1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orangtua mengharapkan keturunannya berkembang dan tumbuh secara normal. Berbagai upaya dilakukan orangtua untuk meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan anak seperti menyediakan kebutuhan fisik dan non fisik anak, usaha dilakukan orangtua agar generasi berikutnya menjadi generasi yang lebih baik dari sebelumnya. Oleh karena dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan anak, peran orangtua dan lingkungan menjadi penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak hingga usia dewasanya mampu mencapai kemandirian. Beberapa tokoh seperti Locke (1689) dalam Essay Concerning Human Understanding mengibaratkan anak sebagai tabula rasa atau kertas putih tidak bernoda, bersih dari corat coret apapun, adanya warna dan tulisan pada kertas merupakan bentukan lingkungan, orangtua, keluarga atau masyarakat yang menjadi nilai-nilai, kenyakinan dan pengalaman pada anak. Berbeda dengan Rousseau (1762) menyatakan anak bukanlah bejana kosong tanpa isi apapun, anak pada dasarnya adalah baik (innately good) yang memiliki mode perasaan dan pemikirannya sendiri. Adapun perubahan-perubahan pada anak karena rencana alam yang mendesak dalam mengembangkan diri anak. Berdasarkan tahapan usia setiap individu memiliki tugas yang berbedabeda, pada masa anak individu bermain bersama temannya, seiring dengan pertumbuhan biologisnya pada usia remaja mulai tertarik pada lawan jenis, mencari identitas, mencari kebebasan emosional dari orangtua, serta membentuk perkumpulan-perkumpulan bersama. Pada tahap dewasa, individu 1 2 mulai belajar bertanggung jawab terhadap tindakannya, berusaha meraih tujuannya, dan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena tahap perkembangan setiap individu berbeda-beda juga dalam setiap tahapan usia anak ada yang lambat dan ada yang melampaui usianya. Demikian secara normal anak tumbuh dan berkembang sebagaimana tahapan usianya. Membahas anak tidak terlepas dari peran orangtua atau keluarga sebagai suatu sistem yang memiliki fungsi sosiologis sebagai media pendidikan, ekonomis, biologis, sosialisasi, perlindungan, rekreatif, dan religius (Clayton, 1979). Beberapa fungsi keluarga memberi legalitas bagi anggotanya dapat saling memenuhi kebutuhan dasar seperti, sandang, pangan, dan papan termasuk hubungan seksual di antara pasangan sah demi mengembangkan generasi berikutnya, terlepas dari motivasi setiap pasangan dalam berkeluarga secara biologis tujuan berkeluarga adalah untuk mengembangkan suatu keturunan. Bagaimana dengan keluarga yang memiliki anak retardasi mental? Anak yang tumbuh seperti anak normal namun dalam perkembangan mentalnya mengalami beberapa keterlambatan. Penelitian orangtua dengan anak retardasi mental menunjukkan adanya masalah psikologis, beberapa penelitian menemukan orangtua dengan anak retardasi mental lebih menunjukkan masalah psikologis dibandingkan dengan orangtua yang memiliki anak normal (Bayat, Salehi, Bozorgnezhad, & Asghari, 2011). Perasaan stress dan tertekan di awal mengetahui diagnosa anak dengan retardasi mental (Ziler & Hodapp, 1986), tingginya penolakan orangtua dibandingkan yang memiliki anak normal (Onder & Gulay, 2010), tanggungjawab orangtua yang membawa situasi stress, terisolasi dan frustasi (Maul & Singer, 2009), stigmatisasi sebagai bentuk 3 merendahkan dan mendelegitimasi orangtua bersama anak retardasi mental (Hinshaw & Cicchetti, 2000), dinamika negatif keluarga terhadap keluarga lainnya (Liewellyn, mcconnell, Thompson, & Whybrow, 2005), selain itu stigmatisasi anak itu sendiri dapat tergambar seperti individu yang mengalami gangguan jiwa yang mengalami problem pernikahan dan kesempatan kerja atau berada di tempat kerja (Subandi, 2008). Secara dinamis anak retardasi mental dalam keluarga dapat mempengaruhi perubahan-perubahan hubungan dalam sistem keluarga. Anak retardasi mental yang memiliki keterbatasan dalam fungsi intelektual, perilaku adaptif meliputi keterampilan sosial dan praktis sehari-hari (American Association on Intellectual and Developmental Disabilities, 2012). Retardasi mental bukanlah suatu penyakit tetapi lebih karena etiologi yang komplek. Kasus keluarga dengan anak retardasi mental dapat diketemukan di beberapa daerah namun mengenai jumlah keseluruhan anak retardasi mental di Indonesia. Merujuk data WHO tahun 2003 untuk anak penyandang cacat diperkirakan mencapai 7-10 % dari total penduduk Indonesia atau sekitar 295.250 jiwa anak dengan berkebutuhan khusus (Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2011). Hal ini dikarenakan model pencatatan anak sebatas dari data orangtua memeriksakan anak ke puskesmas atau di rumah sakit dan anak terdaftar di sekolah luar biasa. Sedangkan di beberapa daerah anak dengan kondisi retardasi mental masih banyak berada dalam pembinaan dan pengawasan orangtua atau keluarga yang sebagian besar belum mendapat pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya. 4 Peran orangtua dalam memberi perawatan anak seperti di beberapa negara berkembang banyak dilakukan oleh ibu, sebagai figure dekat anak seorang ibu terkadang memiliki dualisme peran dalam keluarga selain merawat anak juga dibebani pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Penelitian menunjukkan secara psikologis praktek kehidupan sehari-hari stress ibu lebih besar diketemukan dibandingkan dengan stress ayah, ibu dalam memberi perawatan anak lebih stress dibandingkan stress ayah yang lebih konstan (Gerstein, Crnic, Blacher, & Baker, 2009). Selain memberi perawatan anak untuk orangtua masih diperhadapkan dengan munculnya masalah-masalah perilaku anak seperti menjerit, menangis, agresif, keras kepala dan lain sebagainya. Kondisi-kondisi tersebut para orangtua lebih banyak mengalami kelelahan disamping juga menghawatirkan kondisi anak dengan retardasi mental (Martin & Colbert, 1997). Secara bersama-sama dua arah stress orangtua menghadapi perilaku anak juga kondisi kesehatan anak. Memberi perawatan terus menerus memungkinkan masalah usia memberi problem orangtua, seorang ibu sebagai figure dekat anak lebih banyak memahami kebutuhan-kebutuhan anak dibandingkan dengan anggota keluarga lain, oleh karena itu problem usia orangtua memberikan kekomplekan problem orangtua bila orangtua terlebih dahulu meninggal dunia, siapa yang mau mendidik, menghadapi mengarahkan, anak dengan membimbing, oranglain mengatur, serta mengawasi menghadapi anak, lingkungannya, bagaimana dengan keberlangsungan hidup anak itu sendiri baik secara mental dan fisik, problem usia orangtua memerlukan banyak persiapan dalam perawatan anak. Alasan ini dapat dipahami orangtua terhadap anak akan bentuk 5 penerimaan, kompetensi, pengasuhan, dan ketidakpastian masa depan anak (Martin & Colbert, 1997). Perbedaan keluarga anak retardasi mental dengan keluarga anak normal salah satu bentuknya adalah pola asuh orangtua, biaya dan waktu yang harus dikeluarkan orangtua (Hadadian, 1994). Adaptasi keluarga dapat menjadi terganggu seiring dengan adanya anak retardasi mental, ketegangan hubungan suami istri dalam usaha dan penanganan anak yang tidak selalu sama, seperti salah satu orangtua harus menjaga anak sepanjang waktu, atau posisi ibu tidak banyak mendapat dukungan serta reaksi negatif suami terhadap kehadiran anak dengan retardasi mental (Risdal & Singer, 2004). Demikian karakteristik keluarga mempengaruhi reaksi terhadap kehadiran individu berkebutuhan khusus (Hunt & Marshall, 2005), seperti penelitian Patterson dan Leonard (1994) menyebutkan keberadaan anak yang memiliki hambatan perkembangan justru membuat hubungan antara pasangan menjadi lebih kuat, karena beban emosi dapat ditanggung bersama menjadikan hubungan di antara anggota keluarga saling erat. Oleh karena itu penting melakukan penelitian secara lebih mendalam keluarga dengan anak retardasi mental yang memiliki dinamika dan pemahaman yang berbeda-beda pada setiap keluarga. Gambaran masalah tersebut di atas bahwa masalah orangtua dengan anak retardasi mental terkait dengan masalah psikologis dan pola asuh orangtua, beberapa penelitian banyak membahas psikologis orangtua, pada penelitian ini peneliti merasa tertarik mengkaji pola asuh orangtua dengan anak retardasi mental, oleh karena dapat digambarkan masalah orangtua dengan anak retardasi mental sebagaimana dibawah ini. 6 Gambar 1. Masalah Orangtua Dengan Anak Retardasi Mental Perlunya melakukan penelitian karena tema mengenai pola asuh jika mengacu pada orangtua yang baik dan positif dalam memberi pola asuh pada anak secara definitif tentu belum komprehensif, selain itu upaya peneliti untuk memperoleh gambaran pola asuh orangtua dengan anak retardasi mental berdasarkan kasus dua partisipan penelitian. Beberapa metode dan konsep mengenai pola asuh orangtua di beberapa budaya bervariasi satu lain yang unik dan beragam (Keller & Greenfield, 2000), pilihan gaya orangtua tersebut selalu ada pada setiap kelompok dan kelas social yang berbeda (Keller & Greenfield, 2000), beberapa faktor meliputi etnis, budaya, dan ekonomi memberi pengaruh terhadap pola asuh. Budaya sebagai sikap, nilai-nilai, pendapat, dan konsep tentang bagaimana individu berpikir dan mendefinisikan suatu peristiwa, membuat keputusan serta berperilaku (Sue & Sue, 2007). Oleh karena itu penelitian pola asuh orangtua dengan anak retardasi mental menarik dilakukan penelitian karena kekomplekan masalah melibatkan banyak pihak seperti anak, orangtua, keluarga, masyarakat, dan pihak-pihak yang berkepentingan atasnya. B. Pertanyaan Penelitian Dari latar belakang yang dipaparkan diatas bahwa orangtua dengan anak retardasi mental memiliki beban yang berat terkait masalah psikologis dan pola asuh orangtua, untuk membatasi diri pada pembahasan dalam penelitian ini peneliti mengajukan pertanyaan bagaimana pola asuh orangtua dengan anak retardasi mental? 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Untuk memperoleh pemahaman pola asuh orangtua dengan anak retardasi mental berdasarkan kasus partisipan Da dan Yk, beberapa tujuan sebagaimana berikut : 1. Memahami bentuk pola asuh orangtua dengan anak retardasi mental. 2. Memperoleh gambaran dari kondisi anak dengan retardasi mental. 3. Mengetahui peran keluarga dan perspektif orangtua dengan anak retardasi mental. Penelitian ini diharapkan memberi manfaat secara teoritis maupun praktis. Manfaat teoritis secara umum dapat memberi sumbangan positif bagi ilmu psikologi dan secara khusus bagi psikologi perkembangan, selain itu, dapat memberikan deskripsi tentang pola asuh orangtua dengan anak retardasi mental. Sedangkan manfaat praktis dapat memberi perpektif baru memahami kasus orangtua dengan anak retardasi mental serta membantu para orangtua, keluarga, dan tenaga professional memahami pola asuh orangtua dengan anak retardasi mental serta menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan berkaitan dengan keluarga anak retardasi mental. D. Perbedaan Dengan Penelitian Sebelumnya Kajian dilakukan sebelumnya pada orangtua dengan anak retardasi mental salah satunya dilakukan Vidhya dan Raju (2007), dengan judul penelitian “Adjustment and attitude of parents of children with mental retardation” penelitian ini mencoba mengetahui tingkat penyesuaian diri dan sikap orangtua terhadap anak retardasi mental. Responden terdiri dari 50 orangtua dengan anak retardasi mental dengan memakai scale of parental attitude towards mental retardates dan lembar data pribadi (A personal data sheet), responden 8 dikategorikan berdasarkan umur orangtua antara 25-50 tahun dengan kelompok responden berdasar agama, pendidikan, lokalitas, dan pendapatan. Dari hasil analisis varians dan uji-t menunjukkan bahwa agama, pendapatan, dan pendidikan orangtua tidak memiliki pengaruh secara signifikan pada variabel penyesuaian diri orangtua, namun di antara kelompok agama yang berbeda adanya perubahan sikap orangtua secara signifikan, sedangkan lokalitas orangtua secara signifikan memberi pengaruh terhadap penyesuaian diri dan sikap orangtua. Demikian lokalitas memberi banyak pengaruh secara signifikan terhadap penyesuaian diri orangtua terhadap anak retardasi mental. Budaya memiliki pemahaman berbeda dalam pola asuh orangtua penelitian Dwairy (2008), dengan judul “Parental inconsistency versus parental authoritarianism: Associations with symptoms of psychological disorders” penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan pola asuh inkonsistensi dan pola asuh Authoritarian terhadap gangguan psikologis orangtua, hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan orangtua yang authoritarian pada anak tidak selalu berhubungan dengan gangguan psikologis orangtua, melainkan pola asuh orangtua yang inkonsistensi dapat menjadi faktor bagi adanya psikopatologi orangtua, demikian pola asuh orangtua yang authoritarian tidak selalu memiliki makna negatif, justru pada pola asuh orangtua yang inconsistensi dapat menjadikan perkembangan anak menjadi tidak baik. Penelitian Marwan dan Mustafa (2010), dengan judul penelitian “Parental control: A second cross-cultural research on parenting and psychological adjustment of children” penelitian yang mencoba memahami salah satu faktor pemberi pengaruh dalam perkembangan psikologis anak adalah kontrol orangtua. Responden penelitian terdiri dari 2.884 remaja (Arab, India, Perancis, 9 Polandia, Argentina) dengan menggunakan instrument skala dwairy’s parental control and inconsistency scale (DPCIS) untuk menilai hubungan authoritarian orangtua terhadap Inconsistency orangtua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrol orangtua di setiap budaya menunjukkan hasil yang berbeda. Kontrol orangtua di negara timur lebih tinggi dibandingkan di negara barat, di barat kontrol ibu lebih tinggi dibandingkan dengan ayah, pada kontrol ayah pada anak remaja di barat lebih banyak dilakukan terkait dengan adanya gangguan psikologis, namun kontrol orangtua di negara timur tidak terkait dengan gangguan psikologi orangtua tetapi kontrol orangtua yang tidak konsisten lebih berhubungan dengan adanya gangguan psikologis orangtua. Demikian secara kolektif pola asuh orangtua di negara-negara barat berbeda dengan orangtua yang ada di negara-negara Timur. Negara-negara barat, seperti Amerika Serikat dan Eropa memandang pola asuh orangtua authoritarian biasanya dikaitkan dengan hasil psiko-sosial negatif, sedangkan pola asuh asuh authoritarian di Negara asia tidak terkait dengan psikopatologi orangtua. Penelitian Maul dan Singer (2009) dengan judul “Just good different things: Specific accommodations families make to positively adapt to their children with developmental disabilities”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui cara-cara adaptasi positif orangtua dan sikap akomodatif orangtua terhadap pekerjaan rutin, metode yang digunakan dengan grounded teori, wawancara dilakukan dengan menggunakan audiorecorded dan mentranskripnya pada partisipan limabelas orangtua dan dua kakek dari anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan orangtua menangani anak yang mengalami hambatan 10 perkembangan dilakukan dengan cara trial dan error, dan mayoritas orangtua bersikap akomodatif secara positif melalui bantuan para professional. Oleh karena kompleksitas orangtua dengan anak retardasi mental menjadikan metode pengambilan keputusan dan penanganan anak retardasi mental belum ada secara tepat, sebagaimana orangtua yang masih banyak menggunakan cara trial and error, demikian bantuan para professional bagi orangtua lebih menunjukkan hasil yang lebih baik dalam memberi penanganan pada anak. Secara budaya penelitian yang dilakukan Subandi (2008) dengan judul “Ngemong: Dimensi keluarga pasien psikotik di jawa”, dengan tujuan penelitian mengeksplorasikan beban keluarga, coping dan dukungan untuk pasien psikotik dalam lingkungan Jawa. Penelitian dengan mengkombinasi metodologi etnografi dan klinis ini dilakukan terhadap sembilan partisipan yang didiagnosa sebagai penderita psikosis, melalui pengumpulan data dengan cara wawancara secara mendalam dan menggunakan skala the family crisis oriented personal evaluation scale (F-Copes) dan sentence completion test (SCT) pada anggota keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga pasien psikotik di Jawa lebih menunjukkan beban psikologis dan ekonomi keluarga, namun keluarga menyediakan dukungan pada penderita tercermin dalam penerapan prinsip ngemong (Jawa) meliputi; sikap toleran dan tidak mencela, sikap tidak banyak menuntut, dan pemenuhan kebutuhan para partisipan. Berdasarkan pemaparan di atas bahwa penelitian terhadap orangtua dengan anak retardasi mental banyak dilakukan dalam berbagai macam bentuk penelitian antara lain penyesuaian diri orangtua menunjukkan bahwa lokalitas memberi pengaruh pada pola asuh orangtua, berdasarkan pemahaman budaya pola asuh orangtua yang menunjukkan bahwa pola asuh authoritarian tidak 11 selalu dengan hasil yang buruk. Secara kolektif pola asuh orangtua lebih menunjukkan bagaimana orangtua dalam mengontrol anak. Proses pengambilan keputusan orangtua dengan cara trial and error, dan ngemong sebagai dimensi Keluarga lebih menunjukkan adanya dukungan keluarga dengan prinsip-prinsip ngemong. Dari beberapa penelitian terdahulu sebagaimana tersebut diatas, penelitian ini akan menjadi berbeda dari penelitian sebelumnya terlebih dengan bahasan pola asuh dengan orangtua yang memiliki anak retardasi mental dalam konteks kasus partisipan Da dan Yk. Berdasarkan beberapa penelitian diatas lokalitas memberi pengaruh dalam penyesuaian diri orangtua, budaya memberi kontrol orangtua, pengambilan keputusan orangtua yang banyak dilakukan dengan trial and error, dan budaya memiliki prinsip-prinsip dan konsep tersendiri seperti ngemong. Oleh karena sepengetahuan peneliti bahwa penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya sehingga keaslian penelitian dapat dipertanggungjawabkan.