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
jawab Departemen Penjara. Program tersebut berjalan dengan sebuah
ruang lingkup kejahatan kekerasan termasuk pelaku yang diancam
hukuman mati.85
Program tersebut dirancang dan diperbaiki selama lima tahun
dengan kerangka pengertian dan pemahaman konsep restorative justice
yang memusatkan perhatian pada penyelenggaraan dialog di mana korban
dimungkinkan ikut serta bertukar pikiran sehubungan dengan akibat yang
ditimbulkan berupa trauma dari kejahatan dan menerima jawaban dan
informasi tambahan dari pelaku yang telah menyakitinya. Hal itu
memberikan kesempatan bagi korban untuk mendengar dan memberikan
kepada pelaku sebuah kesempatan untuk menerima tanggung jawab
perbuatannya dan mengungkapkan perasaannya tentang kejahatan dan
konsekuensi yang harus diterimanya.86
Permintaan untuk melakukan mediasi merupakan inisiatif dan
usulan korban dan kehendak korban. Peserta dari pihak korban harus
berumur 18 tahun atau lebih. Peserta pihak pelaku harus dijelaskan dengan
bantuan lembaga psikolog. Mediator atau Fasilitator adalah kelompok
sukarela yang telah menjalani training intensif. Kebanyakan mediasi
melibatkan co-mediator terhadap kasus-kasus yang membutuhkan
persiapan banyak dan luas sebelum menghadirkan kedua belah pihak
bertemu dalam mediasi secara lengsung. Dialog secara tidak langsung juga
dimungkinkan sebagai pilihan. Tujuannya memberikan kesempatan bagi
korban kejahatan kekerasan bertemu secara langsung, aman, resmi dan
teratur dengan pelaku, memberikan perlindungan terhadap lingkungan
tempat tindak pidana. Selanjutnya upaya penyembuhan dan penghapusan
kerusakan yang terjadi akibat perbuatannya. Upaya penyembuhan dan
menghilangkan trauma yang terjadi dalam kurun waktu yang relatif agak
lama yaitu menunggu pihak korban untuk bersedia melakukan perdamaian
dan berniat ikut serta dalam program restorative justice yang akan
dilaksanakan. Pelaku diundang untuk ikut berpartisipasi harus dengan
sukarela.87
E.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan
bahwa:
1. Kebijakan formulasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan
hukum dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia diatur dalam Undang85
86
87
376
Mark S. Umbreit. William Bradshaw. And Robert B. Coates. (September 2001) Victim
Sensitive Offender Dialogue in Crimes of Severe Violence Differing Needs,
Approaches, and Implications. London: Office for Victims of Crime U.S. Department
of Justice, hlm. 14.
Ibid.
Mark S. Umbreit and Robert B. Coates. (1992). Victim Offender Mediation an
Analysis of Program in Four States of The US. U.S.: Center for restorative justice and
Mediation. hlm. 3.
Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak
undang No. 3 Tahun l997 tentang Pengadilan Anak belum mengakomodasi
prinsip the best interest of the child dalam sistem peradilan pidana anak,
sehingga secara normatif dalam tataran formulasi belum mencerminkan ide
dasar perlindungan terhadap anak. Dengan demikian, secara normatif dalam
tataran formulasi belum mencerminkan ide dasar perlindungan hukum terhadap
anak. Atas dasar hal itu, tahun 2012 telah disahkan Undang-Undang No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai pengganti UU no. 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagai pembaruan sistem peradilan
anak di Indonesia. Kajian formulasi terhadap perlindungan anak yang
berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak menurut
Undang-undang nomor 11 Tahun 2012 telah mengakomodasi prinsip the best
interest of the child dengan adanya diversi. Namun belum ditemukan prinsip
ketersediaan bantuan hukum dalam konteks diversi dan prinsip adanya kontrol
terhadap kewenangan diversi. Kajian formulasi terhadap perlindungan anak
yang berhadapan dengan hukum dalam sistem peradilan pidana anak menurut
Undang-undang nomor 11 Tahun 2012 telah mengakomodasi prinsip the best
interest of the child antara lain dengan menitik beratkan penanganan anak yang
bermasalah dengan hukum melalui tindakan diversi dengan mengedepankan
pendekatan restorative justice.
2. Kebijakan aplikasi terhadap perlindungan anak yang berhadapan dengan
hukum dalam sistem peradilan pidana anak menyangkut masalah substansial,
struktural dan kultural. Paradigma sistem peradilan yang retributif masih
menjadi ide dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1997. Hal tersebut tampak
dari mulai penanganan di tingkat penyidikan, penuntutan dan peradilan
maupun dalam proses pembinaan di lembaga pemasyarakatan. Para penegak
hukum masih memperlakukan anak yang bermasalah dengan hukum sama
dengan pelaku dewasa.
DAFTAR PUSTAKA
Apong Herlina dkk, Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum,Buku Saku untuk Polisi, UNICEF, Jakarta 2004.
Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademi Pressindo, Jakarta, 1993.
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, 2010.
Gordon Bazemore and Mark Umbreit (1999). Conferencing, Circles, Board, and
Mediations: Restorative justice and Citizen Involvement in the Response to
Youth Crime. Florida: University of Minnesota,.
M Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
PustakaKartini,Jakarta, 1993.
377
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama.
Mark S. Umbreit and Robert B. Coates. (1992). Victim Offender Mediation an
Analysis of Program in Four States of The US. U.S.: Center for restorative
justice and Mediation.
Mark S. Umbreit. William Bradshaw. And Robert B. Coates. (September 2001)
Victim Sensitive Offender Dialogue in Crimes of Severe Violence Differing
Needs, Approaches, and Implications. London: Office for Victims of Crime
U.S. Department of Justice.
Ruben Achmad, Upaya Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan
Hukum di Kota Palembang, dalam Jurnal Simbur Cahaya Nomor 27 Tahun
X, Januari, 2005
Setya Wahyudi, Model Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak
dan Implikasi Bagi Politik Kriminal Anak di Indonesia, FH Unsoed,
Makassar, 2013.
SriWidoyati Wiratmo Soekito.
Zulmansyah Sekedang dan Arief Rahman, Selamatkan Anak-anak Riau, KPAID
Riau, Pekanbaru, 2008.
378
PENAFSIRAN HAKIM TERHADAP KETENTUAN PIDANA
MINIMUM KHUSUS DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA
KORUPSI
Ismail Rumadan
Peneliti Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI
[email protected]
Abstrak
Semangat penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang ditengarai
sebagai kejahatan luar biasa yang berakibat pada terjadinya kesenjangan sosial,
ekonomi, hilangnya kepercayaan kepada pemerintah dan berbagai permasalahan
lainnya yang mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Hal yang
menarik dari pembentukan UU Tipikor ini adalah adanya ketentuan pidana
minimum khusus di dalam rumusan deliknya terhadap pelaku tindak pidana
korupsi. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan pidana pada umumnya dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lebih mengenal ketentuan
pidana maksimum. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketentuan pinadana
minimum khusus dalam undang-undang tindak pidana korupsi dapat saja diterobos
asalkan hakim memiliki legal resening atau ratio residenti yang tepat terhadap
suatu kasus korupsi dengan melihat skala besar kecilnya kasus korupsi tersebut
dengan pertimbangan dan pola penafsiran dari perpektif, social-justice, moraljustice, dan keadilan masyarakat untuk menjatuhkan putusan di bawa batas
minimum pemidanaan. Penjatuhan pidana di bawah ketentuan pidana minimum
khusus dalam beberapa putusan pengadilan dapat dilakukan dengan beberapa
kriteria yang menjadi pertimbangan hakim menyimpangi ketentuan pidana
minimum tersebut, kriteria adanya unsur kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara sebagai akibat perbuatan tiundak pidana korupsi tersebut dan
kriteria peran dan kedudukan terdakwa dalam perbuatan tindak pidana korupsi.
Kata Kunci: Penafsiran hakim, pidana minimum khusus, tindak pidana korupsi.
Abstract
The spirit of the rule of law against corruption which is considered as an
extraordinary crime that resulted in the occurrence of social inequality , the
economy , the loss of faith in government and a variety of other problems that led
to the birth of Law No. 31 of 1999 in conjunction with the Law No. 20 Year 2001
About Follow Corruption. The interesting thing about the formation of the AntiCorruption Act is a criminal provision in the formulation of minimum deliknya
against perpetrators of corruption . It is certainly different from the general
criminal provisions in the draft Criminal Law (Penal Code) which is more familiar
maximum penal provision . The results showed that the minimum pinadana special
provisions in the law of corruption can be breached so long as the judge has the
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
legal resening or residenti proper ratio to a corruption case by looking at the size
scale of the corruption case with consideration and interpretation of the patterns
perspective, social - justice, moral justice and community justice decision was
taken to drop the minimum punishment. Criminal punishment under the criminal
provisions of the special minimum in some court decisions can be made by several
criteria into consideration the provisions of the criminal judges deviate minimum ,
the criteria of the element of state assets or state economy as a result of the acts of
corruption tiundak and criteria of the role and position of the defendant in acts of
corruption.
Keywords : Interpretation of judges , a special minimum criminal , corruption.
Pendahuluan
Semangat penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang
ditengarai sebagai kejahatan luar biasa yang berakibat pada terjadinya kesenjangan
sosial, ekonomi, hilangnya kepercayaan kepada pemerintah dan berbagai
permasalahan lainnya yang mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.
Hal yang menarik dari pembentukan UU Tipikor ini adalah adanya
ketentuan pidana minimum khusus di dalam rumusan deliknya terhadap pelaku
tindak pidana korupsi. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan pidana pada
umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lebih
mengenal ketentuan pidana maksimum. Ketentuan tersebut sebagaimana tercantum
dalam Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Penentuan pidana minimum dalam UU Tipikor ini juga sebagai bentuk
upaya serius dari perumus undang-undang untuk pemberantasan tindak pidana
korupsi yang terjadi di Indonesia, namun semangat pembentukan UU Tipikor ini
seharusnya diimbangi dengan berbagai ketentuan dan kaidah hukum yang berlaku
secara logis, khusnya dalam rumusan delik pidana minimum khusus dalam UU
Tipikor yang pada dasarnya memberikan kesan adanya suatu pemaksaan untuk
menunjukan bahwa keinginan untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang
menghendaki adanya standar minimal objektif untuk delik-delik tertentu yang
sangat dicela dan merugikan masyarakat dan/atau negara, serta delik-delik yang
dikualifisir atau diperberat oleh akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte) dan ketidak
percayaan terhadap hakim dalam memutus suatu perkara pidana korupsi.
Namun pencantuman pidana minimum dalam UU Tipokor ini tidak disertai
dengan adanya formulasi tentang aturan atau pedoman pemidanaannya yang
380
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
merupakan suatu aturan khusus di luar KUHP yang mencantumkan pidana
minimum khusus dalam rumusan deliknya, pada gilirannya berpotensi
menimbulkan masalah yuridis di tingkat aplikasi. Setidaknya ketika hakim yang
mengadili perkara pidana yang bersangkutan dihadapkan pada fakta banyaknya
faktor-faktor yang meringankan pidana. Artinya bahwa, meskipun di rumusan
deliknya dalam UU Tipikor sudah secara eksplisit ditentukan pidana minimum
khususnya, namun dengan argumentasi hukum tertentu, tetap saja batas limit
pidana minimum khusus tersebut ―diterobs‖ oleh hakim. Dalam hal ini pada tataran
pelaksanaanya, terdapat putusan hakim yang menjatuhkan pidana penjara di bawah
batas minimum ancaman pidana minimum khusus, dengan legal reasoning-nya
masing-masing.88 Sehingga problem yuridis yang muncul kemudian adalah adanya
friksi antara kepastian hukum (rechtszekerheid) di satu pihak dengan keadilan
hukum (gerechtigheid) di lain pihak.
A. Alasan Teoritis Putusan Hakim Dibawah Batas Minimum Khusus
Jaminan terhadap Kebebasan hakim yang didasarkan pada kemandirian
kekuasaan kehakiman secara konstitusional diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945, yang selanjutnya diimplementasikan ke dalam Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 tantang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970,
yag kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dan selanjutnya diganti lagi dengan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Bahwa dalam memeriksa serta memutus perkara pidana yang ada
dihadapnnya, hakim memiliki kebebasan untuk melakukan penilaian. Segalanya
diserahkan pada pandangannya ataupun juga keyakinannya untuk menentukan
salah tidaknya terdakwa. Hal tersebut tentunya didasarkan pertimbangan faktafakta di persidangan maupun peraturan perundang-undangan atau hukum yang
berlaku. Namun kondisi semacam ini jarang dijumpai dalam tataran praktik, sebab
sering terjadi peristiwa yang belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan,
atau meskipun sudah diatur tetapi undang-undang tidak mengaturnya secara jelas
dan lengkap, bahkan undang-undang memiliki keterbatasan jangkauan dalam
memahami situasi dan kondisi sosial masyarakat yang dinamis dan berkembang
dari waktu-kewaktu secara terus menerus.
Apabila hakim menghadapi situasi yang demikian maka hakim tidak
diperbolehkan menolak sustu perkara dengan alasan ketiadaan undang-undang
yang mengaturnya. Sebagaimana ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 yang menyebutkan : ―Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya‖. Justru sebaliknya hakim harus memeriksa dan memutus perkara
88
Lihat Putusan MA No. 1660 K/Pid.Sus/2009.
381
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
tersebut dengan melakukan penemuan hukum, bahkan kalau perlu dengan jalan
menggunakan kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis.89
Atas padangan tersebut, walaupun secara normatif undang-undang yang
mengatur tentang ancaman pidana minimal baik pidana penjara maupun pidana
denda, namun dalam praktek ada juga hakim yang menerobos batas minimal
ancaman yang sudah diatur jelas tersebut dengan alasan atau pertimbangan rasa
keadilan sosial (social justice) dan moral justice..
Lebih dari sekedar alasan secara filosofis bahwa menerobos batas
ketentuan formal pidana minimum khusus sebagai bagian dari kinerja hakim yang
bersifat independen atau bebas dalam menemukan suatu norma hukum. Hakim
bukan lagi corong dari undang-undang, tetapi pembentukan hukum yang memberi
bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikanya dengan kebutuhan-kebutuhan
hukum.90
Hal inilah yang selanjutnya dinyatakan oleh Sudikno Mertokusumo dan A.
Pilto sebagai ajaran tentang kebebasan hakim, ajaran bahwa hakim tidak hanya
corong pembentuk undang-undang saja, tetapi secara otonom, mencipta,
menyelami proses kemasyarakatan.91
Pada hakikatnya semua perkara membutuhkan metode penemuan hukum
agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya,
sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang diidam-idamkan, yaitu yang
mengandung aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.92 Adapun untuk
hakim sendiri pada hakikatnya, dalam menjalankan tugas penemuan hukum, hakim
harus bebas, baik dari pengaruh pihak-pihak yang berperkara, maupun pihak-pihak
lain seperti : atasan, eksekutif, legislatif, dan sebagainya.
Berkenaan dengan pengertian dari penemuan hukum (rechtsvinding) itu
sendiri, ada pendapat dari Paul Scholten, sebagaimana dikutip oleh Bambang
Sutiyoso, yang mengatakan:
―Penemuan hukum oleh hakim merupakan sesuatu yang lain daripada hanya
penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya, kadang-kadang dan bahkan
sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan
interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtssvervijning
(pengkonkretan hukum).‖93
89
90
91
92
93
382
Lihat Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang berbunyi : ―Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,
dan ,memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.‖
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Tentang Penemuan Hukum,
Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 7. Dalam, Tendik Wicaksono, Penjatuhan Pidana oleh
Hakim dibawah Batas Minium Khusus dari Ketentuan Undang-Undang dalam
Perkara Tindak Pidana Narkotika, Fakultas Hukum, Program Pascasarjana
Universitas Indonesia, 2011, hlm. 80
Ibid, hal. 89.
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum yang
Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, 2006, hal. 28.
Bambang Sutiyoso, Loc. Cit.
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
Menurut Sudikno Mertokusumo, mangatakan bahwa :
―Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugaspetugas hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristiwaperistiwa hukum yang konkret. Dengan kata lain, merupakan proses konkretisasi
atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan
mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu. Yang penting dalam
penemuan hukum adalah sebagaimana mencarikan atau menemukan hukum untuk
peristiwa kongkret.‖94
Ada beberapa peristilahan yang sering dikaitkan dengan penemuan hukum,
95
yaitu:
a. Rechtsvorming (pembentukan hukum), yaitu merumuskan peraturan-peraturan
yang berlaku secara umum bagi setiap orang. Lazimnya dilakukan oleh
pembentuk undang-undang. Hakim juga dimungkinkan sebagai pembentuk
hukum (judge made law) kalau putusannya menjadi yurisprudensi tetap (vaste
jurisprudence) yang diikuti oleh para hakim dan merupakan pedoman bagi
kalangan hukum pada umumnya.
b. Rechstoepassing (penerapan hukum), yaitu menerapkan peraturan hukum yang
abstrak sifatnya pada peristiwanya. Untuk itu peristiwa konkret harus dijadikan
peritiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat diterapkan.
c. Rechtshandhaving (pelaksaan hukum), dapat berarti menjalakan hukum, baik
ada sengketa / pelanggaran maupun tanpa sengketa.
d. Rechtschepping (penciptaan hukum), berarti bahwa hukumnya sama sekali
tidak ada, kemudian diciptakan, yaitu dari tidak ada menjadi ada. Menurut
pendapat Roeslan Saleh, hanya pembuat undang-undanglah yang mencipta
hukum, tugas hakim adalah semata-mata menerapkan undang-undang.96
e. Rechtsvinding (penemuan hukum), dalam arti bahwa bukan hukumnya tidak
ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali dan diketemukan.
Istilah Rechtsvinding (penemuan hukum), Rechtsvorming (pembentukan
hukum) dapat memunculkan polemik dalam penggunaanya. Menurut pendapat
Algra, sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokususmo dan A. Pitlo, orang lebih
suka menggunakan istilah ―pembentukan hukum‖ daripada ―penemuan hukum‖
oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya
sudah ada.97
Mengenai macam-macam pembentukan hukum, dapat dibedakan menjadi 2
(dua) yaitu :98
94
95
96
97
98
Sudikno Mertokususmo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Liberty,
1996, hal. 49.
Ibid, hal. 36-37.
Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan, Aksara Baru, Jakarta,
1979, hal. 16. Dalam, Tendik Wicaksono, Penjatuhan Pidana oleh Hakim … Op.cit.,
hlm. 82
Sudikno Mertokususmo dan A. Pitlo, Op. Cit., hal.4.
Bambang Sutiyoso, Op. Cit., hal. 38-39.
383
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
1. Penemuan hukum heteronom (typisch logistisch); Penemuan hukum disini
dianggap sebagai kejadian yang teknis dan kognitif, yang mengutamakan
undang-undang. Sedangkan hakim tidak diberi kesempatan untuk berkreasi
atau melakukan penilaian. Hakim dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar
dirinya. Dalam hal ini hakim tidak bersikap mandiri, karena harus tunduk pada
undang-undang (legisme/typis logicitis). Hakim hanyalah sebagai penyambung
lidah atau corong dari undang-undang, tidak dapat menambah dan mengurangi
apa yang sudah ditentukan dalam undang-undang.
2. Penemuan hukum otonom (materiel juridisch); Dalam penemuan hukum
otonom, hakim tidak lagi dipandang sebagai corong atau terompetnya undangundang, tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri member bentuk
pada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuihan atau
perkembangan masyarakat. Penemuan hukum otonom bersumber dari hati
nurani sendiri, hakim tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar dirinya.
Dalam kontek penegakan hukum tindak pidana korupsi pada dasarnya
Hakim di Indonesia menganut penemuan hukum heteronom, sepanjang hakim
terikat pada undang-undang. Tetapi dalam penemuan hukum itu juga mempunyai
unsur otonom yang kuat, karena hakim seringkali harus menjelaskan atau
melengkapi undang-undang menurut pendangannya sendiri. Sebagai contoh kalau
ada hakim Pengadilan Negeri yang mengacu kepada putusan hakim di atasnya (PT
atau MA), tetapi asasnya tetap bahwa hakim tidak terikat pada putusan hakim lain.
Hal ini merupakan sifat otonom. Mengacunya hakim pada putusan hakim lain,
tidak berarti menganut asas the binding force of precedent, seperti dianut oleh
Negara-negara Anglo Saxon, tetapi karena adanya keyakinan bahwa putusan yang
dianutnya itu memang tepat (The persuacive force of precedent).99
Pada dasarnya melakukan penafsiran terhadap suatu ketentuan undang-undang,
termasuk undang-undang tindak pidana korupsi pada tataran praktek atau terhadap
peristiwa kongkrit, hakim dapat melakukan penafsiran/Interpretasi menurut bahasa.
Metode interpretasi ini yang disebut interpretasi gramatikal yang merupakan cara
penafsiran atas penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna
ketentuan undang-undangdengan menguraikan menurut bahasa, susunan kata atau
bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari hanya
sekedar ―membaca undang-undnag‖.
Kemudian hakim dapat melakukan interpretasi teleologis atau sosialogis,
yaitu apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan
kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini undang-undang yang masih
berlaku tetapi sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan,
kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada
waktu diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak.
Interpretasi sistematis dapat juga dilakukan oleh hakim dalam menangani
suatu perrkara hukum, yaitu menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari
keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan
undang-undang lain. Hal ini disebabkan terjadinya suatu undang-undang selalu
99
384
Ibid. hal. 40.
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
berkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain, dan tidak ada undangundang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundangundangan.
Interpretasi historis dapat dilkukan oleh seorang hakim dengan meneliti
sejarah terjadinya undang-undang tersebut. Penafsiran ini dikenal sebagai
interpretasi historis. Jadi penafsiran historis merupakan penjelasan menurut
terjadinya undang-undang. Ada dua macam interpretasi historis, yaitu penafsiran
menurut sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. Kemudian
hakim dapat juga melakukan interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum
yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang dengan
berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai ketentuan hukum.
Metode-metode penafsiran tersebut diatas dapat dijumpai dalam beberapa
putusan yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini terhadap beberapa putusan
hakim yang menerapkan metode tersebut dalam menjatuhkan vonis atau putusan
yang melampui ketentuan formal pidana minimum khusus dalam Undang-undang
tindak Pidana Korupsi.
B. Dasar Penjatuhan Putusan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi
Tugas dan tanggung jawab Hakim sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini
sangat berat, karena hakim dalam menjatuhkan suatu putusan atau vonis tidak
hanya mempertimbangkan kepentingan hukum semata dalam putusan perkara yang
dihadapi melainkan juga mempertimbangkan aspek keadilan agar tujuan penegakan
hukum yaitu untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bisa tercapai.
Putusan hakim pada dasarnya menjadi harapan masyarakat agar putusan tersebut
benar-benar mencerminkan rasa keadilan, namun sebagai manusia, hakim dalam
putusannya juga tidak mungkin memuaskan semua pihak, tetapi walaupun begitu
hakim tetap diharapkan menghasilkan putusan yang seadil-adilnya sesuai faktafakta hukum di dalam persidangan yang didasari pada aturan dasar hukum yang
jelas (azas legalitas) dan disertai dengan hati nurani hakim.
Putusan hakim adalah merupakan hasil (output) dari kewenangan
mengadili setiap perkara yang ditangani dan didasari pada Surat Dakwaan dan
fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan dihubungkan dengan penerapan
dasar hukum yang jelas, termasuk didalamnya berat ringannya penerapan pidana
penjara (pidana perampasan kemerdekaan), hal ini sesuai asas hukum pidana yaitu
asas legalitas yang diatur pada pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu Hukum Pidana harus
bersumber pada undang-undang. Artinya pemidanaan haruslah berdasarkan
Undang-undang.
Penerapan berat ringannya pidana yang dijatuhkan tentu bagi seorang
hakim disesuaikan dengan apa yang menjadi motivasi dan akibat perbuatan si
pelaku, khususnya dalam penerapan jenis pidana penjara, namun dalam hal
Undang-Undang tertentu telah mengatur secara normatif tentang pasal-pasal
tertentu tentang pemidanaan dengan ancaman minimal seperti diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Hakim dihadapkan dalam praktek peradilan dimana ada yang betul-betul
385
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
menerapkan aturan hukum sebagaimana adanya dengan alasan kepentingan
Undang-Undang dan ada juga sebagian hakim yang menerapkan / menafsirkan
undang-undang yang tertulis dengan cara memberikan putusan pidana (Straft
Macht) lebih rendah dari batas ancaman minimal dengan alasan demi keadilan
masyarakat.
Secara formiil terdapat 2 (dua) hal yang harus dipertimbangkan oleh hakim
sebelum menjatuhkan putusannya, ketentuan mengenai dua hal tersebut
sebagaimana diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), dimana struktur pengambilan keputusan adalah, Pertama, pertimbangan
tentang fakta-fakta (apakah terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang
dituduhkan kepadanya. Kemudian yang kedua adalah pertimbangan tentang
hukumnya (apakah perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana dan terdakwa
bersalah, sehingga bisa dijatuhi putusan pidana.100
Pada dasarnya hakim dalam menjatuhkan putusan, termasuk pula putusan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi, hakim dapat menggunakan beberapa hal
yang menjadi dasar pertimbanganya, dan kemudian dasar pertimbangan tersebut
dimasuk ke dalam putusan yang meliputi, pertimbangan yang bersifat yuridis dan
pertimbangan yang bersifat non yuridis dan hal-hal yang memberatkan serta hal-hal
yang meringankan.
a. Pertimbangan yang bersifat yuridis dan pertimbangan yang bersifat non
yuridis.
Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang
didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh
undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam
putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis diantaranya:
1) Surat dakwaan dan surat tuntutan/tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum
(JPU)
Surat dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena
berdasarkan pada surat dakwaan itulah pemeriksaan atas suatu perkara
dipersidangan dilakukan (Pasal 143 ayat (1) KUHAP). Surat Dakwaan
berisi mengenai identitas terdakwa, uraian tindak pidana yang
didakwakan, serta waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana (Pasal
143 ayat (2) KUHAP). Selain itu di dalam Surat Dakwaan juga memuat
pasal yang dilanggar. Perumusan dakwaan didasarkan dari hasil
pemeriksaan pendahuluan yang dapat disusun tunggal, kumulatif,
alternatif maupun subsidiair.101 Sedangkan surat tuntutan berisi antara
lain mengenai hasil pemeriksaan di persidangan, yang meliputi
pemeriksaan alat bukti dan juga barang bukti, serta pembuktian atas surat
100
101
386
Sudarto, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, Loka Karya Masalah Pembaharuan
Kodifikasi Hukum Pidana Nasional (Buku I). Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Depertemen Kehakiman, 1984. Dalam, Tendik Wicaksono, Penjatuhan Pidana oleh
Hakim, … Op.cit., hlm. 102.
Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm.125.
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
dakwaan yang memuat pasal yang dilanggar dan terkahir tuntutan pidana
yang dijatuhkan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa.
Dalam beberapa kasus korupsi, dakwaan Jaksa ini sangat penting dan
menjadi dasar utama dalam penjatuhan putusan pidana oleh hakim. Pada dasarnya
bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan putusan keluar dari dakwaan Jaksa Penuntut
Umum. Namun dalam beberapa kasus tertentu peutsan hakim bisa menyampingkan
dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Penyampingan atau putusan hakim yang keluar
dari dakwaan Jaksa ini sering terjadi dan masing-masing putusan hakim memiliki
alasan atau pertimbangan hukum yang berbeda-beda.
Dalam kasus atas nama terdakwa Kardono T, dalam perkara Nomor 2399
K/Pid.Sus/2010, dapat dikatakan bahwa hakim pada pengadilan tingkat banding
maupun pengadilan tingkat kasasi melakukan terobosan hukum. Sebab Terdakwa
didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal (Pasal 2 ayat (1) Jo.
Pasal 18 ayat (1) huruf a,b, ayat (2) dan (3) Undang-undang No 31 Tahun 1999 Jo.
Undang-undang No 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP). Walaupun
pilihan bentuk dakwaan adalah wewenang Jaksa Penuntut Umum, akan tetapi
dakwaan tunggal terhadap perkara a quo (atau perkara korupsi pada umumnya)
menyebabkan Majelis Hakim pada posisi dilematis, karena tidak ada pilihan untuk
menerapkan hukum yang tepat atau adil bagi Terdakwa, dan bagi penegakkan
hukum itu sendiri.
Terobosan hukum ini dengan suatu pertimbangan bahwa, walaupun
perbuatan Terdakwa terbukti memenuhi segenap unsur dakwaan Pasal 2 ayat (1)
Jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a,b, ayat (2) dan (3) Undang-undang No 31 Tahun 1999
Jo. Undang-undang No 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP a quo,
namun Majelis Hakim menilai penerapan pidana minimal khusus sebagaimana
diatur dalam pasal dakwaan yang dimaksud, dapat mencederai rasa keadilan karena
ketidakseimbangan antara perbuatan yang dilakukan Terdakwa dihubungkan
dengan jumlah kerugian Negara yang timbul akibat perbuatan Terdakwa dan
dihubungkan pula dengan besaran nilai yang diperoleh Terdakwa oleh sebab
perbuatannya tersebut yakni sebesar Rp. 2.900.000,- (dua juta sembilan ratus ribu
rupiah).
Lain halnya dengan kasus korupsi dengan terdakwa mantan Bupati
Lampung Timur, Hi. SATONO. Dakwaan Jaksa cukup lengkap berupa dakwaan
primer, dakwaan subsidair, serta dakwaan lebih subsidair. Surat Dakwaan yang
dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sudah cukup jelas, cermat, dan lengkap,
sehingga telah memenuhi unsur formil dan unsur materiil, baik mengenai tempus
maupun locus delicti-nya sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP.
Surat Dakwaan juga telah menyebutkan secara rinci pasal yang didakwakan dan
fakta hukum yang menunjukkan bahwa seluruh unsur tindak pidana korupsi yang
didakwakan terpenuhi.
Namun hakim menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa dari segala
dakwaan JPU, karna menurut pertimbangan majelis hakim tingkat pertama bahwa
terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana
korupsi sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Perbuatan terdakwa lebih
387
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
pada perbutan administrasi, sehingga terdakwa harus bebas dari segala dakwaan
dan tuntutan JPU.
2) Pertimbangan yang bersifat yuridis lainya adalah, alat bukti yang sah,
sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, meliputi :
a) Keterangan saksi
b) Keterangan ahli
c) Surat
d) Petunjuk
e) Keterangan terdakwa
3) Barang bukti
Walaupun barang bukti bukan sebagai alat bukti namun penuntut umum
menyebutkan barang bukti itu di dalam surat dakwaannya yang kemudian
mengajukannya kepada hakim dalam pemeriksaan, baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi.102 Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan
menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin
apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa maupun para saksi.
Sedangkan mengenai berat ringannya barang bukti yang dimiliki terdakwa,
seperti yang terjadi dalam tindak pidana korupsi, hal ini juga mempengaruhi
pertimbangan yang diambil oleh hakim dalam menjatuhkan putusannya.
4) Pasal-pasal pidana korupsi dalam Undang-undang tindak pidana korupsi
Hal yang sering terungkap di persidangan adalah pasal-pasal yang
dikenakan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Pasal-pasal ini bermula dan
terlihat dalam surat dakwaan yang diformulasikan oleh penuntut umum sebagai
ketentuan hukum tindak pidana korupsi yang dilanggar oleh terdakwa.
Dalam persidangan, pasal-pasal dalam Undang-undang tindak pidana
korupsi itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Penuntut umum dan
hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang
apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang
dirumuskan dalam pasal Undang-undang Korupsi tersebut.
Unsur-unsur yang sering muncul dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum
terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
1) Unsur memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi
2) Unsur merugikan keuangan Negara atau perekonomian nasional
Apabila ternyata perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap
pasal yang dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa
melakukan perbuatan seperti dalam pasal yang didakwakan kepadanya. Dari
beberapa kasus yang menjadi kajian dalam tulisan ini pada umumnya pasal-pasal
yang didakwakan dalam suatu tindak pidana korupsi adalah Pasal 2 ayat (1)
maupun Pasal 2 ayat (3) Jo Pasal 18 ayat (1), (2), (3). Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi sebagaiamana yang
diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
102
388
Lihat ketentuan Pasal 181 ayat (1) dan (2) KUHAP.
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
Tidak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sebagaimana dalam
putusan Nomor 2399 K/Pid.Sus/2010. Dalam kasus yang lain dakwaan juga
didasarkan pada Pasal 12 huruf b UU No. 20 tahun 2001 Perubahan atas undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi.
Pasal-pasal yang didakwakan oleh penuntut umum, sebagaimana yang
dituangkan di dalam tuntutan pidannya menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan. Menurut Pasal 197 huruf f KUHAP, salah satu yang harus
dimuat dalam surat putusan pemidanaan adalah pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar pemidanaan. Sedangkan menurut Pasal 50 ayat (1)
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, disebutkan bahwa : ―Putusan pengadilan
selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari
peraturan perundang-undnagan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.‖
Selanjutnya pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis. Di dalam
menjatuhkan putusannya, selain mempertimbangkan hal-hal yang sifatnya yuridis,
hakim juga membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis. Sebagaimana pula
pertimbangan yang bersifat yuridis, pertimbangan yang bersifat non yuridis juga
didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan, yang antara
lain mencakup terdakwa:103
a) Akibat yang muncul dari perbuatan terdakwa
Perbuatan terdakwa dalam melakukan tindak pidana korupsi tentu
berakibat terhadap kerigian keuangan Negara dan kerugian ekonomi nasional.
Akibat adanya potensi kerugian Negara maupun potensi kerugian ekonomi
nasional ini menjadi dasar pertimbangan secara materil bagi hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
Akibat yang timbul dari suatu perbuatan pidana korupsi dalam hal ini
adalah adanya unsur kerugian keuangan Negara menjadi salah satu point penting
bagi hakim untuk menentukan berat ringannya penjatuhan putusan pidana terhadap
terdakwa. Dalam beberapa contoh kasus putusan yang menjadi bahan kajian dalam
tulisan ini misalnya, pada putusan Nomor: 2399 K/Pid.Sus/2010 dengan terdakwa
Kardono T, pertimbangan Majelis Hakim tingkat kasasi dengan menjatuhkan
putusan 1 (satu) tahun di bawah minimum khusus dari dakwaan Jaksa Penuntut
Umum 4 (empat) tahun karena salah satu dasar pertimbangannya adalah unsur
kerugian Negara sebagai akibat dari perbuatan terdakwa tidak terlalu signifikan.
Berbeda halnya dengan putusan Nomor: 253 K/PID.SUS/ 2012 dengan
terdakwa, mantan Bupati Lampung Timur Hi. SATONO, walaupun pada
pengadilan tingkat pertama terdakwa divonis bebas oleh majelis hakim dari segala
dakwaan dan tuntutan Jaksa penuntut Umum, dengan alasan bahwa terdakwa tidak
terbukti secara formal melakukan tindak pidana korupsi, dan tidak adanya unsur
kerugian Negara yang timbuk akibat perbuatan terdakwa sebagaimana dakwaan
Jaksa Penuntut Umum. Namun putusan tingkat pertama ini dianulir dan dibatalkan
oleh Majelis Hakim tingkat Kasasi, dengan menjatuhkan vonis penjara selama 15
103
Tendik Wicaksono, Penjatuhan Pidana oleh Hakim di Bawah Batas Minimum Khusus
dari Ketentuan Undang-Undang dalam Perkara Tindak …., Op.cit., hlm. 103.
389
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
(lima belas) tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah),
serta Menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar
Rp.10.586.575.000,- (sepuluh milyar lima ratus delapan puluh enam juta lima ratus
tujuh puluh lima ribu rupiah).
Penjatuhan pidana terhadap terdakwa ini tentu dengan suatu pertimbangan
bahwa akibat perbuatan terdakwa dapat menimbulkan kerugian keuangan Negara
sebesar Rp. 119.448.199.800,-. Dapat dipahami bahwa ketika Majelis Hakim
tingkat kasasi menjatuhkan vonis 15 (lima belas) tahun penjara terhadap terdakwa
Hi. SATONO yang dalam putusan tingkat pertama terdakwa divonis bebas dari
segala dakwaan, apabila apabila dicerna ketentuan tentang tindak pidana korupsi
seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1), akan ditemui beberapa unsur tindak
pidana korupsi yaitu, Secara melawan hukum; Memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi; dan Merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
―secara melawan hukum‖ mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil
―maupun‖ dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak teratur
dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana pertimbangan Majelis Hakim
tingkat pertama, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, karena tidak
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat,
maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Sehingga walaupun pada pengadilan tingkat pertama terdakwa dibebaskan
dari segala dakwaan karena menurut pendapat majelis hakim perbuatan terdakwa
tidak menyalahi ketentuan hukum formiil, perbuatan Terdakwa lebih pada tindakan
administrasi yang menjadi kewenangan (diskresi) Terdakwa selaku pejabat
administrasi, namun secara materiil perbuatan terdakwa dianggap tercela dan
menciderai rasa keadilan masyarakat.
Dengan adanya kata ―maupun‖ dalam penjelasan tersebut, dapat diketahui
bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengikuti 2 (dua) ajaran sifat
melawan hukum secara alternatif, yaitu :
a. Ajaran sifat melawan hukum formil, atau
b. Ajaran sifat melawan hukum materiil.
Roeslah Saleh104 mengemukakan: Menurut ajaran melawan hukum, yang
disebut melawan hukum materiil tidaklah sekadar bertentangan dengan hukum
tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis.
Sebaliknya, ajaran melawan hukum formil berpendapat bahwa melawan
hukum adalah bertentangan dengan hukum tertulis saja. Jadi menurut ajaran
materiil, disamping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu memenuhi semua unsur
yang disebut dalam rumusan delik, perbuatan harus benar-benar dirasakan
mayarakat sebagai tidak boleh atau tidak patut.‖
Dalam kepustakaan hukum pidana, terdapat 2 (dua) fungsi dari ajaran sifat
melawan hukum materiil,105 yaitu :
104
390
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Hukum Pidana,: Aksara Baru,
Jakarta, 1987, hlm. 7.
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
a. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, yaitu suatu
perbuatan, meskipun oleh peraturan perundang-undangan tidak ditentukan
sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat perbuatan
tersebut besifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud tetap merupakan
perbuatan yang bersifat melawan hukum;
b. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, yaitu
suatu perbuatan, meskipun menurut peraturan perundang-undangan merupakan
perbuatan yang melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian masyarakat
perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum, perbuatan yang dimaksud
adalah perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum.
Oleh karena penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan ―secara melawan hukum‖ dalam Pasal 2 ayat (1) mencakup
perbuatan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan
sosial dalam masyarakat, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, maka dapat diketahui bahwa ajaran sifat melawan hukum
materiil yang diikuti oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengikuti ajaran
melawan hukum materiil? Oleh penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan
negara dan perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit.
Sehingga menurut penulis putusan 15 (lima belas) tahun penjara yang
dijatuhkan oleh Majelis Hakim tingkat kasasi dalam kasus korupsi Dana Kas
Daerah oleh mantan Bupati Lampung Timur adalah sudah tepat, dan putusan ini
menganulir putusan pengadilan tingkat pertama yang membebaskan terdakwa dari
segala dakwaan dan tuntutan JPU.
b) Peran atau kedudukan terdakwa
Maksud peran atau kedudukan terdakwa disini yaitu pada saat melakukan
tindak pidana, apakah terdakwa hanya seorang diri ataukah ada orang lain yang
juga turut melakukannya. Peran atau kedudukan terdakwa di dalam terjadinya
tindak pidana ini pastinya akan menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusannya, terutama dalam hal penentuan berat ringannya pidana yang dijatuhkan.
Penjatuhan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dibawah batas
minimum khusus, yang menganulir putusan Majelis Hakim PN Singkawan 4 tahun
penjara dengan pertimbangan bahwa Pengadilan Tinggi sependapat dengan
pertimbangan Hakim Tingkat Pertama dalam putusannya, bahwa terdakwa terbukti
dengan sah dan menyakinkan bersalah melakukan tidak pidana sebagaimana yang
didakwakan kepadanya dan pertimbangan Hakim Tingkat pertama tersebut dan
diambil alih dan dijadikan pertimbangan Pengadilan Tinggi sendiri dalam memutus
perkara ini dalam tingkat banding, kecuali mengenai pidana yang dijatuhkan
terhadap terdakwa, menurut pendapat Pengadilan Tinggi terlalu berat, karena saksi
Erwin Irawadi-terdakwa dalam perkara lain sebagai aktor intelektual kasus tersebut
105
Lihat misalnya pada Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Hal. 133, Roeslan Saleh,
Sifat-sifat mealwan hukum dari Perbuatan Pidana, hal, 18-19, Indriyanto Seno Adji,
Korupsi dan Hukum Pidana, hlm. 131-193.
391
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
sampai kasus ini diputus Pengadilan Tinggi belum diputus oleh Pengadilan Negeri
Singkawang.
Dalam kasus aquo seharusnya Jaksa Penuntun Umum tidak mengajukan
perkara terdakwa ini dengan dakwaan tunggal sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 ayat (1) (2) (3) dan seterusnya akan tetapi
surat dakwaan tersebut harus bersifat subsidairitas – primer melanggar Pasal 2 ayat
(1) dan subsidair melanggar Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi, sehingga Majelis Hakim Tingkat Pertama
diberi kebebasan memutus apakah yang terbukti dakwaan primair atau subsidair.
Kemudian pertimbagan pertimbangan majelis hakim banding selanjutnya
dengan mengacu pada Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI dengan jajaran
tingkat banding pada Tanggal 09 Oktober 2009 di Palembang, bahwa Hakim dapat
menjatuhkan pidana dibawah pidana minimal asalkan didukung pada bukti dan
pertimbangan hukum yang melandasi, jelas dan logis dan sesuai dengan rasa
keadilan yang bersifat kasuistis.
Bahwa dalam perkara aquo terdakwa hanya mendapat fee sebesar 5% dari
nilai proyek pakaian, sedangkan Kodary Pardy – Direktur Gita Tailor dan Lusiana
MS – Direktur C.Y.C Tailor selaku yang mendapat proyek pekerjaan menjahit
pakaian tersebut tidak diproses hukum, karena DPO, demikian juga saksi Hanida,
Ibrahim Ali, BA, Samino, Drs Herman dan saksi Erwin Irawadi – terdakwa dalam
perkara terpisah seharusnya juga dijadikan sebagai tersangka, karena mereka lah
secara aktif turut merekayasa proyek pengadaan pakaian dinas dilingkungan
Sekretariat DPRD Singkawang sejumlah 130 potong pakaian dengan pagu
anggaran Rp.64.948.000,- (enam puluh empat juta sembilan ratus empat puluh
delapan ribu rupiah).
Ditinjau dari segi uang berupa fee sebesar Rp.2.900.000,- (dua juta
sembilan ratus ribu rupiah) yang diperoleh terdakwa, dikarenakan ia telah
meminjamkan nama perusahaannya PD.GITA TAILOR dan PD C.Y.C TAILOR
kepada saksi Erwin Erawadi, adalah tidak pantas dan tidak adil jika terdakwa
dijatuhi hukuman sebagaimana yang telah dijatuhkan oleh Majelis hakim Tingkat
Pertama, kendatipun lamanya hukuman yang diajtuhkan tersebut sudah mencapai
batas minimal dari pasal yang didakwakan kepadanya (vide Pasal 2 Jo Pasal 18
ayat (1) (2) dan (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tidak Pidana Korupsi sebagaiamana yang diubah dan ditambah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas undang-undang No.31 tahun
1999, tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pejatuhan pidana dibawah batas
minimum khusus sebagaimana tuntutan Jaksa Penuntut Umum dapat diterapkan
jika faktor peran terdakwa dalam kasus korupsi yang didakwakan sangat kecil.
Bahkan terdakwa dalam hal ini tidak berperan signifikan, terdakwa hanya
mendapat fee dari penggunaan nama perusaan yang dipinjam untuk memenuhi
syarat formalitas pengajuan tender proyek pengadaan pakaian dinas tersebut.
392
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
b. Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pidana.
Berkenaan dengan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang
meringankan perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa, pada dasarnya kedua
hal ini haruslah termuat di dalam setiap putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh
hakim. Hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam Psal 197 ayat (1) huruf f
KUHAP, yang menyebutkan putusan pemidanaan memuat keadaan yang
memberatkan dan yang meringankan terdakwa.
1) Hal-hal yang memberatkan perbuatan pidana
KUHPidana mengenal 3 macam alasan-alasan umum yang menambah
beratnya pidana, yaitu :
a) Kedudukan sebagai pejabat (ambtelijke hoedanigheid) (Pasal 52 KUHP)
b) Recedive (perulangan) / pernah dijatuhi pidana
c) Gabungan (samenloop) (title VI Buku I KUHP)
Seringkali di dalam putusannya, selain mempertimbangkan hal-hal
sebagaimana yang telah diatur di dalam KUHP, hakim juga mempertimbangkan
hal-hal yang memberatkan lainnya yang tidak diatur dalam KUHP, seperti
misalnya perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat dan juga barang bukti yang
dimiliki terdakwa sangat besar.
Salah satu contoh pertimbangan hakim terhadap hal-hal yang memberatkan
pada kasus korupsi Dana Kas Daerah Nomor: 253 K/PID.SUS/ 2012 dengan
terdakwa mantan Bupati Lampung Timur dalam putusan Majelis Kasasi yang
memvonis 15 tahun penjaran dari putusan bebas yang dijatuhkan oleh Majelis
hakim tingkat pertama, dalam hal pertimbangan hal-hal yang memberatkan adalah:
a. Terdakwa selaku Bupati tidak mendukung Program Pemerintah dalam upaya
memberantas korupsi;
b. Kerugian keuangan Negara yang timbul akibat perbuatan Terdakwa jumlahnya
fantastis untuk satu Kabupaten i.c. Kabupaten Lampung Timur;
c. Perbuatan Terdakwa melukai rasa keadilan masyarakat yang hidup di bawah
garis kemiskinan yang mendambakan tegaknya hukum, kebenaran dan
keadilan sosial ;
2) Hal-hal yang meringankan perbuatan pidana
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) alasan-alasam yang
meringankan pidana adalah :
a. Percobaan (Pasal 53 ayat (2) dan (3)
b. Membantu (medepliplichtighied) (Pasal 57 ayat (1) dan (2))
c. Belum dewasa (minderjarigheid) (Pasal 47)
Adapun di dalam proses persidangan, seringkali muncul hal-hal yang
meringankan bagi terdakwa, yang mana hal ini juga menjadi pertimbangan bagi
terdakwa, yang mana hal ini juga menjadi pertimbangan hakim di dalam
menjatuhkan putusannya, diantaranya adalah : terdakwa belum pernah dipidana,
terdakwa mangakui dan menyesali perbuatannya, dan juga terdakwa masih berusia
anak.
Selain pertimbangan yang bersifat yuridis dan pertimbangan yang bersifat
non yuridis, serta hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pidana,
393
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
terdapat pula hal-hal lain yang juga menjadi dasar pertimbangan hakim di dalam
menjatuhkan putusannya, terutama terkait dengan berat ringannya pidana yang
akan dijatuhkan, yakni sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 55 pada Bab III
Buku I Rancangan KUHP Baru yang khusus menagtur mengenai pedoman
pemidanaan, yang bunyinya sebagai berikut :
Ayat (1) Dalam Pemidanaan wajib mempertimbangkan :
a. Kesalahan pembuat tindak pidana;
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. Sikap batin pembuat tindak pidana;
d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
e. Cara melakukan tindak pidana;
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana;
h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban / keluarga korban;
j. Pemaafan dari korban dan / atau keluarganya; dan / atau
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan;
Ayat (2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan
pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar
pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan
pertimbangan segi keadilan dan kemanusiaan.
Menurut pendapat dari Sudarto, apa yang tercantum di dalam Pasal 55,
terutama ayat (1), sebenarnya merupakan suatu daftar yang harus diteliti (check
list) sebelum hakim menjatuhkan putusan.106 Dalam daftar tersebut memuat hal-hal
yang diluar pembuat, sehingga dengan memperhatikan butir-butir tersebut
diharapkan penjatuhan pidana lebih proposional dan lebih dipahami mengapa
pidananya seperti yang dijatuhkan.107
Selain yang terdapat di dalam Pasal 55 pada Bab III Buku I Rancangan
KUHP Baru, mengenai hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam
menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan juga telah diatur di
dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, khususnya Pasal 8 ayat (2).108
Terkait dengan beratnya ringannya suatu pidana yang dijatuhkan oleh
hakim, J.E. Sahetapy mengatakan :
―Patutlah diingat bahwa masalah berat atau takaran pidana sangat erat bertautan
dengan konsep penilaian yang hendak diberikan terhadap kejahatan atau jenis
kejahatan yang tertentu. In concrete lazimnya takaran atau berat ringannya
pidana dikaitkan dengan sikap penjahat selama ia diadili. Selain dari itu takran
tersebut dipengaruhi juga oleh hal-hal lain, seperti apakah ia mempersulit
jalannya sidang dan sebagainya. Ada pula beberapa hal lain yang tampaknya
106
107
108
394
Sudarto, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, dalam Tendik Wicaksono, Op.cit., hlm.
104
Ibid
Lihat Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang berbunyi :‖Dalam mempertimbangkan berat tingannya pidana,
hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.‖
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
dilupakan, seperti realitas kehidupan sosial, sepak terjang hidupnya, sifat, bentuk
dan cara kejahatan yang dilaksanakannya serta juga bagaimana skala nilai-nilai
sosial masyarakat yang bersangkutan.‖109
Berdasarkan pendapat J. E. Sahetapy di atas, dapat diketahui bahwasanya
untuk menentukan berat ringannya pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim
terhadap seorang pelaku kejahatan maka hal itu sangat berkaitan dengan sikap dari
pelaku kejahatan tersebut selama manjalani proses persidangan. Seperti misalnya
apabila selama persidangan si pelaku mempersulit persidangan dengan cara
memberikan keterangan yang berbelit belit dan kadang tidak mengakui
perbuatannya, maka hakim bisa saja menjatuhkan pidana yang berat kepada pelaku
kejahatan tersebut.
D. Penafsiran Hakim Terhadap ketentuan Pidana Minimum dan
Penjatuhan Pidana di Bawah Batas Minimum Khusus
1. Perkara Nomor: 1573 K /Pid.Sus/2011
Menarik untuk dikaji putusan Hakim Pengadilan Negeri Payakumbuh
dalam kasus korupsi dengan Nomor Perkara Putusan Mahkamah Agung No: 1573
K /Pid.Sus/2011. Majelis Hakim pada Pengadilan Tingkat Pertama dalam perkara
ini menjatuhkan vonis penjara selama 5 (lima) bulan terhadap terdakwa atas nama
Edi Ahmad yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi terhadap dana bantuan
becana alam di Sumatera Barat.
Vonis majelis hakim tingkat pertama dalam kasus ini lebih rendah dari
dakwaan JPU yang menuntut agar terdakwa dihukum karena terbukti bersalah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana ―Korupsi Pemalsuan Surat‖, sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah
dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 84 ayat (2) KUHAP sebagaimana
dalam dakwaan Lebih Subsidiair. Oleh karena JPU menuntut agar Terdakwa
dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan dan pidana denda
sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidiair 2 (dua) bulan kurungan.
Pertimbangan majelis hakim tingkat pertama yang menjatuhkan vonis di
bawah batas minimum khusus dari ketentuan Undang-undang Tindak Pidana
Korupsi dengan suatu pertimbangan bahwa, pada dasarnya hukum mempunyai tiga
nilai dasar, yaitu (i) hukum sebagai nilai keadilan; (ii) hukum sebagai nilai
kemanfaatan dan (iii) hukum sebagai nilai kepastian hukum. Dari sisi kepastian
hukum, perbuatan Terdakwa diancam pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh
juta rupiah). Jadi dalam hal ini terdapat pidana minimum yang harus dijatuhkan
sebagaimana dimaksud dalam ancaman pidana Pasal 9 Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi.
109
J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Malang:
Setara Press, 2009, hal. 180.
395
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Sedangkan Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menuntut Terdakwa
dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan dan pidana denda
sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) Subsidair 2 (dua) bulan kurungan.
Majelis Hakim berpendapat penerapan sistem atau asas minimum khusus
mempunyai dua sisi, yaitu sisi menjamin adanya kepastian hukum dan untuk
menghindari adanya disparitas penjatuhan pidana, serta di sisi lain dapat
menimbulkan kesenjangan vonis masa hukuman yang berbeda dalam berat tindak
pidana yang dilakukan, tetapi mendapat hukuman yang sama, yaitu sama-sama
mendapat hukuman minimum khusus. Seharusnya pada kasus yang lebih ringan
dapat memperoleh hukuman yang lebih ringan pula. Justru penerapan asas hukum
cenderung mencerminkan ketidakadilan. Untuk menghilangkan rasa ketidakadilan
itu dari ancaman tindak pidana korupsi, yang dikategorikan relatif kecil, maka
dicantumkan oleh Pembuat Undang-Undang, yaitu Pasal 12 A UU Tindak Pidana
Korupsi, yaitu ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak
pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Bagi
pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,- (lima juta
rupiah), sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah). Pasal 12 A ini merupakan pengecualian penjatuhan pidana
terhadap Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001;
Di bagian lain dalam putusannya, Majelis Hakim tingkat pertama itu
mengatakan dalam pertimbangannya, bahwa Saksi Ahli Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diajukan JPU, dalam keterangan
kesaksiannya di persidangan, tidak dapat menyimpulkan adanya kerugian Negara
dalam perkara Terdakwa. Sedangkan berdasarkan fakta persidangan, bahwa
Terdakwa tidak mendapatkan keuntungan materil dari perbuatan yang didakwakan
kepadanya. Dengan demikian Majelis Hakim berpendapat kurang adil untuk
menerapkan sistem minimal khusus terhadap diri Terdakwa sebagaimana dimaksud
oleh Pasal 9 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu Majelis
Hakim berpendapat Pasal 12 A Undang-Undang Nomor Tindak Pidana Korupsi
dapat diterapkan kepada Terdakwa dalam hal penjatuhan pidana penjaranya.
Bahwa, ancaman pidana sebagaimana dalam Pasal 12 A maupun Pasal 9 UndangUndang tersebut bersifat kumulatif, yaitu di samping pidana penjara, juga
dijatuhkan pidana. Terhadap hal ini Majelis itu berpendapat penjatuhan pidana
denda kepada Terdakwa terlalu berat karena tidak setimpal dengan perbuatan yang
dilakukan, di mana tidak ada bukti selama persidangan berlangsung, bahwa
Terdakwa telah mengambil keuntungan secara materil. Dengan demikian
Terdakwa tidak perlu dijatuhi pidana denda.
Adapun yang mendasari pemikiran Majelis Hakim, bahwa dalam
menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, seharusnya tidak semata-mata bertumpu,
pada pertimbangan aspek yuridis (legal formal) saja, melainkan juga
396
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
mencerminkan nilai-nilai keadilan yang seharusnya diwujudkan oleh peradilan
pidana. Selain itu penjatuhan pidana kepada Terdakwa harus memperhatikan segala
aspek pemidanaan yang integral berorientasi kepada moral justice, social justice
dan legal justice, sebagai wujud pertanggungjawaban Majelis Hakim kepada
masyarakat, Negara dan Bangsa serta terutama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Pada kasus ini dpat ditemukan bahwa hakim lebih menggunakan
penafsiran secara teleologis – sosiologis, sebab majelis hakim mendasarkan pada
fakta hukum dan kenyataan sehari-hari, perbuatan yang dilakukan Terdakwa
memang sudah biasa dilakukan, sebagaimana keterangan saksi mantan Kepala
Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Lima puluh Kota, Ir. Sulaiman, begitu juga
keterangan saksi dari Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Dinas Tanaman Pangan
Kabupaten Lima Puluh Kota, dan keterangan para saksi dari Kelompok Tani yang
menerangkan bahwa sudah ada kebiasaan yang berlaku, Berita Acara biasanya
ditandatangani terlebih dahulu, ketimbang sebelum barangnya datang. Keadaan ini
dimungkinkan karena sistem keuangan pemerintah yang baru akan mencairkan
dana, setelah adanya laporan perkembangan pekerjaan atau penyelesaian pekerjaan.
Namun, Majelis berpendapat, sesuatu yang biasa itu, bukan suatu kebenaran
mutlak, karena secara prinsipnya apa yang dilakukan Terdakwa merupakan
pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan, maka Majelis Hakim
berpendirian bahwa tindak pidana yang dilakukan Terdakwa, haruslah dihukum
dengan tujuan pemidanaan tersebut, dan pemidanaan itu bukanlah pembalasan
hukuman, melainkan sebagai usaha premisif, preventif dan represif serta lebih jauh
dari itu adalah sebagai edukasi, konstruktif dan motivatif, agar Terdakwa tidak
melakukan perbuatan pidana lagi ataupun melakukan perbuatan pidana
pengulangan;
Oleh karena itu Majelis Hakim tingkat pertama, berpendapat tuntutan
pidana JPU kepada Terdakwa sangatlah berat, mengingat pemidanaan, ialah upaya
untuk menyadarkan Terdakwa agar menyadari perbuatannya yang telah melanggar
hukum dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat hukum,
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai
kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai.
Majelis Hakim berpendapat masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa
dalam perkara ini cukup membuat Terdakwa jera dan memikirkan untuk mengubah
hidupnya sehingga Terdakwa patutlah diberi kesempatan untuk berubah menjadi
manusia yang lebih berguna; Oleh karena lamanya pidana penjara yang akan
dijatuhkan atas diri Terdakwa, menurut Majelis Hakim telah cukup adil, memadai,
argumentatif, manusiawi, proporsional dan sesuai dengan kadar kesalahannya;
Oleh karena itu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,
majelis hakim pengadilan tingkat pertama berpandangan bahwa ketentuan pidana
minimum dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi tidak dapat diterapkan
dalam kasus ini, sehingga majelis Hakim hanya menjatuhkan pidana terhadap
Terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan.
397
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Berbagai argumentasi dan pertimbangan Pengadilan Negeri Payakumbuh tersebut
diatas dimentahkan oleh Pengadilan Tinggi Padang. Dalam putusannya, Pengadilan
Tinggi Padang sependapat dengan pertimbangan Hakim tingkat Pertama dalam
putusannya yang menyatakan perbuatan Terdakwa terbukti dengan sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan
dalam dakwaan Lebih Subsidair dan pertimbangan Hakim tingkat pertama tersebut
diambilalih dan dijadikan sebagai pertimbangan Pengadilan Tinggi dalam memutus
perkara ini dalam tingkat banding, kecuali mengenai lamanya pidana yang
dijatuhkan kepada Terdakwa perlu diperbaiki.
Adapun alasan Pengadilan Tinggi tersebut memperbaiki putusan Majelis
Hakim tingkat pertama pada Pengadilan Negeri Payakumbuh, bahwa Pasal 9
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jouncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001, menentukan bahwa batas minimum pidana paling sedikit 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta
rupiah). Menurut Hakim Banding ketentuan pidana dengan batas minimum tersebut
tidak boleh diterobos dengan alasan apapun, atau dengan alasan tiga nilai dasar
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang dikemukakan oleh Hakim
tingkat pertama dalam putusannya. Jika Hakim menjatuhkan pidana di bawah batas
minimum berarti Hakim telah melanggar Undang-Undang dan pada akhirnya akan
terjadi ketidakpastian hukum yang dilakukan oleh Hakim itu sendiri.
Selanjutnya Hakim Majelis Banding mengatakan, penentuan batas pidana
minimum dalam tindak pidana korupsi bertujuan untuk membuat Terdakwa
khususnya menjadi jera dan masyarakat lain umumnya menjadi tidak berbuat lagi
atau takut untuk melakukan perbuatan yang serupa. Berdasarkan pertimbangan
tersebut putusan Pengadilan Negeri Payakumbuh No. 65/Pid.B/2010/ PN.PYK.
tanggal 06 September 2010 harus diperbaiki dan dipandang cukup adil
sebagaimana amar putusan, yang menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi; dengan demikian
Terdakwa dijatuhi vonis dengan hukuman penjara selama 1 (satu) tahun dan denda
sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda
tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Vonis
majelis hakim tingkat banding tersebut sesui dengan ketentuan formal minimum
pemidanaan sebagaimana ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Putusan Majkeis Hakim tingkat banding tersebut kemudian diperkuat oleh
Majelis Hakim pada tingkat Kasasi, meskipun salah satu anggota majelis hakim
pada tingkat kasasi melakukan dissenting oponion dengan pertimbangan bahwa
putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa tidak sesuai dengan keadilan dan hati
nurani, sebab berdasarkan pemeriksaan di persidangan ternyata tidak terbukti
adanya kerugian Negara dan tidak terbukti Terdakwa mendapatkan keuntungan
materiil dari perbuatan yang didakwakan kepadanya; dalam keadaan demikian,
kasus Terdakwa ini lebih dikenal dengan asas hukum ―in dubio pro reo‖, yakni
dalam hal terjadi keadaan yang ragu-ragu, maka harus diperlakukan keadaan yang
398
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
menguntungkan kepada Terdakwa. Untuk itu berdasarkan pertimbangan rasa
keadilan dan dengan merujuk ke Pasal 9 jo Pasal 12A UU Tindak Pidana Korupsi,
mengusulkan agar pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa adalah sebagaimana
pidana yang dijatuhkan oleh Judex Facti (Pengadilan Negeri); oleh karena itu,
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Jaksa / Penuntut Umum harus ditolak
dengan alasan bahwa berdasarkan Pasal 12A UU Tindak Pidana Korupsi di mana
dalam Pasal 12A tersebut tidak mengenal batas pidana minimal melainkan hanya
menetapkan batas hukuman maksimal, yaitu 3 tahun penjara, sedangkan mengenai
denda juga hanya ditetapkan ancaman maksimal Rp 50.000.000,00.
Berdasarkan penjelasan terhadap kasus tersebut di atas tergambar dengan
jelas bahwa terdapat perbedaan penafsiran oleh Hakim baik Majelis Hakim pada
pengadilan tingkat pertama, Majelis hakim pada pengadilan tingkat banding
maupun Majelis Hakim pada pengadilan tingkat kasasi terkait dengan ketentuan
pidana minimum khusus dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dalam
menjatuhkan vonis terhadap terdakwa Edi Ahmad, dalam kasus korupsi dana
bantuan bencana alam di Sumatera Barat.
Perbedaan penafsiran tersebut terjadi karena adanya cara pandang yang
berbeda dari majelis hakim dalam memahami ketentuan pidana minimum khusus
dalam UU Tipikor terhadap kasus tersebut. Majelis Hakim pada pengeadilan
tingkat pertama lebih cenderung menggunakan pedekatan penafsiran sosiologis
dalam memahami kasus tersebut, ketimbang Majelis Hakim pengadilan tingkat
banding dan kasasi lebih cenderung menggunakan pendekatan penafsiran secara
gramatikal, walaupun salah satu anggota majelis yang melakukan dissenting
opinion yang cenderung melakukan penafsiran sosiologis searah dengan
pemahaman dan penafsiran Majelis Hakim Tingkat Pertama.
Vonis pengadilan tingkat pertama lebih mengedepankan konsep
pimidanaan retributive, yang prinsipnya menurut majelis hakim tingkat pertama
bahwa apa yang dilakukan Terdakwa merupakan pelanggaran terhadap ketentuan
perundang-undangan, maka Majelis Hakim berpendirian bahwa tindak pidana yang
dilakukan Terdakwa, Edi Ahmad, haruslah dihukum dengan tujuan pemidanaan
tersebut, dan pemidanaan itu bukanlah pembalasan hukuman, melainkan sebagai
usaha premisif, preventif dan represif serta lebih jauh dari itu adalah sebagai
edukasi, konstruktif dan motivatif, agar Terdakwa tidak melakukan perbuatan
pidana lagi ataupun melakukan perbuatan pidana pengulangan.
Oleh karena itu, Majelis Hakim tingkat pertama tersebut berpendapat
bahwa tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum kepada Terdakwa, Edi Ahmad
sangatlah berat, mengingat pemidanaan, ialah upaya untuk menyadarkan Terdakwa
agar menyadari perbuatannya yang telah melanggar hukum dan mengembalikannya
menjadi warga masyarakat yang baik, taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai
moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman,
tertib dan damai.
Menurut pendapat penulis bahwa pertimbangan majelis hakim tingkat
pertama yang menjatuhkan vonis 4 (emapat) bulan penjara terhadap terdakwa
dalam kasus ini searah dengan konsep filsafat pemidanaan yang bersifat integratif,
399
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
dimana putusan tersebut mengandung dimensi keadilan yang dapat dirasakan oleh
semua pihak yaitu terhadap terdakwa itu sendiri, masyarakat, dan kepentingan
negara. Tegasnya, vonis yang dijatuhkan oleh hakim merupakan keseimbangan
kepentingan antara kepentingan pelaku di satu pihak serta kepentingan akibat dan
dampak kesalahan yang telah diperbuat pelaku di lain pihak. Konkretnya bahwa,
penjatuhan pidana yang berlandaskan kepada asas monodualistik antara
kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. Dengan demikian pemidanaan
yang dijatuhkan hakim tersebut berlandaskan kepada eksistensi 2 (dua) asas
fundamental yang dikenal dalam hukum pidana modern yaitu “asas legalitas”
(yang merupakan asas kemasyarakatan) dan “asas culpabilitas” atau asas
kesalahan yang merupakan asas kemanusiaan/individual.
Putusan majelis hakim tingkat pertama tersebut tidak semata-mata
bertumpu, bertitik tolak pada aspek yuridis (formal legalistik) semata, melainkan
putusan hakim tersebut juga mempertimbangkan aspek, sosiologis dan filosofis
sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan dan dipertanggungjawabkan
adalah keadilan dengan orientasi pada moral justice, sosial justice dan legal
justice.
2. Perkara Nomor: 2399 K/Pidsus/2010
Terdakwa dalam perkara ini atas nama Kardono T yang didakwa dengan
dakwaan tunggal Pasal 2 ayat (1) UU 31 Tahun 1999 bersama-sama dengan Ketua
PPK namun dalam berkas yang terpisah. Di tingkat pertama terdakwa dinyatakan
terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan dan dijatuhi pidana penjara selama
4 tahun penjara dan denda Rp.200 juta subsidiair 1 bulan kurungan dan uang
pengganti sebesar 2,9 juta Di tingkat banding hukuman tersebut dikurangi menjadi
1 tahun penjara dan denda sebesar 200 juta subsidiair 1 bulan kurungan.
Atas putusan Pengadilan Tinggi tersebut JPU mengajukan Kasasi dengan
alasan bahwa putusan yang dijatuhkan PT melanggar sanksi minimum yang diatur
dalam Pasal 2 ayat (1) UU 31 Tahun 1999 dimana dalam pasal tersebut diatur
ancaman minimum 4 tahun penjara dan denda minimum 200 juta. Dalam putusan
Kasasi ini MA pada intinya selaras dengan putusan Pengadilan Tinggi namun
dengan pertimbangan sendiri. Majelis Hakim kasasi berpendapat bahwa walaupun
pilihan bentuk dakwaan adalah kewenangan Jaksa Penuntut Umum akan tetapi
dakwaan tunggal terhadap perkara a quo menyebabkan Majelis Hakim berada pada
posisi dilematis, karena tidak ada pilihan untuk menerapkan hukum yang tepat dan
adil bagi terdakwa dan bagi penegakkan hukum itu sendiri. Oleh karena itu Majelis
Hakim dalam perkara ini mengesampingkan ketentuan ancaman pidana minimum
yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1), hukuman yang dijatuhkan oleh Pengadilan
Tinggi tersebut kembali dikurangi hanya menjadi penjara 1 tahun tanpa pidana
denda dan pidana tambahan uang pengganti dengan pertimbangan bahwa, pada
intinya adalah bahwa penerapan minimal khusus dalam perkara ini dapat
mencederai rasa keadilan karena tidak seimbang dengan perbuatan terdakwa yang
hanya sebesar 2,9 juta.
400
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
Oleh karena itu Majelis Hakim pada tingkat kasasi menjatuhkan putusan
menyatakan Terdakwa tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana ―korupsi secara bersama-sama‖. Dan menjatuhkan pidana
kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dengan beberapa
pertimbangan antara lain:
Bahwa walaupun terdakwa terbukti memenuhi segenap unsur dakwaan
Pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi namun Majelis Hakim menilai
penerapan pidana minimal khusus sebagaimana yang diatur dalam pasal dakwaan
yang dimaksud dapat mencederai rasa keadilan karena ketidakseimbangan antara
perbuatan yang dilakukan Terdakwa dihubungkan dengan jumlah kerugian Negara
yang timbul akibat perbuatan Terdakwa dan dihubungkan pula dengan besaran
nilai yang diperoleh Terdakwa oleh sebab perbuatannya tersebut yakni sebesar
Rp.2.900.000 (dua juta sembilan ratus ribu rupiah).
Menurut pendapat Majelis Hakim lebih lanjut bahwa, tindak pidana
korupsi tidak boleh disikapi secara permisif berapapun nilai kerugian Negara yang
timbul karenanya, akan tetapi sebaliknya penjatuhan pidana yang mencederai rasa
keadilan juga harus dihindarkan. Oleh karena itu dalam hal-hal yang sangat khusus
Mahkamah Agung dalam fungsi mengadili dapat melakukan penerapan hukum
terhadap kasus konkrit yang dihadapi yang aktualisasinya tidak seutuhnya searah
dengan semangat dan kehendak pembuat undang-undang, akan tetapi diselaraskan
dengan tuntutan keadilan masyarakat.
Berdasarkan penjelasan tersebut dari berbagai pertimbangan majelis hakim
yang melakukan penafsiran terhadap ketentuan pidana minimum khusus dalam
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dalam hal ini baik majelis hakim tingkat
pertama, majelis hakim tingkat banding, maupun majelis hakim tingkat kasasi,
masih terdapat perbedaan pendekatan penafsiran yang berbeda-benada. Dalam
perkara Nomor: 1573 K /Pid.Sus/2011, majelis hakim tingkat perta cenderung
menggunakan penafsiran sosiologis, sementara majelis hakim tingkat banding dan
kasasi cenderung untuk menggunakan pendekatan legal formal dengan penafsirat
secara gramatikal.
Berbeda halnya dengan perkara Nomor: 2399 K/Pidsus/2010 majelis
hakim pada tingkat pertama melakukan penafsiran secara gramatikal terhadap
ketentuan pidana minimum khusus dalam undang-undang tindak pidana korupsi,
berbeda dengan penafsiran yang dilakukan oleh Majelis Hakim Kasasi yang
melakukan pendekatan dengan metode penafsiran sosiologis
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas yang didasari pada beberapa
contoh kasus dalam pelaksanaan putusan hakim dalam memutus perkara tindak
pidana korupsi, menunjukan bahwa belum adanya keseragaman dalam menafsirkan
dan menerapkan ketentuan tentang pidana minimum khusus dalam undang-undang
tindak pidana korupsi terhadap pelaku tindak pidana.
E.
Kesimpulan
Masih terdapat perbedaan penafsiran di kalangan para hakim dalam
menerapkan ketentuan pidana minimum khusus terhadap pelaku tindak pidana
401
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
korupsi. Perbedaan penafsiran masih sekitar perbuatan melawan hukum secara
formil, maupun perbuatan melawan hukum secara materil. Padanga majelis hakim
yang menjatuhkan fonis sesuai tuntutan dan ketentuan pidana minimum khusus
dalam UU Tindak Pidana Korupsi, lebih menafsirkan undang undang secara formil
(legal formal). Artinya bahwa jika perbuatan terdakwa terbukti secara formil
melakukan tindak pidana korupsi maka vonis yang dijatuhkan harus sesuai dengan
ketentuan undang-undang tersebut terlepas dari berapa besar atau ada tidaknya
unsur kerugian negara dan ada tidaknya unsur memperkaya diri sendiri atau orang
lain. Padangan semacam ini sebagaimana terlihat dalam pertimbangan majelis
hakim tingkat bandingh dan kasasi dalam perkara Nomor: 1573 K /Pid.Sus/2011.
Sementara itu, dalam kasus ini majelis hakim tingkat pertama dan majelis hakim
kasasi yang melakukan dissenting oponion lebih pada pertimbangan perbuatan
melawan hukum secara materiil, dengan pendekatan penafsiran secara teleologis
atau sosialogis.
Pada umumnya beberapa putusan pengadilan yang menerobos ketentuan
pinadana minimum khusus dalam undang-undang tindak pidana korupsi dilakukan
dengan beberapa kriterian yang menjadi pertimbangan hakim yang paling
mendasar adalah, adanya unsur kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara sebagai akibat perbuatan tiundak pidana korupsi tersebut dan kriteria peran
dan kedudukan terdakwa dalam perbuatan tindak pidana korupsi. Kriteria ini
digunakan untuk mengukur sejauh mana putusan pengadilan tersebut memenuhi
unsur rasa keadilan yang menjadi salah satu tujuan penegakan hukum pidana
korupsi, walaupun secara formal unsur tindak pidana korupsinya terpenuhi
berdasarkan ketentuan undang-undang namun secara materil nilai kerugian
keuangan negara yang didakwakan sangat kecil dan peran serta keterlibatan
terdakwa dalam tindak pidana korupsi tidak terlalu aktif maka, ketentuan formal
pidana minimum khusus ini dapat dikesampingkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum yang
Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, 2006.
Barda Nawawi Arief, Sistem Pemidanaan Menurut Konsep KUHP Baru dan Latar
Belakang Pemikirannya, Kupang : Universitas Cendana Kupang, 1989.
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Menuju
Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan
Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana, Cet. 2, Kencana Prenada Kencana, Jakarta, 2006.
J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana , Malang:
Setara Press, 2009.
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Tentang Penemuan Hukum,
Citra Aditya Bakti, 1993
402
Penafsiran Hakim Terhadap Ketentuan Pidana Minimum Khusus Dalam UU Tipikor
Tendik Wicaksono, Penjatuhan Pidana oleh Hakim dibawah Batas Minium Khusus
dari Ketentuan Undang-Undang dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika,
Fakultas Hukum, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011.
Sudikno Mertokususmo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta :
Liberty, 1996.
Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan, Aksara Baru, Jakarta,
1979.
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Hukum Pidana,: Aksara
Baru, Jakarta, 1987.
Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Tindak Pidana Korupsi
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1660 K/Pid.Sus/2009.
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2399 K/Pidsus/2010
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1573 K /Pid.Sus/2011
403
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
404
ISSN : 2303-3274
MASALAH HUKUM DALAM PENGGUNAAN
SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DI INDONESIA
Asril Sitompul
Dosen Program Magister Ilmu Hukum, STHG – Tasikmalaya
[email protected]
Abstrak
Saat ini di Indonesia penyelenggara telekomunikasi selular telah mencapai jumlah
9 operator pemilik izin penggunaan spektrum frekuensi radio (Mobile Network
Operator – MNO) dan beberapa operator yang tidak memiliki izin penggunaan
spektrum frekuensi radio. Dengan banyaknya perusahaan yang menjadi
penyelenggara telepon selular dan telepon fixed wireless dan meningkatnya
pemakai internet yang diselenggarakan oleh Internet Service Provider (―ISP‖)
melalui jaringan nirkabel dengan menggunakan spektrum frekuensi radio, maka
kebutuhan akan spektrum frekuensi radio semakin meningkat.
Upaya untuk mengatasi kelangkaan spektrum frekuensi dilakukan dengan
pengembangan teknologi penggunaan spektrum frekuensi, diantaranya dengan
sistem multiple access (penggandaan akses). Penggandaan akses ini dapat
dilakukan dengan pembagian waktu (time), frekuensi, ataupun kode. Selain itu
telah ditemukan cara penggunaan spektrum frekuensi radio dengan konsep Mobile
Virtual Network Operator (―MVNO‖) yaitu dengan menjalin hubungan dengan
penyelenggara pemilik izin penggunaan spektrum frekuensi radio, antara lain
dengan sistem penyewaan. Di Indonesia, belum ada regulasi yang menampung
keberadaan MVNO ini, yaitu mengenai apakah MVNO termasuk dalam kategori
pengguna spektrum frekuensi dan apakah wajib memiliki izin penggunaan
frekuensi dan wajib untuk membayar BHP Frekuensi. Untuk itu perlu diadakan
perubahan regulasi yang ada, untuk memperjelas kedudukan dan keberadaan
operator yang tidak memiliki izin penggunaan spektrum frekuensi radio seperti
MVNO.
Kata Kunci: Spektrum, pengguna, penggunaan, MVNO, regulasi.
Abstract
Meanwhile there are nine telecommunications operators in Indonesia have the
license to use radio frequency spectrum (Mobile Network Operator – MNO) and
some operators that did not have the license. With the increase of the cellular and
fixed wireless operators and the increase of users of the internet provided by
Internet Service Provider (―ISP‖) through wireless networks using radio frequency
spectrum, then the need of Radio frequency spectrum also increased.
The effort to overcome the rare radio frequency spectrum conducted by
development of radio frequency spectrum technology, among others by using
multiple access system. This system may be conducted by division of time,
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
frequency, or code. Other system is by using the concept of Mobile Virtual Network
Operator (―MVNO‖) by relationship between the licensed and unlicensed
operators, i.e. by leasing of the spectrum. In Indonesia, there was no regulation
regarding MVNO, so there was a question about whether the MVNOs include in
the category of radio frequency spectrum users and whether or not the MVNO
required to have license and pay the BHP for the use of frequency. Therefore it is
necessary to have a change in the existing regulations to make clear the status and
the existence of the unlicensed users of radio frequency spectrum as the MVNOs.
Keyword: Spectrum, users, utilization, MVNO, regulation.
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Latar belakang pembahasan mengenai penggunaan spektrum frekuensi
radio adalah disebabkan di dalam praktik telah terjadi perbedaan pendapat antara
pihak pemerintah dalam hal ini Departemen komunikasi dan informasi
(Depkominfo) dengan pihak penegak hukum yaitu kejaksaan dan pengadilan,
perbedaan pendapat tersebut mengakibatkan dijatuhkannya putusan pengadilan
terhadap salah satu perusahaan layanan multimedia yang disebabkan penggunaan
spektrum frekuensi radio yang dipandang sebagai merugikan negara dan
dimasukkan ke dalam tindak pidana korupsi, karena tidak mempunyai izin
penggunaan frekuensi dari pemerintah dan oleh karena itu tidak membayar biaya
hak penggunaan (―BHP‖) spektrum frekuensi radio.
Dalam praktik terjadi perkembangan konsep pemanfaatan spektrum
frekuensi radio oleh operator-operator yang tidak memiliki izin penggunaan pita
spektrum frekuensi radio untuk menyelenggaraan layanan telekomunikasi dan
internet, namun di Indonesia keberadaan operator-operator ini tidak jelas
berdasarkan regulasi yang ada saat ini.
2. Spektrum Frekuensi Radio
Spektrum frekuensi radio suatu bagian dari spektrum elektromagnetik yang
berupa frekuensi radio.110 Spektrum frekuensi radio adalah kumpulan pita
frekuensi radio. Pita frekuensi radio adalah bagian dari spektrum frekuensi radio
yang mempunyai lebar tertentu.
Di bawah ini disampaikan tabel spektrum frekuensi radio berdasarkan
pembagian frekuensi.
Jenis
Light
IR
EHF
SHF
110
406
Tabel 1: Spektrum Frekuensi Radio
Frekuensi
Penggunaan
400-900 THz
Optical communications
300 GHz – 400 THz
LAN infrared, consumer electronics
30-300 GHz
Experimental, WLL
3-30 GHz
Satellite, radar, terrestrial wireless
www.fcc.gov diakses pada tanggal 9 Agustus 2013.
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
links, WLL
UHF
300 MHz - 3 GHz
Cellular, TV UHF, radar
TV VHF, FM radio, AM x aircraft
VHF
30-300 MHZ
commun.
Amateur radio, military, longHF
3-30 MHz
distance aircraft/ships
MF
300 KHz –3 MHz
AM radio, marine radio
LF
30-300 KHz
Long-range, marine beacon
VLF
3-30 KHz
Submarine, long-range
ELF
<3 KHz
Remote control, Voice, analog phone
Sumber: Giuseppe Bianchi. Propagation Characteristics of Wireless Channels.
Lecture 1.1Basic concepts and terminology.
Spektrum frekuensi radio ini sangat diperlukan pada hubungan
telekomunikasi nirkabel (wireless telecommunications) baik dengan menggunakan
teknologi Global System for Mobile communications (―GSM‖) maupun dengan
menggunakan teknologi Code Division Multiple Access (―CDMA‖).
GSM semula dikembangkan untuk beroperasi pada band frekuensi
900MHz dan selanjutnya dimodifikasi menjadi 850, 1800 dan 1900MHz. Pada
awalnya GSM adalah singkatan dari Groupe Speciale Mobile. Sedangkan teknologi
CDMA yang dikenal juga sebagai spektrum pita lebar merupakan sistem selular
yang menggunakan band frekuensi tunggal untuk semua trafiknya, sistem CDMA
ini membedakan masing-masing transmisi secara individual dengan memberi kode
tersendiri sebelum melakukan transmisi. Beberapa varian dari CDMA adalah WCDMA, B-CDMA, TD-SCDMA dan lainnya. Saat ini penggunaan sistem nirkabel
sudah berada pada generasi ketiga (3G) dan telah diambang generasi keempat (4G),
bahkan di beberapa negara telah dimulai layanan pelanggan yang berbasis 4G, di
bawah ini disampaikan tabel perkembangan sistem nirkabel, sampai dengan
generasi ketiga (3G).
Di Indonesia penyelenggara telekomunikasi selular telah mencapai jumlah
9 operator pemilik izin penggunaan spektrum frekuensi radio (Mobile Network
Operator – MNO) dan beberapa operator yang tidak memiliki izin penggunaan
spektrum frekuensi radio. Dengan banyaknya perusahaan-perusahaan yang menjadi
penyelenggara telepon selular dan telepon fixed wireless (telepon tetap tanpa kabel)
dan meningkatnya pemakai internet yang diselenggarakan oleh Internet Service
Provider (―ISP‖) melalui jaringan nirkabel dengan menggunakan spektrum
frekuensi radio, maka kebutuhan akan spektrum frekuensi radio semakin
meningkat pula.
Saat ini pemisahan antara penyelenggara telekomunikasi dengan
penyelenggara jasa internet sudah sulit untuk dilakukan, karena terjadi trend
penyatuan atau konvergensi (convergence) di antara penyelenggaraan layananlayanan tersebut. Konvergensi yang terjadi bukan hanya antara penyelenggaraan
telekomunikasi dengan penyelenggaraan internet, tetapi juga dengan
penyelenggaraan
penyiaran.
Konvergensi
penyelenggaraan
layanan
407
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
telekomunikasi, internet dan televisi yang terjadi sekarang ini sering disebut
dengan istilah ―tripleplay‖.
Spektrum frekuensi radio adalah sumber daya yang terbatas, karena hanya
spektrum frekuensi tertentu saja yang dapat digunakan untuk kepentingan
penyelenggaraan telekomunikasi, penyiaran dan juga internet. Keterbatasan
tersebut mengharuskan pemerintah untuk melakukan pengaturan yang cukup ketat
dalam pemanfaatan sumber daya ini. Meskipun tidak tertutup kemungkinan
terjadinya perkembangan teknologi di masa yang akan datang yang menyebabkan
spektrum frekuensi radio dapat dimanfaatkan secara lebih luas sehingga tidak lagi
merupakan sumber daya yang terbatas, namun sampai ‗saat ini‘ sumber daya
tersebut masih terbatas.
B. Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
1. Pengguna Spektrum Frekuensi Radio
Dalam penyelenggaraan telekomunikasi terdapat beberapa jenis pengguna
spektrum frekuensi radio, yaitu:
(1) Pengguna pemilik izin alokasi pita spektrum frekuensi (MNO)
(2) Pengguna bukan pemilik izin alokasi pita spektrum frekuensi (MVNO)
(3) Pengguna frekuensi bebas.
Dalam praktik, spektrum frekuensi radio dialokasikan untuk penggunaan
sebagai berikut:
Tabel 2: Alokasi Spektrum
Cellular systems
 400-2200 MHz range (VHF-UHF)
 Simple, small antenna (few cm)
 With less than 1W transmit power, can cover several floors within a building
or several miles outside SHF and higher for directed radio links, satellite
communication
 Large bandwidth available Wireless data systems
 2.4, 5 GHz zones (ISN band)
 Main interference from microwave ovens
 Limitations due to absorption by water and oxygen - weather dependent
fading, signal loss due to by heavy rainfall etc.
Sumber: Giuseppe Bianchi. Propagation Characteristics of Wireless Channels.
Lecture 1.1Basic concepts and terminology.
2. Definisi Pengguna dan Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
Di dalam undang-undang dan peraturan di bidang telekomunikasi terdapat
dua istilah yang berhubungan dengan penggunaan, yaitu: pengguna dan pemakai.
Sebagaimana tercantum dalam UU Telekomunikasi:
Pasal 1 :
1) Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan
memancarkan gelombang radio;
408
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
2) Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi
dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
3) Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi
kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan
telekomunikasi;
4) Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah
yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi berdasarkan kontrak;
5) Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah
yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
6) Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
Dari ketentuan dalam pasal-pasal di atas tampak bahwa yang disebut
pengguna adalah semua pihak yang menggunakan jaringan telekomunikasi baik
berdasarkan kontrak maupun tidak berdasarkan kontrak. Sedangkan jaringan
telekomunikasi adalah seluruh perangkat telekomunikasi, baik yang menggunakan
kabel maupun tanpa kabel atau menggunakan spektrum frekuensi radio,
selanjutnya dalam UU Telekomunikasi ditentukan pula:
Pasal 8 :
1) Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan
jasa telekomunikasi sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan
untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yaitu :
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c. Badan Usaha Swasta; atau
d. koperasi.
Pasal 9 :
1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
2) Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi,
menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik
penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Dari pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa penyelenggara atau
operator jasa telekomunikasi yang tidak memiliki jaringan dapat
menyelenggarakan jasa telekomunikasi dengan menyewa jaringan milik
penyelenggara jaringan. Penyelenggara jaringan mempunyai izin dari pemerintah,
termasuk izin penggunaan spektrum frekuensi radio bagi penyelenggara jaringan
yang menggunakan spektrum frekuensi radio, sedangkan penyelenggara yang
menyewa jaringan milik penyelenggara jaringan telekomunikasi radio termasuk
spektrum frekuensi radio tidak mempunyai izin penggunaan jaringan dari
pemerintah atau otoritas telekomunikasi.
409
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Secara teknis, semua penyelenggaraan hubungan telekomunikasi, baik
suara maupun data yang dilaksanakan lewat jaringan tanpa kabel (kabel tembaga
atau kabel serat optik) adalah menggunakan frekuensi radio. Dengan demikian, jika
diartikan secara harfiah pasal-pasal mengenai penggunaan spektrum frekuensi
radio sebagaimana yang disebutkan di atas, maka operator yang tidak memiliki izin
penggunaan frekuensi adalah pengguna spektrum frekuensi radio.
Namun demikian, timbul pertanyaan apakah hal ini yang dijadikan tujuan
awal pengaturan penggunaan spektrum frekuensi radio dalam Undang-Undang
Telekomunikasi dan PP 53/2000? Untuk itu, ada baiknya jika kita melihat
perbandingan dengan pengaturan penggunaan spektrum frekuensi radio di negara
lain, terutama mengenai definisi ―penggunaan‖ yang dicantumkan dalam UndangUndang Telekomunikasi dan PP 53/2000.
3. Konsep Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
Dalam praktik, pada penggunaan spektrum frekuensi radio, terdapat
banyak pengguna yang secara bersamaan mencoba untuk berhubungan satu dengan
lainnya. Untuk mendukung agar hubungan para pengguna secara bersamaan dapat
terlaksana telah diupayakan pengembangan secara teknologi yang berhubungan
dengan penggunaan spektrum frekuensi, yaitu diantaranya dengan cara penggunaan
kanal komunikasi secara bersama (sharing). Untuk mencapainya digunakan skim
multiple access yaitu penggandaan akses untuk menampung komunikasi pengguna
secara bersamaan. Penggandaan akses ini dapat dilakukan dengan pembagian
waktu (time), frekuensi, ataupun kode.111
Penggandaan akses dengan pembagian waktu dinamakan time-division
multiple access (TDMA), dalam hal ini pengguna digandakan dalam penggunaan
waktu, masing-masing diberi alokasi window yang ditentukan untuk
berkomunikasi. Waktu pada umumnya dibagi dalam segmentasi ke dalam window
berjangka pendek, dan masing-masing perangkat di jaringan digunakan menurut
slot waktu ketika masing-masing perangkat itu dijadwalkan untuk mengirim sinyal.
Penjadwalan ini pada umumnya memerlukan kontral terpusat di jaringan dengan
kesesuaian dengan kapasitas yang diperlukan masing-masing perangkat.112
Di sistem pembagian frekuensi, terdapat sistem Frequency-Division
Multiple Access (FDMA). Dengan sistem ini, masing-masing perangkat diberi satu
frekuensi tertentu untuk berkomunikasi, hampir sama sengan sistem Frequency
Modulation (FM) pada radio. Namun, FDMA juga mempunyai kelemahan di
masalah efisiensi, karena pengguna pada umumnya tidak dapat mengganti
frekuensi ketika sedang berhubungan untuk dapat menggunakan kanal frekuensi
yang tidak digunakan ketika diperlukan untuk mengirim data yang besar.113
111
112
113
410
Thomas Charles Clancy (2006). Dynamic Spectrum Access In Cognitive Radio
Networks. Dissertation submitted to the Faculty of the Graduate School of the
University of Maryland, College Park in partial fulfillment of the requirements for the
degree of Doctor of Philosophy. hlm. 15.
Ibid.
Ibid.
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
Teknologi penggandaan yang terakhir adalah yang dinamakan Code
Division Multiple Access (CDMA). Teknologi ini lebih sulit untuk dijelaskan
terutama bagi para ahli hukum yang tidak mempunyai dasar pengetahuan tentang
teknologi frekuensi, penggandaan yang dilakukan bukan pada waktu dan bukan
pula pada frekuensi, akan tetapi pada penggandaan dengan sistem CDMA
dilakukan dengan pemberian kode untuk masing-masing kanal yang digandakan.114
Saat ini konsep penggunaan jaringan nirkabel yang diterapkan secara
umum adalah konsep yang dikenal dengan konsep alokasi frekuensi statis, dalam
hal ini badan otoritas pemerintahan yang berwenang mengatur memberikan alokasi
spektrum frekuensi kepada pemegang izin untuk jangka panjang di wilayah tertentu
yang cukup luas. Akibat kebijakan tersebut, disebabkan meningkatnya permintaan
untuk spektrum frekuensi ini maka terjadi kelangkaan spektrum frekuensi pada pita
frekuensi tertentu.115 Dalam kenyataannya, sebagian besar dari spektrum frekuensi
yang dialokasikan hanya digunakan secara sporadis, hal mana menjadikan sebagian
[besar] spektrum frekuensi radio tidak effektif penggunaannya (underutilization).
Untuk mengatasi masalah penggunaan frekuensi yang tidak efesien
tersebut para peneliti berupaya mencari jalan keluar dari problem tersebut,
diantaranya dengan mengembangkan konsep teknologi akses spektrum dinamis.116
Teknologi yang digunakan untuk akses spektrum dinamis adalah teknologi
cognitive radio (CR), yang mempunyai kemampuan untuk berbagi kanal nirkabel
dengan pengguna spektrum pemilik izin dari pemerintah (MNO).117
Hal ini dapat dilihat pada laporan dari Radio Spectrum Policy Group
(RSPG) yang menyimpulkan bahwa sebagian besar dari spektrum telah dibagi
antara beberapa aplikasi, dan dengan demikian tidak diperlukan lagi adanya
spektrum yang diberi secara khusus kepada operator tertentu.
Namun demikian, terdapat kebutuhan akan kemajuan lebih lanjut dalam hal
mekanisme pengaturan yang tepat mengenai pemakaian bersama spektrum dan
untuk mendorong penggunaan yang labih efisien, baik untuk keperluan komersial
maupun untuk sektor pelayanan umum.
Disamping itu, terdapat pula konsep baru yang dinamakan ―Licensed
Shared Access‖ (LSA), yaitu izin penggunaan akses secara bersama antara
beberapa operator. Konsep LSA memberi kemungkinan tatacara penggunaan
bersama yang baru di seluruh Eropa dalam satu skim regulasi, dan konsep itu
diharapkan juga dapat mengendalikan penggunaan spektrum yang memang tidak
dapat dibebaskan begitu saja.118
Dalam praktek, penggunaan akses spektrum bersama telah terjadi di
sejumlah pita frekuensi di hampir semua negara-negara Uni Eropa, dan hal ini
114
115
116
117
118
Ibid, hlm 16.
Ian F. Akyildiz, et al. Georgia Institute of Technology. Cognitive Radio
Communications and Networks. A Survey on Spectrum Management in Cognitive
Radio Networks., IEEE Communications Magazine. April 2008.
Ibid.
Ibid.
Radio Spectrum Policy Group – Report on Collective Use of Spectrum and other
spectrum sharing approaches – RSPG11-392, 2011. Hlm.
411
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
diizinkan berdasarkan regulasi spektrum Eropa yang berlaku. RSPG memprediksi
bahwa penggunaan bersama spektrum frekuensi radio di tingkat Eropa dapat
mendorong efisiensi penggunaan spektrum dan mendorong economies of scale, dan
dapat pula mengundang investasi yang lebih besar.119
Laporan RSPG juga menunjukkan adanya konsep yang dinamakan
authorised shared access (ASA) yang diperkenalkan oleh konsorsium industri,
yang bertujuan untuk menyediakan akses bersama ke spektrum tertentu
berdasarkan perizinan yang berlaku untuk menyediakan layanan dengan kualitas
yang baik. RSPG telah mempertimbangkan aspek regulasi dari konsep ASA
tersebut, dan telah menggunakannya sebagai dasar untuk mendorong kemungkinan
penggunaan spektrum bersama, yang tidak terbatas pada pita frekuensi tersebut,
dengan cara yang harmonis dalam tatanan perizinan yang ada.120
Keuntungan dari konsep LSA adalah bahwa konsep ini membuat
penggunaan spektrum frekuensi radio menjadi lebih efisien dan juga menyediakan
kesempatan untuk memberi alternatif bagi pemilahan yang permanen atau
pembagian pita frekuensi jika terdapat kebutuhan akan spektrum yang baru.
Konsep LSA ini juga mengizinkan penggunaan spektrum frekuensi yang
berlanjut oleh operator incumbent, dan juga menyediakan spektrum yang sama bagi
pengguna potensial. Pengguna tersebut secara potensial menyediakan aplikasi lain
ataupun layanan radio sesuai dengan Chapter 5, Radio Regulations (ITU-R).121
Keuntungan lainnya dari konsep LSA ini adalah bahwa konsep ini juga
menyediakan bagi operator dan industri kesempatan yang baru di tingkat Eropa,
dengan mempertimbangkan kebutuhan pengguna yang sudah ada.122
Keunggulan umum konsep LSA adalah bahwa konsep ini memberi
beberapa hak kepada pengguna baru, jadi memberi kesempatan bagi mereka untuk
menyelenggarakan layanan dimana kualitas layanan dapat diprediksi dan dijamin.
Dalam hal ini persyaratan untuk penggunaan frekuensi bersama harus dibuat cukup
menarik dan dapat dijamin untuk memberi insentif bagi penyelenggara yang baru
untuk berinvestasi di peralatan dan jaringan.123
4. Mobile Virtual Network Operator (MVNO)
Sehubungan dengan kelangkaan spektrum frekuensi radio, para operator
terus mencari jalan keluar untuk pemenuhan kebutuhan spektrum frekuensi radio
yang demikian mahal bagi penyelenggara ISP dan penyelenggara layanan selular.
Dari hasil penelitian dan percobaan yang dilakukan ditemukan cara
penggunaan spektrum frekuensi radio bagi penyelenggara yang tidak memiliki izin
alokasi pita spektrum frekuensi yang disebut dengan Mobile Virtual Network
Operator (―MVNO‖), yaitu dengan menjalin hubungan dengan penyelenggara
besar yang mendapatkan izin penggunaan spektrum frekuensi radio, yang dapat
dilakukan antara lain dengan sistem penyewaan. Konsep penyelenggaraan layanan
119
120
121
122
123
412
Ibid. hlm. 18
Ibid.
Ibid. hlm 19.
Ibid.
Ibid.
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
dengan model Mobile Virtual Network Operator (MVNO) sudah sangat populer di
dunia, pada tahun 2008 sudah ada lebih dari 300 operator MVNO yang terdaftar di
seluruh dunia.124
Sampai saat ini belum terdapat kesepakatan tentang definisi MVNO. Pada
umumnya, di berbagai negara MVNO dikenal sebagai suatu operator yang
menyenggarakan layanan telekomunikasi bergerak kepada para pemakai, namun
operator tersebut tidak memiliki izin dari pemerintah untuk penggunaan spektrum
frekuensi radio, tetapi operator tersebut mempunyai akses ke jaringan frekuensi
radio milik operator lain. Berikut ini disampaikan beberapa definisi MVNO
menurut bentuk organisasinya:125
1) MVNO Directory: Operator jaringan bergerak yang tidak memiliki
infrastruktur fisik (land based), seperti base station, di negara dimana MVNO
beroperasi.126
2) Oftel: MVNO adalah suatu organisasi yang menawarkan langganan dan
penggunaan kepada pelanggannya akan tetapi tidak memiliki alokasi
spektrum.127
3) ITU: Mobile Virtual Network Operators (VNO) adalah operator yang
menawarkan layanan mobile tetapi tidak memiliki radio frekuensi sendiri.
Biasanya, operator ini memiliki kode jaringan dan banyak pula yang
mengeluarkan SIM card sendiri. Mobile VNO dapat berupa penyelenggara
mobile service atau penyelenggara value-added service.128
4) Pyramid Research: MVNO menyelenggarakan layanan bergerak untuk voice
dan data kepada end user melalui perjanjian berlangganan, tetapi tidak
mempunyai akses ke spektrum.129
5) Malaysian Communications & Multimedia Commission (MCMC): suatu
organisasi yang tidak mempunyai alokasi spektrum 3G tetapi mampu
menyelenggarakan layanan selular untuk umum kepada end user dengan
mengakses jaringan radio milik satu atau lebih pemegang spektrum 3G.130
6) OVUM: Organisasi yang menawarkan layanan mobile services kepada pelanggan,
memiliki kode jaringan sendiri, mengeluarkan SIM card, mengoperasikan
MSC, tetapi tidak memiliki alokasi frekuensi radio sendiri.131
124
125
126
127
128
129
130
131
Telecom Regulatory Authority of India (2008). Consultation Paper On Mobile Virtual
Network Operator (MVNO), New Delhi 5 May 2008. Hlm.1.
Telecom Regulatory Authority of India (2008). Hlm.5
MVNO Directory, MVNO Defined, available at http://www.mvnodirectory.com/
mvnodefined. html
Oftel, Statement on Mobile Virtual Network Operators, October 1999
ITU, Regulatory treatment of mobile VNOs, dapat diakses di http://www.itu.int/osg/
spu/ni/ 3G/ resources/MVNO/index.html
InfoDev, Definition of a Mobile Virtual Network Operator, dapat diakses di http://
www.ictregulation toolkit.org/content/practicenotes/detail/1985
Malaysian Communications and Multimedia Commission, Guideline on regulatory
framework for 3G mobile virtual network operators, February 16, 2005
OVUM, MVNOs – competition policy and market development, ITU Workshop on
3G mobile, 2001
413
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
7) Office of the Telecommunications Authority of Hong Kong (OFTA): Pada
tingkatan yang paing tinggi MVNO dapat dianggap sebagai organisasi yang
menawarkan langganan mobile dan telepon kepada pelanggan tetapi tidak
memiliki alokasi spektrum, akan tetapi mengantungkan layanannya pada
Mobile Network Operator yang mempunyai izin.132
8) US Federal Communications Commission (FCC): Rancangan MVNO adalah
suatu yang berupa ―operator jaringan yang bertindak sebagai wholesaler dari
airtime dari perusahaan lain, yang kemudian memasarkannya sendiri kepada
pengguna seperti operator independen yang mempunyai infrastruktur jaringan
sendiri.‖133
Di Inggris, The Office of Telecommunications (Oftel), yaitu regulator
bidang telekomunikasi di United Kingdom, menyebutkan bahwa MVNO adalah
operator yang melakukan kegiatan penyelenggaraan layanan mobile, akan tetapi
tidak menerbitkan Subscriber Identity Module (SIM) card nya sendiri.134
Hubungan antara pemegang izin penggunaan (MNO) dan MVNO antara
lain adalah merupakan pembelian bulk access yaitu akses secara borongan
(wholesale) dalam ukuran besar dari MNO oleh MVNO, dan dengan demikian
MVNO dapat menjalankan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana layaknya
penyelenggara yang mempunyai spektrum frekuensi radio. Adakalanya MVNO
menggunakan spektrum frekuensi radio milik operator lain berdasarkan perjanjian
sewa-menyewa.
Sebagai contoh, Virgin Mobile, yang telah menyelenggarakan layanan
mobile di berbagai negara di dunia, sejak diluncurkan di United Kingdom pada
bulan November 1999, tidak mempunyai sentral telepon bergerak miliknya sendiri
dan tidak mempunyai jaringan telepon bergerak sendiri akan secara umum dikenal
sebagai operator yang sebenarnya oleh para pelanggannya dan mampu bersaing
dengan operator-operator yang mempunyai infrastruktur sendiri (infrastructurebased operators).135
Di Indonesia, timbul masalah mengenai apakah penggunaan spektrum
frekuensi radio berdasarkan konsep kerjasama seperti di atas termasuk dalam
pengertian penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana yang diatur dalam
undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku. Sampai saat ini belum ada
regulasi yang secara khusus mengatur tentang MNVO di Indonesia. Meskipun pada
Pasal 9 UU Telekomunikasi dinyatakan:
2) Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan
132
133
134
135
414
OFTA ‗Open Network‘ Regulatory Framework for Third Generation Public Mobile
Radio Services in Hong Kong, Discussion Paper for Industry Workshop, 2001, p.14,
dapat diakses di http:// www.ofta.gov.hk/en/3g-licensing/discuss-mvno.pdf
FCC, Report & Order: 2000 Biennial Regulatory Review Spectrum Aggregation
Limits For Commercial Mobile Radio Services, WT Docket No. 01-14, December 18,
2001, foot note 145
Telecom Regulatory Authority of India (2008). Opcit.
Ibid.
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan
telekomunikasi.
Jadi sebenarnya berdasarkan UU Telekomunikasi, penyelenggara jasa yang
tidak memiliki alokasi pita spektrum frekuensi, dapat menyelenggarakan jasa
telekomunikasi dengan cara menyewa dari operator pemilik izin spektrum
frekuensi radio. Namun, tidak terdapat peraturan lebih lanjut mengenai apakah
sebagai penyewa, operator yang tidak memiliki alokasi pita spektrum tersebut
harus memiliki iizin sebagai pengguna pita spektrum frekuensi radio atau tidak.
5. Pengaturan MVNO di Berbagai Negara
Di bidang regulasi terdapat dua pendapat yang saling bertentangan
mengenai perlu atau tidaknya dilakukan pengaturan terhadap MVNO. Kajian
mengenai masalah untung-rugi tentang pengaturan MVNO ini untuk pertama kali
dibicarakan di tingkat internasional adalah dalam lingkup International
Telecommunication Union (ITU) Strategic Planning Workshop on licensing 3G
mobile yang diselenggarakan di Jenewa tanggal 19 sampai 21 September 2001.136
ITU telah menerima berbagai permintaan untuk segera melakukan studi
dan membahas masalah MVNO, khususnya untuk memberi masukan mengenai
apakah intervensi pemerintah berupa regulasi diperlukan untuk mengizinkan
MVNO menawarkan layanan dan aplikasi dengan tarif yang rendah kepada para
pelanggan. Hal tersebut dapat menjamin bahwa penggunaan spektrum frekuensi
radio akan lebih efisien, akan tetapi bagi operator incumbent pemegang izin, pasar
telekomunikasi sudah sangat kompetitif oleh karena itu tidak diperlukan intervensi
regulasi di sektor ini.
Pandangan regulator diberbagai negara mengenai MVNO ini juga sangat
bervariasi. Regulator di berbagai negara sampai saat ini masih mempertimbangkan
apakah diperlukan intervensi secara regulasi terhadap MVNO ini, termasuk
regulasi tentang harga pembayaran untuk akses dan persyaratan yang diperlukan
dalam penggunaan akses ke spektrum frekuensi milik operator pemegang izin
pemerintah
Terdapat pula argumentasi pro dan kontra mengenai perlu atau tidaknya
peraturan tentang kewajiban pemberian akses kepada MVNO. Di Uni Eropa (EU),
berdasarkan ‗directives on telecommunications regulation‘ EU tidak mewajibkan
pemberian akses kepada MVNO ke jaringan milik operator 3G yang mempunyai
izin pemerintah.
Para pendukung perlunya regulasi beralasan bahwa operator jaringan
mobile menguasai spektrum frekuensi radio yang ada, yang mengakibatkan
terjadinya hambatan (bottleneck) terhadap fasilitas jaringan 3G dan menjadi
hambatan akses (entry barrier) bagi operator jaringan bergerak yang baru.
Sedangkan pihak yang menentang intervensi regulasi beralasan bahwa dalam
136
Dikutip dari artikel yang berjudul "Licensing of third generation (3G) mobile:
Briefing Paper" disiapkan oleh Patrick Xavier dari the School of Business, Swinburne
University of Technology, Melbourne, Australia ([email protected]) dalam rangka
ITU Strategic Planning Workshop (Jenewa, 19-21 September 2001).
415
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
kenyataannya, keuntungan bagi MVNO belum terbukti dan bahwa tidak cukup
bukti tentang adanya kegagalan pasar. Mereka menyatakan bahwa pasar layanan
telekomunikasi mobile secara alamiah adalah memang kompetitif dan oleh karena
itu tidak perlu adanya regulasi.
Uni Eropa telah mewajibkan perusahaan yang mempunyai pangsa pasar
diatas 50 persen untuk membuka jaringannya kepada pengguna lain berdasarkan
skim harga berdasarkan biaya plus marjin (cost-plus-margin-based price) dan pada
saat penelitian ini dilakukan, dalam praktik hanya KPN Mobile yang ada dalam
posisi tersebut. Operator pemegang izin lainnya yang mempunyai pangsa pasar
lebih dari 35 persen tidak diharuskan mengenakan biaya berdasarkan skim costplus-margin, dengan demikian menyewa dari operator ini menjadi lebih mahal.
Regulator Inggris, Oftel, mempunyai pandangan bahwa jika layanan
MVNO ditawarkan, maka secara prinsip logis bahwa biaya yang dikenakan adalah
retail-minus. Retail-minus merupakan konsep biaya interkoneksi dengan
memperhitungkan biaya yang ada dan menguranginya dari harga ritel. Biaya yang
telah ada diantaranya adalah biaya-biaya yang terkait dengan customer care,
billing, menyediakan jasa nilai tambah (value-added services) dan tranportasi.
C. Penguasaan Spektrum Frekuensi Radio Oleh Pemerintah
1. Peran dan Fungsi Pemerintah
Pemerintah sebagai pelaksana amanah dari rakyat untuk menjalankan
tugas-tugas negara melaksanakan fungsi pengelolaan sumber daya alam, termasuk
spektrum frekuensi radio. Amanah adalah sesuatu yang dipercayakan atau
dititipkan oleh suatu pihak kepada pihak lain137, dalam hal ini amanah yang
diberikan oleh masyarakat kepada pemerintah yang berupa ruang udara yang di
dalamnya terdapat spektrum frekuensi radio.
Dalam melaksanakan fungsinya pemerintah berpedoman pada tujuan
pendirian negara sesuai dengan yang dicantumkan di dalam Alinea Keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (―Pembukaan UUD 45‖). Dari
Pembukaan UUD 45 tersebut tampak bahwa tujuan pembentukan negara Indonesia
yaitu diantaranya untuk memajukan kesejahteraan umum. Selanjutnya di dalam
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (―UUD 45‖) dinyatakan bahwa negara
memiliki hak penguasaan terhadap bumi, air dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya. Di dalam Pasal 33 UUD 45 ini terkandung pengertian bahwa negara
juga mempunyai hak penguasaan terhadap udara dan spektrum frekuensi radio
yang terkandung di dalamnya.
Pembukaan UUD 45 mengemukakan tujuan negara untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia. Dengan terlindunginya kepentingan rakyat maka tujuan
pembangunan negara akan dapat tercapai. Perlindungan kepentingan rakyat dapat
terlaksana dengan adanya hukum yang mengatur kehidupan masyarakat. Hukum
diperlukan dalam pembangunan untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi
137
416
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga.
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002). Hlm. 35.
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
dengan cara yang teratur,138 bukan hanya sebagai alat social engineering, karena
terdapat masalah yang dihadapi dalam memperkembangkan hukum sebagai suatu
alat pembaharuan masyarakat (social engineering), antara lain karena hukum itu
tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat.139
Secara teoretis, sesuai dengan teori pembentukan negara yang menyatakan
bahwa masyarakat menyerahkan sebagian haknya untuk membentuk suatu negara,
maka penguasaan spektrum frekuensi radio oleh negara adalah dalam rangka
mengemban amanah dari rakyat.
Spektrum frekuensi radio yang dikuasai negara, pada dasarnya adalah milik
masyarakat yang diamanahkan kepada negara. Oleh karena itu, dalam menjalankan
kedudukannya sebagai penguasa spektrum frekuensi radio, sudah seharusnya
pemerintah mendahulukan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utamanya.
Pemerintah melalui regulator bidang telekomunikasi menjalankan sistem
pengawasan dan pengaturan dalam mengelola spektrum frekuensi radio. Hal ini
berarti bahwa pemerintah mengatur spektrum secara terpusat, dan tidak ada pihak
yang berhak menggunakan spektrum tanpa izin regulator. Izin tersebut dikeluarkan
dalam bentuk lisensi dan harus selalu diminta kembali setiap pengguna melakukan
perubahan.
Sistem regulasi seperti ini dikenal dengan istilah regulasi paternalistis,
yang disebut dengan hubungan ―mother may I‖, yaitu suatu hubungan dimana
regulator bertindak seakan-akan orangtua yang menguasai anaknya, sehingga
segala tindakan yang akan dilakukan harus mendapat izin terlebih dahulu dari
regulator.
UU Telekomunikasi sebagai undang-undang yang mengatur tentang
telekomunikasi yang ada saat ini menjadikan kepentingan rakyat sebagai tujuan
utamanya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 yang berbunyi:
―Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung
persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan
pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.‖
Namun, selanjutnya dalam peraturan-peraturan pelaksanaannya konsep
kesejahteraan rakyat itu tidak lagi menjadi tujuan utama. Hal tersebut tampak
secara nyata dalam peraturan-peraturan yang mengatur pengalokasian spektrum
frekuensi radio. Hal ini dapat terlihat antara lain dalam PP 53 Tahun 2000
sebagaimana telah disebutkan di atas.
Demikian pula dalam Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika
Nomor 04/PER/M.KOMINFO/01/2006 Tentang Tatacara Lelang Pita Spektrum
Frekuensi Radio 2,1 Ghz Untuk Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Selular IMT2000 (―Permenkominfo 04/2006‖), yaitu:
Pasal 1
138
139
Mochtar Kusumaatmadja. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. Kumpulan
Karya Tulis. (Bandung: Alumni, 2002). Hlm 19.
Opcit. Hlm. 23
417
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
1) Seleksi adalah penyaringan untuk penentuan pemenang penyelenggara
jaringan bergerak seluler IMT-2000 melalui proses pelelangan.
2) Pelelangan adalah penentuan pemenang penyelenggara jaringan bergerak
seluler IMT-2000 yang berdasarkan persaingan nilai kesanggupan membayar
Biaya Hak Penggunaan (BHP) pita frekuensi radio oleh masing-masing peserta
lelang.
Selanjutnya ditentukan pula pada Pasal 23:
1) Pemenang lelang ditentukan berdasarkan peringkat nilai penawaran tarif izin
penggunaan pita spektrum frekuensi radio yang tertinggi dan berdasarkan
ketersediaan blok pita frekuensi.
Dari pasal-pasal yang disebutkan di atas tampak bahwa pertimbangan
untuk memberikan izin penggunaan spektrum frekuensi radio hanyalah didasarkan
atas penawaran harga yang tertinggi, dengan perkataan lain yang dituju oleh
pemerintah dalam hal ini adalah pemasukan dana sebesar-besarnya.
Demikian pula pada Peraturan Menteri Peraturan Menteri Komunikasi Dan
Informatika Nomor: 17 /Per/M.Kominfo/9/2005 Tentang Tata Cara Perizinan Dan
Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio (―Permenkominfo
17/2005‖).
Pasal 20
Setiap pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar BHP Spektrum
Frekuensi Radio yang disetor ke kas negara sesuai ketentuan yang berlaku.
Pasal 21
BHP Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, meliputi :
1) BHP untuk izin Pita Frekuensi Radio; dan
2) BHP untuk izin ISR.
Pasal 22
1) BHP untuk izin pita Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud
pada pasal 20 ayat (1) huruf a terdiri dari:
a. biaya izin awal (up front fee); dan atau
a. Kewajiban membayar BHP Spektrum Frekuensi Radio pada tahun
berikutnya.
2) Besaran BHP Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ditentukan berdasarkan hasil seleksi.
Apabila dibandingkan antara UU Telekomunikasi dengan kedua Peraturan
Menteri sebagai peraturan pelaksanaannya, maka tampak kesenjangan dari
sisi tujuannya. Sementara di dalam UU Telekomunikasi dinyatakan bahwa
tujuannya adalah kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, sedangkan
dalam peraturan pelaksanaannya sangat jelas tercermin tujuan meraih
keuntungan yang sebesar-besarnya dari penyelenggaran telekomunikasi
yang tentunya pada pelaksanaannya akan membebani penyelenggara dan
tidak dapat dielakkan bahwa sebagai pengusaha, beban tersebut akan
dialihkan oleh penyelenggara telekomunikasi kepada masyarakat sebagai
pemakai layanan telekomunikasi.
418
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
Hal tersebut merupakan suatu yang jelas akan terjadi, karena sistem
pengalokasian spektrum frekuensi radio melalui pelelangan tersebut didapat dari
sistem yang dijalankan di negara-negara kapitalis. Namun demikian, di Amerika
Serikat dan di Eropa mulai muncul pandangan yang menyatakan bahwa dengan
pelelangan ini pemerintah telah meninggalkan kewajiban fiducia (fiduciary duty)
nya untuk menjadi ―pengawas‖ sumber daya langka yang dipercayakan
kepadanya.140
2. Pengaturan Spektrum Frekuensi Radio
Pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah didasarkan pada prinsip
penguasaan terhadap spektrum frekuensi radio, yang diberikan kepada pemerintah
sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang
Telekomunikasi (―UU Telekomunikasi‖):
Pasal 4
1) Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh
Pemerintah.
2) Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan
telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan,
dan pengendalian.
D. Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian di
bidang telekomunikasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan secara
menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan
yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global.
Regulasi penggunaan frekuensi di Indonesia tidak lepas dari kaitannya
dengan kewajiban pembayaran oleh pengguna frekuensi sebagaimana diatur dalam
Permenkominfo 17/2005. Jika dihubungkan dengan penggunaan frekuensi secara
bersama (sharing) baik dengan konsep LSA, ataupun penggunaan oleh MVNO,
dan dihubungkan dengan kasus yang menimpa IM2 Indosat, maka timbul keraguan
mengenai apakah pengguna dengan konsep LSA dan MVNO dikenakan kewajiban
mempunyai izin penggunaan frekuensi dari pemerintah dan apakah dikenakan
kewajiban membayar BHP frekuensi dan juga kewajiban kontribusi pelayanan
universal (KKPU).
Jika dibandingkan dengan pelaksanaan di negara lain, misalnya di Uni
Eropa sebagaimana diuraikan di atas, justru regulator ikut berupaya mendorong
agar penggunaan bersama dan MVNO semakin digiatkan, karena menurut
regulator, konsep tersebut dapat mengurangi inefisiensi pada penggunaan spektrum
frekuensi radio.
3. Pengalihan Alokasi Frekuensi
Masalah lainnya yang timbul dengan adanya konsep MVNO adalah
mengenai apakah penyewaan spektrum frekuensi radio milik MNO oleh MVNO
140
Patrick S. Ryan. Application of the Public Trust Doctrine and Principles of Natural
Resources Management to Magnetic Spectrum. 10 Mich. Telecomm. Tech L. Rev. 285.
(2004), hlm. 308.
419
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
atau oleh operator ISP yang tidak mempunyai izin penggunaan pita spektrum
frekuensi termasuk dalam pengertian pengalihan alokasi frekuensi radio? Hal ini
dikaitkan dengan adanya peraturan yang melarang operator pemilik izin
penggunaan frekuensi untuk mengalihkan alokasi frekuensi yang diberikan kepada
mereka. Larangan tersebut terdapat pada PP 53/2000.
Pasal 25
1) Pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi frekuensi
radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain.
Sedangkan penggunaan pita spektrum dengan konsep LSA memang
menimbulkan pertanyaan dari segi regulasi, karena sesuai dengan istilahnya, LSA
yaitu Licensed Shared Access, yaitu akses frekuensi yang telah diberi izin
digunakan secara bersama oleh lebih dari satu operator.
Di samping itu, di Indonesia, penggunaan spektrum frekuensi radio dengan
cara penyewaan juga menimbulkan masalah hukum, karena adanya peraturan yang
menyatakan bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio harus mendapatkan izin
pemerintah, sebagaimana dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53
Tahun 2000 Tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Dan Orbit Satelit
(―PP 53/2000‖):
Pasal 17:
1) Penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penyelenggaraan telekomunikasi
wajib mendapatkan izin Menteri.
2) Pemegang izin penggunaan spektrum frekuensi radio wajib melaporkan
rencana penempatan stasiun radionya kepada Menteri.
Hal tersebut di atas berkaitan dengan kewajiban membayar Biaya Hak
Penggunaan atas spektrum frekuensi radio sebagaimana diatur dalam Pasal
29 Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2000 Tentang Penggunaan
Spektrum Frekuensi Radio Dan Orbit Satelit (―PP 53 Tahun 2000‖):
1) Setiap pengguna spektrum frekuensi radio untuk tujuan penyelenggaraan
telekomunikasi wajib membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi
radio.
2) Dalam menetapkan besarnya biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio
digunakan formula dengan memperhatikan komponen:
a. jenis frekuensi radio;
b. lebar pita dan atau kanal frekuensi radio;
c. luas cakupan; lokasi;
d. minat pasar.
3) Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio mulai dikenakan pada saat
izin stasiun radio diterbitkan.
4) Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio dibayar dimuka setiap tahun.
Jika dihubungkan dengan Pasal 20 Peraturan Menteri Peraturan Menteri
Komunikasi Dan Informatika Nomor: 17/Per/M.Kominfo/9/2005 Tentang Tata
Cara Perizinan Dan Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi
Radio, timbul pertanyaan yaitu: apakah operator ISP yang tidak mempunyai izin
penggunaan frekuensi dan/ atau MVNO yang memanfaatkan spektrum frekuensi
420
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
radio milik MNO juga dibebani kewajiban pembayaran BHP Spektrum Frekuensi
Radio?
Suatu hal yang hendaknya diperhatikan oleh pihak regulator adalah bahwa
peraturan tentang penggunaan spektrum frekuensi radio yang diterapkan di
Indonesia adalah dengan konsep alokasi statis. Regulasi seperti yang berlaku saat
ini dapat mengakibatkan penggunaan spektrum menjadi tidak efisien. Sebaliknya,
yang terjadi adalah kelangkaan spektrum semu sebagai hasil yang ditimbulkan oleh
karena adanya peraturan yang relatif kaku.
Di Indonesia terdapat ketentuan tentang penggunaan spektrum hanya untuk
tujuan sesuai dengan lisensi yang diberikan, hal mana dapat menimbulkan
ketidakefisienan, namun terdapat pula dilema, karena jika diberi kebebasan dalam
penggunaan spektrum frekuensi dengan konsep sharing ataupun dengan sistem
penyewaan, maka akan dapat menimbulkan kesempatan bagi pemegang lisensi
bertindak hanya sebagai broker.
Untuk itu, diperlukan kehati-hatian bagi pemerintah dan regulator jika
berencana untuk menerapkan regulasi untuk konsep LSA ataupun MVNO,
meskipun diberbagai negara terjadi kecenderungan deregulasi di sektor
telekomunikasi.
4. Pendapatan Pemerintah Dari Sektor Telekomunikasi
Seperti regulasi yang diterapkan dalam bidang frekuensi ini erat
kaitaannya dengan pendapatan yang akan diterima oleh pemerintah dari
pengalokasian frekuensi. Jumlah uang yang diraih dari pelelangan spekvtrum
frekuensi radio oleh pemerintah memang sangat besar dan biaya tersebut harus
dibayar oleh perusahaan yang mendapat pengalokasian spektrum frekuensi radio.
Dengan tingginya biaya yang dibayar oleh perusahaan, tidak tertutup
kemungkinan bahwa pelelangan ini juga mengakibatkan perusahaan
telekomunikasi yang kecil tidak mampu mendapatkan izin penggunaan spektrum
frekuensi, dan apabila mereka memaksakan diri dapat saja mengalami
kebangkrutan atau kesulitan keuangan. Dengan pembebanan tersebut tentunya akan
memberatkan penyelenggara telekomunikasi, yang selanjutnya akan membebani
pemakai jasa telekomunikasi yaitu masyarakat.
5. Perbedaan Pandangan Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
1. Kewajiban Membayar BHP Frekuensi oleh MVNO
Di dalam PP 53 Tahun 2000 secara jelas dinyatakan bahwa setiap
pengguna spektrum frekuensi radio untuk tujuan penyelenggaraan telekomunikasi
wajib membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio, dan dalam
menetapkan besarnya biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio pemerintah
harus menggunakan formula dengan memperhatikan komponen-komponen jenis
frekuensi radio, lebar pita dan atau kanal frekuensi radio, luas cakupan, lokasi dan
minat pasar.
Di dalam Peraturan Menteri Kominfo Nomor: 17/Per/ M.Kominfo/9/2005
Tentang Tata Cara Perizinan Dan Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum
421
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Frekuensi Radio (―Permenkominfo 17/2005‖) sebagai peraturan pelaksanaan PP 53
Tahun 2000, dinyatakan pula bahwa Biaya Hak Penggunaan Spektrum Frekuensi
Radio (BHP Frekuensi Radio) adalah kewajiban yang harus dibayar oleh setiap
pengguna frekuensi radio.
Pengaturan formula untuk menetapkan besaran biaya hak penggunaan
frekuensi diserahkan kepada Depkominfo, dan telah ditetapkan bahwa biaya hak
penggunaan spektrum frekuensi radio mulai dikenakan pada saat izin stasiun radio
diterbitkan, dan harus dibayar dimuka setiap tahun.
Jika dikaitkan dengan pemberian izin kepada operator yang diberi alokasi
frekuensi, maka timbul pertanyaan, karena pada penggunaan dengan konsep LSA,
izin yang diberikan kepada operator yang mendapat alokasi frekuensi digunakan
bersama atau di sharing dengan operator lain, dalam hal ini terjadi perbedaan
pandangan mengenai apakah definisi pengguna sebagaimana ditetapkan dalam PP
53/2000, Pasal 17 yang menyatakan bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio
untuk penyelenggaraan telekomunikasi wajib mendapatkan izin Menteri. Mengenai
perizinan ini selanjutnya diatur dalam Permenkominfo 17/2005 dan diubah dengan
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor:
17/Per/M.Kominfo/10/2005 Tentang Tatacara Perizinan dan Ketentuan
Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio (―Permenkominfo 23/2010‖)
Pada UU Telekomunikasi pasal 1 dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan pengguna adalah pelanggan dan pemakai, sedangkan pelanggan adalah
perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan
telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak dan pemakai
adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan
jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan
kontrak.
Dengan demikian jika berpegang pada ketentuan yang terdapat pada Pasal
1 UU Telekomunikasi ini, maka semua pengguna jaringan baik jaringan yang
berbasis kabel maupun nirkabel, dalam hal ini menggunakan spektrum frekuensi
radio adalah pengguna, dan dengan demikian diwajibkan mendapat izin dari
pemerintah dan diwajibkan membayar BHP frekuensi sesuai dengan PP 53 Tahun
2000, yang menyatakan bahwa setiap pengguna spektrum frekuensi radio untuk
tujuan penyelenggaraan telekomunikasi wajib membayar biaya hak penggunaan
spektrum frekuensi radio.
Namun demikian, hal ini tentunya tidak sesuai dengan tujuan untuk
mendorong penggunaan spektrum frekuensi radio yang efisien, karena dalam
praktek beberapa operator pemilik izin penggunaan frekuensi tidak mampu untuk
menggunakan pita yang dialokasikan padanya untuk menyelenggarakan
telekomunikasi dan menyebabkan penggunaan yang tidak efisien. Sebagai
akibatnya terjadi kecenderungan akusisi ataupun merger di antara operator hanya
untuk mendapatkan pita spektrum frekuensi dari operator yang tidak mampu
menggunakan secara efisien, karena tidak berhasil menarik banyak pelanggan.
422
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
Perbedaan pandangan terjadi pula jika dikaitkan dengan UU
Telekomunikasi Pasal 9 (2) dimana dinyatakan bahwa penyelenggara jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), yaitu BUMN,
BUMD, Badan Usaha Swasta dan koperasi, dalam menyelenggarakan jasa
telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik
penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Jadi, menurut pasal 9 (2) UU Telekomunikasi ini operator yang tidak
memiliki izin penggunaan pita spektrum frekuensi (dalam hal ini termasuk
penggunaan dengan konsep LSA ataupun MVNO) dapat menggunakan atau
menyewa pita spektrum frekuensi milik MNO. Namun, di dalam UU
telekomunikasi tersebut tidak dijelaskan apakah bagi pengguna dengan konsep
penyewaan atau lainnya dibebani kewajiban pembayaran BHP frekuensi dan
Kewajiban Kontribusi Pelayanan Universal (KKPU).
Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan skim regulasi yang baru yang
berkaitan dengan penggunaan pita spektrum frekuensi dengan konsep LSA ataupun
dengan konsep MVNO, agar lebih jelas keberadaan operator yang menggunakan
konsep LSA dan MVNO tersebut, apakah harus mendapatkan izin penggunaan
frekuensi dan apakah harus membayar BHP frekuensi sebagaimana operator
pemilik izin penggunaan frekuensi.
Regulasi tersebut diperlukan pula untuk menghilangkan perbedaan
pandangan antara pemerintah dan pihak penegak hukum (hakim, jaksa dan
pengacara), mengenai masalah pengguna dan penggunaan pita spektrum frekuensi
radio.
2. Perbandingan dengan di Negara Lain
Sebagai perbandingan berikut ini disampaikan mengenai perizinan MVNO
di negara lain. Dalam praktek di Malaysia terdapat beberapa jenis operator yang
masuk dalam kategori MVNO yaitu: Full MVNO, Enhanced Service Provider, dan
Reseller. Di bidang perizinan terdapat perbedaan yaitu:141
a. Full MVNO dikenakan tiga macam perizinan (licence) yaitu: (i) Lisensi
Network Facilities Providers Individual - NFP (I) (izin Penyelenggara
Jaringan) untuk network facilities; (ii) Lisensi Network Service Provider
Individual - NSP (I) (Izin Penyelenggara jasa) untuk network services; dan (iii)
Lisensi Application Service Provider - ASP (Izin Penyelenggara Aplikasi)
untuk penyelenggaraan layanan selular untuk umum kepada end user.
b. Enhanced Service Provider dikenakan dua macam perizinan yaitu: (i) Lisensi
NSP (I) untuk penyelenggaraan layanan bandwith, cellular mobile services
atau mobile application services; (ii) lisensi ASP untuk penyelenggaraan
layanan selular untuk umum kepada end user.
c. Reseller dikenakan satu macam lisensi yaitu: Lisensi ASP untuk
penyelenggaraan layanan selular untuk umum.
141
Suruhanjaya Komunikasi dan Multimedia Malaysia (SKMM) (2008). Mobile Virtual
Network Operators (MVNO). The Redefining Game. Hlm. 7.
423
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Dari ketiga kategori yang disebutkan di atas tidak tampak bahwa MVNO di
Malaysia dikenakan kewajiban untuk memiliki izin penggunaan frekuensi
sebagaimana yang diwajibkan kepada MNO, akan tetapi untuk kategori Full
MVNO dikenakan kewajiban memiliki izin sebagai penyelenggara jaringan.
SKMM mendefinisikan MVNO dengan sangat luas, hal mana bukan hanya
mengurangi hambatan untuk masuk pasar (barriers to market entry) tetapi juga
memberi fleksibilitas untuk calon MVNO dalam menyusun model bisnisnya sesuai
dengan kemampuan keuangannya. Berbeda dengan di berbagai negara lain,
kerangka perizinan berdasarkan Communications and Multimedia Act 1998
(CMA) telah dikembangkan untuk menampung model bisnis MVNO di
Malaysia.142
Persyaratan perizinan yang dikeluarkan SKMM untuk masing-masing
model bisnis hanya sebagai panduan sedangkan persyaratan perizinan yang
sebenarnya diberikan oleh SKMM berdasarkan penilaian atas permohonan vis-à-vis
berdasarkan CMA dan berdasarkan peraturan pelaksanaan yang relevan
berdasarkan case by case.143
Di India, berdasarkan Section 4 Indian Telegraph Act, setiap badan yang
menyelenggarakan layanan telekomunikasi diwajibkan mempunyai izin/ lisensi
dari pemerintah. Oleh karena MVNO melaksanakan penyelenggaraan layanan
telekomunikasi kepada pelanggan dengan merek atau namanya sendiri yang
berbeda dengan MNO, maka perlu adanya lisensi atau izin dari pemerintah kepada
MVNO berdasarkan Section 4 Indian Telegraph Act.144 Izin yang dimaksudkan
disini adalah izin penyelenggaraan jasa telekomunikasi, namun tidak keterangan
lebih lanjut apakah MVNO di India diwajibkan memiliki izin penggunaan
frekuensi karena dalam penyelenggaraan jasa MVNO menggunakan spektrum
frekuensi radio milik MNO.145
Di Cina pada tanggal 26 Maret 2013, pemerintah mengumumkan rencana
untuk mengeluarkan izin/ lisensi untuk MVNO pada bulan Mei 2013, untuk
memberi kesempatan bagi MVNO untuk beroperasi di Cina. Berdasarkan rencana
tersebut perusahaan swasta diberi kesempatan untuk menyelenggarakan layanan
mobile langsung kepada pelanggan melalui pembelian bandwidth dari tiga
penyelenggara jaringan incumbent, yang diwajibkan pula menyediakan bandwidth
dengan memberi harga yang wajar. Kementerian Industri dan Teknologi Informasi
memberi masa percobaan selama dua tahun bagi penyelenggara dengan konsep
MVNO. Setiap calon penyelenggara MVNO diharuskan mempunyai pengalaman
di bidang telekomunikasi, yang merupakan pembatasan bagi calon MVNO yang
akan memasuki pasar.146 Izin yang akan diberikan pemerintah Cina adalah izin
penyelenggaraan jasa telekomunikasi, tidak diketahui apakah MVNO tersebut
dikenakan pula kewajiban mempunyai izin penggunaan spektrum frekuensi radio.
142
143
144
145
146
424
Ibid. hlm 37
Ibid.
Telecom Regulatory Authority of India (2008), Opcit, hlm. 14.
Ibid.
http://www.cellular-news.com diakses 12 Agustus 2013.
Masalah Hukum Dalam Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio
6. Penutup
Dari pembahasan di atas tampak bahwa di dalam peraturan-peraturan
pelaksanaan pengelolaan spektrum frekuensi radio belum tampak ide untuk
kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang dicantumkan dalam tujuan
telekomunikasi untuk kesejahteraan masyarakat.
Disamping itu, mahalnya biaya untuk mendapatkan alokasi spektrum
frekuensi radio mengakibatkan terjadi kecenderungan penguasaan oleh segelintir
pengusaha yang mempunyai modal besar, dan terjadi pula inefisiensi dalam
penggunaan spektrum frekuensi radio, yang sebenarnya dapat diatasi dengan
konsep MVNO, namun di Indonesia belum ada peraturan yang menampung
kegiatan operator dengan konsep MVNO tersebut.
Dilema yang terjadi adalah karena kerumitan secara teknologi tentang
spektrum frekuensi radio mengakibatkan para penegak hukum kurang menguasai
permasalahan teknik di bidang spektrum frekuensi radio, sebaliknya para ahli
teknik di bidang spektrum frekuensi kurang menguasai hukum.
Untuk itu, perlu dilakukan perubahan terhadap peraturan-peraturan
pelaksanaan UU Telekomunikasi agar dalam peraturan-peraturan pelaksanaan yang
ada terutama tentang pengelolaan spektrum frekuensi radio lebih mengutamakan
ide untuk kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang dicantumkan dalam tujuan
telekomunikasi dan untuk mencegah agar dalam pengelolaan spektrum frekuensi
radio tidak terjadi penguasaan oleh segelintir pengusaha yang mempunyai modal
besar, dan untuk mendorong efesiensi dalam penggunaan spektrum frekuensi radio
diperlukan perubahan dalam konsep pengaturan sektor telekomunikasi khususnya
yang berkaitan dengan pengalokasian spektrum frekuensi radio dan penggunaan
spektrum frekuensi radio baik dengan konsep LSA atau MVNO.
Mengingat bentuk khusus dari spektrum frekuensi radio dan
permasalahannya yang sarat dengan masalah teknikal, maka sebaiknya jika
penegak hukum yang kurang menguasai permasalahan teknikal di bidang spektrum
frekuensi radio dan para ahli teknik di bidang spektrum yang kurang menguasai
hukum yang terkait, dapat bekerjasama untuk menyelesaikan permasalahan yang
terjadi di bidang spektrum frekuensi radio.
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, Dharma Prakash and Zeng, Qing-An (2006). Introduction to Wireless
and Mobile System. Second Edition. Canada: Thomson Canada Limited.
Akyildiz, Ian F, et al. Georgia Institute of Technology (2008). Cognitive Radio
Communications and Networks. A Survey on Spectrum Management in
Cognitive Radio Networks., IEEE Communications Magazine. April
2008.
Departemen Pendidikan Nasional (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi
Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
425
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Mochtar Kusumaatmadja (2002). Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan.
Kumpulan Karya Tulis. Bandung: Alumni.
Roddy, Dennis (2006). Satellite Communications. Fourth Edition. Singapore,
McGraw Hill.
Ryan, Patrick S (2004). Application of the Public Trust Doctrine and Principles of
Natural Resources Management to Magnetic Spectrum. 10 Mich.
Telecomm. Tech L. Rev. 285.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji (1995). Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: PT RajaGrafindoPersada.
Kim, Jihwan, et.al (2010). Access Regulation, Competition, and the Investment of
Network Operators in the Mobile Telecommunications Industry. Bond
University Globalisation and Development Centre, No. 34 January 2010.
International Telecommunication Union (2002). Document: Cpt/04 18 November
2002. Workshop On Competition Policy In Telecommunications.
Geneva, 20 – 22 November 2002.
Radio Spectrum Policy Group (2011) – Report on Collective Use of Spectrum and
other spectrum sharing approaches – RSPG11-392.
Suruhanjaya Komunikasi dan Multimedia Malaysia (SKMM) (2008). Mobile
Virtual Network Operators (MVNO). The Redefining Game.
Bianchi, Giuseppe. Propagation Characteristics of Wireless Channels. Lecture 1.1
Basic concepts and terminology.
Clancy, Thomas Charles (2006). Dynamic Spectrum Access In Cognitive Radio
Networks. Dissertation submitted to the Faculty of the Graduate School of
the University of Maryland, College Park in partial fulfillment of the
requirements for the degree of Doctor of Philosophy.
Telecom Regulatory Authority of India (2008). Consultation Paper On Mobile
Virtual Network Operator (MVNO), New Delhi 5 May 2008.
426
TANGGUNGJAWAB REKTOR SEBAGAI KPA DALAM
PENGELOLAAN KEUANGAN PERGURUAN TINGGI NEGERI
YANG MENYELENGGARAKAN PENGELOLAAN KEUANGAN
BADAN LAYANAN UMUM (PTN PK-BLU)
Dewi Kania Sugiharti
Muhammad Ziaurahman
Sechabudin
Abstrak
Perguruan Tinggi yang menerapkan konsep Badan Layanan Umum (PTN PKBLU) dalam menjalankan fungsi sebagai organ yang bergerak dalam bidang
pelayanan adalah dukungan sarana dan prasarana melalui barang atau jasa. Sebagai
institusi yang berada dalam naungan pemerintah dan menerima anggaran negara
maka PTN PK-BLU melaksanakan mekanisme untuk memperoleh barang atau jasa
sesuai ketentuan hukum. Namun proses pengadaan dalam memperoleh barang atau
jasa terkadang menimbulkan persoalan yang muncul sebagai konsekuensi
berjalannya proses pengadaan barang atau jasa yang melibatkan organ-organ di
dalamnya seperti PA/KPA, PPK, ULP, dan Panitia/Pejabat Penerima Pengadaan.
Rektor sebagai KPA dalam PTN PK-BLU memiliki wewenang dalam melakukan
kontrol terhadap organ-organ yang melaksanakan proses pengadaan barang/jasa
pada lingkungannya. Kesalahan dalam proses pengadaan barang/jasa yang
dilakukan oleh PPK dan ULP/Pejabat Pengadaan menyebabkan kerugian negara
akibat kesalahan tersebut, baik akibat kelalaian atau tindakan melanggar hukum.
Sebagai KPA dalam proses pengadaan barang/jasa Rektor dapat melakukan kontrol
pada organ-organ tersebut sesuai dengan wewenang yang diberikan. Konsekuensi
yang diterima jika pada akhirnya pejabat pelaksanaan pengadaan barang/jasa tidak
mengindahkan teguran Rektor maka pejabat yang terkait proses pengadaan
barang/jasa akan menerima sanksi.
Kata Kunci: Kuasa Pengguna Anggaran, Keuangan Negara.
Abstract
Universities that apply the concept of Public Service Agency (BLU - PK PTN ) in
performing functions as an organ which is engaged in the service infrastructure
support through goods or services . As an institution under the auspices of the
government and the state budget receives PTN PK - BLU implement mechanisms to
acquire goods or services in accordance with the law . However, the procurement
process in obtaining goods or services sometimes poses problems that arise as a
consequence of the passage of the procurement of goods or services involving the
organs in it as PA / KPA , KDP , ULP , and Committee / Receiver Procurement
Officer. Rector of the KPA in PK - BLU PTN has the authority to control the
organs that carry out the process of procurement of goods / services in the
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
environment . Errors in the procurement process of goods / services performed by
the CO and the ULP / Procurement Officer causing state losses due to these errors,
either due to negligence or unlawful acts. As the KPA in the process of
procurement of goods / services Rector can control the organs in accordance with
the authority given . The consequences are acceptable if the authorities ultimately
the procurement of goods / services did not heed the warning Rector officials
related procurement process of goods / services will receive sanctions.
Keywords: Authorized Budget, Financial State.
A. Latar Belakang
Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.147 Pengelolaan keuangan negara
harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,
efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Salah satu instansi yang mengelola serta menggunakan keuangan
Negara untuk menjalankan fungsi operasionalnya adalah perguruan tinggi
negeri. Dewasa ini perguruan tinggi negeri didorong untuk melaksanakan
pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PK BLU). BLU merupakan
instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang
dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan
kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.148 Instansi
atau badan yang menyelenggarakan BLU ditentukan melalui Surat
Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan sebagai pengguna
anggaran negara. Instansi atau badan yang telah mendapat Surat Keputusan
sebagai instansi PK BLU menjalankan ketentuan-ketentuan pengelolaan
keuangan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU), yang
pada dasarnya merupakan pengecualian dari ketentuan Undang-undang No.
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Ketentuan yang diatur dalam PP No. 23 Tahun 2005 tentang PKBLU adalah mengenai sistem pengelolaan keuangan yang dijalankan oleh
instansi pemerintah PK BLU yang sudah ditetapkan oleh Menteri Keuangan
melalui Surat Keputusan. Instansi tersebut akan mengelola dan
menggunakan anggaran negara yang diatur sebagaimana mestinya. Instansi
147
148
428
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Pasal 1 ayat (10) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
atau badan yang dimaksud dapat merupakan instansi atau badan yang
bergerak di bidang kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Pengelolaan
keuangan badan layanan umum merupakan bagian integral dari pengelolaan
keuangan Negara, sehingga pengelolaannya tidak boleh terlepas dari hukum
keuangan Negara.149
Salah satu layanan yang dilaksanakan PK-BLU adalah
penyelenggaraan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh perguruan
tinggi. Penyelenggaraan pendidikan tinggi PK-BLU dilakukan organ-organ
pendidikan tinggi. Dalam sebuah negara demokrasi, tidak ada suatu jabatan
pun yang tidak dapat diminta pertanggungjawaban. Selain itu negara
Indonesia adalah negara hukum.150 Dengan demikian maka setiap tindakan
yang dilakukan oleh organ-organ pendidikan tinggi harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
Organ perguruan tinggi paling sedikit terdiri dari organ yang
menjalankan fungsi pelaksanaan, fungsi pengawasan dan pertimbangan,
fungsi pengawasan bidang non-akademik, dan fungsi pertimbangan non
akademik.151 Fungsi pelaksanaan pada suatu universitas dilaksanakan oleh
Rektor sebagai pemimpin satuan pendidikan tinggi. Untuk memerikan
layanan terbaik kepada masyarakat sekaligus menciptakan efisiensi,PKBLU memerlukan barang/jasa yang berkualitas sebagai komponen in put.
Untuk memperoleh barang/jasa berkualitas maka diatur mekanisme
pengadaan barang/jasa.
Rektor berfungsi sebagai KPA dalam pengadaan barang/jasa PTN
PK-BLU. Rektor memiliki kewenangan untuk menetapkan organ-organ lain
diantaranya Unit Layanan Pengadaan ULP dan Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK). Dalam pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh ULP
dan/atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tersebut mungkin terjadi suatu
kesalahan sehingga harus dipertanggungjawabkan sesuai aturan hukum yang
berlaku. Kejelasan tanggung jawab antara KPA, ULP, dan PPK merupakan
salah satu kunci efektivitas dan efisiensi dalam pengadaan barang/jasa.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah tanggung jawab Rektor apabila terjadi kesalahan
yang dilakukan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada perguruan
tinggi yang menyelenggarakan Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum (PK-BLU)?
149
150
151
Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2008. hlm. 165
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 58D ayat (1)Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2010 Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.
429
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
2. Bagaimanakah tanggung jawab Rektor apabila terjadi kesalahan
dalam pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh Unit Layanan
Pengadaan (ULP) pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU)?
C. Tanggung Jawab Rektor atas Kesalahan yang Dilakukan oleh PPK
dalam Pengadaan Barang dan Jasa PTN dengan PK-BLU
Terdapat perbedaan istilah pada posisi pejabat yang memimpin
sebuah perguruan tinggi. Perbedaan sebutan posisi tersebut memiliki
konsekuensi pada wewenang dan tanggungjawab. Sebutan rektor diberikan
kepada seseorang yang menduduki posisi pemimpin sebuah perguruan
tinggi berbentuk universitas/institut, hal ini berkaitan dengan fungsi
penyelenggaraan pendidikan tinggi untuk menjalankan tri dharma perguruan
tinggi. Dalam menjalankan fungsi perguruan tinggi tersebut, bagaimanapun
berkorelasi dengan masalah keuangan. Perguruan tinggi negeri mendapatkan
dana untuk menyelenggarakan fungsi tersebut dari negara melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau sumber lain yang sah. Dalam
pengelolaan keuangan dan perbendaharaan dikenal istilah Pengguna
Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran, sementara dalam pengelolaan
keuangan Badan Layanan Umum (BLU) dikenal istilah Pemimpin BLU.
Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (PTN-PK BLU), memperoleh pendapatan dari :
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
b. Jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat dan hibah tidak terikat
yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan
operasional BLU.
c. Hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain
merupakan pendapatan yang harus diperlakukan sesuai dengan
peruntukan.
d. Hasil kerjasama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya
merupakan pendapatan bagi BLU.
PTN PK BLU di lingkungan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan beroperasi sebagai unit kerja Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya
berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan sebagai instansi induk. PTN PK BLU tersebut merupakan
bagian perangkat pencapaian tujuan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, oleh karenanya status hukum PTN PK BLU BLU tidak
terpisah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai instansi
induk. Sehubungan dengan itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan
430
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
umum yang didelegasikannya kepada PTN PK BLU dari segi manfaat
layanan yang dihasilkan, sedangkan pemimpin PTN PK BLU sebagai
Pejabat yang ditunjuk mengelola PTN PK BLU bertanggung jawab atas
pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan
kepadanya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.152
Pendapatan PTN PK BLU dari jasa layanan, hibah dan kerjasama
dilaporkan sebagai pendapatan negara bukan pajak Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan.153 Ditijnau dari segi Undang-undang Keuangan Negara,
maka pendapatan tersebut termasuk ruang lingkup keuangan negara, hanya
saja karena berdasarkan Undang-undang Perbendaharaan Negara diberikan
keleluasaan dalam pengelolaannya, pendapatan tersebut digunakan untuk
membiayai urusan PTN PK BLU secara langsung, karenanya pendapatan
tersebut tidak disetor ke Kas Negara dengan pola kelola APBN, tetapi tetap
wajib dilaporkan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dilihat dari struktur pengelola
keuangan negara berdasar Pasal 6 Undang-undang No. 17 Tahun 2003
berkedudukan sebagai kuasa dari Presiden selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Salah satu wewenang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan selaku
Pengguna Anggaran berdasarkan Undang-undang Perbendaharaan Negara
adalah menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang;
Berdasarkan Pasal 18 Undang-undang Perbendaharaan Negara, Kuasa
pengguna Anggaran memiliki wewenang untuk :
a. menguji kebenaran material surat-surat bukti mengenai hak pihak
penagih;
b. meneliti kebenaran dokumen yang menjadi persyaratan/kelengkapan
sehubungan dengan ikatan/ perjanjian pengadaan barang/jasa;
c. meneliti tersedianya dana yang bersangkutan;
d. membebankan pengeluaran sesuai dengan mata anggaran pengeluaran
yang bersangkutan;
e. memerintahkan pembayaran atas beban APBN/APBD.
Rektor sebagai pemimpin
PTN PK BLU berfungsi sebagai
penanggung jawab umum operasional dan keuangan BLU yang
berkewajiban:
a. menyiapkan rencana strategis bisnis PTN PK BLU;
b. menyiapkan RBA tahunan;
152
153
Pasal 3 ayat (1) sampai (4) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum.
431
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
c.
mengusulkan calon pejabat keuangan dan pejabat teknis sesuai dengan
ketentuan yang berlaku; dan
d. menyampaikan pertanggungjawaban kinerja operasional dan keuangan
PTN PK BLU.
Pejabat keuangan PTN PK BLU berfungsi sebagai penanggung
jawab keuangan berkewajiban :
a. mengkoordinasikan penyusunan RBA;
b. menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran PTN PK BLU;
c. melakukan pengelolaan pendapatan dan belanja;
d. menyelenggarakan pengelolaan kas;
e. melakukan pengelolaan utang-piutang;
f. menyusun kebijakan pengelolaan barang, aset tetap, dan investasi PTN
PK BLU;
g. menyelenggarakan sistem informasi manajemen keuangan;
h. menyelenggarakan akuntansi dan penyusunan laporan keuangan.
Pejabat teknis PTN PK BLU berfungsi sebagai penanggung jawab
teknis di bidang masing-masing berkewajiban:
a. menyusun perencanaan kegiatan teknis di bidangnya;
b. melaksanakan kegiatan teknis sesuai menurut RBA; dan
c. mempertanggungjawabkan kinerja operasional di bidangnya.
Rektor sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) memiliki peranan
penting dalam pengadaan barang dan jasa pada Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) dengan PK-BLU. Pengadaan barang dan jasa harus dilaksanakan
berdasarkan prinsip-prinsip pengadaan barang dan jasa pemerintah
sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Kualitas
pengadaan barang dan jasa yang dilakukan akan menentukan kualitas
layanan yang akan dihasilkan oleh PTN PK-BLU.
1. Organ-Organ dalam Proses Pengadaan Barang/Jasa
PTN PK-BLU merupakan bagian integral dari pengelolaan keuangan
negara sehingga pengelolaannya tidak boleh terlepas dari hukum keuangan
negara. PTN PK-BLU berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang
tidak dipisahkan dari kekayaan negara. selain itu, PTN PK-BLU merupakan
instansi pemerintah yang pengelolaan keuangannya menerapkan PK-BLU.
Dengan demikian, pengadaan barang dan jasa PTN PK-BLU sama dengan
pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah lainnya. Selain itu, karena
merupakan perguruan tinggi, maka PTN PK-BLU juga tunduk pada
432
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan
peraturan perundang-undangan lainnya.154
Pengadaan barang/jasa dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui
swakelola atau pemilihan penyedia barang/jasa. Pengadaan melalui
swakelola, pelaksanaan pengadaan direncanakan, dikerjakan, dan/atau
diawasi sendiri oleh PTN PK BLU yang bersangkutan dan pihak yang
berperan penanggung jawab anggaran, sedangkan dalam pemilihan penyedia
barang/jasa, pemilihan tersebut dapat dilakukan dengan pelelangan/seleksi,
atau penunjukkan langsung atau pengadaan langsung.
Terdapat empat organ yang memiliki peran dalam pengadaan barang
dan jasa di PTN PK BLU. Organ tersebut yaitu Pengguna Anggran
(PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), PPK, Unit Layanan Pengadaan
(ULP)/Pejabat Pengadaan, dan Panitia/Pejabat Penerima Hasil
Pengadaan.155
Mengacu kepada UU Perbendaharaan Negara, maka yang dimaksud
PA tersebut adalah Menteri/Pimpinan Lembaga, Gubernur/Bupati/Walikota
selaku Kepala Pemerintahan Daerah, dan Kepala satuan kerja perangkat
daerah.156 Ketentuan tersebut diperjelas dalam Pasal 1 angka 5 Perpres
70/2012. PA menetapkan pejabat KPA untuk menggunakan APBN/APBD.
Dengan perkataan lain KPA merupakan pejabat yang ditunjuk oleh PA
untuk menggunakan APBN/APBD.
Berdasarkan dari ketentuan di atas, maka dalam PTN PK-BLU, KPA
tersebut adalah Rektor,157 sedangkan PA adalah Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud). Rektor merupakan organ yang memperoleh
kewenangan sebagai KPA melalui penunjukkan oleh Mendikbud. Rektor
berfungsi organ perguruan tinggi yang menjalankan fungsi pengelolaan.
Rektor diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.158
Pasal 58H ayat (5) PP 66/2010 menyatakan, dana untuk biaya
investasi, biaya operasional, beasiswa, dan/atau biaya bantuan pendidikan
disalurkan kepada Rektor. Berdasarkan ketentuan tersebut secara,
154
155
156
157
158
Peraturan Perundang-undangan lain tersebut misalnya Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 08/PMK.02/2006 tentang Kewenangan Pengadaan Barang/Jasa Pada Badan
Layanan Umum.. Peraturan ini memberikan keleluasaan bagi BLU yang memperoleh
status secara penuh dalam Pengadaan barang/jasa.
Pasal 7 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
(Perpres 70/2012).
Pasal 4-6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU
Perbendaharaan Negara).
Rektor merupakan pemimpin dari perguruan tinggi berbentuk universitas dan institut.
Pasal 58E ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan
(PP 66/2010).
433
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
pengadaan barang dan jasa yang didanai dari APBN, termasuk di dalam
dana yang disalurkan kepada Rektor yang berasal dari Pemerintah yang
dalam hal ini adalah Mendikbud.
PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan dalam
pengadaan barang dan jasa. PPK merupakan pihak yang membuat perjanjian
dengan Penyedia Barang/Jasa atau Pelaksana Swakelola. Perjanjian yang
dibuat oleh PPK dengan Penyedia Barang/Jasa dituangkan dalam Kontrak
Pengadaan Barang/Jasa. Kontrak berisi hak dan kewajiban masing-masing
pihak (pihak PTN PK-BLU yang diwakili oleh PPK) dan Penyedia
Barang/Jasa.
ULP merupakan unit organisasi yang berfungsi melaksanakan
Pengadaan Barang/Jasa. Setiap organisasi pemerintah wajib memiliki ULP
yang dapat memberikan pelayanan di bidang pengadaan barang/jasa.
Keberadaan ULP dalam PTN PK BLU bersifat permanen. ULP dapat berdiri
sendiri ataupun melekat pada organisasi yang sudah ada. Dalam PTN PK
BLU, ULP dibentuk oleh pemimpin PTN yaitu Rektor.
Panitia/Penerima hasil pengadaan merupakan panita yang yang
ditetapkan oleh KPA (Rektor) untuk memeriksa dan menerima hasil
pekerjaan. Tugas pokok Panitia/penerima hasil pengadaan barang/jasa
adalah:
a. Memeriksa hasil pekerjaan pengadaan barang/jasa sesuai dengan
ketentuan kontrak yang dibuat dengan pihak penyedia barang jasa dan
PPK;
b. Menerima hasil pengadaan barang/jasa setelah melalui proses
pemeriksaan; dan
c. Membuat dan menandatangani Berita Acara Serah Terima Hasil
Pekerjaan.
2.
Kewenangan dan Sumber Kewenangan Rektor dan PPK dalam
Pengadaan Barang/Jasa PTN PK-BLU
Untuk menentukan batasan tanggung jawab Rektor sebagai KPA
atas kesalahan yang dilakukan oleh PPK dalam pengadaan barang/ jasa
harus diketahui terlebih dahulu kewenangan dan sumber kewenangan dari
kedua organ tersebut. Kewenangan dan sumber kewenangan inilah yang
menjadi parameter tanggung jawab masing-masing organ dalam pengadaan
barang/jasa.
Kewenangan Rektor dalam pengadaan barang/jasa sebagaimana
ditetapkan dalam Perpres 70/2012 yaitu KPA yang ditunjuk oleh PA yang
dalam hal ini adalah Mendikbud sebagai pengguna APBN. Sumber
kewenangan yang diperoleh Rektor sebagai KPA diperoleh melalui atribusi
dengan jenis delegated legislator. Dalam hal ini, Presiden dengan berdasar
434
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1/2004 tentang
Perbendaharaan Negara dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan
Perundang-Undangan,
menetapkan
Perpres
70/2012.
Pembentukan Perpres 70/2012 menciptakan wewenang-wewenang
pemerintahan pada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu yang dalam
hal ini adalah Rektor sebagai KPA. Kedudukan Rektor sebagai KPA
memiliki makna bahwa Rektor sebagai pemimpin PTN PK-BLU telah
menerima kewenangan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangundangan untuk melakukan pengadaan barang/jasa.
Rektor sebagai KPA memiliki peran yang sangat penting dalam
pelaksanaan pengadaan barang/jasa di PTN PK-BLU. Dilihat dari segi
kewenangan, maka Rektor memiliki kewenangan yang sangat besar dalam
pengadaan barang/jasa. Salah satu dari kewenangan tersebut adalah
menetapkan orang-orang untuk mengisi jabatan pada organ-organ lain
dalam pengadaan barang/jasa. Organ-organ yang pengisian jabatannya
ditunjuk ditetapkan oleh Rektor tersebut adalah PPK, ULP, dan
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan. Dengan demikian maka semua
organ pengadaan barang/jasa yang ada di PTN PK-BLU ditetapkan oleh
Rektor.
Sebagai pejabat yang ditetapkan oleh Rektor, PPK memiliki
kewenangan untuk membuat perjanjian dengan pihak ketiga yang
dituangkan dalam kontrak. Secara yuridis kewenangan PPK yaitu,
kewenangan pokok dan kewenangan lain. adapun kewenangan pokok PPK
yaitu:159
a. Menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan yang meliputi: spesifikasi
barang/jasa, Harga Perkiraan Sendiri (HPS), dan rancangan kontrak.
b. Menerbitkan surat penunjukkan Penyedia Barang/Jasa.
c. Menyetujui bukti pembelian atau menandatangani kuitansi/Surat
Perintah Kerja (SPK)/surat perjanjian.
d. Melaksanakan kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa.
e. Mengendalikan pelaksanaan kontrak.
f. Melaporkan pelaksanaan/penuelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada
PA/KPA (Rektor).
g. Menyerahkan hasil pengadaan barang/jasa kepada PA/KPA (Rektor)
dengan Berita Acara Penyerahan.
h. Melaporkan kemajuan penyerapan anggaran dan hambatan
pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA (Rektor) setiap triwulan.
i. Menyimpan dan menjaga seluruh dokumen dokumen pelaksanaan
pengadaan barang/jasa.
159
Pasal 11 ayat (1) Perpres 70/2012.
435
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Selain kewenangan pokok tersebut, PPK juga memiliki kewenangan
lain, yaitu:
a. Mengusulkan kepada PA/KPA (Rektor) perubahan paket kegiatan
dan/atau perubahan jadwal kegiatan pengadaan.
b. Menetapkan tim pendukung.
c. Menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis untuk
membantu pelaksanaan tugas ULP.
d. Menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia
Barang/Jasa.
Dilihat dari sumber kewenangan maka kewenangan yang dimiliki
oleh PPK sama dengan sumber kewenangan yang dimiliki oleh Rektor,
yaitu atribusi jenis delegated legislator. Melihat sumber kewenangan kedua
organ tersebut, maka Rektor dan PPK memperoleh kewenangan secara
atribusi dengan jenis delegated legislastor. Kewenangan atribusi
mengandung arti bahwa kedua organ tersbut mempeoleh kewenangan secara
langsung dari Perpres 70/2012. Konsekuensinya baik Rektor maupun PPK
bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan Perpres 70/2012.
3.
Hubungan Pertanggungjawaban antara Rektor dan PPK
Prinsip pertanggungjawaban muncul karena adanya suatu tindakan
yang mengakibatkan sesuatu yang harus diselesaikan. Dalam hal ini, suatu
pejabat yang melakukan suatu tindakan atau suatu perbuatan yang sesuai
dengan kewenangannya tentu harus dapat mempertanggungjawabkannya.
Kewenangan yang dimiliki oleh Rektor dan PPK dalam pengadaan
barang/jasa pada PTN dengan PK-BLU diperoleh secara atribusi dengan
delegated legislator yaitu melalui Perpres 70/2012. Namun dalam Perpres
70/2012 tidak ditemukan ketentuan mengenai pertanggungjawaban Rektor
bilamana terjadi kesalahan atas tindakan hukum yang dilakukan oleh PPK.
Secara normatif, dalam Perpres 70/2012, PPK diwajibkan
memberikan laporan pertanggungjawaban pengadaan barang/jasa kepada
Rektor. Selain hak dan kewajiban sebagaimana ditetapkan Perpres 70/2012,
dalam UU No. 1/2004 juga ditetapkan hak dan kewajiban bagi KPA, yang
dalam hal ini dapat ditafisirkan Rektor dan Pejabat yang menandatangani
dokumen yang menjadi dasar pengeluaran keuangan negara. Rektor sebagai
KPA memiliki kewenangan:160
a. Menguji kebenaran material mengenai surat-surat bukti pihak
penagih;
160
436
Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara.
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
b. Meneliti kebenaran dokumen yang menjadi persyaratan/
kelengkapan sehubungan dengan ikatan/perjanjian pengadaan
barang/jasa;
c. Meneliti tersedianya dana yang bersangkutan;
d. Membebankan pengeluaran sesuai dengan mata anggaran
pengeluaran yang bersangkutan;
e. Memintakan pembayaran atas beban APBN/APBD.
Sedangkan untuk PPK, jika dihubungkan dengan Pasal 18 ayat
(3) UU No. 1/2004 maka pejabat PPK bertanggung jawab atas
kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat
bukti dimaksud. Dengan kata lain, apabila terdapat ketidakbenaran
dalam surat bukti tersebut maka pejabat PPK wajib
bertanggungjawab.
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (3) UU 1/2004 ,
terdapat hubungan pertanggungjawaban antara Rektor sebagai KPA
dan PPK. Pertama, PPK diwajibkan untuk memberikan laporan
pertanggungjawaban kepada Rektor. Laporan pertanggungjawaban
tersebut mengenai kewenangan PPK yaitu membuat Kontrak dengan
Penyedia barang/jasa. Pejabat PPK bertanggung jawab atas
kebenaran material Kontrak yang dibuat dengan Penyedia
barang/jasa. Laporan pertanggungjawaban oleh PPK kepada Rektor
tentu berisi/terkait dengan Kontrak.
Rektor memiliki kewenangan untuk menguji kebenaran
material atas laporan pertanggungjawaban yang dibuat oleh PPK
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 18 ayat (2) UU 1/2004. Jika
terjadi kesalahan yang dilakukan oleh Pejabat PPK, Rektor dapat
mengambil tindakan-tindakan administratif terhadap Pejabat PPK
yang melakukan kesalahan sebagai wujud pengendalian internal
yang dilakukan oleh Rektor. Tindakan administratif tersebut
misalnya pemberhentian Pejabat PPK.
Pertanggungjawaban yang terdapat pada Pejabat PPK bukan
pertanggungjawaban yang bersifat organ, tetapi tanggung jawab
yang bersifat personal yaitu per-pejabat. Melihat wewenang yang
dimiliki oleh PPK maka surat bukti yang dimaksud Pasal 18 ayat (3)
UU No. 1/2004 adalah Kontrak yang dibuat oleh PPK dengan
Penyedia barang/jasa.
Ketidakbenaran material atas surat bukti berupa Kontrak yang
dibuat oleh pejabat PPK dengan Penyedia Barang/Jasa dapat
diakibatkan karena tindakan melanggar hukum (onrechtmatige
overheiddaad) atau kelalaian. Jika tindakan melanggar hukum atau
kelalalian tersebut mengakibatkan kerugian negara mengakibatkan
437
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
konsekuensi hukum bagi pejabat PPK tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Tuntutan ganti rugi
Tuntutan ganti rugi terhadap tindakan melanggar hukum
atau kelalaian yang dilakukan oleh pejabat PPK dalam pengadaan
barang/jasa yang mengakibatkan kerugian keuangan negara
dilakukan oleh Pimpinan lembaga yang dalam hal PTN dengan
PK BLU Pimpinan tersebut adalah Rektor. Kerugian negara
tersebut wajib dilaporkan kepada Menteri dan diberitahukan
kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) paling lambat 7
(tujuh) hari kerja setelah kerugian negara tersebut diketahui.
Pejabat PPK yang melakukan tindakan melanggar hukum
atau kelalaian tersebut dimintakan surat pernyataan kesanggupan
dan/atau pengakuan bahwa Pejabat PPK tesebut bertanggung
jawab dan bersedia mengganti kerugian negara tersebut. Jika surat
keterangan tanggung jawab tersebut tidak mungkin diperoleh
(pejabat PPK tidak bersedia membuatu surat pernyataan
kesanggupan dan/atau pengakuan), maka Rektor segera
mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian
sementara terhadap pejabat PPK tersebut. Jumlah kerugian negara
tersebut ditetapkan oleh BPK. Kewajiban mengganti kerugian
oleh pejabat PPK yang melakukan tindakan melanggar hukum
atau lalai tersebut menjadi kedaluarsa jika dalam jangka waktu 5
(lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau dalam
jangka watu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tersebut
tidak dilakukan penuntutan ganti rugi.
b. Sanksi administratif
Selain tuntutan ganti rugi, pejabat PPK yang melakukan
tindakan melanggar hukum atau kelalaian yang mengakibatkan
kerugian negara juga dapat dikenakan sanksi administratif.
Penjatuhan sanksi administratif tidak membebaskan pejabat PPK
tersebut dari tuntutan ganti rugi.
c. Sanksi pidana
Selain tuntutan ganti rugi dan sanksi administratif, pejabat
PPK yang melakukan tindakan melanggar hukum dan kelalaian
dapat dijatuhi sanksi pidana. Ketentuan sanksi pidana pun tidak
membebaskan pejabat PPK tersebut dari tuntutan ganti rugi.
438
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
D. Analisis Terhadap Tanggung Jawab Rektor atas Kesalahan yang
Dilakukan oleh Unit Layanan Pengadaan (ULP) dalam Pengadaan
Barang dan Jasa PTN PK-BLU
Berlakunya Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang juga menggantikan Keputusan
Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya mengubah sistem dalam
proses penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa di lingkungan
pemerintah.
Salah satu bentuk perubahan yang terjadi dari sebelumnya diatur
oleh Keppres No. 80 Tahun 2003 ke Perpres No. 70 Tahun 2012 adalah
salah satu organ yang juga berperan dalam proses pengadaan barang dan
jasa di lingkungan pemerintah, yaitu Panitia Pengadaan yang kemudian
berubah menjadi Unit Layanan Pengadaan (ULP).
Berdasarkan ketentuan sebelumnya yaitu pada Keputusan Presiden
No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah bahwa istilah Panitia Pengadaan sebetulnya sudah disebutkan
dalam Keppres No. 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah. Secara umum bahwa Panitia
Pengadaan adalah kelompok yang memiliki tugas sebagai pelaksana proses
pengadaan barang/jasa pemerintah. Pengertian dalam Keppres No. 18 Tahun
2000 dan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Panitia Pengadaan memiliki
perbedaan walau pada dasarnya fungsi Panitia Pengadaan adalah sama.
Munculnya Keppres No. 80 Tahun 2003 yang ditetapkan oleh
Presiden pada tanggal 3 November 2003 secara otomatis menggantikan hal
mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah yang sebelumnya diatur oleh
Keppres No. 18 Tahun 2000 dan pada saat itu peran tugas Panitia
Pengadaan diatur lebih rinci. Sebagai contoh pada Pasal 10 ayat (1)
ditentukan bahwa panitia pengadaan wajib dibentuk jika pengadaan dalam
hal nominal berjumlah di atas Rp. 50.000.000,- sedangkan pada Keppres
No. 18 Tahun 2000 hanya menyebutkan tugas dan wewenang secara umum,
tidak dirinci seperti halnya ketentuan pada Keppres No. 80 Tahun 2003.
Peran Panitia Pengadaan yang diatur semenjak terbitnya Keppres
No. 18 Tahun 2000 hingga ditetapkannya Keppres No. 80 Tahun 2003
untuk melaksanakan proses pengadaan diganti oleh organ yang bersifat
permanen pada satu institusi yang khusus untuk melaksanakan proses
pengadaan barang/jasa pemerintah, yaitu Unit Layanan Pengadaan (ULP).
Pembentukan ULP didasarkan pada perubahan terhadap Keppres No. 80
Tahun 2003 yaitu melalui Perpres No. 8 Tahun 2006 tentang Perubahan
Keempat atas Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
439
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pada saat itu tugas dalam
melaksanakan pengadaan barang/jasa masih belum sepenuhnya dilakukan
oleh ULP, melainkan pada beberapa hal masih dapat dilakukan oleh Panitia
Pengadaan barang/jasa.
Tugas dan wewenang ULP dalam proses pengadaan barang/jasa baru
dapat dilakukan secara penuh ketika berlakunya Perpres No. 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang menggantikan Keppres
No. 80 Tahun 2003 beserta perubahannya. Dalam hal ini ULP merupakan
salah satu organ yang bersifat permanen yang khusus untuk melaksanakan
proses pengadaan barang/jasa pemerintah di setiap institusi yang berada
dalam lingkungan pemerintah dan menerima anggaran negara. Perubahan
yang dilakukan dengen menetapkan Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sedikit mengubah ketentuan yang
mengatur tentang ULP. Pembentukan ULP sendiri pada institusi di bawah
naungan pemerintah dibentuk selambat-lambatnya pada tahun 2014.161
Organ ULP merupakan organ yang dibentuk pertama kali pada
Perpres No. 8 Tahun 2006 hingga kemudian disempurnakan pada Perpres
No. 70 Tahun 2012. ULP adalah salah satu organ di lingkungan insitusi
pemerintah yang menurut ketentuannya merupakan organ yang memiliki
tugas untuk melakukan proses pengadaan terutama dalam pemilihan
penyedia barang/jasa. Pejabat yang duduk untuk melaksanakan proses
pengadaan di ULP dalam PTN-BLU ditunjuk oleh Rektor sebagai KPA.
Secara yuridis, ULP memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:162
a. menyusun rencana pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
b. menetapkan Dokumen Pengadaan;
c. menetapkan besaran nominal Jaminan Penawaran;
d. mengumumkan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di website
Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah/Institusi masing-masing dan
papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta menyampaikan ke
LPSE untuk diumumkan dalam Portal Pengadaan Nasional;
e. menilai kualifikasi Penyedia Barang/Jasa melalui prakualifikasi atau
pascakualifikasi;
f. melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap penawaran
yang masuk;
g. khusus untuk Kelompok Kerja ULP:
1) menjawab sanggahan;
2) menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk:
161
162
440
Pasal 130 ayat (1) Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012.
Pasal 17 ayat (2) Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012.
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
h.
i.
a) Pelelangan atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan
Barang/Pekerjaan Konstruksi Jasa Lainnya yang bernilai
paling tinggi Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
atau
b) Seleksi atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan
Jasa
Konsultansi
yang
bernilai
paling
tinggi
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
3) menyampaikan hasil Pemilihan dan salinan Dokumen Pemilihan
Penyedia Barang/Jasa kepada PPK;
4) menyimpan dokumen asli pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
5) membuat laporan mengenai proses Pengadaan kepada Kepala ULP.
khusus Pejabat Pengadaan:
1) menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk:
a) Pengadaan
Langsung
untuk
paket
Pengadaan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai
paling tinggi Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
dan/atau
b) Pengadaan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi
yang bernilai paling tinggi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah);
2) menyampaikan hasil Pemilihan dan salinan Dokumen Pemilihan
Penyedia Barang/Jasa kepada PPK;
3) menyerahkan dokumen asli pemilihan Penyedia Barang/Jasa
kepada PA/KPA; dan
4) membuat laporan mengenai proses Pengadaan Pengadaan kepada
PA/KPA.
memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan Pengadaan
Barang/Jasa kepada PA/KPA.
Selain tugas dan wewenang ULP, sebagai organ permanen maka ULP
memiliki pimpinan yang disebut sebagai kepala. Dalam hal ini tugas dan
wewenang kepala ULP adalah sebagai berikut:163
a. memimpin dan mengoordinasikan seluruh kegiatan ULP;
b. menyusun program kerja dan anggaran ULP;
c. mengawasi seluruh kegiatan pengadaan barang/jasa di ULP dan
melaporkan apabila
ada penyimpangan dan/atau indikasi
penyimpangan;
163
Pasal 17 ayat (2a) Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012.
441
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
d.
ISSN : 2303-3274
membuat laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan
Pengadaan Barang/Jasa kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala
Daerah/Pimpinan Institusi;
e. melaksanakan pengembangan dan pembinaan Sumber Daya Manusia
ULP;
f. menugaskan/menempatkan/memindahkan anggota Kelompok Kerja
sesuai dengan beban kerja masing-masing Kelompok Kerja ULP; dan
g. mengusulkan pemberhentian anggota Kelompok Kerja yang ditugaskan
di ULP kepada PA/KPA/Kepala Daerah, apabila terbukti melakukan
pelanggaran peraturan perundang-undangan dan/atau KKN.
Selain tugas pokok dan kewewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dalam hal diperlukan Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan
dapat mengusulkan kepada PPK:164
a. perubahan HPS; dan/atau
b. perubahan spesifikasi teknis pekerjaan.
Sama seperti kewenangan yang dimiliki oleh PPK dan Rektor, bahwa
kewenangan yang dimiliki oleh ULP dilihat dari sumber kewenangan maka
kewenangan tersebut disebut atribusi jenis delegated legislator. Oleh karena
itu sebagai konsekuensi, ULP sama halnya seperti PPK dan Rektor
bertanggung jawab berdasakan Perpres No. 70 Tahun 2012.
Rektor yang bertindak sebagai KPA memiliki kewenangan yang
ditetapkan oleh Perpres No. 70 Tahun 2012 dan begitupun dengan ULP
sebagai organ yang melaksanakan proses pengadaan barang/jasa juga diatur
oleh Perpres No. 70 Tahun 2012. Pada persoalan mengenai
pertanggungjawaban Rektor sebagai KPA jika terjadi keasalahan yang
dilakukan oleh ULP, pada Perpres No. 70 Tahun 2012 ternyata tidak
ditemukan mekanisme pertanggungjawaban tersebut atau bahkan
menyinggung perihal tentang pertanggungjawaban, sehingga hal ini
menimbulkan permasalahan bagaimana sebetulnya batas tanggung jawab
Rektor tersebut. Satu ketentuan yang mengarah pada persoalan
pertanggungjawaban diatur pada Pasal 17 ayat (2) huruf i yang berbunyi
―memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan Pengadaan
Barang/Jasa kepada PA/KPA‖ sedangkan untuk pembuatan laporan
pertanggungjawaban dilakukan oleh kepala ULP yang diatur pada Pasal 17
ayat (2a) huruf d, akan tetapi setelah itu tidak ada pengaturan lebih lanjut
mengenai tanggung jawab pihak yang membuat kesalahan, baik dari Rektor
sebagai KPA maupun ULP sebagai organ yang melaksanakan pengadaan
barang/jasa.
164
442
Pasal 17 ayat (3) Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012.
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
Jika dalam ketentuan pada Perpres No. 70 Tahun 2012 tidak
mengatur mengenai hubungan pertanggungjawaban antara ULP dan Rektor
maka harus dilakukan pengkajian pada ketentuan peraturan perundangundangan lain yang menyangkut masalah pertanggungjawaban baik secara
institusional maupun secara personal, dilihat dari bentuk kesalahannya.
ULP sebagai organ yang di dalamnya terdapat orang-orang yang
terlibat dalam proses pengadaan barang dan jasa dengan kata lain sebetulnya
memiliki tanggung jawab dalam kegiatan pengadaan tersebut. Dalam hal ini
tentu ada suatu hal yang kemungkinan terjadi pada proses pengadaan
barang/jasa untuk keperluan institusi tersebut, bisa merupakan kelalaian atau
bahkan tindakan melanggar hukum. Kedua sebab tersebut tentu dapat
mengakibatkan suatu hal yaitu kerugian negara dikarenakan penggunaan
keuangan negara yang tidak sesuai dengan peruntukannya atau
penyelewengan anggaran untuk kepentingan pribadi.
Ketentuan yang terdapat pada Pasal 18 ayat (2) UU 1/2004
memberikan KPA wewenang untuk menandakan adanya kontrol yang
dilakukan oleh KPA terhadap organ-organ yang terlibat dalam pengadaan
barang/jasa, hal itu dapat dilihat dari ketentuan pada ayat-ayat yang
teradapat dalam pasal tersebut. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (3) pada
Undang-Undang ini
juga
menunjukkan
adanya
hubungan
pertanggungjawaban antara KPA dan organ-organ yang terlibat dalam
pengadaan barang/jasa, salah satunya ULP sebagai organ pelaksana
pengadaan barang/jasa. Sesuai ketentuan pada Pasal 17 ayat (2) Perpres
70/2012, pada proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa oleh ULP
dilakukan oleh Kelompok Kerja dan juga dilakukan oleh Pejabat
Pengadaan. Kelompok Kerja memiliki tugas untuk menetapkan Pelelangan
atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan
Konstruksi, Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah) dan Seleksi atau Penunjukan Langsung untuk paket
Pengadaan
Jasa
Konsultansi
yang
bernilai
paling
tinggi
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), serta membuat laporan
mengenai proses Pengadaan kepada Kepala ULP, sedangkan Pejabat
Pengadaan memiliki tugas untuk menetapkan Pengadaan Langsung untuk
paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai
paling tinggi Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan Pengadaan
Langsung untuk paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling
tinggi Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), serta membuat laporan
mengenai proses Pengadaan Pengadaan kepada PA/KPA.
Untuk pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh
Kelompok Kerja ULP, pembuatan laporan mengenai proses pengadaan
seperti yang tercantum pada ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf g angka 5,
443
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
laporan tersebut diserahkan kepada Kepala ULP. Berbeda dengan Pejabat
Pengadaan yang ketentuannya tercantum pada Pasal 17 ayat (2) huruf h
angka 4 bahwa laporan proses pengadaan langsung kepada PA/KPA.
Dalam hal pembuatan laporan pertanggungjawaban atas seluruh
kegiatan pada proses pengadaan barang/jasa yang dilakukan oleh ULP,
pembuatan tersebut dilakukan oleh Kepala ULP dan kemudian diserahkan
kepada PA/KPA atas nama ULP sebagai organ yang bertanggung jawab
dalam pelaksanaan pengadaan.
Jika bentuknya adalah kesalahan pada proses pengadaan barang/jasa
oleh pejabat ULP maka pejabat tersebut harus bertanggung jawab atas
kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti
dimaksud.165 Hal ini mempertegas bahwa jika terjadi ketidakbenaran pada
surat bukti tersebut apapun bentuknya maka pejabat ULP harus
mempertanggungjawabkan tindakannya karena akibat yang timbul dari
tindakannya tersebut membuat kerugian negara, sehingga dalam tersebut
pejabat ULP bertanggung jawab secara personal dan bukan secara
institusional atau bersifat organ. Melihat konteks pasal 18 ayat (3) UU No. 1
Tahun 2004 maka surat bukti atau dokumen yang dimaksud adalah:
1. Ketidakbenaran isi penilaian kualifikasi penyedia barang/jasa melalui
prakualifikasi dan pascakualifikasi sehingga hal tersebut mengakibatkan
kerugian negara;
2. Adanya mark up yang dilakukan oleh pejabat ULP saat proses
pengadaan barang/jasa.
Sebagai KPA pada proses Pengadaan Barang/Jasa di PTN PK-BLU,
Rektor memiliki kewenangan untuk meneliti dan menguji kebenaran isi atau
material terhadap laporan pertanggungjawaban yang dibuat oleh ULP sesuai
dengan ketentuan yang tercantum pada Pasal 18 ayat (2) UU 1/2004. Jika
Rektor menemukan adanya kesalahan pada proses pelaksanaan pengadaan
barang/jasa yang dilakukan oleh ULP maka Rektor sebagai KPA dapat
melakukan tindakan administratif terhadap pejabat di ULP. Hal tersebut
sebagai bentuk pengawasan dan pengendalian internal.
Ketidakbenaran secara material karena kedua hal tersebut yang dapat
disebabkan karena tindakan melanggar hukum atau kelalaian, jika
merugikan keuangan negara, maka konsekuensi secara hukum bagi pejabat
ULP akan ditindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu:
1. Tuntutan Ganti Rugi sesuai dengan ketentuan Pasal 59 – 60 UU No. 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
165
444
Pasal 18 ayat (3) UU No. 1 Tahun 2004
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
2.
3.
Sanksi Secara Administratif sesuai dengan prosedur yang berlaku dan
sanksi tersebut tidak membebaskan pejabat tersebut dari tuntutan ganti
rugi; dan
Penjatuhan Sanksi Pidana terhadap pejabat ULP yang melakukan
tindakan melanggar hukum atau kelalaian yang juga tidak
melepaskannya dari tuntutan ganti rugi;
D. Kesimpulan Dan Saran
Kesimpulan
1. Secara normatif, berkaitan dengan pengelolaan keuangan dan
perbendaharaan negara, Rektor berkedudukan sebagai Kuasa Pengguna
Anggaran, salah satu wewenangnya adalah menguji kebenaran material
surat-surat bukti mengenai hak pihak penagih, sedangkan dalam PTN
PK BLU Rektor sebagai pemimpin PTN PK-BLU berfungsi sebagai
penanggung jawab umum operasional dan keuangan PTN PK-BLU.
Dengan demikian, sebagai KPA bertanggungjawab untuk melaksanakan
pengendalian intern atas pelaksanaan kewajiban yang dilakukan oleh
PPK. Jika terjadi pelanggaran hukum atau kelalaian yang dilakukan
oleh pejabat PPK yan mengakibatkan kerugian negara, seharusnya KPA
yang pertama mengetahuinya dan harus memberikan sanksi kepada
pejabat PPK tersebut, misalnya dengan melakukan teguran atau
peringatan. Secara normatif, PPK sebagai pejabat yang menandatangani
dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti
yang menjadi dasar pengeluaran bertanggung jawab atas kebenaran
material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud,
karena itu pejabat PPK yang melanggar hukum atau lalai, sehingga
menimbulkan
kerugian
pada
keuangan
negara,
memang
bertanggungjawab secara pribada atas perbuatannya tersebut.
2. Rektor sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkaitan dengan
pengadaan barang dan jasa memiliki wewenang untuk meneliti
kebenaran dokumen
yang menjadi
persyaratan/kelengkapan
sehubungan dengan ikatan/perjanjian pengadaan barang/jasa, sehingga
jika terjadi kelalaian atau tindakan melanggar hukum yang dilakukan
oleh pejabat ULP, KPA berwenang untuk memberikan sanksi
administratif, berupa teguran atau peringatan kepada pejabat ULP. Jika
pihak pejabat ULP tidak mengindahkan teguran atau peringatan
tersebut, atas kerugian negara yang disebabkan oleh kelalaian atau
tindakan melanggar hukum pihak pejabat ULP adalah menjadi
tanggung jawab pihak tersebut.
445
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Saran
Rektor sebagai KPA memiliki kewenangan untuk menunjuk Pejabat
PPK. Oleh karena itu, penunjukkan pejabat PPK harus senantiasa
berdasarkan atas profesionalisme, sehingga pengadaan barang dan jasa
dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. KPA harus membuat sistem
pengendalian internal dalam pengadaan barang/jasa sebagai wujud
tanggung jawab KPA dalam pengadaan barang/jasa.
2. Terjadinya kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh kesalahan
yang dilakukan pada proses pelaksanaan pengadaan barang dan jasa
dapat diakibatkan karena adanya kelalaian atau tindakan melanggar
hukum yang dilakukan oleh ULP/Pejabat Pengadaan. Dalam hal ini
sebagai KPA pada PTN PK-BLU, Rektor wajib serta harus melakukan
pengawasan atau kontrol sebagai wujud pengendalian internal pada
proses pengadaan barang dan jasa. Peran aktif KPA dalam mengawasi
kinerja ULP/Pejabat Pengadaan sebagai organ yang melaksanakan
kegiatan pengadaan barang dan jasa sangat diperlukan untuk mencegah
dan meminimalisasi terjadinya kerugian keuangan negara yang
diakibatkan oleh kesalahan yang dilakukan oleh ULP/Pejabat
Pengadaan. Bentuk kontrol atau pengawasan secara preventif hingga
pemberian sanksi terhadap pejabat yang menyebabkan kerugian negara
akibat karena kesalahan adalah sebagai wujud pengendalian internal
dapat dilakukan oleh KPA.
1.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2008.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawaali Pers, Jakarta, 2010.
Philipus M. Hadjon (et.al), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
Cetakan Kesembilan (Introduction to the Indonesian Administrative
Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kesepuluh,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan
Keempat, Alumni, Bandung, 1965.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, Buku I, Sinar Harapan, Jakarta, 1993.
F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en Administratief
Recht, Samsom H.D. Tjeen Willink, Alphen aan den Raijn, 1985.
446
Tanggung Jawab Rektor Sebagai KPA Dalam Pengelolaan Keuangan PTN PK-BLU
Adrian Sutedi, Hukum Keuangan Negara, Jakarta, Sinar Grafika, 2010.
Adrian Sutedi, S.H., M.H., Aspek Hukum Pengadaan Barang dan
Jasa: Dan Berbagai Permasalahannya, Sinar Grafika, 2008.
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum
Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2010 Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Barang/Jasa Pemerintah dan Perubahannya
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah jo Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kantor Wilayah Provinsi Sulawesi
Tenggara, Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, diunduh
melalui http://www.kanwildjpbnsultra.org, 10 Agustus 2012.
447
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
448
ISSN : 2303-3274
PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN DALAM
PERSPEKTIF FILSAFAT HERMENEUTIKA HUKUM
(Suatu Solusi Terhadap Problematika Penegakan Hukum Di
Indonesia)
Agus Budi Susilo
Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung
[email protected]
Abstrak
Esensi penegakan hukum adalah keadilan. Keadilan itu sendiri mempunyai
berbagai macam makna, tergantung dari perspektifnya. Di negara manapun sering
timbul berbagai masalah, terkait penegakan keadilan di ranah hukum. Konsep
keadilan yang sudah mapan di suatu negara belum tentu baik apabila di terapkan
untuk negara lain. Meskipun demikian, dimungkinkan adanya saling pengaruh
mempengaruhi atau bersifat integrasi antara pemikiran satu dengan yang lainnya
mengenai makna keadilan, terutama yang mempunyai sifat universal. Pada tataran
filosofis, tentu masing-masing negara mempunyai akar pemikiran tersendiri,
tergantung dari norma dasar negara dan kehidupan sosial-budaya bangsanya. Untuk
mengurai lebih lanjut mengenai makna keadilan dari sudut pandang filsafat, sarana
yang tepat digunakan adalah hermeneutik. Penelusuran keadilan dalam perspektif
hermeneutik dalam rangka penegakan hukum seyogyanya dibingkai juga dengan
perspektif ilmu hukum, agar diperoleh titik temu dan lebih mudah dalam
pengimplementasiannya.
Kata kunci : Keadilan, Hermeneutik, Ilmu Hukum dan Penegakan Hukum.
Abstract
The essence of the rule of law is justice. Justice has many meanings, depending on
the perspective. Every country often arise various problems, related to the
administration of justice in the realm of law. The concept of justice that have been
established in a country is not necessarily better when applied to other countries.
However, it is possible to mutual influenced or be integrated between each other
thinking about the meaning of justice, particularly those having a universal nature.
At the philosophical level, each country has own thoughts of the roots, depending
on the basic norms and socio-cultural life of the nation. Thus, about the meaning of
justice from the view of philosophy, the proper tools are used is hermeneutic.
Search justice in the perspective of hermeneutics in the context of law enforcement
should also be framed by the perspective of jurisprudence, in order to obtain the
intersection and its implementation easier.
Keywords: Justice, Hermeneutics, Legal Studies and Law Enforcement.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
A. Pendahuluan
Sebagaimana sudah diketahui secara umum bahwa negara Indonesia
sedang dilanda berbagai masalah hukum, ekonomi, sosial, dan politik. Bukan
hanya ilmuwan berbagai perguruan tinggi saja yang sedang gelisah menghadapi
multiproblem yang sedang menimpa negara ini, bahkan sebagian aparatur
pemerintahan baik yang berada di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
rakyat Indonesia pun turut gelisah dengan keadaan tersebut.
Sudah sering diadakan diskusi, penelitian, dan penelaahan mengenai
masalah-masalah tersebut, dari sudut pandang keilmuan yang berbeda, akan tetapi
tidak menghasilkan solusi apapun. Setelah di selidiki secara seksama dalam
perspektif global ternyata permasalahan itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja,
bahkan di negara maju pun seperti Amerika Serikat sedang menghadapi masalah
multidimensi yang di tandai dengan adanya tsunami ekonomi yang menghancurkan
pondasi-pondasi sistem moneter di negara adi daya itu pada tahun 2008 hingga saat
ini (termasuk juga beberapa negara di Eropa).
Fenomena ini, ada kesamaan dengan apa yang dinyatakan oleh Fritjof
Capra yaitu di awal dua dasawarsa terakhir abad kedua puluh, akan ada krisis
global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segiseginya menyentuh setiap aspek kehidupan. Krisis ini merupakan krisis dalam
dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah
terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia (Fritjof Capra, 1982 : 1).
Berbagai krisis multidimensi diberbagai negara, dari kaca mata ilmu
hukum, tentu ada suatu sistem yang salah, salah satunya masalah sistem hukum
yang ada, yaitu tidak terimplementasikannya nilai-nilai keadilan yang di dalamnya
terdapat unsur moralitas dan ini berlaku secara universal. Misalnya terjadinya krisis
di Amerika Serikat, salah satunya terkait akibat dari tidak diterapkannya
pelaksanaan nilai keadilan dan moralitas terhadap penyelesaian masalah di Timur
Tengah dan beberapa negara Afrika (dana pemerintah habis hanya untuk
berperang, bahkan konsep berperangya pun jauh dari prinsip equity, humanity dan
ethics). Begitupun permasalahan hukum yang terjadi di Indonesia, sudah mencapai
titik nadir. Hal ini ditandai dengan sudah tidak percayanya rakyat terhadap realisasi
hukum positif di Indonesia, terutama dalam penegakan hukum positif itu sendiri.
Khusus untuk Indonesia, penegakan hukum positif dapat berwibawa
dihadapan rakyat dan kalangan internasional apabila keadilan dapat berfungsi dan
selalu ―hidup‖ di dalam ―raga‖ hukum. Tanpa menegakan keadilan dalam hukum,
akan menimbulkan penyimpangan dan penyalahgunaan siapapun yang memegang
kekuasaan atau kewenangan, yang nantinya berdampak buruk bagi tatanan sosial di
masyarakat, sehingga muncul krisis sosial secara regional bahkan dapat
berimplikasi secara internasional.
Dalam peta pemikiran mengenai keadilan dan hukum, seyogyanya kita
belajar dari para filusuf (mengambil yang baik dan meninggalkan yang buruk),
dengan menelusuri sejarah perkembangannya yang dimulai dari zaman peradaban
yunani, dilanjutkan pada zaman romawi, pada abad pertengahan aüfklarung dan
zaman modern yang di juluki era informasi - teknologi, hingga saat ini yang mulai
450
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
muncul paham postmodern. Postmodern disini, merupakan kritik filosofis atas
gambaran dunia (world view), epistemologi dan ideologi-ideologi modern (I.
Bambang Sugiharto, 1996 : 24).
Dalam memaknai keadilan dan hukum atau hubungan keduanya, tentu satu
sama lain ada perbedaan pendekatan dan metodiknya serta karakteristiknya.
Berangkat dari pemikiran-pemikiran para filusuf tersebut, akan diperoleh
kesimpulan yang melandasi arti keadilan dan hukum itu sendiri, terlepas ada sisi
positif dan negatifnya.
Hasil pemikiran mengenai keadilan dan hukum, dari masing-masing filusuf
dalam penggunaannya bisa ada yang sesuai diterapkan di suatu negara atau juga
tidak sesuai di lain negara, karena itu tergantung dengan strata atau tatanan sosial,
budaya, dan kelangsungan hidup suatu masyarakat yang mempunyai nilai kearifan
regional / lokal yang berbeda satu dengan lainnya. Oleh karenanya, ketika akan
mengadopsi hasil pemikiran dunia barat tersebut harus benar-benar disaring apakah
akan terjadi kontradiksi atau tidak dengan filosofi dasar negara maupun hukum asli
bangsa kita.
Intisari yang dapat diambil dalam sejarah pemikiran dunia barat, pada
dasarnya berkisar pada tataran individualisme, kolektivisme, liberalisme dan hanya
sedikit yang mengagungkan humanisme maupun nilai-nilai religius. Teori-teori
yang dimunculkan itu dari sudut pandang asas tentu berbeda dengan pemikiran
yang berada di dunia timur, seperti Indonesia. Sehingga menjadi suatu hal yang
menarik apabila dikaji lebih lanjut, mengenai filsafat yang tepat untuk Indonesia
dalam memberi ―makna‖ atau ―ruh‖ mengenai konsep keadilan dan hukum.
Celakanya, penerapan pemikiran barat yang ada dan digunakan mayoritas
kaum yuris di Indonesia adalah yang tidak pas untuk diterapkan negara Indonesia
sehingga menimbulkan ―chaos‖ di bidang hukum, ini semua akibat ulah beberapa
pemikir (ilmuwan hukum) dan pengguna hukum (praktisi hukum) di Indonesia.
Chaos disini ditandai dengan ketidakstabilan serta keteracakan (randomness)
proses hukum dalam berbagai dimensinya. Chaos yang penulis maksud disini
adalah chaos yang bersifat negatif, karena chaos ada juga yang bersifat positif.
Bahkan dimungkinkannya merubah negative chaos menjadi positive chaos
(Sudjito, 2006 : 168 dan 172).
Ada beberapa yang beranggapan, ini semua merupakan produk gagal
pendidikan hukum beberapa akademisi terdahulu yang mencetak beberapa pemikir
sebagai generasi penerus (kader-kadernya) dan para penegak hukum (advokat,
polisi, jaksa, dan hakim) yang dari hari ke hari tidak sadar telah berprinsip
―mengkerdilkan‖ hukum, dengan dalih-dalih positivistiknya tentang hukum,
sehingga hukum pun menjadi kehilangan eksistensinya (Satjipto Rahadjo, 2009 :
32-33, dan 37).
Muncul aliran baru (non-doktrinal) yang selalu gelisah terhadap rusaknya
hukum di Indonesia, yaitu menawarkan suatu pemahaman hukum secara holistik
dan komprehensif keilmuan. Hukum tidak bisa ―kesepian‖ karena menyendiri,
hukum harus juga ―bersosialisasi‖ dan ―bergandeng tangan‖ dengan ilmu-ilmu
lainnya. Akan tetapi paham ini, selalu mendapat tentangan dari paham konservatif
451
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
yang menyatakan hukum itu harus tetap murni sebagaimana mestinya supaya tidak
kehilangan jati dirinya (doktrinal).
Benturan antara kedua paham (doktrinal atau positivisme dengan nondoktrinal atau empirisme) itu tetap terjadi hingga saat ini, dengan konsepnya
masing-masing terus berjalan tetapi belum ada titik temu. Perlu ada suatu konsep
tertentu yang agar mudah di pahami dan di terima para kaum legisme, supaya
menerima paham yang jauh lebih baik dan bisa memberikan solusi terhadap
kekacauan hukum saat ini.
Konsep yang bisa diterima oleh kedua paham tersebut, tentu konsep yang
memberikan ―makna‖ yang gamblang mengenai ―keadilan‖ yang cocok untuk
penegakan hukum di Indonesia. Dalam khasanah filsafat, untuk menelusuri
mengenai makna keadilan yang kompatibel bagi hukum indonsia, alur pikir yang
digunakan adalah filsafat hermeneutik.
Filsafat hermeneutik ini, merupakan aliran filsafat kontemporer yang
berpola penafsiran. Pentingnya filsafat ini digunakan dalam membedah makna
keadilan sebagai sebuah solusi dalam penegakan hukum di Indonesia dikarenakan
hermeneutik konsekuen terikat pada dua hal kajian, yakni memastikan isi dan
makna sebuah kata, kalimat, teks, dsb, dan menemukan instruksi-instruksi yang
terdapat di dalam bentuk-bentuk simbolis (Josef Bleicher, 2007 : 5).
Uraian singkat diatas, menjadikan penulis ―prihatin‖ dengan benturan dua
konsep (doktrinal dan non-doktrinal) tersebut, bahkan ada pihak yang sengaja
membentur-benturkan sehingga terjadi kegoncangan sangat dahsyat yang
implikasinya berdampak negatif terhadap penegakan hukum di Indonesia
(misalnya: kriminalisasi maupun politisasi terhadap pimpinan KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) oleh para politisi dan penegak hukum lainnya, sehingga
terjadi benturan pandangan dalam memahami dua paham tadi). Ironi yang terjadi
dan menjadi pihak dalam ―benturan‖ tersebut, adalah stake holder bidang hukum di
Indonesia (selain politisi di bidang hukum dan para penegak hukum, juga
melibatkan para ilmuwan hukum).
Dengan keprihatinan tersebut, penulis mencoba untuk berkontribusi
meskipun hanya barupa sedikit pemikiran, semoga nantinya bisa bermanfaat, yaitu
untuk menganalisa secara filosofis-yuridis permasalahan sebagai berikut : dari
perspektif filsafat hermeneutik, faktor-faktor apakah yang menyebabkan keadilan
sulit untuk di tegakkan di negara Indonesia ? Bagaimana filsafat hermeneutik
memberi solusi yang terbaik untuk menjawab permasalahan tersebut terutama bagi
para penegak hukum di Indonesia ?.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis tidak melakukan secara
deep research (penelitian yang mendalam), sehingga dalam mengeksplorasi dan
mengeksploitasi bahan penulisan hanya berupa menggunakan pendekatan
pemikiran-pemikiran para ahli filsafat dan hukum, khususnya ditinjau dari aspek
hermeneutik. Pendekatan yang digunakan pun menggunakan deskriptif-analitis
secara sederhana dengan menelusuri bahan-bahan tertulis yang ada (literature).
452
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
B.
Pengertian Keadilan dalam perspektif Filsafat Hermeneutik dan Filsafat
Ilmu Hukum
Arti secara terminologi dari filsafat adalah suka pada kebijaksanaan atau
teman kebijaksanaan, yang asal katanya dari bahasa arab ―filsafah‖ yang berasal
dari bahasa yunani ―philosophia‖. Philos berarti suka atau cinta, dan sophia berarti
kebijaksanaan. Sedangkan arti secara praktisnya filsafat berarti alam-berfikir atau
alam-fikiran, jadi berfilsafat ialah berfikir secara mendalam dan dengan sungguhsungguh (H.Hasbullah Bakry, 1981 : 7).
Dalam filsafat, ada cabang filsafat yang membahas mendalam mengenai
makna, yakni hermeneutika. Pengertian hermeneutika secara etimologis adalah
menafsirkan, ini merupakan kata yang berasal dari bahasa yunani yaitu
hermeneuein. Jadi, kata bendanya adalah hermeneia yang secara harfiah artinya
―penafsiran‖ atau ―interpretasi‖. Sedangkan dalam batasan umum, hermeneutika
adalah suatu proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti
(E. Sumaryono, 1999 : 23-24).
Hermeneutika mempunyai dasar lingkaran berupa kesatuan titik-titik acu
(roh) yang menyebabkan sesuatu menjadi bermakna. Disini, hermeneutika bertugas
(meminjam istilah Ast) yang dirumuskan dalam tiga bentuk pemahaman, yaitu
pemahaman materi yang diperbincangkan di dalam keadilan hukum, pemahaman
bahasa keadilan hukum, dan pemahaman roh keadilan hukum, yaitu berupa
pemahaman roh zaman dan pandangan semesta dari para pembuat dan pelaksana
hukum yang saling berinteraksi serta saling menerangi satu sama lain (W.
Poespoprodjo, 2004 : 21). Dengan demikian filsafat hermeneutik, merupakan
filsafat yang menelusuri tentang suatu ―makna‖ dengan menggunakan metode
penafsiran apa yang ada di dalam suatu ―kata‖ atau ―teks‖ itu, yaitu menyingkap
tabir di dalamnya. Misalnya penelusuran makna keadilan dalam konteks keIndonesiaan, apabila menggunakan filsafat hermeneutik, tentu akan menyingkap
baik dari segi linguistiknya maupun kontekstualitasnya.
Salah satu pemikiran filsafat hermeneutik yang sering menjadi rujukan
dalam bidang penegakan hukum adalah pemikiran dari Francis Lieber. Lieber
menafsirkan ―hermeneutik‖ secara umum, yaitu menganggap cabang ilmu
pengetahuan ini membahas prinsip-prinsip dan aturan interpretasi dan konstruksi.
Menurutnya secara etimologis pengertian hermeneutik yang berarti menjalankan
interpretasi ini berbeda dengan ―eksegesis‖ yang berarti penjelasan. Jadi
hermeneutika dibandingkan eksegesis ibarat teori dibandingkan dengan praktik,
karena penafsiran pada umumnya meliputi segala cabang (ilmu pengetahuan)
dimana kita terhubung secara cermat dengan makna kata-kata dan mengatur
tindakan sesuai dengan semangat dan kandungannya yang sebenarnya (Gregory
Leyh, 2008 : 127).
Prinsip-prinsip interpretasi dalam hermeneutika, menurut Lieber sebagai
berikut :
1. Suatu kalimat, atau bentuk kata-kata, hanya bisa memiliki satu makna yang
benar.
453
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
2. Tidak ada intepretasi yang sehat kecuali dengan adanya keyakinan yang baik
dan akal sehat.
3. Dengan demikian, kata-kata harus dipahami sebagaimana yang mungkin
dimaksudkan oleh penutur.
4. Apa yang bersifat khusus dan lebih rendah tidak bisa mengalahkan apa yang
bersifat umum dan lebih tinggi.
5. Perkecualian (terhadap nomor 4) didasarkan pada apa yang lebih tinggi.
6. Apa yang bersifat mungkin, sedang, dan lazim, lebih diutamakan daripada apa
yang tidak mungkin, tidak sedang, dan tidak lazim.
7. Kita mengikuti aturan-aturan khusus yang diberikan oleh otoritas yang tepat.
8. Kita berupaya mendapatkan bantuan dari apa yang lebih dekat, sebelum
mengarah pada apa yang kurang dekat.
9. Interpretasi bukan tujuan melainkan merupakan sarana, dengan demikian
kondisi-kondisi yang lebih tinggi dimungkinkan keberadaannya (Gregory
Leyh, 2008 : 142).
Selain merinci prinsip-prinsip interpretasi sebagai unsur hermeneutik,
Lieber pun memerinci prinsip-prinsip konstruksi dalam hermeneutik sebagai
berikut :
1. Semua prinsip interpretasi, jika memang bisa diterapkan pada konstruksi
adalah hal yang sah pula bagi yang tersebut kedua.
2. Petunjuk utama bagi konstruksi adalah analogi, atau lebih tepatnya penalaran
melalui paralelisme.
3. Tujuan dan maksud suatu instrumen, hukum, dst., bersifat esensial jika
memang diketahui secara tersendiri, dalam upaya penafsirannya.
4. Begitu juga hal itu bisa terjadi pada kausalitas hukum.
5. Tidak ada teks mengenai pembebanan kewajiban yang menuntut hal-hal yang
mustahil dilakukan.
6. Hak-hak istimewa atau pengutamaan harus ditafsirkan sedemikian rupa
sehingga tidak merugikan bagi mereka yang tidak memiliki hak istimewa atau
yang tidak diutamakan itu.
7. Semakin besar peran serta teks dalam suatu kesepakatan yang tertata dan
resmi, maka semakin cermat pula seharusnya konstruksinya.
8. Suatu teks yang menekankan pelaksanaan mengekspresikan segi-segi yang
bersifat minimum, jika pelaksanaan tersebut membebani si pelaksana, dan
maksimum jika hal itu melibatkan pembebanan atau penderitaan di pihak lain.
9. Konstruksi harus sesuai dengan substansi dan semangat umum teks.
10. Efek-efek yang berasal dari konstruksi tertentu bisa menuntun kita untuk
memutuskan konstruksi mana yang perlu kita ambil.
11. Semakin tua sebuah hukum atau teks yang memuat peraturan mengenai
tindakan kita, meskipun digariskan pada waktu yang telah silam, akan semakin
luas pula cakupan konstruksinya dalam kasus-kasus tertentu.
12. Tidak ada hal yang bisa memberikan perlindungan substansial bagi kebebasan
individu selain kebiasaan menjalankan konstruksi dan interpretasi secara
seksama.
454
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
13. Penting untuk kita pastikan apakah kata-kata yang digunakan memiliki
karakter terbatas, mutlak, dan bermakna khusus, atau memiliki karakter umum,
relatif atau ekspansif.
14. Upayakan agar pihak yang lemah bisa mendapatkan manfaat dari ketentuan
yang mengandung hal-hal yang meragukan, tana mengalahkan tujuan umum
hukum. Upayakan agar belas kasih berlaku jika memang ada keraguan yang
nyata.
15. Diperlukan adanya pertimbangan atas keseluruhan teks atau wacana agar kita
bisa melakukan konstruksi secara tepat dan benar.
16. Di atas segalanya, upayakan untuk bersikap tepat dalam semua konstruksi.
Konstruksi terwujud sebagai upaya membangun unsur-unsur dasar, dan bukan
berupa pemaksaan suatu materi luar ke dalam teks (Gregory Leyh, 2008 : 142143).
Dari kedua prinsip-prinsip (interpretasi dan konstruksi) yang dikemukakan
Lieber ini, terlihat bahwa menerapkan hermeneutik dalam berhukum selain
bagaimana kita berupaya menemukan dan menyajikan makna yang sebenarnya dari
tanda-tanda apa pun yang digunakan menyampaikan ide-ide termasuk makna
keadilan, juga menarik suatu kesimpulan mengenai pokok bahasan yang ada
dibalik ekspresi langsung teks, dari unsur-unsur tersebut yang diserap adalah
semangatnya bukan pada huruf yang tertera pada teks, jadi dalam memahami
keadilan pun yang diambil dan diterapkan dalam berhukum adalah semangat dari
penegakan keadilan itu sendiri.
Selanjutnya mengenai filsafat ilmu hukum, terlebih dahulu akan di urai
mengenai filsafat ilmu itu sendiri. Berbeda dengan filsafat, filsafat ilmu sulit untuk
diberikan suatu batasan yang positif, karena banyak pendapat yang memiliki
makna serta penekanan (emphasis) yang berbeda tentang filsafat ilmu. Tetapi, pada
dasarnya filsafat ilmu adalah ilmu yang berbicara tentang ilmu pengetahuan
(science of science) yang kedudukannya berada diatas ilmu lainnya (Conny R.
Semiawan, dkk, 1988 : 43 dan 45), Ada yang mengartikan filsafat ilmu dengan
world-views yang konsisten dengan dan pada beberapa pengertian didasarkan atas
teori-teori ilmiah yang penting, lalu diartikan suatu eksposisi dari presuppositions
dan predispositions dari para ilmuwan, dan memberi arti suatu disiplin yang di
dalamnya konsep-konsep dan teori-teori tentang ilmu dianalisis dan
diklasifikasikan).
Sedangkan pengertian ilmu hukum secara teoritis harus dibedakan dengan
hukum. Ilmu hukum oleh beberapa pakar, seperti Roscoe Pound, G.W.Paton,
Robert L.Hayman, Jan Gijseels, Mark van Hoecke, dll menyebutnya dengan istilah
―Jurisprudence‖, sedangkan hukum turunan arti kata dari ―Law‖. Meskipun samasama mempunyai banyak arti dan arti yang mutlak benar tidak ada, tetapi
setidaknya ada beberapan yang dapat dijadikan sebagai dasar pemahaman untuk
itu. Apabila pendapat para ahli hukum tersebut dirangkum, maka akan diperoleh
definisi Ilmu hukum lebih luas dari hukum, karena hukum diartikan hanya bersifat
teoritis tentang pedoman atau seperangkat aturan tingkah laku untuk mengatur
ketertiban masyarakat, sedangkan ilmu hukum disamping sebagai pengetahuan
455
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
yang sistematis dan terorganisir mengenai gejala hukum, struktur kekuasaan,
norma-norma, hak-hak dan kewajiban-kewajiban, juga berarti metode studi hukum
dalam arti umum, yakni mempelajar konsep hukum, gagasan yang ada dibelakang
hukum, struktur, fungsi hukum, dan faktor-faktor eksternal non-hukum yang
mempengaruhi hukum seperti masalah-masalah sosial, situasi politik, budaya,
kondisi ekonomi, dan sistem nilai. Dengan demikian, ilmu hukum melihat kondisi
intrinsik aturna hukum, dengan mempelajari gagasan-gagasan hukum yang bersifat
mendasar, universal, umum, dan teoritis serta landasan pemikiran yang
mendasarinya, misalnya : macam konsep mengenai kebenaran, pemahaman dan
makna, serta nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral (Peter Mahmud Marzuki, 2008,
hlm.11-15).
Ilmu hukum terlalu luas jangkauannya untuk didefinisikan, dikarenakan
meliputi ruang gerak manusia, makhluk hidup lainnya, dan alam semesta (dari
mikro kosmos sampai makro kosmos). Hukum dapat ditinjau dari segala aspek
ilmu pengetahuan sesuai dengan keragaman ilmu yang dimiliki oleh manusia itu,
seperti ilmu filsafat, ilmu fisika, ilmu sosiologi, ilmu politik, dll. Hal ini merupakan
bukti sederhana mengenai betapa luas dan dalamnya ilmu hukum, bahkan apabila
dikaitkan dengan eksistensi manusia.
Rumusan-rumusan konsep hukum dalam ilmu hukum selalu disandingkan
dengan konsep keadilan yaitu dari zaman ke zaman dan dari timur ke barat atau
sebaliknya, selalu mengalami perubahan. Masa modern merupakan refleksi dari
berbagai lapangan penyelidikan ilmiah, seperti Rationalisme, Empirisme, masa
Aüfklarung, Idealisme Jerman, Positivisme, Materialisme, Existensialisme dan
Pragmatisme (Thoga H. Hutagalung, 1993 : 18).
Pada hakekatnya keadilan adalah kata sifat yang mempuyai arti adil atau
tidak berat sebelah/ tidak pilih kasih. Sifat ini merupakan salah satu sifat manusia.
Keadilan merupakan suatu konsep yang mengindikasikan adanya rasa keadilan
dalam perlakuan (justice or fair treatment) (Nani Nurrachman, 2004 : 13).
Menurut sejarah hubungan keadilan dan hukum, dimulai dari daratan
Eropa, pemikiran hukum pertama-tama menuju suatu aturan yang dicita-citakan
yang memang telah dirancangkan dalam bentuk undang-undang, akan tetapi belum
terwujud dan tidak pernah akan terwujud seutuhnya. Sesuai dengan adanya
dikotomi, sehingga muncul dua istilah untuk menandakan hukum, yaitu :
1. Hukum dalam arti keadilan (keadilan = iustitia) atau ius / Recht (dari regere =
memimpin). Maka di sini hukum menandakan peraturan yang adil tentang
kehidupan masyarakat, sebagaimana di cita-citakan.
2. Hukum dalam arti undang-undang atau lex / wet. Kaidah-kaidah yang
mewajibkan itu dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan aturan yang adil
tersebut (Theo Huijbers, 1995 : 49).
Lebih lanjut Theo Huijbers, menjelaskan perbedaan kedua istilah yang
memang jelas dan nyata, yaitu : istilah ―hukum‖ mengandung tuntutan ―keadilan‖,
istilah ―undang-undang‖ menandakan norma-norma yang de facto digunakan
untuk memenuhi tuntutan tersebut, entah tertulis atau tidak tertulis.
456
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
Keadilan dalam konsep inilah yang sering digunakan dalam khasanah ilmu
hukum. Secara falsafati, ilmu hukum memandang keadilan sebagai suatu konsepsi
falsafati yang menjadi tujuan hukum itu sendiri, dan itu tergantung dengan
ideologi negara yang bersangkutan. Ada yang menjadikannya sebagai tujuan
utama dalam berhukum, dan ada juga yang menomorduakannya, karena dengan
alasan demi kepastian dan ketertiban hukum.
Bicara tentang keadilan menurut Plato, keadilan dalam suatu negara dapat
dipelajari dari aturan yang baik dan jiwa. Jiwa manusia terdiri dari tiga bagian,
bagian pikiran (logistikon), bagian perasaan dan nafsu, baik psikis maupun jasmani
(ephithumetikon), dan bagian rasa baik dan jahat (thumoeides). Jiwa itu teratur
secara baik, sepanjang dihasilkan suatu kesatuan harmonis antara ketiga bagian itu.
Hal ini terjadi bila perasaan dan nafsu-nafsu dikendalikan dan ditundukkan pada
akal budi melalui rasa baik dan jahat. Maka keadilan (dikaiosune) terletak dalam
batas yang seimbang antara ketiga bagian jiwa, sesuai dengan wujudnya masingmasing (Theo Huijbers, 1982 : 23).
Sedangkan menurut Aristoteles, hukum yang harus ditaati demi keadilan,
di bagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam dianggap sebagai
suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan
aturan alam. Hukum itu tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku
dengan sendirinya. Lain halnya dengan hukum positif, yang sebagian besar
berwujud undang-undang negara yang berlaku sesudah ditetapkan dan diresmikan
isinya oleh instansi yang berwibawa. Tetapi, selain keadilan dianggap sebagai
keutamaan umum (yaitu ketaatan hukum alam dan hukum positif), terdapat juga
keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yaitu yang menentukan hubungan baik
antara satu orang dengan yang lainnya, lalu keadilan berada di tengah dua ekstrem
(keseimbangan), dan untuk mengukur keseimbangan maka perlu ukuran kesamaan
(dihitung dengan cara aritmetis atau geometris) (Theo Huijbers, 1982 : 29).
Keadilan yang dimaksud oleh Aristoteles beranjak dari filsafat politik,
yang dikemukakan ditengah-tengah berkecamuknya krisis politik di Yunani saat
itu. Untuk itu, Aristoteles mambagi keadilan dalam beberapa hal, yakni :
1. Keadilan dalam segi-segi tertentu dalam kehidupan manusia, yaitu :
a. Keadilan menentukan bagaimana seharusnya hubungan baik di antara
manusia.
b. Keadilan itu terletak di antara dua kutub yang ekstrim; orang harus
menemukan keseimbangan dalam memperjuangkan kepentingannya
sendiri; orang tidak boleh hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan
melupakan kepentingan orang lain.
2. Pembagian Keadilan secara garis besar, yaitu :
a. Keadilan distributif : mengatur hubungan antara masyarakat dan para
anggota masyarakat, mewajibkan pemerintah untuk memberi apa yang
menjadi hak para anggota.
b. Keadilan komutatif : mengatur hubungan antara para anggoata masyarakat
yang satu dan yang lain, dan mewajibkan setiap orang untuk bertindak
457
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
sesuai dengan hukum alam dan atau perjanjian. Ini mengenai milik priadi
dan kepentingan pribadi.
3. Keadilan yang menyangkut ketertiban umum, yaitu :
a. Keadilan legal : mewajibkan di satu pihak lembaga legislatif untuk
membuat undang-undang guna mencapai kesejahteraan umum dan
mewajibkan di lain pihak para warga supaya patuh kepada undang-undang
negara.
b. Keadilan sosial mengatur hubungan antara majikan dan buruh
(A. Gunawan Setiardja, 1990 : 21-22).
Konsep menurut Aristoteles inilah yang menurut banyak kalangan
merupakan awal mula di formulasikannya keadilan, sehingga menjadi titik-tolak
pengembangan konsep keadilan dikemudian hari. Meskipun Plato membuat konsep
keadilan tapi tidak segamblang apa yang disampaikan oleh Aristoteles. Bahkan di
dunia barat masih menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Aristoteles,
karena masih dianggap relevan dijadikan dasar untuk kehidupan berbangsa dan
bernegara menurut kultur barat, sehingga melahirkan konsep-konsep arti keadilan
dikemudian hari, yaitu dari Era Yunani tersebut sampai dengan era yang memasuki
Era Postmodern.
Dari sudut pandang hermeneutika, konsep-konsep keadilan tersebut
mengikuti perkembangan zaman. Tidak melihat keadilan sebatas dari sudut
pandang subjektivitas pencetus konsep, melainkan juga melihat dari sudut pandang
masalah, linguistik, dan metode untuk memahaminya, sehingga pemaknaannya
bisa keluar dari konsep yang terdahulu, karena ada unsur dialektika dan
spekulatifnya (adanya kemungkinan-kemungkinan pergeseran dari hal yang
terbatas dari kata yang diorientasikan pada arah makna yang dimaksud, menjadi
pada hal yang tidak terbatas), mengikuti konteks ruang dan waktu.
C. Pengertian Hukum dalam perspektif Filsafat Hermeneutik dan Ilmu
Hukum
Disini penulis membatasi pembahasan hukum dalam perspektif filsafat
hermeneutik dan filsafat ilmu hukum, hanya sebatas konsep yang membahas
kaitannya hubungan hukum dengan moral. Penulis tidak menguraikan secara
panjang lebar aliran dalam filsafat hukum, seperti: aliran hukum alam, positivisme
hukum, utilitarianisme, mazhab sejarah, sociological jurisprudence, realisme
hukum, dll, karena efektivitasnya sudah terangkum dalam tiga tipe hukum. Untuk
itu, penulis secara ringkas mengurai pendapat dari Philippe Nonet dan Philip
Selznick, yang secara garis besar membagi tiga tipe hukum, yaitu : Hukum
Represif, Hukum Otonom, dan Hukum Responsif (Philippe Nonet dan Philip
Selznick, 2003 : 13).
Menurut Howard Zein, gagasan hukum represif menganggap bahwa
tatanan hukum tertentu dapat berupa ―ketidak adilan yang tegas‖. Keberadaan
hukum tidak menjamin keadilan, apalagi keadilan substantif. Sebaliknya, setiap
tatanan hukum memiliki potensi represif sebab hingga tingkat tertentu ia akan
selalu terikat pada status quo, dan dengan memberikan ―baju‖ otoritas kepada
458
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
penguasa, sehingga hukum membuat kekuasaan makin efektif. Paham ini
menyatakan moralitas bersifat komunal atau disebut juga dengan moralitas
pembatasan (Philippe Nonet dan Philip Selznick, 2003 : 23).
Paham lainnya, yaitu paham positivisme secara radikal dan tegas
menyatakan bahwa antara hukum dan moral itu berbeda, tidak dapat disatukan.
Pandangan ini beredar luas, bahkan mayoritas ilmuwan hukum dan praktisi hukum
terjebak terhadap dikotomi tersebut. Kalangan ini berpendapat, bahwa hukum
adalah sebuah muatan sistem walaupun kita tidak membutuhkan atau tidak
seharusnya menggunakan hukum untuk menjustifikasi hukum. Guru ideologi
kalangan ini adalah Hans Kelsen yang sangat mempertahankan otonomi dari
hukum (hukum otonom), dan penolakannya pada hukum yang berdasarkan pada
etika. Hans Kelsen pun berargumen ―hukum alam itu tidak ada‖, di sana tidak ada
prinsip keadilan di mana legislator dan hakim dapat merasa tertarik. Menurutnya,
validitas pada aturan khusus dalam hukum didasarkan pada aturan yang lebih kuat
atau lebih luas dan lebih akhir, dari sebuah grundnorm atau sebuah norma awal
atau yang kuat. Kelsen beranggapan, hukum secara khusus mungkin diperlihatkan
kevalidannya jika mereka konsisten dengan norma awal. Pada awalnya berbeda
secara moral, tapi lama kelamaan akan diterima (Morris Ginsberg, 2003 : 203-204).
Hukum ini kemudian dijadikan ―keyakinan hukum‖ di negara eropa kontinental,
dan imbasnya sampai ke Indonesia.
Lebih bijak lagi aliran atau paham hukum responsif, yang pada dasarnya
menyatakan keabsahan hukum didasarkan pada keadilan substantif dan aturanaturan tunduk pada prinsip dan kebijaksanaan. Artinya, moralitas yang nampak
adalah ―moralitas kerja sama‖, sementara aspirasi hukum dan politik berada dalam
keadaan terpadu. Disini ketidaktaatan dinilai dalam ukuran kerugian substantif dan
dipandang sebagai tumbuhnya masalah legitimasi. Kesempatan untuk berpartisipasi
di perluas melalui integrasi bantuan hukum dan bantuan sosial (Mulyana W.
Kusumah, 1986 : 13.). Aliran ini, mulai membuka lebar ―mata hati‖ beberapa ahli
hukum, untuk mengembangkan atau memodifikasinya untuk disesuaikan keadaan
bangsa dan negara masing-masing, meskipun tidak sedikit ahli hukum yang
mencemoohnya.
Pengertian Hukum di zaman modern tersebut tekanannya (aksentuasinya)
bersifat ―empiris-rationalistis‖, sehingga mempunyai makna yang luas dan dalam,
jadi dapat disebut pandangan secara holistik, diartikan bahwa hukum itu
tekanannya pada kemauan manusia atau kehendak terdalam dari manusia yang
diwujudkan pada suatu organisasi teratur, apakah itu penguasa atau Negara (Thoga
H. Hutagalung, 1993 : 18).
Beranjak dari konsep-konsep tersebut, dari sudut pandang filsafat
hermeneutik untuk konsep hukum represif dan hukum otonom tentu sesuatu hal
yang tidak bisa dijadikan sebagai pijakan berhukum untuk era ke-kinian, terutama
di Indonesia. Demikian halnya, karena hukum bukan merupakan monopoli dari
para penguasa, melainkan hukum merupakan suatu tatanan diluar dari apa yang
dinamakan peraturan tertulis. Hukum memiliki berbagai dimensi lain, seperti
budaya dan humanisme. Ada unsur transendensi disini, yakni hukum tidak boleh
459
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
dipahami secara sempit (sebatas positivistik semata). Positivistik memandang
hukum sebagai alat yang mengatur layaknya mesin terhadap makhluk hidup,
terutama manusia. Padahal manusia sebagai makhluk hidup tentu punya dimensi
budaya dan humanisme. Manusia tidak hanya dipandang sebagai kenyataan
biologis naluriah sebagaimana halnya binatang, melainkan ada kenyataan
psikologis, rohani, dan jasmani. Sedangkan terhadap hukum represif, filsafat
hermeneutik tentu akan bisa menerima untuk pengembangan makna lebih lanjut
menuju hukum yang lebih ideal untuk era saat ini di Indonesia, karena tetap
membuka dan menerima dimensi atau norma lain selain apa yang ada di dalam
hukum itu sendiri, sehingga unsur budaya dan humanisme masih bisa diterima
konsep ini.
Pengertian lebih lanjut dari ahli filsafat sekaligus ahli hukum di Indonesia,
seperti apa yang dikemukakan oleh O. Notohamidjojo, yang menyatakan secara
keilmuan, pada umumnya ilmu hukum dalam teori dan praktek merupakan ilmu
praktis yang menyangkut perbuatan manusia. Beliau berargumentasi, bahwa ilmu
hukum menuntut pada pemangku/ pelaksananya untuk menilai dalam dua segi. Dua
segi yang dimaksud adalah pertama, menilai isi peraturan hukum dan kedua
menilai dalam pelaksanaan hukum. Akan tetapi kedua segi pekerjaan yuris tersebut
terikat oleh norma-norma moral, keadilan, aequitas, kebenaran, dan kebaikan.
Makin besar ia merasa terikat oleh norma-norma moral itu, makin baik mutunya
sebagai yuris, sebagai otoritas hukum, dan semakin besar sumbangannya bagi
pembangunan hukum dan masyarakat dari negara (O. Notohamidjojo, 1975 : 39).
Selain itu, kaitannya hukum dan perlindungan hukum, menurut Sudikno
Mertokusumo pada hakekatnya hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan
manusia, yang berbentuk kaidah atau norma. Oleh karena berbagai macam
ancaman dan bahaya yang sering menerpa manusia, maka manusia perlu akan
perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya agar manusia dapat hidup
lebih tenteram. Perlindungan kepentingan itu tercapai dengan membentuk suatu
peraturan hidup atau kaidah disertai dengan sanksi yang bersifat mengikat dan
memaksa (Sudikno Mertokusumo, 1984 : 1).
Di era reformasi ini pun di Indonesia terbentuk suatu aliran hukum baru,
yaitu hukum progresif yang menawarkan sebuah konsep baru untuk mengatasi
permasalahan keadilan dan hukum di negeri ini. Progresif disini berasal dari kata
progress yang berarti kemajuan. Jadi hukum hendaknya mampu mengikuti
perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di
dalamnya, bahkan mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek
moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri (Satjipto Rahardjo,
2007 : ix).
Proses pengembangan prinsip-prinsip penegakan hukum dan keadilan ini
mencakup apa yang disebut sebagai ―tematisasi‖ dalam apa yang dikatakan,
terutama dalam dunia yang terdiri atas sistem-sistem representasional yang mapan.
Filsafat postmodern memandang ―tematisasi‖ sebagai suatu istilah yang
mengandung arti singkronisasi antara yang baik dengan yang ada dengan cara
tertentu untuk menolak kekuatan waktu diakronis. Akan tetapi lebih lazim bisa juga
460
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
tematisasi dijelaskan sebagai kebutuhan untuk menyuarakan tema-tema umum
dalam nomos, sehingga memungkinkan adanya seruan menuju prinsip-prinsip
kontekstual (Gregory Leyh, 2008 : 227).
Dalam pengertian seperti ini, hukum melekat dalam ontologi, dalam suatu
realitas sosial bersama. Sebagai nomos hukum juga menjadi suatu titik ―kritis‖
dalam ontologi. Titik kritis ini memungkinkan para penegak hukum terlibat dalam
pergulatan dalam nomos penegak hukum dalam rangka memenuhi tujuan hukum
yaitu berbuat adil. Jadi tematisasi tidak hanya bersifat deskriptif, justru dimensi
normatif kritis dalam hukum menuntut adanya penilaian yang rasional terhadap
prinsip-prinsip hukum yang bertentangan : ―akal pikiran memastikan bahwa istilahistilah ini bisa tinggal berdampingan, sejalan antara yang satu dengan yang lainnya
di dalam perbedaan, dalam satu tema; akal pikiran pun memastikan kesepakatan
antara tema-tema yang berbeda tanpa membuyarkan masa sekarang dimana tematema tersebut berlangsung‖ (Gregory Leyh, 2008 : 227-228).
Dari uraian singkat beberapa konsep mengenai keadilan dan hukum dari
sudut pandang falsafati, untuk mengimplementasikannya dikembalikan kepada
masing-masing pihak (ilmuwan hukum dan praktisi hukum) untuk berkontemplasi
kira-kira mana yang lebih pas untuk dijadikan model agar keluar dari kekacau
balauan sistem hukum yang ada di Indonesia saat ini. Dengan catatan, jangan
sampai salah memilih konsep yang nantinya bisa membuat keadaan hukum
semakin semrawut dalam realisasinya.
D. Problematika Penegakan Hukum yang Berkeadilan di Indonesia
Sejak awal peradaban manusia, masalah keadilan merupakan masalah yang
selalu dituntutkan. Sehingga seluruh umat manusia umumnya mendambakan
keadilan selalu hadir dalam kehidupannya. Masalah keadilan mulai muncul
bersamaan dengan munculnya konsep-konsep keadilan yang sangat banyak
(sebagaimana telah di urai oleh penulis sebelumnya).
Karena masing-masing konsep memiliki plus-minusnya, bahkan ada
beberapa konsep yang banyak minus-nya, maka dalam penerapan keadilan ini pun
ditanggapi banyak pihak dengan ―nada‖ skeptis, terutama dalam hal penegakan
hukum, sebab beranggapan keadilan hanya milik orang tertentu saja (seperti :
pemegang kekuasaan politik, sanak family hartawan, keturunan bangsawan, dll).
Meskipun benar apa yang dikatakan Ign. Ridwan Widyadharma, bahwa perilaku
yang terjadi dalam dunia peradilan (the behavior of court) di Indonesia sedang
mengalami something wrong. Menurut penulis, hanya orang pesimislah yang tidak
akan mendapatkan suatu keadilan, karena tidak ada perjuangan untuk memperoleh
keadilan itu sendiri. Keadilan tidak semuanya di dapat dengan bersifat pasif
(berdiam diri) dalam kehidupan, akan tetapi keadilan itu ada apabila kita berfikir
dan berjuang untuk ke eksistensiannya, disinilah filsafat hermeneutik difungsikan
(Ign. Ridwan Widyadharma, 1999 : 19).
Berbicara mengenai sistem peradilan, tentu tidak lepas dengan teorinya
kekuasaan kehakiman menurut John Locke dan Monstesquieu, yang menyatakan
harus terpisah dengan kekuasaan lain. Pemisahan kekuasaan dimaksudkan untuk
461
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
mencegah kesewenang-wenangan dan menjamin kekuasaan kehakiman yang
independen (baik secara politis, administratif, struktural, maupun personal) sesuai
prinsip negara hukum.
Rasio lainnya adalah dengan adanya pemisahan kekuasaan, di harapkan
akan terwujud kebebasan para penegak hukum untuk menegakkan keadilan, karena
suatu persengketaan atau permasalahan harus diselesaikan dengan nilai-nilai
filosofis-humanis-relijius. Untuk negara Indonesia, nilai-nilai tersebut sudah ada
cerminnya yaitu Pancasila (terutama dalam Sila Pertama dan Sila Kedua). Dari
cermin itulah seharusnya para penegak hukum atau aparat di lembaga kekuasaan
kehakiman bercermin ketika akan menegakkan keadilan, plus dengan menerapkan
filsafat hermeneutik.
Akan tetapi yang terjadi, para aparatur penegak hukum dalam menjalankan
fungsi sistem peradilan justru tidak mau berkaca pada Pancasila tersebut, bahkan
―memalingkan diri‖ dari nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila.
Berdasarkan penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2001 dan
penelitian Jonaedi Efendi di tahun 2009 diperoleh temuan mengenai pola-pola
korupsi di lembaga peradilan (judicial corruption) dari mulai penyelidikan
(kepolisian), penyidikan (kejaksaan), sampai pada putusan (pengadilan). Modus
judicial corruption ini dilakukan oleh segelintir orang, kelompok, bahkan
berjamaa‘h ketika melakukan perbuatan ―tercela‖ yaitu memanipulasi keadilan
(Wasingatu Zakiah, dkk, 2004 : 9-15 dan Jonaedi Efendi, 2010 : 25-43).
Fakta empiris terbukti, ketidakadilan dalam masyarakat dan perbedaan
penanganan suatu perkara yang mencolok antara si kaya dan si miskin atau di
penguasa dan si rakyat jelata, sudah menjadi gambaran yang dianggap biasa terjadi.
Tentu ditinjau dari segi asas, hal ini bertentangan dengan prinsip equality before
the law, bahkan bertentangan dengan harkat dan martabat manusia itu sendiri.
Padahal kodratnya semenjak lahir masing-masing manusia merupakan pribadi yang
berpotensi untuk berkembang, sehingga mempunyai hak dan kewajiban sebagai
makhluk sosial dan warga negara. Untuk memenuhi hak dan kewajiban itulah
secara universal mengakui akan adanya hak asas manusia (HAM), bahkan secara
tekstual oleh PBB pada tahun 1948 di tuangkan dalam suatu norma yang
dinamakan Universal Declaration of Human Right.
HAM inilah yang kurang disensitifkan oleh para penegak hukum. Padahal
penegak hukum selalu mendengungkan dalam penegakkan hukum harus
berdasarkan irah-irah ―Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa‖.
Bahkan dalam memaknai keadilan, ada kewajiban untuk menghormati HAM
masing-masing individu atau masyarakat.
Irah-irah ini sebenarnya secara normatif sudah tercantum dalam ketentuan
Pasal 2 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,
bahkan dalam undang-undang sebelumnya (dari awal kemerdekaan sampai dengan
era reformasi pencantumannya selalu ada). Sudah menjadi kewajiban bagi para
penegak hukum untuk merefleksikan irah-irah tersebut. Terutama para hakim yang
dihadapannya selalu ada, bahkan dibuat dengan tangannya sendiri irah-irah tersebut
dalam suatu Putusan, karena kalau tidak dipenuhi maka Putusan itu dianggap batal
462
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
demi hukum. Selain diatur dalam undang-undang, irah-irah ini pun sudah sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 29 UUD 1945 (konstitusi bangsa Indonesia).
Adanya kesenjangan dalam perlakukan di bidang penegakan hukum, jelas
bertentangan dengan arti dari keadilan itu sendiri, seperti yang dijelaskan
Aristoteles, pantas adalah suatu bentuk ―sama‖; yaitu melibatkan prinsip bahwa
kasus sama seharusnya diperlakukan dalam cara yang sama dan kasus yang
berbeda diperlakukan dengan cara yang berbeda. Oleh karenanya menurut Morris
Ginsberg, keadilan berlawanan kata dengan : (a) pelanggaran hukum,
penyimpangan, ketidaktetapan, ketidakpastian, keputusan yang tidak terduga, tidak
dibatasi oleh peraturan; (b) sikap memihak dalam penerapan suatu peraturan, dan
(c) aturan yang memihak atau sewenang-wenang, melibatkan diskriminasi yang
tidak mendasar/ diskriminasi berdasarkan perbedaan yang tidak relevan (Morris
Ginsberg, 2003 : 41).
Dari semua permasalahan yang ada dalam penegakkan hukum ini, menurut
penulis inti yang menjadi akar terjadinya ―penyakit kronis‖ hukum ini, ada pada
konsep hukum yang sejak lama ada, yaitu paham positivisme. Paham ini hanya
mengagungkan akal pikiran, semua permasalahan hukum diselesaikan dengan
logika silogisme dan mekanis (salah satu cabang dalam filsafat), sehingga yang
dijadikan rujukan selalu peraturan tertulis (yang menurut Satjipto Rahardjo dalam
suatu seminar menyatakan undang-undang hanya merupakan teks yang ―mati‖ atau
tidak bisa hidup apabila tidak ada ―ruh‖nya, ruh itulah yang dinamakan ―keadilan
dalam masyarakat‖). Singkatnya, konsep hukum yang diajarkan fakultas hukum
sejak dulu, sehingga saat ini sudah mendarah daging ke sendi-sendi kehidupan
hukum (terutama bagi para pelaku hukum) di Indonesia, adalah konsep yang lebih
dari 80% bermakna positivistik, jadi dari akar inilah menjadi salah satu penyebab
para penegak hukum saat ini berperilaku seperti mekanik hukum. Masalah relatif
lainnya adalah kurangnya pendidikan dan pelaksanaan moral yang berkarakter,
sehingga sudah seperti siklus dalam penegakkan hukum, dari senior ke junior
selalu silih berganti secara terus menerus dengan menyerahkan tongkat estafet yang
kurang bermoral.
Disinilah sebenarnya penegak hukum khususnya para hakim berperan
untuk memaknai hukum dengan nilai-nilai moralitas dan keadilan. Dikarenakan,
makna teks dalam hukum tertulis tidak sebagaimana adanya, melainkan terlepas
dari keyakinan para penyusunnya dulu atau keyakinan baru para hakim. Dari
situlah, menurut Ronald Dworkin, seorang hakim yang mempunyai data atau
informasi yang lebih banyak dibandingkan para penyusunnya bisa berkesimpulan
bahwa ada klausa yang memberikan perlindungan hukum yang setara. Bahkan
hakim bisa dibenarkan bila memahami hukum mencakup misalnya larangan
diskriminasi berdasarkan basis gender atau kecenderungan seksual, yakni kriteria
yang tidak pernah dipikirkan oleh para penyusun teks hukum tersebut (Gregory
Leyh, 2008 : 270).
Dengan kata lain, Dworkin mengakui bahwa pandangan interpretasi
sebagai upaya untuk mencari tahu apa yang dimaksud oleh para penyusun hukum
sehingga memiliki kecocokan yang sempurna dengan pandangan bahwa para
463
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
penyusun hukum bisa saja keliru dalam mengaplikasikan hukum mereka secara
tertulis. Alasan ini pun didapat secara fakta, bahwa para legislator (pembentuk
hukum tertulis) itu bisa keliru mengenai apa yang diperbolehkan atau dilarang oleh
hukum mereka sendiri, sehingga menandakan ada kesewenangan pemikiran
intensionalis dalam interpretasi hukum (Gregory Leyh, 2008 : 271).
Dapatlah disimpulkan kondisi yang demikian, dikarenakan kurang adanya
pemahaman akan makna keadilan dan hukum dari sudut pandang yang falsafati,
terutama hermeneutika.
E.
Prospek Filsafat Hermeneutik dan Filsafat Ilmu Hukum dalam
membenahi Penegakan Hukum yang Berlandaskan Keadilan sesuai
Pancasila
Konsep keadilan di Indonesia adalah yang berasaskan keadilan sosial
sebagaimana tertuang dalam sila ketiga dari Pancasila. Dipertegas lagi dalam
Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan ―.. terbentuk dalam suatu susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia‖. Selanjutnya, dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia,
―ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abdi dan keadilan sosial‖.
Konsep tersebut dari sudut pandang hermeneutik menyiratkan bahwa
adanya kesadaran penuh, agar keadilan sosial harus dilaksanakan dalam
masyarakat sepenuhnya. Akan tetapi dalam kenyataannya hakekat keadilan sosial
kurang dipahami arti serta isinya, sehingga cita-cita masyarakat yang adil dan
makmur itu masih jauh dari harapan semua orang di Indonesia, khususnya para
pencari keadilan.
Dengan demikian, hermeneutika memandang bahwa pemahaman terhadap
keadilan sosial selalu diinterpretasikan dengan sebuah isyarat bahwa pemahaman
itu dikondisikan dengan konteks dimana pemahaman terhadap penerapan keadilan
sosial itu terjadi. Pemahaman tersebut merupakan aplikasi dalam pengertian bahwa
keadilan sosial tidak hanya muncul dari latar belakang kontekstual namun juga
memperhatikan ciri-ciri spesifik dari konteks tersebut, dengan memfokuskan diri
pada beberapa bagian dan mengkonfigurasikan kembali konteksnya melalui upaya
pencapaian terhadap pemahaman keadilan sosial sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila.
Mohammad Hatta senantiasa mengemukakan : ―Pancasila terdiri dari dua
lapis fundamen, yaitu (1) fundamen politik ; (2) fundamen moral (etik agama).
Negara dan pemerintahannya akan memperoleh dasar yang kokoh dan
memerintahkan berbuat benar apabila meletakkan dasar moral diatas. Dengan
politik pemerintahan yang berpegang kepada moral yang tinggi diciptakan
tercapainya ―suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia‖ (Roeslan Saleh,
1991 : 46). Selanjutnya dikatakan bahwa : ―Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa
464
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
menjadi dasar yang memimpin cita-cita negara kita, yang memberikan jiwa kepada
usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik. Sedangkan dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktek
hidup dari pada dasar yang memimpin tadi. Dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab harus menyusul, berangkaian dengan dasar yang pertama. Letaknya tidak
dapat dipisah dari itu, sebab dia harus dipandang sebagai kelanjutan ke dalam
praktek hidup dari pada cita-cita dan amal Ketuhanan Yang Maha Esa‖.
Kaitannya Pancasila dengan penegakan hukum yang berkeadilan, penulis
sependapat dengan Sudjito yang menyatakan bahwa sebenarnya konsep negara
hukum Indonesia merupakan perpaduan 3 (tiga) unsur yaitu Pancasila, hukum
nasional dan tujuan negara. Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan utuh.
Pancasila merupakan dasar pembentukan hukum nasional. Hukum nasional disusun
sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara. Tidak ada artinya hukum nasional
disusun apabila tidak mampu mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kehidupan
yang sejahtera dan bahagia dalam naungan ridha Illahi (Sudjito, 2009 : 5). Dengan
demikian secara falsafati hermeneutika dan ilmu hukum, konsep penegakan hukum
yang berdasarkan ―Keadilan‖ dan ―Ketuhanan Yang Maha Esa‖ pun wajib
hukumnya mengacu pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Pancasila selain sebagai komponen pokok sistem nilai hukum nasional dan
staatsfundamentalnorms, termasuk dalam lingkup kefilsafatan bangsa dan negara
Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai filsafat dapat ditinjau paling tidak
menurut Abubakar Busro dengan tiga kenyataan, yakni kenyataan materiil (dari
jangkauan dan isinya bersifat nilai-nilai fundamental, universal, komprehensif, dan
metafisis, bahkan pokok-pokok pengajarannya meliputi nilai-nilai keagamaan dan
kemanusiaan), kenyataan fungsional praktis (merupakan jalinan tata nilai dalam
sosio-budaya bangsa Indonesia, sehingga wujudnya dapat dilihat berupa adanya
prinsip kepercayaan kepada Tuhan, tepa selira, setia kawan, kekeluargaan, gotongroyong, musyawarah-mufakat, dll), dan kenyataan formal (para pendiri Negara
mengangkat dan merumuskan Pancasila sebagai ideologi yang wujudnya tampak
dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar Negara Kesatuan RI) (Abubakar
Busro,1989 : 26-27).
Istilah ―adil dan beradab‖ dalam Sila Kedua Pancasila, oleh Notonagoro
dimaknai dengan rasa kemanusiaan yang adil terhadap diri sendiri, terhadap
sesama manusia, terhadap Tuhan atau causa prima. Disini terkandung prinsip
perikemanusiaan atau internasionalisme dan terlaksananya penjelmaan dari pada
unsur-unsur hakekat manusia, jiwaraga, akal-rasa-kehendak serta sifat kodrat
perseorangan dan makhluk sosial. Semua ini dikarenakan kedudukan kodrat pribadi
berdiri sendiri dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa sebagai causa prima dalam
kesatuan majemuk-tunggal (monopluralis), itu adalah dalam bentuk dan
penyelenggaraan hidup yang bermartabat setinggi-tingginya (Notonagoro, 1987 :
99-100).
Mengenai hubungan hukum dengan sosial kemasyarakatan, ada ungkapan
yang menyatakan disamping masalah tertinggalnya hukum oleh perubahanperubahan sosial, maka mungkin akan muncul problem lain yaitu tertinggalnya
465
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
perkembangan masyarakat oleh perubahan yang terjadi dalam hukum atau
perubahan yang ingin dicapai melalui hukum tidak diikuti oleh masyarakat.
Menurut penulis, hal ini kurang pas karena hukum harus seiring sejalan dengan
masyarakat, dan senantiasa bergandengan dengan apa yang namanya ―keadilan‖.
Jadi tidak ada yang saling mendahului, ibarat kepingan mata uang hukum tidak
bisa lepas dari masyarakat, meskipun dua hal yang berbeda, yang menjadi pengikat
(ditengah-tengah) kepingan tersebut adalah keadilan.
Dalam kaitannya hubungan keadilan, hukum dan masyarakat, penulis
sepakat dengan pendapat Satjipto Rahardjo, bahwa Ilmu hukum harus mengawal
hukum terus mengalami perkembangan dan perubahan sampai dengan hari ini,
Sehingga akan di pahami ternyata hukum itu tidak otonom, seperti halnya bebatuan
dan pohon dalam alam. Yang alami adalah hasrat manusia untuk hidup dalam
dunia yang penuh ketertiban. Hukum itulah merupakan bagian dari pranata untuk
hidup secara tertib. Jadi, hukum adalah untuk manusia. Dengan demikian hukum
tunduk pada kehidupan sosial manusia yang jauh lebih luas (Satjipto Rahardjo,
2009 : 74).
Oleh karena hukum itu tidak otonom, menurut penulis maka perlu adanya
suatu elaborasi mengenai hukum progresif yang di gagas oleh Satjipto Rahardjo
untuk menyelesaiakan masalah koheren hubungan keadilan, hukum, dan
masyarakat.
Dalam hukum progresif selalu disemaikan bagi pengembangan kekuatan
yang tersimpan di dalam hukum, sehingga menolak cara berhukum yang
menyebabkan dinamika hukum hilang karena hukum menjadi statis dan stagnan.
Terhambatnya kekuatan yang sebenarnya, ada secara in heren dalam hukum,
sebagai akibat dari ulah para penegak hukum sendiri yang menyebabkannya, yaitu
dengan menerapkan cara-cara berhukum yang hanya dengan mengeja teks undangundang. Padahal hukum tidak berdiri sendiri, adakalanya memasuki wilayah
keilmuan yang lain. Misalnya memasuki wilayah psikologi, dengan itu dapat
diperoleh suatu konsep bahwa hukum tidak hanya berurusan dengan peraturan
melainkan juga perilaku manusia. Perilaku ini dibutuhkan untuk memunculkan
kekuatan hukum baru yang dalam bahasa jawa disebut sebagai ―mesu budi‖, yaitu
mengerahkan kekuatan spiritual kita. Dengan demikian pekerjaan hukum adalah
lebih dari pada hanya berpikir secara logis-rasional, melainkan juga sesuatu yang
menuntut kreatifitas dari para pelakunya. Disinilah pekerjaan memunculkan
kekuatan hukum itu memperoleh tempatnya (Satjipto Rahardjo, 2009 : 57-58).
Ada tiga solusi yang coba ditawarkan oleh Satjipto Rahardjo melalui
gagasan atau ide hukum progresifnya, kaitannya dengan keterpurukan hukum di
Indonesia, yaitu :
Pertama, penggunaan kecerdasan spiritual untuk bangun dari keterpurukan hukum,
memberi pesan penting kepada kita (terutama akademisi dan praktisi hukum)
untuk berani mencari jalan baru (rule-breaking) dan tidak membiarkan diri
terkekang cara menjalankan hukum yang ―lama dan tradisional‖ yang jelasjelas lebih banyak melukai rasa keadilan.
466
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
Kedua, pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam
menjalankan hukum dan bernegara hukum. Para stake holder hukum di
Indonesia (akademisi dan praktisi hukum) di dorong untuk selalu bertanya
kepada nurani tentang makna hukum lebih dalam.
Ketiga, hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi
dengan perasaan, kepedulian, dan semangat keterlibatan (compassion) kepada
bangsa kita yang sedang menderita. Segala daya dan upaya hendaknya
dilakukan untuk bangun dari keterpurukan dan sekali lagi perlu menggugat
diri yang selama ini mempunyai cara berpikir yang lebih banyak
mendatangkan kesusahan. Sudah semestinya hukum merupakan institusi yang
berfungsi untuk menjadikan bangsa kita, merasa sejahtera dan bahagia
(Satjipto Rahardjo, 2007 : 21-22).
Dari tiga solusi yang ditawarkan oleh Satjipto Rahardjo tersebut, penulis
menilai keadilan yang dicapai hanya sebagai keadilan dari sudut pandang spiritual
justice, moral justice dan social justice, tetapi belum secara tegas menyentuh pada
philosophy and legal justice yang sekiranya dapat menjembatani penganut paham
hukum doktrinal dan non-doktrinal, sehingga penulis menambahkan satu solusi lagi
agar terwujud keadilan secara hermeneutik dan legal filosofis, yaitu penerapan
hukum secara filosofis tetap berpedoman kepada Pancasila dan Pembukaan UUD
1945 yang berisi mengenai visi dan misi bangsa dan negara Indonesia, karena
keadilan yang di cita-citakan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945
disamping bersifat relijius-sosialis, juga bersifat luhur, universal, dan jauh dari sifat
sekuler-individualistis-materialistis. Keduanya ini pun bisa sebagai perekat bangsa
dan negara Indonesia, yang saat ini sedang bercerai berai terutama kalangan atau
penganut dua paham tersebut (doktrinal dan non doktrinal). Karena Pancasila oleh
kalangan
ahli
hukum
doktrinal
di
Indonesia
diakui
sebagai
staatsfundamentalnorms, begitupun dan Pembukaan UUD 1945 dianggap sebagai
sesuatu yang ―sakral‖ keberadaannya, sehingga harus mereka ikuti. Sedangkan dari
pemikiran-pemikiran ahli hukum non-doktrinal di Indonesia, Pancasila maupun
dan Pembukaan UUD 1945 sudah sesuai dengan alur pikirnya atau konsep yang
selama ini dibangun.
F.
1.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Faktor-faktor yang menyebabkan keadilan sulit untuk di tegakkan di
negara Indonesia ditinjau dari filsafat hermeneutik dan filsafat ilmu hukum adalah
faktor yang bersifat fundamental, yakni : salahnya sistem pendidikan hukum yang
melulu mengajarkan pola pikir yuridis-normatif (bahkan presentase pengajarannya
lebih dari 80 % berkisar sistem dan filsafat hukum yang positivistik). Faktor
lainnya adalah kurangnya pendidikan karakter bangsa Indonesia dan masih
lemahnya pelaksanaan moral dalam penegakan hukum. Dan yang terakhir kurang
di dukungnya konsep hukum non-doktrinal oleh banyak akademisi (ilmuwan) dan
praktisi hukum di Indonesia, karena pandangan positivistiknya sudah mendarah
daging bersemayam dalam pikirannya.
467
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Sedangkan, solusi yang terbaik untuk menjawab permasalahan tersebut
terutama bagi para penegak hukum di Indonesia adalah mengembalikan semua
permasalahan kepada nilai jati diri bangsa sesungguhnya yakni Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945, serta menerima konsep hukum baru yaitu hukum progresif
(bagian dari hukum non-doktrinal) yang lebih menekankan pada nilai-nilai moralsosial-relijius dan memandang suatu permasalahan ditinjau dari berbagai disiplin
keilmuan yang bisa sinkron terhadap ilmu hukum itu sendiri.
2. Saran
Perlu adanya reformasi kurikulum pengajaran bidang hukum di perguruan
tinggi (S1, S2, dan S3). Ketika sedang mengajar, sebaiknya tiap-tiap mata kuliah
selalu disisipi nilai-nilai moral dan humanisme sesuai karakter dan budaya bangsa
Indonesia secara komprehensif. Bahkan untuk seluruh mata kuliah lebih di
utamakan pada ―penyemaian‖ landasan teori-teori atau filsafat hukumnya melalui
metode hermeneutik yang pro keadilan dan terbuka dengan ilmu-ilmu lainnya.
Terlebih penting ada peran pemerintah pusat untuk mendukung berkembangnya
hukum non-doktrinal, karena konfigurasi politik hukum non-doktrinal sangat besar
pengaruhnya apabila ada political will dari pemerintah pusat.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, H.Hasbullah, 1981, Sistematik Filsafat, Jakarta, Penerbit Widjaya
Jayakarta.
Busro, Abubakar, 1989, Nilai Dan Berbagai Aspeknya Dalam Hukum, Jakarta
Penerbit Bhrata.
Capra, Fritjof, 1982, The Turning Point : Science, Society, and the Rising Culture,
London, Flamingo An Imprint of HarperCollins Publishers.
Efendi, Jonaedi, 2010, Mafia Hukum : menguak praktik tersembunyi jual-beli
hukum dan alternative pemberantasannya dalam perspektif hukum
progresif, , Jakarta Prestasi Pustaka Publisher.
Ginsberg, Morris, 2003, Keadilan Dalam Masyarakat, terjemahan dari ―On Justice
in Society‖ , Yogyakarta, Pondok Edukasi.
Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum, Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
----------------, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Penerbit
Kanisius.
Hutagalung, Thoga H., 1993, Beberapa Pemikiran Tentang Hukum yang
dikemukakan oleh beberapa aliran, Bandung, CV. Armico.
Kusumah, Mulyana W., 1986, Perspektif, Teori, dan Kebijaksanaan Hukum,
Jakarta, CV. Rajawali.
Leyh, Gregory, 2008, Hermeneutika Hukum : Sejarah, Teori, dan Praktik
(terjemahan oleh M. Khazim), Bandung, Nusa Media.
Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana.
468
Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum
Mertokusumo, Sudikno, 1984, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Yogyakarta, Penerbit
Liberty.
Nurrachman, Nani, 2004, dari tulisannya yang berjudul Keadilan dalam perspektif
psiko-sosial dalam buku Keadilan Sosial : upaya mencari makna
kesejahteraan bersama di Indonesia, Jakarta, Penerbit Kompas.
Notonagoro, 1987, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Jakarta, Bina Aksara.
Notohamidjojo, O., 1975, Demi Keadilan dan Kemanusiaan : Beberapa Bab dari
Filsafat hukum, Jakarta, BPK Gunung Mulia.
Nonet, Philippe dan Selznick, Philip, 2003, Hukum Responsif : Pilihan di Masa
Transisi (terjemahan dari ―Law & Society in Transition : Toward
Responsive Law‖ dengan penerjemah : Rafael Edy Bosco, Jakarta,
Penerbit HuMa.
Rahardjo, Satjipto, 2007, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Penerbit Buku
Kompas.
---------------------, 2009, Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum, Malang, Bayu
Media Publishing.
---------------------, 2009, Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia :
Kaitannya Dengan Profesi Hukum dan Pembangunan Hukum Nasional,
Yogyakarta, Genta Publishing.
Saleh, Roeslan, 1991, Penjabaran Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
Dalam Perundang-undangan, Jakarta, Sinar Grafika.
Semiawan, Conny R., dkk, 1988, Dimensi Kreatif Dalam Filsafat llmu, Bandung,
Penerbit Remadja Karya CV.
Setiardja, A. Gunawan, 1990., Dialektika Hukum dan Moral : dalam pembangunan
masyarakat Indonesia, Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Sudjito (ahli filsafat ilmu hukum dari UGM Yogakarta), 2006, Chaos theory of law
: penjelasan atas keteraturan dan ketidakteraturan, dalam Media Hukum
Volume 18, Nomor 2.
---------------, 2009, Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila, Yogyakarta,
Makalah yang disampaikan dalam Kongres Pancasila, Kerjasama
Mahkamah Konstitusi RI dan Universitas Gadjah Mada.
Sugiharto, I. Bambang, 1996, Postmodernisme : Tantangan Bagi Filsafat,
Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Widyadharma, Ign. Ridwan, 1999, Menata Peradilan Indonesia, Semarang, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Zakiah, Wasingatu, dkk, 2004, Panduan Eksaminasi Publik dan Hasil Eksaminasi
Publik Perkara Akbar Tanjung, Jakarta, Penerbit Indonesian Corruption
Watch.
469
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
470
ISSN : 2303-3274
BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP KEKAYAAN MINYAK DAN GAS BUMI
SEBAGAI ASET NEGARA MELALUI INSTRUMEN KONTRAK
Faizal Kurniawan
Dosen Fakultas Hukum Univeritas Airlangga
[email protected]
Abstrak
Negara mempunyai kekuasaan untuk mengelola sumber daya alam demi
mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan untuk kemakmuran rakyat.
Instrumen hukum kontrak menjadi payung hukum utama sebagai upaya
perlindungan hukum terhadap asset negara yang berupa minyak dan gas bumi.
Kontrak Bagi Hasil menjadi pilar dasar dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan
kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Kontrak Bagi Hasil merupakan kontrak
publik yang tidak sepenuhnya tunduk pada hukum privat. Dalam melakukan
hubungan kontraktualnya, negara tidak boleh dirugikan (imunitas negara) dan
harus memperhatikan klausula-klausula yang menitikberatkan pada perlindungan
asset negara.
Kata Kunci: Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Publik, Imunitas Negara, Klausula
Perlindungan Asset Negara.
Abstract
State has the power to manage natural resources for the sake of social justice, the
general welfare and are used as much as possible the greatest benefit for the
greatest welfare of people. Contract law is the main instrument used to protect the
state assets including oil and gas. Production Sharing Contract as a legal
safeguard for oil and gas, is a fundamental pillar in the effort and utilization
management activities of oil and gas. In the contracts involving the Government,
called government contract, there is a unique characteristic which is not entirely
subject to private law. In principle, the state should not be harmed, called as state
immunity. This principle also applies universally in the interest of protecting the
state assets.
Keywords: Production Sharing Contract, Government Contract, State Immunity,
Protection of State Assets Clause.
A. Pendahuluan
Sumber kekayaan alam Indonesia yang sangat strategis dan memiliki
peranan penting terhadap perekonomian nasional antara lain adalah sumber daya
alam berupa minyak dan gas bumi yang harus dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Hal ini ditegaskan pada Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam hal ini pemerintah yang diberikan
kewenangan oleh Negara dalam bentuk Kuasa Pertambangan untuk
menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Minyak dan Gas Bumi.
Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
Bumi, eksplorasi adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka memperoleh
informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan
cadangan Minyak dan Gas Bumi. Ditegaskan pula dalam Undang-undang ini
bahwa eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan menghasilkan minyak
dan gas bumi yang terdiri atas kegiatan pengeboran dan penyelesaian sumur,
pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk
pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain
yang mendukungnya.
Pengelolaan sumber daya alam ini hendaknya secara maksimal
memberikan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, sehingga kegiatan
pengelolaannya sangatlah penting untuk dilaksanakan dengan baik. Salah satu
instrumen hukum atau sarana terpenting yang dapat digunakan adalah kontrak,
khususnya Kontrak Bagi Hasil atau disebut juga Production Sharing Contract.
Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil) ini merupakan sarana yang
spesifik ditujukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan dalam eksplorasi
dan eksploitasi pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Permasalahan tersebut antara
lain dalam hal terdapat keterbatasan modal, teknologi, dan sumber daya manusia.
Kontrak ini dilakukan sebagai salah satu kontrak kerjasama yang dilaksanakan
dalam rangka untuk memberikan perlindungan terhadap asset Negara serta
memberikan keuntungan bagi Negara. Kontrak Kerja Sama dilakukan antara
pemerintah dengan kontraktor yang merupakan Badan Usaha dan Bentuk Usaha
Tetap, dalam perkembangannya Kontrak Kerja Sama ini menjadi hal krusial karena
disebabkan banyaknya pihak yang memiliki kepentingan terhadap minyak dan gas
bumi sehingga hal ini kemudian memunculkan urgensi perlindungan asset Negara
dalam pengelolaan migas.
Berdasar latar belakang tersebut diatas, maka masalah penelitian
dirumuskan sebagai berikut:
a. Bentuk perlindungan hukum terhadap aset negara terkait dengan pengelolaan
minyak dan gas bumi;
b. Klausula-klausula sebagai upaya preventif perlindungan aset negara dalam
Kontrak Bagi Hasil (Production sharing contract).
B.
Pembahasan
Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) merupakan kontrak
kerjasama dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan
Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) ini melibatkan pemerintah
selaku kontraktan. Kontrak yang melibatkan penguasa ini sebagai pihak lazim
472
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
disebut sebagai government contract. Y. Sogar Simamora menterjemahkan istilah
tersebut dengan kontrak pemerintah.166
Ketika pemerintah memasuki hubungan kontraktual dalam skala privat,
pemerintah mempunyai peran ganda (double role). Di satu sisi pemerintah
kedudukannya seperti subjek privat lain, tetapi di sisi lain kedudukannya sebagai
badan publik tidak terlepaskan. Ketika pemerintah menjalin perikatan dalam skala
privat maka sejak itu harus dinilai pemerintah menyatakan tunduk pada aturan
privat. Dalam situasi ini berlakulah segala konsekuensi hukum yang timbul akibat
hubungan yang dibentuk itu yaitu konsekuensi berlakunya prinsip dan aturan
hukum dalam lapangan Hukum Perdata baik yang bersifat materiil maupun
formil.167 Sehingga pada dasarnya pemerintah tidak kebal dan dapat digugat.
1. Prinsip, fungsi dan kewenangan Negara dalam pengelolaan Minyak dan
Gas Bumi sebagai Kekayaan Alam yang dikuasai Negara
a. Prinsip, hak penguasaan dan kewenangan Negara
Kekuasaan Negara atas sumber daya alam melahirkan penguasaan Negara
dimana hak penguasaan tersebut diantaranya kewenangan untuk mengatur,
mengawasi, dan mengurus segala bentuk pengusahaan dan pengelolaan kekayaan
alam, serta mempunyai tanggung jawab untuk dipergunakan dan ditujukan bagi
sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, sebagaimana mandat
UUD 1945 Pasal 33.
Kewenangan yang melekat pada Negara, dalam hal ini dilakukan oleh
pemerintah merupakan suatu kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 melalui
UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disingkat UU
Migas) sebagai derivasinya dengan tujuan mewujudkan keadilan sosial,
kesejahteraan umum dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat168.
Atas dasar hubungan Hak Penguasaan Negara dengan objek kepemilikan
atau juga merupakan objek Hak Penguasaan Negara, maka Hak Penguasaan
Negara harus dilihat dalam konteks hak dan kewajiban Negara sebagai pemilik
(domein) yang bersifat publiekrechtelijk, bukan sebagai eignaar yang bersifat
privaaterechttelijk169. Status kepemilikan yang diperoleh pemerintah atas Migas
dinyatakan dalam ketentuan Pasal 6 UU Migas ayat 2 huruf a (wewenang atributif)
yakni kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan pemerintah sampai pada titik
penyerahan.
Namun, Hak Penguasaan Negara itu sendiri juga mempunyai sifat dari segi
privat, yakni pada saat terjadinya suatu hubungan hukum antara Negara sebagai
badan hukum publik dengan pihak badan hukum perdata/ swasta (BUMN, BUMD,
Koperasi, Perusahaan/ Badan Usaha Asing, dan PMA) dalam hal pengusahaan
migas dari mulai kegiatan hulu sampai kegiatan hilir. Hal ini terjadi tatkala Negara,
166
167
168
169
Y. Sogar Simamora, 2009, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan
Jasa Oleh Pemerintah, Laksbang PRESSindo, Yogyakarta, h. 55
Ibid., h. 93
Ibid, h. 18-19.
Ibid, h. 33.
473
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
yang dikuasakan kepada pemerintah menjalankan fungsi mengurus objek kekayaan
alam, yang dilandaskan dalam bentuk perjanjian kerja sama. Dalam keadaan yang
demikian, penguasa Negara atau pemerintah menurut Kranenburg dan Vegting
bertindak sebagai organ dari badan publik yang berupa private
rechtpersoonlijkeheid170. Negara sebagai subjek hukum memiliki kekayaan yang
dimilikinya dalam posisi sebagai majikan dan badan hukum perdata sebagai
pemborong atau pembeli171. Hal ini dilakukan karena peranan Negara sebagai
pemegang kekuasaan, maka Negara berwenang untuk memberikan kuasa kepada
badan usaha atau perorangan untuk melakukan pengusahaan/ pengelolaan atas
bahan galian yang ada dalam wilayah hukum pertambangan indonesia172. Hal ini
ditegaskan dalam ketentuan Pasal 4 UU Migas, yang menyatakan :
1) Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak
terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan
Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara
2) Penguasaan oleh Negara sebagaimana dimkasud dalam ayat (1)
diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa
pertambangan
3) Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan membentuk Badan
Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 23.
b. Tugas dan Wewenang Pemerintah
1. Kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 4, menyatakan bahwa Presiden
memegang Kekuasaan pemerintahan dan dalam Pasal 17 menyatakan bahwa
presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dibantu oleh menteri-menteri
Negara yang membidangi urusan-urusan tertentu pemerintahan, yang salah satunya
ialah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (selanjutnya disebut, ESDM).
Fungsi dan kewenangan yang melekat pada Menteri ESDM dalam Pasal 12
UU Migas yang menyatakan,
1) Wilayah kerja yang akan ditawarkan kepada badan uaha atau bentuk
usaha tetap ditetapkan oleh menteri setelah berkonsulasi dengan
pemerintah daerah.
2) Penawaran wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh menteri.
3) Menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi
wewenang melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada
wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Namun, pada tahun 2003 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan suatu
keputusan yang menyatakan Pasal 12, khususnya ayat 3 dianggap bertentangan
dengan Pasal 33 UUD 1945 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 002/ PUU-I/
2003 tentang Uji Materi UU Migas terhadap UUD 1945. Putusan Mahkamah
170
171
172
474
Ibid, h. 58.
Ibid.
Ibid.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
Konstitusi dapat diterjemahkan bahwa kata-kata “diberi wewenang” mengandung
arti bahwa menteri berdasarkan Undang-undang dapat memberikan kewenangan
publik yang ada padanya kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap173.
Secara lebih khusus wewenang menteri dalam hal-hal tertentu yang lebih
bersifat teknis dalam bidang pembinaan dan pengawasan kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi migas yang dimandatkan kepada Direktur Jenderal Migas yang
memimpin Ditjen Migas174. Dalam melaksanakan fungsi, Menteri ESDM atau
Direktorat Jenderal Migas berwenang mengeluarkan berbagai perijinan terkait
kegiaan eksplorasi dan eksploitasi, dengan demikian fungsi yang dijalankan
sebagai Administrasi Negara sangat menonjol karena kewenangan tersebut175.
Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan
Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disingkat PP No.35/2004) jo Peratuan
Pemerintah No. 34 tahun 2005 tentang Perubahan Atas PP No. 35 tahun 2004
(selanjutnya disingkat PP No. 34/2005), bahwa Menteri dalam menetapkan
kebijakan penawaran Wilayah Kerja harus berdasarkan pada pertimbangan tekhnis,
ekonomis, tingkat resiko, efisiensi, dan berazaskan keterbukaan, keadilan,
akuntabilitas, dan persaingan.
2.
Kewenangan Menteri ESDM Dalam Pelaksanaan Kegiatan Hulu Migas
Kewenangan Menteri ESDM dalam pelaksanaan kegiatan hulu migas pada
dasarnya ditujukan untuk terciptanya Kontrak Kerja Sama sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 24 PP No. 35/ 2004 jo PP No. 34/ 2005, bahwa kegiatan usaha hulu
dilaksanakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak
Kerja Sama dengan Satuan Kerja Khusus Migas (selanjutnya disingkat SKK
Migas). Meskipun KKS tersebut dilakukan antara kontraktor dengan SKK Migas
bukan berarti menteri tidak mempunyai kewenangan dalam proses kegiatan
tersebut, justru kewenangan menteri disini sangat vital dalam menetapkan bentukbentuk dan ketentuan pokok Kontrak Kerjasama setelah mendapatkan
pertimbangan dari Kepala SKK Migas.
Disamping itu menteri juga berwenang dalam hal memberikan persetujuan
terhadap permohonan yang dimohonkan oleh kontraktor migas mengenai
perpanjangan jangka waktu yang dimiliki KKS, pengalihan, pemindahtanganan,
dan penyerahan sebagian atau seluruh hak dan kewajiban yang melekat padanya
(participating interest).
3.
Kedudukan dan kewenangan SKK Migas sebagai pengganti BP Migas
Keberadaan SKK Migas dalam percaturan dunia migas di Indonesia
merupakan hal yang baru. Kedudukan hukum SKK Migas berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas Dan
Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi (selanjutnya disingkat Perpres
173
174
175
Didik S Setyadi, 2007, Aspek Hukum Administrasi Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak
dan Gas Bumi di Indonesia, Nusantara Makmur, Surabaya , h. 36.
Ibid, h. 33.
Ibid.
475
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
95/2012) dan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan
Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disingkat
Perpres 9/2013) adalah untuk menggantikan peran Badan Pelaksana Migas (BP
Migas) dalam melaksanakan fungsi pengendalian dan pengawasan kegiatan usaha
hulu di bidang migas.
Secara keseluruhan MK membatalkan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3),
Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, Pasal
63 UU Migas. MK juga membatalkan frasa ―dengan Badan Pelaksana‖ dalam
Pasal 11 ayat (1), frasa ―melalui Badan Pelaksana‖ dalam Pasal 20 ayat (3), frasa
―berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan‖ dalam Pasal 21 ayat (1),
frasa ―Badan Pelaksana dan‖ dalam Pasal 49 UU Migas. Seluruh Pasal tersebut
oleh MK dinilai bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Sesuai dengan putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012, BP Migas dibubarkan
oleh MK karena menurut pertimbangan MK, BP Migas hanya memiliki fungsi
pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan migas dan tidak melakukan
pengelolaan secara langsung.176 Konsekuensinya model hubungan antara BP Migas
sebagai representasi negara dengan Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap dalam
pengelolaan migas mendegradasi makna penguasaan negara atas sumber daya alam
migas dan dengan demikian bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.177 Artinya,
konstruksi penguasaan migas melalui BP Migas, negara kehilangan
kewenangannya untuk melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung
BUMN untuk mengelola migas sesuai dengan maksud Pasal 33 UUD 1945.
Menindaklanjuti putusan MK tersebut, maka dibuatlah Perpres 95/2012
dan Perpres 9/2013 untuk mengisi kekosongan hukum dan mengeliminir
ketidakpastian hukum yang berpotensi muncul dalam pelaksanaan industri hulu
migas yang tertuang dalam KKS paska dibubarkannya BP Migas. Hanya saja
kedudukan SKK Migas bukanlah sebagai badan hukum milik negara (BHMN)
seperti BP Migas akan tetapi menjadi unit satuan kerja di bawah menteri (cq.
Menteri ESDM).
Salah satu isi dari putusan MK berbunyi “Segala hak serta kewenangan
BP Migas dalam KKS setelah putusan ini, dilaksanakan oleh Pemerintah atau
Badan Usaha Milik Negara yang ditetapkan oleh Pemerintah.” Salah satu isi
putusan tersebut kemudian ditindaklanjuti dalam Pasal 1 Perpres 95/2012 bahwa
pelaksanaan tugas, fungsi, dan organisasi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu
Minyak dan Gas Bumi dialihkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi, sampai dengan diterbitkannya
peraturan yang baru dan Pasal 1 Perpres 9/2013 bahwa menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya
mineral, yang untuk selanjutnya disebut Menteri, membina, mengoordinasikan dan
mengawasi penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas
bumi. Dari kedua peraturan tersebut, telah jelas bahwa Pemerintah lebih memilih
176
177
476
Diunggah dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50a2367d37e5c/mk--bpmigas-inkonstitusional
Ibid.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
opsi yang diberikan oleh putusan MK terkait pembubaran BP Migas untuk
melimpahkan tugas dan wewenang BP Migas kepada menteri yang membawahi
langsung bidang migas daripada Badan Usaha Milik Negara.
Kemudian Pasal 3 Perpres 95/2012 juga menegaskan bahwa seluruh proses
pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang sedang ditangani oleh
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, dilanjutkan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas
bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka segala hak dan kewajiban yang melekat
pada BP Migas baik karena undang-undang maupun KKS beralih ke dan diemban
oleh SKK Migas sebagai unit satuan di bawah Menteri ESDM sebagai subjek
kontrak (konraktan) pengganti dalam KKS. Meski BP Migas adalah pihak yang
sebelumnya menandatangani setiap KKS, akan tetapi dengan bubarnya BP Migas
yang berarti syarat sahnya perjanjian pada Pasal 1320 BW tidak terpenuhi dengan
tidak adanya salah satu pihak, tidak secara otomatis setiap KKS menjadi tidak sah
atau batal demi hukum. Mengingat ada terdapat sekian banyaknya KKS-KKS yang
ada adalah tidak mungkin bagi Pemerintah untuk tidak melindungi kepentingan
para investor migas dan triliunan modal yang telah ditanam tersebut. Mengenai
problematika tersebut pada Pasal 2 Perpres 95/2012 telah menegaskan bahwa
segala Kontrak Kerja Sama yang ditandatangani antara Badan Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap, tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, KKS merupakan suatu jenis
kontrak yang unik dimana pada satu sisi bermuatan hukum privat dan disisi lain
bermuatan hukum publik. Apa yang terkandung dalam kontrak pemerintah pada
dasarnya adalah kemauan sepihak dari pemerintah. Syarat-syarat dalam kontrak
telah disiapkan secara sepihak oleh pemerintah. Pihak kontraktor migas hanya
mempunyai dua pilihan, setuju atau tidak. Sama sekali tertutup kemungkinan
melakukan penawaran balik.
Eksistensi KKS bersumber dari UU Migas, termasuk di dalamnya pihak
BP Migas sebagai rekan kontrak kontraktor migas. Oleh putusan MK yang
membatalkan beberapa pasal dalam UU Migas mengenai eksistensi dan kedudukan
BP Migas sebagai konsekuensi logisnya adalah dibubarkannya BP Migas. Apabila
diperhatikan mengenai alur logika hukum dari eksistensi KKS tersebut, maka dapat
dipastikan perubahan entitas kelembagaan dari pihak Pemerintah tidak
berpengaruh terhadap jalannya KKS dan juga otomatis tidak memerlukan adanya
kesepakatan dengan para kontraktor migas berhubungan dengan kedudukan
Pemerintah disamping memposisikan sebagai entitas privat juga sebagai entitas
publik yang tentunya ada sifat-sifat publik beserta segala proses perubahan yuridispublik beserta konsekuensi hukum yang muncul yang melekat pada keudukan
Pemerintah tersebut.
Seperti halnya BP Migas sebelumnya, keberadaan SKK Migas sebagai
penerus BP Migas dalam skema KKS kegiatan hulu migas tetap tidak menganut
skema perjanjian ―B to B‖ (Business to Business) tetapi ―B to G― (Business to
477
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Government). Hal ini dikarenakan setiap hak dan kewajiban yang melekat pada BP
Migas beralih kepada SKK Migas dan dengan demikian konsekuensi hukumnya
pun sama meskipun secara kelembagaan telah berbeda.
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, maka dengan tegas dapat
dikatakan bahwa tugas dan kewenangan pada BP Migas juga sekaligus merupakan
tugas dan kewenangan SKK Migas. Dan berikut ini kewenangan BP Migas yang
saat ini dilaksanakan oleh SKK Migas. Dalam Pasal 12 PP No. 42/ 2002 jo. Pasal 1
Perpres 95/2012 jo. Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) Perpres 9/2013, SKK Migas
memiliki kewenangan, antara lain meliputi:
a) Membina kerja sama dalam rangka terwujudnya integrasi dan
sikronisasi kegiatan operasional kontraktor KKS;
b) Merumuskan kebijakan atau anggaran dan program kerja konraktor
KKS;
c) Mengawasi kegiatan utama operasional kontraktor KKS;
d) Membina seluruh asset kontraktor KKS ang menjadi milik Negara;
e) Melakukan koordinasi dengan pihak dan atau instansi terkait yang
diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas.
Tujuan terpenting dalam fungsi pengawasan dan pengendalian yang
dilakukan oleh SKK Migas adalah pengawasan dan pengendalian untuk:178
a) Optimalisasi penerimaan Negara
b) Pengendalian pembelanjaan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang
dikemudian hari setelah kegiatan tersebut berproduksi harus diganti/
dikembalikan oleh pemerintah dari bagi hasil produksi migas yang lazim
disebut dengan istilah Cost Recovery.
Salah satu tugas utama dalam hal pengendalian dan pengawasan yang
dilakukan SKK Migas adalah memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran
(WP&B dan AFE) semua kegiatan usaha hulu migas yang dilakukan oleh setiap
badan usaha dan bentuk usaha tetap yang menjadi kontraktor KKS di setiap
wilayah kerja.179 Salah satu bentuk pengawasan dan pengendalian yang dilakukan
oleh SKK Migas melalui KKS lainnya ialah SKK Migas mempunyai kewenangan
dalam penandatanganan perjanjian lainnya yang masih memiliki keterkaitan dalam
KKS tersebut, hal itu dinyatakan dalam ketentuan Pasal 86 ayat 5 dan 6 PP No. 35/
2004 jo PP No. 34/ 2005 jo. Pasal 1 Perpres 95/2012 jo. Pasal 1 dan Pasal 2 ayat
(1) Perpres 9/2013.
Disamping itu SKK Migas juga mempunyai beberapa tugas yang diatur
dalam ketentuan Pasal 90 PP No. 35/ 2004 jo PP. 34/ 2005 jo. Pasal 1 Perpres
95/2012 jo. Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) Perpres 9/2013, antara lain:
a) Memberikan pertimbangan kepada menteri atas kebijakannya dalam hal
penyiapan dan penawaran wilayah kerja serta KKS;
b) Melaksanakan penandatanganan KKS;
178
179
478
Ibid, h. 39.
Ibid.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
c)
Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang
pertama kali akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja kepada
menteri untuk mendapatkan persetujuan;
d) Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan sebagaimana
yang dimaksud dalam huruf c;
e) Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
f) Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada menteri mengenai
pelaksanaan KKS;
g) Menunjuk penjual migas bagian Negara yang dapat memberikan
keuntungan sebesar-besarnya bagi Negara.
Apabila diperhatikan, salah satu tugas yang diemban sebelumnya
oleh BP Migas dan yang kini dilanjutkan oleh SKK Migas adalah
melaksanakan penandatanganan KKS. Dengan pemahaman bahwa segala
bentuk fungsi, tugas, dan tanggung jawab pengawasan dan pengelolaan
migas yang sebelumnya melekat pada BP Migas kini melekat pada SKK
Migas berdasarkan Perpres 95/2012 dan Perpres 9/2013 maka SKK Migas
berwenang menandatangani KKS dengan kontraktor migas. Itulah sebabnya
mengapa pemahaman ini linier dengan konsekuensi yuridis formal bahwa
dengan bubarnya BP Migas tidak menyebabkan batalnya KKS sebab peran
BP Migas dengan seluruh fungsi, tugas, wewenang, hak dan kewajiban yang
timbul dari KKS, termasuk pula akibat hukum yang dihasilkan dari peristiwa
penandatanganan oleh BP Migas terhadap KKS, dialihkan secara serentak
dan menyeluruh kepada SKK Migas tanpa ada satupun reduksi wewenang,
hak, dan kewajiban.
2. Hak Imunitas Pemerintah
Sebagai pemenuhan akan kebutuhan pelayanan publik, Pemerintah
dituntut untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara permanen dan rutin demi
kesejahteraan rakyat. Adapun cara yang dilakukan oleh Pemerintah dalam
memenuhi kebutuhan yang dimaksud adalah seperti halnya dengan individu, yakni
dengan melakukan hubungan kontraktual dengan pihak lain.
Instumen hukum kontrak menjadi koridor hukum yang sangat penting
sebagai upaya perlindungan hukum terhadap asset negara. Urgensi Kontrak
Kerjasama (KKS) sebagai upaya perlindungan hukum terhadap asset negara akan
dibahas lebih lanjut pada Bab selanjutnya. Kontrak tersebut merupakan aturan
main (rule of the game) bagi para pihak yang bertindak sebagai kontraktan. Di
dalam kontrak-kontrak yang melibatkan Pemerintah sebagai salah satu
kontraktannya, maka karakteristik kontrak tersebut tidak sepenuhnya tunduk pada
hukum privat.
Salah satu aspek terpenting dalam kontrak yang melibatkan Pemerintah
adalah menyangkut imunitas (kekebalan) Pemerintah manakala digugat di muka
pengadilan. Demi melindungi keuangan Negara terdapat peraturan yang juga
berfungsi sebagai upaya untuk melindungi kekayaan Negara. Pengaturan ini
479
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
terdapat dalam Pasal 50 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara yang menyebutkan:
―Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap:
1 uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi
Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
2 uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah;
3 barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi
Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
4 barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah;
5 barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan
untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan‖.
Urgensi dikeluarkannya aturan tersebut tidak lain adalah sebagai landasan
hukum bagi pengelolaan keuangan negara. Prinsip larangan sita yang terkandung
dalam Pasal 50 tersebut merupakan penyimpangan dari prinsip sita sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 1131 jo. 1132 BW. 180 Implikasi larangan sita atas aset
negara dalam kaitan dengan kontrak pemerintah yang dibuat dan tunduk pada
hukum Indonesia membawa konsekuensi bahwa pemerintah kebal atas tuntutan di
muka hakim. Konsekuensi kekebalan dimaksud juga tetap mengikat meskipun
terdapat klausula yang menyatakan pelepasan terhadap aset negara dan sepenuhnya
tunduk pada hukum privat.181Pada prinsipnya apabila negara ingin melakukan
hubungan kontraktual dengan pihak lain yakni negara tidak boleh dirugikan.
Prinsip ini juga berlaku secara universal demi kepentingan melindungi asset
negara.
3. PSC Sebagai Instrumen Perlindungan Terhadap Kekayaan Negara
Berupa Minyak dan Gas Bumi
Sebagaimana yang telah disinggung pada bab sebelumnya, bahwa kontrak
pemerintah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kontrak yang dibuat
secara umum antara subjek hukum privat dikarenakan terdapat unsur publik.
Seringkali peran pemerintah sebagai double role yakni sebagai subjek hukum
publik dan subjek hukum privat, banyak menimbulkan permasalahan khususnya
manakala pemerintah melakukan kontraktualisasi. Kontrak yang dibuat oleh
pemerintah tersebut pada dasarnya merupakan kategori perbuatan hukum privat.
Hubungan hukum yang lahir merupakan hubungan hukum yang lahir dalam
lapangan hukum perdata meskipun di dalam kontrak pemerintah ini beraku juga
syarat-syarat khusus hukum publik dalam pembentukannya.182 Prinsip hukum yang
penting untuk diperhatikan dalam kontrak yang melibatkan pemerintah sebagai
180
181
182
480
Bahwa atas Pasal 50 UU No 1/ 2004 ini diajukan judicial review oleh Tedjo Bawono
dalam kasus sengketa sungai Brantas Surabaya, dimana Mahkamah Konstitusi dalam
Putusannya Nomor 46/PUU-VI/ 2008 menyatakan permohonan dimaksud TIDAK
DAPAT DITERIMA dengan pertimbangan bahwa pemohon tidak mengalami
kerugian konstitusional dan Hakim memandang permasalahan tersebut hanya pada
penerapan hukumnya.
Y. Sogar Simamora, Op.Cit., h. 103.
Ibid., h. 91.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
kontraktan adalah; pertama kewenangan pejabat dalam membuat dan
menandatangani kontrak baik pemenuhan terhadap prosedur dan tanggng gugatnya.
Kedua, hubungan hukum yang lahir merupakan hubungan hukum perdata dan oleh
karenanya jenis kontrak ini sepenuhnya tunduk pada prinsip dan norma hukum
kontrak dalam BW. Ketiga, kedudukan pemerintah sebagai kontraktan membawa
kosekuensi adanya larangan sita.183
4.
Karakteristik PSC
a. Pengertian dan Ruang Lingkup Production Sharing Contract
Kegiatan usaha minyak dan gas bumi terdiri atas kegiatan usaha
hulu dan kegiatan usaha hilir.184 Cakupan kegiatan usaha hulu adalah
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, sedangkan cakupan kegiatan usaha
hilir meliputi pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga.185
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 UU Migas bahwa kegiatan usaha
hulu dilaksanakan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 19 UU Migas. Adapun pengertian Kontrak Kerja
Sama berdasar Pasal 1 angka 19 UU Migas adalah Kontrak Bagi Hasil atau
bentuk kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang
lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Dalam UU Migas tidak disebutkan pengertian
mengenai Kontrak Bagi Hasil/Production Sharing Contract, dus hanya
menyebutkan bahwa PSC merupakan salah satu bentuk dari Kontrak Kerja
Sama dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Namun ketentuan
Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2004 tentang Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi memuat pengertian mengenai Kontrak
Bagi Hasil yaitu, suatu bentuk kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha
hulu berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi. Dengan demikian,
Kontrak Bagi Hasil/Production Sharing Contract merupakan instrumen
yang digunakan oleh pemerintah dalam penyelenggaraan kegiatan usaha
minyak dan gas bumi, khususnya kegiatan usaha hulu.
Kontrak Bagi Hasil merupakan sebuah government contract yang
artinya bahwa pemerintah merupakan subjek dalam kontrak186, dan
merupakan sebuah regulated contract, yaitu bahwa telah ditentukan
mengenai klausula-klausula yang harus ada dalam Kontrak Bagi Hasil.
Pengaturan mengenai klausul yang harus ada dalam Kontrak Bagi Hasil
terdapat dalam UU Migas, Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2002
tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP
BP Migas) jo. Perpes 95/2012 jo. Perpres 9/2013, dan Peraturan
Pemerintah No. 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi (PP Kegiatan Usaha Hulu Migas) jo. Peraturan Pemerintah No.
183
Ibid., 105.
Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, LN tahun 2001
No. 136, TLN No. 4152, ps. 5.
Ibid.
Y. Sogar Simamora, op. cit., h. 55.
184
185
186
481
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
34 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 35 tahun
2004.
Dalam Kontrak Bagi Hasil, pemerintah sebagai pemegang kuasa
pertambangan membentuk SKK Migas untuk melakukan pengendalian
Kegiatan Usaha Hulu di bidang minyak dan gas bumi.187 SKK Migas
adalah suatu unit satuan kerja di bawah naungan Menteri ESDM yang
menggantikan fungsi BP Migas yang diberi wewenang untuk
melaksanakan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kontrak
kerja sama.188 Dalam hal ini SKK Migas mempunyai tugas utama untuk
menandatangani dan melakukan pengawasan dan pengendalian
pelaksanaan Kontrak Bagi Hasil dengan Badan Usaha dan Badan Usaha
Tetap dalam satu wilayah kerja.189
Sebagai sebuah perjanjian untuk mengambil dan mengelola
kekayaan negara, UU Migas mengharuskan setiap Kontrak Kerja Sama
yang telah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Repulik Indonesia (DPR-RI).190 Pemberitahuan
ini merupakan sebuah wujud partisipasi rakyat dalam pengendalian
kegiatan eksplorasi dan eksplorasi migas oleh pemerintah sebagai
pemegang kuasa pertambangan. Namun partisipasi rakyat secara langsung
tersebut relatif kecil karena DPR hanya dapat melakukan fungsi
pengawasan pasca Kontrak Kerja Sama ditandatangani namun tidak
terlibat dalam proses awal sampai tahap penandatanganan.
Lawan kontrak dari SKK Migas dalam Kontrak Bagi Hasil disebut
Badan Usaha dan Badan Usaha Tetap. Pengertian Badan Usaha adalah
perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat
tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Badan Usaha dalam hal ini bisa
berwujud badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,
koperasi/usaha kecil, ataupun badan usaha swasta. Sedangkan pengertian
Badan Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan
hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Indonesia dan wajib
mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik
Indonesia. Dalam Production Sharing Contract ini, setiap Badan Usaha
atau Badan Usaha Tetap hanya diberikan satu wilayah kerja. Namun jika
Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap mengusahakan beberapa wilayah
kerja, maka UU Migas mensyaratkan agar dibentuk badan hukum yang
terpisah untuk setiap wilayah kerja.
187
188
189
190
482
Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, op. cit., ps. 4.
Didik S. Setiyadi, op. cit., h. 38.
Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi, LN tahun 2002 No. 81, TLN No. 4216, ps. 15.
Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, op. cit., ps. 11
ayat (2).
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
Kontrak Bagi Hasil memiliki jangka waktu selama 30 tahun
(terdiri atas jangka waktu eksplorasi dan jangka waktu eksploitasi) dan
dapat diperpanjang dengan jangka waktu perpanjangan paling lama 20
tahun untuk setiap perpanjangan (jangka waktu untuk kegiatan eksplorasi
adalah selama 6 tahun, dan dapat diperpanjang hanya satu kali paling lama
4 tahun berdasarkan permintaan dari kontraktor selama kontraktor telah
memenuhi kewajiban minimun menurut Kontrak Kerja Sama yang
persetujuannya dilakukan oleh SKK Migas).191 Permohonan perpanjangan
kontrak tersebut diajukan oleh kontraktor terhadap Menteri ESDM melalui
SKK Migas. SKK Migas berperan dalam mengevaluasi permohonan
perpanjangan kontrak sebagai bahan pertimbangan Menteri ESDM dalam
memberikan persetujuan atau penolakan, hal mana pertimbanganpertimbangan tersebut antara lain mengenai potensi cadangan minyak
dan/atau gas bumi dari wilayah kerja yang bersangkutan, potensi atau
kepastian pasar/kebutuhan, dan kelayakan teknis/ekonomis. Permohonan
perpanjangan kontrak dapat disampaikan paling cepat 10 tahun dan paling
lambat 2 tahun sebelum kontrak berakhir, namun dalam hal kontraktor
telah terikat dengan kesepakatan jual beli gas bumi, kontraktor dapat
mengajukan perpanjangan kontrak lebih cepat dari batas waktu.
b. Hak dan Kewajiban Para Pihak
Sebagai sebuah perjanjian timbal balik, Production Sharing Contract
melekatkan hak dan kewajiban kepada para pihak. Apa yang menjadi hak
bagi kontraktor adalah kewajiban dari dari SKK Migas, begitupun
sebaliknya, apa yang menjadi hak dari SKK Migas merupakan sebuah
kewajiban bagi kontraktor. UU Migas mengatur mengenai klausul hak dan
kewajiban para pihak yang wajib ada dalam sebuah Kontrak Kerja Sama,
yaitu:
a. Penerimaan negara;
b. Wilayah kerja dan pengembaliannya;
c. Kewajiban pengeluaran dana;
d. Perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan gas bumi;
e. Jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
f. Penyelesaian perselisihan;
g. Kewajiban pemasokan minyak dan/atau gas bumi untuk kebutuhan
dalam negeri;
h. Berakhirnya kontrak;
i. Kewajiban pascaoperasi pertambangan;
j. Keselamatan dan kesehatan kerja;
k. Pengelolaan lingkungan hidup;
l. Pengalihan hak dan kewajiban;
m. Pelaporan yang diperlukan;
191
Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi, LN tahun 2004 No. 123, TLN No. 4435, ps. 27.
483
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
n.
o.
p.
ISSN : 2303-3274
Rencana pengembangan lapangan;
Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
Pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak
masyarakat adat;
q. Pengutamaan penggunaan tenaga kerja indonesia.
Salim H. S. menyajikan kewajiban kontraktor menurut ketentuan section V
Production Sharing Contract antara lain:192
1. Menyediakan semua biaya yang diperlukan untuk membeli atau
menyewa peralatan dan material;
2. Menyediakan segala bantuan teknis, termasuk tenaga kerja asing;
3. Menyediakan biaya lain untuk pelaksanaan program kerja termasuk
pembayaran kepada pihak ketiga (asing) yang memberikan jasa
kepada kontraktor;
4. Bertanggung jawab atas persiapan dan pelaksanaan program kerja
yang akan dilakukan dengan cepat dan dengan menggunakan metode
ilmiah;
5. Melakukan peninjauan tentang kondisi lingkungan pada awal
kegiatan;
6. Mengambil tindakan-tindakan pencegahan untuk melindungi sistem
ekologi, pelayaran, penangkapan ikan dan mencegah meluasnya
pencemaran laut, sungai-sungai, dan lain-lain, sebagai akibat langsung
dari pelaksanaan operasi;
7. Mengeluarkan semua peralatan yang digunakan dari wilayah kontrak
sesuai ketentuan SKK Migas dan Pemerintah Indonesia. Alat ini baru
dikeluarkan setelah masa kontrak berakhir;
8. Melakukan pemulihan semua lokasi pengeboran sesuai dengan
Peraturan Pemerintah, yang bertujuan untuk mencegah risiko terhadap
kehidupan manusia dan harta benda atau lingkungan;
9. Memasukkan anggaran tahunan biaya operasional, taksiran biaya
pemulihan dan pembebasan lokasi untuk setiap sumur eksplorasi
dalam program kerja. Semua biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor
dalam proses pembebasan sumur-sumur tersebut dan pemulihan lokasi
pengeboran akan dibayar sebagai biaya operasional;
10. Memasukkan rencana konstruksi untuk setiap penemuan secara
komersial, program pemulihan dan pembebasan lokasi bersama sesuai
dengan prosedur pendanaan setiap program;
11. Menyerahkan semua salinan data geologi, geofisika, pengeboran,
sumur minyak dan produksi dan data lainnya kepada Pemerintah
Indonesia melalui SKK Migas. Kontraktor dapat memegang salinan
data asli yang harus disetujui oleh Pemerintah Indonesia;
12. Menyiapkan dan melaksanakan rencana-rencana dan programprogram untuk pelatihan di bidang industri dan pendidikan di
Indonesia bagi semua kelompok kerja;
192
484
Salim H. S., op. cit., h. 346.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
13. Menyetujui penjualan dan pengiriman sejumlah minyak kepada
Pemerintah Indonesia sebanyak 25% dari total bagi hasil yang
diterima kontraktor, penjualan ini baru dilakukan setelah produksi
secara komersial;
14. Menggunakan barang-barang dan jasa yang diproduksi di Indonesia
atau yang dibuat oleh orang Indonesia;
15. Membayar pajak pendapatan kepada Pemerintah Indonesia, termasuk
pajak akhir dari keuntungan yang diperoleh kontraktor;
16. Menaati semua peraturan yang berlaku di Indonesia;
17. Tidak dibenarkan untuk mengungkapkan kepada pihak ketiga tentang
data geologi, geofisika, petrofisika, teknis, sumur minyak, dan data
lainnya tanpa izin tertulis dari Pemerintah Indonesia.
18. Kontraktor akan memberikan dana minimum sebesar 75.000 ribu
dolar Amerika sebelum program kerja tahunan dimulai kepada SKK
Migas.
Sedangkan hak kontraktor dalam model kontrak Production Sharing
Contract yang disajikan oleh Salim H. S. adalah:193
1. Menjual, memberikan, atau memindahkan semua atau sebagian hakhak dan wewenang-wewenangnya menurut kontrak kepada
perusahaan cabang dengan syarat harus ada izin tertulis dari SKK
Migas;
2. Menjual, memberikan, atau memindahkan semua atau sebagian hakhak dan wewenang-wewenangnya menurut kontrak ini kepada pihakpihak ketiga selain perusahaan cabang dengan izin tertulis dari SKK
Migas dan Pemerintah Indonesia;
3. Melakukan pengawasan terhadap semua alat-alat yang disewa;
4. Memasukkan dan mengeluarkan fasilitas-fasilitas dari wilayah
kontrak;
5. Menggunakan dan megakses semua data dan informasigeologi,
geofisika, pengeboran, sumur minyak dan produksi pada wilayah
kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Semua biaya
untuk mendapatkan data dan informasi tersebut akan disediakan oleh
kontraktor, dan termasuk biaya operasional;
6. Menjual dan mengekspor minyak mentahnya ke luar negeri;
7. Menunjuk perwakilannya di Jakarta.
Kewajiban SKK Migas sesuai ketentuan Section V dari model kontrak
Production Sharing Contract adalah:194
1. Bertanggung jawab terhadap manajemen operasional;
2. Membantu dan memperlancar pelaksanaan program kerja kontraktor
dengan menyediakan fasilitas, pegawai, dan persediaan, tidak terbatas
pada penyediaan atau pembuatan visa, izin kerja, transportasi,
perlindungan keamanan, dan hiburan yang mungkin diminta oleh
193
194
Ibid., h. 348.
Ibid., h. 349.
485
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
kontraktor, dimana biaya untuk menyediakan hal itu akan ditanggung
oleh kontraktor sebagai biaya operasional;
3. Membebaskan kontraktor dari pajak-pajak lain, seperti PPN, Pajak
Pemindahan, Pajak Ekspor Impor bahan baku, dan peralatan yang
dibawa ke Indonesia;
4. Tidak diperkenankan untuk menyampaikan kepada pihak ketiga
semua data asli dari operasi pengeboran minyak, seperti data geologi,
geofisika, petrofisika, teknis, sumur minyak, dan data lainnya tanpa
izin tertulis dari kontraktor;
5. Menyetujui penggunaan aset oleh pihak ketiga dengan syarat harus
ada izin tertulis dari kontraktor.
Sedangkan hak dari SKK Migas adalah:195
1. Menerima hasil produksi minyak dan gas bumi, sesuai yang telah
ditetapkan antara SKK Migas dengan kontraktor;
2. Menerima pajak pendapatan dan pajak akhir tahun dari kontraktor.
Adapun secara umum hak pembayaran yang diterima oleh negara
(melalui SKK Migas) dari KKS adalah sebagai berikut:196
1. Pembayaran pajak yang merupakan penerimaan negara; dan
2. Pembayaran bukan pajak yang merupakan penerimaan negara.
Penerimaan negara yang berupa pajak, terdiri atas:
1. pajak-pajak;
2. bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai;
3. pajak daerah dan distribusi daerah.
Penerimaan negara bukan pajak, terdiri atas:
1. bagian negara, yaitu bagian produksi yang diserahkan oleh badan
usaha atau usaha tetap kepada negara sebagai pemilik sumber daya
minyak dan gas bumi;
2. iuran tetap, yaitu iuran yang dibayar oleh badan usaha atau badan
usaha tetap kepada negara sebagai pemilik sumber daya minyak dan
gas bumi sesuai luas wilayah kerja sebagai imbalan atas kesempatan
untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi;
3. iuran eksplorasi dan eksploitasi, yaitu iuran yang dibayarkan oleh
badan usaha atau badan usaha tetap kepada negara sebagai
kompensasi atas pengambilan kekayaan alam minyak dan gas bumi
yang tak terbarukan;
4. bonus-bonus, yaitu penerimaan dari bonus-bonus penandatanganan.
Bonus kompensasi data, bonus produksi dan bonus-bonus dalam
bentuk apa pun yang diperoleh SKK Migas dalam rangka kontrak
Production Sharing.
195
196
486
Ibid., h. 350.
H. Salim H.S., 2004, Hukum Pertambangan Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h.
293.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
5. Klausula-Klausula yang Bersifat Melindungi Kekayaan Negara
Isi Kontrak merupakan apa yang disepakati oleh para pihak yang
dituangkan dalam klausula. Klausula kontrak pada prinsipnya terbagi ke dalam dua
kelompok, yaitu Klausula Pokok dan Klausula Penunjang. Klausula Pokok
merupakan klausula yang mengatur unsur yang esensial dalam suatu kontrak.
Klausula pokok ini mencerminkan jenis kontraknya. Klausula pokok lebih lanjut
dapat dikembangkan lebih detail tergantung kesepakatan para pihak.197
Klausula Penunjang yang lazim disebut dengan technical housekeeping
clause, merupakan klausula yang menunjang atau melengkapi klausula pokoknya.
Jika klausula pokok antara satu jenis kontrak dengan jenis kontrak yang lain
berbeda, maka klausula penunjang pada umumnya dijumpai dalam kebanyakan
kontrak.198 Klausula ini pada umumnya ada pada setiap jenis kontrak.
Dalam menyusun outline kontrak diperlukan pedoman, yaitu:
1. Sistematis, lengkap dan jelas;
2. One clause, one concept;
3. Setiap klausula ( Pasal ) harus diberi judul;
4. Terapkan Prinsip ―3P‘s‖ ( Predict, Provide, dan Protect );
5. Klausula penunjang ditempatkan di bagian akhir.
Mengenai Prinsip 3P‘s, dapat diterapkan pada saat proses perancangan
kontrak. Seorang Contract Drafter harus memegang Prinsip 3 P diatas agar kontrak
yang dibuat meminimalisir risiko terhindar dari perselisihan.
This process requires the drafter to articulate and reflect on the principles,
a process which may prevent future disputes. The book constantly emphasisez what
i call the three P’s of drafting :
Predict what may happen;
Provide for that contingency;, and
Protect your client with a remedy 199
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan klausula yang akan
dituangkan di dalam kontrak harus dapat mengakomodasi prinsip antara lain :
1. Memprediksi atau memikirkan persesilisihan apa saja yang akan terjadi
2. Menyediakan atau mengatur
3. Melindungi klien atau para pihak
a. Prinsip 3 P “Predict”
Klasula-klausula ini merupakan contoh dari Prinsip Predict.
 Relinquishment of areas
Klausula ini memuat mengenai syarat dan ketentuan pengembalian wilayah
kerja yang dieksploitasi oleh kontraktor. Hal ini juga sejalan dengan
ketentuan Pasal 16 UU Migas bahwa badan usaha atau bentuk usaha tetap
197
198
199
Y. Sogar Simamora, op.cit., h.289.
Ibid., h.290.
Scott J. Burnham, Drafting Contracts second edition, Michie Company, Virginia,
1993, p. 2.
487
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
wajib mengembalikan sebagian wilayah kerjanya secara bertahap atau
seluruhnya kepada Menteri.
 Valuation of crude oil and natural gas
Hasil dari eksploitasi yang berupa minyak dan/atau gas bumi akan dinilai
dengan Net Realized Price FOB Indonesia. Hal ini untuk menjaga harga
minyak dan/atau gas bumi milik negara yang telah dihasilkan oleh
kontraktor.
 Termination
Dalam klausula termination, sebuah Kontrak Bagi Hasil tidak bisa diakhiri
selama 3 tahun pertama sejak effective date. Namun setelah 3 tahun, jika
wilayah tersebut ternyata tidak berpotensi maka kontraktor berhak untuk
meminta pengakhiran kontrak.
Selain itu jika dalam jangka waktu kontrak, kontraktor tidak bisa
melakukan apa yang menjadi kewajibannya, maka BP Migas berhak untuk
memutus kontrak agar kemudian wilayah kerja tersbut bisa dikelola oleh
kontraktor lainnya. Hal ini guna mengoptimalkan hasil minyak dan gas
bumi dalam sebuah wilayah kerja.
 Consultation and Arbitration
Melihat para pihak yang berkontrak, kontrak internasional dapat
digolongkan ke dalam empat bentuk sebagai berikut :
1. antara perusahaan dengan Perusahaan asing;
2. antara negara dengan perusahaan asing;
3. antara negara dengan Negara;
4. antara organisasi internasional dengan perusahaan.
Dalam hal kontrak internasional antara negara dengan perusahaan asing
sebagai Kontraktor, dalam Kontrak Production Sharing, terdapat dua subjek
hukum dengan kapasitas yang berbeda. Negara adalah subjek hukum yang
sempurna dan mempunyai kekuasaan untuk membuat dan melaksanakan hukum
serta mengubah hukum. Kedudukan yang tidak seimbang ini akan berdampak pada
kedudukan hukum para pihak, masalah hukum yang berlaku, dan masalah
penyelesaian sengketa.
Dalam Kontrak Production Sharing yang dijadikan penelitian ini
menggunakan Klausula Penyelesaian Sengketanya dengan menggunakan
Penyelesaian Sengketa Alternatif yaitu Arbitrase. Para Pihak di dalam Pasal 11
menyebutkan bahwa segala perselisihan yang mungkin terjadi diselesaikan terlebih
dahulu dengan jalan musyawarah, baru kemudian jika masih terjadi perbedaan
interpretasi dan pelaksanaan yang kurang tepat dalam melaksanakan klausula yang
ada di dalam kontrak, serta tidak dapat diselesaikan maka diselesaikan
menggunakan Proses Arbitrase. Sifat Putusan dari Arbitrase adalah final dan tidak
dapat dilakukan lagi upaya hukumnya dalam hal keberatan dalam Sidang Arbitrase
pertama kali
Klausula mengenai penyelesaian sengketa ini merupakan implementasi
dari Klausula yang harus diprediksi. Prinsip 3P yang ketiga yaitu Prinsip Predict.
Penyelesaian sengketa diselesaikan melalui forum arbitrase dengan tiga arbiter
488
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
dengan menggunakan International Chamber of Commerce (ICC), setelah para
pihak gagal mencapai kesepakatan dengan musyawarah.Tercantum dalam section
11 butir 5.
b. Prinsip 3 P “Provide”
Klausula dalam section 6 ini merupakan salah satu implementasi Prinsip
3P yang Provide, artinya dapat dilihat bahwa di dalam Kontrak Production
Sharing diatur mengenai batasan- batasan mengenai biaya dalam kegiatan dan
penanganan kegiatan Eksplorasi dan kegiatan Eksploitasi yang dilakukan oleh
Kontraktor.
 Terms and commerciality of contract area
Sebagai sebuah kontrak untuk mengelola sebuah wilayah yang
memiliki potensi minyak dan gas bumi, klausula terms merupakan sebuah
klausula preventif. Karena pada hakikatnya, wilayah tersebut adalah milik
negara, dan pemerintah adalah sebagai pemegang kuasa untuk mengelola
bersama kontraktor.
Section 6 Recovery of Operating Cost and Handling of Production
Adanya imbalan atas kewajiban-kewajiban, yaitu hak-hak yang
diberikan kepada kontraktor termasuk hak mendapatkan kembali (cost
recovery) dan pembagian keuntungan serta hak untuk menjual,
memindahkan dan melepaskan semua atau sebagian dari kewajiban dan
haknya kepada afiliasinya atau pihak ketiga. Bersamaan dengan klausul
manajemen, pengembalian biaya dan pembagian hasil keuntungan berupa
produksi merupakan kijawa dari Kontrak Production Sharing. Tata cara
klaim pengembalian dijabarkan cukup rinci dalam naskah kontrak,
termasuk tata pembukuan dan klasifikasi biaya dan jumlah yang dapat
diklaim setiap tahun. Kontraktor mendapatkan penggantian atas biaya
kapital dan operasional yang telah dibelanjakan dalam bentuk produksi.
Mengenai klausul cost recovery ini, sejak tahun 2005 muncul
wacana bahwa sejalan dengan menurunnya produksi minyak dan
meningkatnya harga minyak, adanya penggelembungan biaya pemulihan
(cost recovery). Berdasarkan data menunjukkan bahwa meskipun produksi
minyak cenderung menurun namun kenaikan harga minyak telah
meningkatkan produk sekitar hampir dua kali.200
Klausula lain di Kontrak PSC ini diatur juga mengenai jangka
waktu, wilayah kerja dan terminasi, persyaratan komersial meliputi
kewajiban kontraktor membayar bonus, menyiapkan dan melaksanakan
rencana kerja dan anggaran dengan kaidah-kaidah teknik yang baik dan
kelestarian lingkungan dan mengutamakan produk lokal. Jangka waktu
kontrak dibagi dalam dua tahapan, yakni tahapan eksplorasi yang berjalan
antara 6 sampai dengan 10 tahun dan tahapan produksi yang dimulai pada
200
Madjedi Hasan,Kontrak Minyak dan Gas Bumi berazas Keadilan dan Kepastian
Hukum, Fikahati Aneska, Jakarta, 2009, h. 223
489
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
saat Wilayah Kerja memperoleh status komersial dan berakhir sampai
dengan masa kontrak.
 Books and account and audits
Pembukuan, neraca, dan pemeriksaan keuangan resmi diperlukan
sebagai acuan dalam operating cost dan juga dalam cost recovery.
c.
Prinsip 3 P “Protect”
Dalam Kontrak Production Sharing, terdapat klausula :
Section 5 Rights and obligations of the parties
Pelaksanaan kewajiban kontraktual para pihak dalam Kontrak
Production Sharing dituangkan dalam satu klausula yakni terdapat dalam
section 5 mengenai Hak dan Kewajiban Para Pihak. Kontraktor berkewajiban
dalam hal pertanggungjawaban terkait dengan persiapan dan pelaksanaan
Eksplorasi dan kegiatan eksploitasi yang dapat mempengaruhi ekosistem
hayati di tempat diadakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan
Gas Bumi.
Adanya kewajiban Kontraktor yang harus dipenuhi yaitu segera
setelah dimulainya produksi komersial kontraktor wajib menyerahkan
sebagian keuntungan yang diterimanya berupa produksi minyak yang
jumlahnya dihitung dengan memperhatikan produksi minyak dan Konsumsi
BBM. Seperti yang terscantum dalam Pasal 22 UU Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi.
Pasal 22
(1) BadanUsaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling
banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi
Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri.
Wilayah kerja dapat merupakan pilihan kontraktor, yang ditawarkan dalam
lelang atau bagian dari wilayah yang telah dilepaskan. Luas wilayah kerja
umumnya dihubungkan dengan potensi geologi ( geological prospectivity ) yakni
makin tinggi potensi wilayah kerja makin kecil. Terkait dengan wilayah kerja ini
ialah kewajiban kontraktor melakukan kegiatan usaha eksplorasi. Jangka waktu
untuk melaksanakan kegiatan usaha eksplorasi beragam dari 3 sampai dengan 6
tahun, yang dapat diperpanjang. Usaha eksplorasi merupakan kegiatan yang
berisiko dan mahal yang terdiri dari dua atau lebih fase dan dihubungkan dengan
komitmen finansial.201
Pelepasan wilayah pada akhir setiap fase eksplorasi dimaksudkan untuk
memacu kontraktor mempercepat pelaksanaan kegiatan usaha eksplorasi. Jika
berhasil menemukan cadangan yang dapat dikembangkan, maka kontrak
dilanjutkan dengan masa eksploitasi yang dapat berjalan sampai dengan 30 tahun.
 Work program and budget
201
490
Madjedi Hasan,op.cit., h. 67.
Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak dan Gas Bumi Melalui Kontrak
Klausula ini memuat anggaran yang akan dikeluarkan oleh kontraktor.
Dalam klausula ini juga disebutkan mengenai sebuah performance bond
yang wajib dikeluarkan oleh pihak kontraktor.
C. Penutup
1. Bentuk perlindungan hukum terhadap aset negara terkait dengan
pengelolaan minyak dan gas bumi antara lain:
1) Pemerintah memiliki hak imunitas (kekebalan) manakala digugat di
muka pengadilan dalam hal mana terjadi penyitaan terhadap asset
negara. Hal ini merupakan upaya perlindungan hukum terhadap asset
Negara demi terwujudnya pemenuhan kebutuhan publik yang
digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Hak imunitas
dimaksud juga dapat befungsi sebagai bargaining position bagi
negara sebelum menandatangani Production Sharing Contract.
2) Adanya ketentuan mengenai penerimaan negara, pungutan negara,
dan bonus yang diimplementasikan dalam ketentuan bagi hasil
dalam model kontrak Production Sharing Contract.
3) Adanya ketentuan bagi kontraktor untuk medistribusikan sebagian
dari bagi hasil produksi guna pemenuhan kebutuhan minyak dan gas
bumi dalam negeri.
2. Production Sharing Contract merupakan instrumen Pemerintah dalam
mengadakan perjanjian pengelolaan Minyak dan Gas Bumi dengan
kontraktor, khususnya kegiatan usaha hulu. Dalam UU Migas tidak
disebutkan pengertian mengenai Kontrak Bagi Hasil/Production Sharing
Contract, dimana hanya menyebutkan bahwa PSC merupakan salah satu
bentuk dari Kontrak Kerja Sama dalam kegiatan usaha hulu minyak dan
gas bumi. Sebagai suatu proteksi terhadap pemerintah, di dalam UU Migas
telah mengatur mengenai klausula minimal yang harus ada dalam sebuah
model kontrak Production Sharing Contract. Klausula-klausula yang
terpenting adalah klausula Valuation of crude oil and natural gas, klausula
Relinquishment of areas, dan klausula Recovery of Operating Cost and
Handling of Production.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 2007.
Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta.
Didik S Setyadi, 2007, Aspek Hukum Administrasi Eksplorasi dan Eksploitasi
Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, Nusantara Makmur, Surabaya.
491
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
H. R. Daeng Naja, 2006, Contract Drafting, Edisi Revisi-Cetakan Keuda, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Madjedi Hasan, 2009, Kontrak Minyak dan Gas Bumi berazas Keadilan dan
Kepastian Hukum, Fikahati Aneska, Jakarta.
P.S. Atiyah, 1996, An Introduction to the Law of Contract, Oxford University
Press, New York.
R. Subekti, 1979, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung.
Scott J. Burnham, 1993, Drafting Contracts second edition, Michie Company,
Virginia.
Y. Sogar Simamora, 2009, Prinsip Hukum Kontrak Dalam Pengadaan Barang dan
Jasa Oleh Pemerintah, Laksbang PRESSindo, Yogyakarta.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50a2367d37e5c/mk--bp-migasinkonstitusional
Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, LN tahun 2001
No. 136, TLN No. 4152.
Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi, LN tahun 2004 No. 123, TLN No. 4435.
Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi, LN tahun 2002 No. 81, TLN No. 4216.
Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas
Dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi.
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pengelolaan
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 002/ PUU-I/ 2003
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VI/ 2008
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012
492
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
BIOGRAFI PENULIS
Moh. Risnain, SH., MH. Kandidat Doktor Ilmu Hukum Unversitas Padjadjaran
Bandung ini lahir di Bima 30 Desember 1980, menyelesaikan Sarjana Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Mataram tahun 2003. Tahun 2006 menyelesaikan
studi Magister Hukum di Program Pascasrjana UNPAD dengan Konsentrasi
Hukum Internasional. Setelah tamat S2 ia mengajar di sebagai Dosen Luar Biasa
pada Fakultas Hukum Universitas Sultan ageng Tirtayasa Banten (2006-2007).
Pada tahun yang sama ia juga mengajar sebagai Dosen Luar Biasa pada FH
Unram (2007). Sejak Tahun 2008 sampai awal 2011 menjadi Tenaga Ahli DPR
RI
yang
membidangi
Hubungan
Internasional,
Pertahanan
dan
Komunikasi/Komisi I DPR RI (2008-2009), kemudian ditugaskan mendampingi
anggota DPR RI yang duduk di Komisi IX (Komisi Kesehatan dan
Ketenagakerjaan). Awal 2011 diangkat menjadi tenaga pengajar Hukum
Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Mataram. Penulis dapat
dihubungi di Nomor : 081321386105, email : [email protected]
Enrico Simanjuntak, S.H. : Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Serang, lahir
di Dolok Sanggul, 27 Januari 1981, Strata Satu dari Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara (USU), Medan. Sedang menempuh pendidikan Strata Dua di
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, konsentrasi Hukum Tata Negara,
saat ini sedang merampungkan tesis berjudul : ―Perluasan Kewenangan
Peradilan Administrasi Dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum‖. Beberapa
tulisan Penulis pernah dimuat di Jurnal Varia Peradilan, Komisi Yudisial,
Hukumonline dan beberapa media lain.
Dr. Candra Hayatul Iman, SH.,MH. lahir di Karawang, 24 Agustus 1972,
alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 1991-1995,
menempuh pendidikan Strata dua pada Sekolah Tonggi Ilmu Hukum IBLAM
Jakarta 2001-2003, dan Program doktoral pada Universitas Islam Bandung. Saat
ini menjabat sebagai Dekan Fakults Hukum Universitas Singaperbangsa
Karawang. Alamat rumah, Perum Graha Karawang A8 No. 2 Kabupaten
Karawang.
Dr. Ismail Rumadan, M.H, Alumni program doktor Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung 2009, lahir di Maluku tepatnya di
Desa Kwaos, 7 Agustus 1976. Bekerja pada Pusat Peneliti Hukum dan Peradilan
Badan Litbang Diklat (BALITBANGDIKLAT) Mahkamah Agung RI, tercatat
sebagai Dosen Program Pascasarjana Universitas Jayabaya dan Universitas
Nasional Jakarta. Alamat: Puslitbang Hukum dan Peradilan MA RI, Lt. 10 Kantor
Sekretarian Mahkamah Agung RI, Jalan. A. Yani Kav. 58 Cempaka Putih Timur
- Jakarta Pusat. Tlp/HP : 021-29079286 / 081221951976 e-mail :
[email protected].
DR. Asril Sitompul, S.H., LL.M, Lahir di Natal, Sumatera Utara 7 Desember
1952 , Sarjana Hukum (S.H), Universitas Islam Sumatera Utara, Medan.
Menyelesaikan Master of Law (LL.M), Southern Methodist University, Dallas,
Texas – USA dan Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Padjadjaran,
Bandung. Tercatat sebagai Dosen pada Program Magister Hukum, STHG –
Tasikmalaya, Dosen pada Fakultas Hukum, Universitas Maranatha – Bandung
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
dan Dosen pada Institute Manajemen Telkom, International Class. Karya Ilmiah
yang diterbitkan: Pasar Modal, Penawaran Umum dan Permasalahannya, Citra
Aditya Bakti, Bandung (1996). Due diligence dan Tanggungjawab Lembaga
Penunjang pada Proses Penawaran Umum, Citra Aditya Bakti, Bandung (1999).
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Citra Aditya Bakti,
Bandung (1999). Reksadana, Pengantar dan Pengenalan Umum, Citra Aditya
Bakti, Bandung (2000). Hukum Internet, Pengenalan Mengenai Masalah Hukum
di Cyberspace, Citra Aditya Bakti, Bandung (2001). Voltaire : Candide
(Terjemahan), BooksTerrace & Library, Bandung (2005). Hukum
Telekomunikasi Indonesia, BooksTerrace & Library, Bandung (2005). Insider
Trading, Kejahatan di Pasar Modal, BooksTerrace & Library, Bandung (2007).
Agus Budi Susilo, SH., MH, Pekerjaan : saat ini sebagai Hakim Pengadilan Tata
Usaha Negara Bandung. Pendidikan : S-1 (ilmu hukum) lulus dari FH Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta tahun 1999, S-2 (Magister Hukum) lulus dari FH
Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2004, dan sejak tahun 2010 sampai saat
ini sebagai mahasiswa S-3 (Doktor Ilmu Hukum) di FH Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
Dr. Dewi Kania Sugiharti, S.H.MH, Lahir di Bandung 13 Oktober 1962.
Alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, 1986 menyelesaikan
pendidikan S2 dan S3 pada Program Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran Bandung. Tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran Bandung dengan Mata Kuliah yang diampu adalah
Hukum Pajak, Hukum Keuangan Negara, Kapita Selekta Hukum Pajak dan
Hukum Administrasi Negara. Beberapa penelitian yang telah dilakukan antara
lain, Kedudukan & Kewenangan Pejabat Publik Dalam Praktek Penyelenggaraan
Pemerintahan Bidang Keuangan (Juni 2013), Kajian terhadap Penetapan Tandan
Buah Segar (TBS) Sawit Menjadi Barang Kena Pajak dan Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai terhadap Tandan Buah Segar (TBS) Sawit (Okt 2012),
Tanggung Jawab Rektor sebagai Kuasa pengguna Anggaran dalam Pengelolaaan
Keuangan pada PTN yang menyelenggarakan Pengelolaan Keuangan BLU
(Agustus-Desember 2012), Penyusunan Kajian Akademik dan Raperwal PBB
Kota Bandung (2012) dan lain-lain. Bebrapa publikasi yang telah diterbitkan
antara lain adalah, Kontribusi Fungsi Pajak terhadap Pencegahan Pencemaran
Lingkungan
(Unpad
Press
2009)
serta
pengalaman
menjadi
narasumber/pemakalah pada beberapa seminar Naisonal. Alamat Jl.Terusan Pasir
Koja
Gg.
Pasantren
87/197C
Bandung.
Contack
person
0818206722/085317283255, e-mail: [email protected]
Faizal Kurniawan,SH.,LL.M, Dosen Tetap Fakultas Hukum Univeritas
Airlangga Departemen Hukum Perdata, menyelesaikan Master of Laws (LL.M)
pada Program International Business Law and Globalization, Utrecht University,
The Netherlands. Email. [email protected]. Tulisan ini merupakan bagian dari
penelitian yang dilakukan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga dengan
menggunakan sumber dana DIPA tahun 2009 yang dilakukan oleh Penulis
bersama Sujayadi, S.H., LL.M. dibantu oleh Asisten Peneliti Rangga Fitriono,
S.H., Diaz Wiriardi, S.H., M.H., dan Gilbert Trenggana, S.H.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
PEDOMAN PENULISAN JURNAL
Jurnal Hukum dan Peradilan adalah media yang diterbitkan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, terbit 3
(tiga) kali dalam setahun (Maret, Juli dan November). Jurnal Hukum dan Peradilan
menerima sumbangan naskah di bidang Penelitian dan Pengembangan Hukum dan
Peradilan yang belum pernah dipublikasikan di media lain dengan ketentuan:
1. Naskah dikirim dalam bentuk karya tulis ilmiah seperti hasil penelitian
lapangan, analisis/tinjauan putusan lembaga peradilan, kajian teori, studi
kepustakaan serta gagasan kritis konseptual yang bersifat obyektif, sistematis,
analitis, dan deskriptis.
2. Penulisan hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas,
sederhana dan mudah difahami dan tidak mengandung makna ganda.
3. Naskah harus orisinil dengan dibuktikan pernyataan akan keorisinilan naskah
tersebut oleh penulis.
4. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sepanjang
15-25 halaman. Naskah diketik diatas kertas A4 menggunakan huruf Time
New Roman ukuran 12, spasi 1,5. Naskah harus disertai abstrak dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris, antara 100-150 kata.
5. Sistematika penulisan hasil penelitian harus mencakup: Judul, Nama Penulis,
Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa Indonesia dan bahasa Inggris), Latar
Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Metode Penelitian, Hasil penelitian
dan Pembahasan, Kesimpulan, daftar Pustaka.
6. Sistematika penulisan analisis putusan, kajian teori, wacana hukum harus
mencakup: Judul, Nama Penulis, Nama Instansi Penulis, Abstrak (berhasa
Indonesia dan bahasa Inggris), Pendahuluan, Pembahasan (langsung dibuat
sub-sub judul sesuai dengan permasalahan yang dibahas), Kesimpulan, Daftar
Pustaka.
7. Penulisan daftar pustaka secara alfabetis mengikuti Turabian Style dengan tata
cara penulisan sebagai berikut:
Buku.
Weiss, Daniel A. Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence,
Seattle: University of Washington Press, 1962.
Makalah.
Knight, Robin. ―Poland‘s Feud in the Family.‖, New York, 10 September
1990, 52-53, 56.
Artikel Jurnal.
Sommer, Robert. ―The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for
Human Characteristics.‖ Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988):
665-683.
Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan.
Tillich, Paul. ―Being and Love‖ In Moral Principles of Action, ed. Ruth N.
Anshen, 661-72. New York: Harper & Bros., 1952.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Internet
Rost, Nicolas, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl. ―A Global risk
assessment model for civil wars.‖ Social Science research 38, no. 4
(December 2009): 921-933. http//www.sciencedirect.com/science/ article/
B6WX84WMM7CY1/2/aa8571448b4774e8831a (accessed October 15, 2009)
8. Daftar pustaka hendaknya dirujuk dari edisi paling mutakhir.
9. Penulisan kutipan menggunakan model catatan kaki (footnotes) mengikuti
turabian Style dengan tata cara penulisan sebagai berikut:
Buku.
Daniel A. Weiss, Oedipus in Nottingham: D.H. Lawrence (Seattle: University
of Washington Press, 1962), 62.
Makalah.
Robin Knight, ―Poland‘s Feud in the Family.‖,U.S. New and Work Report, 10
September 1990, 52.
Artikel Jurnal.
Robert Sommer, ―The Personality of Vegetables: Bonatical Metaphors for
Human Characteristics.‖ Journal of Personality 56, no. 4 (December 1988):
670.
Karangan Esai dalam Buku Kumpulan Karangan
Paul Tillich, ―Being and Love,‖ in Moral Principles of Action, ed. Ruth N.
Anshen (New York): Harper & Bros., 1952), 663.
Internet
Nicolas Rost, Gerald Schneider, and Johannes Kleibl, ―A global risk
assessment model for civil wars,‖ Social Science Research 38, no.4
(December
2009):
922,
http://www.sciencedirect.com/science/
B6WX84WMM7CY1/2/aa85435453ae88c432a
10. Naskah kiriman dalam bentuk softcopy atau hardcopy yang dilampiri dengan
biodata singkat (CV) penulis, copy NPWP penulis, alamat email, No. telp/hp,
naskah dapat dikirim via email ke e-mail redaksi jurnal atau puslitbang kumdil
Mahkamah Agung RI
11. Naskah dapat dikirim atau diserahkan secara langsung, paling lambat 1 (satu)
bulan sebelum penerbitan kepada:
Redaksi Jurnal Mahkamah Agung
Gedung Skretariat Mahkamah Agung RI
Jl. Jend. A. Yani Kav. 58 Lt. 10 Cempaka Putih Jakarta Pusat 13011 email:
[email protected] atau
[email protected]
12. Naskah yang belum memenuhi format dan ketentuan diatas tidak akan
diseleksi. Dewan editor berhak menyeleksi dan mengedit artikel yang masuk
tanpa merubah substansi. Kepastian atau penolakan naskah akan diberitahukan
kepada penulis. Prioritas pemuatan artikel didasarkan pada penilaian substansi
dan urutan naskah yang masuk ke Redaksi Jurnal Mahkamah Agung. artikel
yang tidak dimuat tidak dikembalikan kepada penulis.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan
Menyampaikan terima kasih Kepada para
Mitra Bestari (referee) dan semua pihak
Yang telah membantu penerbitan jurnal ini
Volume 2 Nomor 3 November 2013
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
VISI:
Terwujudnya Sumber Daya Manusia yang Profesional di bidang teknis
peradilan dan manajemen kepemimpinan serta hasil penelitian dan
pengembangan yang berkualitas dalam membentuk terselenggaranya tugas
pokok dan fungsi Mahkamah Agung RI untuk mewujudkan peradilan yang
agung
MISI:
1.
2.
3.
4.
Meningkatkan kualitas profesionalisme Sumber Daya Manusia teknis
peradilan
Meningkatkan kualitas profesionalisme manajemen dan kepemimpinan
Meningkatkan kualitas hasil penelitian dan pengembangan di bidang
hukum dan peradilan
Meningkatkan pelayanan dan dukungan operasional diklat teknis
peradilan dan diklat manajemen dan kepemimpinan dan penelitian dan
pengembangan di bidang hukum dan peradilan yang memadai
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013
ISSN : 2303-3274
Download