perilaku pemakaian kondom dengan kejadian infeksi menular seksual

advertisement
PERILAKU PEMAKAIAN KONDOM DENGAN KEJADIAN
INFEKSI MENULAR SEKSUAL
Gretta Hapsari Amalya1
Abstract:The high incidence of STDs caused by WPS are doing a lot of
irregularities in the prevention and treatment of STIs, for example, would not
wear a condom every time sexual intercourse, while suffering from sexually
transmitted infections continue to serve the guests and if the pain did not want
to take medicine the doctor. This study wanted to prove whether there is a
relationship between behavior and the use of condoms and willingness to serve
guests with the incidence of STIs in the localization Kaliwungu Ngunut
Tulungagung District. This study is a correlational analytic studies using crosssectional approach and the ex post facto. Population studies on the localization
of the entire WPS District Kaliwungu Ngunut Tulungagung and the number of
samples selected 65 people WPS with purposive sampling technique. Variable
measured is the behavior of condom use and willingness to serve the guests as
the independent variable, dependent variable while the incidence of STIs. The
results obtained most of the respondents did not use condoms, as many as 42
respondents (64.62%) and almost all of the respondents are willing to serve
guests, as many as 37 respondents (88.1%). While the incidence of STIs, the
majority of respondents infected with STIs, as many as 34 respondents
(52.31%).
Statistical test used in this study is chi square. Condom use behavior is obtained
p-value 0.000 <0.05, so that proves there is a connection between the behavior
of condom use with the incidence of STIs in the localization Kaliwungu
Ngunut Tulungagung District. While the willingness to serve the guests get the
p-value 0.035 <0.05, so that proves there is a relationship between willingness
to serve guests with the incidence of STIs in the localization Kaliwungu
Ngunut Tulungagung District.
Keywords : Condom, Serving Customers, STI incidence
Latar Belakang
Infeksi Menular Seksual (IMS)
adalah
penyakit
infeksi
yang
penularannya
terutama
melalui
hubungan seksual. Cara hubungan
kelamin tidak hanya terbatas secara alat
kelamin dengan alat kelamin (genitogenital), atau anus dengan alat kelamin
(ano-genital) sehingga kelainan yang
timbul akibat penyakit kelamin ini tidak
terbatas pada daerah alat kelamin
(ekstra genital) (FK UI, 1989).
Selama dekade terakhir ini
insiden IMS cukup cepat meningkat di
berbagai negeri di dunia, baik di negara
maju maupun negara berkembang. Pada
saat ini IMS termasuk Human
Immunodeficiency Virus / Aquired
Immune
Deficiency
Syndrome
(HIV/AIDS) sudah tersebar secara luas
(pandemic) yang menimbulkan dampak
kesehatan, sosial, ekonomi, dan politik.
Bagi negara berkembang seperti
Indonesia,
IMS
menimbulkan
permasalahan yang cukup besar karena
Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual
(Gretta Hapsari A)
terbatasnya sumber daya manusia dan
dana. Kegagalan menemukan dan
mengobati IMS pada stadium dini dapat
menimbulkan komplikasi serius dan
berbagai gejala sisa, pada ibu antara lain
berupa infertilitas, kehamilan ektopik,
infeksi daerah pelvis, kanker saluran
reproduksi, pada waria berupa kanker
daerah anogenital dan pada bayi berupa
kelahiran prematur, lahir mati, serta
infeksi baik pada neonatus maupun
pada bayi, termasuk infeksi konginetal.
Keadaan tersebut ikut menyebabkan
tingginya angka kematian ibu dan bayi.
Disamping itu IMS diketahui juga
mempermudah penularan HIV yang
selanjutnya dapat berkembang menjadi
AIDS dengan tingkat kematian yang
tinggi. Saat ini di Indonesia, prevalensi
IMS termasuk HIV/AIDS belum akurat,
disebabkan sistem pencatatan dan
pelaporan kasus masih jauh dari
lengkap. Hal ini disebabkan karena,
banyak kasus yang tidak dilaporkan,
karena belum ada undang-undang yang
mengharuskan melaporkan setiap kasus
baru IMS yang baru ditemukan (kecuali
HIV/AIDS) serta fasilitas diagnostik
yang ada sekarang ini kurang sempurna
sehingga sering kali terjadi salah
diagnosis dan penanganannya (Depkes
RI, 1999).
Banyak kasus yang asimtomatik
(tanpa gejala yang khas) terutama
penderita wanita. Meskipun demikian
program
pencegahan
dan
pemberantasan infeksi menular seksual
harus diberi prioritas yang tinggi. Hal
ini
disebabkan
IMS
membawa
konsekuensi mempermudah penularan
HIV/AIDS Sedangkan infeksi klamidia,
ulkus,
gonorhoe,
uretritis
non
gonorhoe, sifilis, dan trikomoniasis
dapat meningkatkan resiko penularan
HIV antara 2 – 9 kali. Penderita IMS
dengan ulkus genital mempunyai resiko
2 – 5 kali dibanding penderita tanpa
ulkus (Depkes RI, 1999).
Saat ini di Indonesia prevalensi
gonore dan klamedia tertinggi di Asia.
Hasil Surveilen Terpadu Biologis
Perilaku (STPB, 2007) khusus pada
wanita pekerja seks terus meningkat.
Prevelansi HIV pada 9 provinsi 6%16%. gonore 15,8%-43,9%, klamidia
20,2%-55%, sifilis 1%-17%. Di Jawa
Timur terdapat 19.963 penderita IMS.
Di Kabupaten Tulungagung sejumlah
1.214 orang menderita IMS, dengan
kasus gonoroe 43 (3,5%), suspec
gonoroe 3 (0,24%), servicitis 183
(15%),
uretritis
327
(26,9%),
tricomoniasis 12 (0,9%), ulkus mole 1
(0,08%), herpes genital 10 (0,82%),
kandidia 50 (4,1%),
dan 183 orang
menderita
HIV/AIDS
(Dinkes
Tulungagung, 2010).
Di Kabupaten Tulungagung
terdapat 2 lokalisasi wanita pekerja seks
(WPS) yang menampung 825 WPS,
salah satu lokalisasi tersebut adalah
lokalisasi Kaliwungu yang berada di
Kecamatan Ngunut. Dari data yang ada
di lokalisasi Kaliwungu terdapat 215
WPS, 52 mucikari dan 52 wisma.
Berdasarkan
data
hasil
pemeriksaan pada WPS di lokalisasi
Kaliwungu Kecamatan Ngunut Tahun
2008-2010 didapatkan bahwa jumlah
WPS yang menderita IMS pertahunnya
semakin meningkat.
Berdasarkan tingginya angka
kejadian IMS disebabkan karena banyak
WPS yang melakukan penyimpangan
dalam
upaya
pencegahan
dan
pengobatan terhadap IMS, di lokalisasi
Kaliwungu Kec. Ngunut Tulungagung
misalnya tidak mau memakai kondom
tiap kali melakukan hubungan seksual,
saat menderita IMS tetap melayani
tamu, bila sakit tidak mau minum obat
dokter, minum obat antibiotik yang
dibeli dari toko. Dari hasil wawancara
dengan 10 WPS masih ditemui 6 WPS
(60%), tidak menggunakan kondom saat
berhubungan seks dengan alasan tamu
17
Jurnal Keperawatan Ilmiah STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012
menolak menggunakan kondom, 2 WPS
(20%) tetap melayani tamu walaupun
sedang menderita IMS dengan alasan
tamu banyak, 2 WPS (20%) minum
obat yang dibeli dari toko saat
menderita IMS dengan alasan kalau
periksa ke dokter mahal. Saat ini di
Indonesia prevalensi IMS dipandang
kurang akurat karena sistem pencatatan
dan pelaporan yang belum lengkap,
selain itu juga disebabkan karena
banyaknya lokalisasi liar yang belum
terjamah oleh pelayanan kesehatan.
Sehingga banyak kasus yang belum
terlaporkan, disamping itu banyak kasus
yang belum terdeteksi. Belum ada
kebijakan kusus yang mengharuskan
pelaporan terhadap penemuan kasus
IMS. Serta fasilitas diagnosis yang ada
sekarang kurang sempurna, sehingga
seringkali terjadi salah diagnosis dan
penanganannya (Depkes RI, 1999).
Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi penyebaran IMS, antara
lain faktor biologis: faktor umur dan
faktor jenis kelamin, selain itu faktor
lingkungan,
pendidikan,
agama,
perilaku, sosial ekonomi juga bisa
mempengaruhi penyebaran IMS. Bila
para WPS mengetahui cara pencegahan
IMS, dan memahami tentang perilaku
yang dapat memicu terjadinya IMS,
mengerti
tentang
akibat
yang
ditimbulkan oleh penderita IMS dan
dapat
mengaplikasikan
dalam
kehidupan, akan mempermudah tenaga
kesehatan dalam usaha penurunan
insiden dan prevalensi IMS tersebut.
Prinsip
utama
dari
pengendalian/pencegahan IMS adalah
memutuskan mata rantai penularan IMS
dan mencegah berkembangnya IMS
serta komplikasinya. Pencegahan secara
tepat dan penanganan secara dini IMS
bisa disembuhkan dengan baik. Yang
penting sekali untuk diingat adalah
bentuk dan gejala awal yang menjadi
tanda IMS. Bila merasakan tanda gejala
18
IMS, sebaiknya perlu diwaspadai
kemungkinan adanya infeksi IMS.
Pencegahan yang dapat dilakukan
antara lain: tidak melakukan hubungan
seksual pada saat menderita IMS, tidak
berganti
pasangan,
menggunakan
kondom setiap hubungan seksual. Yang
lebih penting dari semua itu adalah
menjaga nilai moral, agama, etika, dan
norma kehidupan bermasyarakat, karena
dengan moral dan etika yang baik kita
akan terhindar dari gangguan atau
penyakit yang akan membawa kita
dalam masalah serius (Setiawan, 2007).
Sudah
banyak
usaha
pemerintah untuk memberantas dan
mengurangi kejadian IMS. Kegiatan ini
dilakukan oleh tim pencegahan infeksi
menular seksual Dinas Kesehatan
Kabupaten
Tulungagung
dan
Puskesmas Ngunut yang berupa
pemeriksaan
berkala,
penyuluhan
tentang pemakaian kondom yang benar.
Disamping
itu
juga
dilakukan
pembagian kondom secara cuma-cuma
dan pengobatan bagi para Wanita
Pekerja Seks baik yang menderita IMS
maupun yang tidak menderita IMS
melalui Program Pengobatan Presumtif
Berkala (PPB). Kegiatan tersebut
dilakukan setiap bulan, sedangkan
untuk pemeriksaan Serology Test
Syphilis Deficiency dan Gonorhoe
dilakukan setiap 5 bulan sekali. Namun
demikian masih banyak ditemui WPS
yang tidak menggunakan kondom saat
melayani tamu, masih melayani tamu,
walaupun sedang menderita IMS, dan
perilaku WPS itu terbukti bisa membuat
prosentase kasus tetap tinggi. Oleh
karenanya harus diupayakan suatu
usaha yang dianggap mempunyai daya
ungkit yang cukup tinggi, untuk
memutuskan
mata
rantai
dan
meminimalkan
penyebaran
kasus
tersebut.
Untuk mencapai tujuan tersebut
diatas, dipandang sangat perlu untuk
Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual
(Gretta Hapsari A)
meningkatkan
pengetahuan,
ketrampilan dibidang lain, sikap,
keyakinan, perilaku, tingkat kepatuhan
dan tindakan untuk mengurangi perilaku
berisikonya. Bahkan diharapkan dengan
perubahan perilakunya bisa mencegah
terjadinya penularan terhadap semua
kasus Infeksi Menular Seksual. Karena
WPS adalah kelompok yang paling
potensial
untuk
terjadinya
penularan,meskipun jumlah mereka
relatif
sedikit,
karena
mereka
merupakan pelaku utama terhadap
penularan dan penyebaran
Infeksi
Menular Seksual. Karena program
pencegahan terhadap Infeksi Menular
Seksual merupakan salah satu tugas
bidan di wilayah Puskesmas Ngunut
dan juga merupakan upaya untuk
mendukung tercapainyan Millenium
Developematianment Goals (MDG’s)
untuk mengatasi kematian ibu dan bayi
serta
mengendalikan
penyakit
HIV/AIDS. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui hubungan antara
perilaku seksual dengan kejadian
Infeksi Menular Seksual (IMS) pada
WPS di Lokalisasi.
Bahan Dan Metode Penelitian
Rancangan yang digunakan
dalam penelitian ini dijelaskan dalam
berbagai perspektif yaitu berdasarkan
lingkup penelitian termasuk jenis
penelitian kasus, berdasarkan tempat
penelitian termasuk jenis lapangan,
berdasarkan waktu pengumpulan data
termasuk jenis rancangan crossectional,
berdasarkan ada tidaknya perlakuan
termasuk
jenis
expost
facto
(mengungkap
fakta)
penelitian,
berdasarkan
pengumpulan
data
termasuk
jenis
observasional,
berdasarkan sumber data termasuk jenis
primer, berdasarkan tujuan penelitian
termasuk analitik korelasional.
Pada penelitian ini populasinya
adalah seluruh WPS di lokalisasi
Kaliwungu
Kecamatan
Ngunut
Tulungagung tahun 2010 dengan jumlah
215 orang.
Dalam
penelitian
ini
pengambilan sampel dapat ditentukan
dengan rumus:
−
− −
=
( − 1) + 2. .
= 215 – (1,96)2 – 0,5 – 0,5
,
=
,
= 64,5
= dibulatkan menjadi 65
responden
Keterangan:
n
= perkiraan jumlah sampel
N = perkiraan besar populasi
Z
= nilai standar normal untuk d =
0,05 (1,96)
P
= perkiraan proporsi, jika tidak
diketahui dianggap 50%
q
= I P (100% – P)
d
= tingkat kesalahan yang dipilih (d
= 0,05)
(dikutip dari Zainudin M, 2000)
Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan dua variabel, yaitu:
1.
2.
Variabel Independen
Variabel
independen
dalam
penelitian ini adalah perilaku
pemakaian kondom dan kesediaan
melayani tamu WPS.
Variabel Dependen
Variabel
dependen
dalam
penelitian ini adalah kejadian
IMS.
19
Jurnal Keperawatan Ilmiah STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012
Bahan yang digunakan
penelitian ini meliputi:
dalam
1. Check list pada WPS di lokalisasi
Kaliwungu Ngunut Tulungagung
2. Kuisioner.
3. Data calon responden yaitu wanita
pekerja seks yang hadir pada saat
jadwal pemeriksaan
4. Sarana yang dibutuhkan untuk
pemeriksaan in spekulo, meliputi:
kamar periksa, bed gynekologi,
lampu penerangan, meja, kursi,
selimut/kain penutup, MnO4 (cairan
sublimat) pada tempatnya, kapas,
speculum, kapas lidi, kaca objek,
larutan NaCl fisiologis (0,9%),
sarung tangan, larutan chlorin.
Instrument
penelitian yang
digunakan
untuk
mengungkapkan
semua variabel bebas yaitu perilaku
penggunaan kondom dengan kuisioner,
infeksi menular seksual dengan
melakukan
pemeriksaan, sedang
kesediaan dengan cara observasi.
Penelitian ini dilakukan di lokalisasi
Kaliwungu
Kecamatan
Ngunut
Tulungagung dilaksanakan pada tanggal
14 September 2010.
Untuk mencari ada tidaknya
hubungan antara perilaku pemakaian
kondom dan kesediaan melayani tamu
pada WPS dengan kejadian IMS
dilokalisasi Kaliwungu kecamatan
Ngunut Tulungagung tahun 2010
dengan menggunakan uji chi kuadrat.
20
Hasil Penelitian
1. Data Umum
a. Umur
2 Resp
(3%)
24 Resp
(37%)
< 20 th
39 Resp
(60%)
20-35
th
> 35 th
Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010
Hasil penelitian pada diagram
diatas menunjukkan bahwa dari total 65
responden sebagian besar responden
berumur 20-35 tahun, yaitu sebanyak 39
responden (60%).
b. Pendidikan
3 Resp.
(5%) 0%
27 Resp.
(41%)
35 Resp.
(54%)
SD
SMP
SMA
PT
Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010
Hasil penelitian pada diagram
diatas menunjukkan bahwa dari total 65
responden
sebagian
besar
dari
responden berpendidikan SD, yaitu
sebanyak 35 responden (54%).
Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual
(Gretta Hapsari A)
c. Berdasarkan lama menjadi WPS Di
Lokalisasi Kaliwungu Kecamatan
Ngunut Tulung Agung
b.
Kesediaan Melayani Tamu WPS
Tabel
2
Hasil tabulasi
melayani tamu
kesediaan
No
12 Resp
(18%)
27 Resp
(42%)
< 1 th
1-2 th
> 2 th
26 Resp
(40%)
Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010
Hasil penelitian pada diagram
diatas menunjukkan bahwa dari total 65
responden hampir setengah dari
responden telah menjadi WPS lebih dari
2 tahun, yaitu sebanyak 27 responden
(42%).
2. Data Khusus
a. Perilaku Pemakaian Kondom
Tabel
1
Hasil tabulasi perilaku
pemakaian kondom
Pemakai Jumlah Prosentase
an
Kondom
1
Ya
23
35.38
2
Tidak
42
64.62
Jumlah
65
100
Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010
Kesediaan
Jumlah
Pro
melayani
sent
tamu
ase
1
Tidak bersedia
melayani tamu
5
11.9
2
Bersedia melayani
tamu
37
88.1
Jumlah
42
100
Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010
Berdasarkan tabel 2 didapatkan
dari total 42 responden yang tidak
memakai kondom, hampir seluruhnya
dari responden bersedia melayani tamu,
yaitu sebanyak 37 responden (88, 1%).
c. Kejadian IMS
Tabel 3
No
Hasil tabulasi kejadian IMS
Kejadian IMS
Ju
ml
ah
Prosentase
1
Tidak
Terinfeksi
31
47.69
2
Terinfeksi
34
52.36
Jumlah
65
100
Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010
No
Berdasarkan tabel 3 didapatkan
dari total 65 responden sebagian besar
dari responden terinfeksi IMS, yaitu
sebanyak 38 responden (58,46%).
Berdasarkan tabel 1 didapatkan
dari total 65 responden sebagian besar
dari responden tidak memakai kondom,
yaitu sebanyak 42 responden (64,62%)
dan 23 responden (35,38%) memakai
kondom.
21
Jurnal Keperawatan Ilmiah STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012
Tabulasi Silang Antar Variabel
a. Tabulasi silang Perilaku Pemakaian
Kondom dengan Kejadian IMS
Tabel
N
o
1
Peril
aku
Pema
kaian
Kond
om
Ya
4
Tabulasi Silang Perilaku
Pemakaian
Kondom
dengan Kejadian IMS
Kejadian IMS
Tidak
Terinfeksi
Terinfeksi
6
9.23
10
26.
15
15.
38
32
49.23
27
41.
54
38
58.46
6
5
%
17
2
Tida
k
Juml
ah
Total
J
m
l
2
3
4
2
Jml
J
ml
%
bersedia melayani tamu dan terinfeksi
penyakit IMS, yaitu sebanyak 28
responden (66,67%).
Berdasarkan hasil uji statistik Chi
Square didapatkan nilai p yaitu 0,000 <
0.05, sehingga HO ditolak dan H1
diterima, berarti “ada hubungan antara
perilaku pemakaian kondom dengan
kejadian IMS di lokalisasi Kaliwungu
Kecamatan Ngunut Tulungagung”.
%
35.
38
64.
62
10
0.0
0
Hasil Uji Statistik Kesediaan Melayani
Tamu dengan Kejadian IMS
Tabel 6
Hasil Uji Statistik Chi
Square
Kesediaan
Melayani Tamu dengan
Kejadian IMS
Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010
Hasil penelitian pada tabel 4
didapatkan bahwa dari total 65
responden, hampir setenganya dari
responden tidak memakai kondom dan
terinfeksi penyakit IMS, yaitu sebanyak
32 responden (49,23%).
b. Tabulasi silang Kesediaan Melayani
Tamu dengan Kejadian IMS
Tabel 5
N
o
1
2
Kesedi
aan
Melay
ani
Tamu
Tidak
berse
dia
Berse
dia
Juml
ah
Tabulasi Silang Kesediaan
Melayani Tamu dengan
Kejadian IMS
Kejadian IMS
Tidak
Terinfeksi
Terinfeksi
J
m
%
Jml
%
l
4
10
14
9,52
23,81
33,3
1
27
28
2,38
64,28
66,67
Total
Jm
l
5
%
11,
9
37
88,
1
42
100
Sumber: Data Penelitian Primer Tahun 2010
Hasil penelitian pada tabel 5
didapatkan bahwa dari total 42
responden
yang tidak
memakai
kondom, sebagian besar dari responden
22
Pearson ChiSquare
Continuity
Correction(a)
Likelihood Ratio
Value
5.562(b
)
df
Asy
mp.
Sig.
(2side
d)
1
.018
3.434
1
.064
5.282
1
.022
Fisher's Exact
Test
Linear-by-Linear
Association
5.430
N of Valid Cases
42
1
E
xa
ct
Si
g.
(2
si
de
d)
Ex
act
Sig
.
(1sid
ed)
.0
35
.03
5
.020
a Computed only for a 2x2 table
b 2 cells (50.0%) have expected count less than 5.
The minimum expected count is 1.67.
Berdasarkan hasil uji statistik Chi
Square didapatkan nilai p yaitu 0,035 <
0.05, sehingga HO ditolak dan H1
diterima, berarti “ada hubungan antara
kesediaan melayani tamu dengan
kejadian IMS di lokalisasi Kaliwungu
Kecamatan Ngunut Tulungagung”.
Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual
(Gretta Hapsari A)
Pembahasan
1. Perilaku Pemakaian Kondom
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan di lokalisasi Kaliwungu
Kecamatan
Ngunut
Tulungagung,
didapatkan dari total 65 responden
sebagian besar dari responden tidak
memakai kondom, yaitu sebanyak 42
responden (64,62%).
Kondom adalah suatu karet yang
tipis, berwarna atau tak berwarna ,
dipakai untuk menututpi zakar yang
tegang sebelum dimasukkan ke dalam
vagina sehingga mani tertampung di
dalamnya dan tidak masuk vagina.
Dengan demikian mencegah terjadinya
pembuahan. Kondom yang menutupi
zakar juga berguna untuk mencegah
penyakit kelamin.
Ada banyak alasan pria tidak mau
pakai kondom karena merasa kesakitan
dan terluka saat memakainya. Hal itu
membuat tujuan penggunaan kondom
gagal dan risiko penyakit menular
meningkat. Untuk itu, pria sebaiknya
pakai ukuran kondom yang sesuai
dengan ukuran alat kelaminnya. Selain
itu pemakaian kondom menyebabkan
sakit dan tidak pas, itulah alasan
sebagian pria yang tidak mau memakai
kondom. Pemakaian kondom yang tidak
tepat memang bisa merobek kondom
atau membuat
kondom terlepas
sehingga mengurangi hasrat seksual
pasangan.
Kondom yang pas sebaiknya
dipilih pria agar risiko yang tidak
diinginkan bisa dicegah. Pria diketahui
tidak suka membeli kondom ukuran
kecil dan sedang karena merasa percaya
diri dengan ukuran alat kelaminnya.
Tapi sebagian pria juga tidak sadar
bahwa kondom yang mereka beli justru
kekecilan.
Faktor lain yang menyebabkan
pria enggan menggunakan kondom
dikarenakan kondom juga mempunyai
beberapa kekurangan, diantaranya:
menganggu kenyamanan bersenggama,
selalu harus memakai kondom yang
baru, selalu harus ada persediaan,
kadang ada yang tidak tahan (alergi)
terhadap karetnya, tingkat kegagalannya
tinggi jika terlambat memakainya,
sobek bila memasukkannya tergesagesa.
Pria dengan kondom yang tidak
pas
akan
cenderung
melepas
kondomnya sebelum acara seks selesai
dan akhirnya tujuan pemakaian kondom
pun gagal. Kondom yang tidak pas
mempunyai dampak bisa berakibat fatal
jika kondom terlepas atau robek.
Kesadaran pria memakai kondom
perlu dibarengi dengan kesadaran yang
tinggi pula akan ancaman berbagai
penyakit seperti gonnore, clamydia,
sifilis, HIV dan lainnya.
2. Kesediaan Melayani Tamu
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan di lokalisasi Kaliwungu
Kecamatan
Ngunut
Tulungagung,
didapatkan dari total 42 responden yang
tidak memakai kondom hampir
seluruhnya dari responden bersedia
melayani tamu, yaitu sebanyak 37
responden (88,1%).
Kesediaan menerima pengaruh
fihak lain itu biasanya tidak berasal dari
hati kecil seseorang akan tetapi lebih
merupakan
cara
untuk
sekedar
memperoleh reaksi positif seperti
pujian,
dukungan,
simpati
dan
semacamnya sambil menghindari hal –
hal yang dianggap negatif. Tentu saja
perubahan perilaku yang terjadi dengan
cara seperti itu tidak akan dapat
bertahan lama dan biasanya hanya
tampak selama pihak lain menyadari
akan perubahan sikap yang ditunjukkan.
Kesediaan WPS melayani tamu
memang pekerjaan mereka menuntuk
23
Jurnal Keperawatan Ilmiah STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012
untuk melayani tamu. Adapun ada
sebagian kecil responden yang tidak
mau
melayani
tamu,
mungkin
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor,
antara lain kondisi fisik mereka,
kesehatan, mood, ataupun faktor lain
sehingga pada saat penelitian ada
sebagian kecil yang menyatakan tidak
melayani tamu.
Hasil penelitian pada diagram 5.1
didapatkan hampir setengah dari
responden berumur diatas 35 tahun.
Dimana pada umur tersebut seorang
wanita sudah mengalami penurunan
fungsi organ seksual, sehingga secara
fisik akan mudah lelah. Hal tersebut
juga menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan ada sebagian responden
yang tidak melayani tamu.
3. Kejadian IMS
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan di lokalisasi Kaliwungu
Kecamatan
Ngunut
Tulungagung,
didapatkan dari total 65 responden
sebagian besar dari responden terinfeksi
IMS, yaitu sebanyak 34 responden
(52,31%).
Infeksi Menular Seksual (IMS)
adalah suatu infeksi yang sebagian
besar penularanya melalui hubungan
seksual. Hubungan seksual tidak hanya
dilakukan secara kelamin, mulut dengan
kelamin, dan tangan dengan alat
kelamin, sehingga kelainan yang timbul
akibat penyakit ini tidak terbatas pada
alat kelamin saja, tetapi dapat juga pada
daerah di luar alat kelamin (ekstra
genital). Tanda-tandanya juga bias pada
mata, mulut, saluran pencernaan, hati,
otak, dan bagian tubuh lainnya.
Contohnya HIV/AIDS dan Hepatitis B
yang menular lewat hubungan seks
tetapi penyakitnya tidak dapat dilihat
dari
kelaminnya,
artinya
alat
kelaminnya masih tampak sehat
meskipun orangnya membawa bibit
24
penyakit ini. Kalau kita berhubungan
seks dengan orang tersebut, kita dapat
tertular walaupun hanya sekali (Dirjen
PPM dan PL, 2004).
IMS bisa terjadi disebabkan oleh
beberapa perilaku seks antara lain:
sering berganti pasangan seksual,
mempunyai lebih dari satu pasangan
seksual,
hubungan seks dengan
pasangan yang tidak dikenal (WPS),
masih terus berhubungan seks walaupun
dengan
keluhan
IMS,
tidak
menggunakan
kondom
saat
berhubungan seks dengan pasangan
berisiko tinggi.
Infeksi
Menular
Seksual
disebabkan oleh kurang lebih 20-50
mikroorganisme yang terdiri atas
bakteri, parasit, jamur dan virus
termasuk HIV (FKUI, 2003).
IMS
seringkali
tidak
menampakkan gejala, terutama pada
wanita. Namun ada pula IMS yang
menunjukkan gejala umum sebagai
berikut : 1) Keluarnya cairan dari
vagina, penis atau dubur yang berbeda
dari biasanya, 2) Rasa perih, nyeri atau
panas saat kencing atau setelah kencing,
atau menjadi sering kencing, 3) Adanya
luka terbuka, luka basah di sekitar
kemaluan atau sekitar mulut (nyeri
ataupun tidak), 4) Tumbuh seperti
jengger ayam atau kutil di sekitar alat
kelamin, 5) Gatal di sekitar alat
kelamin, 6) Terjadi pembengkakan
kelenjar limfa yang terdapat pada
lipatan paha, 7) Pada pria, kantung pelir
menjadi bengkak dan nyeri, 8) Pada
wanita, sakit perut bagian bawah yang
kambuhan
(tetapi
tidak
ada
hubungannya
dengan
haid),
9)
Mengeluarkan
darah
setelah
berhubungan seks, dan 10) Secara
umum merasa tidak enak badan atau
demam.
Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual
(Gretta Hapsari A)
4.
Hubungan Perilaku Pemakaian
Kondom dengan Kejadian IMS
Berdasarkan hasil uji statistik Chi
Square didapatkan nilai p yaitu 0,000 <
0.05, sehingga HO ditolah dan H1
diterima, berarti “ada hubungan antara
perilaku pemakaian kondom dengan
kejadian IMS di lokalisasi Kaliwungu
Kecamatan Ngunut Tulungagung”.
Kejadian
IMS
berhubungan
dengan perilaku kesehatan, yaitu
dimana transaksi seksual atau aktivitas
seksual
antara
WPS
dengan
pelanggannya berlangsung dengan tidak
aman dan tidak terlindungi dari
berbagai macam penularan IMS.
Batasan ini mempunyai dua unsur
pokok yaitu respon dan stimulus atau
perangsangan. Respon atau reaksi
manusia,
baik
bersifat
positif
(pengertian, persepsi, dan sikap) mampu
bersifat aktif (tindakan yang nyata atau
praktis), sehingga apabila seseorang
memahami pola perilaku seksual
sehingga dampaknya adalah angka
kejadian IMS akan menurun.
Perjalanan IMS berawal dari
adanya penderita IMS, baik yang
menimbulkan gejala maupun yang
bersifat
asimtomatis,
melakukan
interaksi yang intens dengan manusia
lainnya yang tidak menderita IMS.
Interaksi tersebut salah satunya adalah
interaksi seksual (sexual interaction),
dimana hubungan seksual yang terjadi
antara penderita IMS dengan pasangan
seksnya yang tidak menderita IMS
berlangsung tidak aman. Hal tersebut
bisa berupa pola hubungan seksual yang
tidak sewajarnya, misalnya melalui
anus (anal intercourse), ataupun
hubungan seksual yang tidak terlindungi
yaitu tanpa penggunaan kondom
sebagai barier yang dimiliki oleh
partner seksualnya.
Hasil penelitian pada tabel 5.4
didapatkan bahwa dari total 65
responden, hampir setenganya dari
responden tidak memakai kondom dan
terinfeksi penyakit IMS, yaitu sebanyak
32 responden (49,23%).
Hal tersebut menunjukkan bahwa
pada orang-orang yang berperilaku
seksual berisiko tinggi, hanya kurang
dari 1 orang yang tertular IMS pada
kelompok pengguna kondom. Secara
medis dan epidemiologis diketahui
bahwa akan terjadi penurunan penularan
IMS pada para pengguna kondom. Dari
studi tersebut juga diketahui bahwa
kondom efektif mencegah IMS.
Bila digunakan secara benar dan
konsisten, kondom mempunyai peranan
penting dalam kesehatan masyarakat,
khususnya dalam pencegahan IMS,
termasuk HIV dan Hepatitis B.
Penggunaan kondom yang baik akan
mengurangi risiko terinfeksi penyakit
tersebut, bagi mereka yang tidak
mampu berpuasa seks.
Kondom memiliki fungsi double
protection yaitu selain untuk mencegah
penularan IMS juga dapat digunakan
sebagai alat kontrasepsi. Hingga saat ini
kondom merupakan alat kontrasepsi
yang paling efektif untuk mengurangi
risiko penularan penyakit seksual.
Bahkan vasektomi atau pemotongan
saluran sperma pada pria pun tidak
mampu mencegah IMS.
Orang yang sudah mengetahui
dirinya terinfeksi IMS harus tetap
menggunakan kondom walaupun sudah
divasektomi untuk mencegah penularan
IMS pada pasangannya, kecuali IMSnya sudah diobati dan sembuh. Meski
demikian, angka penggunaan kondom
pada masyarakat Indonesia masih
rendah.
Pengetahuan dan penyebaran
informasi tentang kondom masih sangat
rendah
sehingga
orang
belum
menggunakannya
secara
tepat.
Kegagalan kondom lebih sering
disebabkan
pemakainya
tidak
25
Jurnal Keperawatan Ilmiah STIKES Hang Tuah Surabaya Volume 3 Nomer 2/April 2012
menggunakannya dengan benar, dan
bukan karena mutu kondom itu sendiri.
Mengingat bahwa tidak ada obat
atau intervensi lain dalam pencegahan
IMS, maka penggunaan kondom secara
konsisten dalam berhubungan seksual
merupakan cara pencegahan penularan
IMS yang paling efektif selain dengan
cara abstain seks.
5.
Hubungan Kesediaan Melayani
Tamu dengan Kejadian IMS
Berdasarkan hasil uji statistik Chi
Square didapatkan nilai p yaitu 0,035 <
0.05, sehingga HO ditolak dan H1
diterima, berarti “ada hubungan antara
kesediaan melayani tamu dengan
kejadian IMS di lokalisasi Kaliwungu
Kecamatan Ngunut Tulungagung”.
WPS adalah orang yang bekerja
dengan memperdagangkan seksual. IMS
adalah
penyakit
infeksi
yang
penularannya
terutama
melalui
hubungan seksual. Banyak kasus yang
asimtomatik terutama pada penderita
wanita, kurangnya kesadaran dari para
WPS dan mahalnya biaya pengobatan
yang
menyebabkan
para
WPS
mengobati
sendiri
penyakitnya.
Kesediaan melayani tamu saat sakit
IMS berhubungan dengan perilaku
kesehatan, dimana aktifitas seksual
antara WPS dengan pelanggannya
berlangsung tidak aman dan tidak
terlindungi.
Dalam semalam, WPS biasa
melayani empat sampai lima tamu, dan
hampir semuanya tidak menggunakan
kondom. Hasil penelitian pada diagram
5.3 menunjukkan bahwa dari total 65
responden hampir setengah dari
responden telah menjadi WPS lebih dari
2 tahun, yaitu sebanyak 27 responden
(42%), sehingga dengan pelayanannya
terhadap tamu yang terhitung sudah
sering tersebut, didukung dengan
sebagian
besar
responden tidak
26
menggunakan kondom, maka penularan
IMS sangat rentan sekali terjadi.
Terjadinya penularan IMS melaui
mukosa kulit tubuh yang terbuka,
misalnya pada mukosa dinding vagina,
konjungtiva mata, dinding anus atau
rektum, permukaan kulit yang terbuka.
Kemudian bakteri tersebut akan
berpindah tempat pada manusia sehat
lainnya, berkembang biak, melakukan
metatase atau penyebaran ke seluruh
tubuh melalui sistem peredaran darah.
Pada keadaan lanjut setiap hubungan
seksual
yang
dilakukan
akan
membuahkan penderita IMS baru, dan
akan seperti itu seterusnya jika tidak
tertangani dengan baik. Mobilitas yang
tinggi dari para WPS akan mempercepat
penyebarluasan
IMS
yang
juga
melibatkan masyarakat berisiko rendah
seperti ibu rumah tangga dan lainnya,
yang dijembatani oleh para pelanggan
WPS.
Simpulan
Tingginya angka kejadian IMS
di karenakan pengunjung yang tidak
memakai kondom dan kesediaan WPS
dalam melayani tamu meskipun tamu
tersebut tidak memakai kondom.
Saran
Disarankan bagi WPS agar
meningkatkan
kesadaran
untuk
memakai kondom karena mampu
mengurangi kejadian IMS.
Dan untuk petugas kesehatan
setempat agar sering mengadakan
penyuluhan
kesehatan
tentang
pentingnya
menghindari
penyakit
infeksi yang penularannya terjadi lewat
hubungan seksual yang sering berganti
pasangan.
Perilaku Pemakaian Kondom Dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual
(Gretta Hapsari A)
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto,
S.
(1998).
Prosedur
Penelitian
Suatu
Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
___________.
(2002).
Prosedur
Penelitian
Suatu
Pendekatan
Praktik. Edisi Revisi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Daili S.F. (1999). Penyakit Menular
Seksual. Edisi 2. Jakarta: FKUI.
___________.
(2003).
Penyakit
Menular Seksual. Edisi 2. Jakarta:
FKUI.
Dinas
Kesehatan
Kabupaten
Tulungagung. Laporan Tahun
2009/2010.
FKUI.
(2000).
Kapita
Selekta
Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius.
___________. (2000). Kapita Selekta
Kedokteran Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius.
Hupatena, Ronald. (2003). AIDS, PMS
dan Perkosaan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Mahfoez, I, dkk. (2005). Metodologi
Penelitian Bidang Kesehatan,
Keperawatan dan Kebidanan. Ed.
Yogyakarta: Fitra Maya.
Manuaba,
IBG.
(2005).
Ilmu
Kebidanan Penyakit Kandungan
dan Keluarga Berencana Untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
Margono. (2001). Dampak Pergaulan
Bebas. Jakarta: Rekayasa Putra.
Muchtar, Rustam. (2005). Sinopsis
Obstetri Patologi. Jakarta: EGC.
Mundiharno. (1999). Perilaku Seksual
Beresiko Tertular PMS dan
HIV/AIDS. Universitas Gajah
Mada.
Notoatmodjo. Soekidjo. (2002). Metode
Penelitian Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.
____________.
(2003).
Metode
Penelitian Kesehatan dan Ilmu
Perilaku
Kesehatan.
Jakarta:
Rineka Cipta.
Nurainur.
(1997).
Pengantar
Epidemiologi Penyakit Menular.
Jakarta: Rineka Cipta.
___________. (2003). Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan
Konsep dan Penerapan. Jakarta:
Salemba Medika.
RI,
Depkes.
(1999).
Pedoman
Pengobatan Penyakit Menular
Seksual. Jakarta: Ditjen PPM &
PLP.
____________.
(1996).
Pedoman
Penatalaksanaan
Penyakit
Menular Seksual. Jakarta: Ditjen
PPM & PLP.
____________.
(2003).
Pedoman
Penatalaksanaan
Penyakit
Menular Seksual. Jakarta: Ditjen
PPM & PLP.
Meliono, Armayanti. (2007). Perilaku
Seksual.
[internet].
http://id.wikipedia.org. Diakses 21
Juni 2010.
www.cybernet.com. Anonim. (2007).
Upah Tenaga Kerja Wanita.
Wening, Noor. (2009). Mitos dan
Perilaku
Seksual
Remaja.
[internet]. http://www.jawapos.com.
Diakses 21 Juni 2010.
Suryaatmadja,
Susanto.
(2009).
Kencing Nanah Ancam Anak, Ada
Yang Mengaku Pernah Ke
Lokalisasi.
[internet].
http://www.jawapos.com. Diakses
21 Juni 2010.
1
Dosen
Fakultas
Ilmu
Universitas Kadiri Kediri
Kesehatan
27
Download