TESIS WEWENANG DPR DALAM PENETAPAN DAN PENGAWASAN APBN MENURUT UNDANGUNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 GUSTI PARTANA MANDALA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 1 TESIS WEWENANG DPR DALAM PENETAPAN DAN PENGAWASAN APBN MENURUT UNDANGUNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 GUSTI PARTANA MANDALA NIM : 0890561041 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA 3 DENPASAR 2011 TESIS WEWENANG DPR DALAM PENETAPAN DAN PENGAWASAN APBN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana GUSTI PARTANA MANDALA NIM : 0890561041 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 11 APRIL 2011 Pembimbing I, Pembimbing II, Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, SH., MS NIP. 194406111973021001 I Gede Yusa, SH.,MH NIP. 196107201986091001 Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Mengetahui Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, 5 Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.SU Sp.S(K) NIP. 195604191983031003 Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, NIP. 195902151985102001 Tesis ini telah diuji pada Tanggal 11 April 2011 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No : 0797/UN 14.4./HK /20011 Ketua : Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, SH, MS Anggota : 1. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH, MH 2. I Gede Yusa, SH, MH 3. I Nyoman Suyatna, SH, MH 4. I Gede Marhendra Wija Atmaja, SH, MH 7 SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di Nama NIRM Instansi Tempat/Tanggal Lahir Alamat bawah ini : : Gusti Partana Mandala : 0890561041 : Kantor Kopertis Wilayah VIII Denpasar : Singaraja, 29 Nopember 1956 : Jl. Dewata I No. 18 Denpasar Menyatakan pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya, dan apabila dikemudian hari ternyata tidak benar, maka saya bersedia dituntut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, 25 April 2011 Hormat Saya, Gusti Partana Mandala UCAPAN TERIMA KASIH Rasa syukur penulis sampaikan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir berupa Tesis ini tepat pada waktunya. Penyelesaian penulisan tesis yang berjudul : “Wewenang DPR Dalam Penetapan dan Pengawasan APBN Menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945”. Selesainya tugas tesis ini berkat bantuan, dorongan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Maka dari itu, sudah sepantasnya penulis menyampaikan ucapan terima kasih danpenghargaan kepada : 1. Prof. Dr.dr. I Made Bakta, Sp.PD (Khom), Rektor Universitas Udayana yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk menempuh pendidikan Program Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. 2. Prof. Dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah menyediakan fasilitas dan pelayanan yang sangat mendukung dalam menyelesaikan perkuliahan. 3. Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH.SU, Ketua Program Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana, 4. Bapak Putu Arya Sumerthayasa, SH.MH., Sekretaris Program Magister 9 Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah memberikan bantuan selama menyelesaikan studi pada Program S2. 5. Bapak Prof. DR. I Dewa Gede Atmadja, SH.,MS, sebagai Pembimbing I yang dengan penuh perhatian dan kesabaran memberikan petunjukpetunjuk sejak awal memformulasikan draft telah membimbing dan mencurahkan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. 6. Bapak I Gede Yusa, SH.MH., sebagai Pembimbing II yang dengan sabar dan penuh pengertian memberikan petunjuk dan bimbingan, dorongan, semangat, serta mencurahkan ilmu pengetahuannya sejak perkuliahan hingga terselesaikannya tesis saya ini. 7. Para Guru Besar Penanggung Jawab Mata Kuliah, yang telah tulus ikhlas membagikan ilmu kepada penulis sehingga menjadikan penulis lebih percaya diri dan lebih yakin menapak ilmu yang telah penulis peroleh selama mengikuti kuliah program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. 8. Ibu A.A. Istri Agung Yuniana dan I Gusti Ayu Raka Wiratni selaku staf administrasi pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah banyak membantu kelancaran proses studi. 9. Kepada para informan yang tidak disebutkan namanya satu persatu yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan data yang diperlukan. 10. Kedua orang tua Bapak I Gusti Made Sakti Mengali, Ibu Gusti Ketut Rai dan istri Putu Diah Putri Idawati, SE.,MSi serta anak-anak (Dian, Agung, Ratih) yang cukup banyak memberikan dorongan dan pengertiannya selama proses studi. 11. Untuk semua teman-teman yang satu angkatan kuliah, yang telah banyak memberikan semangat dan dorongan dalam penyelesaian tesis ini. 12. Semua pihak civitas akademika Program Studi Magister Ilmu Hukum yang tidak disebut secara satu persatu yang sangat banyak membantu kelancaran proses studi selama ini. Pada kesempatan ini pula saya tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu atas bantuan, partisipasinya, doa dan perbuatan baiknya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan berkah dan karuniaNya kepada kita semua, sehingga ilmu yang saya peroleh dapat bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan negara. Denpasar, Januari 2011 Penulis, 11 RINGKASAN Judul Penelitian ini adalah Wewenang DPR dalam Penetapan dan Pengawasan APBN Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan sarana utama pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus sarana pemerintah untuk pengelolaan perekonomian negara, APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan ,mencapai pertumbuhan ekonomi meningkatkan pendapatan nasional ,mencapai stabilitas perekonomian ,dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. Dalam fungsi penetapan DPR dengan hak legislasi, anggaran dan pengawasan yang dimilikinya perlu lebih berperan dalam mengawasi APBN sehingga benar-benar dapat secara efektif menjadi instrumen untuk pengelolaan keuangan negara dengan baik. Dalam kaitan itu ada 2 rumusan masalah yang dibahas, yaitu 1. Apa Wewenang DPR dalam Fungsi Penetapan APBN Menurut Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan prinsip Demokrasi 2. Bagaimana Mekanisme Wewenang DPR Berkaitan dengan Fungsi Pengawasan terhadap APBN Menurut Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pengelolaan Keuangan Negara. Disamping latar belakang dan permasalahan yang disampaikan pada Bab I membahas mengenai tujuan dan manfaat penelitian, landasan teoritis beserta metode penelitiannya. Pada Bab II dengan judul Landasan Yuridis Konstitusional Wewenang DPR dalam Penetapan dan Pengawasan APBN. Bab III dengan judul Wewenang DPR dalam Fungsi Penetapan APBN Sesuai dengan Prinsip- prinsip Demokrasi Bab yang membahas permasalahan pertama tesis ini yaitu Wewenang DPR dalam Fungsi Penetapan sesuai dengan Prinsip Demokrasi. Dari pembahasan atas sub bahasan pada bab III ditemukan bahwa Pasal 23 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apabila DPR tidak menyetujui rancangan APBN yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun sebelumnya, artinya DPR memiliki hak anggaran, yang mana dalam hal ini penetapan APBN kedudukan DPR lebih kuat daripada Pemerintah karena DPR mempunyai hak menolak atau menerima penetapan sesuai dengan aspirasi rakyat yang artinya menunjukan secara filosofis yuridis, hal ini merupakan tanda dari kedaulatan rakyat. Dengan demikian konsepsi keuangan negara adalah APBN yang merupakan kedaulatan rakyat yang diamanatkan kepada DPR. Bab IV dengan judul Mekanisme Fungsi Pengawasan DPR Berkaitan Dengan Pengelolaan Keuangan Negara. Bab yang membahas permasalahan kedua tesis ini sub bahasannya adalah Mekanisme DPR dalam Fungsi Pengawasan Terhadap Pengelolaan Keuangan Negara adalah diatur dalam Pasal 20 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, DPR memiliki fungsi legislasi fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Untuk melaksanakan Fungsi Pengawasan lembaga DPR dilengkapi dengan hak untuk meminta keterangan(interpelasi) hak untuk menyelidiki (angket), hak menyatakan pendapat (resolusi) dan hak menuntut pertanggungjawaban (impeachment) yang bersama-sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara hasil pemeriksaan diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD. Hasil pemeriksaan pengelolaan keuangan negara ditindaklanjuti oleh Presiden jika terjadi tindak pidana korupsi diserahkan kepada penegak hukum. Disamping itu DPR akan mengevaluasi hasil pemeriksaan BPK untuk APBN tahun yang akan datang. Akhirnya sebagai Bab penutup pada tesis ini yakni Bab V diuraikan tentang kesimpulan beserta saran-sarannya. Simpulan fungsi penetapan APBN oleh DPR bisa diterima dan bisa ditolak sesuai dengan aspirasi rakyat yang merupakan kedaulatan rakyat yang bersumber pada prinsip demokrasi yaitu hukum menjamin persamaan kedudukan didepan hukum dan hukum menjamin pengawasan masyarakat terhadap pemerintah melalui wakil-wakil yang dipilih. Selanjutnya saran disampaikan lembaga DPR maupun Presiden untuk membuat peraturan perundang-undangan sebagai tolok ukur penetapan APBN yang sesuai dengan aspirasi rakyat dan menjamin kepastian hukum. 13 ABSTRAK Judul Penelitian ini adalah “Wewenang DPR Dalam Penetapan dan Pengawasan APBN Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Penelitian ini dilatar belakangi oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang merupakan sarana utama pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus sarana pemerintah untuk pengelolaan perekonomian negara dalam fungsi penetapan DPR dengan hak legislasi, anggaran dan pengawasan yang dimilikinya perlu lebih berperan dalam mengawasi APBN sehingga benar-benar dapat secara efektif menjadi instrumen untuk menjadi acuan dalam pembangunan yang dilakukan secara rutin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami sumber wewenang DPR dalam penetapan APBN, dan untuk mengetahui serta memahami apakah wewenang DPR sebagai lembaga legislatif sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam penetapan dan pengawasan APBN yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari hasil penelitian kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang diperoleh melalui teknik penelaahan kepustakaan yang didukung dengan tehnik analisis. Bahan hukum maupun informasi penunjang yang telah dikumpulkan tersebut terlebih dahulu dilakukan deskripsi dengan penguraian proposisi-proposisi hukum dan non hukum yang dijumpai kemudian dinterpretasikan untuk selanjutnya disistematisasi, dievaluasi serta diberikan argumentasi untuk mendapatkan simpulan atas kedua permasalahan tersebut. Hasil pemeriksaan BPK yang diberitahukan kepada DPR, sebenarnya mengandung makna yuridis yang kurang tegas dipandang dari pemakaian istilahnya. Apabila dalam temuan pemeriksaan terdapat indikasi terjadinya penyelewengan, laporan tersebut dapat disampaikan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur hukum. Untuk dapat berperan lebih banyak dalam penyusunan rancangan APBN diperlukan kemampuan teknis perancang peraturan perundang-undangan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sumber wewenang DPR ada pada sumber hukum formil yakni Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mewajibkan adanya kesepakatan untuk musyawarah mufakat dalam penetapan APBN merupakan wujud dari lahirnya Undang-Undang Keuangan Negara yang memberikan pemahaman filosofis yuridis sebagai bentuk penjelmaan kedaulatan rakyat. Saran dalam penelitian ini adalah perlu adanya jaminan kepastian hukum dalam melakukan penegakan hukum yang dilakukan oleh aparatur negara dalam hal ini BPK terhadap banyaknya penyimpangan dan pelanggaran dalam pengelolaan keuangan negara. Kata Kunci : Wewenang DPR, Penetapan, Musyawarah Mufakat. ABSTRACT The title of this research is the "Authority Establishment and Oversight DPR in the state budget according to the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945". This study was based on the State Budget (APBN), which is the principal means of government for the welfare of its people and government as well as facilities for managing the country's economy in determining the function of Parliament with the right legislation, budgeting and monitoring of its need to be more involved in overseeing the state budget so that the correct really can effectively become an instrument to become a reference in the development done routinely. This study aimed to know and understand the source of authority of Parliament in setting the budget, and to know and understand whether the legislative authority of Parliament as an institution in accordance with the Constitution of the Republic of Indonesia 1945 in the establishment and supervision of the state budget related to the management of state finances. This research is a normative law that uses a conceptual approach and the approach to legislation. Legal materials used in this study originated from the research literature which consists of primary legal materials, legal materials, secondary and tertiary legal materials obtained through a literature review of techniques that are supported by technical analysis. Legal materials and supporting information that has been collected in advance is a description of the decomposition of the propositions of law and non law that were found later interpreted to further systematization , evaluated and provided arguments for a conclusion of the second problem. All expenditure and income that implementation is done by the government must be justified its use because it involves the interests and destiny of the people. CPC Examination results are notified to Parliament, in fact contain a less strict legal meaning is seen from the use of the term. If the examination findings are indications of fraud, the report may be submitted to the Attorney General for further action in accordance with legal procedures. To be able to contribute more in the preparation of the draft State Budget is required technical capabilities designer legislation. From this research we can conclude that the source of authority is in the DPR formal legal sources namely Article 23 of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945, requires the existence of an agreement for consensus agreement in setting the budget is a manifestation of the birth of the State Finance Law which provides the philosophical understanding juridical as a form of manifestation of popular sovereignty. Suggestions in this research is necessary to guarantee of legal certainty in the conduct of 15 law enforcement by the state apparatus in this case the CPC by the number of irregularities and abuses in the management of state finances. Keywords: consensus. Authority of Parliament, Determination, Deliberation DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ................................................................................................................ ................................................................................................................ i ................................................................................................................ HALAMAN PERSYARATAN GELAR ................................................................................................................ ................................................................................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................................ ................................................................................................................ iii LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................................................................ ................................................................................................................ iv SURAT PERNYATAAN ................................................................................................................ ................................................................................................................ v UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................................................ ................................................................................................................ vi RINGKASAN ................................................................................................................ ................................................................................................................ ix ABSTRAK ................................................................................................................ ................................................................................................................ xi ABSTRACT ................................................................................................................ ................................................................................................................ xii DAFTAR ISI ................................................................................................................ ................................................................................................................ xiii BAB I PENDAHULUAN ............................................................. 1 I.1. Latar Belakang Masalah .......................................... 1 I.2. Rumusan Masalah ..................................................... 10 I.3. Tujuan Penelitian ...................................................... 11 I.3.1. Tujuan umum ................................................ 11 I.3.2. Tujuan Khusus .............................................. 11 Manfaat Penelitian .................................................... 12 I.4.1. Manfaat Teoritis ............................................ 12 I.4.2. Manfaat Praktis ............................................. 12 I.5. Landasan Teori .......................................................... 13 I.6. Metode Penelitian ..................................................... 44 I.6.1. Jenis Penelitian .............................................. 45 I.6.2. Jenis Pendekatan ........................................... 45 I.6.3. Sumber Bahan Hukum .................................. 46 I.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .......... 47 I.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ................... 47 I.4. 17 BAB II LANDASAN YURIDIS KONSTITUSIONAL WEWENANG DPR DALAM PENETAPAN DAN PENGAWASAN APBN ............. 2.1. Sumber Wewenang DPR Dalam Melakukan Hak Anggaran ............................................ ............................................ 49 2.2. Dasar Wewenang DPR Dalam Penetapan APBN ............................................ ............................................ 70 2.3. Landasan Pengelolaan Yuridis Keuangan Negara ............................................ Dalam APBN ................................................................................... ................................................................................... 88 BAB III WEWENANG DPR DALAM FUNGSI PENETAPAN APBN SESUAI DENGAN PRINSIPPRINSIP DEMOKRASI ............................................................................................ ............................................................................................ 105 3.1. Wewenang DPR Dalam Fungsi Penetapan Sesuai Dengan Demokrasi Prinsip 49 ................................ ................................ 105 3.2. DPR Sebagai Wakil Rakyat Dalam Penyusunan dan Menetapkan APBN ............................... ................................ 122 3.3. Struktur APBN Dalam Mensejahterakan Rakyat ............................... ............................... 137 BAB IV MEKANISME BERKAITAN FUNGSI PENGAWASAN DENGAN DPR PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA ............................................................................................ ............................................................................................ 150 4.1. Mekanisme DPR dalam Fungsi Pengawasan Terhadap Pengelolaan Keuangan Negara ................................................................................... ................................................................................... 150 4.2. Fungsi Pengawasan dengan Fungsi DPR yang Pengawasan Berkaitan BPK 19 ................................................................................... ................................................................................... 169 4.3. Akibat Hukum Penolakan Penetapan APBN Oleh DPR ................................................................................... ................................................................................... 187 BAB V P E N U T U P 200 5.1. Kesimpulan ................................................................................... ................................................................................... 200 5.2. Saran-saran ................................................................................... ................................................................................... 201 DAFTAR BACAAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah terjadinya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang, memiliki fungsi politik yang sangat strategis yaitu sebagai lembaga penentu arah kebijakan ketatanegaraan memberikan Republik harapan Negara besar bagi Indonesia. Dengan terjadinya perubahan reformasi menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan, dan memiliki akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance dan adanya kebebasan berpendapat. Semuanya itu diharapkan makin mendekatkan bangsa pada pencapaian tujuan nasional sebagaimana terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu gerakan reformasi diharapkan mampu mendorong perubahan mental bangsa Indonesia, baik pemimpin maupun rakyat sehingga mampu menjadi bangsa yang menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan, 21 serta persaudaraan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan alat utama pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus alat pemerintah untuk pengelolaan perekonomian negara. Sebagai alat pemerintah, APBN bukan hanya menyangkut keputusan ekonomi namun juga menyangkut keputusan politik. Dalam konteks ini, DPR dengan hak legislasi, Anggaran dan pengawasan yang dimilikinya perlu lebih berperan dalam mengawasi APBN sehingga APBN benar-benar dapat secara efektif menjadi instrumen untuk mensejahterakan rakyat dan pengelolaan perekonomian negara dengan baik.g Pengelolaan keuangan diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Bab VIII. Oleh karena itu, dapat dipahami rumusan pasal yang mengatugr keuangan negara disusun sangat singkat. Namun, ini tidak berarti pasal tersebut tidak mengandung makna secara filosofis, yuridis, maupun historis Dalam pasal 23. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Konsepsi keuangan Negara memberikan pemahaman filosofi yang tinggi terhadap kedudukan keuangan Negara yang ditentukan APBN sebagai bentuk penjelmaan kedaulatan. Dengan demikian hakekat public revenue dan expenditure keuangan Negara dalam APBN adalah merupakan kedaulatan. Pada waktu itu khususnya mengenai keuangan, benar-benar berdasarkan kepentingan penyelenggaraan Negara dan bangsa, tanpa mengandung nuasa politik partai tertentu, apalagi kepentingan golongan yang haus kekuasaan. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menegaskan Negara Indonesia adalah Negara Hukum berarti negara memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan tujuannya berupa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kendala yang dihadapi adalah bagaimana cara memperoleh pembiayaan yang dibenarkan oleh hukum, untuk merealisasikan tujuan tersebut. Oleh karena itu, yang terkait dengan keuangan negara merupakan sumber hukum konstitusional sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 adalah sebagai berikut.; Pasal 23 Ayat (1); Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar kemakmuran rakyat. Ayat (2); Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama pertimbangan DPD. DPR dengan memperhatikan 23 Ayat (3); Apabila DPR tidak menyetujui Rancangan UndangUndang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun lalu. Pasal 23 ayat (1) tersebut memiliki hak begrooting DPR yang mana dalam hal penetapan pendapatan dan belanja negara kedudukan DPR lebih kuat daripada pemerintah yang artinya menunjukan secara filosofis yuridis, hal ini merupakan tanda dari kedaulatan rakyat. Dengan demikian konsepsi keuangan negara, hakekat APBN adalah kedaulatan rakyat yang diamanatkan kepada DPR. Hal ini berarti titik berat tujuan anggaran negara merupakan autorisatie dari volkvertegenwoordiging kepada pemerintah untuk mengadakan pengeluaran atau pembiayaan. Dengan menyatakan APBN adalah mactiging berarti harus ada tanggung jawab yang selayaknya diberikan kepada yang memberi machtiging Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kuasa diberikan kepada DPR untuk dilaksanakan oleh pemerintah oleh sebab itu pemerintah dalam pelaksanaan APBN harus mempertanggungjawabkan kepada DPR. Karena itu pemerintah dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi mengajukan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara yang telah disusunnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat guna memperoleh pembahasan dan pengesahan. Mekanismenya adalah sebagai berikut ; Pemerintahan menyampaikan amanat anggaran (budget message) kepada Dewan Perwakilan Rakyat biasanya dalam suatu sidang paripurna dewan tersebut beberapa bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan tiba. Dalam amanat itulah pemerintah menjelaskan program kerjanya untuk tahun anggaran yang akan datang disertai argumentasi mengapa program tersebut diputuskan untuk dilaksanakan, berapa biayanya serta sumber-sumber dan perkiraan jumlah penerimaan. Segera setelah Pemerintah menyampaikan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat melalui komisi-komisi yang terdapat didalamnya melakukan pembahasan yang mendalam. Sangat mungkin dalam pembahasan yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat melalui komisi-komisinya mengundang pejabat pemerintah yang menjadi mitra kerjanya untuk berbagai kepentingan, seperti : a. Menyatukan persepsi tentang pentingnya program yang akan dilaksaanakan. b. Meminta penjelasan lebih lanjut tentang rincian anggaran yang diajukan. c. Informasi lain yang diperlukan oleh dewan guna menjamin bahwa program pemerintah tersebut benar-benar dikaitkan dengan tujuan negara bangsa yang bersangkutan.1 1Azmy Achir,1976 Masalah Pengurusan Keuangan Negara Suatu Pengantar Teknis, Buku I Bandung; CV Yulianti, , hlm. 34. 25 Setelah pembahasan selesai dilakukan, Rancangan Undang-Undang APBN itu disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Anggaran Negara yang dapat disingkat menjadi Anggaran Negara yang isinya dan angkaangkanya dapat sama dengan yang diajukan oleh pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara, tetapi mungkin pula dengan perubahan-perubahan tertentu yang telah disepakati bersama. Dengan pengesahan undang-undang yang menjadi pegangan bagi pemerintah dan bahkan seluruh aparat negara untuk menyelenggarakan berbagai kegiatannya. Anggaran Negara adalah suatu dokumen yang memuat perkiraan penerimaan dan pengeluaran serta rincian kegiatan-kegiatan di bidang pemerintahan negara yang berasal dari pemerintah untuk jangka waktu satu tahun. Jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran negara kadangkala direncanakan dengan cara berimbang untuk tahun anggaran negara yang bersangkutan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan pemerintah mengelola anggaran negara sehingga tidak menimbulkan defisit terhadap anggaran negara termaksud. Anggaran negara yang ditetapkan dalam bentuk undang-undang mengandung unsur-unsur antara lain : 1. 2. Dokumen hukum yang memiliki kekuatan hukum mengikat; Rencana penerimaan negara baik dari sektor pajak, bukan pajak, dan hibah; Rencana pengeluaran negara baik bersifat rutin maupun pembangunan; Kebijakan negara terhadap kegiatan-kegiatan di bidang pemerintahan yang memperoleh prioritas atau tidak memperoleh prioritas; Masa berlaku hanya satu tahun kecuali diberlakukan untuk tahun anggaran negara ke depan. 2 3. 4. 5. Kelima unsur anggaran negara di atas merupakan satu kesatuan tak terpisahkan sehingga menggambarkan kemampuan negara dalam jangka waktu satu tahun untuk mewujudkan tujuannya. Unsur-unsur yang terdapat dalam anggaraan negara merupakan hal-hal yang bersifat esensial dan tidak dapat dikesampingkan dalam bernegara. Oleh karena itu, anggaran negara tidak dapat dipisahkan dengan negara yang bertujuan untuk memakmurkan rakyat terlepas kemiskinan dan kemeralatan. Dalam rangka mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan pemerintah negara guna mendukung keinginan untuk menciptakan pemerintah yang bersih, akuntabel dan transparan dalam pengelolaan keuangan negara maka DPR memiliki fungsi-fungsi dalam hal ini diatur dalam pasal 20 A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. 2Muhammad Djafar Saidi,2008 Hukum Keuangan Negara, PT. Rajagrafindo Persada Jakarta, , hlm. 104 27 Disamping itu menurut para ahli hukum Indonesia yaitu Bintan R.Saragih 3 DPR mempunyai 3 fungsi yaitu (1) fungsi perundangundangan, (2) fungsi pengawasan dan (3) fungsi pendidikan politik. Fungsi perundang-undangan mencakup pembentukan undang-undang seperti UU Pemilu, pembentukan UU tentang APBN, dan ratifikasi perjanjian-perjanjian dengan negara lain. Fungsi pengawasan dijalankan untuk mengawasi eksekutif agar berfungsi menurut undang-undang yang dibentuk oleh DPR. Fungsi Pendidikan Politik dilakukan melalui pembahasan-pembahasan kebijaksanaan pemerintah di DPR yang kemudian dimuat serta diulas dalam media massa sehingga rakyat dapat mengikutinya dan secara tidak langsung rakyat dididik ke arah warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya. Alfian 4 berpendapat bahwa DPR mempunyai 4 fungsi yaitu (1) Fungsi Legislatif, (2) fungsi pengawasan/kontrol, (3) fungsi wakil rakyat/penyalur aspirasi dan kepentingan rakyat dan (4) fungsi lain-lain. BN.Marbun 5 menyatakan bahwa DPR mempunyai 5 fungsi yaitu (1) Bersama-sama dengan presiden membentuk undang-undang, (2) Bersama-sama dengan presiden menetapkan APBN, (3) melakukan 3Bintan R. Saragih1991, Peranan DPR GR Periode 1965 dalam Menegakkan Kehidupan Ketatanegaraan yang Konstitusional Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945,penerbit Universitas Padjadjaran Bandung hlm 108 . 4Alfian & Nazaruddin Sjamsuddin 1992 (eds). Masa Depan Kehidupan Politik Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, , hlm. 292 5BN.Marbun,1992 DPR RI Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, , hlm. 177 pengawasan atas pelaksanaan UU, APBN dan kebijaksanaan pemerintah, (4) membahas hasil pemeriksaan atas pertanggung-jawaban keuangan negara yang diberitahukan oleh BPK, dan (5) melaksanakan hal-hal yang ditugaskan oleh MPR. Khusus untuk fungsi anggaran, diatur dalam Pasal 23 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Apabila DPR tidak mensetujui rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun lalu. Disamping itu perlu ada pengaturan yang mencakup di dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ; Ayat (2) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan pertanggungjawaban dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun perlu ditetapkan dengan undang-undang; dan Ayat (4) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pemerintah berkewajiban menyampaikan laporan realisasi penggunaan anggaran tiap semester anggaran kepada DPR. Informasi yang disampaikan dalam laporan tersebut menjadi bahan evaluasi pelaksanaan Anggaran 29 Pendapatan dan Belanja Negara pada semester awal dan penyesuaian atau perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada semester berikutnya. Atas dasar itu maka laporan pertanggung jawaban keuangan negara perlu memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 23E Ayat (1) ; Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan negara yang bebas dan mandiri. Hasil dari audit BPK akan dilaporkan kepada DPR sebab uang negara tersebut adalah uang rakyat. Terkait dengan pengelolaan anggaran APBN oleh DPR mulai dari landasan hukumnya yaitu ; Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 sampai Pasal 23E dan Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 Jo. Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka akan timbul beberapa permasalahan yang erat kaitannya dengan judul tesis ini. Adapun permasalahannya yaitu : 1. Apa saja wewenang DPR dalam fungsi Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi ? 2. Bagaimanakah mekanisme wewenang DPR berkaitan dengan fungsi pengawasan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pengelolaan keuangan negara ? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Dari penelitian ini dalam rangka pengembangkan pemikiran konseptual atau mendasar tentang wewenang penetapan pengawas dan pengawasan dalam bidang DPR dalam APBN sebagai salah satu lembaga keuangan negara menurut sistem pemerintahan di Indonesia. 1.3.2 Tujuan Khusus Berdasarkan tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang bersifat khusus, sebagai 31 berikut : 1. Untuk mengetahui dan memahami sumber wewenang DPR dalam penetapan APBN 2. Untuk mengetahui dan memahami apakah wewenang DPR sebagai lembaga legislatif sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam penetapan dan pengawasan APBN yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dapat dicapai melalui penelitian dengan dua pokok permasalahan ini pada hakekatnya yaitu manfaat akademis yang bersifat teoritis dan manfaat yang bersifat praktis seperti berikut : 1. Manfaat Teoritis Bagi kepentingan akademis, hasil penelitian ini akan dapat memberikan sumbangan untuk pengembangan ilmu hukum khususnya pengembangan hukum keuangan negara. 2. Manfaat Praktis Dilain pihak tesis ini bermanfaat praktis yang dapat disumbangkan kepada beberapa individu ataupun lembaga yaitu : a. Untuk pengguna praktis adalah sebagai masukan (input) bagi pihak pemerintah Negara Indonesia agar hasil penelitian nantinya dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu hukum dan pembinaan hukum. b. Untuk pihak Pemerintah Indonesia agar lebih berhati-hati serta cermat dalam menyikapi undang-undang yang dibuat, sehingga tidak menimbulkan sesuatu masalah dikemudian hari terutama dibidang hukum keuangan negara. c. Bagi penulis adalah untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Bali. 1.5 Landasan Teoritis 1.5.1 Teori Pengawasan Di dalam negara demokrasi, menurut H.La Ode Husen 6 menyebutkan bahwa di Belanda pengawasan didefinisikan : ”........... as being informed about, cheking, judging and possibly redressing the way in wich a competence has been or will be made use of (pemberiaan informasi, pemeriksaan, menilai dan mungkin cara memperbaiki sesuai dengan kewenangan). Pengawasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan untuk mencegah agar sesuatu perbuatan/keputusan organisasi/pejabat 6H.La Ode Husen,2005 Hubungan Fungsi Pengawasan DPR Dengan Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, CV. Utomo. Bandung, , Hlm. 94. 33 pemerintah tidak merugikan masyarakat dan bertentangan dengan aturan yang ada. Pengawasan ini sangat diperlukan agar perbuatan pejabat publik (pejabat pemerintah) benar-benar sesuai dengan kebutuhan, kemanfaatan dan sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga bisa mengurangi tindakan otoriter dan penyalahgunaan wewenang dari pejabat pemerintah. Sedangkan menurut Diana Halim Koencoro 7 , menyebutkan pengawasan dalam perspektif HAN adalah mencegah timbulnya segala bentuk penyimpangan tugas pemerintahan dari apa yang telah digariskan (preventif) dan menindak atau memperbaiki penyimpangan yang terjadi (represif). Pengawasan pada dasarnya diarahkan pada semua tindakan publik dari pejabat yang berwenang harus sesuai dan berdasarkan pada aturan hukum yang berlaku dan setiap tindakan atau keputusan yang diambil oleh otoritas publik harus memenuhi syarat dan kriteria bahwa tindakan atau keputusan yang diambil harus logis dan sah menurut hukum artinya bahwa wewenang untuk melakukan tindakan telah memenuhi persyaratan yang sesuai dengan nilai-nilai tertentu bermanfaat atau secara material betul-betul dibenarkan oleh hukum. Fungsi pengawasan pelaksanaan APBN dilakukan oleh pengawasan fungsional baik eksternal maupun internal pemerintah. 7S.F.Marbun 2004 dkk, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Press Jogjakarta, , hlm. 267. Pengawasan eksternal dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR Sementara itu pengawasan internal dilakukan oleh inspektorat jenderal/inspektorat utama pada masing-masing departemen/lembaga Badan Pengawas Keuangan dan pembangunan (BPKP) pada semua departemen/lembaga (termasuk BUMN). Pengawasan yang dilakukan oleh pengawas internal maupun eksternal tersebut diatas bersifat post audit. Untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan oleh DPR atau parlemen merupakan sesuatu yang mutlak harus ada, karena dalam sistem representatif government pengawasan merupakan kekuasaan asli (original power) parlemen. Oleh karena itu sesungguhnya DPR lebih berfungsi sebagai pengontrol terhadap kekuasaan pemerintah daripada objek lembaga perwakilan rakyat yang memiliki fungsi legislatif, anggaran dan pengawasan. Fungsi pengawasan menjadi titik krusial penciptaan tata kepemerintahan yang baik (good government) karena mempersempit ruang terjadinya perubahan pemerintahan yang tercela yang frekuensinya lebih banyak terjadi dalam pemerintah. Diantara tiga fungsi DPR (anggaran, pengawasan, legislasi) maka fungsi kontrol/pengawasan merupakan fungsi DPR yang sampai saat ini memiliki banyak penafsiran dan perbedaan dalam implementasinya ada yang menilai 35 bahwa pengawasan yang dilakukan pada era perubahan terlalu ketat atau malahan terlalu longgar padahal check and balance dibutuhkan bagi penyelenggara pemerintah yang baik (good government). Dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap eksekutif, DPR juga kurang profesional karena minimnya pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki anggota DPR, kurang begitu mengerti mengenai kompleknya birokrasi yang ada dalam tubuh eksekutif sehingga pengawasan yang dilakukan oleh DPR tidak efektif. Fungsi birokrasi diharapkan dapat melaksanakan tugas pelayanan kepada masyarakat secara maksimal dalam arti berdaya guna dan berhasil guna. Sehingga keberadaan pemerintah sebagai pengemong dan pengayom masih kepentingan juga masyarakat diharapkan banyak berbagai dapat kebutuhan dipenuhi mestinya secara adil, layak, rasional dan profesional. dan sebagaimana 8 Pengawasan yang dilakukan oleh DPR terhadap eksekutif terkesan hanya formalitas semata karena dalam pelaksanaan pengawasan jarang sekali ditemukan penyimpangan atau bahkan tidak ada sama sekali sehingga dapat dikatakan dengan minimnya pendidikan dan keahlian yang dimiliki oleh DPR bagaimana bisa melakukan pengawasan terhadap eksekutif yang bisa dikatakan lebih 8Ateng Sarifudin,1996 Butir-Butir Gagasan tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintah yang Layak. PT. Citra Aditya Bhakti Bandung, , hlm. 12. ahli dan mempunyai kualitas yang lebih baik daripada anggota DPR. Dengan demikian tugas dan wewenang pengawasan dimaksud dalam ketentuan ini harus dibedakan dengan tugas pengawasan yang dilakukan oleh DPR berada dalam dimensi politik sedangkan tugas pengawasan yang dilakukan pengawas fungsional berada dalam dimensi administrasi,jika anggota DPR dianggap melakukan korupsi akibat hukumnya pidana. Hal ini berarti tugas pengawasan oleh DPR lebih menekankan pada segi hubungan antara penggunaan kekuasaan oleh eksekutif dengan kondisi kehidupan rakyat di Indonesia. Tanpa adanya fungsi pengawasan yang efektif dari DPR perwujudan pemerintah yang bersih dan demokratis akan sulit dicapai, malahan akan mengganggu proses pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah karena penyimpangan banyak terjadi bertolak dari hukum dan masih lemahnya pengawasan DPR yang melatarbelakangi hal tersebut. Berpijak dari hal di atas, jelas fungsi DPR dalam struktur pemerintahan menunjukkan bias dan kabur akan visi dan misi DPR sebagai lembaga parlemen atas wakil rakyat. Ketidak jelasan DPR dalam berperan terhadap sistem pemerintahan secara genuine merupakan problem utama bagi publik dan ketidakjelasan dalam 37 sistem kinerja di tubuh DPR akan berpengaruh lemah sekali terhadap idealisme DPR. Menurut Syahrul Kirom 9, “Ada beberapa faktor kenapa sistem DPR semakin melemah ; Pertama, kelemahan yang sangat parah terletak ketika negara Indonesia menganut pada sistem pembagian kekuasaan (devision of power) dan pemisahan kekuasaan (separation of power). Gagasan yang diusung oleh Montesque yang sesungguhnya paradigma itu tidak kondusif untuk diimplementasikan di Indonesia sebab ketika paradigma itu digunakan maka akan terjadi adalah perebutan kekuasaan antara fungsi legislatif, yudikatif dan eksekutif, yang ke semua pada akhirnya fungsi itu bekerja sendiri-sendiri. Tanpa mengutamakan kerjasama dalam membangun integritas yang tinggi untuk memperbaiki bangsa Indonesia. Kedua, ketika dikaitkan dengan prinsip demokrasi atau kedaulatan dan kekuasaan ada di tangan rakyat maka dalam konsep pemisahan dan pembagian tersebut haruslah dikembangkan pandangan bahwa kedaulatan yang ada di tangan rakyat harus dibagibagi dan dipisah-pisahkan dengan tujuan untuk menjalin kebersamaan. Bukan tambah menjalankan fungsinya sendiri-sendiri sehingga dapat diharapkan ketiga cabang kekuasaan tersebut bisa tetap berada dalam keadaan seimbang dan diatur oleh mekanisme hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain yang biasa disebut dengan prinsip check and balance. Ketiga, ketiadaan visi DPR secara kolektif dalam menyelamatkan negeri ini dari segala bentuk kapitalisme dan neoliberalisme yang makin menggurita dalam bangsa Indonesia merupakan permasalahan yang multi komplek. Selain itu, mereka juga tidaak mempunyai konsistensi dan visi yang riil tujuan dari anggota DPR. Ini hanyalah untuk kepentingan politik dan kelompok dalam memperebutkan tahta kursi kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian para anggota DPR jangan hanya berpikir bagaimana bisa mencapai kekuasaan. Akan tetapi, bagaimana cara mengatasi suatu permasalahan negara kita dan menggunakan kekuasaan tersebut untuk memenuhi kepentingan rakyat Indonesia. Ketika seseorang masih mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan justru akan menciptakan perlawanan dan 9Syahrul Kirom,2010 Melemahnya fungsi DPR Bali Post, Senin 28 Juni0, hlm. 6. pertentangan akan tetapi jika kepentingan tersebut diarahkan kepada kepentingan politik maka kehendak tersebut akan menjadi kehendak umum yang bisa diterima oleh rakyat secara keseluruhan (res publica). Untuk memahami bagaimana kehendak rakyat maka meminjam istilah Rousseau apa yang disebut dengan vertue (keutamaan) seseorang haruslah dapat membedakan kepentingan yang sifatnya pribadi dan kepentingan umum. Atas dasar tersebut untuk pengelolaan lembaga negara berdasarkan nilai-nilai demokrasi diperlukan moralitas, kemurnian hati, kejujuran, dan bebas dari rasa pamrih serta kepentingan tertentu. 1.5.2 Teori Wewenang Untuk mempertajam permasalahan wewenang DPR pembahasan nantinya terhadap dalam penetapan dan pengawasan anggaran maka dalam sub bahasan ini akan diketengahkan uraian tentang teori wewenang. Pengertian fungsi terkandung wewenang dan tugas. Agar fungsi suatu badan dapat terlaksana kepadanya perlu diberikan wewenang dan tugas tertentu, dengan cacatan bahwa tugas wajib dilaksanakan sedangkan wewenang tidak selalu. 10 Dimana 10A.S.S. Tambunan,1998 Fungsi DPR RI Menurut UUD 1945, Suatu Studi analisis mengenai pengaturannya tahun 1966-1997 Disertasi ,Sekolah Tinggi Hukum 39 secara teoritik kewenangan/wewenang yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Philipus M. Hadjon, membagi cara memperoleh wewenang atas dua cara utama, yaitu 1) atribusi; b) delegasi; dan kadangkadang juga mandat. 11 Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada Undang-undang dalam arti material. Atribusi ini dikatakan juga sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Dari pengertian tersebut jelas Nampak bahwa kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintahan adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan, dengan kata lain dengan atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan itu tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain tersebut. Dengan kata penyerahan, ini berarti adanya perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegetaris). Militer Jakarta hlm 19.. 11 Philipus M. Hadjon, 2005 Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia Penerbit Gajah Mada University Press Yogyakarta . Suatu delegasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain : a. Delegasi harus definitive, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu. b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan. c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarchi kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi. d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut. e. Peraturan kebijakan (bebudsregel) artinya delegans memberikan intruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.12 Wewenang pemerintah tidak hanya meliputi wewenang dalam rangka melaksanakan tugasnya dan distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam kontitusi, pembentukkan wewenang pemerintah didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundang- undangan DPR mempunyai wewenang atribusi asli dalam hal menetapkan Undang-undang. APBN Disamping itu DPR harus memperhatikan dan menampung aspirasi rakyat serta menyuarakan 12Ibid, hal. 94. 41 hati nurani rakyat demi untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Suwoto Mulyosudarmo dengan menggunakan istilah kekuasaan mengemukakan bahwa, ada dua macam pemberian kekuasaan yaitu perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif dan perolehan kekuasaan yang sifatnya derivatif. Perolehan kekuasaan secara derivatif dibedakan atas delegasi dan mandat. 13 Atribusi adalah pembentukan dan pemberian wewenang tertentu kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundangundangan. Pembentukan dan distribusi wewenang terutama ditetapkan di dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945. Pembentukan wewenang pemerintahan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Disini terjadi pemberian wewenang baru oleh suatu ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dilahirkan suatu wewenang baru. Dengan demikian, pembentukan wewenang yang berdasarkan pada atribusi nampak dari ciri-ciri sebagai berikut : a. Melahirkan wewenang baru; b. Dilakukan oleh suatu badan yang pembentukkannya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Legislator yang berkompeten utuk memberikan atribusi wewenang 13Suwoto, Mulyosudarmo,1997 Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, , hlm. 39-48. pemerintahan dibedakan atas original legislator seperti MPR menetapkan Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 dan Presiden bersama DPR membuat undang-undang dan delegated legislator, seperti Presiden menetapkan peraturan pemerintah yang menciptakan wewenang pemerintahan kepada organ tertentu. 14 Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat suatu keputusan oleh pejabat pemerintahan (delegans) kepada pihak lain (delegetaris) dan wewenang itu menjadi tanggung jawab delegetaris. Dengan demikian, pada delegasi selalu didahului oleh adanya atribusi wewenang. Namun demikian, mandat dapat terjadi kepada bukan bawahan, tetapi hal ini baru dianggaap sah apabila : a. Mandataris menerima mau pemberian mandat tersebut; b. Wewenang itu merupakan wewenang; sehari-hari dari mandans; c. Peraturan perundang- undangan yang 14Indroharto,2004 Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, , hlm. 17. 43 bersangkutan tidak bertentangan dengan bentuk pemberian mandat tersebut. Oleh karena itu, unsur-unsur dari mandat (pemberian kuasa) adalah : 1. Hanya dapat dilakukan oleh organ yang memperoleh wewenang secara atributif atau oleh pemegang delegasi; 2. Tidak membawa konsekuensi bagi mandataris untuk bertanggung jawab kepada pihak ketiga, namun dapat diwajibkan untuk memberikan laporan atas pelaksanaan wewenang kepada mandans; 3. Mandataris harus bertindak atas nama mandans; 4. Pelimpahan wewenang kepada pihak ketiga hanya atas seizin mandans. Berdasarkan pada teori itu, maka harus dibedakan antara pembentuk wewenang yang diperoleh secara atributif dengan pembentuk wewenang yang diperoleh secara delegasi. Dari paparan kerangka teori diatas maka terlihat jelas bahwa pemerintah mempunyai kewenangan yang luas dalam melaksanakan pembangunan, menerapkan dan melaksanakan hukum dan peraturan perundang-undangan, pengawasan, maupun penegakan hukum, dengan kata lain pemerintah dalam melaksanakan tugasnya sebagai publik service harus tunduk pada hukum, sebagai konsekuensi dari paham negara yang berdasarkan atas hukum. Konsep hukum lain dari negara berdasarkan atas hukum adalah adanya jaminan penegakan hukum dan tercapainya tujuan hukum. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus mendapat perhatian, yakni keadilan, kemanfaatan atau hasil guna (doelmatigheid), dan kepastian hukum. 15 1.5.3 Teori Demokrasi Para ahli di bidang politik dan hukum dalam memberikan definisi tentang demokrasi bermacam-macam. Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang asal katanya adalah demos berarti rakyat dan kratia yang berarti kekuasaan. Dengan demikian maka 15Sudikno Mertokusumo 1993 Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, , hlm. 1. 45 demokrasi berarti kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Menurut I Dewa Gede Atmadja 16, mengatakan bahwa ; Pemerintahan daerah dan Otonomi Daerah di Indonesia berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (perubahan ke-2) didasarkan pada prinsip demokrasi. Sesuai Kamus Hukum Inggris-Latin (Black’s Law Dictionary), Atmadja mengartikan demokrasi sebagai berikut ; ”That form of goverment in which the sovereign power resides in and is, exercised by the whole body of free citizens directly or indirectly throught a sistem of representation, as distinguished from a monarchie, aristocracy, or oligarchy”. (Yaitu Bentuk pemerintahan yang mana kedaulatan dari keseluruhan lembaga pemerintah, ditentukan oleh rakyat yang bebas, baik langsung maupun tidak langsung melalui dari sistem perwakilan yang berbeda dengan monarki, aristokrasi atau oligarki)”. Sedangkan menurut Franz Magins-Suseno SJ 17, kelebihan demokrasi Yunani atas tradisi-tradisi demokrasi tadi terletak dalam dua hal. Pertama, mereka mengembangkan suatu sistem kelembagaan 16I Dewa Gede Atmaja 2004, Sistem Pemilihan Langsung dan Pertanggungjawaban Kepala Daerah, Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, , hlm. 11 17Franz Magins-Suseno SJ,1995 Mencari Sosok Demokrasi, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, , hlm. 34-35. canggih yang secara eksplisit didasarkaan pada gagasan kekuasaan di tangan rakyat. Kedua, prinsip demokrasi mereka sadari dan mereka repleksikan secara eksplisit-filosofis, dengan mempertimbangkan pro dan kontranya serta dengan memperbandingkan bentuk kenegaraan demokrasi dengan bentuk-bentuk pemerintahan lain seperti kekuasaan satu orang dan kekuasaan di tangan elit. Berangkat dari teori demokrasi mendasarkan kekuasaan pada kehendak rakyat, jika kekuasaan tersebut harus menurut atau sejalan dengan kehendak rakyat, menurut Bagir Manan 18 ada dua pengertian dari kehendak rakyat sebagai berikut : 1. Kehendak rakyat seluruhnya yang dinamakan volente de tous. 2. Kehendak sebagian dari rakyat yang dinamakan volente generale. Artinya kehendak rakyat seluruhnya atau volente de tous hanya dipergunakan oleh rakyat seluruhnya sekali saja. Yaitu pada saat Negara hendak dibentuk melalui perjanjian masyarakat. Maksud dari Volente de tous adalah untuk memberikan sandaran agar negara dapat berdiri sendiri dengan abadi, karena seluruh rakyat telah menyetujuinya, jika Negara sudah berdiri berdasarkan persetujuan masyarakat maka persetujuan itu tidak dapat dicabut kembali. Kehendak dari sebagian rakyat atau volente generale 18Bagir Manan1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan di Indonesia, Indonesia Co, Jakarta, , hlm. 3. 47 melalui keputusan suara terbanyak perlakuan setelah negara sudah berdiri supaya negara bisa berjalan. Demokrasi secara singkat diartikan sebagai suatu sistem politik dimana kekuasaan politik berada di tangan rakyat. Secara histories demokrasi sebagai bentuk pemerintahan tumbuh pertama kali dalam negara kota Athena di Yunani antara tahun 450-250 s.m. Menurut Pericles, salah seorang negarawan Athena demokrasi mempunyai ciri sebagai berikut : pemerintahan oleh rakyat dan partisipasi rakyat secara langsung, persamaaan di muka hukum, pengakuan terhadap kemajemukan bakat, perhatian, serta pandangan, pengakuan terhadap kebebasan pribadi.19 Esensi demokrasi adalah pengakuan bahwa sumber kedaulatan tertinggi pada suatu negara adalah kehendak rakyat. Sebagai implementasi dari demokrasi, seluruh lembaga penyelenggara negara dirancang, diorganisasi serta dioperasikan sebagai pemegang amanat dan kehendak rakyat dan oleh karena itu bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung maupun tidak langsung. A. Mukthie Fadjar20 menyebutkan bahwa demokrasi perwujudannya adalah dengan adanya pemerintahan yang bersendikan perwakilan rakyat, kekuasaan dan kewenangannya berasal dari rakyat dan 19Majalah Wawasan Hukum, HAM dan Politik, 2006, Edisi XXXIII Th. III Minggu Kedua Desember. 20A. Mukthie Fadjar,2005 Tipe Negara Hukum, Bayu Media Publising, Malang, , hlm. 76 dilaksanakan melalui wakil-wakil serta bertanggungjawab penuh terhadap rakyat. Oleh karenanya, demokrasi mensyaratkan adanya pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat tersebut yang diselenggarakan secara berkala dan bebas. Pada hakikatnya bahwa pemerintahan yang demokratis, syarat utamanya harus melibatkan rakyat baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang telah ditunjuk atau dipilih oleh rakyat melalui partai politik dalam sistem pemilihan umum tersebut. Dalam menjalankan roda pemerintahannya maupun merencanakan dan menyususn programprogram kegiatan dari pemerintah tersebut. Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya sebab dengan demokrasi, hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh sebab itu hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak selalu sama. Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam penilaian kebijakan negara. Jadi negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat/kedaulatan rakyat. 49 Munculah berbagai teori tentang bagaimana seharusnya dalam menjalankan kedaulatan. Yang sering dipakai dalam jaman modern adalah demokrasi, pemerintahan yang berdasarkan rakyat. Antara rakyat dan kekuasaan negara sehari-hari, lazimnya berkembang atas 2 teori, yaitu : 1. Teori Demokrasi Langsung (direct democracy) dimana kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dalam arti rakyat sendirilah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi yang dimilikinya. 2. Teori Demokrasi tidak langsung (representative democracy). 21 Representasi sangat diperlukan bagi eksistensi otoritas politik di samping beberapa hal pokok lainnya. Bagi para ahli politik tentang kekuasaan, bahwa ia juga sangat tergantung pada beberapa tuntutan lain. Dan biasanya berhubungan dengan konstitusionalisme: pembatasan kekuasaan pemerintah dan kebebasan politik warga negara. Kemudian perkembangan lembaga perwakilan di duniapun menjadi beragam dan berkembang. Hal ini sesuai dengan tuntutan zaman dan dilekatkan pada kekuasaan membuat undang-undang. Setelah berkembangnya ide demokrasi yang telah dimulai sejak 21 Jimly Asshiddiqie, 2003 Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah perubahan keempat UUD 1945 ,disampaikan dalam seminar yang dilakukan oleh BPHN dan DEPKEH dan HAM RI .Jakarta abad ke 19 maka konsep pemerintahan demokrasi menjadi suatu trend dan isu global dalam dunia. Sehingga mayoritas negara menggunakan demokrasi sebagai sistem politik dan negara mereka. Seperti apa yang dikatakan oleh Moh Mahfud MD22, menyebutkan bahwa hampir semua pengertian tentang demokrasi selalu memberikan posisi penting bagi rakyat, kendali secara operasional implikasinya di berbagai negara berbeda-beda artinya semua negara yang mengatasnamakan pemerintahannya menganut sistem pemerintahan yang demokratis pasti melibatkan kepentingan rakyat dalam pengambil kebijakannya baik itu melalui wakil-wakilnya yang ada di lembaga perwakilan maupun secara langsung. Demokrasi memiliki perjalanan sejarah yang amat panjang, keberadaan ide tentang demokrasi sudah dimulai 508 tahun sebelum masehi. Perjalanan panjang tersebut telah pengantarkan demokrasi menuju sebuah dinamika yang berkelanjutan, berevolusi sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan para manusia yang menggunakan. Sri Sumantri23, melihat Demokrasi dalam dua segi yaitu yaitu Demokrasi Materiial dan Demokrasi Formal. Demokrasi dalam arti Materiial adalah demokrasi yang diwarnai 22Moh. Mahfud. MD, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, , hlm. 7. 23Sri Sumantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, Hlm 9-10. 51 oleh falsafah atau idiologi yang dianut loeh suatu bangsa atau negara perbedaan dalam demokrasi yang dianut oleh masing-masing negara menunjukkan adanya perbedaan yang mendasar dalam demokrasi ini. Oleh karena itu dikenal dengan Demokrasi Pancasila. Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Liberal. Demokrasi Sosialis. Demokrasi Rakyat dan Demokrasi Sentralistik. Demokrasi dalam arti formal mengalami perkembangan yaitu dari Demokrasi langsung. Sebagaimana pernah dilaksanakan dalam Negara Kota (City State) di Yunani kuno, menjadi Demokrasi tidak langsung Demokrasi tidak langsung juga dinamakan Demokrasi Perwakilan yaitu demokrasi yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga/badan perwakilan rakyat. Demokrasi dapat diartikan dengan dua makna menurut Sri Sumantri yaitu Demokrasi Materiial, makna pengertian itu sendiri (Pemerintahan dari dan oleh rakyat) yang dipengaruhi oleh falsafah negara dan Demokrasi Formal dalam arti pelaksanaannya (yaitu Demokrasi langsung dan Demokrasi perwakilan) Afan Gafar24 memberikan pemahaman tentang demokrasi menjadi dua yaitu Demokrasi Normatif yaitu merupakan sesuatu yang ideal hendak dilakukan oleh sebuah negara, yang diterjemehkan dalam 24Afan Gafar, 2002, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Hlm. 3 konstitusi masing-masing negara yang mengutamakan unsur-unsur dan prinsip-prinsip dari suatu pemerintahan yang demokratis dan Demokrasi Empirik yang mengutamakan pengaruh terjadinya atau terselenggaranya pemerintahan yang demokratis tersebut. Dalam memberikan pemerintah mendifinisikan syarat yang suatu demokrasi negara demokratis dapat yaitu dalam dikatakan arti normatif melaksanakan Pertama Adanya Akuntasi/pertanggungjawaban bagi setiap pejabat pemerintah. Kedua, Adanya rotasi kekuasaan artinya kekuasaan tidak dimonopoli oleh orangorang atau golongan tertentu untuk selamanya akan tetapi adanya periodesasinya untuk dilakukan pergantian pemegang kekuasaan tersebut. Ketiga, Adanya rekruitmen politik yaang terbuka artinya peluang untuk menduduki suatu jabatan dalam kekuasaan tersebut bagi semua orang. Keempat, Adanya pemilu yang teratur setiap warga negara suadah dewasa berhak untuk memilih dan dipilih jabatan politik. Kelima, Masyarakat menikmati hak-hak dasar Terutama Hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk berkumpul dan berserikat, serta hak untuk menikmati pers yang bebas dari tekanan penguasa. Menurut Thomas Meyer25 menyatakan demokrasi perwakilan mempercayakan sepenuhnya pengambilan keputusan di tingkat parlemen oleh wakil-wakil yang dipilih. Demokrasi langsung akan mengalihkan sebanyak mungkin keputusan kepada rakyat yang berdaulat misalnya melalui plebisit, 25Thomas Meyer,2003 Demokrasi (Sebuah Pengantar Untuk Penerapan), Friedrich-Ebert-Stiftung, Kantor Perwakilan Indonesia, , hlm. 13-14. 53 referendum, jajak pendapat rakyat dan keputusan rakyat atau mengembalikan sebanyak mungkin keputusan ke tingkat komunitas lokal. Pada suatu negara yang luas peluang diterapkannya demokrasi langsung sangat terbatas. Sidang paripurna yang menghadirkan seluruh rakyat tidak mungkin dilakukan. Plebisit hanya dapat dilakukan untuk beberapa permasalahan dan hanya dengan mempersiapkan waktu yang cukup untuk sebagian besar pengambilan keputusan pada tingkat regional dan nasional yang dapat dilakukan hanyalah demokrasi perwakilan. Tetapi demokrasi perwakilan murni sering kali menunjukkan kecendrungan mengabaikan kehendak rakyat dan mempersulit identifikasi serta partisipasi politik rakyat. Dalam banyak kasus pengalaman membuktikan bahwa kombinasi cerdas antara demokrasi perwakilan dan elemen-elemen demokrasi langsung yang relevan sangatlah bermanfaat. Untuk permasalahan tertentu sudah dirumuskan secara akurat dan terdapat metode yang terstruktur secara jelas untuk menanyakan pendapat rakyat, referendum dapat dilakukan. Selain itu ada juga kemungkinan untuk pembuatan sebanyak mungkin keputusan pada tingkat komunitas lokal. Tugas dan wewenang yang dijalankan oleh setiap lembaga perwakilan rakyat di dunia adalah sebagai berikut : 1. Sebagai lembaga perwakilan rakyat yang mengawasi jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan eksekutif agar kekuasaan pemerintah tidak menindas rakyat sehingga kekuasaan tidak dijalankan secara sewenang-wenang. 2. Sebagai pemegang kekuasaan legislatif untuk menjalankan keinginan rakyat dan diinterprestasikan dalam undang-undang dan juga sebagai pembuat undang-undang dasar (supreme legislative body of some nations).26 1.5.4 Konsep Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Yang dimaksud dengan anggaran (budget) adalah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran negara yang diharapkan dalam waktu tertentu yang biasanya adalah satu tahun. Ada anggaran yang disusun berdasarkan atas tahun kalender yaitu mulai tanggal 1 April dan tutup pada tanggal 31 Maret sampai tahun yang berikutnya, tetapi ada pula yang tidak dimulai pada tanggal 1 januari dan diakhiri pada tanggal 31 Desember Sejak tahun 1969. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di Indonesia dimulai pada tanggal 1 januari dan tutup pada tanggal 31 Desember dari tahun yang bersangkutan. Biasanya lembaga eksekutif yang mempersiapkan rencana penerimaan dan pengeluaran/belanja termasuk pos-posnya kemudian diajukan kepada lembaga legislatif untuk dipertimbangkan dan kemudian diputuskan serta ditetapkan sebagai undang-undang. menetapkan Dalam UUD NRI 1945 Presiden Anggaran Pendapatan dan belanja negara (APBN) setelah mendapat persetujuan DPR. Pada pokoknya anggaran harus mencerminkan politik 26 Ibid hlm 15 55 pengeluaran pemerintah yang rasionil secara kuantitatif maupun secara kualitatif sehingga akan terlihat bahwa : 1. Ada pertanggungjawaban atas pungutan pajak dan pungutan lainnya oleh pemerintah, misalnya untuk memperlancar proses pembangunan ekonomi. 2. Adanya hubungan yang erat antara fasilitas penggunaan dana dan penarikannya. 3. Adanya pola pengeluaran pemerintah yang dapat dipakai sebagai pertimbangan didalam menentukan pola penerimaan pemerintah yang pada akhirnya menentukan pula tingkat distribusi penghasilan dalam perekonomian. 27 Dengan adanya reformasi tersebut mendapatkan landasan hukum yang kuat dengan telah disahkan UU RI Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU RI Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, UU RI Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara dan UU RI Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan Negara. Sebelum Undang-Undang tersebut diundangkan aturan yang berlaku untuk Pengelolaan Keuangan Negara masih menggunakan 27Suparmoko,2003 Yogyakarta, , hlm. 48 Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, BPFE, peraturan peninggalan pemerintah Kolinial Belanda seperti Indische Comptabiliteitswet yang lebih dikenal dengan nama ICW Stbl 1925 No.488 yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1864 dan mulai berlaku tahun 1867. Selain ICW ada juga Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl No.419 jo. stbl No.445 dan Reglement Voorhet Administratief Beheer (IAR) Stbl. 1933 No.320 Peraturan-peraturan seperti ICW, IAR, IBW dan RAB, sengaja diciptakan dan dibuat oleh pemerintahan Kolonial Belanda sebagai penguasa yang menjajah Indonesia saat itu dengan pendekatan untuk kepentingan Negara Belanda atas Indonesia. Paradigma negeri jajahan itulah yang sangat kental mewarnai peraturan-peraturan itu. Ketika diterapkan kepada Negara yang berdaulat dan merdeka seperti Indonesia saat ini, peraturanperaturan itu sudah tidak lagi relevan dan layak dijadikan pedoman pengelolaan keuangan negara. Merubah seluruh peraturan diatas dengan peraturan yang bersemangat independensi dan menjunjung tinggi kedaulatan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Selain itu muatan yang terdapat di dalam aturan-aturan kolonial itu sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini, apalagi tingkat komplekstitas permasalah saat ini jauh lebih tinggi dari masa dulu. Oleh karena itu, walaupun masih berlaku sebagai aturan 57 perundang-undangan tetapi secara materiil sudah tidak dapat dilaksanakan. lemahnya Kekosongan sistem perundang-undang pengelolaan keuangan ini negara, membuat selama ini kekosongan itu hanya dilengkapi dengan Keputusan Presiden, yang terakhir diantaranya diatur oleh Keppres No.42 Tahun 2002 Tentang Pedoman Pelaksanaan APBN dan Keppres No.80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang / jasa Pemerintah. Keputusan Presiden di dalam tata hukum tidak terlalu mengikat sebagaimana suatu Undang-Undang. Dari kelemahan tata hukum itulah kemudian menjadi salah satu penyebab banyaknya praktik penyimpangan dan KKN di dalam pengelolaan keuangan negara selama ini. Puncaknya dengan terjadinya krisis moneter pertengahan 1997 yang telah memporak-porandakan tatanan ekonomi yang telah dibangun dengan susah payah oleh pemerintahan era orde baru ditandai dengan anjloknya rupiah hingga menembus dari level Rp 6000 ke level Rp. 17000 per satu USD. Krisis berlanjut hingga menjadi krisis multidimensional yang kemudian melahirkan era reformasi. Inilah yang memberikan momentum terciptanya tata aturan baru dalam pengelolaan keuangan negara. Dengan adanya paket keuangan negara tersebut yang telah merumuskan empat prinsip dasar pengelolaan negara yaitu: 1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja 2. Keterbukaan dalam setiap transaksi pemerintah 3. Pemberdayaan manajer professional dan 4. Adanya lembaga pemeriksaan eksternal yang kuat, professional dan mandiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan.28 Perubahan mendasar yang diatur oleh Undang-Undang No.17 Tahun 2003 yaitu : 1. Tentang pengertian dan ruang lingkup dari keuangan negara. 2. Asas-asas umum pengelolaan keuangan negara. 3. Kedudukan presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara. 4. Pendelegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan dan Menteri /Pimpinan lembaga. 5. Susunan APBN/dan APBD. 6. Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD. 7. Pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan Bank Sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing. 8. Pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan daerah dan perusahaan swasta. 9. Badan pengelola dana masyarakat. 28C.S.T Kansil & Christine S.T. Kansil,2006 Hukum Penbendaharaan Negara, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, , hlm. 37. Keuangan dan 59 10. Penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD. Sedangkan perbendaharaan perubahan mendasar dalam pengelolaan negara yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 2004 yaitu : 1. Penerapan anggaran berbasis kinerja. 2. Pemberlakuan pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja negara berbasis akrual. 3. Munculnya jabatan fungsional perbendaharaan negara. 4. Pemberian jasa giro atau bunga atas dana pemerintah yang disimpan pada Bank Central. 5. Sertifikat selama Bank ini Indonesia menjadi yang instrumen moneter akan digantikan oleh surat utang negara. Perumusan keuangan negara menggunakan beberapa pendekatan yaitu dari obyek keuangan negara akan meliputi seluruh hal dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Didalamnya termasuk berbagai kebijakan dan kegiatan yang terselenggara dalam bidang fiskal, moneter dan/atau kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu, segala sesuatu dapat berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari subyek keuangan negara meliputi negara dan/atau pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahan negara/daerah dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Keuangan negara dari proses mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang terkait dengan pengelolaan obyek diatas mulai dari proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Keuangan negara juga meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan penguasaan obyek sebagaimana tersebut diatas untuk penyelenggaran pemerintahan negara. Dari pendekatan tersebut diatas menurut UU No. 17 Tahun 2003 merumuskan sebagai berikut bahwa ; Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 61 Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh DPR (pasal 1 angka 7 UU No.17 Tahun 2003) Merujuk pasal 1 UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, APBN dalam satu tahun Anggaran meliputi : 1. Hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih. 2. Kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih 3. Penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikut. Semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui rekening Kas Umum negara ( Pasal 12 Ayat (2) UU No 1 Tahun 2004). Tahun Anggaran adalah periode pelaksanaan APBN selama 12 bulan sejak Tahun 2000, Indonesia menggunakan tahun kalender sebagai tahun anggaran, yaitu dari tanggal 1 januari sampai tanggal 31 Desember sebelumnya, tahun anggaran dimulai tanggal 1 April sampai dengan 31 maret tahun berikutnya. Penggunaan tahun anggaran ini kemudian dikukuhkan dalam UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara (Pasal 4 UU No.17/2003 dan Pasal 11 UU No 1/2004) Sebagaimana ditegaskan dalam bagian penjelasan UU No 17/2003, anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen dan kebijakan ekonomi sebagai fungsi akuntabilitas, pengeluaran anggaran hendaknya dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan hasil (result) berupa outcome atau setidaknya output dari dibelanjakannya dana-dana publik tersebut. Sebagai alat manajemen, sistem penganggaran selayaknya dapat membantu aktifitas berkelanjutan untuk memperbaiki efektifitas dan efisiensi program pemerintah. Sedangkan sebagai instrumen kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian, sosial budaya dan hukum serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Peranan DPR dalam penganggaran dapat dijalankan berdasarkan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Berdasarkan pasal 20A UUD NRI 1945 DPR mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Fungsi Legislasi, Dalam menjalankan fungsi legislasinya. DPR menetapkan dan menyetujui Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara yang diajukan oleh pemerintah, proses penetapan itu sendiri diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI No.1 tahun 2009. Sebelum menetapkan dan menyetujui Rancangan Belanja Negara Undang-Undang Anggaran Pendapatan yang diajukan oleh pemerintah, DPR terlibat 63 secara intens dalam keseluruhan proses penyusunan dan penetapan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Fungsi Anggaran, berkenaan dengan fungsi anggaran DPR mempunyai hak budget sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa Rancangan UndangUndang Anggaran Pendapatan Belanja Negara Presiden untuk dibahas bersama DPR diajukan oleh dengan memperhatikan pertimbangan DPD. DPR sesuai dengan hak budgetnya dapat menyetujui ataupun tidak menyetujui Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara yang diajukan oleh pemerintah dan mengadakan pembahasan. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara secara bersama oleh DPR dan Presiden selain dalam rangka melaksanakan fungsi legislasi juga dimaksudkan agar DPR dapat mengetahui dan mengidentifikasikan dengan jelas bahwa terhadap alokasi yang dicantumkan dalam RAPBN tersebut tidak terjadi penyelewengan. Selain itu, DPR juga mempunyai hak untuk mengajukan usul yang mengakibankan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Dalam konteks peranan DPR dalam penganggaran khususnya pada tahap penyusunan dan penetapan APBN. Menurut Abdullah Zainie29 menyatakan beberapa hal diantaranya : 1. DPR harus mempunyai waktu khusus untuk membahas proses anggaran dengan mengkaji secara teliti sehingga proses tersebut bisa berjalan lancar. 2. DPR harus menguasai keseluruh struktur dan proses anggaran sehingga bisa memberikan peran yang maksimal terhadap proses anggaran. 3. DPR dengan didukung oleh Undang-Undang seharusnya mampu memberikan kontribusi lebih besar bukan hanya sekedar menerima atau menolak Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan Belanja Negara. DPR seharusnya dapat mendiskusikan anggaran sebagai instrumen kebijakan dan untuk menjamin bahwa anggaran tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam konstitusi. DPR juga harus bisa mengkaji dan menganalisis anggaran secara terperinci berdasarkan fungísfungsi yang ada. 4. Anggaran seharusnya digunakan oleh pemerintah dan DPR untuk bertindak sebagai mitra yang berkepentingan dalam pencapaian tujuan yang sama. 5. Kepentingan tertinggi partai harus didahulukan diatas kepentingan partai. Fungsi pengawasan, pengawasan yang dilakukan DPR terdiri dari dua hal yaitu : 1. Pengawasan terhadap pemerintah dalam melaksanakan undang-undang. 2. Pengawasan terhadap pemerintah dalam melaksanakan APBN. Pengawasan DPR terhadap pemerintah dalam melaksanakan APBN dapat dilakukan melalui dua hal yaitu : 29Abdullah Zaini,2003 Peranan DPR Dalam Reformasi Pengelolaan Anggaran Negara, Jurnal Forum Inovasi Vol 5, Desember , hlm. 20. 65 1. Melalui rapat-rapat kerja yang dilakukan oleh komisikomisi DPR dengan departemen-departemen pemerintah. Dalam rapat kerja tersebut DPR dapat mengadakan pembahasan mengenai berbagai hal dengan pemerintah. Selain itu, DPR juga membahas hasil dengar pendapat komisi-komisi dengan masyarakat dan akademisi. Fungsi pengawasan dan fungsi pengganggaran akan berisikan ketika DPR melakukan pembahasan dengan pemerintah untuk mensetujui Rancangan Undang-Undang APBN yang diajukan oleh pemerintah. 2. Menerima dan membahas laporan dari BPK. Berdasarkan Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ditetapkan bahwa hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, DPRD sesuai dengan kewenangannya. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK akan digunakan oleh DPR untuk mengevaluasi pertanggungjawaban pemerintah dalam pelaksanaan APBN. Menurut Pasal 145 Peraturan Tata Tertib DPR, DPR membahas hasil pemeriksaan tersebut yang diberitahukan oleh BPK dalam bentuk hasil pemeriksaan semester yang kemudian disampaikan dalam rapat paripurna DPR untuk dipergunakan sebagai bahan pengawasan. Hasil pemerikasaan juga membantu DPR dalam rangka memberikan persetujuan atas APBN yang diajukan oleh pemerintah. 1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, atau penelitian doktrinal, yang mempergunakan bahanbahan hukum berupa ; peraturan perundang-undangan sebagai hukum primer; teori-teori hukum, hasil penelitian, tulisan (hasil karya) para sarjana hukum dan dokumen hukum tertulis lainnya yang relevan dengan obyek penelitian dan dokumen tertulis lainnya yang relevan, sebagai bahan hukum sekunder; serta bahan-bahan hukum tertier yang memberikan penjelasan atau petunjuk terhadap bahan hukum primer. 30 30 30 Roni Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 34 67 1.6.2 Jenis Pendekatan Dalam melaksanakan penelitian ini jenis pendekatan yang dipakai adalah : pendekatan perundang-undangn (the statute approach) adalah menganalisa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat dalam penetapan dan pengawasan anggaran APBN bersama-sama dengan pemerintah berdasarkan pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945). Pendekatan analisis konsep hukum (analytical dan conceptual approach) yaitu pendekatan ini dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum untuk masalah yang diharapkan. Disini penulis akan menganalisa permasalahan hukum yang menyangkut wewenang DPR yang dikaitkan dengan konsep negara hukum yang dianut di Indonesia serta dengan mengkaitkannya dengan teori-teori hukum. Pendekatan sejarah ukum (historical approach) dengan mengkaji atau menelusuri perkembangan hukum yang ada kaitannya dengan topik permasalahan dalam penulisan ini. 1.6.3 Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian ini bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. − Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang- undangan yang ada kaitannya denga masalah penelitian seperti : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 jo Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang ada kaitannya dengan topik permasalahan yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang perbendaharaan Negara dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang keuangan negara UndangUndang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan. − Bahan hukum sekunder, yaitu diambil dari kepustakaan yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang, literatur-literatur ilmu hukum hasil-hasil penelitian dan pendapat-pendapat para ahli hukum. 1.6.4 Metode Pengumpulan Bahan Hukum. Bahan hukum yang telah diperoleh, diinventarisasi dan 69 identifikasi untuk digunakan sebagai bahan dalam menganalisa pokok permasalahan dalam penelitian ini. Identifikasi bahan bukum baik primer maupun sekunder dilakukan secara kritis logis dan sistematis dengan menggunakan sistem kepustakaan dengan demikian bahan hukum akan digolongkan menurut bentuknya, menurut jenis dan tingkatannya. 1.6.5 Teknik Analisis Teknik analisis dalam penelitian hukum di dalam menganalisis bahan-bahan hukum tersebut, dapat dilakukan secara; deskripsi, interpretasi, kontruksi, evaluasi, argumentasi dan sistematisasi, dalam kerangka berpikir yang diarahkan untuk dapat memberikan jawaban atas rumusan masalah dan tujuan yang dikaji dalam penelitian ini. Teknik analisis bahan hukum di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Teknik deskripsi, yaitu uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dan proposisi-proposisi hukum dan non hukum. b. Teknik interprestasi, yaitu teknik menggunakan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum yang terkait dengan pembahasan yang tidak jelas. c. Teknik konstruksi, pembentukan dengan yaitu konstruksi melakukan yuridis analogi dan pembalikan proposisi. d. Teknik evaluasi, yaitu penilaian, tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, syah atau tidak syah oleh penulis terhadap suatu pandangan atau proposisi, pernyataan rumusan norma baik itu bahan hukum primer maupun sekunder. e. Teknik argumentasi, yaitu penilaian yang dilakukan dilakukan atas penulis dasar yang penalaran hukum. f. Teknik sistematisasi, yaitu penulis berusaha mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi 71 hukum antara peraturan perundangundangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat. 31 31Buku Pedoman,2003 Penulisan Penelitian Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar, , hlm. 10. Tesis Normatif, Program BAB II LANDASAN YURIDIS KONSTITUSIONAL WEWENANG DPR DALAM PENETAPAN DAN PENGAWASAN APBN 2.1. Sumber Wewenang DPR Terkait Dalam Melakukan Hak Anggaran Utrecht 32 mengatakan bahwa para ahli memberikan istilah sumber hukum berdasarkan sudut pandang keilmuwannya : 1. Ditinjau dari sudut pandang ahli sejarah, sumber hukum memiliki arti: − Sumber hukum dalam arti pengenalan hukum − Sumber hukum dalam arti sumber dari mana pembentuk ikatan hukum memperoleh bahan dan dalam arti sistem-sistem hukum dari mana tumbuh positif suatu Negara. Sumber hukum ini berfungsi untuk menyelidiki perkembangan hukum dari masa ke masa hingga akan diketahui perkembangannya, pertumbuhan dan perubahan –perubahan antara hukum yang berlaku di suatu Negara 2. Ditinjau dari sudut para ahli filsafat sumber hukum diartikan sebagai sumber untuk menentukan isi hukum apakah isi hukum itu benar, adil sebagaimana mestinya ataukah masih terdapat kepincangan dan tidak ada rasa keadilan. Sumber untuk mengetahui kekuatan mengikat hukum yaitu untuk mengetahui mengapa orang taat pada hukum. 3. Ditinjau dari sudut pandang Sosiologi dan Anthropologi budaya yang dianggap sebagai sumber hukum adalah keadaan masyarakat itu sendiri dengan segala lembaga sosial yang ada didalamnya. 4. Ditinjau dari sudut pandang Religius yang merupakana sumber hukum adalah kitab –kitab suci atau ajaran agama itu. 5. Ditinjau dari sudut ahli Ekonomi yang menjadi sumber hukum adalah apa yang nampak dilapangan ekonomi. 6. Ditinjau dari sudut pandang ahli hukum sumber hukum memiliki arti; Sumber hukum formil yaitu sumber hukum yang dikenal dalam bentuknya. Karena bentuknya itulah sumber hukum formil diketahui dan ditaati sehingga hukum berlaku. Misalnya Undang-Undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum (doktrin). 32Titik Triwulan Tutik, 2006, Pokok-Pokok HukumTataNegara, Penerbit Prestasi Pustaka, Jakarta, hal 12. 73 Sumber hukum Materiil yaitu sumber hukum yang menentukan isi hukum, Sumber hukum materiil diperlukan ketika akan menyelidiki asal usul hukum dan menentukan isi hukum. 33 Adapun yang dimaksud sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunya kekuatan bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi tegas dan nyata. Dalam ilmu hukum, sumber hukum juga dapat dibedakan menjadi ; Pertama, Sumber pengenalan Hukum (kenbron van hetrecht). Sumber hukum yang mengharuskan untuk menyelidiki asal dan tempat diketemukannya hukum. Kedua, Sumber asal nilai-nilai yang menyebabkan timbulnya atau lahirnya aturan hukum (welbron van het reecht) yaitu sumber hukum yang mengharuskan untuk membahas asal sumber nilai yang menyebabkan atau menjadi dasar aturan hukum Badan legislatif mempunyai kewenangan untuk membuat aturan hukum supaya ditaati oleh masyarakat apa yang dikatakan oleh; "legislative competence" implies an institution's capacity to make rules that are binding on its membership, and to change those rules; to promote and monitor the application of the rules at all levels, including the national level; and to develop and codify international law on subjects related to its area of activity. Agreement on granting an international institution a measure of legislative competence usually becomes feasible when the adverse consequences of unregulated conduct of an activity within its operational scope. 34 Artinya ;, "kewenangan legislatif" istilah menyiratkan kapasitas lembaga untuk membuat aturan yang mengikat keanggotaan, dan untuk 33Ibid hal 12. 34 http://unu.edu/unupress/unupbooks/uu15oe/uu15oe07.htm.Legislative Competence Order Politics and Government of Wales. mengubah aturan-aturan, untuk mempromosikan dan memantau penerapan aturan pada semua tingkatan, termasuk tingkat nasional; dan untuk mengembangkan dan mengkodifikasi hukum internasional tentang mata pelajaran yang terkait dengan wilayah yang kegiatan. Perjanjian tentang pemberian lembaga internasional ukuran kewenangan legislatif biasanya menjadi layak ketika merugikan konsekuensi dari melakukan yang tidak diatur suatu kegiatan dalam lingkup operasionalnya. Aturan hukum yang sudah disepakati dan disetujui oleh lembaga badan legislatif harus terapkan secara murni kepada seluruh warga masyarakat tanpa kecuali karena kewenangan badan legislatif sangat kuat dalam sistem pemerintahan Presidensiil yang murni seperti dianut oleh Negara Amerika Serikat hal tersebut merupakan suatu yang wajar. Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik. dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah mempunyai kaidah-kaidah hukum yang jelas dan tidak bertentangan dengan Hukum Tata Negara. Dengan begitu sumber hukum tata Negara Indonesia pada dasarnya adalah segala bentuk dan wujud peraturan hukum tentang ketatanegaraan yang berensensi dan bereksistensi di Indonesia dalam suatu sistem dan tata urutan yang telah diatur. 1. Sumber Hukum Formil Sumber Hukum Formil adalah sumber hukum yang dikenal dalam bentuknya. Karena bentuknya itulah sumber hukum formil diketahui dan ditaati sehingga hukum berlaku umum. Selama belum mempunyai bentuk, suatu hukum baru merupakan perasaan hukum dalam masyarakat atau baru merupakan cita-cita hukum, oleh karenanya 75 belum mempunyai kekuatan mengikat. 35 Sumber-sumber hukum formil meliputi : 1. Undang-undang 2. Kebiasaan (Costum) dan Adat 3. Perjanjian antar Negara (Traktat/Treaty) 4. Keputusan –keputusan Hakim(Jurisprudensi) 5. Pendapat atau pandangan Ahli Hukum (Doktrin) Undang-Undang mempunyai dua arti yaitu; a. Undang-Undang dalam arti formil, ialah setiap keputusan pemerintah yang pembuatannya merupakan (terjadinya). undang-undang Misalnya, karena pengertian cara undang- undang, menurut ketentuan UUD 1945 hasil amandemen adalah bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah bersama-sama DPR. b. Undang-Undang dalam arti materiil, ialah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap rakyat Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. 36 Apabila kebiasaan tertentu diterima masyarakat dan kebiasaan itu selalu 35Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,1993, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti Jakarta hal45 . 36Ibiid Hal. 48 berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang perlawanan dianggap sebagai pelanggaran perasaan hukum, timbullah suatu kebiasaan hukum, yang selanjutnya dianggap sebagai hukum. 2. Sumber Hukum Materiil Sumber Hukum Materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum. Sumber ini diperlukan ketika akan menyelidiki asal-usul hukum dan menentukan isi hukum. Misalnya Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang kemudian menjadi falsafah Negara merupakan sumber hukum dalam arti materiil yang tidak saja menjiwai bahkan dilaksanakan oleh setiap peraturan hukum. Karena Pancasila merupakan alat energi untuk setiap peraturan hukum yang berlaku, apakah ia bertentangan atau tidak dengan Pancasila, sehingga peraturan hukum yang bertentangan dengan Pancasila tidak boleh berlaku. 3. Sumber Tertib Hukum Menursut Tap. No. V/MPR/1973 menyatakan bahwa Pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum Republik Indonesia dan dinyatakan pula sebagai sumber tertib hukum Republik Indonesia, Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum artinta bahwa pancasila adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari rakyat Indonesia. Adapun manifestasi sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum) bagi Republik Indonesia meliputi Proklamasi 77 Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UndangUndang Dasar Proklamasi dan Surat Perintah 11 maret 1966 JJH. Bruggink. 37 mengatakan keberlakuan hukumya itu ; In de rechtstherie wordt de hierboven genoemde driedeling in empirische, normatieve en evaluatieve gelding vaak gemaaki. Datbetekent echter nietdat er geen andereindelingen voorkomen Ulrich klug maakteen uitgebreide indeling in negen geldingsbegrippen. Hij onderscheidt devolgende soorten gelding ; 1. Juridische gelding. Hieronder verstaat klug ongeveer wat wij hierboven als de positiviteit van een rechtsnorn hebben aangeduid 2. Ethissche gelding .Hiervan is sprake wanneer een rechtsnornm een verplichtend karakter heft. Deze gelging zullen wij dadelijk een vorm van evaluative gelding noemen. 3. Ideale gelding. Een norm heeft deze gelding als hij op hogere morele normen is gebaseerd. 4. Reele gelding Hiervan is sprake als de normadressaten zich naar de rechtsnorm gedragen.Wij zullen deze gelding al seen vorm van empirische gelding typeren. 5. Ontologissche gelding. Een norm mist deze gelding ais zij is gepositiveerd door ewetgever die zich niet aan de fundamentele eisen van regelgeving houdt. Van deze gelding is slechts in bepaalde theorieen sprake. 6. Socio-relatieve gelding Een recht norm die geen juridische, ethische en reele gelding heft, maar toch iets voor de normadressaten voorstelt heft volgens klug slechts deze gelding. 7. Decoratieve gelding , Deze gelding bezit een rechtsnorm die enkel een symboolfunctione heft. 8. Esthetische gelding, Hiervan is sprake al seen rechtsnorm een zekere elegantie bezit. 9. Logische gelding, Een rechtsnorm die niet inneerlijk tegenstrijdig is,bezit deze vorm van gelding. Geldingtheorie atau teori keberlakuan hukum yaitu terdapat beberapa landasan keberlakuan kaidah hukum untuk menentukan sahnya suatu kaidah hukum : 1. Keberlakuan hukum secara yuridis artinya kaidah hukum itu positif berlaku dan tingkatannya lebih tinggi. 37J J H Bruggink., 1993, Rechtsreflecties Grondbegrippen uit de rechtstheorie, Kluwer Deventer, Den Haag, Hlm. 102-103. 2) Keberlakuan etis, hal ini akan ada jika kaidah hukum mempunyai sifat mewajibkan dan mengikat keberlakuan ini disebut keberlakuan evaluatif. Apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya. 3) Keberlakuan Ideal suatu kaidah hukum memiliki kaidah moral yang lebih tinggi. 4) Keberlakuan Riil keberlakuan kaidah hukum secara empiris didasarkan sistem tertib hukum secara keseluruhan. 5) Keberlakuan Ontologis suatu kaidah hukum akan tidak memiliki keberlakuan jika dipositifkan oleh pembentuk Undang-Undang yang tidak berpegangan pada tuntutan-tuntutan fundamaental dalam pembentukan aturan. 6) Keberlakuan Dekoratif, keberlakuan kaidah hukum hanya memiliki fungsi lambing. 7) Keberlakuan Estetis keberlakuan kaidah hukum memiliki elegansi tertentu. 8) Keberlakuan hukum secara sosiologis. Didasarkan pada adanya pengakuan atau penerimaan oleh masyarakat atau oleh mereka kepada siapa hukum tadi berlaku (teori pengakuan). Didasarkan pada paksaan berlakunyan oleh penguasa, terlepas dan masalah apakah masyarakat menerima atau menolaknya (teori kekuasaan) 9) Keberlakuan hukum secara filosofis hukum itu sesuai dengan citacita hukum (rechtsidee) sebagai nilai yang dianut dalam pergaulan hidup masyarakat dengan orientasi pada perdamian dan keadilan. Setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undangundang. Dengan demikian Wewenang adalah, yakni "Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtihandelingen", 38 yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Mengenai wewenang ini, H.D. Stout mengatakan bahwa : "Bevoegdheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, wat kan warden omschreven ah het gehed van regeh dot betrekking heeft op de verkrijging en uitofening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke 38 Ridwan HR., 2002, Hukum Administrasi Negara Penerbit UII Press Yogyakarta.hal17 79 rechtssubjecten in het bestuursrechtlijke rechtsverkeer" (Wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum publik). 39 Menurut Mr. Yamin menyatakan : Dasar Negara ialah "bahwa Undang-undanglah dan bukannya manusia yang harus memerintah. Dasar ini mengandung arti, bahwa apabila suatu kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang pegawai atau jawatan negara mendapat bantahan, maka haruslah dibuktikan dari Undang-undang manakah kekuasaan itu diambil, dan tiap-tiap Undang-undang yang berlaku haruslah pula dibuat secara yang sah. 40 Badan publik baik dalam bentuk negara, pemerintah, institusi, Departemen untuk dapat menjalankan tugas-tugas memerlukan adanya kewenangan. Kewenangan negara dapat dilihat pada konstitusi setiap negara yang memberikan suatu legimitasi kepada aparat pemerintah untuk dapat melakukan fungsinya. Demikian pula halnya badan-badan publik lain, kewenangan minimal dapat dijumpai pada produk hukum yang menjadi dasar pembentukannya. Secara teoritis, pengkajian terhadap kewenangan badan-badan publik tersebut tidak terlepas dengan 39 Ibid. 40 S. Gautama, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, h.22-23 Hukum Tata Negara. Melalui Hukum Tata Negara dapat dijumpai susunan negara atau organ dari negara (stoats, inrichtingrecht, orvanisatiererecht) beserta kedudukan hukum dari warga negara berkaitan dengan hak-hak dasarnya. Dalam organ atau susunan negara diatur diantaranya mengenai pembagian kekuasaan dalam negara yang terbagi atas pembagian secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal, kekuasaan negara pada umumnya dibagi atas kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Sedangkan secara vertikal, kekuasaan negara dibagi atas kekuasaan Pemerintah Pusat dan kekuasaan pemerintahan di daerah, Dalam beberapa sumber menerangkan, istilah kewenangan (wewenang) disejajarkan dengan bevoegdheid dalam istilah hukum Belanda, bahwa :"wewenang terdiri atas sekurang-sekurangnya mempunyai 3 komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum dan komformitas hukum. 41 Komponen pengaruh, bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum; dasar hukum dimaksudkan, bahwa wewenang haruslah mempunyai dasar hukum, sedangkan komponen konformitas hukum dimaksud, bahwa wewenang ini haruslah mempunyai standar. Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat. Indroharto mengatakan bahwa pada atribusi terjadi 41 Soerjono Soekanto,1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Pres, Jakarta Hal 145. 81 pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Lebih lanjut disebutkan bahwa legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara: 42 a. Yang berkedudukan sebagai original legislator, di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk konstitusi dan DPK bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang. b. Yang bertindak sebagai delegated legislator, seperti Presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undangundang mengeluarkan Peraturan Pemerintah. Mengenai atribusi, delegasi dan mandat ini van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut: 43 a. Atribusi : toekenning van een bestuursbevoegheid door en wetgever aan een berstuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah). b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene berstuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya). c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya). Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar ketentuan Hukum Tata Negara. Hamid S. Attamimi dengan mengacu 42 Ridwan HR ,op ci thal 7I. 43 Ibid , hal. 74 kepustakaan Belanda mengemukakan atribusi ini sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh konstitusi atau pembentuk wet (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang dibentuk baru untuk itu". 44 Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah kewenangan dan wewenang. Indroharto berpendapat pengertian wewenang dalam artian yuridis sebagai suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. 45 Wewenang ini sangatlah diperlukan pemerintah, mengingat pemerintah adalah pemegang kekuasaan dalam organisasi negara. Pemerintah untuk dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan lancar perlu disertakan wewenang. Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dari undang-undang yang berlaku. Dengan kata lain, organ pemerintahan tidak dapat menganggap, bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Sebenarnya kewenangan hanya diberikan oleh Undangundang; pembuat Undang-undang dapat memberi wewenang pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi dapat juga kepada pegawai tertentu atau kepada badan khusus tertentu. Dalam konstitusi Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 (setelah amandemen yang keempat kalinya), ditemukan beberapa pasal yang melahirkan kewenangan, baik diberikan kepada eksekutif, yudikatif 44 A. Hamid S. Attamimi,Op cit hl 34.. 45 Indroharto, op.cit hal 67 83 maupun legislatif dalam pasal-pasal tersebut. Kewenangan ditafsirkan dengan memegang kekuasaan, berhak, dapat tidak dapat, menyatakan, mengangkat, memberi, mengatur, menyatakan, menetapkan, fungsi, dapat melakukan, kekuasaan, berwenang dan lain-lain dengan berbagai istilah, akan tetapi substansi dan maksudnya sama, yaitu kewenangan atau mempunyai otoritas. Dinyatakan, bahwa wewenang bukan hanya power belaka tetapi otoritas mencakup hak dan kekuasaan sekaligus. Wewenang kekuasaan negara selain dalam pembukaan UUD 1945, juga ditemukan pada pasal-pasal UUD 1945 yang berkaitan dengan keuangan negara. Meskipun UUD 1945 telah diamandemen, ternyata Pembukaan UUD 1945 tetap dipertahankan karena memuat ketentuan yang bersifat aturan dasar sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Dalam arti pandangan hidup tersebut berimplikasi pada keuangan negara dalam rangka pencapaian tujuan negara. Adapun tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pencapaian tujuan negara selalu terkait dengan keuangan negara sebagai bentuk pembiayaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara yang dilaksanakan oleh penyelenggara negara. Tanpa keuangan negara, tujuan negara tidak dapat terselenggara sehingga hanya berupa cita-cita hukum belaka. Untuk mendapatkan keuangan negara sebagai bentuk pembiayaan tujuan negara, harus tetap berada dalam bingkai hukum yang diperkenankan oleh UUD 1945. Selain dalam Pembukaan UUD 1945, juga ditemukan pada pasalpasal UUD 1945 yang berkaitan dengan keuangan negara. Ketentuanketentuan dalam UUD 1945 yang terkait dengan keuangan negara merupakan sumber hukum konstitusional keuangan Negara. Ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 tersebut yang merupakan sumber hukum keuangan negara memerlukan penjabaran lebih lanjut dalam bentuk undang-undang. Berarti, perumus UUD 1945 memberikan atribusi kepada pembuat undang-undang. Undang-undang di atas merupakan dasar hukum operasional keuangan negara yang diperuntukkan untuk mengelola keuangan negara agar tujuan negara dapat tercapai. Sekalipun demikian, untuk tidak membuat kebijakan yang dapat menyimpang dari undang-undang yang terkait dengan keuangan negara, hal tersebut bergantung pada pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap pengelolaan keuangan negara yang berakhir pada pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Mengenai hukum keuangan negara, berarti membicarakan ruang lingkup keuangan negara dari aspek yuridis. Ruang lingkup keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No 17 Th 2003 Tentang 85 Keuangan Negara yaitu 1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; 2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; 3. Penerimaan negara; 4. Pengeluaran negara; 5. Penerimaan daerah; 6. Pengeluaran daerah; 7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; 8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerincahan dan/atau kepentingan umum; 9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Ruang lingkup keuangan negara tersebut di atas dikelompokkan ke dalam tiga bidang pengelolaan yang bertujuan untuk memberi pengklasifikasian terhadap pengelolaan keuangan negara. Adapun pengelompokan pengelolaan keuangan negara adalah: 1. Bidang pengelolaan pajak; 2. Bidang pengelolaan moneter; 3. Bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu, ruang lingkup keuangan negara berdasarkan Pasal 2 huruf g UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara menimbulkan kerancuan dari aspek yuridis. Kerancuan itu dapat dikategorikan sebagai suatu hal yang menyimpang apabila dilakukan pengkajian dan penelusuran peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Pasal 2 huruf g UUKN yang menegaskan kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. Ketentuan ini tidak mengikat secara yuridis tatkala dikaitkan dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UUBUMN) bahwa perusahaan persero, yang selanjutnya disebut persero adalah badan usaha milik negara yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Kemudian, Pasal 4 ayat (1) UU BUMN yang menegaskan modal badan usaha milik negara merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang 87 dipisahkan. Sementara itu, penjelasannya menentukan bahwa yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada badan usaha milik negara untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem anggaran pendapatan dan belanja negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Di lain pihak, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 ten tang Perseroan Terbatas (UUPT), menegaskan bahwa perseroan terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undangundang ini serta peraturan pelaksanaannya. Kemudian, Pasal 7 ayat (4) UUPT yang menegaskan perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan. Berdasarkan ketentuan, baik dalam UUBUMN maupun UUPT, badan usaha milik negara merupakan badan hukum perseroan yang pengesahannya dilakukan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta tunduk pada hukum privat. Di samping itu, badan usaha milik negara memiliki kekayaan terpisah dengan kekayaan negara maupun pemegang saham (pemilik), direksi (pengurus), dan komisaris (pengawas). Meskipun negara memiliki saham paling sedikit 51% ketika terdapat piutang pada badan usaha milik negara karena akibat dari perjanjian yang dilakukan selaku entitas perusahaan, hak tersebut tidak boleh dikelompokkan sebagai piutang negara sebagai konsekuensi pemisahan kekayaan negara mengingat badan usaha milik negara tersebut telah memiliki kekayaan tersendin bukan merupakan kekayaan negara dalam kategori sebagai keuangan negara. Hal ini dimaksudkan agar mekanisme pengelolaan, termasuk pengurusan piutang badan usaha milik negara, dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat dan tidak boleh mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Badan hukum publik dan privat memiliki perbedaan secara prinsipil dalam pengelolaan keuangannya. Badan hukum publik dalam mengelola keuangannya tunduk pada hukum publik, sedangkan badan hukum privat dalam mengelola keuangannya tunduk pada hukum privat. 46 Sebagai contoh, negara sebagai badan hukum publik dalam mengelola keuangannya tunduk pada peraturan yang terkait dengan keuangan negara. Sementara itu, badan usaha milik negara sebagai persero dalam mengelola keuangannya tunduk pada hukum perdata yang terkait dengan harta kekayaan yang dimilikinya. 46 Soeria Arifin Atmaja , 2009, Keuangan publik dalam Perspektif Hukum Teori, Kritik, dan Praktek, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 125 89 Demikian pula pada Pasai 2 huruf i UUKN ditegaskan bahwa kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh negara. Ketentuan ini mengandung makna bahwa kekayaan pihak swasta, tatkala memperoleh fasilitas dari negara, merupakan pula keuangan negara. Ketika pihak swasta yang memperoleh fasilitas dari negara dalam pergaulan hukum menimbulkan kerugian dan bahkan dinyatakan pailit, berarti negara wajib bertanggang jawab atas beban. Tatkala substansi UUD 1945 hasil amandemen yang terkait dengan "hal keuangan" ditelusuri, terlihat bahwa hukum keuangan negara memiliki kaidah hukum yang tertulis, yang berarti tidak mengenal keberadaan kaidah hukum tidak tertulis. Bila demikian halnya, kaidah hukum tertulis seyogianya dimunculkan dalam suatu rumusan atau pengertian terhadap hukum keuangan negara. Hukum keuangan negara adalah sekumpulan kaidah hukum tertulis yang mengatur hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk uang dan barang milik negara terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Rumusan hukum keuangan negara tersebut sangat terkait dengan pengertian keuangan negara yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UUKN). Adapun pengertian keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara yang berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pengertian keuangan negara memiliki substansi yang dapat ditinjau dalam arti luas maupun dalam arti sempit. Keuangan negara dalam arti luas mencakup: a) anggaran pendapatan dan belanja negara; b) anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan c) keuangan negara pada badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah. Sementara itu, keuangan negara dalam arti sempit hanya mencakup keuangan negara yang dikelola oleh tiap-tiap badan hukum dan dipertanggungjawabkan masing-masing. Berdasarkan konsep tersebut, pertanggungjawaban negara merupakan konsekuensi logis dari kesediaan keuangan pemerintah melaksanakan APBN yang telah disetujui oleh DPR. Dalam hal pengelolaan keuangan negara atau APBN, pertanggungjawaban keuangan negara dituangkan ke dalam Perhitungan Anggaran Negara sebagai kuasa dari DPR kepada pemerintah memberikan dasar yang kuat yang berhak menerima pertanggungjawaban keuangan negara adalah DPR. Secara teoritis, hal ini tidak bertentangan dengan sistem Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 dimana kedaulatan sepenuhnya terletak pada MPR. Sementara itu pengaturan keuangan negara yang singkat dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 mengandung muatan masalah yuridis terhadap definisi keuangan negara, sehingga membuat 91 penafsiran yang berbeda-beda terhadap definisi tersebut. Namun dalam kerangka teoritis hukum keuangan negara, berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 jo. Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang dimaksud sebagai keuangan negara adalah yang ditetapkan dalam Undang-Undang APBN. Dengan dasar pemikiran tersebut, dapat dikatakan bahwa keuangan negara adalah APBN. Secara konsepsional, sebenarnya definisi keuangan negara bersifat platis dan tergantung pada sudut pandang. Sehingga apabila berbicara keuangan negara dan sudut pemerintah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBN. Sementara maksud keuangan dalam pemerintah daerah yang dimaksud dengan keuangan merupakan APBD, demikian juga dengan badan usaha milik negara dalam perusahaan jawatan, perusahaan umum, dan perseroan terbatas. Dengan demikian, berdasarkan konsep hukum keuangan negara tersebut, definisi keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD, keuangan negara pada semua badan usaha milik negara. Akan tetapi definisi keuangan negara dalam arti sempit, hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggung jawabkan. Perubahan materi muatan Pasal 23 UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang ditetapkan oleh MPR dalam perubahan ke 3 Undang-Undang Dasar Negara Rl Tahun 1945 menjadi pembukuan kerumitan dalam pengaturan keuangan negara apabila mendasarkan pada kerangka konsepsi hukum keuangan negara. Materi muatan dalam perubahan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 sangat tidak sesuai substantifnya serta cenderung mengabaikan segi filosofis, yuridis dan sosiologis materi muatan suatu Undang-Undang dasar. Ketidaksempurnaan hukum keuangan negara telah mengesampingkan esensi dari kemandirian badan hukum otonomi daerah. Hal ini disebabkan semua keuangan dalam APBD dan BUMN serta BUMD disebut sebagai keuangan Negara. Padahal sangat jelas dinyatakan bahwa ketentuan Perundang-undangan, pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan tersebut berbeda dengan APBN sebagai keuangan Negara. Perubahan materi muatan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang ditetapkan oleh MPR dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menjadi pembuka kerumitan dalam pengaturan keuangan negara apabila mendasarkan pada kerangka konsepsi hukum keuangan negara. Materi muatan dalam Perubahan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 sangat tidak memenuhi kadar ilmiah dari segi substansinya dan cenderung mengabaikan segi filosofis, yuridis, dan sosiologis materi muatan suatau undang-undang dasar, serta tidak memahami nilai historis yang terkandung di dalamuya. Sebagai suatu contoh Pasal 23 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan "APBN sebagai 93 perwujudan dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" hanya merupakan kalimat retorik yang tidak memenuhi segi filosofi anggaran. Hal ini disebabkan APBN bukan sekedar perwujudan pengelolaan keuangan negara, tetapi merupakan wujud kedaulatan rakyat yang tercermin pada hak budget DPR. Imperfektivitas atau ketidaksempurnaan hukum keuangan negara Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 telah mengesampingkan esensi kemandirian badan hukum dan otonomi daerah. Hal ini disebabkan semua keuangan dalam APBD dan BUMN serta BUMD disebut sebagai keuangan Negara. Padahal sangat jelas dan nyata dari sudut sistern maupun ketentuan peraturan perundang-undangan, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan tersebut berbeda dengan APBN sebagai keuangan negara. Dengan demikian, secara tegas dari segi yuridis, dari kedudukan dan fungsinya sangat berbeda antara keuangan negara, keuangan daerah maupun keuangan BUMN dan BUMD. Pembedaan ini pun mempunyai implikasi konsekuensi yuridis terhadap ruang lingkup dan kewenangan lembaga dan badan yang melakukan manajemen pengawasan dan pemeriksaan keuangan terhadapnya. Tentu tidak semua lembaga pemeriksa atau pengawas dalam lingkungan pemerintah pusat atau pemerintah daerah maupun yang berada di luar pemerintah, mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan maupun pengawasan terhadap masingmasing keuangan badan hukum tersebut. Demikian pula antara status badan hukum publik dan badan hukum privat yang berbeda pengelola sebagai badan hukum privat, berbeda dengan keuangan pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagai badan hukum publik. 2.2. Dasar Wewenang DPR Dalam Penetapan APBN Teori Trias Politika ini menghendaki pembagian kekuasaan dalam tiga bidang pokok yang berdiri sendiri, lepas dari kekuasaan lainnya, dan mempunyai satu fungsi saja yaitu : a. Kekuasaan legislatif : membentuk Undang-Undang b. Kekuasaan Eksekutif : menjalankan Undang-Undang atau pemerintahan c. Kekuasaan yudikatif : berfungsi peradilan Pada prinsipnya tujuan teori trias politika adalah upaya membatasi kekuasaan penguasa sehingga menjamin kemerdekaan dan menghindari rakyat dari keserakahan penguasa. Menurut Montesqueu setiap penggabungan kekuasaan pada satu tangan akan melahirkan kesewenang-wenangan oleh karena itu harus dipecah-pecahkan dan dibagi-bagikan dalam beberapa tangan. Hal ini ditandaskan oleh K.C. Wheare47 bahwa : 47K.C. Wheare, 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, New York Toronto.hal 3 95 This while a Constitution may establish the principal institution of government such as the houses of the legislature, an executive council and a supreme court,it is often leftto the ordinary law to prescribe the composition and mode of appointment of these bodies. Menurut Adam Smith sebagaimana dikutip A. Sonny Keraf, 48 pemisahan dan kemerdekaan itu perlu karena : a. Kekuasaan Eksekutif cenderung korup atau tidak adil. Sejauh kekuasaan pemerintah berada ditangan satu orang atau satu lembaga saja, ada kemungkinan sangat besar bahwa ia akan menyalah gunakannya, karena tidak ada kekuasaan lain yang cukup untuk mengontrolnya. b. Jika tidak ada pemisahan kekuasaan, kekuasaan eksekutif cenderung menjadi sangat kuat dan karena sulit sekali untuk menjamin adanya kebebasan bagi warga negaranya. Betapapun baiknya oknum pemerintahan, tidak punya kepentingan pribadi. Karena itu sangat mungkin mereka tidak melakukan ketidakadilan, bahkan tanpa disadarinya. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menganut juga teori trias politika dalam arti pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan dalam arti materiil, sehingga adanya pembagian kekuasaan diharapkan pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance) dapat terwujud. Dengan perubahan UUD 1945 mempertegas konsep Negara hukum dan mencantumkannya dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD Negara RI 1945 ; Negara Indonesia adalah Negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah Negara yang menempatkan hukum sebagai panglima didalam mengatur kehidupan masyarakat Indonesia. 48A. Sonny Keraf, 1996, Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah, Kanisius, Yogyakarta, Hal 189-190. Mengacu pada konsep Negara hukum yang dikemukakan oleh M.C. Burkens, ada empat unsur Negara hukum (rechsstaat), 49 yaitu : 1. Asas legalitas. Setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan (wettelijke gronslag). Dengan landasan ini, undang-undang dalam arti formil dan UUD sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini, pembentukan undang-undang merupakan bagian penting Negara hukum. 2. Pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan Negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan. 3. Hak-hak dasar (Grondrechten) merupakan sasaran perlindungan dari pemerintah terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan undang-undang. 4. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindak pemerintahan “rechtmatigeheidsoetsing”. Sejalan dengan itu, A.V. Dicey mengemukakan prinsip-prinsip Negara hukum (rule of law) yang lahir dalam naungan system hukum Anglo Saxon : 1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absente of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum. 2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equity before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat. 3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan pengadilan. 50 49 Yohanes Usfunan, 1998, Kebebasan Berpendapat di Indonesia (Disertasi) Dalam Meraihgelar Doktor pada Program Pascasarjana UNAIR, Surabaya. 50 Ibid, hal 20 97 Pada prinsipnya pendapat diatas adalah sama, setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan (Wettelijke gronslag). Dengan landasan ini, undang-undang dalam arti formil dan Undang–Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini, pembentukan undang-undang merupakan bagian penting Negara hukum. Setiap kebijakan Negara dan pemerintah dapat digugat oleh setiap orang atau warga Negara manakala terjadi penyimpangan atau pelanggaran hukum terhadap hak-hak warga Negara yang dijamin konstitusi. Dalam sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia, pernah dikeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu tujuan dikeluarkannya ketetapan tersebut, terjadi kesemrawutan dalam penggunaan peraturan nerundang-undangan. Misalnya saja keberadaan Penetapan Presiden dan peraturan Presiden. Kedua peraturan perundangan tersebut mengatur materi yang sama dengan materi undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Demikian juga Peraturan-Peraturan Pemerintah, yang seharusnya sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang kenyataannya merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan Presiden. Tumpang tindih peraturan perundang-undangan demikian menimbulkan berbagai kerancuan terhadap materi muatan, tata urutan, sumber hukum serta fungsi peraturan perundang-undangan. Penertiban terhadap kerancuan peraturan perundang-undangan hukum itulah yang menjadi agenda utama dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966. Bentuk peraturan perundang-undangan yang akan ditinjau kembali adalah Penetapan Presiden, Peraturan presiden, Undang-Undang, dan Peraturan pemerintah Pengganti UndangUndang. Peninjauan ini didasarkan atas alasan, bahwa adanya peraturan perundang-undangan yang tidak mempunyai dasar hukum daiam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun isinya tidak sesuai dengan atau bertentangan dengan isi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menindaklanjuti hal ini maka Presiden dilarang untuk mengeluarkan Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden. Penetapan Presiden yang sudah terlanjur dikeluarkan, yang materinya sudah tidak sesuai dengan keadaan, dinyatakan tidak berlaku atau dicabut dan yang materinya masih relevan, diubah dan diganti dengan Undang-Undang. Peraturan Presiden juga mengalami hal yang sama, bedanya hanya pada prosedur penggantian atau pencabutannya yaitu dicabut dan diganti dengan peraturan pemerintah. Bersamaan dengan Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966, 99 dikeluarkan pula Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tata tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Ketetapan MPRS ini dinyatakan masih berlaku oleh Ketetapan Nomor V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-Produk yang Berupa KetetapanKetetapan MPRS Republik Indonesia jo. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/1978 tentang perlunya penyempurnaan yang termaktub dalam Pasal 3 Ketatapan MPR Nomor V/MPR/1973. Pada Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/I966 dapat dilihat bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan antara lain: 1. Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; 7. Peraturan Pelaksana Lainnya seperti: a. Peraturan Menteri; b. Instruksi Menteri; c. Dan lain-Iain. Dengan keluarnya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tantang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan, Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tersebut dinyatakan tidak berlaku. Dari materi Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tersebut, ditemukan beberapa bentuk peraturan perundang-undangan yang urutannya sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan MPR RI; 3. Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 5. Peraturan pemerintah; 6. Keputusan Presiden; 7. Peraturan Daerah. Bentuk dan hirarkhi Peraturan Perundang-undangan tersebut di atas tentu saja juga menjadi sumber hukum tata negara. Berdasarkan hirarkhi di atas, dalam pasal 4 ayat (2) TAP MPR No.III/MPR/2000 itu menentukan: "Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung, Menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh pemerintah, tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urut peraturan perundang-undangan ini. Apabila rumusan pasal 4 ayat (2)TAP MPR NO III/MPR/2000; ini dibaca secara harfiah, maka di dalamnya dapat dikatakan mengandung dua norma sekaligus, yaitu: pertama, segala peraturan yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung, Menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh pemerintah, tidak boleh bertentangan 101 dengan ketentuan yang termuat dalam tata urut peraturan perundangundangan tersebut. Kedua, segala keputusan yang dibuat oleh badanbadan atau lembaga tersebut tidak boleh bertentangan dalam ketentuan yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut.51 Ketetapan MPR tersebut di atas sepertinya menyamakan saja antara pengertian 'ketetapan' dan 'keputusan' sehingga menimbulkan kerancuan. Apabila kita memahami arti peraturan (regels) dan keputusan (beschiking), maka ketentuan pasal 4 ayat (2) tersebut tidaklah bersifat paralel, dan karena itu tidak dapat pula ditafsirkan mengandung kedua norma itu secara paralel pula. Jika kedua norma tersebut dipahami bersifat paralel, tentu dapat menimbulkan masalah, misalnya, dikatakan bahwa, "Keputusan Mahkamah Agung tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ataupun dengan Keputusan Presiden. Padahal istilah keputusan Mahkamah Agung itu selama ini mempunyai pengertian yang terkait dengan putusan atau vonis kasasi Mahkamah Agung. Adalah malapateka yang luar biasa jika ketentuan pasal 4 ayat (2) TAP MPR tersebut di atas diartikan demikian. Penggunaan istilah hukum atau nomenklatur hukum ini harus ditertibkan terlebih dahulu untuk mengatasi kekisruhan dan kemungkinan salah pengertian di masa depan. Untuk produk yang bersifat mengatur 51 Morissan, 2006,Hukum Tata Negara RI Prakasa Jakarta hal 33 . Era Reformasi Penerbit Ramadina (regeling) yang berisi aturan hukum (regels) sebaiknya digunakan nomenklatur atau istilah peraturan yang berasal dari kata “atur”, “mengatur”, “aturan”, dan “peraturan”. Sedangkan penetapan-penetapan yang bersifat administratif dapat disebut dengan kata “keputusan” yang bersifat administratif atau dalam bahasa Belanda disebut dengan Beschiking. Pembedaan antara keputusan (administratif) dan peraturan ini harus terus dilakukan secara konsisten, mulai dari tingkatan yang tertinggi hingga yang terendah. Peraturan yang tertinggi adalah Undangundang Dasar, di bawahnya adalah Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Pada level presiden terdapat dua bentuk peraturan yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang sebaiknya dibedakan dengan Keputusan Presiden, Demikian pula di tingkat provinsi, harus dibedakan antara Peraturan Daerah. Peraturan Gubernur, dan Keputusan Gubernur, serta Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati/Walikota dan Keputusan Bupati/Walikota. Dari uraian tersebut di atas maka tata urutan peraturan perundangundangan (yang juga menjadi sumber hukum tata negara) harus dibedakan antara peraturan yang bersifat umum dan peraturan yang bersifat khusus: 1. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat umum: a) Undang-undang Dasar dan Perubahan Undang-undang Dasar 103 b) Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) serta peraturan lain yang setingkat dengan undang-undang. yaitu ketetapan- ketetapan MPR/MPRS yang bersifat mengatur (regels). c) Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden d) Peraturan Menteri atau pejabat setingkat menteri. e) Peraturan Daerah Provinsi f) Peraturan Gubernur g) Peraturan Daerah Kabupaten/kota h) Peraturan Bupati/Walikota 2. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat khusus a) Peraturan lembaga negara (lembaga tinggi negara) setingkat presiden: i.Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat ii.Peraturan Dewan Perwakilan Daerah iii.Peraturan Mahkamah Agung iv.Peraturan Mahkamah Konstitusi v.Peraturan Komisi Yudisial vi. Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan b) Peraturan lembaga pemerintah yang bersifat khusus (inpenden) i.Peraturan Bank Indonesia ii.Peraturan Kejaksaan Agung iii.Peraturan Tentara Nasional Indonesia. iv.Peraturan Kepolisian Republik Indonesia, c) Peraturan lembaga-lembaga khusus yang bersifat independen i.Peraturan Komisi Pemilihan Umum ii.Peraturan Pemberantasan Korupsi iii.Peraturan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia iv.Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia v.Peraturan Pusat Pelaporan dan Analisa Trankasi Keuangan vi.Peraturan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi vii.Dan sebagainya. Perbedaan yang tegas antara peraturan dan keputusan atau antara peraturan perundang-undangan dan keputusan administratif adalah sangat penting. Peraturan perundang-undangan berisi norma-norma yang bersifat abstrak dan umum serta dapat menjadi obyek 'judicial review', sedangkan keputusan berisi norma yang bersifat konkrit dan individual dan hanya dapat dijadikan obyek peradilan tata usaha negara. Disamping itu, pembedaan antara peraturan umum dan peraturan khusus juga penting karena peraturan umum tidak boleh melanggar prinsip hirarkhi norma sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan yang 105 ditentukan; sedangan peraturan khusus tunduk pada prinsip lex spesialis derogate lex generails, yaitu norma hukum yang bersifat khusus yang dapat mengabaikan norma hukum yang bersifat umum. Dalam hubungan dengan pengertian undang-undang dalam arti material dan undang-undang dalam arti formal, perlu dipahami perbedaannya dengan undang-undang material dan undang-undang formal. Oleh karena dari sudut tata hukum dikenal adanya undangundang formal tidak material, undang-undang formal yang material, undang-undang tidak formal tetapi material, dan undang-undang tidak formal dan juga tidak material. Adapun yang dimaksud dengan undang-undang formal tidak material adalah peraturan yang terbentuknya dengan persetujuan DPR dan pengesahan pemerintah (presiden), tetapi isinya tidak langsung mengikat penghidupan rakyat. Misalnya adalah undang-undang tentang APBN dan undang-undang tentang ratifikasi perjanjian dengan negara lain. Undang-undang tidak formal tetapi material adalah peraturan yang terbentuk tidak dengan persetujuan DPR dan pengesahan pemerintah, misalnya yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah, akan tetapi isinya langsung mengikat penghidupan rakyat. Ini termasuk dalam pengertian peraturan perundang-undangan. Undang-undang formal yang material adalah undang-undang yang dibentuk atas persetujuan DPR dan disahkan oleh Presiden, yang isinya mengikat rakyat. Sedangkan undang-undang yang tidak formal dan tidak material ialah yang isinya sama sekali tidak langsung mengikat penghidupan rakyat. Seperti halnya batasan tentang hukum, batasan mengenai peraturan perundang-undangan pun ada berbagai pendapat. Bagir manan dan Kuntara Magnan 52 memberikan pengertian peraturan perundangundangan ialah setiap putusan tertulis yang dibuat, diterapkan dan dikeluarkan oieh lembaga dan atau pejabat negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku. Sigler.A.Jay 53 menyatakan bahwa ; Departemental and Agency Initiatives. Departments and agencies are the most important sources of policy development in many fields Their legal authority to establish policy is twofold. The departments and agencies shape much of the important legislation proposed in congress. Executive officials often write the legislation. Agencies and departments moreover, make rules and regulations with the force of law and adjudicate cases which arise from their own rules and regulations. Executive agencies and regulatory boardr thus combine characteristies of legislative bodies, courts and even of interest group.(Departemen dan Instansi merupakan sumber yang paling penting dalam menetapkan kebijakan pada banyak bidang pembangunan Kewenangan hukum dalam menetapkan kebijakan ada dua. Departemen dan Instansi lembaga banyak membentuk Undangundang yang penting diajukan dalam Kongres.Pejabat Eksekutif menulis Undang-Undang. Lembaga dan departemen selain itu dapat membuat aturan dan peraturan dengan kekuatan hukum dan mengadili kasus yang timbul dari aturan dan peraturannya.Lembaga Eksekutif dan Dewan pengatur peraturan undang-undang). Rasanya agak sulit untuk menetapkan batasan mana yang paling baik, yang jelas bahwa dari batasan dan pengertian peraturan perundang52 Bagir manan dan Kuntara Magnar, 1987, Peranan Peraturan PerundangUndangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Armico, Bandung, hal. 13. 53Jay ASigler., 1977, The Legal Sources of Public Policy, Lexington Books D.C Heath and Company Lexington, Massaehusetts Toronto, Hlm.15. 107 undangan sebagaimana dirumuskan di atas, dapat diidentifikasikan sifatsifat atau ciri-ciri dari suatu peraturan perundang-undangan, yaitu: 1. Peraturan perundang-undangan berupa keputusan tertulis. Jadi mempunyai bentuk atau format tertentu, 2. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, baik di tingkat pusat maupun daerah. Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah pejabat yang ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku, baik berdasarkan atribusi dan delegasi; 3. Peraturan perundang-undangan tersebut berisi aturan pola tingkah laku. Jadi, peraturan perundang-undangan bersifat mengatur (regulerend), tidak bersifat sekali jalan (enmahlig); 4. Peraturan perundang-undangan mengikat secara umum (karena ditujukan kepada umum), artinya tidak ditujukan kepada seseorang atau individu tertentu (tidak bersifat individual) 54 Kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif merupakan rekan kerja bagi DPR, yang artinya presiden bekerja sama dengan DPR dalam tugas legilstif, yaitu: a. Membuat undang-undang, sebagaimana ketentuan Amandemen UUD 1945 pasal 5 ayat 1: "Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat." Dan pasal 20 ayat 2: "Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. b. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pasal 23 ayat 2 menyatakan: "Rancangan undang-undang APBN diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama dengan Dewan 54 Jimlly Asshiddiqqie2002 Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat FH UI Jakarta hal 41 Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah." Dalam hal ini apabila DPR tidak menyetujui rancangan APBN yang disulkan presiden maka pemerintah menjalankan APBN tahun lalu. Pasal 5 dan Pasal 23 tersebut memberikan pengertian bahwa Amandemen UUD 1945 memberikan kekuasaan membuat APBN kepada presiden untuk mendapat persetujuan bersama dengan DPR, dengan demikian RUU APBN akan selalu datang dari presiden. Sedangkan kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan DPR untuk mendapat persetujuan bersama dengan pemerintah, dengan demikian inisiatif dan materi RUU akan datang pertama kali dari DPR. Dalam ketentuan UUD 1945 sebelum amandemen hak yang dimiliki DPR dibandingkan dengan kewenangan utama membentuk undang-undang yang dimiliki oleh presiden, memang dapat dikatakan tidak seimbang. Hal ini terlihat jelas dalam hal pembentukan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang (Perpu). Pada ketentuan lama, presiden diberi hak dan wewenang oleh UUD untuk menetapan Perpu dan memberlakukannya selama satu tahun tanpa memerlukan persetujuan DPR. Sedangkan dalam hal RUU yang diprakarsai oleh DPR dan telah disahkan oleh DPR dapat ditolak presiden apabila presiden tidak menyetujui RUU tersebut. Bahkan lebih jauh lagi, dalam pembentukan peraturan perundangundangan sebelum Amandemen UUD 1945, ada yang disebut sebagai 109 policy rules (beleidregels) yang dianggap dengan sendirinya berada di tangan presiden yang dalam praktek tercerminkan dalam kewenangannya untuk mengeluarkan Keputusan Presiden yang bersifat mandiri dalam arti tidak dalam rangka melaksanakan perintah undang-undang. Dalam praktek selama pemerintahan Orde Baru, justru jenis-jenis Keputusan Presiden seperti ini banyak sekali jumlahnya, termasuk sebagian besar di antaranya sesungguhnya memuat materi yang seharusnya dituangkan dalam bentuk Undang-undang. Jimly Asshiddiqie 55 menilai gejala ini biasa disebut sebagai gejala Government by Keppres. Oleh karena itu dapat dimengeri mengapa ketentuan pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945 perlu diubah menjadi rumusan sebagaimana perubahan pertama UUD 1945. Perubahan ini menggambarkan telah terjadinya pergeseran dalam penyelenggaraan kekuasaan legislatif dari presiden ke lembaga DPR. Namun demikian, untuk menyerahkan tugas legislasi sepenuhnya kepada DPR adalah tidak realistis, karena legislasi itu sebagian terbesar lebih bersifat teknis yang membutuhkan peran pemerintah. Bahkan dewasa ini, makin disadari bahwa kekuasaan untuk membuat undangundang cenderung terus berkembang semakin teknis sifatnya, sedangkan fungsi pengawasan dan pengendalian yang lebih bersifat politis cenderung dianggap makin penting dalam upaya membangun citra 55 Ibid.hal53 parlemen yang efektif untuk menggambarkan kesederajatannya dengan pihak pemerintah. Karenanya Amandemen UUD 1945 mensyaratkan adanya kerjasama DPR dan pemerintah dalam menyusun suatu RUU walaupun kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR. Amandemen Pasal 20 UUD 1945 sebenarnya tidak membawa perubahan apa-apa karena pada dasarnya setiap undang-undang harus dibahas bersama dan harus mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) yang menyatakan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang sepertinya tanpa makna. Memegang kekuasaan seharusnya berarti dapat 'memaksakan kehendak' atau berhak menentukan 'ya' atau 'tidak' sebagaimana yang terjadi pada negara yang menganut sistem presidensil murni (seperti Amerika Serikat) tetapi dalam hal ini, DPR tidak memiliki kekuasaan untuk memaksakan pemberlakuan suatu undang-undang karena adanya ketentuan persetujuan bersama tersebut. Dalam sistem presidensil murni, pihak pemerintah (eksekutif) tidak perlu ikut campur mengurusi undang-undang. Pembuatan undangundang merupakan sepenuhnya kekuasaan legislatif. Dasar filosofis ketentuan ini dapat dianalogikan seperti sebuah perusahaan, dimana pemilik perusahaanlah yang mengeluarkan aturan kerja di perusahaan tersebut dan bukan pegawainya. Jika pegawai yang membuat aturan tentu ia akan membuat aturan yang hanya menguntungkan diri mereka saja. Jika si pegawai tidak suka dengan aturan itu maka ia dipersilahkan 111 mundur dari perusahaan itu. Namun tentu saja pemilik perusahaan dapat menerima masukan dari pegawai soal peraturan itu, namun pegawai hanya sekedar menyarankan bukan memegang peran yang sama penting dengan pemilik. Pasal 20 UUD 1945 menempatkan pegawai (dalam hal ini pemerintah) dan pemilik perusahaan (dalam hal ini DPR) dalam posisi yang sejajar. Perlu pula dipahami dengan tepat berkenaan dengan pengertian persetujuan bersama antara DPR dan presiden dalam pembahasan suatu RUU. Bagaimanakah sebenarnya bentuk pelaksanaan dari prinsip persetujuan bersama itu dalam praktek Apakah persetujuan bersama itu hanya dilakukan dalam persidangan atau bisa pula bersifat institusional dalam arti persetujuan antara pemerintah dengan pimpinan DPR saja Menurut Jimly Asshiddiqie yang dimaksud dengan istilah bersama-sama adalah dalam persidangan bersama-sama antara pihak pemerintah dan DPR. 56 Pertanyaan yang perlu diajukan disini adalah apakah metode untuk mencapai persetujuan bersama itu termasuk juga dengan jalan pemungutan suara (voting) ataukah hanya melalui musyawarah dan mufakat. Jimly Asshiddiqie menilai pengertian persetujuan bersama ini tidak berarti bahwa setiap RUU yang akan disetujui itu harus dapat memuaskan kedua belah pihak. Dalam sistem demokrasi proses 56 Ibid, hal 38 pengambilan keputusan memang harus dihadiri bersama tetapi keputusan yang diambil tidak berarti harus menyenangkan semua orang. Sudah sewajarnya ada take and give dan bahkan ada yang kalah dan ada yang menang. Dalam hal terjadi voting terhadap suatu RUU maka akan terjadi dua hal; pertama, voting memenangkan RUU versi pemerintah dan partai pendukung pemerintah; kedua, voting memenangkan RUU versi partai oposisi.57 Berdasarkan UUD 1945 tampaknya hanya mengartikan persetujuan bersama terhadap suatu RUU hanya dapat dicapai dengan kesepakatan bersama (musyawarah/mufakat) tanpa harus melakukan pemungutan suara (voting). Mekanisme voting memunculkan pihak menang dan kalah dan dianggap tidak menggambarkan adanya persetujuan bersama. Jika terjadi deadlock, dalam hal ini jika tidak tercapai persetujuan bersama. maka rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. 2.3 Landasan Yuridis Pengelolaan Keuangan Negara Dalam APBN Landasan pengelolaan keuangan negara adalah Pasal 23C Undang Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga: "hal-hal lain mengenai keuangan negara ditetapkan melalui undang-undang". Berangkat dari landasan konstitual itulah berbagai upaya dilakukan untuk dapat menghadirkan Undang-undang Keuangan Negara. Tercatat 14 (empat belas) tim telah 57 Ibid, hal 40 113 dibentuk dengan tugas untuk menyusun RUU bidang Keuangan Negara atau RUU tentang Perbendaharaan Negara. Ke-14 tim itu adalah: NO TIM 1 Panitia Achmad Natanegara HASIL Konsep RUU Keuangan Republik Indonesia "UKRI" TAHUN 1945-1947 2 Panitia Hermans Menyusun RUU Pokok tentang 1950-1957 Pengurusan Keuangan Negara disingkat "UUPKN" (dalam bahasa Belanda) 3 Panitia Ahli Departemen Keuangan Tidak menghasilkan konsep RUU 1959-1962 4 Panitia Ahli Departemen Keuangan dan Politisi Tidak menghasilkan konsep RUU 1963-1965 5 Panitia Soedarmin Menyusun Konsep RUU tentang pengurusan Keuangan Negara 1969-1974 6 Panitia Gandhi Menyusun konsep RUU semula 1975-1983 berjudul "Undang-undang tentang Cara Pengurusan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara" berubah menjadi "Undang-undang tentang Pengurusan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara", berubah menjadi "Undang-undang tentang Keuangan Negara" , berubah menjadi "Undang-undang tentang Pengurusan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara", dan akhirnya berubah menjadi "Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara" 7 Panitia Prof. Dr. Rochmat Soemitro Panitia ini dibentuk oleh 1983-1984 Departemen Kehakiman dan menyusun konsep RUU semula berjudul "Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara" kemudian menjadi "Undang-undang tentang Pokok-Pokok Perbendaharaan Negara" 8 Panitia Soegito Mengolah kembali RUU hasil 1984-1988 panitia Gandhi yang kemudian diberi judul "Undang-undang tentang perbendaharaan Negara" 9 Tim Intern Badan Menyusun konsep RUU Pemeriksa Keuangan berjudul “Undang-undang tentang Keuangan Negara" 10 Panitia Taufik Mengkaji ulang hasil Panitia Soegito dan hasilnya tetap diberi judul "Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara" 1990 1989-1993 115 11 Tim Pengkajian dan Mengkaji dan menyempurnakan 1998-1999 Penyempurnaan RUU Perbendaharaan Negara RUU hasil panitia Taufik dan tetap Perbendaharaan diberi judul "Undang-undang Negara tentang Perbendaharaan Negara", Namun hanya mengatur aspek pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran, yaitu sebagian dari siklus anggaran. Hal ini dilakukan karena RUU Perbendaharaan Negara ini rnerupakan bagian dari paket RUU bidang Keuangan Negara yang terdiri atas: a. RUU tentang Ketentuan Pokok Keuangan Negara b. RUU tentang Perbendaharaan Negara 12 Tim Counterpart RUU BPK Menyusun RUU yang diberi 1999 judul "RUU tentang Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara" 13 Tim Penyusunan RUU Ketentuan Pokok Keuangan Negara Merupakan Tim Pemerintah 1999-2001 bersama Badan Pemeriksa Keuangan berhasil menyusun kembali RUU hasil Tim Pengkajian dan Penyuempurnaan RUU Perbendaharaan Negara dan Tim RUU Bidang Keuangan Negara yang terdiri atas: a. RUU tentang Keuangan Negara b. RUU tentang Perbendaharaan Negara c. RUU tentang Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan Paket tersebut telah diajukan ke DPR 14 Komite Penyempurnaan Manajemen Keuangan Melanjutkan tim Penyusunan RUU Ketentuan Pokok Keuangan Negara, dan telah menghasilkan UU Nomor 17Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. 2001 -sekarang Sumber: Prinsip Keuangan Negara, 200358 Hingga tahun 2003 yang lalu sebelum UU No.17/2003 diundangkan aturan yang berlaku untuk pengelolaan Keuangan Negara. Perumusan keuangan negara menggunakan beberapa pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan dari sisi obyek; 2. Pendekatan dari sisi subyek; 3. Pendekatan dari sisi proses; dan, 4. Pendekatan dari sisi tujuan. Dari sisi obyek Keuangan Negara akan meliputi seluruh hal dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, di dalamnya termasuk berbagai kebijakan dan kegiatan yang terselenggara dalam bidang fiskal, 58 Syahruddin Rasul, 2003, Pengintegrasian Sistem akuntabilitas Kinerja dan Anggaran Dalam Perspektif UU No.17/2003 tentang Prinsip Keuangan Negara, Jakarta, hal. 41. 117 moneter dan atau pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu segala sesuatu dapat berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek, keuangan negara meliputi negara, dan/atau pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Keuangan Negara dari sisi proses mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek di atas mulai dari proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Terakhir, keuangan negara juga meliputi seluruh kebijakan, kegitan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/ atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara, pendekatan terakhir ini dilihat dari sisi tujuan. Dengan pendekatan sebagaimana diuraikan di atas, UU No. 17/2003 merumuskan sebagai berikut: Keuangan negara adalah "semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut". (Pasal 1 huruf 1 UUNo. 17/2003). Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan pengertian tersebut diuraikan dalam Pasal 2 UU No. 17/2003 meliputi: a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c. Penerimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah; f. Pengeluaran Daerah; g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau daerah; h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas secara ringkas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan 119 negara yang dipisahkan. Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi enam fungsi, yaitu: a. Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal. Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal ini meliputi penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN, serta perkembangan dan perubahannya, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan ekonomi makro, pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan fiskal dalam rangka kerjasama internasional dan regional, penyusunan rencana pendapatan negara, hibah, belanja negara dan pembiayaan jangka menengah, penyusunan statistik, penelitian dan rekomendasi kebijakan di bidang fiskal, keuangan, dan ekonomi. b. Fungsi penganggaran. Fungsi ini meliputi penyiapan, perumusan, dan pelaksanaan kebijakan, serta perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang APBN. c. Fungsi administrasi perpajakan. d. Fungsi administrasi kepabeanan. e. Fungsi perbendaharaan. Fungsi perbendaharaan meliputi perumusan kebijakan, standard, sistem dan prosedur di bidang pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah serta akuntansi pemerintah pusat dan daerah, pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara, pengelolaan kas negara dan perencanaan penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan utang dalam negeri dan luar negeri, pengelolaan piutang, pengelolaan barang milik/kekayaan negara (BM/KN), penyelenggaraan akuntansi, pelaporan keuangan dan sistem informasi manajemen keuangan pemerintah. f. Fungsi pengawasan keuangan. Sementara itu, bidang moneter meliputi sistem pembayaran, sistem lalu lintas devisa, dan sistem nilai tukar. Adapun bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan meliputi pengelolaan perusahaan negara/daerah. Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara professional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945 tersebut, UU No. 17/2003 menjabarkannya ke dalam asas-asas umum yang telah lama dikenal dalam pengelolaan kekayaan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan dan asas spesialitas; maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidahkaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: 121 akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. (Pasal 6 UU No. 17/2003) Pada dasarnya Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Sebagian kekuasaan itu diserahkan kepada Menteri Keuangan yang kemudian berperan sebagai pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan negara dalam kekayaan negara yang dipisahkan. Sebagian kekuasaan lainnya diberikan kepada menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna anggaran/pengguna barang lembaga/kementrian yang dipimpinnya. Jika Presiden memiliki fungsi sebagai Chief Executive Officer (CEO) maka Menteri Keuangan berperan dan berfungsi sebagai Chief Financial Officer (CFO) sedangkan menteri/pimpinan lembaga berperan sebagai Chief Operating Officers (COOs). Hubungan tersebut tergambar seperti pada gambar berikut : Delegasi Wewenang Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara Pemisahan fungsi seperti di atas dimaksudkan untuk membuat kejelasan dan kepastian dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab. Sebelumnya fungsi-fungsi tersebut belum terbagi secara tegas sehingga seringkali terjadi tumpang tindih antar lembaga. Pemisahan ini juga dilakukan untuk menegaskan terlaksananya mekanisme checks and balances. Selain itu, dengan fokusnya fungsi masing-masing kementrian atau lembaga diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme di dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah. Menteri Keuangan dengan penegasan fungsi sebagai CFO akan memiliki fungsi-fungsi antara lain: 1. Pengelolaan kebijakan fiskal; 2. Penganggaran; 3. Administrasi Perpajakan; 4. Administrasi Kepabeanan; 5. Perbendaharaan (Treasury); dan 6. Pengawasan Keuangan. Seperti halnya pemerintah pusat, pengelolaan keuangan daerah 123 juga menggunakan pendekatan pembagian fungsi yang tidak berbeda. Gubernur/Bupati/Walikota akan memiliki fungsi sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Daerah atau CEO, dinas-dinas sebagai COO, dan pengelola Keuangan Daerah sebagai CFO. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 1 angka 7, UU No. 17/2003). Merujuk Pasal 12 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, APBN dalam satu tahun anggaran meliputi: a. Hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih; b. Kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih; c. Penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Semua penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui rekening kas umum negara. (Pasal 12 ayat (2) UU No. 1/2004) Tahun anggaran adalah periode pelaksanaan APBN selama 12 bulan. Sejak tahun 2000, Indonesia menggunakan tahun kalender sebagai tahun anggaran, yaitu dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Sebelumnya, tahun anggaran dimulai tanggal 1 April sampai dengan 31 Maret tahun berikutnya. Penggunaan tahun kalender sebagai tahun anggaran ini kemudian dikukuhkan dalam UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara (Pasal 4 UU No. 17/2003 dan Pasal 11 UU No. 1/2004). Sebagaimana ditegaskan dalam Bagian Penjelasan UU No. 17/2003, anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai fungsi akuntabilitas, pengeluaran anggaran hendaknya dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan hasil (result) berupa outcome atau setidaknya output dari dibelanjakannya dana-dana publik tersebut. Sebagai alat manajemen, sistem penganggaran selayaknya dapat membantu aktivitas berkelanjutan untuk memperbaiki efektifitas dan efisiensi program pemerintah. Sedangkan sebagai instrumen kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara.55 Anggito Abimayu op cit hl 5 Merujuk Pasal 3 Ayat (4) UU No. 17/2003, APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung 125 arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian. Struktur APBN terdiri dari pendapatan negara dan hibah, belanja negara, keseimbangan primer, surplus/defisit, dan pembiayaan. Indonesia telah mengubah komposisi APBN sesuai dengan standar statistik keuangan pemerintah, Government Finance Statistics (GFS). Pendapatan Negara dan Hibah. Penerimaan APBN diperoleh dari berbagai sumber. Secara umum yaitu penerimaan pajak yang meliputi pajak penghasilan (PPh), diatur dalam UU Nomor ;36 Tahun 2008 pajak pertambahan nilai (PPN), diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 18 Ayat (1) Hasil penerimaan pajak merupakan penerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan imbangan pembagian sekurang –kurangnya 90% (sembilan puluh persen ) untuk Pemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah Tingkat I sebagai pendapatan daerah yang bersangkutan . Ayat (2) Bagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagian besar diberikan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II. Ayat (3) Imbangan pembagian hasil penerimaan pajak sebaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Pembagian Hasil Penerima Pajak Bumi dan Bangunan antara Pusat dan Daerah. Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 1997. Pasal 23 ayat (1) Penerimaan negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80%(delapan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah bersangkutan. Ayat (2) Bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi kepada seluruh Pemerintah Kabupaten /Kota secara merata. Ayat (3)Bagian Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi dalam imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Provinsi yang bersangkutan dan 80%(delapan puluh persen) untuk Pemerintah Kabupaten /Kota yang bersangkutan. 127 Cukai, dan Pajak lainnya, serta Pajak Perdagangan (bea masuk dan pajak/pungutan ekspor) merupakan sumber penerimaan utama dari APBN. Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) meliputi penerimaan dari sumber daya alam, setoran laba BUMN, dan penerimaan bukan pajak lainnya, walaupun memberikan kontribusi yang lebih kecil terhadap total penerimaan anggaran, jumlahnya semakin meningkat secara signifikan tiap tahunnya. Berbeda dengan sistem penganggaran sebelum tahun anggaran 2000, pada sistem penganggaran saat ini sumber-sumber pembiayaan (pinjaman) tidak lagi dianggap sebagai bagian dari penerimaan. Dalam pengadministrasian penerimaan negara, departemen/ lembaga tidak boleh menggunakan penerimaan yang diperolehnya secara langsung untuk membiayai kebutuhannya. Beberapa pengeculian dapat diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait. Belanja Negara. Belanja negara terdiri atas anggaran belanja pemerintah pusat, dana perimbangan, serta dana otonomi khusus dan dana penyeimbang. Sebelum diundangkannya UU No. 17/2003, anggaran belanja pemerintah pusat dibedakan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. UU No. 17/2003 mengintrodusing uniffied budget sehingga tidak lagi ada pembedaan antara pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus . Sementara itu, dana otonomi khusus dialokasikan untuk provinsi Daerah Istimewa Aceh dan provinsi Papua. Defisit dan Surplus. Defisit atau surplus merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Pengeluaran yang melebihi penerimaan disebut defisit; sebaliknya, penerimaan yang melebihi pengeluaran disebut surplus. Sejak TA 2000, Indonesia menerapkan anggaran defisit menggantikan anggaran berimbang dan dinamis yang telah digunakan selama lebih dari tiga puluh tahun. Dalam tampilan APBN, dikenal dua istilah defisit anggaran, yaitu: keseimbangan primer (primary balance) dan keseimbangan umum (overall balance). Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja tidak termasuk pembayaran bunga. Keseimbangan umum adalah total penerimaan dikurangi belanja termasuk pembayaran bunga. Pembiayaan. Pembiayaan diperlukan untuk menutup defisit anggaran. Beberapa sumber pembiayaan yang penting saat ini adalah: pembiayaan dalam negeri (perbankan dan non perbankan) serta pembiayaan luar negeri (netto) yang merupakan selisih antara penarikan utang luar negeri (bruto) dengan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri. BAB III WEWENANG DPR DALAM FUNGSI PENETAPAN APBN SESUAI DENGAN PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI 3.1. Wewenang DPR Dalam Fungsi Penetapan Sesuai Dengan Prinsip Demokrasi Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa demokrasi yang mensejahterakan rakyat yang saat ini menjadi tujuan bersama pasti tidak akan membuka ruang sedikit pun bagi praktik-praktik korupsi yang menyengsarakan rakyat. 59 Alam demokrasi menuntut berfungsinya secara tertib seluruh pilar demokrasi dan perangkat hukum harus dapat berfungsi efektif. Keseimbangan antara peran legislatif, eksekutif dan yudikatif harus berjalan pada arah yang benar. Tak kalah pentingnya, penegakan hukum harus konsisten dan tidak boleh pandang bulu. "Tata kelola pemerintahan good governance harus berfungsi dengan baik dan kebebasan harus berjalan bergandengan dengan rule of law. Seluruh pilar dan elemen itulah yang dapat memastikan terpeliharanya kehidupan bernegara yang demokratis, damai dan stabil. Pada tingkat regional dan global, penyelesaian berbagai permasalahan dan tantangan di abad ke-21 ini harus dijalankan secara 59 Susilo Bambang Yudhoyono,2010 Dalam Pidato Pembukaan BDF bertajuk : Dimokrasi Untuk Meningkatkan Perdamaian dan Stabilitas, Bali Post tanggal 10 Desember , hal. I transparan dan demokratis. "Ketegangan yang terjadi dalam hubungan internasional dewasa ini banyak yang disebabkan oleh adanya ketidakpercayaan atau bahkan kesalahpahaman". Kerja sama antarkawasan dalam tingkat regional maupun global seharusnya menganut prinsipprinsip demokrasi dan berkeadilan. Sistem yang demokratis dan transparan sangat diperlukan juga pada tingkat regional dan global. Hanya dengan menerapkan asas yang berkeadilan, persamaan dan transparansi, maka perdamaian dan stabilitas baik pada tingkat kawasan maupun global dapat diwujudkan dan dipelihara bersama. "Salah satu dari esensi dari demokrasi adalah bagaimana kita dapat memberdayakan seluruh elemen bangsa untuk meningkatkan harkat dan martabat rakyat kita semua. Kita juga harus memastikan agar segenap komponen bangsa dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi dan pencapaian kesejahteraan bagi kita semua". Tidak ada formula yang baku tentang bagaimana demokrasi dapat bergandengan dengan stabilitas karena setiap negara mempunyai caranya sendiri. Selain itu, setiap negara masih menghadapi situasi ekonomi dan politik internasional yang masih labil dan terus bergulir dan perlu terus menjaga solidaritas untuk menyikapinya dengan arif dan bijaksana. "Demokrasi terus tumbuh dan berkembang dengan dinamikanya yang khas dan unik di berbagai negara,. Menurut Susilo Bambang Yudhoyono, tidak ada istilah demokrasi telah selesai karena demokrasi harus menghasilkan democratic devidend yang dirasakan langsung utamanya oleh masyarakat di negara masingmasing dan berimbas ke berbagai kawasan lainnya. Dikatakannya, demokrasi merupakan sebuah proses untuk meningkatkan kesejahteraan, keadilan, serta kesamaan hak dan kebebasan setiap umat manusia. "Demokrasi harus dapat menciptakan rasa aman, tenteram, dan damai bagi masyarakatnya”. 60 CF Strong 61 menyebutkan bahwa Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mayoritas anggota masyarakat dewasa komunitas politiknya turut berpartisipasi melalui perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah harus mempertanggung jawabkan segala tindakannya kepada kelompok mayoritas tersebut. Pada hakekatnya bahwa pemerintahan yang demokratis syarat utamanya harus melibatkan rakyat baik secara langsung maupun melalui wakil-wakilnya yang telahditunjuk atau dipilih oleh rakyat melalui partai politik dalam sistem pemilihan umum tersebut dalam menjalankan roda pemerintahannya maupun merencanakan dan menyusun program-program kegiatan dari pemerintah tersebut Bahwa pemerintahan yang demokratis itu yang mengsyaratkan keterlibatan masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan baik secara langsung maupun melalui wakilwakilnya yang paling penting adanya kebebasan dari masyarakat untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhannya dan harus diperjuangankan secara bebas pula oleh wakil-wakil yang dipilih melalui pemilu yang bebas tersebut adanya pengawasan terhadap apa yang dilakukan oleh wakil wakil rakyat tersebut serta dapat dipertanggungjawabkan kepada rakya yang diwakilinya dan yang memilih. Pada intinya bahwa prinsip-prinsip pokok Negara yang demokrasi adalah : Pertama hubungan demokrasi dan hukum, Bahwa hukum benar – benar menjadi kehendak dan kebutuhan masyarakat (hukum yang responsif) serta hukum tidak berlaku surut, hukum yang dibuat oleh 60 Ibid., hal 50 61 C.F. Strong, 2008, Konstitusi Politik Modern Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia Terjemahan SPA Teamwork Nusa Media, Bandung, Hlm. 17. parlemen (lembaga perwakilan rakyat) adalah hukum yang benar-benar dihendaki oleh masyarakat. Kedua prinsip Legalitas, Hukum dibuat untuk mencegah tindakan sewenang wenang dari pejabat pemerintah, Apa yang dilakukan oleh pejabat pemerintah harus sesuai dengan hukum. Ketiga Tentang Negara Hukum yang Demokratis, yang berkaitan dengan peradilan yang mandiri (tanpa campur tangan dari pemerintah maupun parlemen) baik menyangkut peradilan kriminal maupun peradilan administrasi (uji ulang putusan administrasi). Hakim diangkat untuk selamanya (tanpa campur tangan dari pandangan politik pemerintah maupun parlemen) yang bisa membubarkan adalah Mahkamah Agung bila ada situasi yang genting /ekstrim Keempat Unsur materiil Negara Hukum yaitu pemerintah melindungi hak-hak masyarakat, khususnya hak-hak masyarakat yang klasik yaitu kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan pers dan kebebasan berkumpul dan berserikat. Didalam Pasal 23 ayat(1) dan ayat(3) Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia tahun 1945 disebutkan Anggaran Belanja Negara ditetapkan tiap-tiap Pendapatan dan tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan presiden, maka pemerintah menjalankan anggaran yang tahun lalu. Pasal tersebut memiliki hak Anggaran DPR, yang mana dalam hal penetapan pendapatan dan belanja negara kedudukan DPR lebih kuat daripada Pemerintah yang artinya menunjukan secara filosofis yuridis, hal ini merupakan tanda dari kedaulatan rakyat. Dengan demikian konsepsi keuangan Negara, hakikat APBN adalah kedaulatan rakyat yang diamanatkan kepada DPR. Dalam hal pertanggungjawaban keuangan Negara dapat dilihat dari dua sisi yaitu : 1. Pertanggungjawaban keuangan Negara horizontal yaitu pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang diberikan pemerintah kepada DPR. Hal ini disebabkan sistem ketatanegaraan yang berdasarkan Undang Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 telah menentukan kedudukan pemerintah dan DPR sederajat. Hal ini dilakukan dalam bentuk persetujuan terhadap RUU Perhitungan Angaran Negara. 2 Pertanggungjawaban keuangan Vertikal, yaitu pertanggungjawab an keuangan yang dilakukan oleh setiap otoristor dari setiap departemen atau lembaga Negara non departemen yang menguasai bagian anggaran , termasuk didalamnya pertanggungjawaban bendaharawan kepada atasannya dan pertanggungjawaban para pimpinan proyek. Pertanggungjawaban keuangan ini pada akhirnya disampaikan kepada Presiden yang diwakili oleh Menteri keuangan selaku pejabat tertinggi pemegang tunggal keuangan Negara. 62 Berdasarkan konsep tersebut, pertanggungjawaban keuangan Negara merupakan konsekuansi logis dari kesediaan pemerintah melaksanakan APBN yang telah disetujui oleh DPR. Dalam hal pengelolaan keuangan Negara atau APBN, pertanggungjawaban keuangan Negara dituangkan kedalam perhitungan anggaran Negara sebagai kuasa dari DPR kepada pemerintah memberikan dasar yang kuat yang berhak menerima 62Muhammad Djafar Saidi, Op cit, hal. 47 pertanggungjawaban keuangan Negara adalah DPR. Sitti Nurhajati Daud menyatakan ; The Secretary General of the Indonesian House of Representatives is the head of the Secretariat General Which is a supporting system in the execution of the tasks and functions of the Indonesian House of Representative. The Indonesian Constitution (1945) stipulates three functions of the Indonesian House of Representative, namely law-making (legislation) function, national budget determination function, and control function. Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat lndonesia adalah Kepala Sekretariat Jenderal yang merupakan sistem pendukung dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat lndonesia. lndonesia Konstitusi (1945) menetapkan tiga fungsi dari Dewan Perwakilan Rakyat pembuat undangundang (legislasi), fungsi anggaran nasional dan fungsi kontrol. 63 Untuk melaksanakan fungsi pengawasan, lembaga DPR dilengkapi dengan hak untuk meminta keterangan (interpelasi), hak untuk menyelidiki (angket), hak menyatakan pendapat (resolusi), hak untuk memperingatkan tertulis (memorandum), dan bahkan hak untuk menuntut pertanggungjawaban (impeachment). Dalam pelaksanaan fungsi legislasi, DPR mempunyai hak/ kewajiban untuk mengajukan rancangan undangundang, hak amandemen atau hak untuk mengubah atau bahkan menolak sama sekali rancangan undang-undang yangdiajukan oleh pemerintah. DPR berhak mengajukan RAPBN dan berhak mengubah dengan mengurangi ataupun menambah anggaran yang diajukan pemerintah. Untuk dapat menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut secara efektif maka DPR perlu diberikan sejumlah hak yaitu hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Ketiga hak ini merupakan 63Sitti Nurhajati Daud, 2003, The Role Of The Secretary General Of The Indonesian House Of Representatives in The Era Reform in Indonesia, Geneva Meeting, Hal. 1 kewenangan atau hak DPR sebagai suatu lembaga. Hak interpelasi adalah hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah tentang sesuatu kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas; hak angket adalah hak DPR untuk melakukan suatu penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis yang diduga bertentangan dengan peraturan perundangan; hak menyatakan pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya. Anggota DPR juga memiliki hak dalam melaksanakan tugasnya. Hak-hak ini dimiliki setiap anggota DPR sebagai individu atau perorangan. Hak perseorangan anggota DPR itu adalah: a. Hak mengajukan RUU. Penjelasan UU Susduk No 22 Tahun 2003 jo no 27 Tahun 2009 menyebutkan bahwa hak anggota DPR untuk mengajukan RUU dimaksudkan untuk mendorong, memacu kreativitas, semangat dan kualitas anggota DPR dalam menyikapi serta menyalurkan dan menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya dalam bentuk pengajuan usul RUU. b. Hak mengajukan pertanyaan adalah hak anggota DPR untuk menyampaikan pertanyaan baik secara lisan maupun tertulis kepada pemerintah bertalian dengan tugas dan wewenang DPR. c. Hak menyampaikan usul atau pendapat adalah hak anggota DPR untuk menyampaikan usul dan pendapat secara leluasa baik kepada pemerintah maupun kepada DPR sendiri sehingga ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya d. Hak imunitas atau hak kekebalan hukum yaitu hak setiap anggota DPR untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat DPR dengan pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. e. Hak Protokoler yaitu hak anggota DPR untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya dalam acara-acara kenegaraan atau acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya. Khusus mengenai hak mengajukan RUU ini merupakan hak yang jarang digunakan pada era sebelum reformasi karena inisiatif untuk mengajukan RUU selalu datang dari pemerintah. Kondisi ini bisa terjadi disebabkan oleh ketentuan pasal 5 ayat 1 UUD 1945 sebelum amandemen yang menyatakan: "Presiden memegang kekuasaan membentuk undangundang dengan persetujuan DPR." Kata "memegang kekuasaan" dalam pasal ini mengandung arti semacam kewajiban. Dengan demikian presiden mempunyai kewajiban untuk mengajukan suatu RUU kepada DPR. Kesimpulan ini didasarkan kepada beberapa hal yaitu (1) presiden sebagai eksekutif dan (2) presiden sebagai mandataris MPR. Sebagai eksekutif, sudah barang tentu pemerintahlah yang lebih mengetahui undang-undang apa yang dibutuhkan dalam rangka melaksanakan pemerintahan. Dan sebagai mandataris MPR adakalanya presiden harus mengajukan RUU dalam rangka melaksanakan TAP MPR. Amandemen UUD 1945 memindahkan kekuasaan membentuk undang-undang ke tangan DPR. Dengan demikian pada era reformasi ini, anggota DPR tidak bisa hanya bersikap menunggu saja RUU yang datang dari pemerintah namun DPR harus dapat menyusun RUU sendiri sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat, dengan demikian setiap anggota DPR harus kreatif dan proaktif untuk mengetahui apa saja aspirasi dan keinginan rakyat itu. Dalam hal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu). Namun Perpu itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, dan jika tidak mendapat persetujuan maka Perpu itu harus dicabut. Demikian pula halnya dalam menentukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara harus mendapat persetujuan dari DPR. Jika DPR menolak untuk memberikan persetujuan terhadap anggaran yang diusulkan oleh pemerintah maka pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu. Didalam hal penetapan APBN, jika dikaitkan kedua pasal tersebut antara pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia tahun 1945 dengan pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia tahun 1945 mempunyai hubungan yang sangat erat, karena mencari persetujuan antara DPR dengan presiden dalam penetapan APBN merupakan wujud lahirnya undang-undang keuangan negara memberikan pemahaman filosofis yang menentukan APBN sebagai bentuk penjelmaan kedaulatan rakyat. Namun dalam kerangka teoritis hukum keuangan negara, berdasarkan pasal 23 ayat (1) dan ayat(3)Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia tahun 1945 yang dimaksud sebagai keuangan negara adalah yang ditetapkan dalam undang-undang APBN. Dengan dasar pemikiran hal tersebut dapat dikatakan bahwa keuangan negara adalah APBN. Artinya dengan persetujuan DPR yang mewakili rakyat, persetujuan DPR merupakan sesuatu yang mutlak sifatnya. Oleh karena itu tanpa persetujuan dewan, anggaran negara tidak mungkin ditetapkan. Disinilah letak kedaulatan rakyat yang diwakili oleh DPR dalam menyetujui anggaran negara. Selain itu anggaran negara dapat dikatakan sebagai otorisasi dari rakyat kepada eksekutif melalui perwakilannya yaitu DPR dimana eksekutif dapat menggunakan pendapatan negara bagi pengeluaran bagi pelaksanaan pemerintahannya. Oleh karena itu dilihat dari kewenangan lembaga legislatif berdasarkan hak budget yang dimilikinya apakah lembaga legislatif berhak mengelola anggaran sendiri yang ditetapkan dalam suatu undang-undang tersendiri, hal ini sah menurut hukum dan dapat dibenarkan dari segi teori kedaulatan, namun dari segi teori otorisasi, tidak mungkin badan legislatif memberi otorisasi pada dirinya sendiri. Berbeda dengan lembaga yudikatif atau lembaga negara lainnya yang secara mendasar tidak memiliki hak budget dan secara teoritis bukan untuk memperoleh otorisasi dari lembaga legislatif, sebagaimana halnya lembaga eksekutif yang menjalankan roda pemerintahan, administrasi negara dan melindungi serta meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Kondisi demikian justru dikonkretkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebagai undang-undang, Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang tidak memperhatikan kedudukan dan fungsi keuangan publik dari lembaga atau badan-badan hukum yang ada. Kondisi demikian terjadi kerana Pasal 23 Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 tidak memberikan ramburambu yang secara yuridis dapat dipertanggungjawabkan. Imperfektivitas ketentuan hukum keuangan negara karena produk peraturan perundang-undangan yang mengatur keuangan negara tidak mengandung landasan (a) filsafat yang merupakan latar belakang substansi pemikiran pembuat undang-undang tentang keuangan Negara, ia pun harus dirumuskan secara mendasar pada (b) ilmu pengetahuan (het dekken der kennis) rumusannya ditata segera (c) landasan pemikiran ekonomis (Ekonomische Denkgeselz), menghindari substansinya yang (d) diulang dan / atau saling bertentangan antara pasal satu dengan pasal yang lainnya (Wiederspruchlos), (e) cakupan rumusan substansi undang-undang harus bersifat menyeluruh (het dekken van de rechtsstoj), serta harus mengandung (f) estetika bahasa (taal aesteticd), (g) Bermanfaat sesuai dengan tujuannya (doelmatig). Dengan demikian peraturan perundang-undangan keuangan negara yang menjadi dasar hukum keuangan negara menghindar penggunaan prinsip tersebut dalam menyusun undang-undang, apalagi sebuah undangundang dasar landasan filsafatnya adalah mutlak dan merupakan syarat utama, disamping syarat-syarat lain yang diperlukan untuk sebuah peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, perlu dikatakan secara tegas, materi Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 merupakan produk hukum yang asal jadi dan meteri muatannya sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai produk hukum atau undang-undang. Apalagi dari sudut ilmiah maupun filosofinya. Seharusnya, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 mengatur pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan publik uang lebih efektif dalam melaksanakan tertib administrasi keuangan dengan akuntabilitas yang tinggi. Demikian pula ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (Perubahan Ketiga) perlu diadakan kaji ulang agar mempunyai bobot sebagai sebuah meteri muatan dalam undang-undang dasar. Secara teoritis DPR sebagai badan legislatif mempunyai dasar yang kuat dan sah menurut hukum untuk melakukan perubahan dalam UndangUndang No. 17 Tahun 2003. Sementara itu, MPR mempunyai peran yang signifikan untuk kembali dalam undang-undang dasar dan undang-undang dapat memenuhi ketentuan teori hukum yang berlaku. Disamping persoalan keuangan negara, hukum keuangan negara dalam hal pemeriksaannya juga mengalami disorientasi yang sangat pelik. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 melegitimasi perubahan fungsi pemeriksaan BPK yang diatur oleh pasal 23 E Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia tahun 1945 untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu BPK yang bebas dan mandiri yang tidak hanya ditujukan pada tanggung jawab keuangan negara, tetapi juga pengelolaan keuangan negara. Peruhahan demikian jelas menciptakan disorietasi fungsi BPK yang melebar ke segala arah dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara. Dari segi hukum keuangan publik, disorientasi fungsi pemeriksaan keuangan negara yang terlalu luas akan melemahkan rentang kendali (span of control), inmodernisasi, penyalahgunaan kewenangan, dan ketidakmampuan dalam mencegah penyimpangan keuangan negara secara efektif. Disorientasi pemeriksaan keuangan negara yang dilegitimasi Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 hanya akan mendorong ketidakberdayagunaan BPK dalam menjangkau segi strategis tanggung jawab keuangan negara karena berkutat menjelajah segi teknis pengelolaan keuangan negara. Dengan demikian, tepat penyusun naskah asli Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang menempatkan BPK sebagai lembaga yang memeriksa tanggung jawab keuangan negara agar orientasi BPK tidak lepas dan pemeriksaan yang bersifat makro-strategis. Penyusun naskah asli Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun mempunyai pemahaman yang lebih strategis dan 1945 sangat memahami prinsip dasar efektivitas kinerja organisasi. Dengan fungsinya sebagai pemeriksa tanggung jawab keuangan negara, BPK menempatkan secara sejajar kedudukannya sebagai lembaga negara. Sebagai lembaga yang memeriksa tanggung jawab keuangan lembaga yang langsung mengawasi dan negara, negara BPK merupakan memeriksa kebijakan keuangan negara (fiscal policy audit) yang dilakukan pemerintah. Fungsinya yang sangat strategis dan terhormat tersebut menempatkan BPK sebagai lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya, tennasuk pemerintah, untuk menjaga obyektifitasnya. Oleh sebab itu, secara yuridis pemberian fungsi pemeriksaan BPK untuk memeriksa pcngelolaan keuangan ncgara melalui Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 justru melemahkan kedudukannya sebagai lembaga negara. Apabila mendasarkan pada konsep hukum administrasi negara, BPK telah berubah dari bentuk organisasi negara menjadi organisasi administrasi negara. Dengan demikian, kedudukannya melemah sebagai bagian dari unsur pemerintah dan bukan sebagai lembaga yang mandiri. Salah satu bukti perubahan bentuk tersebut adalah dimungkinkannya BPK di setiap provinsi diatur dalam pasal 23 G ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia tahun 1945. BPK berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Dari segi hukum administrasi negara, lembaga negara, guna menjaga citra kewibawaan dan pengaruhnya, tidak mungkin membuka perwakilannya di luar ibu kota negara. Hal ini dilakukan agar lembaga negara tetap berfungsi hanya pada inti pokok tugasnya sebagai bagian dari lingkup masalahnya (kernzaken en problemen) dan menjaga kualitas kinerja dibandingkan hanya mengejar kuantitas. Berdasarkan hukum keuangan publik, pengutamaan kuantitas dalam pemeriksaan menyebabkan temuan atas penyimpangan keuangan negara dilakukan secara kebetulan (by-chance) dan tidak secara sistematis (by-system). Oleh sebab itu, kebertahanan BPK pada perubahan fungsinya sebagai pemeriksa tanggung jawab sekaligus pengelolaan keuangan negara dan kedudukannya yang "menurun" sebagai organisasi administrasi negara mengingatkan kembali pada keberadaan Alegmene Rekenkamer (ARK), lembaga pemeriksa zaman kolonial Belanda, yang merupakan lembaga di bawah Kroon (Pemerintah Kerajaan Belanda). Dengan kedudukannya tersebut, ARK memeriksa pengelolaan keuangan pemerintah dan mempunyai perwakilan di setiap daerah. Oleh sebab itu, secara yuridishistoris, fungsi dan kedudukan BPK berdasarkan Pasal 23 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 memuat kembali fungsi dan kedudukannya seperti tahun yang lalu. Apabila kekeliruan tersebut hanya bersifat lokal, dampaknya tidak akan luas. Akan tetapi, apabila kekeliruan tersebut bersifat nasional, dampaknya tidak hanya berlaku secara lokal atau nasional, juga akan menyangkut secara internasional sepanjang yang berkaitan dengan negara. Terlepas dari adanya kesengajaan atau tidak oleh pembuat amandemen undang-undang dasar maupun ketiga paket undang-undang yang mengatur keuangan negara, perubahan undang-undang dasar maupun paket ketiga undang-undang tersebut terkesan mengarah kepada suatu konsentrasi kekuasaan pemeriksaan tanpa memperhitungkan koneksitas hukum tatanegara dan hukum administrasi negara maupun prinsip-prinsip umum hukum yang berlaku. Terkait dengan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan oleh pemerintah diatur di dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara, yang mana dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan tentang keuangan negara yaitu : "Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut." Selanjutnya, didalam pelaksanaannya yang dimaksud dengan keuangan negara dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 17 Tahun 2003 adalah : a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. Kewajihan negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c. Penerimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah; f. Pengeluaran Daerah; g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Didalam melaksanakan pemerintahan pengelolaan keuangan sepenuhnya ada di tangan Presiden seperti yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) ; Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Namun dapat kita ketahui saat ini banyak sekali terjadi korupsi di berbagai daerah yang melibatkan aparat pemerintah, termasuk para anggota dewan. Pelanggaran hukum terhadap keuangan negara saat ini sangatlah meresahkan, terutama penyelewengan keuangan yang bersumber dari APBN ataupun APBD. Guna menjalankan pemerintahan maka dengan dana yang dimiliki pemerintah menetapkan APBN/APBD setiap tahunnya. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan alat utama pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan sekaligus alat pemerintah untuk mengelola perekonomian negara. Sebagai alat pemerintah, APBN bukan hanya menyangkut keputusan ekonomi, namun juga menyangkut keputusan politik. Dalam konteks ini, DPR dengan hak legislasi, penganggaran, dan pengawasan yang dimilikinya periu lebih berperan dalam mengawal APBN sehingga APBN benar-benar dapat secara efektif menjadi instrumen untuk mensejahterakan rakyat dan mengelola perekonomian negara dengan baik. Dalam rangka mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sejak beberapa tahun yang lalu telah diintrodusir Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah. Reformasi hukum yang kuat dengan tersebut mendapatkan Landasan telah disahkannya Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Sistem dan proses pengelolaan APBN dalam kerangka manajemen keuangan negara. Selain diuraikan pokok-pokok manajemen keuangan negara serta proses APBN, diuraikan pula peranan DPR dalam pengelolaan anggaran negara melalui fungsi-fungsi yang dimilikinya, yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. 3.2 DPR Sebagai Wakil Rakyat Dalam Penyusunan dan Penetapan APBN Demokrasi di Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai sekarang adalah menganut demokrasi perwakilan, mengingat masyarakat mempercayakan kepentingan pada wakil-wakil yang duduk di dalam lembaga perwakilan tersebut (DRP/MPR) yang dipilih melalui Pemilu yang diajukan oleh partai-partai peserta pemilu. Miriam Budiardjo, menyebutkan perwakilan politik (political representation) yaitu bahwa seseorang atau suatu kelompok mempunyai kewajiban atau kemampuan untuk berbicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota badan legislatif pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. 64 Pengertian perwakilan yaitu hubungan antara si wakil dengan yang terwakili tidak hanya sekedar mewakili si wakil karena si terwakili tidak bisa hadir atau tidak mempunyai kemampuan, akan tetapi ada keharusan bagi si wakil memiliki kemampuan untuk berbicara dan bertindak demi kepentingan si wakil. Dalam konteks perwakilan politik, lembaga perwakilan rakyat atau DPR adalah lembaga (DPR/MPR), yang mana orang-orang yang duduk didalamnya memiliki kewajiban dan kemampuan untuk mewakili kepentingan masyarakat pemiliknya atau kelompok lain dalam hal ini partai politik yang mencalonkan sebagai wakil dalam rangka menyampaikan aspirasi dan tuntutan dari masyarakat atau kelompok/partai politik tersebut yang lebih besar disamping melaksanakan tugas dan 64 Miriam Budiardjo, 2000, Dasar-Dasar Politik, Edisi Revisi, Ikrar Mandiri Abadi, Jakarta, hal. 39. kewajiban yang dibebankan oleh peraturan perundang-undangan. Jimly Asshiddiqie, membedakan tipe perwakilan dengan 2 (dua) macam tipe perwakila yaitu :65 1. Perwakilan fisik (representation in presence) yaitu keterwakilan rakyat diwujudkan secara fisik yaitu denga terpilihnya seorang wakil menjadi dalam keanggotaan parlemen, akan tetapi dalam praktek, sistem perwakilan fisik ini terbukti tidak atau belum tentu sungguh-sungguh menjamin tersalurnya aspirasi rakyat sebagaimana yang diharapkan. Banyak kemungkinan yang dapat terjadi dalam kenyataan, baik karena faktor pribadi (subyektif) para wakil rakyat sendiri ataupun karena faktor pilihan sistem yang dipraktekkan. Sistem yang dianut, baik berkenaan dengan sitem pemilihan umum maupun sistem kepartaian, sangat mempengaruhi esensi keterwakilan rakyat. 2. Perwakilan pemikiran (representation in ideas) yaitu, rakyat dapat menyalurkan aspirasinya tidak saja pada keterwakilan fisik (wakil mereka yang duduk di parlemen) akan tetapi aspirasi rakyat disalurkan melalui media massa baik cetak maupun elektronika, media tradisional dan media konvensional lainnya yang secara konsitusional juga dijamin dalam rangka hak asasi manusia. Miriam Budiardjo 66 menyebutkan perwakilan politik (Political representation) yaitu bahwa seseorang atau suatu kelompok mempunyai kewajiban atau kemampuan untuk berbicara dan bertindak atas nama kelompok yang lebih besar. Dewasa ini anggota badan legislatif pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik bahwa pengertian perwakilan yaitu hubungan antara si wakil dengan yang terwakili tidak hanya sekedar mewakili si wakil karena siterwakil tidak bisa hadir atau 65 Jimly Asshiddiqie, 2004, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, hal 43 66 Opcit. Hlm. 317. tidak mempunyai kemampuan untuk berbicara dan berindak demi kepentingan si wakil. Dalam konteks perwakilan politik. Lembaga perwakilan rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat adalah suatu lembaga (Dewan /Majelis) yang mana orang-orang yang duduk didalam nya memiliki kewajiban dan kemampuan untuk mewakili kepentingan masyarakat pemilihnya atau kelompok lain dalam hal ini partai politik yang mencalonkan sebagai wakil dalam rangka menyampaikan aspirasi dan tuntutan dari masyakat atau kelompok /partai politik tersebut yang lebih besar disamping melaksanakan tugas dan kewajiban yang dibebankan oleh peraturan perundang –undangan. Tipe perwakilan yang cocok untuk Indonesia adalah tipe perwakilan fisik dan pemikiran. Artinya Wakil-wakil rakyat yang duduk di Lembaga Perwakilan Rakyat/DPR harus bertindak disamping sesuai dengan kemauan rakyat di daerah pemilihannya karena dia yang menerima dari rakyat. Dia juga harus bertindak bebas sesuai dengan kemauan rakyat banyak (diluar daerah pemilihannya) dan sesuai dengan program-program partai yang sudah digariskan disampig melaksanakan apa yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan (dalam persepektif negara hukum), wakil-wakil tersebut mempertanggungjawabkan apa yang sudah dilakukan kepada pemberi mandat. Mengingat wakil yang duduk di lembaga perwakilan rakyat tersebut tidak berangkat dengan sendirinya akan tetapi dicalonkan oleh partai politik, yang penting apa yang dilakukan oleh wakil tersebut semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan dan keadilan rakyat banyak dan biasanya hal ini sesuai dengan program-program partainya. Disamping itu pers yang bebas dalam menyuarakan aspirasi masyarakat juga Penting, hal ini untuk mengontrol juga bagi kebijakan eksekutif maupun legislatif. Jimly Asshiddiqie67, menyebutkan macam-macam bentuk pengawasan atau kontrol oleh parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat, secara teoritis dibedakan sebagai berikut : 1) Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (Control of policy making ) 2) Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (Control of policy executing) 3) Pengawasan terhadap penganggaran dan belanja Negara (Control of budgeting) 4) Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja Negara (Control of budget implementation) 5) Pengawasan terhadap kenerja pemerintahan (Control of government performances) 6) Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (Control of political appointment of public officials) Setiap lembaga umumnya memiliki fungsi. Fungsi yang dalam 67 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Konstitusi Press Jakarta, Hlm. 36. bahasa latinnya" Functus” berasal dari kata" Fungtor" yang artinya cara untuk melakukan (to perform), melaksanakan, menjalankan (administer). Sedang menurut terminologi hukum Fungsi asal katanya Function artinya tugas khusus dari suatu jabatan, atau lingkungan kegiatan yang dilakukan oleh badan/ lembaga dalam rangka seluruh kegiatan negara. Oleh karena itu fungsi mengandung wewenang dan tugas. Menurut Hukum Fungsi adalah perwujudan tugas kepemerintahan dibidang tertentu yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Fungsi perwakilan dalam konteks ini adalah fungsi lembaga perwakilan. Agar fungsi suatu badan atau lembaga dapat teriaksana dengan baik maka diberikan wewenang dan tugas tertentu, dengan catatan bahwa tugas wajib dilaksanakan sedangkan wewenang tidak selalu.68 Koentjoro Poerbopranoto, 69 menyebutkan bahwa : Maksud membentuk perwakilan ialah menentukan satu jalan yang mudah dalam rangka kenegaraan untuk membentuk dan menyatakan kehendak rakyat (volehte general), yang diperlukan sebagai dasar kekuasaan dalam sistim demokrasi itu untuk melakukan pemerintahan. Dan bentuk pemyataan kehendak rakyat oleh badan-badan perwakilan rakyat itu lazim disebut undangundang. Badan perwakilan itu sendiri didalam ilmu kenegaraan pada umumya disebut "parlement" berdasarkan satu istilah Perancis (dari perkataan : " parter " ialah bicara). Lembaga perwakilan dibuat dalam rangka pendemokrasian kehendak rakyat, artinya apa yang menjadi kebutuhan dan kemauan rakyat maka lembaga perwakilan / Parlemen inilah yang berkewajiban untuk 68 Paimin Napitupulu, 1989, Peran dan Pertanggungjawaban DPR, Kajian di DPRD Propinsi DKI Jakarta.Op.Cit. hal. 37. 69 Koentjoro Poerbopranoto, 1987, Sistim Pemerintahan Demokrasi. Eresco. Bandung, hal. 38-39. mewujudkannya. Ada dua peran utama dari Lembaga Perwakilan Rakyat yaitu di satu sisi sebaga lembaga atau dewan yang bertugas membuat undang-undang (a law making institution), mau tidak mau lembaga ini dituntut untuk merumusukan dan membuat Undang-Undang dalam menetapkan kebijakan suatu bangsa, di sisi yang lain lembaga Perwakilan Rakyat adalah sebuah badan perwakilan (a representative assembly) yang dipilih untuk membantu dan memperjuangkan aspirasi rakyat pemilihnya. Fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat di masing-masing negara tidak selalu sama, tergantung sistem pemerintahan yang diberlakukan atau demokrasi yang dianutnya. Toni Andrianus Pitu, menyebutkan ada enam fungsi penting yang dilaksanakan oleh lembaga perwakilan rakyat, yaitu : 1. Perwakilan (representation ). Mengungkapkan keragaman dan par.dangan-pandangar. yang bertentangan dalam hat kepentingan regional, ekonomi, sosial, ras, agama dan lainnya yang ada dalam suatu negara. 2. Pembuatan undang-undang (law making) Pembuatan undang-undang ialah menentukan ukuran-ukuran untuk membantu memecahkan permasalahan yang substantif. 3. Pembangunan Konsensus (consensus building). Merupakan proses perundingan, dimana kepentingan-kepentingan disesuaikan. 4. Mengawasi (overseeing). Mengawasi birokrasi berarti bahwa undang-undang dan kebijakan yang telah dibuat dewan harus secara tepat dilaksanakan dan mencapai apa yang dimaksudkan. 5. Klarifikasi Kebijakan (policy clarification), Yaitu identifikasi dan publikasi persoalan-persoalan. 70 Dalam perspektif pemerintah sekarang ini fungsi DPR sudah melekat pada lembaga, yang mana anggota DPR mempunyai kewajiban untuk memperjuangkan aspirasi yang diwakili, fungsi legislasi dan pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah baik yang ditetapkan bersama dengan DPR maupun karena kebebasan bertindak, termasuk kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sudah ada namun pelaksanaannya belum maksimal. Fungsi penetapan APBN yang akan diterima atau ditolak sangatlah penting mengingat bisa diterima dan tidaknya kebijakan memahami akan pemerintah tergantung program-program kebijakan pemerintah dan DPR dalam kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat akan turut serta mendukung dijalankannya program dan kegiatan tersebut, utamanya yang berorientasi pada kesejahteraan dan keadilan masyarakat. Bahkan masyarakat akan ikut pula untuk mengawasi jalannya program dan kegiatan itu. Jika DPR dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan sangatlah penting, mengingat kebutuhan akan aturan hukum yang dapat diterima dan didukung oleh masyarakat tidak aka mudah dibuat dengan sempurna jikalau tanpa adanya naskah akademiknya serta sosialisasi kepada masyarakat. Apabila suatu peraturan yang akan disusun oleh DPR didahului 70 Toni Andrianus Pitu, 2006, Mengenai Teori Politik dari Sistem Politik Sampai Korupsi, Penerbit Nusa, Bandung, hal. 133-134. dengan disusunnya naskah akademik, maka kemungkinan ditolaknya suatu peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan sangatlah kecil. Pasal Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menegaskan bahwa dalam hal penetapan APBN kedudukan DPR adalah lebih kuat dari pada pemerintah, ini tanda kedaulatan rakyat. Sejak tahun 1945 hingga tahun 1967 akan dapat diketahui bahwa hak anggaran ini termasuk kekuasaan dibidang legislasi, baru DPRGR tahun 1967 – 1968 dan kemudian DPR hasil pemilu tahun 1971 yang memisahkannya dan mendahulukan dari kekuasaan legislasi DPR, tetapipada waktu yang bersamaan hak anggaran itu dimasukkan juga ke dalam kekuasaan DPR dibidang pengawasan, sejak DPR hasil pemilu tahun 1987 hingga DPR sekarang hak legislatif didahulukan dari pada hak anggarannya. Sekarang ini banyak melihat hak budget DPR dalam rangka hak legislatifnya. Hak ini disebabkan APBN ditetapkan dalam bentuk undangundang, sehingga terjadi pendapat bahwa hukum anggaran merupakan salah satu aspek dari hukum konstitusi, dilihat dari banyak segi, hukum konstitusi bermula dari hukum anggaran. Anggaran adalah suatu ringkasan dalam bentuk tabel-tabel yang merupakan perkiraan untuk suatu jangka waktu tertentu yang meliputi seluruh kebutuhan finansial negara dan seluruh sumber keuangan yang perlu untuk meliputi : – Kebutuhan, jadi anggaran adalah suatu koreksi data-data financial dan bertujuan untuk : “mungkin mengadakan perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran”. – Memungkinkan mengadakan pengklasifikasian pengeluaran serta pengevaluasian kepentingan dan skala prioritasnya. – Memungkinkan penentuan dampaknya kepada situasi ekonomi dan kepada rencana nasionalnya. – Mempermudah pengawasan pelaksanaannya. 71 Oleh karenanya dapatlah dipahami kalau ada yang menempatkan hak anggaran ini sebagai kekuasaan DPR dibidang pemerintah, sebab bukanlah menentukan alokasi anggaran badan-badan pemerintahan juga berarti menentukan ruang lingkup dan intensitas program-programnya. Memang membahas rancangan APBN berarti membahas rancangan kebijakan pemerintah secara keseluruhan, ada juga yang memasukkannya ke dalam kekuasaan DPR dibidang legislatif, mungkin karena APBN bukanlah suatu undang-undang dalam arti biasa yang memuat atau menciptakan hak dan kewajiban, tetapi merupakan suatu undang-undang pendelegasian kekuasaan (machtegingswet) untuk menggunakan uang. Hal ini termasuk kekuasaan DPR dibidang pengawasan. Ada kemungkinan bahwa DPR memasukkan dalam rangka kekuasaan pembentukan undangundang karena hanya melihat dari segi praktis saja, sebab dibidang legislatif berlaku hak amandemen dan hak inisiatif sedangkan dibidang anggaran DPR tidak pernah dapat mengutak-atik Rancangan Undang71 ASS. Tambunan, 1998, lot cit hal 89 Undang APBN. Memang harus diakui bahwa DPR (khususnya komisi APBN) telah terlibat dalam pembahasan Rancangan APBN mulai dari tahap penyusunan konsepnya tetapi karena kekurangan data tandingan, maka keterlibatannya secara praktis hanya terbatas pada pembahasan tata bahasa saja. DPR kita belum memiliki Bank data yang lengkap menandingi Bank data Pemerintah, sehingga sangat mengecewakan DPR kita. Namun demikian bukanlah berarti bahwa DPR tidak tinggal diam, kalau dipelajari pemandangan-pemandangan umum para anggota DPR atas nota keuangan dan rancangan APBN, akan terlihat bahwa pemandangan umum itu pada hakekatnya merupakan statemen politik yang tidak jarang mengandung kritik atau rasa kurang puas terhadap kebijakan pemerintah. Proses penyusunan dan penetapan APBN oleh DPR merupakan suatu Wewenang DPR berdasarkan hak anggaran yang dimiliki berhak mengelola anggaran sendiri yang ditetapkan dalam suatu Undang-Undang tersendiri, hal ini sah menurut hukum dan dapat dibenarkan dari teori kedaulatan rakyat yang diikuti oleh Immanuel Kant yang menyatakan bahwa tujuan Negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan dari pada para warga negaranya. Dalam pengertian bahwa kebebasan disini adalah kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan Terkait dengan teori kedaulatan rakyat biasanya dianut oleh Negara-negara yang demokratis dimana kekuasaan dari orang yang memegang pemerintahan didasarkan atas sikap dari rakyat yang diperintah dan ketentuan yang mengatur biasanya dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar dari pada Negara. Apabila dikaitkan dengan anggota DPR terpilih dan yang terpilih oleh rakyat melalui pemilu mempunyai peran menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat untuk dijadikan kebijaksanaan pemerintah yang dapat meningkatkan pertanggung jawaban kepada rakyat Usul rancangan undang-undang yang berasal dari inisiatif DPR dalam mengajukan APBN. Usul rancangan undang-undang yang diajukan oleh para anggota DPR berdasarkan Pasal 21 UUD NRI 1945. Rancangan undang-undang inisiatif DPR ini disertai penjelasan tertulis dengan ditandatangani sekurang-kurangnya 30 anggota yang tidak hanya satu fraksi. Tiap-tiap rancangan undang-undang ini diajukan kepada pimpinan DPR dengan surat pengantar dan tanda tangan para pengusul dari masingmasing fraksi. Kemudian diadakan sidang paripurna dan dalam siding pimpinan DPR memberithaukan kepada anggotanya tentang adanya usul rancangan undang-undang inisiatif serta membagikan kepada para anggotanya, kemudian dalam rapat para pengusul diberikan kesempatan untuk menerangkan tentang maksud dan tujuan dari rancangan undangundang dan anggota badaan musyawarah diberi kesempatan Tanya jawab kepada pengusul. Setelah rancangan undang-undang inisiatif dapat diterima sebagai rancangan undang-undang usul inisiatif maka DPR menjelaskan kepada komisi ataau panitia khusus, yang khusus dibentuk untuk membahas dan menyelesaikan rancangan undang-undang inisiatif DPR. Kemudian disampaikan kepada pimpinan DPR untuk disampaikan kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang mewakili pemerintah dalam rangka pembahasan rancangan undang-undang usul inisiatif DPR bersama-sama dengan DPR. Dalam proses penyusunan rancangan undang-undang dari inisiatif DPR. Moh. Kusnardi, Bintan.R. Saragih berpendapat bahwa72 ; dalam ketentuan tata tertib DPR RI disebutkan bahwa tiap-tiap rancangan undang-undang yang diajukan oleh para anggota DPR harus disertai dengan memori penjelasan dan ditandatangani oleh sekurang-kurangnya 30 orang anggota DPR yang tidak terdiri dari satu fraksi. Rancangan undangundang yang berasal dari inisiatif diiajukan kepada pimpinan DPR dengan surat pengantar dan daftar tanda tangan para pengusul serta nama fraksinya. Selama usul rancangan undang-undang inisiatif belum diputuskan menjadi rancangan undang-undang. Usul inisiatif DPR, para pengusul berhak menarik usulannya kembali dengan syarat ditanda tangani oleh semua pengusul dan disampaikan dengan tertulis kepada pimpinan DPR yang kemudian membagikan kepada para anggota. Dalam hal ini menurut Moh.Kusnardi dan Bintan.R. Saragih mengatakan bahwa para pengusul selalu dapat mengubah atau menarik kembali rancangan unadang-undang 72 Moh. Kusnardi dan Bintan.R. Saragih, 1998, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945, Gramedia, Jakarta, hal.30. usul inisiatif tersebiut pada setiap tingkat pembicaraan sebelum disetujui menjadi rancangan undang-undang. 73 Jadi selama usul rancangan undangundang usul inisiatif DPR para pengusul berhak menarik kembali usulnya tentunya daalam hal ini sebelum dibacarakan dalam badan musyawarah. Proses pengesahan dan pengundangan suatu undang-undang. Semua rancangan undang-undang baik yang datang dari pemerintah atau dari inisiatif DPR pada hakikatnya diproses dan dibahas dalam 4 tingkatan pembicaraan yaitu : − Tingkat pertama rapat pleno terbuka − Tingkat kedua rapat pleno terbuka − Tingkat ketiga rapat komisi − Tingkat keempat rapat pleno terbuka Sehubungan dengan tahap pengesahan ini menurut C.S.T Kansil berpendapat bahwa ; pembahasan rancangan undang-undang dilakukan melalui empat tingkatan pembicaraan, kecuali apabila badan musyawarah menentukan pembahasan dengan prosedur pembicaraan sebagaimana dimaksud diatas : − Tingkat pertama rapat paripurna − Tingkat kedua rapat paripurna − Tingkat ketiga rapat paripurna − Tingkat keempat rapat paripurna74 73 Ibid, hal. 31. 74 C.S.T Kansil, lot cit, hal. 44. singkat, empat tingkat Pembicaraan tingkat pertama merupakan penjelasan dalam rapat pleno terbuka atas rancangan undang-undang baik dari pemerintah maupun dari pengusul. Dalam pembicaraan tingkat kedua merupakan pandangan umum dalam rapat pleno terbuka oleh anggota DPR tergantung dari prakarsa pembuatan rancangan undang-undang, jawaban tanggapan dapat diberikan kepada pemerintah atau kepada wakil para pengusul. Dalam pembicaraan tingkat ketiga merupakan pembahasan dalam komisi/gabungan komisi/panitia khusus, pembahasan dalam tingkat ini dilakukan bersama-sama dengan pemerintah apabila rancangan undangundang diajukan oleh pemerintah kemudian bersama-sama dengan para pengusul dan pemerintah apabila membahas undang-undang usul inisiatif dan usul-usul lain di kalangan sendiri apabila dipandang perlu tanpa mengurangi yang telah dikemukakan diatas. Dalam pembicaraan tingkat ketiga ini akan menentukan apakah suatu rancangan undang-undang tiu akan disetujui oleh DPR atau tidak. Dalam pembicaraan tingkat keempat pengambil keputusan dengan rapat pleno terbuka dengan didahului pendapat terakhir fraksi-fraksi yang sering ditambah dengan catatancatatan yang mengandung pendirian fraksinya dan apabila pada kesempatan tersebut pemerintah memandang perlu memberikan sambutan maka pemerintah dapat memberikan sambutannya. Dalam pembicaraan tingkat keempat ini merupakan pengesahan rancangan undang-undang dari pemerintah maupun dari usul inisiatif yang telah disetujui pada pembicaraan tingkat ketiga. Jadi rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR dan rancangan undang-undang usul inisiatif DPR oleh pimpinan DPR dengan suatu surat pengantar disampaikan kepada Presiden. Sekretaris kabinet/Negara menyiapkan undang-undang tersebut diatas kertas Presiden untuk dimohon tanda tangan Presiden. Setelah di tanda tangani Presiden berarti rancangan undang-undang itu telah disahkan menjadi undang-undang dan sekretaris Negara mengundangkan rancangan undang-undang tersebut. Bila kita lihat kedudukan DPR dalam menjalankan fungsi legislatif bersama-sama dengan Presiden maka akan tampak bahwa dalam hal pengajuan rancangan undang-undang, kedudukan Presiden sebanding dengan kedudukan DPR. Jadi usul rancangan undangundang APBN dari DPR yang diajukan kepada Presiden harus mendapat persetujuan dari Presiden karena rancangan undang-undang APBN itu telah mendapatkan aspirasi dari rakyat Indonesia sehingga DPR sebagai wakil rakyat akan membawakan aspirasi perubahan yang sangat besar untuk kepentingan pembangunan dan mensejahterakan masyarakat Indonesia secara keseluruhan agar APBN tersebut akan membawa dampak yang sangat positif untuk Negara Indonesia. 3.3 Struktur APBN Dalam Mensejahterakan Rakyat Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan good Negara. Sejak governance dalam tahun yang lalu telah diintrodusir reformasi Manajemen keuangan pemerintah. Reformasi tersebut mendapatkan landasan hukum yang kuat dengan telah disahkan UU No 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan UU No 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Berikut ini adalah pemaparan struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan Negara yamg ditetapkan tiap tahun dengan undang undang. Struktur APBN yang sekarang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia secara garis besar adalah sebagai berikut a. Pendapatan Negara dan Hibah b. Belanja Negara c. Keseimbangan Primer d. Surplus/Defisit Anggaran e. Pembiayaan A. PENDAPATAN NEGARA dan HIBAH I.Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan Pajak Dalam Negeri Pajak Dalam Negeri i.Pajak Penghasilan 1) Minyak dan Gas 2) Non Minyak dan Gas ii.Pajak Pertambahan Nilai iii.Pajak Bumi dan Bangunan iv.Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan v.Cukai vi.Pajak Lainnya Pajak Perdagangan Internasional i. Bea Masuk ii. Pajak/Pungutan Ekspor 2. Penerimaan Bukan Pajak Penerimaan Sumber Daya Alam i.Minyak Bumi ii.Gas Alam iii.Pertambangan Umum iv.Kehutanan v.Perikanan Bagian Laba BUMN PNBP Lainnya II.Hibah B. BELANJA NEGARA I.Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 1. Pengeluaran Rutin Belanja Pegawai Belanja Barang Pembayaran Bunga Hutang i.Hutang Dalam Negeri ii.Hutang Luar Negeri Subsidi i.Subsidi BBM ii.Subsidi Non BBM Pengeluaran Rutin Lainnya 2. Pengeluaran Pembangunan Pembiayaan Pembangunan Rupiah Pembiayaan Proyek II.Dana Perimbangan 1. Dana Bagi Hasil 2. Dana Alokasi Umum 3. Dana Alokasi Khusus III.Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang C. KESEIMBANGAN PRIMER D. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN (A-B) E. PEMBIAYAAN (E.I + E.II) I.Dalam Negeri 1. Perbankan Dalam Negeri 2. Non-perbankan Dalam Negeri Privatisasi Penjualan Aset program restrukturisasi perbankan Obligasi Negara (netto) i. Penerbitan Obligasi Pemerintah ii. Pembayaran Cicilan Pokok Hutang/Obligasi DN II.Luar Negeri 1. Pinjaman Proyek 2. Pembayaran Cicilan Pokok Hutang LN 3. Pinjaman Program dan Penundaan Cicilan Hutang Proses penyusunan dan penetapan APBN dapat dikelompokkan dalam dua tahap, yaitu: (1) pembicaraan pendahuluan antara pemerintah dan DPR, dari bulan Februari sampai dengan pertengahan bulan Agustus dan (2) pengajuan, pembahasan dan penetapan APBN, dari pertengahan bulan Agustus sampai dengan bulan Desember. Berikut ini diuraikan secara singkat kedua tahapan dalam proses penyusunan APBN tersebut. Pembicaraan Pendahuluan antara Pemerintah dan DPR. Tahap ini diawali dengan beberapa kali pembahasan antara pemerintah dan DPR untuk menentukan mekanisme dan jadwal pembahasan APBN. Kegiatan dilanjutkan dengan persiapan rancangan APBN oleh pemerintah, antara lain meliputi penentuan asumsi dasar APBN, perkiraan penerimaan dan pengeluaran, skala prioritas dan penyusunan budget exercise untuk dibahas lebih lanjut dalam rapat antara Panitia Anggaran dengan Menteri Keuangan dengan atau tanpa Bappenas. Pada tahapan ini juga diadakan rapat komisi antara masing-masing komisi (Komisi I s.d IX) dengan mitra kerjanya (departemen/lembaga teknis). Tahapan ini diakhiri dengan proses finalisasi penyusunan RAPBN oleh Pemerintah. Secara lebih rinci, tahapan ini bisa dijelaskan sebagai berikut: Menteri Keuangan dan Badan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) atas nama Presiden mempunyai tanggung jawab dalam mengkoordinasikan Penyusunan APBN. Menteri Keuangan bertanggungjawab untuk mengkoordinasikan penyusunan anggaran belanja rutin. Sementara itu Bappenas bersama-sama dengan Menteri Keuangan bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan penyusunan anggaran belanja pembangunan. Persiapan anggaran dimulai dengan assessment indikator fiskal makro oleh Badan Analisa Fiskal, Departemen Keuangan. Selanjutnya Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas menerbitkan Surat Edaran agar departemen teknis mengajukan usulan anggaran rutin maupun pembangunan. Usulan anggaran rutin diajukan ke Direktorat Jenderal Anggaran pada bulan Juni. Daftar Usulan Kegiatan tersebut lebih terfokus pada program costing dan perubahan harga. Direktorat Jenderal Anggaran dan departemen teknis mereview Daftar Usulan Kegiatan tersebut dengan titik tekan pada costing ketimbang policy. Pada bulan Agustus, Direktorat Jenderal Anggaran menerbitkan pagu pengeluaran rutin sebagai dasar bagi departemen teknis untuk menyusun anggaran rutin lebih detil. Sementara itu, usulan anggaran pembangunan diajukan oleh departemen teknis kepada Direktorat Jenderal Anggaran dan Bappenas. Direktorat Jenderal Anggaran dan Bappenas mereview usulan anggaran pembangunan tersebut berdasarkan Program Pembangunan Nasional dan Rencana Pembangunan Tahunan. Menteri Keuangan memberikan pertimbangan mengenai pagu anggaran pembangunan sebagai dasar pembahasan antara Direktorat Jenderal Anggaran Bappenas, dan departemen teknis. Selanjutnya pada bulan Agustus, Presiden mengajukan Nota Keuangan dan RAPBN kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Pengajuan, pembahasan dan penetapan APBN. Tahapan ini dimulai dengan Pidato Presiden sebagai pengantar RUU APBN dan Nota Keuangan. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan baik antara Menteri Keuangan dengan Panitia Anggaran, maupun antara komisi-komisi dengan departemeen/lembaga teknis terkait. Hasil dari pembahasan ini adalah Undang-undang APBN yang disahkan oleh DPR. UUAPBN kemudian dirinci ke dalam satuan 3. Satuan 3 yang merupakan bagian tak terpisahkan dari undang-undang tersebut adalah dokumen anggaran yang menetapkan alokasi dana per departemen/lembaga, Sektor, Sub Sektor, Program dan Proyek/Kegiatan. Apabila DPR menolak RAPBN yang diajukan pemerintah tersebut, maka pemerintah menggunakan APBN tahun sebelumnya. Hal itu berarti pengeluaran maksimum yang dapat dilakukan pemerintah harus sama dengan pengeluaran tahun lalu. Berdasarkan satuan 3, Direktorat Jenderal Anggaran dan Departemen/Lembaga membahas rincian pengeluaran rutin berdasarkan pedoman penyusunan Dokumen Isian Anggaran dan indeks satuan biaya yang disusun oleh tim interdep. Proses ini harus diselesaikan dari Oktober sampai dengan Desember. Sedangkan untuk pengeluaran pembangunan, Direktorat Jenderal Anggaran, Bappenas, dan departemen teknis membahas rincian pengeluaran untuk tiap-tiap proyek. Hasil pembahasan tersebut didokumentasikan ke dalam dokumen-dokumen berikut: (1) . Dokumen Isian Anggaran merupakan dokumen anggaran yang berlaku sebagai otorisasi untuk pengeluaran rutin pada masing-masing unit organisasi pada Departemen/Lembaga yang dirinci ke dalam belanja pegawai dan non pegawai. (2) Daftar Isian Pelaksana Anggaran. merupakan dokumen anggaran yang berlaku sebagai otorisasi untuk pengeluaran pembangunan untuk masing-masing proyek pada Departemen/Lembaga yang dirinci ke dalam belanja modal dan penunjang. (3) Surat Pengesahan Alokasi Anggaran Rutin adalah dokumen yang menetapkan besaran alokasi anggaran rutin untuk setiap kantor/satuan kerja departemen teknis di daerah yang selanjutnya akan dibahas antara Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran dan instansi vertikal Departemen/Lembaga untuk kemudian dituangkan dalam Daftar Isian Angaran. (4) Surat Pengesahan Alokasi Anggaran Pembangunan . adalah dokumen yang menetapkan besaran alokasi anggaran pembangunan untuk setiap proyek/bagian proyek yang selanjutnya akan dibahas antara Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Anggaran dengan instansi vertikal/dinas untuk kemudian dituangkan dalam daftar isian pelaksana anggaran . (5) Surat Keputusan Otorisasi . adalah dokumen otorisasi untuk penyediaan dana kepada Departemen, Lembaga, Pemerintah Daerah dan pihak lain yang berhak baik untuk rutin maupun pembangunan yang tidak dapat ditampung dengan daftar isian pelaksana anggaran. Surat Keputusan Otoritas disampaikan oleh Direktorat Jenderal Anggaran kepada Departemen/Lembaga. Berdasarkan dokumen-dokumen tersebut, Departemen/Lembaga melaksanakan pengadaan barang dan jasa dengan pihak ketiga. Tagihan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan pengadaan barang dan jasa tersebut disampaikan kepada Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Selanjutnya KPKN meneliti keabsahan tagihan-tagihan dimaksud dan menerbitkan Surat Perintah Membayar. Untuk mengawasi pelaksanaan tugas KPKN tersebut, di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran terdapat Kantor Verifikasi Pelaksanaan Anggaran (KASIPA) yang bertanggung jawab untuk memverifikasi Surat Perintah Membayar yang diterbitkan oleh KPKN. Dalam rangka melaksanakan manajemen kas dan untuk mencegah departemen/lembaga melakukan pengeluaran secara berlebihan pada awal periode tahun anggaran, Menteri Keuangan membatasi jumlah pengeluaran rutin untuk satu triwulan maksimal sama dengan seperempat dari jumlah alokasi dana yang tersedia. Sedangkan untuk belanja pembangunan, pencairan dana disesuaikan dengan tingkat kemajuan prestasi penyelesaian proyek. Berdasarkan realisasi penerimaan dan pengeluaran APBN dalam tahun anggaran berjalan, Menteri Keuangan menyiapkan Rancangan Undang-Undang Perhitungan Anggaran Negara (RUU PAN) dan diajukan kepada presiden untuk mendapatkan persetujuan. Selanjutnya RUU PAN tersebut disampaikan kepada BPK untuk diaudit. Presiden mengajukan RUU PAN yang telah diaudit oleh BPK tersebut kepada DPR paling lambat 15 bulan setelah berakhirnya tahun anggaran bersangkutan. Setelah DPR menyetujui RUU PAN tersebut, Presiden mengesahkan RUU PAN menjadi Undang-undang Perhitungan Anggaran (UU PAN). Sebelum diuraikan proses APBN pasca UU No. 17/2003, kiranya perlu diuraikan terlebih dahulu pokok-pokok reformasi dalam penganggaran sebagaimana tertuang dalam UU No. 17/2003. UU No. 17/2003 mereformasi secara signifikan sistem penganggaran yang telah puluhan tahun diterapkan di Indonesia. Secara singkat, faktor-faktor yang mendorong reformasi di bidang penganggaran ini adalah: 1) Ada beberapa aspek dari proses penganggaran di Indonesia yang menghambat pendistribusian dana anggaran ke berbagai program; 2) Perkiraan pendapatan dan proyeksi anggaran negara tidak disiapkan dalam suatu kerangka makro; 3) Tidak ada suatu kerangka penyatuan anggaran (unified framework for budgeting) mengingat anggaran rutin dan pembangunan disiapkan secara terpisah; 4) Sistem penganggaran yang berlaku menimbulkan kurangnya informasi mengenai hasil suatu program (program results) 5) Pelaksanaan anggaran dan monitoring masih menjadi hal yang lemah; 6) Susunan langsung alokasi anggaran mencerminkan realisasinya (KKN) dan ditengarai kebocoran yang cukup terinci, kontrol yang menimbulkan anggaran. kuat, berbagai secara tidak namun dalam penyimpangan Pokok-pokok reformasi penganggaran yang terpenting meliputi: 1) Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah; 2) Memadukan (unifying) atau mengintegrasikan anggaran rutin dan anggaran pembangunan; 3) Penerapan anggaran berbasis kinerja. 75 Penuangan rencana pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang ditetapkan dengan undang-undang dirasakan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era globalisasi. Perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari system penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju. Berdasarkan hal ini, UU No. 17/2003 mengintrodusir dilaksanakannya Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) ini. Kerangka Expenditure Pengeluaran Framework) Jangka merupakan Menengah kerangka (Medium Term pengeluaran jangka menengah meliputi periode tiga sampai lima tahun. Kerangka tersebut merupakan pendekatan atas-bawah (top-down approach), yaitu estimasi ketersediaan sumber daya pengeluaran publik sesuai dengan kerangka ekonomi makro. Sementara itu, pendekatan bawah ke atas (bottom-up 75 Anggito Abimayu 2004 Format Anggaran Terpadu Menghilangkan Tumpang Tindih Kompas mei 2004 approach) yaitu biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka melaksanakan kebijakan, program, dan kegiatan, serta kerangka kerja yang merekonsiliasikan keseluruhan biaya dengan sumber-sumber daya yang tersedia sesuai dengan tujuan utamanya, yaitu: "untuk memastikan bahwa pemerintah mampu untuk melakukan prioritas-prioritas rekonstruksi dan pembangunan dalam konteks estimasi pengeluaran tiga tahunan yang konsisten dengan suatu kerangka makroekonomi yang baik". Siklus MTEF. MTEF terdiri dari dua sub proses, yaitu penetapan target fiskal (setting fiscal targets) dan alokasi sumber-sumber daya pada pilihan strategis (allocation of resources to strategic). Kemudian, sub proses penetapan target fiskal juga dibagi ke dalam dua sub-sub proses, yaitu pembaharuan kondisi ekonomi dan fiskal serta pernyataan kerangka fiscal. Sub proses alokasi sumber-sumber daya pada pilihan strategis juga dibagi menjadi dua sub-sub proses, yaitu pernyataan kebijakan anggaran dan review fundamental. Ringkasnya, dalam proses pengambilan keputusan, proses dan sub proses tersebut bukan merupakan hal yang berdiri sendiri, tetapi terkait satu dengan yang lainnya. Secara sederhana, siklus MTEF dapat dijelaskan sebagai berikut. Pembaharuan kondisi ekonomi dan fiskal merupakan langkah pertama dalam siklus persiapan anggaran. Langkah tersebut diikuti dengan langkah selanjutnya, yaitu kabinet menetapkan tujuan jangka panjang mengenai kebijakan fiskal dan kebijakan ekonomi makro. Tujuan-tujuan ini kemudian dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan jangka pendek. Penetapan target fiskal diikuti alokasi sumbersumber daya pada strategi-strategi yang ditetapkan. Kabinet kemudian menetapkan prioritas anggaran. Prioritas anggaran merupakan negosiasi strategis di antara berbagai sektor dalam proses alokasi sumber daya. Merujuk keuangan negara, dengan diterapkannya MTEF akan dapat dicapai tujuan-tujuan sebagai berikut: 1. Meningkatkan keseimbangan ekonomi makro dengan membangun kerangka kerja sumber daya yang konsisten dan realistis; 2. Meningkatkan alokasi sumber daya kepada prioritas yang strategis di antara dan di dalam organisasi; 3. Meningkatkan komitmen untuk memberikan kemampuan prediksi, baik kebijakan maupun pendanaan, sehingga instansi pemerintah dapat membuat rencana dan program yang berkelanjutan; 4. Memberikan batasan yang jelas kepada instansi pemerintah, meningkatkan otonomi, dan memberikan penghargaan kepada instansi pemerintah yang menggunakan dana secara efisien dan efektif; 5. Meningkatkan akuntabilitas dan kredibilitas secara politis dalam rangka menghasilkan outcome yang diinginkan. BAB IV MEKANISME FUNGSI PENGAWASAN DPR BERKAITAN DENGAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA 4.1 Mekanisme DPR Dalam Fungsi Pengawasan Terhadap Pengelolaan Keuangan Negara DPR selain sebagai badan legislatif juga DPR sebagai lembaga kontrol (pengawas) terhadap jalannya pemerintahan. Fungsi pengawasan oleh DPR diatur dalam pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah ; DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan dan dalam penjelasan UUD NRI tahun 1945 yang mempunyai arti yang sangat penting karena DPR dapat mengusulkan kepada MPR untuk meminta pertanggungan jawaban dari Presiden dalam sidang istimewa apabila Presiden dianggap telah melanggar ketentuan yang ada. Fungsi kontrol oleh DPR menurut Ismail Suny menyatakan bahwa ; Real parliamentary control dapat dilakukan dalam tiga bentuk ; control of executive, control of expenditure dan control of taxation by parliament dalam hal ini diatur sebagai berikut : 1. Control of executive menetapkan hak-hak DPR yaitu; a. Mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota. b. Meminta keterangan (Interpelasi) c. Mengadakan penyilidikan ( Angket ) d. Mengajukan perubahan (Amandemen) e. Mengajukan usul pernyataan pendapat f. Mengajukan /menganjurkan seseorang jika ditentukan oleh suatu perundang-undangan 2. Control of expenditure, UUD 1945 pasal 23 ayat 1 beserta 175 penjelasannya mengatur hak DPR untuk bersama-sama pemerintah menetapkan APBN. Dihubungkan dengan adanya Badan Pemeriksa Keuangan yang ditugaskan memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara ,dimana hasil pemeriksaan itu harus diberitahukan kepada DPR maka pengawasan APBN ini sebenarnya dapat dilakukan secara efektif. 3. Control of taxation, UUD 1945 pasal 23 A pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undangundang.dengan demikian segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat sebagai pajak dan lain-lainnya harus ditetapkan dengan persetujuan DPR. 76 Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar. Sesuai dengan amanat Pasal 23 C Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Undang-Undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universaliias, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practises (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: a. Akuntabilitas berorientasi hasil, b. Profesionatitas, 76 Ismail Suny, 2004, Kedudukan MPR, DPR dan DPD Pasca Amandemen 1945, Fakultas Hukum Unair, Surabaya, hal. 13. c. Proporsionalitas, d. Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, e. Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Asas-asas terselenggaranya umum tersebut prinsip-prinsip diperlukan pula pemerintahan guna menjamin sebagaimana telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam undang-undang tentang keuangan negara, pelaksanaan undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disamping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa, Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, yaitu dalam pasal 23 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menyatakan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri, ayat (2) Hasil Pemeriksaan Keuangan Negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan 177 Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya, ayat (3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang. Menurut Moh.Kusnardi,Harmaily Ibrahim 77 menyatakan; untuk menerima tanggung jawab pemerintah terhadap pemeriksaan keuangan Negara itu perlu adanya suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, maka suatu badan pemeriksaan keuangan yang tunduk pada pemerintah tidak dapat melakukan kewajibannya dengan baik dan badan itu bukan suatu badan yang berdiri ditas pemerintah. Dalam pasal tersebut di atas dapat dicermati lebih lanjut yaitu bahwa terdapat 3 pengertian yaitu kegiatan tindak pidana korupsi, pengertian keuangan negara dan perekonomian negara. Lebih lanjut pengertian keuangan negara disebutkan dalam bagian penjelasan umum undang-undang tindak pidana korupsi yaitu bahwa: "keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun di daerah. b. Berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban 77 Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim lot cit, hal. 43 Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Pada bagian yang sama yaitu penjelasan umum Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat. Sedangkan pemerintahan kepada dilakukan masyarakat, melalui akuntabilitas berbagai media penyelenggaraan informasi yang memungkinkan akses seluas-luasnya bagi masyarakat. Perubahan tersebut, merupakan implikasi dari amandemen Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang berdampak pada perubahan sistem pemerintahan. Sementara itu, dalam perspektif amanah dan substansi kepemerintahan, penyampaian progress kinerja pemerintah kepada DPR, merupakan refleksi dari nilai-nilai demokrasi yang diwujudkan pada DPR, sebagai mitra kerja pemerintah yang mengemban fungsi lembaga wakil rakyat. Reformasi hukum merupakan salah satu amanat penting dalam rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional. Di dalamnya tercakup 179 agenda penataan kembali berbagai institusi hukum dan politik mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan daerah, pembaharuan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan mulai dari UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945 sampai ke tingkat Peraturan Daerah dan pembaharuan dalam sikap, cara berpikir dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dengan perkataan lain dalam agenda reformasi hukum telah tercakup pengertian reformasi kelembagaan (institutional reform), reformasi perundang-undangan (instrumental reform), dan reformasi budaya hukum (cultural reform). Reformasi hukum harus pula dimulai dari kondisi pemerintah yang baik. Pemerintahan yang sehat dan tegas akan mendukung apapun langkah reformasi yang diamanatkan. Pemerintah sebagai subjek hukum yang berarti pula dapat melakukan perbuatan hukum, maka pemerintah sangat berpotensi melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum. Pemerintahan adalah berkenaan dengan sistem. fungsi, cara perbuatan, kegiatan, urusan atau tindakan memerintah yang dilakukan atau diselenggarakan atau dilaksanakan oleh 'pemerintah' dalam arti luas (semua lembaga Negara) maupun dalam arti sempit (presiden beserta jajaran atau aparaturnya). Eksekutif adalah cabang kekuasaan Negara yang melaksanakan kebijakan publik (kenegaraan dan atau pemerintahan) melalui peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun atas inisiatif sendiri. Secara teoritis, presiden atau Pemerintah memiliki dua kedudukan yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara. Sebagai organ negara pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik di lapangan pengaturan (regeleri) maupun dalam lapangan pelayanan (bestuureri). 'Administrasi' (Negara) adalah badan atau jabatan dalam lapangan kekuasaan eksekutif yang mempunyai kekuasaan mandiri berdasarkan hukum untuk melakukan tindakan-tindakan pemerintahan baik di lapangan pengaturan, maupun penyelenggaraan administrasi negara. Kembali pada pernyataan bahwa setiap orang selalu dapat melakukan kesalahan, maka diperlukan suatu pengawasan baik internal maupun eksternal. Salah satu instrumen pengawasan itu adalah melalui dan oleh hukum, dan karena secara konstitusional pemerintah adalah pemegang otoritas membentuk dan melaksanakan hukum, maka patut diwaspadai segala sesuatu yang berpotensi untuk terjadinya pelanggaran hukum oleh pemerintah. Cita-cita reformasi untuk mendudukan hukum di tempat tertinggi (supremacy of law) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga detik ini tak pernah terealisasi. Bahkan dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan-angan (utopia). Begitulah kira-kira statement yang pantas diungkapkan untuk mendeskriptifkan realitas hukum yang ada dan sedang terjadi saat ini di Indonesia. Bila dicermati suramnya wajah hukum 181 merupakan implikasi dari kondisi penegakan hukum (law enforcement) yang stagnan dan kalaupun hukum ditegakkan maka penegakannya diskriminatif. Praktik-praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, atau kualisi Polisi, Hakim, Advokat dan Jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini. Pelaksanaan penegakan hukum yang kacau seperti itu menjadikan hukum di negeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427-347 s.M) yang menyatakan bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat. (laws are spider webs; they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful). Implikasi yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran di berbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat, dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada. Jika dikaji dan ditelaah secara mendalam, setidaknya terdapat tujuh faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia, ketujuh faktor tersebut yaitu : a. Pertama, lemahnya political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang didengung-dengungkan pada saat kampanye. b. Kedua, peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat. c. Ketiga, rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum. d. Keempat, minimnya sarana dan prasarana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum. e. Kelima, tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum. f. Keenam, paradigma penegakan hukum masih positivis-legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice). g. Ketujuh, kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis. 78 Mencermati berbagai problem yang menghambat proses penegakan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk dilakukan saat ini sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada. Dalam suatu sistem hukum terdapat tiga unsur (three elements of legal system yaitu, struktur (structure), substansi (substance) dan kultur hukum (legal culture). Dalam konteks Indonesia, reformasi terhadap ketiga unsur sistem 78 Soerjono Soekanto,2008 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,, hal. 46. 183 hukum tersebut sangat mutlak untuk dilakukan. 79 Terkait dengan struktur sistem hukum, perlu dilakukan penataan terhadap institusi hukum yang ada seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat. Selain itu perlu juga dilakukan penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat penting untuk segera dibenahi terkait dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah birokrasi dan administrasi lembaga penegak hukum. Memang benar apa yang dikemukan oleh Max Weber (1864-1920) bahwa salah satu ciri dari hukum modern adalah hukum yang sangat birokratis. Namun, birokrasi yang ada harus respon terhadap realitas sosial masyarakat. sehingga dapat melayani masyarakat pencari keadilan (justitiabelen) dengan baik. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Hal ini menunjukkan bahwa semenjak Indonesia merdeka berkeyakinan untuk menggunakan konsep negara Hukum. Akibat dari memilihnya konsep negara hukum adalah dimana semua aspek kehidupan yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik Indonesia harus tunduk pada norma-norma hukum. Hukum mesti memainkan perannya secara mendasar sebagai titik 79 Laurence M Friedman, 1969, The Legal System A Social Science Perspective, Russell Sage Foundation, New York, Hlm. 2-3. sentral dalam seluruh kehidupan bermasyarakat. 80 Gambaran dan fenomena perjalanan sejarah hukum Indonesia masih menunjukan adanya ketidakseimbangan antara pelaksanaan fungsi hukum dengan perkembangan substansi dan strukturnya. Jika program kodifikasi dan unifikasi hukum dijadikan ukuran, maka pembangunan struktur dan substansi hukumnya telah berjalan baik, namun dari sisi lain dapat dilihat fungsi hukum cenderung merosot. 81 Ketidaksinkronan pertumbuhan antar fungsi, substansi dan struktur hukum disebabkan adanya faktor- faktor yang tidak dan atau kurang mendukung bekerjanya sistem hukum di Indonesia. Terkait dengan hal diatas tersebut, dengan melihat fenomena yang berkembang di jaman korupsi dan penyalahgunaan wewenang telah menjadi suatu budaya. Pelanggaran terhadap hukum dan nilai-nilai moral serta norma-norma hukum semakin semerbak. Terkait dengan pengelolaan keuangan APBN oleh pemerintah, telah berkembang suatu budaya kotor berupa penyalahgunaan wewenang, serta korupsi, dimana hal ini telah menjadi budaya. Masalah budaya hukum merupakan salah satu agenda reformasi hukum yang harus ditangani dan ditanggapi secara serius, disamping aspek-aspek hukum lainnya. Pengalaman masa lalu bangsa Indonesia yang hanya menekankan pada aspek yuridis formal, tanpa menekankan pada pembangunan perilaku hukum dan moralitas hukum 80 Ismail Saleh, 1995, "Pembinaan Cita Hunum dan Penerapan Asas- Asas hukum Nasional Sejak Orde Baru", Majalah Hukum Nasional, No 1,1995, Edisi Khusus, BPHN, hal: 15 81 Moh.Mahfud MD, 2000, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Garna Media, hal.2-3 185 masyarakat, sehingga bangsa Indonesia jatuh ke dalam masalah-masalah serius. 82 Hal sebagian ini dapat terlihat dengan jelas dimana hampir di wilayah administratif di Indonesia, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat tersandung masalah korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Pengedepanan aturan hukum adalah pilihan yang paling rasional guna mencegah terjadinya berbagai penyimpangan tersebut. Secara singkat dapat dikatakan bahwa segala aktivitas pemerintah harus tetap dalam kendali pengawasan yang memadai (adeguate). Keberadaan pemerintah yang selalu dalam pengawasan mengandung makna bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan adalah antara lain dengan mengefektifkan pengawasan baik melalui pengawasan lembaga peradilan maupun masyarakat serta berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Pelaksanaan pemerintahan yang baik pada gilirannya juga akan membuat masyarakat memperoleh dan merasakan ketentraman lahir batin, berupa: (a) Kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak tergantung pada kekuatan fisik dan non fisik; (b) Sepanjang tidak melanggar hak dan merugikan orang lain maka masyarakat dapat secara bebas menjalankan apa yang diyakininya sebagai kebenaran, serta dapat secara bebas pula mengembangkan bakat dan 82 Satjipto Rahardjo,1998 "Keleluasaan Reformasi Hukum", Artikel dalam Kompas, kesenangannya; (c) Merasakan diperlakukan secara wajar. berperikemanusiaan, adil dan beradab sekalipun melakukan kesalahan. Demi menjamin dan memberikan landasan hukum bahwa perbuatan pemerintahan (besluurhendeling) yang dilakukan oleh pemerintah sebagai suatu perbuatan yang sah (legitimate dan justified), dapat dipertanggungjawabkan (accountable and responsible) dan bertanggung jawab (liable), maka setiap perbuatan pemerintahan itu harus berdasarkan atas hukum yang adil, bermartabat dan demokratis, Perkembangan masyarakat akhir ini, memaksa sistem politik yang dahulu mencengkeram dengan keras untuk menyesuaikan diri dengan penghormatan kepada hakhak asasi manusia. Sistem politik yang demokratis menuntut suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka yang tentunya juga memiliki kualitas dan pengawasan yang baik. Perkembangan ini secara langsung juga merupakan tuntutan dunia internasional untuk mengurangi inefisiensi dari pemerintahan yang sentralisasi dan kebutuhan kepastian hukum dalam melaksanakan kinerja ekonomi. Kondisi pemerintahan telah memperlihatkan ketidaktegasan policy pemerintah dalam memberikan pengawasan terhadap para aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi dan kejahatan lain yang berkaitan dengan kerugian negara. Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali hukum hanya dipergunakan sebagai alat untuk mengatur rakyat belaka dan jarang dijadikan acuan bagi diri sendiri oleh pemerintah dan pemegang kekuasaan lainnya. Hal inilah yang pertama-tama harus disadari oleh semua pihak agar dapat mencapai 187 kondisi kenegaraan yang mapan dan rakyat sejahtera yakni bahwa hukum harus diperlakukan sebagai panglima dalam Negara hukum. Sesungguhnya, dengan kerangka normatif tersebut, kita tidaklah begitu melihat problem tekstualitas hukum yang mensyaratkan sejumlah prinsip dalam mengelola keuangan negara. Namun dalam prakteknya, pastilah timbul pertanyaan, mengapa begitu banyak di berbagai daerah terjadi korupsi (mark-up) anggaran (apalagi disebut korupsi berjama'ah), praktik suap-menyuap dalam proses penyusunannya, tidak terbuka dan partisipatif, tidak peka terhadap anggaran yang memenuhi kebutuhan dasar rakyat miskin, tidak bisa dipertanggungjawabkan, cenderung banyak pemborosan seperti anggaran dengan alasan studi banding, dan sekedar mementingkan sekelompok elit politik yang duduk di kursi parlemen dan birokrasi. Kondisi buruknya pengelolaan keuangan ditambah parah dengan konspirasi untuk mengimpunitas pelaku korupsi dan membebaskannya tanpa sedikitpun tersentuh hukum (law disenforcement conspiracy). Dengan alasan bahwa selain paradigm hukum keuangan negara yang tidak dijalankan (atau mungkin pula tidak dipahami), kemudian diperkuat dengan situasi law disenforcement conspiracy yang membuat problem keuangan negara kian akut. Dengan alasan itu bukanlah hal yang baru dan (memang) tak terbantahkan, apalagi disandarkan pada praktek-praktek penyalahgunaan keuangan negara di masa lalu, dimana keuangan negara senantiasa menjadi bahan bakar mesin politik kekuasaan Soeharto di masa Orde Baru. Apa yang kita dapati hari ini, tidaklah jauh dari warisannya, hanya saja bergeser ke politik kekuasaan lokal. Meskipun demikian, ada pula politik liberal yang masuk melalui sejumlah pintu kekuasaan di pusat dan daerah melalui desain baru yang diinjeksikan dengan menggunakan prinsip-prinsip, yang uniknya, teks (hukum) dan lafalnya mirip, namun kerangka ideologi dan tujuan di balik prinsip-prinsip tersebut jauh berbeda dan bahkan bertentangan dengan paradigma hukum keuangan negara. Bertitik tolak dari norma hukum suatu APBN selayaknya pembuatan anggaran pendapatan dan belanja negara memperhatikan prinsip-prinsip anggaran yang berikut: keadilan anggaran; efisiensi dan efektivitas anggaran; anggaran berimbang dan defisit; disiplin anggaran; transparansi atau keterbukaan dan akuntabilitas anggaran sesuai dengan'pertanggung jawaban keuangan sebagaimana dianjurkan oleh pemerintah Baginya, penyusunan APBN yang sesuai dengan arahan fundamental 'good governance' merupakan tuntutan sekaligus pengembangan bagi upaya peningkatan kinerja Pemerintah. Kemudian, prinsip ini dibingkai dalam Good Financial Governance (GFG), yang memiliki karakter: Participation (partisipatoris); Rule of Law (berdasar hukum); Transparency (keterbukaan); Responsiveness (bertanggungjawab); Concensus orientation (berorientasi kesepakatan); Equity (keadilan atau kesetaraan); Effectiveness and Efficiency (tepat guna dan berhasil guna); Accountability (berperhitungan); Strategic vision 189 (memiliki visi strategis). 83 Dan tujuannya, sebagai agenda utama: a. To create awareness and willingness on the part of the society to establish the condition of good governance. b. To enact organic laws under the constitution that are consistent with its intent; c. To reinforce the implementation and management of change, especially reforms in public service and education; d. To urgently solve the problems of corruption and misconduct in the public and private business sectors, e. To accelerate the setting of standards for business operation. 84 Nampaknya, kreasi-kreasi prinsip berikut karakter dan tujuannya yang disebutkan tersebut, apalagi dengan kutipan pada cara pandang IMF dan World Bank dalam urusan keuangan negara adalah kurang tepat dengan paradigma hukum keuangan negara yang dimiliki Indonesia atas dasar konstitusi. Good financial governance, tidak ubahnya induk diskursusnya good governance, kelihatan baik dan rapi dalam prosesi ilmiahnya, namun sangatlah bias kepentingan neo-liberalisme yang menegaskan prinsipprinsip liberal untuk tujuan mendorong pasar bebas dan menarik secara sistematik peran negara dalam urusan publik. Dengan begitu, disain besar 83 Soekarwo (2005), Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan PrimipPrinsip Good Financial Governance. Surabaya: Airlangga University Press. 84 Ibid, hal. 228. pengelolaan keuangan negara dengan mengandalkan prinsip-prinsip tersebut bukanlah dalam rangka mencegah korupsi dan kesewenangan untuk mengurangi kemiskinan, melainkan mendisiplinkan tata kelola dan administrasi keuangan negara untuk sekedar menjawab prasyarat politik ekonomi liberalisasi pasar. Urusan keuangan negara menjadi penting utamanya mendorong upaya percepatan pembangunan dan penyejahteraan masyarakat secara luas. Sebagian besar akan mempercayai bahwa kebijakan pemerintah akan membawa dampak besar bagi perkembangan pembangunan. Namun, persoalan kemudian adalah, bagaimanakah paradigma pembangunan yang dikehendaki oleh penguasa, dan bagaimana seharusnya keuangan negara menopang proses pembangunan tersebut. Paradigma yang menegaskan bahwa sejumlah konsepsi kebijakan pemerintah yang didorong untuk keperluan good governance dan pembangunan (decentralization for good governance and development) sangatlah dipengaruhi oleh pemikiran ideologi pembangunan ala World Bank dan IMF. Lebih ekstrem lagi untuk melihat ekses negatif dari good governance, sejumlah studi telah membongkarnya dalam perspektif kritik atas dominasi World Bank dan lembaga keuangan internasional lainnya yang memaksakan politik ekonominya dalam konstruksi pembangunan hukum di negara-negara selatan, dan sejumlah analisis kritis di berbagai negara dunia. The absence (yang tiada) dari diskursus good governance berikut turunannya dalam urusan keuangan negara semacam 'good financial governance' adalah tata kelola keuangan tersebut harus 191 berdimensi pertanggungjawaban hak asasi manusia. Paradigma penyejahteraan rakyat di awal yang disinggung adalah kunci masuk bagi proses-proses pemajuan hak-hak asasi, khususnya tanggung jawab negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga negara. Hasil dari pada pengawasan BPK terhadap pengelolaan keuangan negara dilaporkan kepada DPR, jika terjadi penyimpangan atau korupsi, pelanggaran hukum terhadap keuangan negara akan disampaikan kepada presiden atau pemerintah dan presiden atau pemerintah akan menindaklanjuti kepada Jaksa Agung meneruskan kepada pihak kepolisian Republik Indonesia, sedangkan hasil dari BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) dari evaluasi pengawasan keuangan negara diserahkan kepada presiden dan ditindaklanjuti, jika terjadi penyimpangan hukum akan diserahkan pada pihak kepolisian serta jaksa ditempat mana terjadi pelanggaran hukum tersebut. Jika memperhatikan mekanisme pengawasan keuangan negara yang demikian ketat dari setiap departemen pemerintah maupun perusahaan negara yang selalu ada pengawasan, toh juga masih ada korupsi. Memang sangat susah untuk diberantas, walaupun demikian kita harus berjuang untuk memakmurkan rakyat. Pada dasarnya kelebihan penerapan mekanisme pengawasan dan pemeriksaan berjenjang dan terpadu akan menghasilkan adalah : 1. Memperkecil span of control 2. Menjadikan pengawasan/pemeriksaan lebih efektif dan efisien 3. Mengurangi tumpang tindih pengawasan/pemeriksaan yang hanya membebani secara rutinitas birokrasi yang diperiksanya. 4. Memperkecil inputnya obyek pengawasan/pemeriksaan 5. Menciptakan sistem check and recheck pengawasan/pemeriksaan pada setiap strata dalam mempersiapkan hasil laporan lebih terjamin. 6. Menciptakan transparansi hasil/laporan pengawasan/ pemeriksaan. 7. Memperlancar akses informasi adanya penyimpangan pengawasan/pemeriksaan 8. Memperkecil peluang KKN 9. Meningkatkan responsibility dan accountability pengawas/ pemeriksa 10. Mendeteksi korupsi lebih dini 11. Menciptakan pengawasan/pemeriksaan yang lebih terfokus. 12. Sejalan dengan konsep otonomi daerah dimana pengawas/ pemeriksa dapat dilakukan oleh aparat daerah, tetapi konsep uji ulang pemeriksaan tetap didelegasikan, apabila terdapat asymmetric information. 13. Siklus dan mekanisme pengawasan pemeriksaan berjalan secara otomatis tanpa adanya hambatan/distorsi yang disebabkan perebutan lahan pemeriksaan maupun penolakan terhadap pemeriksaan. 14. Terbentuk integraled control system dalam suatu negara 85 kesatuan. Dari hasil yang diharapkan dalam mekanisme pengawasan keuangan negara akan menjadi evaluasi dari para wakil rakyat yaitu DPR dalam menetapkan APBN tahun akan datang. Hasil pemeriksaan tentang tanggung jawab dari pada kebijaksanaan pemerintah dalam penggunaan keuangan Negara diberitahukan kepada DPR dapat dinilai dari dua segi. Menurut Moh. Kusnardi, Bintang R Saragih menyatakan ; 1) Apakah penggunaan anggaran keuangan itu telah mencapai manfaat yang dituju 85 Soerie Arifin Atmadja , 2009, Op cit, hal 87 193 oleh anggaran itu; 2) Apakah penggunaannya itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan . 86 Jadi segala pengeluaran dan pendapatan yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah harus dipertanggung jawabkan penggunaannya karena menyangkut kepentingan dan nasib rakyat. 4.2 Fungsi Pengawasan DPR Yang Berkaitan Dengan Pengawasan BPK Black,s Law Dictionary dijelaskan tentang Check dan Balances ; The theory of governmental power and functions whereby each branch of government has the obility to counter the actions of any other branch, so that no single branch can control the entire government, for example the executive branch can check the legislature by efercising its veto power, but the legislature can, by a sufficien majority override any veto. (Teori tentang kekuasaan pemerintah dan fungsinya, dimana setiap cabang pemerintah memiliki kemampuan untuk menjawab tindakan dari setiap cabang, sehingga tidak ada satu cabang pun yang dapat mengawasi keseluruhan pemerintah. 87 Sebagai contoh cabang eksekutif dapat memeriksa legislatif dengan kekuatan vetonya dengan suara mayoritas. Keseimbangan ini merupakan 86 Moh. Kusnardi dan Bintang R Saragih, Op cit, hal. 18. 87 Henry Campbell Black, 1999, Black’s Law Dictionary, 6 Ed, Paul Minn, West Publishing, Hlm. 231 suatu upaya kontrol untuk mencapai keseimbangan dengan melakukan pengawasan dari masing-masing cabang kekuasaan untuk menghindari tindakan sewenang –wenang dan penyalahgunaan kekuasaan. Penerapan prinsip check and balances ini tidak hanya diterapkan dalam Negara yang menggunakan sistem pemerintahan Presidensiil (Amerika Serikat) tapi juga pada Negara yang menganut sistem parlementer juga terdapat prinsip check and belances tersebut sebagai contoh, Negara Belanda sebagai Negara Kerajaan, penerapan balances terjadi ketika pembuat UUD dan UU memberikan kekuasaan kepada lembaga Negara lainnya dan adaya kewajiban penerima kekuasaan untuk bertanggungjawab kepada pemberi kekuasaan dan hak itu dipandang sebagai check, oleh karena itu antara pemberi kekuasaan dan penerima kekuasaan terdapat hubungan pengawasan dari lembaga pemberi kekuasaan kepada penerima kekuasaan (hubungan yang vertikal). Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. Melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam 195 pelaksanaan kerja tersebut. Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang muncul. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good governance itu sendiri. Dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang efektif, baik pengawasan intern (internal control) maupun pengawasan ekstern (external control). Di samping mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control). Konsep pengawasan pengawasan merupakan demikian bagian dari sebenarnya fungsi menunjukkan manajemen, di mana pengawasan dianggap sebagai bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak yang lebih atas kepada pihak di bawahnya." Dalam ilmu manajemen, pengawasan ditempatkan sebagai tahapan terakhir dari fungsi manajemen. Dari segi manajerial, pengawasan mengandung makna pula sebagai: Pengamatan atas pelaksanaan seluruh kegiatan unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin agar seluruh pekerjaan yang sedang dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan atau suatu usaha agar suatu pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dan dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan, sedangkan hambatan yang telah terjadi dapat segera diketahui yang kemudian dapat dilakukan tindakan perbaikannya. Sementara itu, dari segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai sebagai proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan. Sasaran pengawasan adalah temuan yang menyatakan terjadinya penyimpangan atas rencana atau target. Sementara itu, tindakan yang dapat dilakukan adalah: a. Mengarahkan atau merekomendasikan perbaikan; b. Menyarankan agar ditekan adanya pemborosan; c. Mengoptimalkan pekerjaan untuk mencapai sasaran rencana, Pada dasarnya ada beberapa jenis pengawasan yang dapat dilakukan, yaitu: Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan." Pengawasan dalam bentuk ini dapat dilakukan dengan cara pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat (built in control) atau pengawasan yang dilakukan secara rutin oleh inspektorat jenderal 197 pada setiap departemen dan inspektorat wilayah untuk setiap daerah yang ada di Indonesia, dengan menempatkannya di bawah pengawasan Departemen Dalam Negeri. Pengawasan intern dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Ekonomi Selain itu juga terdapat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang merupakan pelaksana teknis operasional pengawasan : a. pengawasan preventif dan represif; b. pengawasan aktif dan pasif; c. pengawasan kebenaran formil menurut hak (rechtimatigheid) dan pemeriksaan kebenaran materiil mengenai maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid). Dalam kaitannya dengan keuangan negara, pengawasan ditujukan untuk menghindari terjadinya "korupsi, penyelewengan, dan pemborosan anggaran negara yang tertuju pada aparatur atau pegawai negeri," Dengan dijalankannya pengawasan pertanggungjawaban tersebut anggaran negara diharapkan dapat pengelolaan berjalan dan sebagaimana direncanakan. Dalam aspek pengawasan keuangan negara, DPR mempunyai kepentingan kuat untuk melakukan pengawasan terhadapnya. Hal demikian disebabkan "uang yang digunakan membiayai kegiatan-kegiatan negara adalah diperoleh dari rakyat." Penjelasan UUD 1945 menegaskan ; Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, sebagai pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan undang-undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Persetujuan DPR terhadap anggaran negara yang diajukan pemerintah sebenarnya mempunyai makna pengawasan pula. Hal demikian disebabkan persetujuan yang diberikan DPR bukan berarti membebaskan pemerintah melakukan segala aktivitas yang berkaitan dengan anggaran negara. Adanya pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran negara sebenarnya diarahkan kemudian pada upaya, "menindaklanjuti hasil pengawasan, sehingga ada sanksi hukum." Sementara itu, pembagian macam pengawasan terbagi atas dasar pengawasan intern yang berarti" Sementara itu, pengawasan eksternal dimaksudkan sebagai "pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang ada di luar lingkungan unit organisasi yang bersangkutan. Pengawasan dalam bentuk ini dilakukan oleh suatu badan yang ditetapkan oleh pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945, yang menyatakan; "Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Pasal 23 G menentukan bahwa: (1) Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi, (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-undang. 199 Dari ketentuan tersebut di atas setidaknya terdapat dua perkembangan baru pada BPK yaitu menyangkut perubahan bentuk organisasi secara struktural dan menyangkut perluasan jangkauan tugas secara fungsional. Sebelumnya BPK hanya memiliki beberapa kantor perwakilan di beberapa provinsi saja karena kedudukan kelembagaannya memang hanya terkait dengan fungsi pengawasan oleh DPR terhadap kinerja pemerintahan di tingkat pusat saja. BPK tidak mempunyai hubungan dengan DPRD dan pengertian keuangan negara yang menjadi obyek pemeriksaan hanya terbatas pada pengertian APBN saja. Karena pelaksanaan APBN itu terdapat juga di daerah-daerah maka diperlukan ada kantor perwakilan BPK di daerah-daerah tertentu. Dari segi jangkauan fungsi pemeriksaan tugas BPK sekarang menjadi makin luas. Ada tiga perluasan yang dapat dicatat di sini: 88 1) Perluasan dari pemeriksaan atas pelaksanaan APBN menjadi pemeriksaan atas pelaksanaan APBN dan APBD serta pengelolaan keuangan dan kekayaan negara dalam arti luas. 2) Perluasan dalam arti hasil pemeriksaan yang dilakukan tidak saja dilaporkan kepada DPR di tingkat pusat tetapi juga kepada DPD, DPRD Kabupaten/ kota sesuai dengan tingkat kewenangan masing-masing. 3) Perluasan juga terjadi pada lembaga atau badan-badan hukum 88 Moh.Kusnardi ,dan Bintan R Saragih lot cit hal 26. yang menjadi obyek pemeriksaan oleh BPK yaitu dari sebelumnya hanya terbatas pada lembaga negara dan/atau pemerintahan yang merupakan subyek hukum tata negara dan/atau subyek hukum administrasi negara meluas hingga mencakup pula organ-organ yang merupakan subyek hukum perdata seperti perusahaan dacrah, BUMN, ataupun perusahaan swasta di mana di dalamnya terdapat kekayaan negara. Penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mewujudkan hal tersebut di atas, saat ini ada Undnag-Undang yang mengatur masalah keuangan negara yaitu Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (PPATJKN). Undang-undang tentang PPTJKN juga menegaskan mengenai lingkup kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan bahwa seluruh pemeriksaan yang menyangkut unsur keuangan negara menjadi kewenangan BPK. Sementara, terhadap kekayaan negara yang dipisahkan, sepertiyang berada di Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk perseroaan terbatas (PT), undang-undang ini mengatakan harus diperiksa oleh sebuah kantor akuntan publik, namun laporan keuangannya harus dilaporkan ke BPK, untuk selanjutnya dilaporkan kepada DPR. 201 Salah satu hal yang penting dari Undang-undang PPTJKN adalah penegasan dari definisi pemeriksaan keuangan di mana disebutkan bahwa pemeriksaan keuangan adalah, proses identifikasi, analisis secara independen, obyektif dan profesional, terhadap informasi yang terkait dengan laporan keuangan negara. Undang-undang PPTJKN juga memberikan pengaturan mengenai hukum acara pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan negara dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengambil tindakan pemulihan terhadap kerugian negara yang terjadi. Tindakan itu dapat dilakukan jika BPK menemukan kerugian negara dari hasil auditnya. Melalui kewenangan itu, BPK dapat meminta ganti kerugian bagi pejabat bendahara negara atas kekurangan kas atau barang dalam persediaan yang merugikan keuangan negara atau daerah. 89 Berdasarkan Pasal 22 Ayat (1) UU PPTJKN menetapkan, BPK berwenang menerbitkan surat keputusan (SK) penetapan batas waktu pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas atau barang dalam persediaan yang merugikan keuangan negara atau daerah. Akan tetapi, Ayat (2) nya menetapkan, bendahara dapat mengajukan keberatan atau pembelaan diri kepada BPK dalam waktu 14 hari kerja. Undang-undang PPTJKN juga mencantumkan ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 24 dan pasal 26. Dalam ketentuan pidana, bukan 89 Sambutan Menteri Keuangan RI Boediono 2004 Sesuai DPR menyetujui RUU PPTJKN sebagai undang-undang di Sidang Paripurna DPR, Jakarta., hal. 50 saja seseorang yang tidak melaksanakan kewajibannya memberikan dokumen atau tidak memberikan informasi soal keuangan negara, pemeriksa (BPK) pun yang melakukan pemeriksaan diluar kewenangannya dapat dipidana. Ancaman pidana berkisar antara satu hingga tiga tahun, dan denda antara Rp 500 juta sampai dengan Rp 1 miliar. Dalam bidang keuangan negara ini dikenal pula lembaga lain yaitu Badan Pengawas Keuangan dan Pembanguan (BPKP) yang dibentuk oleh pemerintah. Di satu segi BPKP merupakan lembaga internal auditor atas kegiatan pemerintahan dan pembangunan, tetapi terhadap instansi pemerintahan yang diperiksa sekaligus merupakan lembaga eksternal auditor. Dibandingkan dengan BPKP yang merupakan bentukan pemerintah Orde Baru dan tidak dikenal dalam UUD maka struktur organisasi BPK jauh lebih kecil. BPKP memiliki struktur organisasi yang menjangkau ke seluruh daerah provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia sementara BPK lebih terbatas. Untuk menghadapi dualisme pemeriksaan oleh BPK dan BPKB itulah maka pasal 23E ayat ( 1) UUD 1945 menegaskan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara diadakan satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri. Di sini tegas dikatakan hanya ada satu badan yang bebas dan mandiri, karena itu BPKP dengan sendirinya harus dilikuidasi dan digantikan fungsinya dengan BPK yang berkedudukan di ibukota negara dan memiliki 203 perwakilan di setiap provinsi. Namun pandangan tersebut di atas kurang mendalami aspek pemeriksaan keuangan (auditing) yang umum berlaku. Setiap perusahaan atau lembaga tentu saja harus memiliki auditor internal yang bertanggung jawab untuk mempersiapkan laporan keuangan yang akan menunjukkan kondisi perusahaan dan sekaligus berfungsi sebagai pengawas dalam hal penggunaan dana perusahaan. Namun demikian hasil kerja auditor internal ini (BPKP), juga harus diawasi oleh auditor eksternal - dan ini merupakan tugas BPK karena ada kecenderungan manajemen memiliki hubungan kerja yang dekat dengan auditor internal sehingga dapat menimbulkan kolusi terlebih bagi lembaga atau instansi milik pemerintah. The financial supervisor, the members of the commission, the auditor of state, and any person authorized to act on behalf of or assist them shall not be personally liable or subject to any suit, judgment, or claim for damages resulting from the exercise of or failure to exercise the powers, duties, and functions granted to them in regard to their functioning under this chapter, but the commission, the financial supervisor, the auditor of state, and those other persons shall be subject to mandamus proceedings to compel performance of their duties under this chapter and with respect to any debt obligations issued pursuant or subject to this chapter. 90 Pengawas keuangan, para anggota komisi, auditor negara, dan setiap orang yang berwenang untuk bertindak atas nama atau membantu tidak akan bertanggung jawab secara pribadi atau tunduk pada penghakiman, gugatan, atau klaim atas kerusakan yang diakibatkan dari pelaksanaan atau kegagalan untuk menjalankan kekuasaan, tugas, dan fungsi yang diberikan berdasarkan fungsi, tetapi komisi, pengawas keuangan, auditor negara, dan orang-orang lain harus tunduk pada proses birokrasi memaksa kinerja. Konsekuensinya, dapat BPK memberikan menguji 90 http://codes.ohio.gov/orc/118.05.Financial Planning and Supervision Commission. hasil pemeriksaan yang dilakukan aparat pengawasan intern pemerintah, untuk kemudian disampaikan kepada DPR. Adapun maksud pemeriksaan diserahkan kepada DPR disebabkan DPR yang memberikan delegasi kepada pemerintah untuk menjalankan undang-undang APBN. Dengan demikian, tepat sekiranya pengawasan yang dilaksanakan oleh BPK merupakan, "pengawasan ekstern, sehingga faktor obyektivitasnya yang merupakan salah satu norma dari pemeriksaan dapat terjamin.” Sementara itu, pengawasan preventif lebih dimaksudkan sebagai, "pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum kegiatan itu dilaksanakan, sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan. Lazimnya, pengawasan ini dilakukan pemerintah dengan maksud untuk menghindari adanya penyimpangan pelaksanaan keuangan negara yang akan membebankan dan merugikan negara lebih besar. Di sisi lain, pengawasan ini juga dimaksudkan agar sistem pelaksanaan anggaran dapat berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Pengawasan preventif akan lebih bermanfaat dan bermakna jika dilakukan oleh atasan langsung, sehingga penyimpangan yang kemungkinan dilakukan akan terdeteksi lebih awal. Di sisi lain, pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan setelah kegiatan itu dilakukan. Pengawasan keuangan model ini lazimnya dilakukan pada akhir tahun anggaran, di mana anggaran yang telah ditentukan kemudian disampaikan laporannya. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan dan pengawasannya untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyimpangan. 205 Selain itu, pengawasan dekat (aktif) dilakukan sebagai bentuk "pengawasan yang dilaksanakan di tempat kegiatan yang bersangkutan. Hal ini berbeda dengan pengawasan jauh (pasif) yang melakukan pengawasan melalui "penelitian dan pengujian terhadap surat-surat pertanggungjawaban yang disertai dengan bukti-bukti penerimaan dan pengeluaran. Di sisi lain, pengawasan berdasarkan pemeriksaan kebenaran formil menurut hak (rechmatigheid) adalah "pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah telah sesuai dengan peraturan, tidak kadaluarsa, dan hak itu terbukti kebenarannya." Sementara, hak berdasarkan pemeriksaan kebenaran materil mengenai maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid) adalah "pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah telah memenuhi prinsip ekonomi, yaitu pengeluaran tersebut diperlukan dan beban biaya yang serendah mungkin." Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh unit pengawas intern organisasi yang diawasi di mana tugasnya adalah membantu fungsi pengawasan pimpinan organisasi serta membantu menyusun laporan pelaksanaan kegiatan organisasi. Pengawasan ini lazimnya dilakukan instansi pemerintahan dengan membentuk suatu organisasi khusus yang menangani secara menyeluruh pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran negara. Konsep pengawasan ini dibutuhkan dengan maksud agar penyimpangan pelaksanaan anggaran lebih cepat diatasi oleh unit intern yang dekat dengan organisasi tersebut. Di dalam organisasi pemerintahan negara, Presiden yang dibentuk kabinet menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan undang-undang. Salah satu pelaksanaan pemerintahan tersebut adalah melaksanakan UU APBN, yang secara terpusat dan terintegrasi dilakukan oleh Departemen Keuangan. Guna menjalankan pengawasan terhadap keuangan negara yang dilakukan pemerintah, dibentuk suatu badan yang khusus melakukan pengawasan, yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berdasarkan Keputusan Presiden No. 31 tahun 1984 tentang Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Selain itu, di dalam pemerintahan juga dibentuk berbagai aparat pengawasan fungsional pemerintah, baik di pusat seperti inspektorat jenderal pembangunan, inspektorat jenderal departemen/unit pengawasan lembaga. Juga, pengawasan fungsional pemerintahan di tingkat daerah seperti inspektorat wilayah daerah tingkat I dan tingkat II. 91 Banyaknya lembaga pengawasan dalam struktur kelembagaan pemerintahan sebenarnya tidak mengandung efektivitas dalam proses pelaksanaannya. Hal demikian disebabkan kemungkinan terjadinya tumpah tindih sangat besar yang akibat adanya dalam suatu waktu yang bersamaan atau dalam jangka waktu yang dekat, dua aparat pengawasan fungsional atau lebih melakukan pemeriksaan terhadap suatu instansi/proyek tertentu dengan sasaran yang sama. 92 91 Ibid., hal 60 92 Gandhi, 2000, Sistem Pemeriksaan Keuangan Negara, (makalah yang disampaikan dalam lokakaryaReformasi system Pengelolaan Keuangan Negara), Jakarta, hal 14. 207 Sebenarnya, tumpang tindih demikian tidak akan terjadi jika terdapat pengelompokan atas dasar kewenangan unit pengawas intern yang ada. Sebab, sesuai dengan struktur pengawasan yang dianut dalam ICW 1925, di mana pelaksanaan APBN didasarkan atas administratief beheer dan comptabel beheer, maka pengawas intern akan membagi atas salah satu di antaranya atau kedua-duanya. Dengan tugas pemeriksaan yang dibedakan tersebut sebenarnya akan terdeskripsikan suatu pola pengawasan berjenjang. Pengawasan tersebut pada dasarnya dilakukan di mana aparat pengawasan yang lebih tinggi tingkatnya secara hierarkis organisatoris melaksanakan tugas yang lebih luas pendekatannya atau lebih makro wawasannya daripada aparat pengawasan yang lebih rendah. Dengan perkataan lain, sasaran pengawasan antar-aparat pengawasan berbeda satu sama lain, tergantung mana yang lebih ekstern dan mana yang lebih intern. 93 Selama ini, penjenjangan pengawasan keuangan negara tampaknya belum dapat diwujudkan secara optimal disebabkan "tidak adanya kebijaksanaan pengawasan secara nasional dan tidak adanya alat yang dapat dipakai untuk melakukan koordinasi pelaksanaan pengawasan," 94 Akan tetapi, kemudian pemerintah mengambil langkah yang sedikit maju dengan menugaskan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, untuk 93 Dani Sudarsono, 2000"Interaksi Eksternal Auditor Pemerintah dan Internal Auditor Pemerintah: antara Harapan dan Kenyataan," (makalah yang disampaikan dalam Seminar Reinventing Auditor Internal Pemerintah yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Akuntansi dan Keuangan, Jakarta, hal. 2. 94 Gandhi, Op.cit., hal. 49. melakukan koordinasi pengawasan pembangunan (wasbang). Selain itu, Presiden memberikan tugas kepada Wakil Presiden untuk melakukan pengawasan pembangunan, yang salah satu bagian di antaranya adalah mengenai pengawasan keuangan negara. Dalam hal pengawasan intern keuangan negara, kedudukan BPKP cukup potensial untuk menjalankan tugas mempersiapkan perumusan kebijakan pengawasan keuangan dan pembangunan. Selain itu juga menyelenggarakan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan keuangan. Guna mendukung tugas BPKP tersebut, BPKP dapat melakukan pemeriksaan setempat, meminta keterangan mengenai tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dilakukan BPKP atau aparat pengawas lainnya. Juga meminta keterangan pada semua pejabat yang terkait erat dengan obyek pemeriksaan. Hasil pemeriksaan BPKP kemudian disampaikan langsung kepada menteri atau pejabat instansi yang diawasi. Apabila ditelaah secara mendalam eksistensi pengawasan intern keuangan negara sebenarnya ditujukan pada upaya membantu presiden dalam bidang pemeriksaan dan pengendalian lingkup pemerintahan negara. Sebagai kepala pemerintahan yang menjalankan fungsi pemerintahan, presiden tidak dapat senantiasa melakukan pengawasan, Oleh sebab itu, presiden meminta bantuan aparatur pemerintahan juga untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap keuangan dan pembangunan. Dengan statusnya sebagai aparatur pemerintahan, yang juga aparat pengawas intern, pihaknya "tidak boleh mengeluarkan pernyataan pendapat yang 209 dapat dijadikan dasar bagi masyarakat umum dalam mengambil suatu keputusan." 95 Sementara itu, berbeda dengan BPK yang menyerahkan hasil laporan pengawasannya kepada DPR, aparat pemeriksa intern pemerintahan tidak dapat menyampaikan laporan hasil pemeriksanaannya langsung kepada DPR, tetapi jika DPR berkeinginan atas hasil pemeriksaan BPKP, pemerintahlah yang menyampaikannya kepada DPR. 96 Hal demikian dimaksudkan agar dapat dibedakan posisi pemeriksaan BPK dan BPKP agar tidak terjadi kesalahkaprahan dalam proses penilaian kinerja pelaksanaan APBN oleh DPR. Pengawasan ekstern adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh unit pengawasan yang berada di luar unit organisasi yang diawasi. Dalam hal ini di Indonesia adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang merupakan lembaga tinggi negara yang terlepas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam menjalankan tugasnya, BPK tidak mengabaikan hasil laporan pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah, sehingga sudah sepantasnya di antara keduanya perlu terwujud harmonisasi dalam proses pengawasan keuangan negara. Proses harmonisasi demikian tidak mengurangi independensi BPK untuk tidak memihak dan menilai secara obyektif aktivitas pemerintah. BPK ini merupakan semacam alat dari DPR Penyelewengan yang dimaksud disini dapat berupa kewajiban pemerintah 95 96 Gandhi 2000, "Ibid, hal. 4. Ibid., hal 62 untuk tidak menyimpang dari pasal –pasal APBN ,dapat juga mengenai kewajiban pemerintah untuk menggunakan uang Negara yang sebaikbaiknya dan betul betul bermanfaat bagi nusa dan bangsa ,tugas pokok BPK adalah memeriksa tanggung jawab keuangan Negara . Dalam pelaksanaan tugas tersebut BPK mempunyai beberapa fungsi yang oleh Moh. Kusnardi dan Bintang R Saragih menyatakan sebagai berikut : 1. Fungsi operatif yaitu melakukan pemeriksaan pengawasan dan penelitian atas penguasaan dan pengurusan keuangan Negara. 2. Fungsi yudikatif yaitu melakukam tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi terhdap bendaharawan dan pegawai negeri bukan bendaharawan yang kerana perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban menimbulkan kerugian besar bagi negara 3. Fungsi member rekomendasi yaitu member pertimbangan kepada pemerintah tentang keuangan Negara .97 Dalam menjalankan tugas pengawasan keuangan negara, beberapa pandangan dikemukakan bahwa BPK tidak selayaknya melakukan kontrol atas semua bentuk keuangan negara, termasuk di dalamnya kekayaan negara. Akan lebih bermakna jika BPK melakukan fungsi pengawasan keuangan yang bersifat "makro strategis" yang mempunyai dampak sosial ekonomis yang luas." Konsekuensinya, BPK tidak perlu bersusah payah melakukan pengawasan keuangan negara dengan rentang yang tidak terbatas. Akan tetapi, cukup pada pengujian atas hasil pemeriksaan 97 Moh. Kusnardi dan Bintang R Saragih, Op cit, hal. 24. 211 keuangan yang dilakukan aparat intern pengawas pemerintah dan pengawasan terhadap pelaksanaan APBN. Hasil pemeriksaan BPK yang 'diberitahukan' kepada DPR, sebenarnya mengandung makna yuridis yang kurang tegas dipandang dari pemakaian istilahnya. Dengan demikian, perlu ada perubahan kata 'diberitahukan' menjadi 'dilaporkan' kepada DPR. Hal demikian juga akan membawa dampak psikologis kepada DPR untuk segera menindaklanjuti temuan pemeriksaan dan pengawasan BPK, sehingga dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pelaksanaan tindak lanjut ini dilakukan secepat mungkin untuk menyelesaikan masalah dan mencegah penyimpangan yang akan merugikan posisi keuangan negara. Apabila dalam temuan pemeriksaan terdapat indikasi terjadinya penyelewengan, laporan tersebut dapat disampaikan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur hukum. 4.3 Akibat Hukum Penolakan Penetapan APBN Oleh DPR. Setelah kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, DPR hasil pemilihan umum tahun 1956 tetap berfungsi sebagai DPR tetapi tidak lama kemudian dibubarkan oleh Presiden karena menolak Rancangan APBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah (presiden). Tindakan presiden ini secara jelas bertentangan dengan UUD 1945 yang baru setahun diberlakukan kembali, presiden kemudian membentuk MPRS dan DPRGR serta mengangkat para anggotanya. Pimpinan MPRS dan pimpinan DPRGR diangkat menjadi Menteri sehingga berada di bawah perintahnya, kemudian keputusan berdasarkan pemungutan suara dinyatakan bertentangan dengan demokrasi berdasarkan UUD 1945. Keputusan harus berdasarkan kepada pemufakatan bulat, apabila hal itu tidak dapat tercapai, maka permasalahannya diserahkan kepada pimpinan. Semua keputusan yang tidak disetujui pimpinan DPRGR danyang tidak direstui oleh presiden dianggap batal. DPRGR secara praktis diatur oleh suara yang menentukan, sehingga demokrasi tidak ada sama sekali. Pada masa sebelum amandemen, pemberhentian Presiden dapat dilakukan jika DPR menganggap bahwa Presiden sungguh-sungguh telah melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-undang Dasar atau MPR. Tidak ada kriteria yang jelas apa yang dimaksud dengan sungguh-sungguh telah melanggar haluan negara ini, hanya suatu anggapan DPR bahwa pelanggaran haluan negara itu telah terjadi. Karena seluruh anggota DPR merupakan anggota MPR maka DPR dapat mengusulkan kepada MPR untuk menggelar sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Dan jika pertanggungjawaban itu ditolak maka MPR dapat memberhentikan presiden. Dalam sejarah ketatanegaraan sudah empat kali MPR memberhentikan presiden, yang pertama adalah Presiden Soekarno, kedua Presiden Soeharto, Presiden Habibie dan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Presiden Soekarno diberhentikan melalui Sidang Istimewa 213 MPRS pada tahun 1966; Presiden Soeharto berhenti setelah Ketua MPR/DPR Harmoko pada tahun 1998 mengumumkan permintaan MPR agar Soeharto mengundurkan diri menyusul desakan demonstrasi mahasiswa pada waktu itu; Presiden Habibie berhenti setelah MPR menyatakan menolak pertanggungjawabannya pada Sidang Istimewa MPR 1999; dan Presiden Abdurrahman Wahid dilengserkan oleh MPR melalui keputusan pada Sidang Istimewa MPR tahun 2001 karena dinilai terlibat dalam kasus penyelewengan dana Bulog dan bantuan dari Sultan Brunei. Empat presiden Indonesia diberhentikan dengan cara “dipaksa”. Pemberhenian keempat presiden tersebut ternyata lebih disebabkan faktor atau pertimbangan politis karena kebijakan yang dilakukan presiden yang dinilai parlemen sebagai sesuatu yang salah. Alasan pemberhentian presiden menurut Amandemen UUD 1945 lebih menekankan pada halhalyang bersifat kriminal yang dilakukan presiden, sementara kebijakan yang dikeluarkan presiden tidak dapat dijadikan alasan bagi MPR untuk memberhentikannya. Pemberhentian presiden dalam Amandemen UUD1945 lebih mirip dengan cara pemberhentian presiden pada pemerintahan sistem presidensil sedangkan sebelum amandemen merupakan cara pemberhentian gaya pemerintahan parlementer. 98 Jika DPR menolak penetapan APBN berarti tidak membawa aspirasi rakyat yang diwakili sehingga Negara Indonesia akan terjadi gejolak yang 98 Morissan lot cit hal 88, sangat luar biasa dibidang perekonomian karena penolakan penetapan tersebut., Adapun penolakan APBN oleh DPR sebab APBN yang diajukan Presiden sangat kurang menggali sumber-sumber keuangan Negara sehingga perhitungan angka-angka anggarannya sangat tidak layak untuk diwujudkan sama rakya Indonesia secara keseluruhan baik itu mengenai pembagian di sektor departemen maupun non departemen serta kelembagalembaga Negara yang kurang menunjang untuk diimplementasikan yang akan menimbulkan kemiskinan yang berkepanjangan untuk seluruh rakyat Indonesia; Pelanggaran hukum oleh pemerintah dalam hal ini terkait dengan pengelolaan keuangan itu menurut Felix A. Nigro dapat dikategorikan dalam 9 bentuk pelanggaran yaitu: a) Ketidakjujuran (dishonesty); b) Berperilaku tidak etis (unetical behavior); c) Mengesampingkan hukum (overidding the law); d) Memperlakukan pegawai secara tidak patut (unfair treatment of employees); e) Melanggar prosedur hukum (violations of procedural due process); f) Tidak menjalin kerjasama yang baik dengan pihak legislatif (failure to respect legislative intent); g) Pemborosan dalam penggunaan sumber daya (gress inefficency); h) Menutup-nutupi kesalahan yang dilakukan oleh aparatur 215 (covering up mistakes); i) Kegagalan untuk melakukan inisiatif dan torobosan yang positif (failure to show inisiative). 99 Dengan adanya penolakan penetapan APBN oleh DPR akan membawa akibat hukum yang sangat rentan terhadap kedudukan Presiden dan atau Wakil Presiden atas impeachment bahwa pemberhentian Presiden dan wakil Presiden dalam masa jabatannya harus didahului dengan prosedur yudisial artinya putusan untuk memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden sepenuhnya merupakan keputusan politik yaitu dilakukan oleh DPR dan MPR. Dengan demikian dalam hal impeachment prinsip supremasi hukum berhadapan dengan prinsip supremasi politik jika demikian, apakah supremasi hukum akan dianulir dengan supremasi politik ataukah putusan pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden melalui prosedur impeachment itu tetap sesuai dengan prinsip supremasi hukum berarti sebagai suatu peraturan yang tertinggi atau hukum merupakan suatu kekuasaan tertinggi. Menurut K Wantjik Saleh 100 ;Undang Undang Dasar adalah peraturan perundang-undangan yang tertinggi dalam suatu Negara, yang menjadi dasar segala peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain bahwa semua peraturan perundangundangan harus tunduk pada undang-undang dasar atau tidak boleh 99 Soerjono Soekanto,2008 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegak Hukum Penerbit PT Raja Grafindo Persada Jakarta hal47 . 100 K. Wantjik Saleh, 2004, Perkembangan Perundang-undangan di Indonesia, Rhineka Cipta, Jakarta, Hal. 10. bertentangan dengan undang-undang dasar dimana Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan peraturan perundangan tertinggi di Indonesia. Dengan demikian ,supremasi hukum berarti superioritas hukum, dimana tidak boleh ada kesewenang-wenangan. Seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum, tidak untuk yang lain. Oleh karena itu, hukum tidak boleh menjadi alat tetapi harus menjadi tujuan, yaitu untuk melindungi kepentingan rakyat. Hukum harus dilihat pula sebagai akal atau kecerdasan yang tidak dapat dipengaruhi oleh keinginan, apalagi nafsu dari yang berkuasa ,yang akan sanggup mencegah para penguasa dari kesewenang-wenangan. Dalam kaitannya dengan pemberhentian Presiden ,UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan di dalam Pasal 7A UndangUndang Dasar Negara RI Tahun 1945 menyatakan; Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum. Mengenai pelanggaran hukum apa saja yang diancam pemberhentian disebutkan sebagai berikut: 1. Berkhianat terhadap negara 2. Korupsi 3. Penyuapan 4. Tindak pidana berat 5. Melakukan perbuatan tercela 217 6. Tidak memenuhi syarat lagi Pelanggaran hukum tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu telah benar-benar dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden sebelum dapat diberhentikan. Lembaga yang berwenang untuk membuktikan kesalahan Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah Mahkamah Konstitusi.Jadi tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan pada pendapat DPR ,melainkan juga berdasarkan pada hukum .Prinsip ini ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum , ketentuan ini menunjukkan bahwa UUD 1945 merupakan manisfestasi dari hukum yang tertinggi ( Supremation of law ) yang ditaati oleh rakyat, pemerintah ,penguasa sekali pun dan badan pembuat UUD. Menurut Jimly Asshiddiqie 101 kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment justru dimaksudkan untuk memperkuat prinsip supremasi hukum .Walaupun kehadiran intitusi impeachment dikatakan menimbulkan keanehan ,seolah olah hanya Presiden saja yang dapat melakukan pelanggaran hukum . Di dalam Pasal 24C ayat (1) yang menyatakan bahwa; Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undangundang dasar ,memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang 101 Jimly Asshiddiqie, 2004, Kedudukan dan Peranan MK Dalam Sistem Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD 1945 DalamMakalah Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia FH Unair, SurabayaHal. 17, . kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar ,memutus pembubaran partai politik ,dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pasal 24C ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan: "Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Namun harus di ingat bahwa dalam hal ini putusan Mahkamah Konstitusi tidak bersifat final apa tertera dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI TAHUN 1945 Dengan demikian putusan Mahkamah Konstitusi tidak bersifat mengikat pada saat diucapkan ,melainkan masih ada upaya lain mengenai akibat hukum pertanggungjawaban Presiden dan /atau Wakil Presiden. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memberhentikan Presiden dan wakil Presiden sebab dipilih dalam satu pasangan langsung oleh rakyat. Selain itu anggota-anggota Mahkamah Konstitusi diangkat oleh Presiden, dari calon yang diajukan oleh DPR, Mahkamah Agung dan Presiden sendiri. Oleh karena itu putusan Mahkamah Konstitusi disampaikan kepada MPR melalui DPR. Berdasarkan pada Pasal 3 ayat (3) UUD NRI tahun 1945 bahwa MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan /atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang maka MPR lah yang berwenang untuk memberikan keputusan terhadap usul DPR yang telah diperiksa, diadili dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota 219 DPR dan anggota DPD yang seluruhnya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Oleh karena itu, MPR wajib menyelenggarakan sidang istimewa untuk itu keputusan harus diambil dalam sidang Istimewa yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh minimal 2/3 dari jumlah yang anggota yang ditentukan oleh Pasal 7B hadir. Dalam hal ini UUDNRI Tahun 1945 disebutkan tata cara pemberhetian Presiden/dan atau Wakil Presiden diatur sebagai berikut: 1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. 2) Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. 3) Pengajuan permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. 4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. 5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. 6) MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut. 7) Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi 221 kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR Memperhatikan komposisi keanggotaan MPR sebagaian besar terdiri dari anggota DPR yakni 2/3 dari jumlah anggota MPR dan DPR mempunyai andil terhadap putusan Mahkamah Konstitusi ,dimana tiga orang hakim nya berasal dari DPR maka tidak sulit bagi MPR untuk menerima usulan DPR. Selain itu sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa Indonesia adalah Negara hukum dan kedaulatan rakyat dijalankan menurut UUD, maka MPR dalam memutus usul DPR tidak dapat melepaskan diri dari prinsip-prinsip Negara hukum.Berdasarkan pada prinsip ini maka dapat diprediksi jika MPR akan mengabulkan usulan DPR. Jika usul DPR diterima, bahwa presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau terbukti presiden dan atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden, maka presiden dan /atau wakil presiden diberhentikan. Jika usul DPR tidak diterima, maka presiden dan / atau wakil presiden terus menjabat. Secara yuridis penolakan penetapan APBN oleh DPR merupakan kelemahan atau kekurangan dari pada anggota DPR sendiri karena DPR tidak mempunyai kewenangan membuat Undang-Undang APBN, dan DPR tidak mempunyai data bank tentang keuangan negara terutama pemasukan sumbersumber keuangan negara serta pengeluaran program-program pembangunan dan lain-lain Pemerintah mengetahui mengenai seluk beluk keuangan negara serta pemakainya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Faktor kualitas anggota merupakan faktor penting dalam mengoptimalkan peran dan fungsi DPR. Peran dan fungsi yang lebih besar dari anggota DPR tidak akan mungkin dicapai bila para anggota lembaga tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Kualitas anggota DPR kita selama ini berada di bawah kualitas eksekutif karena, anggota DPR kita belum sepenuhnya dapat mengimbangi kemampuan pemerintah untuk melaksanakan fungsinya. Kualitas dimaksud ditinjau dari segi karier politik dan tingkat pendidikan formal. Dari hasil pengamatan pada sidang-sidang DPR misalnya pada saat rapat kerja komisi-komisi DPR dengan pemerintah, nampak kualitas para anggota DPR ini dalam berdiskusi, mengajukan pertanyaan kepada pemerintah belum sebagaimana diharapkan. Tuntutan bagi adanya kualitas yang tinggi bagi anggota DPR menghasilkan persyaratan untuk menjadi anggota DPR. Persyaratan itu adalah bahwa setiap anggota DPR haruslah mempunyai ciri-ciri intelektual. Anggota DPR adalah bagian dari elite politik yang tindak tanduknya selalu disorot. Oleh karena itu keberanian dan kemauan para anggota DPR harus didukung oleh kualitas yang tinggi. Tanpa ada kemampuan yang memadai, seorang anggota DPR akan mengalami kesulitan dalam berdialog 223 dan bertukar pikiran dengan pihak Eksekutif. Untuk menjadi seorang pemimpin politik, seseorang harus memenuhi syarat: kapasitas, ekseptabilitas dan popularitas. Akibatnya, banyak anggota DPR kita yang lebih berperan seperti seorang birokrat, yang berfikir bahwa harus dilayani rakyat, bukan sebaliknya.102 Dalam kondisi seperti itu jika anggota DPR dihadapkan dengan unsur eksekutif yang orang-orangnya telah mempunyai pengalaman selama bertahun-tahun dibidang tugasnya, maka dukungan wawasan, penguasaan materi pada data sesuai dengan materi Rancangan APBN, akan menghambat peran DPR untuk mempunyai prakarsa dalam penyusunan rancangan APBN. Dalam kondisi seperti ini lahirnya rancangan APBN untuk setiap tahun cenderung akan lebih mengandalkan pada prakarsa eksekutif sesuai dengan bidang tugasnya. Dengan kata lain keberadaan DPR dalam melaksanakan kewenangan dalam membentuk Rancangan APBN cenderung terbatas pada melakukan pembahasan setelah rancangan APBN tersebut diusulkan ke DPR dan mendapat kesepakatan untuk dibahas dalam rapat-rapat DPR. Selain itu, untuk dapat berperan lebih banyak dalam penyusunan rancangan APBN diperlukan kemampuan teknis perancang peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan ini, pihak eksekutif lebih mempunyai sumber daya manusia yang berpengalaman. 102 Riswandha Himawan, 1992, Peningkatan Peran Legislatif Ketatanegaraan, Jurusan FH UII, Yogyakarta, hal8 DPR Seminar BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Dari uraian pada bab-bab tersebut maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa ; 1. Sumber wewenang DPR ada pada sumber hukum formil yakni Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , bahwa setiap rancangan Undang-Undang APBN yang diajukan oleh Presiden akan dibahas bersama-sama DPR untuk mendapatkan persetujuan bersama artinya adanya kesepakatan untuk musyawarah mufakat dalam penetapan APBN merupakan wujud lahirnya Undang-Undang Keuangan Negara memberikan pemahaman filosofis yuridis sebagai bentuk penjelmaan kedaulatan rakyat. 2.Dalam Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , DPR memiliki fungsi legislasi fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan yang bersama-sama dengan DPR dan BPK yang mempunyai hubungan melakukan pemeriksaan pengelolaan keuangan negara, hasil dari pemeriksaan itu diserahkan kepada DPR dan DPD serta DPRD sedangkan oleh DPR hasil pemeriksaan tersebut untuk mengevaluasi APBN untuk tahun akan datang. 226 5.2. Saran 1. Terkait dengan penetapan APBN dalam pengelolaan keuangan negara perlu adanya tolok ukur peraturan perundangan-undangan tentang aspirasi rakyat yang terwakili oleh DPR. 2. Perlu adanya jaminan kepastian hukum dalam melakukan penegakan hukum yang dilakukan oleh aparatur negara dalam hal ini BPK terhadap banyaknya penyimpangan pengelolaan keuangan negara. dan pelanggaran dalam DAFTAR PUSTAKA BUKU A. Hamid S. Attamimi, 1992, Teori Perundang-undangan Indonesia, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada FH UI, Jakarta. Fadjar Mukthie A, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayu Media Publising, Malang. Keraf Sonny A , 1996, Pasar Bebas ,Keadilan dan Peran Pemerintahan Kanisius Yogyakarta. ZainiAbdullah , Peranan DPR Dalam Reformasi Pengelolaan Anggaran Negara, Jurnal Forum Inovasi Vol 5, Desember 2003. Gafar Afan , 2002, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Alfian & Sjamsuddin Nazaruddin (eds), 1988, Masa Depan Kehidupan Politik Indonesia, Rajawali Pers, Jakart Atmaja Arifin Soeria , 2009, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Tambunan ASS , 1998, Fungsi DPR RI Menurut Undang-Undang 1945 Suatu Studi Analisis Mengenai pengaturannya Tahun 1966 – 1997, Penerbit Sekolah tinggi Hukum Militer. Sarifudin Ateng , 1996, Butir-Butir Gagasan tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintah yang Layak. PT. Citra Aditya Bhakti Bandung. Atmadja I Dewa Gede, 2004, Sistem Pemilihan Langsung dan Pertanggungjawaban Kepala Daerah, Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali. Achir Azmy , 1976, Masalah Pengurusan Keuangan Negara Suatu Pengantar Teknis, ; CV Yulianti, Buku I Bandung. Marbun B.N, dkk, 2004, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Press Jogjakarta. Manan Bagir , 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan di Indonesia, Indonesia Co, Jakarta. Manan Bagir dan Magnar Kuntara , 1987, Peranan Peraturan Perundang- 228 Undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Armico, Bandung. Saragih Bintan R. , Peranan DPR GR Periode 1965 dalam Menegakkan Kehidupan Ketatanegaraan yang Konstitusional Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung. Bruggink.J.J.H, 1993, Rechtsreflecties Grondbegrippen rechtstheorie, Kluwer Deventer, Den Haag. uit de Buku Pedoman, 2003, Penulisan Penelitian Tesis Normatif, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar. Kansil C.S.T & Kansil Christine S.T. , 2006, Hukum Keuangan dan Penbendaharaan Negara, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Magins Franz -Suseno SJ, 1995, Mencari Sosok Demokrasi, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta. Husen La Ode , 2005, Hubungan Fungsi Pengawasan DPR Dengan Badan Pemeriksa Keuangan Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, CV. Utomo. Bandung. Hadjon Philipus, M.dkk., 2005, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Indroharto, 2006, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Saleh Ismail , 1995, "Pembinaan Cita Hunum dan Penerapan Asas- Asas hukum Nasional Sejak Orde Baru", Majalah Hukum Nasional, No.1 1995, Edisi Khusus, BPHN. Suny Ismail , 2004, Kedudukan MPR, DPR dan DPD Pasca Amandemen 1945, Fakultas Hukum Unair, Surabaya. Asshiddiqioe Jimly , 2004, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta Asshiddiqioe Jimly , 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Konstitusi, Press Jakarta. Poerbopranoto Koentjoro , 1987, Sistem Pemerintahan Demokrasi. Eresco. Bandung. Wheare K.C, 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, New York Toronto. Friedman Laurence M , 1969, The Legal System A Social Science Perspective, Russell Sage Foundation, New York. Budiardjo Miriam dan Ambong Ibrahim , (eds), 1993, Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia, Jakarta, Raja Grafndo Persada. Budiardjo Miriam , 1987, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Budiardjo Miriam , 2000, Dasar-Dasar Politik, Edisi Revisi, Ikrar Mandiri Abadi, Jakarta. Kusnardi Moh. dan Saragih Bintan.R. , 1998, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945, Gramedia, Jakarta. Kusnardi Moh. dan Ibrahim Harmaily ,1993, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti Jakarta. Mahfud Moh MD, 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Mahfud Moh. MD, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta. Mahfud Moh. MD, 2000, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Garna Media. Morissan, Hukum Tata Negara RI Era Reformasi, Penerbit Ramadina Prakarsa, Jakarta. Saidi Djafar Muhammad, 2008, Hukum Rajagrafindo Persada Jakarta.. Keuangan Negara, PT. Napitupulu Paiman , 2003, Peran dan Pertanggungjawaban DPR Kajian Di DPRD Provinsi, Jakarta, Universitas Padjajaran, Bandung. Hadjon Philipus M, 1998, Tentang Wewenang (bestuursbevoegheid), dalam “Pro Justitia”. Pemerintahan Himawan Riswandha, ,1992, Peningkatan Peran Legislatif Ketatanegaraan, Jurusan FH UII, Yogyakarta DPR Seminar Gautama,S, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Penerbit Alumni, Bandung. Saleh, K. Wantjik, 1974, Perkembangan Perundang-Undangan di Indonesia, Rhineka, Jakarta. 230 Sambutan Menteri Keuangan RI Boediono seusai DPR menyetujui RUU PPTJKN sebagai undang-undang di Sidang Paripurna DPR, Juni 2004. Rahardjo Satjipto , 1998, "Keleluasaan Reformasi Hukum", Artikel dalam Kompas, 8 Mei. Sigler.A.Jay, 1977, The Legal Sources of Public Policy, Lexington Books D.C Heath and Company Lexington, Massaehusetts Toronto. Soekarwo (2005), Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Primip-Prinsip Good Financial Governance. Surabaya: Airlangga University Press. Soekanto Soerjono ,1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Pres, Jakarta. Soekanto Soerjono , 2008, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Sumantri Sri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung. Strong CF, 2008, Konstitusi Politik Modern Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Bandung Suparmoko, 2003, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, BPFE, Yogyakarta. Yudhoyono Bambang Susilo , 2010, Dalam Pidato Pembukaan BDF bertajuk : Demokrasi Untuk Meningkatkan Perdamaian dan Stabilitas, Bali Post tanggal 10 Desember 2010. Mulyosudarmo Suwoto, 1997, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Kirom Syahrul , Melemahnya fungsi DPR Bali Post, Senin 28 Juni 2010.. Meyer Thomas , 2003, Demokrasi (Sebuah Pengantar Untuk Penerapan), Friedrich-Ebert-Stiftung, Kantor Perwakilan Indonesia. Pitu Andrianus Toni, 2006, Mengenai Teori Politik dari Sistem Politik Sampai Korupsi, Penerbit Nusa, Bandung. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Jo Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Keuangan Negara. Makalah/Artikel/Jurnal Abimanyu Anggito , 2004, Format Anggaran Terpadu Menghilangkan Tumpang Tindih, Kompas, Mei 2004. Sudarsono Dani, 2000, Interaksi Eksternal Auditor Pemerintah dan Internal Auditor Pemerintah: antara Harapan dan Kenyataan, (Makalah yang disampaikan dalam Seminar Reinventing Auditor Internal Pemerintah yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Akuntansi dan Keuangan, Jakarta 7 Juni) Gandhi, 2000, "Sistem Pemeriksaan Keuangan Negara," (Makalah yang disampaikan dalam lokakarya "Reformasi Sistem Pengelolaan Keuangan Negara, Jakarta, 17 Mei). Campbell Black Henry, 1999, Black’s Law Dictionary, 6 Ed, Paul Minn, West Publishing. Asshiddiqie Jimly , 2000, Institusi Kepresidenan Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Makalah), Jakarta. Asshiddiqioe Jimly, 2003, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945(Makalah) Disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar Bali. Majalah Wawasan Hukum, HAM dan Politik, 2006, Edisi XXXIII Th. III Minggu Kedua Desember Daud Nurhajati Sitti, 2003, The Role Of The Secretary General Of The Indonesian House Of Representatives in The Era Reform in 232 Indonesia, Geneva Meeting. Rasul Syahruddin , 2003, Pengintegrasian Sistem akuntabilitas Kinerja dan Anggaran Dalam Perspektif UU No.17/2003 tentang Prinsip Keuangan Negara, Jakarta. UsfunanYohanes, 1998, Kebebasan Berpendapat di Indonesia (Disertasi) Dalam Meraihgelar Doktor pada Program Pascasarjana UNAIR, Surabaya. Asshiddiqie Jimly ,2004,Kedudukan dan Peranan MK dalam Sistem Ketatanegaraan Pasca Amendemen UUD 1945 dalam Makalah Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia FH UNAIR Surabaya. http://unu.edu/unupress/unupbooks/uu15oe/uu15oe07.htm , Legislative Competence Order. http://codes.ohio.gov/orc/118.05, Financial Planning and Supervision Commission.