104 G. PEMBAHASAN UMUM Ekstrak etil asetat biji atung mempunyai aktivitas yang berbeda terhadap bakteri S. aureus, P. fluorescens, E. coli, B. subtilis dan L. plantarum yang ditunjukkan oleh perbedaan nilai MIC masing-masing bakteri. S. aureus adalah bakteri Gram positif dengan MIC 0,3% (v/v) sama dengan nilai MIC P. fluorescens bakteri Gram negatif. E. coli sama-sama Gram negatif dengan P. fluorescens mempunyai nilai MIC lebih tinggi yaitu 0,5 % (v/v). Nilai MIC E. coli ini sama dengan MIC B. subtilis bakteri Gram positif penghasil spora. L. plantarum memperlihatkan resistensi terhadap ekstrak etil asetat biji atung sampai penambahan ekstrak 2,5% (v/v) belum memperlihatkan penghambatan. Perbedaan kepekaan terhadap ekstrak etil asetat biji atung menyebabkan perbedaan pola inaktivasi sel. Pola inaktivasi pada dosis ekstrak biji atung di bawah MIC, S. aureus mengalami regenerasi yang terjadi pada kisaran dosis yang luas (0,35- 0,9 MIC), sementara pada sel P. flourescens sel mengalami statis dahulu setelah itu baru terjadi regenerasi yang terjadi pada kisaran dosis yang sempit ( 0,53- 0,61 MIC). Pola inaktivasi pada dosis di atas MIC, sel mengalami kematian dengan pola kematian yang berbeda antar sel S. aureus, flourescens dan E. coli. Pola kematian bersifat logaritmik, dengan penyimpangan pada awal kurva (bahu) dan akhir kurva (ekor). Bahu E. coli panjang dan lebih panjang dari S. aureus sedangkan P. fluorescens panjang bahunya sama dengan S. aureus pendek tetapi dengan pola menurun. Bahu ditemukan pada dosis dan dosis mendekati MIC pada ke tiga jenis bakteri uji. Pada S. aureus semakin tinggi dosis bahu bahu hilang, perlahan-lahan muncul ekor, pada P. fluorescens pada dosis dan dosis sedikit lebih besar dari MIC ditemukan ekor yang pendek akan tetapi pada dosis yang lebih tinggi ekor tersebut tidak ditemukan sementara pada E. coli tidak ditemukan ekor sama sekali. Perbedaan bentuk pola kematian menyebabkan perbedaan laju dan ketahanan bakteri terhadap ekstrak biji atung yang dihitung dari parameter laju inaktivasi (D dan z). Dari kurva kematian yang bersifat logaritmik di dalam media cair NB, didapat nilai D pada dosis 1.0 MIC (3,20 mg/ml) 3,14 jam nilai ini lebih kecil dari nilai D P. flourescens pada dosis yang sama yaitu 3,87 jam. 105 Untuk setiap peningkatan dosis yang sama, nilai D S. aureus selalu lebih kecil dari nilai D P. flourescens, akan tetapi pada nilai D absolut yaitu pada dosis tinggi sekali dari S. aureus yaitu 5,34 mg/ml menghasilkan nilai D yang lebih besar dari nilai D P. fluorescens pada dosis yang sama. Artinya pada dosis tinggi, peningkatan dosis tidak banyak berpengaruh terhadap nilai D dari sel S. aureus dibandingkan P. fluorescens. Nilai D S. aureus di dalam pangan model padat jauh lebih besar (78,9 jam) dibandingkan nilai D pada media cair NB pada dosis ekstrak sama (3,14 jam). Nilai D yang lebih besar menunjukkan bahwa bakteri S. aureus lebih tahan di dalam media padat dibandingkan dalam media cair terhadap ekstrak etil asetat biji atung. Perbedaan ketahanan disebabkan karena perbedaan struktur, susunan dan komposisi kimia dari dinding dan membran sel bakteri. Dinding sel bakteri Gram positif seperti S. aureus mempunyai susunan matriks yang lebih terbuka dan tidak memiliki molekul reseptor spesifik (Russel, 1991). Disamping itu dinding sel yang S. aureus lebih banyak disusun oleh asam-asam amino alanin yang bersifat hidrofobik (Franklin dan Snow, 1989). Sifat ini menyebabkan S. aureus lebih sensitif terhadap ekstrak etil asetat biji atung yang bersifat semipolar mengarah ke nonpolar. L. plantarum yang juga Gram positif sama dengan S. aureus tetapi sangat tahan terhadap ekstrak etil asetat biji atung. Hal ini disebabkan karena dinding selnya lebih bersifat polar.bersifat polar. Pada permukan dinding sel L. plantarum terdapat asam lipoteikoat yang mempunyai rantai gliserol fosfat yang panjang dan bersifat polar yang muncul pada permukaan dinding sel (Moat dan Foster, 1989) dan disamping itu jenis peptidoglikan yang dominan pada Lactobacillus adalah Lys-D-Asp ( Pot et al, 1994). Bakteri Gram negatif mempunyai dinding sel yang lebih bersifat hidrofilik, karena pada dinding selnya terdapat molekul lipopolisakarida (LPS) bersifat polar. E. coli mempunyai ketahanan yang lebih tinggi dibandingkan P. fluorescens disebabkan karena semua protein utama penyusun dinding sel adalah protein asam, dan pada permukaan dinding terdapat polisakarida asam dalam jumlah nyata yang berguna untuk mempertahan sel dari serangan musuh (Nikaido dan Vaara, 1985). Perbedaan struktur, sifat dan komposisi kimia dinding dan membran sel menyebabkan perbedaan mekanisme inaktivasi sel. Mekanisme inaktivasi sel 106 bakteri oleh senyawa antimikroba dapat dipelajari dari perubahan-perubahan bentuk sel akibat kerja antimikroba. Dari hasil penelitian ini, dari pengamatan perubahan-perubahan sel yang dapat diamati melalui SEM dan TEM, perubahan yang dapat diamati pada sel S. aureus adalah terbentuknya tonjolan, penebalan dinding sel, peningkatan densitas sitoplasma, penurunan jumlah septa, terbentuknya bermacam-macam bentuk sel yang tidak normal. Semua indikasi kerusakan ini menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat biji atung bekerja menganggu enzim-enzim yang bekerja mensintesis dinding, menganggu sintesis protein, protein dan asam nukleat yang terdapat di dalam sel S. aureus. Sementara pada sel P. fluorescens, perubahan yang dapat diamati adalah ukuran sel menjadi lebih besar dan panjang, terbentuk septa yang jumlah septa makin banyak dengan makin tingginya dosis, terbentuk ruang antara membran sitoplasma dengan sitoplasma, sel lisis, dan mengkerut. Indikasi dari perubahan-perubahan ini adalah bahwa ekstrak biji atung menganggu dinding sel dengan merubah permeabilias dinding sel, menganggu protein dan asam nukleat, menganggu enzim-enzim yang bekerja pada dinding sel, menganggu membran plasma. Dari pola kebocoran sel, pada sel S. aureus jumlah asam nukleat yang dilepaskan oleh sel lebih banyak dari pada protein. Bila dikaitkan dengan kurva inaktivasi sel pada dosis di bawah MIC, cepatnya jumlah sel S. aureus menurun menunjukkan bahwa pertahanan sel tidak di dinding sel. Diperkirakan ekstrak langsung dapat dengan cepat mencapai dan bereaksi dengan sisi sensitif sel, yaitu DNA yang dibuktikan dari asam nukleat yang dilepaskan oleh sel lebih tinggi dari protein. Cepat pulihnya sel S. aureus disebabkan karena sel ini mempunyai sistem pertahanan dalam bentuk penebalan dinding sel. Terjadinya penebalan dinding sel karena ekstrak etil asetat hanya menganggu sintesis protein tetapi tidak menganggu sintesis peptidoglikan. Menurut Roger (1980) pada beberapa organisme penebalan dinding sel terjadi bila sintesis protein dihambat dan sintesis dinding tetap berlanjut. Dari pola kebocoran ion-ion Ca++ dan K+ ternyata ekstrak etil asetat bekerja pada membran sel S. aureus yang dapat dilihat dari pola kebocoran ion K yang lebih besar dibandingkan dari ion K+ pada sel P. fluorescens. 107 Pada sel P. fluorescens jumlah protein dan asam asam nukleat yang dilepaskan sama dan dari densitas sitoplasma, sitoplasma sel P. fluorescens tidak sepadat sel S. aureus. Kedua hal ini menandakan bahwa ekstrak hanya menyebabkan kebocoran sel, tetapi tidak langsung menganggu protein. Dari pola peningkatan ion Ca++ dan K+ yang dilepaskan, jumlah ion Ca++ meningkat secara tajam sementara ion K+ jauh lebih lambat, hal ini menunjukkan bahwa ekstrak bekerja pada dinding sel terlebih dahulu setelah itu baru membran bocor. Hal ini juga dapat dibuktikan dari pola inaktivasi sel P. fluorescens pada dosis di bawah MIC, dimana pola inaktivasi P. fluorescens statis dahulu baru regenerasi, berbeda dengan S. aureus langsung turun dengan cepat kemudian meningkat kembali. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mekanisme inaktivasi sel S. aureus oleh ekstrak etil asetat biji atung berbeda dengan mekanisme inaktivasi sel P. fluorescens, pada sel S. aureus ekstrak bekerja pada membran sementara pada sel P. fluorescens ekstrak bekerja pada dinding (membran luar sel). Perbedaan mekanisme inilah yang menyebabkan peningkatan dosis pada S. aureus kurang sensitif terhadap nilai D dibandingkan P. fluorescens.