wewenang dpr dalam penetapan dan pengawasan apbn

advertisement
TESIS
WEWENANG DPR DALAM PENETAPAN DAN
PENGAWASAN APBN MENURUT UNDANGUNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945
GUSTI PARTANA MANDALA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011
1
TESIS
WEWENANG DPR DALAM PENETAPAN DAN
PENGAWASAN APBN MENURUT UNDANGUNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945
GUSTI PARTANA MANDALA
NIM : 0890561041
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
3
DENPASAR
2011
TESIS
WEWENANG DPR DALAM PENETAPAN DAN
PENGAWASAN APBN MENURUT UNDANG-UNDANG
DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Hukum
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
GUSTI PARTANA MANDALA
NIM : 0890561041
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 11 APRIL 2011
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, SH., MS
NIP. 194406111973021001
I Gede Yusa, SH.,MH
NIP.
196107201986091001
Ketua Program Studi
Magister Ilmu Hukum
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Mengetahui
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
5
Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.SU
Sp.S(K)
NIP. 195604191983031003
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,
NIP. 195902151985102001
Tesis ini telah diuji pada
Tanggal 11 April 2011
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No : 0797/UN 14.4./HK /20011
Ketua : Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, SH, MS
Anggota :
1. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH, MH
2. I Gede Yusa, SH, MH
3. I Nyoman Suyatna, SH, MH
4. I Gede Marhendra Wija Atmaja, SH, MH
7
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di
Nama
NIRM
Instansi
Tempat/Tanggal Lahir
Alamat
bawah ini :
: Gusti Partana Mandala
: 0890561041
: Kantor Kopertis Wilayah VIII Denpasar
: Singaraja, 29 Nopember 1956
: Jl. Dewata I No. 18 Denpasar
Menyatakan pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya, dan apabila dikemudian hari ternyata
tidak benar, maka saya bersedia dituntut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 25 April 2011
Hormat Saya,
Gusti Partana Mandala
UCAPAN TERIMA KASIH
Rasa syukur penulis sampaikan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa /
Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir berupa Tesis ini tepat pada waktunya.
Penyelesaian penulisan tesis yang berjudul : “Wewenang DPR Dalam
Penetapan dan Pengawasan APBN Menurut Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945”.
Selesainya tugas tesis ini berkat bantuan, dorongan, bimbingan dan
arahan dari berbagai pihak. Maka dari itu, sudah sepantasnya penulis
menyampaikan ucapan terima kasih danpenghargaan kepada :
1. Prof. Dr.dr. I Made Bakta, Sp.PD (Khom), Rektor Universitas Udayana
yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk menempuh
pendidikan Program Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
2. Prof. Dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana, yang telah menyediakan fasilitas dan pelayanan
yang sangat mendukung dalam menyelesaikan perkuliahan.
3. Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.SU, Ketua Program Magister Ilmu
Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana,
4. Bapak Putu Arya Sumerthayasa, SH.MH., Sekretaris Program Magister
9
Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah
memberikan bantuan selama menyelesaikan studi pada Program S2.
5. Bapak Prof. DR. I Dewa Gede Atmadja, SH.,MS, sebagai Pembimbing I
yang dengan penuh perhatian dan kesabaran memberikan petunjukpetunjuk sejak awal memformulasikan draft telah membimbing dan
mencurahkan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini
dengan baik.
6. Bapak I Gede Yusa, SH.MH., sebagai Pembimbing II yang dengan sabar
dan penuh pengertian memberikan petunjuk dan bimbingan, dorongan,
semangat, serta mencurahkan ilmu pengetahuannya sejak perkuliahan
hingga terselesaikannya tesis saya ini.
7. Para Guru Besar Penanggung Jawab Mata Kuliah, yang telah tulus
ikhlas membagikan ilmu kepada penulis sehingga menjadikan penulis
lebih percaya diri dan lebih yakin menapak ilmu yang telah penulis
peroleh selama mengikuti kuliah program Magister Ilmu Hukum
Universitas Udayana.
8. Ibu A.A. Istri Agung Yuniana dan I Gusti Ayu Raka Wiratni selaku staf
administrasi pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana
yang telah banyak membantu kelancaran proses studi.
9. Kepada para informan yang tidak disebutkan namanya satu persatu yang
telah banyak meluangkan waktu dan memberikan data yang diperlukan.
10. Kedua orang tua Bapak I Gusti Made Sakti Mengali, Ibu Gusti Ketut Rai
dan istri Putu Diah Putri Idawati, SE.,MSi serta anak-anak (Dian,
Agung,
Ratih)
yang
cukup
banyak
memberikan
dorongan
dan
pengertiannya selama proses studi.
11. Untuk semua teman-teman yang satu angkatan kuliah, yang telah banyak
memberikan semangat dan dorongan dalam penyelesaian tesis ini.
12. Semua pihak civitas akademika Program Studi Magister Ilmu Hukum
yang tidak disebut secara satu persatu yang sangat banyak membantu
kelancaran proses studi selama ini.
Pada kesempatan ini pula saya tidak lupa menyampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu atas
bantuan, partisipasinya, doa dan perbuatan baiknya sehingga tesis ini dapat
terselesaikan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan
berkah dan karuniaNya kepada kita semua, sehingga ilmu yang saya peroleh
dapat bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan negara.
Denpasar,
Januari 2011
Penulis,
11
RINGKASAN
Judul Penelitian ini adalah Wewenang DPR dalam Penetapan dan
Pengawasan APBN Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan sarana utama
pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus sarana
pemerintah untuk pengelolaan perekonomian negara, APBN merupakan
instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam
rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan
,mencapai
pertumbuhan ekonomi meningkatkan pendapatan nasional
,mencapai stabilitas perekonomian ,dan menentukan arah serta prioritas
pembangunan secara umum. Dalam fungsi penetapan DPR dengan hak
legislasi, anggaran dan pengawasan yang dimilikinya perlu lebih berperan
dalam mengawasi APBN sehingga benar-benar dapat secara efektif menjadi
instrumen untuk pengelolaan keuangan negara dengan baik.
Dalam kaitan itu ada 2 rumusan masalah yang dibahas, yaitu
1. Apa Wewenang DPR dalam Fungsi Penetapan APBN Menurut Undang
–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan
prinsip Demokrasi
2. Bagaimana Mekanisme Wewenang DPR Berkaitan dengan Fungsi
Pengawasan terhadap APBN Menurut Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pengelolaan Keuangan Negara.
Disamping latar belakang dan permasalahan yang disampaikan pada
Bab I membahas mengenai tujuan dan manfaat penelitian, landasan teoritis
beserta metode penelitiannya. Pada Bab II dengan judul Landasan Yuridis
Konstitusional Wewenang DPR dalam Penetapan dan Pengawasan APBN.
Bab III dengan judul Wewenang DPR dalam Fungsi Penetapan APBN
Sesuai dengan Prinsip- prinsip Demokrasi
Bab yang membahas permasalahan pertama tesis ini yaitu
Wewenang DPR dalam Fungsi Penetapan sesuai dengan Prinsip Demokrasi.
Dari pembahasan atas sub bahasan pada bab III ditemukan bahwa Pasal 23
Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
apabila DPR tidak menyetujui rancangan APBN yang diusulkan oleh
Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun sebelumnya, artinya DPR
memiliki hak anggaran, yang mana dalam hal ini penetapan APBN
kedudukan DPR lebih kuat daripada Pemerintah karena DPR mempunyai
hak menolak atau menerima penetapan sesuai dengan aspirasi rakyat yang
artinya menunjukan secara filosofis yuridis, hal ini merupakan tanda dari
kedaulatan rakyat. Dengan demikian konsepsi keuangan negara adalah
APBN yang merupakan kedaulatan rakyat yang diamanatkan kepada DPR.
Bab IV dengan judul Mekanisme Fungsi Pengawasan DPR Berkaitan
Dengan Pengelolaan Keuangan Negara. Bab yang membahas permasalahan
kedua tesis ini sub bahasannya adalah Mekanisme DPR dalam Fungsi
Pengawasan Terhadap Pengelolaan Keuangan Negara adalah diatur dalam
Pasal 20 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, DPR memiliki fungsi legislasi fungsi anggaran dan fungsi
pengawasan.
Untuk melaksanakan Fungsi Pengawasan lembaga DPR dilengkapi
dengan hak untuk meminta keterangan(interpelasi) hak untuk menyelidiki
(angket), hak menyatakan pendapat (resolusi) dan hak menuntut
pertanggungjawaban (impeachment) yang bersama-sama dengan Badan
Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara
hasil pemeriksaan diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD. Hasil
pemeriksaan pengelolaan keuangan negara ditindaklanjuti oleh Presiden jika
terjadi tindak pidana korupsi diserahkan kepada penegak hukum. Disamping
itu DPR akan mengevaluasi hasil pemeriksaan BPK untuk APBN tahun
yang akan datang.
Akhirnya sebagai Bab penutup pada tesis ini yakni Bab V
diuraikan tentang kesimpulan beserta saran-sarannya. Simpulan fungsi
penetapan APBN oleh DPR bisa diterima dan bisa ditolak sesuai dengan
aspirasi rakyat yang merupakan kedaulatan rakyat yang bersumber pada
prinsip demokrasi yaitu hukum menjamin persamaan kedudukan didepan
hukum dan hukum menjamin pengawasan masyarakat terhadap pemerintah
melalui wakil-wakil yang dipilih. Selanjutnya saran disampaikan lembaga
DPR maupun Presiden untuk membuat peraturan perundang-undangan
sebagai tolok ukur penetapan APBN yang sesuai dengan aspirasi rakyat dan
menjamin kepastian hukum.
13
ABSTRAK
Judul Penelitian ini adalah “Wewenang DPR Dalam Penetapan dan
Pengawasan APBN Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”. Penelitian ini dilatar belakangi oleh Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang merupakan sarana utama pemerintah untuk
mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus sarana pemerintah untuk pengelolaan
perekonomian negara dalam fungsi penetapan DPR dengan hak legislasi,
anggaran dan pengawasan yang dimilikinya perlu lebih berperan dalam
mengawasi APBN sehingga benar-benar dapat secara efektif menjadi instrumen
untuk menjadi acuan dalam pembangunan yang dilakukan secara rutin. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami sumber wewenang DPR
dalam penetapan APBN, dan untuk mengetahui serta memahami apakah
wewenang DPR sebagai lembaga legislatif sesuai dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam penetapan dan pengawasan
APBN yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan
pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Bahan hukum yang
dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari hasil penelitian kepustakaan
yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier yang diperoleh melalui teknik penelaahan kepustakaan yang didukung
dengan tehnik analisis. Bahan hukum maupun informasi penunjang yang telah
dikumpulkan tersebut terlebih dahulu dilakukan deskripsi dengan penguraian
proposisi-proposisi hukum dan non hukum yang dijumpai kemudian
dinterpretasikan untuk selanjutnya disistematisasi, dievaluasi serta diberikan
argumentasi untuk mendapatkan simpulan atas kedua permasalahan tersebut.
Hasil pemeriksaan BPK yang diberitahukan kepada DPR, sebenarnya
mengandung makna yuridis yang kurang tegas dipandang dari pemakaian
istilahnya. Apabila dalam temuan pemeriksaan terdapat indikasi terjadinya
penyelewengan, laporan tersebut dapat disampaikan kepada Kejaksaan Agung
untuk ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur hukum. Untuk dapat berperan lebih
banyak dalam penyusunan rancangan APBN diperlukan kemampuan teknis
perancang peraturan perundang-undangan.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sumber wewenang
DPR ada pada sumber hukum formil yakni Pasal 23 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mewajibkan adanya kesepakatan
untuk musyawarah mufakat dalam penetapan APBN merupakan wujud dari
lahirnya Undang-Undang Keuangan Negara yang memberikan pemahaman
filosofis yuridis sebagai bentuk penjelmaan kedaulatan rakyat. Saran dalam
penelitian ini adalah perlu adanya jaminan kepastian hukum dalam
melakukan penegakan hukum yang dilakukan oleh aparatur negara dalam
hal ini BPK terhadap banyaknya penyimpangan dan pelanggaran dalam
pengelolaan keuangan negara.
Kata Kunci : Wewenang DPR, Penetapan, Musyawarah Mufakat.
ABSTRACT
The title of this research is the "Authority Establishment and
Oversight DPR in the state budget according to the Constitution of the
Republic of Indonesia Year 1945". This study was based on the State
Budget (APBN), which is the principal means of government for the welfare
of its people and government as well as facilities for managing the country's
economy in determining the function of Parliament with the right
legislation, budgeting and monitoring of its need to be more involved in
overseeing the state budget so that the correct really can effectively become
an instrument to become a reference in the development done routinely.
This study aimed to know and understand the source of authority of
Parliament in setting the budget, and to know and understand whether the
legislative authority of Parliament as an institution in accordance with the
Constitution of the Republic of Indonesia 1945 in the establishment and
supervision of the state budget related to the management of state finances.
This research is a normative law that uses a conceptual approach and
the approach to legislation. Legal materials used in this study originated
from the research literature which consists of primary legal materials, legal
materials, secondary and tertiary legal materials obtained through a
literature review of techniques that are supported by technical analysis.
Legal materials and supporting information that has been collected in
advance is a description of the decomposition of the propositions of law and
non law that were found later interpreted to further systematization ,
evaluated and provided arguments for a conclusion of the second problem.
All expenditure and income that implementation is done by the
government must be justified its use because it involves the interests and
destiny of the people. CPC Examination results are notified to Parliament,
in fact contain a less strict legal meaning is seen from the use of the term. If
the examination findings are indications of fraud, the report may be
submitted to the Attorney General for further action in accordance with
legal procedures. To be able to contribute more in the preparation of the
draft State Budget is required technical capabilities designer legislation.
From this research we can conclude that the source of authority is in
the DPR formal legal sources namely Article 23 of the Constitution of the
Republic of Indonesia Year 1945, requires the existence of an agreement for
consensus agreement in setting the budget is a manifestation of the birth of
the State Finance Law which provides the philosophical understanding
juridical as a form of manifestation of popular sovereignty. Suggestions in
this research is necessary to guarantee of legal certainty in the conduct of
15
law enforcement by the state apparatus in this case the CPC by the number
of irregularities and abuses in the management of state finances.
Keywords:
consensus.
Authority
of
Parliament,
Determination,
Deliberation
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN
JUDUL
................................................................................................................
................................................................................................................
i
................................................................................................................
HALAMAN
PERSYARATAN
GELAR
................................................................................................................
................................................................................................................
ii
LEMBAR
PENGESAHAN
................................................................................................................
................................................................................................................
iii
LEMBAR
PENETAPAN
PANITIA
PENGUJI
................................................................................................................
................................................................................................................
iv
SURAT
PERNYATAAN
................................................................................................................
................................................................................................................
v
UCAPAN
TERIMA
KASIH
................................................................................................................
................................................................................................................
vi
RINGKASAN
................................................................................................................
................................................................................................................
ix
ABSTRAK
................................................................................................................
................................................................................................................
xi
ABSTRACT
................................................................................................................
................................................................................................................
xii
DAFTAR
ISI
................................................................................................................
................................................................................................................
xiii
BAB
I
PENDAHULUAN .............................................................
1
I.1.
Latar Belakang Masalah ..........................................
1
I.2.
Rumusan Masalah .....................................................
10
I.3.
Tujuan Penelitian ......................................................
11
I.3.1. Tujuan umum ................................................
11
I.3.2. Tujuan Khusus ..............................................
11
Manfaat Penelitian ....................................................
12
I.4.1. Manfaat Teoritis ............................................
12
I.4.2. Manfaat Praktis .............................................
12
I.5.
Landasan Teori ..........................................................
13
I.6.
Metode Penelitian .....................................................
44
I.6.1. Jenis Penelitian ..............................................
45
I.6.2. Jenis Pendekatan ...........................................
45
I.6.3. Sumber Bahan Hukum ..................................
46
I.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ..........
47
I.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ...................
47
I.4.
17
BAB
II
LANDASAN YURIDIS KONSTITUSIONAL WEWENANG
DPR DALAM PENETAPAN DAN PENGAWASAN APBN .............
2.1.
Sumber Wewenang DPR
Dalam Melakukan Hak
Anggaran
............................................
............................................
49
2.2.
Dasar Wewenang DPR
Dalam Penetapan APBN
............................................
............................................
70
2.3.
Landasan
Pengelolaan
Yuridis
Keuangan
Negara
............................................
Dalam
APBN
...................................................................................
...................................................................................
88
BAB
III
WEWENANG
DPR
DALAM
FUNGSI
PENETAPAN APBN SESUAI DENGAN PRINSIPPRINSIP
DEMOKRASI
............................................................................................
............................................................................................
105
3.1.
Wewenang DPR
Dalam
Fungsi
Penetapan Sesuai
Dengan
Demokrasi
Prinsip
49
................................
................................
105
3.2.
DPR Sebagai
Wakil Rakyat
Dalam
Penyusunan dan
Menetapkan
APBN
...............................
................................
122
3.3.
Struktur
APBN
Dalam
Mensejahterakan
Rakyat
...............................
...............................
137
BAB
IV
MEKANISME
BERKAITAN
FUNGSI
PENGAWASAN
DENGAN
DPR
PENGELOLAAN
KEUANGAN
NEGARA
............................................................................................
............................................................................................
150
4.1.
Mekanisme DPR dalam Fungsi Pengawasan
Terhadap Pengelolaan Keuangan Negara
...................................................................................
...................................................................................
150
4.2.
Fungsi
Pengawasan
dengan
Fungsi
DPR
yang
Pengawasan
Berkaitan
BPK
19
...................................................................................
...................................................................................
169
4.3.
Akibat Hukum Penolakan Penetapan APBN
Oleh
DPR
...................................................................................
...................................................................................
187
BAB
V
P
E
N
U
T
U
P
200
5.1.
Kesimpulan
...................................................................................
...................................................................................
200
5.2.
Saran-saran
...................................................................................
...................................................................................
201
DAFTAR BACAAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Setelah
terjadinya
perubahan
Undang-Undang
Dasar
1945
wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai
pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang, memiliki fungsi politik
yang sangat strategis yaitu sebagai lembaga penentu arah kebijakan
ketatanegaraan
memberikan
Republik
harapan
Negara
besar
bagi
Indonesia.
Dengan
terjadinya
perubahan
reformasi
menuju
penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan, dan memiliki
akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance dan adanya
kebebasan berpendapat. Semuanya itu diharapkan makin mendekatkan
bangsa pada pencapaian tujuan nasional sebagaimana terdapat dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Untuk itu gerakan reformasi diharapkan mampu mendorong
perubahan mental bangsa Indonesia, baik pemimpin maupun rakyat
sehingga mampu menjadi bangsa yang menganut dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan,
21
serta persaudaraan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan alat
utama pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus alat
pemerintah untuk pengelolaan perekonomian negara. Sebagai alat
pemerintah, APBN bukan hanya menyangkut keputusan ekonomi namun
juga menyangkut keputusan politik. Dalam konteks ini, DPR dengan hak
legislasi, Anggaran dan pengawasan yang dimilikinya perlu lebih
berperan dalam mengawasi APBN sehingga APBN benar-benar dapat
secara efektif menjadi instrumen untuk mensejahterakan rakyat dan
pengelolaan perekonomian negara dengan baik.g
Pengelolaan keuangan diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Bab VIII. Oleh
karena itu, dapat dipahami rumusan pasal yang mengatugr keuangan
negara disusun sangat singkat. Namun, ini tidak berarti pasal tersebut
tidak mengandung makna secara filosofis, yuridis, maupun historis
Dalam pasal 23. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Konsepsi keuangan Negara memberikan pemahaman filosofi
yang tinggi terhadap kedudukan keuangan Negara yang ditentukan
APBN sebagai bentuk penjelmaan kedaulatan. Dengan demikian hakekat
public revenue dan expenditure keuangan Negara dalam APBN adalah
merupakan kedaulatan. Pada waktu itu khususnya mengenai keuangan,
benar-benar berdasarkan kepentingan penyelenggaraan Negara dan
bangsa, tanpa mengandung nuasa politik partai tertentu, apalagi
kepentingan golongan yang haus kekuasaan.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945,
menegaskan Negara Indonesia adalah Negara Hukum
berarti negara memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan tujuannya
berupa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kendala yang
dihadapi
adalah
bagaimana
cara
memperoleh
pembiayaan
yang
dibenarkan oleh hukum, untuk merealisasikan tujuan tersebut. Oleh
karena itu, yang terkait dengan keuangan negara merupakan sumber
hukum konstitusional sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara
Republik Indonesia 1945 adalah sebagai berikut.;
Pasal 23 Ayat (1); Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai
wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan
setiap
tahun
dengan
Undang-Undang
dan
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab
untuk sebesar kemakmuran rakyat.
Ayat (2); Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk
dibahas
bersama
pertimbangan DPD.
DPR
dengan
memperhatikan
23
Ayat (3); Apabila DPR tidak menyetujui Rancangan UndangUndang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
yang
diusulkan
oleh
Presiden,
pemerintah
menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara tahun lalu.
Pasal 23 ayat (1) tersebut memiliki hak begrooting DPR yang
mana dalam hal penetapan pendapatan dan belanja negara kedudukan
DPR lebih kuat daripada pemerintah yang artinya menunjukan secara
filosofis yuridis, hal ini merupakan tanda dari kedaulatan rakyat. Dengan
demikian konsepsi keuangan negara, hakekat APBN adalah kedaulatan
rakyat yang diamanatkan kepada DPR. Hal ini berarti titik berat tujuan
anggaran negara merupakan autorisatie dari volkvertegenwoordiging
kepada pemerintah untuk mengadakan pengeluaran atau pembiayaan.
Dengan menyatakan APBN adalah mactiging berarti harus ada
tanggung jawab yang selayaknya diberikan kepada yang memberi
machtiging Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 kuasa diberikan kepada DPR untuk dilaksanakan oleh
pemerintah oleh sebab itu pemerintah dalam pelaksanaan APBN harus
mempertanggungjawabkan kepada DPR.
Karena itu pemerintah dalam suatu negara yang menganut paham
demokrasi mengajukan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan
Belanja Negara yang telah disusunnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat
guna memperoleh pembahasan dan pengesahan. Mekanismenya adalah
sebagai berikut ; Pemerintahan menyampaikan amanat anggaran (budget
message) kepada Dewan Perwakilan Rakyat biasanya dalam suatu sidang
paripurna dewan tersebut beberapa bulan sebelum tahun anggaran yang
bersangkutan tiba. Dalam amanat itulah pemerintah menjelaskan program
kerjanya untuk tahun anggaran yang akan datang disertai argumentasi
mengapa program tersebut diputuskan untuk dilaksanakan, berapa biayanya
serta sumber-sumber dan perkiraan jumlah penerimaan. Segera setelah
Pemerintah
menyampaikan
Rancangan
Undang-Undang
Anggaran
Pendapatan Belanja Negara tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat melalui
komisi-komisi yang terdapat didalamnya melakukan pembahasan yang
mendalam. Sangat mungkin dalam pembahasan yang dilakukan Dewan
Perwakilan
Rakyat
melalui
komisi-komisinya
mengundang
pejabat
pemerintah yang menjadi mitra kerjanya untuk berbagai kepentingan,
seperti :
a. Menyatukan persepsi tentang pentingnya
program yang akan dilaksaanakan.
b. Meminta penjelasan lebih lanjut tentang
rincian anggaran yang diajukan.
c. Informasi lain yang diperlukan oleh dewan
guna menjamin bahwa program pemerintah
tersebut benar-benar dikaitkan dengan tujuan
negara bangsa yang bersangkutan.1
1Azmy Achir,1976 Masalah Pengurusan Keuangan Negara Suatu Pengantar
Teknis, Buku I Bandung; CV Yulianti, , hlm. 34.
25
Setelah pembahasan selesai dilakukan, Rancangan Undang-Undang
APBN itu disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Anggaran Negara
yang dapat disingkat menjadi Anggaran Negara yang isinya dan angkaangkanya dapat sama dengan yang diajukan oleh pemerintah dalam
Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara, tetapi
mungkin pula dengan perubahan-perubahan tertentu yang telah disepakati
bersama. Dengan pengesahan undang-undang yang menjadi pegangan bagi
pemerintah dan bahkan seluruh aparat negara untuk menyelenggarakan
berbagai kegiatannya.
Anggaran Negara adalah suatu dokumen yang memuat perkiraan
penerimaan dan pengeluaran serta rincian kegiatan-kegiatan di bidang
pemerintahan negara yang berasal dari pemerintah untuk jangka waktu
satu tahun. Jumlah penerimaan
dan jumlah pengeluaran negara
kadangkala direncanakan dengan cara berimbang untuk tahun anggaran
negara yang bersangkutan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui sejauh
mana kemampuan pemerintah mengelola anggaran negara sehingga tidak
menimbulkan defisit terhadap anggaran negara termaksud.
Anggaran negara yang ditetapkan dalam bentuk undang-undang
mengandung unsur-unsur antara lain :
1.
2.
Dokumen hukum yang memiliki kekuatan hukum
mengikat;
Rencana penerimaan negara baik dari sektor
pajak, bukan pajak, dan hibah;
Rencana pengeluaran negara baik bersifat rutin
maupun pembangunan;
Kebijakan negara terhadap kegiatan-kegiatan di
bidang pemerintahan yang memperoleh prioritas
atau tidak memperoleh prioritas;
Masa berlaku hanya satu tahun kecuali
diberlakukan untuk tahun anggaran negara ke
depan. 2
3.
4.
5.
Kelima unsur anggaran negara di atas merupakan satu kesatuan
tak terpisahkan sehingga menggambarkan kemampuan negara dalam
jangka waktu satu tahun untuk mewujudkan tujuannya. Unsur-unsur yang
terdapat dalam anggaraan negara merupakan hal-hal yang bersifat
esensial dan tidak dapat dikesampingkan dalam bernegara. Oleh karena
itu, anggaran negara tidak dapat dipisahkan dengan negara yang
bertujuan
untuk
memakmurkan
rakyat
terlepas
kemiskinan
dan
kemeralatan.
Dalam
rangka
mewujudkan
good
governance
dalam
penyelenggaraan pemerintah negara guna mendukung keinginan untuk
menciptakan pemerintah yang bersih, akuntabel dan transparan dalam
pengelolaan keuangan negara maka DPR memiliki fungsi-fungsi dalam
hal ini diatur dalam pasal 20 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan DPR memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.
2Muhammad Djafar Saidi,2008 Hukum Keuangan Negara, PT. Rajagrafindo
Persada Jakarta, , hlm. 104
27
Disamping itu menurut para ahli hukum Indonesia yaitu Bintan
R.Saragih 3 DPR mempunyai 3 fungsi yaitu (1) fungsi perundangundangan, (2) fungsi pengawasan dan (3) fungsi pendidikan politik.
Fungsi perundang-undangan mencakup pembentukan undang-undang
seperti UU Pemilu, pembentukan UU tentang APBN, dan ratifikasi
perjanjian-perjanjian dengan negara lain. Fungsi pengawasan dijalankan
untuk mengawasi eksekutif agar berfungsi menurut undang-undang yang
dibentuk oleh DPR. Fungsi Pendidikan Politik dilakukan melalui
pembahasan-pembahasan
kebijaksanaan
pemerintah
di
DPR
yang
kemudian dimuat serta diulas dalam media massa sehingga rakyat dapat
mengikutinya dan secara tidak langsung rakyat dididik ke arah warga
negara yang sadar akan hak dan kewajibannya. Alfian 4 berpendapat
bahwa DPR mempunyai 4 fungsi yaitu (1) Fungsi Legislatif, (2) fungsi
pengawasan/kontrol, (3) fungsi wakil rakyat/penyalur aspirasi dan
kepentingan rakyat dan (4) fungsi lain-lain.
BN.Marbun 5 menyatakan bahwa DPR mempunyai 5 fungsi yaitu
(1) Bersama-sama dengan presiden membentuk undang-undang, (2)
Bersama-sama dengan presiden menetapkan APBN, (3) melakukan
3Bintan R. Saragih1991, Peranan DPR GR Periode 1965 dalam Menegakkan
Kehidupan Ketatanegaraan yang Konstitusional Berdasarkan Undang-Undang Dasar
1945,penerbit Universitas Padjadjaran Bandung hlm 108 .
4Alfian & Nazaruddin Sjamsuddin 1992 (eds). Masa Depan Kehidupan Politik
Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, , hlm. 292
5BN.Marbun,1992 DPR RI Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta, PT.
Gramedia Pustaka Utama, , hlm. 177
pengawasan atas pelaksanaan UU, APBN dan kebijaksanaan pemerintah,
(4) membahas hasil pemeriksaan atas pertanggung-jawaban keuangan
negara yang diberitahukan oleh BPK, dan (5) melaksanakan hal-hal yang
ditugaskan oleh MPR. Khusus untuk fungsi anggaran, diatur dalam Pasal
23 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; Apabila DPR tidak mensetujui rancangan Anggaran Pendapatan
dan
Belanja
Negara
yang
diusulkan
oleh
Presiden,
pemerintah
menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun lalu.
Disamping itu perlu ada pengaturan yang mencakup di dalam Pasal 3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara ; Ayat (2) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
perubahan
Anggaran
Pendapatan
dan
Belanja
Negara,
dan
pertanggungjawaban dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara setiap tahun perlu ditetapkan dengan undang-undang; dan Ayat
(4) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mempunyai fungsi
otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
Untuk
memberikan
informasi
mengenai
perkembangan
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pemerintah
berkewajiban menyampaikan laporan realisasi penggunaan anggaran tiap
semester anggaran kepada DPR. Informasi yang disampaikan dalam
laporan
tersebut
menjadi
bahan
evaluasi
pelaksanaan
Anggaran
29
Pendapatan dan Belanja Negara pada semester awal dan penyesuaian atau
perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada semester
berikutnya. Atas dasar itu maka laporan pertanggung jawaban keuangan
negara perlu memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan
mengikuti
standar
akuntansi
pemerintah
yang
telah
ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 23E
Ayat (1) ; Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang
keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan negara yang
bebas dan mandiri. Hasil dari audit BPK akan dilaporkan kepada DPR
sebab uang negara tersebut adalah uang rakyat.
Terkait dengan pengelolaan anggaran APBN oleh DPR mulai dari
landasan hukumnya yaitu ; Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 sampai
Pasal 23E dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 Jo. Undang-Undang
No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD
dan DPRD, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemeriksaan dan
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian
di
atas
maka
akan
timbul
beberapa
permasalahan yang erat kaitannya dengan judul tesis ini. Adapun
permasalahannya yaitu :
1. Apa saja wewenang DPR dalam fungsi Penetapan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara menurut
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi ?
2. Bagaimanakah mekanisme wewenang DPR berkaitan dengan fungsi
pengawasan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dalam pengelolaan keuangan negara ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Dari penelitian ini dalam rangka pengembangkan pemikiran
konseptual atau mendasar tentang wewenang
penetapan
pengawas
dan pengawasan
dalam
bidang
DPR
dalam
APBN sebagai salah satu lembaga
keuangan
negara
menurut
sistem
pemerintahan di Indonesia.
1.3.2 Tujuan Khusus
Berdasarkan tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini
dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang bersifat khusus, sebagai
31
berikut :
1. Untuk mengetahui dan memahami sumber wewenang DPR
dalam penetapan APBN
2. Untuk mengetahui dan memahami apakah wewenang DPR
sebagai lembaga legislatif sesuai dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam penetapan
dan pengawasan APBN yang berkaitan dengan pengelolaan
keuangan negara.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat dicapai melalui penelitian dengan
dua pokok permasalahan ini pada hakekatnya yaitu manfaat akademis
yang bersifat teoritis dan manfaat yang bersifat praktis seperti berikut :
1. Manfaat Teoritis
Bagi kepentingan akademis, hasil penelitian ini akan dapat
memberikan sumbangan untuk pengembangan ilmu hukum
khususnya pengembangan hukum keuangan negara.
2. Manfaat Praktis
Dilain
pihak
tesis
ini
bermanfaat
praktis
yang
dapat
disumbangkan kepada beberapa individu ataupun lembaga yaitu :
a. Untuk pengguna praktis adalah sebagai masukan (input) bagi
pihak pemerintah Negara Indonesia agar hasil penelitian
nantinya dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu hukum
dan pembinaan hukum.
b. Untuk pihak Pemerintah Indonesia agar lebih berhati-hati serta
cermat
dalam
menyikapi
undang-undang
yang
dibuat,
sehingga tidak menimbulkan sesuatu masalah dikemudian hari
terutama dibidang hukum keuangan negara.
c. Bagi penulis adalah untuk memenuhi persyaratan memperoleh
gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas
Udayana Bali.
1.5 Landasan Teoritis
1.5.1 Teori Pengawasan
Di dalam negara demokrasi, menurut H.La Ode Husen 6
menyebutkan bahwa di Belanda pengawasan didefinisikan : ”...........
as being informed about, cheking, judging and possibly redressing
the way in wich a competence has been or will be made use of
(pemberiaan informasi, pemeriksaan, menilai dan mungkin cara
memperbaiki sesuai dengan kewenangan).
Pengawasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan untuk
mencegah
agar
sesuatu
perbuatan/keputusan
organisasi/pejabat
6H.La Ode Husen,2005 Hubungan Fungsi Pengawasan DPR Dengan Badan
Pemeriksa Keuangan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, CV. Utomo. Bandung, ,
Hlm. 94.
33
pemerintah tidak merugikan masyarakat dan bertentangan dengan aturan
yang ada. Pengawasan ini sangat diperlukan agar perbuatan pejabat publik
(pejabat pemerintah) benar-benar sesuai dengan kebutuhan, kemanfaatan
dan sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga bisa mengurangi
tindakan otoriter dan penyalahgunaan wewenang dari pejabat pemerintah.
Sedangkan menurut Diana Halim Koencoro 7 , menyebutkan
pengawasan dalam perspektif HAN adalah mencegah timbulnya
segala bentuk penyimpangan tugas pemerintahan dari apa yang telah
digariskan
(preventif)
dan
menindak
atau
memperbaiki
penyimpangan yang terjadi (represif).
Pengawasan pada dasarnya diarahkan pada semua tindakan
publik dari pejabat yang berwenang harus sesuai dan berdasarkan
pada aturan hukum yang berlaku dan setiap tindakan atau keputusan
yang diambil oleh otoritas publik harus memenuhi syarat dan kriteria
bahwa tindakan atau keputusan yang diambil harus logis dan sah
menurut hukum artinya bahwa wewenang untuk melakukan tindakan
telah memenuhi persyaratan yang sesuai dengan nilai-nilai tertentu
bermanfaat atau secara material betul-betul dibenarkan oleh hukum.
Fungsi pengawasan pelaksanaan APBN dilakukan oleh pengawasan
fungsional baik eksternal maupun internal pemerintah.
7S.F.Marbun 2004 dkk, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Press
Jogjakarta, , hlm. 267.
Pengawasan eksternal dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) yang menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR Sementara itu
pengawasan internal dilakukan oleh inspektorat jenderal/inspektorat utama pada
masing-masing
departemen/lembaga
Badan
Pengawas
Keuangan
dan
pembangunan (BPKP) pada semua departemen/lembaga (termasuk BUMN).
Pengawasan yang dilakukan oleh pengawas internal maupun eksternal tersebut
diatas bersifat post audit.
Untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan
oleh DPR atau parlemen merupakan sesuatu yang mutlak harus ada,
karena
dalam
sistem
representatif
government
pengawasan
merupakan kekuasaan asli (original power) parlemen. Oleh karena
itu sesungguhnya DPR lebih berfungsi sebagai pengontrol terhadap
kekuasaan pemerintah daripada objek lembaga perwakilan rakyat
yang memiliki fungsi legislatif, anggaran dan pengawasan. Fungsi
pengawasan menjadi titik krusial penciptaan tata kepemerintahan
yang baik (good government) karena mempersempit ruang terjadinya
perubahan pemerintahan yang tercela yang frekuensinya lebih
banyak terjadi dalam pemerintah. Diantara tiga fungsi DPR
(anggaran, pengawasan, legislasi) maka fungsi kontrol/pengawasan
merupakan fungsi DPR yang sampai saat ini memiliki banyak
penafsiran dan perbedaan dalam implementasinya ada yang menilai
35
bahwa pengawasan yang dilakukan pada era perubahan terlalu ketat
atau malahan terlalu longgar padahal check and balance dibutuhkan
bagi penyelenggara pemerintah yang baik (good government).
Dalam
melaksanakan
fungsi
pengawasan
terhadap
eksekutif, DPR juga kurang profesional karena minimnya pendidikan
dan pengetahuan yang dimiliki anggota DPR, kurang begitu mengerti
mengenai kompleknya birokrasi yang ada dalam tubuh eksekutif
sehingga pengawasan yang dilakukan oleh DPR tidak efektif. Fungsi
birokrasi diharapkan dapat melaksanakan tugas pelayanan kepada
masyarakat secara maksimal dalam arti berdaya guna dan berhasil
guna. Sehingga keberadaan pemerintah sebagai pengemong dan
pengayom
masih
kepentingan
juga
masyarakat
diharapkan
banyak
berbagai
dapat
kebutuhan
dipenuhi
mestinya secara adil, layak, rasional dan profesional.
dan
sebagaimana
8
Pengawasan yang dilakukan oleh DPR terhadap eksekutif
terkesan
hanya
formalitas
semata
karena dalam
pelaksanaan
pengawasan jarang sekali ditemukan penyimpangan atau bahkan
tidak ada sama sekali sehingga dapat dikatakan dengan minimnya
pendidikan dan keahlian yang dimiliki oleh DPR bagaimana bisa
melakukan pengawasan terhadap eksekutif yang bisa dikatakan lebih
8Ateng Sarifudin,1996 Butir-Butir Gagasan tentang Penyelenggaraan Hukum dan
Pemerintah yang Layak. PT. Citra Aditya Bhakti Bandung, , hlm. 12.
ahli dan mempunyai kualitas yang lebih baik daripada anggota DPR.
Dengan
demikian
tugas
dan
wewenang
pengawasan
dimaksud dalam ketentuan ini harus dibedakan dengan tugas
pengawasan yang dilakukan oleh DPR berada dalam dimensi politik
sedangkan tugas pengawasan yang dilakukan pengawas fungsional
berada dalam dimensi administrasi,jika anggota DPR dianggap
melakukan korupsi akibat hukumnya pidana. Hal ini berarti tugas
pengawasan oleh DPR lebih menekankan pada segi hubungan antara
penggunaan kekuasaan oleh eksekutif dengan kondisi kehidupan
rakyat di Indonesia.
Tanpa adanya fungsi pengawasan yang efektif dari DPR
perwujudan pemerintah yang bersih dan demokratis akan sulit
dicapai, malahan akan mengganggu proses pembangunan dan
penyelenggaraan pemerintah karena penyimpangan banyak terjadi
bertolak dari hukum dan masih lemahnya pengawasan DPR yang
melatarbelakangi hal tersebut.
Berpijak dari hal di atas, jelas fungsi DPR dalam struktur
pemerintahan menunjukkan bias dan kabur akan visi dan misi DPR
sebagai lembaga parlemen atas wakil rakyat. Ketidak jelasan DPR
dalam berperan terhadap sistem pemerintahan secara genuine
merupakan problem utama bagi publik dan ketidakjelasan dalam
37
sistem kinerja di tubuh DPR akan berpengaruh lemah sekali terhadap
idealisme DPR. Menurut Syahrul Kirom 9,
“Ada beberapa faktor kenapa sistem DPR semakin melemah
; Pertama, kelemahan yang sangat parah terletak ketika negara
Indonesia menganut pada sistem pembagian kekuasaan (devision of
power) dan pemisahan kekuasaan (separation of power). Gagasan
yang diusung oleh Montesque yang sesungguhnya paradigma itu
tidak kondusif untuk diimplementasikan di Indonesia sebab ketika
paradigma itu digunakan maka akan terjadi adalah perebutan
kekuasaan antara fungsi legislatif, yudikatif dan eksekutif, yang ke
semua pada akhirnya fungsi itu bekerja sendiri-sendiri. Tanpa
mengutamakan kerjasama dalam membangun integritas yang tinggi
untuk memperbaiki bangsa Indonesia.
Kedua, ketika dikaitkan dengan prinsip demokrasi atau
kedaulatan dan kekuasaan ada di tangan rakyat maka dalam konsep
pemisahan dan pembagian tersebut haruslah dikembangkan
pandangan bahwa kedaulatan yang ada di tangan rakyat harus dibagibagi dan dipisah-pisahkan dengan tujuan untuk menjalin
kebersamaan. Bukan tambah menjalankan fungsinya sendiri-sendiri
sehingga dapat diharapkan ketiga cabang kekuasaan tersebut bisa
tetap berada dalam keadaan seimbang dan diatur oleh mekanisme
hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain yang biasa
disebut dengan prinsip check and balance.
Ketiga, ketiadaan visi DPR secara kolektif dalam
menyelamatkan negeri ini dari segala bentuk kapitalisme dan
neoliberalisme yang makin menggurita dalam bangsa Indonesia
merupakan permasalahan yang multi komplek. Selain itu, mereka
juga tidaak mempunyai konsistensi dan visi yang riil tujuan dari
anggota DPR. Ini hanyalah untuk kepentingan politik dan kelompok
dalam memperebutkan tahta kursi kekuasaan pemerintahan. Dengan
demikian para anggota DPR jangan hanya berpikir bagaimana bisa
mencapai kekuasaan. Akan tetapi, bagaimana cara mengatasi suatu
permasalahan negara kita dan menggunakan kekuasaan tersebut
untuk memenuhi kepentingan rakyat Indonesia.
Ketika
seseorang
masih
mengedepankan
kepentingan
pribadi dan golongan justru akan menciptakan perlawanan dan
9Syahrul Kirom,2010 Melemahnya fungsi DPR Bali Post, Senin 28 Juni0, hlm. 6.
pertentangan akan tetapi jika kepentingan tersebut diarahkan kepada
kepentingan politik maka kehendak tersebut akan menjadi kehendak
umum yang bisa diterima oleh rakyat secara keseluruhan (res
publica). Untuk memahami bagaimana kehendak rakyat maka
meminjam istilah Rousseau apa yang disebut dengan vertue
(keutamaan) seseorang haruslah dapat membedakan kepentingan
yang sifatnya pribadi dan kepentingan umum. Atas dasar tersebut
untuk pengelolaan lembaga negara berdasarkan nilai-nilai demokrasi
diperlukan moralitas, kemurnian hati, kejujuran, dan bebas dari rasa
pamrih serta kepentingan tertentu.
1.5.2 Teori Wewenang
Untuk
mempertajam
permasalahan wewenang DPR
pembahasan
nantinya
terhadap
dalam penetapan dan pengawasan
anggaran maka dalam sub bahasan ini akan diketengahkan uraian
tentang teori wewenang.
Pengertian fungsi terkandung wewenang
dan tugas. Agar fungsi suatu badan dapat terlaksana kepadanya perlu
diberikan wewenang dan tugas tertentu, dengan cacatan bahwa tugas
wajib dilaksanakan sedangkan wewenang tidak selalu. 10 Dimana
10A.S.S. Tambunan,1998 Fungsi DPR RI Menurut UUD 1945, Suatu Studi
analisis mengenai pengaturannya tahun 1966-1997 Disertasi ,Sekolah Tinggi Hukum
39
secara
teoritik
kewenangan/wewenang
yang
bersumber
dari
peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui 3 (tiga)
cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat.
Philipus M. Hadjon, membagi cara memperoleh wewenang
atas dua cara utama, yaitu 1) atribusi; b) delegasi; dan kadangkadang juga mandat. 11 Atribusi merupakan wewenang untuk
membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada
Undang-undang dalam arti material. Atribusi ini dikatakan juga
sebagai
suatu
cara
normal
untuk
memperoleh
wewenang
pemerintahan. Dari pengertian tersebut jelas Nampak bahwa
kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintahan
adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung
dari peraturan perundang-undangan, dengan kata lain dengan atribusi
berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan
itu tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Delegasi
diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh
pejabat pemerintahan kepada pihak lain tersebut. Dengan kata
penyerahan, ini berarti adanya perpindahan tanggung jawab dari
yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi
(delegetaris).
Militer Jakarta hlm 19..
11
Philipus M. Hadjon, 2005 Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia
Penerbit Gajah Mada University Press Yogyakarta .
Suatu delegasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain :
a. Delegasi harus definitive, artinya delegans tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.
b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada
ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan.
c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarchi
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans
berwenang
untuk
meminta
penjelasan
tentang
pelaksanaan
wewenang tersebut.
e. Peraturan kebijakan (bebudsregel) artinya delegans memberikan
intruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.12
Wewenang pemerintah tidak hanya meliputi wewenang
dalam rangka melaksanakan tugasnya dan distribusi wewenang
utamanya ditetapkan dalam kontitusi, pembentukkan wewenang
pemerintah didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh
peraturan perundang- undangan
DPR mempunyai
wewenang atribusi asli dalam hal
menetapkan Undang-undang. APBN Disamping itu DPR harus
memperhatikan dan menampung aspirasi rakyat serta menyuarakan
12Ibid, hal. 94.
41
hati nurani rakyat demi untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Suwoto
Mulyosudarmo
dengan
menggunakan
istilah
kekuasaan mengemukakan bahwa, ada dua macam pemberian
kekuasaan yaitu perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif dan
perolehan kekuasaan yang sifatnya derivatif. Perolehan kekuasaan
secara derivatif dibedakan atas delegasi dan mandat. 13
Atribusi adalah pembentukan dan pemberian wewenang
tertentu kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang
adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundangundangan.
Pembentukan
dan
distribusi
wewenang
terutama
ditetapkan di dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara RI
tahun 1945. Pembentukan wewenang pemerintahan ditetapkan
dengan peraturan perundang-undangan. Disini terjadi pemberian
wewenang baru oleh suatu ketentuan peraturan perundang-undangan
sehingga dilahirkan suatu wewenang baru.
Dengan
demikian,
pembentukan
wewenang
yang
berdasarkan pada atribusi nampak dari ciri-ciri sebagai berikut :
a. Melahirkan wewenang baru;
b. Dilakukan oleh suatu badan yang
pembentukkannya berdasarkan pada
peraturan
perundang-undangan.
Legislator yang berkompeten utuk
memberikan
atribusi
wewenang
13Suwoto, Mulyosudarmo,1997 Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan
Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, , hlm. 39-48.
pemerintahan dibedakan atas original
legislator seperti MPR menetapkan
Undang-Undang Dasar Negara RI
tahun 1945 dan Presiden bersama DPR
membuat undang-undang dan delegated
legislator, seperti Presiden menetapkan
peraturan
pemerintah
yang
menciptakan wewenang pemerintahan
kepada organ tertentu. 14
Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat
suatu keputusan oleh pejabat pemerintahan (delegans) kepada pihak
lain (delegetaris) dan wewenang itu menjadi tanggung jawab
delegetaris. Dengan demikian, pada delegasi selalu didahului oleh
adanya atribusi wewenang.
Namun demikian, mandat dapat terjadi kepada bukan
bawahan, tetapi hal ini baru dianggaap sah apabila :
a. Mandataris
menerima
mau
pemberian
mandat tersebut;
b. Wewenang
itu
merupakan
wewenang;
sehari-hari dari mandans;
c. Peraturan
perundang-
undangan
yang
14Indroharto,2004 Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara, Sinar Harapan, Jakarta, , hlm. 17.
43
bersangkutan
tidak
bertentangan
dengan
bentuk pemberian mandat
tersebut. Oleh karena itu,
unsur-unsur dari mandat
(pemberian kuasa) adalah
:
1.
Hanya dapat dilakukan oleh organ
yang memperoleh wewenang secara
atributif
atau
oleh
pemegang
delegasi;
2.
Tidak membawa konsekuensi bagi
mandataris untuk bertanggung jawab
kepada pihak ketiga, namun dapat
diwajibkan
untuk
memberikan
laporan atas pelaksanaan wewenang
kepada mandans;
3.
Mandataris harus bertindak atas nama
mandans;
4.
Pelimpahan wewenang kepada pihak
ketiga hanya atas seizin mandans.
Berdasarkan pada teori itu, maka harus dibedakan antara
pembentuk wewenang yang diperoleh secara atributif dengan
pembentuk wewenang yang diperoleh secara delegasi.
Dari paparan kerangka teori diatas maka terlihat jelas
bahwa pemerintah mempunyai kewenangan yang luas dalam
melaksanakan pembangunan, menerapkan dan melaksanakan hukum
dan peraturan perundang-undangan, pengawasan, maupun penegakan
hukum, dengan kata lain pemerintah dalam melaksanakan tugasnya
sebagai
publik
service
harus
tunduk
pada
hukum,
sebagai
konsekuensi dari paham negara yang berdasarkan atas hukum.
Konsep hukum lain dari negara berdasarkan atas hukum
adalah adanya jaminan penegakan hukum dan tercapainya tujuan
hukum. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus
mendapat perhatian, yakni keadilan, kemanfaatan atau hasil guna
(doelmatigheid), dan kepastian hukum. 15
1.5.3 Teori Demokrasi
Para ahli di bidang politik dan hukum dalam memberikan
definisi tentang demokrasi bermacam-macam. Istilah demokrasi
berasal dari bahasa Yunani yang asal katanya adalah demos berarti
rakyat dan kratia yang berarti kekuasaan. Dengan demikian maka
15Sudikno Mertokusumo 1993 Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, , hlm. 1.
45
demokrasi berarti kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat.
Menurut I Dewa Gede Atmadja 16, mengatakan bahwa ;
Pemerintahan daerah dan Otonomi Daerah di Indonesia berdasarkan
Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (perubahan ke-2) didasarkan pada prinsip demokrasi. Sesuai
Kamus Hukum Inggris-Latin (Black’s Law Dictionary), Atmadja
mengartikan demokrasi sebagai berikut ;
”That form of goverment in which the sovereign power
resides in and is, exercised by the whole body of free citizens
directly or indirectly throught a sistem of representation, as
distinguished from a monarchie, aristocracy, or oligarchy”. (Yaitu
Bentuk pemerintahan yang mana kedaulatan dari keseluruhan
lembaga pemerintah, ditentukan oleh rakyat yang bebas, baik
langsung maupun tidak langsung melalui dari sistem perwakilan
yang berbeda dengan monarki, aristokrasi atau oligarki)”.
Sedangkan menurut Franz Magins-Suseno SJ 17, kelebihan
demokrasi Yunani atas tradisi-tradisi demokrasi tadi terletak dalam
dua hal. Pertama, mereka mengembangkan suatu sistem kelembagaan
16I Dewa Gede Atmaja 2004, Sistem Pemilihan Langsung dan
Pertanggungjawaban Kepala Daerah, Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, , hlm.
11
17Franz Magins-Suseno SJ,1995 Mencari Sosok Demokrasi, PT. Gramedia
Pustaka, Jakarta, , hlm. 34-35.
canggih yang secara eksplisit didasarkaan pada gagasan kekuasaan di
tangan rakyat. Kedua, prinsip demokrasi mereka sadari dan mereka
repleksikan secara eksplisit-filosofis, dengan mempertimbangkan pro
dan kontranya serta dengan memperbandingkan bentuk kenegaraan
demokrasi
dengan
bentuk-bentuk
pemerintahan
lain
seperti
kekuasaan satu orang dan kekuasaan di tangan elit.
Berangkat dari teori demokrasi mendasarkan kekuasaan
pada kehendak rakyat, jika kekuasaan tersebut harus menurut atau
sejalan dengan kehendak rakyat, menurut Bagir Manan 18 ada dua
pengertian dari kehendak rakyat sebagai berikut :
1. Kehendak rakyat seluruhnya yang dinamakan volente de tous.
2. Kehendak sebagian dari rakyat yang dinamakan volente generale.
Artinya kehendak rakyat seluruhnya atau volente de tous hanya
dipergunakan oleh rakyat seluruhnya sekali saja. Yaitu pada saat
Negara hendak dibentuk melalui perjanjian masyarakat. Maksud
dari Volente de tous adalah untuk memberikan sandaran agar
negara dapat berdiri sendiri dengan abadi, karena seluruh rakyat
telah menyetujuinya, jika Negara sudah berdiri berdasarkan
persetujuan masyarakat maka persetujuan itu tidak dapat dicabut
kembali. Kehendak dari sebagian rakyat atau volente generale
18Bagir Manan1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan di Indonesia, Indonesia
Co, Jakarta, , hlm. 3.
47
melalui keputusan suara terbanyak perlakuan setelah negara
sudah berdiri supaya negara bisa berjalan.
Demokrasi secara singkat diartikan sebagai suatu sistem politik
dimana kekuasaan politik berada di tangan rakyat. Secara histories
demokrasi sebagai bentuk pemerintahan tumbuh pertama kali dalam
negara kota Athena di Yunani antara tahun 450-250 s.m. Menurut
Pericles, salah seorang negarawan Athena demokrasi mempunyai ciri
sebagai berikut : pemerintahan oleh rakyat dan partisipasi rakyat secara
langsung, persamaaan di muka hukum, pengakuan terhadap kemajemukan
bakat, perhatian, serta pandangan, pengakuan terhadap kebebasan
pribadi.19
Esensi demokrasi adalah pengakuan bahwa sumber kedaulatan
tertinggi pada suatu negara adalah kehendak rakyat. Sebagai implementasi
dari demokrasi, seluruh lembaga penyelenggara negara dirancang,
diorganisasi serta dioperasikan sebagai pemegang amanat dan kehendak
rakyat dan oleh karena itu bertanggung jawab kepada rakyat secara
langsung maupun tidak langsung.
A.
Mukthie
Fadjar20
menyebutkan
bahwa
demokrasi
perwujudannya adalah dengan adanya pemerintahan yang bersendikan
perwakilan rakyat, kekuasaan dan kewenangannya berasal dari rakyat dan
19Majalah Wawasan Hukum, HAM dan Politik, 2006, Edisi XXXIII Th. III
Minggu Kedua Desember.
20A. Mukthie Fadjar,2005 Tipe Negara Hukum, Bayu Media Publising, Malang, , hlm. 76
dilaksanakan melalui wakil-wakil serta bertanggungjawab penuh terhadap
rakyat. Oleh karenanya, demokrasi mensyaratkan adanya pemilihan umum
untuk memilih wakil-wakil rakyat tersebut yang diselenggarakan secara
berkala dan bebas.
Pada hakikatnya bahwa pemerintahan yang demokratis, syarat
utamanya harus melibatkan rakyat baik secara langsung maupun melalui
wakil-wakil yang telah ditunjuk atau dipilih oleh rakyat melalui partai
politik dalam sistem pemilihan umum tersebut. Dalam menjalankan roda
pemerintahannya maupun merencanakan dan menyususn programprogram kegiatan dari pemerintah tersebut.
Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang
menggunakannya sebab dengan demokrasi, hak masyarakat untuk
menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh sebab itu
hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu
memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional
implikasinya di berbagai negara tidak selalu sama. Demokrasi sebagai
dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir
rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang
mengenai kehidupannya, termasuk dalam penilaian kebijakan negara. Jadi
negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan
kehendak dan kemauan rakyat/kedaulatan rakyat.
49
Munculah berbagai teori tentang bagaimana seharusnya dalam
menjalankan kedaulatan. Yang sering dipakai dalam jaman modern adalah
demokrasi, pemerintahan yang berdasarkan rakyat. Antara rakyat dan
kekuasaan negara sehari-hari, lazimnya berkembang atas 2 teori, yaitu :
1. Teori Demokrasi Langsung (direct democracy) dimana
kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dalam arti
rakyat sendirilah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi yang
dimilikinya.
2. Teori Demokrasi tidak langsung (representative democracy).
21
Representasi sangat diperlukan bagi eksistensi otoritas politik di
samping beberapa hal pokok lainnya. Bagi para ahli politik tentang
kekuasaan, bahwa ia juga sangat tergantung pada beberapa tuntutan lain.
Dan biasanya berhubungan dengan konstitusionalisme: pembatasan
kekuasaan pemerintah dan kebebasan politik warga negara.
Kemudian perkembangan lembaga perwakilan di duniapun
menjadi beragam dan berkembang. Hal ini sesuai dengan tuntutan zaman
dan dilekatkan pada kekuasaan membuat undang-undang.
Setelah berkembangnya ide demokrasi yang telah dimulai sejak
21
Jimly Asshiddiqie, 2003 Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah perubahan
keempat UUD 1945 ,disampaikan dalam seminar yang dilakukan oleh BPHN dan
DEPKEH dan HAM RI .Jakarta
abad ke 19 maka konsep pemerintahan demokrasi menjadi suatu trend dan
isu global dalam dunia. Sehingga mayoritas negara menggunakan
demokrasi sebagai sistem politik dan negara mereka. Seperti apa yang
dikatakan oleh Moh Mahfud MD22, menyebutkan bahwa hampir semua
pengertian tentang demokrasi selalu memberikan posisi penting bagi
rakyat, kendali secara operasional implikasinya di berbagai negara
berbeda-beda
artinya
semua
negara
yang
mengatasnamakan
pemerintahannya menganut sistem pemerintahan yang demokratis pasti
melibatkan kepentingan rakyat dalam pengambil kebijakannya baik itu
melalui wakil-wakilnya yang ada di lembaga perwakilan maupun secara
langsung.
Demokrasi memiliki perjalanan sejarah yang amat panjang,
keberadaan ide tentang demokrasi sudah dimulai 508 tahun sebelum
masehi. Perjalanan panjang tersebut telah pengantarkan demokrasi menuju
sebuah
dinamika
yang
berkelanjutan,
berevolusi
sesuai
dengan
perkembangan zaman dan kebutuhan para manusia yang menggunakan.
Sri Sumantri23, melihat Demokrasi dalam dua segi yaitu yaitu
Demokrasi Materiial dan Demokrasi Formal.
Demokrasi dalam arti Materiial adalah demokrasi yang diwarnai
22Moh. Mahfud. MD, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media,
Yogyakarta, , hlm. 7.
23Sri Sumantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,
Bandung, Hlm 9-10.
51
oleh falsafah atau idiologi yang dianut loeh suatu bangsa atau negara
perbedaan dalam demokrasi yang dianut oleh masing-masing negara
menunjukkan adanya perbedaan yang mendasar dalam demokrasi ini.
Oleh karena itu dikenal dengan Demokrasi Pancasila. Demokrasi
Terpimpin. Demokrasi Liberal. Demokrasi Sosialis. Demokrasi Rakyat
dan Demokrasi Sentralistik.
Demokrasi dalam arti formal mengalami perkembangan yaitu
dari Demokrasi langsung. Sebagaimana pernah dilaksanakan dalam
Negara Kota (City State) di Yunani kuno, menjadi Demokrasi tidak
langsung Demokrasi tidak langsung juga dinamakan Demokrasi
Perwakilan yaitu demokrasi yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang
duduk dalam lembaga/badan perwakilan rakyat.
Demokrasi dapat diartikan dengan dua makna menurut Sri
Sumantri yaitu Demokrasi Materiial, makna pengertian itu sendiri
(Pemerintahan dari dan oleh rakyat) yang dipengaruhi oleh falsafah negara
dan Demokrasi Formal dalam arti pelaksanaannya (yaitu Demokrasi
langsung dan Demokrasi perwakilan)
Afan Gafar24 memberikan pemahaman tentang demokrasi
menjadi dua yaitu Demokrasi Normatif yaitu merupakan sesuatu yang
ideal hendak dilakukan oleh sebuah negara, yang diterjemehkan dalam
24Afan Gafar, 2002, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, Hlm. 3
konstitusi masing-masing negara yang mengutamakan unsur-unsur dan
prinsip-prinsip dari suatu pemerintahan yang demokratis dan Demokrasi
Empirik yang mengutamakan pengaruh terjadinya atau terselenggaranya
pemerintahan yang demokratis tersebut.
Dalam
memberikan
pemerintah
mendifinisikan
syarat
yang
suatu
demokrasi
negara
demokratis
dapat
yaitu
dalam
dikatakan
arti
normatif
melaksanakan
Pertama
Adanya
Akuntasi/pertanggungjawaban bagi setiap pejabat pemerintah. Kedua,
Adanya rotasi kekuasaan artinya kekuasaan tidak dimonopoli oleh orangorang atau golongan tertentu untuk selamanya akan tetapi adanya
periodesasinya untuk dilakukan pergantian pemegang kekuasaan tersebut.
Ketiga, Adanya rekruitmen politik yaang terbuka artinya peluang untuk
menduduki suatu jabatan dalam kekuasaan tersebut bagi semua orang.
Keempat, Adanya pemilu yang teratur setiap warga negara suadah dewasa
berhak untuk memilih dan dipilih jabatan politik. Kelima, Masyarakat
menikmati hak-hak dasar Terutama Hak untuk menyatakan pendapat, hak
untuk berkumpul dan berserikat, serta hak untuk menikmati pers yang
bebas dari tekanan penguasa.
Menurut Thomas Meyer25 menyatakan demokrasi perwakilan
mempercayakan sepenuhnya pengambilan keputusan di tingkat parlemen oleh
wakil-wakil yang dipilih. Demokrasi langsung akan mengalihkan sebanyak
mungkin keputusan kepada rakyat yang berdaulat misalnya melalui plebisit,
25Thomas Meyer,2003 Demokrasi (Sebuah Pengantar Untuk Penerapan),
Friedrich-Ebert-Stiftung, Kantor Perwakilan Indonesia, , hlm. 13-14.
53
referendum, jajak pendapat rakyat dan keputusan rakyat atau mengembalikan
sebanyak mungkin keputusan ke tingkat komunitas lokal. Pada suatu negara
yang luas peluang diterapkannya demokrasi langsung sangat terbatas. Sidang
paripurna yang menghadirkan seluruh rakyat tidak mungkin dilakukan. Plebisit
hanya dapat dilakukan untuk beberapa permasalahan dan hanya dengan
mempersiapkan waktu yang cukup untuk sebagian besar pengambilan
keputusan pada tingkat regional dan nasional yang dapat dilakukan hanyalah
demokrasi perwakilan. Tetapi demokrasi perwakilan murni sering kali
menunjukkan kecendrungan mengabaikan kehendak rakyat dan mempersulit
identifikasi serta partisipasi politik rakyat. Dalam banyak kasus pengalaman
membuktikan bahwa kombinasi cerdas antara demokrasi perwakilan dan
elemen-elemen demokrasi langsung yang relevan sangatlah bermanfaat. Untuk
permasalahan tertentu sudah dirumuskan secara akurat dan terdapat metode
yang terstruktur secara jelas untuk menanyakan pendapat rakyat, referendum
dapat dilakukan. Selain itu ada juga kemungkinan untuk pembuatan sebanyak
mungkin keputusan pada tingkat komunitas lokal.
Tugas dan wewenang yang dijalankan oleh setiap lembaga
perwakilan rakyat di dunia adalah sebagai berikut :
1.
Sebagai lembaga perwakilan rakyat yang
mengawasi jalannya pemerintahan yang
dilakukan
oleh
pemegang
kekuasaan
eksekutif agar kekuasaan pemerintah tidak
menindas rakyat sehingga kekuasaan tidak
dijalankan secara sewenang-wenang.
2.
Sebagai pemegang kekuasaan legislatif
untuk menjalankan keinginan rakyat dan
diinterprestasikan dalam undang-undang
dan juga sebagai pembuat undang-undang
dasar (supreme legislative body of some
nations).26
1.5.4 Konsep Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Yang dimaksud dengan anggaran (budget) adalah suatu
daftar atau pernyataan yang terperinci
tentang penerimaan dan
pengeluaran negara yang diharapkan dalam waktu tertentu yang
biasanya adalah satu tahun. Ada anggaran yang disusun berdasarkan
atas tahun kalender yaitu mulai tanggal 1 April dan tutup pada
tanggal 31 Maret sampai tahun yang berikutnya, tetapi ada pula
yang tidak dimulai pada tanggal 1 januari dan diakhiri pada tanggal
31 Desember Sejak tahun 1969.
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara
di Indonesia
dimulai pada tanggal 1 januari dan tutup pada tanggal 31 Desember
dari tahun yang bersangkutan. Biasanya lembaga eksekutif yang
mempersiapkan
rencana
penerimaan
dan
pengeluaran/belanja
termasuk pos-posnya kemudian diajukan kepada lembaga legislatif
untuk dipertimbangkan dan kemudian diputuskan serta ditetapkan
sebagai
undang-undang.
menetapkan
Dalam
UUD
NRI
1945
Presiden
Anggaran Pendapatan dan belanja negara (APBN)
setelah mendapat persetujuan DPR.
Pada pokoknya anggaran harus mencerminkan politik
26 Ibid hlm 15
55
pengeluaran pemerintah yang rasionil secara kuantitatif maupun
secara kualitatif sehingga akan terlihat bahwa :
1. Ada pertanggungjawaban atas pungutan pajak dan pungutan
lainnya oleh pemerintah, misalnya untuk memperlancar proses
pembangunan ekonomi.
2. Adanya hubungan yang erat antara fasilitas penggunaan dana
dan penarikannya.
3. Adanya pola pengeluaran pemerintah yang dapat dipakai sebagai
pertimbangan didalam menentukan pola penerimaan pemerintah
yang
pada
akhirnya
menentukan
pula
tingkat
distribusi
penghasilan dalam perekonomian. 27
Dengan adanya reformasi tersebut mendapatkan landasan
hukum yang kuat dengan telah disahkan UU RI Nomor 17 Tahun
2003 Tentang Keuangan Negara, UU RI Nomor 1 Tahun 2004
Tentang Perbendaharaan Negara, UU RI Nomor 15 Tahun 2004
Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan
Negara dan UU RI Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan
Pemeriksaan Keuangan Negara.
Sebelum Undang-Undang tersebut diundangkan aturan yang
berlaku untuk Pengelolaan Keuangan Negara masih menggunakan
27Suparmoko,2003
Yogyakarta, , hlm. 48
Keuangan
Negara
Dalam
Teori
dan
Praktek,
BPFE,
peraturan peninggalan pemerintah Kolinial Belanda seperti Indische
Comptabiliteitswet yang lebih dikenal dengan nama ICW Stbl 1925
No.488 yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1864 dan mulai
berlaku tahun 1867. Selain ICW ada juga Indische Bedrijvenwet
(IBW) Stbl No.419 jo. stbl No.445 dan Reglement Voorhet
Administratief Beheer (IAR) Stbl. 1933 No.320
Peraturan-peraturan seperti ICW, IAR, IBW dan RAB,
sengaja diciptakan dan dibuat oleh pemerintahan Kolonial Belanda
sebagai penguasa yang menjajah Indonesia saat itu dengan
pendekatan untuk kepentingan Negara Belanda atas Indonesia.
Paradigma negeri jajahan itulah yang sangat kental mewarnai
peraturan-peraturan itu. Ketika diterapkan kepada Negara yang
berdaulat dan merdeka seperti Indonesia saat ini, peraturanperaturan itu sudah tidak lagi relevan dan layak dijadikan pedoman
pengelolaan keuangan negara. Merubah seluruh peraturan diatas
dengan peraturan yang bersemangat independensi dan menjunjung
tinggi kedaulatan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Selain itu muatan yang terdapat di dalam aturan-aturan
kolonial itu sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini, apalagi
tingkat komplekstitas permasalah saat ini jauh lebih tinggi dari
masa dulu. Oleh karena itu, walaupun masih berlaku sebagai aturan
57
perundang-undangan tetapi secara materiil sudah tidak dapat
dilaksanakan.
lemahnya
Kekosongan
sistem
perundang-undang
pengelolaan
keuangan
ini
negara,
membuat
selama
ini
kekosongan itu hanya dilengkapi dengan Keputusan Presiden, yang
terakhir diantaranya diatur oleh Keppres No.42 Tahun 2002 Tentang
Pedoman Pelaksanaan APBN dan Keppres No.80 Tahun 2003
Tentang Pengadaan Barang / jasa Pemerintah. Keputusan Presiden
di dalam tata hukum tidak terlalu mengikat sebagaimana suatu
Undang-Undang.
Dari kelemahan tata hukum itulah kemudian menjadi salah satu
penyebab banyaknya praktik penyimpangan dan KKN di dalam pengelolaan
keuangan negara selama ini. Puncaknya dengan terjadinya krisis moneter
pertengahan 1997 yang telah memporak-porandakan tatanan ekonomi yang
telah dibangun dengan susah payah oleh pemerintahan era orde baru ditandai
dengan anjloknya rupiah hingga menembus dari level Rp 6000 ke level Rp.
17000 per satu USD. Krisis berlanjut hingga menjadi krisis multidimensional
yang kemudian melahirkan era reformasi. Inilah yang memberikan
momentum terciptanya tata aturan baru dalam pengelolaan keuangan negara.
Dengan adanya paket keuangan negara tersebut yang telah
merumuskan empat prinsip dasar pengelolaan negara yaitu:
1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja
2. Keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah
3. Pemberdayaan manajer professional dan
4. Adanya lembaga pemeriksaan eksternal yang kuat, professional dan
mandiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan.28
Perubahan mendasar yang diatur oleh Undang-Undang
No.17 Tahun 2003 yaitu :
1. Tentang pengertian dan ruang lingkup dari keuangan negara.
2. Asas-asas umum pengelolaan keuangan negara.
3. Kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara.
4. Pendelegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan dan
Menteri /Pimpinan lembaga.
5. Susunan APBN/dan APBD.
6. Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan
APBD.
7. Pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan
Bank Sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing.
8. Pengaturan
hubungan
keuangan
antara
pemerintah
dengan
perusahaan daerah dan perusahaan swasta.
9. Badan pengelola dana masyarakat.
28C.S.T Kansil & Christine S.T. Kansil,2006 Hukum
Penbendaharaan Negara, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, , hlm. 37.
Keuangan
dan
59
10. Penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.
Sedangkan
perbendaharaan
perubahan
mendasar
dalam
pengelolaan
negara yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun
2004 yaitu :
1. Penerapan
anggaran
berbasis
kinerja.
2. Pemberlakuan
pengakuan
dan
pengukuran pendapatan dan belanja
negara berbasis akrual.
3. Munculnya
jabatan
fungsional
perbendaharaan negara.
4. Pemberian jasa giro atau bunga atas
dana pemerintah yang disimpan
pada Bank Central.
5. Sertifikat
selama
Bank
ini
Indonesia
menjadi
yang
instrumen
moneter akan digantikan oleh surat
utang negara.
Perumusan keuangan negara menggunakan beberapa pendekatan
yaitu dari obyek keuangan negara akan meliputi seluruh hal dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang. Didalamnya termasuk berbagai
kebijakan dan kegiatan yang terselenggara dalam bidang fiskal, moneter
dan/atau kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu, segala sesuatu dapat
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari subyek
keuangan negara meliputi negara dan/atau pemerintah pusat, pemerintah
daerah, perusahan negara/daerah dan badan lain yang ada kaitannya dengan
keuangan negara.
Keuangan negara dari proses mencakup seluruh rangkaian
kegiatan yang terkait dengan pengelolaan obyek diatas mulai dari
proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai
dengan pertanggungjawaban. Keuangan negara juga meliputi
seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan
dengan pemilikan dan penguasaan obyek sebagaimana tersebut
diatas untuk penyelenggaran pemerintahan negara.
Dari pendekatan tersebut diatas menurut UU No. 17 Tahun
2003 merumuskan sebagai berikut bahwa ; Keuangan negara adalah
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban tersebut.
61
Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang
disetujui oleh DPR (pasal 1 angka 7 UU No.17 Tahun 2003)
Merujuk pasal 1 UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan
Negara, APBN dalam satu tahun Anggaran meliputi :
1. Hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambahan nilai
kekayaan bersih.
2. Kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih
3. Penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran
yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikut.
Semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui
rekening Kas Umum negara ( Pasal 12 Ayat (2) UU No 1 Tahun
2004). Tahun Anggaran adalah periode pelaksanaan APBN selama
12 bulan sejak Tahun 2000, Indonesia menggunakan tahun kalender
sebagai tahun anggaran, yaitu dari tanggal 1 januari sampai tanggal
31 Desember sebelumnya, tahun anggaran dimulai tanggal 1 April
sampai dengan 31 maret tahun berikutnya. Penggunaan tahun
anggaran ini kemudian dikukuhkan dalam UU Keuangan Negara dan
UU Perbendaharaan Negara (Pasal 4 UU No.17/2003 dan Pasal 11
UU No 1/2004)
Sebagaimana ditegaskan dalam bagian penjelasan UU No
17/2003, anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen dan
kebijakan ekonomi sebagai fungsi akuntabilitas, pengeluaran
anggaran
hendaknya
dapat
dipertanggungjawabkan
dengan
menunjukkan hasil (result) berupa outcome atau setidaknya output
dari dibelanjakannya dana-dana publik tersebut.
Sebagai alat manajemen, sistem penganggaran selayaknya
dapat
membantu
aktifitas
berkelanjutan
untuk
memperbaiki
efektifitas dan efisiensi program pemerintah. Sedangkan sebagai
instrumen
kebijakan
ekonomi,
anggaran
berfungsi
untuk
mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian, sosial
budaya dan hukum serta pemerataan pendapatan dalam rangka
mencapai tujuan bernegara.
Peranan
DPR
dalam
penganggaran
dapat
dijalankan
berdasarkan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Berdasarkan pasal 20A
UUD NRI 1945 DPR mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi legislasi,
fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
Fungsi Legislasi, Dalam menjalankan fungsi legislasinya.
DPR menetapkan dan menyetujui Rancangan Undang-Undang
Anggaran Pendapatan Belanja Negara
yang diajukan oleh
pemerintah, proses penetapan itu sendiri diatur dalam Peraturan
Tata Tertib DPR RI No.1 tahun 2009. Sebelum menetapkan dan
menyetujui
Rancangan
Belanja Negara
Undang-Undang
Anggaran
Pendapatan
yang diajukan oleh pemerintah, DPR terlibat
63
secara intens dalam keseluruhan proses penyusunan dan penetapan
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Fungsi Anggaran, berkenaan dengan fungsi anggaran DPR
mempunyai hak budget sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Ayat (2)
UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa Rancangan UndangUndang Anggaran Pendapatan Belanja Negara
Presiden untuk dibahas bersama DPR
diajukan oleh
dengan memperhatikan
pertimbangan DPD. DPR sesuai dengan hak budgetnya dapat
menyetujui ataupun tidak menyetujui Rancangan Undang-Undang
Anggaran Pendapatan Belanja Negara
yang diajukan oleh
pemerintah dan mengadakan pembahasan.
Pembahasan
Rancangan
Undang-Undang
Anggaran
Pendapatan Belanja Negara secara bersama oleh DPR dan Presiden
selain
dalam
rangka
melaksanakan
fungsi
legislasi
juga
dimaksudkan agar DPR dapat mengetahui dan mengidentifikasikan
dengan jelas bahwa terhadap alokasi yang dicantumkan dalam
RAPBN tersebut tidak terjadi penyelewengan. Selain itu, DPR juga
mempunyai hak untuk mengajukan usul yang mengakibankan
perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan
Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
Dalam
konteks
peranan
DPR
dalam
penganggaran
khususnya pada tahap penyusunan dan penetapan APBN. Menurut
Abdullah Zainie29 menyatakan beberapa hal diantaranya :
1. DPR harus mempunyai waktu khusus untuk membahas proses
anggaran dengan mengkaji secara teliti sehingga proses tersebut
bisa berjalan lancar.
2. DPR harus menguasai keseluruh struktur dan proses anggaran
sehingga bisa memberikan peran yang maksimal terhadap proses
anggaran.
3. DPR dengan didukung oleh Undang-Undang seharusnya mampu
memberikan kontribusi lebih besar bukan hanya sekedar
menerima atau menolak Rancangan Undang-Undang Anggaran
Pendapatan
Belanja
Negara.
DPR
seharusnya
dapat
mendiskusikan anggaran sebagai instrumen kebijakan dan untuk
menjamin bahwa anggaran tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip
yang tercantum dalam konstitusi. DPR juga harus bisa mengkaji
dan menganalisis anggaran secara terperinci berdasarkan fungísfungsi yang ada.
4. Anggaran seharusnya digunakan oleh pemerintah dan DPR untuk
bertindak sebagai mitra yang berkepentingan dalam pencapaian
tujuan yang sama.
5. Kepentingan tertinggi partai harus didahulukan diatas kepentingan
partai.
Fungsi pengawasan, pengawasan yang dilakukan DPR
terdiri dari dua hal yaitu :
1. Pengawasan terhadap pemerintah dalam melaksanakan
undang-undang.
2. Pengawasan terhadap pemerintah dalam melaksanakan
APBN.
Pengawasan DPR terhadap pemerintah dalam melaksanakan
APBN dapat dilakukan melalui dua hal yaitu :
29Abdullah Zaini,2003 Peranan DPR Dalam Reformasi Pengelolaan Anggaran
Negara, Jurnal Forum Inovasi Vol 5, Desember , hlm. 20.
65
1. Melalui rapat-rapat kerja yang dilakukan oleh komisikomisi
DPR
dengan
departemen-departemen
pemerintah. Dalam rapat kerja tersebut DPR dapat
mengadakan
pembahasan
mengenai
berbagai
hal
dengan pemerintah. Selain itu, DPR juga membahas
hasil
dengar
pendapat
komisi-komisi
dengan
masyarakat dan akademisi. Fungsi pengawasan dan
fungsi pengganggaran akan berisikan ketika DPR
melakukan
pembahasan
dengan
pemerintah
untuk
mensetujui Rancangan Undang-Undang APBN yang
diajukan oleh pemerintah.
2. Menerima
dan
membahas
laporan
dari
BPK.
Berdasarkan Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 ditetapkan bahwa hasil
pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR,
DPD, DPRD sesuai dengan kewenangannya. Hasil
pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK akan digunakan
oleh DPR untuk mengevaluasi pertanggungjawaban
pemerintah dalam pelaksanaan APBN. Menurut Pasal
145 Peraturan Tata Tertib DPR, DPR membahas hasil
pemeriksaan tersebut yang diberitahukan oleh BPK
dalam
bentuk
hasil
pemeriksaan
semester
yang
kemudian disampaikan dalam rapat paripurna DPR
untuk dipergunakan sebagai bahan pengawasan. Hasil
pemerikasaan juga membantu DPR dalam rangka
memberikan persetujuan atas APBN yang diajukan oleh
pemerintah.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum
normatif, atau penelitian doktrinal, yang mempergunakan bahanbahan hukum berupa ; peraturan perundang-undangan sebagai hukum
primer; teori-teori hukum, hasil penelitian, tulisan (hasil karya) para
sarjana hukum dan dokumen hukum tertulis lainnya yang relevan
dengan obyek penelitian dan dokumen tertulis lainnya yang relevan,
sebagai bahan hukum sekunder; serta bahan-bahan hukum tertier
yang memberikan penjelasan atau petunjuk terhadap bahan hukum
primer. 30
30
30 Roni
Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri
Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 34
67
1.6.2 Jenis Pendekatan
Dalam melaksanakan penelitian ini jenis pendekatan yang
dipakai adalah : pendekatan perundang-undangn (the statute
approach) adalah menganalisa peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat
dalam
penetapan dan pengawasan anggaran APBN bersama-sama dengan
pemerintah berdasarkan pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945).
Pendekatan analisis konsep hukum (analytical dan conceptual
approach) yaitu pendekatan ini dilakukan manakala peneliti tidak
beranjak dari aturan hukum untuk masalah yang diharapkan. Disini
penulis akan menganalisa permasalahan hukum yang menyangkut
wewenang DPR yang dikaitkan dengan konsep negara hukum yang
dianut di Indonesia serta dengan mengkaitkannya dengan teori-teori
hukum. Pendekatan sejarah ukum (historical approach) dengan
mengkaji atau menelusuri perkembangan hukum yang ada kaitannya
dengan topik permasalahan dalam penulisan ini.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian ini bahan hukum yang digunakan adalah
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
− Bahan
hukum
primer,
berupa
peraturan
perundang-
undangan yang ada kaitannya denga masalah penelitian
seperti : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 jo
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD, serta peraturan
perundang-undangan lainnya yang ada kaitannya dengan
topik permasalahan yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun
2004 Tentang perbendaharaan Negara dan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2003 Tentang keuangan negara UndangUndang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang pemeriksaan
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan
Pemeriksa Keuangan.
− Bahan hukum sekunder, yaitu diambil dari kepustakaan yang
memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer
seperti rancangan undang-undang, literatur-literatur ilmu hukum
hasil-hasil penelitian dan pendapat-pendapat para ahli hukum.
1.6.4 Metode Pengumpulan Bahan Hukum.
Bahan
hukum yang telah diperoleh, diinventarisasi dan
69
identifikasi untuk digunakan sebagai bahan dalam menganalisa
pokok permasalahan dalam penelitian ini. Identifikasi bahan bukum
baik primer maupun sekunder dilakukan secara kritis logis dan
sistematis dengan menggunakan sistem
kepustakaan dengan
demikian bahan hukum akan digolongkan menurut bentuknya,
menurut jenis dan tingkatannya.
1.6.5 Teknik Analisis
Teknik
analisis
dalam
penelitian
hukum
di
dalam
menganalisis bahan-bahan hukum tersebut, dapat dilakukan secara;
deskripsi,
interpretasi,
kontruksi,
evaluasi,
argumentasi
dan
sistematisasi, dalam kerangka berpikir yang diarahkan untuk dapat
memberikan jawaban atas rumusan masalah dan tujuan yang dikaji
dalam penelitian ini.
Teknik analisis bahan hukum di atas dapat dijelaskan
sebagai berikut.
a. Teknik deskripsi, yaitu uraian apa
adanya terhadap suatu kondisi atau
posisi dan proposisi-proposisi hukum
dan non hukum.
b. Teknik interprestasi, yaitu teknik
menggunakan jenis-jenis penafsiran
dalam
ilmu
hukum
yang
terkait
dengan pembahasan yang tidak jelas.
c. Teknik
konstruksi,
pembentukan
dengan
yaitu
konstruksi
melakukan
yuridis
analogi
dan
pembalikan proposisi.
d. Teknik
evaluasi,
yaitu
penilaian,
tepat atau tidak tepat, setuju atau
tidak setuju, benar atau salah, syah
atau tidak syah oleh penulis terhadap
suatu
pandangan
atau
proposisi,
pernyataan rumusan norma baik itu
bahan
hukum
primer
maupun
sekunder.
e. Teknik argumentasi, yaitu penilaian
yang
dilakukan
dilakukan
atas
penulis
dasar
yang
penalaran
hukum.
f. Teknik sistematisasi, yaitu penulis
berusaha mencari kaitan rumusan
suatu konsep hukum atau proposisi
71
hukum antara peraturan perundangundangan yang sederajat maupun
antara yang tidak sederajat. 31
31Buku Pedoman,2003 Penulisan Penelitian
Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar, , hlm. 10.
Tesis
Normatif,
Program
BAB II
LANDASAN YURIDIS KONSTITUSIONAL WEWENANG DPR
DALAM PENETAPAN DAN PENGAWASAN APBN
2.1.
Sumber Wewenang DPR Terkait Dalam Melakukan Hak
Anggaran
Utrecht 32 mengatakan bahwa para ahli memberikan istilah sumber
hukum berdasarkan sudut pandang keilmuwannya :
1. Ditinjau dari sudut pandang ahli sejarah, sumber hukum memiliki arti:
− Sumber hukum dalam arti pengenalan hukum
− Sumber hukum dalam arti sumber dari mana pembentuk ikatan
hukum memperoleh bahan dan dalam arti sistem-sistem hukum
dari mana tumbuh positif suatu Negara.
Sumber hukum ini berfungsi untuk menyelidiki perkembangan
hukum dari masa ke masa hingga akan diketahui
perkembangannya, pertumbuhan dan perubahan –perubahan antara
hukum yang berlaku di suatu Negara
2. Ditinjau dari sudut para ahli filsafat sumber hukum diartikan sebagai
sumber untuk menentukan isi hukum apakah isi hukum itu benar, adil
sebagaimana mestinya ataukah masih terdapat kepincangan dan tidak
ada rasa keadilan. Sumber untuk mengetahui kekuatan mengikat
hukum yaitu untuk mengetahui mengapa orang taat pada hukum.
3. Ditinjau dari sudut pandang Sosiologi dan Anthropologi budaya yang
dianggap sebagai sumber hukum adalah keadaan masyarakat itu
sendiri dengan segala lembaga sosial yang ada didalamnya.
4. Ditinjau dari sudut pandang Religius yang merupakana sumber hukum
adalah kitab –kitab suci atau ajaran agama itu.
5. Ditinjau dari sudut ahli Ekonomi yang menjadi sumber hukum adalah
apa yang nampak dilapangan ekonomi.
6. Ditinjau dari sudut pandang ahli hukum sumber hukum memiliki arti;
Sumber hukum formil yaitu sumber hukum yang dikenal dalam
bentuknya. Karena bentuknya itulah sumber hukum formil diketahui
dan ditaati sehingga hukum berlaku. Misalnya Undang-Undang,
kebiasaan, traktat, yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum
(doktrin).
32Titik Triwulan Tutik, 2006, Pokok-Pokok HukumTataNegara, Penerbit Prestasi
Pustaka, Jakarta, hal 12.
73
Sumber hukum Materiil yaitu sumber hukum yang menentukan isi
hukum, Sumber hukum materiil diperlukan ketika akan menyelidiki asal
usul hukum dan menentukan isi hukum. 33
Adapun yang dimaksud sumber hukum adalah segala apa saja
yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunya kekuatan bersifat
memaksa, yakni aturan-aturan yang
kalau dilanggar mengakibatkan
sanksi tegas dan nyata. Dalam ilmu hukum, sumber hukum juga dapat
dibedakan menjadi ; Pertama, Sumber pengenalan Hukum (kenbron van
hetrecht). Sumber hukum yang mengharuskan untuk menyelidiki asal dan
tempat diketemukannya hukum. Kedua, Sumber asal nilai-nilai yang
menyebabkan timbulnya atau lahirnya aturan hukum (welbron van het
reecht) yaitu sumber hukum yang mengharuskan untuk membahas asal
sumber nilai yang menyebabkan atau menjadi dasar aturan hukum
Badan legislatif mempunyai kewenangan untuk membuat aturan
hukum supaya ditaati oleh masyarakat apa yang dikatakan oleh;
"legislative competence" implies an institution's capacity to make rules that
are binding on its membership, and to change those rules; to promote and monitor the
application of the rules at all levels, including the national level; and to develop and
codify international law on subjects related to its area of activity. Agreement on
granting an international institution a measure of legislative competence usually
becomes feasible when the adverse consequences of unregulated conduct of an
activity within its operational scope. 34
Artinya ;, "kewenangan legislatif" istilah menyiratkan kapasitas
lembaga untuk membuat aturan yang mengikat keanggotaan, dan untuk
33Ibid hal 12.
34 http://unu.edu/unupress/unupbooks/uu15oe/uu15oe07.htm.Legislative Competence
Order Politics and Government of Wales.
mengubah aturan-aturan, untuk mempromosikan dan memantau
penerapan aturan pada semua tingkatan, termasuk tingkat nasional; dan
untuk mengembangkan dan mengkodifikasi hukum internasional tentang
mata pelajaran yang terkait dengan wilayah yang kegiatan. Perjanjian
tentang pemberian lembaga internasional ukuran kewenangan legislatif
biasanya menjadi layak ketika merugikan konsekuensi dari melakukan
yang tidak diatur suatu kegiatan dalam lingkup operasionalnya.
Aturan hukum yang sudah disepakati dan disetujui oleh lembaga
badan legislatif harus terapkan secara murni kepada seluruh warga
masyarakat tanpa kecuali karena kewenangan badan legislatif sangat kuat
dalam sistem pemerintahan Presidensiil yang murni seperti dianut oleh
Negara
Amerika
Serikat hal tersebut merupakan suatu yang wajar.
Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik. dalam
mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah mempunyai
kaidah-kaidah hukum yang jelas dan tidak bertentangan dengan Hukum
Tata Negara. Dengan begitu sumber hukum tata Negara Indonesia pada
dasarnya adalah segala bentuk dan wujud peraturan hukum tentang
ketatanegaraan yang berensensi dan bereksistensi di Indonesia dalam
suatu sistem dan tata urutan yang telah diatur.
1. Sumber Hukum Formil
Sumber Hukum Formil adalah sumber hukum yang dikenal dalam
bentuknya. Karena bentuknya itulah sumber hukum formil diketahui
dan ditaati sehingga hukum berlaku umum. Selama belum mempunyai
bentuk, suatu hukum baru merupakan perasaan hukum dalam
masyarakat atau baru merupakan cita-cita hukum, oleh karenanya
75
belum mempunyai kekuatan mengikat. 35
Sumber-sumber hukum formil meliputi :
1. Undang-undang
2. Kebiasaan (Costum) dan Adat
3. Perjanjian antar Negara (Traktat/Treaty)
4. Keputusan –keputusan Hakim(Jurisprudensi)
5. Pendapat atau pandangan Ahli Hukum (Doktrin)
Undang-Undang mempunyai dua arti yaitu;
a. Undang-Undang dalam arti formil, ialah setiap keputusan
pemerintah
yang
pembuatannya
merupakan
(terjadinya).
undang-undang
Misalnya,
karena
pengertian
cara
undang-
undang, menurut ketentuan UUD 1945 hasil amandemen adalah
bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah bersama-sama
DPR.
b. Undang-Undang dalam arti materiil, ialah setiap keputusan
pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap
rakyat
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap
dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. 36 Apabila
kebiasaan tertentu diterima masyarakat dan kebiasaan itu selalu
35Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,1993, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Sinar Bakti Jakarta hal45 .
36Ibiid Hal. 48
berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan
yang perlawanan dianggap sebagai pelanggaran perasaan
hukum, timbullah suatu kebiasaan hukum, yang selanjutnya
dianggap sebagai hukum.
2. Sumber Hukum Materiil
Sumber Hukum Materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum.
Sumber ini diperlukan ketika akan menyelidiki asal-usul hukum dan menentukan
isi hukum. Misalnya Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang
kemudian menjadi falsafah Negara merupakan sumber hukum dalam arti
materiil yang tidak saja menjiwai bahkan dilaksanakan oleh setiap peraturan
hukum. Karena Pancasila merupakan alat energi untuk setiap peraturan hukum
yang berlaku, apakah ia bertentangan atau tidak dengan Pancasila, sehingga
peraturan hukum yang bertentangan dengan Pancasila tidak boleh berlaku.
3. Sumber Tertib Hukum
Menursut Tap. No. V/MPR/1973 menyatakan bahwa Pancasila adalah
merupakan sumber dari segala sumber hukum Republik Indonesia dan
dinyatakan pula sebagai sumber tertib hukum Republik Indonesia,
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum artinta bahwa
pancasila adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum
serta moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari rakyat
Indonesia. Adapun manifestasi sumber dari segala sumber hukum
(sumber tertib hukum) bagi Republik Indonesia meliputi Proklamasi
77
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UndangUndang Dasar Proklamasi dan Surat Perintah 11 maret 1966
JJH. Bruggink. 37 mengatakan keberlakuan hukumya itu ; In de
rechtstherie wordt de hierboven genoemde driedeling in empirische,
normatieve en evaluatieve gelding vaak gemaaki. Datbetekent echter
nietdat er geen andereindelingen voorkomen Ulrich klug maakteen
uitgebreide indeling in negen geldingsbegrippen. Hij onderscheidt
devolgende soorten gelding ;
1. Juridische gelding. Hieronder verstaat klug ongeveer wat wij
hierboven als de positiviteit van een rechtsnorn hebben aangeduid
2. Ethissche gelding .Hiervan is sprake wanneer een rechtsnornm
een verplichtend karakter heft. Deze gelging zullen wij dadelijk
een vorm van evaluative gelding noemen.
3. Ideale gelding. Een norm heeft deze gelding als hij op hogere
morele normen is gebaseerd.
4. Reele gelding Hiervan is sprake als de normadressaten zich naar
de rechtsnorm gedragen.Wij zullen deze gelding al seen vorm van
empirische gelding typeren.
5. Ontologissche gelding. Een norm mist deze gelding ais zij is
gepositiveerd door ewetgever die zich niet aan de fundamentele
eisen van regelgeving houdt. Van deze gelding is slechts in
bepaalde theorieen sprake.
6. Socio-relatieve gelding Een recht norm die geen juridische,
ethische en reele gelding heft, maar toch iets voor de
normadressaten voorstelt heft volgens klug slechts deze gelding.
7. Decoratieve gelding , Deze gelding bezit een rechtsnorm die
enkel een symboolfunctione heft.
8. Esthetische gelding, Hiervan is sprake al seen rechtsnorm een
zekere elegantie bezit.
9. Logische gelding, Een rechtsnorm die niet inneerlijk tegenstrijdig
is,bezit deze vorm van gelding.
Geldingtheorie atau teori keberlakuan hukum yaitu terdapat
beberapa landasan keberlakuan kaidah hukum untuk menentukan sahnya
suatu kaidah hukum :
1. Keberlakuan hukum secara yuridis artinya
kaidah hukum itu positif berlaku dan
tingkatannya lebih tinggi.
37J J H Bruggink., 1993, Rechtsreflecties Grondbegrippen uit de rechtstheorie,
Kluwer Deventer, Den Haag, Hlm. 102-103.
2) Keberlakuan etis, hal ini akan ada jika kaidah hukum mempunyai
sifat mewajibkan dan mengikat keberlakuan ini disebut
keberlakuan evaluatif. Apabila menunjukkan hubungan keharusan
antara suatu kondisi dan akibatnya.
3) Keberlakuan Ideal suatu kaidah hukum memiliki kaidah moral
yang lebih tinggi.
4) Keberlakuan Riil keberlakuan kaidah hukum secara empiris
didasarkan sistem tertib hukum secara keseluruhan.
5) Keberlakuan Ontologis suatu kaidah hukum akan tidak memiliki
keberlakuan jika dipositifkan oleh pembentuk Undang-Undang
yang tidak berpegangan pada tuntutan-tuntutan fundamaental
dalam pembentukan aturan.
6) Keberlakuan Dekoratif, keberlakuan kaidah hukum hanya
memiliki fungsi lambing.
7) Keberlakuan Estetis keberlakuan kaidah hukum memiliki elegansi
tertentu.
8) Keberlakuan hukum secara sosiologis. Didasarkan pada adanya
pengakuan atau penerimaan oleh masyarakat atau oleh mereka
kepada siapa hukum tadi berlaku (teori pengakuan). Didasarkan
pada paksaan berlakunyan oleh penguasa, terlepas dan masalah
apakah masyarakat menerima atau menolaknya (teori kekuasaan)
9) Keberlakuan hukum secara filosofis hukum itu sesuai dengan citacita hukum (rechtsidee) sebagai nilai yang dianut dalam pergaulan
hidup masyarakat dengan orientasi pada perdamian dan keadilan.
Setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus
memiliki legitimasi yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undangundang. Dengan demikian Wewenang adalah, yakni "Het vermogen tot
het verrichten van bepaalde rechtihandelingen", 38 yaitu kemampuan
untuk
melakukan
tindakan-tindakan
hukum
tertentu.
Mengenai
wewenang ini, H.D. Stout mengatakan bahwa : "Bevoegdheid is een
begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, wat kan warden omschreven
ah het gehed van regeh dot betrekking heeft op de verkrijging en
uitofening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke
38
Ridwan HR., 2002, Hukum Administrasi Negara Penerbit UII Press
Yogyakarta.hal17
79
rechtssubjecten in het bestuursrechtlijke rechtsverkeer" (Wewenang
adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan,
yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan
dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan
oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum publik). 39 Menurut
Mr. Yamin menyatakan : Dasar Negara ialah "bahwa Undang-undanglah
dan bukannya manusia yang harus memerintah. Dasar ini mengandung
arti, bahwa
apabila suatu kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang
pegawai atau jawatan negara mendapat bantahan, maka haruslah
dibuktikan dari Undang-undang manakah kekuasaan itu diambil, dan
tiap-tiap Undang-undang yang berlaku haruslah pula dibuat secara yang
sah. 40
Badan publik baik dalam bentuk negara, pemerintah, institusi,
Departemen untuk dapat menjalankan tugas-tugas memerlukan adanya
kewenangan. Kewenangan negara dapat dilihat pada konstitusi setiap
negara yang memberikan suatu legimitasi kepada aparat pemerintah
untuk dapat melakukan fungsinya. Demikian pula halnya badan-badan
publik lain, kewenangan minimal dapat dijumpai pada produk hukum
yang menjadi dasar pembentukannya. Secara teoritis, pengkajian
terhadap kewenangan badan-badan publik tersebut tidak terlepas dengan
39
Ibid.
40
S. Gautama, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Penerbit Alumni,
Bandung, h.22-23
Hukum Tata Negara.
Melalui Hukum Tata Negara dapat dijumpai susunan negara atau
organ dari negara (stoats, inrichtingrecht, orvanisatiererecht) beserta
kedudukan hukum dari warga negara berkaitan dengan hak-hak dasarnya.
Dalam organ
atau susunan negara diatur
diantaranya mengenai
pembagian kekuasaan dalam negara yang terbagi atas pembagian secara
horizontal dan vertikal. Secara horizontal, kekuasaan negara pada
umumnya dibagi atas kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan yudikatif. Sedangkan secara vertikal, kekuasaan negara dibagi
atas kekuasaan Pemerintah Pusat dan kekuasaan pemerintahan di daerah,
Dalam
beberapa
sumber
menerangkan,
istilah
kewenangan
(wewenang) disejajarkan dengan bevoegdheid dalam istilah hukum
Belanda,
bahwa
:"wewenang
terdiri
atas
sekurang-sekurangnya
mempunyai 3 komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum dan komformitas
hukum. 41
Komponen
pengaruh,
bahwa
penggunaan
wewenang
dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum; dasar hukum
dimaksudkan, bahwa wewenang haruslah mempunyai dasar hukum,
sedangkan komponen konformitas hukum dimaksud, bahwa wewenang
ini haruslah mempunyai standar.
Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi,
delegasi dan mandat. Indroharto mengatakan bahwa pada atribusi terjadi
41
Soerjono Soekanto,1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali
Pres, Jakarta Hal 145.
81
pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan
suatu wewenang baru. Lebih lanjut disebutkan bahwa legislator yang
kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu
dibedakan antara: 42
a. Yang berkedudukan sebagai original legislator, di negara
kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk
konstitusi dan DPK bersama-sama pemerintah sebagai yang
melahirkan suatu undang-undang.
b. Yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti
Presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undangundang mengeluarkan Peraturan Pemerintah.
Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini van Wijk/Willem
Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut: 43
a. Atribusi : toekenning van een bestuursbevoegheid door en
wetgever aan een berstuursorgaan, (atribusi adalah pemberian
wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada
organ pemerintah).
b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene
berstuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada
organ pemerintahan lainnya).
c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem
uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ
pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh
orang lain atas namanya).
Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar
ketentuan Hukum Tata Negara. Hamid S. Attamimi dengan mengacu
42
Ridwan HR ,op ci thal 7I.
43
Ibid , hal. 74
kepustakaan Belanda mengemukakan atribusi ini sebagai penciptaan
kewenangan (baru) oleh konstitusi atau pembentuk wet (wetgever) yang
diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang
dibentuk baru untuk itu". 44
Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah kewenangan
dan wewenang. Indroharto berpendapat pengertian wewenang dalam
artian yuridis sebagai suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat
hukum. 45 Wewenang ini sangatlah diperlukan pemerintah,
mengingat
pemerintah adalah pemegang kekuasaan dalam organisasi negara.
Pemerintah untuk dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan
lancar perlu disertakan wewenang.
Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dari
undang-undang yang berlaku. Dengan kata lain, organ pemerintahan
tidak dapat menganggap, bahwa ia memiliki sendiri wewenang
pemerintahan. Sebenarnya kewenangan hanya diberikan oleh Undangundang;
pembuat
Undang-undang
dapat
memberi
wewenang
pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi dapat juga
kepada pegawai tertentu atau kepada badan khusus tertentu.
Dalam konstitusi Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 (setelah
amandemen yang keempat kalinya), ditemukan beberapa pasal yang
melahirkan kewenangan, baik diberikan kepada eksekutif, yudikatif
44
A. Hamid S. Attamimi,Op cit hl 34..
45
Indroharto, op.cit hal 67
83
maupun legislatif dalam pasal-pasal tersebut. Kewenangan ditafsirkan
dengan memegang kekuasaan, berhak, dapat tidak dapat, menyatakan,
mengangkat, memberi, mengatur, menyatakan, menetapkan, fungsi, dapat
melakukan, kekuasaan, berwenang dan lain-lain dengan berbagai istilah,
akan tetapi substansi dan maksudnya sama, yaitu kewenangan atau
mempunyai otoritas. Dinyatakan, bahwa wewenang bukan hanya power
belaka
tetapi
otoritas
mencakup
hak
dan
kekuasaan
sekaligus.
Wewenang kekuasaan negara selain dalam pembukaan UUD 1945, juga
ditemukan pada pasal-pasal UUD 1945 yang berkaitan dengan keuangan
negara.
Meskipun UUD 1945 telah diamandemen, ternyata Pembukaan
UUD 1945 tetap dipertahankan karena memuat ketentuan yang bersifat
aturan dasar sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Dalam arti
pandangan hidup tersebut berimplikasi pada keuangan negara dalam
rangka pencapaian tujuan negara. Adapun tujuan negara adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Pencapaian tujuan negara selalu terkait dengan keuangan negara
sebagai bentuk pembiayaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan
negara yang dilaksanakan oleh penyelenggara negara. Tanpa keuangan
negara, tujuan negara tidak dapat terselenggara sehingga hanya berupa
cita-cita hukum belaka. Untuk mendapatkan keuangan negara sebagai
bentuk pembiayaan tujuan negara, harus tetap berada dalam bingkai
hukum yang diperkenankan oleh UUD 1945.
Selain dalam Pembukaan UUD 1945, juga ditemukan pada pasalpasal UUD 1945 yang berkaitan dengan keuangan negara. Ketentuanketentuan dalam UUD 1945 yang terkait dengan keuangan negara
merupakan sumber hukum konstitusional keuangan Negara.
Ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 tersebut yang merupakan
sumber hukum keuangan negara memerlukan penjabaran lebih lanjut
dalam bentuk undang-undang. Berarti, perumus UUD 1945 memberikan
atribusi kepada pembuat undang-undang.
Undang-undang di atas merupakan dasar hukum operasional keuangan
negara yang diperuntukkan untuk mengelola keuangan negara agar tujuan negara
dapat tercapai. Sekalipun demikian, untuk tidak membuat kebijakan yang dapat
menyimpang dari undang-undang yang terkait dengan keuangan negara, hal tersebut
bergantung pada pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian
hukum terhadap pengelolaan keuangan negara yang berakhir pada pemeriksaan yang
dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
Mengenai hukum keuangan negara, berarti membicarakan ruang
lingkup keuangan negara dari aspek yuridis. Ruang lingkup keuangan
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No 17 Th 2003 Tentang
85
Keuangan Negara yaitu
1. Hak
negara
untuk
memungut
pajak,
mengeluarkan
dan
mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
3. Penerimaan negara;
4. Pengeluaran negara;
5. Penerimaan daerah;
6. Pengeluaran daerah;
7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau
oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang,
serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan
daerah;
8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam
rangka
penyelenggaraan
tugas
pemerincahan
dan/atau
kepentingan umum;
9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan
fasilitas yang diberikan pemerintah.
Ruang lingkup keuangan negara tersebut di atas dikelompokkan ke
dalam
tiga
bidang
pengelolaan
yang
bertujuan
untuk
memberi
pengklasifikasian terhadap pengelolaan keuangan negara. Adapun
pengelompokan pengelolaan keuangan negara adalah:
1. Bidang pengelolaan pajak;
2. Bidang pengelolaan moneter;
3. Bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Selain itu, ruang lingkup keuangan negara berdasarkan Pasal 2
huruf g UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara menimbulkan
kerancuan dari aspek yuridis. Kerancuan itu dapat dikategorikan sebagai
suatu
hal
yang
menyimpang
apabila
dilakukan
pengkajian
dan
penelusuran peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Pasal 2 huruf
g UUKN yang menegaskan kekayaan negara/kekayaan daerah yang
dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang
barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.
Ketentuan ini tidak mengikat secara yuridis tatkala dikaitkan
dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara (UUBUMN) bahwa perusahaan persero, yang
selanjutnya disebut persero adalah badan usaha milik negara yang
berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang
seluruh atau paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki oleh Negara
Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Kemudian, Pasal 4 ayat (1) UU BUMN yang menegaskan modal badan
usaha milik negara merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang
87
dipisahkan. Sementara itu, penjelasannya menentukan bahwa yang
dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari
anggaran pendapatan dan belanja negara untuk dijadikan penyertaan
modal negara pada badan usaha milik negara untuk selanjutnya
pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem
anggaran pendapatan dan belanja negara, namun pembinaan dan
pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.
Di lain pihak, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2008 ten tang Perseroan Terbatas (UUPT), menegaskan bahwa perseroan
terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang
merupakan persekutuan modal, yang didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undangundang ini serta peraturan pelaksanaannya. Kemudian, Pasal 7 ayat (4)
UUPT yang menegaskan perseroan memperoleh status badan hukum
pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan
badan hukum perseroan.
Berdasarkan ketentuan, baik dalam UUBUMN maupun UUPT,
badan usaha milik negara merupakan badan hukum perseroan yang
pengesahannya dilakukan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia serta tunduk pada hukum privat. Di samping itu, badan
usaha milik negara memiliki kekayaan terpisah dengan kekayaan negara
maupun pemegang saham (pemilik), direksi (pengurus), dan komisaris
(pengawas). Meskipun negara memiliki saham paling sedikit 51% ketika
terdapat piutang pada badan usaha milik negara karena akibat dari
perjanjian yang dilakukan selaku entitas perusahaan, hak tersebut tidak
boleh dikelompokkan sebagai piutang negara sebagai konsekuensi
pemisahan kekayaan negara mengingat badan usaha milik negara tersebut
telah memiliki kekayaan tersendin bukan merupakan kekayaan negara
dalam kategori sebagai keuangan negara. Hal ini dimaksudkan agar
mekanisme pengelolaan, termasuk pengurusan piutang badan usaha milik
negara, dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat dan
tidak boleh mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Badan hukum publik dan privat memiliki perbedaan secara
prinsipil dalam pengelolaan keuangannya. Badan hukum publik dalam
mengelola keuangannya tunduk pada hukum publik, sedangkan badan
hukum privat dalam mengelola keuangannya tunduk pada hukum privat. 46
Sebagai contoh, negara sebagai badan hukum publik dalam mengelola
keuangannya tunduk pada peraturan yang terkait dengan keuangan
negara. Sementara itu, badan usaha milik negara sebagai persero dalam
mengelola keuangannya tunduk pada hukum perdata yang terkait dengan
harta kekayaan yang dimilikinya.
46
Soeria Arifin Atmaja , 2009, Keuangan publik dalam Perspektif Hukum Teori,
Kritik, dan Praktek, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 125
89
Demikian pula pada Pasai 2 huruf i UUKN ditegaskan bahwa kekayaan
pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh
negara. Ketentuan ini mengandung makna bahwa kekayaan pihak swasta,
tatkala memperoleh fasilitas dari negara, merupakan pula keuangan negara.
Ketika pihak swasta yang memperoleh fasilitas dari negara dalam pergaulan
hukum menimbulkan kerugian dan bahkan dinyatakan pailit, berarti negara
wajib bertanggang jawab atas beban.
Tatkala substansi UUD 1945 hasil amandemen yang terkait
dengan "hal keuangan" ditelusuri, terlihat bahwa hukum keuangan negara
memiliki kaidah hukum yang tertulis, yang berarti tidak mengenal
keberadaan kaidah hukum tidak tertulis. Bila demikian halnya, kaidah
hukum tertulis seyogianya dimunculkan dalam suatu rumusan atau
pengertian terhadap hukum keuangan negara. Hukum keuangan negara
adalah sekumpulan kaidah hukum tertulis yang mengatur hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk uang dan
barang milik negara terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut.
Rumusan hukum keuangan negara tersebut sangat terkait dengan
pengertian keuangan negara yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UUKN). Adapun pengertian
keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara yang berkaitan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pengertian keuangan negara
memiliki substansi yang dapat ditinjau dalam arti luas maupun dalam arti
sempit. Keuangan negara dalam arti luas mencakup: a) anggaran
pendapatan dan belanja negara; b) anggaran pendapatan dan belanja
daerah; dan c) keuangan negara pada badan usaha milik negara/badan
usaha milik daerah. Sementara itu, keuangan negara dalam arti sempit
hanya mencakup keuangan negara yang dikelola oleh tiap-tiap badan
hukum dan dipertanggungjawabkan masing-masing.
Berdasarkan konsep tersebut, pertanggungjawaban
negara
merupakan
konsekuensi
logis
dari
kesediaan
keuangan
pemerintah
melaksanakan APBN yang telah disetujui oleh DPR. Dalam hal
pengelolaan keuangan negara atau APBN, pertanggungjawaban keuangan
negara dituangkan ke dalam Perhitungan Anggaran Negara sebagai kuasa
dari DPR kepada pemerintah memberikan dasar yang kuat yang berhak
menerima pertanggungjawaban keuangan negara adalah DPR. Secara
teoritis, hal ini tidak bertentangan dengan sistem Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945 dimana kedaulatan sepenuhnya terletak pada
MPR.
Sementara itu pengaturan keuangan negara yang singkat dalam
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 mengandung muatan
masalah yuridis terhadap definisi keuangan negara, sehingga membuat
91
penafsiran yang berbeda-beda terhadap definisi tersebut. Namun dalam
kerangka teoritis hukum keuangan negara, berdasarkan Pasal 23 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 jo. Pasal 23 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang dimaksud sebagai
keuangan negara adalah yang ditetapkan dalam Undang-Undang APBN.
Dengan dasar pemikiran tersebut, dapat dikatakan bahwa keuangan
negara adalah APBN.
Secara konsepsional, sebenarnya definisi keuangan negara bersifat
platis dan tergantung pada sudut pandang. Sehingga apabila berbicara
keuangan negara dan sudut pemerintah, yang dimaksud keuangan negara
adalah APBN. Sementara maksud keuangan dalam pemerintah daerah
yang dimaksud dengan keuangan merupakan APBD, demikian juga
dengan badan usaha milik negara dalam perusahaan jawatan, perusahaan
umum, dan perseroan terbatas. Dengan demikian, berdasarkan konsep
hukum keuangan negara tersebut, definisi keuangan negara dalam arti
luas meliputi APBN, APBD, keuangan negara pada semua badan usaha
milik negara. Akan tetapi definisi keuangan negara dalam arti sempit,
hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan
mempertanggung jawabkan. Perubahan materi muatan Pasal 23 UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang ditetapkan oleh MPR dalam
perubahan ke 3 Undang-Undang Dasar Negara Rl Tahun 1945 menjadi
pembukuan kerumitan dalam pengaturan keuangan negara apabila
mendasarkan pada kerangka konsepsi hukum keuangan negara. Materi
muatan dalam perubahan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara RI
Tahun
1945
sangat
tidak
sesuai
substantifnya
serta
cenderung
mengabaikan segi filosofis, yuridis dan sosiologis materi muatan suatu
Undang-Undang dasar. Ketidaksempurnaan hukum keuangan negara
telah mengesampingkan esensi dari kemandirian badan hukum otonomi
daerah. Hal ini disebabkan semua keuangan dalam APBD dan BUMN
serta BUMD disebut sebagai keuangan Negara. Padahal sangat jelas
dinyatakan bahwa ketentuan Perundang-undangan, pengelolaan dan
pertanggung jawaban keuangan tersebut berbeda dengan APBN sebagai
keuangan Negara.
Perubahan materi muatan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara
RI Tahun 1945 yang ditetapkan oleh MPR dalam Perubahan Ketiga
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menjadi pembuka
kerumitan dalam pengaturan keuangan negara apabila mendasarkan pada
kerangka konsepsi hukum keuangan negara. Materi muatan dalam
Perubahan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 sangat
tidak memenuhi kadar ilmiah dari segi substansinya dan cenderung
mengabaikan segi filosofis, yuridis, dan sosiologis materi muatan suatau
undang-undang dasar, serta tidak memahami nilai historis yang
terkandung di dalamuya. Sebagai suatu contoh Pasal 23 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan "APBN sebagai
93
perwujudan dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan tiap-tiap
tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan
bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" hanya
merupakan kalimat retorik yang tidak memenuhi segi filosofi anggaran.
Hal ini
disebabkan APBN bukan sekedar perwujudan pengelolaan
keuangan negara, tetapi merupakan wujud kedaulatan rakyat yang
tercermin pada hak budget DPR.
Imperfektivitas atau ketidaksempurnaan hukum keuangan negara
Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 telah
mengesampingkan esensi kemandirian badan hukum dan otonomi daerah.
Hal ini disebabkan semua keuangan dalam APBD dan BUMN serta
BUMD disebut sebagai keuangan Negara. Padahal sangat jelas dan nyata
dari sudut sistern maupun ketentuan peraturan perundang-undangan,
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan tersebut berbeda dengan
APBN sebagai keuangan negara.
Dengan demikian, secara tegas dari segi yuridis, dari kedudukan dan
fungsinya sangat berbeda antara keuangan negara, keuangan daerah maupun
keuangan BUMN dan BUMD. Pembedaan ini pun mempunyai implikasi
konsekuensi yuridis terhadap ruang lingkup dan kewenangan lembaga dan badan
yang melakukan manajemen pengawasan dan pemeriksaan keuangan terhadapnya.
Tentu tidak semua lembaga pemeriksa atau pengawas dalam lingkungan pemerintah
pusat atau pemerintah daerah maupun yang berada di luar pemerintah, mempunyai
kewenangan untuk melakukan pemeriksaan maupun pengawasan terhadap masingmasing keuangan badan hukum tersebut. Demikian pula antara status badan hukum
publik dan badan hukum privat yang berbeda pengelola sebagai badan hukum privat,
berbeda dengan keuangan pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagai badan
hukum publik.
2.2.
Dasar Wewenang DPR Dalam Penetapan APBN
Teori Trias Politika ini menghendaki pembagian kekuasaan dalam
tiga bidang pokok yang berdiri sendiri, lepas dari kekuasaan lainnya, dan
mempunyai satu fungsi saja yaitu :
a. Kekuasaan legislatif : membentuk Undang-Undang
b. Kekuasaan
Eksekutif
:
menjalankan
Undang-Undang
atau
pemerintahan
c. Kekuasaan yudikatif : berfungsi peradilan
Pada prinsipnya tujuan teori trias politika adalah upaya membatasi kekuasaan
penguasa sehingga menjamin kemerdekaan dan menghindari rakyat dari keserakahan
penguasa. Menurut Montesqueu setiap penggabungan kekuasaan pada satu tangan
akan melahirkan kesewenang-wenangan oleh karena itu harus dipecah-pecahkan dan
dibagi-bagikan dalam beberapa tangan. Hal ini ditandaskan oleh K.C. Wheare47
bahwa :
47K.C. Wheare, 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, New York
Toronto.hal 3
95
This while a Constitution may establish the principal institution of
government such as the houses of the legislature, an executive council and a supreme
court,it is often leftto the ordinary law to prescribe the composition and mode of
appointment of these bodies.
Menurut Adam Smith sebagaimana dikutip A. Sonny Keraf,
48
pemisahan dan kemerdekaan itu perlu karena :
a. Kekuasaan Eksekutif cenderung korup atau tidak adil. Sejauh kekuasaan
pemerintah berada ditangan satu orang atau satu lembaga saja, ada
kemungkinan sangat besar bahwa ia akan menyalah gunakannya, karena
tidak ada kekuasaan lain yang cukup untuk mengontrolnya.
b. Jika tidak ada pemisahan kekuasaan, kekuasaan eksekutif cenderung menjadi
sangat kuat dan karena sulit sekali untuk menjamin adanya kebebasan bagi
warga negaranya. Betapapun baiknya oknum pemerintahan, tidak punya
kepentingan pribadi. Karena itu sangat mungkin mereka tidak melakukan
ketidakadilan, bahkan tanpa disadarinya.
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menganut juga teori
trias politika dalam arti pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan
dalam arti materiil, sehingga adanya pembagian kekuasaan diharapkan
pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance) dapat terwujud.
Dengan perubahan UUD 1945 mempertegas konsep Negara hukum dan
mencantumkannya dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD Negara RI 1945 ; Negara
Indonesia adalah Negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah
Negara yang menempatkan hukum sebagai panglima didalam mengatur
kehidupan masyarakat Indonesia.
48A. Sonny Keraf, 1996, Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah,
Kanisius, Yogyakarta, Hal 189-190.
Mengacu pada konsep Negara hukum yang dikemukakan oleh
M.C. Burkens, ada empat unsur Negara hukum (rechsstaat), 49 yaitu :
1. Asas legalitas. Setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas
peraturan perundang-undangan (wettelijke gronslag). Dengan
landasan ini, undang-undang dalam arti formil dan UUD sendiri
merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan
ini, pembentukan undang-undang merupakan bagian penting
Negara hukum.
2. Pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makna bahwa
kekuasaan Negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
3. Hak-hak dasar (Grondrechten) merupakan sasaran perlindungan
dari pemerintah terhadap rakyat dan sekaligus membatasi
kekuasaan pembentukan undang-undang.
4. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia saluran melalui
pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindak
pemerintahan “rechtmatigeheidsoetsing”.
Sejalan dengan
itu, A.V. Dicey mengemukakan prinsip-prinsip
Negara hukum (rule of law) yang lahir dalam naungan system hukum
Anglo Saxon :
1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu
tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absente of arbitrary
power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau
melanggar hukum.
2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equity before
the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk
pejabat.
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan
pengadilan. 50
49 Yohanes Usfunan, 1998, Kebebasan Berpendapat di Indonesia (Disertasi) Dalam
Meraihgelar Doktor pada Program Pascasarjana UNAIR, Surabaya.
50 Ibid, hal 20
97
Pada prinsipnya pendapat diatas adalah sama, setiap tindak
pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan
(Wettelijke gronslag). Dengan landasan ini, undang-undang dalam arti
formil dan Undang–Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar
tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini, pembentukan undang-undang
merupakan bagian penting Negara hukum. Setiap kebijakan Negara dan
pemerintah dapat digugat oleh setiap orang atau warga Negara manakala
terjadi penyimpangan atau pelanggaran hukum terhadap hak-hak warga
Negara yang dijamin konstitusi.
Dalam sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia, pernah
dikeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk
Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang tidak sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945.
Salah satu tujuan dikeluarkannya ketetapan tersebut, terjadi
kesemrawutan
dalam
penggunaan
peraturan
nerundang-undangan.
Misalnya saja keberadaan Penetapan Presiden dan peraturan Presiden.
Kedua peraturan perundangan tersebut mengatur materi yang sama
dengan materi undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Demikian juga
Peraturan-Peraturan Pemerintah, yang seharusnya sebagai peraturan
pelaksana dari Undang-Undang kenyataannya merupakan peraturan
pelaksana dari Peraturan Presiden.
Tumpang
tindih
peraturan
perundang-undangan
demikian
menimbulkan berbagai kerancuan terhadap materi muatan, tata urutan,
sumber hukum serta fungsi peraturan perundang-undangan.
Penertiban terhadap kerancuan peraturan perundang-undangan
hukum itulah yang menjadi agenda utama dikeluarkannya Ketetapan
MPRS No. XIX/MPRS/1966. Bentuk peraturan perundang-undangan
yang akan ditinjau kembali adalah Penetapan Presiden, Peraturan
presiden, Undang-Undang, dan Peraturan pemerintah Pengganti UndangUndang. Peninjauan ini didasarkan atas alasan, bahwa adanya peraturan
perundang-undangan yang tidak mempunyai dasar hukum daiam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun isinya
tidak sesuai dengan atau bertentangan dengan isi Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menindaklanjuti hal ini maka
Presiden dilarang untuk mengeluarkan Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden. Penetapan Presiden yang sudah terlanjur dikeluarkan, yang
materinya sudah tidak sesuai dengan keadaan, dinyatakan tidak berlaku
atau dicabut dan yang materinya masih relevan, diubah dan diganti
dengan Undang-Undang.
Peraturan Presiden juga mengalami hal yang sama, bedanya hanya
pada prosedur penggantian atau pencabutannya yaitu dicabut dan diganti
dengan peraturan pemerintah.
Bersamaan dengan Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966,
99
dikeluarkan pula Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tata tertib Hukum Republik
Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.
Ketetapan MPRS ini dinyatakan masih berlaku oleh Ketetapan Nomor
V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-Produk yang Berupa KetetapanKetetapan MPRS Republik Indonesia jo. Ketetapan MPR Nomor
IX/MPR/1978 tentang perlunya penyempurnaan yang termaktub dalam
Pasal 3 Ketatapan MPR Nomor V/MPR/1973.
Pada Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/I966 dapat dilihat
bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan antara lain:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Pelaksana Lainnya seperti:
a. Peraturan Menteri;
b. Instruksi Menteri;
c. Dan lain-Iain.
Dengan keluarnya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tantang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan, Ketetapan MPRS
Nomor XX/MPRS/1966 tersebut dinyatakan tidak berlaku. Dari materi
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tersebut, ditemukan beberapa
bentuk peraturan perundang-undangan yang urutannya sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan MPR RI;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
5. Peraturan pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.
Bentuk dan hirarkhi Peraturan Perundang-undangan tersebut di
atas tentu saja juga menjadi sumber hukum tata negara. Berdasarkan
hirarkhi di atas, dalam pasal 4 ayat (2) TAP MPR No.III/MPR/2000 itu
menentukan: "Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung, Menteri,
Bank Indonesia, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang
dibentuk oleh pemerintah, tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
yang termuat dalam tata urut peraturan perundang-undangan ini. Apabila
rumusan pasal 4 ayat (2)TAP MPR NO III/MPR/2000; ini dibaca secara
harfiah, maka di dalamnya dapat dikatakan mengandung dua norma
sekaligus, yaitu: pertama, segala peraturan yang ditetapkan oleh
Mahkamah Agung, Menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga atau komisi
yang setingkat yang dibentuk oleh pemerintah, tidak boleh bertentangan
101
dengan ketentuan yang termuat dalam tata urut peraturan perundangundangan tersebut. Kedua, segala keputusan yang dibuat oleh badanbadan atau lembaga tersebut tidak boleh bertentangan dalam ketentuan
yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut.51
Ketetapan MPR tersebut di atas sepertinya menyamakan saja
antara pengertian 'ketetapan' dan 'keputusan' sehingga menimbulkan
kerancuan. Apabila kita memahami arti peraturan (regels) dan keputusan
(beschiking), maka ketentuan pasal 4 ayat (2) tersebut tidaklah bersifat
paralel, dan karena itu tidak dapat pula ditafsirkan mengandung kedua
norma itu secara paralel pula. Jika kedua norma tersebut dipahami
bersifat paralel, tentu dapat menimbulkan masalah, misalnya, dikatakan
bahwa, "Keputusan Mahkamah Agung tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah ataupun dengan Keputusan Presiden. Padahal
istilah keputusan Mahkamah Agung itu selama ini mempunyai pengertian
yang terkait dengan putusan atau vonis kasasi Mahkamah Agung. Adalah
malapateka yang luar biasa jika ketentuan pasal 4 ayat (2) TAP MPR
tersebut di atas diartikan demikian.
Penggunaan istilah hukum atau nomenklatur hukum ini harus
ditertibkan terlebih dahulu untuk mengatasi kekisruhan dan kemungkinan
salah pengertian di masa depan. Untuk produk yang bersifat mengatur
51
Morissan, 2006,Hukum Tata Negara RI
Prakasa Jakarta hal 33 .
Era Reformasi Penerbit Ramadina
(regeling) yang berisi aturan hukum (regels) sebaiknya digunakan
nomenklatur atau istilah peraturan yang berasal dari kata “atur”,
“mengatur”, “aturan”, dan “peraturan”. Sedangkan penetapan-penetapan
yang bersifat administratif dapat disebut dengan kata “keputusan” yang
bersifat administratif atau dalam bahasa Belanda disebut dengan
Beschiking.
Pembedaan antara keputusan (administratif) dan peraturan ini
harus terus dilakukan secara konsisten, mulai dari tingkatan yang
tertinggi hingga yang terendah. Peraturan yang tertinggi adalah Undangundang Dasar, di bawahnya adalah Undang-undang dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang. Pada level presiden terdapat dua
bentuk peraturan yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden
yang sebaiknya dibedakan dengan Keputusan Presiden, Demikian pula di
tingkat provinsi, harus dibedakan antara Peraturan Daerah. Peraturan
Gubernur, dan Keputusan Gubernur, serta Peraturan Daerah dan
Peraturan Bupati/Walikota dan Keputusan Bupati/Walikota.
Dari uraian tersebut di atas maka tata urutan peraturan perundangundangan (yang juga menjadi sumber hukum tata negara) harus
dibedakan antara peraturan yang bersifat umum dan peraturan yang
bersifat khusus:
1. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat umum:
a) Undang-undang Dasar dan Perubahan Undang-undang
Dasar
103
b) Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perppu) serta peraturan lain yang
setingkat
dengan
undang-undang.
yaitu
ketetapan-
ketetapan MPR/MPRS yang bersifat mengatur (regels).
c) Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden
d) Peraturan Menteri atau pejabat setingkat menteri.
e) Peraturan Daerah Provinsi
f) Peraturan Gubernur
g) Peraturan Daerah Kabupaten/kota
h) Peraturan Bupati/Walikota
2. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat khusus
a) Peraturan
lembaga
negara
(lembaga
tinggi
negara)
setingkat presiden:
i.Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat
ii.Peraturan Dewan Perwakilan Daerah
iii.Peraturan Mahkamah Agung
iv.Peraturan Mahkamah Konstitusi
v.Peraturan Komisi Yudisial vi. Peraturan Badan
Pemeriksa Keuangan
b) Peraturan lembaga pemerintah yang bersifat khusus
(inpenden)
i.Peraturan Bank Indonesia
ii.Peraturan Kejaksaan Agung
iii.Peraturan Tentara Nasional Indonesia.
iv.Peraturan Kepolisian Republik Indonesia,
c) Peraturan
lembaga-lembaga
khusus
yang
bersifat
independen
i.Peraturan Komisi Pemilihan Umum
ii.Peraturan Pemberantasan Korupsi
iii.Peraturan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia
iv.Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia
v.Peraturan
Pusat
Pelaporan
dan
Analisa
Trankasi Keuangan
vi.Peraturan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
vii.Dan sebagainya.
Perbedaan yang tegas antara peraturan dan keputusan atau antara
peraturan perundang-undangan dan keputusan administratif adalah sangat
penting.
Peraturan
perundang-undangan
berisi
norma-norma
yang
bersifat abstrak dan umum serta dapat menjadi obyek 'judicial review',
sedangkan keputusan berisi norma yang bersifat konkrit dan individual
dan hanya dapat dijadikan obyek peradilan tata usaha negara. Disamping
itu, pembedaan antara peraturan umum dan peraturan khusus juga
penting karena peraturan umum tidak boleh melanggar prinsip hirarkhi
norma sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan yang
105
ditentukan; sedangan peraturan khusus tunduk pada prinsip lex spesialis
derogate lex generails, yaitu norma hukum yang bersifat khusus yang
dapat mengabaikan norma hukum yang bersifat umum.
Dalam hubungan dengan pengertian undang-undang dalam arti
material dan undang-undang dalam arti formal, perlu dipahami
perbedaannya dengan undang-undang material dan undang-undang
formal. Oleh karena dari sudut tata hukum dikenal adanya undangundang formal tidak material, undang-undang formal yang material,
undang-undang tidak formal tetapi material, dan undang-undang tidak
formal dan juga tidak material.
Adapun yang dimaksud dengan undang-undang formal tidak material
adalah peraturan yang terbentuknya dengan persetujuan DPR dan pengesahan
pemerintah (presiden), tetapi isinya tidak langsung mengikat penghidupan
rakyat. Misalnya adalah undang-undang tentang APBN dan undang-undang
tentang ratifikasi perjanjian dengan negara lain.
Undang-undang tidak formal tetapi material adalah peraturan yang
terbentuk tidak dengan persetujuan DPR dan pengesahan pemerintah,
misalnya yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah, akan tetapi isinya
langsung mengikat penghidupan rakyat. Ini termasuk dalam pengertian
peraturan perundang-undangan.
Undang-undang formal yang material adalah undang-undang yang
dibentuk atas persetujuan DPR dan disahkan oleh Presiden, yang isinya
mengikat rakyat. Sedangkan undang-undang yang tidak formal dan tidak
material ialah yang isinya sama sekali tidak langsung mengikat
penghidupan rakyat.
Seperti
halnya
batasan
tentang
hukum,
batasan
mengenai
peraturan perundang-undangan pun ada berbagai pendapat. Bagir manan
dan Kuntara Magnan 52 memberikan pengertian peraturan perundangundangan ialah setiap putusan tertulis yang dibuat, diterapkan dan
dikeluarkan oieh lembaga dan atau pejabat negara yang mempunyai
(menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku.
Sigler.A.Jay 53 menyatakan bahwa ; Departemental and Agency
Initiatives. Departments and agencies are the most important sources of
policy development in many fields Their legal authority to establish
policy is twofold. The departments and agencies shape much of the
important legislation proposed in congress. Executive officials often
write the legislation. Agencies and departments moreover, make rules
and regulations with the force of law and adjudicate cases which arise
from their own rules and regulations. Executive agencies and regulatory
boardr thus combine characteristies of legislative bodies, courts and
even of interest group.(Departemen dan Instansi merupakan sumber
yang paling penting dalam menetapkan kebijakan pada banyak bidang
pembangunan Kewenangan hukum dalam menetapkan kebijakan ada
dua. Departemen dan Instansi lembaga banyak membentuk Undangundang yang penting diajukan dalam Kongres.Pejabat Eksekutif menulis
Undang-Undang. Lembaga dan departemen selain itu dapat membuat
aturan dan peraturan dengan kekuatan hukum dan mengadili kasus yang
timbul dari aturan dan peraturannya.Lembaga Eksekutif dan Dewan
pengatur peraturan undang-undang).
Rasanya agak sulit untuk menetapkan batasan mana yang paling
baik, yang jelas bahwa dari batasan dan pengertian peraturan perundang52
Bagir manan dan Kuntara Magnar, 1987, Peranan Peraturan PerundangUndangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Armico, Bandung, hal. 13.
53Jay ASigler., 1977, The Legal Sources of Public Policy, Lexington Books D.C
Heath and Company Lexington, Massaehusetts Toronto, Hlm.15.
107
undangan sebagaimana dirumuskan di atas, dapat diidentifikasikan sifatsifat atau ciri-ciri dari suatu peraturan perundang-undangan, yaitu:
1. Peraturan perundang-undangan berupa keputusan tertulis. Jadi
mempunyai bentuk atau format tertentu,
2. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang, baik di tingkat pusat maupun daerah. Yang
dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah pejabat yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku, baik
berdasarkan atribusi dan delegasi;
3. Peraturan perundang-undangan tersebut berisi aturan pola
tingkah laku. Jadi, peraturan perundang-undangan bersifat
mengatur (regulerend), tidak bersifat sekali jalan (enmahlig);
4. Peraturan perundang-undangan mengikat secara umum (karena
ditujukan kepada umum), artinya tidak ditujukan kepada
seseorang atau individu tertentu (tidak bersifat individual) 54
Kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif merupakan rekan
kerja bagi DPR, yang artinya presiden bekerja sama dengan DPR dalam
tugas legilstif, yaitu:
a. Membuat undang-undang, sebagaimana ketentuan Amandemen
UUD 1945 pasal 5 ayat 1: "Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat."
Dan pasal 20 ayat 2: "Setiap rancangan undang-undang dibahas
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.
b. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pasal 23 ayat 2 menyatakan: "Rancangan undang-undang APBN
diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama dengan Dewan
54
Jimlly Asshiddiqqie2002 Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan
Keempat FH UI Jakarta hal 41
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan
Daerah."
Dalam
hal
ini
apabila
DPR
tidak
menyetujui rancangan APBN yang disulkan presiden maka
pemerintah menjalankan APBN tahun lalu.
Pasal 5 dan Pasal 23 tersebut memberikan pengertian bahwa
Amandemen UUD 1945 memberikan kekuasaan membuat APBN kepada
presiden untuk mendapat persetujuan bersama dengan DPR, dengan
demikian RUU APBN akan selalu datang dari presiden. Sedangkan
kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan DPR untuk
mendapat persetujuan bersama dengan pemerintah, dengan demikian
inisiatif dan materi RUU akan datang pertama kali dari DPR.
Dalam ketentuan UUD 1945 sebelum amandemen hak yang
dimiliki DPR dibandingkan dengan kewenangan utama membentuk
undang-undang yang dimiliki oleh presiden, memang dapat dikatakan
tidak seimbang. Hal ini terlihat jelas dalam hal pembentukan Peraturan
Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang (Perpu). Pada ketentuan
lama, presiden diberi hak dan wewenang oleh UUD untuk menetapan
Perpu dan memberlakukannya selama satu tahun tanpa memerlukan
persetujuan DPR. Sedangkan dalam hal RUU yang diprakarsai oleh DPR
dan telah disahkan oleh DPR dapat ditolak presiden apabila presiden
tidak menyetujui RUU tersebut.
Bahkan lebih jauh lagi, dalam pembentukan peraturan perundangundangan sebelum Amandemen UUD 1945, ada yang disebut sebagai
109
policy rules (beleidregels) yang dianggap dengan sendirinya berada di
tangan presiden yang dalam praktek tercerminkan dalam kewenangannya
untuk mengeluarkan Keputusan Presiden yang bersifat mandiri dalam arti
tidak dalam rangka melaksanakan perintah undang-undang. Dalam
praktek selama pemerintahan Orde Baru, justru jenis-jenis Keputusan
Presiden seperti ini banyak sekali jumlahnya, termasuk sebagian besar di
antaranya sesungguhnya memuat materi yang seharusnya dituangkan
dalam bentuk Undang-undang.
Jimly Asshiddiqie 55 menilai gejala ini
biasa disebut sebagai gejala Government by Keppres. Oleh karena itu
dapat dimengeri mengapa ketentuan pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1)
UUD 1945 perlu diubah menjadi rumusan sebagaimana perubahan
pertama UUD 1945. Perubahan ini menggambarkan telah terjadinya
pergeseran dalam penyelenggaraan kekuasaan legislatif dari presiden ke
lembaga DPR.
Namun demikian, untuk menyerahkan tugas legislasi sepenuhnya
kepada DPR adalah tidak realistis, karena legislasi itu sebagian terbesar
lebih bersifat teknis yang membutuhkan peran pemerintah. Bahkan
dewasa ini, makin disadari bahwa kekuasaan untuk membuat undangundang cenderung terus berkembang semakin teknis sifatnya, sedangkan
fungsi pengawasan dan pengendalian yang lebih bersifat politis
cenderung dianggap makin penting dalam upaya membangun citra
55 Ibid.hal53
parlemen yang efektif untuk menggambarkan kesederajatannya dengan
pihak pemerintah. Karenanya Amandemen UUD 1945 mensyaratkan
adanya kerjasama DPR dan pemerintah dalam menyusun suatu RUU
walaupun kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR.
Amandemen Pasal 20 UUD 1945 sebenarnya tidak membawa
perubahan apa-apa karena pada dasarnya setiap undang-undang harus
dibahas bersama dan harus mendapat persetujuan bersama antara DPR
dan Presiden. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) yang menyatakan DPR
memegang kekuasaan membentuk undang-undang sepertinya tanpa
makna. Memegang kekuasaan seharusnya berarti dapat 'memaksakan
kehendak' atau berhak menentukan 'ya' atau 'tidak' sebagaimana yang
terjadi pada negara yang menganut sistem presidensil murni (seperti
Amerika Serikat) tetapi dalam hal ini, DPR tidak memiliki kekuasaan
untuk memaksakan pemberlakuan suatu undang-undang karena adanya
ketentuan persetujuan bersama tersebut.
Dalam sistem presidensil murni, pihak pemerintah (eksekutif)
tidak perlu ikut campur mengurusi undang-undang. Pembuatan undangundang merupakan sepenuhnya kekuasaan legislatif. Dasar filosofis
ketentuan ini dapat dianalogikan seperti sebuah perusahaan, dimana
pemilik perusahaanlah yang mengeluarkan aturan kerja di perusahaan
tersebut dan bukan pegawainya. Jika pegawai yang membuat aturan tentu
ia akan membuat aturan yang hanya menguntungkan diri mereka saja.
Jika si pegawai tidak suka dengan aturan itu maka ia dipersilahkan
111
mundur dari perusahaan itu. Namun tentu saja pemilik perusahaan dapat
menerima masukan dari pegawai soal peraturan itu, namun pegawai
hanya sekedar menyarankan bukan memegang peran yang sama penting
dengan pemilik. Pasal 20 UUD 1945 menempatkan pegawai (dalam hal
ini pemerintah) dan pemilik perusahaan (dalam hal ini DPR) dalam posisi
yang sejajar.
Perlu pula dipahami dengan tepat berkenaan dengan pengertian
persetujuan bersama antara DPR dan presiden dalam pembahasan suatu
RUU. Bagaimanakah sebenarnya bentuk pelaksanaan dari prinsip
persetujuan bersama itu dalam praktek Apakah persetujuan bersama itu
hanya dilakukan dalam persidangan atau bisa pula bersifat institusional
dalam arti persetujuan antara pemerintah dengan pimpinan DPR saja
Menurut Jimly Asshiddiqie yang dimaksud dengan istilah bersama-sama
adalah dalam persidangan bersama-sama antara pihak pemerintah dan
DPR. 56 Pertanyaan yang perlu diajukan disini adalah apakah metode
untuk mencapai persetujuan bersama itu termasuk juga dengan jalan
pemungutan suara (voting) ataukah hanya melalui musyawarah dan
mufakat.
Jimly Asshiddiqie menilai pengertian persetujuan bersama ini
tidak berarti bahwa setiap RUU yang akan disetujui itu harus dapat
memuaskan kedua belah pihak. Dalam sistem demokrasi proses
56
Ibid, hal 38
pengambilan
keputusan
memang
harus
dihadiri
bersama
tetapi
keputusan yang diambil tidak berarti harus menyenangkan semua orang.
Sudah sewajarnya ada take and give dan bahkan ada yang kalah dan ada
yang menang. Dalam hal terjadi voting terhadap suatu RUU maka akan
terjadi dua hal; pertama, voting memenangkan RUU versi pemerintah
dan partai pendukung pemerintah; kedua, voting memenangkan RUU
versi partai oposisi.57
Berdasarkan UUD 1945 tampaknya hanya mengartikan persetujuan
bersama terhadap suatu RUU hanya dapat dicapai dengan kesepakatan
bersama (musyawarah/mufakat) tanpa harus melakukan pemungutan suara
(voting). Mekanisme voting memunculkan pihak menang dan kalah dan
dianggap tidak menggambarkan adanya persetujuan bersama. Jika terjadi
deadlock, dalam hal ini jika tidak tercapai persetujuan bersama. maka
rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
2.3 Landasan Yuridis Pengelolaan Keuangan Negara Dalam APBN
Landasan pengelolaan keuangan negara adalah Pasal 23C Undang
Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga: "hal-hal lain mengenai keuangan
negara ditetapkan melalui undang-undang". Berangkat dari landasan
konstitual itulah berbagai upaya dilakukan untuk dapat menghadirkan
Undang-undang Keuangan Negara. Tercatat 14 (empat belas) tim telah
57
Ibid, hal 40
113
dibentuk dengan tugas untuk menyusun RUU bidang Keuangan Negara
atau RUU tentang Perbendaharaan Negara. Ke-14 tim itu adalah:
NO
TIM
1 Panitia Achmad
Natanegara
HASIL
Konsep RUU Keuangan
Republik Indonesia "UKRI"
TAHUN
1945-1947
2
Panitia Hermans
Menyusun RUU Pokok tentang 1950-1957
Pengurusan Keuangan Negara
disingkat "UUPKN" (dalam
bahasa Belanda)
3
Panitia Ahli
Departemen
Keuangan
Tidak menghasilkan konsep
RUU
1959-1962
4
Panitia Ahli
Departemen
Keuangan dan
Politisi
Tidak menghasilkan konsep
RUU
1963-1965
5
Panitia Soedarmin
Menyusun Konsep RUU
tentang pengurusan Keuangan
Negara
1969-1974
6
Panitia Gandhi
Menyusun konsep RUU semula 1975-1983
berjudul "Undang-undang
tentang Cara Pengurusan dan
Pertanggungjawaban Keuangan
Negara" berubah menjadi
"Undang-undang tentang
Pengurusan dan
Pertanggungjawaban Keuangan
Negara", berubah menjadi
"Undang-undang tentang
Keuangan Negara" , berubah
menjadi "Undang-undang
tentang Pengurusan dan
Pertanggungjawaban Keuangan
Negara", dan akhirnya berubah
menjadi "Undang-undang
tentang Perbendaharaan
Negara"
7
Panitia Prof. Dr.
Rochmat Soemitro
Panitia ini dibentuk oleh
1983-1984
Departemen Kehakiman dan
menyusun konsep RUU semula
berjudul "Undang-undang
tentang Perbendaharaan
Negara" kemudian menjadi
"Undang-undang tentang
Pokok-Pokok Perbendaharaan
Negara"
8
Panitia Soegito
Mengolah kembali RUU hasil 1984-1988
panitia Gandhi yang kemudian
diberi judul "Undang-undang
tentang
perbendaharaan
Negara"
9
Tim Intern Badan
Menyusun konsep RUU
Pemeriksa Keuangan berjudul “Undang-undang
tentang Keuangan Negara"
10 Panitia Taufik
Mengkaji ulang hasil Panitia
Soegito dan hasilnya tetap
diberi judul "Undang-undang
tentang Perbendaharaan
Negara"
1990
1989-1993
115
11 Tim Pengkajian dan Mengkaji dan menyempurnakan 1998-1999
Penyempurnaan
RUU Perbendaharaan Negara
RUU
hasil panitia Taufik dan tetap
Perbendaharaan
diberi judul "Undang-undang
Negara
tentang Perbendaharaan
Negara", Namun hanya
mengatur aspek pelaksanaan
dan pertanggungjawaban
anggaran, yaitu sebagian dari
siklus anggaran. Hal ini
dilakukan karena RUU
Perbendaharaan Negara ini
rnerupakan bagian dari paket
RUU bidang Keuangan Negara
yang terdiri atas:
a. RUU tentang Ketentuan
Pokok Keuangan Negara
b. RUU tentang
Perbendaharaan Negara
12 Tim Counterpart
RUU BPK
Menyusun RUU yang diberi
1999
judul "RUU tentang
Pemeriksaan Badan Pemeriksa
Keuangan atas Tanggung Jawab
Pengelolaan Keuangan Negara"
13 Tim Penyusunan
RUU Ketentuan
Pokok Keuangan
Negara
Merupakan Tim Pemerintah
1999-2001
bersama Badan Pemeriksa
Keuangan berhasil menyusun
kembali RUU hasil Tim
Pengkajian dan
Penyuempurnaan RUU
Perbendaharaan Negara dan
Tim RUU Bidang Keuangan
Negara yang terdiri atas:
a. RUU tentang Keuangan
Negara
b. RUU tentang Perbendaharaan Negara
c. RUU tentang Pemeriksaan
Tanggung Jawab Keuangan
Negara, dan
Paket tersebut telah diajukan ke
DPR
14 Komite
Penyempurnaan
Manajemen
Keuangan
Melanjutkan tim Penyusunan
RUU Ketentuan Pokok
Keuangan Negara, dan telah
menghasilkan UU Nomor
17Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dan UU No.
1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara.
2001
-sekarang
Sumber: Prinsip Keuangan Negara, 200358
Hingga tahun
2003
yang
lalu sebelum
UU
No.17/2003
diundangkan aturan yang berlaku untuk pengelolaan Keuangan Negara.
Perumusan keuangan negara menggunakan beberapa pendekatan,
yaitu:
1. Pendekatan dari sisi obyek;
2. Pendekatan dari sisi subyek;
3. Pendekatan dari sisi proses; dan,
4. Pendekatan dari sisi tujuan.
Dari sisi obyek Keuangan Negara akan meliputi seluruh hal dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, di dalamnya termasuk
berbagai kebijakan dan kegiatan yang terselenggara dalam bidang fiskal,
58
Syahruddin Rasul, 2003, Pengintegrasian Sistem akuntabilitas Kinerja dan
Anggaran Dalam Perspektif UU No.17/2003 tentang Prinsip Keuangan Negara, Jakarta,
hal. 41.
117
moneter dan atau pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Selain
itu segala sesuatu dapat berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut.
Dari sisi subyek, keuangan negara meliputi negara, dan/atau
pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan
badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
Keuangan Negara dari sisi proses mencakup seluruh rangkaian
kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek di atas mulai dari
proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggungjawaban.
Terakhir, keuangan negara juga meliputi seluruh kebijakan,
kegitan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/ atau
penguasaan
obyek
sebagaimana
tersebut
di
atas
dalam
rangka
penyelenggaraan pemerintahan negara, pendekatan terakhir ini dilihat
dari sisi tujuan.
Dengan pendekatan sebagaimana diuraikan di atas, UU No.
17/2003 merumuskan sebagai berikut: Keuangan negara adalah "semua
hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut". (Pasal 1 huruf 1 UUNo. 17/2003).
Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan pengertian tersebut
diuraikan dalam Pasal 2 UU No. 17/2003 meliputi:
a. Hak
negara
untuk
memungut
pajak,
mengeluarkan
dan
mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan
umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau
oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang,
serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau daerah;
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam
rangka
penyelenggaraan
tugas
pemerintahan
dan/atau
kepentingan umum;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan
fasilitas yang diberikan pemerintah.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas secara
ringkas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub
bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan
119
negara yang dipisahkan.
Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi enam fungsi, yaitu:
a. Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal. Fungsi
pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal ini meliputi
penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN, serta perkembangan
dan perubahannya, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan
perkembangan ekonomi makro, pendapatan negara, belanja
negara, pembiayaan, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan
perkembangan fiskal dalam rangka kerjasama internasional dan
regional, penyusunan rencana pendapatan negara, hibah, belanja
negara dan pembiayaan jangka menengah, penyusunan statistik,
penelitian
dan
rekomendasi
kebijakan
di
bidang
fiskal,
keuangan, dan ekonomi.
b. Fungsi
penganggaran.
Fungsi
ini
meliputi
penyiapan,
perumusan, dan pelaksanaan kebijakan, serta perumusan standar,
norma, pedoman, kriteria, prosedur dan pemberian bimbingan
teknis dan evaluasi di bidang APBN.
c. Fungsi administrasi perpajakan.
d. Fungsi administrasi kepabeanan.
e. Fungsi
perbendaharaan.
Fungsi
perbendaharaan
meliputi
perumusan kebijakan, standard, sistem dan prosedur di bidang
pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengadaan
barang dan jasa instansi pemerintah serta akuntansi pemerintah
pusat dan daerah, pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran
negara, pengelolaan kas negara dan perencanaan penerimaan dan
pengeluaran, pengelolaan utang dalam negeri dan luar negeri,
pengelolaan piutang, pengelolaan barang milik/kekayaan negara
(BM/KN), penyelenggaraan akuntansi, pelaporan keuangan dan
sistem informasi manajemen keuangan pemerintah.
f. Fungsi pengawasan keuangan.
Sementara itu, bidang moneter meliputi sistem pembayaran,
sistem lalu lintas devisa, dan sistem nilai tukar. Adapun bidang
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan meliputi pengelolaan
perusahaan negara/daerah.
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam
penyelenggaraan
negara,
pengelolaan
keuangan
negara
perlu
diselenggarakan secara professional, terbuka, dan bertanggung jawab
sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945.
Sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945
tersebut, UU No. 17/2003 menjabarkannya ke dalam asas-asas umum
yang telah lama dikenal dalam pengelolaan kekayaan negara, seperti asas
tahunan, asas universalitas, asas kesatuan dan asas spesialitas; maupun
asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidahkaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain:
121
akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas,
keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, dan pemeriksaan
keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan
pengelolaan
keuangan
negara
sebagai
bagian
dari
kekuasaan
pemerintahan. (Pasal 6 UU No. 17/2003)
Pada dasarnya Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang
kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari
kekuasaan pemerintahan. Sebagian kekuasaan itu diserahkan kepada
Menteri Keuangan yang kemudian berperan sebagai pengelola fiskal dan
wakil pemerintah dalam kepemilikan negara dalam kekayaan negara yang
dipisahkan.
Sebagian
kekuasaan
lainnya
diberikan
kepada
menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna anggaran/pengguna barang
lembaga/kementrian yang dipimpinnya.
Jika Presiden memiliki fungsi sebagai Chief Executive Officer
(CEO) maka Menteri Keuangan berperan dan berfungsi sebagai Chief
Financial Officer (CFO) sedangkan menteri/pimpinan lembaga berperan
sebagai Chief Operating Officers (COOs). Hubungan tersebut tergambar
seperti pada gambar berikut :
Delegasi Wewenang Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara
Pemisahan fungsi seperti di atas dimaksudkan untuk membuat
kejelasan dan kepastian dalam pembagian wewenang dan tanggung
jawab. Sebelumnya fungsi-fungsi tersebut belum terbagi secara tegas
sehingga seringkali terjadi tumpang tindih antar lembaga. Pemisahan ini
juga dilakukan untuk menegaskan terlaksananya mekanisme checks and
balances. Selain itu, dengan fokusnya fungsi masing-masing kementrian
atau lembaga diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme di dalam
penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah.
Menteri Keuangan dengan penegasan fungsi sebagai CFO akan
memiliki fungsi-fungsi antara lain:
1. Pengelolaan kebijakan fiskal;
2. Penganggaran;
3. Administrasi Perpajakan;
4. Administrasi Kepabeanan;
5. Perbendaharaan (Treasury); dan
6. Pengawasan Keuangan.
Seperti halnya pemerintah pusat, pengelolaan keuangan daerah
123
juga menggunakan pendekatan pembagian fungsi yang tidak berbeda.
Gubernur/Bupati/Walikota akan memiliki fungsi sebagai pemegang
kekuasaan pengelolaan Keuangan Daerah atau CEO, dinas-dinas sebagai
COO, dan pengelola Keuangan Daerah sebagai CFO.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 1 angka 7, UU No. 17/2003). Merujuk
Pasal 12 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, APBN dalam
satu tahun anggaran meliputi:
a. Hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai
kekayaan bersih;
b. Kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang
nilai kekayaan bersih;
c. Penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran
yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui
rekening kas umum negara. (Pasal 12 ayat (2) UU No. 1/2004)
Tahun anggaran adalah periode pelaksanaan APBN selama 12
bulan. Sejak tahun 2000, Indonesia menggunakan tahun kalender sebagai
tahun anggaran, yaitu dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31
Desember. Sebelumnya, tahun anggaran dimulai tanggal 1 April sampai
dengan 31 Maret tahun berikutnya. Penggunaan tahun kalender sebagai
tahun anggaran ini kemudian dikukuhkan dalam UU Keuangan Negara
dan UU Perbendaharaan Negara (Pasal 4 UU No. 17/2003 dan Pasal 11
UU No. 1/2004).
Sebagaimana ditegaskan dalam Bagian Penjelasan UU No.
17/2003, anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan
ekonomi. Sebagai fungsi akuntabilitas, pengeluaran anggaran hendaknya
dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan hasil (result) berupa
outcome atau setidaknya output dari dibelanjakannya dana-dana publik
tersebut. Sebagai alat manajemen, sistem penganggaran selayaknya dapat
membantu aktivitas berkelanjutan untuk memperbaiki efektifitas dan
efisiensi program pemerintah. Sedangkan sebagai instrumen kebijakan
ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan
stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka
mencapai tujuan bernegara.55 Anggito Abimayu op cit hl 5
Merujuk Pasal 3 Ayat (4) UU No. 17/2003, APBN mempunyai
fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan
stabilisasi. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara
menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun
yang bersangkutan. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa
anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan
kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung
125
arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai apakah
kegiatan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara
harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan
sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian.
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara
harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi stabilisasi
mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk
memelihara
dan
mengupayakan
keseimbangan
fundamental
perekonomian.
Struktur APBN terdiri dari pendapatan negara dan hibah, belanja
negara, keseimbangan primer, surplus/defisit, dan pembiayaan. Indonesia
telah mengubah komposisi APBN sesuai dengan standar statistik
keuangan pemerintah, Government Finance Statistics (GFS).
Pendapatan Negara dan Hibah. Penerimaan APBN diperoleh dari
berbagai sumber. Secara umum yaitu penerimaan pajak yang meliputi
pajak penghasilan (PPh), diatur dalam UU Nomor ;36 Tahun 2008 pajak
pertambahan nilai (PPN), diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1994
Pasal 18 Ayat (1) Hasil penerimaan pajak merupakan penerimaan
negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
dengan imbangan pembagian sekurang –kurangnya 90% (sembilan puluh
persen ) untuk Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah
Tingkat I sebagai pendapatan daerah yang bersangkutan .
Ayat (2) Bagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) sebagian besar diberikan kepada Pemerintah
Daerah Tingkat II.
Ayat (3) Imbangan pembagian hasil penerimaan pajak sebaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Peraturan pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
2000 Tentang Pembagian Hasil Penerima Pajak Bumi dan Bangunan
antara Pusat dan Daerah. Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 1997.
Pasal 23 ayat (1) Penerimaan negara dari Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen)
untuk
Pemerintah
Pusat
dan
80%(delapan
puluh
persen)
untuk
Pemerintah Daerah bersangkutan.
Ayat (2) Bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dibagi kepada seluruh Pemerintah Kabupaten /Kota secara
merata.
Ayat (3)Bagian Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dibagi dalam imbangan 20% (dua puluh persen) untuk
Pemerintah Provinsi yang bersangkutan dan 80%(delapan puluh persen)
untuk Pemerintah Kabupaten /Kota yang bersangkutan.
127
Cukai, dan Pajak lainnya, serta Pajak Perdagangan (bea masuk
dan pajak/pungutan ekspor) merupakan sumber penerimaan utama dari
APBN. Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) meliputi
penerimaan dari sumber daya alam, setoran laba BUMN, dan penerimaan
bukan pajak lainnya, walaupun memberikan kontribusi yang lebih kecil
terhadap total penerimaan anggaran, jumlahnya semakin meningkat
secara signifikan tiap tahunnya. Berbeda dengan sistem penganggaran
sebelum tahun anggaran 2000, pada sistem penganggaran saat ini
sumber-sumber pembiayaan (pinjaman) tidak lagi dianggap sebagai
bagian dari penerimaan.
Dalam
pengadministrasian
penerimaan
negara,
departemen/
lembaga tidak boleh menggunakan penerimaan yang diperolehnya secara
langsung untuk membiayai kebutuhannya. Beberapa pengeculian dapat
diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait.
Belanja Negara. Belanja negara terdiri atas anggaran belanja
pemerintah pusat, dana perimbangan, serta dana otonomi khusus dan
dana penyeimbang. Sebelum diundangkannya UU No. 17/2003, anggaran
belanja pemerintah pusat dibedakan atas pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan. UU No. 17/2003 mengintrodusing uniffied
budget sehingga tidak lagi ada pembedaan antara pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan. Dana perimbangan terdiri atas dana bagi
hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus . Sementara itu, dana
otonomi khusus dialokasikan untuk provinsi Daerah Istimewa Aceh dan
provinsi Papua.
Defisit dan Surplus. Defisit atau surplus merupakan selisih antara
penerimaan dan pengeluaran. Pengeluaran yang melebihi penerimaan
disebut defisit; sebaliknya, penerimaan yang melebihi pengeluaran
disebut surplus. Sejak TA 2000, Indonesia menerapkan anggaran defisit
menggantikan anggaran berimbang dan dinamis yang telah digunakan
selama lebih dari tiga puluh tahun.
Dalam tampilan APBN, dikenal dua istilah defisit anggaran, yaitu:
keseimbangan primer (primary balance) dan keseimbangan umum
(overall balance). Keseimbangan primer adalah total penerimaan
dikurangi belanja tidak termasuk pembayaran bunga. Keseimbangan
umum adalah total penerimaan dikurangi belanja termasuk pembayaran
bunga.
Pembiayaan. Pembiayaan diperlukan untuk menutup defisit
anggaran. Beberapa sumber pembiayaan yang penting saat ini adalah:
pembiayaan dalam negeri (perbankan dan non perbankan) serta
pembiayaan luar negeri (netto) yang merupakan selisih antara penarikan
utang luar negeri (bruto) dengan pembayaran cicilan pokok utang luar
negeri.
BAB III
WEWENANG DPR DALAM FUNGSI PENETAPAN APBN SESUAI
DENGAN PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI
3.1.
Wewenang DPR Dalam Fungsi Penetapan Sesuai Dengan
Prinsip Demokrasi
Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa demokrasi yang
mensejahterakan rakyat yang saat ini menjadi tujuan bersama pasti tidak
akan membuka ruang sedikit pun bagi praktik-praktik korupsi yang
menyengsarakan rakyat. 59
Alam demokrasi menuntut berfungsinya secara tertib seluruh pilar
demokrasi
dan
perangkat
hukum
harus
dapat
berfungsi
efektif.
Keseimbangan antara peran legislatif, eksekutif dan yudikatif harus
berjalan pada arah yang benar. Tak kalah pentingnya, penegakan hukum
harus konsisten dan tidak boleh pandang bulu. "Tata kelola pemerintahan
good governance harus berfungsi dengan baik dan kebebasan harus
berjalan bergandengan dengan rule of law. Seluruh pilar dan elemen itulah
yang
dapat
memastikan
terpeliharanya
kehidupan
bernegara
yang
demokratis, damai dan stabil.
Pada
tingkat
regional
dan
global,
penyelesaian
berbagai
permasalahan dan tantangan di abad ke-21 ini harus dijalankan secara
59
Susilo Bambang Yudhoyono,2010 Dalam Pidato Pembukaan BDF bertajuk :
Dimokrasi Untuk Meningkatkan Perdamaian dan Stabilitas, Bali Post tanggal 10
Desember , hal. I
transparan dan demokratis. "Ketegangan yang terjadi dalam hubungan
internasional
dewasa
ini
banyak
yang
disebabkan
oleh
adanya
ketidakpercayaan atau bahkan kesalahpahaman". Kerja sama antarkawasan
dalam tingkat regional maupun global seharusnya menganut prinsipprinsip demokrasi dan berkeadilan.
Sistem yang demokratis dan transparan sangat diperlukan juga pada
tingkat regional dan global. Hanya dengan menerapkan asas yang
berkeadilan, persamaan dan transparansi, maka perdamaian dan stabilitas
baik pada tingkat kawasan maupun global dapat diwujudkan dan dipelihara
bersama. "Salah satu dari esensi dari demokrasi adalah bagaimana kita
dapat memberdayakan seluruh elemen bangsa untuk meningkatkan harkat
dan martabat rakyat kita semua. Kita juga harus memastikan agar segenap
komponen bangsa dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi dan
pencapaian kesejahteraan bagi kita semua". Tidak ada formula yang baku
tentang bagaimana demokrasi dapat bergandengan dengan stabilitas karena
setiap negara mempunyai caranya sendiri. Selain itu, setiap negara masih
menghadapi situasi ekonomi dan politik internasional yang masih labil dan
terus bergulir dan perlu terus menjaga solidaritas untuk menyikapinya
dengan arif dan bijaksana. "Demokrasi terus tumbuh dan berkembang
dengan dinamikanya yang khas dan unik di berbagai negara,.
Menurut Susilo Bambang Yudhoyono, tidak ada istilah demokrasi
telah selesai karena demokrasi harus menghasilkan democratic devidend
yang dirasakan langsung utamanya oleh masyarakat di negara masingmasing dan berimbas ke berbagai kawasan lainnya. Dikatakannya,
demokrasi merupakan sebuah proses untuk meningkatkan kesejahteraan,
keadilan, serta kesamaan hak dan kebebasan setiap umat manusia.
"Demokrasi harus dapat menciptakan rasa aman, tenteram, dan damai bagi
masyarakatnya”. 60
CF Strong 61 menyebutkan bahwa Demokrasi adalah sistem
pemerintahan yang mayoritas anggota masyarakat dewasa komunitas
politiknya turut berpartisipasi melalui perwakilan yang menjamin bahwa
pemerintah harus mempertanggung jawabkan segala tindakannya kepada
kelompok mayoritas tersebut. Pada hakekatnya bahwa pemerintahan yang
demokratis syarat utamanya harus melibatkan rakyat baik secara langsung
maupun melalui wakil-wakilnya yang telahditunjuk atau dipilih oleh
rakyat melalui partai politik dalam sistem pemilihan umum tersebut dalam
menjalankan roda pemerintahannya maupun merencanakan dan menyusun
program-program kegiatan dari pemerintah tersebut Bahwa pemerintahan
yang demokratis itu yang mengsyaratkan keterlibatan masyarakat dalam
setiap pengambilan kebijakan baik secara langsung maupun melalui wakilwakilnya yang paling penting adanya kebebasan dari masyarakat untuk
menentukan apa yang menjadi kebutuhannya dan harus diperjuangankan
secara bebas pula oleh wakil-wakil yang dipilih melalui pemilu yang bebas
tersebut adanya pengawasan terhadap apa yang dilakukan oleh wakil wakil
rakyat tersebut serta dapat dipertanggungjawabkan kepada rakya yang
diwakilinya dan yang memilih.
Pada intinya bahwa prinsip-prinsip pokok Negara yang demokrasi
adalah :
Pertama hubungan demokrasi dan hukum, Bahwa hukum benar –
benar menjadi kehendak dan kebutuhan masyarakat (hukum yang
responsif) serta hukum tidak berlaku surut, hukum yang dibuat oleh
60
Ibid., hal 50
61 C.F. Strong, 2008, Konstitusi Politik Modern Kajian Tentang Sejarah dan
Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia Terjemahan SPA Teamwork Nusa Media, Bandung, Hlm.
17.
parlemen (lembaga perwakilan rakyat) adalah hukum yang benar-benar
dihendaki oleh masyarakat.
Kedua prinsip Legalitas, Hukum dibuat untuk mencegah tindakan
sewenang wenang dari pejabat pemerintah, Apa yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah harus sesuai dengan hukum.
Ketiga Tentang Negara Hukum yang Demokratis, yang berkaitan
dengan peradilan yang mandiri (tanpa campur tangan dari pemerintah
maupun parlemen) baik menyangkut peradilan kriminal maupun peradilan
administrasi (uji ulang putusan administrasi). Hakim diangkat untuk
selamanya (tanpa campur tangan dari pandangan politik pemerintah
maupun parlemen) yang bisa membubarkan adalah Mahkamah Agung bila
ada situasi yang genting /ekstrim
Keempat
Unsur
materiil
Negara
Hukum
yaitu
pemerintah
melindungi hak-hak masyarakat, khususnya hak-hak masyarakat yang
klasik yaitu kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan
pers dan kebebasan berkumpul dan berserikat.
Didalam Pasal 23 ayat(1) dan ayat(3) Undang-Undang Dasar Negara
Repulik Indonesia tahun 1945 disebutkan Anggaran
Belanja
Negara
ditetapkan
tiap-tiap
Pendapatan
dan
tahun dengan undang-undang.
Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang
diusulkan presiden, maka pemerintah menjalankan anggaran yang tahun
lalu.
Pasal tersebut memiliki hak Anggaran DPR, yang mana dalam hal
penetapan pendapatan dan belanja negara kedudukan DPR lebih kuat
daripada Pemerintah yang artinya menunjukan secara filosofis yuridis, hal
ini merupakan tanda dari kedaulatan rakyat. Dengan demikian konsepsi
keuangan
Negara,
hakikat
APBN
adalah
kedaulatan
rakyat
yang
diamanatkan kepada DPR.
Dalam hal pertanggungjawaban keuangan Negara dapat dilihat dari
dua sisi yaitu :
1. Pertanggungjawaban keuangan Negara horizontal yaitu
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang diberikan
pemerintah kepada DPR. Hal ini disebabkan sistem
ketatanegaraan yang berdasarkan Undang Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945 telah menentukan kedudukan
pemerintah dan DPR sederajat. Hal ini dilakukan dalam
bentuk persetujuan terhadap RUU Perhitungan Angaran
Negara.
2 Pertanggungjawaban keuangan Vertikal, yaitu pertanggungjawab an
keuangan yang dilakukan oleh setiap otoristor dari setiap departemen
atau lembaga Negara non departemen yang menguasai bagian
anggaran , termasuk didalamnya pertanggungjawaban bendaharawan
kepada atasannya dan pertanggungjawaban para pimpinan proyek.
Pertanggungjawaban keuangan ini pada akhirnya disampaikan kepada
Presiden yang diwakili oleh Menteri keuangan selaku pejabat tertinggi
pemegang tunggal keuangan Negara. 62
Berdasarkan konsep tersebut, pertanggungjawaban keuangan Negara merupakan
konsekuansi logis dari kesediaan pemerintah melaksanakan APBN yang telah disetujui
oleh DPR. Dalam hal pengelolaan keuangan Negara atau APBN, pertanggungjawaban
keuangan Negara dituangkan kedalam perhitungan anggaran Negara sebagai kuasa dari
DPR kepada pemerintah memberikan dasar yang kuat yang berhak menerima
62Muhammad Djafar Saidi, Op cit, hal. 47
pertanggungjawaban keuangan Negara adalah DPR.
Sitti Nurhajati Daud menyatakan ; The Secretary General of the
Indonesian House of Representatives is the head of the Secretariat General
Which is a supporting system in the execution of the tasks and functions of
the Indonesian House of Representative. The Indonesian Constitution
(1945) stipulates three functions of the Indonesian House of
Representative, namely law-making (legislation) function, national budget
determination function, and control function.
Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat lndonesia adalah Kepala
Sekretariat Jenderal yang merupakan sistem pendukung dalam pelaksanaan
tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat lndonesia. lndonesia Konstitusi
(1945) menetapkan tiga fungsi dari Dewan Perwakilan Rakyat pembuat undangundang (legislasi), fungsi anggaran nasional dan fungsi kontrol. 63
Untuk melaksanakan fungsi pengawasan, lembaga DPR dilengkapi
dengan hak untuk meminta keterangan (interpelasi), hak untuk menyelidiki
(angket), hak menyatakan pendapat (resolusi), hak untuk memperingatkan
tertulis
(memorandum),
dan
bahkan
hak
untuk
menuntut
pertanggungjawaban (impeachment). Dalam pelaksanaan fungsi legislasi,
DPR mempunyai hak/ kewajiban untuk mengajukan rancangan undangundang, hak amandemen atau hak untuk mengubah atau bahkan menolak
sama sekali rancangan undang-undang yangdiajukan oleh pemerintah.
DPR
berhak
mengajukan
RAPBN
dan
berhak
mengubah
dengan
mengurangi ataupun menambah anggaran yang diajukan pemerintah.
Untuk dapat menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut secara
efektif maka DPR perlu diberikan sejumlah hak yaitu hak interpelasi, hak
angket dan hak menyatakan pendapat. Ketiga hak ini merupakan
63Sitti Nurhajati Daud, 2003, The Role Of The Secretary General Of The Indonesian
House Of Representatives in The Era Reform in Indonesia, Geneva Meeting, Hal. 1
kewenangan atau hak DPR sebagai suatu lembaga. Hak interpelasi adalah
hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah tentang sesuatu
kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas; hak
angket adalah hak DPR untuk melakukan suatu penyelidikan terhadap
kebijakan pemerintah yang penting dan strategis yang diduga bertentangan
dengan peraturan perundangan; hak menyatakan pendapat adalah hak DPR
sebagai
lembaga
untuk
menyatakan
pendapat
terhadap
kebijakan
pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau
situasi dunia internasional disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya.
Anggota DPR juga memiliki hak dalam melaksanakan tugasnya.
Hak-hak ini dimiliki setiap anggota DPR sebagai individu atau perorangan.
Hak perseorangan anggota DPR itu adalah:
a. Hak mengajukan RUU. Penjelasan UU Susduk No 22 Tahun 2003
jo no 27 Tahun 2009 menyebutkan bahwa hak anggota DPR untuk
mengajukan
RUU
dimaksudkan
untuk
mendorong,
memacu
kreativitas, semangat dan kualitas anggota DPR dalam menyikapi
serta menyalurkan dan menindaklanjuti aspirasi rakyat yang
diwakilinya dalam bentuk pengajuan usul RUU.
b. Hak mengajukan pertanyaan adalah hak anggota DPR untuk
menyampaikan pertanyaan baik secara lisan maupun tertulis kepada
pemerintah bertalian dengan tugas dan wewenang DPR.
c. Hak menyampaikan usul atau pendapat adalah hak anggota DPR
untuk menyampaikan usul dan pendapat secara leluasa baik kepada
pemerintah maupun kepada DPR sendiri sehingga ada jaminan
kemandirian
sesuai
dengan
panggilan
hati
nurani
serta
kredibilitasnya
d. Hak imunitas atau hak kekebalan hukum yaitu hak setiap anggota
DPR untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena
pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat DPR
dengan pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
e. Hak Protokoler yaitu hak anggota DPR untuk memperoleh
penghormatan berkenaan dengan jabatannya dalam acara-acara
kenegaraan
atau
acara
resmi
maupun
dalam
melaksanakan
tugasnya.
Khusus mengenai hak mengajukan RUU ini merupakan hak yang
jarang digunakan pada era sebelum reformasi karena inisiatif untuk
mengajukan RUU selalu datang dari pemerintah. Kondisi ini bisa terjadi
disebabkan oleh ketentuan pasal 5 ayat 1 UUD 1945 sebelum amandemen
yang menyatakan: "Presiden memegang kekuasaan membentuk undangundang dengan persetujuan DPR."
Kata "memegang kekuasaan" dalam pasal ini mengandung arti semacam
kewajiban. Dengan demikian presiden mempunyai kewajiban untuk mengajukan suatu
RUU kepada DPR. Kesimpulan ini didasarkan kepada beberapa hal yaitu (1) presiden
sebagai eksekutif dan (2) presiden sebagai mandataris MPR. Sebagai eksekutif, sudah
barang tentu pemerintahlah yang lebih mengetahui undang-undang apa yang
dibutuhkan dalam rangka melaksanakan pemerintahan. Dan sebagai mandataris MPR
adakalanya presiden harus mengajukan RUU dalam rangka melaksanakan TAP MPR.
Amandemen UUD 1945 memindahkan kekuasaan membentuk
undang-undang ke tangan DPR. Dengan demikian pada era reformasi ini,
anggota DPR tidak bisa hanya bersikap menunggu saja RUU yang datang
dari pemerintah namun DPR harus dapat menyusun RUU sendiri sesuai
dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat, dengan demikian setiap anggota
DPR harus kreatif dan proaktif untuk mengetahui apa saja aspirasi dan
keinginan rakyat itu.
Dalam hal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu). Namun
Perpu itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang
berikut, dan jika tidak mendapat persetujuan maka Perpu itu harus dicabut.
Demikian pula halnya dalam menentukan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara harus mendapat persetujuan dari DPR. Jika DPR menolak
untuk memberikan persetujuan terhadap anggaran yang diusulkan oleh
pemerintah maka pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu.
Didalam hal penetapan APBN, jika dikaitkan kedua pasal tersebut
antara pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia tahun
1945 dengan pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia
tahun 1945 mempunyai hubungan yang sangat erat, karena mencari
persetujuan antara DPR dengan presiden dalam penetapan APBN
merupakan wujud lahirnya undang-undang keuangan negara memberikan
pemahaman filosofis yang menentukan APBN sebagai bentuk penjelmaan
kedaulatan rakyat.
Namun
dalam
kerangka
teoritis
hukum
keuangan
negara,
berdasarkan pasal 23 ayat (1) dan ayat(3)Undang-Undang Dasar Negara
Repulik Indonesia tahun 1945 yang dimaksud sebagai keuangan negara
adalah yang ditetapkan dalam undang-undang APBN. Dengan dasar
pemikiran hal tersebut dapat dikatakan bahwa keuangan negara adalah
APBN.
Artinya dengan persetujuan DPR yang mewakili rakyat, persetujuan
DPR merupakan sesuatu yang mutlak sifatnya. Oleh karena itu tanpa
persetujuan dewan, anggaran negara tidak mungkin ditetapkan. Disinilah
letak kedaulatan rakyat yang diwakili oleh DPR dalam menyetujui
anggaran negara. Selain itu anggaran negara dapat dikatakan sebagai
otorisasi dari rakyat kepada eksekutif melalui perwakilannya yaitu DPR
dimana eksekutif dapat menggunakan pendapatan negara bagi pengeluaran
bagi pelaksanaan pemerintahannya.
Oleh karena itu dilihat dari kewenangan lembaga legislatif
berdasarkan hak budget yang dimilikinya apakah lembaga legislatif berhak
mengelola anggaran sendiri yang ditetapkan dalam suatu undang-undang
tersendiri, hal ini sah menurut hukum dan dapat dibenarkan dari segi teori
kedaulatan, namun dari segi teori otorisasi, tidak mungkin badan legislatif
memberi otorisasi pada dirinya sendiri. Berbeda dengan lembaga yudikatif
atau lembaga negara lainnya yang secara mendasar tidak memiliki hak
budget dan secara teoritis bukan untuk memperoleh otorisasi dari lembaga
legislatif, sebagaimana halnya lembaga eksekutif yang menjalankan roda
pemerintahan, administrasi negara dan melindungi serta meningkatkan
taraf kehidupan masyarakat.
Kondisi demikian justru dikonkretkan dengan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebagai undang-undang, Pasal 23
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang tidak memperhatikan
kedudukan dan fungsi keuangan publik dari lembaga atau badan-badan
hukum yang ada. Kondisi demikian terjadi kerana Pasal 23 Perubahan ketiga
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 tidak memberikan ramburambu yang secara yuridis dapat dipertanggungjawabkan.
Imperfektivitas ketentuan hukum keuangan negara karena produk
peraturan perundang-undangan yang mengatur keuangan negara tidak
mengandung landasan (a) filsafat yang merupakan latar belakang substansi
pemikiran pembuat undang-undang tentang keuangan Negara, ia pun harus
dirumuskan secara mendasar pada (b) ilmu pengetahuan (het dekken der
kennis)
rumusannya
ditata
segera
(c)
landasan
pemikiran
ekonomis
(Ekonomische Denkgeselz), menghindari substansinya yang (d) diulang dan /
atau saling bertentangan antara pasal satu dengan pasal yang lainnya
(Wiederspruchlos), (e) cakupan rumusan substansi undang-undang harus
bersifat menyeluruh (het dekken van de rechtsstoj), serta harus mengandung
(f) estetika bahasa (taal aesteticd), (g) Bermanfaat sesuai dengan tujuannya
(doelmatig). Dengan demikian peraturan perundang-undangan keuangan
negara yang menjadi dasar hukum keuangan negara menghindar penggunaan
prinsip tersebut dalam menyusun undang-undang, apalagi sebuah undangundang dasar landasan filsafatnya adalah mutlak dan merupakan syarat
utama, disamping syarat-syarat lain yang diperlukan untuk sebuah
peraturan perundang-undangan.
Oleh sebab itu, perlu dikatakan secara tegas, materi Pasal 23
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2003 merupakan produk hukum yang asal jadi dan meteri
muatannya sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai produk hukum atau
undang-undang.
Apalagi
dari
sudut
ilmiah
maupun
filosofinya.
Seharusnya, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 mengatur pengelolaan
dan pertanggungjawaban keuangan publik uang lebih efektif dalam
melaksanakan tertib administrasi keuangan dengan akuntabilitas yang
tinggi. Demikian pula ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara
RI Tahun 1945 (Perubahan Ketiga) perlu diadakan kaji ulang agar
mempunyai bobot sebagai sebuah meteri muatan dalam undang-undang
dasar.
Secara teoritis DPR sebagai badan legislatif mempunyai dasar yang
kuat dan sah menurut hukum untuk melakukan perubahan dalam UndangUndang No. 17 Tahun 2003. Sementara itu, MPR mempunyai peran yang
signifikan untuk kembali dalam undang-undang dasar dan undang-undang
dapat memenuhi ketentuan teori hukum yang berlaku.
Disamping persoalan keuangan negara, hukum keuangan negara
dalam hal pemeriksaannya juga mengalami disorientasi yang sangat pelik.
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 melegitimasi perubahan
fungsi pemeriksaan BPK yang diatur oleh pasal 23 E Undang-Undang
Dasar Negara Repulik Indonesia tahun 1945 untuk memeriksa pengelolaan
dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu BPK yang
bebas dan mandiri yang tidak hanya ditujukan pada tanggung jawab
keuangan negara, tetapi juga pengelolaan keuangan negara. Peruhahan
demikian jelas menciptakan disorietasi fungsi BPK yang melebar ke segala
arah dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara. Dari segi hukum
keuangan publik, disorientasi fungsi pemeriksaan keuangan negara yang
terlalu luas akan melemahkan rentang kendali (span of control),
inmodernisasi, penyalahgunaan kewenangan, dan ketidakmampuan dalam
mencegah penyimpangan keuangan negara secara efektif. Disorientasi
pemeriksaan keuangan negara yang dilegitimasi Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945 hanya akan mendorong ketidakberdayagunaan BPK
dalam menjangkau segi strategis tanggung jawab keuangan negara karena
berkutat menjelajah segi teknis pengelolaan keuangan negara.
Dengan demikian, tepat penyusun naskah asli Pasal 23 ayat (5)
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang menempatkan BPK
sebagai lembaga yang memeriksa tanggung jawab keuangan negara agar
orientasi BPK tidak lepas dan pemeriksaan yang bersifat makro-strategis.
Penyusun naskah asli Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun
mempunyai pemahaman
yang lebih strategis
dan
1945
sangat memahami
prinsip dasar efektivitas kinerja organisasi. Dengan fungsinya sebagai
pemeriksa tanggung jawab keuangan negara, BPK menempatkan secara
sejajar kedudukannya sebagai lembaga negara. Sebagai lembaga
yang
memeriksa tanggung jawab keuangan
lembaga
yang
langsung
mengawasi
dan
negara,
negara
BPK merupakan
memeriksa
kebijakan
keuangan negara (fiscal policy audit) yang dilakukan pemerintah.
Fungsinya yang sangat strategis dan terhormat tersebut menempatkan
BPK sebagai
lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara
lainnya, tennasuk pemerintah, untuk menjaga obyektifitasnya.
Oleh sebab itu, secara yuridis pemberian fungsi pemeriksaan BPK
untuk memeriksa pcngelolaan keuangan ncgara melalui Pasal 23E ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 justru melemahkan
kedudukannya sebagai lembaga negara. Apabila mendasarkan pada konsep
hukum administrasi negara, BPK telah berubah dari bentuk organisasi
negara menjadi
organisasi
administrasi
negara.
Dengan
demikian,
kedudukannya melemah sebagai bagian dari unsur pemerintah dan bukan
sebagai lembaga yang mandiri. Salah satu bukti perubahan bentuk tersebut
adalah dimungkinkannya BPK di setiap provinsi diatur dalam pasal 23 G ayat 1
Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia tahun 1945. BPK
berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan di setiap
provinsi.
Dari segi hukum administrasi negara, lembaga negara, guna
menjaga citra kewibawaan dan pengaruhnya, tidak mungkin membuka
perwakilannya di luar ibu kota negara. Hal ini dilakukan agar lembaga
negara tetap berfungsi hanya pada inti pokok tugasnya sebagai bagian dari
lingkup masalahnya (kernzaken en problemen) dan menjaga kualitas
kinerja dibandingkan hanya mengejar kuantitas. Berdasarkan hukum
keuangan publik, pengutamaan kuantitas dalam pemeriksaan menyebabkan
temuan atas penyimpangan keuangan negara dilakukan secara kebetulan
(by-chance) dan tidak secara sistematis (by-system).
Oleh sebab itu, kebertahanan BPK pada perubahan fungsinya
sebagai pemeriksa tanggung jawab sekaligus pengelolaan keuangan negara
dan kedudukannya yang "menurun" sebagai organisasi administrasi negara
mengingatkan kembali pada keberadaan Alegmene Rekenkamer (ARK),
lembaga pemeriksa zaman kolonial Belanda, yang merupakan lembaga di
bawah Kroon (Pemerintah Kerajaan Belanda). Dengan kedudukannya
tersebut,
ARK
memeriksa
pengelolaan
keuangan
pemerintah
dan
mempunyai perwakilan di setiap daerah. Oleh sebab itu, secara yuridishistoris, fungsi dan kedudukan BPK berdasarkan Pasal 23 E ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 memuat kembali fungsi dan
kedudukannya seperti tahun yang lalu.
Apabila kekeliruan tersebut hanya bersifat lokal, dampaknya tidak
akan luas. Akan tetapi, apabila kekeliruan tersebut bersifat nasional,
dampaknya tidak hanya berlaku secara lokal atau nasional, juga akan
menyangkut secara internasional sepanjang yang berkaitan dengan negara.
Terlepas dari adanya kesengajaan atau tidak oleh pembuat amandemen
undang-undang dasar maupun ketiga paket undang-undang yang mengatur
keuangan negara, perubahan undang-undang dasar maupun paket ketiga
undang-undang tersebut terkesan mengarah kepada suatu konsentrasi
kekuasaan
pemeriksaan
tanpa
memperhitungkan
koneksitas
hukum
tatanegara dan hukum administrasi negara maupun prinsip-prinsip umum
hukum yang berlaku.
Terkait dengan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan oleh
pemerintah diatur di dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang
keuangan Negara, yang mana dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan tentang
keuangan negara yaitu :
"Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut."
Selanjutnya, didalam pelaksanaannya yang dimaksud dengan
keuangan negara dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 17 Tahun 2003
adalah :
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman;
b. Kewajihan negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak
lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
h. Kekayaan pihak lain
yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas
yang diberikan pemerintah.
Didalam
melaksanakan
pemerintahan
pengelolaan
keuangan
sepenuhnya ada di tangan Presiden seperti yang tercantum dalam Pasal 6 ayat
(1) ; Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
Namun dapat kita ketahui saat ini banyak sekali terjadi korupsi di
berbagai daerah yang melibatkan aparat pemerintah, termasuk para anggota
dewan. Pelanggaran hukum terhadap keuangan negara saat ini sangatlah
meresahkan, terutama penyelewengan keuangan yang bersumber dari APBN
ataupun APBD. Guna menjalankan pemerintahan maka dengan dana yang
dimiliki pemerintah menetapkan APBN/APBD setiap tahunnya.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan alat
utama pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus alat
pemerintah
untuk
mengelola
perekonomian
negara.
Sebagai
alat
pemerintah, APBN bukan hanya menyangkut keputusan ekonomi, namun
juga menyangkut keputusan politik. Dalam konteks ini, DPR dengan hak
legislasi, penganggaran, dan pengawasan yang dimilikinya periu lebih
berperan dalam mengawal APBN sehingga APBN benar-benar dapat
secara efektif menjadi instrumen untuk mensejahterakan rakyat dan
mengelola perekonomian negara dengan baik. Dalam rangka mewujudkan
good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sejak
beberapa tahun yang lalu telah diintrodusir Reformasi Manajemen
Keuangan Pemerintah. Reformasi
hukum
yang kuat dengan
tersebut
mendapatkan
Landasan
telah disahkannya Undang-Undang No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Sistem dan proses pengelolaan APBN dalam kerangka manajemen
keuangan negara. Selain diuraikan pokok-pokok manajemen keuangan
negara serta proses APBN, diuraikan pula peranan DPR dalam pengelolaan
anggaran negara melalui fungsi-fungsi yang dimilikinya, yakni fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
3.2 DPR Sebagai Wakil Rakyat Dalam Penyusunan dan Penetapan
APBN
Demokrasi di Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai sekarang
adalah
menganut
demokrasi
perwakilan,
mengingat
masyarakat
mempercayakan kepentingan pada wakil-wakil yang duduk di dalam
lembaga perwakilan tersebut (DRP/MPR) yang dipilih melalui Pemilu
yang diajukan oleh partai-partai peserta pemilu.
Miriam Budiardjo, menyebutkan perwakilan politik (political
representation) yaitu bahwa seseorang atau suatu kelompok mempunyai
kewajiban atau kemampuan untuk berbicara dan bertindak
atas nama
suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota badan legislatif pada
umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. 64
Pengertian perwakilan yaitu hubungan antara si wakil dengan yang
terwakili tidak hanya sekedar mewakili si wakil karena si terwakili tidak
bisa hadir atau tidak mempunyai kemampuan, akan tetapi ada keharusan
bagi si wakil memiliki kemampuan untuk berbicara dan bertindak demi
kepentingan si wakil.
Dalam konteks perwakilan politik, lembaga perwakilan rakyat atau
DPR adalah lembaga (DPR/MPR), yang mana orang-orang yang duduk
didalamnya
memiliki
kewajiban
dan
kemampuan
untuk
mewakili
kepentingan masyarakat pemiliknya atau kelompok lain dalam hal ini
partai
politik
yang
mencalonkan
sebagai
wakil
dalam
rangka
menyampaikan aspirasi dan tuntutan dari masyarakat atau kelompok/partai
politik tersebut yang lebih besar disamping melaksanakan tugas dan
64
Miriam Budiardjo, 2000, Dasar-Dasar Politik, Edisi Revisi, Ikrar Mandiri Abadi,
Jakarta, hal. 39.
kewajiban yang dibebankan oleh peraturan perundang-undangan.
Jimly Asshiddiqie, membedakan tipe perwakilan dengan 2 (dua)
macam tipe perwakila yaitu :65
1. Perwakilan fisik (representation in presence) yaitu keterwakilan
rakyat diwujudkan secara fisik yaitu denga terpilihnya seorang
wakil menjadi dalam keanggotaan parlemen, akan tetapi dalam
praktek, sistem perwakilan fisik ini terbukti tidak atau belum
tentu sungguh-sungguh menjamin tersalurnya aspirasi rakyat
sebagaimana yang diharapkan. Banyak kemungkinan yang dapat
terjadi dalam kenyataan, baik karena faktor pribadi (subyektif)
para wakil rakyat sendiri ataupun karena faktor pilihan sistem
yang dipraktekkan. Sistem yang dianut, baik berkenaan dengan
sitem pemilihan umum maupun sistem kepartaian, sangat
mempengaruhi esensi keterwakilan rakyat.
2. Perwakilan pemikiran (representation in ideas) yaitu, rakyat
dapat menyalurkan aspirasinya tidak saja pada keterwakilan
fisik (wakil mereka yang duduk di parlemen) akan tetapi
aspirasi rakyat disalurkan melalui media massa baik cetak
maupun elektronika, media tradisional dan media konvensional
lainnya yang secara konsitusional juga dijamin dalam rangka
hak asasi manusia.
Miriam Budiardjo 66 menyebutkan perwakilan politik (Political
representation) yaitu bahwa seseorang atau suatu kelompok mempunyai
kewajiban atau kemampuan untuk berbicara dan bertindak atas nama
kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota badan legislatif pada
umumnya mewakili rakyat melalui partai politik bahwa pengertian
perwakilan yaitu hubungan antara si wakil dengan yang terwakili tidak
hanya sekedar mewakili si wakil karena siterwakil tidak bisa hadir atau
65
Jimly Asshiddiqie, 2004, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran
Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, hal 43
66 Opcit. Hlm. 317.
tidak mempunyai
kemampuan untuk berbicara dan berindak demi
kepentingan si wakil.
Dalam konteks perwakilan politik. Lembaga perwakilan rakyat atau
Dewan Perwakilan Rakyat adalah suatu lembaga (Dewan /Majelis) yang
mana orang-orang yang duduk didalam nya memiliki kewajiban dan
kemampuan untuk mewakili kepentingan masyarakat pemilihnya atau
kelompok lain dalam hal ini partai politik yang mencalonkan sebagai wakil
dalam rangka menyampaikan aspirasi dan tuntutan dari masyakat atau
kelompok
/partai
politik
tersebut
yang
lebih
besar
disamping
melaksanakan tugas dan kewajiban yang dibebankan oleh peraturan
perundang –undangan.
Tipe perwakilan yang cocok untuk Indonesia adalah tipe perwakilan
fisik dan pemikiran. Artinya Wakil-wakil rakyat yang duduk di Lembaga
Perwakilan Rakyat/DPR harus bertindak disamping sesuai dengan
kemauan rakyat di daerah pemilihannya karena dia yang menerima dari
rakyat. Dia juga harus bertindak bebas sesuai dengan kemauan rakyat
banyak (diluar daerah pemilihannya) dan sesuai dengan program-program
partai yang sudah digariskan disampig melaksanakan apa yang diwajibkan
oleh peraturan perundang-undangan (dalam persepektif negara hukum),
wakil-wakil tersebut mempertanggungjawabkan apa yang sudah dilakukan
kepada pemberi mandat. Mengingat wakil yang duduk di lembaga
perwakilan rakyat tersebut tidak berangkat dengan sendirinya akan tetapi
dicalonkan oleh partai politik, yang penting apa yang dilakukan oleh wakil
tersebut semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan dan keadilan rakyat
banyak dan biasanya hal ini sesuai dengan program-program partainya.
Disamping itu pers yang bebas dalam menyuarakan aspirasi masyarakat
juga Penting, hal ini untuk mengontrol juga bagi kebijakan eksekutif
maupun legislatif.
Jimly
Asshiddiqie67,
menyebutkan
macam-macam
bentuk
pengawasan atau kontrol oleh parlemen sebagai lembaga perwakilan
rakyat, secara teoritis dibedakan sebagai berikut :
1) Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (Control of policy
making )
2) Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (Control of policy
executing)
3) Pengawasan terhadap penganggaran dan belanja Negara (Control of
budgeting)
4) Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja Negara
(Control of budget implementation)
5) Pengawasan terhadap kenerja pemerintahan (Control of government
performances)
6) Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (Control of
political appointment of public officials)
Setiap lembaga umumnya memiliki fungsi. Fungsi yang dalam
67 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Konstitusi Press
Jakarta, Hlm. 36.
bahasa latinnya" Functus” berasal dari kata" Fungtor" yang artinya cara
untuk melakukan (to perform), melaksanakan, menjalankan (administer).
Sedang menurut terminologi hukum Fungsi asal katanya Function artinya
tugas khusus dari suatu jabatan, atau lingkungan kegiatan yang dilakukan
oleh badan/ lembaga dalam rangka seluruh kegiatan negara. Oleh karena
itu fungsi mengandung wewenang dan tugas. Menurut Hukum Fungsi
adalah
perwujudan
tugas
kepemerintahan
dibidang
tertentu
yang
dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional.
Fungsi perwakilan dalam konteks ini adalah fungsi lembaga perwakilan.
Agar fungsi suatu badan atau lembaga dapat teriaksana dengan baik maka
diberikan wewenang dan tugas tertentu, dengan catatan bahwa tugas wajib
dilaksanakan sedangkan wewenang tidak selalu.68
Koentjoro Poerbopranoto,
69
menyebutkan bahwa :
Maksud membentuk perwakilan ialah menentukan satu jalan yang
mudah dalam rangka kenegaraan untuk membentuk dan
menyatakan kehendak rakyat (volehte general), yang diperlukan
sebagai dasar kekuasaan dalam sistim demokrasi itu untuk
melakukan pemerintahan. Dan bentuk pemyataan kehendak rakyat
oleh badan-badan perwakilan rakyat itu lazim disebut undangundang. Badan perwakilan itu sendiri didalam ilmu kenegaraan
pada umumya disebut
"parlement" berdasarkan satu istilah
Perancis (dari perkataan : " parter " ialah bicara).
Lembaga
perwakilan
dibuat
dalam
rangka
pendemokrasian
kehendak rakyat, artinya apa yang menjadi kebutuhan dan kemauan rakyat
maka lembaga perwakilan / Parlemen inilah yang berkewajiban untuk
68
Paimin Napitupulu, 1989, Peran dan Pertanggungjawaban DPR, Kajian di DPRD
Propinsi DKI Jakarta.Op.Cit. hal. 37.
69
Koentjoro Poerbopranoto, 1987, Sistim Pemerintahan Demokrasi. Eresco.
Bandung, hal. 38-39.
mewujudkannya.
Ada dua peran utama dari Lembaga Perwakilan Rakyat yaitu di satu
sisi sebaga lembaga atau dewan yang bertugas membuat undang-undang (a
law making institution), mau tidak mau lembaga ini dituntut untuk
merumusukan dan membuat Undang-Undang dalam menetapkan kebijakan
suatu bangsa, di sisi yang lain lembaga
Perwakilan
Rakyat
adalah
sebuah badan perwakilan (a representative assembly) yang dipilih untuk
membantu dan memperjuangkan aspirasi rakyat pemilihnya. Fungsi
Lembaga Perwakilan Rakyat di masing-masing negara tidak selalu sama,
tergantung sistem pemerintahan yang diberlakukan atau demokrasi yang
dianutnya.
Toni Andrianus Pitu, menyebutkan ada enam fungsi penting yang
dilaksanakan oleh lembaga perwakilan rakyat, yaitu :
1. Perwakilan (representation ). Mengungkapkan
keragaman dan par.dangan-pandangar. yang
bertentangan dalam hat kepentingan regional,
ekonomi, sosial, ras, agama dan lainnya yang ada
dalam suatu negara.
2. Pembuatan
undang-undang
(law
making)
Pembuatan undang-undang ialah menentukan
ukuran-ukuran untuk membantu memecahkan
permasalahan yang substantif.
3. Pembangunan Konsensus (consensus building).
Merupakan
proses
perundingan,
dimana
kepentingan-kepentingan disesuaikan.
4. Mengawasi (overseeing). Mengawasi birokrasi
berarti bahwa undang-undang dan kebijakan yang
telah dibuat dewan harus secara tepat dilaksanakan
dan mencapai apa yang dimaksudkan.
5. Klarifikasi Kebijakan (policy clarification), Yaitu
identifikasi dan publikasi persoalan-persoalan. 70
Dalam perspektif pemerintah sekarang ini fungsi DPR sudah
melekat pada lembaga, yang mana anggota DPR mempunyai kewajiban
untuk memperjuangkan aspirasi yang diwakili, fungsi legislasi dan
pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah baik yang
ditetapkan bersama dengan DPR maupun karena kebebasan bertindak,
termasuk kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sudah ada
namun pelaksanaannya belum maksimal. Fungsi penetapan APBN yang
akan diterima atau ditolak sangatlah penting mengingat bisa diterima dan
tidaknya
kebijakan
memahami
akan
pemerintah
tergantung
program-program
kebijakan
pemerintah
dan
DPR
dalam
kegiatan
yang
direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat akan turut
serta mendukung dijalankannya program dan kegiatan tersebut, utamanya
yang berorientasi pada kesejahteraan dan keadilan masyarakat. Bahkan
masyarakat akan ikut pula untuk mengawasi jalannya program dan
kegiatan itu.
Jika DPR dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan
sangatlah penting, mengingat kebutuhan akan aturan hukum yang dapat
diterima dan didukung oleh masyarakat tidak aka mudah dibuat dengan
sempurna jikalau tanpa adanya naskah akademiknya serta sosialisasi
kepada masyarakat.
Apabila suatu peraturan yang akan disusun oleh DPR didahului
70
Toni Andrianus Pitu, 2006, Mengenai Teori Politik dari Sistem Politik Sampai
Korupsi, Penerbit Nusa, Bandung, hal. 133-134.
dengan disusunnya naskah akademik, maka kemungkinan ditolaknya suatu
peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan sangatlah kecil. Pasal
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menegaskan bahwa dalam
hal penetapan APBN kedudukan DPR adalah lebih kuat dari pada
pemerintah, ini tanda kedaulatan rakyat. Sejak tahun 1945 hingga tahun
1967 akan dapat diketahui bahwa hak anggaran ini termasuk kekuasaan
dibidang legislasi, baru DPRGR tahun 1967 – 1968 dan kemudian DPR
hasil pemilu tahun 1971 yang memisahkannya dan mendahulukan dari
kekuasaan legislasi DPR, tetapipada waktu yang bersamaan hak anggaran
itu dimasukkan juga ke dalam kekuasaan DPR dibidang pengawasan, sejak
DPR hasil pemilu tahun 1987 hingga DPR sekarang hak legislatif
didahulukan dari pada hak anggarannya.
Sekarang ini banyak melihat hak budget DPR dalam rangka hak
legislatifnya. Hak ini disebabkan APBN ditetapkan dalam bentuk undangundang, sehingga terjadi pendapat bahwa hukum anggaran merupakan
salah satu aspek dari hukum konstitusi, dilihat dari banyak segi, hukum
konstitusi bermula dari hukum anggaran.
Anggaran adalah suatu ringkasan dalam bentuk tabel-tabel yang
merupakan perkiraan untuk suatu jangka waktu tertentu yang meliputi
seluruh kebutuhan finansial negara dan seluruh sumber keuangan yang
perlu untuk meliputi :
– Kebutuhan, jadi anggaran adalah suatu koreksi data-data
financial
dan
bertujuan
untuk
:
“mungkin
mengadakan
perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran”.
– Memungkinkan
mengadakan
pengklasifikasian
pengeluaran
serta pengevaluasian kepentingan dan skala prioritasnya.
– Memungkinkan penentuan dampaknya kepada situasi ekonomi
dan kepada rencana nasionalnya.
– Mempermudah pengawasan pelaksanaannya. 71
Oleh karenanya dapatlah dipahami kalau ada yang menempatkan
hak anggaran ini sebagai kekuasaan DPR dibidang pemerintah, sebab
bukanlah menentukan alokasi anggaran badan-badan pemerintahan juga
berarti menentukan ruang lingkup dan intensitas program-programnya.
Memang membahas rancangan APBN
berarti membahas rancangan
kebijakan pemerintah secara keseluruhan, ada juga yang memasukkannya
ke dalam kekuasaan DPR dibidang legislatif, mungkin karena APBN
bukanlah suatu undang-undang dalam arti biasa yang memuat atau
menciptakan hak dan kewajiban, tetapi merupakan suatu undang-undang
pendelegasian kekuasaan (machtegingswet) untuk menggunakan uang. Hal
ini termasuk kekuasaan DPR dibidang pengawasan. Ada kemungkinan
bahwa DPR memasukkan dalam rangka kekuasaan pembentukan undangundang karena hanya melihat dari segi praktis saja, sebab dibidang
legislatif berlaku hak amandemen dan hak inisiatif sedangkan dibidang
anggaran DPR tidak pernah dapat mengutak-atik Rancangan Undang71
ASS. Tambunan, 1998, lot cit hal 89
Undang APBN.
Memang harus diakui bahwa DPR (khususnya komisi APBN) telah
terlibat dalam pembahasan Rancangan APBN mulai dari tahap penyusunan
konsepnya tetapi karena kekurangan data tandingan, maka keterlibatannya
secara praktis hanya terbatas pada pembahasan tata bahasa saja. DPR kita
belum memiliki Bank data yang lengkap menandingi Bank data
Pemerintah, sehingga sangat mengecewakan DPR kita.
Namun demikian bukanlah berarti bahwa DPR tidak tinggal diam,
kalau dipelajari pemandangan-pemandangan umum para anggota DPR atas
nota keuangan dan rancangan APBN, akan terlihat bahwa pemandangan
umum itu pada hakekatnya merupakan statemen politik yang tidak jarang
mengandung kritik atau rasa kurang puas terhadap kebijakan pemerintah.
Proses penyusunan dan penetapan APBN
oleh DPR merupakan
suatu Wewenang DPR berdasarkan hak anggaran yang dimiliki berhak
mengelola anggaran sendiri yang ditetapkan dalam suatu Undang-Undang
tersendiri, hal ini sah menurut hukum dan dapat dibenarkan dari teori
kedaulatan rakyat yang diikuti oleh Immanuel Kant yang menyatakan
bahwa tujuan Negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin
kebebasan dari pada para warga negaranya. Dalam pengertian bahwa
kebebasan disini adalah kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan
Terkait dengan teori kedaulatan rakyat biasanya dianut oleh Negara-negara
yang
demokratis
dimana
kekuasaan
dari
orang
yang
memegang
pemerintahan didasarkan atas sikap dari rakyat yang diperintah dan
ketentuan yang mengatur biasanya dicantumkan dalam Undang-Undang
Dasar dari pada Negara.
Apabila dikaitkan dengan anggota DPR terpilih dan yang terpilih
oleh
rakyat
melalui
pemilu
mempunyai
peran
menampung
dan
menyalurkan aspirasi rakyat untuk dijadikan kebijaksanaan pemerintah
yang dapat meningkatkan pertanggung jawaban kepada rakyat
Usul rancangan undang-undang yang berasal dari inisiatif DPR
dalam mengajukan APBN. Usul rancangan undang-undang yang diajukan
oleh para anggota DPR berdasarkan Pasal 21 UUD NRI 1945. Rancangan
undang-undang inisiatif DPR ini disertai penjelasan tertulis dengan
ditandatangani sekurang-kurangnya 30 anggota yang tidak hanya satu
fraksi. Tiap-tiap rancangan undang-undang ini diajukan kepada pimpinan
DPR dengan surat pengantar dan tanda tangan para pengusul dari masingmasing fraksi. Kemudian diadakan sidang paripurna dan dalam siding
pimpinan DPR memberithaukan kepada anggotanya tentang adanya usul
rancangan undang-undang inisiatif serta membagikan kepada para
anggotanya, kemudian dalam rapat para pengusul diberikan kesempatan
untuk menerangkan tentang maksud dan tujuan dari rancangan undangundang dan anggota badaan musyawarah diberi kesempatan Tanya jawab
kepada pengusul. Setelah rancangan undang-undang inisiatif dapat
diterima sebagai rancangan undang-undang usul inisiatif maka DPR
menjelaskan kepada komisi ataau panitia khusus, yang khusus dibentuk
untuk membahas dan menyelesaikan rancangan undang-undang inisiatif
DPR. Kemudian disampaikan kepada pimpinan DPR untuk disampaikan
kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang
mewakili pemerintah dalam rangka pembahasan rancangan undang-undang
usul inisiatif DPR bersama-sama dengan DPR.
Dalam proses penyusunan rancangan undang-undang dari inisiatif
DPR. Moh. Kusnardi, Bintan.R. Saragih berpendapat bahwa72 ; dalam
ketentuan tata tertib DPR RI disebutkan bahwa tiap-tiap rancangan
undang-undang yang diajukan oleh para anggota DPR harus disertai
dengan memori penjelasan dan ditandatangani oleh sekurang-kurangnya 30
orang anggota DPR yang tidak terdiri dari satu fraksi. Rancangan undangundang yang berasal dari inisiatif diiajukan kepada pimpinan DPR dengan
surat pengantar dan daftar tanda tangan para pengusul serta nama
fraksinya.
Selama usul rancangan undang-undang inisiatif belum diputuskan
menjadi rancangan undang-undang. Usul inisiatif DPR, para pengusul
berhak menarik usulannya kembali dengan syarat ditanda tangani oleh
semua pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada pimpinan DPR
yang kemudian membagikan kepada para anggota. Dalam hal ini menurut
Moh.Kusnardi dan Bintan.R. Saragih mengatakan bahwa para pengusul
selalu dapat mengubah atau menarik kembali rancangan unadang-undang
72 Moh. Kusnardi dan Bintan.R. Saragih, 1998, Susunan Pembagian Kekuasaan
Menurut Sistem UUD 1945, Gramedia, Jakarta, hal.30.
usul inisiatif tersebiut pada setiap tingkat pembicaraan sebelum disetujui
menjadi rancangan undang-undang. 73 Jadi selama usul rancangan undangundang usul inisiatif DPR para pengusul berhak menarik kembali usulnya
tentunya daalam hal ini sebelum dibacarakan dalam badan musyawarah.
Proses pengesahan dan pengundangan suatu undang-undang. Semua
rancangan undang-undang baik yang datang dari pemerintah atau dari
inisiatif DPR pada hakikatnya diproses dan dibahas dalam 4 tingkatan
pembicaraan yaitu :
− Tingkat pertama rapat pleno terbuka
− Tingkat kedua rapat pleno terbuka
− Tingkat ketiga rapat komisi
− Tingkat keempat rapat pleno terbuka
Sehubungan dengan tahap pengesahan ini menurut C.S.T Kansil
berpendapat bahwa ; pembahasan rancangan undang-undang dilakukan
melalui empat tingkatan pembicaraan, kecuali apabila badan musyawarah
menentukan
pembahasan
dengan
prosedur
pembicaraan sebagaimana dimaksud diatas :
− Tingkat pertama rapat paripurna
− Tingkat kedua rapat paripurna
− Tingkat ketiga rapat paripurna
− Tingkat keempat rapat paripurna74
73 Ibid, hal. 31.
74 C.S.T Kansil, lot cit, hal. 44.
singkat,
empat
tingkat
Pembicaraan tingkat pertama merupakan penjelasan dalam rapat
pleno terbuka atas rancangan undang-undang baik dari pemerintah maupun
dari pengusul. Dalam pembicaraan tingkat kedua merupakan pandangan
umum dalam rapat pleno terbuka oleh anggota DPR tergantung dari
prakarsa pembuatan rancangan undang-undang, jawaban tanggapan dapat
diberikan kepada pemerintah atau kepada wakil para pengusul. Dalam
pembicaraan
tingkat
ketiga
merupakan
pembahasan
dalam
komisi/gabungan komisi/panitia khusus, pembahasan dalam tingkat ini
dilakukan bersama-sama dengan pemerintah apabila rancangan undangundang diajukan oleh pemerintah kemudian bersama-sama dengan para
pengusul dan pemerintah apabila membahas undang-undang usul inisiatif
dan usul-usul lain di kalangan sendiri apabila dipandang perlu tanpa
mengurangi yang telah dikemukakan diatas. Dalam pembicaraan tingkat
ketiga ini akan menentukan apakah suatu rancangan undang-undang tiu
akan disetujui oleh DPR atau tidak. Dalam pembicaraan tingkat keempat
pengambil keputusan dengan rapat pleno terbuka dengan didahului
pendapat terakhir fraksi-fraksi yang sering ditambah dengan catatancatatan
yang
mengandung
pendirian
fraksinya
dan
apabila
pada
kesempatan tersebut pemerintah memandang perlu memberikan sambutan
maka pemerintah dapat memberikan sambutannya. Dalam pembicaraan
tingkat keempat ini merupakan pengesahan rancangan undang-undang dari
pemerintah maupun dari usul inisiatif yang telah disetujui pada
pembicaraan tingkat ketiga. Jadi rancangan undang-undang yang telah
disetujui oleh DPR dan rancangan undang-undang usul inisiatif DPR oleh
pimpinan DPR dengan suatu surat pengantar disampaikan kepada Presiden.
Sekretaris kabinet/Negara menyiapkan undang-undang tersebut diatas
kertas Presiden untuk dimohon tanda tangan Presiden. Setelah di tanda
tangani Presiden berarti rancangan undang-undang itu telah disahkan
menjadi undang-undang dan sekretaris Negara mengundangkan rancangan
undang-undang
tersebut.
Bila
kita
lihat
kedudukan
DPR
dalam
menjalankan fungsi legislatif bersama-sama dengan Presiden maka akan
tampak bahwa dalam hal pengajuan rancangan undang-undang, kedudukan
Presiden sebanding dengan kedudukan DPR. Jadi usul rancangan undangundang APBN dari DPR yang diajukan kepada Presiden harus mendapat
persetujuan dari Presiden karena rancangan undang-undang APBN itu
telah mendapatkan aspirasi dari rakyat Indonesia sehingga DPR sebagai
wakil rakyat akan membawakan aspirasi perubahan yang sangat besar
untuk
kepentingan
pembangunan
dan
mensejahterakan
masyarakat
Indonesia secara keseluruhan agar APBN tersebut akan membawa dampak
yang sangat positif untuk Negara Indonesia.
3.3 Struktur APBN Dalam Mensejahterakan Rakyat
Dalam
rangka
mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan
good
Negara. Sejak
governance
dalam
tahun yang lalu telah
diintrodusir reformasi Manajemen keuangan pemerintah.
Reformasi
tersebut mendapatkan landasan hukum yang kuat dengan telah disahkan
UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun 2004
Tentang Perbendaharaan Negara dan UU No 15 Tahun 2004 Tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Berikut
ini adalah pemaparan struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan Negara yamg ditetapkan
tiap tahun dengan undang undang. Struktur APBN yang sekarang
dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia secara garis besar adalah sebagai
berikut
a. Pendapatan Negara dan Hibah
b. Belanja Negara
c. Keseimbangan Primer
d. Surplus/Defisit Anggaran
e. Pembiayaan
A. PENDAPATAN NEGARA dan HIBAH
I.Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Perpajakan Pajak Dalam Negeri
Pajak Dalam Negeri
i.Pajak Penghasilan
1) Minyak dan Gas
2) Non Minyak dan Gas
ii.Pajak Pertambahan Nilai
iii.Pajak Bumi dan Bangunan
iv.Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan
v.Cukai
vi.Pajak Lainnya
Pajak Perdagangan Internasional
i. Bea Masuk
ii. Pajak/Pungutan Ekspor
2. Penerimaan Bukan Pajak
Penerimaan Sumber Daya Alam
i.Minyak Bumi
ii.Gas Alam
iii.Pertambangan Umum
iv.Kehutanan
v.Perikanan
Bagian Laba BUMN PNBP Lainnya
II.Hibah
B. BELANJA NEGARA
I.Anggaran Belanja Pemerintah Pusat
1. Pengeluaran Rutin
Belanja Pegawai
Belanja Barang
Pembayaran Bunga Hutang
i.Hutang Dalam Negeri
ii.Hutang Luar Negeri
Subsidi
i.Subsidi BBM
ii.Subsidi Non BBM
Pengeluaran Rutin Lainnya
2. Pengeluaran Pembangunan
Pembiayaan Pembangunan Rupiah
Pembiayaan Proyek
II.Dana Perimbangan
1. Dana Bagi Hasil
2. Dana Alokasi Umum
3. Dana Alokasi Khusus
III.Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang
C. KESEIMBANGAN PRIMER
D. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN (A-B)
E. PEMBIAYAAN (E.I + E.II)
I.Dalam Negeri
1. Perbankan Dalam Negeri
2. Non-perbankan Dalam Negeri
Privatisasi
Penjualan Aset program restrukturisasi perbankan
Obligasi Negara (netto)
i. Penerbitan Obligasi Pemerintah
ii. Pembayaran Cicilan Pokok Hutang/Obligasi DN
II.Luar Negeri
1. Pinjaman Proyek
2. Pembayaran Cicilan Pokok Hutang LN
3. Pinjaman Program dan Penundaan Cicilan Hutang
Proses penyusunan dan penetapan APBN dapat dikelompokkan
dalam dua tahap, yaitu: (1) pembicaraan pendahuluan antara pemerintah
dan DPR, dari bulan Februari sampai dengan pertengahan bulan Agustus
dan (2) pengajuan, pembahasan dan penetapan APBN, dari pertengahan
bulan Agustus sampai dengan bulan Desember. Berikut ini diuraikan
secara singkat kedua tahapan dalam proses penyusunan APBN tersebut.
Pembicaraan Pendahuluan antara Pemerintah dan DPR. Tahap ini
diawali dengan beberapa kali pembahasan antara pemerintah dan DPR
untuk menentukan mekanisme dan jadwal pembahasan APBN. Kegiatan
dilanjutkan dengan persiapan rancangan APBN oleh pemerintah, antara
lain meliputi penentuan asumsi dasar APBN, perkiraan penerimaan dan
pengeluaran, skala prioritas dan penyusunan budget exercise untuk dibahas
lebih lanjut dalam rapat antara Panitia Anggaran dengan Menteri
Keuangan dengan atau tanpa Bappenas. Pada tahapan ini juga diadakan
rapat komisi antara masing-masing komisi (Komisi I s.d IX) dengan mitra
kerjanya (departemen/lembaga teknis). Tahapan ini diakhiri dengan proses
finalisasi penyusunan RAPBN oleh Pemerintah. Secara lebih rinci, tahapan
ini bisa dijelaskan sebagai berikut:
Menteri Keuangan dan Badan Perencanaan Nasional (BAPPENAS)
atas nama Presiden mempunyai tanggung jawab dalam mengkoordinasikan
Penyusunan
APBN.
Menteri
Keuangan
bertanggungjawab
untuk
mengkoordinasikan penyusunan anggaran belanja rutin. Sementara itu
Bappenas bersama-sama dengan Menteri Keuangan bertanggung jawab
dalam mengkoordinasikan penyusunan anggaran belanja pembangunan.
Persiapan anggaran dimulai dengan assessment indikator fiskal
makro oleh Badan Analisa Fiskal, Departemen Keuangan. Selanjutnya
Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas menerbitkan Surat Edaran agar
departemen
teknis
mengajukan
usulan
anggaran
rutin
maupun
pembangunan. Usulan anggaran rutin diajukan ke Direktorat Jenderal
Anggaran pada bulan Juni. Daftar Usulan Kegiatan tersebut lebih terfokus
pada program costing dan perubahan harga. Direktorat Jenderal Anggaran
dan departemen teknis mereview Daftar Usulan Kegiatan tersebut dengan
titik tekan pada costing ketimbang policy. Pada bulan Agustus, Direktorat
Jenderal Anggaran menerbitkan pagu pengeluaran rutin sebagai dasar bagi
departemen teknis untuk menyusun anggaran rutin lebih detil.
Sementara itu, usulan anggaran pembangunan diajukan oleh
departemen teknis kepada Direktorat Jenderal Anggaran dan Bappenas.
Direktorat Jenderal Anggaran dan Bappenas mereview usulan anggaran
pembangunan tersebut berdasarkan Program Pembangunan Nasional dan
Rencana
Pembangunan
Tahunan.
Menteri
Keuangan
memberikan
pertimbangan mengenai pagu anggaran pembangunan sebagai dasar
pembahasan
antara
Direktorat
Jenderal
Anggaran
Bappenas,
dan
departemen teknis. Selanjutnya pada bulan Agustus, Presiden mengajukan
Nota Keuangan dan RAPBN kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.
Pengajuan, pembahasan dan penetapan APBN. Tahapan ini dimulai
dengan Pidato Presiden sebagai pengantar RUU APBN dan Nota
Keuangan. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan baik antara Menteri
Keuangan dengan Panitia Anggaran, maupun antara komisi-komisi dengan
departemeen/lembaga teknis terkait. Hasil dari pembahasan ini adalah
Undang-undang APBN yang disahkan oleh DPR. UUAPBN kemudian
dirinci ke dalam satuan 3. Satuan 3 yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari undang-undang tersebut adalah dokumen anggaran yang
menetapkan alokasi dana per departemen/lembaga, Sektor, Sub Sektor,
Program dan Proyek/Kegiatan.
Apabila DPR menolak RAPBN yang diajukan pemerintah tersebut,
maka pemerintah menggunakan APBN tahun sebelumnya. Hal itu berarti
pengeluaran maksimum yang dapat dilakukan pemerintah harus sama
dengan pengeluaran tahun lalu.
Berdasarkan
satuan
3,
Direktorat
Jenderal
Anggaran
dan
Departemen/Lembaga membahas rincian pengeluaran rutin berdasarkan
pedoman penyusunan Dokumen Isian Anggaran dan indeks satuan biaya
yang disusun oleh tim interdep. Proses ini harus diselesaikan dari Oktober
sampai dengan Desember. Sedangkan untuk pengeluaran pembangunan,
Direktorat
Jenderal
Anggaran,
Bappenas,
dan
departemen
teknis
membahas rincian pengeluaran untuk tiap-tiap proyek. Hasil pembahasan
tersebut didokumentasikan ke dalam dokumen-dokumen berikut: (1) .
Dokumen Isian Anggaran merupakan dokumen anggaran yang berlaku
sebagai otorisasi untuk pengeluaran rutin pada masing-masing unit
organisasi pada Departemen/Lembaga yang dirinci ke dalam belanja
pegawai dan non pegawai. (2) Daftar Isian Pelaksana Anggaran.
merupakan dokumen anggaran yang berlaku sebagai otorisasi untuk
pengeluaran
pembangunan
untuk
masing-masing
proyek
pada
Departemen/Lembaga yang dirinci ke dalam belanja modal dan penunjang.
(3) Surat Pengesahan Alokasi Anggaran Rutin
adalah dokumen yang
menetapkan besaran alokasi anggaran rutin untuk setiap kantor/satuan
kerja departemen teknis di daerah yang selanjutnya akan dibahas antara
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran
dan instansi vertikal
Departemen/Lembaga untuk kemudian dituangkan dalam Daftar Isian
Angaran. (4) Surat Pengesahan Alokasi Anggaran Pembangunan . adalah
dokumen yang menetapkan besaran alokasi anggaran pembangunan untuk
setiap proyek/bagian proyek yang selanjutnya akan dibahas antara Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran dengan instansi vertikal/dinas
untuk kemudian dituangkan dalam daftar isian pelaksana anggaran . (5)
Surat Keputusan Otorisasi . adalah dokumen otorisasi untuk penyediaan
dana kepada Departemen, Lembaga, Pemerintah Daerah dan pihak lain
yang berhak baik untuk rutin maupun pembangunan yang tidak dapat
ditampung dengan daftar isian pelaksana anggaran.
Surat Keputusan Otoritas
disampaikan oleh Direktorat Jenderal
Anggaran kepada Departemen/Lembaga. Berdasarkan dokumen-dokumen
tersebut, Departemen/Lembaga melaksanakan pengadaan barang dan jasa
dengan pihak ketiga. Tagihan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan
pengadaan
barang
dan
jasa
tersebut
disampaikan
kepada
Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Selanjutnya KPKN meneliti
keabsahan tagihan-tagihan dimaksud dan menerbitkan Surat Perintah
Membayar.
Untuk mengawasi pelaksanaan tugas KPKN tersebut, di lingkungan
Direktorat Jenderal Anggaran terdapat Kantor Verifikasi Pelaksanaan
Anggaran (KASIPA) yang bertanggung jawab untuk memverifikasi Surat
Perintah Membayar yang diterbitkan oleh KPKN.
Dalam rangka melaksanakan manajemen kas dan untuk mencegah
departemen/lembaga melakukan pengeluaran secara berlebihan pada awal
periode tahun anggaran, Menteri Keuangan membatasi jumlah pengeluaran
rutin untuk satu triwulan maksimal sama dengan seperempat dari jumlah
alokasi dana yang tersedia. Sedangkan untuk belanja pembangunan,
pencairan dana disesuaikan dengan tingkat kemajuan prestasi penyelesaian
proyek.
Berdasarkan realisasi penerimaan dan pengeluaran APBN dalam
tahun anggaran berjalan, Menteri Keuangan menyiapkan Rancangan
Undang-Undang Perhitungan Anggaran Negara (RUU PAN) dan diajukan
kepada presiden untuk mendapatkan persetujuan.
Selanjutnya RUU PAN tersebut disampaikan kepada BPK untuk
diaudit. Presiden mengajukan RUU PAN yang telah diaudit oleh BPK
tersebut kepada DPR paling lambat 15 bulan setelah berakhirnya tahun
anggaran bersangkutan.
Setelah DPR menyetujui RUU PAN tersebut, Presiden mengesahkan
RUU PAN menjadi Undang-undang Perhitungan Anggaran (UU PAN).
Sebelum diuraikan proses APBN pasca UU No. 17/2003, kiranya perlu
diuraikan terlebih dahulu pokok-pokok reformasi dalam penganggaran
sebagaimana tertuang dalam UU No. 17/2003.
UU
No.
17/2003
mereformasi
secara
signifikan
sistem
penganggaran yang telah puluhan tahun diterapkan di Indonesia. Secara
singkat, faktor-faktor yang mendorong reformasi di bidang penganggaran
ini adalah:
1) Ada beberapa aspek
dari
proses
penganggaran
di
Indonesia
yang menghambat pendistribusian dana anggaran ke berbagai program;
2) Perkiraan pendapatan dan proyeksi anggaran negara tidak disiapkan
dalam suatu kerangka makro;
3) Tidak ada suatu kerangka penyatuan anggaran (unified framework
for budgeting) mengingat anggaran rutin dan pembangunan
disiapkan secara terpisah;
4) Sistem penganggaran yang berlaku menimbulkan kurangnya
informasi mengenai hasil suatu program (program results)
5) Pelaksanaan anggaran dan monitoring masih menjadi hal yang lemah;
6) Susunan
langsung
alokasi anggaran
mencerminkan
realisasinya
(KKN)
dan
ditengarai
kebocoran
yang cukup terinci,
kontrol
yang
menimbulkan
anggaran.
kuat,
berbagai
secara tidak
namun
dalam
penyimpangan
Pokok-pokok
reformasi
penganggaran yang terpenting meliputi:
1) Penerapan
pendekatan
penganggaran
dengan
perspektif
jangka menengah;
2) Memadukan (unifying) atau mengintegrasikan anggaran rutin
dan anggaran pembangunan;
3) Penerapan anggaran berbasis kinerja. 75
Penuangan rencana pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan
nasional lima tahunan yang ditetapkan dengan undang-undang dirasakan tidak
realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan
dalam
era
globalisasi.
Perkembangan
dinamis
dalam
penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang
terdiri dari system penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai
dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure
Framework)
sebagaimana
dilaksanakan
di
kebanyakan
negara
maju.
Berdasarkan hal ini, UU No. 17/2003 mengintrodusir dilaksanakannya Kerangka
Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) ini.
Kerangka
Expenditure
Pengeluaran
Framework)
Jangka
merupakan
Menengah
kerangka
(Medium
Term
pengeluaran
jangka
menengah meliputi periode tiga sampai lima tahun. Kerangka tersebut
merupakan pendekatan atas-bawah (top-down approach), yaitu estimasi
ketersediaan sumber daya pengeluaran publik sesuai dengan kerangka
ekonomi makro. Sementara itu, pendekatan bawah ke atas (bottom-up
75
Anggito Abimayu 2004 Format Anggaran Terpadu Menghilangkan Tumpang
Tindih Kompas mei 2004
approach) yaitu biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka melaksanakan
kebijakan,
program,
dan
kegiatan,
serta
kerangka
kerja
yang
merekonsiliasikan keseluruhan biaya dengan sumber-sumber daya yang
tersedia sesuai dengan tujuan utamanya, yaitu: "untuk memastikan bahwa
pemerintah mampu untuk melakukan prioritas-prioritas rekonstruksi dan
pembangunan dalam konteks estimasi pengeluaran tiga tahunan yang
konsisten dengan suatu kerangka makroekonomi yang baik".
Siklus MTEF. MTEF terdiri dari dua sub proses, yaitu penetapan
target fiskal (setting fiscal targets) dan alokasi sumber-sumber daya pada
pilihan strategis (allocation of resources to strategic). Kemudian, sub
proses penetapan target fiskal juga dibagi ke dalam dua sub-sub proses,
yaitu pembaharuan kondisi ekonomi dan fiskal serta pernyataan kerangka
fiscal. Sub proses alokasi sumber-sumber daya pada pilihan strategis juga
dibagi menjadi dua sub-sub proses, yaitu pernyataan kebijakan anggaran
dan
review
fundamental.
Ringkasnya,
dalam
proses
pengambilan
keputusan, proses dan sub proses tersebut bukan merupakan hal yang
berdiri sendiri, tetapi terkait satu dengan yang lainnya.
Secara sederhana, siklus MTEF dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pembaharuan kondisi ekonomi dan fiskal merupakan langkah pertama dalam
siklus persiapan anggaran. Langkah tersebut diikuti dengan langkah selanjutnya,
yaitu kabinet menetapkan tujuan jangka panjang mengenai kebijakan fiskal dan
kebijakan ekonomi makro. Tujuan-tujuan ini kemudian dijabarkan ke dalam
tujuan-tujuan jangka pendek. Penetapan target fiskal diikuti alokasi sumbersumber daya pada strategi-strategi yang ditetapkan. Kabinet kemudian
menetapkan prioritas anggaran. Prioritas anggaran merupakan negosiasi strategis
di antara berbagai sektor dalam proses alokasi sumber daya.
Merujuk keuangan negara, dengan diterapkannya MTEF akan dapat
dicapai tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Meningkatkan keseimbangan ekonomi makro dengan membangun
kerangka kerja sumber daya yang konsisten dan realistis;
2. Meningkatkan alokasi sumber daya kepada prioritas yang strategis
di antara dan di dalam organisasi;
3. Meningkatkan komitmen untuk memberikan kemampuan prediksi,
baik kebijakan maupun pendanaan, sehingga instansi pemerintah
dapat membuat rencana dan program yang berkelanjutan;
4. Memberikan batasan yang jelas kepada instansi pemerintah, meningkatkan
otonomi, dan memberikan penghargaan kepada instansi pemerintah yang
menggunakan dana secara efisien dan efektif;
5. Meningkatkan akuntabilitas dan kredibilitas secara politis dalam
rangka menghasilkan outcome yang diinginkan.
BAB IV
MEKANISME FUNGSI PENGAWASAN DPR BERKAITAN
DENGAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
4.1 Mekanisme
DPR
Dalam
Fungsi
Pengawasan
Terhadap
Pengelolaan Keuangan Negara
DPR selain sebagai badan legislatif juga DPR sebagai lembaga
kontrol (pengawas) terhadap jalannya pemerintahan. Fungsi pengawasan
oleh DPR diatur dalam pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah ;
DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan
dan dalam penjelasan UUD NRI tahun 1945 yang mempunyai arti yang
sangat penting karena DPR dapat mengusulkan kepada MPR untuk
meminta pertanggungan jawaban dari Presiden dalam sidang istimewa
apabila Presiden dianggap telah melanggar ketentuan yang ada.
Fungsi kontrol oleh DPR menurut Ismail Suny menyatakan bahwa ;
Real parliamentary control dapat dilakukan dalam tiga bentuk ; control of
executive, control of expenditure dan control of taxation by parliament
dalam hal ini diatur sebagai berikut :
1. Control of executive menetapkan hak-hak DPR yaitu;
a. Mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota.
b. Meminta keterangan (Interpelasi)
c. Mengadakan penyilidikan ( Angket )
d. Mengajukan perubahan (Amandemen)
e. Mengajukan usul pernyataan pendapat
f. Mengajukan /menganjurkan seseorang jika ditentukan oleh
suatu perundang-undangan
2. Control of expenditure, UUD 1945 pasal 23 ayat 1 beserta
175
penjelasannya mengatur hak DPR untuk bersama-sama pemerintah
menetapkan APBN. Dihubungkan dengan adanya Badan Pemeriksa
Keuangan yang ditugaskan memeriksa tanggung jawab tentang
keuangan Negara ,dimana hasil pemeriksaan itu harus diberitahukan
kepada DPR maka pengawasan APBN ini sebenarnya dapat dilakukan
secara efektif.
3. Control of taxation, UUD 1945 pasal 23 A pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undangundang.dengan demikian segala tindakan yang menempatkan beban
kepada rakyat sebagai pajak dan lain-lainnya harus ditetapkan dengan
persetujuan DPR. 76
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam
penyelenggaraan
negara,
pengelolaan
keuangan
negara
perlu
diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai
dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar.
Sesuai dengan amanat Pasal 23 C Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun
1945, Undang-Undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan
pokok yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar tersebut ke dalam
asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal
dalam
pengelolaan
keuangan
negara,
seperti
asas
tahunan,
asas
universaliias, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru
sebagai pencerminan best practises (penerapan kaidah-kaidah yang baik)
dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain:
a. Akuntabilitas berorientasi hasil,
b. Profesionatitas,
76 Ismail Suny, 2004, Kedudukan MPR, DPR dan DPD Pasca Amandemen 1945,
Fakultas Hukum Unair, Surabaya, hal. 13.
c. Proporsionalitas,
d. Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara,
e. Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan
mandiri.
Asas-asas
terselenggaranya
umum
tersebut
prinsip-prinsip
diperlukan
pula
pemerintahan
guna
menjamin
sebagaimana
telah
dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam undang-undang
tentang keuangan negara, pelaksanaan undang-undang ini selain menjadi
acuan
dalam
reformasi
manajemen
keuangan
negara,
sekaligus
dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Disamping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi
secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan
negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan
dengan cara luar biasa, Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana
korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, yaitu dalam pasal 23 E
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menyatakan untuk
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara
diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri, ayat
(2) Hasil Pemeriksaan Keuangan Negara diserahkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
177
Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya, ayat (3) Hasil pemeriksaan
tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai
dengan undang-undang.
Menurut Moh.Kusnardi,Harmaily Ibrahim 77 menyatakan; untuk
menerima tanggung jawab pemerintah terhadap pemeriksaan keuangan
Negara itu perlu adanya suatu badan yang terlepas dari pengaruh
dan
kekuasaan pemerintah, maka suatu badan pemeriksaan keuangan yang
tunduk pada pemerintah tidak dapat melakukan kewajibannya dengan baik
dan badan itu bukan suatu badan yang berdiri ditas pemerintah.
Dalam pasal tersebut di atas dapat dicermati lebih lanjut yaitu
bahwa terdapat 3 pengertian yaitu kegiatan tindak pidana korupsi,
pengertian keuangan negara dan perekonomian negara. Lebih lanjut
pengertian keuangan negara disebutkan dalam bagian penjelasan umum
undang-undang tindak pidana korupsi yaitu bahwa: "keuangan negara
adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan
atau yang tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan
negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun di
daerah.
b. Berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban
77 Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim lot cit, hal. 43
Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah,
yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal
negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara.
Pada bagian yang sama yaitu penjelasan umum Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perekonomian
negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara
mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah baik di tingkat
pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran
dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.
Sedangkan
pemerintahan
kepada
dilakukan
masyarakat,
melalui
akuntabilitas
berbagai
media
penyelenggaraan
informasi
yang
memungkinkan akses seluas-luasnya bagi masyarakat. Perubahan tersebut,
merupakan implikasi dari amandemen Undang-Undang Dasar Negara RI
Tahun 1945 yang berdampak pada perubahan sistem pemerintahan.
Sementara itu, dalam perspektif amanah dan substansi kepemerintahan,
penyampaian progress kinerja pemerintah kepada DPR, merupakan
refleksi dari nilai-nilai demokrasi yang diwujudkan pada DPR, sebagai
mitra kerja pemerintah yang mengemban fungsi lembaga wakil rakyat.
Reformasi hukum merupakan salah satu amanat penting dalam
rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional. Di dalamnya tercakup
179
agenda penataan kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai dari
tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan daerah, pembaharuan
berbagai perangkat peraturan perundang-undangan mulai dari UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945 sampai ke tingkat Peraturan Daerah
dan pembaharuan dalam sikap, cara berpikir dan berbagai aspek perilaku
masyarakat hukum ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan
perkembangan zaman.
Dengan perkataan lain dalam agenda reformasi hukum telah
tercakup
pengertian
reformasi
kelembagaan
(institutional
reform),
reformasi perundang-undangan (instrumental reform), dan reformasi
budaya hukum (cultural reform). Reformasi hukum harus pula dimulai dari
kondisi pemerintah yang baik. Pemerintahan yang sehat dan tegas akan
mendukung apapun langkah reformasi yang diamanatkan. Pemerintah
sebagai subjek hukum yang berarti pula dapat melakukan perbuatan
hukum, maka pemerintah sangat berpotensi melakukan penyimpangan atau
pelanggaran hukum. Pemerintahan adalah berkenaan dengan sistem.
fungsi, cara perbuatan, kegiatan, urusan atau tindakan memerintah yang
dilakukan atau diselenggarakan atau dilaksanakan oleh 'pemerintah' dalam
arti luas (semua lembaga Negara) maupun dalam arti sempit (presiden
beserta jajaran atau aparaturnya). Eksekutif adalah cabang kekuasaan
Negara yang melaksanakan kebijakan publik (kenegaraan dan atau
pemerintahan)
melalui
peraturan
perundang-undangan
yang
telah
ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun atas inisiatif sendiri.
Secara teoritis, presiden atau Pemerintah memiliki dua kedudukan
yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara.
Sebagai organ negara pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara.
Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik
di lapangan pengaturan (regeleri) maupun dalam lapangan pelayanan
(bestuureri). 'Administrasi' (Negara) adalah badan atau jabatan dalam
lapangan kekuasaan eksekutif yang mempunyai kekuasaan mandiri
berdasarkan hukum
untuk
melakukan
tindakan-tindakan pemerintahan
baik di lapangan pengaturan, maupun penyelenggaraan administrasi
negara. Kembali pada pernyataan bahwa setiap orang selalu dapat
melakukan kesalahan, maka diperlukan suatu pengawasan baik internal
maupun eksternal. Salah satu instrumen pengawasan itu adalah melalui
dan oleh hukum, dan karena secara konstitusional
pemerintah
adalah
pemegang otoritas membentuk dan melaksanakan hukum, maka patut
diwaspadai segala sesuatu yang berpotensi untuk terjadinya pelanggaran
hukum oleh pemerintah.
Cita-cita reformasi untuk mendudukan hukum di tempat tertinggi
(supremacy of law) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga
detik ini tak pernah terealisasi. Bahkan dapat dikatakan hanya tinggal
mimpi dan angan-angan (utopia). Begitulah kira-kira statement yang
pantas diungkapkan untuk mendeskriptifkan realitas hukum yang ada dan
sedang terjadi saat ini di Indonesia. Bila dicermati suramnya wajah hukum
181
merupakan implikasi dari kondisi penegakan hukum (law enforcement)
yang stagnan dan kalaupun hukum ditegakkan maka penegakannya
diskriminatif. Praktik-praktik penyelewengan dalam proses penegakan
hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual
beli putusan hakim, atau kualisi Polisi, Hakim, Advokat dan Jaksa dalam
perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang dapat
ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini. Pelaksanaan penegakan
hukum yang kacau seperti itu menjadikan hukum di negeri ini seperti yang
pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427-347
s.M) yang menyatakan bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya
mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya
dan kuat. (laws are spider webs; they hold the weak and delicated who are
caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful).
Implikasi yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum
dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran di berbagai
bidang (politik, ekonomi, sosial, dan budaya).
Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa
hormat, dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis
dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan
cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri
(eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan
masyarakat terhadap hukum yang ada. Jika dikaji dan ditelaah secara
mendalam, setidaknya terdapat tujuh faktor penghambat penegakan hukum
di Indonesia, ketujuh faktor tersebut yaitu :
a. Pertama, lemahnya political will dan political action para
pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain,
supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang
didengung-dengungkan pada saat kampanye.
b. Kedua, peraturan perundang-undangan yang ada saat ini
masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa
ketimbang kepentingan rakyat.
c. Ketiga, rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas
dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa,
Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum.
d. Keempat, minimnya sarana dan prasarana serta fasilitas yang
mendukung kelancaran proses penegakan hukum.
e. Kelima, tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang
masih rendah serta kurang respek terhadap hukum.
f. Keenam, paradigma penegakan hukum masih positivis-legalistis
yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal
justice) daripada keadilan substansial (substantial justice).
g. Ketujuh, kebijakan (policy) yang diambil oleh para
pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan
penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak
komprehensif dan tersistematis. 78
Mencermati berbagai problem yang menghambat proses penegakan
hukum sebagaimana diuraikan di atas.
Langkah dan strategi yang sangat
mendesak (urgent) untuk dilakukan saat ini sebagai solusi terhadap persoalan
tersebut ialah melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum
yang ada. Dalam suatu sistem hukum terdapat tiga unsur (three elements of legal
system yaitu, struktur (structure), substansi (substance) dan kultur hukum (legal
culture). Dalam konteks Indonesia, reformasi terhadap ketiga unsur sistem
78
Soerjono Soekanto,2008 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,, hal. 46.
183
hukum tersebut sangat mutlak untuk dilakukan.
79
Terkait dengan struktur sistem hukum, perlu dilakukan penataan
terhadap institusi hukum yang ada seperti lembaga peradilan, kejaksaan,
kepolisian, dan organisasi advokat. Selain itu perlu juga dilakukan
penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan
terhadap lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat penting untuk segera
dibenahi terkait dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah
birokrasi dan administrasi lembaga penegak hukum.
Memang benar apa yang dikemukan oleh Max Weber (1864-1920)
bahwa salah satu ciri dari hukum modern adalah hukum yang sangat
birokratis. Namun, birokrasi yang ada harus respon terhadap realitas sosial
masyarakat. sehingga dapat melayani masyarakat pencari keadilan
(justitiabelen) dengan baik.
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum dan tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka. Hal ini menunjukkan bahwa semenjak
Indonesia merdeka berkeyakinan untuk menggunakan konsep negara
Hukum. Akibat dari memilihnya konsep negara hukum adalah dimana
semua aspek kehidupan yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan Negara Republik Indonesia harus tunduk pada norma-norma
hukum. Hukum mesti memainkan perannya secara mendasar sebagai titik
79
Laurence M Friedman, 1969, The Legal System A Social Science Perspective,
Russell Sage Foundation, New York, Hlm. 2-3.
sentral dalam seluruh kehidupan bermasyarakat. 80
Gambaran dan fenomena perjalanan sejarah hukum Indonesia masih
menunjukan adanya ketidakseimbangan antara pelaksanaan fungsi hukum
dengan perkembangan substansi dan strukturnya. Jika program kodifikasi
dan unifikasi hukum dijadikan ukuran, maka pembangunan struktur dan
substansi hukumnya telah berjalan baik, namun dari sisi lain dapat dilihat
fungsi hukum cenderung merosot. 81 Ketidaksinkronan pertumbuhan antar
fungsi, substansi dan struktur hukum disebabkan adanya faktor- faktor
yang tidak dan atau kurang mendukung bekerjanya sistem hukum di
Indonesia.
Terkait dengan hal diatas tersebut, dengan melihat fenomena yang
berkembang di jaman korupsi dan penyalahgunaan wewenang telah
menjadi suatu budaya. Pelanggaran terhadap hukum dan nilai-nilai moral
serta norma-norma hukum semakin semerbak. Terkait dengan pengelolaan
keuangan APBN oleh pemerintah, telah berkembang suatu budaya kotor
berupa penyalahgunaan wewenang, serta korupsi, dimana hal ini telah
menjadi budaya. Masalah budaya hukum merupakan salah satu agenda
reformasi hukum yang harus ditangani dan ditanggapi secara serius,
disamping aspek-aspek hukum lainnya. Pengalaman masa lalu bangsa
Indonesia yang hanya menekankan pada aspek yuridis formal, tanpa
menekankan pada pembangunan perilaku hukum dan moralitas hukum
80
Ismail Saleh, 1995, "Pembinaan Cita Hunum dan Penerapan Asas- Asas hukum
Nasional Sejak Orde Baru", Majalah Hukum Nasional, No 1,1995, Edisi Khusus, BPHN,
hal: 15
81
Moh.Mahfud MD, 2000, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta:
Garna Media, hal.2-3
185
masyarakat, sehingga bangsa Indonesia jatuh ke dalam masalah-masalah
serius. 82 Hal
sebagian
ini
dapat
terlihat
dengan jelas
dimana
hampir
di
wilayah administratif di Indonesia, para anggota Dewan
Perwakilan Rakyat tersandung masalah korupsi dan penyalahgunaan
wewenang.
Pengedepanan aturan hukum adalah pilihan yang paling rasional
guna mencegah terjadinya berbagai penyimpangan tersebut. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa segala aktivitas pemerintah harus tetap dalam
kendali pengawasan yang memadai (adeguate). Keberadaan pemerintah
yang selalu dalam pengawasan mengandung makna bahwa pemerintah
harus
tunduk
pada
hukum.
Upaya
yang
dapat
dilakukan
untuk
meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan adalah antara lain dengan
mengefektifkan pengawasan baik melalui pengawasan lembaga peradilan
maupun masyarakat serta berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang
baik.
Pelaksanaan pemerintahan yang baik pada gilirannya juga akan membuat
masyarakat memperoleh dan merasakan ketentraman lahir batin, berupa: (a)
Kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak tergantung pada kekuatan fisik
dan non fisik; (b) Sepanjang tidak melanggar hak dan merugikan orang lain
maka masyarakat dapat secara bebas menjalankan apa yang diyakininya sebagai
kebenaran, serta dapat secara bebas pula mengembangkan bakat dan
82
Satjipto Rahardjo,1998 "Keleluasaan Reformasi Hukum", Artikel dalam Kompas,
kesenangannya; (c) Merasakan diperlakukan secara wajar. berperikemanusiaan,
adil dan beradab sekalipun melakukan kesalahan.
Demi menjamin dan memberikan landasan hukum bahwa perbuatan
pemerintahan (besluurhendeling) yang dilakukan oleh pemerintah sebagai
suatu
perbuatan
yang
sah
(legitimate
dan
justified),
dapat
dipertanggungjawabkan (accountable and responsible) dan bertanggung
jawab (liable), maka setiap perbuatan pemerintahan itu harus berdasarkan
atas hukum yang adil, bermartabat dan demokratis, Perkembangan
masyarakat akhir ini, memaksa sistem politik yang dahulu mencengkeram
dengan keras untuk menyesuaikan diri dengan penghormatan kepada hakhak asasi manusia. Sistem politik yang demokratis menuntut suatu
kekuasaan kehakiman yang merdeka yang tentunya juga memiliki kualitas
dan pengawasan yang baik. Perkembangan ini secara langsung juga
merupakan tuntutan dunia internasional untuk mengurangi inefisiensi dari
pemerintahan yang sentralisasi dan kebutuhan kepastian hukum dalam
melaksanakan
kinerja
ekonomi.
Kondisi
pemerintahan
telah
memperlihatkan ketidaktegasan policy pemerintah dalam memberikan
pengawasan terhadap para aparat penegak hukum dalam memberantas
korupsi dan kejahatan lain yang berkaitan dengan kerugian negara.
Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali hukum hanya dipergunakan
sebagai alat untuk mengatur rakyat belaka dan jarang dijadikan acuan bagi
diri sendiri oleh pemerintah dan pemegang kekuasaan lainnya. Hal inilah
yang pertama-tama harus disadari oleh semua pihak agar dapat mencapai
187
kondisi kenegaraan yang mapan dan rakyat sejahtera yakni bahwa hukum
harus diperlakukan sebagai panglima dalam Negara hukum.
Sesungguhnya, dengan kerangka normatif tersebut, kita tidaklah
begitu melihat problem tekstualitas hukum yang mensyaratkan sejumlah
prinsip dalam mengelola keuangan negara. Namun dalam prakteknya,
pastilah timbul pertanyaan, mengapa begitu banyak di berbagai daerah
terjadi korupsi (mark-up) anggaran (apalagi disebut korupsi berjama'ah),
praktik suap-menyuap dalam proses penyusunannya, tidak terbuka dan
partisipatif, tidak peka terhadap anggaran yang memenuhi kebutuhan dasar
rakyat miskin, tidak bisa dipertanggungjawabkan, cenderung banyak
pemborosan seperti anggaran dengan alasan studi banding, dan sekedar
mementingkan sekelompok elit politik yang duduk di kursi parlemen dan
birokrasi. Kondisi buruknya pengelolaan keuangan ditambah parah dengan
konspirasi untuk mengimpunitas pelaku korupsi dan membebaskannya
tanpa sedikitpun tersentuh hukum (law disenforcement conspiracy).
Dengan alasan bahwa selain paradigm hukum keuangan negara yang tidak
dijalankan (atau mungkin pula tidak dipahami), kemudian diperkuat
dengan situasi law disenforcement conspiracy yang membuat problem
keuangan negara kian akut. Dengan alasan itu bukanlah hal yang baru dan
(memang) tak terbantahkan, apalagi disandarkan pada praktek-praktek
penyalahgunaan keuangan negara di masa lalu, dimana keuangan negara
senantiasa menjadi bahan bakar mesin politik kekuasaan Soeharto di masa
Orde Baru. Apa yang kita dapati hari ini, tidaklah jauh dari warisannya,
hanya saja bergeser ke politik kekuasaan lokal.
Meskipun demikian, ada pula politik liberal yang masuk melalui
sejumlah pintu kekuasaan di pusat dan daerah melalui desain baru yang
diinjeksikan dengan menggunakan prinsip-prinsip, yang uniknya, teks
(hukum) dan lafalnya mirip, namun kerangka ideologi dan tujuan di balik
prinsip-prinsip tersebut jauh berbeda dan bahkan bertentangan dengan
paradigma hukum keuangan negara.
Bertitik tolak dari norma hukum suatu APBN selayaknya pembuatan
anggaran pendapatan dan belanja negara memperhatikan prinsip-prinsip
anggaran yang berikut: keadilan anggaran; efisiensi dan efektivitas
anggaran; anggaran berimbang dan defisit; disiplin anggaran; transparansi
atau keterbukaan dan akuntabilitas anggaran sesuai dengan'pertanggung
jawaban keuangan
sebagaimana dianjurkan oleh pemerintah Baginya,
penyusunan APBN yang sesuai dengan arahan fundamental 'good
governance' merupakan tuntutan sekaligus pengembangan bagi upaya
peningkatan kinerja Pemerintah.
Kemudian, prinsip ini dibingkai dalam Good Financial Governance
(GFG), yang memiliki karakter: Participation (partisipatoris); Rule of Law
(berdasar
hukum);
Transparency
(keterbukaan);
Responsiveness
(bertanggungjawab); Concensus orientation (berorientasi kesepakatan);
Equity (keadilan atau kesetaraan);
Effectiveness and Efficiency (tepat
guna dan berhasil guna); Accountability (berperhitungan); Strategic vision
189
(memiliki visi strategis). 83 Dan tujuannya, sebagai agenda utama:
a. To create awareness and willingness on the part of the society
to establish the condition of good governance.
b. To enact organic laws under the constitution that are consistent
with its intent;
c. To reinforce the implementation and management of change,
especially reforms in public service and education;
d. To urgently solve the problems of corruption and misconduct in
the public and private business sectors,
e. To accelerate the setting of standards for business operation. 84
Nampaknya, kreasi-kreasi prinsip berikut karakter dan tujuannya
yang disebutkan tersebut, apalagi dengan kutipan pada cara pandang IMF
dan World Bank dalam urusan keuangan negara adalah kurang tepat
dengan paradigma hukum keuangan negara yang dimiliki Indonesia atas
dasar konstitusi.
Good financial governance, tidak ubahnya induk diskursusnya good
governance, kelihatan baik dan rapi dalam prosesi ilmiahnya, namun
sangatlah bias kepentingan neo-liberalisme yang menegaskan prinsipprinsip liberal untuk tujuan mendorong pasar bebas dan menarik secara
sistematik peran negara dalam urusan publik. Dengan begitu, disain besar
83
Soekarwo (2005), Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan PrimipPrinsip Good Financial Governance. Surabaya: Airlangga University Press.
84
Ibid, hal. 228.
pengelolaan keuangan negara dengan mengandalkan prinsip-prinsip
tersebut bukanlah dalam rangka mencegah korupsi dan kesewenangan
untuk mengurangi kemiskinan, melainkan mendisiplinkan tata kelola dan
administrasi keuangan negara untuk sekedar menjawab prasyarat politik
ekonomi liberalisasi pasar. Urusan keuangan negara menjadi penting
utamanya mendorong upaya percepatan pembangunan dan penyejahteraan
masyarakat secara luas. Sebagian besar akan mempercayai bahwa
kebijakan pemerintah akan membawa dampak besar bagi perkembangan
pembangunan.
Namun,
persoalan
kemudian
adalah,
bagaimanakah
paradigma pembangunan yang dikehendaki oleh penguasa, dan bagaimana
seharusnya keuangan negara menopang proses pembangunan tersebut.
Paradigma yang menegaskan bahwa sejumlah konsepsi kebijakan
pemerintah yang didorong untuk keperluan good governance dan
pembangunan (decentralization for good governance and development)
sangatlah dipengaruhi oleh pemikiran ideologi pembangunan ala World
Bank dan IMF. Lebih ekstrem lagi untuk melihat ekses negatif dari good
governance, sejumlah studi telah membongkarnya dalam perspektif kritik
atas dominasi World Bank dan lembaga keuangan internasional lainnya
yang memaksakan politik ekonominya dalam konstruksi pembangunan
hukum di negara-negara selatan, dan sejumlah analisis kritis di berbagai
negara dunia. The absence (yang tiada) dari diskursus good governance
berikut turunannya dalam urusan keuangan negara semacam 'good
financial governance' adalah tata kelola keuangan tersebut harus
191
berdimensi
pertanggungjawaban
hak
asasi
manusia.
Paradigma
penyejahteraan rakyat di awal yang disinggung adalah kunci masuk bagi
proses-proses pemajuan hak-hak asasi, khususnya tanggung jawab negara
untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga
negara.
Hasil dari pada pengawasan BPK terhadap pengelolaan keuangan
negara dilaporkan kepada DPR, jika terjadi penyimpangan atau korupsi,
pelanggaran hukum terhadap keuangan negara akan disampaikan kepada
presiden
atau
pemerintah
dan
presiden
atau
pemerintah
akan
menindaklanjuti kepada Jaksa Agung meneruskan kepada pihak kepolisian
Republik Indonesia, sedangkan hasil dari BPKP (Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan) dari evaluasi pengawasan keuangan negara
diserahkan kepada presiden dan ditindaklanjuti, jika terjadi penyimpangan
hukum akan diserahkan pada pihak kepolisian serta jaksa ditempat mana
terjadi pelanggaran hukum tersebut.
Jika memperhatikan mekanisme pengawasan keuangan negara yang
demikian ketat dari setiap departemen pemerintah maupun perusahaan
negara yang selalu ada pengawasan, toh juga masih ada korupsi. Memang
sangat susah untuk diberantas, walaupun demikian kita harus berjuang
untuk memakmurkan rakyat.
Pada dasarnya kelebihan penerapan mekanisme pengawasan dan
pemeriksaan berjenjang dan terpadu akan menghasilkan adalah :
1. Memperkecil span of control
2. Menjadikan pengawasan/pemeriksaan lebih efektif dan efisien
3. Mengurangi tumpang tindih pengawasan/pemeriksaan yang
hanya membebani secara rutinitas birokrasi yang diperiksanya.
4. Memperkecil inputnya obyek pengawasan/pemeriksaan
5. Menciptakan sistem check and recheck pengawasan/pemeriksaan
pada setiap strata dalam mempersiapkan hasil laporan lebih
terjamin.
6. Menciptakan
transparansi
hasil/laporan
pengawasan/
pemeriksaan.
7. Memperlancar
akses
informasi
adanya
penyimpangan
pengawasan/pemeriksaan
8. Memperkecil peluang KKN
9. Meningkatkan responsibility dan accountability pengawas/
pemeriksa
10. Mendeteksi korupsi lebih dini
11. Menciptakan pengawasan/pemeriksaan yang lebih terfokus.
12. Sejalan dengan konsep otonomi daerah dimana pengawas/
pemeriksa dapat dilakukan oleh aparat daerah, tetapi konsep uji
ulang pemeriksaan tetap didelegasikan, apabila terdapat
asymmetric information.
13. Siklus dan mekanisme pengawasan pemeriksaan berjalan secara
otomatis tanpa adanya hambatan/distorsi yang disebabkan
perebutan lahan pemeriksaan maupun penolakan terhadap
pemeriksaan.
14. Terbentuk integraled
control system dalam suatu negara
85
kesatuan.
Dari hasil yang diharapkan dalam mekanisme pengawasan keuangan
negara akan menjadi evaluasi dari para wakil rakyat yaitu DPR dalam
menetapkan APBN tahun akan datang. Hasil pemeriksaan tentang
tanggung jawab dari pada kebijaksanaan pemerintah dalam penggunaan
keuangan Negara diberitahukan kepada DPR dapat dinilai dari dua segi.
Menurut Moh. Kusnardi, Bintang R Saragih menyatakan ; 1) Apakah
penggunaan anggaran keuangan itu telah mencapai manfaat yang dituju
85 Soerie Arifin Atmadja , 2009, Op cit, hal 87
193
oleh anggaran itu; 2) Apakah penggunaannya itu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan . 86
Jadi segala pengeluaran dan pendapatan yang pelaksanaannya
dilakukan oleh pemerintah harus dipertanggung jawabkan penggunaannya
karena menyangkut kepentingan dan nasib rakyat.
4.2 Fungsi Pengawasan DPR Yang Berkaitan Dengan Pengawasan
BPK
Black,s Law Dictionary dijelaskan tentang Check dan Balances ;
The theory of governmental power and functions whereby each branch of
government has the obility to counter the actions of any other branch, so
that no single branch can control the entire government, for example the
executive branch can check the legislature by efercising its veto power,
but the legislature can, by a sufficien majority override any veto. (Teori
tentang kekuasaan pemerintah dan fungsinya, dimana setiap cabang
pemerintah memiliki kemampuan untuk menjawab tindakan dari setiap
cabang, sehingga tidak ada satu cabang pun yang dapat mengawasi
keseluruhan pemerintah. 87
Sebagai contoh cabang eksekutif dapat memeriksa legislatif dengan
kekuatan vetonya dengan suara mayoritas. Keseimbangan ini merupakan
86 Moh. Kusnardi dan Bintang R Saragih, Op cit, hal. 18.
87 Henry Campbell Black, 1999, Black’s Law Dictionary, 6 Ed, Paul Minn, West
Publishing, Hlm. 231
suatu upaya kontrol untuk mencapai keseimbangan dengan melakukan
pengawasan dari masing-masing cabang kekuasaan untuk menghindari
tindakan sewenang –wenang dan penyalahgunaan kekuasaan.
Penerapan prinsip check and balances ini tidak hanya diterapkan
dalam Negara yang menggunakan sistem pemerintahan Presidensiil
(Amerika Serikat) tapi juga pada Negara yang menganut sistem
parlementer juga terdapat prinsip check and belances tersebut sebagai
contoh, Negara Belanda sebagai Negara Kerajaan, penerapan balances
terjadi ketika pembuat UUD dan UU memberikan kekuasaan kepada
lembaga Negara lainnya dan adaya kewajiban penerima kekuasaan untuk
bertanggungjawab kepada pemberi kekuasaan dan hak itu dipandang
sebagai check, oleh karena itu antara pemberi kekuasaan dan penerima
kekuasaan
terdapat
hubungan
pengawasan
dari
lembaga
pemberi
kekuasaan kepada penerima kekuasaan (hubungan yang vertikal).
Pengawasan
pada
dasarnya
diarahkan
sepenuhnya
untuk
menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas
tujuan yang akan dicapai. Melalui pengawasan diharapkan dapat
membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai
tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui
pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan
atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan.
Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan
dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam
195
pelaksanaan kerja tersebut.
Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana
terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab
ketidakcocokan yang muncul. Dalam konteks membangun manajemen
pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola
pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk
menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam
konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good
governance itu sendiri.
Dalam
kaitannya
dengan
akuntabilitas
publik,
pengawasan
merupakan salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi
warga masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan
suatu sistem pengawasan yang efektif, baik pengawasan intern (internal
control) maupun pengawasan ekstern (external control). Di samping
mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control).
Konsep
pengawasan
pengawasan
merupakan
demikian
bagian
dari
sebenarnya
fungsi
menunjukkan
manajemen,
di
mana
pengawasan dianggap sebagai bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari
pihak yang lebih atas kepada pihak di bawahnya." Dalam ilmu manajemen,
pengawasan ditempatkan sebagai tahapan terakhir dari fungsi manajemen.
Dari segi manajerial, pengawasan mengandung makna pula sebagai:
Pengamatan atas pelaksanaan seluruh kegiatan unit organisasi yang
diperiksa
untuk
menjamin
agar
seluruh
pekerjaan
yang
sedang
dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan atau suatu usaha agar
suatu pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan, dan dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya
hambatan, sedangkan hambatan yang telah terjadi dapat segera diketahui
yang kemudian dapat dilakukan tindakan perbaikannya. Sementara itu,
dari segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai sebagai proses
kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau
diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau
diperintahkan.
Sasaran pengawasan adalah temuan yang menyatakan terjadinya
penyimpangan atas rencana atau target. Sementara itu, tindakan yang dapat
dilakukan adalah:
a. Mengarahkan atau merekomendasikan perbaikan;
b. Menyarankan agar ditekan adanya pemborosan;
c. Mengoptimalkan pekerjaan untuk mencapai sasaran rencana,
Pada dasarnya ada beberapa jenis pengawasan yang dapat
dilakukan, yaitu:
Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang
atau badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang
bersangkutan." Pengawasan dalam bentuk ini dapat dilakukan dengan cara
pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat (built in control)
atau pengawasan yang dilakukan secara rutin oleh inspektorat jenderal
197
pada setiap departemen dan inspektorat wilayah untuk setiap daerah yang
ada di Indonesia, dengan menempatkannya di bawah pengawasan
Departemen Dalam Negeri.
Pengawasan intern dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator
Ekonomi
Selain itu juga terdapat Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) yang merupakan pelaksana teknis operasional
pengawasan :
a. pengawasan preventif dan represif;
b. pengawasan aktif dan pasif;
c. pengawasan kebenaran formil menurut hak (rechtimatigheid) dan
pemeriksaan
kebenaran
materiil
mengenai
maksud
tujuan
pengeluaran (doelmatigheid).
Dalam kaitannya dengan keuangan negara, pengawasan ditujukan
untuk menghindari terjadinya "korupsi, penyelewengan, dan pemborosan
anggaran negara yang tertuju pada aparatur atau pegawai negeri," Dengan
dijalankannya
pengawasan
pertanggungjawaban
tersebut
anggaran
negara
diharapkan
dapat
pengelolaan
berjalan
dan
sebagaimana
direncanakan.
Dalam aspek pengawasan keuangan negara, DPR mempunyai
kepentingan kuat untuk melakukan pengawasan terhadapnya. Hal demikian
disebabkan "uang yang digunakan membiayai kegiatan-kegiatan negara
adalah diperoleh dari rakyat." Penjelasan UUD 1945 menegaskan ; Oleh
karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya
sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat,
sebagai pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan undang-undang,
yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Persetujuan
DPR
terhadap
anggaran
negara
yang
diajukan
pemerintah sebenarnya mempunyai makna pengawasan pula. Hal demikian
disebabkan persetujuan yang diberikan DPR bukan berarti membebaskan
pemerintah melakukan segala aktivitas yang berkaitan dengan anggaran
negara. Adanya pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran negara
sebenarnya diarahkan kemudian pada upaya, "menindaklanjuti hasil
pengawasan, sehingga ada sanksi hukum."
Sementara itu, pembagian macam pengawasan terbagi atas dasar
pengawasan intern yang berarti" Sementara itu, pengawasan eksternal
dimaksudkan sebagai "pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan
yang ada di luar lingkungan unit organisasi yang bersangkutan.
Pengawasan dalam bentuk ini dilakukan oleh suatu badan yang ditetapkan
oleh pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945, yang menyatakan; "Untuk
memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan
Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
Pasal 23 G menentukan bahwa: (1) Badan Pemeriksa Keuangan
berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di setiap
provinsi, (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan
diatur dengan undang-undang.
199
Dari
ketentuan
tersebut
di
atas
setidaknya
terdapat
dua
perkembangan baru pada BPK yaitu menyangkut perubahan bentuk
organisasi secara struktural dan menyangkut perluasan jangkauan tugas
secara fungsional. Sebelumnya BPK hanya memiliki beberapa kantor
perwakilan di beberapa provinsi saja karena kedudukan kelembagaannya
memang hanya terkait dengan fungsi pengawasan oleh DPR terhadap
kinerja pemerintahan di tingkat pusat saja. BPK tidak mempunyai
hubungan dengan DPRD dan pengertian keuangan negara yang menjadi
obyek pemeriksaan hanya terbatas pada pengertian APBN saja. Karena
pelaksanaan APBN itu terdapat juga di daerah-daerah maka diperlukan ada
kantor perwakilan BPK di daerah-daerah tertentu.
Dari segi jangkauan fungsi pemeriksaan tugas BPK sekarang
menjadi makin luas. Ada tiga perluasan yang dapat dicatat di sini: 88
1) Perluasan dari pemeriksaan atas pelaksanaan APBN menjadi
pemeriksaan
atas
pelaksanaan
APBN
dan
APBD
serta
pengelolaan keuangan dan kekayaan negara dalam arti luas.
2) Perluasan dalam arti hasil pemeriksaan yang dilakukan tidak
saja dilaporkan kepada DPR di tingkat pusat tetapi juga kepada
DPD,
DPRD
Kabupaten/
kota
sesuai
dengan
tingkat
kewenangan masing-masing.
3) Perluasan juga terjadi pada lembaga atau badan-badan hukum
88
Moh.Kusnardi ,dan Bintan R Saragih lot cit hal 26.
yang menjadi obyek pemeriksaan oleh BPK yaitu dari
sebelumnya hanya terbatas pada lembaga negara dan/atau
pemerintahan yang merupakan subyek hukum tata negara
dan/atau subyek hukum administrasi negara meluas hingga
mencakup pula organ-organ yang merupakan subyek hukum
perdata seperti perusahaan dacrah, BUMN, ataupun perusahaan
swasta di mana di dalamnya terdapat kekayaan negara.
Penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan
bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang perlu dikelola
dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan
negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mewujudkan hal tersebut di atas,
saat ini ada Undnag-Undang yang mengatur masalah keuangan negara
yaitu
Undang-Undang
No.
15
Tahun
2004
tentang
Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (PPATJKN).
Undang-undang tentang PPTJKN juga menegaskan mengenai
lingkup
kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan bahwa seluruh
pemeriksaan
yang
menyangkut
unsur
keuangan
negara
menjadi
kewenangan BPK. Sementara, terhadap kekayaan negara yang dipisahkan,
sepertiyang berada di Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk
perseroaan terbatas (PT), undang-undang ini mengatakan harus diperiksa
oleh sebuah kantor akuntan publik, namun laporan keuangannya harus
dilaporkan ke BPK, untuk selanjutnya dilaporkan kepada DPR.
201
Salah satu hal yang penting dari Undang-undang PPTJKN adalah
penegasan dari definisi pemeriksaan keuangan di mana disebutkan bahwa
pemeriksaan
keuangan
adalah,
proses
identifikasi,
analisis
secara
independen, obyektif dan profesional, terhadap informasi yang terkait
dengan
laporan
keuangan
negara.
Undang-undang
PPTJKN
juga
memberikan pengaturan mengenai hukum acara pemeriksaan terhadap
pengelolaan keuangan negara dengan memberikan kewenangan yang lebih
besar kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengambil
tindakan pemulihan terhadap kerugian negara yang terjadi. Tindakan itu
dapat dilakukan jika BPK menemukan kerugian negara dari hasil auditnya.
Melalui kewenangan itu, BPK dapat meminta ganti kerugian bagi pejabat
bendahara negara atas kekurangan kas atau barang dalam persediaan yang
merugikan keuangan negara atau daerah. 89
Berdasarkan
Pasal 22 Ayat (1) UU PPTJKN menetapkan, BPK
berwenang menerbitkan surat keputusan (SK) penetapan batas waktu
pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas atau barang dalam
persediaan yang merugikan keuangan negara atau daerah. Akan tetapi,
Ayat (2) nya menetapkan, bendahara dapat mengajukan keberatan atau
pembelaan diri kepada BPK dalam waktu 14 hari kerja.
Undang-undang PPTJKN juga mencantumkan ketentuan pidana
yang diatur dalam pasal 24 dan pasal 26. Dalam ketentuan pidana, bukan
89
Sambutan Menteri Keuangan RI Boediono 2004 Sesuai DPR menyetujui RUU
PPTJKN sebagai undang-undang di Sidang Paripurna DPR, Jakarta., hal. 50
saja seseorang yang tidak melaksanakan kewajibannya memberikan
dokumen atau tidak memberikan informasi soal keuangan negara,
pemeriksa (BPK) pun yang melakukan pemeriksaan diluar kewenangannya
dapat dipidana. Ancaman pidana berkisar antara satu hingga tiga tahun,
dan denda antara Rp 500 juta sampai dengan Rp 1 miliar.
Dalam bidang keuangan negara ini dikenal pula lembaga lain yaitu
Badan Pengawas Keuangan dan Pembanguan (BPKP) yang dibentuk oleh
pemerintah. Di satu segi BPKP merupakan lembaga internal auditor atas
kegiatan pemerintahan
dan pembangunan, tetapi terhadap instansi
pemerintahan yang diperiksa sekaligus merupakan lembaga eksternal
auditor.
Dibandingkan dengan BPKP yang merupakan bentukan pemerintah
Orde Baru dan tidak dikenal dalam UUD maka struktur organisasi BPK
jauh lebih kecil. BPKP memiliki struktur organisasi yang menjangkau ke
seluruh daerah provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia sementara
BPK lebih terbatas.
Untuk menghadapi dualisme pemeriksaan oleh BPK dan BPKB
itulah maka pasal 23E ayat ( 1) UUD 1945 menegaskan bahwa untuk
memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara
diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri. Di sini
tegas dikatakan hanya ada satu badan yang bebas dan mandiri, karena itu
BPKP dengan sendirinya harus dilikuidasi dan digantikan fungsinya
dengan BPK yang berkedudukan di ibukota negara dan memiliki
203
perwakilan di setiap provinsi.
Namun pandangan tersebut di atas kurang mendalami aspek
pemeriksaan keuangan (auditing) yang umum berlaku. Setiap perusahaan
atau lembaga tentu saja harus memiliki auditor internal yang bertanggung
jawab untuk mempersiapkan laporan keuangan yang akan menunjukkan
kondisi perusahaan dan sekaligus berfungsi sebagai pengawas dalam hal
penggunaan dana perusahaan. Namun demikian hasil kerja auditor internal
ini (BPKP), juga harus diawasi oleh auditor eksternal - dan ini merupakan
tugas BPK karena ada kecenderungan manajemen memiliki hubungan
kerja yang dekat dengan auditor internal sehingga dapat menimbulkan
kolusi terlebih bagi lembaga atau instansi milik pemerintah.
The financial supervisor, the members of the commission, the
auditor of state, and any person authorized to act on behalf of or assist
them shall not be personally liable or subject to any suit, judgment, or
claim for damages resulting from the exercise of or failure to exercise
the powers, duties, and functions granted to them in regard to their
functioning under this chapter, but the commission, the financial
supervisor, the auditor of state, and those other persons shall be subject
to mandamus proceedings to compel performance of their duties under
this chapter and with respect to any debt obligations issued pursuant or
subject to this chapter. 90
Pengawas keuangan, para anggota komisi, auditor negara, dan
setiap orang yang berwenang untuk bertindak atas nama atau membantu
tidak akan bertanggung jawab secara pribadi atau tunduk pada
penghakiman, gugatan, atau klaim atas kerusakan yang diakibatkan dari
pelaksanaan atau kegagalan untuk menjalankan kekuasaan, tugas, dan
fungsi yang diberikan berdasarkan fungsi, tetapi komisi, pengawas
keuangan, auditor negara, dan orang-orang lain harus tunduk pada proses
birokrasi memaksa kinerja.
Konsekuensinya,
dapat
BPK
memberikan
menguji
90 http://codes.ohio.gov/orc/118.05.Financial Planning and Supervision Commission.
hasil
pemeriksaan yang dilakukan aparat pengawasan intern pemerintah, untuk
kemudian disampaikan kepada DPR. Adapun maksud pemeriksaan
diserahkan kepada DPR disebabkan DPR yang memberikan delegasi
kepada pemerintah untuk menjalankan undang-undang APBN. Dengan
demikian, tepat sekiranya pengawasan yang dilaksanakan oleh BPK
merupakan, "pengawasan ekstern, sehingga faktor obyektivitasnya yang
merupakan salah satu norma dari pemeriksaan dapat terjamin.”
Sementara itu, pengawasan preventif lebih dimaksudkan sebagai,
"pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum kegiatan itu
dilaksanakan,
sehingga
dapat
mencegah
terjadinya
penyimpangan.
Lazimnya, pengawasan ini dilakukan pemerintah dengan maksud untuk
menghindari adanya penyimpangan pelaksanaan keuangan negara yang
akan membebankan dan merugikan negara lebih besar. Di sisi lain,
pengawasan ini juga dimaksudkan agar sistem pelaksanaan anggaran dapat
berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Pengawasan preventif akan lebih
bermanfaat dan bermakna jika dilakukan oleh atasan langsung, sehingga
penyimpangan yang kemungkinan dilakukan akan terdeteksi lebih awal.
Di sisi lain, pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan
terhadap suatu kegiatan setelah kegiatan itu dilakukan.
Pengawasan keuangan model ini lazimnya dilakukan pada akhir
tahun anggaran, di mana anggaran yang telah ditentukan kemudian
disampaikan
laporannya.
Setelah
itu,
dilakukan
pemeriksaan
dan
pengawasannya untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyimpangan.
205
Selain itu, pengawasan dekat (aktif) dilakukan sebagai bentuk
"pengawasan yang dilaksanakan di tempat kegiatan yang bersangkutan.
Hal ini berbeda dengan pengawasan jauh (pasif) yang melakukan
pengawasan melalui "penelitian dan pengujian terhadap surat-surat
pertanggungjawaban yang disertai dengan bukti-bukti penerimaan dan
pengeluaran. Di sisi lain, pengawasan berdasarkan pemeriksaan kebenaran
formil menurut hak (rechmatigheid) adalah "pemeriksaan terhadap
pengeluaran apakah telah sesuai dengan peraturan, tidak kadaluarsa, dan
hak itu terbukti kebenarannya." Sementara, hak berdasarkan pemeriksaan
kebenaran materil mengenai maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid)
adalah "pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah telah memenuhi prinsip
ekonomi, yaitu pengeluaran tersebut diperlukan dan beban biaya yang
serendah mungkin."
Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh unit
pengawas intern organisasi yang diawasi di mana tugasnya adalah
membantu fungsi pengawasan pimpinan organisasi serta membantu
menyusun laporan pelaksanaan kegiatan organisasi. Pengawasan ini
lazimnya dilakukan instansi pemerintahan dengan membentuk suatu
organisasi khusus yang menangani secara menyeluruh pengawasan
terhadap pelaksanaan anggaran negara. Konsep pengawasan ini dibutuhkan
dengan maksud agar penyimpangan pelaksanaan anggaran lebih cepat
diatasi oleh unit intern yang dekat dengan organisasi tersebut.
Di dalam organisasi pemerintahan negara, Presiden yang dibentuk
kabinet menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan undang-undang.
Salah satu pelaksanaan pemerintahan tersebut adalah melaksanakan UU
APBN, yang secara terpusat dan terintegrasi dilakukan oleh Departemen
Keuangan. Guna menjalankan pengawasan terhadap keuangan negara yang
dilakukan pemerintah, dibentuk suatu badan yang khusus melakukan
pengawasan, yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) berdasarkan Keputusan Presiden No. 31 tahun 1984 tentang
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Selain itu, di
dalam pemerintahan juga dibentuk berbagai aparat pengawasan fungsional
pemerintah, baik di pusat seperti inspektorat jenderal pembangunan,
inspektorat
jenderal
departemen/unit
pengawasan
lembaga.
Juga,
pengawasan fungsional pemerintahan di tingkat daerah seperti inspektorat
wilayah daerah tingkat I dan tingkat II. 91
Banyaknya lembaga pengawasan dalam struktur kelembagaan
pemerintahan sebenarnya tidak mengandung efektivitas dalam proses
pelaksanaannya. Hal demikian disebabkan kemungkinan terjadinya tumpah
tindih sangat besar yang akibat adanya dalam suatu waktu yang bersamaan
atau dalam jangka waktu yang dekat, dua aparat pengawasan fungsional
atau lebih melakukan pemeriksaan terhadap suatu instansi/proyek tertentu
dengan sasaran yang sama. 92
91
Ibid., hal 60
92
Gandhi, 2000, Sistem Pemeriksaan Keuangan Negara, (makalah yang disampaikan
dalam lokakaryaReformasi system Pengelolaan Keuangan Negara), Jakarta, hal 14.
207
Sebenarnya, tumpang tindih demikian tidak akan terjadi jika
terdapat pengelompokan atas dasar kewenangan unit pengawas intern yang
ada. Sebab, sesuai dengan struktur pengawasan yang dianut dalam ICW
1925, di mana pelaksanaan APBN didasarkan atas administratief beheer
dan comptabel beheer, maka pengawas intern akan membagi atas salah
satu di antaranya atau kedua-duanya. Dengan tugas pemeriksaan yang
dibedakan
tersebut
sebenarnya
akan
terdeskripsikan
suatu
pola
pengawasan berjenjang. Pengawasan tersebut pada dasarnya dilakukan di
mana aparat pengawasan yang lebih tinggi tingkatnya secara hierarkis
organisatoris melaksanakan tugas yang lebih luas pendekatannya atau
lebih makro wawasannya daripada aparat pengawasan yang lebih rendah.
Dengan perkataan lain, sasaran pengawasan antar-aparat pengawasan
berbeda satu sama lain, tergantung mana yang lebih ekstern dan mana
yang lebih intern. 93
Selama ini, penjenjangan pengawasan keuangan negara tampaknya
belum dapat diwujudkan secara optimal disebabkan "tidak adanya
kebijaksanaan pengawasan secara nasional dan tidak adanya alat yang
dapat dipakai untuk melakukan koordinasi pelaksanaan pengawasan," 94
Akan tetapi, kemudian pemerintah mengambil langkah yang sedikit maju
dengan menugaskan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan,
untuk
93
Dani Sudarsono, 2000"Interaksi Eksternal Auditor Pemerintah dan Internal
Auditor Pemerintah: antara Harapan dan Kenyataan," (makalah yang disampaikan dalam
Seminar Reinventing Auditor Internal Pemerintah yang diselenggarakan Pusat
Pengembangan Akuntansi dan Keuangan, Jakarta, hal. 2.
94
Gandhi, Op.cit., hal. 49.
melakukan koordinasi pengawasan pembangunan (wasbang). Selain itu,
Presiden memberikan tugas kepada Wakil Presiden untuk melakukan
pengawasan pembangunan, yang salah satu bagian di antaranya adalah
mengenai pengawasan keuangan negara.
Dalam hal pengawasan intern keuangan negara, kedudukan BPKP
cukup potensial untuk menjalankan tugas mempersiapkan perumusan
kebijakan pengawasan keuangan dan pembangunan. Selain itu juga
menyelenggarakan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan
keuangan. Guna mendukung tugas BPKP tersebut, BPKP dapat melakukan
pemeriksaan setempat, meminta keterangan mengenai tindak lanjut hasil
pemeriksaan yang dilakukan BPKP atau aparat pengawas lainnya. Juga
meminta keterangan pada semua pejabat yang terkait erat dengan obyek
pemeriksaan. Hasil pemeriksaan BPKP kemudian disampaikan langsung
kepada menteri atau pejabat instansi yang diawasi.
Apabila ditelaah secara mendalam eksistensi pengawasan intern
keuangan negara sebenarnya ditujukan pada upaya membantu presiden
dalam bidang pemeriksaan dan pengendalian lingkup pemerintahan negara.
Sebagai kepala pemerintahan yang menjalankan fungsi pemerintahan,
presiden tidak dapat senantiasa melakukan pengawasan, Oleh sebab itu,
presiden meminta bantuan aparatur pemerintahan juga untuk melakukan
fungsi pengawasan terhadap keuangan dan pembangunan. Dengan
statusnya sebagai aparatur pemerintahan, yang juga aparat pengawas
intern, pihaknya "tidak boleh mengeluarkan pernyataan pendapat yang
209
dapat dijadikan dasar bagi masyarakat umum dalam mengambil suatu
keputusan." 95
Sementara itu, berbeda dengan BPK yang menyerahkan hasil
laporan
pengawasannya
kepada
DPR,
aparat
pemeriksa
intern
pemerintahan tidak dapat menyampaikan laporan hasil pemeriksanaannya
langsung
kepada
DPR,
tetapi
jika
DPR
berkeinginan
atas
hasil
pemeriksaan BPKP, pemerintahlah yang menyampaikannya kepada DPR. 96
Hal demikian dimaksudkan agar dapat dibedakan posisi pemeriksaan BPK
dan BPKP agar tidak terjadi kesalahkaprahan dalam proses penilaian
kinerja pelaksanaan APBN oleh DPR.
Pengawasan ekstern adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh unit
pengawasan yang berada di luar unit organisasi yang diawasi. Dalam hal
ini di Indonesia adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang
merupakan lembaga tinggi negara yang terlepas dari pengaruh kekuasaan
manapun. Dalam menjalankan tugasnya, BPK tidak mengabaikan hasil
laporan pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah, sehingga sudah
sepantasnya di antara keduanya perlu terwujud harmonisasi dalam proses
pengawasan
keuangan
negara.
Proses
harmonisasi
demikian
tidak
mengurangi independensi BPK untuk tidak memihak dan menilai secara
obyektif aktivitas pemerintah. BPK ini merupakan semacam alat dari DPR
Penyelewengan yang dimaksud disini dapat berupa kewajiban pemerintah
95
96
Gandhi 2000, "Ibid, hal. 4.
Ibid., hal 62
untuk tidak menyimpang dari pasal –pasal APBN ,dapat juga mengenai
kewajiban pemerintah untuk menggunakan uang Negara yang sebaikbaiknya dan betul betul bermanfaat bagi nusa dan bangsa ,tugas pokok
BPK adalah memeriksa tanggung jawab keuangan Negara . Dalam
pelaksanaan tugas tersebut BPK mempunyai beberapa fungsi yang oleh
Moh. Kusnardi dan Bintang R Saragih menyatakan sebagai berikut :
1. Fungsi operatif yaitu melakukan pemeriksaan pengawasan dan
penelitian atas penguasaan dan pengurusan keuangan Negara.
2. Fungsi yudikatif yaitu melakukam tuntutan perbendaharaan dan
tuntutan ganti rugi terhdap bendaharawan dan pegawai negeri bukan
bendaharawan yang kerana perbuatannya melanggar hukum atau
melalaikan kewajiban menimbulkan kerugian besar bagi negara
3. Fungsi member rekomendasi yaitu member pertimbangan kepada
pemerintah tentang keuangan Negara .97
Dalam menjalankan tugas pengawasan keuangan negara, beberapa
pandangan dikemukakan bahwa BPK tidak selayaknya melakukan kontrol
atas semua bentuk keuangan negara, termasuk di dalamnya kekayaan
negara. Akan lebih bermakna jika BPK melakukan fungsi pengawasan
keuangan yang bersifat "makro strategis" yang mempunyai dampak sosial
ekonomis yang luas." Konsekuensinya, BPK tidak perlu bersusah payah
melakukan pengawasan keuangan negara dengan rentang yang tidak
terbatas. Akan tetapi, cukup pada pengujian atas hasil pemeriksaan
97 Moh. Kusnardi dan Bintang R Saragih, Op cit, hal. 24.
211
keuangan yang dilakukan aparat intern pengawas pemerintah dan
pengawasan terhadap pelaksanaan APBN.
Hasil pemeriksaan BPK yang 'diberitahukan' kepada DPR, sebenarnya
mengandung makna yuridis yang kurang tegas dipandang dari pemakaian
istilahnya. Dengan demikian, perlu ada perubahan kata 'diberitahukan' menjadi
'dilaporkan' kepada DPR. Hal demikian juga akan membawa dampak psikologis
kepada DPR untuk segera menindaklanjuti temuan pemeriksaan dan
pengawasan BPK, sehingga dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Pelaksanaan tindak lanjut ini dilakukan secepat mungkin untuk menyelesaikan
masalah dan mencegah penyimpangan yang akan merugikan posisi keuangan
negara. Apabila dalam temuan pemeriksaan terdapat indikasi terjadinya
penyelewengan, laporan tersebut dapat disampaikan kepada Kejaksaan Agung
untuk ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur hukum.
4.3 Akibat Hukum Penolakan Penetapan APBN Oleh DPR.
Setelah kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli
1959, DPR hasil pemilihan umum tahun 1956 tetap berfungsi sebagai DPR
tetapi tidak lama kemudian dibubarkan oleh Presiden karena menolak
Rancangan APBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah (presiden).
Tindakan presiden ini secara jelas bertentangan dengan UUD 1945 yang
baru setahun diberlakukan kembali, presiden kemudian membentuk MPRS
dan DPRGR serta mengangkat para anggotanya.
Pimpinan MPRS dan pimpinan DPRGR diangkat menjadi Menteri
sehingga berada di bawah perintahnya, kemudian keputusan berdasarkan
pemungutan suara dinyatakan bertentangan dengan demokrasi berdasarkan
UUD 1945. Keputusan harus berdasarkan kepada pemufakatan bulat,
apabila hal itu tidak dapat tercapai, maka permasalahannya diserahkan
kepada pimpinan. Semua keputusan yang tidak disetujui pimpinan DPRGR
danyang tidak direstui oleh presiden dianggap batal. DPRGR secara
praktis diatur oleh suara yang menentukan, sehingga demokrasi tidak ada
sama sekali.
Pada masa sebelum amandemen, pemberhentian Presiden dapat
dilakukan jika DPR menganggap bahwa Presiden sungguh-sungguh telah
melanggar haluan
negara yang telah ditetapkan oleh Undang-undang
Dasar atau MPR. Tidak ada kriteria yang jelas apa yang dimaksud dengan
sungguh-sungguh telah melanggar haluan negara ini, hanya suatu
anggapan DPR bahwa pelanggaran haluan negara itu telah terjadi. Karena
seluruh anggota DPR merupakan anggota MPR maka DPR dapat
mengusulkan kepada MPR untuk menggelar sidang istimewa untuk
meminta pertanggungjawaban Presiden. Dan jika pertanggungjawaban itu
ditolak maka MPR dapat memberhentikan presiden.
Dalam
sejarah
ketatanegaraan
sudah
empat
kali
MPR
memberhentikan presiden, yang pertama adalah Presiden Soekarno, kedua
Presiden Soeharto, Presiden Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid
(Gus Dur). Presiden Soekarno diberhentikan melalui Sidang Istimewa
213
MPRS pada tahun 1966; Presiden Soeharto berhenti setelah Ketua
MPR/DPR Harmoko pada tahun 1998 mengumumkan permintaan MPR
agar
Soeharto
mengundurkan
diri
menyusul
desakan
demonstrasi
mahasiswa pada waktu itu; Presiden Habibie berhenti setelah MPR
menyatakan menolak pertanggungjawabannya pada Sidang Istimewa MPR
1999; dan Presiden Abdurrahman Wahid dilengserkan oleh MPR melalui
keputusan pada Sidang Istimewa MPR tahun 2001 karena dinilai terlibat
dalam kasus penyelewengan dana Bulog dan bantuan dari Sultan Brunei.
Empat presiden Indonesia diberhentikan dengan cara “dipaksa”.
Pemberhenian keempat presiden tersebut ternyata lebih disebabkan faktor
atau pertimbangan politis karena kebijakan yang dilakukan presiden yang
dinilai parlemen sebagai sesuatu yang salah. Alasan pemberhentian
presiden menurut Amandemen UUD 1945 lebih menekankan pada halhalyang bersifat kriminal yang dilakukan presiden, sementara kebijakan
yang dikeluarkan presiden tidak dapat dijadikan alasan bagi MPR untuk
memberhentikannya.
Pemberhentian
presiden
dalam
Amandemen
UUD1945 lebih mirip dengan cara pemberhentian presiden pada
pemerintahan
sistem
presidensil
sedangkan
sebelum
amandemen
merupakan cara pemberhentian gaya pemerintahan parlementer. 98
Jika DPR menolak penetapan APBN berarti tidak membawa aspirasi
rakyat yang diwakili sehingga Negara Indonesia akan terjadi gejolak yang
98
Morissan lot cit hal 88,
sangat luar biasa dibidang perekonomian karena penolakan penetapan
tersebut., Adapun penolakan APBN oleh DPR sebab APBN yang diajukan
Presiden sangat kurang menggali sumber-sumber keuangan Negara
sehingga perhitungan angka-angka anggarannya sangat tidak layak untuk
diwujudkan sama rakya Indonesia secara keseluruhan baik itu mengenai
pembagian di sektor departemen maupun non departemen serta kelembagalembaga Negara yang kurang menunjang untuk diimplementasikan yang
akan menimbulkan kemiskinan yang berkepanjangan untuk seluruh rakyat
Indonesia;
Pelanggaran hukum oleh pemerintah dalam hal ini terkait dengan
pengelolaan keuangan itu menurut Felix A. Nigro dapat dikategorikan
dalam 9 bentuk pelanggaran yaitu:
a) Ketidakjujuran (dishonesty);
b) Berperilaku tidak etis (unetical behavior);
c) Mengesampingkan hukum (overidding the law);
d) Memperlakukan
pegawai
secara tidak
patut
(unfair
treatment of employees);
e) Melanggar prosedur hukum (violations of procedural due
process);
f) Tidak menjalin kerjasama yang baik dengan pihak legislatif
(failure to respect legislative intent);
g) Pemborosan dalam penggunaan sumber daya (gress inefficency);
h) Menutup-nutupi
kesalahan
yang
dilakukan
oleh
aparatur
215
(covering up mistakes);
i) Kegagalan untuk
melakukan inisiatif dan torobosan yang
positif (failure to show inisiative). 99
Dengan adanya penolakan penetapan APBN oleh DPR akan
membawa akibat hukum yang sangat rentan terhadap kedudukan Presiden
dan atau Wakil Presiden atas impeachment bahwa pemberhentian Presiden
dan wakil Presiden dalam masa
jabatannya harus didahului dengan
prosedur yudisial artinya putusan untuk memberhentikan Presiden dan
Wakil Presiden sepenuhnya merupakan keputusan politik yaitu dilakukan
oleh DPR dan MPR. Dengan demikian dalam hal impeachment prinsip
supremasi hukum berhadapan dengan prinsip supremasi politik jika
demikian, apakah supremasi hukum akan dianulir dengan supremasi
politik ataukah putusan pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden
melalui prosedur impeachment itu tetap sesuai dengan prinsip supremasi
hukum berarti sebagai suatu peraturan yang tertinggi atau hukum
merupakan suatu kekuasaan tertinggi. Menurut K Wantjik Saleh 100
;Undang Undang Dasar adalah peraturan perundang-undangan yang
tertinggi dalam suatu Negara, yang menjadi dasar segala peraturan
perundang-undangan. Dengan kata lain bahwa semua peraturan perundangundangan harus tunduk pada undang-undang dasar atau tidak boleh
99
Soerjono Soekanto,2008 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegak Hukum
Penerbit PT Raja Grafindo Persada Jakarta hal47 .
100 K. Wantjik Saleh, 2004, Perkembangan Perundang-undangan di Indonesia,
Rhineka Cipta, Jakarta, Hal. 10.
bertentangan dengan undang-undang dasar dimana Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan peraturan perundangan
tertinggi di Indonesia.
Dengan demikian ,supremasi hukum berarti superioritas hukum,
dimana tidak boleh ada kesewenang-wenangan. Seseorang hanya boleh
dihukum jika melanggar hukum, tidak untuk yang lain. Oleh karena itu,
hukum tidak boleh menjadi alat tetapi harus menjadi tujuan, yaitu untuk
melindungi kepentingan rakyat. Hukum harus dilihat pula sebagai akal
atau kecerdasan yang tidak dapat dipengaruhi oleh keinginan, apalagi
nafsu dari yang berkuasa ,yang akan sanggup mencegah para penguasa
dari kesewenang-wenangan.
Dalam kaitannya dengan pemberhentian Presiden ,UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan di dalam Pasal 7A UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945 menyatakan; Presiden dan/atau wakil
presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul
DPR, apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum. Mengenai
pelanggaran hukum apa saja yang diancam pemberhentian disebutkan sebagai
berikut:
1. Berkhianat terhadap negara
2. Korupsi
3. Penyuapan
4. Tindak pidana berat
5. Melakukan perbuatan tercela
217
6. Tidak memenuhi syarat lagi
Pelanggaran hukum tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu telah
benar-benar dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden sebelum
dapat diberhentikan. Lembaga yang berwenang untuk membuktikan
kesalahan
Presiden
dan/atau
Wakil
Presiden
adalah
Mahkamah
Konstitusi.Jadi tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan pada pendapat
DPR ,melainkan juga berdasarkan pada hukum .Prinsip ini ditegaskan di
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa Negara Indonesia
adalah Negara Hukum , ketentuan ini menunjukkan bahwa UUD 1945
merupakan manisfestasi dari hukum yang tertinggi ( Supremation of law )
yang ditaati oleh rakyat, pemerintah ,penguasa sekali pun dan badan
pembuat UUD. Menurut Jimly Asshiddiqie 101 kehadiran Mahkamah
Konstitusi
dalam
proses
impeachment
justru
dimaksudkan
untuk
memperkuat prinsip supremasi hukum .Walaupun kehadiran intitusi
impeachment dikatakan menimbulkan keanehan ,seolah olah hanya
Presiden saja yang dapat melakukan pelanggaran hukum .
Di dalam Pasal 24C ayat (1) yang menyatakan bahwa; Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undangundang dasar ,memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang
101 Jimly Asshiddiqie, 2004, Kedudukan dan Peranan MK Dalam Sistem Ketatanegaraan
Pasca Amandemen UUD 1945 DalamMakalah Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia FH
Unair, SurabayaHal. 17, .
kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar ,memutus pembubaran
partai politik ,dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Pasal 24C ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan: "Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar. Namun harus di ingat bahwa dalam hal ini putusan
Mahkamah Konstitusi tidak bersifat final apa tertera dalam Pasal 24C ayat
(1) UUD NRI TAHUN 1945
Dengan demikian putusan Mahkamah Konstitusi tidak bersifat
mengikat pada saat diucapkan ,melainkan masih ada upaya lain mengenai
akibat hukum pertanggungjawaban Presiden dan /atau Wakil Presiden.
Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memberhentikan
Presiden dan wakil Presiden sebab dipilih dalam satu pasangan langsung
oleh rakyat. Selain itu anggota-anggota Mahkamah Konstitusi diangkat
oleh Presiden, dari calon yang diajukan oleh DPR, Mahkamah Agung dan
Presiden
sendiri.
Oleh
karena
itu
putusan
Mahkamah
Konstitusi
disampaikan kepada MPR melalui DPR.
Berdasarkan pada Pasal 3 ayat (3) UUD NRI tahun 1945 bahwa
MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan /atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang maka MPR lah yang
berwenang untuk memberikan keputusan terhadap usul DPR yang telah
diperiksa, diadili dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini
sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota
219
DPR dan anggota DPD yang seluruhnya dipilih oleh rakyat melalui
pemilihan umum. Oleh karena itu, MPR wajib menyelenggarakan sidang
istimewa untuk itu keputusan harus diambil dalam sidang Istimewa yang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh
minimal 2/3 dari jumlah yang anggota yang
ditentukan oleh Pasal 7B
hadir. Dalam hal ini
UUDNRI Tahun 1945 disebutkan tata cara
pemberhetian Presiden/dan atau Wakil Presiden diatur sebagai berikut:
1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu
mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum
berupa
pengkhianatan
terhadap
negara,
korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
2) Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR.
3) Pengajuan permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi hanya
dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
4) Mahkamah
Konstitusi
wajib
memeriksa,
mengadili,
dan
memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut
paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan DPR itu
diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau
terbukti Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat
sebagai
Presiden
dan/atau
Wakil
Presiden,
DPR
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
6) MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul
DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul
tersebut.
7) Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan
disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang
hadir,
setelah
Presiden
dan/atau
Wakil
Presiden
diberi
221
kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna
MPR
Memperhatikan komposisi keanggotaan MPR sebagaian besar
terdiri dari anggota DPR yakni 2/3 dari jumlah anggota MPR dan DPR
mempunyai andil terhadap putusan Mahkamah Konstitusi ,dimana tiga
orang hakim nya berasal dari DPR maka tidak sulit bagi MPR untuk
menerima usulan DPR. Selain itu sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (2)
dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa Indonesia adalah Negara hukum
dan kedaulatan rakyat dijalankan menurut UUD, maka MPR dalam
memutus usul DPR tidak dapat melepaskan diri dari prinsip-prinsip Negara
hukum.Berdasarkan pada prinsip ini maka dapat diprediksi jika MPR akan
mengabulkan usulan DPR.
Jika usul DPR diterima, bahwa presiden dan/atau wakil presiden
terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan
tercela, dan/atau terbukti presiden dan atau wakil presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden, maka presiden
dan /atau wakil presiden diberhentikan. Jika usul DPR tidak diterima, maka
presiden dan / atau wakil presiden terus menjabat.
Secara yuridis penolakan penetapan APBN oleh DPR merupakan
kelemahan atau kekurangan dari pada anggota DPR sendiri karena DPR tidak
mempunyai kewenangan membuat Undang-Undang APBN, dan DPR tidak
mempunyai data bank tentang keuangan negara terutama pemasukan sumbersumber keuangan negara serta pengeluaran program-program pembangunan dan
lain-lain Pemerintah mengetahui mengenai seluk beluk keuangan negara serta
pemakainya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Faktor
kualitas
anggota
merupakan
faktor
penting
dalam
mengoptimalkan peran dan fungsi DPR. Peran dan fungsi yang lebih besar
dari anggota DPR tidak akan mungkin dicapai bila para anggota lembaga
tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Kualitas anggota DPR kita
selama ini berada di bawah kualitas eksekutif karena, anggota DPR kita
belum sepenuhnya dapat mengimbangi kemampuan pemerintah untuk
melaksanakan fungsinya. Kualitas dimaksud ditinjau dari segi karier politik
dan tingkat pendidikan formal.
Dari hasil pengamatan pada sidang-sidang DPR misalnya pada saat
rapat kerja komisi-komisi DPR dengan pemerintah, nampak kualitas para
anggota DPR ini dalam berdiskusi, mengajukan pertanyaan kepada
pemerintah belum sebagaimana diharapkan. Tuntutan bagi adanya kualitas
yang tinggi bagi anggota DPR menghasilkan persyaratan untuk menjadi
anggota DPR.
Persyaratan
itu adalah bahwa setiap anggota DPR
haruslah mempunyai ciri-ciri intelektual.
Anggota DPR adalah bagian dari elite politik yang tindak tanduknya
selalu disorot. Oleh karena itu keberanian dan kemauan para anggota DPR
harus didukung oleh kualitas yang tinggi. Tanpa ada kemampuan yang
memadai, seorang anggota DPR akan mengalami kesulitan dalam berdialog
223
dan bertukar pikiran dengan pihak Eksekutif.
Untuk
menjadi
seorang
pemimpin
politik,
seseorang
harus
memenuhi syarat: kapasitas, ekseptabilitas dan popularitas. Akibatnya,
banyak anggota DPR kita yang lebih berperan seperti seorang birokrat, yang
berfikir bahwa harus dilayani rakyat, bukan sebaliknya.102
Dalam kondisi seperti itu jika anggota DPR dihadapkan dengan unsur
eksekutif yang orang-orangnya telah mempunyai pengalaman selama
bertahun-tahun dibidang tugasnya, maka dukungan wawasan, penguasaan
materi
pada
data
sesuai
dengan
materi Rancangan APBN, akan
menghambat peran DPR untuk mempunyai prakarsa dalam penyusunan
rancangan APBN. Dalam kondisi seperti ini lahirnya rancangan APBN
untuk setiap tahun cenderung akan lebih mengandalkan pada prakarsa
eksekutif sesuai dengan bidang tugasnya. Dengan kata lain keberadaan DPR
dalam melaksanakan kewenangan dalam membentuk Rancangan APBN
cenderung terbatas pada melakukan pembahasan setelah rancangan APBN
tersebut diusulkan ke DPR dan mendapat kesepakatan untuk dibahas dalam
rapat-rapat DPR.
Selain itu, untuk dapat berperan lebih banyak dalam penyusunan
rancangan APBN diperlukan kemampuan teknis perancang peraturan
perundang-undangan. Berkaitan dengan ini, pihak eksekutif
lebih
mempunyai sumber daya manusia yang berpengalaman.
102
Riswandha Himawan, 1992, Peningkatan Peran Legislatif
Ketatanegaraan, Jurusan FH UII, Yogyakarta, hal8
DPR Seminar
BAB V
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Dari uraian pada bab-bab tersebut maka dapatlah ditarik suatu
kesimpulan bahwa ;
1. Sumber wewenang DPR ada pada sumber hukum formil yakni Pasal 23
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , bahwa
setiap rancangan Undang-Undang APBN yang diajukan oleh Presiden
akan dibahas bersama-sama DPR untuk mendapatkan persetujuan bersama
artinya adanya kesepakatan untuk musyawarah mufakat dalam penetapan
APBN merupakan wujud lahirnya Undang-Undang Keuangan Negara
memberikan pemahaman filosofis yuridis sebagai bentuk penjelmaan
kedaulatan rakyat.
2.Dalam Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 , DPR memiliki fungsi legislasi fungsi anggaran
dan fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan yang bersama-sama dengan
DPR dan BPK yang mempunyai hubungan melakukan pemeriksaan
pengelolaan keuangan negara, hasil dari pemeriksaan itu diserahkan
kepada DPR dan DPD serta DPRD
sedangkan oleh DPR hasil
pemeriksaan tersebut untuk mengevaluasi APBN untuk tahun akan datang.
226
5.2. Saran
1. Terkait dengan penetapan APBN dalam pengelolaan keuangan negara
perlu adanya tolok ukur peraturan perundangan-undangan tentang
aspirasi rakyat yang terwakili oleh DPR.
2. Perlu adanya jaminan kepastian hukum dalam melakukan penegakan
hukum yang dilakukan oleh aparatur negara dalam hal ini BPK
terhadap
banyaknya
penyimpangan
pengelolaan keuangan negara.
dan
pelanggaran
dalam
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
A. Hamid S. Attamimi, 1992, Teori Perundang-undangan Indonesia,
Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada FH UI, Jakarta.
Fadjar Mukthie A, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayu Media Publising, Malang.
Keraf
Sonny A , 1996, Pasar Bebas ,Keadilan dan Peran Pemerintahan
Kanisius Yogyakarta.
ZainiAbdullah , Peranan DPR Dalam Reformasi Pengelolaan Anggaran
Negara, Jurnal Forum Inovasi Vol 5, Desember 2003.
Gafar Afan , 2002, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Alfian & Sjamsuddin Nazaruddin (eds), 1988, Masa Depan Kehidupan
Politik Indonesia, Rajawali Pers, Jakart
Atmaja Arifin Soeria , 2009, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Tambunan ASS , 1998, Fungsi DPR RI Menurut Undang-Undang 1945
Suatu Studi Analisis Mengenai pengaturannya Tahun 1966 – 1997,
Penerbit Sekolah tinggi Hukum Militer.
Sarifudin Ateng , 1996, Butir-Butir Gagasan tentang Penyelenggaraan
Hukum dan Pemerintah yang Layak. PT. Citra Aditya Bhakti
Bandung.
Atmadja I Dewa Gede, 2004, Sistem Pemilihan Langsung dan
Pertanggungjawaban Kepala Daerah, Fakultas Hukum Universitas
Udayana Bali.
Achir Azmy , 1976, Masalah Pengurusan Keuangan Negara Suatu
Pengantar Teknis, ; CV Yulianti, Buku I Bandung.
Marbun B.N, dkk, 2004, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara,
UII Press Jogjakarta.
Manan Bagir , 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan di Indonesia,
Indonesia Co, Jakarta.
Manan Bagir dan Magnar Kuntara , 1987, Peranan Peraturan Perundang-
228
Undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Armico, Bandung.
Saragih Bintan R. , Peranan DPR GR Periode 1965 dalam Menegakkan
Kehidupan Ketatanegaraan yang Konstitusional Berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945, Bandung.
Bruggink.J.J.H, 1993, Rechtsreflecties Grondbegrippen
rechtstheorie, Kluwer Deventer, Den Haag.
uit
de
Buku Pedoman, 2003, Penulisan Penelitian Tesis Normatif, Program
Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar.
Kansil C.S.T & Kansil Christine S.T. , 2006, Hukum Keuangan dan
Penbendaharaan Negara, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Magins Franz -Suseno SJ, 1995, Mencari Sosok Demokrasi, PT. Gramedia
Pustaka, Jakarta.
Husen La Ode , 2005, Hubungan Fungsi Pengawasan DPR Dengan
Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, CV. Utomo. Bandung.
Hadjon Philipus, M.dkk., 2005, Pengantar Hukum Administrasi Negara
Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Indroharto, 2006, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Saleh Ismail , 1995, "Pembinaan Cita Hunum dan Penerapan Asas- Asas
hukum Nasional Sejak Orde Baru", Majalah Hukum Nasional, No.1
1995, Edisi Khusus, BPHN.
Suny Ismail , 2004, Kedudukan MPR, DPR dan DPD Pasca Amandemen
1945, Fakultas Hukum Unair, Surabaya.
Asshiddiqioe Jimly , 2004, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran
Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta
Asshiddiqioe Jimly , 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Konstitusi,
Press Jakarta.
Poerbopranoto Koentjoro , 1987, Sistem Pemerintahan Demokrasi.
Eresco. Bandung.
Wheare K.C, 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, New
York Toronto.
Friedman Laurence M , 1969, The Legal System A Social Science
Perspective, Russell Sage Foundation, New York.
Budiardjo Miriam dan Ambong Ibrahim , (eds), 1993, Fungsi Legislatif
Dalam Sistem Politik Indonesia, Jakarta, Raja Grafndo Persada.
Budiardjo Miriam , 1987, Demokrasi di Indonesia Demokrasi
Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Budiardjo Miriam , 2000, Dasar-Dasar Politik, Edisi Revisi, Ikrar
Mandiri Abadi, Jakarta.
Kusnardi Moh. dan Saragih Bintan.R. , 1998, Susunan Pembagian
Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945, Gramedia, Jakarta.
Kusnardi Moh. dan Ibrahim Harmaily ,1993, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia, Sinar Bakti Jakarta.
Mahfud Moh MD, 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia,
PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Mahfud Moh. MD, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama
Media, Yogyakarta.
Mahfud Moh. MD, 2000, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia,
Yogyakarta: Garna Media.
Morissan, Hukum Tata Negara RI Era Reformasi, Penerbit Ramadina
Prakarsa, Jakarta.
Saidi
Djafar Muhammad, 2008, Hukum
Rajagrafindo Persada Jakarta..
Keuangan
Negara,
PT.
Napitupulu Paiman , 2003, Peran dan Pertanggungjawaban DPR Kajian
Di DPRD Provinsi, Jakarta, Universitas Padjajaran, Bandung.
Hadjon Philipus M, 1998, Tentang Wewenang
(bestuursbevoegheid), dalam “Pro Justitia”.
Pemerintahan
Himawan Riswandha, ,1992, Peningkatan Peran Legislatif
Ketatanegaraan, Jurusan FH UII, Yogyakarta
DPR Seminar
Gautama,S, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Penerbit Alumni,
Bandung.
Saleh, K. Wantjik, 1974, Perkembangan Perundang-Undangan di
Indonesia, Rhineka, Jakarta.
230
Sambutan Menteri Keuangan RI Boediono seusai DPR menyetujui RUU
PPTJKN sebagai undang-undang di Sidang Paripurna DPR, Juni
2004.
Rahardjo Satjipto , 1998, "Keleluasaan Reformasi Hukum", Artikel dalam
Kompas, 8 Mei.
Sigler.A.Jay, 1977, The Legal Sources of Public Policy, Lexington Books
D.C Heath and Company Lexington, Massaehusetts Toronto.
Soekarwo (2005), Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan
Primip-Prinsip Good Financial Governance. Surabaya: Airlangga
University Press.
Soekanto Soerjono ,1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum,
Rajawali Pres, Jakarta.
Soekanto Soerjono , 2008, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Sumantri Sri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,
Bandung.
Strong CF, 2008, Konstitusi Politik Modern Kajian Tentang Sejarah dan
Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Bandung
Suparmoko, 2003, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, BPFE,
Yogyakarta.
Yudhoyono Bambang Susilo , 2010, Dalam Pidato Pembukaan BDF
bertajuk : Demokrasi Untuk Meningkatkan Perdamaian dan
Stabilitas, Bali Post tanggal 10 Desember 2010.
Mulyosudarmo Suwoto, 1997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan
Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Kirom Syahrul , Melemahnya fungsi DPR Bali Post, Senin 28 Juni 2010..
Meyer Thomas , 2003, Demokrasi (Sebuah Pengantar Untuk Penerapan),
Friedrich-Ebert-Stiftung, Kantor Perwakilan Indonesia.
Pitu Andrianus Toni, 2006, Mengenai Teori Politik dari Sistem Politik
Sampai Korupsi, Penerbit Nusa, Bandung.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Jo Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2004 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemeriksaan dan
Pengelolaan Keuangan Negara.
Makalah/Artikel/Jurnal
Abimanyu Anggito , 2004, Format Anggaran Terpadu Menghilangkan
Tumpang Tindih, Kompas, Mei 2004.
Sudarsono Dani, 2000, Interaksi Eksternal Auditor Pemerintah dan
Internal Auditor Pemerintah: antara Harapan dan Kenyataan, (Makalah
yang disampaikan dalam Seminar Reinventing Auditor Internal
Pemerintah yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Akuntansi dan
Keuangan, Jakarta 7 Juni)
Gandhi, 2000, "Sistem Pemeriksaan Keuangan Negara," (Makalah yang
disampaikan dalam lokakarya "Reformasi Sistem Pengelolaan
Keuangan Negara, Jakarta, 17 Mei).
Campbell Black Henry, 1999, Black’s Law Dictionary, 6 Ed, Paul Minn,
West Publishing.
Asshiddiqie Jimly , 2000, Institusi Kepresidenan Dalam Sistem Hukum
Indonesia, (Makalah), Jakarta.
Asshiddiqioe Jimly, 2003, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan Keempat UUD 1945(Makalah) Disampaikan pada
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar Bali.
Majalah Wawasan Hukum, HAM dan Politik, 2006, Edisi XXXIII Th. III
Minggu Kedua Desember
Daud Nurhajati Sitti, 2003, The Role Of The Secretary General Of The
Indonesian House Of Representatives in The Era Reform in
232
Indonesia, Geneva Meeting.
Rasul Syahruddin , 2003, Pengintegrasian Sistem akuntabilitas Kinerja
dan Anggaran Dalam Perspektif UU No.17/2003 tentang Prinsip
Keuangan Negara, Jakarta.
UsfunanYohanes, 1998, Kebebasan Berpendapat di Indonesia (Disertasi)
Dalam Meraihgelar Doktor pada Program Pascasarjana UNAIR, Surabaya.
Asshiddiqie Jimly ,2004,Kedudukan dan Peranan MK dalam Sistem
Ketatanegaraan Pasca Amendemen UUD 1945 dalam Makalah
Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia FH UNAIR Surabaya.
http://unu.edu/unupress/unupbooks/uu15oe/uu15oe07.htm ,
Legislative
Competence Order.
http://codes.ohio.gov/orc/118.05, Financial Planning and Supervision
Commission.
Download