TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Cabai Taksonomi dan Morfologi Cabai Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae). Famili tumbuhan ini diduga memiliki sekitar 90 genus dan sekitar 2000 spesies yang terdiri atas tumbuhan herba, semak, dan tumbuhan kerdil lainnya. Genus cabai (Capsicum) mencakup sekitar 20 spesies yang sebagian besarnya tumbuh di tempat asalnya, yaitu Amerika. Beberapa spesies yang sudah umum antara lain cabai besar (C. annuum), cabai rawit (C. frustescens), C. baccatum, C. pubescens, dan C. chinense (Siemonsma & Piluek 1994). Ciri-ciri umum cabai adalah memiliki batang yang tegak dengan batang berkayu dan jumlah cabang banyak. Daun cabai umumnya berwarna hijau muda sampai hijau gelap bergantung pada varietasnya. Bentuk daun cabai umumnya bulat telur, lonjong, dan oval dengan ujung meruncing, tergantung jenis dan varietasnya. Bunga cabai berbentuk seperti terompet, terdiri atas kelopak bunga, mahkota bunga, benang sari, dan putik. Posisi bunga menggantung dengan warna mahkota putih. Bunga cabai merupakan bunga berkelamin dua karena benang sari dan putik terdapat dalam satu tangkai. Buah cabai memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda-beda tergantung jenis dan varietasnya (Wiryanta 2002). Syarat Tumbuh Tanaman cabai berasal dari Amerika Tengah dan dapat tumbuh di dataran rendah atau tinggi serta dapat ditanam pada musim kemarau ataupun musim penghujan. Waktu tanam yang tepat disesuaikan dengan jenis lahan. Menurut Sumarni (1996), pemilihan waktu tanam yang paling tepat penting dilakukan terkait dengan ketersediaan air dan curah hujan. Tanaman cabai dikenal sebagai tanaman yang tidak terlalu tahan terhadap curah hujan yang tinggi. Curah hujan yang tinggi pada saat tanaman cabai sedang berbunga dapat mengakibatkan bunga rontok sehingga jumlah buah juga berkurang (Widodo 2002). Untuk lahan kering atau tegalan dengan drainase yang baik, waktu tanam yang tepat adalah awal musim penghujan, sedangkan untuk lahan sawah adalah akhir musim penghujan. 6 Tanah yang cocok untuk tanaman cabai agar tumbuh dengan subur adalah tanah yang gembur dengan pH 5,5-6,8, kandungan unsur hara seimbang, dan kaya bahan organik (Widodo 2002). Suhu rata-rata yang baik untuk pertumbuhan cabai adalah 18-28 ˚C. Meskipun demikian suhu yang benar-benar optimum adalah 2128 ˚C. Khusus cabai besar, suhu rata-rata yang optimum adalah 21-25 ˚C, untuk fase pembungaan dibutuhkan suhu udara antara 18,3 dan 26,7 ˚C. Suhu rata-rata yang terlalu tinggi dapat menurunkan jumlah buah. Suhu rata-rata di atas 32 ˚C dapat mengakibatkan tepung sari menjadi tidak berfungsi. Suhu rata-rata yang tinggi pada malam hari juga dapat berpengaruh kurang baik terhadap produksi cabai (Widodo 2002). Kegunaan Buah Cabai Buah cabai pada umumnya digunakan sebagai bahan makanan yang digunakan sebagai bumbu masak. Akan tetapi buah cabai juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain, seperti untuk terapi kesehatan dan bahan ramuan tradisional. Berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa buah cabai dapat membantu menyembuhkan kejang otot, rematik, sakit tenggorokan, dan alergi. Cabai juga dapat membantu melancarkan sirkulasi darah dalam jantung. Selain itu, cabai dapat digunakan sebagai obat oles kulit untuk meringankan rasa pegal dan dingin akibat rematik dan encok karena bersifat analgesik (Wiryanta 2002). Berbagai khasiat cabai tersebut disebabkan oleh senyawa kapsaisin (C18H27NO3). Buah cabai mengandung lima senyawa kapsaisinoid, yaitu nordihidrokapsaisin, kapsaisin, dihidrokapsaisin, homokapsaisin, dan homodihidrokapsaisin (Wiryanta et al. 2010). Senyawa-senyawa tersebut bisa dijadikan obat untuk pengobatan sirkulasi darah yang tidak lancar di kaki, tangan, dan jantung. Cabai juga mengandung kapsikidin yang terdapat dalam biji, berguna untuk memperlancar sekresi asam lambung dan mencegah infeksi sistem pencernaan. Senyawa lain yang terdapat dalam buah cabai adalah kapsikol yang berfungsi sebagai pengganti minyak kayu putih untuk mengurangi pegal-pegal, rematik, sakit gigi, sesak napas, dan gatal-gatal (Wiryanta 2002). 7 Lalat Buah Taksonomi Lalat Buah Lalat buah termasuk dalam ordo Diptera, famili Tephritidae, subfamili Dacinae, dan tribe Dacinae. Secara morfologi tribe Dacinae dibagi menjadi tiga genus, yaitu Bactrocera, Dacus, dan Monacrostichus (White & Harris 1992). Di Indonesia bagian barat terdapat 90 spesies lalat buah yang termasuk jenis lokal, tetapi hanya delapan spesies yang termasuk hama penting, yaitu Bactrocera (Bactrocera) albistrigata (de Meijere), B. (B.) carambolae (Drew dan Hancock), B. (B.) papayae (Drew dan Hancock), B. (B.) umbrosa (Fabricius), B. (Z.) cucurbitae (Coquilett), B. (Z.) tau (Walker), dan Dacus (Callantra) longicornis (Wiedeman). Lalat buah yang umum menyerang cabai adalah B. (B.) carambolae dan B. (B.) papayae (Siwi et al. 2006). Kedua jenis lalat buah tersebut termasuk B. (B.) dorsalis kompleks yang sulit dibedakan satu dengan yang lain tanpa menggunakan alat bantu mikroskop (Muryati et al. 2007). Gejala Serangan Lalat Buah Lalat buah betina menyerang buah cabai dengan memasukkan telur melalui ovipositornya ke dalam buah (Agarwal 1984). Pemasukan ovipositor ke dalam buah menyebabkan adanya gejala tusukan pada buah berupa tanda titik berwarna gelap cokelat kehitaman. Telur kemudian menetas menjadi larva yang hidup, makan dan berkembang di dalam buah sehingga buah menjadi busuk berisi larva atau dikenal dengan bilatung (Kalshoven 1981). Sesudah telur menetas, larva membuat lubang di dalam buah sehingga mempermudah masuknya bakteri dan cendawan (Siwi et al. 2006). Lalat buah hidup secara simbiosis mutualisme dengan bakteri, sehingga ketika lalat buah meletakkan telur pada buah, bakteri akan terbawa dengan diikuti cendawan yang akhirnya menyebabkan busuk. Sesudah telur menetas, larva mengorek daging buah sambil mengeluarkan enzim perusak atau pencerna yang berfungsi melunakkan daging buah sehingga mudah diisap dan dicerna. Enzim tersebut diketahui yang mempercepat pembusukan, selain bakteri pembusuk yang mempercepat aktivitas pembusukan buah. Bakteri tersebut hidup pada dinding 8 ovari, tembolok, dan ileum lalat (Hill 1983; Ria 1994). Buah yang terserang lalat buah dan busuk, akhirnya jatuh ke tanah. Siklus Hidup Lalat Buah Lalat buah termasuk serangga yang bermetamorfosis sempurna, yaitu melewati empat fase perkembangan: telur, larva, pupa, dan imago. Lalat buah betina dapat meletakkan telur 1-40 butir per hari. Seekor lalat buah betina mampu memproduksi telur sampai 800 butir selama hidupnya (Metcalf & Flint 1951). Telur berwarna putih berbentuk bulat panjang, dan diletakkan berkelompok 2-15 butir. Telur akan menetas menjadi larva 2 hari setelah telur diletakkan di dalam buah. Larva berbentuk ramping atau bulat panjang, memiliki 8 ruas abdomen, berwarna putih keruh atau putih kekuningan dengan ujung belakang tumpul. Larva Diptera dapat dikenali dari kemampuannya untuk meloncat. Fase larva terdiri atas tiga instar. Instar I sangat kecil, berwarna jernih dan bening dengan permukaan seperti bentuk pahatan. Larva instar II dan III berwarna putih keruh dan hampir sama, hanya bentuk larva instar III lebih besar (Siwi et al. 2006). Larva membuat saluran-saluran di dalam buah dan mengisap cairan buah. Larva hidup dan berkembang dalam daging buah selama 6-9 hari. Larva instar III biasanya menjatuhkan diri ke tanah sebelum berubah menjadi pupa. Keberadaan larva di dalam buah juga dapat memicu pertumbuhan dan kehidupan organisme pembusuk lainnya (Harris 1994). Puparium berbentuk oval, berwarna kecokelatan, dan panjang mencapai 5 mm. Masa pupa 4-10 hari dan setelah itu pupa menjadi imago. Periode larva dan pupa berlangsung selama 2-4 minggu (Harris 1994). Rata-rata daur hidup lalat buah dari telur sampai imago di daerah tropis sekitar 25 hari. Setelah menjadi imago, lalat membutuhkan sumber protein untuk makanannya dan reproduksi (Drew 1994). Imago lalat buah memiliki ciri-ciri penting yang umum digunakan untuk identifikasi yaitu pada bagian antena, mata, noda/bercak muka (facial spot), dorsum toraks, sayap, dan abdomen. B. (B.) carambolae memiliki sayap pita hitam pada garis costa dan garis anal, pola sayap bagian ujung (apex) berbentuk seperti pancing, skutum berwarna hitam dengan pita lateral kuning pada sisi 9 lateral (lateral postsutural vitae), postpronotal berwarna kuning atau oranye, apisternum sisi lateral mempunyai bercak berwarna kuning, terdapat spot berwarna hitam pada bagian apical femur tungkai depan lalat buah betina, dan abdomen berwarna oranye dengan pola-pola yang jelas. B. (B.) papayae memiliki spot hitam pada muka di masing-masing lekukan antena, toraks berwarna hitam pada skutum dan mempunyai rambut supra alar di sisi anterior, skutum dengan pita berwarna kuning/oranye di sisi lateral, sayap mempunyai pita hitam pada garis costa dan garis anal dengan sel bc sangat jelas, abdomen dengan ruas-ruas jelas, tergit 3 pada jantan dengan pecten (sisir bulu) di masing-masing sisinya, dan tidak terdapat spot berwarna hitam pada bagian apical femur tungkai depan lalat buah betina (Siwi et al. 2006). Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Konsep dan Pengertian PHT Pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan strategi mengombinasikan berbagai metode pengelolaan agroekosistem secara optimum dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial (Untung 1993). Menurut Norris et al. (2003), PHT adalah sistem pendukung keputusan untuk pemilihan dan penggunaan taktik pengendalian hama secara tunggal atau harmonis yang dikoordinasikan ke dalam strategi manajemen, berdasarkan analisis biaya-manfaat yang mempertimbangkan kepentingan dan dampak pada produsen, masyarakat, dan lingkungan. Prinsip-prinsip PHT antara lain (1) prinsip budi daya tanaman, meliputi persiapan, penanaman, pemeliharaan tanaman supaya sehat, panen, dan penyimpanan; (2) prinsip sosial-ekonomi, terkait dengan kebutuhan manusia; (3) prinsip ekologi, terkait dengan interaksi dan kelimpahan organisme; (4) genetika populasi, terkait dengan ketahanan tanaman terhadap hama; (5) prinsip pengendalian, meliputi pengendalian secara kimia, fisik, dan biologi (Dent 2000). Menurut Norris et al. (2003), ada tiga pendekatan fundamental dalam PHT, yaitu (1) manipulasi organisme hama, (2) manipulasi tanaman inang, dan (3) manipulasi lingkungan. Pendekatan pertama menggunakan taktik yang secara langsung memengaruhi organisme hama atau mengubah perilakunya sehingga 10 tidak lagi menyebabkan kerugian yang tidak dapat diterima. Pada pendekatan kedua, digunakan taktik yang dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap serangan hama atau mengubah tanaman sehingga hama tidak lagi menyerang. Pada penedekatan ketiga, taktik yang digunakan memengaruhi populasi hama secara tidak langsung melalui sumber makanan; Taktik ini mengubah lingkungan sehingga populasi hama tidak meningkat ke tingkat yang lebih merusak. Lingkungan dibuat kurang cocok untuk hama, lebih cocok untuk inang, atau lebih menguntungkan bagi musuh alami. Implementasi PHT Lalat Buah Lalat buah merupakan salah satu hama penting pada cabai. Pengendalian lalat buah dapat dilaksanakan dengan pengendalian hama terpadu (PHT). Menurut Duriat dan Sastrosiswojo (1994), komponen PHT cabai adalah sebagai berikut: (1) Pengendalian secara kultur teknis, antara lain pengelolaan tanah dan air, sanitasi, rotasi tanaman, pengaturan jadwal tanam, penggunaan benih/bibit sehat, pemupukan berimbang, drainase/guludan, tumpang sari, tanaman perangkap, dan penggunaan varietas tahan; (2) Pengendalian hayati, pemanfaatan musuh alami termasuk parasitoid, predator, dan patogen hama; (3) Pengendalian secara mekanis/fisik, meliputi pengumpulan telur dan larva dengan tangan, isolasi, mulsa jerami atau plastik, penggantian dengan tanaman sehat, pemotongan daun dan pucuk; (4) Pemantauan hama, pengamatan mingguan komponen-komponen biotik dan abiotik untuk menganalisis agroekosistem dan pengambilan keputusan; (5) Pengendalian secara kimia, menggunakan pestisida sebagai alternatif terakhir, bila diperlukan secara selektif, efektif, dan aman. Beberapa pengendalian lalat buah yang dapat diterapkan antara lain pencegahan serangan lalat buah, sanitasi kebun, penggunaan perangkap dan atraktan, pemanfaatan musuh alami, penggunaan teknik serangga mandul, dan penggunaan insektisida (White & Harris 1992). Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menerapkan peraturan karantina yang ketat terhadap masuknya lalat buah dari wilayah atau negara yang diketahui mempunyai masalah dengan lalat buah. Untuk mencegah masuknya lalat buah ke Indonesia melalui produk impor telah diberlakukan Peraturan Menteri Pertanian 11 No. 37 Tahun 2006 tentang Persyaratan Teknis dan Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Buah-buahan dan atau Sayuran Segar ke dalam Wilayah Republik Indonesia (Ditlinhor 2006). Sanitasi kebun dilakukan dengan cara membersihkan area sekitar kebun, buah yang rontok dan jatuh karena lalat buah dikumpulkan lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik, kemudian dibakar agar larva lalat buah mati. Sanitasi kebun juga dapat dilakukan dengan membersihkan gulma di sekitar areal pertanaman karena dapat digunakan sebagai inang alternatif terutama saat tidak musim berbuah (Ditlinhor 2006). Untuk menekan pertumbuhan gulma dan serangan lalat buah dapat juga menggunakan mulsa plastik atau jerami (Vos et al. 1995). Menurut Komar (2012) mulsa yang dipasang di bawah tanaman akan menghalangi larva instar terakhir lalat buah untuk berpupa di dalam tanah. Penggunaan perangkap dilakukan dengan menggunakan perangkap beratraktan yang dapat mengeluarkan bau atau aroma makanan lalat buah seperti aroma buah atau feromon seks. Contoh atraktan yang dapat digunakan adalah metil eugenol dan cue lure (Muryati et al. 2008). Zat pemikat lain yang dipadukan dengan penggunaan perangkap adalah ragi autolisis. Perangkap yang digunakan sebaiknya terbuat dari bahan yang ringan dan mudah diperoleh. Perangkap berumpan dipasang atau digantungkan pada ranting atau cabang pohon dengan ketinggian 2-3 m di atas permukaan tanah (Kardinan 2007; Prihandoyo 2004). Musuh alami lalat buah yang telah diidentifikasi adalah parasitoid Fopius arisanus Sonan (Hymenoptera: Braconidae), Dichasmimorpha longicaudata Ashmead (Hymenoptera: Pteromalidae), dan Tetrastichus difardii Walker (Hymenoptera: Eulophidae). Predator yang terbukti efektif menurunkan populasi lalat buah adalah semut Odontoponera denticulate Smith (Hymenoptera: Formicidae) dan Oecophyla smaragdina F. (Hymenoptera: Formicidae) (Suputa 2006). Menurut White dan Harris (1992), larva dan pupa lalat buah dapat diserang oleh berbagai jenis parasitoid Hymenoptera, pada umumnya oleh spesies Opiinae (Braconidae), tapi Chalcidoidea dan famili lain juga penting. Pupa lalat buah di tanah dapat diserang oleh berbagai jenis predator. Prinsip teknik serangga mandul (TSM) dalam mengendalikan lalat buah adalah melepas lalat buah mandul di kebun agar bersaing kawin dengan lalat buah 12 normal. Hanya perkawinan antara sesama lalat normal (fertile) saja yang menghasilkan keturunan, sedangkan antara jantan normal dan betina mandul atau sebaliknya tidak menghasilkan keturunan sehingga akhirnya akan terjadi pengurangan jumlah keturunan (Kuswadi 2000). Penerapan TSM di Indonesia telah digunakan pada pengendalian lalat buah B. (B.) carambolae. Jutaan kepompong yang dihasilkan dapat dimandulkan dengan iradiasi gama untuk kemudian dilepas di lapangan sebagai agen pengendali. Penggunaan insektisida untuk mengendalikan lalat buah dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain penyemprotan, pengabutan (fogging), pencampuran dengan zat penarik yaitu atraktan seks atau atraktan makan, pencelupan buah pada larutan pestisida (dipping), perlakuan panas atau dingin, dan fumigasi (Armstrong 1994, Ditlinhor 2006). Insektisida yang diizinkan oleh Departemen Pertanian Indonesia untuk mengendalikan lalat buah antara lain insektisida yang mengandung bahan aktif imidakloprid, sipermetrin, alfa sipermetrin, dan spinosad (Deptan 2008). Selain insektisida sintetik, insektisida botani juga dapat digunakan dalam pengendalian lalat buah. Beberapa famili tumbuhan yang berpotensi sebagai sumber insektisida botani adalah famili Meliaceae, Annonaceae, Piperaceae, Asteraceae, Zingiberaceae, dan Solanaceae (Dadang 1999). Hasil penelitian Mardiasih (2010) serai wangi berpotensi sebagai repelen bagi lalat buah. Menurut Dadang dan Prijono (2008) ekstrak Azadirachta indica juga dapat menghambat aktivitas peneluran lalat buah B. dorsalis (Diptera: Tephritidae).