INDONESIA DAN JEPANG DALAM PERSPEKTIF PERBANDINGAN POLITIK Oleh: Moris Adidi Yogia, S.Sos, M.Si Abstract Every country in the world model has characteristics that the political system it self. Characteristics is determined by the needs, ideology, value factors that grow and develop in a country. In fact, some countries have a political system model “born” and “develop” based on a long historical experience in accordance with the existing situation, but the other part of the adopted model the political system existin previously and are considered more suitable for comparison, comparative political is how we can find similarities and differences, advantage and disadvantages, from a certain political system, and in terms of how a country can utilize the system for political progress and the country and can face global challenges. Keyword: comparative politics, globalization, and ideology. PENDAHULUAN Pada hakekatnya perbandingan politik mengandung pengertian bagaimana kita dapat menemukan persamaan dan perbedaan, kelebihan dan kekurangan, dari suatu sistem politik tertentu, kemudian dalam kaitan dengan bagaimana suatu negara dapat memanfaatkan sistem politiknya untuk kemajuan negaranya dan dan dapat menghadapi tantangan global dewasa ini. Dalam kaitannya dengan hal ini, pada hakekatnya setiap negara di dunia memiliki karakteristik model sistem politik yang tersendiri. Karakteristik itu ditentukan oleh kebutuhan, ideologi, faktor nilai yang tumbuh dan berkembang didalam suatu negara. Kenyataannya, sebagian negara memiliki madel sistem politik yang “lahir” dan “berkembang” berdasarkan pengalaman historis yang panjang sesuai dengan keadaan yang ada, tetapi sebagian lainnya mengadopsi sebagian model-model sistem 85 politik yang sudah ada lebih dahulu dan dianggap cocok untuk digunakan. Pengadopsian ini dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu: (1) Pola sistem politik sebagai warisan dari suatu sistem kolonial yang kuat; (2) Pengadopsian dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan keberhasilan pembangunan sosial dan ekonomi yang sama dengan negara yang diadopsi. Namun demikian kondisi riil yang terjadi adalah, sistem politik di beberapa negara tertentu berhasil dalam menunjang pembangunan sosial ekonominya, sementara sebagian lagi sampai saat belum dapat memperoleh kemajuan yang berarti. Perbedaan keberhasilan ini yang menjadi stimulan mengapa studi perbandingan politik muncul. Mengapa negara tertentu berhasil membangun sistem politik yang kuat dan dapat menunjang kemakmuran, sementara itu ada negara yang mengalami kondisi sistem politik yang kurang kuat tetapi pembangunan ekonomi dan sosial sangat pesat, tetapi juga terdapat negara yang lemah dalam sistem politik dan terbelakang dalam pembangunan ekonomi dan sosialnya. Sehingga dengan demikian perbandingan politik pada hakekatnya ditujukan untuk mendapatkan konsep model sistem politik yang ideal yang dapat memberikan nilai positif bagi kepentingan pembangunan negara. Tulisan ini mencoba untuk mengkaji sistem politik Jepang dan Indonesia dari perspektif perbandingan politik, fokus utama adalah perkembangan sistem kepartaian dan perumusan kebijakan, selain itu menelaah bagaimana lembagalembaga politik yang ada dapat berfungsi. Tiap negara membentuk rule of gamenya masing-masing untuk bagaimana kekuasaan dapat berjalan dalam negara. Alasan pemilihan tema adalah, Jepang merupakan negara berbentuk kerajaan yang memiliki kemajuan yang pesat dalam bidang ekonomi dan industri sehingga dapat menunjang pembangunan jepang secara keseluruhan, tetapi dalam politik jepang memiliki dinamika politik yang unik, dimana kondisi politik yang tidak stabil tidak berpengaruh terhadap pembangunan bidang yang lain terutama bidang ekonomi dan indusri. Tetapi sebaliknya di Indonesia kondisi politik yang tidak stabil dapat berpengaruh terhadap pembangunan nasional, terutama bidang ekonomi dan sosial. Eksplorasi terhadap Negara Jepang digali dari Gabriel A. Almond & G. Bingham Powell, JR dalam Bukunya Comparative Politics Today: A World View, 1996. Dan beberapa buku lain yang berhubungan dengan tema tulisan ini. 86 POLITIK DI INDONESIA DAN JEPANG Deskripsi Politik Indonesia Negara Indonesia merupakan negara yang berpenduduk terbesar keempat di dunia. Komposisi penduduknya sangat beragam, baik dari suku bangsa, etnisitas, anutan agama, maupun dari segi-segi lainnya. Wilayahnya pun sangat luas, terdiri atas lebih dari 17.000-an pulau besar dan kecil, dan sebagian terbesar terpencil dari kehidupan ramai. Kompleksitas dan keragaman itu sangat menentukan peta konfigurasi kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat, sehingga tidak dapat dihindari keharusan berkembangnya sistem multi-partai dalam sistem demokrasi yang hendak dibangun. Agar peta konfigurasi kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat tersebut dapat disalurkan dengan sebaik-baiknya menurut prosedur demokrasi (procedural democracy), Lembaga-lembaga politik (Supra Struktur Politik) 1). Lembaga Kepresidenan ( Eksekutif ) Republik Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil dimana kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh satu orang/lembaga Presiden. Secara historis bahwa Indonesia pernah menganut sistem pemerintahan parlementrer, tetapi dirasakan tidak sesuai dengan keberadaan kondisi Indonesia pada masa itu. Keuntungan sistem presidentil justru lebih menjamin stabilitas pemerintahan. Sistem ini juga dapat dipraktekkan dengan tetap menerapkan sistem multi-partai yang dapat mengakomodasikan peta konfigurasi kekuatan politik dalam masyarakat yang dilengkapi pangaturan konstitusional untuk mengurangi dampak negatif atau kelemahan bawaan dari sistem presidentil tersebut. Dalam sistem ini, terdapat lima prinsip penting, yaitu: 1. Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggara kekuasaan eksekutif negara yang tertinggi di bawah Undang-Undang Dasar. Dalam sistem ini tidak dikenal dan tidak perlu dibedakan adanya kepala negara dan kepala pemerintahan. Keduanya adalah Presiden dan Wakil Presiden. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggungjawab politik berada ditangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President). 87 2. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan karena itu secara politik tidak bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat atau lembaga parlemen, melainkan bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang memilihnya. 3. 4. Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum konstitusi. Dalam hal demikian, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dituntut pertanggungjawaban oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk disidangkan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, yaitu sidang gabungan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Namun, sebelum diberhentikan, tuntutan pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden yang didasarkan atas tuduhan pelanggaran atau kesalahan, terlebih dulu harus dibuktikan secara hukum melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi. Jika tuduhan bersalah itu dapat dibuktikan secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi, barulah atas dasar itu, MPR bersidang dan secara resmi mengambil putusan pemberhentian. Para Menteri adalah pembantu Presiden, Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan karena bertanggung-jawab kepada Presiden, bukan dan tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Kedudukannya tidak tergantung kepada parlemen. Disamping itu, para Menteri itulah yang pada hakikatnya merupakan para pemimpin pemerintahan dalam bidang masing-masing. Karena itu, kedudukannya sangat penting dalam menjalankan roda pemerintahan; 5. Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem presidentil sangat kuat sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin stabilitas peerintahan, ditentukan pula bahwa masa jabatan Presiden lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan. Di samping itu, beberapa badan atau lembaga negara dalam lingkungan cabang kekuasaan eksekutif ditentukan pula independensinya dalam menjalankan tugas utamanya. Lembaga-lembaga eksekutif yang dimaksud adalah Bank Indonesia sebagai bank sentral, Kepolisian Negara dan Kejaksaan Agung sebagai aparatur penegakan hukum, dan Tentara Nasional Indonesia sebagai aparatur pertahanan negara. Meskipun keempat lembaga tersebut berada dalam ranah eksekutif, tetapi dalam menjalankan tugas utamanya tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan politik pribadi Presiden. Untuk menjamin hal itu, maka pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur Bank Indonesia, Kepala Kepolisian Negara, Jaksa Agung, dan Panglima Tentara Nasional Indonesia hanya dapat dilakukan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Pemberhentian para pejabat tinggi pemerintahan 88 tersebut tanpa didahului dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat hanya dapat dilakukan oleh Presiden apabila yang bersangkutan terbukti bersalah dan karena itu dihukum berdasarkan vonis pengadilan yang bersifat tetap karena melakukan tindak pidana menurut tata cara yang diatur dengan Undang-Undang. Indonesia adalah negara yang berbentuk Negara Kesatuan (unitry state). Kekuasaan asal berada di pemerintah pusat. Namun kewenangan (authority) pemerintah pusat ditentukan batas-batasnya dalam Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang ditentukan sebagai kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Hubungan-hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah Daerah Propinsi serta pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota, tidak diatur berdasarkan asas dekonsentrasi, melainkan hanya didasarkan atas asas otonomi atau desentralisasi dan tugas perbantuan (medebe win). Dengan ketentuanketentuan konstitusional demikian, berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia diselenggarakan dengan pengaturan antar daerah yang tidak seragam antara satu sama lain. Dalam hubungan antara pusat dan daerah atau daerah propinsi dengan kabupaten/kota dimungkinkan adanya pola hubungan yang bersifat khusus seperti propinsi Papua. Pengaturan demikian dimaksud untuk menjamin agar seluruh bangsa Indonesia benar-benar bersatu dengan keragaman dalam bingkai Negara Kesatuan. Prinsip keadilan antar pusat dan propinsi dan daerah kabupaten/kota juga makin terjamin. Otonomi dan kebebasan rakyat dihadapan jajaran pemerintah pusat dan daerah juga makin tumbuh dan berkembang sesuai prinsip demokrasi. Untuk itu, susunan Negara Kesatuan dengan pengaturan yang bersifat khusus atau otonomi khusus dikembangkan sebagaimana mestinya dengan memperhatikan perbedaan tingkat kemampuan antar daerah diseluruh Indonesia. Karena itu, pelaksanaan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan yang memungkinkan adanya pengaturan khusus berupa daerah otonomi khusus itu hendaklah dilaksanakan secara sistematis dan bertahap, daerah-daerah yang belum atau tidak dapat melaksanakannya, perlu diberi kesempatan mempersiapkan diri. Daerah-daerah juga tidak perlu memaksakan diri untuk secepat mungkin menerapkan kebijakan otonomi daerah yang seluas-luasnya dengan meninggalkan sama sekali atau mengabaikan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan asas dekonsentrasi. Pemerintah pusat bertanggungjawab menyukseskan pelaksanaan otonomi daerah yang dilakukan secara bertahap itu. Disamping itu, 89 meskipun susunan pemerintahan bersifat desentralistis, tetapi pemerintah pusat tetap memiliki kewenangan koordinasi antar daerah propinsi, dan pemeritah daerah propinsi memiliki kewenangan koordinasi antar daearah kabupaten/kota sebagaimana mestinya. 2). Lembaga Legislatif a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Semula, Majelis Permusyawaratan Rakyat kita dirancang untuk diubah menjadi nama ‘genus’ dari lembaga perwakilan rakyat atau parlemen Indonesia yang terdiri atas dua kamar dewan. Kamar pertama disebut Dewan Perwakilan Rakyat, dan kamar kedua disebut Dewan Perwakilan Daerah. Sebagai perbandingan, prinsip yang sama dapat kita temukan dalam konstitusi Amerika Serikat yang mementukan bahwa semua kekuasaan legislatif ada di Kongres yang terdiri atas ‘The House of Representatives and Senate’. Memang, anggota senat bisa disebut Senator sedangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau ‘House of Representatives’ biasa disebut ‘Congressman’. Akan tetapi, sesungguhnya, baik anggota Senat maupun anggota DPR Amerika Serikat itu sama-sama merupakan anggota Kongres . Akan halnya nanti dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah, pada hakikatnya mereka adalah anggota MPR, tetapi secara sendiri-sendiri mereka juga dapat dibedakan antara anggota DPR atau anggota DPD. Demikian pula dalam konstitusi Kerajaan Belanda dikatakan bahwa kekuasaan legislatif berada di ‘Staten Generaal’ yang terdiri atas “Eerste Kamer en Tweede Kamer”. Keanggotaan dalam masing-masing kamar parlemen Belanda ini tidaklah mengurangi pengertian bahwa pada hakikatnya mereka juga anggota ‘Staten Generaal’. Namun demikian, setelah perubahan Keempat UUD 1945, keberadaan MPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi keberadaannya tetap ada sehingga sistem yang kita anut tidak dapat disebut sistem bikameral ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme), perubahanperubanan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia itu memang telah terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut. 90 Pertama, susunan keanggotaan MPR berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional representation) dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip perwakilan politik (political representation) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah (regional representatif). Kedua, bersamaan dengan perubahan yang bersifat struktural tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar (perubahan fungsional). Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai ‘supreme body’ yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan karena itu kewenangannyapun mengalami perubahan-perubahan mendasar. Sekarang, setelah diadakannya perubahan UUD 1945, kewenangan MPR berubah menjadi: a) menetapkan Undang-Undang Dasar dan/atau Perubahan UUD, b) Melantik Presiden dan Wakil Presiden, c). Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta d). Menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya. Ketiga, diadopsi prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) secara tegas antara fungsi legistatif dan eksekutif dalam perubahan pasal 5 ayat (1) juncto pasal 20 ayat (1) dalam perubahan pertama UUD 1945 yang dipertegas lagi dengan tambahan pasal 20 ayat (5) perubahan kedua UUD 1945. Dalam perubahanperubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan membentuk Undang-Undang berada di tangan DPR, meskipun Presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif tetap diakui haknya untuk mengajukan sesuatu rancangan Undang-Undang. Dengan perubahan ini berarti UUD 1945 tidak lagi menganut sistem MPR berdasarkan prinsip ‘Supremasi parlemen’ dan sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh lembaga tertinggi MPR ke lembaga-lembaga negara di bawahnya. Keempat, diadopsinya prinsip pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung oleh rakyat dalam ketentuan pasal 6A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 yang sekaligus dimaksud untuk memperkuat dan mempertegas anutan sistem pemerintahan presidential dalam UUD 1945. Dengan sistem pemilihan langsung oleh rakyat itu, maka konsep dan sistem pertanggungjawaban Presiden tidak lagi dilakukan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi juga langsung 91 kepada rakyat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam hubungannya dengan pengorganisasian kedaulatan rakyat, kedaulatan yang ada ditangan rakyat itu, sepanjang menyangkut fungsi legislatif, dilakukan oleh MPR yang terdiri atas dua kamar dewan, sedangkan dalam bidang eksekutif dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu paket kepemimpinan eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dulu dikenal sebagai lembaga tertinggi negara, dimasa depan berubah menjadi nama dari lembaga perwakilan rakyat Indonesia yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang secara bersama-sama kedudukannya sederajat dengan Presiden dan Wakil Presiden, serta dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. b. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca Perubahanan Keempat, fungsi legislatif berpusat di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini jelas terlihat dalam rumusan pasal 20 ayat (1) yang baru yang menyatakan: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Selanjutnya dinyatakan: “setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Rancangan Undang-Undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu”. Kemudian dinyatakan pula” Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah mendapat disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang” (ayat 4), dan “dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak rancangan Undang-Undang tersebut disetujui, rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”. Dari ketentuan pasal 20 itu dapat dipahami bahwa: Pertama, lembaga legislasi atau legislator adalah DPR, bukan Presiden dan apalagi DPD; Kedua, Presiden adalah lembaga yang mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah mendapat persetujuan bersama dalam rapat paripurna DPR resmi menjadi UndangUndang; Ketiga, rancangan Undang-Undang yang telah resmi sah menjadi UndangUndang wajib diundangkan sebagaimana mestinya; Keempat, setiap rancangan Undang-Undang dibahas bersama untuk mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam persidangan DPR. Dalam hal rancangan Undang-Undang berasal dari inisiatif DPR, maka Institusi DPR sebagai satu kesatuan akan berhadapan 92 dengan Presiden sebagai satu kesatuan institusi yang dapat menolak usul inisiatif DPR itu seluruhnya ataupun sebagian materinya. Dalam hal demikian maka rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPR itu tidak dapat lagi diajukan dalam persidangan DPR masa itu. Posisi Presiden dan DPR dalam hal ini dapat dikatakan saling berimbang. Di satu pihak, dalam proses pembahasan materi rancangan Undang-Undang, posisi Presiden/pemerintah lemah karena harus berhadapan dengan DPR sebagai satu kesatuan institusi. Dalam hal ini, Presiden tidak dapat lagi memanfaatkan dukungan partai politiknya sendiri yang ada di DPR untuk mendukung kebijakan Pemerintah mengenai materi rancangan Undang- Undang yang sedang dibahas. Akan tetapi, dipihak lain, Presiden/Pemerintah mempunyai posisi yang kuat karena dapat mem-‘veto’ dengan cara menolak untuk memberikan persetujuan atas sesuatu materi ataupun keseluruhan materi UndangUndang yang bersangkutan. Kelima, dalam hal rancangan Undang-Undang itu datang dari Presiden, maka seperti terhadap rancangan Undang-Undang inisiatif DPR, pembahasannya pun dilakukan secara bersama-sama untuk mendapatkan persetujuan bersama. Dalam hal ini, yang berhak menolak seluruhnya ataupun sebagiannya adalah DPR sebagai institusi. Jika rancangan itu ditolak seluruhnya oleh DPR, maka rancangan Undang-Undang itu juga tidak dapat lagi diajukan dalam persidangan DPR masa yang bersangkutan. Dalam forum pengambilan putusan oleh DPR dapat terjadi bahwa sesuatu materi ataupun seluruh materi rancangan Undang-Undang yang bersangkutan diputuskan dengan pemungutan suara dapat rapat paripurna DPR. Dalam hal demikian, Presiden/pemerintah tidak mempunyai ‘voting rights’ sama sekali. Maka dapat dikatakan bahwa dalam hal ini DPR mempunyai kedudukan yang lebih kuat daripada Presiden/Pemerintah, karena DPR-lah yang memutuskan, bukan Presiden. rancangan Undang-Undang itu, tidak Jika sebagian materi mendapat persetujan DPR berarti materi yang bersangkutan harus dikeluarkan dari rancangan Undang-Undang yang bersangkutan, dan secara a contrario, juga tidak dapat diajukan lagi untuk diatur dengan atau dalam Undang-Undang lain dalam persidangan DPR masa itu. Keenam, setelah suatu rancangan Undang-Undang mendapat persetujuan bersama yang ditandai oleh pengesahannya dalam rapat paripurna DPR, maka rancangan Undang-Undang yang bersangkutan secara substantif atau secara material telah menjadi Undang-Undang, tetapi belum mengikat umum karena belum disahkan oleh Presiden serta diundangkan sebagaimana mestinya. 93 Karena, RUU yang telah mendapat persetujuan dalam rapat paripurna DPR itu secara materiel tidak dapat diubah meskipun Presiden tidak menyetujui isinya. RUU akan berubah menjadi resmi mengikat umum semata-mata karena (a) faktor pengesahan oleh Presiden dengan cara menandatangani naskah Undang-Undang itu, dan (b) faktor tenggang waktu 30 hari sejak pengambilan keputusan atas rancangan Undang-Undang tersebut dalam rapat paripurna DPR. Dengan demikian, secara materiel, proses pembentukan Undang-Undang telah selesai (final) dengan telah diambilnya putusan dalam rapat paripurna DPR yang mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah dibahas bersama. Karena itu, dapat dibedakan adanya dua instansi pengesahan suatu rancangan Undang-Undang, yaitu pengesahan materiel oleh DPR dan pengesahan formil oleh Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) UUD 1945. Tindakan pengesahan materiel itu dilakukan melalui pengembilan putusan akhir oleh DPR atas suatu rancangan Undang-Undang dalam persidangan atau rapat paripurna DPR, sedangkan tindakan pengesahan formil dilakukan oleh Presiden dengan cara membubuhkan tandatangan pada bagian akhir naskah Undang-Undang. Selanjutnya, atas perintah Presiden, Undang-Undang yang bersangkutan diundangkan dengan cara menempatkannya dalam registrasi Lembaran Negara dengan memberikan nomer registrasi dan pembuatan salinan oleh Sekretaris Negara, dan penerbitan Lembaran Negara yang bersangkutan sebagaimana mestinya. c. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah menurut ketentuan UUD 1945 pasca perubahan juga banyak dikritik orang. Lembaga ini semula didesain sebagai kamar kedua parlemen Indonesia di masa depan. Akan tetapi, salah satu ciri bikameralisme yang dikenal di dunia ialah apabila kedua-dua kamar yang dimaksud sama-sama menjalankan fungsi legislatif sebagaimana seharusnya. Padahal, jika diperhatikan DPD sama sekali tidak mempunyai kekuasaan apapun dibidang ini. DPD hanya memberikan masukan pertimbangan, usul, ataupun saran, sedangkan yang berhak memutuskan adalah DPR, bukan DPD. Karena itu, keberadaan DPD di samping DPR tidak dapat disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang lazim. Selama ini dipahami bahwa jika kedudukan kedua kamar itu di bidang legislatif sama kuat, maka sifat bikameralismenya disebut ‘strong becameralism’, tetapi jika kedua tidak sama kuat, maka disebut ‘soft becameralism’. Akan tetapi, dalam pengaturan UUD 1945 pasca perubahan Keempat, bukan saja bahwa struktur yang 94 dianut tidak dapat disebut sebagai ‘strong becameralism’ yang kedudukan keduanya tidak sama kuatnya, tetapi bahkan juga tidak dapat disebut sebagai ‘soft becameralism’ sekalipun. 3). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Selain lembaga-lembaga negara diatas, negara kita masih memiliki Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang juga berkaitan dengan fungsi pengawasan, khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan Negara. Karena itu, kedudukan kelembagaan Badan Pemeriksa Keuangan ini sesungguhnya berada dalam ranah kekuasaan legislatif, atau sekurang kurangnya berhimpitan dengan fungsi pengawasan yang dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan itu harus dilaporkan atau disampaikan kepada DPR untuk ditindak lanjuti sebagaimana mestinya. 4). Mahkamah Agung (MA) Dan Mahkamah Konstitusi (MK) Sebelum adanya Perubahan UUD, kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif (judicial) hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada mahkamah agung. Lembaga Mahkamah Agung tersebut, sesuai dengan prinsip ‘independent of judiciary’ diakui bersifat mendiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengeruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Prinsip kemerdekaan hakim ini selain diatur dalam Undang-Undang pokok kekuasaan kehakiman, juga tercantum dalam penjelasan pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman tidak boleh dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lain. Namun, setelah perubahan ketiga UUD 1945 disahkan, kekuasaan kehakiman negara kita mendapat tambahan satu jenis mahkamah lain yang berada di luar mahkamah agung. Lembaga baru tersebut mempunyai kedudukan yang setingkat atau sederajad dengan Mahkamah Agung. Sebutannya adalah Mahkamah Konstitusi (constitutional court) yang dewasa ini makin banyak negara yang membentuknya di luar kerangka Mahkamah Agung (supreme court). Dapat dikatakan Indonesia merupakan negara ke-78 yang mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusiyang berdiri sendiri ini, setelah Austria pada tahun 1920, Italia pada tahun 1947 dan Jerman pad tahun 1948. 95 Dalam perubahan ke tiga Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi ditentukan memiliki lima kewenangan, yaitu: (a) melakukan pengujian atas konstitusionalitas Undang-Undang; (b) mengambil putusan atau sengketa kewenangan antar lembaga negara yang ditentukan menurut Undang-Undang Dasar; (c) mengambil putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum ataupun mengalami perubahan sehingga secara hukum tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden menjadi terbukti dan karena itu dapat dijadikan alasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya; (d) memutuskan perkara perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan umum, dan (e) memutuskan perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik. Mahkamah Konstitusi beranggotakan 9 orang yang memiliki integritas, dan memenuhi persyaratan kenegarawanan, serta latar belakang pengetahuan yang mendalam mengenai masalah-masalah ketatanegaraan. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggotanya sendiri yang berasal dari 3 orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 orang yang ditentukan oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang ditentukan oleh Presiden. Seseorang yang berminat untuk menjadi hakim konstitusi, dipersyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Dengan komposisi dan kualitas anggotanya yang demikian. Diharapkan bahwa Mahkamah Konstitusi itu kelak akan benar-benar bersifat netral dan independen serta terhindar dari kemungkinan memihak kepada salah satu dari ketiga lembaga negara tersebut. Selain kedua badan kekuasaan kehakiman tersebut ada lagi satu lembaga baru yang kewenangannya ditentukan dalam UUD, yaitu komisi Yudisial. Dewasa ini, banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju mengembangkan lembaga komisi Yudisial (judicial commisions) semacam ini dalam lingkungan peradilan dan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya maupun di lingkungan organ-organ pemerintahan pada umumnya. Meskipun lembaga baru ini tidak menjalankan kekuasaan kehakiman, tetapi keberadaannya diatur dalam UUD 1945 Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, karena itu, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 24B ditegaskan: (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai 96 kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keleluhuran martabat, serta perilaku hakim; (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikn oleh Presiden dengan persetujuan DPR; (4) Susunan, kedudukan dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-Undang. 5). Badan Dan Lembaga Eksekutif yang Bersifat Independen Selain lembaga-lembaga negara seperti tersebut di atas, bentuk keorganisasian banyak negara modern dewasa ini juga mengalami perkembanganperkembangan yang sangat pesat, khususnya berkenaan dengan inovasi-inovasi baru yang tidak terelakkan. Perkembanganperkembangan baru itu juga terjadi di Indonesia di tengah keterbukaan yang muncul bersamaan dengan gelombang demokratisasi di era reformasi empat tahun terakhir. Pada tingkatan pertama, muncul kesadaran yang makin kuat bahwa badan-badan negara tertentu seperti organisasi Tentara, organisasi Kepolisian dan Kejaksaan Agung, serta Bank Sentral harus dikembangkan secara independen. Independensi lembaga-lembaga ini diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif. Dari keempatnya, yang sekarang ini telah menikmati kedudukan yang independen adalah organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara (POLRI) dan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Sedangkan Kejaksaan Agung sampai sekarang belum ditingkatkan kedudukannya menjadi yang independen. Pada tingkat kedua, juga muncul perkembangan berkenaan dengan lembagalembaga khusus seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman, Komisi Persaingan Usaha Pemberantasan Korupsi (KPPU), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan lain sebagainya, jika nanti, Undang-Undang tentang Penyiaran jadi disahkan, akan ada pula komisi baru lagi, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang juga bersifat independen. Di bidang administrasi dan pelaporan transaksi keuangan dibentuk pula lembaga baru yang bernama Pusat dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang juga ditentukan bersifat independen. Selain itu, ada pula komisi yang dibentuk hanya dengan Keputusan Presiden, misalnya, Komisi Hukum Nasional (KHN). 97 Komisi-komisi atau lembaga-lembaga semacam ini selalu diidealkan bersifat independen dan seringkali memiliki fungsi-fungsi yang bersifat campursari, yaitu semi legislatif dan regulatif, semi-administratif, dan bahkan semi yudikatif. Bahkan, dalam kaitan itu muncul pula istilah ‘independent and self regulatory bodies’ yang juga berkembang di banyak negara. Karena itu, keberadaan lembagalembaga seperti ini di Indonesia dewasa ini, betapapun juga, perlu didudukkan pengaturannya dalam kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia Modern, dan sekaligus dalam kerangka pengembangan sistem hukum nasional yang lebih menjamin keadilan dan demokrasi di masa yang akan datang. Infra Stuktur Politik 1). Partai Politik Dan Sistem Kepartaian Di Indonesi Partai Politik telah merupakan bagian dari kehidupan politik selama lebih kurang seratus tahun. Miriam Budiardjo (2008) Umumnya dianggap bahwa partai politik adalah sekelompok manusia terorganisir, yang anggotaanggotanya sedikit banyak mempunyai orientasi nilai-nilai serta cita-cita yang sama, dan yang mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik serta mempertahankannya guna melaksanakan program yang telah ditetapkan. Di Indonesia kita terutama mengenal sistem multi-partai, sekalipun kemudian berlaku berdasarkan tiga orsospol dapat dikategorikan sebagai multi partai sistem dengan dominasi satu partai. Tahun 1998 mulai masa Reformasi, Indonesia kembali ke sistem multi partai (tanpa dominasi satu partai). Partai politik berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka, sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda, zaman pendudukan Jepang. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, mulailah patai politik banyak berdiri guna mendukung upaya pembangunan bangsa, terlebih pada masa sistem pemerintahan parlementer. Pemilihan umum tahun 1955 merupakan awal bagi partai politik untuk secara riil melakukan “unjuk kekuatan” dengan berupaya memenangkan pemilu tersebut, tercatat ada 100 tanda gambar partai dan dari hasil pemilu itu menghasilkan empat partai bersar yang meraih kursi di DPR, yaitu PNI (57 kursi), Masyumi (57 kursi), NU (45 kursi), dan PKI (39 kursi), selebihnya partai-partai kecil. 98 Melalui masa demokrasi terpimpin terjadi penyederhanaan jumlah partai menjadi 10 partai, melalui Penpres No.7/1959 berintikan pencabutan Maklumat pemerintah 3 Nopember 1945. Masa demokrasi terpimpin ini berakhir dengan “jatuhnya” Soekarno dari tampuk kekuasaan. Masa orde baru pemilu diselenggarakan 6 kali, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Yang menjadi catatan pada periode ini adalah terjadinya proses fusi partai politik menjadi hanya tiga orsospol, yaitu; Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan afiliasi dari partai-partai Islam, Golongan Karya (Golkar) yang menjadi pilar orde baru, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan afiliasi dari partai-partai nasionalis dan keristen. Golongan Karya merupakan partai dominan, bahkan menjadi mayoritas tunggal selama masa orde baru, seolah-olah PPP dan PDI hanya merupakan pelengkap bagi tetap eksisnya sistem multi partai. Dengan berakhirnya pemerintahan orde baru (ditandai dengan turunya Soeharto dari tampuk kekuasaan tahun 1998) berakhir pula dominasi Golkar dalam pemilu. Pada masa Reformasi ini ditandai dengan berdirinya banyak partai mencapai ratusan buah, tetapi melaui pemilu 1999 hanya diikuti oleh 48 partai, termasuk Golkar yang menjadi Partai Golkar. PDI-P meraih kursi terbanyak (153), Partai Golkar (120), PPP (58), PKB (51), PAN (34), dan PBB (13), sementara partai-partai yang lain hanya sedikit. Menjelang pemilu 2004 partai yang tidak mendapatkan suara yang memadai tidak dapat mengikutu pemilu selnjutnya, mereka harus menyesuaikan diri dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pemunculan partai-partai baru pada pemilu tahun 2004 dan terkait dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung membuat dinamika kepartaian di Indonesia semakin kompleks dan khas. Partai Golkar meraih suara terbanyak (128 kursi), selanjutnya berturut-turut diikuti oleh PDI-P (109 kursi), PKB (52 kursi), PPP (58 kursi), Partai Demokrat (57 kursi), PKS (45 kursi), dan PAN (25 kursi). Pemilihan Presiden secara langsung untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia dimenangkan oleh calon dari Partai Demokrat (didukung oleh PKS, PKPI, dll). Masa reformasi ini Indonesia masih mencari bentuk yang dianggap sesuai dengan kondisi yang ada. Menjelang pemilu tahun 2009 ini akan diikuti oleh 38 partai politik nasional dan 4 partai politik lokal Aceh. Hal ini merupakan sesuatu yang baru dalam perpolitikan di Indonesia. 99 2). Organisasi Kemasyarakatan Penataan infra struktur sistem politik nasional selain terkait dengan sistem kepartaian, juga berkenaan dengan sistem keorganisasian masyarakat. UU tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dibentuk di masa Orde Baru sebagai instrumen untuk mengendalikan dan membatasi kebebasan orang untuk berserikat dan berorganisasi dan dipaksa untuk berasas tunggal, sudah tidak dapat lagi dipertahankan. UU keormasan dan juga UU partai politik sekarang cenderung melarang adanya afiliasi antara organisasi kemasyarakatan dengan partai politik. Meskipun motivasi pelarangan ini nampak baik, tetapi hal itu menyebabkan partai politik menghadapi kesulitan untuk akrab dengan rakyat. Padahal, untuk dekat dengan rakyat, partai politik harus mengembangkan aneka kegiatan sosial dan sebagainya. Mengapa partai harus dilarang mempunyai sayap kegiatan panti asuhan, misalnya keberadaan organ sayap kegiatan sosial dan kemanusiaan seperti itu justru dapat mendorong partai politik berhubungan akrab dengan konstituennya masingmasing. Sudah tentu organisasi kemasyarakat non-partisan perlu diperkuat dan mendapat perhatian yang diprioritaskan oleh pemerintah. Pemerintah sebaiknya ditentukan dilarang memberikan bantuan kepada organ-organ ormas yang berafiliasi kepada partai. Akan tetapi, partai tidak perlu dilarang mengembangkan sayap ormasnya masing-masing asalkan transparan. Di orde baru, meskipun resminya dilarang, tetapi banyak ormas yang secara terselubung merupakan organ partai politik dan mendapat bantuan besar dari dana pemerintah (APBN). Hal ini tidak boleh terjadi lagi di masa depan. Karena itu, partai politik sebaiknya diizinkan mengembangkan organisasi afiliasi, tetapi dilarang mendapatkan bantuan dari dana APBN. Selain itu, sama seperti kultur yang perlu dikembangkan dilingkungan partai politik, prinsip ‘rule of law’, ‘rule of the game’ dan kultur demokrasi perlu dibudayakan di dalam lingkungan organisasi kemasyarakatan. Karena itu, infra struktur konstitusi organisasi berupa Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta infra struktur kode etik organisasi perlu ditegakkan dengan sebaikbaiknya. Untuk itu, mekanisme Dewan Kehormatan internal organisasi kemasyarakatan hendaknya dapat dikembangkan menjadi mekanisme yang mentradisi di setiap lingkungan organisasi kemasyarakatan di tanah air kita. Untuk 100 itu, disamping memperbarui sistem hukum kepartaian, sebaiknya pemerintah segera mengambil inisiatif untuk memperbarui pula sistem hukum organisasi kemasyarakatan di tanah air. Kelembagaan Politik Kerajaan Jepang a. Tinjauan umum Jepang (bahasa Jepang: Nippon/Nihon dengarkan, secara harfiah: "asalmuasal matahari") adalah sebuah negara di Asia Timur yang terletak di suatu rantai kepulauan benua Asia di ujung barat Samudra Pasifik. Jepang disebut Nippon atau Nihon dalam bahasa Jepang. Sebutan Nippon sering digunakan dalam urusan resmi, sedangkan Nihon biasanya digunakan dalam urusan tidak resmi seperti pembicaraan harian. Kata Nippon dan Nihon berarti "negara matahari terbit". Nama ini berasal dari utusan resmi negara China, dan merujuk kepada kedudukan relatif Jepang di sebelah timur benua Asia. Sebelum itu, Jepang dikenal sebagai Yamato. Wa digunakan di negara China pada zaman Tiga Negara. Kata Jepang dalam bahasa Indonesia diturunkan dari kata Jepun, berasal dari bahasa Kanton, yang membawa sebutan Yat Pun. Sebutan resmi Jepang dalam bahasa Jepang ialah Nipponkoku atau Nihonkoku, yang berarti "negara Jepang". Area daratan jepang lebih kecil dibandingkan dengan negara bagian Montana di Amerika Serikat, sebagian besar wilayahnya adalah pegunungan. Secara sederhana dapat disetarakan dengan negara bagian Connecticut. Jumlah penduduk tahun 2006 derjumlah 127.665.345 jiwa, merupakan negara berpenduduk ke-7 terbanyak didunia. Dengan populasi yang demikian Jepang telah menjadi negara ekonomi terkemuka didunia. Keajaiban ekonomi Jepang dapat dilacak sejak adanya Restorasi Meiji pada tahun 1868, berintikan transformasi dari masyarakat feodal kearah masyarakat modern berdasarkan pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pembentukan lembaga-lembaga politik baru mengadopsi dari Eropa yang lebih dahulu maju. Hasil upaya melalui proses transformasi ini terlihat pada bagaimana Jepang dapat mengembangkan industrinya dengan pesat dibuktikan dengan terlibatnya Jepang dalam upaya imperialisme dengan merebut wilayah China, Korea, dan mengalahkan Rusia dalam peperangan awal abad ke-19. Selanjutnya pada perang 101 dunia II, Jepang semakin memperlihatkan keunggulannya dibandingkan negara lain diwilayah Asia, walaupun akhirnya Jepang menyerah kepada sekutu tahun 1945. Era baru Jepang dimulai sejak berakhirnya perang dunia II, dimana Jepang harus mengikuti keinginan sekutu dalam hal ini Amerika Serikat, untuk menjadi negara Demokratis melalui konstitusi tahun 1946, dengan sistem monarkhi konstitusional. Lembaga lembaga politik baru, walaupun namanya diadopsi dari lembaga zaman restorasi Meiji tetapi lebih berfungsi sebagai lembaga politik di negara-negara barat. b. Mekanisme Dan Proses Politik 1). Diet Diet adalah pusat kegiatan politik Jepang (lihat Bagan 1). Mengambang dengan tidak jelas di atasnya adalah tokoh simbolik Kaisar, dan staf birokrasinya. Tetapi Diet-lah yang paling berkuasa, yang menurut konstitusi adalah "organ negara paling tinggi" dan "satu-satunya organ pembuat hukum". Perpindahan kedaulatan dari Kaisar ke rakyat, berdasar konstitusi 1947, sangat memukul pemimpin konservtif kolot. Menurut Konstitusi Meiji, Kaisar bukan hanya pemegang semua kedaulatan, tetapi juga sebagai tokoh yang "suci dan tak-teringkari" yang menerima wewenangnya dari "garis keturunan yang berasal dari masalalu yang tak terbatas". Menurut konstitusi baru, ia tak lebih dari "lambang negara dan kesatuan bangsa". Rakyat Jepang umumnya maupun keluarga kekaisaran tidak atau tidak banyak menyesali dalam melakukan penyesuaian itu. Definisi baru itu sekedar menyatakan apa yang selama berabad-abad senyatanya berlaku. Diet bukan hanya satu-satunya sumber hukum di Jepang, tetapi ia juga berhak memilih Perdana Menteri. Secara teoritis, kedua dewan dalam Diet bersama-sama memilih calon dari kalangan anggota mereka, tetapi karena Ma-jelis Rendah harus dimenangkan kalau terjadi ketidaksepakatan, maka kenyata-annya hanya dewan inilah yang memilih Perdana Menteri, yang sejauh ini selalu dari kalangan anggotanya sendiri. Perdana Menteri memilih anggota-anggota kabinet lainnya, tetapi karena Perdana Menteri dipilih oleh Diet, yang bisa memilih perdana menteri baru setiap saat, maka ia tidak memiliki kekuasaan yang bebas untuk memilih anggota kabinetnya seperti halnya Presiden Amerika. Nyatanya memang Perdana Menteri dan Kabinetnya adalah sekedar komite eksekutif yang bekerja atas nama Diet. 102 Seperti Konggres Amerika Serikat, kedua dewan dalam Diet memiliki cara pemilihan dan masa tugas yang berbea. Separuh dari anggota Majelis Tinggi yang berjumlah 252 orang dipilih setiap tiga tahun untuk masa tugas enam tahun. Dari jumlah seluruhnya, 100 dipilih sccara nasional. Yang 152 dipilih dari setiap prefektur (seperti propinsi) yang jumlahnya 47. Prefektur yang paling kecil memilih satu councilor setiap kali pemilihan dan prefektur yang paling banyak penduduknya memilih empat. Perbedaan jumlah councilor per propinsi, yaitu paling sedikit 2 dan paling banyak 4, sering tidak menggambarkan jumlah penduduk yang sebenarnya. Prefektur yang berpenduduk paling banyak merasa kurang ter-wakili dalam Majelis Tinggi atau House of Councilors ini. Anggota Majelis Rendah dipilih untuk masa jabatan empat tahun dengan sistem pemilihan yang dibentuk pada 1925 yang disebut sistern distrik pemilihan ukuran sedang. Antara 3 sampai 5 calon dipilih dari setiap distrik pemilihan, tetapi setiap pemilih hanya boleh memilih satu orang calon tertentu, bukan sebuah partai. Sistem ini unik di antara beberapa negara besar di dunia dan, seperti akan kita lihat nanti, mempunyai pengaruh yang besar dalam pelaksanaan politik pemilihan di Jepang. Seperti sistem pemilihan untuk anggota Majelis Tinggi, sistem ini menghasilkan perwakilan kepentingan yang agak bersifat pro-porsional, karena kelompok minoritas dimungkinkan untuk memenangkan beberapa kursi. Jadi, calon yang memperoleh 20 persen suara di suatu distrik yang beranggota lima (artinya memiliki 5 wakil dalam Majelis Rendah itu -Editor) pasti akan terpilih untuk menjadi salah satu wakil dari distrik itu dalam Majelis itu. Sistem itu juga membuahkan hasil yang lebih stabil dibanding sistem lain. Dalam sistem distrik beranggota-satu, dimana satu distrik hanya diwakili oleh satu orang, perubahan sedikit saja dalam persentase suara yang diperoleh tetapi terjadi di se-jumlah besar distrik pemilihan bisa mengakibatkan kemenangan besar-besaran satu kontestan dan kekalahan besarbesaran kontestan yang lain. Dalam sistem Jepang perubahan serupa hanya akan menghasilkan sedikit perubahan, dengan megurangi, misalnya, kursi yang dikuasai partai mayoritas dalam distrik beranggota-lima dari 3 menjadi 2. Jumlah anggota Majelis pada 1925 adalah 466. Pada tahun 1976 berubah menjadi 511 dipilih dari 130 distrik pemilihan. Majelis Rendah ini jarang menghabiskan masa-tugas empat-tahunnya. Seperti di Inggris, Majelis Rendah bisa mengajukan "mosi tidak percaya" pada Perdana Menteri dan memaksanya untuk turun atau 103 membubarkan Majelis Rendah. Pada kenyataannya, ini hanya pernah terjadi dua kali, yaitu pada 1948 dan 1953. Yang sering terjadi adalah Perdana Menteri sendiri dengan sukarela membubarkan Majelis Rendah sebelum masa-tugas empat-tahunnya berakhir, yang berarti harus mengadakan pemilihan umum baru. ini pada gilirannya mengharuskan Diet untuk memilih Perdana Meateri baru. Alasan pembubaran Majelis Rendah biasanya adalah untuk n.smanfaatkan suatu situasi yang nampaknya lebih mengunturgkan partainya Perdana Menteri daripada nanti pada akhir masa jabatannya. Kedua majelis memiliki pegawai sendiri dan peraturan tata tertib sendiri. Masing-masing dibagi menjadi 16 komite, mengikuti pembagian dalam kementerian, masing-masing dibagi lagi dalam sub-komite. Komite-komite ini umumnya tidak melakukan penyelidikan atas suatu masalah dan tidak meran-cang undang-undang. Komite memang meloloskan rencana undang-undang menjadi undang-undang sebelum ke sidang pleno majelis dan kadang-kadang merubah rencana undangundang itu. Tetapi tugas utama komite itu adalah menjadi wadah bagi perdebatan antar anggota partai, di mana partai oposisi bisa mempertanyakan, atau melakukan interpelasi terhadap, menteri-menteri atau asisten-asistennya yang mensponsori suatu undang-undang. Majelis Rendah memiliki kekuasaan lebih besar daripada Majelis Tinggi. la bukan hanya memilih Perdana Menteri, tetapi juga bisa menolak keputusan Majelis Tinggi dengan suara mayoritas dua-pertiga. Karena komposisi partai dalam masingmasing majelis selalu kurang lebih sama dan partai yang berkuasa tidak pernah memperoleh suara mayoritas dua-pertiga, situasi itu tidak pernah muncul. Dalam beberapa jenis perundang-undangan Majelis Rendah bisa bertindak tanpa persetujuan Majelis Tinggi. Rencana Anggaran Belanja yang diloloskan oleh Majelis Rendah otomatis akan jadi anggaran resmi kalau dalam waktu 30 hari Majelis Tinggi tidak membuat keputusan. Ini juga berlaku untuk ratifikasi perjanjian inter-nasional. Tetapi perubahan konstitusi memerlukan suara dua-pertiga anggota kedua majelis dan kemudian mayoritas suara dalam referendum nasional. Karena itu tidak mengherankan kalau selama ini tidak pernah ada amandemen terhadap konstitusi, seperti halnya Konstitusi Meiji yang tidak pernah mengalami perubahan. 104 2). Lembaga Eksekutif Cabang eksekutif pemerintah dipimpin oleh Perdana Menteri dan Kabinet yang dipilihnya. Kabinet terdiri atas 12 Menteri dan beberapa pimpinan badan yang ditunjuk oleh Menteri sebagai Menteri-tanpa-portofolio (Menteri yang tidak memimpin kementerian atau departemen). Masing-masing kementerian dianggap memiliiki kedudukan yang berbeda. Kementerian Keuangan, yang ber-tanggung jawab atas masalah anggaran, punya kedudukan paling tinggi, dan Kementerian Luarnegeri selalu penting, sedang MITI atau Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri telah menjadi sangat besar sejak Perang Dunia II karena peranan kuncinya dalam pembangunan ekonomi. Menteri-menteri, termasuk direktur-direktur badan di bawah kementerian, adalah politisi anggota partai mayoritas dalam Diet. Begitu juga satu atau dua wakil menteri disetiap kementerian, atau wakil direktur di setiap badan, yang tugasnya adalah menjadi penghubung antara birokrasi dan parlemen. Karena menteri-menteri dan direktur-direktur itu memegang jabatannya hanya selama satu atau dua tahun, umumnya tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari kementeriannya itu, apalagi menguasainya secara ketat. Bermula dengan menerapkan sistem kepamongprajaan Jerman pada 1885, Jepang mengembangkan birokrasi yang sangat efisien, berdedikasi, jujur dan profesional. Untuk menduduki jabatan birokrasi seseorang harus menjalani ujian yang ketat. Tradisi Jepang yang sangat mengagungkan karier dalam jabatan pemerintahan mengakibatkan para lulusan terbaik dari sekolah-sekolah Jepang cenderung untuk masuk ke dalam birokrasi, sehingga birokrasi menjadi korps yang berprestise tinggi. Para birokrat tingkat tinggi kebanyakan adalah lulusan Universitas Tokyo. Sekali diterima dalam birokrasi, seorang birokrat baru memiliki jaminan karier-panjang dan dinaikkan pangkatnya kurang-lebih secara rutin berdasar senioritas. Yang paling pandai dalam setiap tingkatan umur diberi kesempatan untuk menduduki jabatan tertinggi yang terbuka untuk tingkatan tersebut. Prestise yang tinggi, profesionalisme dan kebebasan relatif para birokrat tinggi itu membuat mereka memiliki peran besar dalam pemerintahan. Sebagian besar rancangan undang-undang dibuat oleh birokrasi, bukan oleh parlemen seperti di Amerika Serikat. Kebanyakan undang-undang dibuat secara umum, sehingga dalam 105 penerapannya nanti masih memerlukan penafsiran oleh birokrasi. Dalam hal penerapan kebijaksanaan ini ia tidak banyak diganggu oleh badan pengadilan maupun badan-badan lain. Jadi, birokrasi Jepang memainkan peranan sangat penting dari sejak merancang sampai menerapkan kebijaksanaan. Dibawah level nasional, ada dua tingkatan pemerintahan yaitu; 47 prefektur atau daerah administrasi setingkat propinsi, dan level setingkat kota dan kabupaten sebanyak lebih dari 3000 buah. Jabatan Gubernur dan Walikota adalah 4 tahun dan dapat dipilih untuk satu periode berikutnya, melalui pemilhan langsung. 3). Lembaga Yudisial Konstitusi Jepang menetapkan bahwa lembaga pengadilan sebagai lembaga independen, merupakan cabang dari pemerintahan. Sistem peradilan Jepang adalah tersentralisir, dan dipusatkan dibawah Mahkamah Agung (MA). MA adalah penguasa terakhir dari berbagai hal yang berhubungan dengan penginterpretasian hukum dan sistem pengadilan. Semua hakim dibawah MA ditugaskan oleh kabinet dari usulan MA untuk periode 10 tahun dan dapat dipilih kembali. 4). Sistem Kepartaian Dan Perubahan Konteks Kompetisi Politik Betapapun sempurnanya mekanisme pemerintahannya, suatu sistem politik masih harus membuktikan efisiensi kerjanya. Ini memerlukan tiga hal. Pertama, ia harus efektif dalam membuat keputusan politik yang penting dan dalam memelihara ketertiban. Kedua, ia harus bisa membuat rakyatnya merasa ikut ber-partisipasi dan, paling tidak dalam demokrasi, benar-benar ikut berpartisipasi secara bermakna dalam proses pembuatan-keputusan. Ketiga, ia harus bisa mengendalikan proses politik melalui sistem umpan-balik sehingga memungkinkannya untuk menanggapi rangsangan dari luar akibat perubahan atdu munculnya kondisi baru. Betapapun pentingnya sikap terhadap wewenang, kunci partisipasi rakyat dalam negara demokrasi adalah suatu.-sistem pemilihan yang bernmakna, Semua warganegara berumur 20 tahun atau lebih memiliki hak untuk memilih anggota dewan perwakilan kotamadya dan prefektur, walikotamadya, gubernur prefektur, dan anggota kedua majelis dalam Diet, yang kemudian memilih Perdana Menteri. 106 Orang Jepang melakukan kewajibannya sebagai pemilih dengan serius. Seperti para pemiliih di kebanyakan negara demokrasi maju lainnya, banyak dart mereka yang.sinis mengenai hasil pemilihan umum dan sangat kritis terhadap politisi. Sebagian besar pemilih tidak mau mengikatkan diri dengan salah satu par-tai. Mereka menekankan status sebagai kelompok bebas. Sekalipun begitu, sebagian besar mereka ikut memilih. Untuk pemilihan tingkat nasional rata-rata 75 persen dari penduduk yang berhak memilih mempergunakan hak pilihnya. Persentase orang mempergunakan hak pilihnya lebih tinggi di pedesaan daripada di kota; persentase paling tinggi adalah dalam pemiihan dewan perwakilan lokal di daerah pedesaan, di mana para calon lebih mungkin untuk dikenal secara pribadi dan issuenya lebih langsung dirasakan. Sesudah 1945 partai-partai kiri itu hidup lagi. Para pemimpin komunis yang keluar dari penjara, pulang dari pengasingan di Uni Soviet dan Cina membentuk Partai Komunis yang legal. Sedang Partai Massa Sosial muncul lagi dengan nama Partai Sosialis. Tetapi perbedaan-perbedaan di dalam gerakan sosialis seperti tahun 1920-an masih tetap ada. Pada tahun 1950-an terjadi perpecahan antara sayap kanan dan sayap kiri, dan Januari 1960 bagian dari sayap kanan yang lebih moderat memisahkan diri dan membentuk Partai Sosialis Demokrat. Keadaan sulit sesudah perang juga menyebabkan timbulnya partai-partai baru, tetapi yang paling bertahan adalah Komeito (kadang-kadang disebut Partai PemerintaVian Bersih), yang berkembang secara bertahap sejak 1955 sampai pada 1964 memperoleh bentuknya yang sekarang. Partai ini luar biasa karena lahir dari bagian politik dart organisasi keagamaan Soka Gakkai, sebuah sekte Budha. Belakangan ini muncul partai-partai sempalan, tetapi pengaruh jangka panjang mereka masih diragukan. Tahun 1976 beberapa anggota muda Partai Demokrasi Liberal dalam Diet meninggalkan partainya dan membentuk Kclom-pok Liberal Baru. Tahun 1978 sekelompok kecil kaum sosialis meninggalkan partainya dan membentuk Partai Demokrasi Sosial Bersatu. Partai Demokrasi Liberal (LDP) sangat kuat di pedesaan. la dikenal sebagai partai petani, tetapi akhir-akhir ini pengaruh petani dalam partai itu menurun karena jumlah petani di seluruh Jepang memang merosot. Partai ini juga dikenal sebagai 107 partai para pengusaha besar, yang disebut zaikai (dunia keuangan). Ini karena LDP adalah yang paling konservatif dan pro-bisnis, yang memberikan kepemimpinan ekonomi yang berhasil, dan karena sebagian besar dukungan keuangan datang dari para pengusaha besar. Seperti halnya serikat buruh, para pengusaha juga boleh memberi sumbangan keuangan pada partai politik. Tetapi LDP tidak bisa mengandalkan dukungan kaum usahawan dan petani saja untuk memenangkan pemilihan umum. Untuk itu ia harus mencari dukungan dari rakyat umumnya dengan meyakinkan mereka bahwa ia adalah partai yang paling mampu untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan. Daya tarik paling kuat dari partai ini adalah pragmatisme para politisinya. Mereka ini sekilu sittp untuk menerirna peranan pemerintah yang besar dalam mengatur bisnis atau menjalankan kebijaksanaan yang bersifat "negara kesejahteraan" (sesuatu yang bertentangan dengan orientasi partai konservatif), asal saja tindakan yang diambil itu nampak populer dan praktis. Nyatanya, dilema dan frustrasi yang dialami partai-partai oposisi adalah akibat dari kesigapan LDP untuk mengambil alih kebijaksanaankebijaksanaan partai oposisi yang paling populer di mata rakyat dan yang paling mungkin dijalankan, sambil menunjukkan citra sebagai satu-satunya partai yang memiliki pengalaman praktis yang akan membuatnya mampu untuk menjalankan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu secara efektif. Patai Sosialis sangat tergantung pada serikat-serikat buruh dalam hal dukungan keuangan, suara dan kepemimpinan. Terutama sekali, partai ini tergantung pada Sohyo, federasi buruh terbesar, yang memiliki lebih dari 4,5 juta anggota. Serikat-serikat buruh dalam Sohyo umumnya terdiri dari pegawai negeri dan pekerja administratif, seperticjuru dan pegawai rendahan dalam pemerintahan nasional maupun daerah, yang cenderung merupakan kelompok radikal dalam gerakan perburuhan, karena cara terbaik untuk mencapai tujuan mereka adalah dengan mempengaruhi pemerintah secara langsung. Partai Sosialis Demokrat banyak tergantung pada Dome/, sebuah federasi buruh dengan anggota 2 juta lebih, kebanyakan adalah buruh kasar darf perusahaanperusahaan swasta. Mereka ini membentuk sayap yang lebih moderat dalam gerakan perburuhan, dengan memusatkan perhatian pada upaya tawar-menawar (bargaining) tentang upah dan kondisi kerja dengan majikan-majikan swasta dan dengan 108 menghindari pemogokan yang mengganggu karena takut akan merugikan kemampuan bersaing perusahaan tempat mereka bekerja, di mana mereka biasanya bekerja seumur hidup. Komeito memperoleh sebagian besar dukungan dari anggota Soka Gakkai. Mereka ini umumnya penduduk berpenghasilan-rendah di kota yang, karena tidak punya kaitan dengan perusahaan besar atau instansi-instansi lain yang ber-prestise, masuk ke dalam agama itu sebagai cara untuk mendapatkan identitas kelompok. Sebagai partai oposisi, Komeito umumnya mengambil sikap kiri menentang LDP, tetapi anggotanya sebetulnya lebih konservatif, yaitu penduduk kota yang kurang terdidik, lebih kolot dan tradisional. Partai Komunis mendasarkan diri pada serikat-serikat buruh tertentu dan sekelompok kaum komunis yang kecil tetapi teguh, Karena pengorganisasiannya yang ketat dan efisien, partai ini juga mampu menarik dukungan dari banyak pemilih-bebas (floating voters) di kota-kota metropolitan yang, walaupun belum tentu tertarik pada kebijaksanaan Partai Komunis, menggunakan partai untuk menyuarakan protes terhadap kondisi kehidupan kota yang tidak menyenang-kan. Beberapa pemilih-bebas di kota juga mendukung Komeito karena partai agama ini juga dianggap rapi organisasinya dan efektif. Kaum konservatif, yang sejak 1955 dipersatukan dalam Partai Demokrasi Liberal, telah mendominasi kehidupan politik sejak berakhirnya Perang Dunia II. Dominasi ini hanya disela oleh dua kabinet koalisi Sosialis antara Mei 1947 sam-pai Oktober 1948. Dominasi oleh LDP yang lama ini men-jengkelkan partai-partai lain dan memaksa mereka untuk bersikap sebagai oposisi tanpa-kompromi. Beberapa orang menyebut politik Jepang bukan sebagai sistem dua-partai, tetapi sistem "satusetengah partai". Latar belakang Marxis dari sebagian besar partai oposisi telah rhemperlebar jurang-beda antara mereka dengan LDP. Dan kenangan tentang penindasan terhadap kaum kiri sebelum dan selama Perang Dunia II telah menimbulkan prasangka dan permusuhan yang mendalam terhadap partai yang memerintah itu. Jadi, perpecahan yang serius telah berkembang dalam kehidupan politik sesudah perang antara kaum konservatif yang diwakili LDP yang sedang memerintah dengan kaum yang disebut progresif dalam partai-partai oposisi. Konfrontasi ini terutama sekali terjadi pada tahun-tahun awal scsudah berakhirnya pendudukan Amerika dan baru mulai mereda pada awal 1970-an. 109 5). Proses Pembuatan Keputusan Bangsa Jepang secara tradisional lebih menyukai konsensus, sedapat mungkin, daripada keputusan berdasar mayoritas-sederhana. Mereka menunjuk-kan kecenderungan ini disegala segi kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam perusahaan-perusahaan besar, di mana keputusan biasanya dibuat sesudah kon-sultasi yang lama antara berbagai lapisan kepemimpinan dan bukan hanya oleh beberapa eksekutif puncak. Hal yang sama terjadi dalam pemerintahan dan dalam keseluruhan proses politik. Inti dari organ-organ pembuatan keputusan politik terdiri dari birokrasi dan Diet, atau lebih tepat lagi partai yang berkuasa. Bukanlah pekerjaan yang mudah bagi kedua badan ini, dan unsur-unsur di dalam keduanya, untuk membuat ran-cangan undang-undang yang akan memperoleh dukungan mayoritas Diet dan lolos menjadi undang-undang. Satu organ kunci dalam hal ini adalah Komite Penelitian Urusan Kebijaksanaan dalam Partai Demokrasi Liberal. Komite ini memiliki 17 bagian yang sesuai dengan pembagian urusan utama dalam birokrasi, dan di bawah ini terdapat 55 panitia (pada tahun 1978) yang menangani issue-issue penting yang dituntut oleh kelompok-kelompok penekan tertentu. Anggota Partai Demokrasi Liberal dalam Diet menjadi anggota dari dua dari bagian-bagian itu, tetapi boleh menghadiri rapat panitia mana saja yang di-ingininya, dan dengan demikian bisa mempengaruhi pembuatan keputusan na-sional pada tingkat paling bawah ini dalam setiap bidang perundang-undangan yang mereka minati. Berbagai kementerian dan badan mengajukan rancangan undang-undang. Tetapi RUU ini sebelumnya telah melalui proses konsultasi intra-kementerian secara intensif dan, jika perlu, melalui proses perundingan antar-kementerian, di samping juga sesudah memperhatikan pendapat yang berpengaruh dalam Diet dan pendapat masyarakat umum. Proses serupa terjadi dalam Komite Penelitian Urusan Kebijaksanaan. Bagian-bagian dan panitia-panitia dalam Komite ini (yang mencerminkan kepentingan anggota partainya dalam Diet dan dengan memperhatikan keinginan para pendukung partai) mengajukan pendapat mereka sendiri mengenai perundang-undangan itu. Sesudah perundingan-perundingan yang teliti antara bagian-bagian birokrasi dan bagian-bagian Komite yang bersangkutan maka lahirlah RUU itu, yang kemudian masih menjalani proses pembahasan, penelaahan dan perubahan yang memakan waktu lama. 110 RUU pertama kali harus memperoleh persetujuan Komite Penelitian secara keseluruhan dan kemudian Dewan Eksekutif partai. Dari sini RUU itu dibawa ke Biro Legislatif di bawah Kabinet untuk melihat kalau-kalau masih ada masalah birokratis di dalamnya. RUU itu kemudian siap untuk disetujui oleh kabinet dan diajukan ke Diet, di mana dijamin akan didukung oleh partainya dan karenanya berkemungkinan besar menjadi undang-undang. Para pemilih di Jepang memang mempengaruhi proses pembuatan keputusan politik melalui pemilihan anggota Diet dan, pada tingkat lebih rendah, anggota pemerintahan daerah. Tetapi masyarakat umum itu juga mempengaruhi jalannya pemerintahan dengan cara lebih langsung. Di seluruh masyarakat Jepang terdapat kelompok-kelompok kepentingan atau penekan khusus yang berusaha mempengaruhi keputusan-keputusan politik yang mengenai mereka. Sebuah kelompok yang sangat kuat dan rapi organisasinya memiliki pengaruh begitu besar sehingga selalu menarik perhatian khusus. Bahkan beberapa pengamat merasa bahwa kelompok ini termasuk dalam lingkungan-utama pembuat keputusan dalam sistem politik Jepang. Kelompok ini adalah kelompok para pengusaha besar, atau zaikai. Kelompok ini diintegrasikan secara ketat melalui sejumlah organisasi, yang paling utama adalah Keindanren (Him-punan Organisasi Ekonomi). Para pengusaha besar sangat berperanan dalam membangun industri Jepang sesudah perang. Karena keikutsertaan mereka dalam pembuatan kebijaksanaan ekonomi sejak 1950-an kehidupan politik Jepang sering digambarkan sebagai dikuasai oleh kekuatan segitiga yang terdiri dari Partai Demokrasi Liberal, birokrasi dan zaikai. Fakta-fakta bahwa kebanyakan mereka tinggal di Tokyo, lulus dari Universitas Tokyo, terlibat dalam hubungan perkawinan di antara mereka, dan kecenderungan beberapa birokrat untuk masuk ke dalam dunia bisnis atau politik sesudah pensiun, ini semua nam-pak memperkuat penggambaran itu. Tetapi model segitiga kekuasaan (The Iron Triangle) itu tidak sepenuhnya benar. Hal itu hanya terjadi dalam masalah-masalah pertumbuhan ekonomi industri, yang merupakan kepentingan zaikai. Tetapi dalam bidang inipun model itu tidak lagi menggambarkan kenyataan sejak 1970-an. Ketika pertumbuhan ekonomi menimbulkan masalah-masalah polusi dan urbanisasi yang parah, kepentingan politisi LDP dan para birokrat mulai bertentangan dengan kepentingan para pengusaha besar. Dalam menanggapi tuntutan masyarakat, para politisi dan birokrat semakin 111 berkepentingan dengan kebijaksanaan pengendalian polusi, kualitas hidup, jaminan sosial dan masalah-masalah yang bertentangan dengan tujuan pertumbuhan ekonomi yang dikejar oleh para pengusaha itu. Zaikai memang masih merupakan kelompok penekan yang paling berpengaruh, tetapi ia sekarang hanyalah salah satu dari banyak kelompok penekan. Kelompok-kelompok penekan terdapat di hampir semua segi kehidupan masyarakat Jepang. Melalui koperasi, para petani Jepang berhasil mempengaruhi banyak kebijaksanaan pemerintah, yang terpenting adalah keberhasilan memperoleh suatu sistem dukungan atau subsidi harga barang pertanian. Federasi buruh juga merupakan kelompok penekan yang kuat, walaupun mereka selalu bermusuhan dengan LDP dan lebih banyak mempengaruhi partai-partai oposisi. Kelompokkelompok lain yang lebih kecil seperti organisasi profesi dokter, dokter gigi dan sebagainya memiliki pengaruh terbatas, tetapi tetap penting. Seperti juga halnya dengan berbagai kelompok kepentingan yang tidak semata-mata ekonomik. Ada berbagai cara yan dipakai oleh kelompok-kelompok penekan untuk mempengaruhi jalannya pemerintahan. Pertama, melalui shingikai (dewan penasehat) yang ada di sebagian besar kementerian dan badan pemerintah. Anggota shingikai adalah para ahli atau anggota masyarakat umum yang bekepentingan yang diharapkan untuk memberi nasehat yang berkaitan dengan perundang-undangan. Lebih penting lagi, kelompok penekan itu juga memelihara hubungan langsung dengan bagian-bagian Komite Penelitian Urusan Kebijaksanaan dan cabang-cabang birokrasi, di samping juga dengan anggota Diet secara pribadi. Cara lain lagi adalah dengan melakukan demonstrasi. Peranan media massa, terutama surat kabar, yang sangat besar karena orang Jepang adalah pembaca yang tekun dan konsumen berita dalam segala bentuk. Ada tujuh jaringan televisi yang meliputi seluruh negeri. Ratusan majalah mingguan dan bulanan tersebar di seluruh negeri. Tetapi koran adalah penyampai berita yang paling besar dan pembentuk opini masyarakat yang paling berpengaruh. Ada tiga koran harian na-sional dengan oplah lebih dari 5 juta, dan dua lagi yang lebih kecil. Ada empat koran harian regional dengan oplah masing-masing 1 juta. Semuanya memelihara standard pemberitaan yang tinggi. 112 Sebagian besar koran-koran sangat bangga menjadi penerbitan yang secara politik netral. Mereka berpendapat mengenai politik, dan dengan demikian mempengaruhi opini publik. Banyak dari kehidupan politik Jepang, terutama yang dibicarakan datem Diet, ditentukan oleh kekhawatiran atau harapan tentang bagaimana cara koran-koran itu memberitakannya. Karena ini akan menentukan sikap masyarakat dan pemilihan umum yang akan datang. Satu segi yang luar biasa dari media massa Jepang adalah apa yang disebut Klub Pers (Press Club), yaitu suatu kelompok wartawan dari berbagai koran, majalah, televisi dan kantor berita yang memusatkan perhatian pada satu cabang pemerintahan, partai atau politisi terkemuka tertentu. Klub-klub ini memelihara hubungan khusus dengan lembaga-lembaga atau orang-orang itu, yang hasilnya adalah pengetahuan yang jauh lebih mendalam tentang bidang-bidang tertentu daripada yang mungkin dicapai oleh wartawanwartawan di negeri-negeri lain. Bersama dengan peranan kelompok penekan dan bentuk-bentuk partisipasi langsung lain, media massa Jepang memungkinkan sistem politik Jepang memperoleh "umpan balik" yang luar biasa besar. Hal terakhir ini membuat sistem politik Jepang tumbuh sehat. Perbandingan Politik Indonesia Dan Jepang Dari aspek historis pembentukan lembaga-lembaga politik baik di Indonesia ataupun Jepang sebelum tahun 1945, keduanya mengadopsi dari negara- negara yang telah ada terlebih dahulu. Di Indonesia keberadaan lembaga politik seperti partai politik maupun lembaga perwakilan sudah ada sejak jaman kolonial Belanda, partai didirikan sebagai gerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan, sedangkan lembaga perwakilan didirikan oleh pemerintah kolonial adalah untuk kepentingan mereka. Sebaliknya di Jepang partai politik dan lembaga perwakilan dibentuk berdasarkan pertimbangan untuk mengantisipasi perkembanggan Jepang modern untuk mengejar ketinggalan dari negara barat (Restorasi Meiji). Hal ini terlihat adanya perbedaan yang sangat besar dari proses terbentuknya kelembagaan politik. Dari aspek bentuk Negara terdapat persamaan dimana bentuk negara kesatuan menjadi landasan utama bukan berarti bahwa terdapat sistem sentralisasi yang kaku, seperti pada negara-negara berideologi Komunis, tetapi baik Jepang, maupun indonesia menganut prinsip otonomi dan desentralisasi, terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan didaerah baik level setingkat Propinsi maupun level 113 Kabupaten dan Kota. Tetapi terdapat perbedaan dalam bentuk pemerintahan dimana di Indonesia Republik dan Presidensiil sementara Jepang Monarkhi Konstitusional dan Parlementer. Dinamika Kepartaian, Baik Indonesia dan Jepang sejak tahun 1945 (setelah PD II) bersifat multipartai sistem. Terjadinya perpecahan dalam partai mengakibatkan terbentuknya partai baru, tetapi juga sebaliknya terdapatnya kesamaan kepentingan menyebabkan terjadinya fusi/partai bergabung membentuk partai baru, contoh Partai Liberal Demokrat (LDP) di Jepang Adalah merupakan gabungan dari Partai Liberal dan Partai Demokrat (Tahun 1955), berdirinya Partai Liberal baru adalah akibat perpecahan dalam LDP (tahun 1976). Demikian pula di Indonesia berdirinya Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) adalah pecahan dari PDI (Pemilu 1999), sementara PDI adalah gabungan dari partai-nasional dan partai-partai kristen (Pemilu 1977). Kaitan dengan dinamika kepartaian diatas bahwa di Jepang dan di Indonesia pernah mengalami apa yang dinamakan “partai dominan” yang menguasai mayoritas lembaga legislatif seperti Golkar pada masa Orde baru (tahun 1971-1997) begitu mendominasi kursi di DPR dibandingkan dengan partai politik lainnya. Di jepang keberadaan LDP sejak tahun 1955-1993 menunjukan hal yang sama. Hal ini mengakibatkan ketimpangan dalam perumusan dan pengambilan keputusan/kebijakan yang cenderung hanya mengakomodir kepentingan kelompok mayoritas di parlemen. Tetapi juga dengan terjadinya perubahan politik terkait dengan kondisi kedewasaan politik masyarakat kondisi “partai dominan” ini mulai ditinggalkan. Dalam proses pembuatan kebijakan baik di Jepang maupun di Indonesia keduanya sangat mengandalkan birokrasi, hal ini karena birokrasi memiliki penguassan teknis dan informasi serta pengalaman yang lebih akan kebijakan yang ada hubungannya dengan masyarakat (Kebijakan Publik), walaupun pembahasan dan penetapannya menggunakan mekanisme politik tetapi proses penyusunan dan penelitian dalam pembahasan melibatkan tenaga-tenaga birokrat yang handal. Kondisi di Indonesia birokrasi cenderung tidak dapat melepaskan diri dari politik, dimana terdapat intervensi politik yang kuat dari politisi terhadap birokrasi terutama dalam penetapan jabatan, yang kadang meninggalkan prinsip profesionalitas, sebaliknya birokrat cenderung memanfaatkan politisi untuk memantapkan kedudukanya dalan 114 jabatan birokrasi. Sebaliknya di Jepang walaupun jabatan kepala Departemen/ direktur/ eksekutif lembaga pemerintah dari politisi tetapi mereka sangat menjaga profesionalisme birokrasi. Kondisi birokrasi yang kuat di Jepang dibuktikan dengan tidak terpengaruhnya kondisi politik yang labil, sering terjadinya pertikaian antar politisi partai tidak mempengaruhi kinerja birokrasi. Sebaliknya di Indonesia kondisi politik yang labil sangat mempengaruhi kinerja birokrasi. DAFTAR P U S T A K A Almond, Gabbriel, A, G. Bingham.powel, JR., 1996. Comparative Polotics Today A World View, Sixth Editions., Harper Collin Publishers., New York Asshiddiqie, Jimli., 2003. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD-1945, Makalah Pada Seminar Bada Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI. Budiardjo, Miriam., 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi., Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hauss, Charles., 2003. Comparative Politics Domestic Responses to Global Challenges, Fourth Edition, Wadswourth Publishing Mas’oed, Mochtar, Colin, Mac.Andrews., Ed. Perbandingan Sistem Politik, Cetakan Keempat., UGM Press. Yogyakarta 115