BAB V PEMBAHASAN A. Karakteristik responden yang mempengaruhi sikap seks pranikah Seluruh responden merupakan remaja yang rentang usianya antara 15-19 tahun di RW 19 Kelurahan Jebres. Sebagian besar responden memiliki karakteristik usia yang sama pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Usia merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang termasuk daya tangkapnya dalam penerimaan materi yang diberikan. Remaja dapat mempunyai pandangan (opini) yang kurang tepat mengenai seks pranikah apabila konsep yang dimilikinya salah. Hal ini berkaitan dengan kesiapan organ dalam menerima materi pada usia reproduksi dan mulai melemahnya penerimaan akan suatu materi seiiring dengan bertambahnya usia (Mubarak dkk, 2007). James-Traore (2001) dalam Imron (2012) menjelaskan bahwa masa remaja pertengahan pada rentang usia antara 15-19 tahun. Mayoritas usia responden dalam penelitian ini yaitu 17 tahun. Usia 17 tahun termasuk dalam masa remaja pertengahan yang menuju tahap dewasa muda. Usia-usia inilah remaja akan lebih mencari kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain guna memperoleh pengalaman yang baru. Pengalaman yang baru dapat membentuk identitas seksual yang sulit untuk berubah lagi karena sudah menjadi pola sikap maupun perilaku seseorang sehingga dibutuhkan perwujudan kemitraan dari berbagai pihak. 54 55 Sebagian besar jenis kelamin dalam penelitian ini yaitu laki-laki. Remaja dalam mengembangkan sikap seksualitas dan tingkah lakunya sesuai dengan peran jenis kelaminnya. Menurut Sarwono (2003) dalam Na’mah (2014) menjelaskan bahwa pada masa remaja mengalami perubahan hormonal dan organ sistem reproduksi yang mulai bekerja. Proses reproduksi inilah yang menyebabkan adanya dorongan biologis untuk melakukan seks pranikah. Laki-laki pada masa remaja mulai menaruh perhatian pada perempuan dan berkencan. Hasil penelitian ini didukung dari hasil wawancara SDKI-KRR bahwa 33,3% remaja perempuan berpacaran pertama kali usia 15-17 tahun dan 34,5% remaja laki-laki mulai berpacaran saat belum berusia 15 tahun (Kementerian Kesehatan RI,2014). Pacar merupakan salah satu orang yang dipercaya, dianggap penting dan paling sering berkomunikasi sehingga dapat mempengaruhi seseorang dalam bersikap. Remaja cenderung lebih memilih sikap yang sama atau sesuai dengan orang yang dianggap penting. Hal inilah yang dapat mempengaruhi seseorang untuk bersikap positif maupun negatif. Hasil ini sejalan dengan teori Azwar (2012) bahwa seseorang yang dianggap penting, diharapkan persetujuannya, yang tidak ingin dikecewakan dan berarti dapat mempengaruhi sikap terhadap sesuatu. Kemudian, timbul motivasi untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. Hasil penelitian tersebut juga didukung studi kualitatif Na’mah (2014) yang menunjukkan penyebab remaja melakukan seks pranikah karena pacar, dan untuk kesenangan atau nafsu. Selain itu, tidak semua remaja dapat 56 mengontrol hasrat seksualnya dan tidak dapat mengambil keputusan tentang kehidupan seksualnya akibat ajakan pacar atau teman dekatnya. Data dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa sebagian besar responden tidak mempunyai pacar. Namun, sebagian besar responden bersikap negatif dengan menunjukkan sikap yang mendukung ketika pacaran diperbolehkan memegang-megang asalkan sesuai dengan norma-norma yang ada. Norma agama dan kesopanan merupakan salah satu contoh norma yang berlaku di masyarakat. Pemahaman baik dan buruk perlu ditanamkan pada remaja sejak dini melalui peran orang tua dan guru, sehingga remaja dapat lebih menjaga sikapnya terhadap seks pranikah. Teori Azwar (2012) mengungkapkan bahwa lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. B. Pengaruh pendidikan sebaya terhadap sikap seks pranikah remaja usia 15-19 tahun di RW 19 Kelurahan Jebres Ada pengaruh pendidikan sebaya terhadap sikap seks pranikah remaja usia 15-19 tahun di RW 19 Kelurahan Jebres. Hal ini terlihat karena adanya perubahan sikap kearah positif yang berarti setelah diberikan pendidikan sebaya. Kegiatan pendidikan sebaya dapat memberikan informasi yang tidak dapat diberikan keluarga terutama orang tua. Remaja dapat bertanya dan berpendapat mengenai kehidupannya terutama mengenai kesehatan reproduksi. Terkadang remaja menganggap hal tersebut sesuatu yang tabu dan aneh untuk diperbincangkan didepan khalayak umum. Namun, dalam pendidikan sebaya 57 remaja dapat lebih terbuka dan percaya dalam menyampaikan pikirannya karena remaja sudah merasa akrab terlebih dahulu dengan peer educator. Menurut Clayton dan Mercer (2012) menjelasksan bahwa sebagian besar studi eksperimental yang dikembangkan atas dasar penelitian Zajonc (1968) yaitu paparan berulang dapat meningkatkan kesukaan pada stimulus yang menunjukkan bahwa keakraban dengan suatu objek dapat mendorong sikap positif terhadap objek tersebut. Orang yang paling sering ditemui dan berinteraksi adalah yang paling mungkin menjadi teman dan kekasih sehingga menimbulkan efek keakraban Pemenuhan kebutuhan emosional individu mulai beralih dari orang tua ke teman sebaya saat masa remaja. Teman sebaya tidak harus mempunyai usia yang sama, namun tingkat kedewasaannya kurang lebih sama yaitu antara usia 15 sampai 19 tahun. Banyak orang tua yang tidak mengetahui dan memahami secara baik informasi tentang kesehatan reproduksi sehingga cenderung tertutup apabila anak menanyakan masalah seksualitas (Imron, 2012). Gerungan & Psych (2010) menjelaskan bahwa interaksi sosial dalam keluarga harus berlangsung atas dasar dua cinta kaih yang timbal balik sehingga dapat menjamin hubungan yang baik supaya anaknya tidak segan untuk menceritakan isi hatinya. Dukungan antar teman sebaya sangat diperlukan dalam meningkatkan partisipasi remaja dalam mengikuti program pendidikan kesehatan. Terutama dalam lingkup masyarakat sangat diperlukan dukungan dari para tokoh masyarakat seperti ketua RW, ketua RT, ibu-ibu kader dan seluruh orang tua 58 supaya menyadarkan remaja akan pentingnya kesehatan reproduksi. Hal ini dikarenakan remaja masa kini lebih menyukai bermain di luar dari pada mencari ilmu melalui pendidikan kesehatan. Imron (2012) menjelaskan bahwa pendidikan kesehatan dimaknai sebagai satu kesatuan yang utuh dari masyarakat secara keseluruhan yaitu masyarakat dibangun bersama dengan cara saling kerja sama antar anggota. Kunci keberhasilan proses pendidikan sebaya terletak pada peran peer educator dalam menyampaikan informasi ke teman sebayanya. Hal ini terlihat dari keaktifan remaja dalam mengikuti serangkaian kegiatan pendidikan sebaya. Antusias remaja terlihat dari pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan dan terkadang mencakup diluar konteks pembahasan. Kemampuan berpikir kritis pada remaja dilandasi rasa keingintahuan yang besar. Rasa keingintahuan yang besar pada remaja dapat difasilitasi melalui kegiatan pendidikan sebaya. Pendidikan sebaya dapat meminimalkan remaja mengakses sumber informasi yang kurang terpercaya maupun berbau pornografi pada situs-situs internet karena dapat memicu remaja untuk bersikap negatif terhadap sikap seks pranikah. Hal ini sejalan dengan pendapat Soetjiningsih (2004) dalam Na’mah (2014) bahwa salah satu penyebab seks pranikah yaitu penyebaran informasi melalui media masssa. Remaja juga seringkali merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan seks pranikah sehingga mereka mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media massa (Syafruddin, 2008 dalam Irawati, dkk, 2013). 59 Pemberian pendidikan sebaya terhadap remaja dapat mempengaruhi sikap terhadap seks pranikah yang sebelumnya bersikap negatif dapat berubah menjadi positif. Hal ini dapat dikarenakan informasi kesehatan reproduksi disampaikan teman sebayanya sehingga tidak ada ketakutan dari setiap individu dalam bertanya ataupun berpendapat. Hal ini didukung hasil penelitian Hartati (2010) bahwa remaja merasa bahwa membahas masalah seksual, kesehatan reproduksi remaja, perilaku seksual akan lebih senang dilakukan dengan atau antar teman sebaya sendiri. Namun, dalam pelaksanaan pendidikan sebaya sangat diperlukan peran tenaga kesehatan supaya penyampaian informasinya sesuai dengan sebagaimana mestinya. Pelaksanaan pendidikan sebaya memerlukan pendampingan tenaga kesehatan dalam setiap kegiatan. Tenaga kesehatan berperan sebagai orang yang ahli dalam bidang kesehatan seperti bidan, perawat dan dokter. Bidan dapat membantu peer educator apabila tidak mampu menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan remaja. Selain itu, tenaga kesehatan juga mengawasi kegiatan supaya informasi yang disampaikan peer educator tidak salah sehingga remaja dapat dipastikan memperoleh informasi yang tepat. Gerungan & Psych (2010) juga menjelaskan bahwa orang cenderung menerima pandangan-pandangan atau sikap-sikap tertentu apabila pandangan/sikap tersebut dimiliki oleh para ahli dalam bidangnya sehingga memiliki penghargaan sosial yang tinggi dan dapat lebih dipercaya. 60 Metode pendidikan sebaya yang diberikan oleh peer educator semakin baik apabila diberikan di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Remaja akan lebih terbuka dan percaya dalam menyampaikan hal-hal yang sangat sensitif dan masalah yang ada dapat diselesaikan dengan mudah melalui pendidikan sebaya. Dalam penelitian ini terlihat perubahan sikap remaja yang signifikan sebelum dan sesudah diberikan pendidikan sebaya pada kelompok eksperimen. Hasil penelitian ini didukung dengan penilitian Amelia (2014) yang berjudul “Pendidikan sebaya meningkatkan pengetahuan sindrom pramenstruasi pada remaja” menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pendidikan kesehatan melalui metode pendidikan sebaya terhadap pengetahuan remaja tentang sindrom pramenstruasi. Penelitian ini juga didukung hasil penelitian Irawati, dkk (2013) dengan judul “Studi akses terhadap media kesehatan reproduksi pada kalangan remaja di SMA Negeri 9 Bulukumba Kabupaten Bulukumba” bahwa remaja mayoritas menghabiskan waktu bersama teman-temannnya melebihi waktu yang dihabiskan dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya, sehingga pengaruh teman sebaya lebih besar dari pengaruh keluarga. Hal inilah yang mendukung pemberian informasi mengenai kesehatan reproduksi lebih besar pengaruhnya apabila diberikan oleh teman sebaya melalui pendidikan sebaya. Keterbatasan dalam penelitian ini, terlihat saat pelaksanaan tidak dilakukan proses matching antara responden kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol karena terkendala waktu. Tidak dilakukan matching dapat menyebabkan kurang homogennya responden pada kedua kelompok.