BAB 2 LANDASAN TEORI

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Manajemen Operasi.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai Statistical Process Control, maka akan
dibahas lebih dahulu mengenai apa yang dinamakan dengan manajemen operasi.
Apa yang sebenarnya yang dinamakan dengan mutu?. Mutu mempunyai
berbagaim macam definisi menurut para ahli :
1. Joseph M. Juran.
Mutu adalah kesesuaian produk dengan penggunaan.
2. William Edwards Deming.
Mutu harus bertujuan memenuhi kebutuhan pelanggan sekarang dan masa
mendatang.
3. Philip B. Crosby.
Mutu adalah kesesuaian dengan kebutuhan yang meliputi avaibility (kegunaan),
delivery (penyerahan), reliability (keandalan), maintainbility (pemeliharaan), dan
cost effectiveness (biaya efektifitas).
4. A.V. Fegenbaum
25
Mutu merupakan keseluruahan gabungan karakteristik produk dan jasa yang
meliputi marketing, engineering, manufacture, dan maintenance melalui mana
produk dan jasa, dalam pemakaian akan sesuai dengan harapan pelanggan.
Manajemen Operasi adalah serangkaian kegiatan yang membuat barang dan jasa
melalui perubahan dari masukan menjadi keluaran (Barry Render dan Jay Heizer,
2001).
Kegiatan membuat barang dan jasa terjadi disemua sektor organisasi. Kegiatan
memproduksi barang dan jasa sangat jelas terlihat di perusahaan manufaktur, dimana
kita dapat melihat pembuatan barang – barang nyata. Pengendalian mutu merupakan
salah satu sumbangsih yang paling nyata dari manajemen operasi.
Proses penggabungan kedua ilmu ini dilakukan oleh Walter Sheward ( 1924 ),
beliau menggabungkan pengetahuan yang dimilikinya tentang statistik dengan
pentingnya suatu pengendalian mutu, dan membuat suatu peta kendali mutu dari
produk yang diambil sebagai sampel. Ilmu manajemen operasi dapat terus
berkembang karena adanya bantuan disiplin ilmu lainnya termasuk teknik industri
dan ilmu manajemen. Disiplin ilmu ini, seiring dengan ilmu statistik, manajemen, dan
ekonomi telah banyak menyumbang untuk produktivitas yang lebih baik.
2.1.2 Manajemen Mutu.
Setelah sekilas mengenai manajemen operasi maka kini akan dilanjutkan dengan
ilmu manajemen mutu yang sesungguhnya. Mutu merupakan isu yang dominan pada
banyak perusahaan. Mutu melalui pemberdayaan dan
pengendalian mutu
26
menurunkan waktu pengembangan produk. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk
memfokuskan diri pada konsumen dan menjadi lebih andal dalam memenuhi
kebutuhan mereka.
Penentuan mutu merupakan hal yang penting dalam membangun dan mengelola
fungsi operasi. Mutu mempengaruhi seluruh organisasi, dari pemasok sampai
konsumen dan dari rancangan produk sampai aspek dalam pemeliharaan peralatan.
Produk dan jasa yang bermutu secara strategis penting bagi perusahaan dan negara
yang diwakilinya. Mutu dari produk suatu perusahaan, harga yang ditetapkan oleh
perusahaan, dan pemasokan barang yang membuat produk itu tersedia bagi konsumen
merupakan faktor – faktor yang mempengaruhi permintaan. Mutu terutama
mempengaruhi perusahaan dalam empat cara: (Barry Render dan Jay Heizer, 2001)
1. Biaya dan Pangsa Pasar.
Mutu yang ditingkatkan dapat mengarah kepada peningkatan pangsa pasar
dan penghematan biaya.
2. Reputasi Perusahaan .
Reputasi perusahaan mengikuti reputasi mutu yang dihasilkan buruk atau baik.
Mutu akan muncul bersamaan dengan persepsi mengenai produk baru
perusahaan, praktik – praktik penanganan pegawai, dan hubungannya dengan
pemasok. Mutu produk tidak dapat digantikan oleh promosi perusahaan.
3. Pertanggungjawaban produk.
Dalam kasus – kasus yang berkaitan dengan produk yang beredar di pasar,
pengadilan kini menganggap bahwa pihak – pihak yang harus memikul
27
tanggung jawab adalah seluruh pihak yang tercakup dalam rantai distribusi.
Dapat ditambahkan, perusahaan yang merancang dan memproduksi barang
atau jasa yang cacat dapat dianggap bertanggung jawab atas kerusakan dan
kecelakaan yang dihasilkan pemakaian barang dan jasa tersebut.
4. Implikasi Internasional.
Dalam era teknologi seperti sekarang ini, mutu merupakan perhatian
internasional dan perhatian operasi. Agar perusahaan dan juga negara dapat
bersaing secara efektif dalam perekonomian global, produknya harus
memenuhi mutu dan harga yang diinginkan. Produk yang bermutu rendah
membahayakan perusahaan dan bangsa, dan dapat mengakibatkan implikasi
dan negatif bagi neraca pembayaran.
Implikasi internsional dengan adanya standar mutu internasional juga mendorong
beberapa standar internasional yaitu, Jepang, Amerika, dan Masyarakat Eropa
mengembangkan standar mutunya. Manajemen Mutu menggambarkan penekanan
mutu yang memacu seluruh organisasi, mulai dari pemasok sampai konsumen.
Manajemen Mutu menekankan pada komintmen menjemen untuk memiliki keinginan
yang berkesinambungan bagi perusahaan untuk mencapai kesempurnaan di segala
aspek barang dan jasa yang penting bagi konsumen.
Membangun lingkungan manajemen mutu terpadu merupakan hal yang penting,
karena keputusan mengenai mutu mempengaruhi setiap tahap pembentukan dan
pengelolaan
operasi
yang
berkelas
internasional.
W.
Edwards
Deming
28
mengemukakan 14 langkah di dalam menerapkan perbaikan mutu, keempat belas
langkah itu adalah : ( Giltrow, Oppenheim, dan Oppenheim, 1999)
1. Ciptakan konsisten tujuan.
2. Arahkan untuk perubahan yang lebih baik.
3. Realisasikan mutu ke dalam produk ; hentikan ketergantungan pada
pemeriksaan yagn menemukan masalah.
4. Ciptakan hubungan jangka panjang yang berdasarkan kinerja sebagai ganti
dari pemberian penghargaan pada bisnis yang berdasarkan ukuran harga.
5. Lakukan perbaikan terus – menerus, baik pada produk maupun jasa.
6. Mulailah pelatihan karyawan.
7. Tekankan sikap kepemimpinan.
8. Hilangkan ketakutan.
9. Hilangkan hambatan – hambatan antar departemen.
10. Hindari pemberian nasehat tidak perlu pada karyawan.
11. Dukung, bantu, dan perbaiki.
12. Hilangkan perasaan bangga akan pekerjaannya.
13. Bentuk berbagai program pendidikan dan perbaikan diri.
14. Usahakan agar setiap orang di perusahaan bekerja dalam kegiatan perubahan
perusahaan .
Langkah – langkah tersebut dapat dikembangkan menjadi 5 konsep ( Giltrow,
Oppenheim, dan Oppenheim, 1999).
Kelima konsep tersebut adalah :
29
1. Perbaikkan terus menerus.
Manajemen Mutu yang terpadu memerlukan proses tanpa akhir yang disebut
perbaikan yang terus menerus, dimana kesempurnaan tidak pernah diperoleh
tetapi selalu dicari. Masyarakat Jepang menggunakan kata Kaizen untuk
menggambarkan proses perbaikan yang berkelanjutan ini, masyarakat
Amerika menggunakan kata MMT, zero-defects
( tanpa kerusakan
produk ),dan six sigma untuk menggambarkan usaha perbaikan yang
berkelanjutan yang mereka lakukan. Perbaikan yang terus menerus ini lebih
dikenal dengan metode PDSA atau Deming Cycle, terdiri dari :
•
Plan ( Merencakan ) : Tetapkan sasaran dan proses yang diperlukan
untuk menyerahkan hasil sesuai dengan persyaratan pelanggan dan
kebijakan organisasi.
•
Do ( Lakukan ) : Implementasikan prosesnya.
•
Check ( Periksa ) : Pantau dan ukur proses dan produk terhadap
kebijakan, sasaran dan persyaratan bagi produk dan laporkan hasilnya.
•
Act ( Tindaki ) : Lakukan tindakan perbaikan kinerja proses secara
berkesinambungan.
30
Keempat tindakan merupakan tindakan yang akan berjalan terus menerus, dan
saling bergantungan, tanpa adanya 1 dari 4 tindakan tersebut akan
menimbulkan ketidakseimbangan dalam mengotrol manajemen mutu yang
diterapkan.
2. Pemberdayaan Karyawan.
Pemberdayaan karyawan berarti manajemen perusahaan melibatkan karyawan
dalam setiap tahap proses produksi. Karena itu ada suatu literatur yang
mengemukakan bahwa 85 % masalah mutu itu berkaitan dengan bahan
pembentuk produk dan proses, dan bukan kinerja karyawan. Dengan demikian
itu, tugas yang harus diselesaikan adalah merancang peralatan dan proses
yang dapat menghasilkan mutu yang diinginkan. Hal ini dapat dilakukan
dengan melibatkan sebagian besar dari mereka untuk mengerti kelemahan dari
sistem yang telah ada. Teknik untuk membangun pemberdayaan karyawan
31
mencakup tindakan : (1) membentuk jaringan komunikasi yang melibatkan
karyawan, (2) mendorong penyelia untuk bersifat terbuka dan sebagai
motivator, (3) memindahkan tanggung jawab manajerial dan staf kepada para
karyawan bagian produksi, (4) membangun organisasi dengan sikap mental
tinggi, dan (5) menggunakan teknik – teknik formal seperti pembentukan tim
dan gugus kendali mutu ( gugus kendali mutu adalah kelompok yang terdiri
dari 6 sampai 12 karyawan, mereka secara suka rela mengadakan pertemuan
untuk memecahkan masalah – masalah yang berkaitan dengan pekerjaan ).
3. Pembandingan Kinerja ( Benchmarking )
Pembandingan kinerja merupakan elemen lain dari program Manajemen Mutu
suatu perusahaan. Pembandingan Kinerja ini mencakup seleksi standar kinerja
yang ada, yang mewakili kinerja proses atau kegiatan terbaik lain yang sangat
serupa dengan proses atau kegiatan pihak lain. Inti dari pembandingan kinerja
adalah
pengembangan
target
yang
akan
dicapai,
untuk
kemudian
mengembangkan suatu standar atau tolak ukur tertentu agar kita dapat
mengukur kenerja sendiri ( lewat pembandingan antara berbagai kinerja,
dengan prestasi kerja sendiri ). Langkah untuk mengembangkan tolak ukur ini
adalah sebagai berikut :
•
Tentukan apa yang akan dibandingkan.
•
Bentuk kelompok penentu tolak ukur.
•
Lakukan identifikasi atas kinerja pihak lain.
32
•
Kumpulkan dan analisis informasi mengenai kinerja tersebut.
•
Ambil tindakan untuk menyesuaikan atau melebihi kinerja pihak lain
tersebut.
Dalam situasi yang ideal akan ditemukan satu atau lebih organisasi yang
operasinya
serupa
dengan
organisasi
perusahaan.
Lalu
perusahaan
membandingkan kinerja perusahaan denga kinerja dari perusahaan lain.
Perusahaan yang dijadikan tolak ukur tidak perlu berkecimpung di industri
yang sama dengan perusahaan , bahkan untuk membentuk standar kelas dunia,
yang terbaik dilakukan adalah mencari perusahaan di luar industri yang
perusahaan geluti.
4. Penyediaan Kebutuhan yang Cukup pada Waktunya ( Just In Time )
Filsafat yang mendasari hal tersebut adalah pemikiran mengenai perbaikan
yang terus menerus dan pemecahan masalah yang cepat. Dengan cara tersebut
memaksa terciptanya mutu,baik pada pemasok maupun pada setiap tahap
proses manufaktur dan jasa, karena tidak ada persediaan yang dapat menyerap
variasinya. Sebagai konsekuensinya, sistem tersebut harus memproduksi mutu
tinggi. Karena teknik tersebut menghilangkan kemungkinan adanya variasi,
tidak ada lagi sisa material, pengerjaan ulang, investasi persediaan, dan
kegiatan yang tidak perlu dalam proses produksi / jasa.
5. Pengetahuan Mengenai Perangkat Manajemen Mutu
33
Karena ingin memberdayakan karyawan dalam impelmentasi Manajemen
Mutu, dan mengingat Manajemen Mutu merupakan usaha yang tidak ada
putus – putusnya, maka setiap orang dalam organisasi harus dilatih
menggunakan teknik – teknik Manajemen Mutu. Peralatan Manajemen Mutu
bermacam-macam dan semakin hari semakin bertambah.
2.1.3 Statistical Process Control.
Setelah melalui pembahasan yang panjang mengenai manajemen operasi dan
manajemen mutu maka sekarang akan dibahas mengenai apa yang dimaksud dengan
Statistical Process Control.
Proses Industri sendiri harus dipandang sebagai suatu perbaikan terus menerus
(continuous improvement), yang dimulai dari sederet siklus sejak adanya ide-ide
untuk menghasilkan suatu produk, pengembangan produk, proses produksi, sampai
distribusi kepada konsumen. Seterusnya berdasarkan informasi sebagai umpan balik
yang dikumpulkan dari pengguna produk itu (konsumen) kita dapat mengembangkan
ide-ide untuk menciptakan produk baru atau memperbaiki produk lama beserta proses
produksi yang ada saat ini.
Dr. William Edward Deming, seorang guru manajemen kualitas dari Amerika
Serikat, pada bulan Agustus 1950 dalam suatu konferensi dengan manajemen puncak
di Hotel de Yama, Mount Hakone, Jepang, memperkenalkan suatu diagram yang
memandang industri sebagai suatu sistem seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2.2.
34
Perbaikan performansi bisnis modern harus mencakup keseluruhan sistem industri
dari kedatangan material sampai penyerahan produk kepada konsumen dan desain
ulang produk (barang/jasa) untuk masa mendatang. Dalam organisasi jasa, sumbersumber A,B,C, dan D dalam gambar 2.2, dapat menjadi sumber-sumber data, atau
kerja dari operasi sebelumnya seperti dokumentasi-dokumentasi yang berkaitan
dengan permintaan konsumen, pembelian bahan baku dari pemasok, proses produksi,
tingkat inventori yang ada, perhitungan biaya, pengiriman produk ke distributor
sebagai konsumen antara atau ke konsumen akhir secara langsung dan lain – lain.
Konsep sistem industri yang dikemukakan oleh Deming kemudian lebih dikenal
sebagai “Roda Deming” (Deming’s Wheel) seperti ditunjukkan pada gambar 2.3.
35
Statistical Process Control atau SPC merupakan salah satu cabang ilmu turunan
dari Statistical Quality Control (SQC), Statistical Process Control (SPC) adalah suatu
terminologi yang mulai digunakan sejak tahun 1970-an untuk menjabarkan
pengunaan teknik-teknik statistikal (statistical techniques) dalam memantau dan
meningkatkan performansi proses menghasilkan produk berkualitas. Pada tahun
1950-an samapai 1960-an digunakan terminologi Pengendalian Kualitas Statistikal
(Statistical Qualtity Control) yang memiliki pengertian yang sama dengan SPC.
Pengendalian kualitas merupakan aktivitas teknik dan manajemen, melalui mana
kita
mengukur
karakteristik
kualitas
dari
output
(barang/jasa),
kemudian
membandingkan hasil itu dengan spesifikasi output yang diinginkan oleh pelanggan,
serta mengambil tindakan perbaikan yang tepat apabila ditemukan perbedaan antara
perfomansi aktual dan standar.
36
Berdasarkan uraian diatas, kita boleh mendefinisikan pengendalian proses
statistikal (SPC) sebagai suatu metodologi pengumpulan dan analisis data kualitas,
serta penentuan dan interpretasi pengukuran-pengukuran yang menjelaskan tentang
proses dalam suatu sistem industri, untuk meningkatkan kualitas dari output guna
memenuhi kebutuhan dan ekspetasi pelanggan. Dalam SPC terminologi kualitas
diartikan sebagai konsistensi peningkatan atau perbaikan dan penurunan variasi
karakteristik dari suatu produk (barang/jasa) yang dihasilkan, agar memenuhi
kebutuhan yang dispesifikasikan, guna meningkatkan kepuasan pelanggan internal
maupun eksternal.
Berdasarkan dari terminologi kualitas yang telah disampaikan maka mutu menurut
SPC adalah bagaimana baiknya suatu output (barang/jasa) itu memenuhi spesifikasi
dan toleransi yang ditetapkan oleh bagian desain dari suatu perusahaan.
2.1.4 Performansi Kualitas
Pada dasarnya pengukuran performansi kualitas dapat dilakukan pada tiga tingkat
yakni tingkat proses (process level), tingkat output (output level), dan tingkat
outcome (outcome level). Pengendalian Proses Statistikal (SPC) dapat diterapkan
pada ketiga tingkat pengukuran performansi kualitas itu. Ketiga pengukuran
performansi kualitas tersebut adalah :
1. Pengukuran pada tingkat proses, yang mengukur setiap langkah atau aktifitas
dalam proses dan karakteristik input yang diserahkan oleh pemasok (supplier)
yang mengendalikan karakteristik output yang diinginkan. Tujuan dari
37
pengukuran tingkat ini adalah mengidentifikasikan perilaku yang mengatur setiap
langkah dalam proses, dan menggunakan ukuran-ukuran itu untuk mengendalikan
operasi serta memperkirakan output yang akan dihasilkan sebelum output itu
diproduksi atau diserahkan pada pelanggan. Beberapa contoh ukuran pada tingkat
proses yang menggambarkan performansi kualitas adalah: lama waktu menjawab
penggilan telepon, banyaknya penggilan telepon yang tidak dikembalikan ke
pelanggan, konformansi terhadap waktu penyerahan yang dijanjikan, persentase
material cacat yang diterima dari pemasok, siklus waktu produk (product cycle
times), banyaknya inventori barang setengah jadi (work-in-process inventory), dll.
2. Pengukuran pada tingkat output, yang mengukut karakteristik output yang
dihasilkan dibandingkan terhadap spesifikasi karakteristik yang diinginkan
pelanggan. Beberapa contoh ukuran pada tingkat output adalah banyaknya unit
produk yang tidak memenuhi spesifikasi tertentu yang ditetapkan (banyak produk
cacat), tingkat efektivitas dan efisiensi produksi, karakteristik kualitas dari produk
yang dihasilkan, dll.
3. Pengukuranh pada tingkat outcome, yang mengukur bagaimana baiknya suatu
produk memenuhi kepuasan pelanggan dalam mengkonsumsi produk yang
diserahkan. Pengukuran pada tingkat outcome merupakan tingkat tertinggi dalam
pengukuran performansi kualitas. Beberapa contoh ukuran pada tingkat outcome
adalah: banyaknya keluhan pelanggan yang diterima, banyaknya produk yang
dikembalikan oleh pelanggan, tingkat ketepatan waktu penyerahan produk tepat
waktu sesuai dengan waktu yang dijanjikan.
38
Bagaimanapun, pengukuran performansi kualitas yang akan dilakukan seharusnya
mempertimbangkan setiap aspek dari proses operasional yang mempengaruhi
persepsi pelanggan tentang nilai kualitas. Melalui suatu survei pendahuluan yang
bersifat eksploratif dapat diidentifikasikan semua atribut dan variabel dari produk
yang menentukan kepuasan pelanggan dan persepsi pelanggan tentang nilai kualitas
dari produk itu.
Perlu dikemukakan bahwa terminologi atribut mendefinisikan feature atau
karakteristik dari produk yang tidak dapat diukur dengan menggunakan skala
pengukuran
rasio,
misalnya:
atribut-atribut
kebersihan,
kemulusan,
warna,
penampilan, dll. Data atribut sering disebut sebagai data kualitatif dan bersifat diskrtit.
Sedangkan terminologi variabel dari produk mendefinisikan karakteristik produk
yang dapat diukur menggunakan skala ukuran rasio yang memiliki titik nol dalam
skala pengukuran itu. Data variabel ini sering disebut sebagai data kuantitatif dan
bersifat kontinu. Selanjutnya atribut-atribut dan variabel-variabel dari produk inilah
yang kemudian merupakan basis dari pengendalian proses statistikal.
2.1.5 Definisi Tentang Proses dan Manajemen Proses
Suatu proses dapat didefinisikan sebagai integrasi sekuential dari orang, material,
metode, dan mesin atau peralatan, dalam suatu lingkungan guna menghasilkan nilai
tambah output untuk pelanggan, dalam suatu lingkungan guna menghasilkan nilai
tambah output untuk pelanggan. Suatu proses mengkonversi input terukur ke dalam
nilai tambah output terukur melalui sejumlah langkah sekuensial yang terorganisasi.
39
Terdapat empat kelompok orang yang terlibat dalam operasi proses yaitu:
1. Pelanggan (Customers), yaitu orang yang akan menggunakan output
secara langsung (disebut sebagai pelanggan eksternal) atau orang yang
akan menggunakan output itu sebagai input dalam proses kerja mereka
(disebut sebagai pelanggan internal).
2. Kelompok kerja (work group), yaitu orang-orang yang bekerja dalam
proses untuk menghasilkan dan menyerahkan output yang diinginkan
itu.
3. Pemasok (supplier), yaitu orang yang memberikan input ke proses
kerja. Orang-orang yang bekerja dalam proses pada kenyataannya
merupakan pelanggan dari pemasok.
4. Pemilik proses (process owner), yaitu orang yang bertanggung jawab
untuk operasi dari proses dan untuk perbaikan proses itu.
Seperti yang telah diketahui pelanggan adalah orang yang mendefinisikan output
yang diinginkan dari proses. Hal ini diperoleh melalui dua kategori informasi yang
mengalir dari pelanggan ke kelompok kerja. Kategori pertama dari informasi adalah
kebutuhan pelanggan, yang merupakan suatu deskripsi dari apa yang diinginkan,
dibutuhkan, atau yang diharapkan oleh pelanggan. Kebutuhan pelanggan ini akan
mendikte apa yagn proses harus menghasilkan dan menyerahkannya. Kategori kedua
dari informasi ini adalah umpan-balik (feedback), yaitu suatu keterangan tentang
bagaimana baik dan jeleknya suatu output yang diserahkan dalam perbandingannya
terhadap ekspetasi pelanggan. Umpan-balik ini merupakan signal utama untuk
40
perbaikan proses pada operasi yang akan datang. Aliran informasi dan produk dengan
pemasok kelihatan sebagai suatu cermin citra dari proses yang digunakan untuk
menghubungkan kelompok kerja dengan pelanggannya.
Konsep dari manajemen proses berkaitan dengan perbaikan kualitas. Gabriel Pall
(1987) mengidentifikasikan enam komponen yang penting untuk manajemen proses
yaitu:
1. Kepemilikan, menugaskan tanggung jawab untuk desain, operasi, dan
perbaikan proses.
2. Perencanaan, menetapkan suatu pendekatan terstruktur dan terdisiplin untuk
mengerti, mendefinisikan, dan mengdokumentasikan semua komponen utama
dalam proses dan hubungan antar-komponen tersebut.
3. Pengendalian, menjamin efektivitas, dimana semua output dapat diperkirakan
dan konsisten denan ekspetasi pelanggan.
4. Pengukuran, memetakan performansi atribut dan variabel dari produk
terhadap kebutuhan pelanggan dan menetapkan kriteria untuk akurasi, presisi,
dan frekuensi perolehan data.
5. Perbaikan atau peningkatan, meningkatkan efektivitas dari proses melalui
perbaikan-perbaikan yang diidentifikasikan secara tetap.
6. Optimisasi, meningkatkan efisiensi dan produktivitas melalui perbaikanperbaikan yang diidentifikasikan secara tetap.
Keenam komponen di atas merupakan landasan untuk keberhasilan manajemen
dari suatu proses apa saja. Komponen-komponen itu dibutuhkan untuk proses kerja
41
yang menghasilkan dan menyerahkan produk ke pelanggan, untuk proses yang
menspesifikasikan kebutuhan dan kepuasan sepanjang rantai pelanggan-pemasok
(customer-supplier chain), dan untuk proses yang mendukung pekerja dalam
pekerjaan mereka.
Setiap organisasi dapat mengidentifikasikan proses kunci yang mempengaruhi
keberhasilannya. Kita dapat menggunakan enam pertanyaan berikut untuk membantu
dalam mengidentifikasikan proses kunci yang memiliki dampak terbesar pada
pelanggan, yaitu:
1. Produk apa yang terpenting bagi pelanggan?
2. Proses apa yang menghasilkan produk ini?
3. Komponen atau faktor kunci apa yang merangsang tindakan dalam organisasi,
dan proses apa yang mengkonversi rangsangan ini menjadi output?
4. Proses mana yang memiliki visibility tertinggi dengan pelanggan?
5. Proses mana yang memiliki dampak terbesar terhadap standar performansi
yang dikendalikan pelanggan (customer-driven performance standarts).
6. Proses mana berdasarkan data performansi memiliki potensi terbesar untuk
perbaikan?
Apabila proses kunci telah dapat diidentifikasi, perbaikan sistematik dan terusmenerus dapat dimulai. Jawaban terhadap keenam pertanyaan di atas dapat saja
berbeda untuk setiap organisasi, tergantung pada aktivitas bisnis yang dilakukan.
42
2.1.6 Sistem Pengendalian Proses.
Secara tradisional, para pembuat produk (manufacturers) biasanya melakukan
inspeksi terhadap produk setelah produk itu selesai dibuat dengan jalan menyortir
produk yang baik dari yang jelek, kemudian mengerjakan ulang bagian-bagian
produk yang cacat itu. Dengan demikian pengertian tradisional tentang konsep
kualitas hanya berfokus pada aktivitas inspeksi untuk mencegah lolosnya prosukproduk cacat ke tangan pelanggan. Kegiatan inspeksi ini dipandang dari perspektif
sistem kualitas modern adalah sia-sia, karena tidak memberikan kontribusi kepada
peningkatan kualitas.
Pada masa sekarang, pengertian dari konsep kualitas adalah lebih luas daripada
sekadar aktivitas inspeksi yang mengandalkan pada strategi pendeteksian (startegy of
detection). Pengertian modern dari konsep kualitas adalah membangun sistem
kualitas modern, yang salah satu strateginya adalah berorientasi pada strategi
pencegahan (strategy of pervention). Berkaitan dengan hal ini perlu dibangun suatu
sistem pengedalian proses sebagai implementasi dari strategi pencegahan dalam
sistem kualitas modern itu. Model sistem pengendalian proses dengan umpan-balik
ditunjukkan dalam gambar berikut:
43
Dari gambar diatas tampak bahwa sistem pengendalian proses dapat digambarkan
sebagai suatu sistem umpan balik (feedback system). Pengendalian proses statistikal
merupakan suatu tipe dari sistem umpan balik. Terdapat empat hal penting yang harus
diperhatikan dalam sistem pengendalian proses, yang akan dikemukakan secara
singkat berikut ini:
1. Proses. Melalui proses semua input bekerja menghasilkan output berkualitas
yang selanjutnya diserahkan kepada pelanggan agar memenuhi kebutuhan dan
ekspetasi dari pelanggan itu. Performandi total dari proses tergantung pada
komunikasi di antara pemasok dan pelanggan, dimana proses didesain dan
diimplementasikan
berdasarkan
informasi
kebutuhan
dan
ekspektasi
44
pelanggan, yang selanjutnya dioperasionalkan dan dikelola oleh pihak
manajemen bisnis total.
2. Informasi tentang Performansi. Kebanyakan informasi tentang performansi
aktual dari proses dapat diperoleh dengan mengkaji output dari proses itu.
Agar memperoleh informasi yang bermanfaat tentang proses, bagaimanapun
pihak manajemen bisnis total harus memahami proses itu sendiri beserta
dengan variabel internalnya.
3. Tindakan pada proses. Tindakan pada proses akan menjadi ekonomis apabila
tindakan-tindakan itu diambil untuk mencegah karakteristik penting dari
proses atau output yang bervariasi atau menyimpang terlalu jauh dari nilainilai terget yang telah ditetapkan. Tindakan ini untuk mempertahankan
kestabilan dan variasi dari output proses dalam batas-batas yang dapat
diterima (acceptable limit).
4. Tindakan pada output. Tindakan pada output akan menjadi kurang ekonomis
apabila tindakan itu semata-mata dimaksudkan untuk mendeteksi dan
memperbaiki produk yang berada di luar spesifikasi yang telah ditetapkan,
tanpa mengkaji secara dalam masalah-masalah
dalam proses pembuatan
output itu.
2.1.7 Definisi Variasi dalam Konteks SPC
Dalam konteks pengendalian proses statistikal, penting juga untuk mengetahui
bagaimana suatu proses itu bervariasi dalam menghasilkan output sehingga dapat
45
diambil tindakan-tindakan perbaikan terhadap proses itu secara tepat. Variasi adalah
ketidakseragaman dalam sistem produksi atau opersional sehingga menimbulkan
perbedaan dalam kualitas output (barang/jasa) yang dihasilkan. Pada dasarnya dikenal
dua sumber atau penyebab timbulnya variasi, yang diklarifikasikan sebagai berikut:
1. Variasi Penyebab-Khusus adalah kejadian-kejadian di luar sistem yang
mempengaruhi variasi dalam sistem. Penyebab khusus dapat bersumber dari
faktor-faktor: manusia, peralatan, material, lingkungan, metode kerja, dll.
Penyebab khusus ini mengambil pola-pola nonacak sehingga dapat
diidentifikasikan/ditemukan, sebab mereka tidak selalu aktif dalam proses
tetapi memiliki pengaruh yang lebih kuat pada proses sehingga menimbulkan
variasi. Dalam konteks pengendalian proses statistikal menggunakan peta-peta
kendali atau kontrol, jenis variasi ini sering ditandai dengan titik-titik
pengamatan yagn melewati atau keluar dari batas-batas pengendalian yang
didefinisikan.
2. Variasi Penyebab-Umum adalah faktor-faktor di dalam sistem atau yang
melekat pada proses yang menyebabkan terjadinya variasi dalam sistem serta
hasil-hasilnya. Penyebab umum sering disebut juga sebagai penyebab acak
(random causes) atau penyebab sistem (system causes). Karena penyebab
umum ini selalu melekat pada sistem, untuk menghilangkannya kita harus
menelusuri elemen-elemen dalam sistem itu dan hanya pihak manajemen yang
dapat memperbaikinya, karena pihak menejemenlah yang mengendalikan
sistem
itu.
Dalam
konteks
pengendalian
proses
statistikal
dengan
46
menggunakan peta-peta kendali atau kontrol (control charts), jenis variasi ini
sering ditandai dengan titik-titik pengamatan yang berada dalam batas-batas
pengendalian yang didefinisikan.
2.1.8 Pengendalian Proses dan Kapabilitas Proses.
Pada dasarnya sasaran dari sistem pengendalian proses adalah membuat
keputusan-keputusan yang ekonomis berkaitan dengan tindakan-tindakan yang
diambil untuk mempengaruhi proses. Suatu proses dikatakan beroperasi dalam
pengendalian statistikal apabila variasi-variasi yagn timbul hanya bersumber dari
variasi penyebab-umum. Fungsi utama dari sistem pengendalian proses adalah
memberikan signal statistikal apabila terdapat variasi penyebab-khusus dalam proses
itu, dan tentu saja untuk menghindarkan memberikan signal yang salah apabila
variasi penyebab khusus itu tidak ada dalam proses.
Dalam membicarakan tentang kapabilitas proses, perlu dipertimbangkan dua
konsep yang berbeda berikut ini:
1. Kapabilitas Proses ditentukan oleh variasi yang bersumber dari variasi
penyebab-umum.
Secara
umum
kapabilitas
proses
menggambarkan
performansi terbaik (misalnya range minimum) dari proses itu sendiri.
Dengan demikian kapabilitas proses berkaitan dengan variasi proses tanpa
memperdulikan di mana spesifikasi (didefinisikan sebagai kebutuhan
pelanggan) itu berada berkaitan dengan lokasi dan/atau range dari proses.
47
2. Pelanggan (Internal atau Eksternal) biasanya lebih memperhatikan output
secara keseluruhan dari proses dan bagaimana output itu memenuhi kebutuhan
mereka (didefinisikan sebagai spesifikasi), tanpa memperdulikan variasi dari
proses.
Karena suatu proses dalam pengendalian statistikal secara umum digambarkan
melalui suatu distribusi yang dapat diperkirakan, proporsi dari parts dalam spesifikasi
(in-spesification parts) dapat diperkirakan dari distribusi ini. Sepanjang proses berada
dalam pengendalian statistikal dan tidak berubah dalam lokasi, range, atau bentuk,
maka itu akan menghasilkan parts yang spesifikasi (in-spesification parts) dengan
distribusi yang sama.
Tindakan pertama pada proses harus melokalisasikan proses pada nilai target
(target values) yang merupakan kebutuhan pelanggan (didefinisikan sebagai
spesifikasi produk). Setelah itu apabila range dari proses masih belum dapat diterima
misalnya masih terdapat sejumlah minimum parts yang diluar spesifikasi (out-ofspesification parts) yang diproduksi, maka pihak manajemen industri harus
mengambil tindakan pada sistem melalui mengurangi variasi yang bersumber dari
variasi penyebab-umum, yang biasanya diperlukan untuk meningkatkan kapabilitas
proses beserta outputnya untuk memenuhi spesifikasi (kebutuhan pelanggan) secara
konsisten. Dengan demikian pihak manajemen industri pertama kali harus membawa
proses ke dalam pengendalian statistikal dengan mendeteksi dan mengambil tindakan
terhadap
variasi-variasi
penyebab-khusus.
Setelah
itu
performansi
proses
diperkirakan, dan kapabilitas proses untuk memenuhi kebutuhan dan ekspektasi
48
pelanggan dievaluasi. Langkah-langkah ini merupakan basis untuk perbaikan proses
terus-menerus.
Setiap proses pada dasarnya dapat diklasifikasikan berdasarkan pada aspek
pengendalian dan kapabilitas (capabilicity and control aspects), seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2.3.
Pada gambar 2.5 tampak bahwa setiap proses dapat diklasifikasikan ke dalam satu
atau empat kasus. Agar suatu proses dapat diterima, proses itu harus berada dalam
pengendalian statistikal dan variasi yang melekat pada proses itu (kapabilitas) harus
lebih kecil daripada toleransi yang ditetapkan. Situasinya ideal apabila proses itu
berada dalam kasus 1, dimana proses itu berada dalam pengendalian statistikal dan
kapabilitas untuk memenuhi kebutuhan atau spesifikasi pelanggan dapat diterima .
Kasus 2 menunjukkan bahwa proses berada dalam pengendalian tetapi mempunyai
kelebihan variasi penyebab-umum, sehingga variasi penyebab umum itu harus
dikurangi. Kasus 3 menunjukkan proses yang mampu memenuhi kebutuhan atau
49
spesifikasi, tetapi tidak berada dalam pengendalian. Dalam kasus 3, variasi penyebabkhusus harus diidentifikasi dan diambil tindakan yang tepat untuk menghilangkan
variasi penyebab-khusus itu. Kasus 4 menunjukkan bahwa proses tidak berada dalam
pengendalian, demikian pula kapabilitas untuk memenuhi spesifikasi pelanggan tidak
dapat diterima . Tindakan korektif yang harus dilakukan oleh pihak manajemen
industri adalah menghilangkan variasi penyebab-khusus dan mengurangi variasi
penyebab-umum.
Praktek-praktek yang dapat diterima dalam dunia industri adalah bahwa
kapabilitas proses baru dihitung dan dipergunakan hanya jika proses itu berada dalam
keadaan pengendalian statistikal. Kapabilitas digunakan sebagai landasan untuk
perkiraan bagaimana proses akan beroperasi berdasarkan data statistik yang akan
dikumpulkan dari proses itu.
2.1.9 Langkah-Langkah Perbaikan Proses.
Berdasarkan dari beberapa permasalahan dan kasus yang muncul maka timbul
pula suatu solusi yang berupa perbaikan proses. Tenner dan DeToro (1992)
mengemukakan suatu model perbaikan proses yang terdiri dari enam langkah, sebagai
berikut:
1. Mendefinisikan Masalah Dalam Konteks Proses.
Model perbaikan proses dimulai dari penetapan atau spesifikasi sistem
mana yang terlibat, agar usaha-usaha dapat terfokus pada proses dan bukan
pada output. Aktivitas spesifik dalam langkah 1 ini adalah:
50
1.1 Identifikasi Output.
1.2 Identifikasi Pelanggan.
1.3 Definisi Kebutuhan Pelanggan.
1.4 Identifikasi Proses Yang Menghasilkan Output Ini.
1.5 Identifikasi Pemilik Proses.
2. Identifikasi dan Dokumentasi Proses.
Diagram alir (flowchart) merupakan alat yang umum dipergunakan untuk
mendeskripsikan proses. Pembuatan diagram alir dari proses akan
memungkinkan kita untuk melakukan empat aktivitas perbaikan berikut:
2.1 Mengidentifikasikan peserta (participants) dalam proses, berdasarkan
nama, posisi, atau organisasi.
2.2 Memberikan kepada semua peserta dalam proses suatu pemahaman
umum tentang semua langkah dalam proses dan peranan individual
mereka.
2.3 Mengidentifikasikan inefisiensi, pemborosan, dan langkah-langkah
redundant (berlebihan atau tidak perlu) dalam proses.
2.4 Menawarkan suatu kerangka kerja untuk mendefenisikan pengukuran
proses.
Proses yang teridentifikasi harus didokumentasikan secara baik agar
dapat dipergunakan sebagai bahan informasi yang berguna dalam
perbaikan proses secara terus-menerus.
3. Mengukur Performansi.
51
Pengukuran performansi dimaksudkan untuk dapat mengkuantifikasikan
bagaimana baik atau jelek suatu sistem sedang berjalan atau beroperasi.
Ukuran-ukuran performansi harus didefinisikan dan dievaluasi dalam
konteks ekspektasi pelanggan, dengan kata lain setiap ukuran performansi
yang dipergunakan harus mengacu kepada ekspektasi pelanggan. Pada
dasarnya pengukuran performansi dapat dilakukan pada tiga tingkat, yaitu:
proses, output, dan outcome. Ukuran-ukuran proses mendefinisikan aktivitas,
variabel, dan operasi dari proses kerja itu sendiri. Ukuran-ukuran output
mendefinisikan features spesifik, nilai-nilai, dan atribut dari setiap produk
yang dapat diuji dari dua sisi. Sisi pertama berkaitan dengan karakteristik
output yang diinginkan oleh pelanggan (kebutuhan pelanggan) dan sisi
kedua merupakan karakteristik output yang secara aktual diserahkan oleh
proses (kapabilitas proses). Kebutuhan pelanggan sering disebut sebagai
suara dari pelanggan (voice of customer), sedangkan kapabilitas proses
sering disebut sebagai suara dari proses (voice of process). Ukuran-ukuran
outcome yang mendefinisikan dampak absolut dari proses dan tergantung
pada
kepuasan
pelanggan.
Dengan
demikian
kepuasan
pelanggan
merupakan ukuran kunci dari outcome.
4. Memahami Mengapa Suatu Masalah dalam Konteks Proses Terjadi?
Ketiadaan data menimbulkan kesulitan untuk memahami mengapa suatu
sistem berjalan seperti itu sehingga performansinya tidak sesuai dengan
yang diharapkan. Masalah adalah deviasi atau penyimpangan yang terjadi
52
antara performansi yang diharapkan (sasaran) dan performansi aktual (hasil
aktual). Untuk memahami mengapa suatu masalah terjadi dan agar langkahlangkah menuju perbaikan proses menjadi efektif dan efisien, kita dapat
mengajukan tiga pertanyaan dasar berikut:
•
Apa yang menjadi area utama (masalah utama) dalam proses itu?
•
Apa yang menjadi akar penyebab dari masalah dalam proses itu?
•
Apa yang menjadi sumber variasi dari proses itu?
Pertanyaan pertama dapat dijawab dengan Prinsip Pareto, yang
menyatakan bahwa sekitar 80% dari masalah disebabkan oleh 20% dari
penyebab.Vilfredo Pareto, seorang ahli ekonomi Italia pada abad ke-19
menemukan bahwa bagian terbesar dari kesejahteraan dimiliki oleh
beberapa orang saja, sehingga menimbulkan maldistribusi kesejahteraan.
Kunci perbaikan proses pertama kali adalah mengidentifikasikan area utama
(masalah utama) dan memfokuskan perhatian pada masalah utama itu.
Pertanyaan kedua dapat dijawab dengan menggunakan diagram sebabakibat (cause-and-effect diagram) atau bertanya mengapa lima kali (five
whys).
Untuk menjawab pertanyaan ketiga tentang apa yang merupakan sumber
variasi dari proses itu?, kita perlu memahami jenis-jenis variasi yang ada.
5. Mengembangkan dan Menguji ide-ide.
53
Empat langkah terdahulu (langkah 1 sampai 4) membangun kerangka
dasar untuk memahami dimensi kritis dari proses, dengan jalan
mengidentifikasi proses kunci, mengukur bagaimana baik atau jelek proses
itu beroperasi, dan memahami mengapa proses itu beroperasi dengan
caranya sendiri sehingga menimbulkan masalah. Keempat langkah itu
membantu kita untuk mengidentifikasikan penyebab-penyebab dari masalah
utama. Pengembangan ide-ide untuk perbaikan proses dimulai dari langkah
kelima. Ide-ide untuk perbaikan proses harus ditujukan langsung pada akar
penyebab masalah. Agar ide-ide yang dipilih untuk perbaikan proses itu
menjadi efektif, ide-ide itu perlu diuji terlebih dahulu sebelum ide-ide
tersebut diimplementasikan. Eksperimentasi dari ide-ide itu akan membantu
menghindari kegagalan pada waktu ide-ide tersebut diimplementasikan
dalam
proses.
Dengan
demikian
langkah
5
ini
berusaha
untuk
mengembangkan dan menguji ide-ide untuk perbaikan proses melalui suatu
eksperimentasi, sebelum ide-ide terpilih itu diimplementasikan.
6. Implementasi Solusi dan Evaluasi.
Langkah keenam dalam model perbaikan proses ini dimulai melalui
perencanaan dan implementasi perbaikan-perbaikan yang diidentifikasikan
dan diuji dalam langkah 5. Langkah 6 melanjutkan untuk mengukur dan
mengevaluasi efektivitas dari proses yang diperbaiki itu. Berdasarkan
informasi ini, kemudian dijadikan umpan-balik untuk melaksanakan
perbaikan proses selanjutnya, sehingga akan diperoleh suatu perbaikan
54
proses secara terus-menerus (continuous process improvement). Apabila
keenam langkah dalam model perbaikan proses di atas digambarkan akan
tampak seperti gambar 2.6 berikut ini:
2.1.10 Definisi tentang Data dalam Konteks SPC
Data adalah catatan tentang sesuatu, baik yang bersifat kualitatif maupun yang
bersifat kuantitatif yang dipergunakan sebagai petunjuk untuk bertindak. Berdasarkan
55
data, kita mempelajari fakta-fakta yang ada dan kemudian mengambil tindakan yang
tepat berdasarkan pada fakta itu. Dalam konteks pengendalian proses statistikal
dikenal dua jenis data, yaitu:
•
Data Atribut, yaitu data kualitatif yang dapat dihitung untuk pencacatan dan
analisis. Contoh dari data attribut karakteristik kualitas adalah: ketiadaan label
pada kemasan produk, kesalahan proses administrasi buku tabungan nasabah,
banyaknya jenis cacat pada produk, banyaknya produk kayu lapis yang cacat
karena corelap, dll. Data atribut biasanya diperoleh dalam bentuk unit-unit
nonkonformans atau ketidaksesuaian dengan spesifikasi atribut yang
ditetapkan.
•
Data Variabel, merupakan data kuantitatif yang diukur untuk keperluan
analisis. Contoh dari data variabel kuantitas adalah: diameter pipa, ketebalan
produk kayu lapis, berat semen dalam kantong, banyaknya kertas setiap rim,
konsentrasi elektrolit dalam persen, dll. Ukuran-ukuran berat, panjang, lebar,
tinggi, diameter, volume biasanya merupakan data variabel.
2.1.11 Tujuan Pengumpulan Data
Dalam pengendalian proses statistikal untuk meningkatkan kualitas, pengumpulan
data bertujuan untuk:
•
Memantau dan mengendalikan proses.
•
Menganalisis hal-hal yang tidak sesuai.
56
•
Inspeksi.
Dalam kegiatan pengendalian data perlu diperhatikan beberapa hal berikut:
•
Definisikan tujuan pengumpulan data secara jelas.
•
Identifikasi jenis data (variabel atau atribut) yang akan dikumpulkan.
•
Gunakan alat ukur yang dapat diandalkan untuk menjamin keandalan
pengukuran.
•
Tentukan cara yang tepat untuk mencatat data. Data asli harus dicatat secara
jelas, misalnya: waktu pencacatan, asal data, nama pencatat data, dll.
•
Buatlah formulir pencatatan data yang memudahkan untuk penggunaan
selanjutnya.
2.2 Kerangka Pemikiran.
Pembahasan mengenai topik ini didasarkan pada observasi yang dilakukan selama
hampir 2 bulan dilapangan. Pengawasan akan suatu produk cacat menjadi hal yang
penting, dikarenakan mutu dari suatu produk kadangkala menjadikan suatu
perusahaan tersebut makin berkembang atau malah semakin terperosok. Pengendalian
secara teratur dan tersistematika akan menghasilkan suatu pengawasan yang lebih
gampang dan ketat akan suatu produk. Pengendalian dengan sistem SPC lebih
memungkinkan pengawasan yang lebih menyeluruh terhadap keseluruhan dari proses
tersebut dan bukan hanya terpaku satu bagian saja.
57
Pemilihan akan topik tersebut juga didasarkan pada kebutuhan dari pihak
perusahaan, yakni beredarnya sejumlah pernyataan yang menyatakan bahwa produk
dari perusahaan merupakan produk yang paling rendah kualitasnya, jika
dibandingkan dengan produk-produk serupa dari merek lain. Gambaran tersebut
sejujurnya merupakan hal yang sangat membingungkan, hal ini disebabkan dari
observasi yang dilakukan memperlihatkan bahan baku yang digunakan oleh
perusahaan lain, memiliki keidentikan yang sama dengan bahan baku yang
dipergunakan oleh perusahaan, kemudian dari beberapa proses yang dilakukan juga
sama seperti proses yang berlaku di perusahaan.
Kenyataan tersebut menimbulkan suatu kehilangan akan pasar yang potensial dari
perusahaan, dan juga akibat dari kenyataan tersebut perusahaan terancam tidak bisa
mengembangkan sayap bisnisnya lebih jauh lagi. Pada kenyataannya di lapangan
ditemukan bahwa memang produk dari perusahaan di labeli dengan istilah produk
dengan kualitas no:2, sungguh suatu hal yang ironis mengingat dari sejarah
perusahaan itu sendiri dan juga target dari perusahaan.
Didasarkan pada semua kenyataan tersebut maka yang menjadi masalah bisa
disimpulkan adalah banyaknya produk dengan kualitas tidak baik yang beredar
dipasaran. Pengawasan yang lebih terperinci atau lebih ketat tidak diberlakukan oleh
perusahaan, dalam hal ini bukan saja pengawasan ketat diberlakukan di bagian
produksi, tetapi yang menjadi suatu kepentingan adalah justru pengawasan dilakukan
pada bagian awalnya yakni bagian bahan baku.
58
Kerangka pemikiran yang ada adalah bagaimana dengan suatu pengawasan yang
ketat kemudian akan dihasilkan suatu produk yang berkualitas. Salah satu dasar yang
menginspirasi akan kemudian dibahas mengenai hal tersebut adalah terletak pada
ketiadaan data-data yang konkret dan jelas mengenai produk cacat yang ada di
perusahaan. Perusahaan tidak terlalu memperdulikan produk cacat yang terjadi hal
tersebut menjadi wajar karena jika suatu produk cacat maka produk tersebut tidak
langsung terbuang, melainkan akan didaur ulang lagi, namun jika itu merupakan
produk yang diketahui namun jika ada produk cacat yang lolos dari pengawasan dan
tidak terdeteksi?, hal tersebut langsung secara tepat mengarah pada bagaimana image
perusahaan nantinya.
Seperti yang pernah dijelaskan bahwa perbandingan dari produk cacat dan produk
jadi yang ada diperusahaan tersebut berdasarkan pada bahan baku yang ada adalah
30:70 dimana 30% dari bahan baku menjadi produk jadi, sedangkan sisanya yakni
60% menjadi scrap, angka-angka tersebut memang merupakan suatu gambaran yang
jelas akan bagaimana persentase dari produk jadi dan scrap didalam memproduksi
aluminium profil, salah satu perusahaan terkemuka dalam bidang memproduksi
aluminium, diketahui mempunyai nilai perbandingan yang lebih baik yakni: 40:60,
hal tersebut tentunya menginspirasikan untuk kemudian menelusuri bagian mana
yang menyebabkan terjadinya suatu peningkatan angka perbandingan tersebut.
Pengajuan kemungkinan penerapan SPC dalam perusahaan juga didasari pada
kenyataan dimana perbaikan akan dilakukan jika terbagi dalam banyak arah akan
menyebabkan suatu ketidakefektifan yang terjadi, pengawasan dapat dilakukan dan
59
harus dilakukan namun yang terlebih dahulu yang harus diperhatikan adalah bagian
mana yang harus mendapat prioritas utama. Penentuan suatu bagian sebagai prioritas
utama akan memudahkan langkah bagi perusahaan untuk kemudian melakukan
pengawasan yang lebih konkret dan tepat arah. Kadangkala suatu bagian yang tidak
terlalu penting dan kronis justru mendapatkan porsi yang sama dengan bagian lainnya,
hal ini malah mengakibatkan terjadinya suatu kesalahan dalam pengawasan, yang
berakibat pada tidak tepatnya tindak perbaikan yang seharusnya dilakukan. Perbaikan
dan pengawasan yang ketat mutlak dilakukan,tetapi sekali lagi pengawasan dan
perbaikan seharusnya dilakukan tepat sasaran, dan juga lebih memberikan porsi pada
bagian yang memang seharusnya mendapatkan porsi yang sebanding dengan
kenyataan yang sebenarnya.
Pengusulan juga tercakup pada perusahaan tidak memberikan suatu batasan yang
jelas mengenai jumlah produk yang cacat yang masih dapat diterima, perusahaan
tidak memiliki suatu batasan yang jelas mengenai produk cacat yang ada
diperusahaan, kemudian perusahaan juga tidak memberlakukan suatu aturan
mengenai bagaimana langkah-langkah yang harus diambil didalam mengatasi akan
hal tersebut. Langkah-langkah yang lebih terperinci mengenai bagaimana cara
melakukannya akan dijelaskan secara lebih jelas pada bab selanjutnya.
Download