ANALISIS MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER KONVENSIONAL DAN SYARIAH MELALUI JALUR HARGA ASET TERHADAP INFLASI DI INDONESIA PERIODE 2011 – 2014 SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi OLEH FARAH FAUZIYAH NIM.1111084000019 JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M / 1436H …. DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. DATA PRIBADI 1. Nama Lengkap : Farah Fauziyah 2. Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 19 Mei 1993 3. Alamat : Jl. H. Mugeni No. 48 Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan 4. Telepon : 08561483038 5. Email : [email protected] II. PENDIDIKAN FORMAL 1. Tk Darunnajah Lulus Tahun 1998 2. SDI Annajah Lulus Tahun 2004 3. Mts Annajah Lulus Tahun 2008 4. SMAN 63 Jakarta Lulus Tahun 2011 5. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta S1 Ekonomi 2015 III. PENDIDIKAN NON FORMAL 1. Global Education Center (GEC), Step Level Tahun 2008 2. Boston Course Indonesia (BCI), Tingkat Microsoft Windows XP Word Tahun 2008 i IV. SEMINAR DAN WORKSHOP 1. Peserta SEFT (Spiritual Emotion Freedom Technique) “Muslim Sekata“ (Sehat, Berkah Dan Taqwa), diselenggarakan oleh KOMDA FAST dan FEB, 9 Desember 2013. 2. Dialog jurusan dan seminar konsentrasi “Mengenal Lebih Dekat Dengan Jurusan Sendiri”, diselenggarakan oleh HMJ IESP Fakultas Ekonomi dan Bisnis” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 3 Oktober 2015. 3. Peserta dalam acara FST Entrepreneurship Week “Kreasikan Idemu, Wujudkan Prestasi Usahamu” diselenggarakan oleh FST UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 18-20 Maret 2014. 4. Peserta dalam Seminar Nasional IAEI dengan tema “Penyiapan SDM Berbasis Kompetensi Syariah Dalam Pengembangan Perbankan Syariah Era MEA 2015”, yang diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia bekerjasama dengan universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), 11 Oktober 2014. V. LATAR BELAKANG KELUARGA 1. Ayah : Drs. Nur ali 2. Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 12 Agustus 1958 3. Ibu : Khafifah 4. Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 10 Oktober 1967 5. Alamat : Jl. H. Mugeni No. 48 Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan 6. Anak ke : 1 dari 4 bersaudara ii ABSTRACT This study aimed to analyze the transmission mechanism of monetary policy in controlling inflation in Indonesia (CPI), both in terms of Islamic and conventional. Two of the system was taken because Indonesia has a dual financial system and to compare the effectiveness of two such systems through the monetary transmission mechanism through the asset price channel, so this study has two models. The analytical tool used in this research is the Autoregessive Vector (VAR). Variables used in the sharia consist of Bank Indonesia Certificates Sharia (SBIS), the money supply (M2) and Islamic bonds (Sukuk). While on the conventional side variables used are Bank Indonesia Certificates (SBI), the money supply (M2) as well as bonds. This VAR research results conducted by Test Impulse Response Function (IRF) and the Test of Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). IRF results showed that the yield on the conventional side (Model I) is variable SBI had a negative impact, while the variable bonds provide a positive and permanent impact on inflation (CPI), while on the sharia (Model II) have a positive impact in terms of reducing inflation (CPI) and also permanent. Fluctuation (shock) on Islamic monetary transmission mechanism subside faster and more stable than the conventional monetary policy transmission mechanism, it can be seen from the period. For the test results FEVD the model I give a negative contribution in the sense of raising inflation (CPI) amounted to 43.86%, while the second model of a positive contribution in the sense of lowering inflation (CPI) amounted to 25.77%. Therefore we can conclude Islamic monetary policy transmission mechanism with the asset price channel on the model II can be said to be better than conventional transmission mechanism of monetary policy to asset price channel on the model I. Keywords: Monetary Transmission Mechanism Conventional and Islamic, Islamic and Conventional Economic Policy, Asset Price Line And Inflation (CPI) iii ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia dalam mengendalikan inflasi (IHK), baik dilihat dari sisi syariah maupun konvensional. Dua sistem tersebut diambil karena Indonesia memiliki dual system financial serta membandingkan efektifitas dari dua sistem tersebut melalui mekanisme transmisi moneter melalui jalur harga aset, sehingga penelitian ini memiliki dua model. Alat analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan Vector Autoregessive (VAR). Variabel yang digunakan pada sisi syariah terdiri dari Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), jumlah uang beredar (M2) dan obligasi syariah (Sukuk). Sedangkan pada sisi konvensional variabel yang digunakan adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI), jumlah uang beredar (M2) serta obligasi. Hasil penelitian VAR ini dilakukan dengan Uji Impulse Response Function (IRF) dan Uji Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Hasil IRF menunjukan bahwa hasil pada sisi konvensional (Model I) adalah variabel SBI memberikan dampak negatif, sedangkan variabel obligasi memberikan dampak positif dan bersifat permanen terhadap inflasi (IHK), sedangkan pada sisi syariah (Model II) memberikan dampak positif dalam pengertian menurunkan inflasi (IHK) dan juga bersifat permanen. Gejolak (shock) pada mekanisme transmisi moneter syariah lebih cepat mereda dan stabil dibandingkan pada mekanisme transmisi kebijakan moneter konvensional, hal ini dapat dilihat dari periodenya. Untuk hasil uji FEVD pada model I memberikan sumbangan negatif dalam arti menaikan inflasi (IHK) sebesar 43,86%, sedangkan pada model II memberikan sumbangan positif dalam arti menurunkan inflasi (IHK) sebesar 25,77%. Sehingga dapat disimpulkan mekanisme transmisi kebijakan moneter syariah dengan jalur harga aset pada model II dapat dikatakan lebih baik dibandingkan mekanisme transmisi kebijakan moneter konvensioanl dengan jalur harga aset pada model I. Kata Kunci : Mekanisme Transmisi Moneter Konvensional Dan Syariah, Kebijakan Ekonomi Konvensional Dan Syariah, Jalur Harga Aset Dan Inflasi (IHK) iv KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb Segala puji bagi Allah SWT, Rabb semesta alam yang telah memberikan kita kesempatan hidup di dunia ini dan memberikan nafas gratis yang dengannya kita dapat merasakan keindahan untuk bisa menyembah-Mu. Sungguh tidak ada satupun kejadian yang terjadi secara kebetulan, semua sudah terencana, semua telah ditentukan oleh qadha dan qodar-Nya. Salawat serta Salam tidak lupa kita curahkan kepada junjungan kita, Baginda Nabi Muhammad SAW semoga kelak kita mendapat syafa’atnya dihari akhir yang pasti terjadi. Ilmu yang kita miliki pada haikatnya adalah titipan dari Allah, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mengambilnya kembali dari kita. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk meraih ilmu yang bisa menjadi penerang dalam kegelapan dan dapat menjaga ilmu tersebut dengan penuh kerendahan hati. Tidak ada yang tidak mungkin, selama kita mau berdoa dan berusaha, seperti hadits Rasulullah “Man Jadda Wa Jadda” yang artinya barang siapa yang bersunguh-sungguh akan mendapatkannya. Urusan kita dalam kehidupan ini bukanlah untuk mendahului orang lain, tapi untuk melampaui diri kita sendiri, untuk memecahkan rekor diri sendiri dan untuk melampaui hari kemarin dengan hari yang lebih baik. Itulah sepenggal kalimat yang menjadi penggugah demi terselesaikannya skripsi yang sederhana ini, yang berjudul “Analisis Mekanisme v Transmisi Kebijakan Moneter Konvensional Dan Syariah Melalui Jalur Harga Aset Terhadap Inflasi Di Indonesia Periode 2011-2014”. Dengan selesainya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada: 1. Kepada Allah SWT yang telah mengizinkan saya untuk dapat kuliah di Universitas ini sesuai keinginan orang tua saya dan dapat menyelesaikan studi dengan sangat baik. Tanpa ridho dan berkah-Mu semua ini sulit untuk terjadi. 2. Kedua orang tuaku untuk kasih sayangnya yang tulus, Umiku Khafifah dan Abiku Nur Ali. Doa kalian adalah salah satu “fast track” untuk setiap kesuksesan langkah-langkahku. Terimakasih juga atas dukungan nonmateri maupun materi untuk melancarkan studi ini. Tiada patut diucapkan oleh seorang anak, kecuali doa untuk kedua orang tuanya “Rabbigfirlii Waliwalidayya Warhamhumaa Kamaa Rabbayani Shogiiraa”. 3. Terimakasih untuk ketiga saudaraku. Pertama Akmal yang sudah menemani dan mengantar menyerahkan proposal untuk mencari sponsor pada saat KKN, dan untuk Ical dan Audi yang masih bersekolah di SMA dan SMP semoga lancar dan bertambah rajin belajarnya supaya nanti mendapat universitas favorit. 4. Dr. Arief Mufraini selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang baru mengembangkan FEB lebih baik lagi. vi semoga dapat memajukan dan 5. Prof. Dr. Abdul Hamid selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebelumnya, yang telah berusaha keras memajukan FEB. 6. Bapak Dr. Ir. H. Roikhan selaku pembimbing I yang telah memberikan ilmu, bimbingan, tuntunan, motivasi, dan pengarahan yang luar biasa kepada penulis. Sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikannya dengan sebaik-baiknya balasan. 7. Bapak Yoghi Citra Pratama selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis. Sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan cepat dan baik, semoga Allah SWT mencatat segala amal kebaikannya sebagai ibadah. 8. Bapak Dr. Ir. H. Roikhan Mochahmad Aziz, MM sebagai dosen Konsentrasi syariah serta sebagai penemu DIDA KADA dan SOPSEN PINPUAPAK serta yang sudah meluangkan waktunya untuk tempat berdiskusi dan meluapkan keluh kesah dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga keikhlasan bapak dapat menjadi pemberat timbangan amal kebaikan di akhirat kelak. 9. Bapak Zuhairan Y. Yunan SE. M, Sc selaku ketua jurusan IESP yang baru semoga dapat menjadi ketua jurusan yang lebih baik lagi dalam memajukan IESP. 10. Terimakasih kepada Dosen-dosen IESP yang pernah mengajari saya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Bantuan kalian dalam menyampaikan materi yang sangat membantu saya dalam memahami materi perkuliahan. vii Semoga ini dapat menjadi nilai ibadah dan semoga Allah SWT membalas semua jasamu. 11. Terima kasih juga kepada keluarga besar Hj. Mugeni dan Hj. Gede Ara yang telah mendoakan dan mengingatkan terus untuk selalu mengejar skripsinya dan cepat mengejar wisudanya. 12. Sahabat-sahabatku Femme Elegante Zul Kairani, Nilam Nurlaila, Annisa Febrianti, Wihda Nur Afifah, Yuli Yanti dan Nurul Alifah yang telah menemaniku dalam menempuh perjalan mencari ilmu dari awal semester sampai akhirnya terselesaikan skripsi ini. Saling menyemangati dalam suka dan duka. Semoga kita semua bisa menjadi orang yang sukses dan bermanfaat bagi orang sekitar. Amiin 13. Zarif Tesettur walaupun pertemuan kita belum lama untuk kak Ida Ayu Calvandis dan Kak Dwita Aprilia, semoga bisa menjadi teman perjuangan menuju kesuksesan usaha yang sedang kita bangun. Amiin 14. Teman-teman seperjuangan IESP angkatan 2011, yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu. Terima kasih atas waktu, tawa, senyum, pengalaman baru selama ini. Setiap langkah adalah cerita maka lakukanlah yang terbaik untuk setiap langkahmu. Semoga kita semua dapat menjadi bagian dari impian-impian kita. 15. Orang-orang berjasa tanpa kenal lelah atas segala pelayanan administrasinya, semoga Allah SWT mencatat dan membalas segala kebaikannya. viii Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Jakarta, 21 Mei 2015 Farah Fauziyah ix DAFTAR ISI Cover Lembar Pengesahan Pembimbing Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif Lembar Pengesahan Ujian Skripsi Lembar Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah Daftar Riwayat Hidup ...................................................................................... i Abstract ............................................................................................................. iii Abstrak .............................................................................................................. iv Kata Pengantar ................................................................................................. v Daftar Isi ............................................................................................................ x Daftar Tabel ...................................................................................................... xiii Daftar Gambar ................................................................................................. xiv Daftar Lampiran .............................................................................................. xv BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 A. Latar Belakang .................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................. 11 C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 12 D. Manfaat Peneltian ............................................................................. 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 14 A. Teori Yang Berkenaan Dengan Variabel ........................................... 14 1. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia ............ 14 2. Transmisi Kebijakan Moneter Islam ........................................... 23 3. Kebijakan Moneter Konvensional ............................................... 25 4. Kebijakan Moneter Menurut Islam ............................................. 28 5. Instrumen Moneter ...................................................................... 32 x 6. Uang Dan Jumlah Uang Yang Beredar ....................................... 35 7. Obligasi Dan Obligasi Syariah (Sukuk) ...................................... 38 8. Inflasi .......................................................................................... 41 B. Keteraitan Antar Variabel .................................................................. 48 C. Penelitian Terdahulu .......................................................................... 52 D. Kerangka Berfikir ............................................................................... 61 E. Hipotesis Penelitian ............................................................................ 64 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 65 A. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................. 65 B. Model Pengumpulan Data .................................................................. 65 C. Metode Analisis Data ......................................................................... 66 1. Uji Stasioneritas Data dan Derajat Integrasi ............................... 69 2. Uji Kointegrasi ............................................................................ 71 3. Model Empiris Dalam VAR ....................................................... 72 4. Impulse response (IRF) ............................................................... 75 5. Variance Decomposition ............................................................. 75 D. Model Penelitian ................................................................................ 75 E. Operasional Data Penelitian (Variabel) ............................................. 76 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN .................................................... 80 A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ....................................... 80 1. Perkembangan Inflasi (IHK) ....................................................... 80 2. Perkembangan SBI dan SBIS ...................................................... 82 3. Perkembangan Uang Beredar ...................................................... 85 4. Perkembangan Obligasi dan Sukuk ............................................. 87 B. Analisis Uji Ekonometrik ................................................................... 91 1. Uji Stasioneritas Data dan Derajat Integrasi ............................... 93 2. Uji Kointegrasi ............................................................................ 96 xi 3. Estimasi VAR ............................................................................. 96 4. Impulse response (IRF) .............................................................. 99 5. Variance Decomposition ............................................................ 102 C. Analisis Ekonomi .............................................................................. 107 BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI ................................................... 111 A. Kesimpulan ........................................................................................ 111 B. Implikasi ............................................................................................ 113 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 114 LAMPIRAN ...................................................................................................... 117 xii DAFTAR TABEL Nomor Keterangan Halaman 1.1 Tabel Perbandingan Target Inflasi Dan Aktuali Inflasi 3 1.2 Tabel Data Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Bank 9 Indonesia Syariah (SBIS), Jumlah Uang Beredar (M2), Obligasi, Sukuk, Dan Inflasi (IHK) Periode 2011-2014 Dalam Miliar Dan Persen 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu 57 3.1 Model Penelitian Mekanisme Transmisi Moneter Melalui Jalur 76 Harga Aset 4.1 Uji Stasioneritas Variabel Dengan Metode ADF Test 92 4.2 Hasil Lagh Lenght 93 4.3 Hasil Uji Kointegrasi Johansen (Model I) 94 4.4 Hasil Uji Kointegrasi Johansen (Model II) 95 4.5 Rangkuman Hasil Uji Kointegrasi 96 4.6 Hasil Estimasi VAR (Model I) 97 4.7 Hasil Estimasi VAR (Model II) 98 4.8 Ringkasan Respon Variabel Terhadap Kenaikan Satu Standar 102 Deviasi Dari LIHK 4.9 Hasil Forecast error Variance Decomposition (FEVD) 103 Penyumbang Inflasi (IHK)Model I 4.10 Forecast error Variance Decomposition (FEVD) Penyumbang Inflasi (IHK) Model II xiii 105 DAFTAR GAMBAR Nomor Keterangan Halaman 2.1 Saluran Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia 14 2.2 Mekanisme Transmisi Moneter Melalui Jalur Harga Aset 22 2.3 Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Islam 24 2.4 Kerangka Berfikir Penelitan 63 3.1 Proses Analisis VAR 67 4.1 Perkembangan Inflasi (IHK) Periode Januari 2008 S.D Desmber 82 2014 Di Indonesia 4.2 Perkembangan SBI Periode Januari 2008 S.D Desmber 2014 Di 83 Indonesia 4.3 Perkembangan SBIS Periode Januari 2008 S.D Desmber 2014 Di 84 Indonesia 4.4 Perkembangan M2 Periode Januari 2008 S.D Desmber 2014 Di 86 Indonesia 4.5 Perkembangan Obligasi Periode Januari 2008 S.D Desmber 2014 88 Di Indonesia 4.6 Perkembangan Sukuk Periode Januari 2008 S.D Desmber 2014 Di 91 Indonesia 4.7 Hasil Impulse Response Inflasi (IHK) Model I dan II xiv 99 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Keterangan Halaman 1 Data Dari Variabel-Variabel Yang Digunakan 117 2 Hasil Uji Stasioneritas Variabel LINF 118 3 Hasil Uji Stasioneritas Variabel LSBI 118 4 Hasil Uji Stasioneritas Variabel LSBIS 119 5 Hasil Uji Stasioneritas Variabel LM2 119 6 Hasil Uji Stasioneritas Variabel LOBL 119 7 Hasil Uji Stasioneritas Variabel LSKK 120 8 Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLInflasi 120 9 Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference Variabel DLSBI 120 10 Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLSBIS 121 11 Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLM2 121 12 Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLObligasi 121 13 Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLSukuk 122 14 Hasil Lag Model I 122 15 Hasil Lag Model II 123 16 Hasil Uji Kointegrasi Model I (Konvensional) 124 17 Hasil Uji Kointegrasi Model II (Syariah) 124 18 Hasil Estimasi VAR Model I (Konvensional) 126 19 Hasil Estimasi VAR Model II (Syariah) 127 20 Hasil Uji Impulse Response (IRF) Model I (Konvensional) 128 21 Hasil Uji Impulse Response (IRF) Model II (Syariah) 128 xv 22 Hasil Uji Variance Decomposition Model I (Konvensional) 128 23 Hasil Uji Variance Decomposition Model II (Syariah) 130 xvi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kebijakan moneter suatu bank sentral atau otoritas moneter dimaksudkan untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi riil dan harga melalui mekanisme transmisi yang terjadi. Untuk itu, otoritas moneter harus memiliki pemahaman yang jelas tentang mekanisme transmisi di negaranya. Mekanisme transmisi kebijakan moneter dapat bekerja melalui berbagai saluran, seperti suku bunga, agregat moneter, kredit, nilai tukar, harga aset, dan ekspektasi (Warjiyo dan Agung, 2002). Sehingga, pemahaman tentang transmisi kebijakan moneter menjadi kunci agar dapat mengarahkan kebijakan moneter untuk mempengaruhi arah perkembangan ekonomi riil dan harga di masa yang akan datang. (Ascarya, 284: 2012). Hal ini diperjelas oleh undang-undang bank sentral untuk mencapai sasaran akhir kebijakan moneter tersebut. Goncangan yang terjadi pada perekonomian global dapat mempengaruhi kondisi perekonomian nasional. Untuk mengurangi dampak goncangan perekonomian global terhadap perekonomian dalam negeri, dibutuhkan kebijakan yang efektif dan efisien, baik kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal serta kebijakan-kebijakan ekonomi lainnya. Fokus penerapan kebijakan moneter di Indonesia sesuai UU No. 23 tahun 1999 yang telah diubah dalam UU No.3 Tahun 2004 mengenai 1 1 kebijakan moneter menyebutkan bahwa Bank Indonesia diberi amanah sebagai otoritas moneter ganda yang dapat menjalankan kebijakan moneter konvensional maupun syariah, maka kebijakan moneter yang ditempuh menggunakan dual monetary policy yakni konvensional dan syariah dengan tujuan utama kebijakan moneter di Indonesia adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yaitu kestabilan harga (inflasi) dan nilai tukar rupiah. Inflasi adalah kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan berlangsung terus-menerus. Dalam keadaan tertentu inflasi dibutuhkan untuk perekonomian. Namun, inflasi akan berdampak buruk dan merugikan bila telah mencapai inflasi yang sangat tinggi, namun di Indonesia angka inflasi terus-menerus bertambah dari tahun ke tahun. Oleh sebab itu pemerintah harus memiliki target inflasi yang akan dijadikan acuan untuk mengendalikan inflasi setiap tahunnya. Target atau sasaran inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tentang Sasaran Inflasi tahun 2013, 2014, dan 2015 tanggal 30 April 2012, sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk periode 2013 – 2015, masing-masing sebesar 4,5%, 4,5%, dan 4% masing-masing dengan deviasi ±1%. (Bank Indonesia, 2015), seperti dilihat pada tabel 1.1 dibawah ini: 2 Tabel 1.1 Tabel Perbandingan Target Inflasi Dan Aktual Inflasi Tahun Target Inflasi Inflasi Aktual (%, yoy) 2011 5+1% 3,79 2012 4.5+1% 4,30 2013 4.5+1% 8,38 2014* 4.5+1% 8,36 *) berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tanggal 30 April 2012 Sumber: Bank Indonesia Pada tahun 2011 dan tahun 2012 memiliki tingkat inflasi aktual yang sangat baik sebesar 3,79 % dan 4,30 %, yaitu dibawah target inflasi. Sedangkan pada tingkat inflasi aktual tahun 2013 dan 2014 menunjukan angka secara umum telah mencapai 8,38 % dan 8,36 %, hal ini menunjukan tingkat inflasi yang kurang baik dikarenakan angka inflasi ini jauh dari target tahun tersebut. Selain itu tingkat inflasi hampir mendekati angka 10 %. Sedangkan untuk tahun 2015, nilai tukar rupaiah meningkat sebesar Rp 13.500/dollar AS. Dalam hal ini dapat dikatakan target pencapaian inflasi pemerintah kurang maksimal dalam dua tahun terakhir ini, yaitu menuju sasaran inflasi yang rendah dan stabil. Pemerintah menggunakan kebijakan moneter sebagai pengendali inflasi, yaitu stabilisasi harga. Oleh karena itu dibutuhkan adanya mekanisme tranasmisi kebijakan moneter beserta instrumen-instrumen yang digunakan. Terbentuknya sistem monter syariah diharapkan 3 menjadi solusi dari kegagalan yang diakibatkan oleh sistem moneter konvensional yang terpaku pada sistem bunga. Sistem bunga membawa kegiatan perekonomian dalam tindak spekulasi yang akan menghambat perekonomian sektor riil untuk berkembang dan akhirnya pertumbuhan ekonomi tidak berdiri dengan kuat atau rapuh meskipun angka pertumbuhan ekonomi tinggi. Asumsinya adalah dengan adanya kebijakan moneter syariah, kebijakan moneter khususnya di Indonesia akan terbebas dari sistem bunga dan diharapkan dapat mencapai tujuan moneter yang lebih baik. Menurut mishkin (1995), mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan proses yang kompleks karena dalam teori ekonomi moneter sering disebut dengan “Black Box”. Hal ini terutama karena transmisi yang dimaksud banyak dipengaruhi tiga faktor, yaitu (i) perubahan perilaku bank sentral, perbankan, dan para pelaku ekonomi dalam berbagai aktivitas ekonomi dan keuangannya, (ii) lamanya tenggang waktu lag dari kebijakan ekonomi ditempuh sampai sasaran inflasi tercapai, serta (iii) terjadinya perubahan pada saluran-saluran transmisi kebijakan moneter itu sendiri sesuai dengan perkembangan ekonomi dan keuangan dinegara yang bersangkutan. (Warjiyo, 2004: 4) Sejatinya penelitian Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter memberikan penjelasan mengenai bagaimana instrumen kebijakan moneter dapat perubahan (shock) mempengaruhi variabel makroekonomi lainnya hingga terwujudnya sasaran akhir kebijakan 4 moneter. Seberapa besar pengaruhnya terhadap harga dan kegiatan di sektor riil, semuanya sangat tergantung pada perilaku atau respons perbankan dan dunia usaha lainnya terhadap shock instrumen kebijakan moneter yaitu Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). (Deswita, 159: 2013) Dalam penelitian ini mengkhususkan dengan menggunakan mekanisme transmisi moneter jalur harga aset. Penelitian dengan menggunakan jalur harga aset masih sedikit sekali dilakukan. Namun, terdapat studi mengenai bekerjanya transmisi moneter melalui saluran harga aset dilakukan oleh idris dkk (2002). Mengatakan bahwa harga tanah dan properti sebetulnya merupakan indikator yang lebih baik untuk mengkaji saluran harga aset tersebut namun terbentur masalah data maka digunakanlah harga saham. Keterbatasan data tersebut maka penelitian ini menggunakan variabel obligasi dan sukuk sebagai indikator harga aset. Kebijakan moneter melalui jalur harga aset adalah suatu kebijakan moneter yang juga akan mempengaruhi perkembangan harga-harga aset lain, baik harga aset financial seperti yield obligasi dan harga saham, maupun aset fisik khususnya harga properti dan emas. Perubahan suku bunga dan nilai tukar maupun besarnya investasi di pasar uang rupiah dan valuta asing akan berpengaruh pula terhadap volume dan harga obligasi, saham dan aset fisik tersebut, dan selanjutnya perkembangan tersebut akan berdampak pada berbagai aktivitas di sektor riil. Pengaruh harga aset pada konsumsi dan investasi akan mempengaruhi pula 5 permintaan agregat dan pada akhirnya akan menentukan tingkat output riil dan inflasi dalam ekonomi. (Warjiyo, 2004: 14). Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia biasanya akan memainkan dan mengatur jumlah uang beredar untuk menstabilkan ekonomi moneter negara. Jumlah uang beredar yang stabil akan menekan tingginya angka inflasi. Uang yang beredar dalam suatu negara amat penting. Dalam arti luas, uang beredar adalah uang yang didalamnya termasuk aset keuangan yang memenuhi fungsinya sebagai uang dengan tingkat liquiditas yang berbeda satu sama lain. Uang dalam arti luas atau disebut (M2) yaitu uang yang terdiri dari uang kartal, uang giral dan uang kuasi. Data terakhir pada tahun 2014 dari Bank Indonesia jumlah uang beredar (M2) mencapai Rp 4.170.731 miliar, meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak Rp 3.730.197 miliar. Hal tersebut terjadi karena naik turunya angka pelipat gandaan uang tidaklah bersifat konstan. Angka tersebut senantiasa berubah-ubah sejalan dengan pola interaksi antara otoritas, bank umum dan masyarakat. Dalam pengendalian mekanisme transmisi kebijakan moneter diperlukan instrumen-instrumen untuk mengatur jumlah uang yang beredar. Salah satunya dalam penelitian ini adalah dengan instrumen Operasi Pasar Terbuka (OPT), dengan OPT sebagai instrumen moneter secara tidak langsung, dapat mempengaruhi sasaran operasionalnya yaitu suku bunga atau jumlah uang beredar secara lebih efektif. Dengan menggunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai instrumen 6 moneter konvensional dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) sebagai instrumen moneter syariah. Dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) bank sentral melakukakan kegiatan jual beli surat-surat berharga dengan pelaku pasar, baik di pasar primer maupun sekunder yang dijadikan instrumen operasional tidak langsung utama pengendalian moneter. Operasi Pasar Terbuka (OPT) dapat dilakukan atas inisiatif Bank Indonesia dengan frekuensi dan kuantitas sesuai dengan yang diinginkan dalam bentuk jual beli surat-surat berharga oleh Bank Indonesia. Apabila Bank Indonesia akan mengurangi jumlah uang yang beredar, maka suratsurat berharga akan dijual yang akan berdampak pada pengurangan alatalat likuiditas bank dan selanjutnya akan memperkecil kemampuan bankbank memberikan pinjaman, begitu pula sebaliknya. (Ascarya, 2005: 17) Bank Indonesia menjaga agar suku bunga pasar uang jangka pendek tersebut tidak terlalu melebar dari suku bunga kebijakan (BI Rate) untuk mendukung pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter. Dengan kondisi supply likuiditas harian di pasar uang yang masih tinggi, dan untuk menjaga agar suku bunga pasar uang jangka pendek bergerak tidak terlalu jauh dari BI Rate, maka Bank Indonesia akan melakukan operasi pasar terbuka dengan berbagai variasi tenor. Pelaksanaan lelang dari mingguan menjadi bulanan diharapkan dapat mendorong bank mengelola likuiditasnya dalam rentang waktu yang lebih panjang. Adapun penyerapan ekses likuiditas yang mengutamakan SBI dan SBIS dengan 7 tenor yang lebih panjang diharapkan dapat mendorong berkembangnya transaksi di pasar uang dan pelaksanaan operasi moneter yang lebih efektif. (Bank Indonesia, 2015) Untuk mengendalikan inflasi, jumlah uang yang beredar (M2) agar lebih efektif dan bermanfaat harus disalurkan dalam kegiatan ekonomi. Seperti yang telah disebutkan dalam paragraf sebelumnya, di indonesia memiliki berbagai macam saluran, salah satunya adalah melalui saluran harga aset yang akan digunakan dalam penelitian ini. Dimana melalui perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variabel ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. (Bank Indonesia, 2015) Bank sentral menjalankan kebijakan moneter, mereka melakukan serangkaian pengaturan atau penyesuaian ekonomi yang bekerja di pasar barang maupun pasar aset. Penerapan kebijakan moneter mempengaruhi pembelanjaan, output, dan penyerapan sumber daya (employment) dalam jangka pendek, yang berujung pada perubahan tingkat harga dalam jangka menengah dan jangka panjang. Adapun pengaruhnya kebijakan moneter yang dilakukan BI dalam mempengaruhi harga aset sebelum hasil akhir menentukan tingkat inflasi. maka data variabel yang digunakan sebagai indikator meknisme transmisi kebijakan moneter dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 8 Tabel 1.2 Data Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Jumlah Uang Beredar (M2), Obligasi, Sukuk dan Inflasi (IHK) Periode 2011-2014 dalam Miliar dan Persen Tahun SBI SBIS M2 Obligasi Sukuk 2011 119.777 3.476 2.877.220 260,863.85 7.915 Inflasi (IHK) 3,79% 2012 78.873 3.455 3.307.508 328,500.85 9,790.4 4,3% 2013 91.392 4.712 3.730.197 385,297.85 11,994.4 8,38% 2014 88.899 8.130 4.170.731 429,660.85 12.917 8,36% Sumber : Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bedasarkan data pada tabel 1.2 menunjukan kecenderungan penurunan nilai SBI dari tahun 2011 sampai tahun 2014. Dikatakan dalam artikel IBPA (Indonesia Bond Pricing Agency) 2015, SBI cenderung mengalami penurunan dikarenakan aliran dana perbankan di SBI yang makin surut sejalan dengan arah kebijakan moneter bank sentral, dimana BI sengaja mengurangi penyerapan dana melalui SBI agar bank lebih giat menyalurkan kreditnya sehingga akan berdampak pada kurs rupiah yang tetap stabil. Jika dana bank di SBI semakin menumpuk, BI harus menanggung beban bunga yang semakin besar. Kebijakan yang dilakukan bank sentral sehingga menampilkan nilai SBI menurun dan SBIS yang semakin meningkat, tetap memperlihatkan jumlah uang yang beredar juga semakin meningkat setiap tahunnya. Selain itu, perkembangan aset seperti obligasi dan sukuk terus 9 mengalami kenaikan, yang berarti dapat dikatakan bahwa investasi dengan aset-aset seperti ini diminati oleh para investor. Terlebih lagi juga perkembangan sukuk yang belum lama muncul juga terus mengalami kenaikan, bahkan pernah sukuk mengalami kelebihan permintaan. Namun kebijakan moneter yang telah dilakukan BI tersebut tetap saja tingginya angka inflasi setiap tahunnya terus terjadi. Menurut Pohan (2008), menjaga kestabilan nilai uang ini bukanlah masalah yang sederhana, karena uang berkaitan erat dengan hampir seluruh aspek dalam perekonomian. Dan alasan ini pula, proses kebijakan moneter sampai menyentuh kepada sektor riil menjadi masalah yang sangat kompleks dan tidak mudah pula menjaga stabilitas harga pada kondisi inflasi yang aman. Proses ini kemudian lazim disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter, yang merupakan saluran penghubung kebijakan moneter ke perekonomian riil. Permasalahan mengenai Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter ini masih merupakan topik yang menarik dan menjadi perdebatan, baik di kalangan akademis maupun para praktisi seperti Taylor: 2000, Warjiyo dan Agung: 2002, Muelgini: 2004, Mishkin: 2004, Doni Satria dan Solikin M. Juhro:2011, serta Ascaraya: 2012. Menariknya Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter selalu dikaitkan dengan dua pertanyaan. Pertama, apakah kebijakan moneter dapat mempengaruhi ekonomi riil di samping pengaruhnya terhadap harga. Kedua, jika jawabannya ya, maka melalui 10 mekanisme transmisi yang manakah pengaruh kebijakan moneter terhadap ekonomi riil tersebut terjadi. (Deswita, 159: 2013) Sedikitnya penelitian mekanisme transmisi kebijakan moneter dengan melihat dari jalur harga aset serta adanya kebijakan sistem moneter ganda konvensional maupun syariah yang disahkan oleh UU untuk mengendalikan stabilitas harga (inflasi) salah satunya. Manakah sistem moneter yang masih lebih efektif digunakan dalam mengendalikan inflasi yang terus mengalami kenaikan. Maka berangkat dari penjelasan tersebut penelitian in mengambil judul “ANALISIS MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER KONVENSIONAL DAN SYARIAH MELALUI JALUR HARGA ASET TERHADAP INFLASI DI INDONESIA PERIODE 2011-2014”. B. Rumusan Masalah Dengan latar belakang penelitian diatas, adapun rumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana mekanisme transmisi moneter konvensional melalui jalur harga aset dalam mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia? 2. Bagaimana mekanisme transmisi moneter syariah melalui jalur harga aset dalam mempengaruhi inflasi di Indonesia? 11 3. Bagaimanakah perbandingan konvensional dan syariah mekanisme melalui jalur transmisi harga aset moneter dalam mempengaruhi inflasi di Indonesia? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini berkaitan dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi mekanisme transmisi moneter konvensional melalui jalur harga aset dalam mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia. 2. Mengidentifikasi pengaruh mekanisme transmisi moneter syariah melalui jalur harga aset dalam mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia. 3. Membandingkan pengaruh konvensional dan syariah mekanisme melalui jalur transmisi harga aset moneter dalam mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia. D. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan menjadi rujukan atau inspirasi dan pedoman bagi peneliti lainnya yang berminat dibidang ini: 1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan kesempatan bagi peneliti untuk menyelaraskan ilmu pengetahuan yang didapat dalam kegiatan akademik sehingga dapat menambah pengetahuan bagi peneliti 12 dalam bidang ekonomi pembangunan dengan kinsentrasi ekonomi islam khususnya yang menjadi minat peneliti. 2. Penelitian ini dapat dipergunakan bagi pihak lain yang beminat pada penelitian ini sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya dan dapat menjadi bahan bacaan untuk menambah pengetahuan. 3. Hasil dari penelitian ini juga dapat dipergunakan oleh universitas untuk menambah bahan pustaka dalam mengembangkan kualitas pendidikan universitas tersebut dalam masa yang akan datang. 4. Bagi lembaga atau instansi terkait lembaga keuangan khususnya perbankan syariah, penelian ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk perbaikan perkembangan perbankan syariah yang merupakan objek penelitian. 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Yang Berkenaan Dengan variabel 1. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia Sebelum penjelasan secara teoritis, ada baiknya bila kita mengetahui bagaimana berbagai saluran sehingga dapat disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Berikut adalah gambar berbagai saluran transmisi kebijakan moneter di Indonesia: Gambar 2.1 Saluran Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia Sumber: Priadi Asmanto, 2006 Mekanisme transmisi kebijakan moneter pada dasarnya menggambarkan bagaimana kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral mempengaruhi berbagai aktifitas ekonomi dan keuangan sehingga pada akhirnya dapat mencapai tujuan akhir yang ditetapkan. Secara spesifik, Taylor (1995) mengatakan bahwa transmisi 14 14 kebijakan moneter adalah “ The process through which monetary policy decision are transmitted into changes in real GDP and inflation”. (Warjiyo, 2004: 3-4) Menurut Mishkin (1995), mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan proses yang kompleks karena dalam teori ekonomi moneter sering disebut dengan “Black Box”. Hal ini terutama karena transmisi yang dimaksud banyak dipengaruhi tiga faktor, yaitu (i) perubahan perilaku bank sentral, perbankan, dan para pelaku ekonomi dalam berbagai aktivitas ekonomi dan keuangannya, (ii) lamanya tenggang waktu lag dari kebijakan ekonomi ditempuh sampai sasaran inflasi tercapai, serta (iii) terjadinya perubahan pada saluran-saluran transmisi kebijakan moneter itu sendiri sesuai dengan perkembangan ekonomi dan keuangan dinegara yang bersangkutan. (Warjiyo, 2004: 4) Kompleksitas mekanisme transmisi kebijakan moneter juga berkaitan dengan perubahan pada peran dan cara kerjanya saluransaluran transmisi moneter dalam perekonomian. Pada perekonomian terbuka, perkembangan ekonomi dan keuangan disuatu negara akan dipengaruhi pula oleh perkembangan ekonomi dan keuangan negara lain melalui perubahan nilai tukar, volume ekspor impor, ataupun besarannya arus dana masuk dan keluar dari negara yang bersangkutan. Pada kondisi demikian, peranan saluran yang lain, seperti suku bungan, kredit, dan nilai tukar juga semakin penting 15 dalam transmisi kebijakan moneter. Peran saluran harga aset, seperti obligasi dan saham dan saluran ekspektasi juga semakin perlu diperhatikan. (Warjiyo, 2004: 6) Menurut Warjiyo (2004: 7), transmisi moneter saling berkaitan dengan proses perputaran uang dalam perekonomian. Transmisi kebijakan moneter pada dasarnya menunjukan interaksi antar bank sentral, perbankan dan lembaga keuangan lainnya, dan pelaku ekonomi di sektor riil melalui dua tahap proses perputaran uang, yaitu Interaksi yang terjadi di pasar keuangan dan Interaksi yang berkaitan dengan fungsi intermediasi, Dalam perkembangan lanjutan, dengan kemajuan dibidang keuangan dan perubahan dalam struktur perekonomian, terdapat lima saluran mekanisme transmisi kebijakan moneter, yaitu saluran uang, saluran suku bunga, saluran harga aset, saluran kredit dan saluran ekspektasi. Berikut penjelasan yang lebih rinci (Warjiyo, 2004: 14): a. Saluran Uang Melalui saluran uang mengacu pada domonasi peran uang dalam perekonomian, yang pertama kali dijelaskan oleh quantity teory of money (Fisher, 1991). Teori ini pada dasarnya menggambarkan kerangka kerja yang jelas mengenai analisis hubungan langsung yang sistematis antara pertumbuhan uang beredar dan inflasi, yang dinyatakan dalam suatu identitas yang dikenal sebagai “the equation of exchange” sebagai berikut : 16 MV = PT Dalam keseimbangan jumlah uang beredar yang digunakan dalam seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan jumlah output nominal, dihitung dengan harga yang berlaku, yang ditransaksikan dalam ekonomi (PT). Mekanisme transmisi saluran uang dibagi dalam dua tahap proses perputaran uang tersebut. Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran uang dimulai dengan tindakan bank sentral mengendalikan uang primer sesuai dengan sasaran akhir yang ingin dicapai. Kemudian dengan proses money multiplier ditransmisikan ke jumlah uang beredar (M1 dan M2) sesuai dengan permintaan masyarakat. pada akhirnya uang beredar akan mempengaruhi berbagai kegiatan ekonomi, khususnya inflasi dan output riil karena peranannya untuk pemenuhan kebutuhan transaksi ekonomi oleh para pelaku ekonomi. b. Saluran Kredit Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran kredit didasarkan pada asumsi bahwa tidak semua simpanan masyarakat dalam bentuk uang beredar (M1 dan M2) oleh perbankan selalu disalurkan sebagai kredit kepada dunia usaha. Perbedaan antara saluran uang dengan saluran kredit terletak pada tahapan selanjutnya dari proses perputaran uang dalam 17 ekonomi. Saluran kredit menekankan pentingnya pasar kredit, yang tidak selalu dalam kondisi keseimbangan karena adanya assymetric information atau sebab-sebab lain. Terdapat dua jenis saluran kredit yang mempengaruhi transmisi kebijakan moneter dari sektor keuangan ke sektor riil, yaitu kredit bank dan neraca perusahaan. Perkembangan kredit perbankan selanjutnya akan berpengaruh pada inflasi dan sektor riil melalui perkembangan invenstasi dan konsumsi. c. Saluran Suku Bunga Aspek ini lebih mementingkan aspek harga di pasar keuangan terhadap berbagai aktifitas ekonomi disektor riil. Tahap pertama pada saluran ini adalah kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral akan mempengaruhi perkembangan suku bunga jangka pendek di pasar uang (misalnya suku bunga SBI dan PUAB) dipasar uang rupiah. Tahap kedua, transmisi suku bunga dari sektor keuangan ke sektor riil akan tergantung pada pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi dan investasi dalam perekonomian. d. Saluran Nilai Tukar Transmisi saluran ini menekankan pentinganya pengaruh perubahan harga aset finansial terhadap berbagai aktifitas ekonomi. Aset finansial berbentuk valuta asing, selanjutnya perkembangan nilai tukar dan dana aliran dana luar negeri 18 tersebut akan berpengaruh pada output riil dan inflasi negara. Perubahan perkembangan nilai tukar pasar valuta asing pengaruh tidak langsung terhadap nilai tukar tersebut karena kebijakan moneter akan mempengaruhi perkembangan suku bunga dipasar, yang selanjutnya berpengaruh terhadap besarnya aliran dana ke luar negeri serta permintaan dan penawaran dipasar valuta asing. Pada tahap selanjutnya, pengaruh nilai tukar terhadap inflasi juga dapat terjadi secara langsung karena perkembangan nilai tukar mempengaruhi pola pembentukan harga oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi di masyarakat, maupun secara tidak langsung terjadi karena perubahan nilai tukar mempengaruhi komponen ekspor impor dalam permintaan agrerat. Perkembangan ini akan berdampak pada besarnya output riil dalam ekonomi yang pada akhirnya akan menentukan besarnya tekanan inflasi dari sisi kesenjangan output. e. Saluran Harga Aset Kebijakan moneter juga berpengaruh terhadap perkembangan harga-harga aset lain, baik harga aset financial seperti yield obligasi dan harga saham, maupun aset fisik khususnya harga properti dan emas. Perubahan suku bunga dan nilai tukar maupun besarnya investasi di pasar uang rupiah dan valuta asing akan berpengaruh pula terhadap volume dan harga 19 obligasi, saham dan aset fisik tersebut, dan selanjutnya perkembangan tersebut akan berdampak pada berbagai aktivitas di sektor riil. Pengaruh harga aset pada konsumsi dan investasi akan mempengaruhi pula permintaan agregat dan pada akhirnya akan menentukan tingkat output riil dan inflasi dalam ekonomi. Menurut Mishkin (2004), Transmisi moneter melalui jalur harga aset lain (other asset price effect) dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu efek nilai tukar terhadap ekspor bersih (Exchange Rate Effect on Net Export), Teori Q Tobin (Tobin’s Q Theory) dan Efek Kesejahteraan (Wealth Effect). (Masyitha, 2012: 8) 1) Exchange Rate Effect on Net Export Ketika terjadi ekspansi kebijakan moneter dengan penurunan suku bunga maka akan menyebabkan aset dalam mata uang asing lebih menarik dibandingkan dengan aset domestik dalam Rupiah. Pada akhirnya nilai dari aset rupiah akan menurun sehingga rupiah terdepresiasi. Nilai rupiah yang lebih rendah dibandingkan mata uang asing akan menyebabkan harga barang domestik menjadi lebih murah dibandingkan harga barang asing sehingga meningkatkan ekspor dan agregate output. 20 2) Tobin’s Q Theory Teori ini dikembangkan menjelaskan pengaruh oleh James kebijakan Tobin moneter yang terhadap penilaian ekuitas. Tobin mendefinisikan ‘q’ sebagai harga pasar untuk perusahaan yang dibagi dengan penggantian harga modal. Ketika nilai q tinggi maka harga pasar untuk perusahaan akan relatif tinggi dibandingkan dengan harga modalnya. Untuk itu perluasan usaha dan harga dari peralatan relatif murah sehingga dapat meningkatkan investasi. Hal ini terjadi karena perusahaan dapat mengeluarkan sedikit saham, tetapi dapat dijual dengan harga yang tinggi. Ketika terjadi ekspansi moneter maka masyarakat akan dihadapkan pada kondisi dimana terjadi kelebihan uang dibandingkan kebutuhan yang ada sehingga masyarakat akan menyalurkan dananya ke pasar saham. Permintaan saham akan meningkat dan harga saham akan naik. Harga saham yang naik akan menyebabkan q naik sehingga meningkatkan investasi dan output. 3) Wealth Effect Asumsi yang mendasari proses transmisi moneter pada jalur ini bahwa pengeluaran konsumsi juga dipengaruhi oleh sumber daya seumur hidup (lifetime resources), bukan hanya didasari pada pendapatan yang didapat hari ini. 21 Komponen utama sumber daya seumur hidup (lifetime resources) adalah kesejahteraan finansial, salah satunya adalah saham. Saat terjadi kontraksi moneter maka harga saham akan naik, sehingga menaikan kesejahteraan dan juga menaikan konsumsi. Konsumsi yang naik akan meningkatkan ouput Gambar 2.2 Mekanisme Transmisi Moneter melalui jalur harga Aset Sumber : Warjiyo, 2005 f. Saluran Ekspektasi Para pelaku ekonomi, dalam menentukan tindakan bisnisnya akan mendasarkan pada prospek ekonomi dan keuangan kedepan. Bedasarkan kebijakan moneter yang ditempuh oleh bank sentral akan memunculkan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi, akibatnya akan mempengaruhi tindakan masyarakat untuk melakukan aktifitas pada sektor riil. Pada permintaan agregat tingkat suku bungan akan menentukan besarnya konsumsi dan investasi. 22 Sedangkan pada penawaran agregat terjadi melalui pola pembentukan harga produk. Sehingga pengaruh ekspektasi inflasi terhadap permintaan dan penawaran agregat akan menentukan tingkat inflasi dan output riil dalam ekonomi. Dengan demikian semakin kredible kebijakan moneter, semakin rendah pula distorsi yang ditimbulkannya baik terhadap perkembangan output riil maupun efektifitas kebijakan moneter dalam pencapaian sasaran inflasi tersebut. 2. Transimisi Kebijakan Moneter Islam Menurut Islahi (2004), transmisi kebijakan moneter muncul sejak munculnya otoritas moneter yang terpisah dari otoritas fiskal. Otoritas moneter berkembang sejalan dengan berkembangnya bank sentral dari bank sirkulasi (menerbitkan uang kertas atau fiat money) yang ditandai dengan munculnya Bank of England (BOE) pada tahun 1694 (Capie, 1994). Karena uang kertas sifatnya inflatoir (karena tidak memiliki nilai intrinsik), maka tugas bank sentral berkembang termasuk mengatur jumlah uang yang beredar untuk mengendalikan nilai mata uang atau inflasi. Hal ini tidak diperlukan ketika uang yang digunakan adalah uang intrinsik, seperti Dinar emas dan Dirham perak di masa masih adanya kekhalifahan Islam. Khilafah Islamiyah terakhir, yaitu Dinasti Utsmaniyah di Turki, runtuh pada tahun 1924. (Ascarya, 2012: 296) 23 Menurut Siddiqui (2007), Setting institusi keuangan Islam kontemporer tidak jauh berbeda dengan setting institusi keuangan konvensional yang sudah established, sehingga instrumen-instrumen kebijakan moneter Islam juga banyak yang mirip dengan instrumeninstrumen kebijakan moneter konvensional. Namun, karena cara kerja instrumen kebijakan moneter Islam memiliki persamaan dan perbedaan prinsip dengan cara kerja instrumen kebijakan moneter konvensional, transmisi kebijakan moneter Islam dapat sama atau berbeda dengan transmisi kebijakan moneter konvensional. Menurut Chapra (1985), tidak mendiskusikan secara spesifik masalah transmisi kebijakan moneter Islam ini. Perkembangan teori moneter Islam selanjutnya juga belum ada yang menyinggung tentang transmisi kebijakan moneter Islam, termasuk pass-through atau jalur-jalurnya. (Ascarya, 2012: 296) Gambar 2.3 Mekanisme Transmisi kebijakan Moneter Islam Sumber: Ascarya, 2014 24 3. Kebijakan Moneter Konvensional Kebijakan moneter adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan perekonomian makro ke kondisi yang diinginkan (yang lebih baik) dengan mengatur jumlah uang beredar. Yang dimaksud dengan kondisi yang lebih baik adalah meningkatnya output keseimbangan dan atau terpeliharanya stabilitas harga (inflasi terkontrol) melalui kebijakan moneter pemerintah dapat mempertahankan, menambah atau mengurangi jumlah uang beredar dalam upaya mempertahankan kemampuan ekonomi bertumbuh, sekaligus mengendalikan inflasi. (Rahardja dan manurung, 2002: 435) Jika yang dilakukan adalah menambah jumlah uang beredar, maka pemerintah dikatakan menempuh kebijakan moneter ekspansif. Sebaliknya, jika jumlah uang beredar dikurangi, pemerintah menempuh kebijakan moneter kontraktif adalah kebijakan uang ketat. (Rahardja dan manurung, 2002: 435) Jumlah uang beredar dapat dirumuskan sebagai berikut: Jumlah uang yang berdar = Alat likuiditas atau uang tunai Cadangan wajib minimum Menurut Rahardja dan manurung (2002: 435-437), ada tiga instrumen utama yang digunakan dalam kebijakan moneter, yaitu: 25 a. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation) Yang dimaksud operasi pasar terbuka adalah pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar dengan cara menjual atau membeli surat-surat berharga milik pemerintah. Jika ingin mengurangi jumlah uang yang beredar maka pemerintah menjual surat-surat berharga, dan jika ingin menambah jumlah uang beredar maka pemerintah membeli kembali surat-surat berharga tersebut. Di Indonesia operasi pasar terbuka dilakukan dengan menjual atau membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SPBU) b. Fasilitas Diskontro (Discount Rate) Yang dimaksud tingkat bunga diskontro adalah tingkat bunga yang ditetapkan pemerintah atas bank-bank umum yang meminjam ke bank sentral. Jika pemerintah ingin menambah jumlah uang yang beredar, maka pemerintah menurunkan tingkat bunga pinjaman (tingkat diskontro). Sebaliknya jika ingin menahan laju pertambahan uang beredar, pemerintah menaikan bunga pinjaman. c. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) Penetapan rasio cadangan wajib dapat mengubah jumlah uang beredar, jika rasio cadangan wajib di perbesar, maka kemampuan bank memberikan kredit akan lebih kecil dibanding sebelumnya. Misalnya, jika rasio cadangan wajib mulanya 26 hanya 10%, maka untuk setiap unit deposito yang diterima, perbankan dapat mengalirkan pinjaman sebesar 90%, dari deposito yang diterima perbankan. Dengan demikian angka multiplier uang dari sistem perbankan adalah 10. Jika rasio wajib diperbesar menjadi 20%, maka untuk setiap unit deposito yang diterima, sistem perbankan hanya dapat menyalurkan kredit sebesar 80%. Angka multiplier uang dari sistem perbankan turun menjadi 5. d. Imbauan Moral (Moral Persuasion) Dengan imbauan moral, otoritas moeter mencoba mengarahkan atau mengendalikan jumlah uang beredar. Misalnya, gubernur Bank Indonesia dapat memberi saran agar perbankan berhati-hati dalam memberikan kredit atau membatasi keinginannya meminjam uang dari bank sentral (berhati-hati menggunakan fasilitas diskontro). Selain instrumen kebijakan moneter tersebut, terdapat pula kebijakan moneter Plafon Credit Policy (politik pagu kredit) artinya kebijakan untuk memperketat atau mempermudah dalam pembelian pinjaman kepada masyarakat. 27 4. Kebijakan Moneter Menurut Islam Menurut Chapra (2000:134), strategi dalam perekonomian Islam amat diperlukan, permintaan terhadap uang akan lahir terutama dari motif transaksi dan tindakan berjaga-jaga yang ditentukan pada umumnya oleh tingkatan pendapatan uang dan distribusinya. Permintaan uang pada dasarnya didorong oleh fluktuasi suku bunga pada perekonomian kapitalis. Penghapusan bunga dan kewajiban membayar zakat dengan laju 2 persen per tahun tidak saja meminimalkan permintaan spekulatif terhadap uang dan mengurangi efek suku bunga, tetapi dapat memberikan stabilitas yang lebih besar bagi permintaan total terhadap uang hal ini akan lebih jauh diperkuat oleh sejumlah faktor antara lain sebagai berikut: a. Aset pembawa bunga tidak akan bersedia dalam sebuah perekonomian islam, sehingga orang yang hanya memegang dana likuid menghadapi pilihan apakah tidak mau terlibat dengan resiko dan tetap memegang uangnya dalam bentuk cash tanpa memperoleh keuntungan, atau turut berbagi resiko dan menginvestasikan uangnya pada aset bagi hasil sehingga mendapatkan keuntungan. b. Peluang investasi jangka pendek dan panjang dengan berbagai tingkatan resiko akan tersedia bagi para investor tanpa memandang apakah mereka adalah pengambil resiko tinggi atau 28 rendah, sejauh mana risiko yang dapat diperkirakan akan diganti dengan laju keuntungan yang diharapkan. c. Barang kali dapat diasumsikan bahwa, kecuali dalam keadaan resesi tak akan ada pemegang dana yang cukup irasional untuk menyimpan sisa uangnya setelah dikurangi oleh keperluankeperluan transaksi dan berjaga-jaga selama ia dapat menggunakan sisanya yang menganggur untuk melakukan investasi pada aset bagi hasil untuk menggantikan paling tidak sebagai efek erosif zakat dan inflasi, sejauh dimungkinkan dalam sebuah perekonomian Islam. d. Laju keuntungan-berbeda dari laju suku bunga, tidak akan ditentukan didepan. Satu-satunya yang akan ditentukan didepan adalah rasio bagi hasil. Ini tidak akan mengalami fluktuasi, seperti halnya suku bunga karena ia akan didasarkan pada konversi ekonomi dan sosial, dan setiap ada perubahan di dalamnya akan terjadi lewat tekanan kekuatan-kekuatan pasar sesudah terjadi negosiasi yang cukup lama, jika prospek ekonomi cerah keuntungan secara otomatis akan meningkat. Preferensi likuiditas yang terjadi karena motif spekulasi akan kurang berarti dalam sebuah perekonomian islam. Stabilitas yang relatif lebih besar dalam permintaan uang untuk tujuan transaksi akan cenderung mendorong stabilitas yang lebih besar bagi 29 kecepatan peredaran uang dalam suatu fase daur bisnis dalam sebuah perekonomian Islam dan dapat diperkirakan perilakunya secara lebih baik. Karena itu, variabel yang digunakan dalam suatu kebijakan moneter yang difomulasikan dalam sebuah perekonomian islam adalah cadangan uang daripada suku bunga. Oleh karena itu suplai uang dalam perekonomian. Praktik-praktik monopolistik perlu dihilangkan dan setiap usaha harus dilakukan untuk menghapuskan kekakuan struktural dan menggalakan semua faktor yang mampu menghasilkan peningkatan penawaran barang dan jasa. (Chapra, 2000: 136) Menurut Chapra (2000:137), untuk menjamin bahwa pertumbuhan moneter mencukupi dan tidak berlebihan, perlu memonitor secara hati-hati tiga sumber utama ekspansi moneter. Pertama adalah membiayai defisit anggaran, ekspansi deposito melalui penciptaan kredit pada bank-bank komersial dan bersifat eksternal atau menggunakan surplus neraca pembayaran. Menurut Chapra (2000: 141), dalam kerangka strategi yang dijelaskan diatas, dapat diajukan mekanisme kebijakan moneter yang tidak saja akan membantu mengatur penawaran uang seirama dengan permintaan riil terhadap uang, tetapi juga membantu memenuhi kebutuhan untuk membiayai defisit pemerintah yang benar-benar riil dan mencapai sasaran sosio-ekonomi masyarakat Islam lainnya. 30 Menurut Chapra (2000:2), tujuan kebijakan moneter Islam adalah kelayakan ekonomi yang luas berlandaskan full employment dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimum, keadilan sosioekonomi dengan pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteran, stabilitas dalam nilai uang sehingga kemungkinan medium of exchange dapat dipergunakan sebagai suatu perhitungan, patokan yang stabil, serta penagihan yang efektif dari semua jasa biasanya diharapkan dari sistem perbankan. Dari tujuan-tujuan kebijakan moneter Islam yang dicoba didefinisikan oleh para ahli ekonomi Islam, sekilas hampir sama dengan tujuan-tujuan kebijakan moneter yang diterpkan oleh sistem kapitalis. Akan tetapi jika dikaji lebih dalam, ada perbedaan penekanan dan komitmen yaitu tentang nilai-nilai spiritual, keadilan sosio-ekonomi, dan persaudaraan manusia. (Andra, 2010: 17) Pada kesimpulannya dalam kebijakan moneter menurut Islam, ketersediaan sebagian instrumen tradisional kebjakan moneter tidak harus menimbulkan persoalan serius dalam mengelola suatu kebijakan moneter yang efektif dengan syarat bahwa realisasi uang berdaya tinggi diatur dengan baik pada pusatnya. Hal ini dengan sendirinya mengandung arti bahwa dalam sistem Islam, seperti halnya pada sistem-sistem yang lain, kerjasama antar bank sentral dan pemerintah sangat diperlukan. Apabila pemerintah tidak bertekad memiliki stabilitas harga sebagai suatu sasaran kebijakan 31 yang tidak dapat diatur pada pusatnya, penyesuaian minor yang diperlukan karena perubahan kondisi perekonomian atau karena terjadi kesalahan dalam memprediksi harus dilakukan oleh bank sentral melalui penggunaan intrumen yang ada padanya. (Chapra, 2000: 15) 5. Instrumen Moneter Operasi Pasar Terbuka merupakan instrumen kebijakan tidak langsung yang penting karena melalui OPT bank sentral dapat mempengaruhi sasaran operasionalnya (yaitu suku bunga dan jumlah uang beredar) secara lebih efektif. Dikatakan demikian karena sinyal arah kebijakan moneter dapat disampaikan melalui OPT, yang pelaksanaanya dilakukan secara terbuka dan pembentukan suku bunganya ditentukan oleh mekanisme pasar. Dilakukan atas inisiatif bank sentral dengan frekuensi dan kuantitas sesuai yang diinginkan. OPT berbentuk kegiatan jual beli surat-surat berharga oleh bank sentral. ( Ascarya, 2005: 17) SBI dan SBIS merupakan bagian dari instrumen moneter Operasi Pasar Terbuka (OPT). Dilansir dalam wikipedia (2015) yang dimaksud dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan) dengan sistem diskonto/bunga. SBI merupakan salah satu mekanisme yang 32 digunakan Bank Indonesia untuk mengontrol kestabilan nilai Rupiah. Dengan menjual SBI, Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang primer yang beredar. Tingkat suku bunga yang berlaku pada setiap penjualan SBI ditentukan oleh mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang. Sejak awal Juli 2005, BI menggunakan mekanisme BI rate yaitu Bank Indonesia mengumumkan target suku bunga SBI yang diinginkan Bank Indonesia untuk pelelangan pada masa periode tertentu. BI rate ini kemudian yang digunakan sebagai acuan para pelaku pasar dalam mengikuti pelelangan. Sertifikat Bank Indonesia memiliki karakteristik utama dalam peranannya sebagai instrumen Operasi Pasar Tebuka. Bedasarkan Surat edaran Bank Indonesia tahun 2006, yaitu: a. SBI memilki satuan unit sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta Rupiah). b. Jangka waktu SBI sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung dari tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan jatuh tempo waktu. c. SBI diterbitkan dan diperdagangkan dengan sistem diskonto. d. SBI diterbitkan tanpa warkat (scripless). e. SBI dapat diperdagangkan di pasar sekunder. f. Nilai tunai transaksi dihitung berdasarkan diskonto murni (true discount) sebagai berikut: Nilai Tunai= 33 g. Nilai Diskonto dihitung sebagai berikut: Nilai Diskonto = Nilai Nominal - Nilai Tunai Di Indonesia menganut sistem transmisi moneter ganda, maka dalam OPT terdapat pula Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) sebagai instrumen moneter syariah. Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI tanggal 31 Maret 2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah. SBIS adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. SBIS memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu: a. menggunakan akad ju'alah, Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, SBIS juga dapat diterbitkan dengan menggunakan akad mudharabah, musyarakah, wadiah, qardh, dan wakalah. b. satuan unit sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) c. berjangka waktu paling kurang 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan d. diterbitkan tanpa warkat (scripless) e. dapat diagunkan kepada Bank Indonesia f. tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder. 34 Sedangkan menurut Arifin (2009:198), Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana jangka pendek. SBIS merupakan piranti moneter yang sesuai prinsip pada Bank Syariah yang diciptakan dalam rangka pelaksanaan pengendalian moneter. Bank Indonesia menerbitkan instrumen moneter berdasarkan prinsip syariah yang dinamakan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) dan dapat dimanfaatkan oleh Bank Syariah untuk mengatasi bila terjadi kelebihan pada tingkat likuiditas. (Ridho, 2014: 26) Sertifikat Bank Indonesia Syariah merupakan piranti instrumen moneter yang dilakukan Bank Indonesia dalam rangka mengurangi jumlah uang beredar dalam mekanisme perbankan syariah. Perbedaan yang mendasar dari SBI Syariah dengan SBI konvensional adalah dari penerapan mekanismenya. SBI Syariah menerapkan sistem imbalan dan SBI Konvensional menggunakan mekanisme suku bunga/diskonto. (Ridho, 2014: 27) 6. Uang dan Jumlah Uang Beredar Uang adalah suatu benda yang dapat ditukarkan dengan benda lain, dapat digunakan untuk menilai benda lain, dan dapat disimpan. Uang juga dapat digunaka untuk membayar hutang di waktu yang akan datang. Dengan kata lain, uang adalah suatu benda yang pada dasarnya dapat berfungsi sebagai (1) alat tukar, (2) alat penyimpan 35 nilai, (3) satuan hitung, dan ukuran pembayaran yang tertunda. Fungsi uang tersebut sejalan dengan ekonomi yang berkembang untuk memenuhi kebituhan ekonominya. (Solikin dan Suseno, 2005: 2) Menurut Adiwarman (2010: 77), konsep uang dalam ekonomi islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi islam, konsep uang sangat jelas dan tegas bahwa uang adalah uang, uang bukan capital. Sebaliknya, konsep uang yang dikemukakan dalam ekonomi konvensional diartikan secara bolak balik, yaitu uang sebagai uang dan uang sebagai capital. Perbedaan lain adalah bahwa dalam ekonomi islam, uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan capital adalah sesuatu yang bersifat stock concept, sedangkan dalam ekonomi konvensional terdapat beberapa pengertian, yang ditunjukan oleh konsep Irving Fisher yang menyatakan bahwa : MV = P T Keterangan: M = jumlah uang beredar P = tingkat harga barang V = tingkat perputaran uang T = jumlah barang diperdagangkan Dalam islam, capital is private goods, sedangkan money is publics goods. Uang yang ketika mengalir (beredar) adalah public 36 goods (flow concept), lalu mengendap ke dalam kepemilikan seseorang (stock concept), uang tersebut menjadi milik pribadi (privat goods). Dalam islam, konsep ini sudah dikenal, yaitu ketika Rasulullah mengatakan bahwa “manusia mempunyai hak bersama dalam tiga hal; air, rumput dan api” (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Ibn Majah). Menurut Al-Gazali dan Ibn Khaldun, definisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran, dan media simpanan. (Adiwarman, 2010: 78) Uang tunai atau uang kartal adalah uang kertas dan uang logam yang beredar di masyarakat yang dikeluarkan dan diedarkan oleh bank Indonesia yang berfungsi sebagai otoritas moneter. Selain itu terdapat pula uang giral yaitu uang yang digunakan untuk pembayaran tunai namun menggunakan cek atau semacamnya yang sebelumnya seseorang telah meiliki simpanan dalam rekening giro pada bank umum. Dapat dilihat bahwa bank umum adalah lembaga yang dapat mencetak uang, dalam bentuk uang giral. Terdapat pula uang kuasi, yaitu simpanan tabungan dan deposito berjangka yang hanya dapat diambil pada waktu tertentu (1 atau 3 bulan). (Solikin dan Suseno, 2005: 11) Dengan mengeluarkan dan mengedarkan uang berarti sistem moneter mempunyai kewajiban kepada sektor swasta domestik atau penduduk/masyarakat yang terdiri dari individu, badan usaha, dan 37 lembaga lainnya. Bedasarkan pengertian tersebut, uang beredar didefenisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik. (Solikin dan Suseno, 2005: 13) Adapun jenis-jenis uang beredar mencakup dalam dua pengertian, yaitu uang beredar dalam arti sempit adalah sering diberi simbol M1 didefenisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik yang terdiri dari uang kartal (C) dan uang giral (D). Sedangkan uang beredar dalam arti luas sering disebut juga sebagai likuiditas perekonomian diberi simbol M2, didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik yang terdiri dari uang kartal (C), uang giral (D) dan uang kuasi (T). (Solikin dan Suseno, 2005: 13) 7. Obligasi dan Obligasi Syariah (Sukuk) Kebijakan moneter melalui jalur aset adalah suatu kebijakan moneter yang juga akan mempengaruhi perkembangan harga-harga aset lain, baik harga aset financial seperti obligasi/ sukuk dan harga saham, maupun aset fisik khususnya harga properti dan emas. a. Obligasi Dalam hal ini obligasi digunakan sebagai instrumen moneter konvensional. Menurut Bursa Efek Indonesa, obligasi merupakan surat utang jangka menengah-panjang yang dapat dipindahtangankan yang berisi janji dari pihak yang 38 menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut. Sedangkan dalam buku sekolah Pasar Modal Bursa Efek Indonesia Kelas Basic, mengatakan bahwa obligasi merupakan surat tanda berhutang yang diterbitkan oleh perusahaan maupun pemerintah dengan periode jangka waktu menengah atau panjang, bunga dibayarkan secara periodik atau tidak membayarkan bunga sama sekali (zero-coupon bond). Dalam Bursa Efek Indonesia, obilgasi dibagi kedalam beberapa jenis, yaitu: 1) Bedasarkan hak penukaran/opsi, yaitu: (a) Convertible Bonds adalah obligasi yang memberikan hak kepada pemegang obligasi untuk mengkonversikan obligasi tersebut ke dalam sejumlah saham milik penerbitnya. (b) Exchangeable Bonds adalah obligasi yang memberikan hak kepada pemegang obligasi untuk menukar saham perusahaan ke dalam sejumlah saham perusahaan afiliasi milik penerbitnya. (c) Callable Bonds adalah obligasi yang memberikan hak kepada emiten untuk membeli kembali obligasi pada harga tertentu sepanjang umur obligasi tersebut. 39 (d) Putable Bonds adalah obligasi yang memberikan hak kepada investor yang mengharuskan emiten untuk membeli kembali obligasi pada harga tertentu sepanjang umur obligasi tersebut. 2) Bedasarkan penerbit dibagi menjadi sebagai berikut: (a) Corporate Bonds adalah obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan, baik yang berbentuk badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha swasta. (b) Government Bonds adalah obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah pusat. (c) Municipal Bond adalah obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah daerah untut membiayai proyek-proyek yang berkaitan dengan kepentingan publik (public utility). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi harga obligasi adalah suku bunga bank dan resiko gagal bayar, berikut perinciannya (Bursa Efek Indonesia, 2015): 1) Suku bunga bank, harga obligasi berbanding terbalik dengan suku bunga bank, apabila suku bunga naik maka harga obligasi akan turun begitu juga dengan sebaliknya apabila suku bunga turun maka harga obligasi akan naik. 40 2) Risiko gagal bayar (default risk), apabila emiten yang mengeluarkan obligasi tersebut gagal bayar maka pemegang obligasi tidak akan menerima kupon pembayaran dan juga pelunasan hutang pada saat jatuh tempo. Hal ini akan mempengaruhi turunya harga obligasi emiten tersebut di pasar. Dalam buku sekolah Pasar Modal Bursa Efek Indonesia Kelas Basic juga mengatakan dalam berinvestasi pada obligasi memiliki manfaat maupun risiko yang akan dihadapi. Adapun manfaat dari investasi obligasi dapat berupa pendapatan tetap atas kupon, capital gain, yeild suku bunga deposito dan agak likuid. Sedangkan risiko yang dihadapi adalah adanya capital loss, rentan terhadap pergerakan suku buga dan default risk yang tinggi apabila emiten gagal bayar bunga dan atau pokok hutang. b. Obligasi Syariah (Sukuk) Menurut Otoritas Jasa Keuangan, Sukuk merupakan istilah baru yang dikenalkan sebagai pengganti dari istilah obligasi syariah (islamic bonds). Sukuk secara terminologi merupakan bentuk jamak dari kata "sakk" dalam bahasa Arab yang berarti sertifikat atau bukti kepemilikan. Sementara itu, Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13 memberikan definisi Sukuk 41 adalah Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak tertentu (tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas: 1) aset berwujud tertentu (ayyan maujudat) 2) nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul ayyan) tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada; 3) jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada 4) aset proyek tertentu (maujudat masyru' muayyan); dan atau 5) kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin khashah)". Sementara itu Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 32/DSN-MUI/IX/2002 mendefinisikan Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Sebagai salah satu Efek Syariah sukuk memiliki karakteristik yang berbeda dengan obligasi. Sukuk bukan merupakan surat utang, melainkan bukti kepemilikan bersama atas suatu aset atau proyek. Setiap sukuk yang diterbitkan harus mempunyai aset yang dijadikan dasar penerbitan (underlying 42 asset). Klaim kepemilikan pada sukuk didasarkan pada aset atau proyek yang spesifik. Penggunaan dana sukuk harus digunakan untuk kegiatan usaha yang halal. Imbalan bagi pemegang sukuk dapat berupa imbalan, bagi hasil, atau marjin, sesuai dengan jenis akad yang digunakan dalam penerbitan sukuk. 8. Inflasi Inflasi adalah kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan berlangsung terus-menerus. Dikatakan adanya kenaikan harga jika harga menjadi lebih tinggi daripada harga periode sebelumnya, perbandingan harga juga bisa dilakukan bedasarkan patokan musim. Dikatakan bersifat umum jika kenaikan harga barang tersebut akan mempengaruhi sebagian besar harga barang lainnya. Sedangkan dikatakan berlangsung terus-menerus adalah ketika dalam beberapa periode seperti triwulan, bulanan dan tahunan dapat dilihat kenaikan harga barang semakin tinggi dalam jangka waktu tersebut. Inflasi dalam mempengaruhi permintaan agregat melalui kebijakan moneter yaitu dengan mengarahkan ekonomi makro ke kondisi yang diinginkan (yang lebih baik) dengan mengatur jumlah uang yang beredar. Kebijakan uang ketat (kontaraktif) akan mengurangi jumlah uang beredar dalam masyarakat. kebalikannya, kebijakan moneter eksansif akan menambah jumlah uang beredar. Jika pemerintah mengambil kebijakan uang ketat, jumlah uang 43 beredar akan berkurang. Besar kemungkinan hal ini akan dapat mengurangi daya beli secara agregat. Sebaliknya dengan kebijakan moneter ekspansif yang menyebabkan uang beredar bertambah. Pengaruh kebijakan moneter terhadap permintaan agregat. (Rahardja dan Manurung, 2008: 362) Menurut Rahardja dan Manurung (2008: 365), bedasarkan faktor penyebabnya inflasi dapat di bagi dalam 3 jenis, yaitu : a. Inflasi tekanan permintaan (demand-pull inflation) Inflasi tekanan permintaan adalah inflasi yang terjadi karena dominannya tekanan permintaan agregat. Tekanan permintaan ini menyebabkan output perekonomian bertambah, tetapi disertai inflasi dilihat makin tingginya tingkat harga umum. Dalam Inflasi tekanan permintaan, tidak selalu berarti penawaran agregat tidak bertambah. Yang pasti kalaupun terjadi pertambahan penawaran agregat, jumlahnya lebih kecil dibanding peningkatan permintaan agregat. b. Inflasi dorongan biaya (cost-push inflation) Inflasi dorongan biaya terhadi karena kenaikan biaya produksi. biasanya menyebabkan penawaran agregat berkurang. Naiknya biaya produksi disebabkan naiknya harga input pokok. Jika yang berkurang adalah penawaran agregat, inflasi akan disertai kontraksi ekonomi, sehingga jumlah output (PDB) menjadi lebih kecil. 44 c. Stagflasi Stagflasi menerangkan dua keadaan buruk, yaitu stagnasi dan inflasi. Stagnasi adalah kondisi di mana tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar nol persen pertahun. Jumlah output relatif tidak bertambah, sayangnya kondisi ini disertai oleh inflasi. Pada kondisi ini akan terjadi ketika permintaan agregat bertambah sedangkan penawaran agreat berkurang. Menurut Rahardja dan Manurung (2008: 367), ada beberapa indikator ekonomi makro yang digunakan untuk mengetahui laju inflasi selama satu periode tertentu, yaitu Indeks Harga Konsumen (IHK), Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) dan Indeks Harga Implisit (GDP deflator). Pada penelitian kali ini akan membahas inflasi dengan menggunakan pendekatan Indeks Harga Konsumen (IHK). Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah angka indeks yang menunjukan tingkan harga barang dan jasa yang harus dibeli konsumen dalam satu periode tertentu. Angka IHK diperoleh dengan menghitung harga-harga barang dan jasa utama yang dikonsumsi masyarakat dalam satu periode tertentu. Masing-masing harga barang dan jasa tersebut diberi bobot bedasarkan tingkat keutamaannya. Barang yang paling penting diberi bobot yang paling besar. Di Indonesia perhitungan IHK dilakukan dengan 45 mempertimbangkan sekitar beberapa ratus komoditas pokok. Untuk lebih mencerminkan keadaan yang sebenarnya, perhitungan IHK dilakukan dengan melihat perkembangan regional, yaitu dengan mempertimbangkan tingkat inflasi kota-kota besar terutama ibukota provinsi-provinsi di Indonesia. (Rahardja dan Manurung, 2008: 367) Rumus perhitungan Inflasi dengan IHK, yaitu: Inflasi = (IHK – IHK-1) IHK-1 Dilihat dari cakupan komoditas yang dihitung IHK kurang mencerminkan tingkat inflasi yang sebenarnya, tetapi IHK sangat berguna karena menggambarkan besarnya kenaikan biaya hidup bagi konsumen, sebab IHK memasukan komoditas-komoditas yang relevan (pokok) yang biasanya dikonsumsi masyarakat. Sampai tingkat tertentu inflasi dibutuhkan untuk memicu pertumbuhan penawaran agregat. Sebab kenaikan harga akan memacu produsen untuk meningkatkan outputnya. Inlasi yang aman sekitar 5% -10% pertahun. Namun, akan terjadi hyperinflation jika inflasi terjadi lebih dari 100% pertahun. Hal ini akan mengganggu stabilitas ekonomi. Ada beberapa masalah sosial yang muncul dari inflasi yang tinggi yaitu lebih dari 10% pertahun, diantaranya yaitu (Rahardja dan Manurung, 2008: 368): 46 a. Menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat, diukur dari tingkat daya beli pendapatan yang diperoleh masyarakat. inflasi menyebabkan daya beli pendapatan makin rendah, bagi masyarakat yang berpenghasilan kecil atau tetap. Sehingga semakin tinggi tingkat inflasi, makin cepat penurunan tingkat kesejahteraan. b. Makin buruknya distribusi pendapatan, dampak buruk inflasi terhadap tingkat kesejahteraan dapat dihindari jika pertumbuhan tingkat pendapatan lebih tinggi dari tingkat inflasi. Namun jika hanya segelintir orang yang mampu meningkatkan pendapatannya lebih besar dari kenaikan inflasi. Akibatnya hanya sebagian orang yang mampu menaikan pendapatan riil, tetapi sebagian besar masyarakat mengalami penurunan pendapatan riil. Distribusi pendapatan, dilihat dari pendapatan riil, makin memburuk. c. Terganggunya stabilitas ekonomi, pengertian paling sederhana dari stabilitas ekonomi adalah sangat kecilnya tindakan spekulasi dalam perekonomian. Produsen berproduksi pada kapasitas penuh. Konsumen juga memakai barang dan jasa optimal dengan kebutuhan mereka. Kondisi nyaman ini akan mulai terganggu bila inflasi yang relatif tinggi telah menjadi kronis. 47 Sedangkan menurut para ekonom Islam, inflasi berakibat sangat buruk bagi perekonomian karena: a. Menimbulkan gangguan dalam fungsi uang, terutama terhadap fungsi tabungan, fungsi dari pembayaran di muka, dan fungsi dari unit perhitungan. Orang harus melepaskan diri dari uang dan aset keuangan akibat dari beban inflasi tersebut. Inflasi jua telah mengakibatkan terjadinya inflasi kembali. b. Melemahkan semangat menabung dan sikap terhadap menabung dari masyarakat yaitu turunya marginal propensity to save c. Meningkatkan kecenderungan untuk berbelanja terutama untuk non-primer dan barang0barang mewah d. Mengarahkan investasi pada hal-hal yang non-produktif yaitu penumpukan kekayaan seperti tanah bangunan, logam mulia, mata uang asing dengan mengorbankan invetasi ke arah produktif seperti; pertanian, industri, perdagangan, transportasi, dan lainnya. B. Keterkaitan Antar Variabel Mekanisme transmisi moneter dimulai dari tindakan bank sentral dengan menggunakan instrumen moneter, apakah OPT atau dengan menggunakan instrumen yang lain, dalam melaksanakan kebijakan moneternya. Tindakan itu kemudian berpengaruh terhadap aktivitas 48 ekonomi dan keuangan melalui berbagai transmisi kebijakan moneter, yaitu saluran uang, kredit, suku bunga, nilai tukar, harga aset dan ekspektasi. Target kebijakan moneter akan berpengaruh dibidang keuangan maupun di sektor riil hingga pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang merupakan sasaran akhir kebijakan moneter. (warjiyo, 2004:4). Dalam penelitian ini akan berfokus pada mekanisme transmisi moneter di Indonesia melalui jalur harga aset. Peran Harga aset mungkin berperan dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter yang dikenal secara teoritis, meskipun cukup sulit untuk menggambarkan secara empiris. Hasil guncangan kebijakan moneter dalam fluktuasi harga aset dengan kebijakan moneter pelonggaran dapat meningkatkan harga saham dalam dua cara: (i) dengan membuat ekuitas relatif lebih atraktif bagi obligasi (karena suku bunga jatuh) dan (ii) oleh perbaikan dalam prospek pendapatan perusahaan sebagai akibat dari pengeluaran lebih rumah tangga. Harga ekuitas yang lebih tinggi memiliki dua dampak impuls moneter. Pertama, harga ekuitas yang lebih tinggi meningkatkan nilai pasar relatif perusahaan terhadap biaya penggantian modal, memacu investasi juga, disebut sebagai Tobin q theory. Tobin q theory menggambarkan mekanisme Kebijakan moneter dengan cara mempengaruhi perekonomian melalui dampak pada valuasi ekuitas. (Asif Idress Dkk, 2005: 15) 49 Kedua, Kenaikan harga saham diterjemahkan ke dalam kekayaan finansial yang lebih tinggi dari rumah tangga dan konsumsi, karena itu lebih tinggi. Konsumsi disini menurut model siklus hidup Modigliani, konsumsi belanja ditentukan oleh sumber daya seumur hidup konsumen, yang terdiri dari modal manusia, modal riil dan kekayaan finansial. Komponen utama dari kekayaan finansial adalah saham biasa. Ketika harga saham naik, meningkat pula nilai kekayaan finansial, meningkatkan sumber daya seumur hidup konsumen, sehingga meningkatkan konsumsi. Selain itu, hingga harga saham yang lebih tinggi meningkatkan kekayaan bersih perusahaan dan rumah tangga yang meningkatkan akses mereka terhadap dana. (Asif Idress Dkk, 2005: 160) Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time lag). Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan operasionalnya mempengaruhi instrumen berbagai moneter variable dan ekonomi target dan 50 keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. (Bank Indonesia, 2015) Sebelum mendapatkan sasaran akhir untuk mencapai stabilitas harga (inflasi), terdapat tahap-tahap yang dilakukan dalam transmisi kebijakan moneter. Untuk menjalankan transmisi tersebut diperlukan adanya instrumen moneter. dalam penelitian ini menggunakan instrumen operasi pasar terbuka salah satunya SBI dan SBIS. Dengan adanya penjualan surat-surat berharga ini maka tabungan giral masyarakat dan cadangan yang dimiliki oleh bank umum akan berkurang yang berarti jumlah uang beredar didalam perekonomian juga berkurang. Jumlah uang beredar pada M2 merupakan indikator yang baik untuk melihat inflasi nanti pada akhirnya. Uang beredar yang terlalu banyak atau uang yang beredar terlalu sedikit membawa stabilisasi perekonomian yang buruk. Perekonomian yang baik dan stabil biasanya ditopang kuat oleh sektor riil. Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi, sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi. kondisi sektor keuangan, perbankan, 51 dan kondisi sektor riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter. (Bank Indonesia, 2015) Perubahan suku bunga dan nilai tukar maupun besarnya investasi di pasar uang rupiah dan valuta asing akan berpengaruh pula terhadap volume dan harga obligasi, selanjutnya perkembangan tersebut akan berdampak pada berbagai aktivitas di sektor riil. Pengaruh harga aset pada konsumsi dan investasi akan mempengaruhi pula permintaan agregat dan pada akhirnya akan menentukan tingkat output riil dan inflasi dalam ekonomi. (Warjiyo, 2004: 14). C. Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Asif, Ahmed, Yasir dan Hastam, Transmission Mechanism of Monetary Policy in Pakistan (2005). Penelitian ini menganalisis menggunakan autoregressions vektor untuk memeriksa transmisi moneter Mekanisme di Pakistan. Hasil menunjukkan bahwa pengetatan moneter pertama mengarah penurunan permintaan domestik, terutama permintaan investasi yang dibiayai oleh pinjaman bank, yang diterjemahkan ke dalam pengurangan bertahap dalam tekanan harga yang akhirnya mengurangi tingkat harga keseluruhan dengan lag yang signifikan. Selain saluran suku bunga, jalur harga aset aktif. Saluran nilai tukar kurang signifikan. Fakta bahwa hubungan kebijakan moneter dengan sektor riil langsung yaitu, melalui saluran pinjaman bank. Selain suku bunga tradisional dan 52 saluran pinjaman bank, kami juga menemukan saluran harga aset aktif yang mungkin terutama karena korelasi kuat antara ukuran (IPI) dan variabel pilihan yang mewakili jalur harga aset (KSEI). Guinigundo dalam penelitiannya mengenai Transmission Mechanism Of Monetary Policy In The Philippines (2006), ketersediaan saluran kredit dan saluran harga aset tetap terkait erat karena peran dominan dari sistem perbankan dalam sistem keuangan Filipina. Liberalisasi pasar keuangan, ditambah dengan NPL besar, yang merupakan sisa dari krisis keuangan Asia telah melemahkan ketersediaan saluran kredit dan meluas pada saluran harga aset dari kebijakan moneter. Sementara itu, saluran ekspektasi memiliki peran lebih penting di sini, meningkatnya transparansi yang terkait dengan penargetan inflasi telah meningkatkan kesadaran para pembuat kebijakan tentang pentingnya mengukur ekspektasi inflasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Balazs Egert dan Ronald MacDonald dalam penelitiannya tentang Monetary Transmission Mechanism in Central and Eastern Europe: Surveying the Surveyable (2008), menyimpulkan bahwa saluran harga aset memiliki pengaruh yang kecil dan mungkin akan tetap menjadi saluran transmisi yang low profile. Saham dan pasar obligasi berpengaruh terhadap keputusan investasi dan konsumsi karena efek kekayaan dan pendapatan, namun kenyataannya pasar ini didominasi oleh investor asing bukan oleh investor domestik. Akibatnya, 53 pergerakan harga di pasar ini hanya memiliki dampak yang terbatas pada perekonomian melalui dua efek tersebut. Perubahan sistem pembayaran pensiun untuk sistem pensiun swasta (sebagian) dapat meningkatkan peran pasar modal untuk menopang mereka agar dapat berinvestasi dalam saham dan obligasi swasta. Meskipun pengaruh kebijakan moneter melalui pasar properti tidak tampak sangat penting pada saat ini, saluran ini dapat tumbuh lebih kuat di masa depan dengan pesatnya perkembangan perumahan terkait pinjaman. Eva misfah bahyuni dan Ascarya, Analisis Pengaruh Instrumen Moneter Terhadap Stabilitas Besaran Moneter Dalam Sistem Moneter Ganda Di Indonesia (2010). Penelitian ini menggunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) sebagai variabel independen dan komponen besaran moneter, SBI rate, SBIS return dan IHK sebagai variabel dependen. Penelitian ini menggunakan metodologi Vector Auto Regression (VAR) dan Vector Error Correction Model (VECM). Hasil pengujian menunjukkan bahwa perubahan pada besaran moneter stabil dalam jangka pendek. Perubahan pada SBI dan SBIS tidak terdefinisi dalam jangka panjang. Selanjutnya pada komponen besaran moneter, hanya tabungan yang stabil dan berpengaruh dalam jangka panjang. Sedangkan variabel lainnya, hanya stabil dan efektif dalam jangka pendek. Selain itu, hubungan perubahan besaran moneter dengan perubahan IHK hanya stabil dalam jangka pendek, dan tidak terdefinisi dalam jangka panjang. 54 Ascarya, dalam Alur transmisi dan efektifitas kebijakan moneter ganda di Indonesia (2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme transmisi sistem moneter ganda dari konvensional dan tingkat kebijakan Islam terhadap inflasi dan output menggunakan metode Granger dan VAR, menggnakan data perbankan Januari 2003 sampai Desember 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme transmisi konvensional pada semua kebijakan konvensional terkait pada output dan inflasi, sedangkan tingkat kebijakan Islam tidak terkait dengan produksi dan penambahan inflasi. pada suku bunga kredit dan suku bunga PUAB konvensional memberikan guncangan dampak negatif dan permanen terhadap inflasi dan output, sedangkan PLS, pembiayaan Islam antar bank PLS, serta SBIS (Central Bank Syariah Sertifikat) guncangan kebijakan suku bunga memberikan dampak positif dan permanen terhadap inflasi dan output. SBI (Sertifikat Bank Sentral) sebagai kebijakan konvensional berdampak positif pada inflasi dan dampak negatif terhadap output. Deswita herlina, dalam identifikasi mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia tahun 2000-2011 (2013). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi mekanisme kerja berbagai saluran terutama interest rate, kredit (pinjaman bank dan neraca), saluran aset, nilai tukar, pada periode 2000: 1-2011: 4. Analisa Teknik yang digunakan adalah Kausalitas Granger. Hasil uji kausalitas Granger menunjukkan bahwa SBI memiliki hubungan satu arah dengan PUAB 55 dan DEP, sedangkan PUAB tidak memiliki hubungan dengan KIBK dan variabel IRSS memiliki hubungan satu arah dengan KIBK. Granger Hasil uji kausalitas pada saluran suku bunga semua variabel memiliki hubungan satu arah, kecuali KRSS variabel tidak memiliki hubungan dengan DEP. Hasil uji kausalitas Granger pada saluran harga aset ada hubungan antara IRSS dan KRSS terhadap IHSG. Hasilnya dalam saluran nilai tukar dua arah hubungan antara PSB dengan NFA, dan NTRMUA memiliki hubungan dua arah dengan CPI dan NTRMUA tidak kausal hubungan dengan PDBR tersebut. Ascarya, dalam Mekanisme Transmission Kebijakan Moneter Dalam Sistem Keuangan Ganda Di Indonesia: jalur Bunga-Laba (2014). Penelitian ini menggunakan variabel independen SBI, SBIS, PUAB, PUAS, deposito konvensional dan syariah serta CCONS dan ICONS, sedangkan untuk variabel dependen adalah IPI dan CPI. Penelitaian ini juga menggunakan (ECM), (ARDL), dan (VECM). Hasil dari Respon (IRF) dan (FEVD) menunjukkan bahwa sistem keuangan berbasis bunga konvensional cenderung meningkatkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi menurun, sementara Sistem keuangan syariah yang bebas bunga cenderung tidak mendorong inflasi dan tidak menghalangi pertumbuhan ekonomi. Sedangkan hasil estimasi ECM, ARDL dan VECM menunjukkan bahwa dalam sistem keuangan ganda, peningkatan SBI cenderung meningkatkan inflasi dan cenderung ada penurunan pertumbuhan ekonomi, sedangkan peningkatan SBIS 56 memberikan signifikan dampak inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga SBIS harus ditingkatkan menggunakan model PLS. Selain itu, rendah dan stabilnya inflasi dan pertumbuhan ekonomi tumbuh cepat di bawah sistem keuangan ganda dapat dicapai dengan meningkatkan pangsa keuangan Islam, khususnya Perbankan syariah dalam sistem keuangan ganda Indonesia. Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian mengenai analisis mekanisme transimisi moneter konvensional dan syariah melalui jalur harga aset dalam mempengaruhi inflasi di Indonesia dapat dilihat perbedaannya melalui ruang lingkup penelitian, variabel yang digunakan serta periode tahun penelitian. Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu No. 1. Peneliti Judul Variabel Metode dan Hasil Diwa C. Guinigundo (2006) Transmission Mechanism Of Monetary Policy In The Philippines Inflasi (CPI), GDP, M3. ER, Rentals, Phisix, T-bill rate, term structure Ketersediaan saluran kredit dan saluran harga aset tetap terkait erat karena peran dominan dari sistem perbankan dalam sistem keuangan Filipina. Sisa dari krisis keuangan Asia telah melemahkan ketersediaan saluran kredit dan meluas pada saluran harga aset dari kebijakan moneter. Sedangkan saluran ekspektasi memiliki peran lebih penting 57 2. Asif, Ahmed, Yasir dan Hastam (2005) Transmission Mechanism of Monetary Policy in Pakistan Jalur Kredit: (IPI, Prices, Loans, TB6) Analisis VAR Jalur harga aset: ((IPI, Prices, KSEI, TB6) Hasil menunjukkan bahwa pengetatan moneter mengarah pertama penurunan permintaan domestik, terutama permintaan investasi yang dibiayai oleh pinjaman bank, yang diterjemahkan ke dalam pengurangan bertahap dalam tekanan harga yang akhirnya mengurangi tingkat harga keseluruhan dengan lag yang signifikan. Selain saluran tradisional suku bunga, hasilnya menunjukkan mekanisme transmisi di mana bank memainkan peran penting. Kami juga telah menemukan jalur harga aset aktif. Saluran nilai tukar telah kurang signifikan Di Eropa Tengah dan Timur saluran harga aset memiliki pengaruh yang kecil dan mungkin akan tetap menjadi saluran transmisi yang low profile. Salah satu penyebabnya adalah karena investasi didominasi oleh investor asing bukan oleh investor domestik Jalur nilai tukar: ((IPI, Prices, REER, TB6) Jalur suku bunga: (IPI, Prices, Loans, REER, KESEI, TB6) 3. Balazs Egert dan Ronald MacDonald (2008) Monetary Transmission Mechanism in Central and Eastern Europe: Surveying the Surveyable MTM’s variabel in the countries of europe 4. Eva Misfah Analisis Pengaruh Besaran moneter, SBI Hasil: Analisis VAR/VECM 58 Bahyuni dan Ascarya (2010) rate, SBIS Instrumen return, dan Moneter IHK Terhadap Stabilitas Besaran Moneter Dalam Sistem Moneter Ganda Di Indonesia Hasil: (a) perubahan pada besaran moneter stabil dalam jangka pendek. (b) Perubahan pada SBI dan SBIS tidak terdefinisi dalam jangka panjang. (c) komponen besaran moneter, hanya tabungan yang stabil dan berpengaruh dalam jangka panjang. (d) Sedangkan variabel lainnya, hanya stabil dan efektif dalam jangka pendek. Selain itu, hubungan perubahan besaran moneter dengan perubahan IHK hanya stabil dalam jangka pendek, dan tidak terdefinisi dalam jangka panjang 5. Ascarya (2012) Alur transmisi dan efektifitas kebijakan moneter ganda di Indonesia 2003-2009 suku bunga kebijakan moneter konvensional, suku bunga simpanan, dan pinjaman perbankan konvensional, serta bagi hasil/margin/f ee kebijakan moneter syariah, bagi hasil investasi dan bagi Metode granger dan VAR Hasil: mekanisme transmisi konvensional pada kebijakan konvensional semua terkait pada output dan inflasi, sedangkan tingkat kebijakan Islam tidak terkait dengan produksi dan penambahan inflasi. 59 6. 7. Deswita Herlina (2013) Ascarya (2014) Mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia tahun 20002011 Mekanisme Transmission Kebijakan Moneter Dalam Sistem Keuangan Ganda Di Indonesia: jalur BungaLaba hasil/margin pembiayaan perbankan syariah, dan inflasi IHK SBI, PUAB, PDBR, Inflasi (IHK), IRSS, KKBK, KIBK, KRSS, NFA, nilai tukar rupiah, expor riil, IHSG, deposito berjangka, PSB, suku bunga kredit investasi, Metode kausalitas granger Hasil: Pada tabel ini hanya dilihat Hasil uji kausalitas Granger pada saluran harga aset ada hubungan antara IRSS dan KRSS terhadap IHSG. Hasilnya dalam saluran nilai tukar dua arah hubungan antara PSB dengan NFA, dan NTRMUA memiliki hubungan dua arah dengan CPI dan NTRMUA tidak kausal hubungan dengan PDBR tersebut SBI, SBIS, Analisis dengan ECM, ARDL dan VECM PUAB, PUAS, Hasil: deposito konvensional ï‚· Respon (IRF) dan (FEVD) dan syariah menunjukkan sistem serta CCONS bunga konvensional dan ICONS, cenderung meningkatkan IPI dan CPI inflasi dan pertumbuhan ekonomi menurun,dan Sistem yang bebas bunga cenderung tidak mendorong inflasi dan tidak menghalangi pertumbuhan ekonomi. ï‚· hasil estimasi ECM, ARDL dan VECM 60 menunjukkan bahwa dalam sistem keuangan ganda, peningkatan SBI meningkatkan inflasi dan ada penurunan pertumbuhan ekonomi, sedangkan peningkatan SBIS memberikan signifikan dampak inflasi dan pertumbuhan ekonomi D. Kerangka Berfikir Kebijakan moneter merupakan tindakan yang dilakukan oleh bank sentral untuk mempengaruhi uang beredar dan kestabilan harga (Inflasi). Bank sentral sebagai salah satu otoritas moneter dapat melaksanakan kebijakan moneter dengan menggunakan instrumen kebijakan moneter konvensional dan instrumen kebijakan moneter syariah (Andra, 2010: 36). Penelitian ini mencoba menganalisis bagaimana mekanisme transmisi kebijakan moneter konvensional dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter syariah dengan jalur harga aset, dalam mempengaruhi stabilitas harga atau inflasi (IHK) dan membandingkan yang paling mempengaruhi tingkat inflasi khususnya di Indonesia. Pada kerangka berfikir dibawah ini, dapat dilihat bahwa di Indonesia memiliki sistem transmisi kebijakan moneter ganda, yaitu kebijakan moneter konvensional dan syariah. transmisi kebijakan moneter konvensional menggunakan instrumen moneter operasi pasar 61 terbuka yaitu dengan variabel SBI, sedangkan sebagai instrumen moneter syariah menggunakan variabel sukuk. Kemudian instrumen kebijakan moneter tersebut akan mempengaruhi jumlah uang yang beredar. Dengan jumlah uang yang beredar diharapkan akan berdampak pada harga aset, baik pada sisi konvensional maupun pada sisi syariah. Dimana aktivitas tersebut akan mempengaruhi investasi di masyarakat. Pada tujuan akhir yang diharapkan tentu saja adanya stabilitas harga (inflasi). 62 Gambar 2.4 Kerangka Berfikir Penelitian Sistem Transmisi Moneter Ganda Moneter syariah Moneter konvensional Instrumen Moneter (SBI) Instrumen Moneter (SBIS) Jumlah uang Beredar (M2) Jalur Harga Aset Obligasi (Konvensional) Sukuk (Syariah) Inflasi (IHK) Metode Analisis (VAR/VECM) Kesimpulan 63 E. Hipotesis Penelitian Hipotesa merupakan jawaban sementara atas suatu persoalan yang masih perlu dibuktikan kebenarannya dan harus bersifat logis, jelas dan dapat diuji. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Diduga terdapat hubungan mekanisme transmisi moneter konvensional melalui jalur aset dalam mempengaruhi inflasi di Indonesia. 2. Diduga terdapat hubungan mekanisme transmisi moneter syariah melalui jalur aset dalam mempengaruhi inflasi di Indonesia 3. Diduga terdapat hubungan yang lebih berpengaruh antara mekanisme transmisi moneter konvensional dengan mekanisme transmisi moneter syariah melalui jalur aset dalam mempengaruhi inflasi di Indonesia. 64 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penghitungan dan pengelolaan data dalam penelitian ini menggunakan bantuan Perangkat lunak komputer adalah E-Views.. Luasnya objek penelitian ini sehingga ruang lingkup variabel yang akan digunakan bedasarkan pada data-data berikut ini: 1. Data statistik Bank Indonesia (BI) berupa data bulanan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Jumlah uang Beredar (M2), data Obligasi periode Januari 2011 – Desember 2014. 2. Data statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berupa data bulanan Sukuk periode Januari 2011 – Desember 2014. B. Model Pengumpulan Data Penelitian ini adalah penelitian statistik deskriptif dan menggunakan data sekunder maka metode yang digunakan dalam pengumpulan data untuk melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Field research Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang bersifat sekunder yaitu data yang diperoleh melalui hasil pengolahan pihak kedua (data eksternal) atau data yang sudah dipublikasi untuk 65 65 menjelaskan gejala dari suatu fenomena, seperti pusat referensi Bank Indonesia (BI) dan Bursa Efek Indonesia (BEI). 2. Library research Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari membaca literatur, buku, artikel, jurnal dan sejenisnya yang berhubungan dengan aspek yang diteliti sebagai upaya untuk memperoleh data yang valid. 3. Internet research Terkadang buku referensi atau literatur yang kita miliki atau pinjam di perpustakaan tertinggal selama beberapa waktu atau kadaluarsa, karena ilmu selalu berkembang. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hal tersebut penulis melakukan penelitian dengan teknologi yang juga berkembang yaitu internet sehingga data yang diperoleh merupakan data yang sesuai dengan perkembangan zaman. C. Metode Analisis Data Pada penelitian ini akan menganalisis dan mengolah data dengan uji Vector Autoregressive (VAR). VAR merupakan model ekonometrika yang digunakan dalam analisis kebijakan makroekonomi dinamik dan stokastik. Siregar dan Irawan (2005) menjelaskan bahwa VAR merupakan sistem-sistem persamaan yang memperlihatkan setiap variabel sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag (lampau) dari variabel itu sendiri, serta nilai lag dari variabel lain yang ada dalam 66 sistem. Variabel penjelas dalam VAR meliputi nilai lag dari variabel lain yang ada dalam sistem VAR yang membutuhkan identifikasi retriks untuk mencapai persamaan melalui interpretasi persamaan. (Ajija,dkk, 2011: 163) Asumsi yang harus dipenuhi dalam analisis VAR adalah semua variabel tak bebas bersifat stasioner, semua sisaan bersifat white noise, yaitu memliki rerataan nol, ragam konstan, dan diantara variabel tak bebas tidak ada korelasi. Uji kestasioneran data dapat dilakukan melalui pengujian terhadap ada tidaknya unit root dalam variabel dengan diuji Augmented Dekey fuller (ADF), adanya unit root akan menghasilkan persamaan atau model regresi yang lancung. (Ajija,dkk, 2011: 164) Pendekatan VAR sangat lazim digunakan untuk meneliti dampak kebijakan moneter terhadap variabel ekonomi lainnya yang banyak ditunjuk oleh peneliti lain untuk menganalisa hubungan dan dampak kebijakan moneter. Seperti dalam penelitian ini yang menggunakan alat transmisi kebijakan moneter konvensional dan syariah melalui jalur aset dalam mempengaruhi stabilitas harga (inflasi). Sebelum memahami lebih lanjut lihat pada gambar 3.1 dibawah ini mengenai proses dalam analisis VAR: 67 Gambar 3.1 Proses Analisis VAR Sumber: Yulizar dan Aan, 2013 Pendekatan yang digunakan untuk mengatasi persamaan regresi lancung adalah dengan melakukan deferensiasi atas variabel endogen dan eksogennya. Sehingga diperoleh variabel yang stasioner dengan derajat l(n). Kestasioneran data melalui pendefernsian belum cukup, kita perlu mempertimbangkan keberadaan hubungan jangka panjang dan pendek dalam model. (Ajija,dkk, 2011: 164) Pendektesian keberadaan kointegrasi ini dapat dilakukan dengan metode Johansen atau Engel Grenger. Jika variabel-variabel tidak terkointegrasi, maka dapat diterapkan VAR standar yang hasilnya akan identik dengan OLS, setelah memastikan variabel tersebut sudah stasioner pada derajat yang sama. Jika pengujian membuktikan terdapat 68 vektor kointegrasi, maka dapat diterapkan ECM untuk single equation atau VECM untuk sistem equation. (Ajija, dkk, 2011: 164). Bedasarkan penjelasan diatas berikut penjelasan alur uji VAR, yaitu sebagai berikut: 1. Uji Stasioneritas Data & Derajat Integrasi Langkah pertama yang harus dilakukan dalam estimasi model ekonomi dengan data time series adalah dengan menguji stasioneritas pada data atau disebut juga stationary stochastic process. Uji stasioneritas data ini dapat dilakukan dengan menggunakan Augmented Dickey – Fuller (ADF) pada derajat yang sama (level atau different) hingga diperoleh suatu data yang stasioner, yaitu data yang variansnya tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata – ratanya (Enders, 1995) dalam Ajija, dkk (2011:165). Menurut Gujarati (2003: 817) dalam Ajija, dkk (2011:165) menjelaskan bentuk persamaan uji stasioner dengan analisis ADF dalam persamaan berikut. Dimana : Yt = bentuk dari first difference = intersep Y = variabel yang diuji stasioneritasnya 69 p = panjang lag yang digunakan dalam model = error term Dalam persamaan tersebut dapat kita ketahui bahwa H0 menunjukan adanya unit root dan H1 menunjukan kondisi tidak adanya unit root. Jika dalam uji stasioneritas ini menunjukan nilai ADFstatistik yang lebih besar daripada Mackinnon critical value, maka dapat diketahui bahwa data tersebut stasioner karena tidak mengandung unit root. Sebaliknya, jika nilai ADFstatistik lebih kecil daripada Mackinnon critical value, maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut tidak stasioner pada derajat level. Dengan demikian, differencing data untuk memperoleh data yang stasioner pada derajat yang sama di first different I(1) harus dilakukan, yaitu dengan mengurangi data tersebut dengan data periode sebelumnya. Langkah-langkah pengujian akar unit sebagai berikut : Hipotesis Ho : Data tersebut tidak stasioner pada tingkat Level. Ha : Data tersebut stasioner pada tingkat Level. Pengambilan keputusan dilakukan dengan kriteria : Jika ADFSTATISTIK > Mackinnon critical value (critical value) = 5% maka Ho ditolak Jika ADFSTATISTIK < Mackinnon critical value (critical value) = 5% maka Ha diterima 70 Uji akar unit ini digunakan untuk melihat apakah data yang diamati stasioner atau tidak. Test ini sebenarnya hanya merupakan pelengkap dari analisis VAR, mengingat tujuan dari analisis VAR adalah untuk menilai adanya hubungan timbal balik di antara variabel-variabel yang diamati, dan bukan test untuk data. Akan tetapi, apabila data yang diamati adalah stasioner, hal ini akan meningkatkan akurasi dari analisis VAR. 2. Uji Kointegrasi Menurut Ajija, dkk (2011:190) Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam uji koentegrasi adalah dengan metode Johansen. Uji koentegrasi metode Johansen dapat dianalisis melalui model VAR dengan ordo P yang ditunjukan melalui persamaan. dimana : yt = vektor k pada variabel yang tidak stasioner πt = vektor d pada varibel deterministik Єt = vektor inovasi Dimana yt vektor k dari variabel I(1) non stasioner, Xt adalah vaktor dari variabel deterministik dan Єt vaktor inovasi. Ada tidaknya koentegrasi didasarkan pada uji likehood ratio (LR). Jika 71 nilai hitung LR lebih besar dari nilai kritis LR maka kita menerima adanya koentegrasi sejumlah variabel dan sebaliknya, jika nilai hitung LR lebih kecil dari nilai kritisnya maka tidak ada koentegrasi. Sebagaimana dinyatakan oleh Engle-Granger (1983) dalam Widarjono (2007:351), keberadaan variabel nonstasioner menyebabkan kemungkinan besar adanya hubungan jangka panjang antara variabel di dalam sistem estimasi VAR. Berkaitan dengan hal tersebut maka langkah selanjutnya di dalam estimasi VAR adalah uji koentegrasi untuk mengetahui keberadaan hubungan antara variabel. Apabila data tidak stasioner pada tingkat level akan tetapi stasioner pada proses differensi data, maka kita harus menguji apakah data tersebut mempunyai hubungan dalam jangka panjang atau tidak dengan melakukan uji koentegrasi. Koentegrasi merupakan kombinasi hubungan linear dari variabel-variabel yang terintegrasi akan menunjukan bahwa variabel tersebut mempunyai trend stokhastik yang sama dan selanjutnya mempunyai arah pergerakan yang sama dalam jangka panjang. 3. Model Empiris Dalam VAR Penggunaan pendekatan struktural atau teoritis atas permodelan persamaan simultan biasanya menerapkan teori ekonomi di dalam usahanya untuk mendeskripsikan hubungan antar variabel yang ingin di uji. Disebut persamaan struktural karena hubungan variabel di 72 dalam persamaan dibentuk atas dasar teori ekonomi. Estimasi persamaan struktural tersebut akan menyediakan informasi numerik dan sekaligus alat uji kepada teori. Akan tetapi sering kali teori ekonomi belum mampu menentukan spesifikasi yang tepat. Widarjono (2007:345) teori ekonomi terlalu komplek sehingga semlifikasi harus dijelaskan dengan teori yang ada. VAR muncul sebagai jalan keluar atas permasalahan ini, model VAR dibangun dengan pertimbangan meminimalkan pendekatan teori dengan tujuan agar mampu menangkap fenomena ekonomi dengan baik. Dengan demikian VAR adalah model non struktural atau merupakan model tidak teoritis (ateoritis). Dengan VAR kita hanya perlu memperhatikan dua hal, yang pertama adalah kita tidak perlu membedakan mana yang merupakan variabel endogen dan eksogen. Semua variabel baik endogen maupun eksogen yang dipercaya saling berhubungan seharusnya dimasukan di dalam model. Namun kita juga bisa memasukan variabel eksogen di dalam VAR, dan yang kedua adalah untuk melihat hubungan antar variabel di dalam VAR kita membutuhkan sejumlah kelambanan variabel yang ada. Kelambanan variabel ini diperlukan untuk menangkap efek dari variabel tersebut terhadap variabel yang lain di dalam model (Widarjono, 2007:346). Diperlukan sebuah strategi dalam pembentukan VAR agar tidak terjadi miss-spesifikasi di dalam pembentukannya. Karenanya 73 estimasi model VAR akan dilakukan dengan tahapan-tahapan berikut secara berurutan. Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan dalam menggunakan metode ini, pertama akan dilakukan pengujian stasioneritas dari setiap series yang digunakan di dalam model. Hasil series stasioner akan berujung pada penggunaan VAR pada dua pilihan VAR, VAR dalam bentuk difference atau VECM (Vector Error Correction Model). Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini adalah sebagai berikut : a. VAR (Unrestricted VAR) VAR biasa atau tanpa restriksi digunakan jika data yang digunakan di dalam pembentukan VAR, stasioner di tingkat level. Variasi VAR tanpa restriksi biasanya terjadi akibat adanya perbedaan derajat integritas data variabelnya ketika data yang digunakan memiliki bentuk stasioner dalam level. Sementara, jika data tidak stasioner dalam level tetapi tidak memiliki hubungan kointegrasi, maka estimasi VAR dapat dilakukan dalam bentuk difference. b. VECM (Restricted VAR) Model VECM digunakan di dalam model VAR non struktural apabila data time series tidak stasioner pada level, tetapi stasioner pada data diferensi dan terkoentegrasi sehingga menunjukan adanya hubungan teoritis antar variabel. 74 4. IRF (Impulse Response) Sims (1992) menjelaskan bahwa fungsi IRF menggambarkan ekspetasi K-periode kedepan dari kesalahan prediksi suatu variabel yang lain. Dengan demikian, lamanya pengaruh dari shock suatu variabel terhadap variabel lain sampai pengaruhnya hilang atau kembali ke titik keseimbangan dapat dilihat atau diketahui. (Ajija, dkk, 2011:168) 5. Variance Decomposition Variance Decomposition atau disebut Forecast Error Decomposition of Variance merupakan perangkat pada model VAR yang akan memisahkan variasi dari sejumlah variabel yang diestimasi menjadi komponen-komponen shock atau menjadi variabel Innovation, dengan asumsi bahwa innovation tidak saling berkorelasi. variabel-variabel Kemudian Variance Decomposition akan memberikan informasi mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada sebuah variabel terhadap shock variabel lainnya pada periode saat ini dan periode yang akan datang. . (Ajija, dkk, 2011:168). 75 D. Model Penelitian Model yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua model, yaitu mekanisme transmisi moneter konvensional dan syariah. Dengan model pertama yaitu mekanisme transmisi moneter konvensional melalui jalur harga aset terhadap inflasi dan model kedua yaitu mekanisme transmisi moneter syariah melalui jalur harga aset terhadap inflasi. Model I dan II dijabarkan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 3.1 Model Penelitian Mekanisme Transmisi Moneter Melalui Jalur Harga Aset Model Penjabaran I IHKt = f (SBIt, M2t, Obligasit) II IHKt = f (SBISt, M2t, Sukukt) E. Operasional Data Penelitian (Variabel) Sebagaimana disebutkan sebelumnya, berikut ini definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian : 1. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) SBI adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan) dengan sistem diskonto/bunga. SBI merupakan salah satu 76 mekanisme yang digunakan Bank Indonesia untuk mengontrol kestabilan nilai Rupiah. Data operasional yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari data statistik Bank Indonesia (BI) bedasarkan hitungan bulanan, yaitu dari bulan Januari 2011 – Desember 2014 yang dinyatakan dalam bentuk milyar rupiah 2. Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) (SBIS) adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana jangka pendek. SBIS merupakan piranti moneter yang sesuai prinsip pada Bank Syariah yang diciptakan dalam rangka pelaksanaan pengendalian moneter dan dapat dimanfaatkan oleh Bank Syariah untuk mengatasi bila terjadi kelebihan pada tingkat likuiditas. Data operasional yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari data statistik Bank Indonesia (BI) bedasarkan hitungan bulanan, yaitu dari bulan Januari 2011 – Desember 2014 yang dinyatakan dalam bentuk milyar rupiah. 3. Jumlah Uang Beredar (M2) Uang beredar didefenisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik. Uang beredar dalam arti luas sering disebut juga sebagai likuiditas perekonomian diberi simbol M2, didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik yang terdiri dari uang kartal (C), uang giral (D) dan uang kuasi (T). Data operasional yang digunakan dalam penelitian 77 ini diambil dari data statistik Bank Indonesia (BI) bedasarkan hitungan bulanan, yaitu dari bulan Januari 2011 – Desember 2014 yang dinyatakan dalam bentuk milyar rupiah. 4. Obligasi (Bonds) Obligasi merupakan surat utang jangka menengah-panjang yang dapat dipindahtangankan yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut. Data operasional yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari data statistik Bank Indonesia (BI) bedasarkan hitungan bulanan, yaitu dari bulan Januari 2011 – Desember 2014 yang dinyatakan dalam bentuk milyar rupiah. 5. Sukuk Sukuk merupakan pengganti dari obligasi syariah (islamic bonds). Sukuk menurut Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13 memberikan definisi Sukuk adalah Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak tertentu. Data operasional yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari data statistik Otoritas Jasa keuangan (OJK) bedasarkan hitungan bulanan, yaitu dari bulan Januari 2011 – Desember 2014 yang dinyatakan dalam bentuk milyar rupiah. 78 6. Inflasi (IHK) Inflasi adalah kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum dan berlangsung terus-menerus. Dikatakan adanya kenaikan harga jika harga menjadi lebih tinggi daripada harga priode sebelumnya, perbandingan harga juga bisa dilakukan bedasarkan patokan musim. Dikatakan bersifat umum jika kenaikan harga barang tersebut akan mempengaruhi sebagian besar harga barang lainnya. Sedangkan dikatakan berlangsung terus-menerus adalah ketika dalam beberapa periode seperti triwulan, bulanan dan tahunan dapat dilihat kenaikan harga barang semakin tinggi dalam jangka waktu tersebut. Data operasional yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari data statistik Bank Indonesia hitungan bulanan, yaitu dari bulan Januari 2011 – Desember 2014 yang dinyatakan dalam bentuk persentase. 79 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian Pada penelitian mekanisme transmisi moneter ini, instrumen moneter yang digunakan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu instrumen moneter konvensional dan syariah. Instrumen moneter konvensional dicerminkan melalui besarnya Sertifikat Bank Indonesia (SBI), sedangkan Instrumen moneter syariah dicerminkan melalui Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Kemudian melihat transmisi tersebut dengan jalur harga aset, dimana dalam transmisi moneter konvensional menggunakan nilai emisi obligasi sedangkan untuk transmisi moneter syariah menggunakan nilai emisi sukuk. Nilai emisi adalah jumlah nilai obligasi dan sukuk yang sudah beredar. sehingga pada akhirnya dapat pula mempengaruhi stabilitas harga (inflasi). 1. Perkembangan Inflasi Inflasi menjadi perhatian yang serius dalam sebuah negara dan tidak dapat dibiarkan begitu saja. Inflasi mendapat perhatian yang serius dari pemerintah maupun Bank Indonesia selaku lembaga resmi yang bertugas untuk mengatur stabilitas nilai rupaiah. Dalam mengatur inflasi, pemerintah juga membuat target inflasi agar dapat terarah dalam menjaga stabilitas harga tersebut. Target atau sasaran 80 80 inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia, berkoordinasi dengan Pemerintah. Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat. (Bank Indonesia, 2015) Setiap tahun kita dapat merasakan naiknya harga suatu barang yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama kebutuhan pokok. Hal tersebut dikarenakan adanya peningkatan tingkat inflasi di negara kita yang mengakibatkan harga barang-barang kebutuhan kita mengalami kenaikan. Dampak tersebut sangat dirasakan, dimana daya beli masyarakat menjadi terus berkurang namun kebutuhan tersebut harus tetap terpenuhi. Hal ini dapat dilihat dari indeks harga konsumen. Fenomena inflasi merupakan salah satu peristiwa moneter yang sangat penting dan yang dijumpai hampir semua negara di dunia. Inflasi juga merupakan indikator utama untuk mengukur tingkat kestabilan perekonomian di suatu negara. Tingkat inflasi yang cenderung stabil setiap periodenya juga dapat mencerminkan bahwa perekonomian di negara tersebut cenderung stabil juga. 81 Dari gambar 4.1 dapat dilihat pergerakan dari tahun 2008 sampai akhir 2014 kemampuan daya beli masyarakat akibat inflasi semakin menurun. Disajikan pada gambar berikut mengenai perkembangan inflasi di Indonesia dalam periode Januari 2011 sampai dengan Desember 2014 dapat dilihat pada gambar berikut ini. Gambar 4.1 Perkembangan inflasi (IHK) Periode Januari 2011 s.d Desember 2014 Di Indonesia Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), diolah 2. Perkembangan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3 bulan) dengan sistem diskonto atau bunga. SBI digunakan untuk menjaga kestabilan rupiah dimana dengan penjualan SBI Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang primer yang beredar. Sejak Juli 2005, Bank Indonesia melakukan perhitungan suku 82 bunga setifikat Bank Indonesia dengan cara mengumumkan target suku bunga SBI yang diinginkan Bank Indonesia untuk pelelangan pada masa periode tertentu. (Masyitha, 2012: 40) Dari gambar 4.2, posisi SBI cenderung terus mengalami penurunan dari tahun 2011 sampai tahun 2014. Disajikan pada gambar berikut mengenai perkembangan SBI di Indonesia dalam periode Januari 2011 sampai dengan Desember 2014 dapat dilihat pada gambar berikut ini. Gambar 4.2 Perkembangan SBI Periode Januari 2011 s.d Desember 2014 Di Indonesia sumber : Bank Indonesia, di olah Pada tahun di berlakukan dua sistem moneter, yaitu moneter konvensional dan moneter syariah. Sehingga munculah berbagai instrumen moneter syariah, salah satunya SBIS. Dengan dikeluakannya peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 mengenai Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) maka peraturan 83 mengenai SWBI resmi dicabut. SBIS diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen operasi pasar terbuka pengganti SWBI dalam rangka pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. SBIS yang diterbitkan menggunakan akad Ju’alah, yaitu janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadhju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Dari gambar 4.3 dapat dilihat posisi SBIS sangat berbeda sekali dengan posisi dari SBI, SBIS cenderung mengalami kenaikan yang signifikan setiap tahunnya. Disajikan pada gambar berikut mengenai perkembangan SBIS di Indonesia dalam periode Januari 2011 sampai dengan Desember 2014 dapat dilihat pada gambar berikut ini. Gambar 4.3 Perkembangan SBIS Periode Januari 2011 s.d Desember 2014 Di Indonesia sumber : Bank Indonesia, di olah 3. Perkembangan Uang Beredar M2 84 Uang Beredar adalah kewajiban sistem moneter (Bank Sentral, Bank Umum, dan Bank Perkreditan Rakyat/BPR) terhadap sektor swasta domestik (tidak termasuk pemerintah pusat dan bukan penduduk). Kewajiban yang menjadi komponen Uang Beredar terdiri dari uang kartal yang dipegang masyarakat (di luar Bank Umum dan BPR), uang giral, uang kuasi yang dimiliki oleh sektor swasta domestik, dan surat berharga selain saham yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun. Uang Beredar dapat didefinisikan dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2). Uang Beredar disusun dengan mengacu pada Monetary and Financial Statistics Manual (MFSM) 2000 dan Compilation Guide (2008). Adapun cakupan uang beredar M2 adalah pada bank yang beroperasi di Indonesia yaitu pada Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. (Bank Indonesia, 2015) Semakin banyak jumlah uang beredar maka nilai tukar rupiah cenderung akan melemah dan harga-harga akan meningkat. pertumbuhan jumlah uang beredar yang tinggi sering kali juga menjadi penyebab tingginya inflasi karena meningkatnya jumlah uang beredar akan menaikan permintaan yang pada akhirnya jika diikti oleh pertumbuhan di sektor riil akan menyebabkan naiknya harga. (Bank Indonesia, Indonesian Economic Review and Outlook: 2013) 85 Dari gambar 4.4 dapat dilihat dari tahun ke tahun jumlah uang beredar M2 selalu mengalami kenaikan yang signifikan. Hal ini pula bedasarkan penjabaran diatas bahwa semakin banyak jumlah uang beredar maka tingkat inflasi juga semakin tinggi. Jika jumlah uang beredar terus meningkat adalah berkaitan, disebabkan harga-harga mengalami kenaikan dengan volume transaksi yang sama dari tahuntahun sebelumnya. Peningkatan jumlah uang beredar M2 ini bisa disebabkan karena aktivitas perbankan atau intervensi Bank Indonesia. Pertumbuhan uang beredar yang mengalami peningkatan sejalan dengan kebutuhan liquiditas masyarakat yang juga mengalami peningkatan. Disajikan pada gambar berikut mengenai perkembangan M2 di Indonesia dalam periode Januari 2011 sampai dengan Desember 2014 dapat dilihat pada gambar berikut ini: Gambar 4.4 Perkembangan SBIS Periode Januari 2011 s.d Desember 2014 Di Indonesia Sumber : Bank Indonesia, data di olah 86 4. Perkembangan Obligasi dan Obligasi Syariah (Sukuk) Obligasi merupakan surat utang jangka menengah-panjang yang dapat dipindahtangankan yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut. (Bursa Efek Indonesia, 2015) Meskipun pasar obligasi korporat relatif kecil dibanding total kredit perbankan, pasar ini tetap menjadi sumber pendanaan yang penting untuk beberapa Emiten. Manfaat utama adalah tersedianya sumber pendanaan jangka panjang dan ada insentif meningkatkan tata kelola perusahaan serta umumnya tidak diperlukan agunan khusus yang diikat. Karena itu di masa depan prospek pasar obligasi korporat tetap cerah, khususnya untuk Emitmen yang dapat memenuhi syarat, termasuk syarat pemeringkatan. (Kahlil Rowter, 2005: 1) Asia Bond Monitor dalam Asian Development Bank (ADB), Pasar obligasi di kawasan berkembang Asia Timur tumbuh 12,1 persen (yoy) menjadi USD 6,7 triliun pada akhir Maret 2013. Kenaikan ini didorong oleh pertumbuhan dua digit pada obligasi korporasi. Indonesia adalah pasar obligasi korporasi dengan pertumbuhan tertinggi di kawasan tersebut, yang mencapai 26,9 persen (yoy) menjadi USD 20 miliar. Tingkat imbal hasil obligasi 87 pemerintah cenderung mengalami penurunan sejak akhir 2012 dan meningkat sejak awal 2013 akibat kekhawatiran inflasi. Dari gambar 4.5 dapat dilihat Obligasi Korporasi memiliki kenaikna yang signifikan setiap tahunnya, bahkan dapat dilihat bahwa emisi obligasi korporasi dapat meningkat signifikan disetiap bulannya. Disajikan pada gambar berikut mengenai perkembangan Obligasi Korporasi di Indonesia dalam periode Januari 2011 sampai dengan Desember 2014 dapat dilihat pada gambar berikut ini. Gambar 4.5 Perkembangan Obligasi Korporasi Periode Januari 2011 s.d Desember 2014 Di Indonesia Sumber : Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di olah Dibidang pasar modal syariah terdapat yang disebut obligasi syariah (sukuk). Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah sukuk. Di beberapa negara sukuk telah menjadi instrumen pembiayaan 88 anggaran negara yang penting. Di Indonesia, pasar keuangan syariah termasuk sukuk tumbuh dengan cepat, meskipun porsinya dibandingkan pasar konvensional masih relatif sangat kecil. Untuk keperluan pengembangan basis sumber pembiayaan anggaran negara dan dalam rangka pengembangan pasar keuangan syariah dalam negeri, pemerintah telah mengesahkan RUU tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). (Abdul Fatah, 2011: 2) UU SBSN tersebut akan menjadi legal basis bagi penerbitan dan pengelolaan sukuk negara. tujuan diterbitkannya sukuk adalah untuk memperluas basis sumber pembiayaan anggaran negara atau perusahaan, mendorong pengembangan pasar keuangan syariah, menciptakan benchmark di pasar keuangan syariah, diversifikasi basis investor, mengembangkan alternatif instrumen investasi, mengoptimalkan pemanfaatan barang milik negara atau perusahaan, dan memanfaatkan dana-dana masyarakat yang belum terjaring oleh sistem obligasi dan perbankan konvensional. (Abdul Fatah, 2011: 2) Fakta selama ini menunjukkan bahwa pasar sangat responsif terhadap penerbitan sukuk. Hampir semua sukuk yang diterbitkan, diserap habis oleh pasar, bahkan pada beberapa kasus menimbulkan kelebihan permintaan. Sukuk di Indonesia, pertama kali diterbitkan oleh PT Indonesian Satellite Corporation (Indosat) pada bulan September tahun 2002 dengan nilai Rp 175 miliar. Langkah Indosat tersebut diikuti perusahaan-perusahaan besar lainnya. Nilai penerbitan 89 sukuk korporasi hingga akhir 2008 mencapai 4,76 triliun. (Abdul Fatah, 2011: 7) Selama tahun 2013, terdapat 10 penerbitan sukuk korporasi dan 16 sukuk negara dengan total nilai mencapai Rp51,4 triliun. Total penerbitan sukuk di Indonesia tersebut menyumbang lima persen penerbitan sukuk di seluruh dunia. Maraknya investasi sukuk juga tak lepas dari surat edaran beromor SE-13/BL/2012 pada 19 September 2012. Ini merupakan turunan dari Peraturan Bapepam-LK Nomor IX. A.1 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran. Kehadiaran surat edaran tersebut telah memberi penegasan dan kepastian hukum diperbolehkannya emiten yang mengajukan pendaftaran obligasi dan sukuk dalam waktu bersamaan untuk menyampaikan informasi penawaran tertulis dalam satu prospektus. Dari gambar 4.6 dapat dilihat perkembangan sukuk sama dengan obligasi, yaitu semakin meningkat signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, sukuk terlihat mengalami peningkatan tidak disetiap bulannya tetapi hanya pada setiap tahunnya sukuk mengalami peningkatan yang signifikan. Disajikan pada gambar berikut mengenai perkembangan Sukuk korporasi di Indonesia dalam periode Januari 2011 sampai dengan Desember 2014 dapat dilihat pada gambar berikut ini. 90 Gambar 4.6 Perkembangan Sukuk Periode Januari 2011 s.d Desember 2014 Di Indonesia Sumber: Otoritas jasa Keuangan (OJK), di olah B. Analisis Uji Ekonometrik 1. Uji Stasioner Data dan Derajat Integrasi Uji stasioneritas data dilakukan pada setiap variabel yang digunakan pada model. Langkah ini digunakan untuk menghindari masalah regresi lancung (spurious regression) karena data yang digunakan pada penelitian ini adalah data time series. Data time series umumnya tidak stasioner karena mengandung unit root pada tingkat level. Uji stasioneritas ini dilakukan pada tingkat level dan first difference. (Mirsad, 2014: 22) Uji stasioneritas variabel dilakukan dengan Uji Akar Unit metode Augmented Dickey-Fuller test (ADF) dengan cara 91 membandingkan antara ADF statistic dengan critical values Mac Kinnon pada derajat signifikansi 5%. Tabel 4.1 Uji Stasoneritas Variabel Dengan Metode ADF Test Variabel LSBI LSBIS LM2 LOBL LSKK LIHK Prob. ADF 0.2740 0.7547 0.9004 0.4951 0.9323 0.3162 Uji stasoneritas variabel dengan metode ADF test Level 1’st difference t-statistic Prob. t-statistic p-value p-value ADF ADF ADF -2.028643 -2.926622 0.0001 -5.053591 -2.926622 -0.974226 -2.926622 0.0001 -5.267944 -2.926622 -0.401119 -2.925169 0.0001 -8.676118 -2.926622 -1.559326 -2.925169 0.0000 -7.312716 -2.926622 -0.191069 -2.925169 0.0000 -5.568410 -2.926622 -1.929683 -2.926622 0.0103 -3.569290 -2.926622 Sumber : Data yang diolah Hasil dari uji stationer untuk keenam variabel ditampilkan dalam tabel 4.1 dapat disimpulkan tidak ada variabel yang stationer pada tingkatan level. Untuk alasan tersebut, maka dilakukan uji integrasi pada first difference. Pada tingkat first difference semua veriabel telah stasioner, yaitu variabel LSBI, LSBIS, LM2, LOBL, LSKK dan LIHK. Hal ini diihat dari nilai probabilitas ADF seluruh variabel, yaitu menunjukan nilai kurang dari α = 0,05, maka smua variabel tidak terjadi unit root pada tingkat first difference. 92 2. Uji Kointegrasi Menurut Firdaus (2011), Uji Kointegrasi dilakukan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner pada level terkointegrasi atau tidak. Uji Kointegrasi mengimplikasikan bahwa dalam sistem persamaan mengimplikasikan bahwa dalam sistem tersebut terdapat error correction model yang menggambarkan adanya dinamisasi jangka pendek secara konsisten dengan hubungan jangka panjangnya. Kointegrasi mempresentasikan hubungan keseimbangan jangka panjang. Uji kointegrasi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Johansen dengan membandingkan trace statistic dengan nilai kritis sebesar 5 persen. Jika nilai trace statistik lebih besar dibandingkan nilai kritisnya maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. (Masyitha, 2012: 51) Sebelum dapat mengetahui terkointegrasinya variabel-variabel dibutuhkan adanya nilai lag yang akan digunakan untuk uji-uji berikutnya, yaitu dengan menguji lag lenght. Berikut ini adalah hasil dari lag lenght untuk model 1 dan model 2: Tabel 4.2 Hasil Lagh Lenght Lag 0 1 2 AIC MODEL 1 -2.496501 -11.06094* -10.98597 MODEL 2 -1.208476 -8.937799 -8.989448* 93 Dari hasil tabel 4.2 tersebut menyatakan bahwa dalam penelitian ini lag yang digunakan adalah pada model 1 berada pada lag ke-1, sedangkan pada model 2 berada pada lag ke-2. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai AIC yang memiliki tanda bintang. Detelah mengetahui angka lag lenght, maka berikutnya adalah hasil uji kointegrasi Johansen mekanisme transmisi kebijakan moneter konvensional melalui jalur harga aset (model 1): Tabel 4.3 Hasil Uji Kointegrasi Johansen (Model 1) Hipotesa Trace statistic 5% critical value Prob. Kesimpulan None 35.40148 47.85613 0.4270 Tidak terkoitengrasi At most 1 19.01965 29.79707 0.4915 Tidak terkointegrasi At most 2 9.643231 15.49471 0.3092 Tidak terkointegrasi At most 3 1.140973 3.841466 0.2854 Tidak terkointegrasi Sumber : data yang diolah Tabel 4.3 menunjukan bahwa tidak terdapat hubunngan kointegrasi pada Model I. Hal ini dikarenakan nilai probabilitas berada diatas nilai probabilitas α = 5%. Sehingga untuk uji selanjutnya tidak dapat lanjut untuk uji jangka panjang yaitu pada uji VECM, namun hanya sampai uji VAR saja. 94 Berikut ini adalah hasil uji kointegrasi Johansen mekanisme transmisi kebijakan moneter syariah melalui jalur harga aset (model II): Tabel 4.4 Hasil Uji Kointegrasi Johansen (Model II) Trace 5% critical statistic value None 41.27025 At most 1 Hipotesa Prob. Kesimpulan 47.85613 0.1802 Tidak terkoitengrasi 23.11818 29.79707 0.2403 Tidak terkointegrasi At most 2 10.34865 15.49471 0.2549 Tidak terkointegrasi At most 3 2.368395 3.841466 0.1238 Tidak terkointegrasi Sumber : data yang diolah Tabel 4.4 menunjukan bahwa juga tidak terdapat hubunngan kointegrasi pada Model II. Hal ini dikarenakan nilai probabilitas berada diatas nilai probabilitas α = 5%. Sehingga untuk uji selanjutnya tidak dapat lanjut untuk uji jangka panjang yaitu pada uji VECM, namun hanya sampai pada uji VAR saja. Sehingga kesimpulan dari hasil uji kointegrasi Johansen dari kedua modal diatas adalah sebagai berikut: 95 Tabel 4.5 Rangkuman Hasil Uji Kointegrasi Model Kesimpulan I Tidak Terkointegrasi, Model VAR II Tidak terkointegrasi, Model VAR Sumber : data yang diolah 3. Estimasi VAR Dari hasil uji kointegrasi sebelumnya terbukti bahwa tidak terdapat kointegrasi pada kedua model. Untuk itu digunakanlah model VAR untuk menganalisis responsivitas Inflasi (IHK) terhadap instrumen moneter dalam mekanisme transmisi moneter. Dengan analisis VAR dapat diketahui hubungan jangka pendek saja antar variabel. Setelah menguji stasioneritas, menemukan panjang lag atau kelambanan dan melakukan uji koentegrasi, selanjutnya dilakukan pembentukan model VAR. Tabel 4.6 menyajikan hasil estimasi dengan VAR. Uji-t dilakukan pada level of significant (α) 5% dengan nilai t-tabel 2,014103. Berikut adalah hasil dari estimasi VAR model I. 96 Tabel 4.6 Hasil Estimasi VAR (Model 1) DSBI(-1) DIHK -1.38549 t-tabel 2,014103 DM2(-1) -2.44587 2,014103 DOBL(-1) 2.39603 2,014103 DIHK(-1) 11.2339 2,014103 DSBI(-1) DM2(-1) DOBL(-1) DIHK(-1) DIHK 2.14964 -1.95078 0.31741 11.2339 t-tabel 2,014103 2,014103 2,014103 2,014103 Sumber : data yang diolah Berdasarkan tabel 4.6 dapat diketahui bahwa, variabel inflasi (IHK) memiliki pengaruh yang besar terhadap variabel itu sendiri. Dari tabel tersebut terlihat bahwa variabel mekanisme transmisi moneter seperti M2 dan obligasi dalam jangka pendek inflasi. dapat mempengaruhi IHK sebagai indikaor Hal tersebut dikarenakan nilai t-statistik pada setiap variabel lebih besar dari nilai t-tabelnya. Sedangkan variabel mekanisme transmisi moneter SBI dalam jangka pendek tidak memiliki pengaruh terhadap IHK sebagai indikator inflasi. Dalam hal sebaliknya SBI dalam jangka pendek dipengaruhi oleh IHK sebagai indikator inflasi. Secara lebih jelas dapat di jelaskan sebagai berikut: 97 a) IHK memiliki pengaruh positif terhadap SBI, artinya adalah apabila IHK meningkat 1% akan menaikan SBI sebesar 2,5%. b) M2 memiliki pengaruh negatif terhadap IHK, artinya adalah apabila M2 meningkat 1% akan menurunkan IHK sebesar 2,45%. c) Obligasi memiliki pengaruh positif terhadap IHK, artinya adalah apabila obligasi meningkat 1% akan menaikan IHK sebesar 2,40%. Tabel 4.7 menyajikan hasil estimasi dengan VAR. Uji-t dilakukan pada level of significant (α) 5% dengan nilai t-tabel 2,014103. Adapun hasil dari estimasi VAR model II adalah sebagai berikut : Tabel 4.7 Hasil Estimasi VAR (Model II) DSBI(-1) DIHK -0.84485 t-tabel 2,014103 DM2(-1) 1.64862 2,014103 DOBL(-1) 0.66913 2,014103 DIHK(-1) -3.22074 2,014103 DSBI(-1) DM2(-1) DOBL(-1) DIHK(-1) DIHK 1.04229 -0.18061 -0.84391 -3.22074 t-tabel 2,014103 2,014103 2,014103 2,014103 98 Berdasarkan tabel 4.7 dapat diketahui bahwa, variabel inflasi (IHK) memiliki pengaruh terhadap variabel itu sendiri. Dari tabel tersebut terlihat bahwa dalam jangka pendek tidak ada veriabel mekanisme transmisi moneter yang mempengaruhi IHK yang merupakan indikator dari inflasi begitupun sebaliknya sebaliknya. Dikarenakan nilai t-hitung lebih kecil dari nilai t-tabel. 4. Impluse respon Function (IRF) Langkah selanjutnya adalah melakukan uji Impluse Response Function (IRF), uji IRF ini berfungsi untuk menggambarkan ekspetasi k-periode ke depan dari kesalahan prediksi suatu variabel akibat inovasi dari variabel lain dan melacak respons saat ini. Jadi, lamanya pengaruh shock suatu variabel terhadap variabel lain sampai pengaruhnya hilang atau kembali ke titik keseimbangan dapat dilihat (Ajija dkk, 2011:168). Gambar 4.7 Impluse Response Inflasi (IHK) Model I dan II Model I Response of DIHK to Cholesky One S.D. Innovations .3 .2 .1 .0 -.1 -.2 5 10 15 DLSBI 20 25 DLM 2 30 35 40 45 DLOBLIGASI 99 Model II Response of DIHK to Cholesky One S.D. Innovations .3 .2 .1 .0 -.1 -.2 5 10 15 DLSBIS 20 25 DLM2 30 35 40 45 DLSUKUK Gambar impulse response akan menunjukan respon suatu variabel akibat kejutan variabel lainnya sampai dengan beberapa periode setelah terjadinya shock. Jika gambar Impulse Response (IR) menunjukan pergerakan yang semakin mendekati titik keseimbangan (convergence) atau kembali ke keseimbangan sebelumnya bermakna respon suatu variabel akibat suatu kejutan makin lama akan menghilang sehingga kejutan tersebut tidak meninggalkan pengaruh permanen terhadap variabel tersebut. Hasil impulse response function (IRF) untuk alur transmisi kebijakan moneter ganda menunjukan, jika mengalami tren negatif artinya adalah variabel tersebut mempengaruhi kenaikan inflasi (IHK), sedangkan jika mengalami tren positif artinya adalah variabel tersebut mempengaruhi penurunan inflasi (IHK). Hasil IRF pada variabel-variabel dalam Model I adalah sebagai berikut: 100 a) SBI pada awal periode menunjukan tren negatif hingga pada periode ketiga menunjukan tren positif. Lalu pada periode ke-20 kembali pada tren negatif dan stabil juga permanen. b) M2 pada awal peride menunjukan tren positif, namun pada periode ke-20 menunjukan tren negatif dan stabil juga permanen. c) Obligasi pada awal periode menunjukan tren negatif, hingga pada periode ke-23 menunjukan tren positif dan stabil juga permanen. Sedangkan untuk model 2, hasil impulse response function (IRF) untuk alur transmisi kebijakan moneter ganda menunjukan, jika mengalami tren negatif artinya adalah variabel tersebut mempengaruhi kenaikan inflasi (IHK), sedangkan jika mengalami tren positif artinya adalah variabel tersebut mempengaruhi penurunan inflasi (IHK). Hasil IRF pada variabel-variabel dalam Model 2 adalah sebagai berikut: a) SBIS pada awal periode menunjukan tren negatif, hingga pada periode ke- 21 menunjukan tren positif dan stabil juga permanen. b) M2 pada awal periode menunjukan tren positif, namun pada periode ke-8 menunjukan tren negatif dan stabil juga permanen. c) Sukuk pada awal periode menunjukan tren negatif, hingga pada periode ke-21 menunjukan tren positif dan stabil juga permanen. 101 Hasil penelitian IRF ini menunjukan kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ascarya mengenai transmisi moneter pada jalur suku bunga (2012), dalam uji IRF nya menunjukan bahwa semua variabel konvensional memberikan dampak inflationer terhadap inflasi (IHK) dan bersifat permanen. Pada sisi lain, semua variabel syariah memiliki dampak positif dalam pengertian berdampak menurunkan inflasi (IHK) dan juga bersifat permanen. Meskipun pada jalur yang berbeda dalam mekanisme transmisi moneternya, namun memiliki kesimpulan dalam uji IRF yang sama. Berikut dapat dilihat kesimpulan dari uji IRF untuk model I dan model II adalah sebagai berikut: Tabel 4.8 Ringkasan Respon Variabel Terhadap Kenaikan Satu Standar Deviasi Dari LIHK Respon LIHK Kejutan LM2 Negatif dan permanen Kejutan LSBIS Positif dan permanen Kejutan LSBI Negatif dan permanen Kejutan LOBL Positif dan permanen Kejutan LSKK Positif dan permanen 5. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Variance decomposition digunakan memberikan informasi mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada sebuah 102 variabel terhadap variabel lainnya pada periode saat ini dan periode yang akan datang. Dapat kita lihat pada tabel dibawah ini merupakan tabel yang menggambarkan variance decomposition periode Januari 2011 sampai dengan Desember 2014. Berikut adalah hasil Variance Decomposition pada model 1: Tabel 4.9 Hasil Forecast error Variance Decomposition (FEVD) Penyumbang Inflasi (IHK) Model I Periode S.E. DLSBI DLM2 DLOBLIGASI DIHK 1 0.090953 4.541022 0.042732 0.324334 95.09191 5 0.171305 2.498933 8.045206 9.971124 79.48474 10 0.206733 9.036873 11.71993 13.72962 65.51357 15 0.226744 15.50427 11.94623 13.83720 58.71230 20 0.238543 18.32231 11.59084 13.46816 56.61869 25 0.244544 18.75896 11.53463 13.28455 56.42186 30 0.247314 18.62038 11.70825 13.22227 56.44910 35 0.248685 18.58094 11.89041 13.18024 56.34840 40 0.249559 18.62598 12.00197 13.14564 56.22641 45 0.250291 18.66156 12.05769 13.12856 56.15219 48 0.250716 18.66920 12.07674 13.12630 56.12776 Sumber : data yang diolah Tabel 4.9 menjelaskan mengenai Variance Decomposition variabel apa saja dan seberapa besar variabel tersebut memengaruhi variabel inflasi (IHK), dalam alur mekanisme transmisi moneter jalur harga aset konvensional. Pada periode pertama terlihat bahwa inflasi 103 (IHK) dapat dijelaskan oleh SBI sebesar 4,55% sampai pada periode akhir inflasi (IHK) dapat dijelaskan oleh SBI sebesar 18,67%. Selanjutnya dapat dilihat periode pertama inflasi dapat dijelaskan oleh M2 sebesar 0,042% dan semakin peningkatan pengaruh pada periode akhir sebesar 12,08%. Selanjutnya dapat dilihat pula periode pertama inflasi dapat dijelaskan oleh obligasi sebesar 0,33% dan meningkat sebesar 13,12% pada akhir periode. Periode pertama IHK dapat dijelaskan oleh IHK itu sendiri sebesar 95,09% dan semakin menurun pengaruh pada periode akhir sebesar 56,13%. Jadi pada model I, Variabel IHK sebagai indikator inflasi sebagian besar dipengaruhi oleh variabel SBI sebesar 18,67% Hal ini mengindikasikan bahwa sepanjang periode tersebut pengaruh variabel SBI, M2 dan emisi obligasi terhadap inflasi akan semakin besar. Hal ini dikarenakan inflasi (IHK) mendapatkan pengaruh langsung dari semua variabel yang diajukan tersebut sebagai instrumen dan jalur moneter konvensional yang berpengaruh pada transmisi moneter. Hal ini juga memberikan kesimpulan dari tabel bahwa variabelvariabel konvensional meliputi SBI ( 18,67%), M2 ( 12,07%), obligasi ( 13,12%) yang memberikan sumbangan negatif (menaikan) IHK sebagai indikator inflasi sebesar 43,86%. 104 Selanjutnya berikut ini adalah hasil dari Variance Decomposition pada model II: Tabel 4.10 Forecast error Variance Decomposition (FEVD) Penyumbang Inflasi (IHK) Model II Periode S.E. DLSBIS DLM2 DLSUKUK DIHK 1 0.132799 3.748528 0.018773 0.545604 95.68709 5 0.232126 1.468419 4.600570 6.769830 87.16118 10 0.237107 3.299282 4.560976 11.77673 80.36301 15 0.241254 3.359308 5.717759 11.75269 79.17025 20 0.245755 3.317757 6.947121 11.59797 78.13715 25 0.249671 3.281058 8.100803 11.43743 77.18071 30 0.253107 3.253036 9.103678 11.29739 76.34590 35 0.256075 3.229668 9.961101 11.17756 75.63167 40 0.258631 3.209847 10.69372 11.07516 75.02127 45 0.260835 3.192950 11.32033 10.98759 74.49914 48 0.262010 3.184002 11.65235 10.94118 74.22247 Sumber : data yang diolah Pada tabel 4.10 menjelaskan hasil variance decompotition dari variabel inflasi untuk model II. Pada periode pertama terlihat bahwa inflasi (IHK) dapat dijelaskan oleh SBIS sebesar 3,75 % dan ketika di periode akhir terjadi penurunan, inflasi dapat dijelaskan oleh SBIS sebesar 3,18%. Selanjutnya dapat dilihat periode pertama inflasi (IHK) dapat dijelaskan oleh M2 sebesar 0,019% dan semakin peningkatan 105 pengaruh pada periode akhir sebesar 11,65%. Selanjutnya dapat dilihat pula periode pertama inflasi (IHK) dapat dijelaskan oleh sukuk sebesar 0,55% dan mengalami kenaikan sebesar 10,94%. Periode pertama inflasi dapat dijelaskan oleh inflasi itu sendiri sebesar 95,99% dan semakin menurun pengaruh pada periode akhir sebesar 74,22%. Jadi pada model II, Variabel inflasi (IHK) sebagian besar dipengaruhi oleh variabel jumlah uang beredar (M2) sebesar 11,65%. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam periode tersebut pengaruh variabel SBIS, M2 dan emisi sukuk terhadap inflasi (IHK) akan semakin besar. Hal ini dikarenakan inflasi (IHK) mendapatkan pengaruh langsung dari semua variabel yang diajukan tersebut sebagai alat mekanisme transmisi moneter jalur harga aset syariah. Hal ini juga memberikan kesimpulan bahwa variabel-variabel syariah meliputi SBIS ( 3,18%), M2 ( 11,65%), sukuk ( 10,94%) yang memberikan sumbangan positif (menurunkan) IHK sebagai indikator inflasi sebesar 25,77 %. Hasil uji variance decomposite dalam penelitian ini pada transmisi moneter syariah jalur aset yang memiliki pengendalian menurunkan inflasi (IHK) yang lebih besar dibanding pengendalian menurunkan inflasi (IHK) transmisi moneter syariah pada jalur suku bunga pada penelitian yang dilakukan oleh Ascarya (2012). Pada 106 mekanisme transmisi moneter pada jalur harga aset menyumbang penurunan inflasi (IHK) sebesar 25,77%, sedangkan mekanisme transmisi moneter pada jalur suku bunga hanya menyumbang penurunan inflasi sebesar 6,21%. Selain itu pada mekanisme transmisi moneter konvensional pada jalur harga aset memilki penyumbang menaikan inflasi (IHK) lebih kecil dibanding mekanisme transmisi moneter konvensional pada jalur suku bunga. Pada mekanisme transmisi moneter konvensional pada jalur harga aset menyumbang kenaikan inflasi (IHK) sebesar 43,86%. Sedangkan mekanisme transmisi moneter konvensional pada jalur suku bunga menyumbang kenaikan inflasi (IHK) sebesar 48,25%. Sehingga dapat disimpulkan dalam penelitian mekanisme transmisi moneter jalur harga aset syariah memiliki alat atau instrumen moneter yang lebih baik untuk mengendalikan inflasi (IHK) dibanding mekanisme transmisi moneter jalur harga aset konvensional. C. Analisis Penelitian Terpisahnya otoritas fiskal menimbulkan otoritas moneter yang berjalan terpisah. Transmisi kebijakan moneter dilakukan sejalan dengan berkembangnya otoritas moneter pada Bank Sentral, hal ini dikarenakan pencetakan dan penggunaan uang kertas (fiat money). Transmisi moneter 107 diperlukan karena uang kertas yang digunakan bersifat memicu inflasi, sehingga sampai saat ini dengan masih menggunakan uang kertas, maka bank sentral perlu mengatur jumlah uang beredar, menaikan ataupun menurunkan jumlah uang beredar. Dengan berbagai alat kebijakan moneter untuk mengendalikan stabilitas harga atau inflasi. Berbagai jalur digunakan untuk menjalankan mekanisme transmisi moneter. Pada penelitian kali ini melakukan pembahasan mengenai mekanisme transmisi moneter konvensional dan syariah melalui jalur harga aset dalam mengendalikan inflasi. Bedasarkan hasil uji IRF pada model I, variabel-variabel konvensional yaitu SBI, M2 dan obligasi yang dijadikan indikator memiliki dampak negatif dalam arti variabel-variabel tersebut mempengaruhi kenaikan IHK sebagai indikator inflasi dan bersifat permanen dan memiliki pengaruh sebesar 3,86% dalam menaikan inflasi (IHK). Variabel-variabel konvensional tersebut masih sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga yang ditentukan dalam mekanisme pasar, terlihat bahwa dari karakterisik SBI dapat diperdagangkan dipasar sekunder yang memiliki pula sifat spekulatif. Sedangkan obligasi adalah jual beli surat utang dimana tidak memiliki aset berwujud tertentu dalam kegiatan investasinya dan tentunya harga obligasi dipengaruhi oleh tingkat suku bunga bank. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa model I dengan variabel-variabel konvensional berdampak menimbulkan inflasi. 108 Sedangkan mekanisme transmisi moneter syariah melalui jalur harga aset dalam mengendalikan inflasi dengan uji ekonometrik IRF (model 2), variabel-variabel syariah yaitu SBIS, M2 dan sukuk yang dijadikan indikator memiliki dampak positif dalam arti variabel-variabel tersebut mengurnagi dampak kenaikan IHK sebagai indikator inflasi dan bersifat permanen pada periode tersebut. Begitu pula dengan SBIS pada akhir periode mendekati negatif dalam mempengaruhi inflasi, namun pada sisi syariah ini berhasil mempengaruhi menurunkan inflasi (IHK) sebesar 25,77%. Dengan begitu implikasinya adalah ketika inflasi berhasil diturunkan maka daya beli masyarakat akan barang dan jasa akan meningkat. Dalam prakteknya baik pasar modal syariah maupun konvensional masih melihat tingkat suku bunga sebagai dasar penerbitan dan harga dipasar modal tersebut. Masih adanya praktek suku bunga dalam mekanisme transmisi moneter syariah memicu inflasi dan shock yang terjadi tidak konsisten atau bersifat tidak permanen. Karakteristik perusahaan sebagai penerbit sukuk adalah beroientasi keuntungan, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan-perusahaan masih melirik tingkat suku bunga agar mendapat keuntungan yang dikatakan dalam bentuk bagi hasil pada sisi syariah. Dasar dari terjadinya inflasi adalah penggunaan mata uang rupiah atau fiat money, selama negara masih menggunakan fiat money maka masalah inflasi tidak akan pernah selesai. Pada hasil uji VAR tersebut 109 inflasi pada sisi syariah terlihat lebih baik dalam menahan adanya inflasi, namun pada beberapa periode kemudian akan berdampak menimbulkan inflasi kembali. Sedangkan pada sisi konvensional terlihat menimbulkan inflasi seperti yang telah dijelaskan diatas karena masih adanya pengaruh dari tingkat suku bunga. Saat ini yang terjadi pada hasil uji VAR tersebut pada sisi syariah masih terbilang kecil dalam menahan terjadinya inflasi, Jelaslah hal itu terjadi dikarenakan menurut Siddiqui (2007) dalam Ascarya (2012:296), peraturan institusi keuangan Islam kontemporer tidak jauh berbeda dengan peraturan institusi keuangan konvensional yang sudah established, sehingga instrumen-instrumen kebijakan moneter islam juga banyak yang mirip dengan instrumen-instrumen kebijakan konvensional, sehingga transmisi kebijakan moneter islam dapat sama atau berbeda dengan transmisi kebijakan moneter konvensional. Dalam uji VAR penelitian kali ini menyimpulkan masih lebih efektif mekanisme transmisi moneter syariah di bandingkan dengan konvensionl dan masih lebih baik menggunakan saluran harga aset dibanding saluran suku bunga untuk mekanisme transmisi moneter dalam mengendalikan inflasi (IHK). 110 BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis pada bab IV dengan menggunakan alat analisis VAR, maka pada penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Bedasarkan hasil estimasi VAR dapat disimpulkan bahwa pada mekanisme transmisi moneter syariah (model2) tidak memiliki pengaruh baik dari variabel mekanisme transmisi moneter syariah terhadap inflasi (IHK) maupun variabel inflasi (IHK) terhadap variabel mekanisme transmisi moneter syariahnya. Sedangkan pada mekanisme transmisi moneter konvensional (model 1) memiliki kesimpulan sebagai berikut: a) IHK memiliki pengaruh positif terhadap SBI, artinya adalah apabila IHK meningkat 1% akan menaikan SBI sebesar 2,5%. b) M2 memiliki pengaruh negatif terhadap IHK, artinya adalah apabila M2 meningkat 1% akan menurunkan IHK sebesar 2,45%. c) Obligasi memiliki pengaruh positif terhadap IHK, artinya adalah apabila obligasi meningkat 1% akan menaikan IHK sebesar 2,40%. 2. Pada hasil uji Impluse Response Function (IRF) pada mekanisme transmisi moneter konvensional pada jalur harga aset menunjukan bahwa variabel-variabel pada model 1 dan 2 Respon IHK adalah sebagai berikut: 111 111 a) Kejutan LM2 merespon negatif dan permanen, yang berarti variabel M2 mempengaruhi kenaikan inflasi (IHK). b) Kejutan LSBIS merespon positif dan permanen, yang berarti variabel SBIS mempengaruhi menurunkan inflasi (IHK). c) Kejutan LSBI merespon negatif dan permanen, yang berarti variabel SBI mempengaruhi menaikan inflasi (IHK). d) Kejutan Lobligasi merespon positif dan permanen, yang berarti variabel obligasi mempengaruhi menurunkan inflasi (IHK). e) Kejutan Lsukuk merespon positif dan permanen, yang berarti variabel sukuk mempengaruhi menurunkan inflasi (IHK). 3. Dalam uji variance decomposition dalam mekanisme transmisi moneter konvensional model 1 terhadap inflasi (IHK), variabel yang diajukan pada model I penelitian ini dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel konvensional meliputi SBI ( 18,67%), M2 ( 12,07%), obligasi ( 13,12%) yang memberikan sumbangan negatif (menaikan) IHK sebagai indikator inflasi sebesar 43,86%. Sedangkan Dalam uji variance decomposition dalam mekanisme transmisi moneter model 2 terhadap inflasi (IHK), variabel-variabelnya juga memberikan kesimpulan bahwa variabelvariabel syariah meliputi SBIS ( 3,18%), M2 ( 11,65%), sukuk ( 10,94%) yang memberikan sumbangan positif (menurunkan) IHK sebagai indikator inflasi sebesar 25,77 %. Sehingga dapat dikatakan bedasarkan hasil uji VAR dalam penelitian ini, alur mekanisme transmisi moneter syariah melalui jalur harga aset memiliki mekanisme yang lebih baik 112 dibanding dengan alur mekanisme transmisi moneter konvensional melalui jalur harga aset dalam mempengaruhi IHK sebagai indikator inflasi (IHK). B. Implikasi Bedasarkan kesimpulan diatas, penulis sampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Perlunya memperhatikan instrumen-instrumen moneter yang diambil bank sentral, baik instrumen kebijakan moneter konvensional maupun instrumen kebijakan moneter syariah guna mengatur jumlah uang yang beredar. Karena instrumen yang digunakan dalam mekanisme transmisi moneter baik konvensional maupun syariah pada jalur harga aset tersebut ternyata belum berpengaruh cukup besar dalam mengendalikan inflasi. 2. Di pertimbangkan kembali penggunaan mata uang yang sesuai dengan prinsip Islam, dimana ciri mata uang yang baik adalah bersifat tetap dan tidak terpengaruh mata uang lain sehingga terhindar dari masalah inflasi. dengan begitu perekonomian negara khususnya Indonesia dapat lebih sehat dan stabil. 3. Perlunya pembuatan aturan baru mengenai mekanisme transmisi moneter syariah agar tidak menyerupai transmisi moneter konvensional, yang bebas dari pengaruh unsur suku bunga. Sehingga diharapkan porsente dalam mengendalikan laju inflasi dapat lebih besar lagi. 113 Daftar Pustaka Ajija, Shochrul R dkk. Cara Cerdas Menguasai Eviews. Jakarta: Salemba Empat. 2011. Andra, Harry.“Analisis Pengaruh Instrumen Kebijakan Moneter Konvensional Dan Instrumen Kebijakan Moneter Islam Terhadap Kinerja Bank Konvensional Dan Bank Syariah”. Jakarta: Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, 2010. Ascarya, “Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter: Seri kebanksentralan”. Jakarta: Bank Indonesia, 2005. Ascarya. “Buletin Ekonomi dan Perbankan: Alur Transmisi dan Efektifitas Kebijakan Moneter Ganda Di Indonesia”. Jakarta: Bank Indonesia, 2012. Ascarya. “Peran Perbankan Syariah Dalam Transmisi Kebijakan Moneter Ganda”. Jurnal Ekonomi Islam republika, 2010. Ascarya. “Monetary Policy Transmission Mechanism Under Dual Financial System In Indonesia: Interest-Profit Channel”. Kuala Lumpur: The Internasional Islamic University of Malaysia, 2014. Asif, dkk. “Transmission Mechanism of Monetary Policy in Pakistan”. Pakistan: the state bank of pakistan, 2005. Awawin, Mirsad. “Analisis Pengaruh Instrumen Moneter Syariah Dan Konvensional Terhadap Penyaluran Dana Ke Sektor Properti Di Indonesia”. Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2014. Bayuni, Eva Misfah dan Ascarya. “Analisis Pengaruh Instrumen Moneter Terhadap Stabilitas Besaran Moneter Dalam Sistem Moneter Ganda Di Indonesia”. TAZKiA: Islamic Finance and Bussinis Review, 2010. Chapra, Umar. “Sistem Moneter Islam“. Jakarta: Gema Insani, 2000. 114 Egert, Balazs dan Ronald MacDonald. “Monetary Transmission Mechanism in Central and Eastern Europe: Surveying the Surveyable”. OECD Publishing Economics Departement: Economics Departement Working Paper No. 654. Fatah, Dede Abdul. “Perkembangan Obligasi Syariah (Sukuk) di Indonesia: Analisis Peluang dan Tantangan”. Jakarta: universitas Azzahra, 2011. Guinigundo, Diwa. “Transmission Mechanism Of Monetary Policy In The Philippines”. Manila: BIS-paper no.35. Hamid, Abdul. “Buku Panduan Penulisan Skripsi FEB UIN Jakarta”. Jakarta: UIN Jakarta, 2014. Herlina, Deswita. “Identifikasi Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia Tahun 2000 – 2011”. Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 2013. Indonesian Economic Review and Outlook 2013, Bank Indonesia Karim, Adiwarman. “Ekonomi Islam: suatu Kajian Ekonomi Makro”. Jakarta: 2010. Nasrudin, Ahmad. “Peran Pasar Modal Syariah Dalam Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia “.Bogor: sekolah tinggi ekonomi islam TAZKIA, 2012. Rahardja, Pratama dan Mandala Manurung. “Pengantar Ilmu Ekonomi : Makroekonomi dan Mikroekonomi”. Jakarta: FEUI, 2008. Ramadhan, Masyitha Mutiara. “Analisis Penagaruh Instrumen Moneter Syariah Dan Konvensional Terhadap Penyaluran Ke Sektor Usaha Kecil Dan Menengah (UMKM) Di Indonesia”. Bogor: Institut Pertanian Bogor, 20312 Rowter, Kahlil. “Perkembangan Pasar Obligasi Di Indonesia”. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2005. 115 Alfian, Ridho Alfin. “Analisis Pengaruh Sertifikat Bank Indonesia Syariah (Sbis), Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar, Inflasi, Dan IHSG Terhadap Jakarta Islamic Index (JII)”. Jakarta: Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, 2014. Rodoni, Ahmad dan Abdul Hamid. “Lembaga Keuangan Syariah”. Jakarta: Zikrul media intelektual, 2008. Solikin dan Suseno, “Uang: Pengertian, Penciptaan, Peranannya dalam Perekonomian”. Jakarta : Bank Indonesia, 2005. Widarjono, Agus. Ekonometrika Pengantar dan Aplikasinya. Ekonisia. Yogyakarta: 2009 Warjiyo, Perry.” Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia ”. Jakarta: Pusat Pendidikan Dan Studi Kebanksentralan, 2004 Website: www.ojk.co.id www.bps.co.id www.bi.co.id www.kemenkeu.co.id www.idx.co.id 116 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Data Dari Variabel-Variabel Yang Digunakan Tahun 2011 2012 2013 Bulan Jan-11 Feb-11 Mar-11 Apr-11 Mei-11 Jun-11 Jul-11 Agust-11 Sep-11 Okt-11 Nop-11 Des-11 Jan-12 Feb-12 Mar-12 Apr-12 Mei-12 Jun-12 Jul-12 Agust-12 Sep-12 Okt-12 Nop-12 Des-12 Jan-13 Feb-13 Mar-13 Apr-13 Mei-13 Jun-13 Jul-13 Agust-13 Sep-13 SBI 196.314 194.635 230.148 230.071 197.871 185.946 181.996 171.228 149.228 143.069 138.010 119.777 106.355 99.074 94.497 95.497 95.664 89.734 82.178 81.477 68.188 69.560 75.805 78.873 84.272 91.999 95.379 94.729 81.920 81.920 74.101 66.079 64.974 SBIS 3.296 3.326 3.376 3.701 3.271 3.042 1.604 1.819 1.989 2.574 3.144 3.476 3.799 3.806 3.567 3.155 3.160 3.115 2.662 2.372 2.495 2.382 2.763 3.455 3.970 4.595 4.855 4.958 5.048 4.623 4.423 3.848 3.610 M2 2.436.679 2.420.191 2.451.357 2.434.478 2.475.286 2.522.784 2.564.556 2.621.346 2.643.331 2.677.787 2.729.538 2.877.220 2.857.127 2.852.005 2.914.194 2.929.610 2.994.474 3.052.786 3.057.336 3.091.568 3.128.179 3.164.443 3.207.908 3.307.508 3.268.789 3.280.420 3.322.529 3.360.928 3.426.305 3.413.379 3.506.574 3.502.420 3.584.081 OBL 216 221 222 226 228 242 242 243 245 246 248 261 262 269 269 273 287 302 303 305 307 314 315 329 329 336 336 348 355 372 372 372 374 SKK 7.815 7.815 7.815 7.915 7.915 7.915 7.915 7.915 7.915 7.915 7.915 7.915 7.915 7.915 7.915 7.915 8.165 9.265 9.390 9.390 9.390 9.390 9.590 9.790 9.790 10.169 11.294 11.294 11.294 11.415 11.415 11.415 11.415 IHK 7.02 6.84 6.65 6.16 5.98 5.54 4.61 4.79 4.61 4.42 4.15 3.79 3.65 3.56 3.97 4.5 4.45 4.53 4.56 4.58 4.31 4.61 4.32 4.3 4.57 5.31 5.9 5.57 5.47 5.9 8.61 8.79 8.4 117 2014 Okt-13 Nop-13 Des-13 Jan-14 Feb-14 Mar-14 Apr-14 Mei-14 Jun-14 Jul-14 Agust-14 Sep-14 Okt-14 Nop-14 Des-14 89.260 89.295 91.392 91.447 91.857 103.510 110.566 114.342 109.957 85.272 82.272 79.175 81.730 82.605 88.899 4.472 4.467 4.712 4.847 5.237 5.377 5.977 6.414 6.792 5.890 6.120 6.490 6.680 6.530 8.130 3.576.869 3.615.973 3.730.197 3.652.145 3.642.809 3.660.298 3.730.101 3.789.058 3.865.758 3.895.835 3.895.116 4.009.857 4.024.153 4.076.294 4.170.731 376 380 385 386 388 394 394 396 403 410 410 413 422 426 430 11.415 11.415 11.994 11.994 11.994 11.994 11.994 11.994 12.294 12.294 12.294 12.294 12.594 12.727 12.917 8.32 8.37 8.38 8.22 7.75 7.32 7.25 7.32 6.7 4.53 3.99 4.53 4.83 6.23 8.36 Lampiran 2 Hasil Uji Stasioneritas Variabel LIHK Null Hypothesis: IHK has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -1.929683 -3.581152 -2.926622 -2.601424 0.3162 t-Statistic Prob.* -2.028643 -3.581152 -2.926622 0.2740 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Lampiran 3 Hasil Uji Stasioneritas Variabel LSBI Null Hypothesis: LSBI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 118 10% level -2.601424 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Lampiran 4 Hasil Uji Stasioneritas Variabel LSBIS Null Hypothesis: LSBIS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -0.974226 -3.581152 -2.926622 -2.601424 0.7547 t-Statistic Prob.* -0.401119 -3.577723 -2.925169 -2.600658 0.9004 t-Statistic Prob.* -1.559326 -3.577723 -2.925169 0.4951 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Lampiran 5 Hasil Uji Stasioneritas Variabel LM2 Null Hypothesis: LM2 has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Lampiran 6 Hasil Uji Stasioneritas Variabel LOBL Null Hypothesis: LOBLIGASI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 119 10% level -2.600658 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Lampiran 7 Hasil Uji Stasioneritas Variabel LSKK Null Hypothesis: LSUKUK has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -0.191069 -3.577723 -2.925169 -2.600658 0.9323 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Lampiran 8 Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLIHK Null Hypothesis: D(IHK) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -3.569290 -3.581152 -2.926622 -2.601424 0.0103 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Lampiran 9 Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference Variabel DLSBI Null Hypothesis: D(LSBI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level t-Statistic Prob.* -5.053591 -3.581152 0.0001 120 5% level 10% level -2.926622 -2.601424 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Lampiran 10 Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLSBIS Null Hypothesis: D(LSBIS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -5.267944 -3.581152 -2.926622 -2.601424 0.0001 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Lampiran 11 Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLM2 Null Hypothesis: D(LM2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -8.676118 -3.581152 -2.926622 -2.601424 0.0000 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Lampiran 12 Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLObligasi Null Hypothesis: D(LOBLIGASI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9) t-Statistic Prob.* 121 Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level -7.312716 -3.581152 -2.926622 -2.601424 0.0000 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Lampiran 13 Hasil Uji Derajat Integrasi 1st Difference variabel DLSukuk Null Hypothesis: D(LSUKUK) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -5.568410 -3.581152 -2.926622 -2.601424 0.0000 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Lampiran 14 Hasil Lag Model I VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LSBI LM2 LOBLIGASI IHK Exogenous variables: C Date: 06/25/15 Time: 11:51 Sample: 2011M01 2014M12 Included observations: 44 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 3 4 58.92301 263.3407 277.6913 286.9226 299.3707 NA 362.3768* 22.83057 13.00767 15.27723 9.68e-07 1.85e-10* 2.04e-10 2.91e-10 3.77e-10 -2.496501 -11.06094* -10.98597 -10.67830 -10.51685 -2.334302 -10.24994* -9.526178 -8.569711 -7.759465 -2.436349 -10.76018* -10.44461 -9.896333 -9.494278 * indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion 122 Lampiran 15 Hasil Lag Model II VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LSBIS LM2 LSUKUK IHK Exogenous variables: C Date: 06/25/15 Time: 11:52 Sample: 2011M01 2014M12 Included observations: 44 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 3 4 30.58646 216.6316 233.7679 243.0168 251.3870 NA 329.8073 27.26225* 13.03254 10.27258 3.51e-06 1.55e-09 1.50e-09* 2.14e-09 3.34e-09 -1.208476 -8.937799 -8.989448* -8.682580 -8.335773 -1.046277 -8.126804* -7.529656 -6.573992 -5.578389 -1.148324 -8.637043* -8.448087 -7.900614 -7.313202 * indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion Lampiran 16 Hasil Uji Kointegrasi Model I (Konvensional) VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LSBIS LM2 LSUKUK IHK Exogenous variables: C Date: 06/25/15 Time: 11:52 Sample: 2011M01 2014M12 Included observations: 44 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 3 4 30.58646 216.6316 233.7679 243.0168 251.3870 NA 329.8073 27.26225* 13.03254 10.27258 3.51e-06 1.55e-09 1.50e-09* 2.14e-09 3.34e-09 -1.208476 -8.937799 -8.989448* -8.682580 -8.335773 -1.046277 -8.126804* -7.529656 -6.573992 -5.578389 -1.148324 -8.637043* -8.448087 -7.900614 -7.313202 * indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion 123 Lampiran 17 Hasil Uji Kointegrasi Model II (Syariah) Date: 06/25/15 Time: 11:59 Sample (adjusted): 2011M04 2014M12 Included observations: 45 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend Series: LSBIS LM2 LSUKUK IHK Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None At most 1 At most 2 At most 3 0.331941 0.247058 0.162504 0.051270 41.27025 23.11818 10.34865 2.368395 47.85613 29.79707 15.49471 3.841466 0.1802 0.2403 0.2549 0.1238 Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Max-Eigen Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None At most 1 At most 2 At most 3 0.331941 0.247058 0.162504 0.051270 18.15207 12.76954 7.980250 2.368395 27.58434 21.13162 14.26460 3.841466 0.4825 0.4737 0.3807 0.1238 Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): LSBIS -4.926666 1.339941 -1.336744 -1.210873 LM2 10.91026 -6.560025 -26.03416 -8.408560 LSUKUK -0.150821 8.004597 26.77430 4.185845 IHK -0.061538 -0.960031 -0.423515 -0.210068 Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(LSBIS) D(LM2) D(LSUKUK) D(IHK) 0.078782 0.000780 0.002355 0.094151 -0.003317 0.002710 0.003446 0.268922 0.003967 0.000286 -0.008958 0.049959 -0.002408 0.002457 0.000205 -0.048342 124 1 Cointegrating Equation(s): Log likelihood 233.8780 Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LSBIS LM2 LSUKUK IHK 1.000000 -2.214533 0.030613 0.012491 (1.46022) (1.34977) (0.05215) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LSBIS) -0.388131 (0.09402) D(LM2) -0.003844 (0.01017) D(LSUKUK) -0.011604 (0.01960) D(IHK) -0.463850 (0.50757) 2 Cointegrating Equation(s): Log likelihood 240.2627 Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LSBIS LM2 LSUKUK IHK 1.000000 0.000000 -4.878145 0.614571 (1.44302) (0.17823) 0.000000 1.000000 -2.216611 0.271877 (0.59959) (0.07406) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LSBIS) -0.392576 0.881292 (0.09739) (0.24283) D(LM2) -0.000213 -0.009266 (0.01028) (0.02563) D(LSUKUK) -0.006987 0.003092 (0.02009) (0.05010) D(IHK) -0.103510 -0.736923 (0.47204) (1.17701) 3 Cointegrating Equation(s): Log likelihood 244.2529 Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) LSBIS LM2 LSUKUK IHK 1.000000 0.000000 0.000000 -0.359139 (0.09839) 0.000000 1.000000 0.000000 -0.170574 (0.04646) 0.000000 0.000000 1.000000 -0.199607 (0.04722) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(LSBIS) -0.397879 0.778019 0.067772 (0.10061) (0.55245) (0.53273) D(LM2) -0.000595 -0.016720 0.029243 (0.01062) (0.05832) (0.05624) D(LSUKUK) 0.004988 0.236317 -0.212627 (0.01917) (0.10526) (0.10151) D(IHK) -0.170293 -2.037576 3.476040 125 (0.48592) (2.66817) (2.57293) Lampiran 18 Hasil Estimasi VAR Model I (Konvensional) Vector Autoregression Estimates Date: 06/25/15 Time: 12:38 Sample (adjusted): 2011M03 2014M12 Included observations: 46 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DLSBI DLM2 DLOBLIGASI DIHK DLSBI(-1) 0.857252 (0.06625) [ 12.9389] 0.005923 (0.00951) [ 0.62288] -0.006008 (0.01137) [-0.52820] -0.597982 (0.43160) [-1.38549] DLM2(-1) 0.286648 (0.83639) [ 0.34272] 0.766802 (0.12004) [ 6.38784] 0.258873 (0.14359) [ 1.80281] -13.32641 (5.44854) [-2.44587] DLOBLIGASI(-1) -0.375916 (0.63663) [-0.59048] 0.181920 (0.09137) [ 1.99101] 0.785029 (0.10930) [ 7.18240] 9.936921 (4.14724) [ 2.39603] DIHK(-1) 0.024333 (0.01132) [ 2.14964] -0.003169 (0.00162) [-1.95078] 0.000617 (0.00194) [ 0.31741] 0.828374 (0.07374) [ 11.2339] C -0.637344 (9.04054) [-0.07050] 2.405474 (1.29753) [ 1.85389] -2.558295 (1.55212) [-1.64826] 150.2148 (58.8936) [ 2.55061] 0.933393 0.926895 0.339173 0.090953 143.6384 47.65623 -1.854619 -1.655853 11.53816 0.336392 0.993456 0.992817 0.006987 0.013054 1555.969 136.9541 -5.737133 -5.538367 14.97809 0.154025 0.994842 0.994339 0.009997 0.015615 1976.858 128.7128 -5.378815 -5.180050 5.762160 0.207531 0.872664 0.860241 14.39356 0.592505 70.24580 -38.54837 1.893408 2.092173 5.676957 1.584902 R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion 9.68E-11 6.11E-11 279.8470 -11.29770 -10.50263 126 Lampiran 19 Hasil Estimasi VAR Model II (Syariah) Vector Autoregression Estimates Date: 06/25/15 Time: 12:28 Sample (adjusted): 2011M04 2014M12 Included observations: 45 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DLSBIS DLM2 DLSUKUK DIHK DLSBIS(-1) 1.069117 (0.15235) [ 7.01744] -0.005565 (0.01551) [-0.35878] 0.005232 (0.02921) [ 0.17909] -0.574828 (0.68039) [-0.84485] DLSBIS(-2) -0.352762 (0.15256) [-2.31228] 0.003889 (0.01553) [ 0.25039] 0.003390 (0.02925) [ 0.11587] 0.528539 (0.68132) [ 0.77576] DLM2(-1) 0.006418 (1.54474) [ 0.00415] 0.729965 (0.15729) [ 4.64102] 0.001989 (0.29619) [ 0.00672] -13.01323 (6.89870) [-1.88633] DLM2(-2) 0.600434 (1.57783) [ 0.38054] 0.247349 (0.16065) [ 1.53963] 0.228473 (0.30253) [ 0.75520] 11.61699 (7.04647) [ 1.64862] DLSUKUK(-1) -0.756269 (0.85412) [-0.88544] -0.057025 (0.08697) [-0.65572] 1.002506 (0.16377) [ 6.12146] 0.087812 (3.81442) [ 0.02302] DLSUKUK(-2) 0.741705 (0.82567) [ 0.89830] 0.074732 (0.08407) [ 0.88893] -0.221375 (0.15831) [-1.39832] 2.467339 (3.68739) [ 0.66913] DIHK(-1) -0.035072 (0.03389) [-1.03492] -0.001136 (0.00345) [-0.32924] 0.007943 (0.00650) [ 1.22236] 1.248502 (0.15134) [ 8.24943] DIHK(-2) 0.035622 (0.03418) [ 1.04229] -0.000628 (0.00348) [-0.18061] -0.005530 (0.00655) [-0.84391] -0.491584 (0.15263) [-3.22074] C -6.594926 (4.03193) [-1.63567] 0.215946 (0.41053) [ 0.52602] -1.512167 (0.77308) [-1.95602] -0.648723 (18.0063) [-0.03603] 0.890011 0.865569 0.634879 0.132799 36.41314 32.01991 -1.023107 -0.661774 0.993339 0.991859 0.006582 0.013522 671.0851 134.8247 -5.592209 -5.230877 0.984062 0.980520 0.023341 0.025463 277.8392 106.3425 -4.326332 -3.964999 0.886593 0.861392 12.66227 0.593068 35.18012 -35.32143 1.969842 2.331174 R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC 127 Mean dependent S.D. dependent 8.258526 0.362196 14.98428 0.149860 Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion 9.202897 0.182437 5.651111 1.592978 6.65E-10 2.72E-10 240.1230 -9.072131 -7.626801 Lampiran 20 Hasil Uji Impulse Response (IRF) Model I (Konvensional) Response of DIHK to Cholesky One S.D. Innovations .3 .2 .1 .0 -.1 -.2 5 10 15 20 DLSBI 25 30 DLM2 35 40 45 DLOBLIGASI Lampiran 21 Hasil Uji Impulse Response (IRF) Model II (Syariah) Response of DIHK to Cholesky One S.D. Innovations .3 .2 .1 .0 -.1 -.2 5 10 15 20 DLSBIS 25 30 DLM2 35 40 45 DLSUKUK Lampiran 22 Hasil Uji Variance Decomposition Model I (Konvensional) Period S.E. DLSBI DLM2 DLOBLIGASI DIHK 1 0.090953 4.541022 0.042732 0.324334 95.09191 128 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 0.122826 0.144001 0.159440 0.171305 0.180814 0.188714 0.195482 0.201424 0.206733 0.211531 0.215893 0.219865 0.223475 0.226744 0.229688 0.232322 0.234664 0.236730 0.238543 0.240121 0.241489 0.242667 0.243678 0.244544 0.245283 0.245914 0.246453 0.246916 0.247314 0.247660 0.247962 0.248230 0.248469 0.248685 0.248882 0.249066 0.249238 0.249402 0.249559 0.249711 0.249859 0.250004 0.250148 0.250291 0.250433 0.250575 0.250716 3.196985 2.324184 2.113543 2.498933 3.352745 4.543610 5.952742 7.478457 9.036873 10.56120 12.00050 13.31814 14.49030 15.50427 16.35681 17.05241 17.60156 18.01904 18.32231 18.53002 18.66083 18.73237 18.76051 18.75896 18.73901 18.70954 18.67717 18.64649 18.62038 18.60036 18.58690 18.57972 18.57808 18.58094 18.58720 18.59574 18.60558 18.61589 18.62598 18.63539 18.64377 18.65096 18.65688 18.66156 18.66508 18.66758 18.66920 1.858396 4.270144 6.380911 8.045206 9.309459 10.24851 10.92900 11.40494 11.71993 11.90972 12.00412 12.02820 12.00304 11.94623 11.87211 11.79207 11.71476 11.64636 11.59084 11.55034 11.52544 11.51556 11.51928 11.53463 11.55938 11.59121 11.62792 11.66751 11.70825 11.74873 11.78786 11.82484 11.85912 11.89041 11.91858 11.94366 11.96578 11.98513 12.00197 12.01655 12.02917 12.04006 12.04950 12.05769 12.06485 12.07115 12.07674 2.392463 5.434769 8.026359 9.971124 11.36792 12.34725 13.01668 13.45731 13.72962 13.87917 13.94076 13.94126 13.90143 13.83720 13.76057 13.68030 13.60248 13.53104 13.46816 13.41471 13.37056 13.33495 13.30673 13.28455 13.26708 13.25308 13.24148 13.23142 13.22227 13.21359 13.20511 13.19672 13.18841 13.18024 13.17233 13.16479 13.15776 13.15135 13.14564 13.14068 13.13651 13.13312 13.13049 13.12856 13.12727 13.12654 13.12630 92.55216 87.97090 83.47919 79.48474 75.96987 72.86063 70.10158 67.65929 65.51357 63.64991 62.05463 60.71240 59.60522 58.71230 58.01051 57.47522 57.08120 56.80356 56.61869 56.50493 56.44317 56.41712 56.41349 56.42186 56.43454 56.44617 56.45343 56.45458 56.44910 56.43732 56.42013 56.39872 56.37439 56.34840 56.32189 56.29580 56.27087 56.24763 56.22641 56.20738 56.19055 56.17585 56.16313 56.15219 56.14280 56.13473 56.12776 129 Lampiran 23 Hasil Uji Variance Decomposition Model II (Syariah) Period S.E. DLSBIS DLM2 DLSUKUK DIHK 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 0.132799 0.192055 0.219418 0.229407 0.232126 0.233024 0.234022 0.235200 0.236259 0.237107 0.237845 0.238598 0.239424 0.240319 0.241254 0.242196 0.243124 0.244029 0.244905 0.245755 0.246579 0.247382 0.248164 0.248927 0.249671 0.250397 0.251103 0.251791 0.252459 0.253107 0.253737 0.254348 0.254941 0.255516 0.256075 0.256617 0.257143 0.257654 0.258150 0.258631 0.259098 0.259552 0.259992 0.260420 0.260835 0.261238 0.261629 0.262010 3.748528 1.933385 1.405903 1.294365 1.468419 1.872664 2.375857 2.824691 3.133210 3.299282 3.366340 3.381860 3.377547 3.368423 3.359308 3.350823 3.342598 3.334351 3.326037 3.317757 3.309657 3.301876 3.294502 3.287569 3.281058 3.274922 3.269100 3.263537 3.258193 3.253036 3.248051 3.243226 3.238557 3.234039 3.229668 3.225440 3.221349 3.217390 3.213558 3.209847 3.206253 3.202770 3.199394 3.196122 3.192950 3.189875 3.186894 3.184002 0.018773 3.007627 3.927690 4.459837 4.600570 4.545353 4.440917 4.389467 4.431278 4.560976 4.752776 4.979651 5.222196 5.469712 5.717759 5.965203 6.212066 6.458360 6.703663 6.947121 7.187638 7.424097 7.655540 7.881257 8.100803 8.313973 8.520734 8.721168 8.915425 9.103678 9.286110 9.462901 9.634220 9.800233 9.961101 10.11698 10.26803 10.41440 10.55625 10.69372 10.82695 10.95610 11.08129 11.20266 11.32033 11.43442 11.54506 11.65235 0.545604 0.565410 1.878620 4.162225 6.769830 8.967321 10.44004 11.25312 11.63051 11.77673 11.81879 11.81875 11.80227 11.77907 11.75269 11.72437 11.69450 11.66326 11.63094 11.59797 11.56484 11.53196 11.49965 11.46811 11.43743 11.40766 11.37879 11.35081 11.32368 11.29739 11.27190 11.24720 11.22325 11.20005 11.17756 11.15577 11.13466 11.11420 11.09438 11.07516 11.05654 11.03849 11.02100 11.00403 10.98759 10.97164 10.95618 10.94118 95.68709 94.49358 92.78779 90.08357 87.16118 84.61466 82.74318 81.53272 80.80501 80.36301 80.06209 79.81974 79.59798 79.38280 79.17025 78.95960 78.75084 78.54403 78.33936 78.13715 77.93787 77.74207 77.55031 77.36307 77.18071 77.00344 76.83137 76.66448 76.50270 76.34590 76.19394 76.04668 75.90397 75.76568 75.63167 75.50180 75.37596 75.25400 75.13582 75.02127 74.91025 74.80264 74.69832 74.59719 74.49914 74.40406 74.31187 74.22247 130