analisis mekanisme transmisi kebijakan moneter konvensional dan

advertisement
ANALISIS MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER
KONVENSIONAL DAN SYARIAH MELALUI JALUR HARGA ASET
TERHADAP INFLASI DI INDONESIA PERIODE 2011 – 2014
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Untuk Memenuhi Syarat-Syarat
Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
OLEH
FARAH FAUZIYAH
NIM.1111084000019
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M / 1436H
….
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I.
DATA PRIBADI
1.
Nama Lengkap
: Farah Fauziyah
2.
Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 19 Mei 1993
3.
Alamat
: Jl. H. Mugeni No. 48 Petukangan Utara,
Pesanggrahan, Jakarta Selatan
4.
Telepon
: 08561483038
5.
Email
: [email protected]
II.
PENDIDIKAN FORMAL
1. Tk Darunnajah Lulus Tahun 1998
2. SDI Annajah Lulus Tahun 2004
3. Mts Annajah Lulus Tahun 2008
4. SMAN 63 Jakarta Lulus Tahun 2011
5. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta S1 Ekonomi 2015
III.
PENDIDIKAN NON FORMAL
1.
Global Education Center (GEC), Step Level Tahun 2008
2.
Boston Course Indonesia (BCI), Tingkat Microsoft Windows XP Word
Tahun 2008
i
IV.
SEMINAR DAN WORKSHOP
1. Peserta
SEFT
(Spiritual Emotion Freedom
Technique)
“Muslim
Sekata“ (Sehat, Berkah Dan Taqwa), diselenggarakan oleh KOMDA
FAST dan FEB, 9 Desember 2013.
2. Dialog jurusan dan seminar konsentrasi “Mengenal Lebih Dekat Dengan
Jurusan Sendiri”, diselenggarakan oleh HMJ IESP Fakultas Ekonomi dan
Bisnis” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 3 Oktober 2015.
3. Peserta dalam acara FST Entrepreneurship Week “Kreasikan Idemu,
Wujudkan Prestasi Usahamu” diselenggarakan oleh FST UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 18-20 Maret 2014.
4. Peserta dalam Seminar Nasional IAEI dengan tema “Penyiapan SDM
Berbasis Kompetensi Syariah Dalam Pengembangan Perbankan Syariah
Era MEA 2015”, yang diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Ekonomi Islam
Indonesia bekerjasama dengan universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama),
11 Oktober 2014.
V.
LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Ayah
: Drs. Nur ali
2. Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 12 Agustus 1958
3. Ibu
: Khafifah
4. Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 10 Oktober 1967
5. Alamat
: Jl. H. Mugeni No. 48 Petukangan Utara,
Pesanggrahan, Jakarta Selatan
6. Anak ke
: 1 dari 4 bersaudara
ii
ABSTRACT
This study aimed to analyze the transmission mechanism of monetary policy
in controlling inflation in Indonesia (CPI), both in terms of Islamic and
conventional. Two of the system was taken because Indonesia has a dual financial
system and to compare the effectiveness of two such systems through the monetary
transmission mechanism through the asset price channel, so this study has two
models. The analytical tool used in this research is the Autoregessive Vector
(VAR). Variables used in the sharia consist of Bank Indonesia Certificates Sharia
(SBIS), the money supply (M2) and Islamic bonds (Sukuk). While on the
conventional side variables used are Bank Indonesia Certificates (SBI), the money
supply (M2) as well as bonds.
This VAR research results conducted by Test Impulse Response Function
(IRF) and the Test of Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). IRF
results showed that the yield on the conventional side (Model I) is variable SBI
had a negative impact, while the variable bonds provide a positive and permanent
impact on inflation (CPI), while on the sharia (Model II) have a positive impact in
terms of reducing inflation (CPI) and also permanent. Fluctuation (shock) on
Islamic monetary transmission mechanism subside faster and more stable than the
conventional monetary policy transmission mechanism, it can be seen from the
period. For the test results FEVD the model I give a negative contribution in the
sense of raising inflation (CPI) amounted to 43.86%, while the second model of a
positive contribution in the sense of lowering inflation (CPI) amounted to 25.77%.
Therefore we can conclude Islamic monetary policy transmission mechanism with
the asset price channel on the model II can be said to be better than conventional
transmission mechanism of monetary policy to asset price channel on the model I.
Keywords: Monetary Transmission Mechanism Conventional and Islamic, Islamic
and Conventional Economic Policy, Asset Price Line And Inflation (CPI)
iii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mekanisme transmisi kebijakan
moneter di Indonesia dalam mengendalikan inflasi (IHK), baik dilihat dari sisi
syariah maupun konvensional. Dua sistem tersebut diambil karena Indonesia
memiliki dual system financial serta membandingkan efektifitas dari dua sistem
tersebut melalui mekanisme transmisi moneter melalui jalur harga aset, sehingga
penelitian ini memiliki dua model. Alat analisis yang dipakai dalam penelitian ini
adalah dengan Vector Autoregessive (VAR). Variabel yang digunakan pada sisi
syariah terdiri dari Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), jumlah uang beredar
(M2) dan obligasi syariah (Sukuk). Sedangkan pada sisi konvensional variabel
yang digunakan adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI), jumlah uang beredar
(M2) serta obligasi.
Hasil penelitian VAR ini dilakukan dengan Uji Impulse Response Function
(IRF) dan Uji Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Hasil IRF
menunjukan bahwa hasil pada sisi konvensional (Model I) adalah variabel SBI
memberikan dampak negatif, sedangkan variabel obligasi memberikan dampak
positif dan bersifat permanen terhadap inflasi (IHK), sedangkan pada sisi syariah
(Model II) memberikan dampak positif dalam pengertian menurunkan inflasi
(IHK) dan juga bersifat permanen. Gejolak (shock) pada mekanisme transmisi
moneter syariah lebih cepat mereda dan stabil dibandingkan pada mekanisme
transmisi kebijakan moneter konvensional, hal ini dapat dilihat dari periodenya.
Untuk hasil uji FEVD pada model I memberikan sumbangan negatif dalam arti
menaikan inflasi (IHK) sebesar 43,86%, sedangkan pada model II memberikan
sumbangan positif dalam arti menurunkan inflasi (IHK) sebesar 25,77%.
Sehingga dapat disimpulkan mekanisme transmisi kebijakan moneter syariah
dengan jalur harga aset pada model II dapat dikatakan lebih baik dibandingkan
mekanisme transmisi kebijakan moneter konvensioanl dengan jalur harga aset
pada model I.
Kata Kunci : Mekanisme Transmisi Moneter Konvensional Dan Syariah,
Kebijakan Ekonomi Konvensional Dan Syariah, Jalur Harga Aset Dan Inflasi
(IHK)
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah SWT, Rabb semesta alam yang telah memberikan
kita kesempatan hidup di dunia ini dan memberikan nafas gratis yang dengannya
kita dapat merasakan keindahan untuk bisa menyembah-Mu. Sungguh tidak ada
satupun kejadian yang terjadi secara kebetulan, semua sudah terencana, semua
telah ditentukan oleh qadha dan qodar-Nya. Salawat serta Salam tidak lupa kita
curahkan kepada junjungan kita, Baginda Nabi Muhammad SAW semoga kelak
kita mendapat syafa’atnya dihari akhir yang pasti terjadi.
Ilmu yang kita miliki pada haikatnya adalah titipan dari Allah, yang sama
sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mengambilnya kembali dari kita. Semoga kita
dimudahkan oleh Allah untuk meraih ilmu yang bisa menjadi penerang dalam
kegelapan dan dapat menjaga ilmu tersebut dengan penuh kerendahan hati.
Tidak ada yang tidak mungkin, selama kita mau berdoa dan berusaha,
seperti hadits Rasulullah “Man Jadda Wa Jadda” yang artinya barang siapa yang
bersunguh-sungguh akan mendapatkannya. Urusan kita dalam kehidupan ini
bukanlah untuk mendahului orang lain, tapi untuk melampaui diri kita sendiri,
untuk memecahkan rekor diri sendiri dan untuk melampaui hari kemarin dengan
hari yang lebih baik. Itulah sepenggal kalimat yang menjadi penggugah demi
terselesaikannya skripsi yang sederhana ini, yang berjudul “Analisis Mekanisme
v
Transmisi Kebijakan Moneter Konvensional Dan Syariah Melalui Jalur
Harga Aset Terhadap Inflasi Di Indonesia Periode 2011-2014”.
Dengan selesainya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan rasa
terimakasih kepada:
1. Kepada Allah SWT yang telah mengizinkan saya untuk dapat kuliah di
Universitas ini sesuai keinginan orang tua saya dan dapat menyelesaikan studi
dengan sangat baik. Tanpa ridho dan berkah-Mu semua ini sulit untuk terjadi.
2. Kedua orang tuaku untuk kasih sayangnya yang tulus, Umiku Khafifah dan
Abiku Nur Ali. Doa kalian adalah salah satu “fast track” untuk setiap
kesuksesan langkah-langkahku. Terimakasih juga atas dukungan nonmateri
maupun materi untuk melancarkan studi ini. Tiada patut diucapkan oleh
seorang anak, kecuali doa untuk kedua orang tuanya “Rabbigfirlii
Waliwalidayya Warhamhumaa Kamaa Rabbayani Shogiiraa”.
3. Terimakasih untuk ketiga saudaraku. Pertama Akmal yang sudah menemani
dan mengantar menyerahkan proposal untuk mencari sponsor pada saat KKN,
dan untuk Ical dan Audi yang masih bersekolah di SMA dan SMP semoga
lancar dan bertambah rajin belajarnya supaya nanti mendapat universitas
favorit.
4. Dr. Arief Mufraini selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif
Hidayatullah
Jakarta
yang
baru
mengembangkan FEB lebih baik lagi.
vi
semoga
dapat
memajukan
dan
5. Prof. Dr. Abdul Hamid selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta sebelumnya, yang telah berusaha keras
memajukan FEB.
6. Bapak Dr. Ir. H. Roikhan selaku pembimbing I yang telah memberikan ilmu,
bimbingan, tuntunan, motivasi, dan pengarahan yang luar biasa kepada
penulis. Sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Semoga Allah
SWT membalas segala kebaikannya dengan sebaik-baiknya balasan.
7. Bapak Yoghi Citra Pratama selaku pembimbing II yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis.
Sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan cepat dan baik, semoga Allah
SWT mencatat segala amal kebaikannya sebagai ibadah.
8. Bapak Dr. Ir. H. Roikhan Mochahmad Aziz, MM sebagai dosen Konsentrasi
syariah serta sebagai penemu DIDA KADA dan SOPSEN PINPUAPAK
serta yang sudah meluangkan waktunya untuk tempat berdiskusi dan
meluapkan keluh kesah dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga keikhlasan
bapak dapat menjadi pemberat timbangan amal kebaikan di akhirat kelak.
9. Bapak Zuhairan Y. Yunan SE. M, Sc selaku ketua jurusan IESP yang baru
semoga dapat menjadi ketua jurusan yang lebih baik lagi dalam memajukan
IESP.
10. Terimakasih kepada Dosen-dosen IESP yang pernah mengajari saya yang
tidak bisa disebutkan satu persatu. Bantuan kalian dalam menyampaikan
materi yang sangat membantu saya dalam memahami materi perkuliahan.
vii
Semoga ini dapat menjadi nilai ibadah dan semoga Allah SWT membalas
semua jasamu.
11. Terima kasih juga kepada keluarga besar Hj. Mugeni dan Hj. Gede Ara yang
telah mendoakan dan mengingatkan terus untuk selalu mengejar skripsinya
dan cepat mengejar wisudanya.
12. Sahabat-sahabatku Femme Elegante Zul Kairani, Nilam Nurlaila, Annisa
Febrianti, Wihda Nur Afifah, Yuli Yanti dan Nurul Alifah yang telah
menemaniku dalam menempuh perjalan mencari ilmu dari awal semester
sampai akhirnya terselesaikan skripsi ini. Saling menyemangati dalam suka
dan duka. Semoga kita semua bisa menjadi orang yang sukses dan bermanfaat
bagi orang sekitar. Amiin
13. Zarif Tesettur walaupun pertemuan kita belum lama untuk kak Ida Ayu
Calvandis dan Kak Dwita Aprilia, semoga bisa menjadi teman perjuangan
menuju kesuksesan usaha yang sedang kita bangun. Amiin
14. Teman-teman seperjuangan IESP angkatan 2011, yang tidak bisa saya
sebutkan satu-persatu. Terima kasih atas waktu, tawa, senyum, pengalaman
baru selama ini. Setiap langkah adalah cerita maka lakukanlah yang terbaik
untuk setiap langkahmu. Semoga kita semua dapat menjadi bagian dari
impian-impian kita.
15. Orang-orang berjasa tanpa kenal lelah atas segala pelayanan administrasinya,
semoga Allah SWT mencatat dan membalas segala kebaikannya.
viii
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan
kritik yang membangun dari berbagai pihak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 21 Mei 2015
Farah Fauziyah
ix
DAFTAR ISI
Cover
Lembar Pengesahan Pembimbing
Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif
Lembar Pengesahan Ujian Skripsi
Lembar Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah
Daftar Riwayat Hidup ...................................................................................... i
Abstract ............................................................................................................. iii
Abstrak .............................................................................................................. iv
Kata Pengantar ................................................................................................. v
Daftar Isi ............................................................................................................ x
Daftar Tabel ...................................................................................................... xiii
Daftar Gambar ................................................................................................. xiv
Daftar Lampiran .............................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 11
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 12
D. Manfaat Peneltian ............................................................................. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 14
A. Teori Yang Berkenaan Dengan Variabel ........................................... 14
1. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia ............ 14
2. Transmisi Kebijakan Moneter Islam ........................................... 23
3. Kebijakan Moneter Konvensional ............................................... 25
4. Kebijakan Moneter Menurut Islam ............................................. 28
5. Instrumen Moneter ...................................................................... 32
x
6. Uang Dan Jumlah Uang Yang Beredar ....................................... 35
7. Obligasi Dan Obligasi Syariah (Sukuk) ...................................... 38
8. Inflasi .......................................................................................... 41
B. Keteraitan Antar Variabel .................................................................. 48
C. Penelitian Terdahulu .......................................................................... 52
D. Kerangka Berfikir ............................................................................... 61
E. Hipotesis Penelitian ............................................................................ 64
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 65
A. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................. 65
B. Model Pengumpulan Data .................................................................. 65
C. Metode Analisis Data ......................................................................... 66
1. Uji Stasioneritas Data dan Derajat Integrasi ............................... 69
2. Uji Kointegrasi ............................................................................ 71
3. Model Empiris Dalam VAR ....................................................... 72
4. Impulse response (IRF) ............................................................... 75
5. Variance Decomposition ............................................................. 75
D. Model Penelitian ................................................................................ 75
E. Operasional Data Penelitian (Variabel) ............................................. 76
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN .................................................... 80
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ....................................... 80
1. Perkembangan Inflasi (IHK) ....................................................... 80
2. Perkembangan SBI dan SBIS ...................................................... 82
3. Perkembangan Uang Beredar ...................................................... 85
4. Perkembangan Obligasi dan Sukuk ............................................. 87
B. Analisis Uji Ekonometrik ................................................................... 91
1. Uji Stasioneritas Data dan Derajat Integrasi ............................... 93
2. Uji Kointegrasi ............................................................................ 96
xi
3. Estimasi VAR ............................................................................. 96
4. Impulse response (IRF) .............................................................. 99
5. Variance Decomposition ............................................................ 102
C. Analisis Ekonomi .............................................................................. 107
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI ................................................... 111
A. Kesimpulan ........................................................................................ 111
B. Implikasi ............................................................................................ 113
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 114
LAMPIRAN ...................................................................................................... 117
xii
DAFTAR TABEL
Nomor
Keterangan
Halaman
1.1
Tabel Perbandingan Target Inflasi Dan Aktuali Inflasi
3
1.2
Tabel Data Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Bank
9
Indonesia Syariah (SBIS), Jumlah Uang Beredar (M2),
Obligasi, Sukuk, Dan Inflasi (IHK) Periode 2011-2014 Dalam
Miliar Dan Persen
2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
57
3.1
Model Penelitian Mekanisme Transmisi Moneter Melalui Jalur
76
Harga Aset
4.1
Uji Stasioneritas Variabel Dengan Metode ADF Test
92
4.2
Hasil Lagh Lenght
93
4.3
Hasil Uji Kointegrasi Johansen (Model I)
94
4.4
Hasil Uji Kointegrasi Johansen (Model II)
95
4.5
Rangkuman Hasil Uji Kointegrasi
96
4.6
Hasil Estimasi VAR (Model I)
97
4.7
Hasil Estimasi VAR (Model II)
98
4.8
Ringkasan Respon Variabel Terhadap Kenaikan Satu Standar
102
Deviasi Dari LIHK
4.9
Hasil Forecast error Variance Decomposition (FEVD)
103
Penyumbang Inflasi (IHK)Model I
4.10
Forecast error Variance Decomposition (FEVD) Penyumbang
Inflasi (IHK) Model II
xiii
105
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Keterangan
Halaman
2.1
Saluran Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia
14
2.2
Mekanisme Transmisi Moneter Melalui Jalur Harga Aset
22
2.3
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Islam
24
2.4
Kerangka Berfikir Penelitan
63
3.1
Proses Analisis VAR
67
4.1
Perkembangan Inflasi (IHK) Periode Januari 2008 S.D Desmber
82
2014 Di Indonesia
4.2
Perkembangan SBI Periode Januari 2008 S.D Desmber 2014 Di
83
Indonesia
4.3
Perkembangan SBIS Periode Januari 2008 S.D Desmber 2014 Di
84
Indonesia
4.4
Perkembangan M2 Periode Januari 2008 S.D Desmber 2014 Di
86
Indonesia
4.5
Perkembangan Obligasi Periode Januari 2008 S.D Desmber 2014
88
Di Indonesia
4.6
Perkembangan Sukuk Periode Januari 2008 S.D Desmber 2014 Di
91
Indonesia
4.7
Hasil Impulse Response Inflasi (IHK) Model I dan II
xiv
99
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Keterangan
Halaman
1
Data Dari Variabel-Variabel Yang Digunakan
117
2
Hasil Uji Stasioneritas Variabel LINF
118
3
Hasil Uji Stasioneritas Variabel LSBI
118
4
Hasil Uji Stasioneritas Variabel LSBIS
119
5
Hasil Uji Stasioneritas Variabel LM2
119
6
Hasil Uji Stasioneritas Variabel LOBL
119
7
Hasil Uji Stasioneritas Variabel LSKK
120
8
Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLInflasi
120
9
Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference Variabel DLSBI
120
10
Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLSBIS
121
11
Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLM2
121
12
Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLObligasi
121
13
Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLSukuk
122
14
Hasil Lag Model I
122
15
Hasil Lag Model II
123
16
Hasil Uji Kointegrasi Model I (Konvensional)
124
17
Hasil Uji Kointegrasi Model II (Syariah)
124
18
Hasil Estimasi VAR Model I (Konvensional)
126
19
Hasil Estimasi VAR Model II (Syariah)
127
20
Hasil Uji Impulse Response (IRF) Model I (Konvensional)
128
21
Hasil Uji Impulse Response (IRF) Model II (Syariah)
128
xv
22
Hasil Uji Variance Decomposition Model I (Konvensional)
128
23
Hasil Uji Variance Decomposition Model II (Syariah)
130
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kebijakan moneter suatu bank sentral atau otoritas moneter
dimaksudkan untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi riil dan harga
melalui mekanisme transmisi yang terjadi. Untuk itu, otoritas moneter
harus memiliki pemahaman yang jelas tentang mekanisme transmisi di
negaranya. Mekanisme transmisi kebijakan moneter dapat bekerja
melalui berbagai saluran, seperti suku bunga, agregat moneter, kredit,
nilai tukar, harga aset, dan ekspektasi (Warjiyo dan Agung, 2002).
Sehingga, pemahaman tentang transmisi kebijakan moneter menjadi
kunci agar dapat mengarahkan kebijakan moneter untuk mempengaruhi
arah perkembangan ekonomi riil dan harga di masa yang akan datang.
(Ascarya, 284: 2012). Hal ini diperjelas oleh undang-undang bank sentral
untuk mencapai sasaran akhir kebijakan moneter tersebut.
Goncangan yang terjadi pada perekonomian global dapat
mempengaruhi kondisi perekonomian nasional. Untuk mengurangi
dampak goncangan perekonomian global terhadap perekonomian dalam
negeri, dibutuhkan kebijakan yang efektif dan efisien, baik kebijakan
moneter maupun kebijakan fiskal serta kebijakan-kebijakan ekonomi
lainnya. Fokus penerapan kebijakan moneter di Indonesia sesuai UU No.
23 tahun 1999 yang telah diubah dalam UU No.3 Tahun 2004 mengenai
1
1
kebijakan moneter menyebutkan bahwa Bank Indonesia diberi amanah
sebagai otoritas moneter ganda yang dapat menjalankan kebijakan
moneter konvensional maupun syariah, maka kebijakan moneter yang
ditempuh menggunakan dual monetary policy yakni konvensional dan
syariah dengan tujuan utama kebijakan moneter di Indonesia adalah
untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yaitu kestabilan
harga (inflasi) dan nilai tukar rupiah.
Inflasi adalah kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum
dan berlangsung terus-menerus. Dalam keadaan tertentu inflasi
dibutuhkan untuk perekonomian. Namun, inflasi akan berdampak buruk
dan merugikan bila telah mencapai inflasi yang sangat tinggi, namun di
Indonesia angka inflasi terus-menerus bertambah dari tahun ke tahun.
Oleh sebab itu pemerintah harus memiliki target inflasi yang akan
dijadikan acuan untuk mengendalikan inflasi setiap tahunnya.
Target atau sasaran inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus
dicapai oleh Bank Indonesia. Dalam Nota Kesepahaman antara
Pemerintah dan Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga
tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tentang Sasaran Inflasi tahun
2013, 2014, dan 2015 tanggal 30 April 2012, sasaran inflasi yang
ditetapkan oleh Pemerintah untuk periode 2013 – 2015, masing-masing
sebesar 4,5%, 4,5%, dan 4% masing-masing dengan deviasi ±1%. (Bank
Indonesia, 2015), seperti dilihat pada tabel 1.1 dibawah ini:
2
Tabel 1.1
Tabel Perbandingan Target Inflasi Dan Aktual Inflasi
Tahun
Target Inflasi
Inflasi Aktual
(%, yoy)
2011
5+1%
3,79
2012
4.5+1%
4,30
2013
4.5+1%
8,38
2014*
4.5+1%
8,36
*) berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tanggal 30 April 2012
Sumber: Bank Indonesia
Pada tahun 2011 dan tahun 2012 memiliki tingkat inflasi aktual yang
sangat baik sebesar 3,79 % dan 4,30 %, yaitu dibawah target inflasi.
Sedangkan pada tingkat inflasi aktual tahun 2013 dan 2014 menunjukan
angka secara umum telah mencapai 8,38 % dan 8,36 %, hal ini
menunjukan tingkat inflasi yang kurang baik dikarenakan angka inflasi
ini jauh dari target tahun tersebut. Selain itu tingkat inflasi hampir
mendekati angka 10 %. Sedangkan untuk tahun 2015, nilai tukar rupaiah
meningkat sebesar Rp 13.500/dollar AS. Dalam hal ini dapat dikatakan
target pencapaian inflasi pemerintah kurang maksimal dalam dua tahun
terakhir ini, yaitu menuju sasaran inflasi yang rendah dan stabil.
Pemerintah menggunakan kebijakan moneter sebagai pengendali
inflasi, yaitu stabilisasi harga. Oleh karena itu dibutuhkan adanya
mekanisme tranasmisi kebijakan moneter beserta instrumen-instrumen
yang
digunakan. Terbentuknya sistem monter syariah diharapkan
3
menjadi solusi dari kegagalan yang diakibatkan oleh sistem moneter
konvensional yang terpaku pada sistem bunga. Sistem bunga membawa
kegiatan perekonomian dalam tindak spekulasi yang akan menghambat
perekonomian sektor riil untuk berkembang dan akhirnya pertumbuhan
ekonomi tidak berdiri dengan kuat atau rapuh meskipun angka
pertumbuhan ekonomi tinggi. Asumsinya adalah dengan adanya
kebijakan moneter syariah, kebijakan moneter khususnya di Indonesia
akan terbebas dari sistem bunga dan diharapkan dapat mencapai tujuan
moneter yang lebih baik.
Menurut mishkin (1995), mekanisme transmisi kebijakan moneter
merupakan proses yang kompleks karena dalam teori ekonomi moneter
sering disebut dengan “Black Box”. Hal ini terutama karena transmisi
yang dimaksud banyak dipengaruhi tiga faktor, yaitu (i) perubahan
perilaku bank sentral, perbankan, dan para pelaku ekonomi dalam
berbagai aktivitas ekonomi dan keuangannya, (ii) lamanya tenggang
waktu lag dari kebijakan ekonomi ditempuh sampai sasaran inflasi
tercapai, serta (iii) terjadinya perubahan pada saluran-saluran transmisi
kebijakan moneter itu sendiri sesuai dengan perkembangan ekonomi dan
keuangan dinegara yang bersangkutan. (Warjiyo, 2004: 4)
Sejatinya penelitian Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
memberikan penjelasan mengenai bagaimana
instrumen
kebijakan
moneter
dapat
perubahan (shock)
mempengaruhi
variabel
makroekonomi lainnya hingga terwujudnya sasaran akhir kebijakan
4
moneter. Seberapa besar pengaruhnya terhadap harga dan kegiatan di
sektor riil, semuanya sangat tergantung pada perilaku atau respons
perbankan dan dunia usaha lainnya terhadap shock instrumen kebijakan
moneter yaitu Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). (Deswita,
159: 2013)
Dalam
penelitian
ini
mengkhususkan
dengan
menggunakan
mekanisme transmisi moneter jalur harga aset. Penelitian dengan
menggunakan jalur harga aset masih sedikit sekali dilakukan. Namun,
terdapat studi mengenai bekerjanya transmisi moneter melalui saluran
harga aset dilakukan oleh idris dkk (2002). Mengatakan bahwa harga
tanah dan properti sebetulnya merupakan indikator yang lebih baik untuk
mengkaji saluran harga aset tersebut namun terbentur masalah data maka
digunakanlah harga saham. Keterbatasan data tersebut maka penelitian
ini menggunakan variabel obligasi dan sukuk sebagai indikator harga aset.
Kebijakan moneter melalui jalur harga aset adalah suatu kebijakan
moneter yang juga akan mempengaruhi perkembangan harga-harga aset
lain, baik harga aset financial seperti yield obligasi dan harga saham,
maupun aset fisik khususnya harga properti dan emas. Perubahan suku
bunga dan nilai tukar maupun besarnya investasi di pasar uang rupiah
dan valuta asing akan berpengaruh pula terhadap volume dan harga
obligasi, saham dan aset fisik tersebut, dan selanjutnya perkembangan
tersebut akan berdampak pada berbagai aktivitas di sektor riil. Pengaruh
harga aset pada konsumsi dan investasi akan mempengaruhi pula
5
permintaan agregat dan pada akhirnya akan menentukan tingkat output
riil dan inflasi dalam ekonomi. (Warjiyo, 2004: 14).
Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia biasanya akan memainkan
dan mengatur jumlah uang beredar untuk menstabilkan ekonomi moneter
negara. Jumlah uang beredar yang stabil akan menekan tingginya angka
inflasi. Uang yang beredar dalam suatu negara amat penting. Dalam arti
luas, uang beredar adalah uang yang didalamnya termasuk aset keuangan
yang memenuhi fungsinya sebagai uang dengan tingkat liquiditas yang
berbeda satu sama lain. Uang dalam arti luas atau disebut (M2) yaitu
uang yang terdiri dari uang kartal, uang giral dan uang kuasi. Data
terakhir pada tahun 2014 dari Bank Indonesia jumlah uang beredar (M2)
mencapai Rp 4.170.731 miliar, meningkat dari tahun sebelumnya
sebanyak Rp 3.730.197 miliar. Hal tersebut terjadi karena naik turunya
angka pelipat gandaan uang tidaklah bersifat konstan. Angka tersebut
senantiasa berubah-ubah sejalan dengan pola interaksi antara otoritas,
bank umum dan masyarakat.
Dalam pengendalian mekanisme transmisi kebijakan moneter
diperlukan instrumen-instrumen untuk mengatur jumlah uang yang
beredar. Salah satunya dalam penelitian ini adalah dengan instrumen
Operasi Pasar Terbuka (OPT), dengan OPT sebagai instrumen moneter
secara tidak langsung, dapat mempengaruhi sasaran operasionalnya yaitu
suku bunga atau jumlah uang beredar secara lebih efektif. Dengan
menggunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai instrumen
6
moneter konvensional dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
sebagai instrumen moneter syariah. Dengan Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) bank sentral
melakukakan kegiatan jual beli surat-surat berharga dengan pelaku pasar,
baik di pasar primer maupun sekunder yang dijadikan instrumen
operasional tidak langsung utama pengendalian moneter.
Operasi Pasar Terbuka (OPT) dapat dilakukan atas inisiatif Bank
Indonesia dengan frekuensi dan kuantitas sesuai dengan yang diinginkan
dalam bentuk jual beli surat-surat berharga oleh Bank Indonesia. Apabila
Bank Indonesia akan mengurangi jumlah uang yang beredar, maka suratsurat berharga akan dijual yang akan berdampak pada pengurangan alatalat likuiditas bank dan selanjutnya akan memperkecil kemampuan bankbank memberikan pinjaman, begitu pula sebaliknya. (Ascarya, 2005: 17)
Bank Indonesia menjaga agar suku bunga pasar uang jangka pendek
tersebut tidak terlalu melebar dari suku bunga kebijakan (BI Rate) untuk
mendukung pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter. Dengan kondisi
supply likuiditas harian di pasar uang yang masih tinggi, dan untuk
menjaga agar suku bunga pasar uang jangka pendek bergerak tidak
terlalu jauh dari BI Rate, maka Bank Indonesia akan melakukan operasi
pasar terbuka dengan berbagai variasi tenor. Pelaksanaan lelang dari
mingguan menjadi bulanan diharapkan dapat mendorong bank mengelola
likuiditasnya dalam rentang waktu yang lebih panjang. Adapun
penyerapan ekses likuiditas yang mengutamakan SBI dan SBIS dengan
7
tenor yang lebih panjang diharapkan dapat mendorong berkembangnya
transaksi di pasar uang dan pelaksanaan operasi moneter yang lebih
efektif. (Bank Indonesia, 2015)
Untuk mengendalikan inflasi, jumlah uang yang beredar (M2) agar
lebih efektif dan bermanfaat harus disalurkan dalam kegiatan ekonomi.
Seperti yang telah disebutkan dalam paragraf sebelumnya, di indonesia
memiliki berbagai macam saluran, salah satunya adalah melalui saluran
harga aset yang akan digunakan dalam penelitian ini. Dimana melalui
perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya
mempengaruhi berbagai variabel ekonomi dan keuangan sebelum
akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. (Bank Indonesia, 2015)
Bank sentral menjalankan kebijakan moneter, mereka melakukan
serangkaian pengaturan atau penyesuaian ekonomi yang bekerja di pasar
barang maupun pasar aset. Penerapan kebijakan moneter mempengaruhi
pembelanjaan, output, dan penyerapan sumber daya (employment) dalam
jangka pendek, yang berujung pada perubahan tingkat harga dalam
jangka menengah dan jangka panjang. Adapun pengaruhnya kebijakan
moneter yang dilakukan BI dalam mempengaruhi harga aset sebelum
hasil akhir menentukan tingkat inflasi. maka data variabel yang
digunakan sebagai indikator meknisme transmisi kebijakan moneter
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
8
Tabel 1.2
Data Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Bank Indonesia
Syariah (SBIS), Jumlah Uang Beredar (M2), Obligasi, Sukuk dan
Inflasi (IHK) Periode 2011-2014 dalam Miliar dan Persen
Tahun
SBI
SBIS
M2
Obligasi
Sukuk
2011
119.777
3.476
2.877.220
260,863.85
7.915
Inflasi
(IHK)
3,79%
2012
78.873
3.455
3.307.508
328,500.85
9,790.4
4,3%
2013
91.392
4.712
3.730.197
385,297.85
11,994.4
8,38%
2014
88.899
8.130
4.170.731
429,660.85
12.917
8,36%
Sumber : Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Bedasarkan data pada tabel 1.2 menunjukan kecenderungan
penurunan nilai SBI dari tahun 2011 sampai tahun 2014. Dikatakan
dalam artikel IBPA (Indonesia Bond Pricing Agency) 2015, SBI
cenderung mengalami penurunan dikarenakan aliran dana perbankan di
SBI yang makin surut sejalan dengan arah kebijakan moneter bank
sentral, dimana BI sengaja mengurangi penyerapan dana melalui SBI
agar bank lebih giat menyalurkan kreditnya sehingga akan berdampak
pada kurs rupiah yang tetap stabil. Jika dana bank di SBI semakin
menumpuk, BI harus menanggung beban bunga yang semakin besar.
Kebijakan yang dilakukan bank sentral sehingga menampilkan nilai
SBI menurun dan SBIS yang semakin meningkat, tetap memperlihatkan
jumlah uang yang beredar juga semakin meningkat setiap tahunnya.
Selain itu, perkembangan aset seperti obligasi dan sukuk terus
9
mengalami kenaikan, yang berarti dapat dikatakan bahwa investasi
dengan aset-aset seperti ini diminati oleh para investor. Terlebih lagi juga
perkembangan sukuk yang belum lama muncul juga terus mengalami
kenaikan, bahkan pernah sukuk mengalami kelebihan permintaan.
Namun kebijakan moneter yang telah dilakukan BI tersebut tetap saja
tingginya angka inflasi setiap tahunnya terus terjadi.
Menurut Pohan (2008), menjaga kestabilan nilai uang ini bukanlah
masalah yang sederhana, karena uang berkaitan erat dengan hampir
seluruh aspek dalam perekonomian. Dan alasan ini pula, proses kebijakan
moneter sampai menyentuh kepada sektor riil menjadi masalah yang
sangat kompleks dan tidak mudah pula menjaga stabilitas harga pada
kondisi inflasi yang aman. Proses ini kemudian lazim disebut sebagai
mekanisme transmisi kebijakan moneter, yang merupakan saluran
penghubung kebijakan moneter ke perekonomian riil. Permasalahan
mengenai Mekanisme
Transmisi Kebijakan
Moneter
ini masih
merupakan topik yang menarik dan menjadi perdebatan, baik di kalangan
akademis maupun para praktisi seperti Taylor: 2000, Warjiyo dan
Agung: 2002, Muelgini: 2004, Mishkin: 2004, Doni Satria dan Solikin M.
Juhro:2011, serta Ascaraya: 2012. Menariknya Mekanisme Transmisi
Kebijakan Moneter selalu dikaitkan dengan dua pertanyaan. Pertama,
apakah kebijakan moneter dapat mempengaruhi ekonomi riil di samping
pengaruhnya terhadap harga. Kedua, jika jawabannya ya, maka melalui
10
mekanisme transmisi yang manakah pengaruh kebijakan moneter
terhadap ekonomi riil tersebut terjadi. (Deswita, 159: 2013)
Sedikitnya penelitian mekanisme transmisi kebijakan moneter
dengan melihat dari jalur harga aset serta adanya kebijakan sistem
moneter ganda konvensional maupun syariah yang disahkan oleh UU
untuk mengendalikan stabilitas harga (inflasi) salah satunya. Manakah
sistem moneter yang masih lebih efektif digunakan dalam mengendalikan
inflasi yang terus mengalami kenaikan. Maka berangkat dari penjelasan
tersebut penelitian in mengambil judul “ANALISIS MEKANISME
TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER KONVENSIONAL DAN
SYARIAH MELALUI JALUR HARGA ASET TERHADAP
INFLASI DI INDONESIA PERIODE 2011-2014”.
B. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang penelitian diatas, adapun rumusan masalah
yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana mekanisme transmisi moneter konvensional melalui jalur
harga aset dalam mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia?
2.
Bagaimana mekanisme transmisi moneter syariah melalui jalur harga
aset dalam mempengaruhi inflasi di Indonesia?
11
3.
Bagaimanakah
perbandingan
konvensional dan syariah
mekanisme
melalui jalur
transmisi
harga
aset
moneter
dalam
mempengaruhi inflasi di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini berkaitan dengan rumusan
masalah yang telah dikemukakan adalah sebagai berikut:
1.
Mengidentifikasi
mekanisme
transmisi
moneter
konvensional
melalui jalur harga aset dalam mempengaruhi tingkat inflasi di
Indonesia.
2.
Mengidentifikasi pengaruh mekanisme transmisi moneter syariah
melalui jalur harga aset dalam mempengaruhi tingkat inflasi di
Indonesia.
3.
Membandingkan
pengaruh
konvensional dan syariah
mekanisme
melalui jalur
transmisi
harga
aset
moneter
dalam
mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia.
D. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan menjadi rujukan atau inspirasi dan
pedoman bagi peneliti lainnya yang berminat dibidang ini:
1.
Bagi peneliti, penelitian ini merupakan kesempatan bagi peneliti
untuk menyelaraskan ilmu pengetahuan yang didapat dalam kegiatan
akademik sehingga dapat menambah pengetahuan bagi peneliti
12
dalam bidang ekonomi pembangunan dengan kinsentrasi ekonomi
islam khususnya yang menjadi minat peneliti.
2.
Penelitian ini dapat dipergunakan bagi pihak lain yang beminat pada
penelitian ini sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya dan
dapat menjadi bahan bacaan untuk menambah pengetahuan.
3.
Hasil dari penelitian ini juga dapat dipergunakan oleh universitas
untuk menambah bahan pustaka dalam mengembangkan kualitas
pendidikan universitas tersebut dalam masa yang akan datang.
4.
Bagi lembaga atau instansi terkait lembaga keuangan khususnya
perbankan syariah, penelian ini dapat dijadikan sebagai referensi
untuk perbaikan perkembangan perbankan syariah yang merupakan
objek penelitian.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Yang Berkenaan Dengan variabel
1. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia
Sebelum penjelasan secara teoritis, ada baiknya bila kita
mengetahui bagaimana berbagai saluran sehingga dapat disebut
sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Berikut adalah
gambar berbagai saluran transmisi kebijakan moneter di Indonesia:
Gambar 2.1
Saluran Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia
Sumber: Priadi Asmanto, 2006
Mekanisme
transmisi kebijakan
moneter
pada dasarnya
menggambarkan bagaimana kebijakan moneter yang ditempuh bank
sentral mempengaruhi berbagai aktifitas ekonomi dan keuangan
sehingga pada akhirnya dapat mencapai tujuan akhir yang ditetapkan.
Secara spesifik, Taylor (1995) mengatakan bahwa transmisi
14
14
kebijakan moneter adalah “ The process through which monetary
policy decision are transmitted into changes in real GDP and
inflation”. (Warjiyo, 2004: 3-4)
Menurut Mishkin (1995), mekanisme transmisi kebijakan
moneter merupakan proses yang kompleks karena dalam teori
ekonomi moneter sering disebut dengan “Black Box”. Hal ini
terutama karena transmisi yang dimaksud banyak dipengaruhi tiga
faktor, yaitu (i) perubahan perilaku bank sentral, perbankan, dan para
pelaku ekonomi dalam berbagai aktivitas ekonomi dan keuangannya,
(ii) lamanya tenggang waktu lag dari kebijakan ekonomi ditempuh
sampai sasaran inflasi tercapai, serta (iii) terjadinya perubahan pada
saluran-saluran transmisi kebijakan moneter itu sendiri sesuai
dengan perkembangan ekonomi dan keuangan dinegara yang
bersangkutan. (Warjiyo, 2004: 4)
Kompleksitas mekanisme transmisi kebijakan moneter juga
berkaitan dengan perubahan pada peran dan cara kerjanya saluransaluran transmisi moneter dalam perekonomian. Pada perekonomian
terbuka, perkembangan ekonomi dan keuangan disuatu negara akan
dipengaruhi pula oleh perkembangan ekonomi dan keuangan negara
lain melalui perubahan nilai tukar, volume ekspor impor, ataupun
besarannya arus dana masuk dan keluar dari negara yang
bersangkutan. Pada kondisi demikian, peranan saluran yang lain,
seperti suku bungan, kredit, dan nilai tukar juga semakin penting
15
dalam transmisi kebijakan moneter. Peran saluran harga aset, seperti
obligasi dan saham dan saluran ekspektasi juga semakin perlu
diperhatikan. (Warjiyo, 2004: 6)
Menurut Warjiyo (2004: 7), transmisi moneter saling berkaitan
dengan proses perputaran uang dalam perekonomian. Transmisi
kebijakan moneter pada dasarnya menunjukan interaksi antar bank
sentral, perbankan dan lembaga keuangan lainnya, dan pelaku
ekonomi di sektor riil melalui dua tahap proses perputaran uang,
yaitu Interaksi yang terjadi di pasar keuangan dan Interaksi yang
berkaitan dengan fungsi intermediasi,
Dalam perkembangan lanjutan, dengan kemajuan dibidang
keuangan dan perubahan dalam struktur perekonomian, terdapat lima
saluran mekanisme transmisi kebijakan moneter, yaitu saluran uang,
saluran suku bunga, saluran harga aset, saluran kredit dan saluran
ekspektasi. Berikut penjelasan yang lebih rinci (Warjiyo, 2004: 14):
a. Saluran Uang
Melalui saluran uang mengacu pada domonasi peran uang
dalam perekonomian, yang pertama kali dijelaskan oleh quantity
teory of money (Fisher, 1991). Teori ini pada dasarnya
menggambarkan kerangka kerja yang jelas mengenai analisis
hubungan langsung yang sistematis antara pertumbuhan uang
beredar dan inflasi, yang dinyatakan dalam suatu identitas yang
dikenal sebagai “the equation of exchange” sebagai berikut :
16
MV = PT
Dalam keseimbangan jumlah uang beredar yang digunakan
dalam seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan
jumlah output nominal, dihitung dengan harga yang berlaku,
yang ditransaksikan dalam ekonomi (PT). Mekanisme transmisi
saluran uang dibagi dalam dua tahap proses perputaran uang
tersebut.
Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran
uang dimulai dengan tindakan bank sentral mengendalikan uang
primer sesuai dengan sasaran akhir yang ingin dicapai.
Kemudian dengan proses money multiplier ditransmisikan ke
jumlah uang beredar (M1 dan M2) sesuai dengan permintaan
masyarakat. pada akhirnya uang beredar akan mempengaruhi
berbagai kegiatan ekonomi, khususnya inflasi dan output riil
karena peranannya untuk pemenuhan kebutuhan transaksi
ekonomi oleh para pelaku ekonomi.
b. Saluran Kredit
Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran
kredit didasarkan pada asumsi bahwa tidak semua simpanan
masyarakat dalam bentuk uang beredar (M1 dan M2) oleh
perbankan selalu disalurkan sebagai kredit kepada dunia usaha.
Perbedaan antara saluran uang dengan saluran kredit terletak
pada tahapan selanjutnya dari proses perputaran uang dalam
17
ekonomi. Saluran kredit menekankan pentingnya pasar kredit,
yang tidak selalu dalam kondisi keseimbangan karena adanya
assymetric information atau sebab-sebab lain.
Terdapat dua jenis saluran kredit yang mempengaruhi
transmisi kebijakan moneter dari sektor keuangan ke sektor riil,
yaitu kredit bank dan neraca perusahaan. Perkembangan kredit
perbankan selanjutnya akan berpengaruh pada inflasi dan sektor
riil melalui perkembangan invenstasi dan konsumsi.
c. Saluran Suku Bunga
Aspek ini lebih mementingkan aspek harga di pasar
keuangan terhadap berbagai aktifitas ekonomi disektor riil.
Tahap pertama pada saluran ini adalah kebijakan moneter yang
ditempuh bank sentral akan mempengaruhi perkembangan suku
bunga jangka pendek di pasar uang (misalnya suku bunga SBI
dan PUAB) dipasar uang rupiah. Tahap kedua, transmisi suku
bunga dari sektor keuangan ke sektor riil akan tergantung pada
pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi dan investasi dalam
perekonomian.
d. Saluran Nilai Tukar
Transmisi saluran ini menekankan pentinganya pengaruh
perubahan harga aset finansial terhadap berbagai aktifitas
ekonomi. Aset finansial berbentuk valuta asing, selanjutnya
perkembangan nilai tukar dan dana aliran dana luar negeri
18
tersebut akan berpengaruh pada output riil dan inflasi negara.
Perubahan perkembangan nilai
tukar
pasar
valuta
asing
pengaruh tidak langsung terhadap nilai tukar tersebut karena
kebijakan moneter akan mempengaruhi perkembangan suku
bunga dipasar, yang selanjutnya berpengaruh terhadap besarnya
aliran dana ke luar negeri serta permintaan dan penawaran
dipasar valuta asing.
Pada tahap selanjutnya, pengaruh nilai tukar terhadap
inflasi juga dapat terjadi secara langsung karena perkembangan
nilai tukar mempengaruhi pola pembentukan harga oleh
perusahaan dan ekspektasi inflasi di masyarakat, maupun secara
tidak
langsung
terjadi
karena
perubahan
nilai
tukar
mempengaruhi komponen ekspor impor dalam permintaan
agrerat. Perkembangan ini akan berdampak pada besarnya
output riil dalam ekonomi yang pada akhirnya akan menentukan
besarnya tekanan inflasi dari sisi kesenjangan output.
e. Saluran Harga Aset
Kebijakan
moneter
juga
berpengaruh
terhadap
perkembangan harga-harga aset lain, baik harga aset financial
seperti yield obligasi dan harga saham, maupun aset fisik
khususnya harga properti dan emas. Perubahan suku bunga dan
nilai tukar maupun besarnya investasi di pasar uang rupiah dan
valuta asing akan berpengaruh pula terhadap volume dan harga
19
obligasi, saham dan aset fisik tersebut, dan selanjutnya
perkembangan tersebut akan berdampak pada berbagai aktivitas
di sektor riil. Pengaruh harga aset pada konsumsi dan investasi
akan mempengaruhi pula permintaan agregat dan pada akhirnya
akan menentukan tingkat output riil dan inflasi dalam ekonomi.
Menurut Mishkin (2004), Transmisi moneter melalui jalur
harga aset lain (other asset price effect) dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu efek nilai tukar terhadap ekspor bersih
(Exchange Rate Effect on Net Export), Teori Q Tobin (Tobin’s
Q Theory) dan Efek Kesejahteraan (Wealth Effect). (Masyitha,
2012: 8)
1) Exchange Rate Effect on Net Export
Ketika
terjadi
ekspansi
kebijakan
moneter
dengan
penurunan suku bunga maka akan menyebabkan aset dalam
mata uang asing lebih menarik dibandingkan dengan aset
domestik dalam Rupiah. Pada akhirnya nilai dari aset rupiah
akan menurun sehingga rupiah terdepresiasi. Nilai rupiah
yang lebih rendah dibandingkan mata uang asing akan
menyebabkan harga barang domestik menjadi lebih murah
dibandingkan harga barang asing sehingga meningkatkan
ekspor dan agregate output.
20
2) Tobin’s Q Theory
Teori
ini
dikembangkan
menjelaskan
pengaruh
oleh
James
kebijakan
Tobin
moneter
yang
terhadap
penilaian ekuitas. Tobin mendefinisikan ‘q’ sebagai harga
pasar untuk perusahaan yang dibagi dengan penggantian
harga modal. Ketika nilai q tinggi maka harga pasar untuk
perusahaan akan relatif tinggi dibandingkan dengan harga
modalnya. Untuk itu perluasan usaha dan harga dari
peralatan relatif murah sehingga dapat meningkatkan
investasi.
Hal
ini terjadi
karena
perusahaan dapat
mengeluarkan sedikit saham, tetapi dapat dijual dengan
harga yang tinggi. Ketika terjadi ekspansi moneter maka
masyarakat akan dihadapkan pada kondisi dimana terjadi
kelebihan uang dibandingkan kebutuhan yang ada sehingga
masyarakat akan menyalurkan dananya ke pasar saham.
Permintaan saham akan meningkat dan harga saham akan
naik. Harga saham yang naik akan menyebabkan q naik
sehingga meningkatkan investasi dan output.
3) Wealth Effect
Asumsi yang mendasari proses transmisi moneter pada jalur
ini bahwa pengeluaran konsumsi juga dipengaruhi oleh
sumber daya seumur hidup (lifetime resources), bukan
hanya didasari pada pendapatan yang didapat hari ini.
21
Komponen utama sumber daya seumur hidup (lifetime
resources) adalah kesejahteraan finansial, salah satunya
adalah saham. Saat terjadi kontraksi moneter maka harga
saham akan naik, sehingga menaikan kesejahteraan dan
juga menaikan konsumsi. Konsumsi yang naik akan
meningkatkan ouput
Gambar 2.2
Mekanisme Transmisi Moneter melalui jalur harga Aset
Sumber : Warjiyo, 2005
f. Saluran Ekspektasi
Para
pelaku
ekonomi,
dalam
menentukan
tindakan
bisnisnya akan mendasarkan pada prospek ekonomi dan
keuangan kedepan. Bedasarkan kebijakan moneter yang
ditempuh oleh bank sentral akan memunculkan ekspektasi
masyarakat terhadap inflasi, akibatnya akan mempengaruhi
tindakan masyarakat untuk melakukan aktifitas pada sektor riil.
Pada permintaan agregat tingkat suku bungan akan menentukan
besarnya konsumsi dan investasi.
22
Sedangkan pada penawaran agregat terjadi melalui pola
pembentukan harga produk. Sehingga pengaruh ekspektasi
inflasi terhadap permintaan dan penawaran agregat akan
menentukan tingkat inflasi dan output riil dalam ekonomi.
Dengan demikian semakin kredible kebijakan moneter, semakin
rendah pula distorsi yang ditimbulkannya baik terhadap
perkembangan output riil maupun efektifitas kebijakan moneter
dalam pencapaian sasaran inflasi tersebut.
2. Transimisi Kebijakan Moneter Islam
Menurut Islahi (2004), transmisi kebijakan moneter muncul
sejak munculnya otoritas moneter yang terpisah dari otoritas fiskal.
Otoritas moneter berkembang sejalan dengan berkembangnya bank
sentral dari bank sirkulasi (menerbitkan uang kertas atau fiat money)
yang ditandai dengan munculnya Bank of England (BOE) pada
tahun 1694 (Capie, 1994). Karena uang kertas sifatnya inflatoir
(karena tidak memiliki nilai intrinsik), maka tugas bank sentral
berkembang termasuk mengatur jumlah uang yang beredar untuk
mengendalikan nilai mata uang atau inflasi. Hal ini tidak diperlukan
ketika uang yang digunakan adalah uang intrinsik, seperti Dinar
emas dan Dirham perak di masa masih adanya kekhalifahan Islam.
Khilafah Islamiyah terakhir, yaitu Dinasti Utsmaniyah di Turki,
runtuh pada tahun 1924. (Ascarya, 2012: 296)
23
Menurut Siddiqui (2007), Setting institusi keuangan Islam
kontemporer tidak jauh berbeda dengan setting institusi keuangan
konvensional yang sudah established, sehingga instrumen-instrumen
kebijakan moneter Islam juga banyak yang mirip dengan instrumeninstrumen kebijakan moneter konvensional. Namun, karena cara
kerja instrumen kebijakan moneter Islam memiliki persamaan dan
perbedaan prinsip dengan cara kerja instrumen kebijakan moneter
konvensional, transmisi kebijakan moneter Islam dapat sama atau
berbeda dengan transmisi kebijakan moneter konvensional. Menurut
Chapra (1985), tidak mendiskusikan secara spesifik masalah
transmisi kebijakan moneter Islam ini. Perkembangan teori moneter
Islam selanjutnya juga belum ada yang menyinggung tentang
transmisi kebijakan moneter Islam, termasuk pass-through atau
jalur-jalurnya. (Ascarya, 2012: 296)
Gambar 2.3
Mekanisme Transmisi kebijakan Moneter Islam
Sumber: Ascarya, 2014
24
3. Kebijakan Moneter Konvensional
Kebijakan
moneter
adalah
upaya
mengendalikan
atau
mengarahkan perekonomian makro ke kondisi yang diinginkan
(yang lebih baik) dengan mengatur jumlah uang beredar. Yang
dimaksud dengan kondisi yang lebih baik adalah meningkatnya
output keseimbangan dan atau terpeliharanya stabilitas harga (inflasi
terkontrol)
melalui
kebijakan
moneter
pemerintah
dapat
mempertahankan, menambah atau mengurangi jumlah uang beredar
dalam upaya mempertahankan kemampuan ekonomi bertumbuh,
sekaligus mengendalikan inflasi. (Rahardja dan manurung, 2002:
435)
Jika yang dilakukan adalah menambah jumlah uang beredar,
maka pemerintah dikatakan menempuh kebijakan moneter ekspansif.
Sebaliknya, jika jumlah uang beredar dikurangi, pemerintah
menempuh kebijakan moneter kontraktif adalah kebijakan uang ketat.
(Rahardja dan manurung, 2002: 435)
Jumlah uang beredar dapat dirumuskan sebagai berikut:
Jumlah uang yang berdar =
Alat likuiditas atau uang tunai
Cadangan wajib minimum
Menurut Rahardja dan manurung (2002: 435-437), ada tiga
instrumen utama yang digunakan dalam kebijakan moneter, yaitu:
25
a. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Yang dimaksud operasi pasar terbuka adalah pemerintah
mengendalikan jumlah uang beredar dengan cara menjual atau
membeli surat-surat berharga milik pemerintah. Jika ingin
mengurangi jumlah uang yang beredar maka pemerintah
menjual surat-surat berharga, dan jika ingin menambah jumlah
uang beredar maka pemerintah membeli kembali surat-surat
berharga tersebut. Di Indonesia operasi pasar terbuka dilakukan
dengan menjual atau membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
dan Surat Berharga Pasar Uang (SPBU)
b. Fasilitas Diskontro (Discount Rate)
Yang dimaksud tingkat bunga diskontro adalah tingkat
bunga yang ditetapkan pemerintah atas bank-bank umum yang
meminjam ke bank sentral. Jika pemerintah ingin menambah
jumlah uang yang beredar, maka pemerintah menurunkan
tingkat bunga pinjaman (tingkat diskontro). Sebaliknya jika
ingin menahan laju pertambahan uang beredar, pemerintah
menaikan bunga pinjaman.
c. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Penetapan rasio cadangan wajib dapat mengubah jumlah
uang beredar, jika rasio cadangan wajib di perbesar, maka
kemampuan bank memberikan kredit akan lebih kecil dibanding
sebelumnya. Misalnya, jika rasio cadangan wajib mulanya
26
hanya 10%, maka untuk setiap unit deposito yang diterima,
perbankan dapat mengalirkan pinjaman sebesar 90%, dari
deposito yang diterima perbankan. Dengan demikian angka
multiplier uang dari sistem perbankan adalah 10.
Jika rasio wajib diperbesar menjadi 20%, maka untuk setiap
unit deposito yang diterima, sistem perbankan hanya dapat
menyalurkan kredit sebesar 80%. Angka multiplier uang dari
sistem perbankan turun menjadi 5.
d. Imbauan Moral (Moral Persuasion)
Dengan
imbauan
moral,
otoritas
moeter
mencoba
mengarahkan atau mengendalikan jumlah uang beredar.
Misalnya, gubernur Bank Indonesia dapat memberi saran agar
perbankan
berhati-hati
dalam
memberikan
kredit
atau
membatasi keinginannya meminjam uang dari bank sentral
(berhati-hati menggunakan fasilitas diskontro).
Selain instrumen kebijakan moneter tersebut, terdapat pula
kebijakan moneter Plafon Credit Policy (politik pagu kredit) artinya
kebijakan untuk memperketat atau mempermudah dalam pembelian
pinjaman kepada masyarakat.
27
4. Kebijakan Moneter Menurut Islam
Menurut Chapra (2000:134), strategi dalam perekonomian Islam
amat diperlukan, permintaan terhadap uang akan lahir terutama dari
motif transaksi dan tindakan berjaga-jaga yang ditentukan pada
umumnya oleh tingkatan pendapatan uang dan distribusinya.
Permintaan uang pada dasarnya didorong oleh fluktuasi suku bunga
pada perekonomian kapitalis. Penghapusan bunga dan kewajiban
membayar zakat dengan laju 2 persen per tahun tidak saja
meminimalkan permintaan spekulatif terhadap uang dan mengurangi
efek suku bunga, tetapi dapat memberikan stabilitas yang lebih besar
bagi permintaan total terhadap uang hal ini akan lebih jauh diperkuat
oleh sejumlah faktor antara lain sebagai berikut:
a. Aset pembawa bunga tidak akan bersedia dalam sebuah
perekonomian islam, sehingga orang yang hanya memegang
dana likuid menghadapi pilihan apakah tidak mau terlibat
dengan resiko dan tetap memegang uangnya dalam bentuk cash
tanpa memperoleh keuntungan, atau turut berbagi resiko dan
menginvestasikan uangnya pada aset bagi hasil sehingga
mendapatkan keuntungan.
b. Peluang investasi jangka pendek dan panjang dengan berbagai
tingkatan resiko akan tersedia bagi para investor tanpa
memandang apakah mereka adalah pengambil resiko tinggi atau
28
rendah, sejauh mana risiko yang dapat diperkirakan akan diganti
dengan laju keuntungan yang diharapkan.
c. Barang kali dapat diasumsikan bahwa, kecuali dalam keadaan
resesi tak akan ada pemegang dana yang cukup irasional untuk
menyimpan sisa uangnya setelah dikurangi oleh keperluankeperluan
transaksi
dan
berjaga-jaga
selama
ia
dapat
menggunakan sisanya yang menganggur untuk melakukan
investasi pada aset bagi hasil untuk menggantikan paling tidak
sebagai efek erosif zakat dan inflasi, sejauh dimungkinkan
dalam sebuah perekonomian Islam.
d. Laju keuntungan-berbeda dari laju suku bunga, tidak akan
ditentukan didepan. Satu-satunya yang akan ditentukan didepan
adalah rasio bagi hasil. Ini tidak akan mengalami fluktuasi,
seperti halnya suku bunga karena ia akan didasarkan pada
konversi ekonomi dan sosial, dan setiap ada perubahan di
dalamnya akan terjadi lewat tekanan kekuatan-kekuatan pasar
sesudah terjadi negosiasi yang cukup lama, jika prospek
ekonomi cerah keuntungan secara otomatis akan meningkat.
Preferensi likuiditas yang terjadi karena motif spekulasi akan
kurang berarti dalam sebuah perekonomian islam. Stabilitas yang
relatif lebih besar dalam permintaan uang untuk tujuan transaksi
akan cenderung mendorong stabilitas yang lebih besar bagi
29
kecepatan peredaran uang dalam suatu fase daur bisnis dalam sebuah
perekonomian Islam dan dapat diperkirakan perilakunya secara lebih
baik. Karena itu, variabel yang digunakan dalam suatu kebijakan
moneter yang difomulasikan dalam sebuah perekonomian islam
adalah cadangan uang daripada suku bunga. Oleh karena itu suplai
uang dalam perekonomian. Praktik-praktik monopolistik perlu
dihilangkan dan setiap usaha harus dilakukan untuk menghapuskan
kekakuan struktural dan menggalakan semua faktor yang mampu
menghasilkan peningkatan penawaran barang dan jasa. (Chapra,
2000: 136)
Menurut
Chapra
(2000:137),
untuk
menjamin
bahwa
pertumbuhan moneter mencukupi dan tidak berlebihan, perlu
memonitor secara hati-hati tiga sumber utama ekspansi moneter.
Pertama adalah membiayai defisit anggaran, ekspansi deposito
melalui penciptaan kredit pada bank-bank komersial dan bersifat
eksternal atau menggunakan surplus neraca pembayaran.
Menurut Chapra (2000: 141), dalam kerangka strategi yang
dijelaskan diatas, dapat diajukan mekanisme kebijakan moneter yang
tidak saja akan membantu mengatur penawaran uang seirama dengan
permintaan riil terhadap uang, tetapi juga membantu memenuhi
kebutuhan untuk membiayai defisit pemerintah yang benar-benar riil
dan mencapai sasaran sosio-ekonomi masyarakat Islam lainnya.
30
Menurut Chapra (2000:2), tujuan kebijakan moneter Islam
adalah kelayakan ekonomi yang luas berlandaskan full employment
dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimum, keadilan sosioekonomi dengan pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteran,
stabilitas dalam nilai uang sehingga kemungkinan medium of
exchange dapat dipergunakan sebagai suatu perhitungan, patokan
yang stabil, serta penagihan yang efektif dari semua jasa biasanya
diharapkan dari sistem perbankan.
Dari tujuan-tujuan kebijakan moneter Islam yang dicoba
didefinisikan oleh para ahli ekonomi Islam, sekilas hampir sama
dengan tujuan-tujuan kebijakan moneter yang diterpkan oleh sistem
kapitalis. Akan tetapi jika dikaji lebih dalam, ada perbedaan
penekanan dan komitmen yaitu tentang nilai-nilai spiritual, keadilan
sosio-ekonomi, dan persaudaraan manusia. (Andra, 2010: 17)
Pada kesimpulannya dalam kebijakan moneter menurut Islam,
ketersediaan sebagian instrumen tradisional kebjakan moneter tidak
harus menimbulkan persoalan serius dalam mengelola suatu
kebijakan moneter yang efektif dengan syarat bahwa realisasi uang
berdaya tinggi diatur dengan baik pada pusatnya. Hal ini dengan
sendirinya mengandung arti bahwa dalam sistem Islam, seperti
halnya pada sistem-sistem yang lain, kerjasama antar bank sentral
dan pemerintah sangat diperlukan. Apabila pemerintah tidak
bertekad memiliki stabilitas harga sebagai suatu sasaran kebijakan
31
yang tidak dapat diatur pada pusatnya, penyesuaian minor yang
diperlukan karena perubahan kondisi perekonomian atau karena
terjadi kesalahan dalam memprediksi harus dilakukan oleh bank
sentral melalui penggunaan intrumen yang ada padanya. (Chapra,
2000: 15)
5. Instrumen Moneter
Operasi Pasar Terbuka merupakan instrumen kebijakan tidak
langsung yang penting karena melalui OPT bank sentral dapat
mempengaruhi sasaran operasionalnya (yaitu suku bunga dan
jumlah uang beredar) secara lebih efektif. Dikatakan demikian
karena sinyal arah kebijakan moneter dapat disampaikan melalui
OPT,
yang
pelaksanaanya
dilakukan
secara
terbuka
dan
pembentukan suku bunganya ditentukan oleh mekanisme pasar.
Dilakukan atas inisiatif bank sentral dengan frekuensi dan kuantitas
sesuai yang diinginkan. OPT berbentuk kegiatan jual beli surat-surat
berharga oleh bank sentral. ( Ascarya, 2005: 17)
SBI dan SBIS merupakan bagian dari instrumen moneter
Operasi Pasar Terbuka (OPT). Dilansir dalam wikipedia (2015)
yang dimaksud dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat
berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan
utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan) dengan sistem
diskonto/bunga. SBI merupakan salah satu mekanisme yang
32
digunakan Bank Indonesia untuk mengontrol kestabilan nilai
Rupiah. Dengan menjual SBI, Bank Indonesia dapat menyerap
kelebihan uang primer yang beredar. Tingkat suku bunga yang
berlaku pada setiap penjualan SBI ditentukan oleh mekanisme pasar
berdasarkan sistem lelang. Sejak awal Juli 2005, BI menggunakan
mekanisme BI rate yaitu Bank Indonesia mengumumkan target
suku bunga SBI yang diinginkan Bank Indonesia untuk pelelangan
pada masa periode tertentu. BI rate ini kemudian yang digunakan
sebagai acuan para pelaku pasar dalam mengikuti pelelangan.
Sertifikat Bank Indonesia memiliki karakteristik utama dalam
peranannya sebagai instrumen Operasi Pasar Tebuka. Bedasarkan
Surat edaran Bank Indonesia tahun 2006, yaitu:
a. SBI memilki satuan unit sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta
Rupiah).
b. Jangka waktu SBI sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan dan paling
lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari
dan dihitung dari tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan
jatuh tempo waktu.
c. SBI diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto.
d. SBI diterbitkan tanpa warkat (scripless).
e. SBI dapat diperdagangkan di pasar sekunder.
f. Nilai tunai transaksi dihitung berdasarkan diskonto murni (true
discount) sebagai berikut:
Nilai Tunai=
33
g. Nilai Diskonto dihitung sebagai berikut:
Nilai Diskonto = Nilai Nominal - Nilai Tunai
Di Indonesia menganut sistem transmisi moneter ganda, maka
dalam OPT terdapat pula Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
sebagai instrumen moneter syariah. Menurut Peraturan Bank
Indonesia Nomor 10/11/PBI tanggal 31 Maret 2008 tentang
Sertifikat Bank Indonesia Syariah. SBIS adalah surat berharga
berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata
uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. SBIS memiliki
karakteristik sebagai berikut, yaitu:
a. menggunakan akad ju'alah, Berdasarkan fatwa Dewan Syariah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia, SBIS juga dapat diterbitkan
dengan menggunakan akad mudharabah, musyarakah, wadiah,
qardh, dan wakalah.
b. satuan unit sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah)
c. berjangka waktu paling kurang 1 (satu) bulan dan paling lama
12 (dua belas) bulan
d. diterbitkan tanpa warkat (scripless)
e. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia
f. tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder.
34
Sedangkan
menurut
Arifin
(2009:198),
Sertifikat
Bank
Indonesia Syariah (SBIS) adalah sertifikat yang diterbitkan Bank
Indonesia sebagai bukti penitipan dana jangka pendek. SBIS
merupakan piranti moneter yang sesuai prinsip pada Bank Syariah
yang diciptakan dalam rangka pelaksanaan pengendalian moneter.
Bank Indonesia menerbitkan instrumen moneter berdasarkan prinsip
syariah yang dinamakan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
dan dapat dimanfaatkan oleh Bank Syariah untuk mengatasi bila
terjadi kelebihan pada tingkat likuiditas. (Ridho, 2014: 26)
Sertifikat Bank Indonesia Syariah merupakan piranti instrumen
moneter yang dilakukan Bank Indonesia dalam rangka mengurangi
jumlah uang beredar dalam mekanisme perbankan syariah.
Perbedaan
yang
mendasar
dari
SBI
Syariah
dengan
SBI
konvensional adalah dari penerapan mekanismenya. SBI Syariah
menerapkan sistem imbalan dan SBI Konvensional menggunakan
mekanisme suku bunga/diskonto. (Ridho, 2014: 27)
6. Uang dan Jumlah Uang Beredar
Uang adalah suatu benda yang dapat ditukarkan dengan benda
lain, dapat digunakan untuk menilai benda lain, dan dapat disimpan.
Uang juga dapat digunaka untuk membayar hutang di waktu yang
akan datang. Dengan kata lain, uang adalah suatu benda yang pada
dasarnya dapat berfungsi sebagai (1) alat tukar, (2) alat penyimpan
35
nilai, (3) satuan hitung, dan ukuran pembayaran yang tertunda.
Fungsi uang tersebut sejalan dengan ekonomi yang berkembang
untuk memenuhi kebituhan ekonominya. (Solikin dan Suseno, 2005:
2)
Menurut Adiwarman (2010: 77), konsep uang dalam ekonomi
islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi konvensional.
Dalam ekonomi islam, konsep uang sangat jelas dan tegas bahwa
uang adalah uang, uang bukan capital. Sebaliknya, konsep uang
yang dikemukakan dalam ekonomi konvensional diartikan secara
bolak balik, yaitu uang sebagai uang dan uang sebagai capital.
Perbedaan lain adalah bahwa dalam ekonomi islam, uang adalah
sesuatu yang bersifat flow concept dan capital adalah sesuatu yang
bersifat stock concept, sedangkan dalam ekonomi konvensional
terdapat beberapa pengertian, yang ditunjukan oleh konsep Irving
Fisher yang menyatakan bahwa :
MV = P T
Keterangan:
M = jumlah uang beredar
P = tingkat harga barang
V = tingkat perputaran uang
T = jumlah barang diperdagangkan
Dalam islam, capital is private goods, sedangkan money is
publics goods. Uang yang ketika mengalir (beredar) adalah public
36
goods (flow concept), lalu mengendap ke dalam kepemilikan
seseorang (stock concept), uang tersebut menjadi milik pribadi
(privat goods). Dalam islam, konsep ini sudah dikenal, yaitu ketika
Rasulullah mengatakan bahwa “manusia mempunyai hak bersama
dalam tiga hal; air, rumput dan api” (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan
Ibn Majah). Menurut Al-Gazali dan Ibn Khaldun, definisi uang
adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai
harga,
media
transaksi
pertukaran,
dan
media
simpanan.
(Adiwarman, 2010: 78)
Uang tunai atau uang kartal adalah uang kertas dan uang logam
yang beredar di masyarakat yang dikeluarkan dan diedarkan oleh
bank Indonesia yang berfungsi sebagai otoritas moneter. Selain itu
terdapat pula uang giral yaitu uang yang digunakan untuk
pembayaran tunai namun menggunakan cek atau semacamnya yang
sebelumnya seseorang telah meiliki simpanan dalam rekening giro
pada bank umum. Dapat dilihat bahwa bank umum adalah lembaga
yang dapat mencetak uang, dalam bentuk uang giral. Terdapat pula
uang kuasi, yaitu simpanan tabungan dan deposito berjangka yang
hanya dapat diambil pada waktu tertentu (1 atau 3 bulan). (Solikin
dan Suseno, 2005: 11)
Dengan mengeluarkan dan mengedarkan uang berarti sistem
moneter mempunyai kewajiban kepada sektor swasta domestik atau
penduduk/masyarakat yang terdiri dari individu, badan usaha, dan
37
lembaga lainnya. Bedasarkan pengertian tersebut, uang beredar
didefenisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor
swasta domestik. (Solikin dan Suseno, 2005: 13)
Adapun jenis-jenis uang beredar mencakup dalam dua
pengertian, yaitu uang beredar dalam arti sempit adalah sering diberi
simbol M1 didefenisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap
sektor swasta domestik yang terdiri dari uang kartal (C) dan uang
giral (D). Sedangkan uang beredar dalam arti luas sering disebut
juga
sebagai
likuiditas
perekonomian
diberi
simbol
M2,
didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor
swasta domestik yang terdiri dari uang kartal (C), uang giral (D) dan
uang kuasi (T). (Solikin dan Suseno, 2005: 13)
7. Obligasi dan Obligasi Syariah (Sukuk)
Kebijakan moneter melalui jalur aset adalah suatu kebijakan
moneter yang juga akan mempengaruhi perkembangan harga-harga
aset lain, baik harga aset financial seperti obligasi/ sukuk dan harga
saham, maupun aset fisik khususnya harga properti dan emas.
a. Obligasi
Dalam hal ini obligasi digunakan sebagai instrumen
moneter konvensional. Menurut Bursa Efek Indonesa, obligasi
merupakan surat utang jangka menengah-panjang yang dapat
dipindahtangankan
yang
berisi
janji
dari
pihak
yang
38
menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada
periode tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang
telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut.
Sedangkan dalam buku sekolah Pasar Modal Bursa Efek
Indonesia Kelas Basic, mengatakan bahwa obligasi merupakan
surat tanda berhutang yang diterbitkan oleh perusahaan maupun
pemerintah dengan periode jangka waktu menengah atau
panjang,
bunga
dibayarkan
secara
periodik
atau
tidak
membayarkan bunga sama sekali (zero-coupon bond). Dalam
Bursa Efek Indonesia, obilgasi dibagi kedalam beberapa jenis,
yaitu:
1) Bedasarkan hak penukaran/opsi, yaitu:
(a) Convertible Bonds adalah obligasi yang memberikan
hak kepada pemegang obligasi untuk mengkonversikan
obligasi tersebut ke dalam sejumlah saham milik
penerbitnya.
(b) Exchangeable Bonds adalah obligasi yang memberikan
hak kepada pemegang obligasi untuk menukar saham
perusahaan ke dalam sejumlah saham perusahaan
afiliasi milik penerbitnya.
(c) Callable Bonds adalah obligasi yang memberikan hak
kepada emiten untuk membeli kembali obligasi pada
harga tertentu sepanjang umur obligasi tersebut.
39
(d) Putable Bonds adalah obligasi yang memberikan hak
kepada investor yang mengharuskan emiten untuk
membeli
kembali
obligasi
pada
harga
tertentu
sepanjang umur obligasi tersebut.
2) Bedasarkan penerbit dibagi menjadi sebagai berikut:
(a) Corporate Bonds adalah obligasi yang diterbitkan oleh
perusahaan, baik yang berbentuk badan usaha milik
negara (BUMN), atau badan usaha swasta.
(b) Government Bonds adalah obligasi yang diterbitkan
oleh pemerintah pusat.
(c) Municipal Bond adalah obligasi yang diterbitkan oleh
pemerintah daerah untut membiayai proyek-proyek
yang berkaitan dengan kepentingan publik (public
utility).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi harga obligasi
adalah suku bunga bank dan resiko gagal bayar, berikut
perinciannya (Bursa Efek Indonesia, 2015):
1) Suku bunga bank, harga obligasi berbanding terbalik
dengan suku bunga bank, apabila suku bunga naik maka
harga obligasi akan turun begitu juga dengan sebaliknya
apabila suku bunga turun maka harga obligasi akan naik.
40
2) Risiko gagal bayar (default risk), apabila emiten yang
mengeluarkan obligasi tersebut gagal bayar maka pemegang
obligasi tidak akan menerima kupon pembayaran dan juga
pelunasan hutang pada saat jatuh tempo. Hal ini akan
mempengaruhi turunya harga obligasi emiten tersebut di
pasar.
Dalam buku sekolah Pasar Modal Bursa Efek Indonesia
Kelas Basic juga mengatakan dalam berinvestasi pada obligasi
memiliki manfaat maupun risiko yang akan dihadapi. Adapun
manfaat dari investasi obligasi dapat berupa pendapatan tetap
atas kupon, capital gain, yeild suku bunga deposito dan agak
likuid. Sedangkan risiko yang dihadapi adalah adanya capital
loss, rentan terhadap pergerakan suku buga dan default risk yang
tinggi apabila emiten gagal bayar bunga dan atau pokok hutang.
b. Obligasi Syariah (Sukuk)
Menurut Otoritas Jasa Keuangan, Sukuk merupakan istilah
baru yang dikenalkan sebagai pengganti dari istilah obligasi
syariah (islamic bonds). Sukuk secara terminologi merupakan
bentuk jamak dari kata "sakk" dalam bahasa Arab yang berarti
sertifikat atau bukti kepemilikan. Sementara itu, Peraturan
Bapepam dan LK Nomor IX.A.13 memberikan definisi Sukuk
41
adalah Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan
yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak tertentu
(tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas:
1) aset berwujud tertentu (ayyan maujudat)
2) nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul ayyan) tertentu
baik yang sudah ada maupun yang akan ada;
3) jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada
4) aset proyek tertentu (maujudat masyru' muayyan); dan atau
5) kegiatan
investasi
yang
telah
ditentukan
(nasyath
ististmarin khashah)".
Sementara itu Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No.
32/DSN-MUI/IX/2002 mendefinisikan Obligasi syariah adalah
suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah
yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah
yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada
pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta
membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Sebagai
salah
satu
Efek
Syariah
sukuk
memiliki
karakteristik yang berbeda dengan obligasi. Sukuk bukan
merupakan surat utang, melainkan bukti kepemilikan bersama
atas suatu aset atau proyek. Setiap sukuk yang diterbitkan harus
mempunyai aset yang dijadikan dasar penerbitan (underlying
42
asset). Klaim kepemilikan pada sukuk didasarkan pada aset atau
proyek yang spesifik. Penggunaan dana sukuk harus digunakan
untuk kegiatan usaha yang halal. Imbalan bagi pemegang sukuk
dapat berupa imbalan, bagi hasil, atau marjin, sesuai dengan
jenis akad yang digunakan dalam penerbitan sukuk.
8. Inflasi
Inflasi adalah kenaikan harga barang-barang yang bersifat
umum dan berlangsung terus-menerus. Dikatakan adanya kenaikan
harga jika harga menjadi lebih tinggi daripada harga periode
sebelumnya, perbandingan harga juga bisa dilakukan bedasarkan
patokan musim. Dikatakan bersifat umum jika kenaikan harga
barang tersebut akan mempengaruhi sebagian besar harga barang
lainnya. Sedangkan dikatakan berlangsung terus-menerus adalah
ketika dalam beberapa periode seperti triwulan, bulanan dan tahunan
dapat dilihat kenaikan harga barang semakin tinggi dalam jangka
waktu tersebut.
Inflasi dalam mempengaruhi permintaan agregat melalui
kebijakan moneter yaitu dengan mengarahkan ekonomi makro ke
kondisi yang diinginkan (yang lebih baik) dengan mengatur jumlah
uang yang beredar. Kebijakan uang ketat (kontaraktif) akan
mengurangi jumlah uang beredar dalam masyarakat. kebalikannya,
kebijakan moneter eksansif akan menambah jumlah uang beredar.
Jika pemerintah mengambil kebijakan uang ketat, jumlah uang
43
beredar akan berkurang. Besar kemungkinan hal ini akan dapat
mengurangi daya beli secara agregat. Sebaliknya dengan kebijakan
moneter ekspansif yang menyebabkan uang beredar bertambah.
Pengaruh kebijakan moneter terhadap permintaan agregat. (Rahardja
dan Manurung, 2008: 362)
Menurut Rahardja dan Manurung (2008: 365), bedasarkan
faktor penyebabnya inflasi dapat di bagi dalam 3 jenis, yaitu :
a. Inflasi tekanan permintaan (demand-pull inflation)
Inflasi tekanan permintaan adalah inflasi yang terjadi karena
dominannya tekanan permintaan agregat. Tekanan permintaan
ini menyebabkan output perekonomian bertambah, tetapi
disertai inflasi dilihat makin tingginya tingkat harga umum.
Dalam
Inflasi tekanan permintaan,
tidak selalu
berarti
penawaran agregat tidak bertambah. Yang pasti kalaupun terjadi
pertambahan
penawaran
agregat,
jumlahnya
lebih
kecil
dibanding peningkatan permintaan agregat.
b. Inflasi dorongan biaya (cost-push inflation)
Inflasi dorongan biaya terhadi karena kenaikan biaya
produksi. biasanya menyebabkan penawaran agregat berkurang.
Naiknya biaya produksi disebabkan naiknya harga input pokok.
Jika yang berkurang adalah penawaran agregat, inflasi akan
disertai kontraksi ekonomi, sehingga jumlah output (PDB)
menjadi lebih kecil.
44
c. Stagflasi
Stagflasi menerangkan dua keadaan buruk, yaitu stagnasi
dan inflasi.
Stagnasi
adalah
kondisi di
mana
tingkat
pertumbuhan ekonomi sekitar nol persen pertahun. Jumlah
output relatif tidak bertambah, sayangnya kondisi ini disertai
oleh inflasi. Pada kondisi ini akan terjadi ketika permintaan
agregat bertambah sedangkan penawaran agreat berkurang.
Menurut Rahardja dan Manurung (2008: 367), ada beberapa
indikator ekonomi makro yang digunakan untuk mengetahui laju
inflasi selama satu periode tertentu, yaitu Indeks Harga Konsumen
(IHK), Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) dan Indeks Harga
Implisit (GDP deflator). Pada penelitian kali ini akan membahas
inflasi dengan menggunakan pendekatan Indeks Harga Konsumen
(IHK).
Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah angka indeks yang
menunjukan tingkan harga barang dan jasa yang harus dibeli
konsumen dalam satu periode tertentu. Angka IHK diperoleh dengan
menghitung harga-harga barang dan jasa utama yang dikonsumsi
masyarakat dalam satu periode tertentu. Masing-masing harga
barang dan jasa
tersebut diberi bobot bedasarkan tingkat
keutamaannya. Barang yang paling penting diberi bobot yang paling
besar.
Di
Indonesia
perhitungan
IHK
dilakukan
dengan
45
mempertimbangkan sekitar beberapa ratus komoditas pokok. Untuk
lebih mencerminkan keadaan yang sebenarnya, perhitungan IHK
dilakukan dengan melihat perkembangan regional, yaitu dengan
mempertimbangkan tingkat inflasi kota-kota besar terutama ibukota
provinsi-provinsi di Indonesia. (Rahardja dan Manurung, 2008: 367)
Rumus perhitungan Inflasi dengan IHK, yaitu:
Inflasi = (IHK – IHK-1)
IHK-1
Dilihat dari cakupan komoditas yang dihitung IHK kurang
mencerminkan tingkat inflasi yang sebenarnya, tetapi IHK sangat
berguna karena menggambarkan besarnya kenaikan biaya hidup bagi
konsumen, sebab IHK memasukan komoditas-komoditas yang
relevan (pokok) yang biasanya dikonsumsi masyarakat. Sampai
tingkat tertentu inflasi dibutuhkan untuk memicu pertumbuhan
penawaran agregat. Sebab kenaikan harga akan memacu produsen
untuk meningkatkan outputnya. Inlasi yang aman sekitar 5% -10%
pertahun. Namun, akan terjadi hyperinflation jika inflasi terjadi lebih
dari 100% pertahun. Hal ini akan mengganggu stabilitas ekonomi.
Ada beberapa masalah sosial yang muncul dari inflasi yang tinggi
yaitu lebih dari 10% pertahun, diantaranya yaitu (Rahardja dan
Manurung, 2008: 368):
46
a.
Menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat, diukur dari tingkat
daya beli pendapatan yang diperoleh masyarakat. inflasi
menyebabkan daya beli pendapatan makin rendah, bagi
masyarakat yang berpenghasilan kecil atau tetap. Sehingga
semakin tinggi tingkat inflasi, makin cepat penurunan tingkat
kesejahteraan.
b.
Makin buruknya distribusi pendapatan, dampak buruk inflasi
terhadap
tingkat
kesejahteraan
dapat
dihindari
jika
pertumbuhan tingkat pendapatan lebih tinggi dari tingkat
inflasi. Namun jika hanya segelintir orang yang mampu
meningkatkan pendapatannya lebih besar dari kenaikan inflasi.
Akibatnya hanya sebagian orang yang mampu menaikan
pendapatan riil, tetapi sebagian besar masyarakat mengalami
penurunan pendapatan riil. Distribusi pendapatan, dilihat dari
pendapatan riil, makin memburuk.
c.
Terganggunya stabilitas ekonomi, pengertian paling sederhana
dari stabilitas ekonomi adalah sangat kecilnya tindakan
spekulasi dalam perekonomian. Produsen berproduksi pada
kapasitas penuh. Konsumen juga memakai barang dan jasa
optimal dengan kebutuhan mereka. Kondisi nyaman ini akan
mulai terganggu bila inflasi yang relatif tinggi telah menjadi
kronis.
47
Sedangkan menurut para ekonom Islam, inflasi berakibat
sangat buruk bagi perekonomian karena:
a.
Menimbulkan gangguan dalam fungsi uang, terutama terhadap
fungsi tabungan, fungsi dari pembayaran di muka, dan fungsi
dari unit perhitungan. Orang harus melepaskan diri dari uang
dan aset keuangan akibat dari beban inflasi tersebut. Inflasi jua
telah mengakibatkan terjadinya inflasi kembali.
b.
Melemahkan
semangat
menabung
dan
sikap
terhadap
menabung dari masyarakat yaitu turunya marginal propensity
to save
c.
Meningkatkan kecenderungan untuk berbelanja terutama
untuk non-primer dan barang0barang mewah
d.
Mengarahkan investasi pada hal-hal yang non-produktif yaitu
penumpukan kekayaan seperti tanah bangunan, logam mulia,
mata uang asing dengan mengorbankan invetasi ke arah
produktif seperti; pertanian, industri, perdagangan, transportasi,
dan lainnya.
B.
Keterkaitan Antar Variabel
Mekanisme transmisi moneter dimulai dari tindakan bank sentral
dengan menggunakan instrumen moneter, apakah OPT atau dengan
menggunakan instrumen yang lain, dalam melaksanakan kebijakan
moneternya. Tindakan itu kemudian berpengaruh terhadap aktivitas
48
ekonomi dan keuangan melalui berbagai transmisi kebijakan moneter,
yaitu saluran uang, kredit, suku bunga, nilai tukar, harga aset dan
ekspektasi. Target kebijakan moneter akan berpengaruh dibidang
keuangan maupun di sektor riil hingga pertumbuhan ekonomi dan
inflasi yang merupakan sasaran akhir kebijakan moneter. (warjiyo,
2004:4). Dalam penelitian ini akan berfokus pada mekanisme transmisi
moneter di Indonesia melalui jalur harga aset.
Peran Harga aset mungkin berperan dalam mekanisme transmisi
kebijakan moneter yang dikenal secara teoritis, meskipun cukup sulit
untuk menggambarkan secara empiris. Hasil guncangan kebijakan
moneter dalam fluktuasi harga aset dengan kebijakan moneter
pelonggaran dapat meningkatkan harga saham dalam dua cara: (i)
dengan membuat ekuitas relatif lebih atraktif bagi obligasi (karena suku
bunga jatuh) dan (ii) oleh perbaikan dalam prospek pendapatan
perusahaan sebagai akibat dari pengeluaran lebih rumah tangga. Harga
ekuitas yang lebih tinggi memiliki dua dampak impuls moneter.
Pertama, harga ekuitas yang lebih tinggi meningkatkan nilai pasar
relatif perusahaan terhadap biaya penggantian modal, memacu investasi
juga, disebut sebagai Tobin q theory. Tobin q theory menggambarkan
mekanisme
Kebijakan
moneter
dengan
cara
mempengaruhi
perekonomian melalui dampak pada valuasi ekuitas. (Asif Idress Dkk,
2005: 15)
49
Kedua, Kenaikan harga saham diterjemahkan ke dalam kekayaan
finansial yang lebih tinggi dari rumah tangga dan konsumsi, karena itu
lebih tinggi. Konsumsi disini menurut model siklus hidup Modigliani,
konsumsi belanja ditentukan oleh sumber daya seumur hidup konsumen,
yang terdiri dari modal manusia, modal riil dan kekayaan finansial.
Komponen utama dari kekayaan finansial adalah saham biasa. Ketika
harga
saham
naik,
meningkat pula nilai kekayaan finansial,
meningkatkan sumber daya seumur hidup konsumen, sehingga
meningkatkan konsumsi. Selain itu, hingga harga saham yang lebih
tinggi meningkatkan kekayaan bersih perusahaan dan rumah tangga
yang meningkatkan akses mereka terhadap dana. (Asif Idress Dkk,
2005: 160)
Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai
instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan
perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. Namun jalur
atau transmisi dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran
inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time lag).
Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi
inflasi tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan
moneter. Mekanisme ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia
melalui
perubahan-perubahan
operasionalnya
mempengaruhi
instrumen
berbagai
moneter
variable
dan
ekonomi
target
dan
50
keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. (Bank
Indonesia, 2015)
Sebelum mendapatkan sasaran akhir untuk mencapai stabilitas
harga (inflasi), terdapat tahap-tahap yang dilakukan dalam transmisi
kebijakan moneter. Untuk menjalankan transmisi tersebut diperlukan
adanya instrumen moneter. dalam penelitian ini menggunakan
instrumen operasi pasar terbuka salah satunya SBI dan SBIS. Dengan
adanya penjualan surat-surat berharga ini maka tabungan giral
masyarakat dan cadangan yang dimiliki oleh bank umum akan
berkurang yang berarti jumlah uang beredar didalam perekonomian
juga berkurang.
Jumlah uang beredar pada M2 merupakan indikator yang baik
untuk melihat inflasi nanti pada akhirnya. Uang beredar yang terlalu
banyak atau uang yang beredar terlalu sedikit membawa stabilisasi
perekonomian yang buruk. Perekonomian yang baik dan stabil biasanya
ditopang kuat oleh sektor riil.
Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian
makro melalui perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan
menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi, sehingga
mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya
mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi
seperti konsumsi dan investasi. kondisi sektor keuangan, perbankan,
51
dan kondisi sektor riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau
tidaknya proses transmisi kebijakan moneter. (Bank Indonesia, 2015)
Perubahan suku bunga dan nilai tukar maupun besarnya investasi
di pasar uang rupiah dan valuta asing akan berpengaruh pula terhadap
volume dan harga obligasi, selanjutnya perkembangan tersebut akan
berdampak pada berbagai aktivitas di sektor riil. Pengaruh harga aset
pada konsumsi dan investasi akan mempengaruhi pula permintaan
agregat dan pada akhirnya akan menentukan tingkat output riil dan
inflasi dalam ekonomi. (Warjiyo, 2004: 14).
C.
Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Asif, Ahmed, Yasir dan Hastam,
Transmission Mechanism of Monetary Policy in Pakistan (2005).
Penelitian ini menganalisis menggunakan autoregressions vektor untuk
memeriksa
transmisi
moneter
Mekanisme
di
Pakistan.
Hasil
menunjukkan bahwa pengetatan moneter pertama mengarah penurunan
permintaan domestik, terutama permintaan investasi yang dibiayai oleh
pinjaman bank, yang diterjemahkan ke dalam pengurangan bertahap
dalam tekanan harga yang akhirnya mengurangi tingkat harga
keseluruhan dengan lag yang signifikan. Selain saluran suku bunga,
jalur harga aset aktif. Saluran nilai tukar kurang signifikan. Fakta
bahwa hubungan kebijakan moneter dengan sektor riil langsung yaitu,
melalui saluran pinjaman bank. Selain suku bunga tradisional dan
52
saluran pinjaman bank, kami juga menemukan saluran harga aset aktif
yang mungkin terutama karena korelasi kuat antara ukuran (IPI) dan
variabel pilihan yang mewakili jalur harga aset (KSEI).
Guinigundo
dalam
penelitiannya
mengenai
Transmission
Mechanism Of Monetary Policy In The Philippines (2006), ketersediaan
saluran kredit dan saluran harga aset tetap terkait erat karena peran
dominan dari sistem perbankan dalam sistem keuangan Filipina.
Liberalisasi pasar keuangan, ditambah dengan NPL besar, yang
merupakan sisa dari krisis keuangan Asia telah melemahkan
ketersediaan saluran kredit dan meluas pada saluran harga aset dari
kebijakan moneter. Sementara itu, saluran ekspektasi memiliki peran
lebih penting di sini, meningkatnya transparansi yang terkait dengan
penargetan inflasi telah meningkatkan kesadaran para pembuat
kebijakan tentang pentingnya mengukur ekspektasi inflasi masyarakat
dalam pelaksanaan kebijakan moneter.
Balazs Egert dan Ronald MacDonald dalam penelitiannya tentang
Monetary Transmission Mechanism in Central and Eastern Europe:
Surveying the Surveyable (2008), menyimpulkan bahwa saluran harga
aset memiliki pengaruh yang kecil dan mungkin akan tetap menjadi
saluran transmisi yang low profile. Saham dan pasar obligasi
berpengaruh terhadap keputusan investasi dan konsumsi karena efek
kekayaan dan pendapatan, namun kenyataannya pasar ini didominasi
oleh investor asing bukan oleh investor domestik. Akibatnya,
53
pergerakan harga di pasar ini hanya memiliki dampak yang terbatas
pada perekonomian melalui dua efek tersebut. Perubahan sistem
pembayaran pensiun untuk sistem pensiun swasta (sebagian) dapat
meningkatkan peran pasar modal untuk menopang mereka agar dapat
berinvestasi dalam saham dan obligasi swasta. Meskipun pengaruh
kebijakan moneter melalui pasar properti tidak tampak sangat penting
pada saat ini, saluran ini dapat tumbuh lebih kuat di masa depan dengan
pesatnya perkembangan perumahan terkait pinjaman.
Eva misfah bahyuni dan Ascarya, Analisis Pengaruh Instrumen
Moneter Terhadap Stabilitas Besaran Moneter Dalam Sistem Moneter
Ganda Di Indonesia (2010). Penelitian ini menggunakan Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) sebagai
variabel independen dan komponen besaran moneter, SBI rate, SBIS
return dan IHK sebagai variabel dependen. Penelitian ini menggunakan
metodologi Vector Auto Regression (VAR) dan Vector Error
Correction Model (VECM). Hasil pengujian menunjukkan bahwa
perubahan pada besaran moneter stabil dalam jangka pendek.
Perubahan pada SBI dan SBIS tidak terdefinisi dalam jangka panjang.
Selanjutnya pada komponen besaran moneter, hanya tabungan yang
stabil dan berpengaruh dalam jangka panjang. Sedangkan variabel
lainnya, hanya stabil dan efektif dalam jangka pendek. Selain itu,
hubungan perubahan besaran moneter dengan perubahan IHK hanya
stabil dalam jangka pendek, dan tidak terdefinisi dalam jangka panjang.
54
Ascarya, dalam Alur transmisi dan efektifitas kebijakan moneter
ganda di Indonesia (2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
mekanisme transmisi sistem moneter ganda dari konvensional
dan tingkat kebijakan Islam terhadap inflasi dan output menggunakan
metode Granger dan VAR, menggnakan data perbankan Januari 2003
sampai Desember 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
mekanisme transmisi konvensional pada semua kebijakan konvensional
terkait pada output dan inflasi, sedangkan tingkat kebijakan Islam tidak
terkait dengan produksi dan penambahan inflasi. pada suku bunga
kredit dan suku bunga PUAB konvensional memberikan guncangan
dampak negatif dan permanen terhadap inflasi dan output, sedangkan
PLS, pembiayaan Islam antar bank PLS, serta SBIS (Central Bank
Syariah Sertifikat) guncangan kebijakan suku bunga memberikan
dampak positif dan permanen terhadap inflasi dan output. SBI
(Sertifikat Bank Sentral) sebagai kebijakan konvensional berdampak
positif pada inflasi dan dampak negatif terhadap output.
Deswita herlina, dalam identifikasi mekanisme transmisi kebijakan
moneter di Indonesia tahun 2000-2011 (2013). Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengidentifikasi mekanisme kerja berbagai saluran
terutama interest rate, kredit (pinjaman bank dan neraca), saluran aset,
nilai tukar, pada periode 2000: 1-2011: 4. Analisa Teknik yang
digunakan adalah Kausalitas Granger. Hasil uji kausalitas Granger
menunjukkan bahwa SBI memiliki hubungan satu arah dengan PUAB
55
dan DEP, sedangkan PUAB tidak memiliki hubungan dengan KIBK
dan variabel IRSS memiliki hubungan satu arah dengan KIBK. Granger
Hasil uji kausalitas pada saluran suku bunga semua variabel memiliki
hubungan satu arah, kecuali KRSS variabel tidak memiliki hubungan
dengan DEP. Hasil uji kausalitas Granger pada saluran harga aset ada
hubungan antara IRSS dan KRSS terhadap IHSG. Hasilnya dalam
saluran nilai tukar dua arah hubungan antara PSB dengan NFA, dan
NTRMUA memiliki hubungan dua arah dengan CPI dan NTRMUA
tidak kausal hubungan dengan PDBR tersebut.
Ascarya, dalam Mekanisme Transmission Kebijakan Moneter
Dalam Sistem Keuangan Ganda Di Indonesia: jalur Bunga-Laba (2014).
Penelitian ini menggunakan variabel independen SBI, SBIS, PUAB,
PUAS, deposito konvensional dan syariah serta CCONS dan ICONS,
sedangkan untuk variabel dependen adalah IPI dan CPI. Penelitaian ini
juga menggunakan (ECM), (ARDL), dan (VECM). Hasil dari Respon
(IRF) dan (FEVD) menunjukkan bahwa sistem keuangan berbasis
bunga konvensional cenderung meningkatkan inflasi dan pertumbuhan
ekonomi menurun, sementara Sistem keuangan syariah yang bebas
bunga cenderung tidak mendorong inflasi dan tidak menghalangi
pertumbuhan ekonomi. Sedangkan hasil estimasi ECM, ARDL dan
VECM
menunjukkan
bahwa
dalam
sistem
keuangan
ganda,
peningkatan SBI cenderung meningkatkan inflasi dan cenderung ada
penurunan pertumbuhan ekonomi, sedangkan peningkatan SBIS
56
memberikan signifikan dampak inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Sehingga SBIS harus ditingkatkan menggunakan model PLS. Selain itu,
rendah dan stabilnya inflasi dan pertumbuhan ekonomi tumbuh cepat di
bawah sistem keuangan ganda dapat dicapai dengan meningkatkan
pangsa keuangan Islam, khususnya Perbankan syariah dalam sistem
keuangan ganda Indonesia.
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian mengenai analisis
mekanisme transimisi moneter konvensional dan syariah melalui jalur
harga aset dalam mempengaruhi inflasi di Indonesia dapat dilihat
perbedaannya melalui ruang lingkup penelitian, variabel yang
digunakan serta periode tahun penelitian.
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
No.
1.
Peneliti
Judul
Variabel
Metode dan Hasil
Diwa C.
Guinigundo (2006)
Transmission
Mechanism
Of Monetary
Policy In The
Philippines
Inflasi (CPI),
GDP, M3.
ER, Rentals,
Phisix, T-bill
rate, term
structure
Ketersediaan saluran kredit
dan saluran harga aset tetap
terkait erat karena peran
dominan dari sistem
perbankan dalam sistem
keuangan Filipina. Sisa dari
krisis keuangan Asia telah
melemahkan ketersediaan
saluran kredit dan meluas
pada saluran harga aset dari
kebijakan moneter.
Sedangkan saluran
ekspektasi memiliki peran
lebih penting
57
2.
Asif,
Ahmed,
Yasir dan
Hastam
(2005)
Transmission
Mechanism of
Monetary
Policy in
Pakistan
Jalur Kredit:
(IPI, Prices,
Loans, TB6)
Analisis VAR
Jalur harga
aset: ((IPI,
Prices, KSEI,
TB6)
Hasil menunjukkan bahwa
pengetatan moneter
mengarah pertama
penurunan permintaan
domestik, terutama
permintaan investasi yang
dibiayai oleh pinjaman
bank, yang diterjemahkan
ke dalam pengurangan
bertahap dalam tekanan
harga yang akhirnya
mengurangi tingkat harga
keseluruhan dengan lag
yang signifikan. Selain
saluran tradisional suku
bunga, hasilnya
menunjukkan mekanisme
transmisi di mana
bank memainkan peran
penting. Kami juga telah
menemukan jalur harga
aset aktif. Saluran nilai
tukar telah kurang
signifikan
Di Eropa Tengah dan Timur
saluran harga aset memiliki
pengaruh yang kecil dan
mungkin akan tetap menjadi
saluran transmisi yang low
profile. Salah satu
penyebabnya adalah karena
investasi didominasi oleh
investor asing bukan oleh
investor domestik
Jalur nilai
tukar: ((IPI,
Prices,
REER, TB6)
Jalur suku
bunga: (IPI,
Prices,
Loans,
REER,
KESEI, TB6)
3.
Balazs
Egert dan
Ronald
MacDonald (2008)
Monetary
Transmission
Mechanism in
Central and
Eastern
Europe:
Surveying the
Surveyable
MTM’s
variabel in
the countries
of europe
4.
Eva
Misfah
Analisis
Pengaruh
Besaran
moneter, SBI
Hasil:
Analisis VAR/VECM
58
Bahyuni
dan
Ascarya
(2010)
rate, SBIS
Instrumen
return, dan
Moneter
IHK
Terhadap
Stabilitas
Besaran
Moneter
Dalam Sistem
Moneter
Ganda Di
Indonesia
Hasil:
(a) perubahan pada besaran
moneter stabil dalam jangka
pendek.
(b) Perubahan pada SBI dan
SBIS tidak terdefinisi dalam
jangka panjang.
(c) komponen besaran
moneter, hanya tabungan
yang stabil dan berpengaruh
dalam jangka panjang.
(d) Sedangkan variabel
lainnya, hanya stabil dan
efektif dalam jangka
pendek. Selain itu,
hubungan perubahan
besaran moneter dengan
perubahan IHK hanya stabil
dalam jangka pendek, dan
tidak terdefinisi dalam
jangka panjang
5.
Ascarya
(2012)
Alur
transmisi dan
efektifitas
kebijakan
moneter
ganda di
Indonesia
2003-2009
suku bunga
kebijakan
moneter
konvensional,
suku bunga
simpanan,
dan pinjaman
perbankan
konvensional,
serta bagi
hasil/margin/f
ee kebijakan
moneter
syariah, bagi
hasil investasi
dan bagi
Metode granger dan VAR
Hasil:
mekanisme transmisi
konvensional pada
kebijakan konvensional
semua terkait pada output
dan inflasi, sedangkan
tingkat kebijakan Islam
tidak terkait dengan
produksi dan penambahan
inflasi.
59
6.
7.
Deswita
Herlina
(2013)
Ascarya
(2014)
Mekanisme
transmisi
kebijakan
moneter di
Indonesia
tahun 20002011
Mekanisme
Transmission
Kebijakan
Moneter
Dalam Sistem
Keuangan
Ganda Di
Indonesia:
jalur BungaLaba
hasil/margin
pembiayaan
perbankan
syariah, dan
inflasi IHK
SBI, PUAB,
PDBR, Inflasi
(IHK), IRSS,
KKBK,
KIBK,
KRSS, NFA,
nilai tukar
rupiah, expor
riil, IHSG,
deposito
berjangka,
PSB, suku
bunga kredit
investasi,
Metode kausalitas granger
Hasil:
Pada tabel ini hanya dilihat
Hasil uji kausalitas Granger
pada saluran harga aset ada
hubungan antara IRSS dan
KRSS terhadap IHSG.
Hasilnya dalam saluran
nilai tukar dua arah
hubungan antara PSB
dengan NFA, dan
NTRMUA memiliki
hubungan dua arah dengan
CPI dan NTRMUA tidak
kausal hubungan dengan
PDBR tersebut
SBI, SBIS,
Analisis dengan ECM,
ARDL dan VECM
PUAB,
PUAS,
Hasil:
deposito
konvensional ï‚· Respon (IRF) dan (FEVD)
dan syariah
menunjukkan sistem
serta CCONS
bunga konvensional
dan ICONS,
cenderung meningkatkan
IPI dan CPI
inflasi dan pertumbuhan
ekonomi menurun,dan
Sistem yang bebas bunga
cenderung tidak
mendorong inflasi dan
tidak menghalangi
pertumbuhan ekonomi.
ï‚· hasil estimasi ECM,
ARDL dan VECM
60
menunjukkan bahwa
dalam sistem keuangan
ganda, peningkatan SBI
meningkatkan inflasi dan
ada penurunan
pertumbuhan ekonomi,
sedangkan peningkatan
SBIS memberikan
signifikan dampak inflasi
dan pertumbuhan ekonomi
D. Kerangka Berfikir
Kebijakan moneter merupakan tindakan yang dilakukan oleh bank
sentral untuk mempengaruhi uang beredar dan kestabilan harga (Inflasi).
Bank sentral sebagai salah satu otoritas moneter dapat melaksanakan
kebijakan moneter dengan menggunakan instrumen kebijakan moneter
konvensional dan instrumen kebijakan moneter syariah (Andra, 2010: 36).
Penelitian ini mencoba menganalisis bagaimana mekanisme
transmisi kebijakan moneter konvensional dengan mekanisme transmisi
kebijakan moneter syariah dengan jalur harga aset, dalam mempengaruhi
stabilitas harga atau inflasi (IHK) dan membandingkan yang paling
mempengaruhi tingkat inflasi khususnya di Indonesia.
Pada kerangka berfikir dibawah ini, dapat dilihat bahwa di
Indonesia memiliki sistem transmisi kebijakan moneter ganda, yaitu
kebijakan moneter konvensional dan syariah. transmisi kebijakan
moneter konvensional menggunakan instrumen moneter operasi pasar
61
terbuka yaitu dengan variabel SBI, sedangkan sebagai instrumen moneter
syariah menggunakan variabel sukuk. Kemudian instrumen kebijakan
moneter tersebut akan mempengaruhi jumlah uang yang beredar. Dengan
jumlah uang yang beredar diharapkan akan berdampak pada harga aset,
baik pada sisi konvensional maupun pada sisi syariah. Dimana aktivitas
tersebut akan mempengaruhi investasi di masyarakat. Pada tujuan akhir
yang diharapkan tentu saja adanya stabilitas harga (inflasi).
62
Gambar 2.4
Kerangka Berfikir Penelitian
Sistem Transmisi
Moneter Ganda
Moneter
syariah
Moneter
konvensional
Instrumen Moneter
(SBI)
Instrumen Moneter
(SBIS)
Jumlah uang
Beredar (M2)
Jalur Harga Aset
Obligasi
(Konvensional)
Sukuk
(Syariah)
Inflasi (IHK)
Metode Analisis
(VAR/VECM)
Kesimpulan
63
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesa merupakan jawaban sementara atas suatu persoalan yang
masih perlu dibuktikan kebenarannya dan harus bersifat logis, jelas dan
dapat diuji. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Diduga
terdapat
hubungan
mekanisme
transmisi
moneter
konvensional melalui jalur aset dalam mempengaruhi inflasi di
Indonesia.
2. Diduga terdapat hubungan mekanisme transmisi moneter syariah
melalui jalur aset dalam mempengaruhi inflasi di Indonesia
3. Diduga terdapat hubungan yang lebih berpengaruh antara
mekanisme transmisi moneter konvensional dengan mekanisme
transmisi moneter syariah melalui jalur aset dalam mempengaruhi
inflasi di Indonesia.
64
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penghitungan
dan
pengelolaan
data
dalam
penelitian
ini
menggunakan bantuan Perangkat lunak komputer adalah E-Views..
Luasnya objek penelitian ini sehingga ruang lingkup variabel yang akan
digunakan bedasarkan pada data-data berikut ini:
1.
Data statistik Bank Indonesia (BI) berupa data bulanan Sertifikat
Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS),
Jumlah uang Beredar (M2), data Obligasi periode Januari 2011 –
Desember 2014.
2.
Data statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berupa data bulanan
Sukuk periode Januari 2011 – Desember 2014.
B. Model Pengumpulan Data
Penelitian ini adalah penelitian statistik deskriptif dan menggunakan
data sekunder maka metode yang digunakan dalam pengumpulan data
untuk melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Field research
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang
bersifat sekunder yaitu data yang diperoleh melalui hasil pengolahan
pihak kedua (data eksternal) atau data yang sudah dipublikasi untuk
65
65
menjelaskan gejala dari suatu fenomena, seperti pusat referensi Bank
Indonesia (BI) dan Bursa Efek Indonesia (BEI).
2. Library research
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang
diperoleh dari membaca literatur, buku, artikel, jurnal dan sejenisnya
yang berhubungan dengan aspek yang diteliti sebagai upaya untuk
memperoleh data yang valid.
3. Internet research
Terkadang buku referensi atau literatur yang kita miliki atau
pinjam di perpustakaan tertinggal selama beberapa waktu atau
kadaluarsa, karena ilmu selalu berkembang. Oleh karena itu, untuk
mengantisipasi hal tersebut penulis melakukan penelitian dengan
teknologi yang juga berkembang yaitu internet sehingga data yang
diperoleh merupakan data yang sesuai dengan perkembangan zaman.
C. Metode Analisis Data
Pada penelitian ini akan menganalisis dan mengolah data dengan
uji Vector Autoregressive (VAR). VAR merupakan model ekonometrika
yang digunakan dalam analisis kebijakan makroekonomi dinamik dan
stokastik. Siregar dan Irawan (2005) menjelaskan bahwa VAR
merupakan sistem-sistem persamaan yang memperlihatkan setiap
variabel sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag (lampau) dari
variabel itu sendiri, serta nilai lag dari variabel lain yang ada dalam
66
sistem. Variabel penjelas dalam VAR meliputi nilai lag dari variabel lain
yang ada dalam sistem VAR yang membutuhkan identifikasi retriks
untuk mencapai persamaan melalui interpretasi persamaan. (Ajija,dkk,
2011: 163)
Asumsi yang harus dipenuhi dalam analisis VAR adalah semua
variabel tak bebas bersifat stasioner, semua sisaan bersifat white noise,
yaitu memliki rerataan nol, ragam konstan, dan diantara variabel tak
bebas tidak ada korelasi. Uji kestasioneran data dapat dilakukan melalui
pengujian terhadap ada tidaknya unit root dalam variabel dengan diuji
Augmented Dekey fuller (ADF), adanya unit root akan menghasilkan
persamaan atau model regresi yang lancung. (Ajija,dkk, 2011: 164)
Pendekatan VAR sangat lazim digunakan untuk meneliti dampak
kebijakan moneter terhadap variabel ekonomi lainnya yang banyak
ditunjuk oleh peneliti lain untuk menganalisa hubungan dan dampak
kebijakan moneter. Seperti dalam penelitian ini yang menggunakan alat
transmisi kebijakan moneter konvensional dan syariah melalui jalur aset
dalam mempengaruhi stabilitas harga (inflasi). Sebelum memahami lebih
lanjut lihat pada gambar 3.1 dibawah ini mengenai proses dalam analisis
VAR:
67
Gambar 3.1
Proses Analisis VAR
Sumber: Yulizar dan Aan, 2013
Pendekatan yang digunakan untuk mengatasi persamaan regresi
lancung adalah dengan melakukan deferensiasi atas variabel endogen dan
eksogennya. Sehingga diperoleh variabel yang stasioner dengan derajat
l(n). Kestasioneran data melalui pendefernsian belum cukup, kita perlu
mempertimbangkan keberadaan hubungan jangka panjang dan pendek
dalam model. (Ajija,dkk, 2011: 164)
Pendektesian keberadaan kointegrasi ini dapat dilakukan dengan
metode Johansen atau Engel Grenger. Jika variabel-variabel tidak
terkointegrasi, maka dapat diterapkan VAR standar yang hasilnya akan
identik dengan OLS, setelah memastikan variabel tersebut sudah
stasioner pada derajat yang sama. Jika pengujian membuktikan terdapat
68
vektor kointegrasi, maka dapat diterapkan ECM untuk single equation
atau VECM untuk sistem equation. (Ajija, dkk, 2011: 164). Bedasarkan
penjelasan diatas berikut penjelasan alur uji VAR, yaitu sebagai berikut:
1. Uji Stasioneritas Data & Derajat Integrasi
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam estimasi model
ekonomi dengan data
time series adalah dengan menguji
stasioneritas pada data atau disebut juga stationary stochastic
process. Uji stasioneritas data ini dapat dilakukan dengan
menggunakan Augmented Dickey – Fuller (ADF) pada derajat yang
sama (level atau different) hingga diperoleh suatu data yang stasioner,
yaitu data yang variansnya tidak terlalu besar dan mempunyai
kecenderungan untuk mendekati nilai rata – ratanya (Enders, 1995)
dalam Ajija, dkk (2011:165).
Menurut Gujarati (2003: 817) dalam Ajija, dkk (2011:165)
menjelaskan bentuk persamaan uji stasioner dengan analisis ADF
dalam persamaan berikut.
Dimana :
Yt = bentuk dari first difference
= intersep
Y = variabel yang diuji stasioneritasnya
69
p = panjang lag yang digunakan dalam model
= error term
Dalam persamaan tersebut dapat kita ketahui bahwa H0
menunjukan adanya unit root dan H1 menunjukan kondisi tidak
adanya unit root. Jika dalam uji stasioneritas ini menunjukan nilai
ADFstatistik yang lebih besar daripada Mackinnon critical value, maka
dapat diketahui bahwa data tersebut stasioner karena tidak
mengandung unit root. Sebaliknya, jika nilai ADFstatistik lebih kecil
daripada Mackinnon critical value, maka dapat disimpulkan bahwa
data tersebut tidak stasioner pada derajat level. Dengan demikian,
differencing data untuk memperoleh data yang stasioner pada derajat
yang sama di first different I(1) harus dilakukan, yaitu dengan
mengurangi data tersebut dengan data periode sebelumnya.
Langkah-langkah pengujian akar unit sebagai berikut :
Hipotesis Ho : Data tersebut tidak stasioner pada tingkat Level.
Ha : Data tersebut stasioner pada tingkat Level.
Pengambilan keputusan dilakukan dengan kriteria :
Jika ADFSTATISTIK > Mackinnon critical value (critical value)
= 5% maka Ho ditolak
Jika ADFSTATISTIK < Mackinnon critical value (critical value)
= 5% maka Ha diterima
70
Uji akar unit ini digunakan untuk melihat apakah data yang
diamati stasioner atau tidak. Test ini sebenarnya hanya merupakan
pelengkap dari analisis VAR, mengingat tujuan dari analisis VAR
adalah untuk menilai adanya hubungan timbal balik di antara
variabel-variabel yang diamati, dan bukan test untuk data. Akan
tetapi, apabila data yang diamati adalah stasioner, hal ini akan
meningkatkan akurasi dari analisis VAR.
2. Uji Kointegrasi
Menurut Ajija, dkk (2011:190) Salah satu pendekatan yang
dapat digunakan dalam uji koentegrasi adalah dengan metode
Johansen. Uji koentegrasi metode Johansen dapat dianalisis melalui
model VAR dengan ordo P yang ditunjukan melalui persamaan.
dimana :
yt
= vektor k pada variabel yang tidak stasioner
πt
= vektor d pada varibel deterministik
Єt = vektor inovasi
Dimana yt vektor k dari variabel I(1) non stasioner, Xt adalah
vaktor dari variabel deterministik dan Єt vaktor inovasi. Ada
tidaknya koentegrasi didasarkan pada uji likehood ratio (LR). Jika
71
nilai hitung LR lebih besar dari nilai kritis LR maka kita menerima
adanya koentegrasi sejumlah variabel dan sebaliknya, jika nilai
hitung LR lebih kecil dari nilai kritisnya maka tidak ada koentegrasi.
Sebagaimana dinyatakan oleh Engle-Granger (1983) dalam
Widarjono
(2007:351),
keberadaan
variabel
nonstasioner
menyebabkan kemungkinan besar adanya hubungan jangka panjang
antara variabel di dalam sistem estimasi VAR. Berkaitan dengan hal
tersebut maka langkah selanjutnya di dalam estimasi VAR adalah uji
koentegrasi untuk mengetahui keberadaan hubungan antara variabel.
Apabila data tidak stasioner pada tingkat level akan tetapi stasioner
pada proses differensi data, maka kita harus menguji apakah data
tersebut mempunyai hubungan dalam jangka panjang atau tidak
dengan
melakukan
uji
koentegrasi.
Koentegrasi
merupakan
kombinasi hubungan linear dari variabel-variabel yang terintegrasi
akan menunjukan bahwa variabel tersebut mempunyai trend
stokhastik yang sama dan selanjutnya mempunyai arah pergerakan
yang sama dalam jangka panjang.
3. Model Empiris Dalam VAR
Penggunaan pendekatan struktural atau teoritis atas permodelan
persamaan simultan biasanya menerapkan teori ekonomi di dalam
usahanya untuk mendeskripsikan hubungan antar variabel yang ingin
di uji. Disebut persamaan struktural karena hubungan variabel di
72
dalam persamaan dibentuk atas dasar teori ekonomi. Estimasi
persamaan struktural tersebut akan menyediakan informasi numerik
dan sekaligus alat uji kepada teori. Akan tetapi sering kali teori
ekonomi belum mampu menentukan spesifikasi yang tepat.
Widarjono (2007:345) teori ekonomi terlalu komplek sehingga
semlifikasi harus dijelaskan dengan teori yang ada. VAR muncul
sebagai jalan keluar atas permasalahan ini, model VAR dibangun
dengan pertimbangan meminimalkan pendekatan teori dengan tujuan
agar mampu menangkap fenomena ekonomi dengan baik. Dengan
demikian VAR adalah model non struktural atau merupakan model
tidak teoritis (ateoritis).
Dengan VAR kita hanya perlu memperhatikan dua hal, yang
pertama adalah kita tidak perlu membedakan mana yang merupakan
variabel endogen dan eksogen. Semua variabel baik endogen
maupun eksogen yang dipercaya saling berhubungan seharusnya
dimasukan di dalam model. Namun kita juga bisa memasukan
variabel eksogen di dalam VAR, dan yang kedua adalah untuk
melihat hubungan antar variabel di dalam VAR kita membutuhkan
sejumlah kelambanan variabel yang ada. Kelambanan variabel ini
diperlukan untuk menangkap efek dari variabel tersebut terhadap
variabel yang lain di dalam model (Widarjono, 2007:346).
Diperlukan sebuah strategi dalam pembentukan VAR agar tidak
terjadi miss-spesifikasi di dalam pembentukannya. Karenanya
73
estimasi model VAR akan dilakukan dengan tahapan-tahapan berikut
secara berurutan. Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan
dalam menggunakan metode ini, pertama akan dilakukan pengujian
stasioneritas dari setiap series yang digunakan di dalam model. Hasil
series stasioner akan berujung pada penggunaan VAR pada dua
pilihan VAR, VAR dalam bentuk difference atau VECM (Vector
Error Correction Model). Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini
adalah sebagai berikut :
a. VAR (Unrestricted VAR)
VAR biasa atau tanpa restriksi digunakan jika data yang
digunakan di dalam pembentukan VAR, stasioner di tingkat
level. Variasi VAR tanpa restriksi biasanya terjadi akibat adanya
perbedaan derajat integritas data variabelnya ketika data yang
digunakan memiliki bentuk stasioner dalam level. Sementara,
jika data tidak stasioner dalam level tetapi tidak memiliki
hubungan kointegrasi, maka estimasi VAR dapat dilakukan
dalam bentuk difference.
b. VECM (Restricted VAR)
Model VECM digunakan di dalam model VAR non struktural
apabila data time series tidak stasioner pada level, tetapi
stasioner pada data diferensi dan terkoentegrasi sehingga
menunjukan adanya hubungan teoritis antar variabel.
74
4. IRF (Impulse Response)
Sims (1992) menjelaskan bahwa fungsi IRF menggambarkan
ekspetasi K-periode kedepan dari kesalahan prediksi suatu variabel
yang lain. Dengan demikian, lamanya pengaruh dari shock suatu
variabel terhadap variabel lain sampai pengaruhnya hilang atau
kembali ke titik keseimbangan dapat dilihat atau diketahui. (Ajija,
dkk, 2011:168)
5. Variance Decomposition
Variance
Decomposition
atau
disebut
Forecast
Error
Decomposition of Variance merupakan perangkat pada model VAR
yang akan memisahkan variasi dari sejumlah variabel yang
diestimasi menjadi komponen-komponen shock atau menjadi
variabel Innovation, dengan asumsi bahwa
innovation
tidak
saling
berkorelasi.
variabel-variabel
Kemudian
Variance
Decomposition akan memberikan informasi mengenai proporsi dari
pergerakan pengaruh shock pada sebuah variabel terhadap shock
variabel lainnya pada periode saat ini dan periode yang akan datang. .
(Ajija, dkk, 2011:168).
75
D. Model Penelitian
Model yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
model, yaitu mekanisme transmisi moneter konvensional dan syariah.
Dengan model pertama yaitu mekanisme transmisi moneter konvensional
melalui jalur harga aset terhadap inflasi dan model kedua yaitu
mekanisme transmisi moneter syariah melalui jalur harga aset terhadap
inflasi. Model I dan II dijabarkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 3.1
Model Penelitian Mekanisme Transmisi Moneter Melalui Jalur
Harga Aset
Model
Penjabaran
I
IHKt = f (SBIt, M2t, Obligasit)
II
IHKt = f (SBISt, M2t, Sukukt)
E. Operasional Data Penelitian (Variabel)
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, berikut ini definisi operasional
variabel yang digunakan dalam penelitian :
1. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
SBI adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan)
dengan
sistem
diskonto/bunga.
SBI
merupakan
salah
satu
76
mekanisme yang digunakan Bank Indonesia untuk mengontrol
kestabilan nilai Rupiah. Data operasional yang digunakan dalam
penelitian ini diambil dari data statistik Bank Indonesia (BI)
bedasarkan hitungan bulanan, yaitu dari bulan Januari 2011 –
Desember 2014 yang dinyatakan dalam bentuk milyar rupiah
2. Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
(SBIS) adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai
bukti penitipan dana jangka pendek. SBIS merupakan piranti
moneter yang sesuai prinsip pada Bank Syariah yang diciptakan
dalam rangka pelaksanaan pengendalian moneter dan dapat
dimanfaatkan oleh Bank Syariah untuk mengatasi bila terjadi
kelebihan pada tingkat likuiditas. Data operasional yang digunakan
dalam penelitian ini diambil dari data statistik Bank Indonesia (BI)
bedasarkan hitungan bulanan, yaitu dari bulan Januari 2011 –
Desember 2014 yang dinyatakan dalam bentuk milyar rupiah.
3. Jumlah Uang Beredar (M2)
Uang beredar didefenisikan sebagai kewajiban sistem moneter
terhadap sektor swasta domestik. Uang beredar dalam arti luas sering
disebut juga sebagai likuiditas perekonomian diberi simbol M2,
didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor
swasta domestik yang terdiri dari uang kartal (C), uang giral (D) dan
uang kuasi (T). Data operasional yang digunakan dalam penelitian
77
ini diambil dari data statistik Bank Indonesia (BI) bedasarkan
hitungan bulanan, yaitu dari bulan Januari 2011 – Desember 2014
yang dinyatakan dalam bentuk milyar rupiah.
4. Obligasi (Bonds)
Obligasi merupakan surat utang jangka menengah-panjang yang
dapat dipindahtangankan yang berisi janji dari pihak yang
menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode
tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan
kepada pihak pembeli obligasi tersebut. Data operasional yang
digunakan dalam penelitian ini diambil dari data statistik Bank
Indonesia (BI) bedasarkan hitungan bulanan, yaitu dari bulan Januari
2011 – Desember 2014 yang dinyatakan dalam bentuk milyar rupiah.
5. Sukuk
Sukuk merupakan pengganti dari obligasi syariah (islamic bonds).
Sukuk menurut Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13
memberikan definisi Sukuk adalah Efek Syariah berupa sertifikat
atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang
tidak tertentu. Data operasional yang digunakan dalam penelitian ini
diambil dari data statistik Otoritas Jasa keuangan (OJK) bedasarkan
hitungan bulanan, yaitu dari bulan Januari 2011 – Desember 2014
yang dinyatakan dalam bentuk milyar rupiah.
78
6. Inflasi (IHK)
Inflasi adalah kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan
berlangsung terus-menerus. Dikatakan adanya kenaikan harga jika
harga menjadi lebih tinggi daripada harga priode sebelumnya,
perbandingan harga juga bisa dilakukan bedasarkan patokan musim.
Dikatakan bersifat umum jika kenaikan harga barang tersebut akan
mempengaruhi sebagian besar harga barang lainnya. Sedangkan
dikatakan berlangsung terus-menerus adalah ketika dalam beberapa
periode seperti triwulan, bulanan dan tahunan dapat dilihat kenaikan
harga barang semakin tinggi dalam jangka waktu tersebut. Data
operasional yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari data
statistik Bank Indonesia hitungan bulanan, yaitu dari bulan Januari
2011 – Desember 2014 yang dinyatakan dalam bentuk persentase.
79
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian
Pada penelitian mekanisme transmisi moneter ini, instrumen moneter
yang digunakan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu instrumen moneter
konvensional dan syariah. Instrumen moneter konvensional dicerminkan
melalui besarnya Sertifikat Bank Indonesia (SBI), sedangkan Instrumen
moneter syariah dicerminkan melalui Sertifikat Bank Indonesia Syariah
(SBIS). Kemudian melihat transmisi tersebut dengan jalur harga aset,
dimana dalam transmisi moneter konvensional menggunakan nilai emisi
obligasi sedangkan untuk transmisi moneter syariah menggunakan nilai
emisi sukuk. Nilai emisi adalah jumlah nilai obligasi dan sukuk yang
sudah beredar. sehingga pada akhirnya dapat pula mempengaruhi
stabilitas harga (inflasi).
1. Perkembangan Inflasi
Inflasi menjadi perhatian yang serius dalam sebuah negara dan
tidak dapat dibiarkan begitu saja. Inflasi mendapat perhatian yang
serius dari pemerintah maupun Bank Indonesia selaku lembaga resmi
yang bertugas untuk mengatur stabilitas nilai rupaiah. Dalam
mengatur inflasi, pemerintah juga membuat target inflasi agar dapat
terarah dalam menjaga stabilitas harga tersebut. Target atau sasaran
80
80
inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank
Indonesia, berkoordinasi dengan Pemerintah. Kestabilan inflasi
merupakan
prasyarat
bagi
pertumbuhan
ekonomi
yang
berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian
inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan
tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial
ekonomi masyarakat. (Bank Indonesia, 2015)
Setiap tahun kita dapat merasakan naiknya harga suatu barang
yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama
kebutuhan pokok. Hal tersebut dikarenakan adanya peningkatan
tingkat inflasi di negara kita yang mengakibatkan harga barang-barang
kebutuhan kita mengalami kenaikan. Dampak tersebut sangat
dirasakan, dimana daya beli masyarakat menjadi terus berkurang
namun kebutuhan tersebut harus tetap terpenuhi. Hal ini dapat dilihat
dari indeks harga konsumen. Fenomena inflasi merupakan salah satu
peristiwa moneter yang sangat penting dan yang dijumpai hampir
semua negara di dunia. Inflasi juga merupakan indikator utama untuk
mengukur tingkat kestabilan perekonomian di suatu negara. Tingkat
inflasi yang cenderung stabil setiap periodenya
juga
dapat
mencerminkan bahwa perekonomian di negara tersebut cenderung
stabil juga.
81
Dari gambar 4.1 dapat dilihat pergerakan dari tahun 2008 sampai
akhir 2014 kemampuan daya beli masyarakat akibat inflasi semakin
menurun. Disajikan pada gambar berikut mengenai perkembangan
inflasi di Indonesia dalam periode Januari 2011 sampai dengan
Desember 2014 dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 4.1
Perkembangan inflasi (IHK) Periode Januari 2011 s.d
Desember 2014 Di Indonesia
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), diolah
2. Perkembangan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Sertifikat
Bank Indonesia Syariah (SBIS)
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka
waktu pendek (1-3 bulan) dengan sistem diskonto atau bunga. SBI
digunakan untuk menjaga kestabilan rupiah dimana dengan penjualan
SBI Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang primer yang
beredar. Sejak Juli 2005, Bank Indonesia melakukan perhitungan suku
82
bunga setifikat Bank Indonesia dengan cara mengumumkan target
suku bunga SBI yang diinginkan Bank Indonesia untuk pelelangan
pada masa periode tertentu. (Masyitha, 2012: 40)
Dari gambar 4.2, posisi SBI cenderung terus mengalami
penurunan dari tahun 2011 sampai tahun 2014. Disajikan pada gambar
berikut mengenai perkembangan SBI di Indonesia dalam periode
Januari 2011 sampai dengan Desember 2014 dapat dilihat pada
gambar berikut ini.
Gambar 4.2
Perkembangan SBI Periode Januari 2011 s.d Desember 2014
Di Indonesia
sumber : Bank Indonesia, di olah
Pada tahun di berlakukan dua sistem moneter, yaitu moneter
konvensional dan moneter syariah. Sehingga munculah berbagai
instrumen
moneter
syariah,
salah
satunya
SBIS.
Dengan
dikeluakannya peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008
mengenai Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) maka peraturan
83
mengenai SWBI resmi dicabut. SBIS diterbitkan oleh Bank Indonesia
sebagai salah satu instrumen operasi pasar terbuka pengganti SWBI
dalam rangka pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan
Prinsip Syariah. SBIS yang diterbitkan menggunakan akad Ju’alah,
yaitu janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan
tertentu (’iwadhju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan
dari suatu pekerjaan.
Dari gambar 4.3 dapat dilihat posisi SBIS sangat berbeda sekali
dengan posisi dari SBI, SBIS cenderung mengalami kenaikan yang
signifikan setiap tahunnya. Disajikan pada gambar berikut mengenai
perkembangan SBIS di Indonesia dalam periode Januari 2011 sampai
dengan Desember 2014 dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 4.3
Perkembangan SBIS Periode Januari 2011 s.d Desember 2014
Di Indonesia
sumber : Bank Indonesia, di olah
3. Perkembangan Uang Beredar M2
84
Uang Beredar adalah kewajiban sistem moneter (Bank Sentral,
Bank Umum, dan Bank Perkreditan Rakyat/BPR) terhadap sektor
swasta domestik (tidak termasuk pemerintah pusat dan bukan
penduduk). Kewajiban yang menjadi komponen Uang Beredar terdiri
dari uang kartal yang dipegang masyarakat (di luar Bank Umum dan
BPR), uang giral, uang kuasi yang dimiliki oleh sektor swasta
domestik, dan surat berharga selain saham yang diterbitkan oleh
sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa
jangka waktu sampai dengan satu tahun. Uang Beredar dapat
didefinisikan dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2). Uang
Beredar disusun dengan mengacu pada Monetary and Financial
Statistics Manual (MFSM) 2000 dan Compilation Guide (2008).
Adapun cakupan uang beredar M2 adalah pada bank yang beroperasi
di Indonesia yaitu pada Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
(Bank Indonesia, 2015)
Semakin banyak jumlah uang beredar maka nilai tukar rupiah
cenderung akan melemah dan
harga-harga
akan
meningkat.
pertumbuhan jumlah uang beredar yang tinggi sering kali juga
menjadi penyebab tingginya inflasi karena meningkatnya jumlah uang
beredar akan menaikan permintaan yang pada akhirnya jika diikti oleh
pertumbuhan di sektor riil akan menyebabkan naiknya harga. (Bank
Indonesia, Indonesian Economic Review and Outlook: 2013)
85
Dari gambar 4.4 dapat dilihat dari tahun ke tahun jumlah uang
beredar M2 selalu mengalami kenaikan yang signifikan. Hal ini pula
bedasarkan penjabaran diatas bahwa semakin banyak jumlah uang
beredar maka tingkat inflasi juga semakin tinggi. Jika jumlah uang
beredar terus meningkat adalah berkaitan, disebabkan harga-harga
mengalami kenaikan dengan volume transaksi yang sama dari tahuntahun sebelumnya.
Peningkatan jumlah uang beredar M2 ini bisa disebabkan karena
aktivitas perbankan atau intervensi Bank Indonesia. Pertumbuhan
uang beredar yang mengalami peningkatan sejalan dengan kebutuhan
liquiditas masyarakat yang juga mengalami peningkatan. Disajikan
pada gambar berikut mengenai perkembangan M2 di Indonesia dalam
periode Januari 2011 sampai dengan Desember 2014 dapat dilihat
pada gambar berikut ini:
Gambar 4.4
Perkembangan SBIS Periode Januari 2011 s.d Desember 2014
Di Indonesia
Sumber : Bank Indonesia, data di olah
86
4. Perkembangan Obligasi dan Obligasi Syariah (Sukuk)
Obligasi merupakan surat utang jangka menengah-panjang yang
dapat dipindahtangankan yang berisi janji dari pihak
yang
menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode
tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan
kepada pihak pembeli obligasi tersebut. (Bursa Efek Indonesia, 2015)
Meskipun pasar obligasi korporat relatif kecil dibanding total
kredit perbankan, pasar ini tetap menjadi sumber pendanaan yang
penting untuk beberapa Emiten. Manfaat utama adalah tersedianya
sumber pendanaan jangka panjang dan ada insentif meningkatkan tata
kelola perusahaan serta umumnya tidak diperlukan agunan khusus
yang diikat. Karena itu di masa depan prospek pasar obligasi korporat
tetap cerah, khususnya untuk Emitmen yang dapat memenuhi syarat,
termasuk syarat pemeringkatan. (Kahlil Rowter, 2005: 1)
Asia Bond Monitor dalam Asian Development Bank (ADB),
Pasar obligasi di kawasan berkembang Asia Timur tumbuh 12,1
persen (yoy) menjadi USD 6,7 triliun pada akhir Maret 2013.
Kenaikan ini didorong oleh pertumbuhan dua digit pada obligasi
korporasi.
Indonesia
adalah pasar obligasi korporasi dengan
pertumbuhan tertinggi di kawasan tersebut, yang mencapai 26,9
persen (yoy) menjadi USD 20 miliar. Tingkat imbal hasil obligasi
87
pemerintah cenderung mengalami penurunan sejak akhir 2012 dan
meningkat sejak awal 2013 akibat kekhawatiran inflasi.
Dari gambar 4.5 dapat dilihat Obligasi Korporasi memiliki
kenaikna yang signifikan setiap tahunnya, bahkan dapat dilihat bahwa
emisi obligasi korporasi dapat meningkat signifikan disetiap bulannya.
Disajikan pada gambar berikut mengenai perkembangan Obligasi
Korporasi di Indonesia dalam periode Januari 2011 sampai dengan
Desember 2014 dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 4.5
Perkembangan Obligasi Korporasi Periode Januari 2011 s.d
Desember 2014 Di Indonesia
Sumber : Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di olah
Dibidang pasar modal syariah terdapat yang disebut obligasi
syariah (sukuk). Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang
telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah
sukuk. Di beberapa negara sukuk telah menjadi instrumen pembiayaan
88
anggaran negara yang penting. Di Indonesia, pasar keuangan syariah
termasuk
sukuk
tumbuh
dengan
cepat,
meskipun
porsinya
dibandingkan pasar konvensional masih relatif sangat kecil. Untuk
keperluan pengembangan basis sumber pembiayaan anggaran negara
dan dalam rangka pengembangan pasar keuangan syariah dalam
negeri, pemerintah telah mengesahkan RUU tentang Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN). (Abdul Fatah, 2011: 2)
UU SBSN tersebut akan menjadi legal basis bagi penerbitan dan
pengelolaan sukuk negara. tujuan diterbitkannya sukuk adalah untuk
memperluas basis sumber pembiayaan anggaran negara atau
perusahaan, mendorong pengembangan pasar keuangan syariah,
menciptakan benchmark di pasar keuangan syariah, diversifikasi basis
investor,
mengembangkan
alternatif
instrumen
investasi,
mengoptimalkan pemanfaatan barang milik negara atau perusahaan,
dan memanfaatkan dana-dana masyarakat yang belum terjaring oleh
sistem obligasi dan perbankan konvensional. (Abdul Fatah, 2011: 2)
Fakta selama ini menunjukkan bahwa pasar sangat responsif
terhadap penerbitan sukuk. Hampir semua sukuk yang diterbitkan,
diserap habis oleh pasar, bahkan pada beberapa kasus menimbulkan
kelebihan permintaan. Sukuk di Indonesia, pertama kali diterbitkan
oleh PT Indonesian Satellite Corporation (Indosat) pada bulan
September tahun 2002 dengan nilai Rp 175 miliar. Langkah Indosat
tersebut diikuti perusahaan-perusahaan besar lainnya. Nilai penerbitan
89
sukuk korporasi hingga akhir 2008 mencapai 4,76 triliun. (Abdul
Fatah, 2011: 7)
Selama tahun 2013, terdapat 10 penerbitan sukuk korporasi dan
16 sukuk negara dengan total nilai mencapai Rp51,4 triliun. Total
penerbitan sukuk di Indonesia tersebut menyumbang lima persen
penerbitan sukuk di seluruh dunia. Maraknya investasi sukuk juga tak
lepas dari surat edaran beromor SE-13/BL/2012 pada 19 September
2012. Ini merupakan turunan dari Peraturan Bapepam-LK Nomor IX.
A.1 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran.
Kehadiaran surat edaran tersebut telah memberi penegasan dan
kepastian
hukum
diperbolehkannya
emiten
yang mengajukan
pendaftaran obligasi dan sukuk dalam waktu bersamaan untuk
menyampaikan informasi penawaran tertulis dalam satu prospektus.
Dari gambar 4.6 dapat dilihat perkembangan sukuk sama dengan
obligasi, yaitu semakin meningkat signifikan dari tahun-tahun
sebelumnya. Namun, sukuk terlihat mengalami peningkatan tidak
disetiap bulannya tetapi hanya pada setiap tahunnya sukuk mengalami
peningkatan yang signifikan. Disajikan pada gambar berikut mengenai
perkembangan Sukuk korporasi di Indonesia dalam periode Januari
2011 sampai dengan Desember 2014 dapat dilihat pada gambar
berikut ini.
90
Gambar 4.6
Perkembangan Sukuk Periode Januari 2011 s.d Desember
2014 Di Indonesia
Sumber: Otoritas jasa Keuangan (OJK), di olah
B. Analisis Uji Ekonometrik
1.
Uji Stasioner Data dan Derajat Integrasi
Uji stasioneritas data dilakukan pada setiap variabel yang
digunakan pada model. Langkah ini digunakan untuk menghindari
masalah regresi lancung (spurious regression) karena data yang
digunakan pada penelitian ini adalah data time series. Data time
series umumnya tidak stasioner karena mengandung unit root pada
tingkat level. Uji stasioneritas ini dilakukan pada tingkat level dan
first difference. (Mirsad, 2014: 22)
Uji stasioneritas variabel dilakukan dengan Uji Akar Unit
metode
Augmented
Dickey-Fuller test
(ADF)
dengan
cara
91
membandingkan antara ADF statistic dengan critical values Mac
Kinnon pada derajat signifikansi 5%.
Tabel 4.1
Uji Stasoneritas Variabel Dengan Metode ADF Test
Variabel
LSBI
LSBIS
LM2
LOBL
LSKK
LIHK
Prob.
ADF
0.2740
0.7547
0.9004
0.4951
0.9323
0.3162
Uji stasoneritas variabel dengan metode ADF test
Level
1’st difference
t-statistic
Prob.
t-statistic
p-value
p-value
ADF
ADF
ADF
-2.028643
-2.926622
0.0001 -5.053591
-2.926622
-0.974226
-2.926622
0.0001
-5.267944
-2.926622
-0.401119
-2.925169
0.0001
-8.676118
-2.926622
-1.559326
-2.925169
0.0000
-7.312716
-2.926622
-0.191069
-2.925169
0.0000
-5.568410
-2.926622
-1.929683
-2.926622
0.0103 -3.569290
-2.926622
Sumber : Data yang diolah
Hasil dari uji stationer untuk keenam variabel ditampilkan
dalam tabel 4.1 dapat disimpulkan tidak ada variabel yang stationer
pada tingkatan level. Untuk alasan tersebut, maka dilakukan uji
integrasi pada first difference. Pada tingkat first difference semua
veriabel telah stasioner, yaitu variabel LSBI, LSBIS, LM2, LOBL,
LSKK dan LIHK. Hal ini diihat dari nilai probabilitas ADF seluruh
variabel, yaitu menunjukan nilai kurang dari α = 0,05, maka smua
variabel tidak terjadi unit root pada tingkat first difference.
92
2. Uji Kointegrasi
Menurut Firdaus (2011), Uji Kointegrasi dilakukan untuk
menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner pada level
terkointegrasi atau tidak. Uji Kointegrasi mengimplikasikan bahwa
dalam sistem persamaan mengimplikasikan bahwa dalam sistem
tersebut terdapat error correction model yang menggambarkan
adanya dinamisasi jangka pendek secara konsisten dengan hubungan
jangka
panjangnya.
Kointegrasi
mempresentasikan
hubungan
keseimbangan jangka panjang. Uji kointegrasi dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan Johansen dengan membandingkan trace
statistic dengan nilai kritis sebesar 5 persen. Jika nilai trace statistik
lebih besar dibandingkan nilai kritisnya maka terdapat kointegrasi
dalam sistem persamaan tersebut. (Masyitha, 2012: 51)
Sebelum dapat mengetahui terkointegrasinya variabel-variabel
dibutuhkan adanya nilai lag yang akan digunakan untuk uji-uji
berikutnya, yaitu dengan menguji lag lenght. Berikut ini adalah hasil
dari lag lenght untuk model 1 dan model 2:
Tabel 4.2
Hasil Lagh Lenght
Lag
0
1
2
AIC
MODEL 1
-2.496501
-11.06094*
-10.98597
MODEL 2
-1.208476
-8.937799
-8.989448*
93
Dari hasil tabel 4.2 tersebut menyatakan bahwa dalam penelitian
ini lag yang digunakan adalah pada model 1 berada pada lag ke-1,
sedangkan pada model 2 berada pada lag ke-2. Hal tersebut dapat
dilihat dari nilai AIC yang memiliki tanda bintang.
Detelah mengetahui angka lag lenght, maka berikutnya adalah
hasil uji kointegrasi Johansen mekanisme transmisi kebijakan
moneter konvensional melalui jalur harga aset (model 1):
Tabel 4.3
Hasil Uji Kointegrasi Johansen (Model 1)
Hipotesa
Trace
statistic
5% critical
value
Prob.
Kesimpulan
None
35.40148
47.85613
0.4270
Tidak terkoitengrasi
At most 1
19.01965
29.79707
0.4915
Tidak terkointegrasi
At most 2
9.643231
15.49471
0.3092
Tidak terkointegrasi
At most 3
1.140973
3.841466
0.2854
Tidak terkointegrasi
Sumber : data yang diolah
Tabel 4.3 menunjukan bahwa tidak terdapat hubunngan
kointegrasi pada Model I. Hal ini dikarenakan nilai probabilitas
berada diatas nilai probabilitas α = 5%. Sehingga untuk uji
selanjutnya tidak dapat lanjut untuk uji jangka panjang yaitu pada uji
VECM, namun hanya sampai uji VAR saja.
94
Berikut ini adalah hasil uji kointegrasi Johansen mekanisme
transmisi kebijakan moneter syariah melalui jalur harga aset (model
II):
Tabel 4.4
Hasil Uji Kointegrasi Johansen (Model II)
Trace
5% critical
statistic
value
None
41.27025
At most 1
Hipotesa
Prob.
Kesimpulan
47.85613
0.1802
Tidak terkoitengrasi
23.11818
29.79707
0.2403
Tidak terkointegrasi
At most 2
10.34865
15.49471
0.2549
Tidak terkointegrasi
At most 3
2.368395
3.841466
0.1238
Tidak terkointegrasi
Sumber : data yang diolah
Tabel 4.4 menunjukan bahwa juga tidak terdapat hubunngan
kointegrasi pada Model II. Hal ini dikarenakan nilai probabilitas
berada diatas nilai probabilitas α = 5%. Sehingga untuk uji
selanjutnya tidak dapat lanjut untuk uji jangka panjang yaitu pada uji
VECM, namun hanya sampai pada uji VAR saja.
Sehingga kesimpulan dari hasil uji kointegrasi Johansen dari
kedua modal diatas adalah sebagai berikut:
95
Tabel 4.5
Rangkuman Hasil Uji Kointegrasi
Model
Kesimpulan
I
Tidak Terkointegrasi, Model
VAR
II
Tidak terkointegrasi, Model
VAR
Sumber : data yang diolah
3. Estimasi VAR
Dari hasil uji kointegrasi sebelumnya terbukti bahwa tidak
terdapat kointegrasi pada kedua model. Untuk itu digunakanlah
model VAR untuk menganalisis responsivitas Inflasi (IHK) terhadap
instrumen moneter dalam mekanisme transmisi moneter. Dengan
analisis VAR dapat diketahui hubungan jangka pendek saja antar
variabel.
Setelah menguji stasioneritas, menemukan panjang lag atau
kelambanan dan melakukan uji koentegrasi, selanjutnya dilakukan
pembentukan model VAR. Tabel 4.6 menyajikan hasil estimasi
dengan VAR. Uji-t dilakukan pada level of significant (α) 5%
dengan nilai t-tabel 2,014103. Berikut adalah hasil dari estimasi
VAR model I.
96
Tabel 4.6
Hasil Estimasi VAR (Model 1)
DSBI(-1)
DIHK
-1.38549
t-tabel
2,014103
DM2(-1)
-2.44587
2,014103
DOBL(-1)
2.39603
2,014103
DIHK(-1)
11.2339
2,014103
DSBI(-1)
DM2(-1)
DOBL(-1)
DIHK(-1)
DIHK
2.14964
-1.95078
0.31741
11.2339
t-tabel
2,014103
2,014103
2,014103
2,014103
Sumber : data yang diolah
Berdasarkan tabel 4.6 dapat diketahui bahwa, variabel
inflasi (IHK) memiliki pengaruh yang besar terhadap variabel
itu sendiri. Dari tabel tersebut terlihat bahwa variabel
mekanisme transmisi moneter seperti M2 dan obligasi dalam
jangka pendek
inflasi.
dapat mempengaruhi IHK sebagai indikaor
Hal tersebut dikarenakan nilai t-statistik pada setiap
variabel lebih besar dari nilai t-tabelnya. Sedangkan variabel
mekanisme transmisi moneter SBI dalam jangka pendek tidak
memiliki pengaruh terhadap IHK sebagai indikator inflasi.
Dalam hal sebaliknya SBI dalam jangka pendek dipengaruhi
oleh IHK sebagai indikator inflasi. Secara lebih jelas dapat di
jelaskan sebagai berikut:
97
a) IHK memiliki pengaruh positif terhadap SBI, artinya adalah
apabila IHK meningkat 1% akan menaikan SBI sebesar
2,5%.
b) M2 memiliki pengaruh negatif terhadap IHK, artinya adalah
apabila M2 meningkat 1% akan menurunkan IHK sebesar
2,45%.
c) Obligasi memiliki pengaruh positif terhadap IHK, artinya
adalah apabila obligasi meningkat 1% akan menaikan IHK
sebesar 2,40%.
Tabel 4.7 menyajikan hasil estimasi dengan VAR. Uji-t
dilakukan pada level of significant (α) 5% dengan nilai t-tabel
2,014103. Adapun hasil dari estimasi VAR model II adalah
sebagai berikut :
Tabel 4.7
Hasil Estimasi VAR (Model II)
DSBI(-1)
DIHK
-0.84485
t-tabel
2,014103
DM2(-1)
1.64862
2,014103
DOBL(-1)
0.66913
2,014103
DIHK(-1)
-3.22074
2,014103
DSBI(-1)
DM2(-1)
DOBL(-1)
DIHK(-1)
DIHK
1.04229
-0.18061
-0.84391
-3.22074
t-tabel
2,014103
2,014103
2,014103
2,014103
98
Berdasarkan tabel 4.7 dapat diketahui bahwa, variabel inflasi
(IHK) memiliki pengaruh terhadap variabel itu sendiri. Dari tabel
tersebut terlihat bahwa dalam jangka pendek tidak ada veriabel
mekanisme transmisi moneter yang mempengaruhi IHK yang
merupakan indikator dari inflasi begitupun sebaliknya sebaliknya.
Dikarenakan nilai t-hitung lebih kecil dari nilai t-tabel.
4. Impluse respon Function (IRF)
Langkah selanjutnya adalah melakukan uji Impluse Response
Function (IRF), uji IRF ini berfungsi untuk menggambarkan
ekspetasi k-periode ke depan dari kesalahan prediksi suatu variabel
akibat inovasi dari variabel lain dan melacak respons saat ini. Jadi,
lamanya pengaruh shock suatu variabel terhadap variabel lain sampai
pengaruhnya hilang atau kembali ke titik keseimbangan dapat dilihat
(Ajija dkk, 2011:168).
Gambar 4.7
Impluse Response Inflasi (IHK) Model I dan II
Model I
Response of DIHK to Cholesky
One S.D. Innovations
.3
.2
.1
.0
-.1
-.2
5
10
15
DLSBI
20
25
DLM 2
30
35
40
45
DLOBLIGASI
99
Model II
Response of DIHK to Cholesky
One S.D. Innovations
.3
.2
.1
.0
-.1
-.2
5
10
15
DLSBIS
20
25
DLM2
30
35
40
45
DLSUKUK
Gambar impulse response akan menunjukan respon suatu
variabel akibat kejutan variabel lainnya sampai dengan beberapa
periode setelah terjadinya shock. Jika gambar Impulse Response
(IR) menunjukan pergerakan yang semakin mendekati titik
keseimbangan (convergence) atau kembali ke keseimbangan
sebelumnya bermakna respon suatu variabel akibat suatu kejutan
makin lama akan menghilang sehingga kejutan tersebut tidak
meninggalkan pengaruh permanen terhadap variabel tersebut.
Hasil impulse response function (IRF) untuk alur transmisi
kebijakan moneter ganda menunjukan, jika mengalami tren negatif
artinya adalah variabel tersebut mempengaruhi kenaikan inflasi
(IHK), sedangkan jika mengalami tren positif artinya adalah variabel
tersebut mempengaruhi penurunan inflasi (IHK). Hasil IRF pada
variabel-variabel dalam Model I adalah sebagai berikut:
100
a) SBI pada awal periode menunjukan tren negatif hingga pada
periode ketiga menunjukan tren positif. Lalu pada periode ke-20
kembali pada tren negatif dan stabil juga permanen.
b) M2 pada awal peride menunjukan tren positif, namun pada
periode ke-20 menunjukan tren negatif dan stabil juga permanen.
c) Obligasi pada awal periode menunjukan tren negatif, hingga
pada periode ke-23 menunjukan tren positif dan stabil juga
permanen.
Sedangkan untuk model 2, hasil impulse response function (IRF)
untuk alur transmisi kebijakan moneter ganda menunjukan, jika
mengalami
tren
negatif
artinya
adalah
variabel
tersebut
mempengaruhi kenaikan inflasi (IHK), sedangkan jika mengalami
tren positif artinya adalah variabel tersebut mempengaruhi
penurunan inflasi (IHK). Hasil IRF pada variabel-variabel dalam
Model 2 adalah sebagai berikut:
a) SBIS pada awal periode menunjukan tren negatif, hingga pada
periode ke- 21 menunjukan tren positif dan stabil juga permanen.
b) M2 pada awal periode menunjukan tren positif, namun pada
periode ke-8 menunjukan tren negatif dan stabil juga permanen.
c) Sukuk pada awal periode menunjukan tren negatif, hingga pada
periode ke-21 menunjukan tren positif dan stabil juga permanen.
101
Hasil penelitian IRF ini menunjukan kesamaan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ascarya mengenai transmisi moneter
pada jalur suku bunga (2012), dalam uji IRF nya menunjukan bahwa
semua variabel konvensional memberikan dampak inflationer
terhadap inflasi (IHK) dan bersifat permanen. Pada sisi lain, semua
variabel syariah memiliki dampak positif dalam pengertian
berdampak menurunkan inflasi (IHK) dan juga bersifat permanen.
Meskipun pada jalur yang berbeda dalam mekanisme transmisi
moneternya, namun memiliki kesimpulan dalam uji IRF yang sama.
Berikut dapat dilihat kesimpulan dari uji IRF untuk model I dan
model II adalah sebagai berikut:
Tabel 4.8
Ringkasan Respon Variabel Terhadap Kenaikan Satu Standar
Deviasi Dari LIHK
Respon LIHK
Kejutan LM2
Negatif dan permanen
Kejutan LSBIS
Positif dan permanen
Kejutan LSBI
Negatif dan permanen
Kejutan LOBL
Positif dan permanen
Kejutan LSKK
Positif dan permanen
5. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
Variance decomposition digunakan memberikan informasi
mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada sebuah
102
variabel terhadap variabel lainnya pada periode saat ini dan periode
yang akan datang. Dapat kita lihat pada tabel dibawah ini merupakan
tabel yang menggambarkan variance decomposition periode Januari
2011 sampai dengan Desember 2014. Berikut adalah hasil Variance
Decomposition pada model 1:
Tabel 4.9
Hasil Forecast error Variance Decomposition (FEVD)
Penyumbang Inflasi (IHK) Model I
Periode
S.E.
DLSBI
DLM2
DLOBLIGASI
DIHK
1
0.090953 4.541022
0.042732
0.324334
95.09191
5
0.171305 2.498933
8.045206
9.971124
79.48474
10
0.206733 9.036873
11.71993
13.72962
65.51357
15
0.226744 15.50427
11.94623
13.83720
58.71230
20
0.238543 18.32231
11.59084
13.46816
56.61869
25
0.244544 18.75896
11.53463
13.28455
56.42186
30
0.247314 18.62038
11.70825
13.22227
56.44910
35
0.248685 18.58094
11.89041
13.18024
56.34840
40
0.249559 18.62598
12.00197
13.14564
56.22641
45
0.250291 18.66156
12.05769
13.12856
56.15219
48
0.250716 18.66920
12.07674
13.12630
56.12776
Sumber : data yang diolah
Tabel 4.9 menjelaskan mengenai Variance Decomposition
variabel apa saja dan seberapa besar variabel tersebut memengaruhi
variabel inflasi (IHK), dalam alur mekanisme transmisi moneter jalur
harga aset konvensional. Pada periode pertama terlihat bahwa inflasi
103
(IHK) dapat dijelaskan oleh SBI sebesar 4,55% sampai pada periode
akhir inflasi (IHK) dapat dijelaskan oleh SBI sebesar 18,67%.
Selanjutnya dapat dilihat periode pertama inflasi dapat
dijelaskan oleh M2 sebesar 0,042% dan semakin peningkatan
pengaruh pada periode akhir sebesar 12,08%. Selanjutnya dapat
dilihat pula periode pertama inflasi dapat dijelaskan oleh obligasi
sebesar 0,33% dan meningkat sebesar 13,12% pada akhir periode.
Periode pertama IHK dapat dijelaskan oleh IHK itu sendiri
sebesar 95,09% dan semakin menurun pengaruh pada periode akhir
sebesar 56,13%. Jadi pada model I, Variabel IHK sebagai indikator
inflasi sebagian besar dipengaruhi oleh variabel SBI sebesar 18,67%
Hal ini mengindikasikan bahwa sepanjang periode tersebut
pengaruh variabel SBI, M2 dan emisi obligasi terhadap inflasi akan
semakin besar. Hal ini dikarenakan inflasi (IHK) mendapatkan
pengaruh langsung dari semua variabel yang diajukan tersebut
sebagai instrumen dan jalur moneter konvensional yang berpengaruh
pada transmisi moneter.
Hal ini juga memberikan kesimpulan dari tabel bahwa variabelvariabel konvensional meliputi SBI ( 18,67%), M2 ( 12,07%),
obligasi ( 13,12%) yang memberikan sumbangan negatif (menaikan)
IHK sebagai indikator inflasi sebesar 43,86%.
104
Selanjutnya
berikut
ini
adalah
hasil
dari
Variance
Decomposition pada model II:
Tabel 4.10
Forecast error Variance Decomposition (FEVD) Penyumbang
Inflasi (IHK) Model II
Periode
S.E.
DLSBIS
DLM2
DLSUKUK
DIHK
1
0.132799 3.748528
0.018773
0.545604
95.68709
5
0.232126 1.468419
4.600570
6.769830
87.16118
10
0.237107 3.299282
4.560976
11.77673
80.36301
15
0.241254 3.359308
5.717759
11.75269
79.17025
20
0.245755 3.317757
6.947121
11.59797
78.13715
25
0.249671 3.281058
8.100803
11.43743
77.18071
30
0.253107 3.253036
9.103678
11.29739
76.34590
35
0.256075 3.229668
9.961101
11.17756
75.63167
40
0.258631 3.209847
10.69372
11.07516
75.02127
45
0.260835 3.192950
11.32033
10.98759
74.49914
48
0.262010 3.184002
11.65235
10.94118
74.22247
Sumber : data yang diolah
Pada tabel 4.10 menjelaskan hasil variance decompotition dari
variabel inflasi untuk model II. Pada periode pertama terlihat bahwa
inflasi (IHK) dapat dijelaskan oleh SBIS sebesar 3,75 % dan ketika
di periode akhir terjadi penurunan, inflasi dapat dijelaskan oleh SBIS
sebesar 3,18%.
Selanjutnya dapat dilihat periode pertama inflasi (IHK) dapat
dijelaskan oleh M2 sebesar
0,019% dan semakin peningkatan
105
pengaruh pada periode akhir sebesar 11,65%. Selanjutnya dapat
dilihat pula periode pertama inflasi (IHK) dapat dijelaskan oleh
sukuk sebesar 0,55% dan mengalami kenaikan sebesar 10,94%.
Periode pertama inflasi dapat dijelaskan oleh inflasi itu sendiri
sebesar 95,99% dan semakin menurun pengaruh pada periode akhir
sebesar 74,22%. Jadi pada model II, Variabel inflasi (IHK) sebagian
besar dipengaruhi oleh variabel jumlah uang beredar (M2) sebesar
11,65%.
Hal ini mengindikasikan bahwa dalam periode tersebut
pengaruh variabel SBIS, M2 dan emisi sukuk terhadap inflasi (IHK)
akan semakin besar. Hal ini dikarenakan inflasi (IHK) mendapatkan
pengaruh langsung dari semua variabel yang diajukan tersebut
sebagai alat mekanisme transmisi moneter jalur harga aset syariah.
Hal ini juga memberikan kesimpulan bahwa variabel-variabel
syariah meliputi SBIS ( 3,18%), M2 ( 11,65%), sukuk ( 10,94%)
yang memberikan sumbangan positif (menurunkan) IHK sebagai
indikator inflasi sebesar 25,77 %.
Hasil uji variance decomposite dalam penelitian ini pada
transmisi moneter syariah jalur aset yang memiliki pengendalian
menurunkan inflasi (IHK) yang lebih besar dibanding pengendalian
menurunkan inflasi (IHK) transmisi moneter syariah pada jalur suku
bunga pada penelitian yang dilakukan oleh Ascarya (2012). Pada
106
mekanisme transmisi moneter pada jalur harga aset menyumbang
penurunan inflasi (IHK) sebesar 25,77%, sedangkan mekanisme
transmisi moneter pada jalur suku bunga hanya menyumbang
penurunan inflasi sebesar 6,21%.
Selain itu pada mekanisme transmisi moneter konvensional pada
jalur harga aset memilki penyumbang menaikan inflasi (IHK) lebih
kecil dibanding mekanisme transmisi moneter konvensional pada
jalur suku bunga. Pada mekanisme transmisi moneter konvensional
pada jalur harga aset menyumbang kenaikan inflasi (IHK) sebesar
43,86%. Sedangkan mekanisme transmisi moneter konvensional
pada jalur suku bunga menyumbang kenaikan inflasi (IHK) sebesar
48,25%.
Sehingga dapat disimpulkan dalam penelitian mekanisme
transmisi moneter jalur harga aset syariah memiliki alat atau
instrumen moneter yang lebih baik untuk mengendalikan inflasi
(IHK) dibanding mekanisme transmisi moneter jalur harga aset
konvensional.
C. Analisis Penelitian
Terpisahnya otoritas fiskal menimbulkan otoritas moneter yang
berjalan terpisah. Transmisi kebijakan moneter dilakukan sejalan dengan
berkembangnya otoritas moneter pada Bank Sentral, hal ini dikarenakan
pencetakan dan penggunaan uang kertas (fiat money). Transmisi moneter
107
diperlukan karena uang kertas yang digunakan bersifat memicu inflasi,
sehingga sampai saat ini dengan masih menggunakan uang kertas, maka
bank sentral perlu mengatur jumlah uang beredar, menaikan ataupun
menurunkan jumlah uang beredar. Dengan berbagai alat kebijakan
moneter untuk mengendalikan stabilitas harga atau inflasi. Berbagai jalur
digunakan untuk menjalankan mekanisme transmisi moneter.
Pada
penelitian
kali
ini melakukan pembahasan mengenai
mekanisme transmisi moneter konvensional dan syariah melalui jalur
harga aset dalam mengendalikan inflasi. Bedasarkan hasil uji IRF pada
model I, variabel-variabel konvensional yaitu SBI, M2 dan obligasi yang
dijadikan indikator memiliki dampak negatif dalam arti variabel-variabel
tersebut mempengaruhi kenaikan IHK sebagai indikator inflasi dan
bersifat permanen dan memiliki pengaruh sebesar 3,86% dalam
menaikan inflasi (IHK).
Variabel-variabel konvensional tersebut masih sangat dipengaruhi
oleh tingkat suku bunga yang ditentukan dalam mekanisme pasar, terlihat
bahwa dari karakterisik SBI dapat diperdagangkan dipasar sekunder yang
memiliki pula sifat spekulatif. Sedangkan obligasi adalah jual beli surat
utang dimana tidak memiliki aset berwujud tertentu dalam kegiatan
investasinya dan tentunya harga obligasi dipengaruhi oleh tingkat suku
bunga bank. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa model I dengan
variabel-variabel konvensional berdampak menimbulkan inflasi.
108
Sedangkan mekanisme transmisi moneter syariah melalui jalur harga
aset dalam mengendalikan inflasi dengan uji ekonometrik IRF (model 2),
variabel-variabel syariah yaitu SBIS, M2 dan sukuk yang dijadikan
indikator memiliki dampak positif dalam arti variabel-variabel tersebut
mengurnagi dampak kenaikan IHK sebagai indikator inflasi dan bersifat
permanen pada periode tersebut. Begitu pula dengan SBIS pada akhir
periode mendekati negatif dalam mempengaruhi inflasi, namun pada sisi
syariah ini berhasil mempengaruhi menurunkan inflasi (IHK) sebesar
25,77%. Dengan begitu implikasinya adalah ketika inflasi berhasil
diturunkan maka daya beli masyarakat akan barang dan jasa akan
meningkat.
Dalam prakteknya baik pasar modal syariah maupun konvensional
masih melihat tingkat suku bunga sebagai dasar penerbitan dan harga
dipasar modal tersebut. Masih adanya praktek suku bunga dalam
mekanisme transmisi moneter syariah memicu inflasi dan shock yang
terjadi tidak konsisten atau bersifat tidak permanen. Karakteristik
perusahaan sebagai penerbit sukuk adalah beroientasi keuntungan,
sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan-perusahaan masih
melirik tingkat suku bunga agar mendapat keuntungan yang dikatakan
dalam bentuk bagi hasil pada sisi syariah.
Dasar dari terjadinya inflasi adalah penggunaan mata uang rupiah
atau fiat money, selama negara masih menggunakan fiat money maka
masalah inflasi tidak akan pernah selesai. Pada hasil uji VAR tersebut
109
inflasi pada sisi syariah terlihat lebih baik dalam menahan adanya inflasi,
namun pada beberapa periode kemudian akan berdampak menimbulkan
inflasi kembali. Sedangkan pada sisi konvensional terlihat menimbulkan
inflasi seperti yang telah dijelaskan diatas karena masih adanya pengaruh
dari tingkat suku bunga. Saat ini yang terjadi pada hasil uji VAR tersebut
pada sisi syariah masih terbilang kecil dalam menahan terjadinya inflasi,
Jelaslah hal itu terjadi dikarenakan menurut Siddiqui (2007) dalam
Ascarya (2012:296), peraturan institusi keuangan Islam kontemporer
tidak jauh berbeda dengan peraturan institusi keuangan konvensional
yang sudah established, sehingga instrumen-instrumen kebijakan
moneter islam juga banyak yang mirip dengan instrumen-instrumen
kebijakan konvensional, sehingga transmisi kebijakan moneter islam
dapat sama atau berbeda dengan transmisi kebijakan moneter
konvensional.
Dalam uji VAR penelitian kali ini menyimpulkan masih lebih efektif
mekanisme transmisi moneter syariah di bandingkan dengan konvensionl
dan masih lebih baik menggunakan saluran harga aset dibanding saluran
suku bunga untuk mekanisme transmisi moneter dalam mengendalikan
inflasi (IHK).
110
BAB V
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis pada bab
IV dengan menggunakan alat analisis VAR, maka pada penelitian ini dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Bedasarkan hasil estimasi VAR dapat disimpulkan bahwa pada
mekanisme transmisi moneter syariah (model2) tidak memiliki pengaruh
baik dari variabel mekanisme transmisi moneter syariah terhadap inflasi
(IHK) maupun variabel inflasi (IHK) terhadap variabel mekanisme
transmisi moneter syariahnya. Sedangkan pada mekanisme transmisi
moneter konvensional (model 1) memiliki kesimpulan sebagai berikut:
a) IHK memiliki pengaruh positif terhadap SBI, artinya adalah apabila
IHK meningkat 1% akan menaikan SBI sebesar 2,5%.
b) M2 memiliki pengaruh negatif terhadap IHK, artinya adalah apabila
M2 meningkat 1% akan menurunkan IHK sebesar 2,45%.
c) Obligasi memiliki pengaruh positif terhadap IHK, artinya adalah
apabila obligasi meningkat 1% akan menaikan IHK sebesar 2,40%.
2. Pada hasil uji Impluse Response Function (IRF) pada mekanisme
transmisi moneter konvensional pada jalur harga aset menunjukan bahwa
variabel-variabel pada model 1 dan 2 Respon IHK adalah sebagai
berikut:
111
111
a) Kejutan LM2 merespon negatif dan permanen, yang berarti variabel
M2 mempengaruhi kenaikan inflasi (IHK).
b) Kejutan LSBIS merespon positif dan permanen, yang berarti variabel
SBIS mempengaruhi menurunkan inflasi (IHK).
c) Kejutan LSBI merespon negatif dan permanen, yang berarti variabel
SBI mempengaruhi menaikan inflasi (IHK).
d) Kejutan Lobligasi merespon positif dan permanen, yang berarti
variabel obligasi mempengaruhi menurunkan inflasi (IHK).
e) Kejutan Lsukuk merespon positif dan permanen, yang berarti
variabel sukuk mempengaruhi menurunkan inflasi (IHK).
3. Dalam uji variance decomposition dalam mekanisme transmisi moneter
konvensional model 1 terhadap inflasi (IHK), variabel yang diajukan
pada model I penelitian ini dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel
konvensional meliputi SBI ( 18,67%), M2 ( 12,07%), obligasi ( 13,12%)
yang memberikan sumbangan negatif (menaikan) IHK sebagai indikator
inflasi sebesar 43,86%. Sedangkan Dalam uji variance decomposition
dalam mekanisme transmisi moneter model 2 terhadap inflasi (IHK),
variabel-variabelnya juga memberikan kesimpulan bahwa variabelvariabel syariah meliputi SBIS ( 3,18%), M2 ( 11,65%), sukuk ( 10,94%)
yang memberikan sumbangan positif (menurunkan) IHK sebagai
indikator inflasi sebesar 25,77 %. Sehingga dapat dikatakan bedasarkan
hasil uji VAR dalam penelitian ini, alur mekanisme transmisi moneter
syariah melalui jalur harga aset memiliki mekanisme yang lebih baik
112
dibanding dengan alur mekanisme transmisi moneter konvensional
melalui jalur harga aset dalam mempengaruhi IHK sebagai indikator
inflasi (IHK).
B. Implikasi
Bedasarkan kesimpulan diatas, penulis sampaikan hal-hal sebagai
berikut :
1. Perlunya memperhatikan instrumen-instrumen moneter yang diambil
bank sentral, baik instrumen kebijakan moneter konvensional maupun
instrumen kebijakan moneter syariah guna mengatur jumlah uang yang
beredar. Karena instrumen yang digunakan dalam mekanisme transmisi
moneter baik konvensional maupun syariah pada jalur harga aset tersebut
ternyata belum berpengaruh cukup besar dalam mengendalikan inflasi.
2. Di pertimbangkan kembali penggunaan mata uang yang sesuai dengan
prinsip Islam, dimana ciri mata uang yang baik adalah bersifat tetap dan
tidak terpengaruh mata uang lain sehingga terhindar dari masalah inflasi.
dengan begitu perekonomian negara khususnya Indonesia dapat lebih
sehat dan stabil.
3. Perlunya pembuatan aturan baru mengenai mekanisme transmisi moneter
syariah agar tidak menyerupai transmisi moneter konvensional, yang
bebas dari pengaruh unsur suku bunga. Sehingga diharapkan porsente
dalam mengendalikan laju inflasi dapat lebih besar lagi.
113
Daftar Pustaka
Ajija, Shochrul R dkk. Cara Cerdas Menguasai Eviews. Jakarta: Salemba Empat.
2011.
Andra, Harry.“Analisis Pengaruh Instrumen Kebijakan Moneter Konvensional
Dan Instrumen Kebijakan Moneter Islam Terhadap Kinerja Bank
Konvensional Dan Bank Syariah”. Jakarta: Skripsi UIN Syarif Hidayatullah,
2010.
Ascarya, “Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter: Seri kebanksentralan”.
Jakarta: Bank Indonesia, 2005.
Ascarya. “Buletin Ekonomi dan Perbankan: Alur Transmisi dan Efektifitas
Kebijakan Moneter Ganda Di Indonesia”. Jakarta: Bank Indonesia, 2012.
Ascarya. “Peran Perbankan Syariah Dalam Transmisi Kebijakan Moneter
Ganda”. Jurnal Ekonomi Islam republika, 2010.
Ascarya. “Monetary Policy Transmission Mechanism Under Dual Financial
System In Indonesia: Interest-Profit Channel”. Kuala Lumpur: The
Internasional Islamic University of Malaysia, 2014.
Asif, dkk. “Transmission Mechanism of Monetary Policy in Pakistan”. Pakistan:
the state bank of pakistan, 2005.
Awawin, Mirsad. “Analisis Pengaruh Instrumen Moneter Syariah Dan
Konvensional Terhadap Penyaluran Dana Ke Sektor Properti Di
Indonesia”. Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2014.
Bayuni, Eva Misfah dan Ascarya. “Analisis Pengaruh Instrumen Moneter
Terhadap Stabilitas Besaran Moneter Dalam Sistem Moneter Ganda Di
Indonesia”. TAZKiA: Islamic Finance and Bussinis Review, 2010.
Chapra, Umar. “Sistem Moneter Islam“. Jakarta: Gema Insani, 2000.
114
Egert, Balazs dan Ronald MacDonald. “Monetary Transmission Mechanism in
Central and Eastern Europe: Surveying the Surveyable”. OECD Publishing
Economics Departement: Economics Departement Working Paper No. 654.
Fatah, Dede Abdul. “Perkembangan Obligasi Syariah (Sukuk) di Indonesia:
Analisis Peluang dan Tantangan”. Jakarta: universitas Azzahra, 2011.
Guinigundo, Diwa. “Transmission Mechanism Of Monetary Policy In The
Philippines”. Manila: BIS-paper no.35.
Hamid, Abdul. “Buku Panduan Penulisan Skripsi FEB UIN Jakarta”. Jakarta:
UIN Jakarta, 2014.
Herlina, Deswita. “Identifikasi Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di
Indonesia Tahun 2000 – 2011”. Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa,
2013.
Indonesian Economic Review and Outlook 2013, Bank Indonesia
Karim, Adiwarman. “Ekonomi Islam: suatu Kajian Ekonomi Makro”. Jakarta:
2010.
Nasrudin, Ahmad. “Peran Pasar Modal Syariah Dalam Transmisi Kebijakan
Moneter Indonesia “.Bogor: sekolah tinggi ekonomi islam TAZKIA, 2012.
Rahardja, Pratama dan Mandala Manurung. “Pengantar Ilmu Ekonomi :
Makroekonomi dan Mikroekonomi”. Jakarta: FEUI, 2008.
Ramadhan, Masyitha Mutiara. “Analisis Penagaruh Instrumen Moneter Syariah
Dan Konvensional Terhadap Penyaluran Ke Sektor Usaha Kecil Dan
Menengah (UMKM) Di Indonesia”. Bogor: Institut Pertanian Bogor, 20312
Rowter, Kahlil. “Perkembangan Pasar Obligasi Di Indonesia”. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada, 2005.
115
Alfian, Ridho Alfin. “Analisis Pengaruh Sertifikat Bank Indonesia Syariah (Sbis),
Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar, Inflasi, Dan IHSG Terhadap Jakarta
Islamic Index (JII)”. Jakarta: Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, 2014.
Rodoni, Ahmad dan Abdul Hamid. “Lembaga Keuangan Syariah”. Jakarta: Zikrul
media intelektual, 2008.
Solikin dan Suseno, “Uang: Pengertian, Penciptaan, Peranannya dalam
Perekonomian”. Jakarta : Bank Indonesia, 2005.
Widarjono, Agus. Ekonometrika Pengantar dan Aplikasinya. Ekonisia. Yogyakarta: 2009
Warjiyo, Perry.” Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia ”.
Jakarta: Pusat Pendidikan Dan Studi Kebanksentralan, 2004
Website:
www.ojk.co.id
www.bps.co.id
www.bi.co.id
www.kemenkeu.co.id
www.idx.co.id
116
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Data Dari Variabel-Variabel Yang Digunakan
Tahun
2011
2012
2013
Bulan
Jan-11
Feb-11
Mar-11
Apr-11
Mei-11
Jun-11
Jul-11
Agust-11
Sep-11
Okt-11
Nop-11
Des-11
Jan-12
Feb-12
Mar-12
Apr-12
Mei-12
Jun-12
Jul-12
Agust-12
Sep-12
Okt-12
Nop-12
Des-12
Jan-13
Feb-13
Mar-13
Apr-13
Mei-13
Jun-13
Jul-13
Agust-13
Sep-13
SBI
196.314
194.635
230.148
230.071
197.871
185.946
181.996
171.228
149.228
143.069
138.010
119.777
106.355
99.074
94.497
95.497
95.664
89.734
82.178
81.477
68.188
69.560
75.805
78.873
84.272
91.999
95.379
94.729
81.920
81.920
74.101
66.079
64.974
SBIS
3.296
3.326
3.376
3.701
3.271
3.042
1.604
1.819
1.989
2.574
3.144
3.476
3.799
3.806
3.567
3.155
3.160
3.115
2.662
2.372
2.495
2.382
2.763
3.455
3.970
4.595
4.855
4.958
5.048
4.623
4.423
3.848
3.610
M2
2.436.679
2.420.191
2.451.357
2.434.478
2.475.286
2.522.784
2.564.556
2.621.346
2.643.331
2.677.787
2.729.538
2.877.220
2.857.127
2.852.005
2.914.194
2.929.610
2.994.474
3.052.786
3.057.336
3.091.568
3.128.179
3.164.443
3.207.908
3.307.508
3.268.789
3.280.420
3.322.529
3.360.928
3.426.305
3.413.379
3.506.574
3.502.420
3.584.081
OBL
216
221
222
226
228
242
242
243
245
246
248
261
262
269
269
273
287
302
303
305
307
314
315
329
329
336
336
348
355
372
372
372
374
SKK
7.815
7.815
7.815
7.915
7.915
7.915
7.915
7.915
7.915
7.915
7.915
7.915
7.915
7.915
7.915
7.915
8.165
9.265
9.390
9.390
9.390
9.390
9.590
9.790
9.790
10.169
11.294
11.294
11.294
11.415
11.415
11.415
11.415
IHK
7.02
6.84
6.65
6.16
5.98
5.54
4.61
4.79
4.61
4.42
4.15
3.79
3.65
3.56
3.97
4.5
4.45
4.53
4.56
4.58
4.31
4.61
4.32
4.3
4.57
5.31
5.9
5.57
5.47
5.9
8.61
8.79
8.4
117
2014
Okt-13
Nop-13
Des-13
Jan-14
Feb-14
Mar-14
Apr-14
Mei-14
Jun-14
Jul-14
Agust-14
Sep-14
Okt-14
Nop-14
Des-14
89.260
89.295
91.392
91.447
91.857
103.510
110.566
114.342
109.957
85.272
82.272
79.175
81.730
82.605
88.899
4.472
4.467
4.712
4.847
5.237
5.377
5.977
6.414
6.792
5.890
6.120
6.490
6.680
6.530
8.130
3.576.869
3.615.973
3.730.197
3.652.145
3.642.809
3.660.298
3.730.101
3.789.058
3.865.758
3.895.835
3.895.116
4.009.857
4.024.153
4.076.294
4.170.731
376
380
385
386
388
394
394
396
403
410
410
413
422
426
430
11.415
11.415
11.994
11.994
11.994
11.994
11.994
11.994
12.294
12.294
12.294
12.294
12.594
12.727
12.917
8.32
8.37
8.38
8.22
7.75
7.32
7.25
7.32
6.7
4.53
3.99
4.53
4.83
6.23
8.36
Lampiran 2
Hasil Uji Stasioneritas Variabel LIHK
Null Hypothesis: IHK has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.929683
-3.581152
-2.926622
-2.601424
0.3162
t-Statistic
Prob.*
-2.028643
-3.581152
-2.926622
0.2740
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 3
Hasil Uji Stasioneritas Variabel LSBI
Null Hypothesis: LSBI has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
118
10% level
-2.601424
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 4
Hasil Uji Stasioneritas Variabel LSBIS
Null Hypothesis: LSBIS has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.974226
-3.581152
-2.926622
-2.601424
0.7547
t-Statistic
Prob.*
-0.401119
-3.577723
-2.925169
-2.600658
0.9004
t-Statistic
Prob.*
-1.559326
-3.577723
-2.925169
0.4951
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 5
Hasil Uji Stasioneritas Variabel LM2
Null Hypothesis: LM2 has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 6
Hasil Uji Stasioneritas Variabel LOBL
Null Hypothesis: LOBLIGASI has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
119
10% level
-2.600658
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 7
Hasil Uji Stasioneritas Variabel LSKK
Null Hypothesis: LSUKUK has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-0.191069
-3.577723
-2.925169
-2.600658
0.9323
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 8
Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLIHK
Null Hypothesis: D(IHK) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.569290
-3.581152
-2.926622
-2.601424
0.0103
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 9
Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference Variabel DLSBI
Null Hypothesis: D(LSBI) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
t-Statistic
Prob.*
-5.053591
-3.581152
0.0001
120
5% level
10% level
-2.926622
-2.601424
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 10
Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLSBIS
Null Hypothesis: D(LSBIS) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.267944
-3.581152
-2.926622
-2.601424
0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 11
Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLM2
Null Hypothesis: D(LM2) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-8.676118
-3.581152
-2.926622
-2.601424
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 12
Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLObligasi
Null Hypothesis: D(LOBLIGASI) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
t-Statistic
Prob.*
121
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
-7.312716
-3.581152
-2.926622
-2.601424
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 13
Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLSukuk
Null Hypothesis: D(LSUKUK) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.568410
-3.581152
-2.926622
-2.601424
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 14
Hasil Lag Model I
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: LSBI LM2 LOBLIGASI IHK
Exogenous variables: C
Date: 06/25/15 Time: 11:51
Sample: 2011M01 2014M12
Included observations: 44
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
4
58.92301
263.3407
277.6913
286.9226
299.3707
NA
362.3768*
22.83057
13.00767
15.27723
9.68e-07
1.85e-10*
2.04e-10
2.91e-10
3.77e-10
-2.496501
-11.06094*
-10.98597
-10.67830
-10.51685
-2.334302
-10.24994*
-9.526178
-8.569711
-7.759465
-2.436349
-10.76018*
-10.44461
-9.896333
-9.494278
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
122
Lampiran 15
Hasil Lag Model II
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: LSBIS LM2 LSUKUK IHK
Exogenous variables: C
Date: 06/25/15 Time: 11:52
Sample: 2011M01 2014M12
Included observations: 44
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
4
30.58646
216.6316
233.7679
243.0168
251.3870
NA
329.8073
27.26225*
13.03254
10.27258
3.51e-06
1.55e-09
1.50e-09*
2.14e-09
3.34e-09
-1.208476
-8.937799
-8.989448*
-8.682580
-8.335773
-1.046277
-8.126804*
-7.529656
-6.573992
-5.578389
-1.148324
-8.637043*
-8.448087
-7.900614
-7.313202
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
Lampiran 16
Hasil Uji Kointegrasi Model I (Konvensional)
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: LSBIS LM2 LSUKUK IHK
Exogenous variables: C
Date: 06/25/15 Time: 11:52
Sample: 2011M01 2014M12
Included observations: 44
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
4
30.58646
216.6316
233.7679
243.0168
251.3870
NA
329.8073
27.26225*
13.03254
10.27258
3.51e-06
1.55e-09
1.50e-09*
2.14e-09
3.34e-09
-1.208476
-8.937799
-8.989448*
-8.682580
-8.335773
-1.046277
-8.126804*
-7.529656
-6.573992
-5.578389
-1.148324
-8.637043*
-8.448087
-7.900614
-7.313202
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
123
Lampiran 17
Hasil Uji Kointegrasi Model II (Syariah)
Date: 06/25/15 Time: 11:59
Sample (adjusted): 2011M04 2014M12
Included observations: 45 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: LSBIS LM2 LSUKUK IHK
Lags interval (in first differences): 1 to 2
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None
At most 1
At most 2
At most 3
0.331941
0.247058
0.162504
0.051270
41.27025
23.11818
10.34865
2.368395
47.85613
29.79707
15.49471
3.841466
0.1802
0.2403
0.2549
0.1238
Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None
At most 1
At most 2
At most 3
0.331941
0.247058
0.162504
0.051270
18.15207
12.76954
7.980250
2.368395
27.58434
21.13162
14.26460
3.841466
0.4825
0.4737
0.3807
0.1238
Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):
LSBIS
-4.926666
1.339941
-1.336744
-1.210873
LM2
10.91026
-6.560025
-26.03416
-8.408560
LSUKUK
-0.150821
8.004597
26.77430
4.185845
IHK
-0.061538
-0.960031
-0.423515
-0.210068
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
D(LSBIS)
D(LM2)
D(LSUKUK)
D(IHK)
0.078782
0.000780
0.002355
0.094151
-0.003317
0.002710
0.003446
0.268922
0.003967
0.000286
-0.008958
0.049959
-0.002408
0.002457
0.000205
-0.048342
124
1 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
233.8780
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
LSBIS
LM2
LSUKUK
IHK
1.000000
-2.214533
0.030613
0.012491
(1.46022)
(1.34977)
(0.05215)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(LSBIS)
-0.388131
(0.09402)
D(LM2)
-0.003844
(0.01017)
D(LSUKUK)
-0.011604
(0.01960)
D(IHK)
-0.463850
(0.50757)
2 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
240.2627
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
LSBIS
LM2
LSUKUK
IHK
1.000000
0.000000
-4.878145
0.614571
(1.44302)
(0.17823)
0.000000
1.000000
-2.216611
0.271877
(0.59959)
(0.07406)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(LSBIS)
-0.392576
0.881292
(0.09739)
(0.24283)
D(LM2)
-0.000213
-0.009266
(0.01028)
(0.02563)
D(LSUKUK)
-0.006987
0.003092
(0.02009)
(0.05010)
D(IHK)
-0.103510
-0.736923
(0.47204)
(1.17701)
3 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
244.2529
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
LSBIS
LM2
LSUKUK
IHK
1.000000
0.000000
0.000000
-0.359139
(0.09839)
0.000000
1.000000
0.000000
-0.170574
(0.04646)
0.000000
0.000000
1.000000
-0.199607
(0.04722)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(LSBIS)
-0.397879
0.778019
0.067772
(0.10061)
(0.55245)
(0.53273)
D(LM2)
-0.000595
-0.016720
0.029243
(0.01062)
(0.05832)
(0.05624)
D(LSUKUK)
0.004988
0.236317
-0.212627
(0.01917)
(0.10526)
(0.10151)
D(IHK)
-0.170293
-2.037576
3.476040
125
(0.48592)
(2.66817)
(2.57293)
Lampiran 18
Hasil Estimasi VAR Model I (Konvensional)
Vector Autoregression Estimates
Date: 06/25/15 Time: 12:38
Sample (adjusted): 2011M03 2014M12
Included observations: 46 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
DLSBI
DLM2
DLOBLIGASI
DIHK
DLSBI(-1)
0.857252
(0.06625)
[ 12.9389]
0.005923
(0.00951)
[ 0.62288]
-0.006008
(0.01137)
[-0.52820]
-0.597982
(0.43160)
[-1.38549]
DLM2(-1)
0.286648
(0.83639)
[ 0.34272]
0.766802
(0.12004)
[ 6.38784]
0.258873
(0.14359)
[ 1.80281]
-13.32641
(5.44854)
[-2.44587]
DLOBLIGASI(-1)
-0.375916
(0.63663)
[-0.59048]
0.181920
(0.09137)
[ 1.99101]
0.785029
(0.10930)
[ 7.18240]
9.936921
(4.14724)
[ 2.39603]
DIHK(-1)
0.024333
(0.01132)
[ 2.14964]
-0.003169
(0.00162)
[-1.95078]
0.000617
(0.00194)
[ 0.31741]
0.828374
(0.07374)
[ 11.2339]
C
-0.637344
(9.04054)
[-0.07050]
2.405474
(1.29753)
[ 1.85389]
-2.558295
(1.55212)
[-1.64826]
150.2148
(58.8936)
[ 2.55061]
0.933393
0.926895
0.339173
0.090953
143.6384
47.65623
-1.854619
-1.655853
11.53816
0.336392
0.993456
0.992817
0.006987
0.013054
1555.969
136.9541
-5.737133
-5.538367
14.97809
0.154025
0.994842
0.994339
0.009997
0.015615
1976.858
128.7128
-5.378815
-5.180050
5.762160
0.207531
0.872664
0.860241
14.39356
0.592505
70.24580
-38.54837
1.893408
2.092173
5.676957
1.584902
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
9.68E-11
6.11E-11
279.8470
-11.29770
-10.50263
126
Lampiran 19
Hasil Estimasi VAR Model II (Syariah)
Vector Autoregression Estimates
Date: 06/25/15 Time: 12:28
Sample (adjusted): 2011M04 2014M12
Included observations: 45 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
DLSBIS
DLM2
DLSUKUK
DIHK
DLSBIS(-1)
1.069117
(0.15235)
[ 7.01744]
-0.005565
(0.01551)
[-0.35878]
0.005232
(0.02921)
[ 0.17909]
-0.574828
(0.68039)
[-0.84485]
DLSBIS(-2)
-0.352762
(0.15256)
[-2.31228]
0.003889
(0.01553)
[ 0.25039]
0.003390
(0.02925)
[ 0.11587]
0.528539
(0.68132)
[ 0.77576]
DLM2(-1)
0.006418
(1.54474)
[ 0.00415]
0.729965
(0.15729)
[ 4.64102]
0.001989
(0.29619)
[ 0.00672]
-13.01323
(6.89870)
[-1.88633]
DLM2(-2)
0.600434
(1.57783)
[ 0.38054]
0.247349
(0.16065)
[ 1.53963]
0.228473
(0.30253)
[ 0.75520]
11.61699
(7.04647)
[ 1.64862]
DLSUKUK(-1)
-0.756269
(0.85412)
[-0.88544]
-0.057025
(0.08697)
[-0.65572]
1.002506
(0.16377)
[ 6.12146]
0.087812
(3.81442)
[ 0.02302]
DLSUKUK(-2)
0.741705
(0.82567)
[ 0.89830]
0.074732
(0.08407)
[ 0.88893]
-0.221375
(0.15831)
[-1.39832]
2.467339
(3.68739)
[ 0.66913]
DIHK(-1)
-0.035072
(0.03389)
[-1.03492]
-0.001136
(0.00345)
[-0.32924]
0.007943
(0.00650)
[ 1.22236]
1.248502
(0.15134)
[ 8.24943]
DIHK(-2)
0.035622
(0.03418)
[ 1.04229]
-0.000628
(0.00348)
[-0.18061]
-0.005530
(0.00655)
[-0.84391]
-0.491584
(0.15263)
[-3.22074]
C
-6.594926
(4.03193)
[-1.63567]
0.215946
(0.41053)
[ 0.52602]
-1.512167
(0.77308)
[-1.95602]
-0.648723
(18.0063)
[-0.03603]
0.890011
0.865569
0.634879
0.132799
36.41314
32.01991
-1.023107
-0.661774
0.993339
0.991859
0.006582
0.013522
671.0851
134.8247
-5.592209
-5.230877
0.984062
0.980520
0.023341
0.025463
277.8392
106.3425
-4.326332
-3.964999
0.886593
0.861392
12.66227
0.593068
35.18012
-35.32143
1.969842
2.331174
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
127
Mean dependent
S.D. dependent
8.258526
0.362196
14.98428
0.149860
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
9.202897
0.182437
5.651111
1.592978
6.65E-10
2.72E-10
240.1230
-9.072131
-7.626801
Lampiran 20
Hasil Uji Impulse Response (IRF) Model I (Konvensional)
Response of DIHK to Cholesky
One S.D. Innovations
.3
.2
.1
.0
-.1
-.2
5
10
15
20
DLSBI
25
30
DLM2
35
40
45
DLOBLIGASI
Lampiran 21
Hasil Uji Impulse Response (IRF) Model II (Syariah)
Response of DIHK to Cholesky
One S.D. Innovations
.3
.2
.1
.0
-.1
-.2
5
10
15
20
DLSBIS
25
30
DLM2
35
40
45
DLSUKUK
Lampiran 22
Hasil Uji Variance Decomposition Model I (Konvensional)
Period
S.E.
DLSBI
DLM2
DLOBLIGASI
DIHK
1
0.090953
4.541022
0.042732
0.324334
95.09191
128
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
0.122826
0.144001
0.159440
0.171305
0.180814
0.188714
0.195482
0.201424
0.206733
0.211531
0.215893
0.219865
0.223475
0.226744
0.229688
0.232322
0.234664
0.236730
0.238543
0.240121
0.241489
0.242667
0.243678
0.244544
0.245283
0.245914
0.246453
0.246916
0.247314
0.247660
0.247962
0.248230
0.248469
0.248685
0.248882
0.249066
0.249238
0.249402
0.249559
0.249711
0.249859
0.250004
0.250148
0.250291
0.250433
0.250575
0.250716
3.196985
2.324184
2.113543
2.498933
3.352745
4.543610
5.952742
7.478457
9.036873
10.56120
12.00050
13.31814
14.49030
15.50427
16.35681
17.05241
17.60156
18.01904
18.32231
18.53002
18.66083
18.73237
18.76051
18.75896
18.73901
18.70954
18.67717
18.64649
18.62038
18.60036
18.58690
18.57972
18.57808
18.58094
18.58720
18.59574
18.60558
18.61589
18.62598
18.63539
18.64377
18.65096
18.65688
18.66156
18.66508
18.66758
18.66920
1.858396
4.270144
6.380911
8.045206
9.309459
10.24851
10.92900
11.40494
11.71993
11.90972
12.00412
12.02820
12.00304
11.94623
11.87211
11.79207
11.71476
11.64636
11.59084
11.55034
11.52544
11.51556
11.51928
11.53463
11.55938
11.59121
11.62792
11.66751
11.70825
11.74873
11.78786
11.82484
11.85912
11.89041
11.91858
11.94366
11.96578
11.98513
12.00197
12.01655
12.02917
12.04006
12.04950
12.05769
12.06485
12.07115
12.07674
2.392463
5.434769
8.026359
9.971124
11.36792
12.34725
13.01668
13.45731
13.72962
13.87917
13.94076
13.94126
13.90143
13.83720
13.76057
13.68030
13.60248
13.53104
13.46816
13.41471
13.37056
13.33495
13.30673
13.28455
13.26708
13.25308
13.24148
13.23142
13.22227
13.21359
13.20511
13.19672
13.18841
13.18024
13.17233
13.16479
13.15776
13.15135
13.14564
13.14068
13.13651
13.13312
13.13049
13.12856
13.12727
13.12654
13.12630
92.55216
87.97090
83.47919
79.48474
75.96987
72.86063
70.10158
67.65929
65.51357
63.64991
62.05463
60.71240
59.60522
58.71230
58.01051
57.47522
57.08120
56.80356
56.61869
56.50493
56.44317
56.41712
56.41349
56.42186
56.43454
56.44617
56.45343
56.45458
56.44910
56.43732
56.42013
56.39872
56.37439
56.34840
56.32189
56.29580
56.27087
56.24763
56.22641
56.20738
56.19055
56.17585
56.16313
56.15219
56.14280
56.13473
56.12776
129
Lampiran 23
Hasil Uji Variance Decomposition Model II (Syariah)
Period
S.E.
DLSBIS
DLM2
DLSUKUK
DIHK
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
0.132799
0.192055
0.219418
0.229407
0.232126
0.233024
0.234022
0.235200
0.236259
0.237107
0.237845
0.238598
0.239424
0.240319
0.241254
0.242196
0.243124
0.244029
0.244905
0.245755
0.246579
0.247382
0.248164
0.248927
0.249671
0.250397
0.251103
0.251791
0.252459
0.253107
0.253737
0.254348
0.254941
0.255516
0.256075
0.256617
0.257143
0.257654
0.258150
0.258631
0.259098
0.259552
0.259992
0.260420
0.260835
0.261238
0.261629
0.262010
3.748528
1.933385
1.405903
1.294365
1.468419
1.872664
2.375857
2.824691
3.133210
3.299282
3.366340
3.381860
3.377547
3.368423
3.359308
3.350823
3.342598
3.334351
3.326037
3.317757
3.309657
3.301876
3.294502
3.287569
3.281058
3.274922
3.269100
3.263537
3.258193
3.253036
3.248051
3.243226
3.238557
3.234039
3.229668
3.225440
3.221349
3.217390
3.213558
3.209847
3.206253
3.202770
3.199394
3.196122
3.192950
3.189875
3.186894
3.184002
0.018773
3.007627
3.927690
4.459837
4.600570
4.545353
4.440917
4.389467
4.431278
4.560976
4.752776
4.979651
5.222196
5.469712
5.717759
5.965203
6.212066
6.458360
6.703663
6.947121
7.187638
7.424097
7.655540
7.881257
8.100803
8.313973
8.520734
8.721168
8.915425
9.103678
9.286110
9.462901
9.634220
9.800233
9.961101
10.11698
10.26803
10.41440
10.55625
10.69372
10.82695
10.95610
11.08129
11.20266
11.32033
11.43442
11.54506
11.65235
0.545604
0.565410
1.878620
4.162225
6.769830
8.967321
10.44004
11.25312
11.63051
11.77673
11.81879
11.81875
11.80227
11.77907
11.75269
11.72437
11.69450
11.66326
11.63094
11.59797
11.56484
11.53196
11.49965
11.46811
11.43743
11.40766
11.37879
11.35081
11.32368
11.29739
11.27190
11.24720
11.22325
11.20005
11.17756
11.15577
11.13466
11.11420
11.09438
11.07516
11.05654
11.03849
11.02100
11.00403
10.98759
10.97164
10.95618
10.94118
95.68709
94.49358
92.78779
90.08357
87.16118
84.61466
82.74318
81.53272
80.80501
80.36301
80.06209
79.81974
79.59798
79.38280
79.17025
78.95960
78.75084
78.54403
78.33936
78.13715
77.93787
77.74207
77.55031
77.36307
77.18071
77.00344
76.83137
76.66448
76.50270
76.34590
76.19394
76.04668
75.90397
75.76568
75.63167
75.50180
75.37596
75.25400
75.13582
75.02127
74.91025
74.80264
74.69832
74.59719
74.49914
74.40406
74.31187
74.22247
130
Download