FORUM HAK ATAS TANAH : LUKA SEJARAH ANAK SUKU PEDALAMAN Oleh : Benny Ngalo Pertumpahan darah dan perang tanding (raha) menjadi lumrah ketika penyelesaian sengketa tanah melalui lembaga tradisional telah tereduksi badan peradilan umum. Keputusan hakim yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat mefasilitasi perang berkepanjangan. Kasus tertikamnya hakim di Ruteng karena mengabaikan kearifan tradisional dalam pertimbangan pengambilan keputusan adalah contoh menarik, betapa harga untuk suatu proses peradilan yang tidak bersih sangatlah mahal1 . Protes sporadis masyarakat Amungme terhadap kehadiran Freeport merupakan contoh lain ketika banyak pihak mengabaikan peran tokoh adat tradisional sebagai pemangku hukum adat. Pandangan Masyarakat Terhadap Tanah Orang Amungme di Puncak Jayawijaya memandang tanah sebagai seorang Ibu. Bagian dengan elevasi paling tinggi disamakan dengan bagian kepala seorang Ibu (Ninggok), termasuk puncak-puncak gunung tertinggi di kawasan teritori mereka yaitu Puncak Cartenz, Ertsberg (Yel Sengggol Onggop Segel), Gratsberg dan sebagainya. Karena merupakan bagian dari Kepala Ibu, maka itu adalah daerah sakral. Artinya tidak dapat diganggu gugat. Zonasi berikutnya adalah kawasan perbukitan di bawah elevasi gunug-gunung tertinggi ini. Kawasan ini disebut dengan Menamorin, yang bagi Orang Amungme adalah pusat kehidupan mereka, dimana mereka tinggal dan mencari nafkah. Kawasan tersebut digambarkan sebagai bangun leher sampai dengan pusar seorang Ibu, karena disinilah anak dilahirkan dari rahim ibu dan dibesarkan dari air susu ibu. Di sinilah orang Amungme hidup, membangun tempat tinggal, mencari makan dan sebagainya. Dengan kata lain ini merupakan zona ekonomi orang Amungme. Kaki bukit dan hamparan dataran rendah, ditandai oleh aliran air yang tidak deras lagi dan digambarkan sebagai bagian tubuh ibu dari pusar sampai betis. Kawasan ini disebut Onisa, yaitu merupakan daerah larangan dan “pamali” bagi suku Amungme, sebagai simbolisasi alat kelamin Ibu. Daerah ini adalah kawasan yang ditakuti, karena apabila orang Amungme pergi berburu dan sampai ke daerah dataran luas ini, maka banyak yang kena sakit malaria, atau hilang di hutan. Timika dan Akimuga termasuk kategori ini. Masyarakat adat Timor Timur (termasuk Timor Barat khususnya Belu) tidak mengenal hak individual. Di sana tanah sakral, sumber air, sungai, hutan bersama dan tanah penggembalaan tidak akan mereka lepas, sedangkan di luar tanah sakral dapat diperoleh tanah garap. Tanah adat dibagi menjadi: (1) Tanah ulayat (hak WACANA No. 10/ September - Oktober 1997 ulayat); (2) Tanah milik ( hak perorangan semu ); (3) Tanah milik familia (fukun/marga); (4) Tanah milik bersama. Ketegangan sering terjadi antara pemerintah dengan rakyat akibat adanya perbedaan konsepsi tentang tanah. Dalam pemahaman tradisional tidak ada konsepsi tanah kosong atau bebas nilai, meskipun tanah tersebut tidak dikerjakan sama sekali. Tanah kosong yang terlantar pun memiliki penghuni (pemilik) dan gangguan terhadapnya akan mengganggu keseimbangan hidup bersama. Masyarakat meyakini hubungan supranatural yang tidak dapat dipahamai secara rasional. Masyarakat memiliki keterikatan dengan arwah nenek moyangnya, sehingga masyarakat adat Belu (Timor) misalnya, juga mengenal “tanah pamali”, seperti suku Amungme. Konsep pamali inilah yang mendukung kelestarian alam. Ada kepercayaan dalam masyarakat, bahwa arwah nenek moyangnya menghuni hutan-hutan tertentu. Oleh karena itu gangguan terhadap hutan tersebut berarti mengusik arwah nenek moyang. Jika demikian bencana akan datang. Dan bila dirunut lebih jauh ternyata keberadaan hutan tersebut bermanfaat untuk melindungi sumber-sumber air. Masyarakat adat memiliki cara tersendiri dalam penyelesaian konflik tanah. Mereka menempatkan seorang tokoh ( istilah untuk tokoh ini berbeda antara satu tempat dengan lainnya seperti Liurai yang dikuasakan pada Dato Uain di Belu dan Timor Timur, Kabisu di Sumba, Tua Teno di Manggarai NTT ) yang bertugas mengawasi dan membagikan tanah adat untuk dikerjakan para anggotanya tetapi tidak dapat dijadikan hak milik, serta membagi lahan di luar tanah adat yang dimiliki secara semu dan memgawasi tanah kurang produktif yang umumnya tidak digarap. Pola pewarisan mengikuti sistem patriakat. Artinya setiap anak laki dalam keluarga akan mendapat bagian tanah untuk dikerjakan. Bila terjadi sengketa, maka hukum yang berlaku adalah 7 FORUM hukum adat sebagai acuan lembaga adat. Lembaga ini dipimpin oleh seorang tokoh adat yang merupakan sentral penyelesaian sengketa tanah karena bukti-bukti tidak tertulis pemilikan tanah bersumber pada tokoh ini yang mengetahui secara detail pemilikan lahan para anggota masyarakat adat. Pada masyarakat tertentu di Timor penyelesaian tanah secara tradisional umumnya tidak rasional namun diterima secara luas. Maka sesungguhnya bukan cara penyelesaian (proses) tetapi esensi dan tujuannya. Artinya cara itu dapat memenuhi rasa keadilan untuk menciptakan ketenangan dan kedamaian hidup bersama2. Lembaga adat dapat memenuhi kapasitas dalam mengalokasikan nilai-nilai untuk kesejahteraan hidup bersama sehingga mendapat legitimasi dari masyarakat. Konflik tidak akan terjadi bila penyelesaian sengketa melaluihukum adat tetap dipertahankan. Pembangunan Versus Arwah Nenek Moyang Ideologi masyarakat orde baru adalah pembangunan sedangkan masyarakat hukum adat adalah arwah nenek moyangnya. Konsepkonsep pembangunan didasari pertimbangan rasional semata, sedangkan nenek moyang berdasarkan tradisi yang terkadang irasional. Kontradiksi dari keduanya hanya dapat dipertemukan pada tujuannya yakni pencapaian kesejahteraan masyarakat. Terjadinya konflik di antara keduanya karena ideologi baru hendak mendominasi ideologi lama. Pemaksaan akan suatu ideologi berarti darah (korban). Kemarahan masyarakat Amungme misalnya karena pembangunan (Freeport) tidak menghargai adat dan pandangan mereka terhadap tanah. Freeport merambah bagian kepala Ibu orang Amungme, maka bila kini terjadi penolakan atas kehadiran perusahaan ini dapat dimaklumi. Adat adalah persoalan eksistensi dan harga diri. Ketika harga diri mereka diinjak, maka untuk memulihkannya mereka dengan sukarela menumpahkan darah. Program pembangunan lain seperti transmigrasi misalnya, yang antara lain penempatan transmigran pada tanah kosong, artinya kosong nilai kegunaan ekonominya sehingga dapat ditempati siapa saja, kontras dengan konsepsi masyarakat adat yang tidak mengenal tanah kosong. Perbedaan konsepsi ini bila tetap dipaksakan sama artinya dengan membiarkan api dalam sekam. Terjadi keterputusan nilai, menurut istilah Talizi, mengakibatkan terbentuknya kantong yang oleh masyarakat lokal disebut enklaf ( enclave : ada yang asing di antara kita ) dan oleh masyarakat pendatang disebut kantong eksklaf (exclave : keberadaan kita di lingkungan asing ). Di samping itu terjadi apa yang disebut dominasi budaya, dan bahkan penaklukan budaya yang tidak sesuai dengan jiwa PP 60 Tahun 1951. WACANA No. 10/ September - Oktober 1997 Enklavisme dan eksklavisme itu sendiri sangat mengganggu dan menghambat persatuan bangsa pada aras makro dan iklim investasi di tingkat mikro. Penentuan proyek-proyek pemerintah seperti Hutan Tanam Industri (HTI) misalnya, yang ditetapkan secara sentralistis, serta penggusuran tanah penduduk oleh pemerintah lokal menciptakan perang terbuka antara pemerintah lokal dengan masyarakat setempat. Terjadi ketegangan berkepanjangan antara pemerintah, investor dan masyarakat lokal (adat). Keadaan ini terus berlangsung hingga kini. Rekomendasi penting dari itu semua adalah agar para perencanan hendaknya memahami kearifan tradisional seperti konsep pamali, penyelesaian konflik tanah secara adat, serta eksistensi lembaga tradisional. Titik awal setiap konsep pembangunan mesti berawal dari tradisi. Artinya nilai-nilai murni dalam masyarakat tetap dipertahankan agar setiap tujuan dapat dicapai secara efektif. Dalam perspektif teori budaya, Talizi (1996) mengemukakan, bahwa nilai semua benda tetap istimewa melekat erat pada jiwa setiap orang yang berada di atasnya, lepas dari status pemilikan. Nilai itu terbentuk lama dan hilangnya juga memerlukan waktu lama. Oleh karena itu efektivitas dan kelestarian hasil penyelesaian sengketa kepemilikan benda sama sekali tidak cukup hanya dengan tanda tangan pada satu piagam atau intervensi penguasa, melainkan tindaklanjutnya dalam jangka waktu lama. Daftar Bacaan : 1. Beanal, Tom dan WAHLI, Amungme Magaboarat Negel - Jombei - Peibei, WAHLI, Jakarta, 1997. 2. Susanto,Astrid Sunario,Prof. Dr.,dkk, Analisa dan Ev aluasi Hukum Tentang Transaksi Tanah Adat di Timor Timur, Badan Pembinaan Hukum Depertemen Kehakiman RI Tahun 1994/1995, Jakarta, 1995. 3. Scott, James, Perlawanan Kaum Petani, Y ay asan Obor Indonesia, Jakarta, 1993. 4. Nduhundraha, Talizi, Prof.Dr., Pembangunan Desa : Pembangunan Sumber Daya Manusia (Human Resources Development ), ( Makalah ), Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta, 1996. 1 Ruteng adalah suatu kota kecil, Ibu Kota Kabupaten Daerah Tingkat II Manggarai, Flores, N T T. Kasus penikaman hakin terjadi karena keputusan hakim yang memberikan kemenangan pada pihak y ang secara hukum adat seharusny a kalah karena tidak memiliki hak waris (pihak perempuan). 2 Peny elesaian sengketa tanah yang sifatnya tahy ul misalny a, dilakukan oleh tokoh adat untuk meny elesaikan sengketa tanah y ang tidak diketahui dengan jelas pemiliknya dengan cara melihatny a pada urat perut ay am atau babi dah hal ini diakui kebenaranny a oleh seluruh anggota masy arakat adat. 8