INDONESIA DAN JEPANG DALAM PERSPEKTIF PERBANDINGAN

advertisement
INDONESIA DAN JEPANG
DALAM PERSPEKTIF PERBANDINGAN POLITIK
Oleh:
Moris Adidi Yogia, S.Sos, M.Si
Abstract
Every country
in the world model has characteristics that the political
system it self. Characteristics is determined by the needs, ideology, value factors
that grow and develop in a country. In fact, some countries have a political
system model “born” and “develop” based on a long historical experience
in accordance with the existing situation, but the other part of the adopted
model the political system existin previously and are considered more
suitable
for comparison, comparative political is how we can find similarities and
differences, advantage and disadvantages, from a certain political system,
and in terms of how a country can utilize the system for political progress and
the country and can face global challenges.
Keyword: comparative politics, globalization, and ideology.
PENDAHULUAN
Pada hakekatnya perbandingan politik mengandung pengertian bagaimana
kita dapat menemukan persamaan dan perbedaan, kelebihan dan kekurangan, dari
suatu sistem politik tertentu, kemudian dalam kaitan dengan bagaimana suatu negara
dapat memanfaatkan sistem politiknya untuk kemajuan negaranya dan dan dapat
menghadapi tantangan global dewasa ini.
Dalam kaitannya dengan hal ini, pada hakekatnya setiap negara di dunia
memiliki karakteristik model sistem politik yang tersendiri. Karakteristik itu ditentukan
oleh kebutuhan, ideologi, faktor nilai yang tumbuh dan berkembang didalam suatu
negara. Kenyataannya, sebagian negara memiliki madel sistem politik yang “lahir”
dan “berkembang” berdasarkan pengalaman historis yang panjang sesuai dengan
keadaan yang ada, tetapi sebagian lainnya mengadopsi sebagian model-model sistem
85
politik yang sudah ada lebih dahulu dan dianggap cocok untuk digunakan.
Pengadopsian ini dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu: (1) Pola sistem politik
sebagai warisan dari suatu sistem kolonial yang kuat; (2) Pengadopsian dilakukan
sebagai upaya untuk mendapatkan keberhasilan pembangunan sosial dan ekonomi
yang sama dengan negara yang diadopsi.
Namun demikian kondisi riil yang terjadi adalah, sistem politik di beberapa
negara tertentu berhasil dalam menunjang pembangunan sosial ekonominya,
sementara sebagian lagi sampai saat belum dapat memperoleh kemajuan yang berarti.
Perbedaan keberhasilan ini yang menjadi stimulan mengapa studi perbandingan politik
muncul. Mengapa negara tertentu berhasil membangun sistem politik yang kuat dan
dapat menunjang kemakmuran, sementara itu ada negara yang mengalami kondisi
sistem politik yang kurang kuat tetapi pembangunan ekonomi dan sosial sangat pesat,
tetapi juga terdapat negara yang lemah dalam sistem politik dan terbelakang dalam
pembangunan ekonomi dan sosialnya. Sehingga dengan demikian perbandingan
politik pada hakekatnya ditujukan untuk mendapatkan konsep model sistem politik
yang ideal yang dapat memberikan nilai positif bagi kepentingan pembangunan negara.
Tulisan ini mencoba untuk mengkaji sistem politik Jepang dan Indonesia
dari perspektif perbandingan politik, fokus utama adalah perkembangan sistem
kepartaian dan perumusan kebijakan, selain itu menelaah bagaimana lembagalembaga politik yang ada dapat berfungsi. Tiap negara membentuk rule of gamenya masing-masing untuk bagaimana kekuasaan dapat berjalan dalam negara.
Alasan pemilihan tema adalah, Jepang merupakan negara berbentuk kerajaan
yang memiliki kemajuan yang pesat dalam bidang ekonomi dan industri sehingga
dapat menunjang pembangunan jepang secara keseluruhan, tetapi dalam politik
jepang memiliki dinamika politik yang unik, dimana kondisi politik yang tidak stabil
tidak berpengaruh terhadap pembangunan bidang yang lain terutama bidang ekonomi
dan indusri. Tetapi sebaliknya di Indonesia kondisi politik yang tidak stabil dapat
berpengaruh terhadap pembangunan nasional, terutama bidang ekonomi dan sosial.
Eksplorasi terhadap Negara Jepang digali dari Gabriel A. Almond &
G. Bingham Powell, JR dalam Bukunya Comparative Politics Today: A World View,
1996. Dan beberapa buku lain yang berhubungan dengan tema tulisan ini.
86
POLITIK DI INDONESIA DAN JEPANG
Deskripsi Politik Indonesia
Negara Indonesia merupakan negara yang berpenduduk terbesar keempat
di dunia. Komposisi penduduknya sangat beragam, baik dari suku bangsa, etnisitas,
anutan agama, maupun dari segi-segi lainnya. Wilayahnya pun sangat luas, terdiri
atas lebih dari 17.000-an pulau besar dan kecil, dan sebagian terbesar terpencil dari
kehidupan ramai. Kompleksitas dan keragaman itu sangat menentukan peta
konfigurasi kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat, sehingga tidak dapat
dihindari keharusan berkembangnya sistem multi-partai dalam sistem demokrasi yang
hendak dibangun. Agar peta konfigurasi kekuatan-kekuatan politik dalam masyarakat
tersebut dapat disalurkan dengan sebaik-baiknya menurut prosedur demokrasi
(procedural democracy),
Lembaga-lembaga politik (Supra Struktur Politik)
1). Lembaga Kepresidenan ( Eksekutif )
Republik Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil dimana kepala
negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh satu orang/lembaga Presiden. Secara
historis bahwa Indonesia pernah menganut sistem pemerintahan parlementrer, tetapi
dirasakan tidak sesuai dengan keberadaan kondisi Indonesia pada masa itu.
Keuntungan sistem presidentil justru lebih menjamin stabilitas pemerintahan. Sistem
ini juga dapat dipraktekkan dengan tetap menerapkan sistem multi-partai yang dapat
mengakomodasikan peta konfigurasi kekuatan politik dalam masyarakat yang
dilengkapi pangaturan konstitusional untuk mengurangi dampak negatif atau
kelemahan bawaan dari sistem presidentil tersebut.
Dalam sistem ini, terdapat lima prinsip penting, yaitu:
1.
Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggara
kekuasaan eksekutif negara yang tertinggi di bawah Undang-Undang Dasar.
Dalam sistem ini tidak dikenal dan tidak perlu dibedakan adanya kepala negara
dan kepala pemerintahan. Keduanya adalah Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggungjawab
politik berada ditangan Presiden (concentration of power and responsibility
upon the President).
87
2.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan karena itu
secara politik tidak bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat atau lembaga parlemen, melainkan bertanggungjawab langsung kepada
rakyat yang memilihnya.
3.
4.
Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawabannya
secara hukum apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran
hukum konstitusi. Dalam hal demikian, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
dituntut pertanggungjawaban oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk disidangkan
dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, yaitu sidang gabungan antara Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Namun, sebelum
diberhentikan, tuntutan pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden yang
didasarkan atas tuduhan pelanggaran atau kesalahan, terlebih dulu harus
dibuktikan secara hukum melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi.
Jika tuduhan bersalah itu dapat dibuktikan secara hukum oleh Mahkamah
Konstitusi, barulah atas dasar itu, MPR bersidang dan secara resmi mengambil
putusan pemberhentian.
Para Menteri adalah pembantu Presiden, Menteri diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden dan karena bertanggung-jawab kepada Presiden, bukan dan
tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Kedudukannya tidak tergantung
kepada parlemen. Disamping itu, para Menteri itulah yang pada hakikatnya
merupakan para pemimpin pemerintahan dalam bidang masing-masing. Karena
itu, kedudukannya sangat penting dalam menjalankan roda pemerintahan;
5.
Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem
presidentil sangat kuat sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin stabilitas
peerintahan, ditentukan pula bahwa masa jabatan Presiden lima tahunan tidak
boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan. Di samping
itu, beberapa badan atau lembaga negara dalam lingkungan cabang kekuasaan
eksekutif ditentukan pula independensinya dalam menjalankan tugas
utamanya. Lembaga-lembaga eksekutif yang dimaksud adalah Bank Indonesia
sebagai bank sentral, Kepolisian Negara dan Kejaksaan Agung sebagai
aparatur penegakan hukum, dan Tentara Nasional Indonesia sebagai aparatur
pertahanan negara. Meskipun keempat lembaga tersebut berada dalam ranah
eksekutif, tetapi dalam menjalankan tugas utamanya tidak boleh dipengaruhi
oleh kepentingan politik pribadi Presiden. Untuk menjamin hal itu, maka
pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur Bank Indonesia, Kepala Kepolisian Negara, Jaksa Agung, dan Panglima Tentara Nasional
Indonesia hanya dapat dilakukan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan
dari Dewan Perwakilan Rakyat. Pemberhentian para pejabat tinggi pemerintahan
88
tersebut tanpa didahului dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat hanya
dapat dilakukan oleh Presiden apabila yang bersangkutan terbukti bersalah
dan karena itu dihukum berdasarkan vonis pengadilan yang bersifat tetap karena
melakukan tindak pidana menurut tata cara yang diatur dengan Undang-Undang.
Indonesia adalah negara yang berbentuk Negara Kesatuan (unitry state).
Kekuasaan asal berada di pemerintah pusat. Namun kewenangan (authority)
pemerintah pusat ditentukan batas-batasnya dalam Undang-Undang Dasar atau
Undang-Undang ditentukan sebagai kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah
daerah. Hubungan-hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah
Daerah Propinsi serta pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota, tidak diatur
berdasarkan asas
dekonsentrasi, melainkan hanya didasarkan atas asas otonomi
atau desentralisasi dan tugas perbantuan (medebe win). Dengan ketentuanketentuan konstitusional demikian, berarti Negara Kesatuan Republik Indonesia
diselenggarakan dengan pengaturan antar daerah yang
tidak seragam antara satu
sama lain. Dalam hubungan antara pusat dan daerah atau daerah propinsi dengan
kabupaten/kota dimungkinkan adanya pola hubungan yang bersifat khusus seperti
propinsi Papua. Pengaturan demikian dimaksud untuk menjamin agar seluruh bangsa
Indonesia benar-benar bersatu dengan keragaman dalam bingkai Negara Kesatuan.
Prinsip keadilan antar pusat dan propinsi dan daerah kabupaten/kota juga makin
terjamin. Otonomi dan kebebasan rakyat dihadapan jajaran pemerintah pusat dan
daerah juga makin tumbuh dan berkembang sesuai prinsip demokrasi. Untuk itu,
susunan Negara Kesatuan dengan pengaturan yang bersifat khusus atau otonomi
khusus dikembangkan sebagaimana mestinya dengan memperhatikan perbedaan
tingkat kemampuan antar daerah diseluruh Indonesia. Karena itu, pelaksanaan
otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan yang memungkinkan adanya
pengaturan khusus berupa daerah otonomi khusus itu hendaklah dilaksanakan secara
sistematis
dan
bertahap,
daerah-daerah
yang
belum
atau
tidak
dapat
melaksanakannya, perlu diberi kesempatan mempersiapkan diri.
Daerah-daerah juga tidak perlu memaksakan diri untuk secepat mungkin
menerapkan kebijakan otonomi daerah yang seluas-luasnya dengan meninggalkan
sama sekali atau mengabaikan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintah daerah
berdasarkan asas dekonsentrasi. Pemerintah pusat bertanggungjawab menyukseskan
pelaksanaan otonomi daerah yang dilakukan secara bertahap itu. Disamping itu,
89
meskipun susunan pemerintahan bersifat desentralistis, tetapi pemerintah pusat tetap
memiliki kewenangan koordinasi antar daerah propinsi, dan pemeritah daerah
propinsi memiliki kewenangan koordinasi antar daearah kabupaten/kota sebagaimana
mestinya.
2). Lembaga Legislatif
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Semula, Majelis Permusyawaratan Rakyat kita dirancang untuk diubah
menjadi nama ‘genus’ dari lembaga perwakilan rakyat atau parlemen Indonesia
yang terdiri atas dua kamar dewan. Kamar pertama disebut Dewan Perwakilan
Rakyat, dan kamar kedua disebut Dewan Perwakilan Daerah. Sebagai perbandingan,
prinsip yang sama dapat kita temukan dalam konstitusi Amerika Serikat yang
mementukan bahwa semua kekuasaan legislatif ada di Kongres yang terdiri atas
‘The House of Representatives and Senate’. Memang, anggota senat bisa disebut
Senator
sedangkan
anggota
Dewan
Perwakilan
Rakyat
atau
‘House
of
Representatives’ biasa disebut ‘Congressman’. Akan tetapi, sesungguhnya, baik
anggota Senat maupun anggota DPR Amerika Serikat itu sama-sama merupakan
anggota Kongres . Akan halnya nanti dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Daerah, pada hakikatnya mereka adalah anggota
MPR, tetapi secara sendiri-sendiri mereka juga dapat dibedakan antara anggota
DPR atau anggota DPD. Demikian pula dalam konstitusi Kerajaan Belanda dikatakan
bahwa kekuasaan legislatif berada di ‘Staten Generaal’ yang terdiri atas “Eerste
Kamer en Tweede Kamer”. Keanggotaan dalam masing-masing kamar parlemen
Belanda ini tidaklah mengurangi pengertian bahwa pada hakikatnya mereka juga
anggota ‘Staten Generaal’.
Namun demikian, setelah
perubahan Keempat UUD 1945, keberadaan
MPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu memang telah
mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi keberadaannya tetap ada
sehingga sistem yang kita anut tidak dapat disebut sistem bikameral ataupun satu
kamar, melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme), perubahanperubanan
mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia itu memang telah terjadi
mengenai hal-hal sebagai berikut.
90
Pertama, susunan keanggotaan MPR berubah secara struktural karena
dihapuskannya keberadaan Utusan Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan
fungsional (functional representation) dari unsur keanggotaan MPR. Dengan
demikian, anggota MPR hanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yang mencerminkan prinsip perwakilan politik (political representation) dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah
(regional representatif).
Kedua, bersamaan dengan perubahan yang bersifat struktural tersebut, fungsi
MPR juga mengalami perubahan mendasar (perubahan fungsional). Majelis ini tidak
lagi berfungsi sebagai ‘supreme body’ yang memiliki kewenangan tertinggi dan
tanpa kontrol, dan karena itu kewenangannyapun mengalami perubahan-perubahan
mendasar. Sekarang, setelah diadakannya perubahan UUD 1945, kewenangan MPR
berubah menjadi: a) menetapkan Undang-Undang Dasar dan/atau Perubahan UUD,
b) Melantik Presiden dan Wakil Presiden, c). Memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden, serta d). Menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden pengganti
sampai terpilihnya Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya.
Ketiga, diadopsi
prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power)
secara tegas antara fungsi legistatif dan eksekutif dalam perubahan pasal 5 ayat (1)
juncto pasal 20 ayat (1) dalam perubahan pertama UUD 1945 yang dipertegas lagi
dengan tambahan pasal 20 ayat (5) perubahan kedua UUD 1945. Dalam perubahanperubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan
membentuk Undang-Undang
berada di tangan DPR, meskipun Presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif
tetap diakui haknya untuk mengajukan sesuatu rancangan Undang-Undang. Dengan
perubahan ini berarti UUD 1945 tidak lagi menganut sistem MPR berdasarkan
prinsip ‘Supremasi parlemen’ dan sistem pembagian kekuasaan (distribution of
power) oleh lembaga tertinggi MPR ke lembaga-lembaga negara di bawahnya.
Keempat, diadopsinya prinsip pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam
satu paket secara langsung oleh rakyat dalam ketentuan pasal 6A ayat (1) perubahan
ketiga UUD 1945 yang sekaligus dimaksud untuk memperkuat dan mempertegas
anutan sistem pemerintahan presidential dalam UUD 1945. Dengan sistem pemilihan
langsung oleh rakyat itu, maka konsep dan sistem pertanggungjawaban Presiden
tidak lagi dilakukan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi juga langsung
91
kepada rakyat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam hubungannya dengan
pengorganisasian kedaulatan rakyat, kedaulatan yang ada ditangan rakyat itu,
sepanjang menyangkut fungsi legislatif, dilakukan oleh MPR yang terdiri atas dua
kamar dewan, sedangkan dalam bidang eksekutif dilakukan oleh Presiden dan Wakil
Presiden sebagai satu paket kepemimpinan eksekutif yang dipilih langsung oleh
rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dulu dikenal sebagai lembaga tertinggi
negara, dimasa depan berubah menjadi nama dari lembaga perwakilan rakyat
Indonesia yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah
yang secara bersama-sama kedudukannya sederajat dengan Presiden dan Wakil
Presiden, serta dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
b. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca Perubahanan Keempat, fungsi
legislatif berpusat di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini jelas terlihat dalam
rumusan pasal 20 ayat (1) yang baru yang menyatakan: “Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Selanjutnya dinyatakan:
“setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama. Rancangan Undang-Undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan DPR masa itu”. Kemudian dinyatakan pula” Presiden mengesahkan
rancangan Undang-Undang yang telah mendapat disetujui bersama untuk menjadi
Undang-Undang” (ayat 4), dan “dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah
disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak
rancangan Undang-Undang tersebut disetujui, rancangan Undang-Undang tersebut
sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”.
Dari ketentuan pasal 20 itu dapat dipahami bahwa: Pertama, lembaga
legislasi atau legislator adalah DPR, bukan Presiden dan apalagi DPD; Kedua,
Presiden adalah lembaga yang mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah
mendapat persetujuan bersama dalam rapat paripurna DPR resmi menjadi UndangUndang; Ketiga, rancangan Undang-Undang yang telah resmi sah menjadi UndangUndang wajib diundangkan sebagaimana mestinya; Keempat, setiap rancangan
Undang-Undang dibahas bersama untuk mendapat persetujuan bersama antara DPR
dan Presiden dalam persidangan DPR. Dalam hal rancangan Undang-Undang berasal
dari
inisiatif DPR, maka Institusi DPR sebagai satu kesatuan akan berhadapan
92
dengan Presiden sebagai satu kesatuan institusi yang dapat menolak usul inisiatif
DPR itu seluruhnya ataupun sebagian materinya. Dalam hal demikian maka
rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPR itu tidak dapat lagi diajukan
dalam persidangan DPR masa itu. Posisi Presiden dan DPR dalam hal ini dapat
dikatakan saling berimbang. Di satu pihak, dalam proses pembahasan materi
rancangan Undang-Undang, posisi Presiden/pemerintah lemah karena harus
berhadapan dengan DPR sebagai satu kesatuan institusi. Dalam hal ini, Presiden
tidak dapat lagi memanfaatkan dukungan partai politiknya sendiri yang ada di DPR
untuk mendukung
kebijakan
Pemerintah mengenai materi rancangan Undang-
Undang yang sedang dibahas. Akan tetapi, dipihak lain, Presiden/Pemerintah
mempunyai posisi yang kuat karena dapat mem-‘veto’ dengan cara menolak untuk
memberikan persetujuan atas sesuatu materi ataupun keseluruhan materi UndangUndang yang bersangkutan. Kelima, dalam hal rancangan Undang-Undang itu
datang dari Presiden, maka seperti terhadap rancangan Undang-Undang inisiatif
DPR, pembahasannya pun dilakukan secara bersama-sama untuk mendapatkan
persetujuan
bersama. Dalam hal ini, yang berhak menolak seluruhnya ataupun
sebagiannya adalah DPR sebagai institusi. Jika rancangan itu ditolak seluruhnya
oleh DPR, maka rancangan Undang-Undang itu juga tidak dapat lagi diajukan
dalam persidangan DPR masa yang bersangkutan. Dalam forum pengambilan
putusan oleh DPR dapat terjadi bahwa sesuatu materi ataupun seluruh materi
rancangan Undang-Undang yang bersangkutan diputuskan dengan pemungutan suara
dapat rapat paripurna DPR. Dalam hal demikian,
Presiden/pemerintah tidak
mempunyai ‘voting rights’ sama sekali. Maka dapat dikatakan bahwa dalam hal
ini DPR mempunyai kedudukan yang lebih kuat daripada Presiden/Pemerintah,
karena
DPR-lah yang memutuskan, bukan Presiden.
rancangan Undang-Undang itu, tidak
Jika sebagian materi
mendapat persetujan DPR berarti materi
yang bersangkutan harus dikeluarkan dari rancangan Undang-Undang yang
bersangkutan, dan secara a contrario, juga tidak dapat diajukan lagi untuk diatur
dengan
atau
dalam Undang-Undang lain dalam persidangan DPR masa itu.
Keenam, setelah suatu rancangan Undang-Undang mendapat persetujuan bersama
yang ditandai oleh pengesahannya dalam rapat paripurna DPR, maka rancangan
Undang-Undang yang bersangkutan secara substantif atau secara material telah
menjadi Undang-Undang,
tetapi belum mengikat umum karena belum disahkan
oleh Presiden serta diundangkan sebagaimana mestinya.
93
Karena, RUU yang telah mendapat persetujuan dalam rapat paripurna DPR
itu secara materiel tidak dapat diubah meskipun Presiden tidak menyetujui isinya.
RUU akan berubah menjadi resmi mengikat umum semata-mata karena (a) faktor
pengesahan oleh Presiden dengan cara menandatangani naskah Undang-Undang
itu, dan (b) faktor tenggang waktu 30 hari sejak pengambilan keputusan atas
rancangan Undang-Undang tersebut dalam rapat paripurna DPR. Dengan demikian,
secara materiel, proses pembentukan Undang-Undang telah selesai (final) dengan
telah diambilnya putusan dalam rapat paripurna DPR yang mengesahkan rancangan
Undang-Undang yang telah dibahas bersama. Karena itu, dapat dibedakan adanya
dua instansi pengesahan suatu rancangan Undang-Undang, yaitu pengesahan materiel
oleh DPR dan pengesahan formil oleh Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 ayat (4) UUD 1945. Tindakan pengesahan materiel itu dilakukan melalui
pengembilan putusan akhir oleh DPR atas suatu rancangan Undang-Undang dalam
persidangan atau rapat paripurna DPR, sedangkan tindakan pengesahan formil
dilakukan oleh Presiden dengan cara membubuhkan tandatangan pada bagian akhir
naskah Undang-Undang. Selanjutnya, atas perintah Presiden, Undang-Undang yang
bersangkutan diundangkan dengan cara menempatkannya dalam registrasi Lembaran
Negara dengan memberikan nomer registrasi dan pembuatan salinan oleh Sekretaris
Negara, dan penerbitan Lembaran Negara yang bersangkutan sebagaimana mestinya.
c. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Keberadaan Dewan Perwakilan
Daerah menurut ketentuan UUD 1945
pasca perubahan juga banyak dikritik orang. Lembaga ini semula didesain sebagai
kamar kedua parlemen Indonesia di masa depan. Akan tetapi, salah satu ciri
bikameralisme yang dikenal di dunia ialah apabila kedua-dua kamar yang dimaksud
sama-sama menjalankan fungsi legislatif sebagaimana seharusnya. Padahal, jika
diperhatikan DPD sama sekali tidak mempunyai kekuasaan apapun dibidang ini.
DPD hanya memberikan masukan pertimbangan, usul, ataupun saran, sedangkan
yang berhak memutuskan adalah DPR, bukan DPD.
Karena itu, keberadaan DPD
di samping DPR tidak dapat disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang lazim.
Selama ini dipahami bahwa jika kedudukan kedua kamar itu di bidang legislatif
sama kuat, maka sifat bikameralismenya disebut ‘strong becameralism’, tetapi jika
kedua tidak sama kuat, maka disebut ‘soft becameralism’. Akan tetapi, dalam
pengaturan UUD 1945 pasca perubahan Keempat, bukan saja bahwa struktur yang
94
dianut tidak dapat disebut sebagai ‘strong becameralism’ yang kedudukan keduanya
tidak sama kuatnya, tetapi bahkan juga tidak dapat disebut sebagai ‘soft
becameralism’ sekalipun.
3). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Selain lembaga-lembaga negara diatas, negara kita masih memiliki Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) yang juga berkaitan dengan fungsi pengawasan,
khususnya berkenaan dengan pengelolaan keuangan Negara. Karena itu, kedudukan
kelembagaan Badan Pemeriksa Keuangan ini sesungguhnya berada dalam ranah
kekuasaan legislatif, atau sekurang kurangnya berhimpitan dengan fungsi pengawasan
yang dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, laporan hasil
pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan itu harus dilaporkan
atau disampaikan kepada DPR untuk ditindak lanjuti sebagaimana mestinya.
4). Mahkamah Agung (MA) Dan Mahkamah Konstitusi (MK)
Sebelum adanya Perubahan UUD,
kekuasaan
kehakiman atau fungsi
yudikatif (judicial) hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada
mahkamah agung. Lembaga Mahkamah Agung tersebut, sesuai dengan prinsip
‘independent of judiciary’ diakui bersifat mendiri dalam arti tidak boleh diintervensi
atau dipengeruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Prinsip
kemerdekaan hakim ini selain diatur dalam Undang-Undang pokok kekuasaan
kehakiman, juga tercantum dalam penjelasan pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan
bahwa kekuasaan kehakiman tidak boleh dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan
lain. Namun, setelah perubahan ketiga UUD 1945 disahkan, kekuasaan kehakiman
negara kita mendapat tambahan satu jenis mahkamah lain yang berada di luar
mahkamah agung. Lembaga baru tersebut mempunyai kedudukan yang setingkat
atau sederajad dengan Mahkamah Agung. Sebutannya adalah Mahkamah Konstitusi
(constitutional court) yang dewasa ini makin banyak negara yang membentuknya di
luar kerangka Mahkamah Agung (supreme court). Dapat dikatakan Indonesia
merupakan negara ke-78 yang mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah
Konstitusiyang berdiri sendiri ini, setelah Austria pada tahun 1920, Italia pada tahun
1947 dan Jerman pad tahun 1948.
95
Dalam perubahan ke tiga Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi
ditentukan memiliki lima kewenangan, yaitu: (a) melakukan pengujian atas
konstitusionalitas
Undang-Undang;
(b)
mengambil
putusan
atau
sengketa
kewenangan antar lembaga negara yang ditentukan menurut Undang-Undang Dasar;
(c) mengambil putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum ataupun mengalami
perubahan sehingga secara hukum tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden menjadi terbukti dan karena itu dapat dijadikan alasan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
dari jabatannya; (d) memutuskan perkara perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan
umum, dan (e) memutuskan perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik.
Mahkamah Konstitusi beranggotakan 9 orang yang memiliki integritas, dan
memenuhi persyaratan kenegarawanan, serta latar belakang pengetahuan yang
mendalam mengenai masalah-masalah ketatanegaraan. Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggotanya sendiri yang berasal dari 3
orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 orang yang ditentukan oleh
Mahkamah Agung, dan 3 orang ditentukan oleh Presiden. Seseorang yang berminat
untuk menjadi hakim konstitusi, dipersyaratkan harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Dengan komposisi
dan kualitas anggotanya yang demikian. Diharapkan bahwa Mahkamah Konstitusi itu
kelak akan benar-benar bersifat netral dan independen serta terhindar dari
kemungkinan memihak kepada salah satu dari ketiga lembaga negara tersebut.
Selain kedua badan kekuasaan kehakiman tersebut ada lagi satu lembaga baru
yang kewenangannya ditentukan dalam UUD, yaitu komisi Yudisial. Dewasa ini,
banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju mengembangkan lembaga
komisi Yudisial (judicial commisions) semacam ini dalam lingkungan peradilan dan
lembaga-lembaga penegak hukum lainnya maupun di lingkungan organ-organ
pemerintahan pada umumnya. Meskipun lembaga baru ini tidak menjalankan
kekuasaan kehakiman, tetapi keberadaannya diatur dalam UUD 1945 Bab IX tentang
Kekuasaan Kehakiman, karena itu, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari
kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 24B ditegaskan: (1) Komisi Yudisial bersifat
mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai
96
kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keleluhuran
martabat, serta perilaku hakim; (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai
pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela; (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan
diberhentikn oleh Presiden dengan persetujuan DPR; (4) Susunan, kedudukan dan
keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-Undang.
5). Badan Dan Lembaga Eksekutif yang Bersifat Independen
Selain
lembaga-lembaga
negara
seperti
tersebut
di
atas,
bentuk
keorganisasian banyak negara modern dewasa ini juga mengalami perkembanganperkembangan yang sangat pesat, khususnya berkenaan dengan inovasi-inovasi baru
yang tidak terelakkan. Perkembanganperkembangan baru itu juga terjadi di Indonesia
di tengah keterbukaan yang muncul bersamaan dengan gelombang demokratisasi di
era reformasi empat tahun terakhir. Pada tingkatan pertama, muncul kesadaran yang
makin kuat bahwa badan-badan negara tertentu seperti organisasi Tentara, organisasi
Kepolisian dan Kejaksaan Agung, serta Bank Sentral harus dikembangkan secara
independen. Independensi lembaga-lembaga ini diperlukan untuk kepentingan
menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih efektif. Dari
keempatnya, yang sekarang ini telah menikmati kedudukan yang independen adalah
organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara (POLRI) dan Bank
Indonesia sebagai bank sentral. Sedangkan Kejaksaan Agung sampai sekarang belum
ditingkatkan kedudukannya menjadi yang independen.
Pada tingkat kedua, juga muncul perkembangan berkenaan dengan lembagalembaga khusus seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM),
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman, Komisi Persaingan Usaha
Pemberantasan Korupsi (KPPU), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara (KPKPN), Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR), dan lain sebagainya, jika nanti, Undang-Undang tentang
Penyiaran jadi disahkan, akan ada pula komisi baru lagi, yaitu Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) yang juga bersifat independen. Di bidang administrasi dan pelaporan
transaksi keuangan dibentuk pula lembaga baru yang bernama Pusat dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) yang juga ditentukan bersifat independen. Selain itu,
ada pula komisi yang dibentuk hanya dengan Keputusan Presiden, misalnya, Komisi
Hukum Nasional (KHN).
97
Komisi-komisi atau lembaga-lembaga semacam ini selalu diidealkan bersifat
independen dan seringkali memiliki fungsi-fungsi yang bersifat campursari, yaitu
semi legislatif dan regulatif, semi-administratif, dan bahkan semi yudikatif. Bahkan,
dalam kaitan itu muncul pula istilah ‘independent and self regulatory bodies’ yang
juga berkembang di banyak negara. Karena itu, keberadaan lembagalembaga seperti
ini di Indonesia dewasa ini, betapapun juga, perlu didudukkan pengaturannya dalam
kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia Modern, dan sekaligus dalam kerangka
pengembangan sistem hukum nasional yang lebih menjamin keadilan dan demokrasi
di masa yang akan datang.
Infra Stuktur Politik
1). Partai Politik Dan Sistem Kepartaian
Di Indonesi Partai Politik telah merupakan bagian dari kehidupan politik
selama lebih kurang seratus tahun. Miriam Budiardjo (2008) Umumnya dianggap
bahwa partai politik adalah sekelompok manusia terorganisir, yang anggotaanggotanya sedikit banyak mempunyai orientasi nilai-nilai serta cita-cita yang sama,
dan yang mempunyai tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik serta
mempertahankannya guna melaksanakan program yang telah ditetapkan.
Di Indonesia kita terutama mengenal sistem multi-partai, sekalipun kemudian
berlaku berdasarkan tiga orsospol dapat dikategorikan sebagai multi partai sistem
dengan dominasi satu partai. Tahun 1998 mulai masa Reformasi, Indonesia kembali
ke sistem multi partai (tanpa dominasi satu partai).
Partai politik berkembang jauh sebelum Indonesia merdeka, sejak zaman
pemerintahan kolonial Belanda, zaman pendudukan Jepang. Setelah Indonesia
merdeka tahun 1945, mulailah patai politik banyak berdiri guna mendukung upaya
pembangunan bangsa, terlebih pada masa sistem pemerintahan parlementer.
Pemilihan umum tahun 1955 merupakan awal bagi partai politik untuk secara
riil melakukan “unjuk kekuatan” dengan berupaya memenangkan pemilu tersebut,
tercatat ada 100 tanda gambar partai dan dari hasil pemilu itu menghasilkan empat
partai bersar yang meraih kursi di DPR, yaitu PNI (57 kursi), Masyumi (57 kursi),
NU (45 kursi), dan PKI (39 kursi), selebihnya partai-partai kecil.
98
Melalui masa demokrasi terpimpin terjadi penyederhanaan jumlah partai
menjadi 10 partai, melalui Penpres No.7/1959 berintikan pencabutan Maklumat
pemerintah 3 Nopember 1945. Masa demokrasi terpimpin ini berakhir dengan
“jatuhnya” Soekarno dari tampuk kekuasaan.
Masa orde baru pemilu diselenggarakan 6 kali, yaitu tahun 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, dan 1997. Yang menjadi catatan pada periode ini adalah terjadinya
proses fusi partai politik menjadi hanya tiga orsospol, yaitu; Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) merupakan afiliasi dari partai-partai Islam, Golongan Karya
(Golkar) yang menjadi pilar orde baru, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang
merupakan afiliasi dari partai-partai nasionalis dan keristen. Golongan Karya
merupakan partai dominan, bahkan menjadi mayoritas tunggal selama masa orde
baru, seolah-olah PPP dan PDI hanya merupakan pelengkap bagi tetap eksisnya
sistem multi partai.
Dengan berakhirnya pemerintahan orde baru (ditandai dengan turunya
Soeharto dari tampuk kekuasaan tahun 1998) berakhir pula dominasi Golkar dalam
pemilu. Pada masa Reformasi ini ditandai dengan berdirinya banyak partai mencapai
ratusan buah, tetapi melaui pemilu 1999 hanya diikuti oleh 48 partai, termasuk
Golkar yang menjadi Partai Golkar. PDI-P meraih kursi terbanyak (153), Partai
Golkar (120), PPP (58), PKB (51), PAN (34), dan PBB (13), sementara partai-partai
yang lain hanya sedikit. Menjelang pemilu 2004 partai yang tidak mendapatkan suara
yang memadai tidak dapat
mengikutu pemilu selnjutnya, mereka harus
menyesuaikan diri dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pemunculan
partai-partai baru pada pemilu tahun 2004 dan terkait dengan pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden secara langsung membuat dinamika kepartaian di Indonesia semakin
kompleks dan khas. Partai Golkar meraih suara terbanyak (128 kursi), selanjutnya
berturut-turut diikuti oleh PDI-P (109 kursi), PKB (52 kursi), PPP (58 kursi), Partai
Demokrat (57 kursi), PKS (45 kursi), dan PAN (25 kursi). Pemilihan Presiden secara
langsung untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia dimenangkan oleh calon dari
Partai Demokrat (didukung oleh PKS, PKPI, dll). Masa reformasi ini Indonesia
masih mencari bentuk yang dianggap sesuai dengan kondisi yang ada. Menjelang
pemilu tahun 2009 ini akan diikuti oleh 38 partai politik nasional dan 4 partai politik
lokal Aceh. Hal ini merupakan sesuatu yang baru dalam perpolitikan di Indonesia.
99
2). Organisasi Kemasyarakatan
Penataan infra struktur sistem politik nasional selain terkait dengan sistem
kepartaian, juga berkenaan dengan sistem keorganisasian masyarakat. UU tentang
Organisasi Kemasyarakatan yang dibentuk di masa Orde Baru sebagai instrumen
untuk mengendalikan dan membatasi kebebasan orang untuk berserikat dan
berorganisasi dan dipaksa untuk berasas tunggal, sudah tidak dapat lagi
dipertahankan. UU keormasan dan juga UU partai politik sekarang cenderung
melarang adanya afiliasi antara organisasi kemasyarakatan dengan partai politik.
Meskipun motivasi pelarangan ini nampak baik, tetapi hal itu menyebabkan partai
politik menghadapi kesulitan untuk akrab dengan rakyat. Padahal, untuk dekat
dengan rakyat, partai politik harus mengembangkan aneka kegiatan sosial dan
sebagainya. Mengapa partai harus dilarang mempunyai sayap kegiatan panti asuhan,
misalnya keberadaan organ sayap kegiatan sosial dan kemanusiaan seperti itu justru
dapat mendorong partai politik berhubungan akrab dengan konstituennya masingmasing.
Sudah tentu organisasi kemasyarakat non-partisan perlu diperkuat dan
mendapat perhatian yang diprioritaskan oleh pemerintah. Pemerintah sebaiknya
ditentukan dilarang memberikan bantuan kepada organ-organ ormas yang berafiliasi
kepada partai. Akan tetapi, partai tidak perlu dilarang mengembangkan sayap
ormasnya masing-masing asalkan transparan. Di orde baru, meskipun resminya
dilarang, tetapi banyak ormas yang secara terselubung merupakan organ partai
politik dan mendapat bantuan besar dari dana pemerintah (APBN). Hal ini tidak
boleh terjadi lagi di masa depan. Karena itu, partai politik sebaiknya diizinkan
mengembangkan organisasi afiliasi, tetapi dilarang mendapatkan bantuan dari dana
APBN.
Selain itu, sama
seperti kultur yang perlu dikembangkan dilingkungan
partai politik, prinsip ‘rule of law’,
‘rule of the game’ dan kultur demokrasi
perlu dibudayakan di dalam lingkungan organisasi kemasyarakatan. Karena itu,
infra struktur konstitusi organisasi berupa Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga, serta infra struktur kode etik organisasi perlu ditegakkan dengan sebaikbaiknya.
Untuk
itu,
mekanisme
Dewan
Kehormatan
internal
organisasi
kemasyarakatan hendaknya dapat dikembangkan menjadi mekanisme yang
mentradisi di setiap lingkungan
organisasi kemasyarakatan di tanah air kita. Untuk
100
itu, disamping memperbarui sistem hukum kepartaian, sebaiknya pemerintah segera
mengambil
inisiatif
untuk
memperbarui
pula
sistem
hukum
organisasi
kemasyarakatan di tanah air.
Kelembagaan Politik Kerajaan Jepang
a. Tinjauan umum
Jepang (bahasa Jepang: Nippon/Nihon dengarkan, secara harfiah: "asalmuasal matahari") adalah sebuah negara di Asia Timur yang terletak di suatu rantai
kepulauan benua Asia di ujung barat Samudra Pasifik. Jepang disebut Nippon atau
Nihon dalam bahasa Jepang. Sebutan Nippon sering digunakan dalam urusan resmi,
sedangkan Nihon biasanya digunakan dalam urusan tidak resmi seperti pembicaraan
harian. Kata Nippon dan Nihon berarti "negara matahari terbit". Nama ini berasal dari
utusan resmi negara China, dan merujuk kepada kedudukan relatif Jepang di sebelah
timur benua Asia. Sebelum itu, Jepang dikenal sebagai Yamato. Wa digunakan di
negara China pada zaman Tiga Negara. Kata Jepang dalam bahasa Indonesia
diturunkan dari kata Jepun, berasal dari bahasa Kanton, yang membawa sebutan Yat
Pun. Sebutan resmi Jepang dalam bahasa Jepang ialah Nipponkoku atau Nihonkoku, yang
berarti "negara Jepang".
Area daratan jepang lebih kecil dibandingkan dengan negara bagian Montana
di Amerika Serikat, sebagian besar wilayahnya adalah pegunungan. Secara sederhana
dapat disetarakan dengan negara bagian Connecticut. Jumlah penduduk tahun 2006
derjumlah 127.665.345 jiwa, merupakan negara berpenduduk ke-7 terbanyak
didunia. Dengan populasi yang demikian Jepang telah menjadi negara ekonomi
terkemuka didunia.
Keajaiban ekonomi Jepang dapat dilacak sejak adanya Restorasi Meiji pada
tahun 1868, berintikan transformasi dari masyarakat feodal kearah masyarakat
modern berdasarkan pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
pembentukan lembaga-lembaga politik baru mengadopsi dari Eropa yang lebih
dahulu maju. Hasil upaya melalui proses transformasi ini terlihat pada bagaimana
Jepang dapat mengembangkan industrinya dengan pesat dibuktikan dengan
terlibatnya Jepang dalam upaya imperialisme dengan merebut wilayah China, Korea,
dan mengalahkan Rusia dalam peperangan awal abad ke-19. Selanjutnya pada perang
101
dunia II, Jepang semakin memperlihatkan keunggulannya dibandingkan negara lain
diwilayah Asia, walaupun akhirnya Jepang menyerah kepada sekutu tahun 1945.
Era baru Jepang dimulai sejak berakhirnya perang dunia II, dimana Jepang harus
mengikuti keinginan sekutu dalam hal ini Amerika Serikat, untuk menjadi negara
Demokratis melalui konstitusi tahun 1946, dengan sistem monarkhi konstitusional.
Lembaga lembaga politik baru, walaupun namanya diadopsi dari lembaga zaman
restorasi Meiji tetapi lebih berfungsi sebagai lembaga politik di negara-negara barat.
b. Mekanisme Dan Proses Politik
1). Diet
Diet adalah pusat kegiatan politik Jepang (lihat Bagan 1). Mengambang
dengan tidak jelas di atasnya adalah tokoh simbolik Kaisar, dan staf birokrasinya.
Tetapi Diet-lah yang paling berkuasa, yang menurut konstitusi adalah "organ negara
paling tinggi" dan "satu-satunya organ pembuat hukum". Perpindahan kedaulatan
dari Kaisar ke rakyat, berdasar konstitusi 1947, sangat memukul pemimpin
konservtif kolot. Menurut Konstitusi Meiji, Kaisar bukan hanya pemegang semua
kedaulatan, tetapi juga sebagai tokoh yang "suci dan tak-teringkari" yang menerima
wewenangnya dari "garis keturunan yang berasal dari masalalu yang tak terbatas".
Menurut konstitusi baru, ia tak lebih dari "lambang negara dan kesatuan bangsa".
Rakyat Jepang umumnya maupun keluarga kekaisaran tidak atau tidak banyak
menyesali dalam melakukan penyesuaian itu. Definisi baru itu sekedar menyatakan
apa yang selama berabad-abad senyatanya berlaku.
Diet bukan hanya satu-satunya sumber hukum di Jepang, tetapi ia juga berhak
memilih Perdana Menteri. Secara teoritis, kedua dewan dalam Diet bersama-sama
memilih calon dari kalangan anggota mereka, tetapi karena Ma-jelis Rendah harus
dimenangkan kalau terjadi ketidaksepakatan, maka kenyata-annya hanya dewan
inilah yang memilih Perdana Menteri, yang sejauh ini selalu dari kalangan anggotanya
sendiri. Perdana Menteri memilih anggota-anggota kabinet lainnya, tetapi karena
Perdana Menteri dipilih oleh Diet, yang bisa memilih perdana menteri baru setiap
saat, maka ia tidak memiliki kekuasaan yang bebas untuk memilih anggota kabinetnya
seperti halnya Presiden Amerika. Nyatanya memang Perdana Menteri dan Kabinetnya
adalah sekedar komite eksekutif yang bekerja atas nama Diet.
102
Seperti Konggres Amerika Serikat, kedua dewan dalam Diet memiliki cara
pemilihan dan masa tugas yang berbea. Separuh dari anggota Majelis Tinggi yang
berjumlah 252 orang dipilih setiap tiga tahun untuk masa tugas enam tahun. Dari
jumlah seluruhnya, 100 dipilih sccara nasional. Yang 152 dipilih dari setiap prefektur
(seperti propinsi) yang jumlahnya 47. Prefektur yang paling kecil memilih satu
councilor setiap kali pemilihan dan prefektur yang paling banyak penduduknya
memilih empat. Perbedaan jumlah councilor per propinsi, yaitu paling sedikit 2 dan
paling banyak 4, sering tidak menggambarkan jumlah penduduk yang sebenarnya.
Prefektur yang berpenduduk paling banyak merasa kurang ter-wakili dalam Majelis
Tinggi atau House of Councilors ini.
Anggota Majelis Rendah dipilih untuk masa jabatan empat tahun dengan
sistem pemilihan yang dibentuk pada 1925 yang disebut sistern distrik pemilihan
ukuran sedang. Antara 3 sampai 5 calon dipilih dari setiap distrik pemilihan, tetapi
setiap pemilih hanya boleh memilih satu orang calon tertentu, bukan sebuah partai.
Sistem ini unik di antara beberapa negara besar di dunia dan, seperti akan kita lihat
nanti, mempunyai pengaruh yang besar dalam pelaksanaan politik pemilihan di
Jepang. Seperti sistem pemilihan untuk anggota Majelis Tinggi, sistem ini
menghasilkan perwakilan kepentingan yang agak bersifat pro-porsional, karena
kelompok minoritas dimungkinkan untuk memenangkan beberapa kursi. Jadi, calon
yang memperoleh 20 persen suara di suatu distrik yang beranggota lima (artinya
memiliki 5 wakil dalam Majelis Rendah itu -Editor) pasti akan terpilih untuk menjadi
salah satu wakil dari distrik itu dalam Majelis itu. Sistem itu juga membuahkan hasil
yang lebih stabil dibanding sistem lain. Dalam sistem distrik beranggota-satu,
dimana satu distrik hanya diwakili oleh satu orang, perubahan sedikit saja dalam
persentase suara yang diperoleh tetapi terjadi di se-jumlah besar distrik pemilihan
bisa mengakibatkan kemenangan besar-besaran satu kontestan dan kekalahan besarbesaran kontestan yang lain. Dalam sistem Jepang perubahan serupa hanya akan
menghasilkan sedikit perubahan, dengan megurangi, misalnya, kursi yang dikuasai
partai mayoritas dalam distrik beranggota-lima dari 3 menjadi 2.
Jumlah anggota Majelis pada 1925 adalah 466. Pada tahun 1976 berubah
menjadi 511 dipilih dari 130 distrik pemilihan. Majelis Rendah ini jarang menghabiskan
masa-tugas empat-tahunnya. Seperti di Inggris, Majelis Rendah bisa mengajukan
"mosi tidak percaya" pada Perdana Menteri dan memaksanya untuk turun atau
103
membubarkan Majelis Rendah. Pada kenyataannya, ini hanya pernah terjadi dua kali,
yaitu pada 1948 dan 1953. Yang sering terjadi adalah Perdana Menteri sendiri
dengan sukarela membubarkan Majelis Rendah sebelum masa-tugas empat-tahunnya
berakhir, yang berarti harus mengadakan pemilihan umum baru. ini pada gilirannya
mengharuskan Diet untuk memilih Perdana Meateri baru. Alasan pembubaran
Majelis Rendah biasanya adalah untuk n.smanfaatkan suatu situasi yang nampaknya
lebih mengunturgkan partainya Perdana Menteri daripada nanti pada akhir masa
jabatannya.
Kedua majelis memiliki pegawai sendiri dan peraturan tata tertib sendiri.
Masing-masing dibagi menjadi 16 komite, mengikuti pembagian dalam kementerian,
masing-masing dibagi lagi dalam sub-komite. Komite-komite ini umumnya tidak
melakukan penyelidikan atas suatu masalah dan tidak meran-cang undang-undang.
Komite memang meloloskan rencana undang-undang menjadi undang-undang
sebelum ke sidang pleno majelis dan kadang-kadang merubah rencana undangundang itu. Tetapi tugas utama komite itu adalah menjadi wadah bagi perdebatan
antar anggota partai, di mana partai oposisi bisa mempertanyakan, atau melakukan
interpelasi terhadap, menteri-menteri atau asisten-asistennya yang mensponsori suatu
undang-undang.
Majelis Rendah memiliki kekuasaan lebih besar daripada Majelis Tinggi. la
bukan hanya memilih Perdana Menteri, tetapi juga bisa menolak keputusan Majelis
Tinggi dengan suara mayoritas dua-pertiga. Karena komposisi partai dalam masingmasing majelis selalu kurang lebih sama dan partai yang berkuasa tidak pernah
memperoleh suara mayoritas dua-pertiga, situasi itu tidak pernah muncul. Dalam
beberapa jenis perundang-undangan Majelis Rendah bisa bertindak tanpa persetujuan
Majelis Tinggi. Rencana Anggaran Belanja yang diloloskan oleh Majelis Rendah
otomatis akan jadi anggaran resmi kalau dalam waktu 30 hari Majelis Tinggi tidak
membuat keputusan. Ini juga berlaku untuk ratifikasi perjanjian inter-nasional. Tetapi
perubahan konstitusi memerlukan suara dua-pertiga anggota kedua majelis dan
kemudian mayoritas suara dalam referendum nasional. Karena itu tidak
mengherankan kalau selama ini tidak pernah ada amandemen terhadap konstitusi,
seperti halnya Konstitusi Meiji yang tidak pernah mengalami perubahan.
104
2). Lembaga Eksekutif
Cabang eksekutif pemerintah dipimpin oleh Perdana Menteri dan Kabinet
yang dipilihnya. Kabinet terdiri atas 12 Menteri dan beberapa pimpinan badan yang
ditunjuk oleh Menteri sebagai Menteri-tanpa-portofolio (Menteri yang tidak
memimpin kementerian atau departemen). Masing-masing kementerian dianggap
memiliiki kedudukan yang berbeda. Kementerian Keuangan, yang ber-tanggung
jawab atas masalah anggaran, punya kedudukan paling tinggi, dan Kementerian
Luarnegeri selalu penting, sedang MITI atau Kementerian Perdagangan Internasional
dan Industri telah menjadi sangat besar sejak Perang Dunia II karena peranan
kuncinya dalam pembangunan ekonomi. Menteri-menteri, termasuk direktur-direktur
badan di bawah kementerian, adalah politisi anggota partai mayoritas dalam Diet.
Begitu juga satu atau dua wakil menteri disetiap kementerian, atau wakil direktur di
setiap badan, yang tugasnya adalah menjadi penghubung antara birokrasi dan
parlemen. Karena menteri-menteri dan direktur-direktur itu memegang jabatannya
hanya selama satu atau dua tahun, umumnya tidak memiliki kesempatan untuk
mempelajari kementeriannya itu, apalagi menguasainya secara ketat.
Bermula dengan menerapkan sistem kepamongprajaan Jerman pada 1885,
Jepang mengembangkan birokrasi yang sangat efisien, berdedikasi, jujur dan
profesional. Untuk menduduki jabatan birokrasi seseorang harus menjalani ujian
yang ketat. Tradisi Jepang yang sangat mengagungkan karier dalam jabatan
pemerintahan mengakibatkan para lulusan terbaik dari sekolah-sekolah Jepang
cenderung untuk masuk ke dalam birokrasi, sehingga birokrasi menjadi korps yang
berprestise tinggi. Para birokrat tingkat tinggi kebanyakan adalah lulusan Universitas
Tokyo.
Sekali diterima dalam birokrasi, seorang birokrat baru memiliki jaminan
karier-panjang dan dinaikkan pangkatnya kurang-lebih secara rutin berdasar
senioritas. Yang paling pandai dalam setiap tingkatan umur diberi kesempatan untuk
menduduki jabatan tertinggi yang terbuka untuk tingkatan tersebut.
Prestise yang tinggi, profesionalisme dan kebebasan relatif para birokrat tinggi itu
membuat mereka memiliki peran besar dalam pemerintahan. Sebagian besar
rancangan undang-undang dibuat oleh birokrasi, bukan oleh parlemen seperti di
Amerika Serikat. Kebanyakan undang-undang dibuat secara umum, sehingga dalam
105
penerapannya nanti masih memerlukan penafsiran oleh birokrasi. Dalam hal
penerapan kebijaksanaan ini ia tidak banyak diganggu oleh badan pengadilan
maupun badan-badan lain. Jadi, birokrasi Jepang memainkan peranan sangat penting
dari sejak merancang sampai menerapkan kebijaksanaan.
Dibawah level nasional, ada dua tingkatan pemerintahan yaitu; 47 prefektur
atau daerah administrasi setingkat propinsi, dan level setingkat kota dan kabupaten
sebanyak lebih dari 3000 buah. Jabatan Gubernur dan Walikota adalah 4 tahun dan
dapat dipilih untuk satu periode berikutnya, melalui pemilhan langsung.
3). Lembaga Yudisial
Konstitusi Jepang menetapkan bahwa lembaga pengadilan sebagai lembaga
independen, merupakan cabang dari pemerintahan. Sistem peradilan Jepang adalah
tersentralisir, dan dipusatkan dibawah Mahkamah Agung (MA). MA adalah
penguasa terakhir dari berbagai hal yang berhubungan dengan penginterpretasian
hukum dan sistem pengadilan. Semua hakim dibawah MA ditugaskan oleh kabinet
dari usulan MA untuk periode 10 tahun dan dapat dipilih kembali.
4). Sistem Kepartaian Dan Perubahan Konteks Kompetisi Politik
Betapapun sempurnanya mekanisme pemerintahannya, suatu sistem politik
masih harus membuktikan efisiensi kerjanya. Ini memerlukan tiga hal. Pertama, ia
harus efektif dalam membuat keputusan politik yang penting dan dalam memelihara
ketertiban. Kedua, ia harus bisa membuat rakyatnya merasa ikut ber-partisipasi dan,
paling tidak dalam demokrasi, benar-benar ikut berpartisipasi secara bermakna dalam
proses pembuatan-keputusan. Ketiga, ia harus bisa mengendalikan proses politik
melalui sistem umpan-balik sehingga memungkinkannya untuk menanggapi
rangsangan dari luar akibat perubahan atdu munculnya kondisi baru.
Betapapun pentingnya sikap terhadap wewenang, kunci partisipasi rakyat
dalam negara demokrasi adalah suatu.-sistem pemilihan yang bernmakna, Semua
warganegara berumur 20 tahun atau lebih memiliki hak untuk memilih anggota
dewan perwakilan kotamadya dan prefektur, walikotamadya, gubernur prefektur, dan
anggota kedua majelis dalam Diet, yang kemudian memilih Perdana Menteri.
106
Orang Jepang melakukan kewajibannya sebagai pemilih dengan serius. Seperti para
pemiliih di kebanyakan negara demokrasi maju lainnya, banyak dart mereka
yang.sinis mengenai hasil pemilihan umum dan sangat kritis terhadap politisi.
Sebagian besar pemilih tidak mau mengikatkan diri dengan salah satu par-tai.
Mereka menekankan status sebagai kelompok bebas. Sekalipun begitu, sebagian
besar mereka ikut memilih. Untuk pemilihan tingkat nasional rata-rata 75 persen dari
penduduk yang berhak memilih mempergunakan hak pilihnya. Persentase orang
mempergunakan hak pilihnya lebih tinggi di pedesaan daripada di kota; persentase
paling tinggi adalah dalam pemiihan dewan perwakilan lokal di daerah pedesaan, di
mana para calon lebih mungkin untuk dikenal secara pribadi dan issuenya lebih
langsung dirasakan.
Sesudah 1945 partai-partai kiri itu hidup lagi. Para pemimpin komunis yang
keluar dari penjara, pulang dari pengasingan di Uni Soviet dan Cina membentuk
Partai Komunis yang legal. Sedang Partai Massa Sosial muncul lagi dengan nama
Partai Sosialis. Tetapi perbedaan-perbedaan di dalam gerakan sosialis seperti tahun
1920-an masih tetap ada. Pada tahun 1950-an terjadi perpecahan antara sayap kanan
dan sayap kiri, dan Januari 1960 bagian dari sayap kanan yang lebih moderat
memisahkan diri dan membentuk Partai Sosialis Demokrat.
Keadaan sulit sesudah perang juga menyebabkan timbulnya partai-partai baru,
tetapi yang paling bertahan adalah Komeito (kadang-kadang disebut Partai
PemerintaVian Bersih), yang berkembang secara bertahap sejak 1955 sampai pada
1964 memperoleh bentuknya yang sekarang. Partai ini luar biasa karena lahir dari
bagian politik dart organisasi keagamaan Soka Gakkai, sebuah sekte Budha.
Belakangan ini muncul partai-partai sempalan, tetapi pengaruh jangka panjang
mereka masih diragukan. Tahun 1976 beberapa anggota muda Partai Demokrasi
Liberal dalam Diet meninggalkan partainya dan membentuk Kclom-pok Liberal
Baru. Tahun 1978 sekelompok kecil kaum sosialis meninggalkan partainya dan
membentuk Partai Demokrasi Sosial Bersatu.
Partai Demokrasi Liberal (LDP) sangat kuat di pedesaan. la dikenal sebagai
partai petani, tetapi akhir-akhir ini pengaruh petani dalam partai itu menurun karena
jumlah petani di seluruh Jepang memang merosot. Partai ini juga dikenal sebagai
107
partai para pengusaha besar, yang disebut zaikai (dunia keuangan). Ini karena LDP
adalah yang paling konservatif dan pro-bisnis, yang memberikan kepemimpinan
ekonomi yang berhasil, dan karena sebagian besar dukungan keuangan datang dari
para pengusaha besar. Seperti halnya serikat buruh, para pengusaha juga boleh
memberi sumbangan keuangan pada partai politik.
Tetapi LDP tidak bisa mengandalkan dukungan kaum usahawan dan petani
saja untuk memenangkan pemilihan umum. Untuk itu ia harus mencari dukungan
dari rakyat umumnya dengan meyakinkan mereka bahwa ia adalah partai yang paling
mampu untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan. Daya tarik paling kuat dari
partai ini adalah pragmatisme para politisinya. Mereka ini sekilu sittp untuk
menerirna peranan pemerintah yang besar dalam mengatur bisnis atau menjalankan
kebijaksanaan yang bersifat "negara kesejahteraan" (sesuatu yang bertentangan
dengan orientasi partai konservatif), asal saja tindakan yang diambil itu nampak
populer dan praktis. Nyatanya, dilema dan frustrasi yang dialami partai-partai oposisi
adalah akibat dari kesigapan LDP untuk mengambil alih kebijaksanaankebijaksanaan partai oposisi yang paling populer di mata rakyat dan yang paling
mungkin dijalankan, sambil menunjukkan citra sebagai satu-satunya partai yang
memiliki pengalaman praktis yang akan membuatnya mampu untuk menjalankan
kebijaksanaan-kebijaksanaan itu secara efektif.
Patai Sosialis sangat tergantung pada serikat-serikat buruh dalam hal
dukungan keuangan, suara dan kepemimpinan. Terutama sekali, partai ini tergantung
pada Sohyo, federasi buruh terbesar, yang memiliki lebih dari 4,5 juta anggota.
Serikat-serikat buruh dalam Sohyo umumnya terdiri dari pegawai negeri dan pekerja
administratif, seperticjuru dan pegawai rendahan dalam pemerintahan nasional
maupun daerah, yang cenderung merupakan kelompok radikal dalam gerakan
perburuhan, karena cara terbaik untuk mencapai tujuan mereka adalah dengan
mempengaruhi pemerintah secara langsung.
Partai Sosialis Demokrat banyak tergantung pada Dome/, sebuah federasi
buruh dengan anggota 2 juta lebih, kebanyakan adalah buruh kasar darf perusahaanperusahaan swasta. Mereka ini membentuk sayap yang lebih moderat dalam gerakan
perburuhan, dengan memusatkan perhatian pada upaya tawar-menawar (bargaining)
tentang upah dan kondisi kerja dengan
majikan-majikan
swasta dan dengan
108
menghindari pemogokan yang mengganggu karena takut akan merugikan
kemampuan bersaing perusahaan tempat mereka bekerja, di mana mereka biasanya
bekerja seumur hidup.
Komeito memperoleh sebagian besar dukungan dari anggota Soka Gakkai.
Mereka ini umumnya penduduk berpenghasilan-rendah di kota yang, karena tidak
punya kaitan dengan perusahaan besar atau instansi-instansi lain yang ber-prestise,
masuk ke dalam agama itu sebagai cara untuk mendapatkan identitas kelompok.
Sebagai partai oposisi, Komeito umumnya mengambil sikap kiri menentang LDP,
tetapi anggotanya sebetulnya lebih konservatif, yaitu penduduk kota yang kurang
terdidik, lebih kolot dan tradisional.
Partai Komunis mendasarkan diri pada serikat-serikat buruh tertentu dan
sekelompok kaum komunis yang kecil tetapi teguh, Karena pengorganisasiannya
yang ketat dan efisien, partai ini juga mampu menarik dukungan dari banyak
pemilih-bebas (floating voters) di kota-kota metropolitan yang, walaupun belum
tentu tertarik pada kebijaksanaan Partai Komunis, menggunakan partai untuk
menyuarakan protes terhadap kondisi kehidupan kota yang tidak menyenang-kan.
Beberapa pemilih-bebas di kota juga mendukung Komeito karena partai agama ini
juga dianggap rapi organisasinya dan efektif.
Kaum konservatif, yang sejak 1955 dipersatukan dalam Partai Demokrasi
Liberal, telah mendominasi kehidupan politik sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Dominasi ini hanya disela oleh dua kabinet koalisi Sosialis antara Mei 1947 sam-pai
Oktober 1948. Dominasi oleh LDP yang lama ini men-jengkelkan partai-partai lain
dan memaksa mereka untuk bersikap sebagai oposisi tanpa-kompromi. Beberapa
orang menyebut politik Jepang bukan sebagai sistem dua-partai, tetapi sistem "satusetengah partai". Latar belakang Marxis dari sebagian besar partai oposisi telah
rhemperlebar jurang-beda antara mereka dengan LDP. Dan kenangan tentang
penindasan terhadap kaum kiri sebelum dan selama Perang Dunia II telah
menimbulkan prasangka dan permusuhan yang mendalam terhadap partai yang
memerintah itu. Jadi, perpecahan yang serius telah berkembang dalam kehidupan
politik sesudah perang antara kaum konservatif yang diwakili LDP yang sedang
memerintah dengan kaum yang disebut progresif dalam partai-partai oposisi.
Konfrontasi ini terutama sekali terjadi pada tahun-tahun awal scsudah berakhirnya
pendudukan Amerika dan baru mulai mereda pada awal 1970-an.
109
5). Proses Pembuatan Keputusan
Bangsa Jepang secara tradisional lebih menyukai konsensus, sedapat
mungkin, daripada keputusan berdasar mayoritas-sederhana. Mereka menunjuk-kan
kecenderungan ini disegala segi kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam
perusahaan-perusahaan besar, di mana keputusan biasanya dibuat sesudah kon-sultasi
yang lama antara berbagai lapisan kepemimpinan dan bukan hanya oleh beberapa
eksekutif puncak. Hal yang sama terjadi dalam pemerintahan dan dalam keseluruhan
proses politik.
Inti dari organ-organ pembuatan keputusan politik terdiri dari birokrasi dan
Diet, atau lebih tepat lagi partai yang berkuasa. Bukanlah pekerjaan yang mudah bagi
kedua badan ini, dan unsur-unsur di dalam keduanya, untuk membuat ran-cangan
undang-undang yang akan memperoleh dukungan mayoritas Diet dan lolos menjadi
undang-undang. Satu organ kunci dalam hal ini adalah Komite Penelitian Urusan
Kebijaksanaan dalam Partai Demokrasi Liberal.
Komite ini memiliki 17 bagian yang sesuai dengan pembagian urusan utama
dalam birokrasi, dan di bawah ini terdapat 55 panitia (pada tahun 1978) yang
menangani issue-issue penting yang dituntut oleh kelompok-kelompok penekan
tertentu. Anggota Partai Demokrasi Liberal dalam Diet menjadi anggota dari dua dari
bagian-bagian itu, tetapi boleh menghadiri rapat panitia mana saja yang di-ingininya,
dan dengan demikian bisa mempengaruhi pembuatan keputusan na-sional pada
tingkat paling bawah ini dalam setiap bidang perundang-undangan yang mereka
minati. Berbagai kementerian dan badan mengajukan rancangan undang-undang.
Tetapi RUU ini sebelumnya telah melalui proses konsultasi intra-kementerian secara
intensif dan, jika perlu, melalui proses perundingan antar-kementerian, di samping
juga sesudah memperhatikan pendapat yang berpengaruh dalam Diet dan pendapat
masyarakat umum. Proses serupa terjadi dalam Komite Penelitian Urusan
Kebijaksanaan. Bagian-bagian dan panitia-panitia dalam Komite ini (yang
mencerminkan
kepentingan
anggota
partainya
dalam
Diet
dan
dengan
memperhatikan keinginan para pendukung partai) mengajukan pendapat mereka
sendiri mengenai perundang-undangan itu. Sesudah perundingan-perundingan yang
teliti antara bagian-bagian birokrasi dan bagian-bagian Komite yang bersangkutan
maka lahirlah RUU itu, yang kemudian masih menjalani proses pembahasan,
penelaahan dan perubahan yang memakan waktu lama.
110
RUU pertama kali harus memperoleh persetujuan Komite Penelitian secara
keseluruhan dan kemudian Dewan Eksekutif partai. Dari sini RUU itu dibawa ke
Biro Legislatif di bawah Kabinet untuk melihat kalau-kalau masih ada masalah
birokratis di dalamnya. RUU itu kemudian siap untuk disetujui oleh kabinet dan
diajukan ke Diet, di mana dijamin akan didukung oleh partainya dan karenanya
berkemungkinan besar menjadi undang-undang.
Para pemilih di Jepang memang mempengaruhi proses pembuatan keputusan
politik melalui pemilihan anggota Diet dan, pada tingkat lebih rendah, anggota
pemerintahan daerah. Tetapi masyarakat umum itu juga mempengaruhi jalannya
pemerintahan dengan cara lebih langsung. Di seluruh masyarakat Jepang terdapat
kelompok-kelompok kepentingan atau penekan khusus yang berusaha mempengaruhi
keputusan-keputusan politik yang mengenai mereka.
Sebuah kelompok yang sangat kuat dan rapi organisasinya memiliki pengaruh
begitu besar sehingga selalu menarik perhatian khusus. Bahkan beberapa pengamat
merasa bahwa kelompok ini termasuk dalam lingkungan-utama pembuat keputusan
dalam sistem politik Jepang. Kelompok ini adalah kelompok para pengusaha besar,
atau zaikai. Kelompok ini diintegrasikan secara ketat melalui sejumlah organisasi,
yang paling utama adalah Keindanren (Him-punan Organisasi Ekonomi). Para
pengusaha besar sangat berperanan dalam membangun industri Jepang sesudah
perang. Karena keikutsertaan mereka dalam pembuatan kebijaksanaan ekonomi sejak
1950-an kehidupan politik Jepang sering digambarkan sebagai dikuasai oleh
kekuatan segitiga yang terdiri dari Partai Demokrasi Liberal, birokrasi dan zaikai.
Fakta-fakta bahwa kebanyakan mereka tinggal di Tokyo, lulus dari Universitas
Tokyo, terlibat dalam hubungan perkawinan di antara mereka, dan kecenderungan
beberapa birokrat untuk masuk ke dalam dunia bisnis atau politik sesudah pensiun,
ini semua nam-pak memperkuat penggambaran itu.
Tetapi model segitiga kekuasaan (The Iron Triangle) itu tidak sepenuhnya
benar. Hal itu hanya terjadi dalam masalah-masalah pertumbuhan ekonomi industri,
yang merupakan kepentingan zaikai. Tetapi dalam bidang inipun model itu tidak lagi
menggambarkan
kenyataan
sejak
1970-an.
Ketika
pertumbuhan
ekonomi
menimbulkan masalah-masalah polusi dan urbanisasi yang parah, kepentingan
politisi LDP dan para birokrat mulai bertentangan dengan kepentingan para pengusaha
besar. Dalam menanggapi tuntutan masyarakat, para politisi dan birokrat semakin
111
berkepentingan dengan kebijaksanaan pengendalian polusi, kualitas hidup, jaminan
sosial dan masalah-masalah yang bertentangan dengan tujuan pertumbuhan ekonomi
yang dikejar oleh para pengusaha itu. Zaikai memang masih merupakan kelompok
penekan yang paling berpengaruh, tetapi ia sekarang hanyalah salah satu dari banyak
kelompok penekan.
Kelompok-kelompok penekan terdapat di hampir semua segi kehidupan
masyarakat Jepang. Melalui koperasi, para petani Jepang berhasil mempengaruhi
banyak kebijaksanaan pemerintah, yang terpenting adalah keberhasilan memperoleh
suatu sistem dukungan atau subsidi harga barang pertanian. Federasi buruh juga
merupakan kelompok penekan yang kuat, walaupun mereka selalu bermusuhan
dengan LDP dan lebih banyak mempengaruhi partai-partai oposisi. Kelompokkelompok lain yang lebih kecil seperti organisasi profesi dokter, dokter gigi dan
sebagainya memiliki pengaruh terbatas, tetapi tetap penting. Seperti juga halnya
dengan berbagai kelompok kepentingan yang tidak semata-mata ekonomik.
Ada berbagai cara yan dipakai oleh kelompok-kelompok penekan untuk
mempengaruhi jalannya pemerintahan. Pertama, melalui shingikai (dewan penasehat)
yang ada di sebagian besar kementerian dan badan pemerintah. Anggota shingikai
adalah para ahli atau anggota masyarakat umum yang bekepentingan yang
diharapkan untuk memberi nasehat yang berkaitan dengan perundang-undangan.
Lebih penting lagi, kelompok penekan itu juga memelihara hubungan langsung
dengan bagian-bagian Komite Penelitian Urusan Kebijaksanaan dan cabang-cabang
birokrasi, di samping juga dengan anggota Diet secara pribadi. Cara lain lagi adalah
dengan melakukan demonstrasi.
Peranan media massa, terutama surat kabar, yang sangat besar karena orang
Jepang adalah pembaca yang tekun dan konsumen berita dalam segala bentuk. Ada
tujuh jaringan televisi yang meliputi seluruh negeri. Ratusan majalah mingguan dan
bulanan tersebar di seluruh negeri. Tetapi koran adalah penyampai berita yang paling
besar dan pembentuk opini masyarakat yang paling berpengaruh. Ada tiga koran
harian na-sional dengan oplah lebih dari 5 juta, dan dua lagi yang lebih kecil. Ada
empat koran harian regional dengan oplah masing-masing 1 juta. Semuanya
memelihara standard pemberitaan yang tinggi.
112
Sebagian besar koran-koran sangat bangga menjadi penerbitan yang secara
politik netral. Mereka berpendapat mengenai politik, dan dengan demikian
mempengaruhi opini publik. Banyak dari kehidupan politik Jepang, terutama yang
dibicarakan datem Diet, ditentukan oleh kekhawatiran atau harapan tentang
bagaimana cara koran-koran itu memberitakannya. Karena ini akan menentukan
sikap masyarakat dan pemilihan umum yang akan datang. Satu segi yang luar biasa
dari media massa Jepang adalah apa yang disebut Klub Pers (Press Club), yaitu suatu
kelompok wartawan dari berbagai koran, majalah, televisi dan kantor berita yang
memusatkan perhatian pada satu cabang pemerintahan, partai atau politisi terkemuka
tertentu. Klub-klub ini memelihara hubungan khusus dengan lembaga-lembaga atau
orang-orang itu, yang hasilnya adalah pengetahuan yang jauh lebih mendalam
tentang bidang-bidang tertentu daripada yang mungkin dicapai oleh wartawanwartawan di negeri-negeri lain. Bersama dengan peranan kelompok penekan dan
bentuk-bentuk partisipasi langsung lain, media massa Jepang memungkinkan sistem
politik Jepang memperoleh "umpan balik" yang luar biasa besar. Hal terakhir ini
membuat sistem politik Jepang tumbuh sehat.
Perbandingan Politik Indonesia Dan Jepang
Dari aspek historis pembentukan lembaga-lembaga politik baik di Indonesia
ataupun Jepang sebelum tahun 1945, keduanya mengadopsi dari negara- negara yang
telah ada terlebih dahulu. Di Indonesia keberadaan lembaga politik seperti partai
politik maupun lembaga perwakilan sudah ada sejak jaman kolonial Belanda, partai
didirikan sebagai gerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan, sedangkan lembaga
perwakilan didirikan oleh pemerintah kolonial adalah untuk kepentingan mereka.
Sebaliknya di Jepang partai politik dan lembaga perwakilan dibentuk berdasarkan
pertimbangan untuk mengantisipasi perkembanggan Jepang modern untuk mengejar
ketinggalan dari negara barat (Restorasi Meiji). Hal ini terlihat adanya perbedaan
yang sangat besar dari proses terbentuknya kelembagaan politik.
Dari aspek bentuk Negara terdapat persamaan dimana bentuk negara kesatuan
menjadi landasan utama bukan berarti bahwa terdapat sistem sentralisasi yang kaku,
seperti pada negara-negara berideologi Komunis, tetapi baik Jepang, maupun
indonesia
menganut
prinsip
otonomi
dan
desentralisasi,
terutama
dalam
penyelenggaraan pemerintahan didaerah baik level setingkat Propinsi maupun level
113
Kabupaten dan Kota. Tetapi terdapat perbedaan dalam bentuk pemerintahan dimana
di Indonesia Republik dan Presidensiil sementara Jepang Monarkhi Konstitusional
dan Parlementer.
Dinamika Kepartaian, Baik Indonesia dan Jepang sejak tahun 1945 (setelah
PD
II)
bersifat
multipartai
sistem.
Terjadinya
perpecahan
dalam
partai
mengakibatkan terbentuknya partai baru, tetapi juga sebaliknya terdapatnya
kesamaan kepentingan menyebabkan terjadinya fusi/partai bergabung membentuk
partai baru, contoh Partai Liberal Demokrat (LDP) di Jepang Adalah merupakan
gabungan dari Partai Liberal dan Partai Demokrat (Tahun 1955), berdirinya Partai
Liberal baru adalah akibat perpecahan dalam LDP (tahun 1976). Demikian pula di
Indonesia berdirinya Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) adalah pecahan
dari PDI (Pemilu 1999), sementara PDI adalah gabungan dari partai-nasional dan
partai-partai kristen (Pemilu 1977).
Kaitan dengan dinamika kepartaian diatas bahwa di Jepang dan di Indonesia
pernah mengalami apa yang dinamakan “partai dominan” yang menguasai mayoritas
lembaga legislatif seperti Golkar pada masa Orde baru (tahun 1971-1997) begitu
mendominasi kursi di DPR dibandingkan dengan partai politik lainnya. Di jepang
keberadaan LDP sejak tahun 1955-1993 menunjukan hal yang sama. Hal ini
mengakibatkan
ketimpangan
dalam
perumusan
dan
pengambilan
keputusan/kebijakan yang cenderung hanya mengakomodir kepentingan kelompok
mayoritas di parlemen. Tetapi juga dengan terjadinya perubahan politik terkait
dengan kondisi kedewasaan politik masyarakat kondisi “partai dominan” ini mulai
ditinggalkan.
Dalam proses pembuatan kebijakan baik di Jepang maupun di Indonesia
keduanya sangat mengandalkan birokrasi, hal ini karena birokrasi memiliki
penguassan teknis dan informasi serta pengalaman yang lebih akan kebijakan yang ada
hubungannya dengan masyarakat (Kebijakan Publik), walaupun pembahasan dan
penetapannya menggunakan mekanisme politik tetapi proses penyusunan dan penelitian
dalam pembahasan melibatkan tenaga-tenaga birokrat yang handal. Kondisi di
Indonesia birokrasi cenderung tidak dapat melepaskan diri dari politik, dimana
terdapat intervensi politik yang kuat dari politisi terhadap birokrasi terutama dalam
penetapan jabatan, yang kadang meninggalkan prinsip profesionalitas, sebaliknya
birokrat cenderung memanfaatkan politisi untuk memantapkan kedudukanya dalan
114
jabatan birokrasi. Sebaliknya di Jepang walaupun jabatan kepala Departemen/
direktur/ eksekutif lembaga pemerintah dari politisi tetapi mereka sangat menjaga
profesionalisme birokrasi.
Kondisi
birokrasi
yang
kuat
di
Jepang
dibuktikan
dengan
tidak
terpengaruhnya kondisi politik yang labil, sering terjadinya pertikaian antar politisi
partai tidak mempengaruhi kinerja birokrasi. Sebaliknya di Indonesia kondisi politik
yang labil sangat mempengaruhi kinerja birokrasi.
DAFTAR P U S T A K A
Almond, Gabbriel, A, G. Bingham.powel, JR., 1996. Comparative Polotics Today
A World View, Sixth Editions., Harper Collin Publishers., New York
Asshiddiqie, Jimli., 2003. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan
Keempat UUD-1945, Makalah Pada Seminar Bada Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI.
Budiardjo, Miriam., 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi., Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Hauss, Charles., 2003. Comparative Politics Domestic Responses to Global
Challenges, Fourth Edition, Wadswourth Publishing
Mas’oed, Mochtar,
Colin,
Mac.Andrews., Ed. Perbandingan Sistem Politik,
Cetakan Keempat., UGM Press. Yogyakarta
115
Download